tanggapan atas buku “jalan raya pos, jalan daendels” karya pramoedya ananta toer
DESCRIPTION
Dalam kajian sejarah Indonesia, yang lebih banyak mendasarkan pada sumber arsip, orang lebih banyak mengenal Marsekal Herman Willem Daendels daripada Marsekal Guntur atau Mas Galak. Julukan Marsekal Guntur dan Mas Galak yang terdapat pada sumber-sumber lisan dan sumber lokal mengacu kepada orang yang sama, yaitu Marsekal Herman Willem Daendels (selanjutnya disebut Daendels) yang memerintah di Jawa antara tahun 1808-1811. Daendels melakukan banyak tindakan dan melaksanakan berbagai program dalam waktu yang relatif singkat (3 tahun 4 bulan). Semua program yang dicanangkannya berasal dari instruksi raja Belanda Louis Napoléon sebelum ia berangkat dari Eropa pada bulan Februari 1807 menuju Jawa. Instruksi itu dipertegas lagi ketika ia menghadap Napoléon Bonaparte, Kaisar Prancis, untuk berpamitan sekaligus untuk menjabarkan rencana kerjanya di Jawa. Dalam instruksi itu, ada dua tujuan utama yang harus ia capai, yakni mempertahankan Jawa dari serangan Inggris dan membenahi sistem administrasi pemerintahan sebagai warisan VOC.TRANSCRIPT
MEGA PROYEK “MARSEKAL GUNTUR”:
TANGGAPAN ATAS BUKU “JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS”
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER1
Oleh
Djoko Marihandono ([email protected]) 2
1. Pendahuluan
Dalam kajian sejarah Indonesia, yang lebih banyak mendasarkan pada sumber
arsip, orang lebih banyak mengenal Marsekal Herman Willem Daendels daripada
Marsekal Guntur atau Mas Galak. Julukan Marsekal Guntur dan Mas Galak yang terdapat
pada sumber-sumber lisan dan sumber lokal mengacu kepada orang yang sama, yaitu
Marsekal Herman Willem Daendels (selanjutnya disebut Daendels) yang memerintah di
Jawa antara tahun 1808-1811. Daendels melakukan banyak tindakan dan melaksanakan
berbagai program dalam waktu yang relatif singkat (3 tahun 4 bulan). Semua program
yang dicanangkannya berasal dari instruksi raja Belanda Louis Napoléon sebelum ia
berangkat dari Eropa pada bulan Februari 1807 menuju Jawa. Instruksi itu dipertegas lagi
ketika ia menghadap Napoléon Bonaparte, Kaisar Prancis, untuk berpamitan sekaligus
untuk menjabarkan rencana kerjanya di Jawa. Dalam instruksi itu, ada dua tujuan utama
yang harus ia capai, yakni mempertahankan Jawa dari serangan Inggris dan membenahi
sistem administrasi pemerintahan sebagai warisan VOC.
Ketika membicarakan masa pemerintahan Daendels di Hindia Timur, tidak dapat
dihindari membicarakan kondisi politik di Eropa pada saat itu. Negara Belanda yang
merupakan negara kerajaan di bawah pemerintahan Raja Belanda Louis Napoléon selalu
mendapatkan ancaman dari Inggris beserta sekutunya. Penempatan Raja Louis Napoléon
di Belanda tidak terlepas dari upaya Prancis (baca Napoléon Bonaparte) memblokade
semua wilayah daratan Eropa agar tidak didarati oleh kapal-kapal Inggris, baik untuk
kepentingan perdagangan maupun kepentingan politik. Napoléon Bonaparte menganggap
bahwa wilayah pantai Belanda merupakan satu-satunya wilayah bagi Inggris dan
1 Makalah untuk disajikan dalam Seminar Lisan V yang diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Pariwisata di Galeria Nasional, 1-4 Desember 20062 Penulis adalah pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Departemen Sejarah, Program Studi Prancis.
1
sekutunya yang masih memungkinkan dijadikan akses masuk ke Eropa. Oleh karena itu,
Napoléon Bonaparte menempatkan adik kandungnya menjadi Raja Belanda untuk
menangkis upaya Inggris itu.
Upaya Inggris mendaratkan pasukannya di wilayah Belanda, selalu mendapatkan
perlawanan yang gigih dari pasukan gabungan Belanda-Prancis. Terlebih lagi, ketika
Napoléon Bonaparte melancarkan politik kontinentalnya, maka dibalas pula oleh Inggris
dengan mengultimatum akan merampas semua wilayah koloni Belanda yang ada di timur
Tanjung Harapan. Ultimatum itu benar-benar dijalankan oleh Inggris dengan merebut
wilayah Tanjung Harapan pada tanggal 22 Januari 1805, dan beberapa pulau lain di
sekitarnya seperti Ile de France dan Mauritius beberapa tahun kemudian (tahun 1809 dan
1810). Kenyataan ini disadari sepenuhnya oleh Belanda, sehingga bagi Raja Belanda dan
Kaisar Prancis, hanyalah tinggal Daendels satu-satunya harapan bisa diberikan untuk
mempertahankan pulau Jawa yang selama itu dianggap mampu mempertahankan
kehormatan Prancis. Peranan pulau Jawa sudah menjadi pembicaraan di kalangan elit
pemerintahan di Prancis sejak naiknya Napoléon Bonaparte menjadi Premier Consul
peranannya dan potensinya.3
Sementara itu dari sisi yang berbeda, dari pihak Inggris, upaya menguasai pulau
Jawa sementara diurungkan karena Inggris saat itu belum memiliki ahli tentang pulau-
pulau di Hindia Timur. Pengetahuan John Leyden asisten Lord Minto (Gubernur Jenderal
EIC di Calcutta saat itu) tentang Raja-Raja Melayu dianggap belum cukup berperan
dalam menentukan strategi pendaratan militer di pulau Jawa. Selain itu, kabar kedatangan
Daendels ke pulau Jawa membuat rencana penaklukan Jawa diurungkan oleh Inggris
karena terdengar berita bahwa Daendels datang ke pulau Jawa dikawal dengan beberapa
kapal perang yang sekaligus akan memperkuat armada laut Belanda-Prancis di Jawa.
Kondisi ini berubah ketika muncul seorang ahli tentang Hindia Timur Sir Thomas
Stamford Raffles yang datang menghadap Lord Minto di Calcutta. Raffles berhasil
meyakinkan Lord Minto bahwa pulau Jawa segera harus ditaklukkan oleh Inggris.
Keadaan di pulau Jawa saat kedatangan Daendels di Jawa (1 Januari 1808) sangat
genting, karena Inggris telah melakukan blokade laut atas pulau Jawa. Bahkan tiga 3 Komandan Divisi XII Prancis Jenderal Houdetôt telah menyampaikan laporannya tentang pulau Jawa dan kemungkinkinan pendaratan pasukan Inggris di Jawa kepada Napoléon Bonaparte sejak tanggal Pada tanggal 23 Ventôse tahun ke-IX menurut sistem penanggalan Prancis atau tanggal 20 Februari 1800 menurut penanggalan internasional.
2
minggu sebelum kedatangannya, pantai Gresik sudah dikuasai oleh Inggris, dan wakil
Gezaghebber Surabaya saat itu Van Alphen harus menandatangani perjanjian dengan
Laksamana Pellew. Situasai perang inilah yang melatarbelakangi semua masa
pemerintahan Daendels di Jawa selama kurun waktu 14 Januari 1808 hingga 16 Mei
1811 atau selama 3 tahun 4 bulan.
Berbekal dua tugas utama yang dibebankan kepadanya yakni mempertahankan
pulau Jawa dari ancaman Inggris dan memperbaiki sistem administrasi pemerintahan di
wilayah koloni Hindia Timur, Daendels menerapkan sistem pemerintahan model militer.
Sasaran yang akan ia capai adalah semua pejabat harus bertanggungjawab secara vertikal
dengan kekuasaan terakhir dipegang secara mutlak oleh Gubernur Jenderal. Semua
pejabat birokrasi diberikan pangkat militer, tidak terbatas pada orang Eropa, tetapi juga
para pejabat pribumi seperti para bupati. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
pembangkangan atau subordinasi yang berdampak pada kegagalan proyek pertahanan
yang akan dibangunnya. Oleh karena itu tindakan disiplin yang keras diterapkan oleh
Daendels dalam pelaksanaan semua program itu.
Sosok dan latar belakang Daendels sangat mempengaruhi sistem pemerintahan
yang diterapkannya. Sebagai seorang militer yang dibesarkan dalam periode Revolusi
Prancis (Légion Etrangère), Daendels tampil sebagai seorang yang berwatak keras dan
tegas. Ia tidak segan mengambil tindakan terhadap bawahannya yang dianggap tidak
mampu melaksanakan perintahnya. Di samping itu, suaranya yang keras juga menambah
pengaruh penampilan dirinya ketika berhadapan dengan siapapun, baik para pejabat
Eropa maupun para penguasa pribumi. Akibatnya, di kalangan para bangsawan pribumi,
Daendels dikenal dengan sebutan “Marsekal Guntur”. Bahkan karena ketegasannya
ketika memberikan perintah, oleh para penguasa pribumi, Daendels juga dijuluki sebagai
“Mas Galak” nama yang diambil dari pangkat yang disandangnya yaitu Marsekal.
Istilah sapaan “Marsekal Guntur” untuk memanggil Gubernur Jenderal Daendels,
digunakan tidak hanya oleh para penguasa atau raja-raja pribumi, tetapi juga para
bangsawan dan bupati bahkan sampai ke tingkat demang dan pejabat pribumi rendahan
juga menyebutnya demikian. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh semua instruksi dan
tindakan Daendels terasa sampai di kalangan masyarakat bawah. Dalam istilah
3
penyebutan tradisi lisan orang-orang Jawa dan Sunda lebih banyak menyebutnya dengan
nama Marsekal Guntur atau Den Mas Galak.
2. Jalan Raya
Sesuai instruksi Louis Napoléon untuk mempertahankan Jawa dari serangan
Inggris, Daendels melihat bahwa prasarana pertahanan di Jawa sebagai warisan VOC
sangat tidak memadai. Tidak ada sarana komunikasi umum sebagai syarat pertama bagi
mobilisasi pasukan. Jalan-jalan yang ada tidak memenuhi syarat karena kondisinya buruk
sehingga menyebabkan hubungan antar-kota di Jawa saat itu masih sangat minim. Ini
terbukti dari perjalanan yang dilakukan Daendels ketika mendarat di Banten pada tanggal
1 Januari 1808 ke Batavia yang memakan waktu selama empat hari. Bagi Daendels,
dengan melihat jarak antara Banten dan Batavia, jangka waktu empat hari dianggapnya
terlalu lama.
Setelah menerima jabatan Gubernur Jenderal pada tanggal 14 Januari 1808 dari
Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiesse, Daendels mencanangkan program pertama
bagi proyek pertahanan Jawa, yaitu membuat jalan yang menghubungkan ujung barat dan
ujung timur Jawa, di samping membangun dua fasilitas pangkalan armada laut di Teluk
Meeuwen (Ujung Kulon) dan di Teluk Manari (Gresik). Daendels menetapkan
pembangunan jalan raya ini harus selesai dalam waktu satu tahun. Karena sebelum
kehadiran Daendels di Jawa telah ada jalan yang menghubungkan antara Banten dan
Batavia hingga Buitenzorg (Bogor) dan kondisinya masih bisa digunakan, maka
pembangunan jalan ini dimulai dari Buitenzorg menuju Karangsambung di Cirebon.
Berbeda dengan pandangan umum yang ada saat ini, Daendels telah
mengeluarkan keputusan pada 5 Mei 1808 tentang pembuatan jalan ini dan telah
menyiapkan sejumlah dana bagi pembiayaannya (Chijs 1895:699—702). Menurut
pandangannya, jalan ini harus dikerjakan oleh tenaga yang dibayar harian dengan maksud
agar para pekerjanya bersemangat untuk menyelesaikan proyek itu. Tetapi dalam
pelaksanaannya kendala di lapangan dihadapi: medan yang sulit dan anggaran yang
sangat minim. Dengan dana yang ada, pembiayaan jalan hanya bisa dilakukan bagi
proyek jalan antara Buitenzorg dan hingga Karangsambung di Cirebon. Sementara
pembangunan di Pantai Timur Laut Jawa dan Ujung Timur Jawa diserahkan kepada para
4
bupati di wilayah itu. Hal ini dimintakan pengertiannya oleh gubernur jenderal karena
tujuan utama dibangunnya jalan raya ini (berdasarkan keputusan itu) adalah untuk
meningkatkan kemakmuran penduduk di sekitar jalan raya. Sebelumnya, Daendels telah
mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar para penduduk membuka lahan baru
untuk memperluas tanaman kopi dan padi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
penduduk. Namun, Daendels sadar bahwa upaya itu tidak berhasil karena kondisi jalan
tidak mendukung, sehingga penduduk harus membayar lebih untuk beaya transportasi.
Dengan pembangunan jalan itu, ongkos transportasi bisa ditekan, sehingga upaya
peningkatan kesejahteraan penduduk dapat segera terrealisasi. Tujuan kedua
pembangunan jalan juga disebutkan dalam keputusan itu adalah untuk pertahanan.
Daendels memiliki kewajiban untuk mempertahankan pulau Jawa selama mungkin dari
ancaman Inggris sesuai instruksi yang diterimanya dari Raja Louis Napoléon.4 Untuk
mengefektifkan jalan itu, ia memfungsikannya sebagai jalan pos yang memiliki fungsi
utama sebagai sarana komunikasi antara Batavia dan wilayah sekitarnya di seluruh pulau
Jawa.
Setelah terjadi kemacetan pembangunan jalan di Karangsambung akibat habisnya
anggaran pemerintah, Daendels melakukan evaluasi kembali atas program itu. Sebagai
hasil evaluasi ini, Daendels memutuskan untuk meminta bantuan para penguasa pribumi
untuk membangun jalan dari Karangsambung sampai Surabaya. Hal ini disepakati dalam
pertemuan antara Daendels dan para bupati se-Jawa di Semarang yang diselenggarakan
pada bulan Juli 1808 karena pembangunan jalan itu memang diperuntukkan bagi
peningkatan kesejahteraan penduduk yang tinggal di sekitar jalan raya itu. Akhirnya,
Diputuskan dan disepakati pada pertemuan itu bahwa pelaksanaan pembangunan jalan
lebih lanjut diserahkan kepada masing-masing bupati di wilayah mereka masing-masing.
Sistem yang digunakan diubah bukan lagi kerja upah tetapi menggunakan sarana ikatan
feodal yang selama itu telah ada. Dalam ikatan feodal yang berlaku saat itu, masyarakat
pribumi sebagai warga dari suatu kabupaten wajib mempersembahkan upeti tahunan
4 Daendels setelah menerima Surat Pengangkatan sebagai Gubernur Jenderal dari Raja Louis Napoléon tanggal 29 Januari 1807, menerima 3 surat tugas lain dari Raja Louis pada tanggal 9 Februari 1807, yaitu instruksi untuk Gubernur Jenderal Koloni dan Wilayah Asia (37 pasal), Instruksi bagi Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (26 pasal), dan Instruksi bagi Gubernur Jenderal untuk membubarkan dan membantuk Pemerintahan Tinggi (Hooge Regering) yang baru di Batavia (6 pasal).
5
kepada bupati. Upeti ini berupa sebagian hasil tanah dan tenaga mereka yang diwujudkan
dalam kerja wajib bagi kepentingan kabupaten maupun kepentingan pribadi bupati.
Setelah kesepakatan dicapai, program pembuatan jalan diteruskan dari
Karangsambung menuju Cirebon. Sejak itu para bupati memegang peranan yang lebih
penting dengan mengerahkan rakyatnya sebagai tenaga kerja. Dalam pelaksanaan proyek
ini, para bupati sering memanfaatkan instruksi Daendels dalam hal pengumpulan dan
pengerahan tenaga kerja dengan menuntut lebih banyak tenaga dan lebih lama waktu
kerjanya. Keuntungan yang diperoleh para bupati dari proyek ini adalah bahwa sebagian
tenaga itu juga digunakan untuk menggarap sawahnya di sela-sela waktu kerja yang
tersisa dari program pembangunan jalan. Tenaga kerja yang didatangkan oleh para bupati
ini juga diwajibkan membawa bekal sendiri untuk makan. Bekal ini habis, sesuai dengan
masa yang mereka jalani untuk membuat jalan. Akibat yang terjadi justru pada waktu
kerja yang tersisa digunakan untuk mengerjakan proyek pribadi bupati. Di sini terjadi
bencana yang mengakibatkan terjadinya kelaparan dan korban kematian dalam jumlah
cukup tinggi.
Dengan mendasarkan diri pada sistem ikatan feodal ini, program pembangunan
jalan raya yang dicanangkan oleh Daendels berhasil dibuat sampai Panarukan dalam
waktu satu tahun. Dibandingkan dengan proyek perbentengan yang juga direncanakan,
program pembuatan jalan ini jauh lebih berhasil dan dampaknya lebih luas bagi
kehidupan masyarakat. Dua proyek benteng besar di Ujung Kulon dan Gresik hanya satu
proyek yang berhasil terwujud sesuai rencana. Proyek pembangunan pangkalan armada
di Ujung Kulon (Teluk Meeuwen), karena kondisi alam dan kurangnya tenaga kerja,
dipaksakan pembangunannya, sehingga mengakibatkan terjadinya konflik antara
Daendels dan Sultan Banten yang menyebabkan dihancurkannya istana Sultan Banten
(Surosowan).5 Kenyataannya bahwa pembangunan pangkalan armada laut di Teluk
Meeuwen ini tidak selesai dibangun karena sudah dihancurkan oleh armada Inggris
ketika proyek ini mendekati penyelesaiannya.
5 Daendels berhasil membangun pangkalan armada laut di Teluk Manari, Gresik dan menamainya Fort Lodewijk. Nama ini digunakan sebagai penghormatan kepada Raja Belanda Louis Napoléon yang telah mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Timur. Sementara itu, pembangunan pangkalan armada laut di Teluk Meeuwen (Ujung Kulon) mengalami kegagalam karena sebelum selesai dibangun, pangkalan itu sudah dihancurkan oleh Inggris.
6
Jalan raya yang berhasil terwujud bukan hanya mendukung mobilitas militer
seperti yang dikehendaki Daendels, tetapi juga berdampak luas yang mendukung
penegakan hukum seperti pengangkutan saksi dan tawanan yang akan diadili. Selain itu,
dari sudut sosial ekonomi, jalan ini juga sangat bermanfaat untuk pengangkutan produk
hasil bumi, intensifikasi penggarapan tanah, terbukti dengan munculnya tanah-tanah
partikelir dan semakin cepatnya hubungan pos. Jika sebelum adanya jalan ini antara
Batavia dan Surabaya ditempuh dalam waktu 2 minggu di musim panas atau 3 minggu di
musim hujan, dengan selesainya jalan ini seminggu dua kali kereta pos diberangkatkan
baik dari Batavia maupun dari Surabaya. Hal ini membawa dampak cepatnya integrasi
dan penyatuan Jawa di bawah satu sentral kendali kekuasaan: Batavia.
3. Daendels dalam Karya Fiksi
Kebijakan dan pelaksanaan sistem yang diterapkan oleh Daendels telah
menimbulkan reaksi bagi masyarakat. Setidaknya terdapat 3 kelompok masyarakat yang
ada pada saat itu, yakni kelompok masyarakat yang menyetujui pembenahan yang
dilakukan oleh Daendels, mereka yang tidak setuju dengan kebijakan Daendels dan
kelompok masyarakat yang oportunis, yaitu mencari celah dan keuntungan dari kebijakan
yang diambol oleh penguasa tertinggi di wilayah koloni ini. Kebijakan yang diambil oleh
Gubernur Jenderal telah menimbulkan dampak psikologis yang luas dalam alam pikiran
baik di alam pikiran pejabat maupun pikiran masyarakat umum pada waktu itu. Dengan
sikapnya yang keras dan tindakannya yang tegas, bukan hanya reaksi yang muncul, tetapi
juga dampak pola pikir dan citra dari mereka yang terkena dampak itu. Banyak orang
tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka walaupun tindakan Daendels
merupakan bentuk penindasan dan tekanan batin. Perlawanan yang tidak terbuka
akhirnya muncul melalui berbagai bentuk ungkapan pemikiran. Dalam istilah Barthes
(1970:193—194), ini disebut konotasi yang kemudian berkembang menjadi mitos
(mythe). Bentuk ungkapan yang merupakan reaksi terhadap kebijakan Daendels (baik
yang menyetujui maupun menolak kebijakan itu) muncul dalam bentuk julukan bagi figur
Daendels secara pribadi baik di kalangan pribumi maupun pejabat Eropa. Seperti
penyebutan Daendels sebagai Marsekal Guntur atau Den Mas Galak dalam cerita rakyat
atau dalam sumber lokal.
7
Dalam cerita rakyat, yang terdapat di Banten, Cirebon maupun di Sumedang,
setidaknya terdapat dua cerita rakyat yang berhubungan dengan Marsekal Guntur atau
Den Mas Galak ini. Dari Banten, terdapat dua versi tentang dihancurkannya istana
Surosowan, yakni tidak mau tunduknya Sultan Banten kepada penjajah, dan versi kedua
ketidaktaatazasan leluhur Sultan Banten terhadap warisan leluhur, yakni melantik Sultan
yang baru tidak di atas batu Gilang melainkan di atas batu Singayaksa, batu tiruan yang
dibuat oleh Belanda.
Dari Cirebon dan Sumedang, diperoleh cerita tentang Bagus Rangin. Cerita rakyat
tentang Bagus Rangin ini hingga kini masih hidup di kalangan masyarakat Cirebon,
walaupun jumlah orang yang mengetahuinya sudah sangat terbatas. Bagus Rangin
dianggap sebagai pahlawan rakyat Cirebon yang memusatkan strateginya di desa Jati
Tujuh di desa Bantar Jati, Jatiwangi, Cirebon. Berdasarkan cerita rakyat itu, anak buah
Bagus Rangin tertangkap oleh tentara Pasukan Kornel (Bupati Sumedang), dan dipenggal
kepalanya. Namun, yang terjadi adalah, kepalanya berubah menjadi ikan gabus (yang
oleh masyarakat setempat disebut ikan sodong). Sementara Bagus Rangin sendiri tidak
pernah tertangkap oleh penjajah, karena Bagus Rangin dilindungi dan dicintai oleh
rakyatnya.
Dari Sumedang ditemukan cerita tentang Hikayat Pangeran Kornel yang membela
kepentingan rakyat Sumedng, khususnya dalam membela rakyat dalam pembangunan
mega proyek Jalan Raya rute Buitenzorg—Karangsambung (Cirebon). Di wilayah
pegunungan yang penuh dengan Cadas (daerah Cadas Pangeran), bupati Sumedang,
Pangeran Kornel, membela kepentingan rakyat Sumedang melawan kebengisan Marsekal
Daendels alias Mas Galak. Karena kebengisannya, ia telah mengakibatkan jatuhnya
banyak korban jiwa yang jenazahnya dimakamkan di bawah jalan raya Cadas Pangeran.
Ketiga cerita rakyat ini hingga kini masih hidup di kalangan ketiga kelompok
masyarakat itu. Karena disampaikan secara lisan maka sumber ini lebih bersifat dinamis
dengan bobot distorsi yang banyak, sehingga sering muncul perbedaan tokoh sampingan,
perbedaan waktu, maupun zaman.
Peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Daendels yang sangat
kontroversial itu (di luar karya Pramoedya), setidaknya telah mengilhami
dimunculkannya oleh tiga pengarang dalam tiga karya fiksi. Ketiga karya fiksi ini antara
8
lain:Hikayat Mareskalk yang ditulis oleh Abdullah Bin Muhammad al-Misri, yang telah
ditransliterasikan oleh Monique Zaini-Lajoubert, De Ijzeren Maarscchalk karya Constant
van Wessem dan Pangeran Kornel karya R. Memed Sastrahadiprawira yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A. Moeis.
Hikayat Mareskalk berisi tiga naskah hikayat Marsekal Herman Willem Daendels
dan tiga naskah lainnya adalah Hikayat Raja-Raja Siam, Cerita Siam dan Hikayat Tanah
Bali. Dalam hikayat ini Daendels memberikan gelar “jenderal” kepada sejumlah anak
buahnya seperti Jenderal Kopi, Jenderal Kayu, dan Jenderal Padi (hal 61-64). Daendels
menerangkan bahwa dirinya bukan jenderal, karena jenderal adalah budak, ia memikul
pekerjaan di bawah orang yang besar-besar. Para menteri dan priyayi kemudian
mengusulkan sebuah panggilan untuk Daendels dengan sebutan Susuhunan Junjungan
Alam Dunia. Daendels senang mendapatkan julukan itu, tetapi ia lebih suka dipanggil
dengan sebutan Susuhunan Kanjeng Kangsinuhun Mangkurat Mangkubawana.
Buku De Ijzeren Maarschalk, Het leven van Daendels “soldat de fortune”
(Marsekal Besi, Kehidupan Daendels sebagai tentara) dikarang oleh Constant van
Wessem ini tebalnya 351 halaman, terdiri atas 9 bagian. Roman ini (sesuai penyebutan
pengarang atas karyanya itu) berisi dari awal karir Daendels sebagai mahasiswa di
fakultas hukum di Harderwijk hingga penempatannya di Polandia oleh Napoléon
Bonaparte. Seperti dikatakan oleh Van Ronkel, karya ini merupakan sejarah singkat
tentang Marsekal Besi, Manusia dengan Tamparan, yang selalu dihubungkan dengan
pertanyaan dari mana berasal orang kulit putih, asal kekuasaan Tuhan, dan kelemahan
orang kulit hitam. Sesuai judul roman ini, pengarang menyebut Daendels sebagai
Marsekal Besi. Oleh pengarang, Daendels digambarkan sebagai seorang Marsekal yang
bertangan besi. Semua perintah harus dijalankan dengan benar. Apabila terjadi kesalahan,
maka siapa pun dia akan dihukum dan dipenjara. Kebengisan dan kekejamannya
membuat takut penduduk pribumi.
Buku Pangeran Kornel yang dikarang oleh R Memed Sastrahadiprawira ini
semula berbahasa Sunda, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A.
Moeis. Dari ke-23 bagian buku ini, terdapat satu bab, yakni bab XVIII, yang
menceritakan tentang Pangeran Koesoemah Dinata, bupati Sumedang saat itu. Buku ini
menceritakan tentang pengalaman bupati kota Sumedang itu sejak tahun 1773, yaitu
9
tahun pengangkatannya sebagai Bupati Sumedang hingga tanggal 29 Juli 1828, saat
wafatnya bupati tersebut.
Pada bab XVIII ini diceritakan tentang siapa Pengeran koesoema Dinata itu.
Diceritakannya bahwa pada saat pembuatan jalan di gunung yang penuh cadas, Pangeran
Koesoema Dinata telah membela rakyat kecil yang tidak mampu lagi meneruskan
pekerjaan membuat jalan akibat terbatasnya alat yang ada, kerasnya tanah yang akan
dijadikan jalan (tanah cadas) dan kondisi alamnya, karena letaknya berada di lereng
gunung. Bupati itu berani menentang Gubernur Jenderal karena merasa iba terhadap
penderitaan rakyatnya.
3. Kritik terhadap Pramoedya
Dalam karyanya Jalan Raya pos, Jalan Daendels6, Pram (2005) telah
memanfaatkan sumber-sumber lisan sebagai dasar tulisannya7 walaupun di halaman
terakhir bukunya dilampirkan daftar bibliografi yang berisi sumber-sumber tertulis.8 Dari
kajian penulis di sini, sumber-sumber tertulis yang digunakan oleh Pram hampir tidak
berkaitan langsung dengan Daendels, terutama proyek pembangunan jalan. Daftar
pustaka yang digunakan oleh Pram untuk menjadi sumber rujukan lebih banyak bersifat
kajian sejarah umum. Hanya ada beberapa buku sejarah yang bisa dikatakan mewakili
historiografi kolonial Belanda saat itu yaitu karya HJ de Graaf, Geschiedenis van
Indonesië (1949). Karya ini memang bisa dikatakan lengkap dan kronologis tentang
sejarah Indonesia, tetapi tidak banyak mengupas periode pemerintahan Daendels.
Penjelasannya tentang Daendels maupun program jalan rayanya pun masih bersifat
umum.
Selain itu perlu ditegaskan juga bahwa de Graaf menyusun karyanya berdasarkan
arsip-arsip peninggalan para pejabat Belanda masa itu. Meskipun dapat digolongkan
sebagai sumber primer, buku ini perlu dikritisi mengingat penulisnya tidak selalu
obyektif dalam memandang Daendels. Pada masa pemerintahan Daendels, para pejabat
Belanda yang berkuasa di Indonesia lebih banyak bersifat avonturis atau diam-diam
6 Buku ini diterbitkan dan didistribusikan oleh Lentera Dipantara (2005).7 Buku Pram ini didasarkan atas hasil wawancara dengan beberapa murid SMP dan beberapa orang, berusia antara duapuluhan dan tigapuluhan, yang mengetahui tentang hal ihwal Daendels dan Jalan Raya Pos.8 Di bagian akhir buku ini disertakan sumber bahan yang diambil dari 33 judul buku dan majalah, 3 judul koran dan 2 ensiklopedi.
10
memihak kepada Raja Willem V dari dinasti Oranje, mantan raja Belanda yang menjadi
musuh Daendels dan Prancis. Akibat dari aneksasi Prancis terhadap wilayah Belanda,
Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Akibatnya tulisan dan laporan para pejabat
Belanda ini cenderung menyalahkan Daendels dan memperbesar dampak negatif dari
proyek jalan raya tersebut tanpa melihat dampak positifnya. Arsip-arsip mereka
digunakan oleh para sejarawan Belanda untuk menulis karya sejarah. Salah satu
sejarawan itu adalah de Graaf, yang digunakan oleh Pram untuk menyusun cerita tentang
Daendels. Oleh karena itu di dalam karyanya, Pram justru cenderung mengikuti jejak
para sejarawan Belanda dengan menekankan sisi negatif dari proyek tersebut, terlepas
dari sosok Daendels sendiri.
Selain de Graaf, Pram tidak banyak menggunakan karya rujukan yang memiliki
kelayakan sebagai sumber sejarah. Tidak ada arsip yang digunakan oleh Pram untuk
melihat proses pembuatan jalan ini. Di sisi lain, penulis menemukan laporan tentang
pembuatan jalan tersebut yang disusun dan dibukukan oleh Van der Chijs (1895) yang
berjudul Nederlandsch Indisch Plakaatboek 1602-1811.9 Dalam kumpulan catatan harian
ini, jelas terlihat bahwa proses pembuatan jalan itu tidak seperti yang digambarkan oleh
Pram. Penduduk pribumi yang mengerjakan jalan tetap menerima upah, dan apabila
mereka menderita hal itu lebih banyak sebagai akibat tuntutan yang berlebihan dari para
bangsawan dan bupati pribumi.
Mengingat pada masa itu rakyat pribumi tidak memiliki kebiasaan menulis, karya
tradisi lisan maupun tulisan yang berasal dari masyarakat pribumi lebih banyak dibuat
oleh para bangsawan. Dengan demikian istilah Marsekal Guntur atau Den Mas Galak
lebih banyak dilontarkan oleh para bupati untuk menyebut Daendels. Sebutan ini
kemudian digunakan oleh para bupati ketika memerintahkan rakyat untuk bekerja.
Akibatnya di kalangan rakyat sebutan tersebut menjadi umum, dan ini jelas berasal dari
para pimpinan mereka mengingat rakyat tidak pernah langsung bertemu atau melihat
Daendels. Dari istilah tersebut terdapat konotasi bahwa Daendels merupakan sosok yang
ditakuti oleh para bangsawan dan bupati pribumi. Sikap dan tuntutannya yang keras bisa
menjadi sumber ketakutan tersebut, khususnya, ketika meminta pengerahan tenaga kerja
dan resiko hukuman yang diberikan bila target itu tidak dipenuhi.
9 Untuk periode Daendels, dapat dilihat pada koleksi buku ini jilid 14 yang berisi laporan pemerintah Hindia Belanda dari tahun 1804 sampai 1808.
11
Hal ini tidak diungkap dalam karya Pram, yang konon menggunakan banyak
dongeng dan cerita rakyat untuk melukiskan bagaimana Daendels membangun proyek
jalan raya dari ujung barat sampai ujung timur Jawa. Bagi Pram, Daendels adalah sosok
seorang penjajah yang kejam dan sewenang-wenang dengan tidak mempedulikan nasib
rakyat tetapi lebih mengutamakan kepentingan pemerintah kolonial. Korban jiwa dari
kalangan rakyat sebagai akibat tuntutannya dalam membuat jalan raya ini menjadi bukti
dari keserakahan Daendels. Bahkan Pram mengatakan bahwa masa Daendels adalah
masa paling kelam dari genosida pembangunan jalan raya yang beraspalkan darah dan
air mata manusia-manusia Republik tersebut (hal. 6). Tetapi di sisi lain Pram melupakan
sesuatu, khususnya ketika menulis tentang kemacetan pembangunan jalan di daerah
Cadas Pangeran.
Dalam peristiwa ini, Daendels menerima laporan dari Bupati Sumedang Pangeran
Wirahadikusuma (dikenal juga dengan sebutan Pangeran Kornel) yang mengadukan
beratnya medan sehingga rakyatnya tidak mampu mengerjakan jalan itu, sebab daerah
tersebut terdiri atas batuan cadas yang sangat keras. Daendels tidak menyalahkan Bupati
Sumedang, tetapi segera memerintahkan pasukan zeninya untuk menghancurkan batu-
batu cadas agar pembuatan jalan bisa diteruskan. Setelah hambatan bisa diatasi, Daendels
mengizinkan tenaga kerja menggunakan peralatan yang disediakan agar memudahkan
penggarapan lebih lanjut dan memerintahkan kepada bupati agar lebih memperhatikan
nasib para pekerja ini. Tujuannya adalah agar pembangunan jalan itu berlangsung lancar.
Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang digambarkan oleh Pram.
4. Penutup
Dari ulasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pram memandang Daendels
dari sisi subyektif, baik pribadinya maupun sumber rujukan yang digunakannya. Dari
kacamata Pram, yang lebih mengutamakan pendekatan Marxis dalam menganalisis suatu
peristiwa sejarah di mana setiap kebijakan atau sosok penguasa kolonial selalu
berkonotasi negatif dan menyengsarakan rakyat, kebijakan Daendels merupakan bencana
besar yang tidak ada manfaatnya bagi rakyat pribumi tetapi justru mendatangkan
kematian dalam jumlah besar. Analisis demikian tidak selalu tepat dan tidak sesuai
dengan kenyataan yang ada. Pembangunan jalan ini merupakan proyek monumental
12
dengan dampak positif yang lebih luas, bahkan melebihi dampak negatifnya. Daendels
mampu mengerjakan mega proyek itu dalam waktu yang relatif singkat karena koordinasi
dan pengawasan serta penegakan hukum dalam pelaksanaan instruksinya, sesuatu yang
tidak berhasil dilakukan oleh Megawati meskipun kurun waktu pemerintahannya hampir
sama yakni 3 tahun 4 bulan.
Yang kedua, Pram tidak menganalisis secara cermat sumber yang digunakan bagi
penulisan karyanya. Dalam hal sumber lisan, Pram tidak mencermati oleh siapa sumber
itu diedarkan dan siapa yang lebih banyak menggunakan sumber itu. Sulit diterima
apabila sumber lisan mengenai Daendels tersebut hanya diperoleh dari anak-anak SMP
dan pemudia yang berusia antara duapuluhan dan tigapuluhan tahun, yang tidak
bersentuhan langsung dengannya. Jika diciptakan oleh kalangan elit pribumi, Pram tidak
menganalisa mengapa elit menciptakan kisah-kisah tersebut dan apa dampak yang ingin
mereka capai.
Dari sudut sumber tertulis, Pram juga kurang tajam mengkritisi sumber itu. Tidak
ada arsip yang digunakan untuk mendukung pernyataannya, sementara karya-karya para
penulis asing juga tidak dikritisi secara memadai. Pram tidak melihat latar belakang
penulis asing itu dan tujuan mereka membuat tulisan tersebut. Bagi Pram, para penulis
Belanda itu sudah mewakili opini umum di antara masyarakat Belanda tentang Daendels
dan kebijakannya.
5. Bibliografi
13
A. ARSIP
Bundel Banten Nomor 49/23 Landrost Ambt van Bantam . Koleksi ANRI Jakarta
Stat der Nederlandsche Bezittingen, Onder het Bestuur van den Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels, Ridder, Leutenant-Generaal in de jaren 1808—1811, terbitan ‘s Gravenhage, 1814. Bijlagen, Eerste Stukken en tweede stukken
Chijs, J.A. van der., 1895, Plakaatboek gehouden in het kastijl Batavia 1602-1811, veertiende deel, Batavia, Landsdrukkerij.
B. BUKU DAN MAJALAH
Anonim. 1871.”De verdiging van Java 1808—1811”. IMT tahun 1871. Batavia: Bruincing&Wijt.
Akihary, H. Et.all., 1991, Herman Willem Daendels 1762-1818, Utrecht, Mattrijs.
Al-Misri, Abdullah bin Muhammad. 1987. Naskah Dokumen Nusantara IV: Hikayat Mareskalk I, Hikayat mareskalk II, Cerita Siam, Hikayat Tanah Bali. Disunting dan diterjemahkan oleh Monique Zaini Lajoubert. Bandung: Penerbit Angkasa dan EFEO.
Colenbrander, H.T., 1925, Koloniaal Geschiedenis, tweede deel, ’s Gravenhage, Martinus Nijhof.
Daendels, H.W., 1814, Staats der Nederlandsche Oost Indie bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels in de jaren 1808-1811 ’s Gravenhage.
Day, Clive, 1904, The Dutch in Java, Kuala Lumpur, Oxford University Press.
Deventer, M.L.van. 1865. ‘Daendels-Raffles I’ dalam Indische Gids, Jilid I.
Deventer, M.L.van. 1891. ‘Daendels-Raffles II--III’ dalam Indische Gids, Jilid I.
Hageman, J. 1856. ‘Geschiedenis van Het Hollandsch Gouvernement op Java’ dalam Tijdshrift van Bataviasch Genootschap voor Indische Taal-, Land en Volkenkunde Jilid V.
Hageman, J. 1857. ‘De Engelschen op Java’ dalam Tijdschrift van Bataviaasche Genootschap voor Taal-, Land en Volkenkunde jilid VI, halaman 348—390.
14
Eymeret, Joel, tt., Herman Willem Daendels Général Napoléonien Gouverneur à Java, Paris, EHESS.
-------------------- 1973, “L’Administration napoléonien en Indonésie”, dalam Revue Française d’histoire d’Outre Mer, nomor 218.
Faber, G.H. von., 1931, Oud Soerabaia, Surabaya, Gemeente Surabaya
Haak, A., 1938, Daendels, Batavia, Rijswijk
Hogendorp, Grave van. 1835. Beschouwingen der Nederlandsche Bezittingen in Oost Indie. Amsterdam : CG Sulpke
Latreille, Andre, 1974, L’Ere Napoléonien, Paris, Armand Colin, Collection U.
Mendel, I, 1900, Herman Willem Daendels voor zijne benoeming tot Gouverneur Generaal van Oost Indie, 1862-1807, ’s Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Pereboom, F., dan H.A. Stalknecht, 1989, Herman Willem Daendels 1762-1818, ’s Granvenhage, van Kampen.
Ronkel, , Ph. S. Van. 1911. “Daendels in de MalaischeLitteratuur” dalam Koloniaal Tijdschirft. Tahun VII.
Roo, J.W.G. de, 1909, Documenten omtrent Daendels, eerste deel en tweede deel, ’s
Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Sastrahadiprawira, R. Memed. Pangeran Kornel. Terjemahan A. Moeis. Djakarta: Balai Pustaka
Soekanto, 1953, Seputar Yogyakarta 1755—1825. Jakarta, Amsterdam: Mahabarata.
Stapel F.W. 1940, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, vijfde deel, Amsterdam, Uigeversmaatshappij.
Stevens, 1991. De Groote Postweg dalam Akihari, H. Et all. Herman Willem Daendels 1762—1818. utrecht: Matrijs.
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera Dipantara.
Wessem, Constan van, 1932, De ijzeren Maarschalk, Amsterdam, Uitspiegel.
Biodata Djoko MARIHANDONO
15
Djoko MARIHANDONO adalah staf pengajar di Departemen Sejarah Program
Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Meraih gelar
doktor di bidang sejarah pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (2005) dengan
mempertahankan disertasinya yang berjudul: Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan
Herman Willem Daendels di Jawa 1808—1811: Penerapan Instruksi Napoléon
Bonaparte; aktif meneliti dan menulis di bidang sejarah dengan karya terpenting:
Jatuhnya Istana Puri Intan di Banten 1808; Jatuhnya Pulau Jawa ke tangan Inggris:
Kegagalan sistem pertahanan darat Jan Willem Janssens 1811; Daendels’ efforts to
abolish corruption; Java sous la domination française; Infrastructure construction in
Java: An inheritance from Daendels era; Nilai Strategis Malaka dalam Konstelasi Politik
Asia Tenggara Awal Abad XIX: Studi Kasus tentang Strategi Maritim; Strategi
pertahanan Napoléon Bonaparte di Jawa. Selain mengajar, ia kini aktif menulis artikel
di beberapa koran ibu kota dan majalah ilmiah serta mengikuti seminar baik nasional
maupun internasional..
16