pragmatisme dalam fenomena selebriti menjadi politisi

16
PRAGMATISME DALAM FENOMENA SELEBRITI MENJADI POLITISI Oleh : Agam Imam Pratama NIM : F1D010036

Upload: agam-imam-pratama

Post on 01-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Artis akhir-akhir ini berbondong-bondong memasuki dunia politik. Kenapa?.

TRANSCRIPT

Page 1: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

PRAGMATISME DALAM

FENOMENA

SELEBRITI MENJADI

POLITISI

Oleh : Agam Imam Pratama

NIM : F1D010036

Guna Penilaian Mata Kuliah

Sosilogi Politik

Page 2: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

Dosen Pengampu : Tri Rini Widyastuti

M.Si

Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti

Menjadi Politisi

(Agam Imam Pratama / F1D010036)

Akhir-akhir ini pemilu selalu diwarnai dengan kemunculan beberapa orang yang

memiliki latar belakang di dunia entertaiment (artis). Baik itu pilkada, pilgub maupun

pemilihan legislatif. Sejumlah partai kerapkali menyisipkan beberapa nama-nama artis untuk

dicalonkan. Menjelang pilihan legislatif 2013 inipun beberapa nama artis sudah diangkat oleh

beberapa partai untuk dicalonkan.

Keterlibatan artis dalam dunia politik ini sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak

jaman orde baru. Namun pada saat itu keterlibatannya sangat terbatas karena hanya sebagai

pendukung ideologi pemerintah. Sehingga saat itu yang terjadi adalah artis sebagai penghias

dan pajangan saja, serta penghibur belaka dan hanya terbatas pada kepentingan artis untuk

mempertahankan status dan profesinya.

Keadaan di atas berubah ketika rezim Soeharto jatuh pada 1998, kesadaran politik

kalangan artis berubah dari sekedar “penghibur politik” menjadi aktor politik untuk

memainkan peran politik yang lebih jauh. Ini ditandai dengan pada tahun 2004 para artis

beramai-ramai masuk ke partai politik dan kemudian mencalonkan atau dicalonkan menjadi

anggota legislatif untuk kemudian duduk di parlemen. Perubahan ini pula yang menjadi

pemicu masuknya artis-artis ke dalam dunia politik sampai saat ini.

Fenomena artis meloncat menjadi politisi ini tahun inipun kembali marak.

Nampaknya keberhasilan beberapa artis masuk ke dalam dunia politik dan mendapatkan

posisi turut memacu banyak artis lain turut serta mengadu nasib dan keberuntungannya.

Fenomena ini nampaknya membawa sebuah sebutan baru dan era baru dalam kehidupan

perpolitikan di Indonesia, yaitu era politik selebriti. Di era ini selebriti bukan hanya sekedar

Page 3: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

penghibur di panggung kampanye atau pengumpul suara, melainkan menjadi aktor yang turut

mengejar berbagai posisi seperti anggota DPR, bupati, walikota ataupun gubernur.

Hal ini sebenarnya bukan hal yang aneh mengingat di beberapa negara besar dan

penganut demokrasi lainnya banyak pula artis yang menjadi politisi. Sebut saja Amerika

Serikat, disana ada Ronald Reagan dan Arnold Schwarnegger yang (pernah) menduduki

jabaran politik sebagai presiden dan gubernur. Yang membedakan dengan fenomena di

Indonesia adalah mereka memang sejak awal aktif dalam partai politik serta turut serta dalam

program kerja dan kegiatan partai.

Fenomena terpilihnya selebriti ke panggung politik baik di Indonesia maupun di

negara-negara lainnya yang demokratis, memperlihatkan kekuatan selebriti sudah mampu

menggalang massa dan dipergunakan untuk menjaring pemilih bagi partai politik. Selebriti

dijadikan produk politik atau kandidat untuk ditawarkan bagi pasar pemilih melalui strategi-

strategi political marketing. Kekuatan popularitas dan ketenaran dianggap dan diharapkan

mampu menjadi magnet penyedot perhatian masyarakat secara luas. Posisi tawar yang besar

bagi para artis untuk masuk dalam bursa politik menciptakan sebuah adagium “politik tidak

selalu garang” namun bisa berubah sangat “cantik” dan seperti menghadirkan sebuah opera

baru dengan pentas yang berbeda.1

Bila kita coba lihat dari sudut pandang komunikasi politik, disini terlihat bagaimana

pemerintah, partai politik dan lembaga politik di negeri ini sangat kurang dalam

pengembangan dirinya dalam rangka memberi pendidikan politik masyarakat, sehingga

banyak muncul ruang-ruang kosong dimana ruang tersebut diisi oleh popularitas yang dalam

hal ini artis atau selebriti. Namun yang perlu dipertanyakan adalah apakah model perekrutan

calon kepala daerah atau wakil rakyat oleh partai politi, diikuti pula oleh kualitas si calon

pemimpin ini. Dalm fenomena ini, partai politik bisa saja dikatakan gagal dalam melakukan

kaderisasi, sehingga kurang percaya diri dalam mencalonkan kadernya masing-masing,

sehingga harus mencalonkan orang lain yang memiliki popularitas yaitu selebritis tadi.

Kalangan artis yang belum tentu memiliki kemampuan memimpin serta belum kuatnya

ideologi partai tertatanam, bisa saja membawa dampak buruk bagi partai ke depannya.

Fenomena ini juga dapat menjadi masalah dikemudian hari apabila ternyata si artis

atau selebriti ini tidak memiliki kapasitas, kemampuan dan komitmen yang cukup untuk

mewakili rakyat tempat dia dipilih. Bila hal ini terjadi, besar kemungkinan si artis hanya akan

dijadikan alat untuk memperoleh dukungan dan memfasilitasi kepentingan partai politik

1 Choiriyati, Wahyuni. 2011. Popularitas Selebriti Sebagai Komoditas Politik. UPN Veteran : Yogyakarta. Hal : 130

Page 4: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

tempatnya bernaung. Nantinya kemungkinan besar hanya akan dijadikan simbol untuk

kepentingan sekelompok orang yang berada di belakang panggung politik.

Artis dan Panggung Politik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artis didefiniskan sebagai ahli seni atau

seniman dan seniwati seperti penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama, dan penyair.

Jika kita memakai pengertian tersebut, maka akan muncul banyak nama artis yang

berkontribusi besar dalam sejarah perjuangan politik nasional. Misalnya, W.R Supratman

pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Ki Kadjar Dewantara yang kali pertama

menerjemahkan syair lagu persatuan perjuangan buruh sedunia: Internationale dalam bahasa

Indonesia. Ada pula Chairil Anwar yang merekam kebengisan kolonialisme dan

mengobarkan semangat laskar rakyat dalam puisi, dan juga sastrawan kenamaan Pramoedya

Ananta Toer yang mencari jejak sejarah perjuangan rakyat biasa di Nusantara.

Semua artis tersebut, bukanlah bintang karbitan dalam pentas politik pada jamannya.

Mayoritas kaum artis pada era terdahulu, terlibat aktif dalam berbagai organisasi profesinya

yang bersifat atau berafiliasi dengan ideologi politik tertentu. Misalnya, Pramoedya yang

menjadi pengurus nasional Lembaga Kebudayaan Rakyat (organisasi massa yang menaungi

ratusan paguyuban seni tingkat lokal yang berorientasi pada politik progresif), atau seperti

Sitor Situmorang yang menjadi pegiat aktif Lembaga Kebudayaan Nasional (organisasi kaum

artis berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia).

Bahkan, Chairil Anwar ‘Sang Binatang Jalang yang Terbuang’ semasa hidupnya

tercatat sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia. Satu lagi nama artis yang patut disebut

adalah Wiji Thukul, penyair level internasional yang juga anggota Jaringan Kebudayaan

Rakyat sekaligus pengurus Partai Rakat Demokratik (PRD), dan menjadi hingga kini tidak

diketahui keberadaannya sejak masa penculikan Orde Baru. Bisa dikatakan, mereka-mereka

ini terlibat langsung dalam geliat perjuangan politik massa, meskipun berada di luar

kanalisasi politik institusional seperti DPR RI atau pemerintahan eksekutif.

Page 5: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

Lalu bagaimana kondisi di Indonesia?. Sebagian besar artis yang terjun di dunia

perpolitikan Indonesia hampir tidak ada yang latar belakang dalam kehidupan sehari-harinya

dekat dengan dengan masyarakat dalam usaha menyampaikan aspirasinya. Juga jarang yang

memang merupakan kader ideologis sebuah partai sedari awalnya. Hampir semuanya

terkesan politikus instant yang memang “dicomot” dalam keadaan mendesak. Atau

seandainya ada yang ditemukan dekat dengan masyarakat pun, itu baru-baru ini mendekati

pemilihan umum. Beginilah gambaran dunia perpolitikan artis yang saat ini terjadi di

Indonesia. Miris memang, tapi inilah dampak dari gagalnya kaderisasi yang dilakukan oleh

partai-partai politik, sehingga harus menjaring orang dari luar partai.

Sejauh ini, kita belum mampu mendapat artis Indonesia yang mampu dijadikan

padanan dari bintang film peraih Piala Oscar seperti George Clooney di Amerika Serikat.

Clooney yang bersama ayahnya ditangkap aparat kepolisian, setelah melakukan aksi protes di

depan Kantor Kedutaan Besar Sudan di AS agar pemerintah negara bersangkutan memberi

izin masuknya bantuan kemanusiaan. Kita juga belum menemukan padanan band ‘melek

politik’ seperti Rage Against The Machine (RATM) yang juga di Amerika Serikat. RATM,

yang kerap berbaur dengan para demonstran dalam aksi menentang sistem kapitalisme dan

imperialisme AS.2

Popularitas dan Kekuasaan

Popularitas secara garis besar dimaknai sebagai dikenal dan disukai oleh banyak

orang atau tindakan seseorang dalam aktualisasi diri untuk dapat dikenal oleh masyarakat

luas. Dalam dunia pers dikenal istilah “man makes news”, yang artinya setiap tokoh memiliki

berita, atau berita dapat diangkat dari mereka yang memiliki nilai berita (populer). Karena

kepopulerannya, apapun yang terjadi pada diri si tokoh tersebut dapat menjadi perhatian

khalayak.

Dalam kaitannya dengan tulisan ini, para artis atau selebritis tentunya sudah dikenal

masyarakat melalui sinetron, gosip, atau tayangan yang lainnya, sehingga apa yang terjadi

pada dirinya memiliki nilai berita. Masyarakat merasa dekat dengan si artis karena terpaan

media setiap harinya. Maka tak heran ketika si artis mencalonkan atau dicalonkan dalam

2 Diambil dari http://politik.kompasiana.com/2012/11/15/artis-dan-ambruknya-panggung-politik-rakyat-508449.html. Artis dan Ambruknya Panggung Politik Rakyat. Diakses pada 21 April 2013, pukul 22.17 wib.

Page 6: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

pemilihan umum, hal ini segera menjadi perhatian masyarakat. Ini dikarenakan dirinya sudah

memiliki nilai berita.

Dalam dunia perpolitikan, popularitas seringkali dijadikan tolak ukur suatu

keberhasilan, khususnya dalam pemilihan umum. Seringkali orang yang memiliki kualitas

namun tidak berada dalam lingkaran kekuasaan dan popularitas menjadi tersisih. Sebaliknya,

mereka yang berada dalam posisi menjadi pusat perhatian media massa menjadi bahan

rebutan partai-partai politik. Semakin banyak jumlah penggemar, maka semakin tinggi pula

nilai jual artis yang bersangkutan. Sebab para artis diidolakan oleh masyarakat sebagai figur

yang memahami hidup mereka, mulai dari tingkat bawah, menengah dan atas. Padahal dalam

kehidupan nyata, para artis seringkali melakoni hidup yang bertolak belakang dan berbanding

terbaik dengan apa yang diberitakan media massa.

Faktor popularitas bagi artis sebenarnya merupakan potensi yang inheren dengan

profesi keartisannya. Artis populer karena banyak disukai orang atas karya seninya maupun

gaya hidupnya. Melalui media seperti televisi sebagai lembaga industri dan komersialisasi

gaya hidup artis yang sedang berpolitik semakin populer. Popularitas artis berpolitik juga

menimbulkan image baru yang menandai keseriusan para artis untuk menampilkan

kemampuan dan intelektualitas berpolitik. Artis berpolitik kemudian menjadi topik menarik

di tengah masyarakat. Dengan menyandang popularitas dan intelektualitas artis tidak hanya

menarik perhatian masyarakat tetapi juga sejumlah partai politik kembali mengajak artis

bergabung di partainya dan menjadikannya sebagai calon legislatif. Hal ini cukup

membuktikan bahwa masuknya artis dalam partai politik merupakan konsekwensi logis dari

popularitasnya.3

Fenomena popularitas artis dalam dunia politik ini juga turut ditumbuh kembangkan

oleh karakteristik masyarakat Indonesia. Di tengah sangat rendahnya pendidikan serta

partisipasi politik, dan minimnya pengetahuan publik mengenai sosok kandidat, maka

popularitaslah yang menjadi lebih penting dibanding kapasitas dan kredibilitas. Kemampuan,

pengalaman serta program kerja yang dimiliki seringkali tidak diperhatikan oleh masyarakat.

Karena hal tersebut, tak heran apabila popularitas menjadi senjata ampuh untuk

memenangkan suara masyarakat. Namun sebagaimana sudah sedikit disinggung di atas, hal

ini justru bisa digunakan untuk menjustifikasi gagalnya kaderisasi sebuah partai. Terutama

kegagalan serta ketidakberanian mencalonkan kadernya, karena mungkin dianggap kurang

populer bila dibandingkan dengan si artis.

3 Ulfa, Ardhana. Artis Dalam Dunia Politik : Studi Faktor Keterlibatan Artis Dalam Partai Politik. Dokumen Perpustakaan Universitas Indonesia.

Page 7: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

Dalam kajian behavior sendiri, popularitas adalah kunci sukses untuk merintis jalan

menuju kekuasaan yang tidak dapat ditawar lagi. Tiga ranah, mengadopsi pendekatan

psikologis dan edukasi, harus dilalui seorang kandidat jika ingin terpilih. Pertama adalah

ranah kognisi, yaitu sebagai tahap pengenalan baik dalam bentuk minimalis (iklan, spanduk,

dan lain-lain) atau pada tingkat yang lebih tinggi (tatap muka langsung) dengan masyarakat.

Ranah inilah yang paling menentukan sebelum kalkulasi politik dilakukan. Sebab popularitas

adalah modal dasar bagi seorang kandidat untuk terpilih (elektabilitas).

Setelah itu langkah-langkah elektabilitas bisa diproses di ranah afeksi, yaitu membius

publik dengan janji-janji, serta arti pentingnya kehadiran si kandidat dalam pemilihan.

Popularitas tentu saja dapat berlangsung simultan dalam proses afeksi ini. Namun sayangnya

seringkali kepentingan dalam proses untuk menaikkan citra dan kepopuleran lebih dominan

ketimbang proses pendidikan publik terhadap apa yang akan dibawa dan dilakukan oleh si

kandidat bila terpilih. Dari proses-proses di atas tentunya pada akhirnya diharapkan akan

muncul suatu sikap tegas masyarakat yang berujung pada terpilihnya sang calon di bilik

pemilih. Hal ini tentu saja tidak akan atau sulit untuk terealisasi apabila si kandidat tidak

populer. Dalam konteks inilah kehadiran artis menjadi sangat signifikan, karena setidaknya

artis sudah mengantongi modal awal yaitu kepopuleran.

Faktor-Faktor Yang Mendorong Artis Berpolitik

Banyak sekali alasan artis untuk turut terjun ke dalam dunia politik. Mulai dari rasa

pedulinya terhadap masyarakat, keprihatinannya terhadap kondisi bangsa, dan lain-lain.

Berikut ini beberapa alasan dari sang artis hingga akhirnya memutuskan untuk terjun ke

dalam dunia politik :

1. Faktor kecakapan politik yang terdiri dari sosialisasi politik dan pengalaman politik

merupakan faktor yang diakui oleh artis untuk menutupi alasannya masuk partai politik dan

alasan partai politik yang merekrut artis karena kepopulerannya. Melalui kecakapan

politiknya, artis sangat yakin dapat melaksanakan tanggung jawab politik bila kelak

dipercaya oleh rakyat menjadi wakilnya. Sosialisasi politik yang mereka dapatkan dari

keluarga, pendidikan formal dan media komunikasi, dan pengalaman politik yang mereka

telah lalui di organisasi sosial cukup membuat mereka yakin akan kemampuan dirinya.

Dengan kecakapan politiknya pula artis merasa yakin kalau tidak terkalahkan oleh sejumlah

politisi regular yang sudah lama menggeluti dunia politik.

Page 8: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

2. Faktor berikutnya yang mendorong artis masuk partai politik adalah kemampuan

ekonominya. Melalui kepemilikan uang yang tergolong tinggi memberi kesempatan besar

bagi artis untuk masuk partai politik. Lebih dari itu dengan penghasilannya yang tergolong

tinggi artis berharap dapat menepis seluruh anggapan bahwa keterlibatannya dalam partai

politik adalah untuk mengejar uang.

3. Ketiga adalah sebagai faktor identifikasi diri. Faktor ini sangat terkait dengan

profesi keartisannya. Artis adalah penggelut dunia seni atau dunia estetika. Dari apa yang

didapatkan dalam menggeluti dunia seni para artis mengakui bahwa mereka memiliki rasa

sensitivitas yang tinggi. Dengan sensitivitas ini para artis berkeyakinan bahwa mereka

mampu merespon aspirasi yang muncul terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah

sosial yang sedang terjadi.

Alasan-alasan di atas merupakan alasan-alasan normatif yang sering diungkapankan

selebriti sebagai pembenaran atas dirinya yang terjun ke dalam dunia politik. Namun

sayangnya tak jarang artis-artis yang terjun ke dalam politik karena alasan-alasan lain yang

pragmatis. Misalnya saja dikarenakan kepopulerannya di dunia artis sudah berkurang,

sehingga di perlu mencari penghidupan yang lainnya. Atau malah mungkin dikarenakan

iseng-iseng mencoba sesuatu yang baru. Hal-hal yang seperti demikian ini tentu saja tidak

dapat dibenarkan. Hal ini sama saja halnya dengan mempermainkan nasib rakyat.

Masyarakat Indonesia dan Rasionalisasi Pilihan Dalam Memilih

Runtuhnya orde baru yang melahirkan kebebasan berekspresi tampaknya membawa

dampak positif bagi perkembangan media. Penyajian informasi di media semakin terbuka,

lengkap dan bahkan vulgar, yang katanya merupakan salah satu proses demokratisasi.

Semakin berkembang dan berperannya media, sampai-sampai seakan tidak ada satu aspek

pun yang dapat dikenal masyarakat tanpa di blowup oleh media.

Kondisi di atas banyak dimanfaatkan oleh banyak individu atau kelompok untuk

berbagai aspek, terutama politik. Kepopuleran seorang tokoh dalam media seolah segala-

galanya dalam memperoleh simpati masyarakat. Fenomena inilah yang berkembang di

kalangan politisi yang peka terhadap pemanfaatan media untuk membentuk opini publik. Ini

pula yang mendasari partai politik menarik para artis untuk terjun ke dunia politik, karena

disadari seringkali masyarakat kita lebih memiliki kepercayaan kepada tokoh-tokoh idolanya

Page 9: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

di bidang entertaintmen daripada kepada tokoh politik. Maka tak heran, bila di banyak daerah

di Indonesia, partai politik yang mengusung artis (apalagi artis kenamaan) dapat menang,

bahkan mengungguli seorang kader partai yang berprestasi sekalipun.

Hal di atas sah-sah pada dasarnya sah-sah saja. Namun yang menjadi jarang

diperhatikan adalah situasi dan kondisi tersebut harus juga diikuti oleh peningkatan kesadaran

masyarakat dalam berpolitik. Proses pembelajaran dan pendewasaan masyarakat harusnya

menjadi tanggung jawab semua lembaga yang mewadahi masyarakat dalam setiap lapisan,

tak terkecuali partai politik. Jangan sampai pada akhirnya masyarakat mengenal dan memilih

calon pemimpinnya hanya berdasar dari apa yang ditayangkan lewat media, sebab tentunya

pada artis lebih dikenal sebagai tokoh yang diperankannya dalam tayangan media. Ini tentu

saja termasuk salah satu pembodohan politik masyarakat.

Pada umumnya, perilaku masyarakat masih tradisional dan pragmatis dalam

memandang politik. Akibatnya, sikap apatis menggejala dalam pemilu. Sikap apatis pemilih

menyebabkan mereka secara instan dan irrasional memilih kandidat yang hanya sebatas

dikenalnya saja, meskipun itu hanya dari media, tanpa adanya keterjaminan kapasitas dan

kredibilitas. Pemilih menjatuhkan pilihannya berdasarkan logika-logika sederhana dan

bersifat jangka pendek.

Preferensi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya ini harusnya diimbangi

dengan proses pendewasaan pendidikan politiknya, bagaimana menentukan sikap

berdasarkan kapabilitas para calon yang akan dipilihnya. Partai politik sebagai salah satu

lembaga yang turut bertanggung jawab terhadap pendidikan politik harus memiliki sistem

perekrutan yang jelas dalam pencalonan kader partainya. Popularitas aktor politik harus

sesuai dengan kredibilitasnya di dunia politik, didukung oleh pengalamannya dalam kegiatan

politik, bukan dalam bidang lainnya. Proses pendidikan politik masyarakat ini haruslah terus

ditingkatkan untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia. Fenomena artis masuk ke

dalam dunia politik berbekalkan popularitasnya dalam dunia keartisan tanpa dibekali

pendidikan politik dapat menjadi hambatan dalam perannya sebagai tokoh apabila memangku

jabatan. Dan lagi-lagi bila hal ini terjadi, yang akan terkena imbasnya adalah masyarakat

yang dipimpinnya.

Page 10: Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti Menjadi Politisi

Kesimpulan

Fenomena maraknya artis yang terjun ke dalam dunia politik di Indonesia

belakangan ini membawa banyak dampak bagi kehidupan perpolitikan di Indonesia. Dampak

positifnya, ini menandai kehidupan berdemokrasi di Indonesia sudah semakin berkembang

yang ditandai dengan banyaknya kalangan yang turut berpartisipasi dalam pemilu. Sementara

dampak negatifnya adalah seringkali hal ini tidak diimbangi pola rekrutmen politik yang

cerdas, serta seringkali kurangnya pendidikan politik bagi masyarakat, sehingga masyarakat

memilih bukan berdasarkan analisis kritis.

Artis sebagai pelaku pun harus cerdas serta pandai dalam melihat kapasitas dirinya,

dan juga kredibilitasnya. Jangan sampai karena kepentingan pribadi atau kelompok, rakyat

yang dijadikan korban. Lebih-lebih apabila artis hanya dijadikan pendongkrak suara partai

politik agar tidak tergusur dari Senayan, hal ini seharusnya tidak perlulah terjadi apabila si

artis memang dilandasi dengan maksud baik, serta partai politik benar dalam melakukan

penjaringan calon.

Ini harus menjadi bahan evaluasi bersama, serta menjadi salah satu acuan

pembenahan oleh banyak pihak antara lain pemerintah, partai politik, penyelenggara pemilu,

serta aktivis-aktivis yang konsen dalam hal ini. Masyarakat juga harus dan perlu turut serta di

dalamnya. Apabila hal ini terus berlarut-larut, bukannya tidak mungkin kehidupan demokrasi

di Indonesia bukannya mengalami kemajuan tapi justru sebaliknya.

Daftar Pustaka

- Choiriyati, Wahyuni. 2011. Popularitas Selebriti Sebagai Komoditas Politik. UPN

Veteran : Yogyakarta.

- Ulfa, Ardhana. Artis Dalam Dunia Politik : Studi Faktor Keterlibatan Artis Dalam

Partai Politik. Dokumen Perpustakaan Universitas Indonesia.

- http://politik.kompasiana.com/2012/11/15/artis-dan-ambruknya-panggung-politik-rakyat-

508449.html. Artis dan Ambruknya Panggung Politik Rakyat. Diakses pada 21 April 2013,

pukul 22.17 wib.