pragmatisme dalam fenomena selebriti menjadi politisi
DESCRIPTION
Artis akhir-akhir ini berbondong-bondong memasuki dunia politik. Kenapa?.TRANSCRIPT
PRAGMATISME DALAM
FENOMENA
SELEBRITI MENJADI
POLITISI
Oleh : Agam Imam Pratama
NIM : F1D010036
Guna Penilaian Mata Kuliah
Sosilogi Politik
Dosen Pengampu : Tri Rini Widyastuti
M.Si
Pragmatisme Dalam Fenomena Selebriti
Menjadi Politisi
(Agam Imam Pratama / F1D010036)
Akhir-akhir ini pemilu selalu diwarnai dengan kemunculan beberapa orang yang
memiliki latar belakang di dunia entertaiment (artis). Baik itu pilkada, pilgub maupun
pemilihan legislatif. Sejumlah partai kerapkali menyisipkan beberapa nama-nama artis untuk
dicalonkan. Menjelang pilihan legislatif 2013 inipun beberapa nama artis sudah diangkat oleh
beberapa partai untuk dicalonkan.
Keterlibatan artis dalam dunia politik ini sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak
jaman orde baru. Namun pada saat itu keterlibatannya sangat terbatas karena hanya sebagai
pendukung ideologi pemerintah. Sehingga saat itu yang terjadi adalah artis sebagai penghias
dan pajangan saja, serta penghibur belaka dan hanya terbatas pada kepentingan artis untuk
mempertahankan status dan profesinya.
Keadaan di atas berubah ketika rezim Soeharto jatuh pada 1998, kesadaran politik
kalangan artis berubah dari sekedar “penghibur politik” menjadi aktor politik untuk
memainkan peran politik yang lebih jauh. Ini ditandai dengan pada tahun 2004 para artis
beramai-ramai masuk ke partai politik dan kemudian mencalonkan atau dicalonkan menjadi
anggota legislatif untuk kemudian duduk di parlemen. Perubahan ini pula yang menjadi
pemicu masuknya artis-artis ke dalam dunia politik sampai saat ini.
Fenomena artis meloncat menjadi politisi ini tahun inipun kembali marak.
Nampaknya keberhasilan beberapa artis masuk ke dalam dunia politik dan mendapatkan
posisi turut memacu banyak artis lain turut serta mengadu nasib dan keberuntungannya.
Fenomena ini nampaknya membawa sebuah sebutan baru dan era baru dalam kehidupan
perpolitikan di Indonesia, yaitu era politik selebriti. Di era ini selebriti bukan hanya sekedar
penghibur di panggung kampanye atau pengumpul suara, melainkan menjadi aktor yang turut
mengejar berbagai posisi seperti anggota DPR, bupati, walikota ataupun gubernur.
Hal ini sebenarnya bukan hal yang aneh mengingat di beberapa negara besar dan
penganut demokrasi lainnya banyak pula artis yang menjadi politisi. Sebut saja Amerika
Serikat, disana ada Ronald Reagan dan Arnold Schwarnegger yang (pernah) menduduki
jabaran politik sebagai presiden dan gubernur. Yang membedakan dengan fenomena di
Indonesia adalah mereka memang sejak awal aktif dalam partai politik serta turut serta dalam
program kerja dan kegiatan partai.
Fenomena terpilihnya selebriti ke panggung politik baik di Indonesia maupun di
negara-negara lainnya yang demokratis, memperlihatkan kekuatan selebriti sudah mampu
menggalang massa dan dipergunakan untuk menjaring pemilih bagi partai politik. Selebriti
dijadikan produk politik atau kandidat untuk ditawarkan bagi pasar pemilih melalui strategi-
strategi political marketing. Kekuatan popularitas dan ketenaran dianggap dan diharapkan
mampu menjadi magnet penyedot perhatian masyarakat secara luas. Posisi tawar yang besar
bagi para artis untuk masuk dalam bursa politik menciptakan sebuah adagium “politik tidak
selalu garang” namun bisa berubah sangat “cantik” dan seperti menghadirkan sebuah opera
baru dengan pentas yang berbeda.1
Bila kita coba lihat dari sudut pandang komunikasi politik, disini terlihat bagaimana
pemerintah, partai politik dan lembaga politik di negeri ini sangat kurang dalam
pengembangan dirinya dalam rangka memberi pendidikan politik masyarakat, sehingga
banyak muncul ruang-ruang kosong dimana ruang tersebut diisi oleh popularitas yang dalam
hal ini artis atau selebriti. Namun yang perlu dipertanyakan adalah apakah model perekrutan
calon kepala daerah atau wakil rakyat oleh partai politi, diikuti pula oleh kualitas si calon
pemimpin ini. Dalm fenomena ini, partai politik bisa saja dikatakan gagal dalam melakukan
kaderisasi, sehingga kurang percaya diri dalam mencalonkan kadernya masing-masing,
sehingga harus mencalonkan orang lain yang memiliki popularitas yaitu selebritis tadi.
Kalangan artis yang belum tentu memiliki kemampuan memimpin serta belum kuatnya
ideologi partai tertatanam, bisa saja membawa dampak buruk bagi partai ke depannya.
Fenomena ini juga dapat menjadi masalah dikemudian hari apabila ternyata si artis
atau selebriti ini tidak memiliki kapasitas, kemampuan dan komitmen yang cukup untuk
mewakili rakyat tempat dia dipilih. Bila hal ini terjadi, besar kemungkinan si artis hanya akan
dijadikan alat untuk memperoleh dukungan dan memfasilitasi kepentingan partai politik
1 Choiriyati, Wahyuni. 2011. Popularitas Selebriti Sebagai Komoditas Politik. UPN Veteran : Yogyakarta. Hal : 130
tempatnya bernaung. Nantinya kemungkinan besar hanya akan dijadikan simbol untuk
kepentingan sekelompok orang yang berada di belakang panggung politik.
Artis dan Panggung Politik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artis didefiniskan sebagai ahli seni atau
seniman dan seniwati seperti penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama, dan penyair.
Jika kita memakai pengertian tersebut, maka akan muncul banyak nama artis yang
berkontribusi besar dalam sejarah perjuangan politik nasional. Misalnya, W.R Supratman
pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Ki Kadjar Dewantara yang kali pertama
menerjemahkan syair lagu persatuan perjuangan buruh sedunia: Internationale dalam bahasa
Indonesia. Ada pula Chairil Anwar yang merekam kebengisan kolonialisme dan
mengobarkan semangat laskar rakyat dalam puisi, dan juga sastrawan kenamaan Pramoedya
Ananta Toer yang mencari jejak sejarah perjuangan rakyat biasa di Nusantara.
Semua artis tersebut, bukanlah bintang karbitan dalam pentas politik pada jamannya.
Mayoritas kaum artis pada era terdahulu, terlibat aktif dalam berbagai organisasi profesinya
yang bersifat atau berafiliasi dengan ideologi politik tertentu. Misalnya, Pramoedya yang
menjadi pengurus nasional Lembaga Kebudayaan Rakyat (organisasi massa yang menaungi
ratusan paguyuban seni tingkat lokal yang berorientasi pada politik progresif), atau seperti
Sitor Situmorang yang menjadi pegiat aktif Lembaga Kebudayaan Nasional (organisasi kaum
artis berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia).
Bahkan, Chairil Anwar ‘Sang Binatang Jalang yang Terbuang’ semasa hidupnya
tercatat sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia. Satu lagi nama artis yang patut disebut
adalah Wiji Thukul, penyair level internasional yang juga anggota Jaringan Kebudayaan
Rakyat sekaligus pengurus Partai Rakat Demokratik (PRD), dan menjadi hingga kini tidak
diketahui keberadaannya sejak masa penculikan Orde Baru. Bisa dikatakan, mereka-mereka
ini terlibat langsung dalam geliat perjuangan politik massa, meskipun berada di luar
kanalisasi politik institusional seperti DPR RI atau pemerintahan eksekutif.
Lalu bagaimana kondisi di Indonesia?. Sebagian besar artis yang terjun di dunia
perpolitikan Indonesia hampir tidak ada yang latar belakang dalam kehidupan sehari-harinya
dekat dengan dengan masyarakat dalam usaha menyampaikan aspirasinya. Juga jarang yang
memang merupakan kader ideologis sebuah partai sedari awalnya. Hampir semuanya
terkesan politikus instant yang memang “dicomot” dalam keadaan mendesak. Atau
seandainya ada yang ditemukan dekat dengan masyarakat pun, itu baru-baru ini mendekati
pemilihan umum. Beginilah gambaran dunia perpolitikan artis yang saat ini terjadi di
Indonesia. Miris memang, tapi inilah dampak dari gagalnya kaderisasi yang dilakukan oleh
partai-partai politik, sehingga harus menjaring orang dari luar partai.
Sejauh ini, kita belum mampu mendapat artis Indonesia yang mampu dijadikan
padanan dari bintang film peraih Piala Oscar seperti George Clooney di Amerika Serikat.
Clooney yang bersama ayahnya ditangkap aparat kepolisian, setelah melakukan aksi protes di
depan Kantor Kedutaan Besar Sudan di AS agar pemerintah negara bersangkutan memberi
izin masuknya bantuan kemanusiaan. Kita juga belum menemukan padanan band ‘melek
politik’ seperti Rage Against The Machine (RATM) yang juga di Amerika Serikat. RATM,
yang kerap berbaur dengan para demonstran dalam aksi menentang sistem kapitalisme dan
imperialisme AS.2
Popularitas dan Kekuasaan
Popularitas secara garis besar dimaknai sebagai dikenal dan disukai oleh banyak
orang atau tindakan seseorang dalam aktualisasi diri untuk dapat dikenal oleh masyarakat
luas. Dalam dunia pers dikenal istilah “man makes news”, yang artinya setiap tokoh memiliki
berita, atau berita dapat diangkat dari mereka yang memiliki nilai berita (populer). Karena
kepopulerannya, apapun yang terjadi pada diri si tokoh tersebut dapat menjadi perhatian
khalayak.
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, para artis atau selebritis tentunya sudah dikenal
masyarakat melalui sinetron, gosip, atau tayangan yang lainnya, sehingga apa yang terjadi
pada dirinya memiliki nilai berita. Masyarakat merasa dekat dengan si artis karena terpaan
media setiap harinya. Maka tak heran ketika si artis mencalonkan atau dicalonkan dalam
2 Diambil dari http://politik.kompasiana.com/2012/11/15/artis-dan-ambruknya-panggung-politik-rakyat-508449.html. Artis dan Ambruknya Panggung Politik Rakyat. Diakses pada 21 April 2013, pukul 22.17 wib.
pemilihan umum, hal ini segera menjadi perhatian masyarakat. Ini dikarenakan dirinya sudah
memiliki nilai berita.
Dalam dunia perpolitikan, popularitas seringkali dijadikan tolak ukur suatu
keberhasilan, khususnya dalam pemilihan umum. Seringkali orang yang memiliki kualitas
namun tidak berada dalam lingkaran kekuasaan dan popularitas menjadi tersisih. Sebaliknya,
mereka yang berada dalam posisi menjadi pusat perhatian media massa menjadi bahan
rebutan partai-partai politik. Semakin banyak jumlah penggemar, maka semakin tinggi pula
nilai jual artis yang bersangkutan. Sebab para artis diidolakan oleh masyarakat sebagai figur
yang memahami hidup mereka, mulai dari tingkat bawah, menengah dan atas. Padahal dalam
kehidupan nyata, para artis seringkali melakoni hidup yang bertolak belakang dan berbanding
terbaik dengan apa yang diberitakan media massa.
Faktor popularitas bagi artis sebenarnya merupakan potensi yang inheren dengan
profesi keartisannya. Artis populer karena banyak disukai orang atas karya seninya maupun
gaya hidupnya. Melalui media seperti televisi sebagai lembaga industri dan komersialisasi
gaya hidup artis yang sedang berpolitik semakin populer. Popularitas artis berpolitik juga
menimbulkan image baru yang menandai keseriusan para artis untuk menampilkan
kemampuan dan intelektualitas berpolitik. Artis berpolitik kemudian menjadi topik menarik
di tengah masyarakat. Dengan menyandang popularitas dan intelektualitas artis tidak hanya
menarik perhatian masyarakat tetapi juga sejumlah partai politik kembali mengajak artis
bergabung di partainya dan menjadikannya sebagai calon legislatif. Hal ini cukup
membuktikan bahwa masuknya artis dalam partai politik merupakan konsekwensi logis dari
popularitasnya.3
Fenomena popularitas artis dalam dunia politik ini juga turut ditumbuh kembangkan
oleh karakteristik masyarakat Indonesia. Di tengah sangat rendahnya pendidikan serta
partisipasi politik, dan minimnya pengetahuan publik mengenai sosok kandidat, maka
popularitaslah yang menjadi lebih penting dibanding kapasitas dan kredibilitas. Kemampuan,
pengalaman serta program kerja yang dimiliki seringkali tidak diperhatikan oleh masyarakat.
Karena hal tersebut, tak heran apabila popularitas menjadi senjata ampuh untuk
memenangkan suara masyarakat. Namun sebagaimana sudah sedikit disinggung di atas, hal
ini justru bisa digunakan untuk menjustifikasi gagalnya kaderisasi sebuah partai. Terutama
kegagalan serta ketidakberanian mencalonkan kadernya, karena mungkin dianggap kurang
populer bila dibandingkan dengan si artis.
3 Ulfa, Ardhana. Artis Dalam Dunia Politik : Studi Faktor Keterlibatan Artis Dalam Partai Politik. Dokumen Perpustakaan Universitas Indonesia.
Dalam kajian behavior sendiri, popularitas adalah kunci sukses untuk merintis jalan
menuju kekuasaan yang tidak dapat ditawar lagi. Tiga ranah, mengadopsi pendekatan
psikologis dan edukasi, harus dilalui seorang kandidat jika ingin terpilih. Pertama adalah
ranah kognisi, yaitu sebagai tahap pengenalan baik dalam bentuk minimalis (iklan, spanduk,
dan lain-lain) atau pada tingkat yang lebih tinggi (tatap muka langsung) dengan masyarakat.
Ranah inilah yang paling menentukan sebelum kalkulasi politik dilakukan. Sebab popularitas
adalah modal dasar bagi seorang kandidat untuk terpilih (elektabilitas).
Setelah itu langkah-langkah elektabilitas bisa diproses di ranah afeksi, yaitu membius
publik dengan janji-janji, serta arti pentingnya kehadiran si kandidat dalam pemilihan.
Popularitas tentu saja dapat berlangsung simultan dalam proses afeksi ini. Namun sayangnya
seringkali kepentingan dalam proses untuk menaikkan citra dan kepopuleran lebih dominan
ketimbang proses pendidikan publik terhadap apa yang akan dibawa dan dilakukan oleh si
kandidat bila terpilih. Dari proses-proses di atas tentunya pada akhirnya diharapkan akan
muncul suatu sikap tegas masyarakat yang berujung pada terpilihnya sang calon di bilik
pemilih. Hal ini tentu saja tidak akan atau sulit untuk terealisasi apabila si kandidat tidak
populer. Dalam konteks inilah kehadiran artis menjadi sangat signifikan, karena setidaknya
artis sudah mengantongi modal awal yaitu kepopuleran.
Faktor-Faktor Yang Mendorong Artis Berpolitik
Banyak sekali alasan artis untuk turut terjun ke dalam dunia politik. Mulai dari rasa
pedulinya terhadap masyarakat, keprihatinannya terhadap kondisi bangsa, dan lain-lain.
Berikut ini beberapa alasan dari sang artis hingga akhirnya memutuskan untuk terjun ke
dalam dunia politik :
1. Faktor kecakapan politik yang terdiri dari sosialisasi politik dan pengalaman politik
merupakan faktor yang diakui oleh artis untuk menutupi alasannya masuk partai politik dan
alasan partai politik yang merekrut artis karena kepopulerannya. Melalui kecakapan
politiknya, artis sangat yakin dapat melaksanakan tanggung jawab politik bila kelak
dipercaya oleh rakyat menjadi wakilnya. Sosialisasi politik yang mereka dapatkan dari
keluarga, pendidikan formal dan media komunikasi, dan pengalaman politik yang mereka
telah lalui di organisasi sosial cukup membuat mereka yakin akan kemampuan dirinya.
Dengan kecakapan politiknya pula artis merasa yakin kalau tidak terkalahkan oleh sejumlah
politisi regular yang sudah lama menggeluti dunia politik.
2. Faktor berikutnya yang mendorong artis masuk partai politik adalah kemampuan
ekonominya. Melalui kepemilikan uang yang tergolong tinggi memberi kesempatan besar
bagi artis untuk masuk partai politik. Lebih dari itu dengan penghasilannya yang tergolong
tinggi artis berharap dapat menepis seluruh anggapan bahwa keterlibatannya dalam partai
politik adalah untuk mengejar uang.
3. Ketiga adalah sebagai faktor identifikasi diri. Faktor ini sangat terkait dengan
profesi keartisannya. Artis adalah penggelut dunia seni atau dunia estetika. Dari apa yang
didapatkan dalam menggeluti dunia seni para artis mengakui bahwa mereka memiliki rasa
sensitivitas yang tinggi. Dengan sensitivitas ini para artis berkeyakinan bahwa mereka
mampu merespon aspirasi yang muncul terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah
sosial yang sedang terjadi.
Alasan-alasan di atas merupakan alasan-alasan normatif yang sering diungkapankan
selebriti sebagai pembenaran atas dirinya yang terjun ke dalam dunia politik. Namun
sayangnya tak jarang artis-artis yang terjun ke dalam politik karena alasan-alasan lain yang
pragmatis. Misalnya saja dikarenakan kepopulerannya di dunia artis sudah berkurang,
sehingga di perlu mencari penghidupan yang lainnya. Atau malah mungkin dikarenakan
iseng-iseng mencoba sesuatu yang baru. Hal-hal yang seperti demikian ini tentu saja tidak
dapat dibenarkan. Hal ini sama saja halnya dengan mempermainkan nasib rakyat.
Masyarakat Indonesia dan Rasionalisasi Pilihan Dalam Memilih
Runtuhnya orde baru yang melahirkan kebebasan berekspresi tampaknya membawa
dampak positif bagi perkembangan media. Penyajian informasi di media semakin terbuka,
lengkap dan bahkan vulgar, yang katanya merupakan salah satu proses demokratisasi.
Semakin berkembang dan berperannya media, sampai-sampai seakan tidak ada satu aspek
pun yang dapat dikenal masyarakat tanpa di blowup oleh media.
Kondisi di atas banyak dimanfaatkan oleh banyak individu atau kelompok untuk
berbagai aspek, terutama politik. Kepopuleran seorang tokoh dalam media seolah segala-
galanya dalam memperoleh simpati masyarakat. Fenomena inilah yang berkembang di
kalangan politisi yang peka terhadap pemanfaatan media untuk membentuk opini publik. Ini
pula yang mendasari partai politik menarik para artis untuk terjun ke dunia politik, karena
disadari seringkali masyarakat kita lebih memiliki kepercayaan kepada tokoh-tokoh idolanya
di bidang entertaintmen daripada kepada tokoh politik. Maka tak heran, bila di banyak daerah
di Indonesia, partai politik yang mengusung artis (apalagi artis kenamaan) dapat menang,
bahkan mengungguli seorang kader partai yang berprestasi sekalipun.
Hal di atas sah-sah pada dasarnya sah-sah saja. Namun yang menjadi jarang
diperhatikan adalah situasi dan kondisi tersebut harus juga diikuti oleh peningkatan kesadaran
masyarakat dalam berpolitik. Proses pembelajaran dan pendewasaan masyarakat harusnya
menjadi tanggung jawab semua lembaga yang mewadahi masyarakat dalam setiap lapisan,
tak terkecuali partai politik. Jangan sampai pada akhirnya masyarakat mengenal dan memilih
calon pemimpinnya hanya berdasar dari apa yang ditayangkan lewat media, sebab tentunya
pada artis lebih dikenal sebagai tokoh yang diperankannya dalam tayangan media. Ini tentu
saja termasuk salah satu pembodohan politik masyarakat.
Pada umumnya, perilaku masyarakat masih tradisional dan pragmatis dalam
memandang politik. Akibatnya, sikap apatis menggejala dalam pemilu. Sikap apatis pemilih
menyebabkan mereka secara instan dan irrasional memilih kandidat yang hanya sebatas
dikenalnya saja, meskipun itu hanya dari media, tanpa adanya keterjaminan kapasitas dan
kredibilitas. Pemilih menjatuhkan pilihannya berdasarkan logika-logika sederhana dan
bersifat jangka pendek.
Preferensi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya ini harusnya diimbangi
dengan proses pendewasaan pendidikan politiknya, bagaimana menentukan sikap
berdasarkan kapabilitas para calon yang akan dipilihnya. Partai politik sebagai salah satu
lembaga yang turut bertanggung jawab terhadap pendidikan politik harus memiliki sistem
perekrutan yang jelas dalam pencalonan kader partainya. Popularitas aktor politik harus
sesuai dengan kredibilitasnya di dunia politik, didukung oleh pengalamannya dalam kegiatan
politik, bukan dalam bidang lainnya. Proses pendidikan politik masyarakat ini haruslah terus
ditingkatkan untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia. Fenomena artis masuk ke
dalam dunia politik berbekalkan popularitasnya dalam dunia keartisan tanpa dibekali
pendidikan politik dapat menjadi hambatan dalam perannya sebagai tokoh apabila memangku
jabatan. Dan lagi-lagi bila hal ini terjadi, yang akan terkena imbasnya adalah masyarakat
yang dipimpinnya.
Kesimpulan
Fenomena maraknya artis yang terjun ke dalam dunia politik di Indonesia
belakangan ini membawa banyak dampak bagi kehidupan perpolitikan di Indonesia. Dampak
positifnya, ini menandai kehidupan berdemokrasi di Indonesia sudah semakin berkembang
yang ditandai dengan banyaknya kalangan yang turut berpartisipasi dalam pemilu. Sementara
dampak negatifnya adalah seringkali hal ini tidak diimbangi pola rekrutmen politik yang
cerdas, serta seringkali kurangnya pendidikan politik bagi masyarakat, sehingga masyarakat
memilih bukan berdasarkan analisis kritis.
Artis sebagai pelaku pun harus cerdas serta pandai dalam melihat kapasitas dirinya,
dan juga kredibilitasnya. Jangan sampai karena kepentingan pribadi atau kelompok, rakyat
yang dijadikan korban. Lebih-lebih apabila artis hanya dijadikan pendongkrak suara partai
politik agar tidak tergusur dari Senayan, hal ini seharusnya tidak perlulah terjadi apabila si
artis memang dilandasi dengan maksud baik, serta partai politik benar dalam melakukan
penjaringan calon.
Ini harus menjadi bahan evaluasi bersama, serta menjadi salah satu acuan
pembenahan oleh banyak pihak antara lain pemerintah, partai politik, penyelenggara pemilu,
serta aktivis-aktivis yang konsen dalam hal ini. Masyarakat juga harus dan perlu turut serta di
dalamnya. Apabila hal ini terus berlarut-larut, bukannya tidak mungkin kehidupan demokrasi
di Indonesia bukannya mengalami kemajuan tapi justru sebaliknya.
Daftar Pustaka
- Choiriyati, Wahyuni. 2011. Popularitas Selebriti Sebagai Komoditas Politik. UPN
Veteran : Yogyakarta.
- Ulfa, Ardhana. Artis Dalam Dunia Politik : Studi Faktor Keterlibatan Artis Dalam
Partai Politik. Dokumen Perpustakaan Universitas Indonesia.
- http://politik.kompasiana.com/2012/11/15/artis-dan-ambruknya-panggung-politik-rakyat-
508449.html. Artis dan Ambruknya Panggung Politik Rakyat. Diakses pada 21 April 2013,
pukul 22.17 wib.