pragmatika dan konteks wacana

21
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan (Yule, 1996:1). Maka, analisis itu tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang tidak terkait pada tujuan atau fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk tersebut dalam urusan-urusan manusia. Tarigan (1987:24) menyatakan bahwa analisis wacana merupakan telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan secara berkesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan supra kalimat, maka peristiwa komonikasi sulit terjadi dengan baik. Dalam upaya menguraikan atau menganalsis suatau unit kebahasaan, analisis wacana tidak terlepas dari penggunaan piranti linguistil lainnya, seperti yang dimiliki semantik, sintaksis, fonologi, pragmatik, dan sebagainya. Dalam menganalisis wacana sebaiknya menggunakan pendektan pragmatik untuk memahami pemakaian bahasa. Unsur bahasa yang paling jelas memerlukan informasi kontekstual adalah bentuk-bentuk diektis, seperti di sisni, sekarang, saya, kamu, ini dan itu. Untuk menafsirkan bentuk-bentuk deiksis, analisis wacana bahasa Indonesia perlu mengetahui siapa penutur dan pendengarnya, waktu dan ujaran itu. Pada bagian ini akan Khairunnisa dan Mastiana Page 1

Upload: khairunnisa-nisa

Post on 29-Sep-2015

231 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pragmatik

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan (Yule, 1996:1). Maka, analisis itu tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang tidak terkait pada tujuan atau fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk tersebut dalam urusan-urusan manusia. Tarigan (1987:24) menyatakan bahwa analisis wacana merupakan telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan secara berkesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan supra kalimat, maka peristiwa komonikasi sulit terjadi dengan baik. Dalam upaya menguraikan atau menganalsis suatau unit kebahasaan, analisis wacana tidak terlepas dari penggunaan piranti linguistil lainnya, seperti yang dimiliki semantik, sintaksis, fonologi, pragmatik, dan sebagainya.

Dalam menganalisis wacana sebaiknya menggunakan pendektan pragmatik untuk memahami pemakaian bahasa. Unsur bahasa yang paling jelas memerlukan informasi kontekstual adalah bentuk-bentuk diektis, seperti di sisni, sekarang, saya, kamu, ini dan itu. Untuk menafsirkan bentuk-bentuk deiksis, analisis wacana bahasa Indonesia perlu mengetahui siapa penutur dan pendengarnya, waktu dan ujaran itu. Pada bagian ini akan membahas beberapa konsep yang berkaitan dengan konteks wacana yang diperlukan dalam analisis wacana seperti referensi (reference), praanggapan (presupposition), implikatur (implicature), dan inferens/penarikan kesimpulan (inference).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini antara lain.

1. Apasajakah konsep yang berkaitan dengan konteks wacana dalam analisis wacana?

2. Apakah ciri-ciri konteks?

3. Apakah yang dimaksud dengan ko-teks?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pada makalah ini antara lain.

1. Mengetahui konsep apa sajakah yang berkaitan dengan konteks wacana dalam analisis wacana.2. Mengetahui apa sajakah ciri-ciri konteks

3. Mengetahui apa yang dimaksud dengn ko-teks.

II. PEMBAHASAN

2.1 Pragmatika dan Konteks Wacana

Penganalisisan wacana semestinya menggunakan pendekatan pragmatis terhadap penyelidikan pemakaian bahasa (Yule, 1996:27). Pendekatan seperti itu mempertimbang-kan sejumlah persoalan yang biasanya tidak banyak diperhatikan oleh ahli linguistik formal dalam deskripsi sintaksis kalimat dan semantik. Penganalisisan wacana harus mempertimbangkan konteks tempat terdapatnya bagian sebuah wacana. Oleh karena penganalisis menyelidiki pemakaian bahasa dalam konteks oleh penutur/penulis, ia lebih memperhatikan hubungan antara penutur dan ujarannya., pada kesempatan pemakaiannya yang tertentu, dan bukan relasi potensial antara satu kalimat dengan kalimat yang lain, tanpa memandang pemakaiannya. Artinya dalam menggunakan istilah-istilah seperti misalnya seperti referensi (reference), praanggapan (presupposition), implikatur (implicature), dan inferens/penarikan kesimpulan (inference), penganalisis wacana mendeskripsikan apa yang dilakukan para penutur dan pendengar, dan bukan hubungan yang ada antara satu kalimat atau proposisi dan yang lain.

2.1.1 Referensi (reference)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 1) n. referensi merupakan sumber acruan (rujukan atau petunjuk); 2) ling. referensi merupakan hubungan antara referen dan lambang (bentuk bahasa) yang dipakai untuk mewakilinya. Ada dukungan bagi konsep pragmatik tentang referensi pada pernyataan Strawson (dalam Yule, 1996:28) bahwa mengacu (referring) bukanlah sesuatu yang dilakukan ungkapan; itu adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan memakai ungkapan dan dalam pandangan Searle bahwa mengenai arti yang diacu penutur, ungkapan tidak mengacu kepada sesuatu, seperti halnya membuat janji atau memeri perintah.

Jadi, dalam analisis wacana, referensi diperlakukan sebagai perbuatan penutur/penulis. Pada penggalan kata berikut, misalnya, bahwa pembicara A memakai ungkapan my uncle (paman saya) dan he (dia) untuk mengacu kepada satu individu dan my mothers sister (saudara perempuan ibu saya) dan she (dia) untuk mengacu kepada individu lain. Tapi bukan berarti bahwa he mengacu kepada my uncle. A: my uncles coming home from Canada on SundayB: how long has he been away for or has he just been away?A: Oh no they lived in Canada eh he was married to my mothers sister.

Cruse (2004: 306) membagi referensi menjadi tiga, yaitu: (1) referensi takrif (definite); (2) referensi tak takrif (indefinite); (3) referensi generik

a. Referensi Takrif

Menurut Cruse (2004: 308), identifikasi dari referen yang diacu dalam ungkapan yang menggunakan referensi takrif bersifat penting, karena dengan begitu pendengar dapat menyimpulkan referen yang diacu oleh pembicara. Contohnya:

a. The man gave it to her

b. A man gave it to her

Kedua kalimat diatas menunjukkan seorang laki-laki yang melakukan perbuatan memberi. Perbedaan dari kedua kalimat tersebut adalah pada artikel the dan a. Pada kalimat (2) a, artikel the adalah takrif karena mengacu pada referen yang dapat diidentifikasi (seorang laki-laki tertentu).

b. Referensi Tak Takrif

Esensi dari referensi tak takrif adalah identitas dari referen yang diacu tidak memiliki relevansi dan keterkaitan dengan pesan yang disampaikan (Cruse 2004: 308). Contohnya dalam kalimat ada orang menanyakan alamat. Referen orang adalah tak takrif karena tidak diketahui siapa dan berapa jumlahnya.

c. Referensi Generik

Menurut Cruse (2004: 311), referensi generik adalah acuan pada seluruh referen. Contoh referensi generik ada dalam kalimat berikut ini: Sapi berkaki empat; Sapi pemakan rumput. Maka dapat dikatakan bahwa apa saja yang disebut sapi berkaki empat dan apa saja yang disebut sapi pasti pemakan rumput.2.1.2 Praanggapan (presupposition)

Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan. Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan diantaranya adalah: Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna.

Stalnaker (dalam Yule, 1996 : 29) menyatakan bahwa praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimatPraanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Seperti pada percakapan sebelumnya, dikatakan bahwa; my uncles coming home from Canada on Sunday. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa praanggapan yang muncul adalah penutur mempunyai seorang paman. Lagi pula, karena penutur memilih mengatakan my uncle dan bukan I have an uncle and he..., harus kita anggap bahwa ia tidak perlu menegaskan informasinya.2.1.3 Implikatur (implicature)

Implikatur merupakan salah satu bagian dalam pragmatik. Menurut Grace (dalam Yule, 1996:31) istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dengan apa yang sebenarnya yang dikatakan oleh penutur. Menurut Nababan (1987:39) terdapat 4 ciri implikatur:

a. Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu, umpamanya dengan menambahkan klausa yang mengatakan bahwa seseorang tidak mau memakai implikatur percakapan itu, atau memberikan suatu konteks untuk membatalkan implikatur itu.b. Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan masih mempertahankan implikatur yang bersangkutan.c. Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu arti konvensional dari kalimat yang dipakai. Oleh karena itu, isi implikatur percakapan tidak termasuk dalam arti kalimat yang dipakai.d. Kebenaran isi dari suatu implikatur percakapan bukan tergantung pada kebenaran yang dikatakan. Oleh karena itu, implikatur tidak didasarkan atas apa yang dikatakan, tetapi atas tindakan yang mengatakan hal itu.

Sesuatu yang memungkinkan berlangsungnya percakapan dikuasai oleh satu hukum atau kaidah pragmatik umum yang menurut Grice disebut kaidah penggunaan bahasa. Kaidah tersebut mencakup tentang peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Kaidah ini terdiri dari 2 pokok, yaitu: 1. Prinsip koperatif yang menyatakan katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu, 2. Empat maksim percakapan ya ng terdiri dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai.

Contoh:

Seseorang harus mengatakan bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia, bukan kota-kota yang lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Hari ini mendung. Diucapkan pada saat memang cuaca sedang mendung.Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.

Contoh:

Tetangga saya hamil Tetangga saya yang perempuan hamil

Ujaran pada contoh pertama di atas lebih ringkas, juga tidak menyimpan nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu mengetahui bahwa wanitalah yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam contoh kedua sifatnya berlebihan. Kata hamil pada contoh pertama sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam contoh kedua justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas. Contoh lain misalnya,

Anak laki-laki tetangga saya kemarin disunat. (salah)

Anak tetangga saya kemarin disunat. (benar)

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevansi dengan masalah pembicara. Seperti misal,

Ibu: Ani, Ada telepon untuk kamu.

Ani: Saya lagi di belakang, Bu!

Jawaban Ani pada contoh di atas sepintas tidak terhubung, tetapi apabila diamati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban Ani mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu. Fenomena seperti ini, mengisyaratkan bahwa fenomena relevansi tindak ucap peserta kontribusinya tisak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa yang diimplikasikan ujaran itu.

Contoh lain misalnya,

Nana: Pukul berapa sekarang, Bu? Ibu: Tukang koran baru lewat.

Wacana diatas, secara eksplisit tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Tetapi dengan memperhatikan kebiasaan tukang koran mengantarkan surat kabar atau majalah kepada mereka, dapat diketahui inferensi pukul berapa ketika itu. Penutur dan lawan tutur memiliki asumsi yang sama sehingga hanya dengan mengatakan tukang Koran baru lewat,dia menganggap sudah menjawab pertanyaan yang diajukan.

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak taksa (satu kata mempunyai dua makna), dan tidak berlebihan serta runtut. Salah satu pegangan atau kaidah percakapan adalah bahwa pendengarnya menganggap bahwa pembicaranya mengikuti dasardasar atau maksim di atas.

Contoh:

Nasinya sudah masak. Implikasinya adalah silahkan makan.

Saya punya sepeda. Implikasinya adalah sepeda saya boleh anda pakai.2.1.4 InferensInferensi terjadi bila proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat pada wacana yang yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara atau penulis (Djajasudarma, 2012:37). Perhatikan contoh berikut:

Bu, besok sahabatku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tak punya baju baru, kadonya lagi, belum ada.

Pernyataan seorang anak pada wacana di atas jelas tidak menyangkut masalah permintaannya dibelikan baju baru untuk pesta ulang tahun sahabatnya atau untuk minta dibelikan kado untuk kawannya yang berulang tahun, tetapi sebagai pesapa (kawan bicara), seorang ibu harus mengambil inferensi, apa yang dimaksud anak itu (Djajasudarma, 2012:37). Penafsiran inferensi dapat memakan waktu agak lama bila dibandingkan dengan penafsiran secara langsung. Jadi, dalam hal ini ada sesuatu yang tidak disampaikan kepada pendengar atau pembaca, tetapi keduanya harus memahami apa yang tidak disampaikan secara langsung tersebut. Penafsiran makna dapat pula ditopang oleh tuturan yang berurutan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh sifat lineritas bahasa (Djajasudarma, 2012:37). Sanford & Garrod juga memberikan contoh mengenai interferens (dalam Brown & Yule, 1996:34)

John was on his way to school

Pandangan tentang apa yang kita simpulkan dari kalimat tersebut hanya akan memberikan pengertian yang terbatas mengenai bagaimana pembaca menafsirkan apa yang dibacanya. Kebanyakan pembaca mengatakan bahwa mereka menyimpulkan John adalah anak sekolahan, tetapi jika kalimat tersebut diikuti lagi oleh kalimat; last week he had been unable to control the class maka inferens yang akan dibuat adalah John merupakan seorang guru. 2.2 Konteks Situasi

Semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Ciri-ciri tekstual memungkinkan wacana menjadi padu bukan hanya antara unsur-unsurnya dalam wacana itu sendiri tetapi juga dengan konteks situasinya. Halliday & Hasan (1994) mengatakan yang dimaksud dengan konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Atau dengan kata lain, kontek situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Dalam pandangan Halliday (1994: 16), konteks situasi terdiri dari (1) medan wacana, (2) pelibat wacana, dan (3) modus/sarana wacana. Medan wacana merujuk pada aktivitas sosial yang sedang terjadi atau apa yang sesungguhnya disibukkan oleh para pelibat. Pelibat wacana merujuk pada orang-orang yang mengambil bagian, sifat para pelibat, kedudukan dan peran mereka, jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat. Sarana wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan.2.2.1 Ciri-ciri Konteks

Para ahli bahasa dahulunya menganalisis kalimat tanpa memperhatikan konteksnya. Makna sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar bila kita mengetahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, bagaimana mengucapkannya, dan lain-lain. Oleh sebab itulah, perlu menganalisis kalimat-kalimat terlebih dahulu dengan menganalisis konteksnya.

Kleden (dalam Sudaryat, 2009:141) mengatakan konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang dihadapi seseorang atau kelompok orang. Halliday (1994:6) mengemukakan bahwa konteks adalah teks yang menyertai teks. Artinya konteks itu hadir menyertai teks. Kemudian, ( Kridalaksana, 2011:134) mengartikan konteks adalah (1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran tertentu, (2) pengetahuan yang sama-sama memiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara. Menurut Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog.Salah satu unsur konteks yang cukup penting ialah waktu dan tempat. Contohnya: Waktu pukul enam sore, desa Tirtomoyo sudah tampak sunyi seperti kuburan. Terpaksa aku menutup pintu rumah. Masuk dan tiduran. Aku terbangun jam tiga pagi. Tidak dikira ternyata di jalan sudah banyak orang lalu lalang. Contoh tersebut memberi informasi tentang keadaan suatu desa berdasarkan konteks tempat dan waktu. Pemahaman tentang keadaan dan keramaian desa umumnya berbeda dengan kondisi diperkotaan. Informasi tersebut bahkan bisa bermakna sebaliknya. Jam 18.00 petang di desa, terutama di daerah pelosok, barangkali sudah dianggap malam (indikasinya sudah gelap, karena belum ada penerangan listrik, dan sebagainya.) sementara di kota, konteks waktu seperti itu masih dianggap sore.Hymes dalam Brown & Yule (1996: 38-39) memberi penjelasan lebih rinci mengenai ciri-ciri konteks yang relevan dalam konteks situasi, yaitu:

a. Pembicara/Penulis (Addressor)

Pembiacara atau penulis adalah seseorang yang memproduksi/menghasilkan suatu ucapakan. Mengetahui si pembicara pada suatu situasi akan memudahkan untuk menginterpretasi pembicaraanya. Umpanya saja seseorang mengatakan operasi harus dilakukan. Kalau kita ketahui si pembicara adalah dokter, tentu kita akan paham yang dimaksud dengan operasi adalah operasi terhadap manusia atau hewan. Tetapi jika yang berbicara adalah ahli ekonomi, kita kan paham bahwa yang dimaksud dengan operasi adalah mendistrubusikan beras ke pasar dari pemerintah untuk menyetabilkan harga. Beda pula ketika mengatakan adalah pencuri, perampok, dan polisi. Jadi, jelas sekali bagaimana pentingnya mengetahui si pembicara demi menafsikan pembicaraannya. Kalau tidak diketahui siapa pembicaranya, maka akan sulitlah untuk memahami kata-kata yang diucapkan atau dituliskan.

b. Pendengar/pembaca (Addresse)

Pendengar/pembaca adalah seseorang yang menjadi mitra tutur/baca dalam suatu berkomunikasi atau dapat dikatakan seseorang yang menjadi penerima (recepient) ujaran.. Kepentingan mengetahui si pembicara sama pentingnya dengan mengetahui si pendengar, terhadap siapa ujaran tersebut ditujukan akan memerjelas ujaran itu. Berbeda penerima ujaran, akan berbeda pulalah tafsiran terhadap apa yang didengarnya.

c. Topik pembicaraan (Topic)

Dengan mengetahui topik pembicaraan, akan mudah bagi seseorang pendengar/pembaca untuk memahami pembicaraan atau tulisan.

d. Saluran (Channel)

Selain partisipan dan topic pembicaraan, saluran juga snagat penting di dalam menginterpretasikan makna ujaran. Saluran yang dimaksud dapat secara lisan atau tulisan.e. Kode (Code)

Kode yang dimaksud adalah bahasa, dialek atau gaya bahasa seperti apa yang digunakan di dalam berkomunikasi. Misalnya, jika saluran yang digunakan bahasa lisan, maka kode yang dapat dipilih adalah dialek bahasa. Seseorang yang mengungkaplamn isi hatinya dengan bahasa daerah kepada temannya akan meresa lebih bebas, akrab, dan lain sebagainya dibandingkan dengan mengguankan Bahasa Indonesia.

f. Bentuk Pesan (Message Form)

Pesan yang disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan ini bersifat penting. Menyampaikan tentang ilmu pasti misalnya, dengan rumus-rumus tertentu, pastilah berbeda dengan menyampaikan ilmu sejarah atau ilmu bahasa. Bentuk penyampaian pesan juga dapat beragam. Seperti lewat khotbah, drama, puisi, surat-surat cinta, dan lainnya.

g. Peristiwa (Event)

Peristiwa tutur tentu sangat beragam. Hal ini ditentukan oleh tujuan pembicaraan itu sendiri. Peristiwa tutur seperti wawancara atau dipengadilan akan berbeda dengan peristiwa tutur di pasar.

h. Tempat dan waktu (Setting)

Keberadaan tempat, waktu, dan hubungan antara keduanya, dalam suatu peristiwa komunikasi dapat memerikan makna tertentu. Di mana suatu tuturan itu berlangsung; di pasar, di kantot, dan lainna. Demikian juga, kapan suatu tuturan itu berlangsung; pagi hari, siang hari, suasana santai, resmi, tegang, dan lainnya.2.2.2 Ko-TeksDilihat berdasarkan makna dalam Kamus Linguistik (2011:137), koteks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mendahului dan/atau mengikuti sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks yang didampingi itu bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks yang mendampingi (mengiringi). Sebagai contoh pada kalimat Selamat Datang dan Selamat Jalan yang terdapat di pintu masuk suatu kota, daerah, atau perkampungan. Kedua kalimat di atas memiliki keterkaitan. Kalimat Selamat Jalan merupakan ungkapan dari adanya kalimat sebelumnya, yaitu Selamat Datang. Kalimat Selamat Datang dapat dimaknai secara utuh ketika adanya kalimat sesudahnya, yaitu Selamat Jalan, begitu juga sebaliknya.

Keberadaan koteks dalam suatu wacana menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Ko-teks dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana. Dalam wacana yang cukup panjang sering sebuah kalimat harus dicarikan informasi yang jelas pada bagian kata yang lainnya. Perhatikan contoh berikut ini.

Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Tidak hanya itu, dia juga seorang pengusaha dan mantan seorang dosen di salah satu PT ternama. Selain itu, beliau juga dikenal sangat baik oleh masyarakatnya. Kata dia, beliau dan nya yang terdapat pada kalimat kedua dan ketiga di atas mengacu kepada Markusen pada kaliamt pertama. Tafsiran itu didasarkan pada kalimat yang menyatakan bahwa Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Jadi, Markusen pada kalimat itu menjadi koteks bagi dia, beliau dan -nya.III. Penutup

3.1 Simpulan

Penganalisisan wacana harus mempertimbangkan konteks tempat terdapatnya bagian sebuah wacana. Oleh karena penganalisis menyelidiki pemakaian bahasa dalam konteks oleh penutur/penulis, ia lebih memperhatikan hubungan antara penutur dan ujarannya., pada kesempatan pemakaiannya yang tertentu, dan bukan relasi potensial antara satu kalimat dengan kalimat yang lain, tanpa memandang pemakaiannya. Artinya dalam menggunakan istilah-istilah seperti misalnya seperti referensi (reference), praanggapan (presupposition), implikatur (implicature), dan inferens/penarikan kesimpulan (inference), penganalisis wacana mendeskripsikan apa yang dilakukan para penutur dan pendengar, dan bukan hubungan yang ada antara satu kalimat atau proposisi dan yang lain.

Dilihat dari hubungannya konteks dan ko-teks, merupakan aspek dari suatu proses yang sama. Ketika ada teks yang menyertai suatu teks lain, maka teks lain itu menjadi koteks karena menyertai suatu teks. Oleh karena itulah para linguis memandang antara ko-teks dan konteks memiliki perbedaan. Jika koteks merupakan lingkungan kebahasaan, maka konteks adalah lingkungan di luar bahasa seperti situasi dan tempat teks itu terbentuk. Dengan demikian, suatu wacana yang dikatakan utuh apabila mengandung koteks dan konteks yang jelas agar makna dan maksud wacana tersebut dapat dipahami secara jelas oleh pendengar atau pembacanya.Daftar Pustaka

Cruse, Alan. 2004. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics (ed. ke-2). New York: Oxford University PressDjajasudarma, F. 2012. Wacana dan Pragmatik. Bandung: PT. Refika Aditama.

Halliday, M.A.K; Ruqaiya Hasan. (1994). Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. diterjemahan oleh Asruddin Barori Tou. Yogyakarta: UGM Press.Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga KependidikanSudaryat, Yayat. (2009). Makna dalam Wacana Prinsip-prinsip Semantik dan Pragmatik. Bandung: CV Yrama Widya.Tarigan, H. G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa Bandung.

Yule, George & Brown Gillian. 1996. Analisis Wacana. Diterjemahkan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

http://kbbi.web.id/referensi. diakses pada tanggal 11 april 2015Khairunnisa dan MastianaPage 1