pph badan

41
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban warga negara berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai keperluan negara dalam Pembangunan Nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat nasional maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negeri juga meningkat.Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib pajak badan ini merupakan penyumbang bagi penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan. Rumusan Masalah 1. Konsep Dasar PPh Badan 2. Dasar Hukum PPh Badan 3. Variabel – Variabel Dalam Perhitungan PPh Badan 4. Tata Cara Perhitungan, Penyetoran Dan Pelaporan

Upload: yabes-hulu

Post on 31-Jul-2015

108 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PPh BADAN

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban warga negara berupa

pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai

keperluan negara dalam Pembangunan Nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang

pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan

negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat nasional

maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negeri juga

meningkat.Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib pajak

badan ini  merupakan penyumbang bagi penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak

penghasilan badan.

Rumusan Masalah

1. Konsep Dasar PPh Badan

2. Dasar Hukum PPh Badan

3. Variabel – Variabel Dalam Perhitungan PPh Badan

4. Tata Cara Perhitungan, Penyetoran Dan Pelaporan

Page 2: PPh BADAN

BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Konsep Dasar PPh Badan

A.     Pengertian Badan

Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik

yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,

perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk

apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi

massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya,

termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 

B.    Wajib Pajak Badan

Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi

pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban

perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki

kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

C.    Pajak Penghasilan Badan

Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan

terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang

diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam UU KUP.

Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :

1. Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan

di Indonesia.

2. Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat

kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT

di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Page 3: PPh BADAN

Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha

melalui BUT di Indonesia.

Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari

Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah

kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2.2 Dasar Hukum PPh Badan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh tahun 2009) mulai berlaku

pada tanggal 1 Januari 2009 dan sebagian besar aturan pelaksanaannya telah diterbitkan.

Perubahan ketentuan peraturan perpajakan ini mengakibatkan berubahnya bentuk Surat

Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT PPh Badan). Sebagai tindak

lanjut penyampaian SPT PPh Badan, akan dilaksanakan penelitian SPT dan atas SPT yang

memenuhi kriteria akan dilakukan pemeriksaan. 

Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan

Berdasarkan ketentuan UU Perpajakan tahun 2008 pasal 17 ayat 1, tarif Pajak Penghasilan untuk

Wajib Pajak Badan adalah sebagai berikut:

Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh

delapan persen) berkahir tahun 2009.

Tarif 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

Contoh:

Jumlah peredaran bruto dalam Tahun Pajak 2010 Rp 54.000.000.000,00 Jumlah Penghasilan

Kena Pajak dalam Tahun Pajak 2010 Rp 4.000.000.000,00

PPh yang terutang

= 25% x Rp 4.000.000.000,00 = Rp1.000.000.000,00

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit

40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan

di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh

tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah yang diatur dengan atau berdasarkan

Page 4: PPh BADAN

Peraturan Pemerintah. PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan

Penghasilan Kena Pajak.

Contoh:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam Tahun Pajak 2010 Rp 1.250.000.000,00

PPh yang terutang

= (25%-5%) x Rp1.250.000.000,00= Rp 250.000.000,00.

Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif PPh bagi Wajib

Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.

Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke

bawah dalam ribuan rupiah penuh.

Fasilitas UMKM

Berdasarkan UU Pajak Penghasilan No 36 th 2008 Pasal 31E, Wajib Pajak badan dalam

negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)

mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif  yang

dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp

4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Besarnya bagian peredaran bruto

dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Penghitungan PPh terutang  dapat dibedakan menjadi dua

yaitu:

Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00, maka penghitungan PPh

terutang yaitu sebagai berikut:

PPh terutang = 50% X 25% X seluruh Penghasilan Kena Pajak

Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000,00 sampai dengan Rp

50.000.000.000,00, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:

PPh terutang = (50% x 25% x Penghasilan Kena Pajak dari Bagian Peredaran Bruto Yang

Mendapat Fasilitas) + (25% x Penghasilan Kena Pajak dari Bagian Peredaran Bruto Yang

Tidak Mendapat Fasilitas)

Page 5: PPh BADAN

dimana

Penghasilan Kena Pajak dari Bagian Peredaran Bruto Yang Mendapat Fasilitas adalah

sebesar =

(4.800.000.000/ Peredaran Bruto) x Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak dari Peredaran Bruto Yang Tidak Mendapat Fasilitas Pajak

sebesar =

Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena Pajak dari bagian Peredaran Bruto yang Mendapat

Fasilitas

Contoh Perhitungan

Contoh 1: Bila Peredaran Bruto Kurang dari atau sama dengan 4,8 Milyar

Peredaran bruto PT ARYA dalam tahun pajak 20xx sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat

miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima

ratus juta rupiah).

Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif

sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah

peredaran bruto PT ARYA  tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta

rupiah).

Pajak Penghasilan yang terutang:

(50% x 25%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00

Contoh 2: Bila Peredaran Bruto  Lebih Besar dari 4,8 Milyar

Peredaran bruto PT SOROS dalam tahun pajak 20xx sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh

miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:

(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:

Page 6: PPh BADAN

Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang:

- (50% x 25%) x Rp480.000.000,00 = Rp  60.000.000,00

- 25% x Rp2.520.000.000,00 = Rp630.000.000,00(+)

Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang    Rp690.000.000,00

3.3 Variabel-variabel Dalam Perhitugan PPh Badan

Pendapatan usaha dan penghasilan kena pajak

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp

50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar

50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan

ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai

dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a.       Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu

sebagai berikut:

PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak

b.      Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka

penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:

PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang

memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak

memperoleh fasilitas.

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh

fasilitas yaitu:

(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak

memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak – Penghasilan Kena Pajak dari bagian

peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.

Namun, mulai tahun 2010, tariff PPh Badan adalah 25% dari penghasilan bruto

Page 7: PPh BADAN

Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap

Tahun Tarif Pajak

2009 28%

2010 dan selanjutnya 25%

PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek 5% lebih rendah dari yang

seharusnya

Peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000 Pengurangan 50% dari yang

seharusnya

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG UNDANG-UNDANG NO 36 TAHUN 2008 PASAL

17 AYAT 1 (b) &  AYAT 2

UNTUK TAHUN 2009 PELAPORAN PAJAK 2010

TARIF 28%

UNTUK TAHUN 2010 KEATAS PELAPORAN PAJAK 2011 KEATAS:

TARIF 25 %

FASILITAS PENGURANGAN TARIF (PASAL 31 E UU NO. 36 TAHUN 2008)

UNTUK :

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00

(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh

persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang

dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan

Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

CARA DAN CONTOH PERHITUNGAN UNTUK WP KATEGORI UMKM ATAU

YANG MENDAPATKAN FASILITAS PENGURANGAN TARIF

UNTUK PEREDARAN BRUTO  <  Rp. 4.800.000.000 (Empat Miliyar Delapan Ratus Ribu

Rupiah)

Page 8: PPh BADAN

PT. A MERUPAKAN UMKM  MENPUNYAI PEREDARAN BRUTO  Rp. 4.300.000.000

PENGHASILAN KENA PAJAK Rp. 500.000.000.

BERAPA PPh PASAL 29 (TAHUNAN) YANG TERUTANG??

JAWAB :

UNTUK TAHUN 2009 TAHUN PELAPORAN 2010

28% X 50% X Rp. 500.000.000,- = Rp. 70.000.000,-

UNTUK TAHUN 2010 TAHUN PELAPORAN 2010 DAN SETERUSNYA

25% X 50% X Rp. 500.000.000,-  = Rp. 62.500.000,-

UNTUK WP YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN>  Rp. 4.8 M 

PT. ABC MEMPUNYAI PENGHASILAN BRUTO Rp. 20 MILYAR PENGHASILAN KENA

PAJAK Rp. 3 MILYAR. BERAPA PPh TAHUNAN TERUTANG ?

PERHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK YANG TERUTANG :

A. PENGHASILAN KENA PAJAK  MENDAPAT FASILITAS PENGURANGAN TARIF

    (4.800.000.000/PENGH.BRUTO) X PKP

(4.800.000.000/20.000.000.000) X Rp. 3.000.000.000,- = Rp. 720.000.000,-

B. PENGHASILAN KENA PAJAK TIDAK MENDAPATKAN FASILITAS

PENGURANGAN TARIF

     PKP – PKP YG MENDAPATKAN FASILITAS

    Rp. 3.000.000.000  – 720.000.000 = 2.280.000.000

PPh TAHUNAN YANG TERUTANG APABILA TAHUN 2009 PELAPORAN 2010 :

 28%  X 50%  X Rp.  720.000.000           =  Rp. 100.800.000,-

28%               X Rp 2.280.000.000          =  Rp. 638.400.000,-

 TOTAL PPh TAHUNAN TERUTANG   = Rp. 739.200.000,-

PPh TAHUNAN YANG TERUTANG APABILA TAHUN 2010 PELAPORAN 2011:

25% X 50% X Rp.   720.000.000,-          =Rp.   90.000.000,-

25%             X Rp.2.280.000.000,-          =Rp. 570.000.000,-

TOTAL PPh TAHUNAN TERUTANG   =Rp.  660.000.000,-

Biaya-biaya yang dapat dikurangkan

Page 9: PPh BADAN

Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dihitung berdasarkan penghasilan

bruto dikurangi :

a.    Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian

bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,

gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya

perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak

Penghasilan.

b.   Penyusutan atas harta berwujud dan amortisasi atas hak dan biaya lain yang mempunyai masa

manfaat lebih dari satu tahun

c.    Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan

d.   Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam

perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

e.    Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.

f.    Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

g.   Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.

h.   Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :

- Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial; dan

- Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Direktorat Jenderal

Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan

piutang / pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; dan

-  Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan

-  Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP, yang

pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, biaya administrasi kantor pusat yang boleh

dikurangkan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya

ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Untuk dapat dikurangkan atau dibebankan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak,

biaya atau pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau

kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek

Pajak Dengan demikian biaya atau pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dikurangkan atau dibebankan.

Page 10: PPh BADAN

Biaya  bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak boleh dikurangkan

atau dibebankan, apabila dividen yang diterimanya bukan merupakan Objek Pajak. Akan tetapi

dalam hal ini biaya bunga pinjaman tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga

perolehan saham.

Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan

Dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan

BUT, tidak boleh dikurangkan :

a.    Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti : dividen, dividen yang

dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

koperasi.

b.   Biaya atau pengeluaran untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.

c.    Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk

usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan

biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan

dengan Keputusan Menteri Keuangan.

d.   Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi

bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja

dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

e.    Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk

natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta

penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang

berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

f.    Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak

yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang

dilakukan.

g.   Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan yang bukan merupakan Objek

Pajak, kecuali zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang

dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang

dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

h.   Pajak Penghasilan.

Page 11: PPh BADAN

i.     Biaya atau pengeluaran pribadi Wajib Pajak yang bersangkutan atau orang yang menjadi

tanggungannya.

j.     Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang

modalnya tidak terbagi atas saham.

k.   Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang

berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, pembayaran kepada kantor pusat yang

tidak boleh dikurangkan adalah :

a.  Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;

b.imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;

c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Penyusutan serta amortisasi

Biaya yang boleh dikurangi dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai

hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan, biaya-biaya dan penyusutan. Biaya yang tidak

boleh dikurangi dari penghasilan bruto adalah biaya yang tidak mempunyai hubungan langsung

dengan usaha atau kegiatan, biaya-biaya dan penyusutan.

Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus,

melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap

penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun

lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Contoh : pada bulan April 2007

wajib pajak menyewa sebuah kantor untuk jangka waktu lima tahun sebesar Rp.60 juta. Maka

biaya sewa tahun 2007 hanya sebesar Rp.60 juta x (9/60) atau sebesar Rp.9 juta saja.

Walaupun demikian, tidak ada larangan jika wajib pajak melakukan amortisasi atas biaya

sewa tersebut. Larangan hanya untuk pembebanan sekaligus. Metode untuk penyusutan dan

amortisasi untuk keperluan pajak sebagai berikut :

a.       Garis Lurus (GL), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat

yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

Page 12: PPh BADAN

b.      Saldo Menurun (SM), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa

manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada

akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat

asas.

Berikut tarif yang berlaku untuk penyusutan :

Garis Lurus :

[1] kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 25%; [2] kelompok 2

untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 12,5%; [3] kelompok 3 untuk aktiva dengan

masa manfaat 16 tahun, tarifnya 6,25%; dan [4] kelompok 4 untuk aktiva dengan masa manfaat

20 tahun, tarifnya 5%.

Saldo Menurun :

[1] kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 50%; [2] kelompok 2

untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 25%; [3] kelompok 3 untuk aktiva dengan

masa manfaat 16 tahun, tarifnya 12,5%; dan [4] kelompok 4 untuk aktiva dengan masa manfaat

20 tahun, tarifnya 10%.

Jadi tarif penyusutan SM dua kali tarif penyusutan GL. Harap diingat, untuk keperluan

pajak, penyusutan dihitung per bulan. Seandainya kita beli aktiva tanggal 30 pun maka pada

bulan tersebut sudah boleh disusutkan. Selain itu, tarif diatas tidak berlaku untuk bangunan.

Bangunan hanya boleh dihitung dengan GL dan tarifnya 5%, kecuali jika bukan bangunan

permanen maka tarifnya 10% saja. Jika terjadi pengalihan aktiva atau kejadian luar biasa, seperti

kebakaran atau banjir, maka aktiva tersebut disusutkan sekaligus. Artinya, nilai buku yang ada

langsung dibiayakan. Sebaliknya, jika dijua maka harga jual merupakan penghasilan, jika

mendapat penggantian asuransi kerugian maka penggantian asuransi tersebut merupakan

penghasilan.

4.4 Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan

Perhitungan PPh Badan dilakukan pada setiap akhir tahun pajak. Jika ada kekurangan

pembayaran pajak, maka wajib disetorkan paling lambat tanggal 25 pada bulan ketiga setelah

tahun pajak berakhir. Pelaporan PPh Badan terutang setiap tahunnya dilaporkan dengan cara

membuat SPT Tahunan PPh Badan, dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat paling

lambat pada akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. PPh tsb disetor paling lambat

Page 13: PPh BADAN

tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak perolehan penghasilan yang berakhir (untuk

Masa). Dan paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak perolehan

penghasilan yang berakhir (untuk Tahunan). Pembayaran PPh tersebut dilaporkan dalam Surat

Pemberitahuan (SPT) paling lambat tgl 20 bulan berikutnya setelah masa pajak perolehan

penghasilan yang berakhir (untuk Masa). Dan paling lambat tgl 31 Maret tahun berikutnya

setelah tahun pajak perolehan penghasilan yangberakhir (untuk Tahunan).

Pelaksanaan pembayaran pajak dapat dilakukan Kantor Penerima Pembayaran dengan

menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

atau KP4 terdekat, atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik.

            Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan saran Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal yang

berkaitan dengan kewajiban perpajakan. SPT harus diisi dengan benar, lengkap, dan jelas dalam

Bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin dan angka arab, satuan mata uang rupiah dan

menandatangani serat menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang

ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak.

Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan

Contoh Penghitungan Angsuran Pph 25

Pph Terutang Menurut  Spt Tahunan Pph 2009 Sebesar Rp 50.000.000,00

Dikurangi :

a. Pph Yg Dipotong  

Pemberi Kerja (Pph Psl. 21)    Rp 15.000.000,00

b. Pph Yg Dipungut 

Page 14: PPh BADAN

Pihak Lain (Pph Psl. 22)    Rp 10.000.000,00

c. Pph Yang Dipotong 

Pihak Lain (Pph Psl 23)     Rp   2.500.000,00

d. Kredit Pph 

Luar Negeri (Pph Psl. 24)     Rp   7.500.000,00

    

Jumlah Kredit Pajak        (Rp  35.000.000,00)

Selisih                                     Rp  15.000.000,00

Besarnya Angsuran Yang Harus Dibayar Sendiri Setiap Bulan Utk Thn 2010 Sebesar  : Rp

15.000.000,00 : 12 = Rp 1.250.000,00  

Apabila Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Hanya Meliputi Bagian Tahun Pajak

Yaitu Meliputi 6 Bulan Dalam Tahun 2009, Maka Besarnya Angsuran Bulanan Yang Harus

Dibayar Sendiri Setiap Bulan Dalam Tahun 2010 Adalah : Rp 15.000.000,- : 6 = Rp 2.500.000,-

1.1 Penghasilan Netto

Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk

dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.

Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan.

Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua

Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib

Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah

peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Untuk

memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang

pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur

Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk

menentukan penghasilan neto, dibuat /disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau

data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan

oleh Direktur Jenderal Pajak.

Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :

a.   tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau

Page 15: PPh BADAN

b.   pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak

benar.

Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu

menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.

Syarat Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan

Penghasilan Neto

1.      wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pencatatan

tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan

neto.

2.      Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dalam

tahun pajak yang bersangkutan.

3.      Wajib Pajak memperoleh penghasilan bruto tidak melebihi jumlah sesuai ketentuan.

Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma

Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak

dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan

pembukuan.

Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan,

atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:

a.       tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau

b.      tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya

pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan

neto yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan

dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan

penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

1.2 Kompensasi Kerugian Fiskal

Apabila penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya didapat kerugian, maka kerugian

tersebut dikompensasikan dengan penghasilan netto atau laba fiskal selama 5 tahun berturut-turut

dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

Page 16: PPh BADAN

Contoh :

PT Anugerah dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00. Dalam

5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT Anugerah sebagai berikut :

2010 : laba fiskal                                      Rp.200.000.000,00

2011 : laba fiskal                                      (Rp.300.000.000,00)

2012 : laba fiskal                                      Rp NIHIL

2013 : laba fiskal                                      Rp.100.000.000,00

2014 : laba fiskal                                      Rp.800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :

Rugi fiskal tahun 2009                             (Rp.1.200.000.000 )

Laba fiskal tahun 2010                            Rp.       200.000.000    +

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       (Rp.1.000.000.000)

Rugi fiskal tahun 2011                             (Rp.   300.000.000)

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       (Rp.1.000.000.000)

Laba fiskal tahun 2012                            Rp                               NIHIL   +

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       (Rp.1.000.000.000)

Laba fiskal tahun 2013                            Rp.     100.000.000     +

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       Rp.   900.000.000)

Laba fiskal tahun 2014                            Rp.     800.000.000     +

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       (Rp.  100.000.000)

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp.100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak

boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011

sebesar Rp.300.000.000 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun

2016, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun

2016.

1.3 Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak (PKP) merupakan dasar penghitungan untuk menentukan

besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang.

Bagi wajib pajak badan yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya

dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut :

Page 17: PPh BADAN

-       Peredaran bruto                                                                               Rp. 6.000.000.000

-       Biaya untuk mendapatkan,

     menagih, dan memelihara penghasilan                                           (Rp.5.400.000.000)

-       Laba usaha (penghasilan netto usaha)                                               Rp.   600.000.000

-       Penghasilan lainnya                                Rp.50.000.000

-       Biaya untuk mendapatkan,

     menagih, dan memelihara

     penghasilan lainnya tersebut                 (Rp. 30.000.000)

                                                                                                              Rp.      20.000.000

-       Kompensasi Kerugian                                                                     (Rp.         10.000.000 )

-       Penghasilan Kena Pajak                                                                  Rp.    610.000.000

9.4 PPh Badan Terutang

Ø  Dasar Pengenaan Pajak. Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar

pengenaan pajaknya. Untuk wajib pajak dalam negeri dan BUT yang menjadi dasar pengenaan

pajaknya adalah penghasilan kena pajak (PKP). Jika PKP untuk wajib pajak orang pribadi adalah

sebesar penghasilan neto dikurangi dengan PTKP maka lain halnya dengan perhitungan

Penghasilan Kena Pajak untuk wajib pajak badan. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk wajib

pajak badan  dihitung sebesar penghasilan netto nya.

Ø 

PKP  WP Badan  = Penghasilan Netto

         

Cara Menghitung PKP. Perhitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak badan dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan pembukuan atau menggunakan norma

perhitungan penghasilan netto.

Menghitung PKP dengan menggunakan pembukuan

Untuk wajib pajak badan besarnya PKP sama dengan penghasilan nettonya yaitu penghasilan

bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh Undang-Undang PPh .

PKP  WP Badan  = Penghasilan Netto

       = Penghasilan Bruto - Biaya yang diperkenankan UU PPh

Page 18: PPh BADAN

Menghitung PKP dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan netto

PKP  WP Badan  = Penghasilan Netto – Kompensasi  Kerugian

= ( Penghasilan Bruto – biaya  yang diperkenankan UU PPh ) –  kompensasi  Kerugian

Apabila dalam menghitung PKP nya wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan

penghasilan netto, besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya dengan persentase norma

perhitungan penghasilan netto dikali dengan jumlah peredaran usahanya.Dalam hal terdapat rugi

tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan maka 

Ø Tarif PPh Wajib Pajak Badan

Pada Pasal 17 ayat 1 huruf (b) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan : “b. Wajib Pajak badan

dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen)”.

Pada  Pasal 17 ayat 2 huruf (a) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan “a. Tarif sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 huruf (b) menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak

tahun pajak 2010”. 

Kemudian pada pasal 17 (2b) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 dikatakan “ Wajib Pajak

badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh

persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia

dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen)

lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

a.      Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b

Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu sebesar

28%.

PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.

Page 19: PPh BADAN

Contoh:

Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000

 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 4.000.000.000

 Pajak Penghasilan yang terutang = 28% x Rp 4.000.000.000 = Rp 1.120.000.000

 b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)

 Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka

yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor

diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib

Pajak tersebut dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif

sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2008.

 PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.

Contoh:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000

Pajak Penghasilan yang terutang = (28% - 5%) x Rp1.250.000.000 = Rp 287.500.000.

Lihat : Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan

bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.

c. Tarif PPh Pasal 31E

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000

(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh

persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang

dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp

4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu

sebagai berikut:

 PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak

2) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka

penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:

Page 20: PPh BADAN

 PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang

memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak

memperoleh fasilitas

 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas

yaitu:

(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh

fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto

yang memperoleh fasilitas.

 Contoh 1):

 Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan Penghasilan

Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.

 Penghitungan pajak yang terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari

peredaran bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang

berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000.

Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000

 = Rp 70.000.000

Contoh 2

 Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan Penghasilan

Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas

= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000

= Rp 480.000.000

 jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas

= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000

  Pajak Penghasilan yang terutang

= (50%x 28% x Rp480.000.000) + (28% x Rp2.520.000.000)

= Rp 67.200.000 + Rp 705.600.000

= Rp772.800.000

9.5 Kredit Pajak PPh Badan

Page 21: PPh BADAN

Ketentuan pasal 25 Undang-undang pajak penghasilan mengatur tentang penghitungan besarnya

angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan.

Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:

1. Wajib pajak membayar sendiri pajaknya (PPh pasal 25).

2. Melalui pemotongan atau pemungutan pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, dan 24).

Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak

untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat pemberitahuan

tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:

a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23,

serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22.

b. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.

Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Penghitungan Angsuran PPh pasal 25 Ayat (1) bagi Wajib Pajak Badan

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu                                                        xxx

Pengurangan/Kredit pajak:

               PPh pasal 22                                              xxx

               PPh pasal 23                                              xxx

               PPh pasal 24                                              xxx

Total kredit pajak                                                                                               xxx (-)

Dasar penghitungan angsuran                                                                            xxx

Angsuran PPh pasal 25 = dasar penghitungan angsuran/12 (atau jumlah bulan dalam bagian

tahun pajak)

Contoh

Pajak penghasilan yang terutang untuk PT Perdana berdasarkan surat pemberitahuan tahunan

pajak penghasilan tahun 2009 sebesar Rp125.000.000.

Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di

luar negeri dalam tahun 2009 adalah sebagai berikut:

Pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh pasal 22) sebesar Rp30.000.000

Pajak penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh pasal 23) sebesar Rp15.000.000

Page 22: PPh BADAN

Pajak penghasilan yang dibayar di luar negeri sebesar Rp42.500.000 tetapi berdasar

ketentuan yang dapat dikreditkan (PPh pasal 24) sebesar Rp40.000.000

Pajak penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain, dan yang dibayarkan atau

terutang di luar negeri tersebut untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 8 bulan dalam \

tahun 2009.

Angsuran PPh pasal 25 untuk tahun 2010 adalah:

PPh terutang berdasar SPT Tahunan PPh tahun 2009                        Rp 125.000.000

Kredit pajak:

            PPh pasal 22                                        Rp30.000.000

            PPh pasal 23                                        Rp15.000.000

            PPh pasal 24                                        Rp40.000.000

Total kredit pajak                                                                                Rp  85.000.000

Dasar penghitungan angsuran                                                 Rp  40.000.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setiap bulan (PPh pasal 25)

dalam tahun 2010 adalah:

Rp40.000.000 : 8 = Rp5.000.000

9.6 PPh Kurang Bayar

Menurut UU PPh Pasal 29 yang berbunyi: “Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak

ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)

kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.”

Untuk memberikan kepastian batas waktu pembayaran PPh kurang bayar pada SPT Tahunan PPh

untuk tahun pajak 2008 (PPh Pasal 29), maka Dirjen Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran

Nomor SE-35/PJ/2009 Tentang Penegasan Mengenai Batas Waktu Penyampaian dan Pelunasan

Kekurangan Pembayaran Pajak Yang Terutang Berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak

2008.  Berdasarkan SE-35/PJ/2009 tersebut ditegaskan bahwa:

1.      Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, paling

lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

2.      Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4

(empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Page 23: PPh BADAN

3.                Vb  Pelunasan kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan terutang berdasarkan SPT

Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan harus dilakukan

sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan tersebut disampaikan, paling lama sesuai dengan batas

waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan

angka 2.

Berarti untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 maka kekurangannya harus dilunasi

tanggal 31 Maret 2009, sedangkan untuk SPT Tahunan PPh Badan tahun 2008 maka

kekurangannya harus dilunasi paling lama tanggal 30 April 2008 (jika tahun buku adalah Jan

s.d.Des).

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 )

SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah

kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang

masih harus dibayar.

SKPKB dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun dalam hal:

1.      Berdasarkan hasil pemeriksaan/keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.

Atas pajak yang tidak/kurang dibayar tersebut ditambah sanksi administrasi bunga sebesar 2%

per bulan maksimum 24 bulan (berlaku baik atas PPh, PPN, maupun PPn BM).

2.      SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran. Atas jumlah

pajak yang terutang dikenakakan sanksi kenaikan sbb:

a.       PPh Sendiri (Badan/Orang Pribadi/BUT), kenaikan sebesar 50%

b.      PPh Pemotongan/Pemungutan, kenaikan sebesar 100%

c.       PPN/PPn BM, kenaikan sebesar 100%.

d.      Berdasarkan hasil pemeriksaan PPN/PPn BM disimpulkan bahwa ; terdapat PPN yang

seharusnya tidak dikompensasikan atau tidak dikenakan tarif 0%. Atas jumlah pajak yang

terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar 100%.

e.       Kewajiban Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (perihal pembukuan) dan Pasal

29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (berkenaan dengan pemeriksaan) tidak dipenuhi.

Atas jumlah pajak yang terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar:

                          i.      100% untuk PPh sendiri (PPh Orang Pribadi/Badan/BUT).

                        ii.      50% untuk PPh Pemotongan/Pemungutan.

Page 24: PPh BADAN

f.       SKPKB dapat diterbitkan meskipun jangka waktu 10 tahun telah lewat, dalam hal wajib pajak

dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan oleh pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas jumlah pajak yang terutang dikenakan sanksi bunga

48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

9.7 Angsuran PPh Pasal 25 tahun Barjalan

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dikenal adanya satu sistem pembayaran

Pajak Penghasilan yang dilakukan di awal tahun pajak, sebelum suatu penghasilan yang menjadi

objek pajak dapat ditentukan (baca: dihitung). Sistem ini diatur dalam Pasal 25 UU PPh.

Pembayaran pajak yang diatur dalam pasal ini (biasanya diistilahkan sebagai PPh Pasal 25) akan

diperlakukan sebagai pembayaran pajak di muka dan akan diperhitungkan sebagai kredit pajak

pengurang atas PPh terutang yang dihitung pada akhir tahun pajak.

Rumus untuk menentukan besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (baik

orang pribadi maupun badan) setiap bulannya dalam tahun berjalan adalah besarnya PPh terutang

tahun pajak sebelumnya (PPh terutang tahun berjalan diasumsikan akan sama dengan PPh

terutang tahun sebelumnya) dikurangi dengan kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak ketiga

(yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24 dan PPh Pasal 26) dibagi 12 atau

banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak (berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU PPh).

PPh Pasal 25 ini harus disetorkan oleh Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya

(misalkan untuk masa Januari, maka harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari) serta

dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (misal untuk masa Januari, maka paling

lambat lapor adalah tanggal 20 Februari).

Lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPh, ditegaskan bahwa besarnya angsuran pajak (PPh

Pasal 25) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu

SPT Tahunan PPh disampaikan besarnya adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 untuk

bulan terakhir tahun pajak yang lalu (bulan Desember tahun sebelumnya).

Dengan adanya perbedaan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh antara orang pribadi

dengan badan di tahun 2009 ini, menyebabkan perlakuan Pasal 25 ayat (2) UU PPh ini akan

berbeda untuk orang pribadi dan badan.

Mulai tahun pajak 2009 ini, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun

pajak 2008 adalah tanggal 31 Maret 2009. Oleh sebab itu, untuk PPh Pasal 25 masa Januari 2009

Page 25: PPh BADAN

(yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2009) dan masa Februari 2009 (yang harus

disetor paling lambat tanggal 15 Maret 2009) batas waktu pelaporannya adalah sebelum batas

waktu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 disampaikan, sehingga tidak dapat dihitung

besarnya angsuran PPh Pasal 25 dengan menggunakan Pasal 25 ayat (1) UU PPh. Maka untuk

kedua masa ini, dasar untuk menetapkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus disetorkan

adalah berdasarkan setoran untuk masa Desember 2008).

Untuk Wajib Pajak badan, selain PPh Pasal 25 masa Januari 2009 dan masa Februari 2009 yang

angsurannya tetap menggunakan angsuran berdasarkan masa Desember 2008, untuk masa Maret

2009 (yang harus disetorkan paling lambat tanggal 15 April 2009 dan batas penyetorannya ini

masih sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh badan) PPh Pasal 25-nya juga

mengikuti besarnya angsuran masa Desember 2008.

Barulah untuk setoran PPh Pasal 25 masa April 2009, Wajib Pajak badan harus

menyesuaikannya berdasarkan perhitungan pada angsuran Pasal 25 ayat (1).

Page 26: PPh BADAN

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan Dan Saran

Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik

yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,

perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk

apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi

massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya,

termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Dasar Hukum Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan (UU PPh tahun 2009) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009 dan

sebagian besar aturan pelaksanaannya telah diterbitkan. Perubahan ketentuan peraturan

perpajakan ini mengakibatkan berubahnya bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak

Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT PPh Badan). Sebagai tindak lanjut penyampaian SPT PPh

Badan, akan dilaksanakan penelitian SPT dan atas SPT yang memenuhi kriteria akan dilakukan

pemeriksaan. 

Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas Penghasilan

Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak Penghasilan terutang

dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib

Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Wajib pajak badan

juga memiliki berbagai fasilitas yang diberikan dengan ketentuan dan krietria tertentu agar

memudahkan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Sehingga penerimaan

negara disektor pajak menjadi maksimal.

Page 27: PPh BADAN

REFERENSI

http://hastari-hayu.blogspot.com/2012/01/pph-badan.html

https://kp2kppacitan.wordpress.com/2012/07/09/cara-perhitungan-pph-tahunan-badan/