potret kehidupan rumah tangga nelayan tradisional

30
95 Bab 4 Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional Perubahan Iklim dan Implikasinya Sebagaimana dipaparkan pada bab terdahulu, perubahan iklim menimbulkan dampak negatif bagi banyak hal seperti dampak pada lingkungan maupun dampak pada aspek sosial ekonomi. Satria (2009) pada makalahnya yang disampaikan pada lokakarya di Bogor 23 Oktober 2012 yang berjudul Perubahan Iklim dan Strategi Adaptasi, makalah pada: Lokakarya Mengarusutamakan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim dalam Agenda Pembangunan, menyebutkan dampak ekologis perubahan iklim berbentuk: (a) kenaikkan permukaan air laut yang menimbulkan dampak antara lain banjir, badai maupun gelombang ekstrim, (b) kenaikkan suhu dan sanisitas air laut menimbulkan dampak terjadinya gangguan atas wilayah atau daerah dimana ikan bertelur, perubahan wilayah penangkapan ikan (fishing ground), (c) kenaikkan keasaman air laut menimbulkan dampak antara lain terjadinya perpindahan spesies tertentu. Di samping dampak ekologis, menurut Satria (2009) perubahan iklim juga berdampak pada aspek sosial ekonomi dalam bentuk: (a) musim ikan berubah, menimbulkan kesulitan nelayan melakukan prediksi, (b) wilayah tangkapan berubah, menyebabkan perubahan pola tangkap, (c) resiko melaut tinggi, menyebabkan keselamatan nelayan terancam, (d) stok ikan berkurang, menyebabkan produksi tangkapan ikan menurun. Perubahan iklim menimbulkan dampak yang luas pada jutaan nelayan pesisir yang tergantung pada ekosistem yang sangat rentan walau dengan sedikit perubahan saja. Perubahan iklim menimbulkan hambatan nelayan tradisional dengan bahaya

Upload: others

Post on 11-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

95

Bab 4

Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

Perubahan Iklim dan Implikasinya

Sebagaimana dipaparkan pada bab terdahulu, perubahan iklim menimbulkan dampak negatif bagi banyak hal seperti dampak pada lingkungan maupun dampak pada aspek sosial ekonomi. Satria (2009) pada makalahnya yang disampaikan pada lokakarya di Bogor 23 Oktober 2012 yang berjudul Perubahan Iklim dan Strategi Adaptasi, makalah pada: Lokakarya Mengarusutamakan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim dalam Agenda Pembangunan, menyebutkan dampak ekologis perubahan iklim berbentuk: (a) kenaikkan permukaan air laut yang menimbulkan dampak antara lain banjir, badai maupun gelombang ekstrim, (b) kenaikkan suhu dan sanisitas air laut menimbulkan dampak terjadinya gangguan atas wilayah atau daerah dimana ikan bertelur, perubahan wilayah penangkapan ikan (fishing ground), (c) kenaikkan keasaman air laut menimbulkan dampak antara lain terjadinya perpindahan spesies tertentu.

Di samping dampak ekologis, menurut Satria (2009) perubahan iklim juga berdampak pada aspek sosial ekonomi dalam bentuk: (a) musim ikan berubah, menimbulkan kesulitan nelayan melakukan prediksi, (b) wilayah tangkapan berubah, menyebabkan perubahan pola tangkap, (c) resiko melaut tinggi, menyebabkan keselamatan nelayan terancam, (d) stok ikan berkurang, menyebabkan produksi tangkapan ikan menurun. Perubahan iklim menimbulkan dampak yang luas pada jutaan nelayan pesisir yang tergantung pada ekosistem yang sangat rentan walau dengan sedikit perubahan saja. Perubahan iklim menimbulkan hambatan nelayan tradisional dengan bahaya

Page 2: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

96

gelombang yang tinggi maupun kesulitan melakukan prediksi kondisi cuaca.

Dampak sosial ekonomi sebagaimana dikemukakan di atas tampaknya juga dialami komunitas nelayan di Kecamatan Rowosari. Perubahan iklim juga memiliki dampak pada ancaman kerusakan lingkungan. Kondisi tersebut akan diperparah dengan masalah lingkungan, kependudukan dan kemiskinan. Lingkungan yang rusak akan lebih rapuh terhadap perubahan iklim. Penyimpangan iklim dapat memicu gerakan tanah sehingga longsor yang berpotensi menimbulkan bencana alam.

Kajian berikut ini menunjukkan adanya dampak perubahan iklim bagi komunitas nelayan atau komunitas yang mata pencahariannya berkaitan dengan sumber daya pesisir atau laut yakni penelitian Syahbana (2011), mengenai dampak perubahan iklim terhadap petambak udang di Kabupaten Bekasi. Perubahan iklim yang terjadi di daerah yang diteliti menyebabkan gagal panen dan kerugian bagi petambak udang. Terjadi penurunan produkvitas antara 25% sampai dengan 50 %, peningkatan biaya produksi sebesar 21,01 %. Selanjutnya penelitian Osmaleli (2010) mengenai dampak perubahan iklim terhadap kesejahteraan nelayan di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandenglang. Hasilnya antara lain : (a) perubahan iklim ditandai adanya perubahan musim yang tidak menentu, musim barat dan musim timur sulit diprediksi, (b) kondisi daya dukung ekologis dan lingkungan rendah menyebabkan kesejahteraan masyarakat rendah pula.

Kondisi perubahan iklim dan dampaknya bagi rumah tangga nelayan diperparah dengan semakin meningkatnya kebutuhan hidup, sementara daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumber daya laut menjadi semakin besar. Hal ini tentunya memberikan dampak yang cukup serius bagi kelangsungan hidup nelayan, terutama nelayan-nelayan skala kecil. Kejadian ini merupakan konsekuensi logis dari ketergantungan nelayan terhadap sumber daya pesisir dan laut. Menurunnya hasil tangkapan nelayan tersebut akan berdampak pula pada berkurangnya pendapatan nelayan, diperkirakan

Page 3: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

97

akan menurunkan tingkat kesejahteraan rumah-tangganya. Masyarakat nelayan tradisional di Kecamatan Rowosari yang memiliki kedekatan fisik, teritorial dan emosional terhadap sumber daya laut juga melakukan strategi adaptasi menghadapi dampak perubahan ekologis tersebut.

Strategi adaptasi nelayan sebagai hal yang terkait dengan kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan ekologis sangat penting untuk dipelajari, karena strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan memungkinkan nelayan mengatur sumber daya terhadap persoalan-persoalan spesifik seperti fluktuasi hasil tangkapan dan menurunnya sumber daya perikanan. Strategi adaptasi tidak hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan namun juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari.

Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim di Kecamatan Rowosari tidak hanya dilakukan oleh nelayan tradisional sebagai tulang punggung rumah tangga. Perubahan iklim juga menyebabkan perubahan pada pola produksi usaha pembuatan ikan asin sebagaimana dituturkan oleh Ibu Sri Supriati dan Ibu Sutria, sebagai berikut :

“Mboten ngertos paling nggih musime jawah utawi ketigo ingkang mboten tentu mawon, pengaruhe nggih kangge ngeringke gereh mawon, cepet nopo mboten saged dikeringke musimipun jawah, betah wekdal ngantos tigang dinten kangge ngeringke, pas musim ketigo, cekap sedinten utawi paling cepet nggih setengah dinten kangge ngeringke“ (Tidak tahu, tahunya musim hujan atau kering yang tidak menentu saja, pengaruhnya ya untuk mengeringkan ikan saja, cepat atau tidak untuk mengeringkan pada musim hujan membutuhkan waktu tiga hari, pada waktu musim kering hanya butuh waktu satu hari atau paling cepat setengah hari).

Pernyataan di atas mencerminkan karakteristik teknologi usaha pembuatan ikan asin yang dilakukan para istri nelayan di Kecamatan Rowosari yang masih sangat tergantung pada cuaca atau sinar matahari. Tampaknya kondisi tersebut dipengaruhi oleh budaya yang instan, monoton dan wawasan pengetahuan dan kemampuan

Page 4: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

98

pikir yang rendah atau terbatas. Belum muncul upaya mengatasi kendala cuaca atau musim hujan atau sedikit sinar matahari digantikan dengan teknologi lain sehingga pengeringan ikan tidak tergantung pada sinar matahari.

Pola perilaku usaha pengeringan ikan yang masih tradisional juga dihadapkan pada permasalahan bahan baku yang berkurang karena berkurangnya hasil tangkapan dengan adanya perubahan iklim. Perubahan ekologis menimbulkan dampak ekologis dan ekonomi bagi nelayan. Hal ini sejalan dengan pendapat Badjeck et al. (2010), yang mengungkapkan bahwa perubahan ekologis yang terjadi di laut dapat menyebabkan perubahan terhadap ketersediaan produk perikanan sebagai modal utama nelayan. Selain itu juga dapat mempengaruhi pendapatan nelayan dan berujung pada peningkatkan biaya dalam mengakses sumber daya.

Berdasarkan hasil observasi, survei dan wawancara dengan istri nelayan tradisional, diperoleh gambaran beberapa bentuk strategi adaptasi yang dilakukan rumah tangga nelayan tradisional dalam merespon perubahan ekologis yang berdampak terhadap kegiatan nelayan. Adapun bentuk-bentuk strategi adaptasi yang dilakukan diantaranya: (a) Menambah jam melaut menjadi pagi dan siang dengan memperkerjakan anggota rumah tangga untuk membantu. Hal ini dilakukan dengan harapan akan meningkatkan hasil tangkapan dan menghemat biaya melaut. Apabila tidak dapat melaut karena kondisi alam yang memburuk maka nelayan ikut serta membantu istri mengolah ikan menjadi ikan asin atau terasi. Menurut Badjeck et al. (2010), kapasitas untuk cepat beradaptasi terhadap perubahan ekologis melalui penggunaan pola dan teknik penangkapan ikan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap mata pencaharian nelayan, (b) Melakukan penganekaragaman sumber pendapatan rumah tangga. Penganekaragaman sumber pendapatan tersebut merupakan salah satu bentuk strategi nafkah ganda yang dikembangkan nelayan dan keluarganya.

Biasanya sumber pendapatan kedua ini dilakukan oleh istri nelayan tradisional. Dalam kaitannya dengan pengembangan strategi

Page 5: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

99

nafkah ganda, Satria (2009) menjelaskan bahwa terdapat dua macam strategi nafkah ganda, yakni di bidang perikanan dan non-perikanan. Menurut Kusnadi (2003), dalam situasi eksploitasi secara berlebihan dan ketimpangan pemasaran hasil tangkapan, rasionalisasi ekonomi akan mendorong nelayan-nelayan menganekaragamkan sumber pekerjaan daripada hanya bertumpu sepenuhnya pada pekerjaan mencari ikan. Pada banyak wilayah, sumber pendapatan kedua biasanya tidak jauh dari kenelayanan atau dengan kata lain masih berhubungan dengan pengolahan ikan.

Dalam menjalankan kegiatan ekonomi, rumah tangga nelayan tradisional menerapkan berbagai pola strategi untuk subsisten. Tujuannya adalah mempertahankan kemampuan dan daya dukung ekonomi rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas pemenuhan hidup rumah tangga nelayan tradisional memang sangat bergantung pada alam. Alam secara langsung akan memberikan andil terhadap posisi kesejahteraan rumah tangga nelayan tradisional melalui daya dukungnya terhadap mata pencaharian. Oleh karena itu, turbulensi kehidupan rumah tangga nelayan tradisional yang diakibatkan berbagai macam faktor ini perlu disikapi secara mendalam. Fenomena alam secara masif telah membuat rumah tangga nelayan tradisional harus bekerja lebih keras lagi. Daya dukungnya semakin rendah, alam tidak dapat diandalkan lagi untuk mata pencaharian secara utuh dengan pola yang lama. Hal inilah yang membuat rumah tangga nelayan tradisional harus beradaptasi dengan alam. Menyelaraskan aktivitas dengan dinamisasi alam yang berusaha mengarah ke keseimbangan baru.

Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan Tradisional Kemiskinan berkaitan dengan kondisi rumah tangga nelayan

tradisional. Rendahnya kepemilikan faktor produksi, tingginya resiko melaut, terbatasnya variasi sumber pendapatan, rendahnya pendidikan dan tingginya biaya hidup adalah beberapa faktor penyebab tingginya tingkat kemiskinan rumah tangga nelayan.

Page 6: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

100

Kemiskinan pada hakikatnya adalah kondisi seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau berada dalam standar pemenuhan kebutuhan hidup minimal. Rumah tangga nelayan di daerah penelitian dapat dikatakan berada pada zona kemiskinan dan rawan miskin. Salah satu penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah rendahnya pendapatan. Kemiskinan yang terjadi saat ini adalah warisan dari kondisi secara turun-temurun. Belum pernah ada perbaikan kondisi yang signifikan terjadi pada lingkungan rumah tangga nelayan. Ini terjadi karena tidak adanya transformasi dan inovasi dalam jenis mata pencaharian sehingga pendapatan pun tidak mengalami perubahan yang signifikan. Proses panjang turun-temurun inilah yang menjadikan kemiskinan di Kecamatan Rowosari disebut kemiskinan struktural. Kemiskinan yang terjadi juga disebabkan karena rendahnya pemahaman akan inovasi serta karakter masyarakat sendiri. Tidak adanya kontrol terhadap konsumsi, mekanisme usaha yang masih sangat tradisional dianggap menjadi penyebab tingkat kemiskinan yang tinggi.

Secara konseptual, kemiskinan sebenarnya adalah permasalahan klasik perekonomian. Khususnya dalam upaya peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan sering terjadi pada kelompok masyarakat yang berada pada lingkungan relatif tradisional. Tak terkecuali dengan kemiskinan yang terjadi oleh rumah tangga nelayan tradisional di Kecamatan Rowosari. Kemiskinan telah menjadi permasalahan klasik sepanjang tahun. Penyebabnya karena tidak adanya transformasi aktivitas perekonomian ke arah yang lebih modern. Masyarakat masih menggantungkan alam sebagai sumber mata pencaharian yang daya dukungnya semakin lama semakin menurun dan tidak ada perbaikan terhadap kualitas sumber daya manusia. Hal ini tentu saja berdampak pada input yang tidak dapat maksimal sedangkan pada saat yang sama, mayarakat harus memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun secara subsisten.

Kondisi kemiskinan yang dialami sebagian besar rumah tangga nelayan tradisional tentu saja memberikan banyak dampak. Akses pendidikan anak-anak nelayan tidak dapat maksimal. Tingkat

Page 7: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

101

pragmatisme pendidikan cenderung tinggi di kalangan rumah tangga nelayan. Banyak muncul pandangan bahwa sekolah bukanlah menjadi hal yang penting. Tidak hanya partisipasi pendidikan yang rendah, tingkat kesehatan masyarakat juga relatif rendah. Ketiadaan kemampuan untuk mengakses fasilitas kesehatan adalah alasan paling utama, sehingga ketika tingkat kesehatan rendah, partisipasi pendidikan rendah ditambah dengan pragmatisme yang tinggi maka efeknya adalah rendahnya kualitas lingkungan hidup.

Pada rumah tangga nelayan tradisional untuk bisa mempertahankan hidup, mereka tetap mengekploitasi sumber daya perikanan yang telah mengalami overfishing bahkan dengan cara yang destruktif sekalipun. Hal ini seperti yang dikatakan Fauzi (2006), kemiskinan di wilayah pesisir memicu destructive fishing yang kemudian mengacaukan mata rantai makanan. Penduduk miskin adalah agen dan korban kerusakan lingkungan (Rusastra dan Napitupulu, 2007). Untuk itu diperlukan peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan tradisional untuk menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

Terdapat beberapa sebab mengapa kemiskinan dekat dengan rumah tangga nelayan tradisional. Faktor utamanya adalah, rumah tangga nelayan tradisional selama ini sangat bergantung pada pendapatan suami yang melaut sebagai sumber penghasilan utama rumah tangga. Namun, di saat yang sama penghasilan harian sangatlah tidak menentu. Pekerjaan melaut tidak dapat menjanjikan kestabilan pendapatan bagi rumah-tangganya. Tingginya ketergantungan akan hasil tangkapan laut adalah penyebab utama, dan penyebab lainnya adalah kebanyakan nelayan tradisional hanya berprofesi sebagai buruh tangkap harian.

Banyak faktor yang menyebabkan penghasilan rumah tangga nelayan tradisional tidak menentu, terlebih bagi nelayan buruh yang hanya melaut saja. Semakin banyaknya jumlah nelayan menjadikan over fishing di kawasan perairan dangkal di Kecamatan Rowosari. Seluruh nelayan harus berkompetisi untuk mendapatkan jumlah tangkapan sebanyak mungkin. Akhirnya, penggunaan alat tangkap

Page 8: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

102

ikan yang dilarang pun tidak dapat dihindari. Nelayan terpaksa menggunakan pukat-pukat harimau untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah seluruh ikan akan terjaring tanpa memberikan kesempatan untuk regenerasi ikan tangkapan.

Nelayan tradisional juga tidak dapat melaut ke laut yang lebih dalam karena keterbatasan peralatan dan faktor produksi lain seperti modal, tenaga kerja yang membantu dan kemampuan atau skill melaut yang ala kadarnya. Generasi muda yang melaut semakin langka karena memilih untuk bekerja di sektor lain, hal ini menyebabkan penurunan jumlah tenaga untuk melaut. Rendahnya skill karena pekerjaan melaut dilaksanakan setelah tidak ada lapangan pekerjaan lain yang cocok, sehingga dari awal melaut tidak berbekal skill yang memadai.

Hal tersebut seperti dituturkan oleh Ibu Nurhayati, sebagai berikut:

“Asring salah mongso, menawi pas sae malah mboten wonten ulam. Wonten ulam alit-alit, menawi disade mboten pajeng. Menopo mawon sakniki awis.“ (Sering salah musim, pada saat baik musimnya ikannya gak ada.Jika dapat hasil tangkapan pun kecil-kecil. Padahal apa saja/barang kebutuhan sekarang mahal).

Pendapat lain dikuatkan oleh Ibu Sri Mulyati:

“Pados rejeki sakniki angel, sirah dados sikil, sikil dados sirah. Menawi mboten syukur saged stress, menopo malih bidal nopo mboten tergantung mongso…. Lare sakniki mboten purun miyang. Mangke manawi kepepet mboten gadah duwit nembe purun.” (Bahwa mencari rejeki tidaklah mudah dan harus kerja keras, sehingga perlu mensyukuri apapun hasil kalau tidak bisa stress, apalagi pekerjaan nelayan tergantung musim…. Anak sekarang tidak mau melaut, kecuali nanti sedang tidak punya uang baru terpaksa berangkat melaut).

Rendahnya kepemilikan faktor produksi dari nelayan tradisional turut melanggengkan kemiskinan struktural di kawasan pesisir. Modal melaut yang tidak sebanding dengan biaya yang harus

Page 9: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

103

dikeluarkan saat melaut, ditambah dengan hasil tangkapan yang relatif sedikit dan harga hasil tangkapan rendah. Rendahnya hasil tangkapan dan harga jual yang tidak menentu secara langsung berdampak pada pendapatan nelayan. Produktivitas nelayan yang rendah akibat lemahnya akses ke faktor produksi mengakibatkan pendapatan juga rendah. Pendapatan yang rendah tentu saja berdampak pada ketidak mampuan dalam memenuhi konsumsi rumah tangga secara optimal. Rumah tangga nelayan hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup secara subsisten. Hal inilah dasar terbentuknya pola kemiskinan rumah tangga nelayan di kawasan pesisir Kecamatan Rowosari. Kemiskinan rumah tangga nelayan tradisional secara jelas disebabkan oleh kondisi masyarakat pesisir yang sangat bergantung pada pendapatan dari hasil melaut yang tidak dapat dipastikan, sedangkan konsumsi rumah tangga sifatnya pasti setiap waktunya.

Kemiskinan rumah tangga nelayan tradisional di Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal juga merupakan refleksi dari sederhananya pola pikir masyarakat. Selama ini rumah tangga nelayan tradisional cenderung apatis dalam memanfaatkan pendapatan. Rumah tangga nelayan secara umum memiliki filosofi apa yang didapat hari ini harus dihabiskan hari ini juga, karena besok akan ada pendapatan lagi. Pemahaman sederhana inilah yang membuat nelayan tidak mengenal tabungan, perencanaan konsumsi, investasi dan pengadministrasian keuangan.

Faktor lain penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan tradisional adalah pandangan hidup yang terlalu berpasrah pada Tuhan. Faktor pandangan hidup yang ada pada rumah tangga nelayan tradisional adalah suatu pandangan yang lebih berorientasi pada: kehidupan dunia sudah ada yang mengatur, sehingga keseharian di dunia biarlah berjalan apa adanya, tidak perlu terlalu dipikirkan dengan berat tetapi santai saja, menikmati apa yang ada. Menurut mereka, kaya ataupun miskin itu adalah suatu yang deterministik atas kewenangan distribusi dari Yang Maha Kuasa. Para nelayan tradisional ini tidak terlalu memikirkan hidupnya karena yakin pasti bisa hidup sebagaimana terungkap dari pandangan mereka:

Page 10: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

104

“Sareh lan sumeleh kemawon, urip sampun wonten ingkang ngatur… Ono urip ono pangan“ (berpasrah kepada Sang Pencipta… Ada kehidupan pasti ada makanan).

Pemahaman ini menyebabkan nelayan dan keluarganya lebih banyak berpasrah dan produktifitas dalam bekerja menjadi rendah, sehingga kondisi rumah tangga yang miskin akan tetap demikian. Dari beberapa gambaran sebab kemiskinan yang terjadi pada rumah tangga nelayan tersebut, nampak bahwa problema kemiskinan nelayan tradisional bersifat multidimensi, sehingga untuk mengatasinya perlu dilakukan lebih komprehensif dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang melatarbelakangi kemiskinan tersebut.

Karakteristik Nelayan Tradisional

Nelayan tradisional adalah nelayan yang dalam melaksanakan kegiatannya memanfaatkan sumber daya pesisir atau laut dengan hal-hal yang melekat pada dirinya yakni suatu kondisi yang subsisten, modal kecil, teknologi yang digunakan dan kemampuan serta perilaku yang tradisional baik dari segi keterampilan, psikologi dan mentalitas. Perahu yang digunakan relatif kecil sehingga jangkauannya tidak dapat sampai ke perairan lebih dari 5 mile. Hal ini seperti penjelasan informan istri nelayan tradisional di Kecamatan Rowosari bahwa sebagian besar suami mereka tergolong nelayan tradisional .

“Bapake niku naming tumut kapalipun juragan amargi mboten gadah perahu menopo malih kapal, kados katah-khatahipun nelayan mriki“ (Bapaknya itu hanya ikut kapalnya juragan karena tidak punya perahu apalagi kapal seperti kebanyakan nelayan disini).

Hal itulah yang diungkapan Ibu Riana dari Desa Sendang Sikucing Kecamatan Rowosari. Mengenai modal usaha pada umumnya terbatas bahkan untuk biaya operasional melaut telah disediakan oleh juragan atau pemilik perahu atau kapal.

Ibu Sutria juga mengatakan:

Page 11: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

105

“Ingkang kulo siapaken yen bapakipun miang naming rokok, sanes-sanesipun dipun sediakan ingkang gadhah perahu. Ingkang gadah perahu mangke nampi 50% saking hasilipun dene sepalihipun dipun bagi tenaga sanesipun”. (Yang saya siapkan pada waktu bapaknya melaut hanya rokok, yang lain-lainnya disediakan yang punya perahu. Yang punya perahu nanti menerima 50% dari hasilnya dan separuhnya dibagi untuk tenaga yang lain).

Nelayan tradisional merupakan salah satu kelompok nelayan di samping tiga kelompok lain sebagaimana dikemukakan oleh Satria (2009) yang menggolongkan nelayan ke dalam empat (4) kelompok yakni nelayan tradisional (peasant fisher), post – peasant fisher, commercial fisher dan industrial fisher. Karakteristik nelayan tradisional adalah: (a) teknologi penangkapan bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah terbatas dengan layar, dayung atau mesin ber-PK kecil, (b) besaran modal usaha terbatas, (c) jumlah anggota penangkapan kecil antara 2-3 orang dengan pembagian peran bersifat kolektif dan umumnya berbasis keluarga, tetangga dekat atau teman dekat, (c) orientasi ekonomisnya terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari (Kusnadi, 2003).

Pandangan Kusnadi (2003) bahwa nelayan tradisional umumnya memiliki daya jangkau tangkapan yang terbatas sesuai dengan apa yang terjadi di wilayah penelitian. Sebagaimana dituturkan oleh Ibu Sri Supriati:

“Perahu ingkang diginakaken bapake meniko naming alit milo mboten saged tebih anggenipun miang, naming caket saking pantai. Lajeng menawi pikantuk ulam inggih naming sekedik awit tebanipun nangkep ulam inggih caket kemawon, ugi kamotipun perahu ugi sekedik senadyan katah tangkepan ulam menawi sampun mboten saged momot inggih lajeng mantuk, langkung-langkung miang sakminiko mboten gampil, kadang malah mboten pikantuk ulam” (Perahu yang digunakan bapaknya hanya kecil maka tidak bisa melaut jauh hanya dekat pantai. Maka kalau mendapat ikan ya hanya sedikit karena jaringnya untuk menangkap yang dekat saja, juga muatan perahu sedikit meskipun banyak ikan bila sudah tidak muat ya langsung pulang,

Page 12: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

106

apalagi melaut sekarang tidak mudah, kadang tidak mendapat ikan).

Berdasarkan penuturan informan tersebut tampak bahwa nelayan tradisonal di Kecamatan Rowosari masih dalam kehidupan yang memprihatinkan. Kemiskinan masih membelenggu rumah-tangganya. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti adanya dampak perubahan iklim, filosofi hidupnya, keterbatasan modal dan kemampuan serta ketergantungan pada pihak lain.

Pandangan Mengenai Pekerjaan Nelayan

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan khas dan terkait ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria, 2009). Mayoritas penduduknya bermata pencaharian di sektor pemanfaatan sumber daya kelautan (marine resources based) seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambang pasir dan transportasi laut. Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Maria Ross (1999) dalamBasic Individual Values: Work Values and the Meaning of Work, International Association of Applied Psychology, 1999, 48 (1) 49 – 71) dan Martha Wasak, 2012), bahwa berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir, seperti kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan merupakan elemen kunci bagi kehidupan sosial ekonomi lokal.

Berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya pesisir, kesejahteraan masyarakat pesisir sangat tergantung dari peluang pemanfaatannya. Di sisi lain kegiatan melaut penuh resiko, usaha yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan hidup dalam alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya (Sebenan, 2007). Sebagai sumber utama kehidupan nelayan, pendapatan dari perikanan atau menangkap ikan dapat mencapai 52 % dari total pendapatan rumah tangga (K. Sesabo, RSJ Tol, 2005).

Demikian pula halnya dengan masyarakat di Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, mata pencaharian masyarakatnya

Page 13: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

107

mayoritas adalah yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan eksplorasi sumber daya pesisir atau laut. Beberapa faktor mengapa mayoritas masyarakat di wilayah ini bermatapencaharian nelayan, dapat disimak dari penuturan Ibu Muslhikah dan Ibu Sutria maupun Ibu Riana sebagai berikut :

“Pedamelan miang meniko sampun turun temurun, kados dene bapake meniko wiwit alit sampun diajari mbiyantu miang tiyang sepuhipun awit piyambakipun mboten saged nerasaken sekolahipun, sebab mboten wonten ragad, mboten gadah sabin, mboten gadah sumber pangupojiwo sanes kejawi nggih miang meniko. Milo inggih kados pundi malih, nggih dipun lampahi sanadyan awrat sangganipun” (Pekerjaan melaut ini sudah turun-temurun, seperti bapaknya mulai kecil sudah diajari membantu melaut orang tuanya karena dia tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena tidak ada biaya, tidak punya sawah, tidak punya sumber pendapatan lain kecuali melaut itu. Oleh karena itu bagaimanapun ya dijalankan meskipun berat resikonya).

Pekerjaan sebagai nelayan bukanlah pekerjaan yang mudah. Kegiatan ini penuh resiko, seperti penuturan Ibu Saudah, Ibu Kusniah dan Ibu Sri Supriati yang pada intinya:

“Miang meniko mboten gampil, pedamelanipun awrat, resikonipun ageng kadang ngantos toh nyowo kamongko hasilipun mboten mesti. Milo kulo asring nyuwun bapakipun mboten bidal miang menopo malih yen pas kathah damel gereh utawi terasi” (Melaut itu tidak mudah, pekerjaannya berat, resikonya besar kadang harus mengorbankan nyawa pada hal hasilnya tidak tentu. Maka saya sering minta bapaknya tidak berangkat melaut apalagi pada saat membuat ikan asin atau terasi banyak).

Terdapat beberapa aspek penting masyarakat pesisir antara lain: (a) ciri khas wilayah pesisir dari aspek Biofisik wilayah berupa ruang pesisir dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya sehingga intervensi manusia terhadapnya akan menimbulkan perubahan yang signifikan. Kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya sering memiliki sifat terbuka, tidak diatur, siapa saja dapat

Page 14: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

108

memanfaatkan. Kondisi ini sering menimbulkan konflik, (b) Karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir di Kecamatan Rowosari pada umumnya pendidikan atau sekolahnya termasuk rendah, mayoritas hanya sampai pendidikan Sekolah Dasar saja. Seperti dinyatakan Ibu Sutria :

“Radin – radin nelayan mriki niku mboten sekolah, paling sekolahipun SD. Kados pundi bade sekolah wong ragadipun mboten wonten, wiwit alit dipun ajari utawi diajak miang” (Rata-rata nelayan disini tidak sekolah paling sekolahnya SD. Bagaimana akan sekolah biaya tidak ada, sejak kecil diajari atau diajak melaut).

Rendahnya pendidikan ini menimbulkan implikasi sulitnya mencari alternatif pekerjaan lain di luar pekerjaan sebagai nelayan manakala kondisi melaut tidak mungkin seperti pada musim angin Timur yang ditandai dengan gelombang tinggi. Hambatan muncul karena mereka tidak memiliki keterampilan yang sesuai sebagaimana dibutuhkan untuk pekerjaan di luar kenelayanan, padahal pada masa-masa nelayan tidak melaut atau masa paceklik karena kendala ombak atau musim, mereka tetap memerlukan pendapatan. Untuk itu mereka perlu mencari pekerjaan lain tetapi hal ini umumnya sangat sulit diperoleh kecuali pekerjaan yang lebih mengutamakan penggunaan tenaga, yakni sebagai buruh, tukang batu, tukang ojek dan sebagainya. Banyak juga pada musim tidak melaut nelayan menganggur karena mencari pekerjaan lain tidak mudah. Simak pernyataan informan Ibu Sutria sebagai berikut:

“ Miang niku mboten saged terus kemawon, paling saben tahun naming watawis sekawan utawi gangsal wulan, lha ingkang wolung wulan nganggur. Salebetipun mboten miang kan keluarga tetap betah arto kangge nyekapi kebutuhan rumah tangga, milo inggih sami pados pedamelan sanes. Pados damelan sanes mboten gampil sanadyan naming buruh kemawon. Nelayan meniko umumipun mboten gadhah ketrampilan sanes kejawi miang amargi sekolahipun naming SD utawi malah mboten sekolah. babar pisan” (Melaut itu tidak bisa terus saja, paling tiap tahun hanya sekitar empat atau lima bulan, yang delapan bulan menganggur. Selama tidak melaut kan keluarga tetap membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, maka ya mencari

Page 15: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

109

pekerjaan lain. Mencari pekerjaan lain tidak mudah meskipun sebagai buruh saja. Nelayan itu pada umumnya tidak mempunyai keterampilan lain kecuali kecuali melaut karena sekolahnya hanya SD atau tidak sekolah sama sekali).

Kenyataan tersebut mencerminkan kesulitan nelayan untuk mencari alternatif sumber pendapatan lain selain melaut yang disebabkan antara lain karena mereka tidak memiliki keterampilan lain di luar keterampilan menangkap ikan di laut, salah satu sebabnya karena pendidikan mereka rendah (Macerinskjene dan Valsknoraite, 2006, The World’ Fish Center, 2010 : Issues Breif No 2108, August 2010). Pendidikan bukan merupakan prioritas rumah tangga nelayan padahal sesungguhnya pendidikan penting apalagi pendidikan tinggi sebagaimana dikemukakan oleh Macerinskjene dan Valsknoraite, 2006: The Role of Higher Education to Economic Development, Vidya Management 2006 Nr 2 (11)berikut ini. The higher education influence well – being in here ways : (a) the direct experience by the institutions, their employee and their students impact the local economy, (b) provides financial and non- financial benefits to the individual who pursues and advanced education and to society in general, (c) institutions of higher education are increasingly focused on knowledge creation.

Jelas kiranya bahwa pendidikan memiliki manfaat baik secara individu maupun secara social. Sebagaimana juga dikemukakan oleh Rhona Walusimbi & Ephraim (2004) bahwa pendidikan akan meningkatkan peluang rumah tangga dalam hal upah atau gaji atas sumber daya tenaga kerja yang dimiliki serta meningkatkan kemampuan mereka untuk berbagai kegiatan.

The World’Fish Center (2010) menyatakan bahwa pada komunitas nelayan, kaum perempuan dan anak-anak perempuan biasanya merupakan kelompok yang paling menderita dari aspek pendidikan. Sebagaimana pernyataan berikut ini: Women and girls within these communities can suffer the worst level of education and health. Hal lain yang menarik untuk dicermati ialah mengenai variasi pola pembagian hasil melaut antara pemilik perahu atau juragan laut dengan tenaga atau Anak Buah Kapal. Pertama, pemilik perahu

Page 16: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

110

menerima 50% hasil tangkapan setelah dikurangi biaya operasional melaut. Selanjutnya yang 50% dibagi secara merata kepada semua tenaga atau Anak Buah Kapal yang terlibat. Kedua, pemilik dan ABK menerima masing-masing 40% , sedangkan yang 20% disisihkan.

Pada kalangan istri nelayan tradisional muncul pandangan mengenai pekerjaan nelayan yang tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan rumah tangga sebagaimana dituturkan oleh Ibu Sulianah:

“Bapakipun jarang melaut, kulo kedah mbantu menuhi kebutuhan sehari-hari, misale bapakipun miang, nggih lumayan angsal Rp 50.000 ngantos Rp 100.000,- sekali miang, lumayan kanggem bantu kulo, amargikulo ingkang menuhi kebutuhan sedanten, upahe bapakipun dados ABK kangge mbantu sekedik mawon” (Bapaknya jarang melaut, saya harus membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, misalnya bapaknya melaut ya lumayan mendapat Rp 50.000 sampai Rp 100.000,- setiap melaut, bisa untuk membantu saya, karena saya yang memenuhi semua kebutuhan, upahnya bapak sebagai ABK untuk membantu sedikit saja).

Oleh karena nelayan tidak dapat melaut sepanjang tahun maka nelayan mengalami musim paceklik yaitu pada saat mereka tidak melaut yang artinya tidak memperoleh pendapatan dari kegiatan menangkap ikan. Berkaitan dengan hal ini dituturkan oleh informan Ibu Saudah tentang apa yang dilakukan menghadapi masa paceklik :

“Sadeane kulo nggih tergantung kaliyan hasil tangkepane nelayan, kulo mboten mendet utawi tumbas ikan saking TPI, lintune kulo tumbas langsung nelayan dadose misale tangkapane nelayan sekedik, sadeane kulo nggih sekedik. Kulo nggih kadang utang teng bank “bangkit”, bungane alit dadose kulo sering utang teng mriku, mangke nek wonten rezeki, utangipun langsung kulo bayar”(Jualan saya ya tergantung pada hasil tangkapannya nelayan, saya tidak mengambil atau membeli ikan dari TPI, gantinya saya membeli langsung nelayan jadi misalnya tangkapan nelayan sedikit, jualan saya ya sedikit. Saya kadang meminjam di Bank “bangkit”, bunganya kecil jadi saya sering pinjam disitu, nanti bila ada rejeki pinjamannya langsung saya bayar).

Page 17: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

111

Kehidupan Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Tradisional Memperhatikan penjelasan dari beberapa informan, penelitian

ini mengkaji mengenai kehidupan ekonomi masyarakat pesisir. Mereka umumnya menyatakan bahwa kesejahteraan yang diukur dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari cukup lumayan, artinya pendapatan rumah tangga baik pendapatan dari suami atau nelayan maupun istri “cukup“ untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penuturan berikut kiranya memberikan gambaran mengenai apa yang dipaparkan tersebut. Ibu Muslihah menyatakan :

“Menawi kangge maem saben dintenipun hasil saking miang menawi pikantuk ulam lan saking kulo nggih saged nyekapi, ning nggih dipun cekap-cekapaken, kangge kebetahan sanes kados to ragad sekolah, ragad menawi sakit saket awrat, langkung - langkung menawi bapakipun mboten pikantuk hasil ”(Kalau untuk makan setiap harinya hasil dari melaut kalau mendapat ikan ya bisa mencukupi, tapi ya dicukup-cukupkan, untuk kebutuhan yang lain seperti biaya sekolah, biaya kalau sakit berat, apalagi kalau bapaknya tidak mendapat hasil).

Apa yang diungkapkan di atas mencerminkan bahwa hasil kegiatan melaut memiliki arti bagi kesejahteraan rumah tangga nelayan. Sebagaimana dinyatakan Ross (1999) bahwa rumah tangga masyarakat pesisir dapat memanfaatkan sumber daya laut melelalui berbagai bentuk kegiatan sebagai suatu strategi mata pencaharian. Beberapa temuan penelitian Ross (1999) mengenai kehidupan masyarakat nelayan atau pesisir antara lain: terdapat berbagai bentuk kegiatan masyarakat pesisir seperti: agriculture activities (farming and livestock production), fishing, seaweed – farming, wage employment dan self – employment.

Demikian juga berdasar pengamatan atas pemukiman komunitas nelayan di Kecamatan Rowosari relatif cukup tertata dengan baik dalam arti bukan pemukiman yang kumuh. Rumah mereka umumnya terbuat dari dinding batu bata, sebagian lantai terbuat dari keramik, namun ukuran rumahnya kecil dan banyak yang tidak memiliki pekarangan serta asset yang dimiliki sederhana seperti

Page 18: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

112

tidak ada meja tamu, tidak ada meja makan, ruang makan menjadi satu dengan ruang keluarga dan sebagainya.

Masalah yang dirasakan berat apalagi di masa mendatang ialah semakin sulitnya memperoleh pendapatan dari kegiatan melaut karena banyaknya nelayan yang melaut, ikan tidak sempat berkembang biak sehingga jumlahnya semakin sedikit. Dengan kata lain sumber daya laut semakin berkurang sehingga kegiatan melaut tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan rumah tangga. Sebagaimana dituturkan oleh Ibu Nurhayati, Ibu Sri Supriati yang pada intinya sebagai berikut :

“Pados ulam dateng laut sakmeniko mboten gampil bu, katah ruginipun, mboten pikantuk hasil, menawi pikantuk hasilipun sangsoyo sekedik, kamongko biaya miang meniko mboten sekedik. Dados rumah tangga nelayan sakmeniko mboten saged ngandelaken pedamelanipun bapakipun anggenipun miang. Pramilo kulo utawi anak ingkang sampun ageng mboten saged kendel kemawon kedah cawe – cawe pados pangupojiwo” (Mencari ikan di laut sekarang tidak mudah bu, banyak ruginya, tidak mendapat hasil, kalau mendapat hasilnya semakin sedikit, pada hal biaya melaut tidak sedikit, jadi rumah tangga nelayan sekarang tidak dapat mengandalkan pekerjaan bapaknya melaut. Oleh karena itu saya dan anak yang besar tidak bisa diam saja harus ikut mencari pendapatan).

Ungkapan tersebut menunjukkan penilaian istri nelayan tradisional mengenai sulitnya mengandalkan pekerjaan melaut dan salah satu alasan mengapa istri nelayan tradisional sebagai bagian dari rumah tangga nelayan tradisional terdorong untuk turut terlibat mencari pendapatan atau melakukan kegiatan produktif agar dapat menopang kebutuhan ekonomi rumah-tangganya.

Kenyataannya para nelayan tradisional tidak dapat melaut sepanjang waktu karena banyaknya kendala seperti perubahan iklim, musim ikan berubah, wilayah tangkapan berubah, berkurangnya ikan dan resiko melaut tinggi. Oleh karena itu tidak jarang rumah tangga nelayan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena berkurangnya pendapatan. Jika hal ini terjadi maka

Page 19: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

113

yang dilakukan mereka antara lain meminjam uang pada juragan, pedagang/tengkulak, BRI, Koperasi atau menjual asset yang dimiliki seperti radio, TV, HP, alat rumah tangga dan sebagainya agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Seperti diungkapkan oleh Ibu Sumiati dan Ibu Supriati berikut ini:

“Menawi Bapake mboten miang dados mboten wonten arto kangge nyekapi kebetahan griya nggih kapekso ngampil juraganipun utawi sadeyan radio, TV utawi HP” (Kalau Bapaknya tidak bisa melaut jadi tidak ada uang untuk mencukupi kebutuhan rumah ya terpaksa meminjam juragannya atau menjual radio, TV atau HP).

Gambaran kondisi tersebut sejalan dengan pandangan Sihiva dan Mies dalam Candraningrum Dewi (2014), yang menyatakan bahwa pada akhirnya akan terdapat ruang atau akses yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan dan pelestarian alam. Hal ini merupakan kritik terhadap pendekatan pembangunan yang tidak memperhatikan keberlangsungan ekologis sekaligus meminggirkan salah satu entitas manusia yang dalam hal ini adalah perempuan. Perempuan pada akhirnya lebih mampu berperan memecahkan masalah melalui pengalaman dalam pengelolaan rumah tangga dan pelestarian alam.

Dalam perkembangannya kehidupan rumah tangga nelayan dewasa ini, perempuan lebih mampu untuk turut serta mengatasi masalah perekonomian rumah tangga yang salah satunya disebabkan oleh faktor lingkungan. Perempuan dalam hal ini termasuk istri nelayan ikut membantu ekonomi rumah-tangganya dengan mencari uang melalui kegiatan atau pekerjaan produktif. Aktitas ini tentunya tanpa mengurangi pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan mengurus anak dan sebagainya, para istri nelayan dapat melakukan kegiatan atau pekerjaan produktif. Misalnya berjualan ikan segar atau ngeber, mengolah ikan menjadi ikan asin atau nggereh, membuka warung makan, menjadi buruh dan sebagainya. Dengan demikian pendapatan rumah tangga nelayan dapat

Page 20: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

114

diperoleh dari dua sumber yaitu dari suami dan istrinya. Hal ini dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari seperti makan, sandang dan merawat rumah, pendidikan anak dan sebagainya.

Menurut Rhona Walusimbi & Ephraim, 2004 , Community and Household – Level Income & Asset (Status Base line Sruvey Report) Kampala : International Food Policy Research Institute), ada sejumlah faktor yang menentukan pendapatan rumah tangga, sebagaimana pernyataan berikut ini “Household income is determined by house level factors such as household endowments of physical assets (PA) (eg, livestock and equipment), and human capital (HC) (assets embodied in people’s knowledge and abilities, such as education, experience and training),social capital (SC) (assets embodied in social relationships, such as through participation in organizations or network, financial capital (FC) (access to liquid assets, including credit and savings), and natural capital (NC) (assets embodied in natural resources, including the quantity and quality of land, trees and acces to other resources).

Meskipun istri nelayan sudah melakukan kegiatan atau pekerjaan produktif, pada umumnya rumah tangga nelayan belum mampu menabung, kalau ada sisa disimpan di rumah dengan alasan bila nanti dibutuhkan dapat cepat dipergunakan. Kondisi ini biasanya dilakukan oleh para istri nelayan sebab menurut Ibu Riana:

“Bapake niku ngertose kebutuhane saget dicukupi” (Bapaknya itu tahunya kebutuhannya dapat dicukupi)

Peran Istri Nelayan Dalam Kehidupan Rumah Tangga Istri nelayan tradisional pada umumnya mempunyai peran

ganda yakni sebagai ibu rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengurus anak dan sebagainya atau kegiatan yang berkaitan dengan kasur-sumur-dapur. Hal ini sesuai dengan Teori Nature bahwa perempuan mempunyai peran dan tugas secara kodrati sehingga harus diterima. Disisi lain istri nelayan tradisional juga melakukan pekerjaan

Page 21: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

115

selain pekerjaan rumah tangga tersebut yakni pekerjaan untuk memperoleh pendapatan agar lebih dapat memenuhi kebutuhan rumah-tangganya. Meskipun kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan para istri nelayan tradisional ini bersifat informal dan eksploitatif. Bersifat informal karena tidak ada ikatan dengan orang atau pihak lain seperti atasan atau pemberi kerja dan juga tidak ada supervisi. Bersifat eksploitatif, dalam hal ini secara konseptual karena para istri nelayan tradisional dengan melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang mengerjakan pekerjaan seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengurus anak juga melakukan kegiatan atau pekerjaan produktif yang dapat mendatangkan pendapatan. Kondisi ini membutuhkan waktu, pikiran yang lebih banyak dibanding kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan nelayan atau suami.

Berbagai penelitian seperti di Sulawesi Utara mengenai rumah tangga nelayan ditemukan bahwa rumah tangga nelayan yang pekerjaannya semata-mata tergantung pada usaha menangkap ikan memperoleh pendapatan yang hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (Martha Wasak, 2012). Keterlibatan istri nelayan dalam kegiatan untuk mendapat pendapatan mencerminkan bahwa kondisi ini sesuai dengan Teori Nuture dimana peran dan tugas perempuan yang berbeda dengan laki-laki adalah hasil kontruksi sosial budaya masyarakat. Dengan demikian tidak ada salahnya bila perempuan termasuk istri nelayan melakukan kegiatan produktif untuk mendapatkan pendapatan tanpa mengabaikan kegiatan atau pekerjaan rumah-tangganya. Tuntutan terhadap istri nelayan untuk memperoleh pendapatan semakin kuat manakala rumah tangga mereka tidak memiliki sumber pendapatan lain kecuali dari kegiatan suami melaut dan jumlah tanggungan keluarga mereka banyak. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika masyarakat nelayan terbelenggu oleh kondisi kemiskinan (Mohamad Raduan,dkk, 2007, Jati Vol 12 Desember 2000).

Page 22: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

116

Dengan melakukan kegiatan atau pekerjaan produktif ternyata tidak hanya memperoleh uang tetapi juga mendapat teman seperti yang disampaikan oleh Ibu Riana:

“Saget nyambut damel niku seneng Bu, kancane kathah tambah sedulur mboten namung angsal arto mawon. Nek gawean teng ngomah punrampungnganggur to Bu, eman-eman luwih becik nyambut damel atine nggih iso seneng” (Bisa bekerja itu senang Bu, temannya banyak tambah saudara tidak hanya mendapat uang. Kalau pekerjaan di rumah sudah selesai menganggur Bu, lebih baik bekerja hatinya juga bisa senang).

Ibu Riana dalam mengerjakan kegiatan atau pekerjaan rumah-tangganya pagi-pagi sesudah “Subuhan” selesai, kira-kira jam 07.00 berangkat ke TPI Sendang Sikucing untuk melakukan kegiatan produktif sebagai pengolah ikan menjadi ikan asin atau nggereh, kemudian jam 17.00 pulang ke rumah. Hal ini juga disampaikan oleh Ibu Saudah:

“Teng omah thenguk-thenguk, sadean seneng angsal hawa enggal. Tiyang ingkang tumbas ayu-ayu, bagus-bagus” (Di rumah duduk-duduk, jualan senang dapat udara segar. Orang yang membeli cantik-cantik, ngganteng-ngganteng).

Demikian pula yang dilakukan Ibu Sutria pekerjaan rumah tangga diserahkan kepada anaknya yang sudah memiliki suami dan tinggal satu rumah sehingga Ibu Sutria seharian berada di lokasi kegiatan produktif yang tidak jauh dari rumahnya.

“Remen Bu mboten mikir urusan ngomah” (Seneng Bu tidak memikirkan urusan rumah)

Informan Ibu Sumiati menyampaikan bahwa pekerjaan rumah tangga diselesaikan sebelum melakukan kegiatan produktif sebab Ibu Sumiati melakukan kegiatan produktif dengan menjual hasil tangkapan suaminya yang pulang sekitar jam 13.00. Meskipun menjual hasil tangkapan suaminya Ibu Sumiati tetap harus membeli pada suaminya.

“Kan mboten ngganggu Bapake lan anak-anak, maemanipun pun siap, omah pun resik kantun ngentasi memehan “ (Kan

Page 23: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

117

tidak mengganggu Bapaknya dan anak-anak, makannya sudah siap, rumah sudah bersih tinggal mengambil jemuran)

Dari berbagai informasi para istri nelayan tradisional tersebut menunjukkan bahwa mereka merasa senang dapat berperan ganda. Selain mereka harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, di sisi lain melakukan kegiatan produktif untuk mendapatkan pendapatan yang dapat mendukung ekonomi rumah-tangganya. Dengan demikian kebutuhan rumah-tangganya lebih dapat terpenuhi.

Peran istri nelayan tradisional dalam kegiatan ekonomi pada dasarnya merupakan perwujudan dari perilaku sosial karena dalam melakukan kegiatan ekonomi pasti berhubungan dengan orang lain. Perilaku atau kegiatan ekonomi yang dilakukan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari pihak luar. Di samping itu menurut Habermas (1981) perilaku sosial diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: (a) perilaku berdasarkan kebiasaan, (b) perilaku konvensional berdasarkan kesepakatan, (c) perilaku strategis dan (d) perilaku pasca konvensional. Demikian pula perilaku para istri nelayan dalam melakukan kegiatan ekonomi atau kegiatan produktif di Kecamatan Rowosari merupakan perilaku berdasarkan kebiasaan. Hal ini ditunjukan dari banyaknya istri nelayan yang telah melakukan kegiatan atau pekerjaan produktif sejak masih muda atau belum menikah. Seperti yang disampaikan Ibu Saudah bahwa:

“Saking nem-neman kulo pun nggereh dereng mikir butuh nangingrencangi tiyang sepuh tur seneng mawon, tinimbang nglangut, kulomending sadean. Anak kulo sampun ageng. Kulo stress menawi teng griyo mawon” (Sejak muda saya sudah membuat ikan asin belum memikirkan kebutuhan tetapi membantu orang tua dan senang saja, daripada melamun, saya lebih baik jualan. Anak saya sudah besar. Saya stres kalau hanya di rumah saja).

Demikian halnya yang dilakukan Ibu Sutria kegiatan atau pekerjaan produktif juga dilakukan sejak sebelum menikah dengan alasan:

Page 24: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

118

“Gaweane niku mboten angel Bu, modale sithik, hasile cepet disade. Seneng Bu hasile langsung ketingal tur nggone kerjo mboten tebih kaliyan griyo” (Pekerjaannya itu tidak sulit Bu, modalnya sedikit, hasilnya cepat dijual. Senang Bu hasilnya langsung kelihatan dan tempat kerjanya tidak jauh dari rumah).

Ibu Supriati menuturkan bahwa melakukan kegiatan atau pekerjaan produktif senang karena dapat memenuhi kebutuhannya:

“Alhamdulilah saget nyekapi kebutuhan” (Alhamdulilah bisa mencukupi kebutuhan).

Ibu Sumiati juga menuturkan bahwa menjual hasil ikan tangkapan suaminya dengan alasan:

“Nek hasile Bapake ditangani dewe niku sami mareme Bu mboten keliyan tur nggih pada-pada kerjo dadose sekeco” (Jika hasil yang diperoleh Bapaknya ditangani sendiri sama-sama merasa puas Bu tidak jatuh ke tangan orang lain dan sama-sama bekerja jadinya enak)

Peran istri nelayan dalam kegiatan ekonomi pada umumnya dilakukan berdasarkan kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua atau tetangganya. Jadi mereka melakukan kegiatan produktif secara turun- temurun, mereka tidak pernah memperoleh pendidikan secara formal baik secara teknis maupun teoritis.

Perempuan perdesaan memiliki keterbatasan keterampilan sehingga tidak banyak pilihan pekerjaan yang dapat dilakukan. Pekerjaan yang mampu dilakukan adalah pada lapangan pekerjaan informal yang tidak jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Demikian pula pada kehidupan perempuan nelayan di Kecamatan Rowosari. Mereka pada dasarnya menyatakan bahwa kegiatan atau pekerjaan produktif yang mereka lakukan adalah tidak sulit hanya membutuhkan waktu dan tenaga, setiap orang pasti bisa melakukan. Meskipun demikian di Kecamatan Rowosari masih banyak istri nelayan yang tidak melakukan kegiatan produktif dengan alasan merawat anak-anak yang masih kecil atau tidak mau repot karena harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan sekaligus harus melakukan kegiatan atau

Page 25: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

119

pekerjaan produktif, ada pula yang malu atau malas, seperti diungkapkan Ibu Saudah:

“ Ingkang mboten nyambut damel meniko kejawi gadah lare alit, wonten ingkang kesed utawi isin “ (Yang tidak bekerja itu kecuali mempunyai anak kecil, ada yang malas atau malu).

Apa yang dilakukan istri nelayan sebenarnya bukan merupakan bentuk emansipasi wanita namun dalam lingkup yang sedikit lebih kecil. Istri nelayan turut beraktivitas, tidak hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mereka ikut menjadi penggerak perekonomian keluarga dengan turut bekerja menambah penghasilan. Alasanya yang dikemukakan lebih kepada dorongan kebutuhan dan keinginan untuk selalu beraktualisasi diri dengan lingkungan. Inilah yang menjadikan satu sisi menarik dari pola pekerjaan yang dilakukan oleh istri nelayan. Biasanya istri nelayan turut bekerja karena didorong oleh keinginan untuk menambah penghasilan keluarga, membantu mencukupi kebutuhan dan lain sebagainya. Namun alasan yang dikemukakan oleh para istri nelayan mungkin sedikit memberikan pandangan baru bagi kajian mengenai gender. Keinginan untuk beraktualisasi diri dengan lingkungan sekitar adalah salah satu faktor pendorong paling kuat yang menjadikan istri nelayan turut bekerja pendapatan.

Tidak ada sesuatu yang baru sebenarnya dari alasan yang banyak dikemukakan oleh para informan. Namun apabila dikaji lebih dalam lagi, keinginan untuk beraktualisasi menunjukan makna bahwa para istri nelayan ingin menunjukan diri kepada komunitasnya bahwa kegiatan produktif juga dapat dilakukan oleh perempuan. Padahal sangat jelas bahwa pendidikan formal mereka umumnya rendah, sehingga keinginan untuk berperan lebih dalam peta pemenuhan kebutuhan rumah tangga bukan karena pendidikan yang tinggi namun lebih kepada alasan keinginan untuk selalu berinteraksi sosial. Hal ini juga semakin menunjukan sebuah fenomena empiris bahwa interaksi sosial merupakan salah satu alasan utama. Masyarakat pesisir menunjukan kesan yang jauh dari kata individualistis, karena bagi

Page 26: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

120

mereka, bekerja itu tidak sekedar mencari pendapatan namun juga proses interaksi sosial.

Terdapat sebuah realitas empiris yang menjadi penekanan secara mendalam. Selama ini aktivitas ekonomi dianggap sebagai rangkaian kegiatan dalam rangka upaya memenuhi kebutuhan hidup ekonominya, sehingga aktivitas yang dilakukan tak jauh dari input, output, utility dan lain sebagainya. Asumsi ekonomi menyatakan bahwa setiap orang akan berusaha memaksimumkan kepuasan yang dimiliki. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan telaah lebih dalam lagi. Yang dilakukan istri nelayan dalam menjalankan kegiatan produktif dan sosial tidak mengesankan mereka berupaya memaksimumkan utility yang ingin diperoleh.

Para istri nelayan cenderung ingin bekerja secara berkelompok dalam komunitas-komunitas besar. Jarang sekali ditemukan istri nelayan bekerja sendiri dan sangat individual. Naluri sosial yang tinggi, keinginan untuk terus berinteraksi dengan komunitasnya dianggap menjadi salah satu alasan tersendiri.

Terkait dengan analisis pada bagian sebelumnya, para istri nelayan menunjukan kesan menjalani kehidupan sosial dengan tidak individualis. Masyarakat keluarga nelayan khususnya istri nelayan sangat menyadari bahwa mereka hidup sebagai bagian komunal dari komunitas sosial yang homogen. Para istri nelayan yang melakukan kegiatan produktif pada umumnya juga mengikuti kegiatan sosial seperti PKK dan Pengajian. Namun mereka lebih aktif dalam mengikuti pengajian dengan alasan yang hampir sama yakni mengikuti pengajian amat menyenangkan, menentramkan hati dan memotivasi untuk lebih tekun beribadah, kata Ibu Sutria maupun Ibu Sumiati menyatakan:

“Nderek pengajian meniko seneng, ayem mboten kemrungsung” (Ikut pengajian itu menyenangkan, tentram tidak gelisah).

Ibu Sri Supriyati juga menyatakan perasaannya tenang setelah mengikuti pengajian karena lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Ibu

Page 27: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

121

Sri Mulyati menyatakan dapat bertemu dengan tetangga yang merupakan saudara, perasaan senang mendengarkan pengajian, menjadi semangat lagi dalam hidup dan bekerja. Ibu Saudah senang dan menikmati bisa ketemu tetangga dan bercengkerama. Ibu Kusniah, Ibu Sulianah dan Ibu Muslikah pada dasarnya sama perasaannya dalam mengikuti pengajian yakni menyenangkan, menenangkan hati dan dapat bergaul dengan sesama.

Di samping perasaan para istri nelayan seperti tersebut di atas, mengikuti pengajian juga memiliki nilai dan makna yang mendalam dalam hidup mereka. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Sutria dengan mengikuti pengajian dapat menumbuhkan ketaqwaan, kesalehan, keprasahan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat dan hidup bukan hanya soal jasmani melainkan rohani perlu dibina dan dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan. Ibu Kusniah menyatakan bahwa dengan mengikuti pengajian memberikan hasil berupa penyegaran rohani dan keluar dari rutinitas dan manusia tidak dapat hidup sendiri harus saling terkait dengan manusia yang lain karena manusia adalah makhluk sosial. Lain lagi dengan Ibu Saudah yang memaknai bahwa dengan mengikuti pengajian dapat memperat silahturami dan persaudaraan, semakin bersyukur serta ikhlas menerima hidup. Ibu Muslikah menyatakan bahwa pengajian memberikan wadah aktualisasi diri para istri nelayan dan menunjukkan pentingnya aktivitas kemasyarakatan karena manusia adalah makhluk sosial.

Ibu Nurhayati menyatakan bahwa dengan mengikuti pengajian hidup semakin tenang karena selalu dekat dengan keluarga, “sareh dan sumeleh” (sabar dan berserah diri). Dengan bersosialisasi menjadi terhibur, menjalin kekerabatan semakin erat. Ibu Sri Mulyati menuturkan bahwa dengan mengikuti pengajian dapat mempererat kehidupan sosial dan ketaatan pada Yang Maha Kuasa, membuat hidup ini “mboten kemrungsung lan mboten ngoyo” (tidak gelisah dan tidak ambisius), merasa selalu diingatkan bahwa segala sesuatu, untung - rugi, sakit - sehat, senang - bahagia ada yang mengatur dan oleh karenanya harus selalu berusaha.

Page 28: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

122

Kegiatan sosial merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri. Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat pesisiran hidup seperti komunitas perdesaan pada umumnya, sangat sosial, toleransi dan berusaha selaras dengan lingkungan. Aktivitas sosial kemasyarakatan ini merupakan wadah yang menampung kegiatan para istri nelayan. Para istri nelayan sudah sangat terbiasa dengan pola hidup non formal. Hal itulah yang ikut membentuk konstruksi berfikir mereka. Maka dari itu, kegiatan-kegiatan yang sifatnya non formal, aktivitas kemasyarakatan menjadi sebuah hal baru dan perwujudan sosialisasi mereka dengan lingkungan.

Rangkuman Perubahan iklim menimbulkan dampak ekologis maupun

sosial ekonomis yang cenderung merugikan atau membahayakan bagi kehidupan masyarakat terutama bagi masyarakat pesisir yang mayoritas sumber mata pencahariannya berkaitan dengan sumber daya kelautan seperti nelayan terutama nelayan tradisional.

Nelayan tradisional adalah nelayan kecil baik dari aspek sarana prasarana peralatan tangkap maupun dari aspek sosial ekonomi. Dari aspek sarana prasarana tangkap nelayan tradisional umumnya menggunakan perahu kecil dengan mesin yang kemampuan jelajahnya amat terbatas. Dari aspek sosial ekonomi, pada umumnya nelayan tradisional berpendidikan rendah, menekuni pekerjaan sebagai nelayan merupakan tradisi secara turun-temurun dari orang tua mereka dan ekonomi mereka tergolong ekonomi subsisten.

Kelemahan nelayan tradisional baik dari aspek teknologi alat tangkap maupun dari aspek ekonomi berdampak pada kehidupan ekonomi rumah tangga mereka. Pendapatan dari kegiatan kenelayanan yang tidak pasti sebagai akibat dari perubahan iklim dan frekuensi melaut dewasa ini tidak dapat diandalkan lagi. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya sumber pendapatan alternatif di luar kegiatan melaut. Namun demikian mendapatkan mata pencaharian di luar melaut bukan hal mudah bagi nelayan, salah satu

Page 29: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

BAB 4 – POTRET KEHIDUPAN RUMAH TANGGA NELAYAN TRADISIONAL

123

sebabnya ialah keterbatasan keterampilan sebagai akibat dari pendidikkan mereka yang rendah sehingga sulit untuk bekerja di luar melaut seperti bekerja di pabrik, menjadi buruh dan sebagainya.

Pada saat yang sama, keluarga nelayan tidak hanya dihadapkan pada bayang-bayang kemiskinan, namun telah berhadapkan dengan situasi kemiskinan. Kemiskinan yang dialami bukan merupakan fenomena baru, tapi merupakan warisan dari nenek moyang. Sejak dulu hingga sekarang keluarga nelayan belum pernah masuk ke dalam kategori keluarga sejahtera. Kemiskinan diakibatkan oleh rendahnya pendapatan karena kepemilikan faktor produksi yang terbatas serta beragam faktor lain terkait struktur perekonomian pesisir.

Kemiskinan adalah salah satu masalah pokok dalam upaya peningkatan kualitas kesejahteraan penduduk suatu negara. Masyarakat pesisir atau keluarga nelayan secara turun-temurun telah terjebak dalam siklus kemiskinan yang diakibatkan karena struktur perekonomian.

Peran istri nelayan tradisional dalam kehidupan rumah tangga adalah pada ranah domestik yakni istri nelayan sebagai ibu rumah tangga, istri dan pengelola rumah tangga. Tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, belanja dan juga merawat anak atau kegiatan yang meliputi kasur-sumur-dapur. Namun demikian tampaknya kondisi ekonomi rumah tangga nelayan yang tidak dapat lagi mengandalkan sumber pendapatan dari suami sebagai nelayan mendorong istri nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan publik yakni melakukan kegiatan atau pekerjaan produktif yang dapat menghasilkan pendapatan. Dengan demikian istri nelayan memiliki peran ganda dalam rumah tangga yakni melakukan kegiatan domestik dan kegiatan publik. Kegiatan domestik menjadi tanggung jawab istri meskipun terkadang tidak dilakukan sendiri. Hal ini dikarenakan istri nelayan tersebut secara bersamaan harus melakukan kegiatan domestik dan kegiatan produktif sehingga kegiatan domestik biasanya diserahkan kepada anggota rumah-tangganya.

Page 30: Potret Kehidupan Rumah Tangga Nelayan Tradisional

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

124

Kegiatan istri nelayan dalam melakukan kegiatan produktif umumnya didorong oleh desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Istri nelayan dituntut memiliki sumber pendapatan yang dapat berfungsi sebagai sumber pendapatan rumah tangga selain pendapatan dari suami. Para istri nelayan menyatakan bahwa dengan memiliki pendapatan melalui kegiatan produktif, mereka dapat meringankan beban suami, rumah tangga mereka lebih terjamin, kemampuan membekali pendidikan anak lebih terjamin dan mereka merasa senang karena ada variasi dalam kehidupannya.

Kegiatan produktif yang dilakukan istri nelayan pada umumnya memiliki keterkaitan dengan kegiatan suami mereka yakni berkaitan dengan ikan atau hasil tangkapan nelayan sebagai bahan baku. Usaha yang dilakukan dapat dibedakan ke dalam dua kelompok yakni (a) pengolahan ikan untuk meningkatkan nilai tambah dan (b) pembelian ikan kemudian dijual kepada pembeli atau pedagang. Kegiatan pengolahan antara lain dalam bentuk pembuatan ikan asin, terasi dan kerupuk.Kegiatan atau usaha yang dilakukan istri nelayan umumnya ada disekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan curahan waktu yang cukup lama. Mereka yang berusaha membuat ikan asin hampir seharian berada di lokasi usaha atau kegiatan produktif.

Sumbangan istri nelayan terhadap ekonomi rumah tangga nelayan dilihat dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari tampaknya cukup berarti. Hal ini terbukti sumbangan pendapatan istri nelayan dapat mengurangi ketergantungan nelayan pada juragan atau tengkulak, mengurangi ketidakstabilan pendapatan suami. Di samping melakukan pekerjaan rumah tangga dan kegiatan produktif istri nelayan pada umumnya juga terlibat dalam kegiatan sosial seperti pengajian dan kegiatan PKK. Kegiatan pengajian umumnya lebih diprioritaskan dibanding dengan kegiatan PKK dengan alasan kegiatan pengajian memberi manfaat besar bagi kehidupan bukan hanya kehidupan pribadi melainkan juga bagi kehidupan rumah tangga dan masyarakat.