potensi penerimaan pajak bumi dan bangunan (studi kasus kota bandung)

29
1 POTENSI P E N E R I M A A N PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PEDESAAN DAN PERKOTAAN (Studi Kasus di Pemda Kota Bandung) HIKMAH NUR AZZA 109084000042 Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011 [email protected] 1. Pendahuluan Dalam bidang perpajakan, untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah pemerintah pusat telah memberikan bagian penerimaan yang berasal dari pajak pusat untuk kegiatan pembiayaan dan pembangunan bagi pemerintah daerah. Saat ini, pajak pusat yang sebagian penerimaannya telah diberikan kepada pemerintah daerah antara lain Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Orang Pribadi dalam Negeri dan Pajak Penghasilan. Sebagian besar telah diberikan seperti Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sedangkan pajak lainnya masih sebagian kecil saja. Pembagian penerimaan pajak pusat pemerintah daerah merupakan contoh penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia. Tabel 1 Target dan Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) APBD Kota Bandung Tahun 2008 Tahun 2008 Target Dalam Persen Realisasi APBD Rp. 999.389.000.000 88,24% Rp.1.125.000.000.000 Sektor pedesaan, perkotaan, Rp. 2.221.000.000.000 97,89% Rp.2.269.000.000.000 perkebunan, perhutanan, dan pertambangan Penerimaan dana bagi hasil pajak Rp. 351.223.000.000.000 112,41% Rp 312.449.000.000.000 Pos dana perimbangan Rp. 1.903.000.000.000 30,05% Rp.1.125.000.000.000 Penerimaan dll Rp. 98.168.000.000 1,55% Rp.1.125.000.000.000 Sumber: Bidang Pendapatan Pajak Bukan Pajak Daerah, DISPENDA Bandung 2009

Upload: hikmah-nur-azza

Post on 05-Jul-2015

2.608 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

POTENSI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (Studi Kasus Kota Bandung).

TRANSCRIPT

Page 1: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

1

POTENSI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PEDESAAN DAN PERKOTAAN (Studi Kasus di Pemda Kota Bandung)

HIKMAH NUR AZZA

109084000042

Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2011

[email protected] 1. Pendahuluan

Dalam bidang perpajakan, untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah pemerintah pusat telah memberikan bagian penerimaan yang berasal dari pajak pusat untuk kegiatan pembiayaan dan pembangunan bagi pemerintah daerah. Saat ini, pajak pusat yang sebagian penerimaannya telah diberikan kepada pemerintah daerah antara lain Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Orang Pribadi dalam Negeri dan Pajak Penghasilan. Sebagian besar telah diberikan seperti Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sedangkan pajak lainnya masih sebagian kecil saja. Pembagian penerimaan pajak pusat pemerintah daerah merupakan contoh penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Tabel 1 Target dan Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

APBD Kota Bandung Tahun 2008

Tahun 2008 Target Dalam

Persen Realisasi

APBD Rp. 999.389.000.000 88,24% Rp.1.125.000.000.000

Sektor pedesaan, perkotaan,

Rp. 2.221.000.000.000 97,89% Rp.2.269.000.000.000 perkebunan, perhutanan, dan pertambangan

Penerimaan dana bagi hasil pajak Rp. 351.223.000.000.000 112,41% Rp 312.449.000.000.000

Pos dana perimbangan Rp. 1.903.000.000.000 30,05% Rp.1.125.000.000.000

Penerimaan dll Rp. 98.168.000.000 1,55% Rp.1.125.000.000.000 Sumber: Bidang Pendapatan Pajak Bukan Pajak Daerah, DISPENDA Bandung 2009

Page 2: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

2

Pada tahun 2008, delapan belas kabupaten/kota di Jawa Barat berhasil mencapai target pajak bumi dan bangunan (PBB). Sementara itu delapan kab./kota lainnya, belum mampu memenuhi target yang ditetapkan. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menegaskan, berdasarkan data hasil evaluasi pelaksanaan pemungutan PBB sektor pedesaan dan perkotaan tahun 2008 di seluruh kabupaten/kota se-jabar, hasil yang dicapai masih dibawah target yang ditetapkan, yakni Rp.999,389 miliar atau 88,24% dari rencana penerimaan yang ditetapkan Rp.1,125 triliun. Kondisi serupa juga terlihat pada realisasi penerimaan PBB sektor APBN secara keseluruhan, yaitu sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan, dengan nilai Rp. 2,221 triliun atau 97,89% dari rencana penerimaan APBN sebesar Rp. 2,269 triliun.

Kendati demikian, penerimaan dana bagi hasil pajak, terutama yang bersumber dari

dana bagi hasil PBB di Jabar, setiap tahun melampaui target penerimaan, tahun 2008, tercatat realisasi penerimaan dana bagi hasil PBB Prov.Jabar 2008 sebesar Rp 351,223 triliun atau 112,41% dari target penerimaan sebesar Rp 312,449 triliun. Menurut Heryawan, di sisi lain pos dana perimbangan turut memberi kontribusi Rp 1,903 triliun atau 30,05% serta penerimaan lain-lain pendapatan yang sah Rp 98,168 miliar atau 1,55% dari total realisasi APBD Jabar. “Pencapaian tersebut membuktikan tingkat kemandirian fiskal di Jawa Barat sudah termasuk dalam kategori cukup mampu,”

Setiap pemerintah kab./kota diberi target PBB berbeda-beda, sesuai dengan potensi pajak yang dimiliki. Target tersebut, secara umum dibagi kedalam lima kelompok. Kelompok I daerah dengan target PBB Rp 12 miliar/tahun, kelompok II (Rp 13 miliar-Rp 17 miliar), kelompok III (Rp 18 miliar-Rp 35 miliar), kelompok IV (Rp 36 miliar-Rp 75 miliar), dan kelompok V (di atas 75 miliar).

Kota Bandung hanya menduduki peringkat kedua di kelompok V, kalah peringkat

oleh Kota Bekasi. Sedangkan Kab.Bandung berada di peringkat ketiga di kelompok IV, berada dibawah Kab.Purwakarta, dan Kota Depok.

Sementara itu, Kota Bandung meraih penghargaan atas capaian realisasi PBB tahun

2008. Kota Bandung menempati posisi kedua pada kelompok V, dengan target PBB diatas Rp 75 miliar. Tahun 2008, realisasi PBB Kota Bandung mencapai 83,91% atau Rp.180 miliar. Sedangkan target PBB Kota Bandung tahun 2008, adalah Rp 214 miliar.

Wakil Wali Kota Bandung, Ayi Vivananda mengatakan, penghargaan serupa pernah

diraih Kota Bandung tahun 2007 dan 2006. Bahkan tahun 2006, Kota Bandung menempat posisi pertama dengan realisasi PBB mencapai 101,09% atau 110 miliar. Ayi mengatakan, tidak tercapainya realisasi PBB tahun 2007 dan 2008, lebih disebabkan adanya transisi administrasi dalam pembayaran PBB. (Harian Pikiran Rakyat, sabtu 18 April 2009).

Menurut Kasie Bagi Hasil Pajak Pusat Dispenda Kota Bandung Rahmat Setiadi, target

pajak bumi dan bangunan (PBB) kota Bandung pada tahun 2008 tidak tercapai akibat perusahaan-perusahaan besar, seperti pabrik tekstil, mal, lembaga pendidikan, dan sebuah Badan usaha Milik Negara (BUMN) menunggak hingga mencapai Rp 1,5 miliar. Target Rp 214,6 miliar hanya tercapai 180,4% miliar atau hanya 84%. Perusahaan-

Page 3: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

3

perusahaan itu menunggak karena terimbas krisis keuangan global.

Kendati target PBB Kota Bandung tidak terpenuhi, Rahmat mengatakan bea perolehan hak tanah dan bangunan (BPHTB) over target, dari target Rp 150,3 miliar terealisasi Rp 207,7 miliar atau 138%. “secara komulatif penerimaan PBB, BPHTB, pertambangan, tercapai 105% dengan total dana yang terhimpun Rp 390,4 miliar,” (Rahmat Setiadi dalam Tribun Bandung, 13 Februari 2009).

Pajak merupakan salah satu unsur terbesar dalam menghasilkan pendapatan daerah.

Masalah yang tengah dihadapi oleh pemerintah daerah adalah lemahnya kemampuan pendapatan daerah untuk menutupi biaya dalam melaksanakan belanja pembangunan daerah yang setiap tahunnya semakin meningkat. Dalam hal ini, akan mengupas lebih dalam mengenai pajak bumi dan bangunan. Hal ini dikarenakan kontribusi PBB terhadap kelangsungan pelaksanaan pembangunan yang terangkum dalam dana perimbangan walaupun cukup besar nilainya dianggap tidak cukup menopang pendapatan daerah. Selain itu juga disebabkan dana perimbangan termasuk dalam pajak pusat yang mana masih terdapat bagian yang harus dibagi dengan pemerintah pusat. Artinya tidak keseluruhan pendapatan dapat dikontribusikan pada pemerintah daerah.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenahi sumber pendapatan daerah dari sektor pajak bumi dan bangunan, oleh karena itu peneliti mengambil judul “POTENSI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PEDESAAN DAN PERKOTAAN”. (Studi Kasus di Pemda Kota Bandung)

1.1 Ruang lingkup / batasan masalah

Penelitian ini dibatasi untuk mengetahui kebijaksanaan pemerintah Daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah yang didapat dari sektor pajak daerah khususnya Pajak Bumi dan Bangunan yang diharapkan agar mampu membiayai kegiatan pembangunan daerah. Untuk mempermudah evaluasi maka permasalahan diatas dengan terperinci dirumuskan singkat sebagai berikut :

1. Penelitian ini hanya mencakup data mengenai Pajak Bumi dan Bangunan sebagai sumber pendapatan Daerah Kota Bandung

2. Sampel penelitian yang digunakan jangka waktu dimana dibatasi dari periode tahun 2002 – 2008.

1.2 Identifikasi

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan menjadi fokus penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana potensi penerimaan pajak bumi dan bangunan pada pemerintah daerah kota Bandung dari tahun 2002 sampai dengan 2008 ?

Page 4: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

4

2. Bagaimana laju pertumbuhan pendapatan daerah pada pemerintah daerah kota Bandung dari tahun 2002 sampai 2008 ?

3. Seberapa besar kontribusi penerimaan pajak bumi dan bangunan terhadap

pendapatan daerah pada pemerintah daerah kota Bandung dari tahun 2002 sampai dengan 2008 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui potensi penerimaan pajak bumi dan bangunan pada pemerintah

daerah kota Bandung dari tahun 2002 sampai dengan 2008.

2. Mengetahui laju pertumbuhan pendapatan daerah pada pemerintah daerah kota Bandung dari tahun 2002 sampai 2008

3. Seberapa besar kontribusi penerimaan pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah pada pemerintah daerah kota Bandung dari tahun 2002 sampai dengan 2008

2. Pustaka

2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu

2.1.1 Sumber Penerimaan Daerah

Salah satu kemampuan yang dituntut terhadap daerah adalah kemampuan daerah tersebut untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (self- supporting) dalam bidang keuangan. Bidang keuangan merupakan suatu faktor yang penting dalam mengukur suatu daerah atas keberhasilan otonominya. Adapun sumber – sumber peneriman dari suatu daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia N0. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah terdiri dari :

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

a. Penerimaan pajak daerah.

Pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Pajak daerah sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah yang balas jasanya tidak secara langsung diberikan, sedang pelaksanaanya dapat dipaksakan.

Page 5: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

5

b. Penerimaan Retribusi Daerah. Retribusi daerah merupakan pungutan yang telah secara sah menjadi pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperole jasa pekerjaan, usaha atau milik pemerintah daerah yang bersangkutan. Retribusi daerah mempunyai sifat-sifat: pelaksanaanya bersifat ekonomis, ada imbalan langsung walaupun memenuhi persyaratan-persyaratan formil dan materiil, tetapi tetap ada alternatif untuk mau tidak mau membayar, merupakan pungutan yang pada umumnya bersifat budgetairnya tidak menonjol, dalam hal-hal tertentu retribusi daerah digunakan untuk sesuatu tujuan tertentu, tetapi dalam banyak hal retribusi daerah tidak lebih dari pengembalian biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat.

c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan. Hasil perusahaan milik daerah yang merupakan pendapatan daerah adalah keuntungan bersih perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja daerah yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan daerah yang dipisahkan, sesuai dengan motif pendirian dan pengelolaan, maka sifat perusahaan daerah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat menambahkan penghasilan daerah, memberi jasa penyelenggaraan kemanfaatan umum, dan memperkembangkan perekonomian daerah.

d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, Lain yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan pendapatan dinas-dinas. Lain-lain usaha daerah yang sah mempunyai sifat pembuka kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan baik berupa materi dalam hal kegiatan tersebut bertujuan untuk menunjang, melapangkan atau memantapkan suatu kebijakan pemerintah daerah suatu bidang tertentu. Beberapa macam lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yaitu : i. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidakdipisahkan ii. Jasa giro iii. Pendapatan bunga iv. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

2. Dana Perimbangan Dana perimbangan diperoleh melalui bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan baik dari sektor

Page 6: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

6

pedesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan dari sumber daya alam serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

3. Pinjaman Daerah Pinjaman daerah adalah pinjaman dalam negeri yang bersumber dari pemerintah, lembaga komersial dan atau penerbitan obligasi daerah dengan diberitahukan kepada pemerintah sebelum tidaknya usulan pinjaman daerah diproses lebih lanjut. Sedangkan yang berwenang mengadakan dan menanggung pinjaman daerah adalah kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah atas persetujuan DPRD.

4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah antara lain hibah atau penerimaan dari Daerah Propinsi atau Daerah Kanupaten/Kota lainnya, dan penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.1.1.1 Peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dijelaskan bahwa untuk membiayai pembangunan di daerah, penerimaanya bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil perusahaan milik daerah, Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah). Pemerintah daerah melakukan upaya maksimal dalam pengumpulan pajak daerah dan retribusi daerah. Besarnya penerimaan daerah dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan sangat membantu pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di daerah serta dapat mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sesuai dengan harapan yang diinginkan dalam otonomi daerah.

2.1.2 Pajak

2.1.2.1 Pengertian Pajak

Pengertian pajak menurut beberapa ahli antara lain, menurut

Mangkoesoebroto :

“Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada Undang-Undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya” (Mangkoesoebroto, 1998:181).

Page 7: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

7

Menurut Prof. Dr. M. J. H. Smeets dalam bukunya De Economische

Betekenis der Belastingen, 1951 (dalam Suandy, 2008), mengatakan

“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”

Sedangkan Rochmad Soemitro, menyatakan sebagai berikut :

“Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat cara timbal balik (kontra prestasi), yang langsung dapat diyujukan dan di gunakan untuk membayar pengeluaran umum” (dalam Mardiasmo, 2003). Berdasarkan pendapat para ahli di atas tersebut di atas

disimpulkan bahwa pajak adalah iuran atau pungutan yang digunakan oleh suatu badan yang bersifat umum (negara) untuk memasukkan uang ke dalam kas negara dalam menutupi segala pengeluaran yang telah dilakukan dimana pemungutannya dapat dipaksakan oleh kekuatan publik.

2.1.2.2 Aspek Ekonomi dari Perpajakan

Sistem pajak yang baik dipandang dari ilmu ekonomi adalah

sistem perpajakan yang memiki pengaruh yang baik (Suhendi, 2006). Konsep sistem pajak adalah membatasi masalah keadilan sistem pajak.

Ada dua prinsip keadilan yang digunakan yaitu prinsip manfaat atau benefit principle dan prinsip kemampuan atau ability to pay. Norma keadilan yang ada disini untuk mengenakan pajak yang sama untuk hal-hal yang sama dan tidak sama untuk hal-hal yang tidak sama. Suatu pajak dapat disebut progresif, proporsional atau regresif jika membebani pendapatan orang lain lebih besar dibanding mereka yang miskin dalam proporsi yang sama.

2.1.2.3 Fungsi Pajak

Peraturan pajak dibuat dengan didasarkan pada tujuan

meningkatkan kesejahteraan umum. Untuk meningkatkan kesejahteraan umum aturan pajak tidak semata-mata dibuat untuk memasok uang sebanya-banyaknya ke dalam kas negara, akan tetapi harus memiliki sifat yang mengatur guna meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Penerimaan atas uang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan lagi serta pemungutannya harus berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2003) dalam bukunya yang berjudul “Perpajakan” adalah sebagai berikut :

Page 8: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

8

(a) Fungsi Budgetair Pemungutan pajak bertujuan untuk memasukkan uang sebanyak- banyaknya ke dalam kas negara yang pada waktunya akan digunakan oeleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran negara baik untuk pengeluaran rutin dalam melaksanakan mekanisme pemerintahan maupun pengeluaran untuk membiayai pembangunan.

(b) Fungsi Mengatur Pada lapangan perekonomian, pengaturan pajak memberikan dorongan kepada pengusaha untuk memperbesar produksinya, dapat juga memberikan keringanan atau pembesaran pajak pada para penabung dengan maksud menarik uang dari masyarakat dan menyalurkannya antara lain ke sektor produktif. Dengan adanya industri baru maka dapat menampung tenaga kerja yang lebih banyak, sehingga pengangguran berkurang dan pemerataan pendapatan akan dapat terlaksana untuk mencapai keadilan sosial ekonomi dalam masyarakat.

2.1.2.4 Asas-Asas Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak baik dikelola oleh pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah selalu berpedoman pada asas-asas pemungutan pajak (Mardiasmo,2003) yaitu : (a) Asas kebangsaan Bahwa pajak pendapatan dipungut terhadap orang-orang bertempat tinggal di Indonesia.

(b) Asas tempat tinggal Pajak pendapatan dipungut bagi orang-orang yang bertempat tinggal di Indonesia di tentukan menurut keadaan.

(c) Asas sumber penghasilan

Jika sumber penghasilan berada di Indonesia dengan tidak memperhatikan subjek tempat tinggal. Selain asas-asas berpedoman kepada hal tersebut di atas, ada asas-asas pemungutan pajak yang dilandasi oleh falsafah hukum. Ada beberapa teori pajak yang dilancarkan dari jaman ke jaman yaitu: 1) Asas sumber penghasilan Negara mempunyai fungsi melindungi rakyat dengan segala kepentingannya seperti keselamatan jiwa dan harta. Untuk kepentingan tugas-tugas negara itu seperti halnya dengan perusahaan asuransi, maka rakyat harus membayar premi yang berupa pajak.

2) Teori kepentingan Teori ini memperhatikan memungut pembagian beban penduduk seluruhnya supaya adil. Akan tetapi karena teori ini

Page 9: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

9

membenarkan adanya hak pemerintah untuk memungut pajak dari rakyat dapat pula digolongkan dalam teori yang memperkuat beban pajak didasarkan atas kepentingan masing-masing orang dalam tugas pemerintah termasuk dalam perlindungan jiwa orang-orang berserta harta bendanya.

3) Teori bukti Menurut teori ini seseorang tidak dapat berdiri artinya tanpa adanya persekutuan dimana persekutuan ini menjelma menjadi negara. Bahkan tiap-tiap individu menyadari tugas sosial sebagai tanda bukti kebaktian kepada negara dalam bentuk iuran atau pajak. Teori gaya pikul pemungutan pajak didasarkan pada gaya pikul individu dalam masyarakat yaitu dalam tekanan pajak tidak harus sama besarnya untuk tiap orang, jadi beban pajak harus sesuai pemikul beban. Ukuran kemampuan pikul antara lain penghasilan, kekayaan, dan pengeluaran belanja seseorang.

Ada pula asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith (Waluyo,2005) didasarkan pada asas berikut :

(a) Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang atau pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima.

(b) Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.

(c) Convenience Kapan wajib pajak itu harus membayar wajib pajak sebaiknya sesuai dengan saat yang tidak menyulitkan wajib pajak.

(d) Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yg dipikul wajib pajak.

Page 10: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

10

2.1.3 Macam-Macam Pajak

2.1.3.1 Menurut Golongannya

a) Pajak Langsung

Pajak langsung dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu pengertian adminitrasi dan ekonomi. Dalam pengertian administrasi, pajak adalah pajak yang dipungut secara periodik (terus-menerus) dalam waktu tertentu menurut kohir (ketetapan pajak). Sedangkan dalam pengertian ekonomis, pajak langsung adalah beban pajaknya tidak dapat digeserkan kepada pihak lain, atau pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak.

b) Pajak tidak Langsung

Pajak tidak langsung adalah suatu pajak yang dapat dilumpuhkan (digeserkan) kepada pihak lain, misalnya pajak pembangun. Konsumen (pihak ketiga) menjadi tujuan pajak, sedangkan pihak kedua adalah pemilik rumah makan dan pemilik penginapan atau wakilnya.

2.1.3.2 Menurut Sifatnya

a) Pajak Subjektif Pajak Subjektif adalah pajak yang dipungut dengan memperlihatkan keadaan wajib pajak menjadi ukuran terhadap besar kecilnya jumlah pajak yang dibayar.

b) Pajak Objektif Pajak Objektif adalah pajak yang pungutannya berpangkal pada keadaan objektifnya. Pajak ini dipungut karena keadaan, pembuatan dan kejadian yang dilakukan atau terjadi dalam wilayah Negara dengan tidak mengindahkan sifat subyeknya.

2.1.3.3 Menurut Wewenang Negara

1. Pajak Negara Pajak Negara yang berlaku di Indonesia sampai saat ini adalah:

a) Pajak Penghasilan (PPh) dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah undang undang no.7 tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang undang no.17 tahun 2000.

b) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPn BM) dasar hukum pengenaan PPN & PPn BM adalah undang-undang no.8 tahun 1983 sebagaimana telah

Page 11: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

11

diubah terakhir dengan undang-undang no.18 tahun 2000. undang-undang PPN & PPn BM efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 april 1985 dan merupakan pengganti UU pajak Penjualan 1951.

c) Bea Materai dasar hukum pengenaan bea materai adalah undang- undang no.13 tahun 1985. undang-undang bea materai berlaku mulai tanggal 1 januari 1986 menggantikan peraturan dan undang-undang bea materai yanglama(aturanbeamaterai1921).

d) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dasar hukum pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah undang-undang no.12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no.12 tahun 1994. undang-undang PBB berlaku mulai tanggal 1 januari 1986 dan merupakan pengganti.

e) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dasar hukum pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah undang-undang no.21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang no.20 tahun 2000. undang-undang BPHTB berlaku sejak tanggal 1 januari 1998 menggantikan Ordonansi bea balik nama staasblad 1924 No.291.

2. Pajak Daerah

Dasar hokum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah adalah

undang-undang no.18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang no.34 tahun 2000. Pajak daerah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Pajak propinsi, terdiri dari:

a. Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan di atas air. b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor. d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

2. Pajak kabupaten/kota; terdiri dari: a. Pajak Hotel. b. Pajak Restoran. c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame e. Pajak Penerangan Jalan. f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C g. Pajak Parkir h. Pajak lain-lain.

Page 12: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

12

2.1.4 Pajak Daerah

2.1.4.1 Pengertian Pajak Daerah

Menurut UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah

“Pajak daerah adalah iuran wajib yang dialihkan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbala langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah”.

2.1.4.2 Jenis-Jenis Pajak Daerah

Sesuai dengan pembagian administrasi daerah, maka pajak daerah dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu:

A. Pajak Daerah Tingkat I atau Pajak Propinsi, terdiri dari : a. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, yaitu

pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaaan kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.

b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, yaitu pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air sebagai akibat dari perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, yaitu pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaran bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air.

d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, yaitu pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air di bawah tanah dan/atau air permukaan untuk digunakan bagi orang pribadi atau bada, kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat.

B. Pajak Daerah Tingkat II atau Pajak Kabupaten/Kota a. Pajak Hotel

Adalah pajak atas pelayanan Hotel. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang-orang untuk dapat menginap atau istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lain dengan dipungut bayaran termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.

Page 13: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

13

b. Pajak Restoran Adalah pajak atas pelayanan restoran. Restoran adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk jasa boga/catering.

c. Pajak Hiburan Adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis pertunjukkan, permainan, ketangkasan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga.

d. Pajak Reklame Adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat perbuatan, atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memuji suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk mencari perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca dan atau didengarkan dari suatu tempat umum kecuali yang diperlukan oleh pemerintah.

e. Pajak penerangan jalan Adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa diwilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.

f. Pajak Pengambilan dan pengolahan bahan galian Golongan C adalah pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian Golongan C sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

g. Pajak Parkir Tempat parkir adalah tempat parkir diluar badan jalan yang disediakan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaran bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran.

Page 14: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

14

2.1.4.3 Sistem Pemungutan Pajak Daerah

1. Sistem Official Assessment Pemungutan pajak daerah berdasarkan penetapan kepala daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lainnya yang dipersamakan. Wajib Pajak setelah menerima SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan tinggal melakukan pembayaran menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) pada kantor pos atau bank persepsi. Jika Wajib Pajak tidak atau kurang membayar akan ditagih menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah.

2. Sistem Self Assessment Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak daerah yang terutang. Dokumen yang digunakan adalah Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). SPTPD adalah formulir untuk menghitung, memperhitungkan, membayaran dan melaporkan pajak yang terutang. Jika wajib pajak tidak atau kurang membayar atau terdapat salah hitung atau salah tulis dalam SPTPD maka akan ditagih menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD).

Selain memungut pajak, Pemerintah daerah juga bisa memungut

retribusi. Adapun yang dimaksud retribusi menurut Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah: Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Seperti pajak, retribusi juga ditetapkan dengan peraturan daerah.

Retribusi dipungut dengan menggunakan surat keterangan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan. Berdasarkan hal tersebut diatas maka seharusnya masyarakat menyadari bahwa tujuan pemungutan pajak dan retribusi adalah untuk pembangunan daerah dan untuk lebih menegakkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan daerah, sebab kemungkinan pada dasarnya akan lebih menjamin ketahanan daerah khususnya ketahanan dibidang ekonomi.

Kesadaran yang tinggi dalam melakukan pembayaran pajak akan menjadikan pembangunan dapat lebih digiatkan lagi, sebaliknya apabila masyarakat menyadari maka penerimaan atau pemasukan uang akan berkurang, dengan sedirinya pembangunan kurang lancar. Demikian pula penerimaan pendapatan yang dikelola oleh pemerintah terutama pajak daerah seluruhnya untuk kepentingan daerah sendiri dan untuk melaksanakan pembangunan daerah.

Page 15: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

15

2.1.5 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan

terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

2.1.6 Objek PBB

Objek PBB adalah “Bumi dan atau Bangunan”:

Bumi:

Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman serta laut wilayah Indonesia, Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan, tambang,dll.

Bangunan :

Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll

2.1.7 Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB

Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang : 1.Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain, 2.Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu. 3.Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. 4.Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik. 5.Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

2.1.8 Subjek Pajak dan Wajib Pajak Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:

Page 16: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

16

- mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau; - memperoleh manfaat atas bumi, dan atau; - memiliki bangunan, dan atau; - menguasai bangunan, dan atau; - memperoleh manfaat atas bangunan.

Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.

2.1.9. Cara Mendaftarkan Objek PBB

Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang tersedia gratis di KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4 setempat.

2.1.10 Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”.

NJOP ditetapkan perwilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan gubernur serta memperhatikan: a.Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar; b.perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya; c.nilai perolehan baru; d.penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.

2.1.1 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)

NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut:

a.Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam satu Tahun Pajak. b.Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.

2.1.12 Dasar Penghitungan PBB

Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).Besarnya NJKP adalah sebagai berikut; • Objek pajak perkebunan adalah 40% • Objek pajak kehutanan adalah 40%

Page 17: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

17

• Objek pajak pertambangan adalah 20% • Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):

- apabila NJOP-nya > Rp. l .000.000.000,00 adalah 40% - apabila NJOP-nya <Rp. l .000.000.000,00 adalah 20%

2.1.13 Tarif PBB Besarnya tarif PBB adalah 0,5%

2.1.14. Rumus Penghitungan PBB Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) ,maka besarnya PBB = 0,5% x 40% x (NJOP - NJOPTKP) = 0,2%x (NJOP-NJOPTKP) b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP), maka besarnya PBB = 0,5% x 20% x (NJOP - NJOPTKP) = 0,1 %x (NJOP -NJOPTKP)

2.1.15. Tempat Pembayaran PBB

Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.

2.1.16. Saat Yang Menentukan Pajak Terutang.

Saat yang menentukan pajak terutang atau belum dibayar adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari.Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.

Contoh :

A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996.Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B. Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.

Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996. Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B.

Page 18: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

18

2.1.14 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini.Terdapat satupenelitian terdahulu yang dijadijkan bahan acuan dalam penulisan karya ilmiah ini.

Tri Mayulia (2009), penelitian ini dilakukan di Kabupaten Klaten dan bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak bumi dan bangunan daerah, menganalisis elastisitas masing-masing faktor dan memformulasikan upaya penggalian pajak daerah dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak daerah. Alat analisis yang digunakan adalah regresi berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dari fungsi masing-masing jenis penerimaan pajak daerah yang diamati, yaitu : Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Bumi dan Bangunan, dan total Pajak Daerah dengan menggunakan data sekunder tahun 2003-2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh kuat terhadap penerimaan pajak di Kabupaten Klaten adalah : (1) jumlah penduduk, (2) jumlah bangunan, (3) pendapatan perkapita, (4) jumlah petugas pajak, dan (5) jumlah wisatawan. Hal ini memberikan implikasi bahwa dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak daerah perlu dilakukan upaya, antara lain : (1) peningkatan pendapatan perkapita melaui berbagai kebijakan pembangunan, (3) upaya menarik wisatawan untuk berkunjung di Kabupaten Klaten, dan (4) penataan bangunan dan penyusunan perda. Limitasi studi yang perlu diketengahkan antara lain bahwa model dikembangkan dari suatu studi terdahulu dengan variabel yang terbatas, karena terbatasnya ketersediaan data jumlah observasi terbatas pada N=21, sifat studi ini relatif kuantitatif sehingga fenomena yang sifatnya kualitatif belum dapat diakomodasi dalam model.

3. Kerangka Pemikiran

Dengan ditetapkannya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU

No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk meningkatkan kemampuan dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan sumber-sumber keuangan sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki keuangan daerahnya. Hal ini disebabkan pemerintah daerah harus mengelola keuangan daerahnya sendiri dengan meningkatkan penerimaan daerahnya untuk dapat membiayai pengeluaran atau belanja daerah secara efektif dan efisien.

Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat di daerahnya. Untuk mewujudkan tugasnya tersebut maka pemerintah daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup dan memadai kerena untuk pelaksanaan pembangunan daerah itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber keuangan untuk penyelenggaraan pembangunan daerah tersebut adalah dari dana perimbangan yang mana salah satunya merupakan dana bagi hasil pajak yang bersumber dari pajak bumi dan bangunan (PBB).

Page 19: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

19

Pengertian yang terkandung dalam pajak bumi dan bangunan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 adalah sebagai berikut: “Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan”.

PBB merupakan pajak pusat karena dalam APBN termasuk dalam dana perimbangan. PBB juga merupakan azas pembantuan karena dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah provinsi, 64,8% untuk daerah kabupaten; kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah kabupaten kota, 9% untuk biaya pemungutan. Sedangkan sisa 10% bagian pemerintah yang dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan imbangan sebagai berikut: 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten kota, dan 3,5% dibagikan secara intensif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

Nominal 64,8% ini memiliki kontribusi yang cukup besarbagi pendapatan daerah. Wajib pajak menyetorkan PBB pada suatu badan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk kemudian dikelola lebih lanjut oleh kantor pajak bumi dan bangunan (KPBB). Instansi ini bertanggung jawab pada pemerintah pusat. Sedangkan pengertian pendapatan daerah menurut ketentuan umum Undang-Undang No.32 Tahun 2004 pasal 1 poin 15 tentang pemerintahan daerah adalah: “Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”.

Pendapatan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil terdiri bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan atas hak tanah dan bangunan (BPHTB). Dan pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21.

Dalam penelitian ini akan dibahas pajak bumi dan bangunan yang menitikberatkan efektivitas dan kontribusinya terhadap pendapatan daerah. Dalam hal ini pajak bumi dan bangunan merupakan faktor yang mempengaruhi untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antar daerah.

Page 20: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

20

3.1 Bagan

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Basis Pajak Bumi dan Bangunan X Tarif Pajak

Potensi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Efektivitas Pajak Bumi dan Bangunan

Peningkatan Pajak Daerah

Page 21: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

3.2 Model Penelitian

Pendekatan yang digunakdeskriptif.

Metode deskriptif adalah variabel mandiri, baik satperbandingan, atau menghubu

Alasan penulis menggunakmembuat deskripsi, gambaranakurat mengenai fakta-fakyang penulis peroleh disukesimpulan.

3.2.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumkeperluan penelitian pertanyaan penelitiandigunakan adalah teldokumen-dokumen yaPendapatan Daerah, d

3.2.2 Teknik Analisi Data

Berdasarkan me

deskriptif, maka untukmenghitung data-data dengan data kualitatif userta menyertai dan kualitatif untuk memekesimpulan dari pengdatanya adalah sebagai

1. Membuat tabel

dan realisasi pene2. Menghitung potens

Dimana: Y = jumlah pe

3. Menyusun tabel penerimaan dan po

4. Rumus yang digun

Dengan asumsi

21

kan dalam penelitian ini adalah menggunak

h penelitian yang dilakukan untuk mengetu variabel atau lebih (independent) tanpa

ubungkan dengan variabel lain (Sugiono, 2002:1

akan metode ini karena tujuan metode ini adn serta lukisan secara sistematis, fakakta, sifat-sifat antar fenomena yang diseusun, dijelaskan, dianalisis dan akhirnya

Pengumpulan Data

umpulan data merupakan suatu proses pengan dimana data yang terkumpul adalan yang telah dirumuskan. Sedangkan teklaah dokumen dilakukan dengan cara yang berkaitan dengan penelitian ini dan data-data penerimaan pajak bumi dan bang

Teknik Analisi Data

etode yang digunakan dalam penelitian inik menganalisis data yang telah terkumpul, da yang berbentuk kuantitatif (angka-angkauntuk menginterprestasikan hasil data pen melengkapi gambaran yang diperoleh ecahkan masalah yang diteliti yang akhirnygolahan data tersebut. Adapun langkah-lani berikut:

penerimaan pajak bumi dan bangunan erimaan pendapatan daerah kota Bandung tahnsi PBB tahun 2002-2008 dengan menggunak

pembayaran yang diterima untuk PBB

analisis efektivitas PBB yaitu perbandingan potensi PBB pada tahun 2002-2008.

nakan dalam menghitung tingkat efektivit

i sebagai berikut:

kan metode

etahui nilai pa membuat 11).

dalah untuk aktual dan elidiki. Data a diperoleh

gadaan data untuk ah untuk menguji knik yang akan a mengumpulkan yaitu data-data

angunan

i yaitu metode data diolah dengan ka) dan dinyatakan perhitungan tersebut dari analisis data nya akan menarik angkah pengolahan

tahun 2002-2008, ahun 2002-2008. akan rumus

an antara

tas PBB adalah:

Page 22: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

Ta

Sumber: Depdag

5. Menyusun tadari tahun 2002penerimaan pendapertumbuhan dardigunakan rumus s

Keterangan:

Gx = laju pertumbupenerimaan pendapata

X(t-1)= realisasi pene

sebelumnya 6. Menyusun tab

Daerah. Untuk meuntuk mengklasifikasdigunakan rumus

22

Persentase

Criteria > 100% Sangat Efektif 90-100% Efektif 80-90% Cukup Efektif 60-80% Kurang Efektif < 60% Tidak Efektif

Tabel 3 abel Interpretasi Nilai Efektivitas

gri, Kepmendagri No.690.900.327 ( dalam Yuni Maria

abel laju pertumbuhan pendapatan daer02-2008, sehingga dapat diketahui tingkaapatan daerah Kota Bandung. Adapun untuk ari penerimaan pendapatan daerah sebagai berikut:

tumbuhan pendapatan daerah Kota Bandung petan daerah Kota Bandung tertentu

erimaan pendapatan daerah Kota Ban

bel analisis kontribusi realisasi PBB terhengetahui bagaimana dan seberapa besar konsikan kriteria kontribusi PBB terhadap P sebagai berikut:

(Abdul Halim, 2004: 163)

ana,2005)

rah Kota Bandung at perkembangan k menghitung laju Kota Bandung

pertahun Xt=Realisasi

andung pada tahun

rhadap Pendapatan ntribusi PBB, maka Pendapatan Daerah

Page 23: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

23

Presentase Kriteria 0,00%-10% Sangat Kurang

10,10%-20% Kurang

20,10%-30% Sedang 30,10%-40% Cukup Baik

40,10%-50% Baik Diatas 50% Sangat Baik

Persentase

Klasifikasi Kriteria Kontribusi

Sumber : Tim Litbang Depdagri-Fisipol UGM 1991 (dalam Yuni Mariana, 2005)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Data Variabel X 45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Tahun

Gambar 1 Laju Pertumbuhan Pajak Bumi dan Bangunan Kota Bandung Tahun 2002-2008

Dari tahun 2002 sampai dengan 2008 realisasi pajak bumi dan bangunan mengalami peningkatan, meskipun pada tahun 2002, 2003, 2007,dan 2008 penerimaan pajak bumi dan bangunan tidak mencapai target yang telah ditentukan. Pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 laju pertumbuhan pajak bumi dan bangunan rata-rata mencapai 28,66%. Dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan pajak bumi dan bangunan kota bandung mengalami kenaikan terbesar pada tahun 2004, dengan persentase sebesar 30,15%. Hal ini disebabkan pada tahun 2004 jumlah WP yang membayar pajak bumi dan bangunan mengalami peningkatan sehingga perolehan pajak bumi dan bangunan melebihi target yang telah ditentukan.

Page 24: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

Gambar 2

Efektivitas Pajak Bumi dan Dampak dari kenaika

realisasi penerimaan pajak bumitu, realisasi pajak bumi dan bawah rata-rata sedangkan penerimaan pajak bumi dan b

Dari tahun ke tahun Dimana rata-rata pertahun meterjadi pada tahun 2008 sebes2002 sebesar Rp 843.811.90simpangan pada pendapatan da Realisasi Pendapatan Daera Dapat diketahui bahwa2002 sampai 2008 yang berasal dari dana alo pusat lebih dominan d Pembahasan

Perhitungan efektivitas realisasi pemungutan pajak bumbangunan. Dari perhitungan 2002 dan 2003 tingkat efekdengan kriteria cukup efebangunan yang tidak jelas objtarget pajak bumi dan bang

Pada tahun 2004 sampmengalami peningkatan sebesasangat efektif, sedangkan padmengalami penurunan dtahun 2008 penerimaan pajaadanya transisi administrasi peperusahaan- perusahaan besa

24

Bangunan mKota Bandung Tahun 2002-20an pada tahun 2004 mengakibatkan peningkbumi dan bangunan menjadi Rp 80.434.890.n bangunan tahun 2003 dan 2005 masih n untuk tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 realisasi bangunan berada diatas rata-rata

n pendapatan daerah kota Bandung mengalaencapai Rp 1.307.061.617.446,00. Pendapatasar Rp 2.018.841.349.189,00 dan yang terkec09.467,07. selama periode tahun 2002 sampaiaerah sebesar Rp 358.353.028.500.00.

ah Kota Bandung Tahun 2002-2008 a penyumbang total pendapatan daerah Ko terbesar berasal dari dana perimbangan khuslokasi umum, hal ini menunjukan bahwa trn dibandingkan dengan pendapatan asli d

s berdasarkan target dilakukan dengan carbumi dan bangunan dengan target pemungutn menggunakan sistem target ini, dapat tivitas pajak bumi dan bangunan sebesar 88,

efektif, hal ini disebabkan masih ada tagihjek pajaknya dan penetapan pajak yang terlalu

angunan kota Bandung tidak tercapai.

pai dengan 2006 penerimaan pajak bumi dsar 104.42%,105.49%, dan 117.08% deda tahun 2007 penerimaan pajak bumi ddari tahun sebelumnya yaitu sebesar jak bumi dan bangunan kembali mengalami pe

i pembayaran pajak bumi dan bangunan dansar yang terimbas krisis keuangan global

2008 katan rata-rata .877. Sementara h berada di

sampai dengan tahun 2008 realisasi

ami peningkatan. tan daerah terbesar cil pada tahun i 2008 terdapat

ota Bandung tahun susnya dana yang transfer pemerintahli daerah.

ra membandingkan utan pajak bumi dan dilihat pada tahun 8,29% dan 84,42% han pajak bumi dan lu tinggi, sehingga

i dan bangunan % dengan kriteria i dan bangunan 103,12%. Pada penurunan, karena n adanyatunggakan

Page 25: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

25

Berdasarkan hasil analisis efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan,

dapatdisimpulkan bahwa Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung telah berhasil dalam realisasi pajak bumi dan bangunan sesuai atau lebih dari target pajak bumi dan bangunan yang telah ditentukan.

Selain itu dapat diketahui laju pertumbuhan pendapatan daerah pada tahun 2002 sampai dengan 2008, mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 sampai dengan 2004 laju pertumbuhan pendapatan daerah mengalami kenaikan, tahun 2002 realisasi pendapatan daerah sebesar Rp 843.811.909.467,07 menjadi Rp 961.568.767.564,50 pada tahun 2003 dengan persentasi 13,96%. Tahun 2004 realisasi sebesar Rp 1.118.761.646.228,75 dengan laju pertumbuhan 16,35%, kenaikan tersebut diakibatkan sumber-sumber pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah mengalami kenaikan. Hal tersebut dapat meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah. Pada tahun 2005 laju pertumbuhan pendapatan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu hanya sebesar 0,39%. Hal tersebut dikarenakan sumber-sumber pendapatan daerah tidak mengalami kenaikan yang cukup berarti.

Tahun 2006, laju pertumbuhan pendapatan daerah mengalami kenaikan terbesar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan persentase 24,45%. Laju pertumbuhan pendapatan daerah kembali mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008 dengan persentase masing-masing sebesar 20,59% dan 19,76%.

Berdasarkan analisis laju pertumbuhan pendapatan daerah dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan pendapatan daerah terendah terjadi pada tahun 2004 dengan persentase sebesar 0,39% sedangkan laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan persentase sebesar 24,45%

Dengan diberlakukannya UU PDRB yang disetujui DPR bulan agustus tahun 2009, terdapat penambahan empat jenis pajak daerah, yaitu rokok di tingkat provinsi dan tiga jenispajak kabupaten/kota, yaitu PBB Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan Pajak Sarang Burung Walet. Dengan adanya penambahan jenis pajak daerah diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah. Untuk menghitung kontribusi pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah adalah dengan cara membandingkan realisasi pajak bumi dan bangunan dengan realisasi pendapatan daerah. Tingkat kontribusi pajak bumi dan bangunan dari tahun 2002 sampai dengan 2008 selalu mengalami fluktuasi, dan berada pada Kriteria sangat kurang.

Dari hasil perhitungan ini dapat diketahui bahwa kontribusi terbesar terjadi pada tahun 2008 yakni sebesar 7.18% dan terendah pada tahun 2003 yakni sebesar 4.71% sedangkan rata-rata kontribusi pajak bumi dan bangunan adalah sebesar 5.94% yang menurut kriteria berarti sangat kurang atau rendah. Hal ini dikarenakan pajak bumi dan bangunan termasuk dalam dana perimbangan yang merupakan pajak pusat dimana masih terdapat bagian yang harus dibagi dengan pemerintah pusat.

Selain itu pajak bumi dan bangunan merupakan bagian terkecil dari kelompok dana bagi hasil pajak, oleh karena itu kontribusi pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah termasuk dalam kategori kurang efektif. Padahal jika dilihat dari penerimaan pendapatan daerah, kontribusi terbesar penyumbang total pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan. Dengan kata lain seharusnya sumbangan atau manfaat yang diberikan oleh pajak bumi dan bangunan kota Bandung terhadap pendapatan daerah mencapai kriteria baik atau sangat baik. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis,

Page 26: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

26

kontribusi pajak bumi dan bangunan kota Bandung terhadap pendapatan daerah masuk dalam kriteria sangat kurang dengan persentase rata-rata hanya mencapai 5,94% pertahun.

Jika dibandingkan kontribusi pajak bumi dan bangunan dengan sumber PAD, kontribusi pajak bumi dan bangunan merupakan kontribusi yang tertinggi, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian sebelumnya (Trisma, 2008) menunjukkan rata-rata kontribusi retribusi pasar terhadap PAD pada tahun 2001 sampai dengan 2006 sebesar 2,07% dan masuk dalam kategori sangat kurang

Sebagai komparasi, kontribusi pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah di kota Cirebon Tahun 2007 sebesar 3,90% yang artinya masih kurang (Nurwulan,2008). Maka dapat disimpulkan kontribusi pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah Kota Bandung masih yang tertinggi diantara sumber-sumber PAD lainnya.

Dengan diberlakukannya UU Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah (UUPDRB) membawa perubahan yang cukup signifikan khususnya pada sektor pajak bumi dan bangunan (PBB). Pajak bumi dan bangunan yang selama ini pengaturannya dilakukan dalam UU Nomor 12 tahun 1994 dengan diberlakukannya UU PDRD menjadi bagian dari pajak daerah khususnya untuk pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan.

Dari segi substansi pajak, pada hakikatnya kewenangan pemajakan atas tanah dan bangunan merupakan hak dari pemerintah daerah dimana tanah dan bangunan tersebut berada atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hak pemajakan PBB sektor perdesaan dan perkotaaan sejatinya berada pada pemerintah daerahbukan pada pemerintah pusat. Hal ini pun sudah disadari dan dipahami dengan sangat baik boleh pemerintah pusat dimana sebagian besar hasil pungutan PBB (bukan hanya sektor perdesaan dan perkotaan) dikembalikan lagi ke daerah (baik daerah tempat objek berada maupun daerah lainnya secara merata) melalui mekanisme Dana Bagi Hasil Pajak (DBH Pajak) dalam APBN. Bahkan,9% penerimaan PBB yang merupakan biaya pungut sebagian besar juga kembali disalurkan ke daerah. Sehingga dapat dikatakanbahwa meskipun mekanisme pemungutan PBB sebelum pemberlakuan UU PDRD berada di tangan pemerintah pusat, namun hasil pungutannya kembali disalurkan ke daerah melalui mekanisme APBN (DBH Pajak) (Eka, 2010)

Kebijakan mengalihkan kewenangan pemajakan PBB sektor perdesaan dan perkotaan kepada pemerintah daerah dapat dikatakan seperti pedang bermata dua. Di satu sisi kebijakan ini dapat membawa kebaikan namun di sisi lain apabila pemda tidak mampu mengelola dengan baik maka kebijakan ini justru dapat membawa keburukan.

Sisi positif utama kebijakan ini adalah potensi kenaikan pendapatan daerah. Sebagaimana diketahui, pendapatan daerah terdiri atas tiga komponen yaitu pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan transfer dan lain-lain pendapatan yang sah. Sebelum pemberlakuan UU PDRD maka bagi hasil PBB dari pemerintah pusat diklasifikasikan dalam pendapatan transfer pada subbagian transfer pemerintah pusat-dana perimbangan.

Setelah menjadi pajak daerah maka seluruh penerimaannya akan menjadi bagian dari PAD. Dengan kata lain perubahan status menjadi pajak daerah membawa konsekuensi pada reklasifikasi penggolongannya pada laporan realisasi

Page 27: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

27

anggaran pemda, sehingga kenaikan pendapatan daerah secara keseluruhan hanya bisa terjadi jika penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan sebagai pajak daerah melebihi penerimaan dana bagi hasil PBB sektor perdesaan dan perkotaan sebelum pemberlakuan UU PDRD.

Namun terlepas dari potensi besarnya untuk menaikkan pendapatan daerah maka terselip juga resiko inherent berupa hal sebaliknya yaitu justru menimbulkan penurunan pendapatan daerah. Hal ini utamanya didorong karena ketidaksiapan infrastruktur pemda untuk mengeksekusi kewenangannya memajaki PBB sektor perdesaan dan perkotaan.

Probabilitas resiko ini menjadi semakin besar manakala pengalihan kewenangan tidak disertai dengan perubahan paradigma berpikir karena selama ini praktis daerah langsung menikmati dana bagi hasil pajak tanpa upaya pemungutan karena dilakukan pemerintah pusat. Waktu yang diberikan oleh UU PDRD sampai awal 2014 harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk penyiapan infrastruktur yang diperlukan dan yang lebih penting harus ada knowledge transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. 4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah pendapat sementara dan pedoman serta arah dalam penelitian yang disusun berdasarkan pada teori yang terkait, dimana suatu hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menguhubungkan dua variabel atau lebih (J. Supranto, 1997). Setelah adanya kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ho = Tingkat Efektivitas Penerimaan Pajak bumi dan bangunan Tahun 2002 sampai dengan 2008 berdasarkan target. didapatkan nilai tertinggi pada tahun 2006 dengan kriteria sangat efektif H1 = Tingkat Efektivitas Penerimaan Pajak bumi dan bangunan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang di ukur melalui PAD di kota Bandung 5. Daftar Pustaka

Abdul Halim, (2004). Manajemen Keuangann Daerah, Yogyakarta:UPP AMP YKPN Anastasia Diana. Dan Lilis Setiawati, (2009). Perpajakan Indonesia, Yogyakarta:Andi Bambang Supomo dan Nur Indriantoro. (2002). Metode Penelitian Bisnis. Yogyakatra: Andi Darwin, (2009). Pajak Bumi dan Bangunan,Jakarta: Mitra Wacana Media Dinas Pendapatan Kota Bandung. (2009). Pajak Bumi dan Bangunan. Bandung: Dinas Pendapatan Kota Bandung. Dinas Pendapatan Kota Bandung. (2008). Dispenda dalam Angka. Bandung: Dinas Pendapatan Kota Bandung

Page 28: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

28

I Wayan (2008). Analisis Kontribusi Pajak Bumi danBangunan Terhadap Pemerintahan Daerah. Yogyakarta Kurniawan, Panca dan Agus Purwanto, (2006). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing Mardiasmo. (2002). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit: Andi. Mardiasmo, (2003). Perpajakan, Yogyakarta:Andi Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah. Peraturan Menteri dalam negeri nomor 59 tahun 2007 tentang perubahan peraturan menteri dalam negeri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. PERMENDAGRI No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Siahaan, Marihot P, (2009). Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia, Yogyakarta:Graha Ilmu. Siti Kurnia, (2009). Perpajakan. Yogyakarta: Graha Ilmu Sugiono.(2001). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta Sudjana. (1999). Statistik Untuk Ekonomi dan Niaga II. Bandung: Tarsito Suharsimi Arikunto. (2006). ProsedurPenelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. (2003). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat Yahya (2009). Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame dan PAD terhadap Kemandirian Daerah Kota Bandung. Bandung: Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia

Page 29: Potensi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Kasus Kota Bandung)

29

6. Ucapan Terima Kasih

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan yang diberikan. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT yang selalu memberikan nikmat dan rahmatnya kepada penulis sehingga penulus dapat menyelesaikan makalah ini.

2. Bpk. Tony S. Chendrawan S.T, S.E, M.Si, selaku dosen mata kuliah Ekonomi Wilayah dan Perkotaan yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

3. Kedua orangtua, yang telah banyak memberikan dukungan moral, materil serta doa untuk penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

4. Teman – teman IESP angkatan 2009 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan saran serta pendapatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.