poskolonialisme dan spiritualisme timur: upaya …

23
POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA MENUJU UNIVERSALITAS ILMU PENGETAHUAN ERA POSMODERN Mahmudi Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep [email protected] Abstrak Saat ini kita sampai pada era baru yaitu posmodern. Lembaran ini sekaligus menutup modern dengan kekuatannya yang hegemonik yaitu berupa arus logosentrisme dari ilmu pengetahuan. Ilmu pada saat modern haruslah berparadigma positivistik. Artinya yang menjadi pijakan dalam ilmu tersebut adalah logika rasionalisme serta logika empirisme. Fakta tersebut berarti bahwa pengalaman manusia itu dijadikan sebagai tolak ukur dari ilmu pengetahuan. Hal ini berawal dari pemikir Perancis, Rene Descartes, awalnya ia meragukan secara metodis tentang sesuatu yang ada, akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa yang berpikirlah yang ada dengan sebenarnya. Ia mengatakan cogito ergo sum, dengan pikirannyalah manusia dapat berpijak. Babak ini berawal sejak abad ke 15 hingga penghujung abad 20. Ini merupakan era keemasan dari modernisme. Nah hingga pada akhirnya modernisme ini digeser oleh posmodern yang mengkritiknya. Ilmu pengetahuan ternyata “melingkar”. Ia bisa berada dimana saja. Seperti juga yang diungkap oleh Derrida, sang raja dekonstruksi, bahwa segalanya adalah teks. Tak ada sesuatu di luar teks. Alam semesta merupakan teks yang selalu melingkar. Tak ada kebenaran hakiki yang ada hanyalah interpretasi. Selain itu ada bahasa oposisi biner dalam modernitas. Sesuatu itu berlawanan secara pasti; kaya-miskin, penguasa-rakyat jelata, hitam- putih, dan sebagainya. Dari itu, maka ada sebuah teori dalam posmodern yaitu poskolonialisme. Paham ini hendak mengkritik bahwa ideologi pengetahuan adalah berakar dari kekuasaan. Namun bukan demikian adanya tetapi masalah pengetahuan adalah masalah sumber mengetahui itu sendiri. Kata Kunci: Modernisme, Poskolonial, Posmodernisme

Upload: others

Post on 02-May-2022

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME

TIMUR: UPAYA MENUJU UNIVERSALITAS

ILMU PENGETAHUAN ERA POSMODERN

Mahmudi

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep [email protected]

Abstrak

Saat ini kita sampai pada era baru yaitu posmodern. Lembaran ini sekaligus menutup modern dengan kekuatannya yang hegemonik yaitu berupa arus logosentrisme dari ilmu pengetahuan. Ilmu pada saat modern haruslah berparadigma positivistik. Artinya yang menjadi pijakan dalam ilmu tersebut adalah logika rasionalisme serta logika empirisme. Fakta tersebut berarti bahwa pengalaman manusia itu dijadikan sebagai tolak ukur dari ilmu pengetahuan. Hal ini berawal dari pemikir Perancis, Rene Descartes, awalnya ia meragukan secara metodis tentang sesuatu yang ada, akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa yang berpikirlah yang ada dengan sebenarnya. Ia mengatakan cogito ergo sum, dengan pikirannyalah manusia dapat berpijak. Babak ini berawal sejak abad ke 15 hingga penghujung abad 20. Ini merupakan era keemasan dari modernisme. Nah hingga pada akhirnya modernisme ini digeser oleh posmodern yang mengkritiknya. Ilmu pengetahuan ternyata “melingkar”. Ia bisa berada dimana saja. Seperti juga yang diungkap oleh Derrida, sang raja dekonstruksi, bahwa segalanya adalah teks. Tak ada sesuatu di luar teks. Alam semesta merupakan teks yang selalu melingkar. Tak ada kebenaran hakiki yang ada hanyalah interpretasi. Selain itu ada bahasa oposisi biner dalam modernitas. Sesuatu itu berlawanan secara pasti; kaya-miskin, penguasa-rakyat jelata, hitam-putih, dan sebagainya. Dari itu, maka ada sebuah teori dalam posmodern yaitu poskolonialisme. Paham ini hendak mengkritik bahwa ideologi pengetahuan adalah berakar dari kekuasaan. Namun bukan demikian adanya tetapi masalah pengetahuan adalah masalah sumber mengetahui itu sendiri. Kata Kunci: Modernisme, Poskolonial, Posmodernisme

Page 2: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

148|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

Pendahuluan

Kehidupan modern merupakan abad yang sangat mendewakan

rasionalitas. Sesuatu yang tidak bersifat rasional tidak mendapatkan

perhatian bagi mansia modern. Memang abad ini cenderung sekuler

dan materialistis, seakan-akan meninggalkan tradisi keagamaan.

Abad baru telah dibuka oleh lembaran baru yaitu Cartesian. Rene

Descarteslah yang telah membuka lembaran baru tersebut dengan

kata-kata yang didengungkannya, cogito ergo sum, I think therefore I

am (saya berpikir maka saya ada).

Dengan adanya hal itu, dunia mengalami pergeseran paradigma,

dari yang percaya mitos bergeser menjadi kepercayaan terhadap akal

manusia. Mitos telah menjadi anomali dan terjadi krisis hingga pada

akhirnya akal menjadi pusat peradaban manusia. Dunia modern

merupakan awal dari perkembangan sains dan teknologi. Pesatnya

kemajuan teknologi ditandai dengan gedung-gedung pencakar langit

dan mesin-mesin mekanik.

Tetapi saat ini abad baru telah dimulai. Modern(isme) yang

mendengung-dengungkan akal itu telah mendapatkan banyak kritik.

Nietzsche dan Heidegger lah yang telah menutupnya sekaligus

membuka lembaran baru yaitu Postmodern. Post-modern juga

dikatakan sebagai post-Cartesian yang mana menurut James, adalah

“critical modernisme”, dimulai dari Descartes dilanjutkan oleh Kant

dan Hegel.1

Abad baru yang besar ini pada akhirnya mencita-citakan sebuah

“kebudayaan universal” (universal culture), yang bisa dibangun dari

1 James L. Marsh, Modernity and its Discontents (New York: Fordham

University Press, 1992), 1.

Page 3: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |149

unsur-unsur parokial yang mempunyai identitas material, kognitif,

dan imajinatif. Sedangkan salah satu term dari “kebudayaan

universal”, menurut Huntington, berisi tentang asumsi-asumsi, nilai-

nilai, dan doktrin dalam masyarakat.2 Karena dengan adanya

hegemoni modern yang didengung-dengungkan Barat melalui

superioritas akalnya manusia mengalami keterasingannya sendiri,

meminjam Karl Marx, sebetulnya siapakah manusia terakbar dalam

sejarah? Dalam pandangannya, merekalah yang berkerja untuk alam

semesta.

Poskolonialisme berangkat dari sebuah keprihatinan akan

pelampauan diri yang tidak mempunyai akar-akar sejarah, sehingga

tidak ada kontinuitas ataupun identitas diri yang kokoh. Maka,

kegagalan sebuah usaha konstruksi sosial atau kultural adalah

menghilangkan masa lalu. Yang lalu bukanlah untuk dilupakan atau

dikenang secara berlebih-lebihan sehingga meninabobokan, namun

kita harus bisa membuat struktur atau formasi kaidah objektif yang

diskursif terhadapnya. Dimana, struktur atau formasi ini tidak

hegemonik ataupun monolitik, namun mampu mengakomodasi

dialektika sejarah yang sering merepresi sisi-sisi yang terpinggirkan.

Imajinasi yang tenggelam, materi teks yang tersingkir, atau

pemikiran asing yang terbuang, adalah khazanah artefak yang

dokumenter, sehingga harus dilakukan upaya rekonstruksi-genealogis

dan dekonstruksi formasi-formasi yang menstrukturkannya. Akhirnya

jadilah struktur yang baru yang lebih genuine dan penuh dengan daya

hidup.

2 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of

World Order, (London: Simon and Schuster Ltd, 1996), 57.

Page 4: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

150|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

Poskolonialisme ingin membongkar persemayaman mitos-

mitos. Mitos biasanya bekerja dengan cara membuat sesuatu yang

sesungguhnya berdasar pada ideologi tertentu, kemudian lewat

perjalanan sejarah hal itu dibuat tampak dan tampil seolah-oleh

sesuatu yang alamiah, kodrati dan tak terbantahkan dalam sebuah

masyarakat. Mitos selalu mengajak kita untuk berfantasi dan inilah

yang senantiasa direproduksi kolonialisme baru, baik kolonialis lokal

maupun internasional. Poskolonialisme mengajak kita agar tidak

mudah menerima usaha pihak lain yang suka mengingatkan untuk

melestarikan sesuatu dari masa silam. Namun demikian, dengan

adanya lembaran baru modern maka diisilah dengan proyek

modernitas, modernisasi, dan modernisme.3

Bagaimanapun nostalgia yang dikonsumsi secara berlebihan

sangat membahayakan dan akan menumpulkan kesadaran kritis serta

akan melepaskan diri dari tugas yang seharusnya diemban dalam

kehidupan ini.

Terminologi poskolonial dipahami sebagai sikap dan gerakan

resisten terhadap otoritarianisme kolonialisme militer, politik dan

rezim-rezim wacana yang terus menerus dibangun oleh penguasa

kolonial. Pemaknaan ini memperlihatkan pengaruh kuat teori

(linguistik) post-strukturalisme yang kemudian dielaborasi lebih jauh

oleh tiga tokoh kritik poskolonial berpengaruh, yaitu Edward Said,

Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha. Studi poskolonial bukan

dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (ex-

colonies), konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan

3 Mike Featherstone, Consumer Culture and Postmodernisme, (London:

Sage Publications Ltd, 1991), 2.

Page 5: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |151

pada “analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif

dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik.

Studi poskolonial menempatkan agendanya pada wacana representasi

pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga

diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Pendekatan

poskolonial juga men-tidakstabil-kan wacana mengenai relasi “the

West and the Rest” (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal)

yang selama ini diasumsikan melalui kategori oposisi biner.

Negara Dunia Ketiga sebagai kesatuan poskolonial memiliki

luka atau trauma penjajahan yang terus ikut serta dalam setiap proses

pembentukan jati diri kebangsaan. Menurut Leela Gandhi, negara-

bangsa poskolonial cenderung berusaha lepas dari luka tersebut

dengan mengupayakan sebentuk diskontinuitas terhadap masa lalu

yang menyakitkan itu. Hal ini menyuburkan tumbuhnya amnesia

sejarah yang menjadikan masyarakat tercerabut dan tidak pernah bisa

kembali pada identitasnya semula, yakni identitas sebelum

mengalami penjajahan. Sedemikian besar pengaruh penjajahan,

sehingga memengaruhi pola pikir, pola penghayatan hidup serta pola

perilaku masyarakat poskolonial. Negara-bangsa yang terbentuk pun

seolah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak

memiliki pegangan yang jelas sehingga mudah digoyahkan dan

diombang-ambingkan oleh relasi ketergantungan.

Ketergantungan sebagai konsekuensi logis dari efek lanjutan

kolonialisme ini kita temui di dalam globalisasi. Globalisasi juga

melahirkan formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita

kenali melalui praktek dan struktur “dominasi serta resistensi”.

Tetapi Soroush menganggap ideologi Islam sebagai isu sentral dalam

Page 6: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

152|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

dunia muslim modern. Ia mendefinisikan ideologi sebagai instrumen

politik dan sosial yang biasa digunakan dalam tindakan publik.4

Kajian Teks Timur

Sebuah formasi teks yang sehat dan diskursif, harus memahami

kaidah-kaidah objektif yang berjalan dalam dirinya. Kaidah ini sering

membuat relasi-relasi yang sistemik ataupun melingkar-lingkar.

Keduanya secara konsensus sering tidak terlihat dan bersifat laten.

Namun, secara fungsional ia memperlihatkan diri melalui pengaruh

dan signifikansinya dalam fakta sosial, baik secara teoritis maupun

praktis.

Oposisi biner yang diilmiahkan oleh Edward Said dalam

bukunya “Orientalism”, cukup deskriptif dalam memaparkan proses

berjalannya kaidah relasi ini. Dengan menggunakan pisau analisa

mazhab Foucauldian, ia menemukan sebuah usaha pencitraan atau

konstruksi sosial dan kultural dari dunia Barat terhadap Timur, baik

secara imajinatif, kognitif, ataupun material.

Pada waktu itu, Timur memang belum mampu untuk

menceritakan tentang diri mereka sendiri. Sehingga, Baratlah

layaknya seorang psikiater, membantu Timur si pasiennya, untuk

menemukan dirinya yang hilang karena khazanahnya yang kaya

terepresi ke dalam ketidaksadarannya. Orang manakah yang begitu

cerdasnya bisa mengungkap imajinasi Ibnu ‘Arabi yang kaya namun

terasingkan? Layaknya seorang psikiater, Henry Corbin menganalisa

dan mengangkat sisi material, imajinasi, dan kognisi Ibnu ‘Arabi

4 John L. Esposito, Makers of Contemporary Islam (New York: Oxford

University Press, 2001), 155-156.

Page 7: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |153

yang lama mengendap dalam tumpukan sejarah deskripsi

Spiritualisme Timur (mystic east). Disinilah, ternyata

“Kebijaksanaan Timur” belum mampu menyadari akan kekayaan

khazanahnya.

Ketika sang “psikiater” telah berhasil menelusuri, menyelami

dan mengangkat ketidaksadaran Timur ke sebuah dunia realitas, si

pasien akan terstrukturkan oleh ekses metode “hipnosa-suggestif”

yang digunakan oleh psikiater tersebut. Si pasien hanya bisa pasrah

dan tunduk akan arah-arahan sang dokter.

Demikianlah Timur dihadapan superioritas Barat. Teks Timur

sedang mengalami krisis identitas, baik subyek, materi, ataupun

intensi teks. Ada dua peradaban besar yang saling menunjukkan jati

dirinya yaitu peradaban modern Barat dan Islam.5

Studi Humanitas

Sosiologi poskolonial adalah sebuah studi kemanusiaan yang

mengarahkan dirinya ke dalam relasi-relasi dunia yang terpinggirkan.

Materi maupun bentuk studi ini banyak meramu unsur-unsur yang

sudah klasik maupun kontemporer. Ia berusaha mengangkat harkat

kemanusiaan dan bersifat emansipatoris. Humanitas yang ada dalam

studi ini tidaklah narsistik, namun ia berkaitan erat dengan ekologi

global dan habitat makhluk Tuhan yang lain. Studi poskolonial sering

dihubungkan dengan negara-negara Dunia Ketiga (third world),

dimana realitas ekonomi, politik, ataupun budayanya mengalami

keterpinggiran. Ada dua paradigma teori besar yang menjelaskan

5 Arnold J. Toynbee, Civilization on Trial (New York: Oxford University

Press, 1948), 186.

Page 8: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

154|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

bagaimana keterpinggiran ini terjadi. Yaitu, teori modernisasi dan

teori ketergantungan.

Yang pertama adalah teori modernisasi, dimana yang

dinamakan peradaban Barat adalah sebuah tahap kebudayaan maju

yang mesti dilalui oleh negara-negara lain. Kebudayaan universal ini

dihasilkan oleh semangat dari dalam manusia yang beradab- dalam

kategori Weberian dan Norbert Elias- contoh studi klasik itu adalah

pada Philosophy of History dari Hegel, Protestan Ethic dari Weber,

atau Rise of Capitalism-nya R.H. Tawney, dan studi-studi klasik ini

telah berkembang menjadi mazhab ekonomi-politik ketika para

sarjana modernis dari Harry S. Truman mulai menganalisa sisi Dunia

Timur sebagai sebuah proyek modernitas. Kita telah mengenal studi

korelasi antara “kemakmuran ekonomi dan demokrasinya” Lipset,

atau Passing of Traditional Society-nya Learner. Dan yang tidak

kalah penting adalah teori Take Off-nya W.W. Rostow.

Yang kedua adalah teori tentang ketergantungan pada sistem

dunia. Teori ini memang sarat akan uraian-uraian ekonomi yang

melingkar. Diantaranya, Dependencists Theory dari A.G. Frank, The

World System ala Wallersten, atau Asian Drama milik Gunnar

Myrdal. Semua studi ini bisa ditelusuri asal-asulnya pada aliran

Marxian yang emansipatoris, yang melihat sisi realitas dari oposisi

biner, kaya-miskin, borjuis-proletar, pusat pinggiran, dan sebagainya.

Teori peradaban, bisa dikatakan demikian, untuk

mengidentikkan paradigma teori-teori modernisasi, secara fungsional

lebih bisa menjelaskan kenapa bentuk produksi teks Dunia Timur

(mode of text production), tidak bisa menggambarkan diri mereka

sendiri dalam analisis fakta sosial, malahan melarutkan dirinya dalam

Page 9: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |155

keterpurukan ekonomi-politik, ataupun budaya. Five stage Economic

Growth-nya Rostow, jelas berparadigma historis, sehingga usaha

pertumbuhan ekonomi yang melompat secara ahistoris dari akar-akar

identitas ekonomi-genealogis, mengakibatkan tercerabutnya akar-

akar ekonomi sejarah yang fundamental. Hal tersebut memunculkan

ruang kosong yang menggelembung, yang kemudian suatu waktu

meledak secara eksplotif ketika terjadi sebuah malaise atau

disfungionalitas sistem.

Akar-akar identitas sejarah lokal, dibangun oleh individu-

individu daerah yang membentuk komunitas-komunitas permanen

maupun kontraktual. Mereka mempunyai modal semangat dan

strategi kebudayaan yang masih genuine dan orisinil. Hanya saja,

ketika terjadi penetrasi yang terlalu hegemonik dari struktur Negara

Bangsa (nation-state), sering menjadikan individu ini termistifikasi

oleh patologi modernitas yang memang, itu dimulai sejak abad 16

sampai 17 sedangkan dalam seni kebudayaan terdapat pergeseran

paradigma dalam arus modernisme tersebut.6

Karakter dan patologi modernitas, bisa ditanggulangi dengan

individuasi yang integral dan holistik. Demistifikasi kesadaran dalam

penyejarahan individu yang lahir dalam realitas sosial merupakan

langkah awal dekonstruksi identitas diri yang historis. Kembalinya

individu pada sejarah aslinya, atau dalam bahasa Rousseau, kembali

pada alam, yaitu dunia yang dulu tercerabut kekhasannya, merupakan

usaha pembersihan diri. Merekonstruksi masa lampau yang diskursif,

yaitu bagaimana sejarah asli berinteraksi secara dialektis dan rasional

6 Barry Smart, Modern Conditions, Postmodern Controversies (London and

New York: Routledge, 1992), 150.

Page 10: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

156|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

dengan Kebudayaan Universal dari luar dirinya. Individu yang sehat,

terbuka, dan mempunyai identitas sejarah yang kokoh, merupakan

modal terpenting bagi munculnya peradaban kosmopolit. Dan

pergerakan sosial itu membutuhkan uang dalam segala hal.7

Kebijaksanaan Timur

Poskolonialisme yang mengembangkan visi kritis,

transformatif, dan emansipatoris, belum berdiri kokoh tanpa ditopang

oleh individuasi yang utuh dan penuh kebijaksanaan. Menciptakan

sebuah sistem tanpa mau memperhatikan siapakah yang akan

menjalankan sistem tersebut sama saja dengan mustahil dan absurd.

Sistem tidak akan mempunyai ruh kalau hanya bentuk saja tanpa

adanya individu-individu yang arif dan tegas. Kebijaksanaan Timur

(oriental wisdom) mengisi akan tugas ini. Ia diramu dari “akar-akar

hati semesta” ke-Timuran yang ingin menyejarah tanpa kehilangan

identitas diri. Bukankah Agama-agama dunia berasal dari Timur?

Timur adalah sumber agama-agama dunia (source of world religion).

Kebijaksanaan Timur adalah milik individu-individu yang

berpengatahuan mendalam dan pemegang kekuasaan yang adil

(fairness power).

Kebijaksanaan Timur berkaitan erat dengan inti Spiritualisme

Universal yang lintas agama, yaitu daya hidup (elan vital). Manusia

dinamis yang digambarkan oleh Bergson, adalah manusia religius

yang memiliki daya semangat hidup tinggi. Salah satu spiritualisme

tertinggi adalah kebijaksanaan untuk menghargai kehidupan. Ia bisa

7 James L. Wood, Social Movements: Development, Participation, and

Dynamics, (California: Wadsworth Publishing Company, 1982), 186.

Page 11: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |157

menghidupkan dan meramaikan semesta dengan kebajikan. Individu

yang mempunyai semgangat dan daya hidup tinggi, dapat

mengakselerasikan seluruh potensi-potensi sejarah manusia yang ada

sebelumnya. Ia mempunyai “arketipe” kemanusiaan dari alam. Elan

vital ini diabdikan untuk menghidupi semesta. Ia merupakan energi

kosmis yang diselubungi ketidaksadaran. Individu ini menganggap

seluruh organ alam adalah hidup dan mempunyai jiwa-jiwa damai.

Kebijaksanaan Timur diciptakan dari anugerah alam. Karena

alam ini distrukturkan oleh ruang semesta, yaitu waktu, maka “jiwa

kebijaksanaan timur” selalu berpindah-pindah dari waktu ke waktu.

Ia menelusuri rentang sejarah dan memasuki individu-individu yang

mau menyedekahkan hatinya untuk semesta, yaitu orang yang cinta

akan kebajikan universal, kepada manusia, hewan, tumbuhan, dan

benda-benda lainnya. Ia adalah sahabat alam dan mempunyai “hati

semesta”.

Studi Wong Cilik (Subaltern Studies)

Benda-benda penghias kehidupan manusia, ternyata lebih kuat

mempengaruhi dan mengkooptasi kesadaran manusia, dari pada

manusia itu sendiri yang mengolah, memanfaatkannya, dan

melestarikannya. Studi wong cilik adalah keharusan yang layak

dimiliki para akademisi kita yang sombong akan keberadaannya dan

tidak mau menyejarah secara material ataupun imajinasinya dengan

kawulo alit, dimana mereka telah mengalami "mistifikasi kesadaran".

Kesombongan itu terwujud dalam bentuk gengsi berkelas dan

keengganan untuk menyedekahkan hati dan jiwanya bagi penderitaan

mereka. Marx menyebutnya, "pekerja semesta". Para kaum elit

Page 12: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

158|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

"intelektual" lebih menidurkan diri oleh ranjang mereka yang hangat

dan perut yang dimanjakan prestasi kerja. Mereka terkungkung oleh

dunia intelektual mereka sendiri. Studi wong cilik lebih berpusat

pada psikologi yang hermeneutis.

Memang, membangun formasi sebuah peradaban sering

mengorbankan kehidupan manusia. Bagaimana Borobudur terbangun

dengan peras keringat kuli-kuli miskin, atau Piramida Mesir yang

menelan ribuan darah kaum papa, telah tercatat dalam lembaran

sejarah yang terpinggir dan tak terpikirkan. Kini, modernitas pun

telah menjadi lintah yang membutuhkan sesajen manusia, sehingga

Berger menyebutnya “Pyramid of Sacrifice”. Parameter peradaban

yang maju bukanlah hanya dilihat dari “proyek mercusuarnya” saja,

namun yang lebih penting dari itu, yaitu “pemanusiaan manusia”

bersama alam yang terjaga keseimbangan dan kontinuitasnya dalam

sejarah. Sejarah tak akan bisa berbalik, dan akan tetap melaju pelan

namun pasti. Alam adalah anugerah bagi penghuninya tanpa adanya

dominasi, penguasaan pribadi, atau pemilikan yang bersifat

pengelompokan. Salah satu yang penting dalam masyarakat adalah

kesejahteraan individu. Dalam masyarakat yang memiliki

kepentingan-kepentingan tergantung dari posisi mereka dalam

produksi. Kelas sosial masyarakat menentukan kesejahteraan dalam

ekonominya.8

Negara investasi sosial harus mengarahkan dirinya demi

kebebasan akan kesempatan dan keadilan atas perbedaan. Di

dalamnya ada sebuah kompetisi yang fair, tidak ada dominasi, dan

8 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (USA:

Stanford University Press, 1959), 12.

Page 13: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |159

membagi secara adil bagi mereka yang memiliki potensi dan

kecakapan berbeda. Rawls menyebutnya, principle of greatest equal

liberty dan principle of differnce.

Ketika sebuah negara bermodelkan “nation-state” dikuasai,

dihiasi, dan diatur oleh prinsip “sirkulasi elit”, tentu terjadilah

ketidakadilan secara politis maupun ekonomi bagi seluruh warganya.

Mosca menyebutnya kelas pengatur. Kelas pengatur percaya akan

paradigma demokrasi mayoritas, bahwa masyarakat adalah bodoh dan

meyebalkan. Sehingga mendeklarasikan diri, bahwa merekalah orang-

orang bijak, berpengetahuan, dan berkesadaran tinggi. Hal ini

mendapatkan kekuatan penyokong dari kaum menengah (middle

class), yaitu organisasi-organisasi sosial berbasiskan agama dan

ekonomi. Akhirnya, terjadilah apa yang dinamakan Michels hukum

besi oligarki. Singkatnya, demokrasi adalah kebodohan, kebusukan,

dan kebebalan.

Sejarah telah banyak mengungkapakan kepada kita, bagaimana

proses cerita munculnya perubahan-perubahan besar di belahan Timur

maupun Barat, yang digerakkan oleh pemikir-pemikir alienatif atau

segelintir orang yang berparadigmakan penderitaan masyarakat

bawah (subaltern society).

Mereka bukanlah orang yang melakukan "mistifikasi

kesadaran" dengan indoktrinasi yang agitatif atau provokatif, namun

mereka melakukan sesbuah pembelajaran yang mendewasakan diri

masyarakat dan dunia. Rata-rata, mereka adalah pemikir-pemikir

besar penentu gerak zaman, yang dianugerahi oleh alam, potensi-

potensi unik dan berkepribadian yang lain dari biasanya. Ketika kaum

subaltern, didefinisikan sebagai "civil society" yang pesakitan dan

Page 14: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

160|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

"uncivilized", tentu mereka membutuhkan "dokter" yang bisa meraba

bagian mana yang mereka anggap sakit. Namun, dokter terbaik

adalah diri sendiri.

Studi wong cilik merupakan analisa diri (self-analysis) para

akademisi terhadap daya-daya potensial mereka selama ini yang

terpinggirkan oleh arus besar kesadaran mistifikasi yang dilazimkan

dan pemikiran-pemikiran yang terasingkan, karena tak bisa dipikirkan

atau tak sempat terpikirkan sama sekali.

Sosiologi mempertanyakan persoalan sosial yang muncul

sebagai akibat dari kolonialisme. Pengembalian sosilogi kepada

publik dalam kerangka poskolonialisme, adalah mengembalikan

fungsi sosiologi untuk membela subaltern. Sosiologi bertugas

membebaskan mereka yang lemah dan terpinggirkan. Dalam teori

sosial, setiap organisme yang berevolusi memiliki fungsinya masing-

masing dalam kehidupan dasn itu sudah terstruktur dalam kenyataan

itu sendiri.9

Arketipe, sebagaimana didefinsikan oleh Jung, adalah pola

dasar yang menggambarkan proses-proses ketidaksadaran manusia

dari alur sejarah manusia awal sampai kini. Dimana, imajinasi dan

kognisi manusia adalah bagian penting dari ketidaksadaran tersebut.

Keduanya sambung-menyambung membentuk mata rantai sejarah

dan susun menyusun layaknya kerangka manusia universal yang

dapat diputar dan direkonstruksi secara arkeologis ataupun

geneologis.

9 Percy S. Cohen, Modern Social Theory (London: Heinemann Educational

Books Ltd, 1968), 34-35.

Page 15: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |161

Manusia dewasa yang otonom dan melampaui zamannya adalah

tanda adanya arketipe ini. Karena elan vital diatas berdaya fluktuatif,

tentu spirit kemanusiaanlah yang menjadi basis fundamental bagi

segala usaha pemberdayaan diri (self-empowerment). Spirit

kemanusiaan selalu mengarahkan diri secara kognitif maupun

material, langsung dengan penderitaan masyarakat dan dunia. Pekerja

semesta adalah kuli bangsa. Namun, di punggungnya lah bangsa besar

dilahirkan.

Manusia intelektual yang bergelut dengan keilmuan-keilmuan

empiris hegemonik, tidak akan mencampurkan identitas dirinya

sendiri dengan watak yang lain. Artinya, belenggu sirkulasi elit bisa

diputuskan dengan memunculkan elit yang dipungut dari anak kaum

subaltern yang tahu arketipe dirinya dan mampu menjaga tapal batas

eksistensi kesadarannya secara tegas.

Postmodern: Globalisasi Dan Glokalisasi

Kenyataan simbol merupakan permainan modifikasi. Seperti

yang diungkap oleh Baudrillard sebagaimana juga dikutip oleh

Muzakki, bahwa simbol saat ini telah menjadi “raja”. Ia adalah

pengatur segala urusan dalam dunia ini melalui komoditas simbol.10

Kita bisa melihat Mcdonalisasi, misalnya, ia telah membumi dan

dimana-mana kita bisa melihat dan menikmatinya. Hal itu merupakan

bahasa lain dari imperialisme kultural dimana Amerikalah yang

menjadi dominan. Kita sebut globalisasi tersebut dengan

Amerikanisasi. Mcdonald hanya sedikit contoh dari simbol kaum

10 Akh. Muzakki, “Islamisme dan Politisasi Agama Model PKS dalam Pilpres

2009”, Jurnal Islamica, Volume 5, Nomor 1 (September 2010), 73.

Page 16: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

162|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

hedonis, yang telah berubah. Banyak aspek lain selain itu. Namun

semuanya mengacu pada satu hal yang mendasar dalam kehidupan

umat manusia, yakni gaya hidup itu sendiri.

Posmodernisme adalah wacana kesadaran yang mencoba

mempertanyakan kembali batas-batas, milik dan realisasi asumsi-

asumsi modernisme. Kegairahan untuk meperluas cakrawala estetika,

tanda dan kode seni modern. Wacana kebudayaan yang ditandai

dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi

secara masssif, meledaknya konsumerisme, lahirnya realitas semu,

dunia hiper-realits dan simulasi, serta tumbangnya nilai guna dan

nilai tukar oleh tanda dan nilai simbol. Dan serangkaian kesadaran

dan keyakinan ini mencakup berbagai bidang kehidupaan.

Menurut Baudrillard, kebudayaan posmodern mempunyai ciri-

ciri, yaitu kebudayaaan uang sehingga uang mendapatkan peranan

penting dalam masyarakat posmodern dan bukan sebagai fungsi atau

makna uang sebagai alat tukar, tetapi sebagai simbol. Ada kesatuan

tanda dan penanda dalam hiper realitas posmodern.

Umat manusia telah terbentuk sebagaimana produk industri itu

sendiri, tak ada lagi keunikan, yang ada hanyalah kekakuan yang

seragam, Sehingga secara sadar atau tidak sadar manusia berangsur-

angsur kehilangan asas kemerdekaannya, pada itulah yang dijadikan

tumpuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Suatu iktikad

dikembangakannya ilmu pengetahuan dan teknlogi sebagai

pembebasan keterbatasan manusia, justru menghadirkan kerumitan

hidup dan kegelapan ruang spiritual. Waktu yang berjalan telah

dianggap terlampau cepat berlalu tanpa makna. Tanpa membawa

penyelesaian masalah hidup yang direncanakan. Manusia terpacu oleh

Page 17: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |163

situasi mekanistik yang telah diciptakannya sendiri, sehingga

kehilangan waktu untuk merenungkan ayat-ayat Allah dan makna

hidup. Manusia telah kehilangan kontak dengan alam, dan oleh

karena itu kerusakan lingkungan menjadi masalah utama dalam

kehidupan modern. Manusia telah kehilangan kemampuan kontak

hubungan dengan dimensi transendentalnya. Ketika manusia telah

kehilangan orientasi tidak tahu kemana arah hidup tertuju, disinilah

manusia telah kehilangan segala-galanya.

Menjelang berakhirnya abad 20, terjadi perkembangan

pemikiran baru yang mulai meyadari bahwa manusia selama ini telah

salah dalam menjalani kehidupannya. Manusia mulai merindukan

dimensi spiritual yang "hilang" dari kehidupannya. Di dunia ilmu

pengetahuan muncul pandangan-pandangan yang menggugat

paradigma postivisme. Tokoh seperti Thomas Kuhn, dalam buku

”The Structure of Scientific Revolution” mengisyaratkan adanya

upaya pendobrakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang mempunyai

kebenaran sui generis atau objektif. Kuhn menyerang paham

positivistik dan menyerang pendekatan rasionalistik, karena ilmu

pengetahuan tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu. Ilmu

pengetahuan mempunyai kuasa mutlak. Kendati dalam masyarakat

sesorang boleh memilih agama atau tidak, tetapi ia tetap mau tidak

mau harus memilih ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahua

tidak lagi berfungsi membebaskan manusia tetapi justru

memperbudaknya. Capra dalam buku “The Turning Point” menulis

bahwa manusia dihadapkan pada krisis global yang menyentuh

seluruh aspek kehidupan. Sedangkan perbedaan antara hubungan

tertutup dan terbuka dalaml masyarakat adalah sebuah usaha untuk

Page 18: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

164|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

memaksimalkan keuntungan dan keanggotaan sosial di dalam

solidaritas masyarakat. Ada hubungan komunal yang diasosiasikan

dalam hubungan pedesaan (rural) dan partai politik.11

Fenomena budaya saat ini adalah budaya dominasi. Dalam hal

ini Barat telah menjadi cerminan. Ada yang mengatakan bahwa

budaya Timur merupakan “cetak biru” dari peradaban Barat. Timur

harus melalui tahap yang telah dijalani oleh Barat berupa

modernisasi. Kritikus budaya dan filsuf, Thodore Adorno dan Max

Horkheimer pernah menyinggung dengan istilah cultural industry

yang berperan penting dalam reproduksi kapitalisme sehingga

menghasilkan mass culture. Ada juga yang menyebut bahwa

meskipun sudah tidak tinggal dalam negara yang dijajah namun kita

masih berada dalam kondisi pasca penjajahan atau postcolonial

condition.12

Benturan adalah satu dari sejumlah kemungkinan yang terjadi

saat kontak antar budaya berlangsung. Bila sejarah dan peradaban

dibagi dalam term modernis dan posmodernis, kita memang bisa

melihat adanya benturan-benturan, perlawanan, resistensi bahkan

penolakan. Kebudayaan modernis memberi prioritas pada tatanan

(order), keseluruhan (totalitiy) dan kesatuan (unity) yang terobsesi

pada, “controlling, regulating dan classifying”. Hasilnya adalah

sebuah masyarakat yang tipikal berupaya menciptakan tatanan atau

ketertiban lewat pengadaan peraturan, lembaga, hukum dan kode-

kode moral. Kebudayaan yang dituliskan oleh kaum posmodernis

11 Bryan S. Turner, Status (Minneapolis: University of Minnesota Press,

1988), 24-25. 12 Stephen Slemon, “Post-colonial Critical Theories”, dalam Gregory Castle

(ed), Postcolonial Discourse: An Anthology, (Massachusetts: Blackwell, 2001), 102.

Page 19: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |165

adalah budaya perayaan: perayaan atas kosmopolitanisme, diversitas

dan konsumsi. Dalam model pemahaman kaum posmodernis seperti

ini, memang bisa dilihat adanya benturan antara kebudayaan

modernis dengan kebudayaan posmodernis karena perbedaan persepsi

dan prioritas yang pada gilirannya menghasilkan perilaku dan

tindakan yang juga berbeda. Ilmu pengetahuan posmodern ditandai

dengan tidak adanya stabilitas dalam penelitian. Hal ini terkait

dengan legetimasi dalam ranah pengetahuan itu sendiri.13

Ada kompleksitas permainan di antara yang global dan yang

lokal. Meskipun penggunaan kedua istilah ini begitu elusif, dan

cenderung mempertentangkan dalam model oposisi biner, namun

diakui bahwa “yang global” disini mau mengacu pada daya-daya

sosial dan kultural yang identik dengan globalisasi (seperti

konsumerisme, komunikasi via satelit, industri budaya, migrasi) yang

mengalami perluasan secara spasial. Sementara, “yang local” mau

mengacu pada tradisi dan cara hidup yang berskala kecil dan terbatas

secara geografis (sepeti tradisi kesukuan, bahasa, agama). Para ahli

dalam model kedua ini melihat bahwa “yang global dan local” tidak

secara niscaya berkonlik, melainkan berkontak dan menghasilkan

sejumlah kemungkinan yang kompleks dan tidak bisa diramalkan,

seperti hibridisasi (yang lahir dari percampuran aneka macam budaya

dan gaya hidup), politik perbedaan (yang bisa dilihat sebagian reaksi

defensif terhadap globalisasi, seperti nampak dalam fundamentalisme

religius, kebangkitan cinta etnis, perjuangan penegakan hak-hak).

13 Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on

Knowledge (London: Manchester University Press, 1979), 53.

Page 20: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

166|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

Spiritualisme Islam: Sebuah Tawaran

Menurut Seyyed Hossein Nasr, masyarakat Islam merupakan

kumpulan-kumpulan individu yang menemukan makna dan dorongan

hidup dalam eksistensinya. Masyarakat Islam didasarkan atas pribadi-

pribadinya yang terkumpul dalam sistem sosial14

Perkembangan

modern yang telah melahirkan diskriminasi dan industrialisasi buta

telah merusak struktur atau tatanan masyarakat tradisional. Itu juga

sangat berdampak sekali terhadap lingkungan. Modern bukanlah hal

yang memiliki segala kemajuan di segala lini, tetapi lebih kepada

realisasi pengembangan pribadi manusia di dalam beradaptasi di

dunia ini sesuai standar apa yang telah diberikan oleh Tuhan terlepas

di abad modern umat Islam mengalami stagnasi pemikiran atau

tidak.15

Paradigma modern yang dibangun atas premis-premis

rasionalisme, empirisme dan postivisme tidak akan mampu

menyikapi kesemestaan kehidupan karena sejak awal menolak atau

mendekonstruksi realitas yang berada di luar jangkauan indera dan

rasio manusia.16

Karena indera kita ini semua menipu. Paradigma ini

sudah barang tentu bertolak belakang dengan pandangan orang yang

beriman yang berkeyakinan bahwa realitas indrawi merupakan

derivasi dari realitas yang lebih tinggi.

14 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern World (London

and New York: Kegan Paul Ltd, 1987), 117. 15 Muhtar Solihin, “Epistemologi Keilmuan Kontemporer dalam Perspektif

Sufistik”, Jurnal al Afkar, Edisi XIII, Tahun ke 11 (Januari-Juni, 2006), 3. 16 Karena indera kita ini semua menipu. Misal ketika melihat sedotan yang

diletakkan di air. Kelihatannya sedotan itu bengkok, namun akal kita tidak menerima

begitu saja bahwa sedotan itu betul- betul bengkok. Pada hakikatnya sedotan

tersebut lurus. Akal kita yang bilang seperti itu.

Page 21: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |167

Pengalaman manusia modern tidaklah selalu rasional

adakalanya mereka juga mengalami pengalaman mistik yang berada

diluar jangkauan rasional manusia. Alasan manusia modern saat ini

mulai tertarik terhadap spiritual pada dasarnya ingi mencari

keseimbagnan baru dalam hidupnya, dan dalam pandangan yang agak

eksistensialis, ia ingin kembali kepada kemerkdekaan manusia yang

telah mengalami reduksioalisasi dalam kehidupan modern. Kehidupan

dengan perspektif tersebut dapat dicapai apabila manusia senantiasa

mengalami transendensi terus menerus.

Dalam proses transendensi ini, hidup kemudian tidak hanya

berhenti pada realitas yang profan (keduniawian) dalam konteks

ruang dan waktu yang amat terbatas, tetapi ditransendensikan kepada

realita yang mutlak (ultimate realitty). Keseimbangan yang sempurna

serta kemerdekaan yang hakiki, terletak dalam proses transendensi

tersebut.

Munculnya sufi modern atau neo sufisme yang diawali oleh Ibn

Taimiyah, dan yang terpenting dari neo-sufisme adalah dimensi

eksoterisnya yang menghantarkan seorang pada ekstase

keberagamaan yang menyejukkan dan memberikan kedamaian

(peaceful). Karena dimensi esoteris tidak berhenti dan terbatas pada

aktifitas keagamaan agama yang formal dan simbolik, maka efek dari

penghayatan esoterik ini akan muncul menjadi sikap hidup yang

signifikan dan fungsional. Manusia yang sudah sampai pada

penghayatan esoteris, ia menjadikan agama sebagai suatu wacana

yang terbuka, yang terlihat dialektik dengan kompleksitas kehidupan

ini.

Page 22: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

168|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 147-169

Simpulan

Universalitas kebudayaan sangat signifikan untuk diwacanakan

saat ini. Sudah saatnya Barat tidak menghegemoni lagi dalam bentuk

wacana semacam Westernisasi, Amerikanisasi, maupun McDonalisasi

dan sebagainya. Budaya sejatinya bersifat universal di satu sisi dan

beragam di sisi yang lain. Inilah idealisme dari poskolonialisme.

Di era posmodern saat ini dimana logosentrisme telah

mengalami kritikan yang tajam terutama dari dunia Timur, maka

tawaran spiritualitas dari dunia Timur akan mendapatkan tempat

yang dominan. Hal itu akan menjadi tambahan “nutrisi” yang selama

ini seakan “terlupakan” dari “dunia” Barat yang bak menjadi

“psikiater”/dokter dari Timur yang mengalami pesakit.

Kaum intelektual atau kalangan akademisi yang elitis tidak

lagi menjadi hal yang superior dalam realita oposisi biner yang saat

ini memang hendak di lawan oleh kalangan posmodern. Kaum

subaltern atau kita sebut orang “terpinggirkan” dalam pergumulan

arus modern(isme) pada saat ini, mendapatkan “porsi” sama dalam

mencapai ilmu pengetahuan yang holistik. Meminjam Karl Marx,

siapakah pejuang semesta yang sebenarnya? Jawabannya merekalah

yang berdiri kokoh dan memikirkan tentang semesta, dalam arti tidak

hanya berpikir tetapi bekerja untuk semesta.

Daftar Pustaka

Cohen, Percy S. Modern Social Theory, London: Heinemann

Educational Books Ltd, 1968.

Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society,

USA: Stanford University Press, 1959.

Page 23: POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA …

Mahmudi, Poskolonialisme dan Spiritualisme Timur |169

Esposito, John L. Makers of Contemporary Islam, New York: Oxford

University Press, 2001

Featherstone, Mike Consumer Culture and Postmodernisme, London:

Sage Publications Ltd, 1991.

Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, London: Simon and Schuster Ltd, 1996.

Lyotard, Jean Francois. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, London: Manchester University Press, 1979.

Marsh, James L. Modernity and its Discontents, New York: Fordham

University Press, 1992.

Muzakki, Akh. “Islamisme dan Politisasi Agama Model PKS dalam

Pilpres 2009”, Jurnal Islamica, Volume 5, Nomor 1

(September 2010).

Nasr, Hossein, Seyyed Traditional Islam in The Modern World, London and New York: Kegan Paul Ltd, 1987.

Slemon, Stephen “Post-Colonial Critical Theories”, dalam Gregory

Castle (ed), Postcolonial Discourse: An Anthology,

Massachusetts: Blackwell, 2001.

Smart, Barry. Modern Conditions, Postmodern Controversies,

London and New York: Routledge, 1992.

Solihin, Muhtar. “Epistemologi Keilmuan Kontemporer dalam

Perspektif Sufistik”, Jurnal al Afkar, Edisi XIII, Tahun ke 11

(Januari-Juni, 2006).

Toynbee, Arnold J. Civilization on Trial, New York: Oxford

University Press, 1948.

Turner, Bryan S. Status, Minneapolis: University of Minnesota Press,

1988.

Wood, James L. Social Movements: Development, Participation, and

Dynamics, California: Wadsworth Publishing Company,

1982.