politik perizinan · izin pertandingan sepak bola di kampung. di ruang tunggu i kant or imigrasi,...

1
Politik Perizinan B RIGJEN Roekmini Koe- soemo Astoeti, anggota Ko- misi Nasional Hak-hak Asasi Manusia, "dicekal" untuk berbicara dalam diskusi di Su- rabaya 1 Mei 1994. Alasannya teknis, panitia belum menda- patkan izin. Lima hari kemudian acara lepas-rindu Rendra dan rekan- rekannya di rumah Emha Ai- nun Nadjib dibubarkan polisi. Alasannya teknis, perjumpaan lima orang atau lebih diwajib- kan punya izin polisi. Beberapa minggu sebelum- nya, dua acara di Jakarta dibu- barkan dengan alasan serupa. Yakni diskusi tentang Timtim dan Yayasan Pijar dan peraya- an ulang tahun Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Peristiwa semacam itu sarna sekali tidak baru. Sejarah pen- cekalan oleh negara dan ke- caman masyarakat terhadap- nya dapat dilacak jauh ke me- lampui riwayat Republik Indo- nesia. Pencekalan dapat ditaf- sirkan sebagai masalah teknis. Atau juga finansial, moral, le- gal, atau politis. Teknis dan finansial Jika dibicarakan sebatas per- timbangan teknis, soal pence- kalan hanya soal mudah atau sulitnya warganegara meminta dan mendapatkan izin dari apa- rat negara untuk mengadakan suatu kegiatan. Masalah teknis ini nyata bagi sebagian besar rakyat Indonesia, maka tidak dapat disepelekan. N amun ma- salah ini bisa menutupi sejum- lah masalah lain yang lebih serius dalam soal pencekalan. Banyak warga negara menge- luh banyaknya surat-surat yang harus disiapkan untuk memin- ta suatu perizinan untuk berbi- cara, berpesta, melamar kerja atau berpergian. Emha puny a anekdot bagaimana rumitnya masuk keluar belasan kantor birokrasi untuk mendapatkan izin pertandingan sepak bola di kampung. Di ruang tunggu I kant or Imigrasi, ada anekdot tentang betapa lamban dan ber- I belitnya perjalanan dokumen dari satu meja birokrat ke meja , berikutnya di satu ruang kantor yang sarna. Di satu meja ada yang memeriksa foto orang Oleh Ariel Heryanto yang mengurus izin. Jika ia mujur, dokumen dan foto itu akan beralih ke meja berikut- nya pada jam yang sarna. Di sana ada pejabat lain yang membubuhkan lem di bela- kang foto. Jika nasib masih baik, pada hari yang sarna di meja yang lain akan ada pejabat yang menempelkan foto itu ke dokumen yang diurus. Gejala itu tidak khas Indone- sia. Setiap negara yang dise- lenggarakan dengan adminis- trasi moderen terbelit birokrasi serupa. Semakin besar dan mo- deren bangsa-bangsa itu biasa- nya semakin rumit dan men- jengkelkan beban birokrasinya. Birokrat kita ada yang tergoda menunjuk Amerika atau Aus- tralia sebagai teladan perlunya birokrasi perizinan untuk de- monstrasi. Tapi birokrat yang sama menolak bila warga nega- ra kita menunjuk negara asing itu sebagai contoh bagaimana pemerintah menghormati hak rakyatnya. Di banyak negara, lamban dan rumitnya birokrasi sering dipangkas dengan berbagai ca- ra. Salah satunya dengan tam- bahan dana. Entah yang bersi- fat resmi (tarif khusus), atal1 suap alias uang-pelicin. Hal se- rupa dapat dijumpai di Indone- sia. Maka bagi kaum kaya, pro- sedur birokratis tidak selalu menjadi masalah berat. Banyak pemodal asing dari negara in- dustrial lebih suka meraup ke- kayaan di negeri bekas jajahan seperti Indonesia. Administrasi negara yang kedodoran dan ko- rupsi bukanlah cacat atau gang- guan proyek kerja. Justru ini- lah keunggulan komparatif dan daya-tarik yang tidak tersedia di negeri asal mereka. Membahas masalah pence- kalan sebatas pertimbangan teknis berarti mengingkari du- duk persoalan yang sebenarnya kompleks dan serius. Bila ada petugas membubarkan acara dengan pertanyaan, "Punya izin dari polisi?" Biasanya yang punya acara tidak bertanya ba- lik apakah si petugas "punya izin dari rakyat?" Untuk bertin- dak begitu, warga negara akan terus-terusan diminta lebih ra- jin, rapi, sa bar, tekun dan patuh untuk meminta izin bagi ke- giatannya. Para pejabat negara dituntut lebih peka, trampil, cekatan, dan tanggap. Seakan- akan peraturan yang ada sudah benar dan sah menurut jenjang hukum di atasnya. Tata-sosial makro yang menumbuhkan aturan itu tidak digugat. Pan- dangan serupa ITIuncul dalam menjelaskan kasus perburuhan seusai kericuhan di Medan. Mengatasi hambatan atau ca- cat dalam prosedur perizinan dengan mengandalkan beaya tambahan (resmi atau suap) merupakan jalan pintas. Ini bi- sa memperlancar kegiatan se- bagian warganegara untuk se- mentara waktu. Tetapi ini tidak dinikmati merata bagi seluruh masyarakat, sehingga men um- buhkan soal baru. Dan itu tidak menyentuh, apalagi me- nyelesaikan sumber persoalan yang pokok. Legal dan politik Menurut Kapuspen ABRI Brigjen Syarwan Hamid, ABRI tidak berkeberatan bila Roek- mini tampil diSurabaya. Menu- rut dia, diskusi dis ana batal karena alasan teknis. Tetapi, ada tetapinya. Kapuspen ABRI juga menambahkan bahwa ti- dak semua diskusi akan diberi izin. Izin tidak akan diberikan untuk topik dan pembicara dis- kusi yang dicurigai bersikap "menghasut" (Kompas, 13/05/ 94). Ini sudah bukan lagi seke- dar masalah teknis atau finan- sial! Para aktivis hak-hak asasi yang berpendidikan dan ber- profesi hukum biasanya meng- gugat pencekalan dari segi le- galitas. Memang ada alasan kuat untuk mempertanyakan pencekalan tidak saja pada hal- hal yang teknis dan praktis, melainkan prinsip. Dasar hu- kum yang biasa digunakan un- tuk menuntut warga negara meminta izin bila berkumpul lima orang atau lebih ialah UU 5/PNPS/1963 yang mendapat status pengesahan baru di ta- hun 1969. Sejak dari awalnya legalitas undang-undang ini sang at le- mah. Ia tidak dibentuk dari sidang legislatif yang normal, melainkan atas kehendak Pre- siden. Itu pun dalam keadaan darurat. Sungguh ironis jika hari ini undang-undang itu ma- sih dipertahankan. Ini berarti pengakuan bahwa hukum dan politik kita tidak lebih baik dari keadaan darurat 30 tahun yang lalu! Seakan-akan Orde Baru hanya membonceng jasa tata- hukum dari sistem diktator yang diberituk" oleh pemerin- tahan Demokrasi Terpimpin. Tapi sebentar! Benarkah ini masalah hukum belaka? Bertahun-tahun sudah para pejuang keadilan dan hukum kita menyerukan apa yang per- lu dibenahi dalam perundang- an dan peradilan kita. Hasilnya bukan tak ada, tapi jauh dari memadai. Bila satu gol dime- nangkan pejuang itu, mereka kebobolan lima gollain. Dalam ruang pengadilan, seminar, atau ulasan tercetak mereka mengulang-ulang masalah yang tak dibantah penguasa. Tetapi juga tidak cukup digu- bris atau tidak mampu ditin- dak-Ianjuti oleh lembaga legis- latif dan judikatif. Ilustrasi ter- baik diberikan oleh nasib delik penghinaan (haatzaai artike- [en) dan UU Anti-Subversi (PNPS 1111963). Ada masalah lain di atas pranata hukum dan peradilan! Di luar jangkauan para pendekar hukum kita. Dalam setahun terakhir kha- layak umum tertegun meng- ikuti serunya perdebatan ten- tang compang-camping lemba- ga peradilan kita. Ada tersang- ka dan saksi yang diculik, di- aniaya dan dipaksa menanda- tangani Berita Acara Pemerik- saan. Ada dua hakim berbaku- hantam. Persidangan menolak hadirnya saksi ahli atau pemba- caan nota pembelaan oleh ter- dakwa dan pembela. Para pe- ngunjung mengibarkan uang, berdiri di bangku sidang, me- nyoraki atau menjawab perta- nyaan hakim kepada terdakwa. Apakah aneh jika mereka yang memiliki kekuatan ekono- mi atau jabatan negara merasa aman biarpun terbawa arus me- lakukan pelanggaran hukum? Apa yang aneh jika ada terdak-· wa pidana politik melarikan di- ri ketika dipanggil untuk di- adili? Apa yang aneh jika kaum jelata yang merasa diperlaku- kan tidak adillebih suka memi- lih jalan kekerasan di luar jalur resmi untuk membela diri? Suka atau tidak, hukum kita masih merupakan sumbangan hukum kolonial dan "Orde La- ma". Wajar bila ada yang ber- prihatin, dan terpujilah mereka yang kini masih terus berusaha membenahinya. Tetapi ada yang lebih memprihatinkan. Secara praktis, apalagi politis, berbagai perundangan dari za- man kolonial dan Orde Lama itu tidak mungkin dapat dija- lankan secara "murni dan kon-' sekuen". Ambilah contoh undang-un- dang yang mengharuskan ber- kumpulnya lima orang atau le- bih mempunyai izin dari polisi. Ini bisa masuk akal di masa perang ketika sebagian besar penduduk mendekam di tem- pat sembunyi masing-masing. Tapi dalam masyarakat kita se- karang yang dilindungi oleh stabilitas-keamanan ABRI dan dimeriahkan konsumerisme pembangunan? Apakah Anda buru-buru cari izin ke polisi bila kedatangan tamu 4 orang ke rumah Anda? Bila jumpa .. mereka di taman, pasar, atau' sekolah? Bila menunggu bus dt halte? Terorisme politik Hulmm hanya akan berfung, si bilamana dijalankan dengan sanksi bagi pelanggarnya. Teta", pi hukum yang secara an bersifat represiftidak mung': kin dapat diberlakukan secara- menyeluruh. Seluruh aparatur' keamanan dan ketertiban yang' tersedia tidak akan cukup un- ' tuk melakukan pengawasan;'- penangkapan dan hukuman ba; gi pelanggarnya. Yang bisa ter-: jadi ialah berubahnya fungsi, hukum menjadi terorisme poli-' I tik. Inilah yang harus kita was- padai agar jangan sekali-kali menimpa masyarakat kita. Ma- ka layak disimak. Masyarakat yang menderita' terorisme politik selalu merasa was-was. Mereka sadar adanya" berbagai larangan resmi de,' ngan ancaman sanksi yang le- gal. Tetapi mereka juga tahu tidak semua larangan itu selalu diberlakukan terhadap semua orang sehari-hari. Karena itu masyarakat tidak terdorong beramai-ramai menolak berba- (Bersambung ke hIm. 5 kol. 4) Politik (Sambungan dari halaman 4) gai larangan itu. Celakanya, I mereka tidak pernah tahu ka- pan larangan yang menakutkan itu diberlakukan, atau kepada siapa. Ketidak-pastian dan kejutan merupakan unsur terpenting dalam terorisme politik. Yang samar bukan saja kapan sebuah peraturan diberlakukan kepada siapa, tetapi juga isi peraturan I itu sendiri. Sebuah peraturan yang ka- i bur akan lebih jitu menteror masyarakat ketimbang peratur- , an yang jelas biar pun kejam. Bila peraturan itu jelas dan kejam, kaum yang lemah akan , berusaha sebisa-bisanya untuk , patuh biarpun terpaksa. Tetapl bila peraturan itu samar maka I tidak ada yang tahu lagi batas yang aman dan bahaya, terle- I pas dari soal benar atau salah. ! Di sini kesewenang-wenangan menjadi panglima. Dan para I petugas hanya menjalankan in- struksi atasan dengan bekal senjata. Jangan diajak berde- bat. * Ariel Heryanto, Staf Peng- ajar Pascasarjana UKSW, Sa- ! [atiga. KOMPAS ',SENIN, 30 MEl 1994 !Halaman 4 Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: ngonhu

Post on 09-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Politik Perizinan BRIGJEN Roekmini Koe­

soemo Astoeti, anggota Ko­misi Nasional Hak-hak

Asasi Manusia, "dicekal" untuk berbicara dalam diskusi di Su­rabaya 1 Mei 1994. Alasannya teknis, panitia belum menda­patkan izin.

Lima hari kemudian acara lepas-rindu Rendra dan rekan­rekannya di rumah Emha Ai­nun Nadjib dibubarkan polisi. Alasannya teknis, perjumpaan lima orang atau lebih diwajib­kan punya izin polisi.

Beberapa minggu sebelum­nya, dua acara di Jakarta dibu­barkan dengan alasan serupa. Yakni diskusi tentang Timtim dan Yayasan Pijar dan peraya­an ulang tahun Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.

Peristiwa semacam itu sarna sekali tidak baru. Sejarah pen­cekalan oleh negara dan ke­caman masyarakat terhadap­nya dapat dilacak jauh ke me­lampui riwayat Republik Indo­nesia. Pencekalan dapat ditaf­sirkan sebagai masalah teknis. Atau juga finansial, moral, le­gal, atau politis.

Teknis dan finansial Jika dibicarakan sebatas per­

timbangan teknis, soal pence­kalan hanya soal mudah atau sulitnya warganegara meminta dan mendapatkan izin dari apa­rat negara untuk mengadakan suatu kegiatan. Masalah teknis ini nyata bagi sebagian besar rakyat Indonesia, maka tidak dapat disepelekan. N amun ma­salah ini bisa menutupi sejum­lah masalah lain yang lebih serius dalam soal pencekalan.

Banyak warga negara menge­luh banyaknya surat-surat yang harus disiapkan untuk memin­ta suatu perizinan untuk berbi­cara, berpesta, melamar kerja atau berpergian. Emha puny a anekdot bagaimana rumitnya masuk keluar belasan kantor birokrasi untuk mendapatkan izin pertandingan sepak bola di kampung. Di ruang tunggu

I kant or Imigrasi, ada anekdot tentang betapa lamban dan ber­

I belitnya perjalanan dokumen dari satu meja birokrat ke meja

, berikutnya di satu ruang kantor yang sarna. Di satu meja ada yang memeriksa foto orang

Oleh Ariel Heryanto yang mengurus izin. Jika ia mujur, dokumen dan foto itu akan beralih ke meja berikut­nya pada jam yang sarna. Di sana ada pejabat lain yang membubuhkan lem di bela­kang foto. Jika nasib masih baik, pada hari yang sarna di meja yang lain akan ada pejabat yang menempelkan foto itu ke dokumen yang diurus.

Gejala itu tidak khas Indone­sia. Setiap negara yang dise­lenggarakan dengan adminis­trasi moderen terbelit birokrasi serupa. Semakin besar dan mo­deren bangsa-bangsa itu biasa­nya semakin rumit dan men­jengkelkan beban birokrasinya. Birokrat kita ada yang tergoda menunjuk Amerika atau Aus­tralia sebagai teladan perlunya birokrasi perizinan untuk de­monstrasi. Tapi birokrat yang sama menolak bila warga nega­ra kita menunjuk negara asing itu sebagai contoh bagaimana pemerintah menghormati hak rakyatnya.

Di banyak negara, lamban dan rumitnya birokrasi sering dipangkas dengan berbagai ca­ra. Salah satunya dengan tam­bahan dana. Entah yang bersi­fat resmi (tarif khusus), atal1 suap alias uang-pelicin. Hal se­rupa dapat dijumpai di Indone­sia. Maka bagi kaum kaya, pro­sedur birokratis tidak selalu menjadi masalah berat. Banyak pemodal asing dari negara in­dustrial lebih suka meraup ke­kayaan di negeri bekas jajahan seperti Indonesia. Administrasi negara yang kedodoran dan ko­rupsi bukanlah cacat atau gang­guan proyek kerja. Justru ini­lah keunggulan komparatif dan daya-tarik yang tidak tersedia di negeri asal mereka.

Membahas masalah pence­kalan sebatas pertimbangan teknis berarti mengingkari du­duk persoalan yang sebenarnya kompleks dan serius. Bila ada petugas membubarkan acara dengan pertanyaan, "Punya izin dari polisi?" Biasanya yang punya acara tidak bertanya ba­lik apakah si petugas "punya izin dari rakyat?" Untuk bertin­dak begitu, warga negara akan

terus-terusan diminta lebih ra­jin, rapi, sa bar, tekun dan patuh untuk meminta izin bagi ke­giatannya. Para pejabat negara dituntut lebih peka, trampil, cekatan, dan tanggap. Seakan­akan peraturan yang ada sudah benar dan sah menurut jenjang hukum di atasnya. Tata-sosial makro yang menumbuhkan aturan itu tidak digugat. Pan­dangan serupa ITIuncul dalam menjelaskan kasus perburuhan seusai kericuhan di Medan.

Mengatasi hambatan atau ca­cat dalam prosedur perizinan dengan mengandalkan beaya tambahan (resmi atau suap) merupakan jalan pintas. Ini bi­sa memperlancar kegiatan se­bagian warganegara untuk se­mentara waktu. Tetapi ini tidak dinikmati merata bagi seluruh masyarakat, sehingga men um­buhkan soal baru. Dan itu tidak menyentuh, apalagi me­nyelesaikan sumber persoalan yang pokok.

Legal dan politik Menurut Kapuspen ABRI

Brigjen Syarwan Hamid, ABRI tidak berkeberatan bila Roek­mini tampil diSurabaya. Menu­rut dia, diskusi dis ana batal karena alasan teknis. Tetapi, ada tetapinya. Kapuspen ABRI juga menambahkan bahwa ti­dak semua diskusi akan diberi izin. Izin tidak akan diberikan untuk topik dan pembicara dis­kusi yang dicurigai bersikap "menghasut" (Kompas, 13/05/ 94). Ini sudah bukan lagi seke­dar masalah teknis atau finan­sial!

Para aktivis hak-hak asasi yang berpendidikan dan ber­profesi hukum biasanya meng­gugat pencekalan dari segi le­galitas. Memang ada alasan kuat untuk mempertanyakan pencekalan tidak saja pada hal­hal yang teknis dan praktis, melainkan prinsip. Dasar hu­kum yang biasa digunakan un­tuk menuntut warga negara meminta izin bila berkumpul lima orang atau lebih ialah UU 5/PNPS/1963 yang mendapat status pengesahan baru di ta­hun 1969.

Sejak dari awalnya legalitas undang-undang ini sang at le­mah. Ia tidak dibentuk dari sidang legislatif yang normal, melainkan atas kehendak Pre­siden. Itu pun dalam keadaan darurat. Sungguh ironis jika hari ini undang-undang itu ma­sih dipertahankan. Ini berarti pengakuan bahwa hukum dan politik kita tidak lebih baik dari keadaan darurat 30 tahun yang lalu! Seakan-akan Orde Baru hanya membonceng jasa tata­hukum dari sistem diktator yang diberituk" oleh pemerin­tahan Demokrasi Terpimpin.

Tapi sebentar! Benarkah ini masalah hukum belaka?

Bertahun-tahun sudah para pejuang keadilan dan hukum kita menyerukan apa yang per­lu dibenahi dalam perundang­an dan peradilan kita. Hasilnya bukan tak ada, tapi jauh dari memadai. Bila satu gol dime­nangkan pejuang itu, mereka kebobolan lima gollain. Dalam ruang pengadilan, seminar, atau ulasan tercetak mereka mengulang-ulang masalah yang tak dibantah penguasa. Tetapi juga tidak cukup digu­bris atau tidak mampu ditin­dak-Ianjuti oleh lembaga legis­latif dan judikatif. Ilustrasi ter­baik diberikan oleh nasib delik penghinaan (haatzaai artike­[en) dan UU Anti-Subversi (PNPS 1111963). Ada masalah lain di atas pranata hukum dan peradilan! Di luar jangkauan para pendekar hukum kita.

Dalam setahun terakhir kha­layak umum tertegun meng­ikuti serunya perdebatan ten­tang compang-camping lemba­ga peradilan kita. Ada tersang­ka dan saksi yang diculik, di­aniaya dan dipaksa menanda­tangani Berita Acara Pemerik­saan. Ada dua hakim berbaku­hantam. Persidangan menolak hadirnya saksi ahli atau pemba­caan nota pembelaan oleh ter­dakwa dan pembela. Para pe­ngunjung mengibarkan uang, berdiri di bangku sidang, me­nyoraki atau menjawab perta­nyaan hakim kepada terdakwa.

Apakah aneh jika mereka yang memiliki kekuatan ekono­mi atau jabatan negara merasa aman biarpun terbawa arus me­lakukan pelanggaran hukum? Apa yang aneh jika ada terdak-·

wa pidana politik melarikan di­ri ketika dipanggil untuk di­adili? Apa yang aneh jika kaum jelata yang merasa diperlaku­kan tidak adillebih suka memi­lih jalan kekerasan di luar jalur resmi untuk membela diri?

Suka atau tidak, hukum kita masih merupakan sumbangan hukum kolonial dan "Orde La­ma". Wajar bila ada yang ber­prihatin, dan terpujilah mereka yang kini masih terus berusaha membenahinya. Tetapi ada yang lebih memprihatinkan. Secara praktis, apalagi politis, berbagai perundangan dari za­man kolonial dan Orde Lama itu tidak mungkin dapat dija­lankan secara "murni dan kon-' sekuen".

Ambilah contoh undang-un­dang yang mengharuskan ber­kumpulnya lima orang atau le­bih mempunyai izin dari polisi. Ini bisa masuk akal di masa perang ketika sebagian besar penduduk mendekam di tem­pat sembunyi masing-masing. Tapi dalam masyarakat kita se­karang yang dilindungi oleh stabilitas-keamanan ABRI dan dimeriahkan konsumerisme pembangunan? Apakah Anda buru-buru cari izin ke polisi bila kedatangan tamu 4 orang ke rumah Anda? Bila jumpa .. mereka di taman, pasar, atau' sekolah? Bila menunggu bus dt halte?

Terorisme politik Hulmm hanya akan berfung,

si bilamana dijalankan dengan sanksi bagi pelanggarnya. Teta", pi hukum yang secara berlebih-~ an bersifat represiftidak mung': kin dapat diberlakukan secara­menyeluruh. Seluruh aparatur' keamanan dan ketertiban yang' tersedia tidak akan cukup un- ' tuk melakukan pengawasan;'­penangkapan dan hukuman ba; gi pelanggarnya. Yang bisa ter-: jadi ialah berubahnya fungsi, hukum menjadi terorisme poli-' I

tik. Inilah yang harus kita was­padai agar jangan sekali-kali menimpa masyarakat kita. Ma­ka layak disimak.

Masyarakat yang menderita' terorisme politik selalu merasa was-was. Mereka sadar adanya" berbagai larangan resmi de,' ngan ancaman sanksi yang le­gal. Tetapi mereka juga tahu tidak semua larangan itu selalu diberlakukan terhadap semua orang sehari-hari. Karena itu masyarakat tidak terdorong beramai-ramai menolak berba-(Bersambung ke hIm. 5 kol. 4)

Politik (Sambungan dari halaman 4) gai larangan itu. Celakanya,

I mereka tidak pernah tahu ka­pan larangan yang menakutkan itu diberlakukan, atau kepada siapa.

Ketidak-pastian dan kejutan merupakan unsur terpenting dalam terorisme politik. Yang samar bukan saja kapan sebuah peraturan diberlakukan kepada siapa, tetapi juga isi peraturan

I itu sendiri.

Sebuah peraturan yang ka­i bur akan lebih jitu menteror

masyarakat ketimbang peratur­, an yang jelas biar pun kejam.

Bila peraturan itu jelas dan kejam, kaum yang lemah akan

, berusaha sebisa-bisanya untuk , patuh biarpun terpaksa. Tetapl

bila peraturan itu samar maka I tidak ada yang tahu lagi batas

yang aman dan bahaya, terle­I pas dari soal benar atau salah. ! Di sini kesewenang-wenangan

menjadi panglima. Dan para I petugas hanya menjalankan in­

struksi atasan dengan bekal senjata. Jangan diajak berde­bat.

* Ariel Heryanto, Staf Peng­ajar Pascasarjana UKSW, Sa­

! [atiga.

KOMPAS ',SENIN, 30 MEl 1994

!Halaman 4

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>