pola ikatan pembuluh bambu sebagai penduga … · belum diajukan dalam bentuk apapun kepada...

125
POLA IKATAN PEMBULUH BAMBU SEBAGAI PENDUGA PEMANFAATAN BAMBU NANI NURIYATIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Upload: hoangthien

Post on 12-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

POLA IKATAN PEMBULUH BAMBU

SEBAGAI PENDUGA PEMANFAATAN BAMBU

NANI NURIYATIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

disertasi saya yang berjudul Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga

Pemanfaatan Bambu adalah hasil karya saya sendiri bersama pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan oleh penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir setiap bab disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Nani Nuriyatin

NRP E061050061

ABSTRACT

NANI NURIYATIN. Vascular bundle pattern as predictor of bamboo utilization.

Under direction of KURNIA SOFYAN, SURJONO SURJOKUSUMO, and

SUMINAR S ACHMADI.

Bamboo is a plant which is widely distributed but can not be optimally

utilized. This can be proved by the 143 species of bamboo in Indonesia, only 32

types among them have distinct purpose. Therefore, to optimize the bamboo

utilization is through evaluating anatomy, mechanical, and chemical properties so

that the results can be useful. The research method was approach by regression

with dummy variables, and description analyze. The result of anatomy study

showed that every bamboo species had specific vascular bundle pattern (type 1-4)

as well as the single patern and its combination. The difference of vascular bundle

pattern did not contributed to the physical and mechanical properties of bamboo

investigated, except for MOR. The difference species of bamboo and vertical

position of samples contributed to the different value of compressive strength

parallel to grain, whereas tension strength was only affected by bamboo species.

The results of chemical study showed that interaction between the species and

the vascular bundle patterns of bamboo influences extractive, ash, lignin, and

starch content except alpha cellulose content. The vascular bundle patterns have

important value for distinguishing species of bamboo and they can also be used

to help direction of the use of bamboo.

Keyword: bamboo properties, vascular bundle, density, fibre .

RINGKASAN

NANI NURIYATIN. Pola ikatan pembuluh bambu sebagai penduga pemanfaatan

bambu. Dibimbing oleh KURNIA SOFYAN, SURJONO SURJOKUSUMO, dan

SUMINAR S ACHMADI.

Bambu adalah tanaman yang tersedia melimpah di Indonesia. Tetapi dalam

pemanfaatannya belum optimal karena penggunaan bambu selama ini masih

mengandalkan cara tradisional secara turun-temurun. Tidak setiap jenis bambu

mempunyai penggunaan yang sama, terkait dengan perbedaan sifat yang dimiliki

bambu. Dengan demikian perlu penelitian dasar ilmiah yang hasilnya dapat

digunakan sebagai dasar acuan penggunaannya.

Beberapa sifat dasar bambu yang diteliti adalah sifat anatomi, fisik,

mekanik, dan sifat kimia. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis

regresi dengan peubah boneka untuk aspek anatomi, fisik, dan mekanik.

Sedangkan pengolahan data sifat kimia menggunakan analisis deskripsi dan

keragaman.

Analisis deskripsi terhadap bambu yang diteliti sifat anatominya

menetapkan bahwa seluruh jenis bambu yang diteliti memiliki pola ikatan

pembuluh. Pola-pola tersebut dijumpai dalam bentuk pola tunggal maupun pola

gabungan. Pola tunggal dimiliki oleh bambu Arundinaria hundsii, Arundinaria

javonica, Melocanna baccifera, Cephalostachyum pergracile, Dendrocalamus

strictus dan Dendrocalamus giganteus. Pola gabungan dimiliki oleh bambu

Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus dan Gigantochloa atroviolacea. Nilai

kerapatanikatan pembuluh bambu dipengaruhi oleh seluruh faktor yang diujikan,

yaitu jenis bambu, posisi horizontal, posisi vertikal dan pola ikatan pembuluh.

Sementara panjang serabut dipengaruhi oleh jenis bambu dan pola ikatan

pembuluh. Hanya persen serabut yang dipengaruhi oleh satu faktor saja yaitu

posisi horizontal penampang lintang batang.

Nilai keteguhan lentur patah (MOR) bambu-bambu yang diteliti dipengaruhi

oleh jenis bambu dan pola ikatan pembuluh bambu. Pola 3 memiliki nilai MOR

yang lebih tinggi dibandingkan pola 4. Dendrocalamus asper memiliki nilai

MOR yang paling tinggi dibandingkan bambu lain. Nilai kekakuan (MOE) tidak

dipengaruhi oleh faktor yang diujikan. Jenis bambu dan posisi vertikal batang

mempengaruhi nilai keteguhan tekan sejajar serat. Dendrocalamus asper

memiliki nilai keteguhan tekan paling tinggi dibandingkan bambu-bambu lain.

Hanya pada posisi pangkal, keteguhan tekan memiliki nilai tertinggi. Hasil

pengujian keteguhan tarik dipengaruhi oleh jenis bambu. Dendrocalamus asper

cenderung mempunyai nilai keteguhan tarik lebih tinggi dibandingkan jenis lain.

Hasil analisis deskripsi dan analisis keragaman menyatakan bahwa pada

umumnya sifat-sifat kimia bambu dipengaruhi oleh interaksi antara jenis bambu

dan pola yang dimilikinya. Beberapa sifat kimia yang dipengaruhi oleh interaksi

adalah kandungan ekstraktif, kadar abu, kadar lignin, dan kandungan pati. Ciri

yang menonjol yang dimiliki oleh pola 1 adalah mengandung ekstraktif, lignin

dan alfa selulosa yang tinggi tetapi kadar pati rendah. Pola 2 memiliki ciri kadar

ekstraktif dan pati rendah tetapi kadar abu tinggi. Pola 3 mempunyai ciri kadar

alfa selulosa dan kadar pati rendah. Nilai alfa selulosa yang paling rendah

dimiliki oleh bambu dengan pola 4. Sifat-sifat kimia yang dimiliki oleh bambu

membantu dalam mengarahkan penggunaan bambu sebagai bahan serat.

Pola ikatan pembuluh bambu adalah variabel sifat anatomi yang sebaiknya

dipertimbangkan dalam penggunaan bambu. Pola ikatan pembuluh pada bambu

memiliki ciri tertentu yang dapat membantu mengarahkan penggunaan bambu.

Bambu yang memiliki pola ikatan pembuluh 1 atau 2 dapat digunakan untuk

bahan non struktural sedangkan bambu dengan pola ikatan pembuluh 3 atau 4

dapat digunakan sebagai bahan struktural. Pola ikatan pembuluh bambu terkait

dengan sifat kimia yang penting peranannya dalam pendugaan pemanfaatan serat

serta pemanfaatan bambu di lapangan.

Kata kunci: bambu, pola ikatan pembuluh, anatomi, kimia, fisik mekanik bambu,

penggunaan bambu

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun

POLA IKATAN PEMBULUH BAMBU

SEBAGAI PENDUGA PEMANFAATAN BAMBU

NANI NURIYATIN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

Penguji pada Ujian Tertutup:

1. Dr.Ir. Andi Gunawan, MSc

(Pengajar Departemen Arsitektur Landscap, Fakultas Pertanian, IPB)

2. Dr.Ir.Naresworo Nugroho, MS

(Ketua Program Studi IPK)

Penguji pada ujian terbuka:

1. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS

(Pengajar Departemen Agronomi dan Holtikultur)

2. Dr. Krisdianto Sugiyanto, MSc

(Peneliti Hasil Hutan di Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor)

Judul : Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga

Pemanfaatan Bambu

Nama Mahasiswa : Nani Nuriyatin

NRP : E 061050061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan

Ketua

Prof.Dr.Ir. Surjono Surjokusumo, MSF Prof.Dr.Ir. Suminar S Achmadi, MSc

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan Pascasarjana IPB

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr.Ir.Naresworo Nugroho,MS Dr.Ir.Dahrul Syah,MSc.Agr

Tanggal ujian: 27 Januari 2012 Tanggal lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allash SWT atas segala karunia-

Nya sehingga seluruh rangkaian penelitian/karya ilmiah berhasil diselesaikan.

Selain penelitian di berbagai laboratorium di lingkup Institut Pertanian Bogor,

penelitian juga dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir.Kurnia Sofyan,

Bapak Prof.Dr.Ir.Surjono Surjokusumo, MSF dan Ibu Prof. Dr.Ir.Suminar

S.Achmadi,MSc selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan,

gagasan, dan motivasi selama proses studi doktor. Ucapan terima kasih juga

disampaikan kepada Rektor Unib Bengkulu yang telah memberikan ijin kepada

penulis untuk melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih kepada Dirjen Dikti atas beasiswa pendidikan BPPS yang

sangat membantu kelancaran studi di IPB, Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor IPB,

Ketua Program Studi IPK yang telah memberikan kesempatan untuk menimba

ilmu. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada penguji luar yaitu Ibu Dr. Ir.

Sandra Arifin Aziz, MS, Bapak Dr. Krisdianto Sugiyanto, MSc, Bapak Dr.Ir.Andi

Gunawan, MSc serta Dr.Ir.Naresworo Nugroho, MS yang telah memberi arahan

dan masukan dalam penulisan disertasi. Ucapan terima kasih yang tulus juga

disampaikan kepada Bapak dan mimih (alm.) serta Ama, teteh Ifa, teteh Angi,

Adam serta semua pihak yang telah membantu kelancaran seluruh pelaksanaan

studi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

Nani Nuriyatin

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 5 Mei 1963 dari ayah H. Hardja

Sadeli dan ibu Hj.Sri Suweni (alm.) Penulis merupakan anak kelima dari

delapan bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Teknologi Hasil

Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1987. Pada

tahun 1996 penulis diterima di Progam Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB

dan lulus pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program

doktor diperoleh pada tahun 2005 dengan beasiswa BPPS-Dikti.

Penulis bekerja sebagai dosen di Universitas Bengkulu sejak tahun 1994.

Bidang pengajaran dan penelitian yang ditekuni adalah struktur dan sifat kayu dan

berlanjut sampai saat ini.

Selama mengikuti program S-3, penulis menjadi anggota MAPEKI

(Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia). Karya ilmiah berjudul Kemungkinan

Pemanfaatan Beberapa Jenis Bambu Tertentu, Berdasarkan Pola Penyusunan

Berkas Pembuluh, sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas diterbitkan di Jurnal

Penelitian Hasil Hutan, Vol. 29 No. 4 tahun 2011 halaman 287-300. Karya

tersebut merupakan bagian dari program S-3 penulis.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL …………… ………………………………………. . xii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………… . xiii

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. . xvii

I PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang………………………………………………….. 1

Tujuan Penelitian ………………………………………………. 8

Hipotesis ……………………………………………………….. 8

Manfaat Penelitian ……………………………………………… 8

Ruang Lingkup Penelitian ………..………………….………… 8

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………. . 9

II ANATOMI PENAMPANG LINTANG BATANG 9 JENIS

BAMBU

Pendahuluan …………………………………………………… 12

Bahan dan Metode ……………………………………………. . 13

Hasil dan Pembahasan .……………………………………….. . 15

Simpulan dan Saran ……….…..………………….…………... . 49

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………. . 51

III KORELASI POLA IKATAN PEMBULUH PADA SIFAT FISIK

DAN MEKANIK 3 JENIS BAMBU

Pendahuluan …………………………………..……………… . 53

Bahan dan Metode …………………………………………….. 55

Hasil dan Pembahasan .……………………………………….. . 60

Simpulan dan Saran ……….…..………………….…………... . 68

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………… . 69

IV KORELASI POLA IKATAN PEMBULUH PADA

KANDUNGAN KIMIA 4 JENIS BAMBU

Pendahuluan …………………………………..……………… . 72

Bahan dan Metode ……………………………………………. . 73

Hasil dan Pembahasan .……………………………………….. . 73

Simpulan dan Saran ……….…..………………….……………. 87

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………. . 88

V . PEMBAHASAN DAN SIMPULAN UMUM

Pembahasan Umum……………………………………………. . 90

Simpulan Umum……………..………………………………… . 96

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….. 98

LAMPIRAN……………………………………………………………… 99

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pola ikatan pembuluh pada 9 jenis bambu….....……….…… ........... 41

2 Hasil uji Duncan untuk persentase serabut……………………….. ... 50

3 Pola ikatan pembuluh pada bambu yang d iteliti………………….. 63

4 Persentase serabut pada 2 jenis bambu ….……………………….. 68

5 Standar pengujian untuk analisis sifat kimia bambu………………… 77

6 Rata-rata nilai kandungan kimia pada berbagai jenis dan pola

bambu…………………………………………………………........... 78

7 Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar ekstraktif pada jenis/pola

bambu………………………………………………………………... 80

8 Ketebalan dinding sel dan persen serabut D. asper, D. giganteus,

C.pergracile dan A.hundsii………………………………………….. 82

9 Hasil uji beda Duncan terhadap kandungan abu……………………... 83

10 Kerapatan ikatan pembuluh dan diameter metaxilem bambu………... 85

11 Hasil uji Duncan terhadap kadar pati bambu ....................................... 88

12 Kerapatan ikatan pembuluh pada berbagai jenis/pola bambu............... 90

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema Kerangka Pemikiran ……………………….……………. 6

2 Alur penelitian................................................................................. 7

3 (a). Bentuk pohon bambu A. hundsii secara utuh, (b) Sayatan

mikro pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)……….. 18

4 Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. hundsii.……..….... 18

5 (a). Bentuk pohon bambu A. javonica secara utuh, (b). Sayatan

pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)………………. 19

6 Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. javonica……………. 19

7 Bentuk pohon bambu M. baccifera secara utuh ………………….. 19

8 (a). M. baccifera bagian pangkal dengan pembesaran 40x

(b). Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera..…………. 20

9 (a). M. baccifera bagian tengah (pembesaran 40x) (b) Sketsa

pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera..…………………….. 20

10 (a) Penampang lintang M. baccifera bagian ujung

(pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada

M. baccifera………………………………………………………. 21

11 Bentuk pohon bambu C. pergracile ….………..….……………… 21

12 (a) Tampilan penampang lintang bambu C. pergracile bagian

pangkal dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan

pembuluh 2 pada C. pergracile…………………………………… 22

13 (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian tengah

dengan pembesaran 40x (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada

C. pergracile………………………………………………………. 23

14 (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian ujung dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada

C. pergracile .................................................................................... 23

15 Tampilan utuh bambu D. giganteus................................................ 24

16 (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian pangkal

dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. giganteus..................................................................................... 24

17 (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian tengah

(pembesaran 40x) (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. giganteus.................................................................……............. 25

18 (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian ujung dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. giganteus...............................................................……………... 25

19 Bentuk pohon bambu D. strictus secara utuh ….………………… 26

20 (a). Penampang lintang Dendrocalamus strictus bagian pangkal

(pembesaran 40x) (b). Sketsa pola ikatan pembuluh 3 D. strictus... 27

21 (a) Penampang lintang D. strictus bagian tengah dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. strictus…………………………………………………………. 27

22 (a) Penampang melintang D. strictus bagian ujung dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. strictus…………………………………………..……………… 28

23 Bentuk pohon bambu D. asper…………………………………….. 28

24 (a) Penampang melintang bambu D. asper bagian pangkal dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4……………... 29

25 (a) Penampang lintang D. asper bagian tengah dengan pembesaran

40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. asper…………… 30

26 (a) Penampang lintang D. asper bagian ujung dengan pembesaran

40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan pembuluh 3 pada D. asper.………… 30

27 Tampilan utuh bambu G. apus…………………………………………. 31

28 (a). Penampang lintang G. apus bagian pangkal dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada

G. apus……………………………………………………………… 31

29 (a) Tampilan penampang lintang G. apus bagian tengah dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada

G. apus……………………………………………………………… 32

30 (a) Penampang lintang G. apus bagian ujung dengan pembesaran

40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada G. apus…………….. 32

31 Bentuk pohon bambu G. atroviolecea ………………………….… 33

32 (a) Penampang lintang G. atroviolacea bagian pangkal dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada

G. atroviolacea…………………………………….………………. 33

.

33 (a) Penampang lintang bambu Gigantochloa atroviolacea bagian

tengah dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh

4 pada G. atroviolacea……………………………………………... 34

34 (a) Penampang lintang G. atroviolacea bagian ujung dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

G. atroviolacea……………………………………………………... 34

35 Sketsa pola ikatan pembuluh 1 (a) dan 2 (b)…………...…………… 35

36 Sketsa pola ikatan pembuluh 3 (c) dan 4 (d)……………………….. 36

37 Pola ikatan pembuluh pada (a) A. javonica (pembesaran 40x),

(a1) Sketsa pola ikatan pembuluh A. javonica, (b) Pola ikatan

pembuluh A. hundsii (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan

pembuluh 1 pada A. hundsii........………………………………….. 37

38 Pola ikatan pembuluh pada (a) C. pergracile (pembesaran 40x),

(a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile,

(b) M. baccifera dengan pembesaran 40x, (b1) Sketsa pola

ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera …………………………….. 38

39 Pola ikatan pembuluh pada (a) D. strictus (pembesaran 40x),

(a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus, (b) Pola

ikatan pembuluh D. giganteus (pembesaran 40x), (b1) Sketsa

pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus …………………………….. 39

40 Bentuk rantai serabut pada bagian ujung (a) D. asper,

(b) G. atroviolacea dan (c) G. apus ……………………………...... 40

41 Kerapatan ikatan pembuluh (/mm2) pada 8 jenis bambu…………... 42

42 Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi pangkal, tengah dan ujung... 43

43 Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi horizontal…………………. 44

44 Kerapatan ikatan pembuluh pada berbagai pola……………………... 45

45 Posisi panjang serabut (µm) berbagai jenis bambu………………….. 47

46 Posisi panjang serabut (µm) pada 4 pola bambu…………………….. 47

47 Persentase serabut penampang lintang bambu……………………… 51

48 Hubungan antara kerapatan ikatan pembuluh dan persentase

serabut……………………………………………………………….. 52

49 Bentuk contoh uji bobot jenis (BJ)...................................................... 59

50 Bentuk contoh uji tekan sejajar serat................................................... 59

51 Bentuk contoh uji lentur…………………………………………….. 60

52 Bentuk contoh uji tarik sejajar serat………………………………… 60

53 Posisi nilai MOR untuk 3 jenis bambu……………………………… 64

54 Posisi nilai MOR (kg/cm2) untuk bambu dengan pola 3 dan 4…….. 65

55 Posisi nilai keteguhan tekan pada 3 jenis bambu…………………... 67

56 Posisi nilai keteguhan tekan sejajar serat (kg/cm2) pada bagian

batang bambu ……………………………………………………….. 69

57 Posisi jenis bambu berdasar nilai keteguhan tarik (kg/cm2)…………. 70

58 Kadar ekstraktif (%) pada 4 jenis/pola bambu………………………. 79

59 Kadar abu (%) pada 4 jenis /pola bambu …………………….............. 83

60 Kadar lignin (%) pada 4 jenis/pola bambu…………………………... 86

61 Kadar pati (%) 4 jenis /pola bambu…………………………………... 88

62 Kadar alfa selulosa pada 4 jenis/pola bambu…………………………. 91

63 Pemanfaatan bambu berdasarkan pola………………………………... 101

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Panduan penetapan pola ikatan pembuluh berdasar Grosser dan .............

Liese (1971) .............................................................................................. 105

2 Kerapatan ikatan pembuluh pada penampang lintang 8 jenis bambu ....... 106

3 Analisis keragaman pengaruh jenis bambu, posisi vertikal batang

dan pola pada kerapatan pola pembuluh…………… ………………… . 107

4 Panjang serabut 8 jenis bambu .................................................................. 108

5 Analisis keragaman panjang serabut………………………………… ..... 109

6 Analisis keragaman persentase serabut ……………… ............................ 109

7 Nilai Bobot Jenis (BJ) ............................................................................... 110

8 Nilai MOE dan MOR (kg/cm2) pada beberapa jenis bambu..................... 111

9 a. Analisis keragaman MOR …………………………………… ............ 112

b. Analisis keragaman MOE…. ................................................................ 112

10 Nilai keteguhan keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan tarik .......... 113

11 a. Analisis keragaman keteguhan tekan………………………………... 114

b. Analisis keragaman keteguhan tarik………………………………… 114

12 Klasifikasi kelas kuat pada kayu...................................................... 115

13 Persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas........................ ...... 110

14 Penetapan nilai serat bambu berdasar dimensi serat dan nilai

turunan 8 jenis bambu dikelompokkan menjadi 4 macam pola

mengacu kepada standar kriteria………………………………………. 106

I. PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang

Pemanfaatan hutan sebagai modal pembangunan ekonomi nasional telah

melebihi kemampuannya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui.

Peran hutan selama ini baru terfokus pada sisi produksi kayu, sementara hasil

hutan nonkayu yang telah diusahakan oleh masyarakat secara tradisional dan jasa

lingkungan dari ekosistem hutan belum dimanfaatkan secara optimum. Berbagai

kebijakan yang telah dilaksanakan masih belum mampu menyelesaikan

permasalahan di bidang kehutanan. Penerapan kebijakan soft landing hingga kini

berdampak pada kesenjangan bahan baku yang diperkirakan mencapai sekitar 26

juta m3 per tahun. Sementara itu, nilai tambah dari produk hutan nonkayu seperti

air, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan keindahan alam belum berkembang

seperti yang diharapkan untuk mendukung sektor ekonomi (Bappenas 2011).

Saat ini kebutuhan bahan baku kayu di tingkat nasional semakin meningkat

sedangkan kemampuan pasokan kayu dari hutan alam terus menurun karena

tingkat deforestasi yang tinggi dari tahun ke tahun (Forest Watch Indonesia 2011).

Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya persediaan bahan baku. Keadaan ini

tentu saja kurang menguntungkan bagi keberadaan dunia usaha perkayuan. Upaya

yang dapat dilakukan agar usaha tetap berlangsung adalah dengan mencari

material yang setara dengan kayu, salah satu yang ditawarkan adalah bambu

yang memiliki sifat seperti kayu dan potensinya cukup besar.

Bambu merupakan tanaman monokotil yang memiliki anatomi sederhana

karena pertumbuhan dan diferensiasi selnya terjadi sangat cepat (Liese 2006).

Struktur jaringan pada bambu tersusun dalam bentuk pola ikatan pembuluh dan

terletak terpencar pada jaringan dasar parenkim. Bambu sebagai bahan substitusi

kayu memiliki keunggulan, yaitu sebagai tanaman yang cepat tumbuh, dapat

dipanen pada umur 4 tahun (memiliki rotasi tebang pendek) sehingga untuk satuan

waktu tertentu mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Ditinjau dari sisi

potensi, negara Indonesia memiliki 143 jenis dari keseluruhan keanekaragaman

bambu di dunia yang berjumlah 1200–1300 jenis (Widjaja 2001) juga 50%

bambu-bambu unggul di dunia ada di Indonesia (Darupratomo 2008). Bambu

juga dapat ditemukan hampir di setiap pulau di Indonesia (FAO 2002) sehingga

masih banyak peluang untuk memanfaatkan bambu sebagai bahan baku, apalagi

baru 32 jenis bambu saja yang memiliki kegunaan yang jelas (Widjaja et al.

2004). Dengan kelebihan ini diharapkan kebutuhan bahan baku teratasi,

walaupun bambu memiliki kelemahan, yaitu pada umumnya memiliki daya tahan

yang rendah terhadap jamur dan serangga (Barly 1999).

Di antara negara penghasil bambu, China adalah salah satu penghasil

bambu terbesar di dunia (Jifan 1985). Sebagai bahan yang sangat penting, bambu

di negara China digunakan untuk industri perikanan, konstruksi, pulp dan kertas,

bahan kerajinan dan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bambu di

Indonesia mengacu pada hasil penelusuran Nuriyatin (2000), ternyata memiliki

20 jenis kegunaan di masyarakat. Penggunaan bambu bisa berkembang lebih

banyak lagi baik melalui eksplorasi jenis-jenis bambu maupun eksplorasi

penggunaan lain dengan serangkaian kegiatan penelitian. Mengingat keadaan ini,

perlu dilakukan berbagai pendukung penggunaan bambu secara lebih luas

termasuk penggunaan bukan hanya secara tradisional. Dengan demikian terbuka

lebar peluang untuk memanfaatkan bambu secara tepat baik yang menyangkut

mutu maupun ragam penggunaan.

Ada hal yang menjadi pertanyaan, yaitu kenapa beberapa jenis bambu

mempunyai kegunaan tertentu sedangkan jenis bambu yang lain tidak dapat

dipergunakan untuk keperluan itu. Hal ini berarti bahwa suatu jenis bambu

mempunyai ciri tertentu sehingga akan sesuai jika digunakan untuk tujuan

tertentu saja. Pendekatan yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut

adalah melalui serangkaian kegiatan penelitian sifat-sifat dasar terutama dimulai

dari penelusuran sifat anatomi. Penelitian sifat anatomi mempunyai peranan yang

sangat penting karena dapat menentukan sifat-sifat bambu dan penggunaannya

(Liese 2003).

Penelitian anatomi bambu diawali oleh Ota (1951) yang meneliti pengaruh

persentase elemen struktur pada bobot jenis (BJ) dan kekuatan bambu.

Perkembangan selanjutnya adalah munculnya penelitian Liese (1986) yang

mempelajari tentang karakter dan penggunaan bambu. Setahun kemudian, Liese

(1987) meneliti sifat-sifat dasar bambu yang menginformasikan sifat-sifat

anatomi, kimia, fisik, dan mekanik bambu, Mohmod et al. (1990) mendalami

tampilan anatomi dan sifat-sifat mekanik dari 3 jenis bambu Malaysia.

Selanjutnya Liese (1992) meneliti struktur bambu dan hubungannya dengan sifat-

sifat dan penggunaan di masyarakat. Penelitian ini lebih diperdalam lagi oleh

Liese (2003) melalui pengamatan pengaruh struktur bambu terhadap

pemanfaatannya. Penelitian yang lebih terperinci tentang karakterisasi anatomi

bambu telah dilakukan oleh Londono et al. (2002) yang mencoba menganalisis

karakter anatomi bambu Guadua angustifolia. Penelitian yang sama telah

dilakukan juga oleh Nuriyatin (2000), yaitu tentang sifat-sifat dasar bambu pada

beberapa tujuan penggunaan namun belum sampai pada tahap analisis hubungan

antara pola struktur dan tujuan penggunaan. Dengan demikian kajian lebih

mendalam perlu dikembangkan mengingat manfaatnya bagi perkembangan ilmu

pengetahuan dan penggunaannya di masyarakat.

Batang bambu tersusun selain atas 50% parenkim, 40% serabut, juga oleh

10% sel-sel penyalur (Dransfield dan Widjaja 1995). Grosser dan Liese (l973)

mengemukakan bahwa struktur anatomi batang-batang bambu terutama

ditentukan oleh ikatan pembuluh yang tertanam dalam jaringan parenkim. Lebih

jauh dinyatakan pula oleh Lwin et al. (2007) bahwa struktur anatomi penampang

melintang ruas bambu ditentukan oleh bentuk, ukuran, susunan dan jumlah ikatan

pembuluh. Ikatan pembuluh itu sendiri merupakan susunan pola pembuluh yang

terdiri atas 2 pembuluh metaxilem dengan 1 atau 2 elemen protoxilem yang kecil

dan floem (Liese 1980). Ikatan pembuluh merupakan karakteristik anatomi yang

stabil karena tidak dipengaruhi umur (Londono et al. 2002). Dengan demikian

penelitian pada anatomi bambu selalu mempertimbangkan tampilan ikatan

pembuluh sebagai suatu hal yang penting (Liese 2006).

Grosser dan Liese (l971) menyatakan bahwa pola ikatan pembuluh yang

terdapat pada bambu terdiri atas 4 jenis yaitu tipe 1, 2, 3, dan 4 yang menjadi

pembeda antargenus dan antarspesies. Perkembangan lebih lanjut, pola ikatan

pembuluh menjadi 5 jenis dengan jenis yang ke-5 merupakan pengembangan pola

1 (Liese 1985, Taihui dan Wenwei 1985). Liese (1998) menemukan

pengembangan pola ke-2 sehingga secara keseluruhan ada 6 jenis pola ikatan

pembuluh.

Pola ikatan pembuluh merupakan susunan pola pembuluh yang didukung oleh

serabut baik berada dalam bentuk selubung sklerenkim (pola 1 dan 2) maupun

berbentuk rantai serabut (pola 3 dan 4). Keberadaan serabut pada setiap pola

cukup penting karena memberikan kontribusi 60-70% terhadap bobot total

jaringan batang (Lwin et al. 2007). Tempat beradanya dan distribusi serabut akan

mempengaruhi sifat-sifat tertentu seperti misalnya mempengaruhi BJ dan sifat

kekuatan. Kandungan serabut yang tinggi juga berpengaruh pada produksi pulp

(Liese 1992). Demikian pula panjang serabut mempengaruhi sifat-sifat kekuatan.

Struktur lamela serabut pada bagian pinggir tepi batang berpengaruh pada sifat-

sifat mekanik. Kandungan dan juga penyebaran serabut pada setiap pola akan

memberikan kontribusi pada tujuan pemakaian akhir bambu di mana di antara ke-

4 pola ikatan yang ada masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan

perbedaan ini signifikan diantara spesies dan genus (Londono et al. 2002, Grosser

dan Liese 1971).

Dalam penggunaan bambu sebagai bahan kostruksi ternyata bambu

memiliki nilai kekuatan yang cenderung meningkat dari bagian pangkal ke bagian

ujung (Nuriyatin 2000). Penelitian Nuriyatin (2001) telah menganalisis sifat dasar

bambu dikaitkan dengan tujuan penggunaan, melalui penelitian tersebut

terungkap bahwa dari 5 jenis bambu yang diteliti yaitu seluruhnya layak untuk

dijadikan bahan baku pulp dan kertas. Hasil pengujian mutu suara menyatakan

bahwa Gigantochloa atroviolacea (bambu hitam) memiliki mutu suara terbaik

karena selain memiliki BJ cukup tinggi juga ikatan pembuluh dalam batang

menyebar secara merata. Penelitian ini belum sempurna karena tidak sampai pada

keterkaitan langsung antara pola ikatan pembuluh dengan tujuan penggunaan.

Berdasarkan analisa data dan hasil penelitian sebelumnya diduga bahwa pola

ikatan pembuluh berpengaruh pada pola penggunaan.

Struktur kimia bambu memiliki peranan penting karena mempunyai banyak

hubungan dengan penggunaan (Liese l992, Liese 2006) diantaranya bahwa

kandungan holoselolosa dari bahan tanaman adalah penting untuk industri seperti

pulp dan kertas (Youdi et al. 1985). Demikian pula kandungan ekstraktif suatu

jenis bambu akan memberikan informasi terhadap penggunaan karena dapat

mengontrol keawetan juga bertanggung jawab terhadap peningkatan BJ dan

penurunan keseimbangan kadar air (Liese 2006). Dengan demikian sifat kimia

merupakan sifat yang selalu diikutsertakan dalam studi sifat dasar.

Berdasar uraian tersebut diduga terdapat hubungan antara pola ikatan

pembuluh dengan keragaman sifat dasar. Hal ini berarti juga diduga ada

keterkaitan antara pola ikatan pembuluh dengan penggunaan. Sehubungan

dengan hal itu maka perlu dikembangkan penelitian sehingga dapat diperoleh

dasar yang kuat untuk membentuk pola pendugaan pemanfaatan bambu. Untuk

lebih jelasnya alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat diamati pada

Gambar 1 sedangkan kerangka penelitian terdapat pada Gambar 2.

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

Bentuk hubungan antara pola ikatan pembuluh dengan sifat dasar

Analisis

data

Pendugaan pola penggunaan bambu

Keragaman ikatan pembuluh keragaman spesies keragaman sifat dasar

Riset sifat-sifat dasar

Pola ikatan pembuluh

Kelemahan:

Bernuansa miskin

Dipergunakan berdasarkan

kebiasaan

Tingkat keawetan yang

rendah

Sangat penting karena:

Penentu anatomi

batang bambu

Dasar klasifikasi sbg

pembeda antar

spesies dan genus

Karakteristik anatomi

yang stabil

Kelebihan:

Dikenal luas

Dipergunakan untuk

berbagai penggunaan

Peluang:

Jumlah spesies bambu banyak (143 jenis)

Spesies yang diketahui kegunaannya sedikit

( 32 jenis)

Riset bidang anatomi

Sifat fisik mekanik Sifat kimia

Kelangkaan kayu

B a m b u

Pengembangan berbagai riset ilmiah

Parameter penggunaan

Tujuan Penelitian

Penelitian 3

Penelitian 2

Sifat fisik dan mekanik

Sifat anatomi

Pengolahan data

Analisis dan integrasi elemen dasar bambu

Tujuan penggunaan

Analisis pola penggunaan

Parameter penggunaan

Penelitian 4

Gambar 2. Alur penelitian

Penelitian 1

Pengukuran sifat-sifat dasar

Penetapan pola ikatan pembuluh

Sifat kimia

Tujuan penelitian ini ialah menentukan penggunaan bambu berdasarkan

karakter yang dimiliki oleh pola ikatan pembuluh.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini ialah bahwa pola ikatan pembuluh pada

penampang lintang bambu akan memberikan kontribusi terhadap karakter

bambu, dan pola ikatan pembuluh akan membantu dalam mengarahkan pola

penggunaan bambu

Manfaat Penelitian

Bagi peneliti diharapkan pola ikatan pembuluh memberikan kontribusi

dalam pemanfaatan bambu secara optimum dengan melibatkan secara langsung

sebagai faktor tunggal ataupun bagian dari variabel yang menentukan pola

pemanfaatan bambu. Bagi masyarakat/kalangan industriawan diharapkan hasil

penelitian dapat diaplikasikan dalam pendugaan pemanfaatan bambu. Hal ini

didukung dengan cara penetapan pola ikatan pembuluh yang relatif mudah.

Dengan demikian pemanfaatan yang sesuai dengan karakter bambu diharapkan

akan berguna dalam penggunaan bambu sehingga proses dan produk yang

dihasilkan akan optimum. Bagi dunia keilmuan diharapkan hasil penelitian akan

memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu terutama karena peranannya

dalam menemukan hal baru sehingga dapat memanfaatkan sumber daya bambu

secara efisien.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan pada jenis-jenis bambu yang mewakili 4 pola ikatan

pembuluh terutama yang diambil dari koleksi bambu yang tumbuh di Kebun Raya

Bogor dan dari lokasi arboretum Fakultas Kehutanan di Kampus Institut Pertanian

Bogor, Darmaga, Bogor. Pengujian sifat anatomi, fisik, mekanik dan kimia

dilakukan pada posisi pangkal, tengah dan ujung batang khususnya pada bagian

ruas. Penetapan pola ikatan pembuluh dilakukan pada 9 jenis bambu dan

pengolahan data sifat anatomi hanya pada 8 jenis bambu. Pengujian sifat fisik

mekanik pada 3 jenis bambu (terkait dengan persyaratan sampel uji). Pengujian

sifat kimia hanya pada 4 jenis bambu yang mewakili setiap pola ikatan pembuluh.

Pengolahan data menggunakan analisis deskripsi, analisis keragaman dan analisis

regresi dengan peubah boneka (dummy).

DAFTAR PUSTAKA

Barly. 1999. Pengawetan bambu untuk bahan konstruksi bangunan dan mebel

(petunjuk teknis). Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

dan Perkebunan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial

Ekonomi Kehutanan.

[Bappenas] Badan perancang pembangunan nasional. 2011. Perbaikan

pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup.

www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1134/ [ 25 D 2011].

Darupratomo. 2008. Pengaruh proses pengawetan bambu terhadap karakteristik

bambu sebagai bahan bangunan. Prospect,tahun 4, no. 6, hal: 7-20.

Dransfield, Widjaja. E. 1995. Bamboos. Indonesia: Prosea Bogor.

Forest Watch Indonesia. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode 2000-

2009. www.fwi.or.id [25 Desember 2011].

[FAO] Food and Agricultural Organizatin. 2002. Non-wood forest products in

15 countries of tropical Asia : A regional and national overview. Vantomme

P, Markkula A, Leslie RN, editor.

Grosser D, Liese W. 1971. On the anatomy of Asian bamboos, with spesial

reference to their vaskular bundles. Wood Sci and Tech 5: 290-312.

Grosser D, Liese W. l973. Present status and problems of bamboo

classification. J Arn Abor 54 (2): 293-308

Jifan Z. 1985. Bamboo development in China. Dalam Rao AN, Dhanarajan G,

Sastry CB, editor. Proceedings of the International Bamboo Workshop;

Hangzhou, People’s Republic of China, October 6-14, 1985.

Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on

morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos.

http://www.myanmar.gov.mm/Ag/Jur/ProcFo01.10.[3 Nov. 2007]

Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Di dalam: Lessard G dan Chounard A,

editor. Proceedings of a Workshop. Singapore, 28-30 Mei 1980.

Liese W. 1985. Anatomy and properties of bamboo. Di dalam : Rao, A.N.,

Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo.

Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's

Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's

Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada,

hal : 196-208.

Liese W. 1986. Characterization and utilization of bamboo. In: Bamboo

production and utilization. Proceedings VIII IUFRO World Congress,

Ljubljana, Yugoslavia, September 7-21: 11-16.

Liese W. 1987. Anatomy and properties of bamboo. Di dalam : Rao, A.N.,

Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo.

Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's

Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's

Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada,

hal: 196-208.

Liese W. 1992. The structure of bamboo in relation to its properties and

utilization. Dalam Bamboo And Its Use, International Symposium On

Industrial Use Of Bamboo. Beijing, China, 7-11 Desember 1992, hal: 1 – 6.

Liese W. 1998. The anatomy of bamboo culms. INBAR Technology Report No

18.

Liese W. 2003. Structures of bamboo culm affecting its utilization. Di dalam

Xuhe C, Yiping L, Ying H, editor. Proceedings of International Workshop

on Bamboo Industrial Utilization. Hubei dan Xianning, Oktober 2003. hlm

6 – 10.

Liese W. 2006. The Anatomy of bamboo culms. Http://www.inbar.int/

publication/txt/tr18/default2.htm [24 Desember 2006].

Londono X, Camayo GC, Riano NM, Lopez Y. 2002. Characterization of the

anatomy of Guadua angustifolia (Poaceae: Bambusoideae) culms. J Am

Bam Soc 16 (1): 18-31.

Nuriyatin N. 2000. Studi analisa sifat-sifat dasar bambu pada beberapa tujuan

penggunaan [tesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut

Pertanian Bogor.

Nuriyatin N. 2001. Studi analisa sifat dasar bambu sebagai bahan baku kertas. J

Ilm Pert Ind 3: 56-61.

Ota M. 1951. The influence of the percentage of structural elements on the

specific gravity and compressive strength of bamboo splint. J Jappan

Forest Soc 19: 25-47.

Taihui W, Wenwei C. 1985. A Study on the anatomy of the vascular bundles of

bamboos from China. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry,

C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International

Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober,

1985. Academy of Forestry, People's Republic of China & International

,Development Research Centre, Canada.

Widjaja, EA. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor : LIPI–seri

panduan lapangan.

Widjaja EA, Utami NW, Saefudin. 2004. Panduan Membudidyakan Bambu.

Bogor : LIPI.

Youdi C, Wenlong Q, Xiuling L, Jianping G, Nimanna. 1985. The Chemical

Composition of Ten Bamboo Spesies. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan,

G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the

International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-

14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's Republic of China &

International Development Research Centre, Canada.

II. ANATOMI PENAMPANG LINTANG BATANG

9 JENIS BAMBU

Abstrak

Ketersediaan bambu yang melimpah serta keterbatasan pemanfaatan bambu

mendorong dilakukannya penelitian dasar di bidang anatomi untuk memperoleh

landasan ilmiah mengenai karakter bambu yang dapat digunakan untuk

mengarahkan pemanfaatan bambu secara optimum. Metode analisis adalah

pendekatan regresi dengan peubah boneka dengan melibatkan faktor jenis, posisi

bambu secara vertikal (pangkal, tengah, dan ujung), posisi bambu secara

horizontal (tepi, tengah, pusat dan dalam), serta pola ikatan pembuluh bambu

(pola 1, 2, 3, dan 4). Hasil penelitian ini menetapkan bahwa setiap spesies bambu

memiliki pola ikatan pembuluh dari pola 1 sampai pola 4, baik itu pola tunggal

ataupun pola kombinasi. Dendrocalamus strictus, bagian ujung batang, bagian

tepi penampang lintang, dan pola ikatan pembuluh 1 memiliki nilai kerapatan

ikatan pembuluh tertinggi dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan lainnya.

Bambu Cephalostachyum pergracile memiliki nilai panjang serabut terendah

dibandingkan dengan spesies bambu lain. Panjang serabut tertinggi dimiliki oleh

bambu-bambu yang memiliki pola 4. Persen serabut tertinggi pada penampang

lintang batang ada pada bagian tepi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa pola

ikatan pembuluh mempunyai nilai penting untuk membedakan jenis bambu juga

dapat digunakan untuk menentukan arah penggunaan bambu.

Kata kunci: kerapatan ikatan pembuluh, pola, persentase serabut, panjang serabut,

penampang lintang

Abstrak

Abundant availability of bamboo and limitations in the use of bamboo

encourage basic research in the field of anatomy. The study is expected to

provide a scientific basic for the character of bamboo that can be used to direct the

optimum utilization of bamboo. The research method is the approach of

regression with dummy variables which involved factors of bamboo species,

position of bamboo vertical (base, middle, and top), bamboo horizontal position

(edge, middle, center, inner) and bamboo patterns (1, 2, 3 and 4 ). The result of

this study is that every bamboo species has vascular bundle pattern from 1 to 4 as

well as the single patern and the combination pattern. Dendrocalamus strictus

species, the culm top, edges of the cross section, vascular bundle pattern 1 have

the highest vascular bundle density values and significantly different with others.

Cephalostachyum pergracile fiber length has the lowest compared to other

species of bamboo but pattern 4 has the highest fiber length. The highest percent

of fibers in the cross section of the stem is at the edge. The conclusion of this

study is the vascular bundle patterns have important value for distinguishing

species of bamboo and they can also be used to determine the direction of

bamboo’s utilization.

Key word : vascular bundle density, pattern, fibre percentage, fibre length, cross

section

Pendahuluan

Bambu merupakan tanaman monokotil yang tersedia melimpah di Indonesia

bahkan di dunia, yang digunakan untuk berbagai tujuan walaupun dalam hal ini

tidak semua spesies sesuai untuk tujuan tertentu. Bambu mempunyai sifat-sifat

fisik dan mekanik yang berbeda sehingga menghasilkan produk dengan mutu

yang berbeda pula. Pengetahuan mengenai komponen anatomi bambu memegang

peranan penting bahkan diperlukan dalam penemuan suatu produk baru. Dengan

demikian, riset dasar sangat penting untuk mendapatkan suatu karakterisasi

bambu. Menurut American Bamboo Society (1999), riset pada sifat-sifat dasar

akan membawa kepada penggunaan yang lebih baik dan peningkatan nilai tambah

produk. Untuk penggunaan yang lebih optimum diperlukan kriteria tertentu yang

sesuai dan sering terkait dengan struktur sel (anatomi) dan sifat-sifat pada bambu

(Liese 1987). Gritsch dan Murphy (2005) menyatakan bahwa struktur anatomi

bambu menentukan sifat dasar terutama sifat fisik dan mekanik.

Bambu dikenal sebagai salah satu tanaman cepat tumbuh sehingga dapat

menjadi alternatif terbaik pengganti kayu di masa datang. Tidak seperti kayu,

bambu hanya memerlukan 3-4 tahun untuk siap tebang dan digunakan (Wahab et

al. 2009). Jenis-jenis bambu yang tumbuh di Indonesia sangat banyak dan belum

dimanfaatkan secara optimum. Dengan demikian, terbuka peluang untuk

memanfaatkan lebih banyak jenis-jenis bambu yang ada.

Untuk mengenal seluruh jenis bambu relatif sulit karena banyak bambu

yang belum dikenal di masyarakat. Perlu dicari upaya lain agar dapat mengenal

dalam konteks menggunakan bambu secara tepat dengan lebih mudah. Penelitian

ini mencoba untuk mengamati secara mendalam sifat anatomi penampang lintang

bambu dengan memperhatikan berbagai informasi yang muncul dari penampang

lintang bambu-bambu yang diujikan. Penelitian pada bidang anatomi sebaiknya

dikembangkan untuk menggali potensi yang dimiliki bambu sehingga hasilnya

dapat dipergunakan terutama dalam memanfaatkan bambu secara optimum (Lwin

et al. 2007).

Seperti halnya tanaman monokotil lain, anatomi batang bambu tersusun

selain oleh parenkim sebagai jaringan dasar juga oleh ikatan pembuluh yang

tertanam dalam parenkim (Londono et al. 2002). Keragaman di antara genus dan

spesies bambu terkait dengan jenis pola ikatan pembuluh (Grosser dan Liese

1971). Tampilan pola ikatan pembuluh itu sendiri akan dapat dilihat dengan jelas

pada penampang melintang bambu (Lwin et al. 2007). Bambu memiliki 4 pola

ikatan pembuluh yaitu tipe 1 yang terdapat pada genus Leptomorph seperti

Arundinaria, tipe 2 terdapat pada genus Melocanna dan Cephalostachyum,

sedangkan tipe 3 dan 4 muncul pada genus Dendrocalamus dan Gigantochloa.

Perbedaan struktur anatomi yang mendasar antara keempat pola mempengaruhi

sifat-sifat kerapatan, kekuatan, dan kelenturan (Grosser dan Liese 1971). Dengan

demikian, melalui penelitian sifat anatomi diharapkan akan dapat diketahui sifat-

sifat struktural dan hubungan dengan sifat dasar lainnya secara lengkap.

Penetapan pola ikatan pembuluh dilakukan pada 9 jenis bambu. Pada

proses selanjutnya sampel bambu yang diambil hanya 8 jenis bambu (tanpa

Gigantochloa atroviolacea) karena setiap pola cukup terwakili oleh 2 jenis

bambu. Diharapkan melalui kegiatan penelitian ini akan diperoleh informasi

secara lengkap mengenai sifat anatomi penampang lintang batang bambu.

Bahan dan Metode

Bahan

Bahan penelitian adalah 9 jenis bambu yang telah berumur 3-4 tahun serta

memiliki pola ikatan pembuluh 1-4 yang ditentukan berdasarkan panduan

penetapan pola ikatan pembuluh bambu oleh Grosser dan Liese (1971) (Lampiran

1) dengan ulangan 3 kali. Bambu-bambu tersebut terdiri atas Arundinaria

hundsii Munro (Ah), Arundinaria javonica (Aj), Melocanna baccifera (Mb),

Cephalostahyum pergracile (Munro) (Cp), Dendrocalamus giganteus (Wallich ex

Munro (Dg/sembilang), Dendrocalamus strictus (Roxb.) Nees (Ds),

Dendrocalamus asper (Schultes f.) (Da/betung/petung), Gigantochloa

atroviolacea (Widjaja) (Gat/hitam atau pring wulung), dan Gigantochloa apus

(J.A. & J.H. Schultes) Kurz (Ga/tali) dengan lokasi pengambilan 6 jenis bambu

pertama di Kebun Raya Bogor, sedangkan lokasi pengambilan 3 jenis bambu yang

terakhir dari daerah di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penentuan sifat anatomi

Variabel pengamatan adalah tipe dan kerapatan ikatan pembuluh, panjang

serabut dan persentase serabut. Sampel uji ditetapkan pada penampang lintang

ruas tengah bagian pangkal, tengah, dan ujung batang bambu, sedangkan pada

posisi horizontal (penampang lintang batang), sampel uji ditetapkan pada bagian

tepi, tengah, pusat, dan dalam. Maserasi menggunakan metode Schultze,

sedangkan pembuatan preparat sayatan mengacu kepada Sass (1951).

Kerapatan ikatan pembuluh ditentukan berdasarkan perhitungan jumlah pola

ikatan pembuluh untuk setiap luasan tertentu. Persentase serabut ditentukan

dengan menghitung luasan serabut untuk setiap luasan tertentu dalam satuan

persen. Kerapatan ikatan pembuluh dan persentase serabut diukur dengan alat

stereo discovery V8 merk Zeiss dengan kamera Axio Cam M Rc 5 yang

dihubungkan komputer dengan perangkat lunak Axio Vision Rel. 4.6. Sementara

pengukuran panjang serabut dilakukan dengan mikroskop. Dokumentasi foto

mikro bambu dilakukan dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 40 kali.

Analisis data

Data dianalisis dengan pendekatan regresi dengan peubah boneka. Peubah

boneka dalam analisis ini adalah 8 (delapan) jenis bambu yang terwakili dalam

peubah X1-X7; 3 (tiga) posisi vertikal yaitu pangkal, tengah, dan ujung yang

terwakili dalam peubah X8 dan X9; 4 (empat) posisi horizontal yaitu tepi, tengah,

pusat, dan dalam yang terwakili dalam X10-X12; 4 (empat) pola bambu yang

terwakili dalam X13- X15. Dalam penentuan panjang serabut hanya ada 12 peubah

boneka (dummy) karena tidak ada peubah untuk posisi horizontal. Kontribusi

keseluruhan peubah akan dianalisis dalam persamaan regresi.

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi pola ikatan pembuluh bambu

Pengamatan pola ikatan pembuluh pada 9 jenis bambu memberikan hasil

berupa penetapan pola ikatan pembuluh. Penetapan pola ikatan pembuluh

dilakukan dengan pengamatan bentuk pola pada bagian pusat (setelah bagian

tengah) penampang lintang batang karena bentuk dan ukuran pola telah mencapai

diferensiasi optimum (Londono et al. 2002). Pada bagian tengah batang bambu,

Arundinaria hundsii dan Arundinaria javanica memiliki ikatan pembuluh pola 1,

sedangkan Melocanna baccifera dan Cephalostahyum pergracile baik bagian

pangkal, tengah, dan ujung memiliki pola 2. Demikian pula Dendrocalamus

giganteus dan Dendrocalamus strictus memiliki pola 3 pada keseluruhan bagian

batang (pangkal, tengah, dan ujung). Namun, pola pada bambu Dendrocalamus

asper berbeda dengan spesies bambu sebelumnya, yaitu pada bagian pangkal

memiliki pola 4, sedangkan pada bagian tengah dan ujung mempunyai pola 3.

Bambu Gigantochloa atroviolacea dan Gigantochloa apus pada bagian pangkal

dan tengah mempunyai pola 4, sedangkan pada bagian ujung mempunyai pola 3.

Selanjutnya, akan diuraikan deskripsi pola ikatan pembuluh untuk setiap jenis

bambu.

Arundinaria hundsii

A. hundsii adalah bambu yang termasuk kelompok bambu monopodial.

Umumnya, ketinggian batang 3 m. Bambu ini memiliki dinding batang tipis

dibandingkan dengan spesies bambu lain, yaitu tebal dinding batang bagian

pangkal rata-rata 0.6 cm, sedangkan bagian ujung rata-rata 0.4 cm. Bentuk pola

pada penampang lintang bambu dapat diamati secara jelas pada bagian tengah dan

bagian dalam yang berbentuk pola 1. Bentuk pola pada bagian tepi belum terlihat

jelas karena rantai pembuluh pusat masih bergabung dengan rantai serabut.

Sementara itu, bentuk pola pada bagian tengah dan dalam terlihat jelas. Selubung

sklerenkim pada bagian tengah lebih tebal dibandingkan dengan bagian dalam.

Adapun gambaran tanaman bambu secara utuh dan sayatan pola ikatan pembuluh

pada penampang lintang bambu A. hundsii selengkapnya pada Gambar 3 dan

sketsa pola ikatan pembuluh pada tipe 1 pada Gambar 4.

Arundinaria javonica

Seperti halnya spesies bambu sebelumnya, bambu A. javonica adalah bambu

yang termasuk kelompok monopodial yang berasal dari negara Jepang (Botanic

Garden of Indonesia 2001). Ketinggian batang bambu ini rata-rata 4 m dengan

tebal dinding batang bagian pangkal rata-rata adalah 0.6 cm dan bagian ujung

adalah 0.4 cm. Umumnya, dinding batang hanya terbagi atas 3 bagian saja yaitu

bagian tepi, tengah, dan bagian dalam. Bentuk pola ikatan pembuluh antara bagian

tengah dan dalam hampir sama, tetapi ada sedikit perbedaan dalam selubung

serabut, yaitu pada bagian dalam ukurannya lebih kecil. Bentuk pola terlihat jelas

pada bagian tengah yaitu membentuk pola 1. Tampilan bambu secara utuh dan

sayatan penampang lintang A. javonica dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan

sketsa pola ikatan pembuluh tercantum pada Gambar 6.

Gambar 3. (a). Bentuk pohon bambu A. hundsii secara utuh, (b). Sayatan

mikro pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

Gambar 4. Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. hundsii

kulit

dalam

(a)

(b)

Melocanna baccifera

Bambu M. baccifera berasal dari negara Banglades, Burma, dan India, tetapi

telah menyebar luas ke seluruh dunia ( Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini

termasuk kelompok simpodial. Di Kebun Raya Bogor, bambu ini tumbuh dengan

tinggi batang rata-rata 8 m dan tebal dinding batang pangkal adalah 0.7 cm dan

bagian ujung 0.3 cm. Tampilan secara utuh pohon bambu Melocanna baccifera

terlihat pada Gambar 7. Uraian sifat anatomi berdasarkan bagian pada batang,

yaitu pada pangkal, tengah, dan ujung.

Gambar 7. Bentuk pohon bambu M. baccifera secara utuh

Gambar 5. (a). Bentuk pohon bambu A. javonica secara utuh, (b). Sayatan pada

penampang lintang bambu (pembesaran 40x)

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

Gambar 6. Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. javonica

kulit

dalam

(a)

(b)

Pangkal

Pola ikatan pembuluh pada bambu M. baccifera merupakan pola 2 yang

terlihat jelas pada bagian tengah penampang lintang batang. Pada bagian tepi

penampang lintang, selubung serabut masih menyatu dengan rantai pembuluh

pusat. Sementara itu, pada bagian tengah penampang lintang batang, bentuk pola

sudah jelas terlihat. Pada bagian dalam, gambaran pola tidak sempurna karena

perluasan selubung sklerenkim pada ruang antar sel sangat sedikit (Gambar 8).

Tengah

Seperti pada bagian pangkal, pola ikatan pembuluh bambu M. baccifera

bagian tepi penampang lintang batang belum memberikan gambaran pola yang

jelas. Pada bagian tengah penampang lintang batang, gambaran pola sudah

terbaca berupa pola 2 dan bentuk pola yang tidak sempurna muncul pada bagian

dalam seperti yang tertera pada Gambar 9.

Gambar 9. (a) M. baccifera bagian tengah (pembesaran 40x) (b) sketsa pola

ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera

parenkim

metaxilem

jar. floem

sklerenkim

ruang antar

sel

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

Gambar 8. (a) M. baccifera bagian pangkal dengan pembesaran 40x

(b). Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera

kulit

dalam

kulit

dalam

(a) (b)

(a) (b)

Ujung

Pola ikatan pembuluh pada bagian ujung sama seperti pada bagian pangkal

dan tengah, tetapi ukurannya lebih kecil. Pada bagian tepi penampang lintang

batang, gambaran pola tidak jelas terlihat. Pola ikatan pembuluh terlihat jelas

hanya pada bagian tengah. Bagian dalam disusun oleh pola-pola yang tidak

sempurna (Gambar 10).

Cephalostachyum pergracile

Bambu C.pergracile adalah kelompok bambu simpodial yang berasal dari

India, Nepal, Burma, Thailand, dan China ( Dransfield dan Widjaja 1995).

Bambu ini tumbuh di Kebun Raya Bogor dengan tinggi batang rata-rata 14 m.

Ketebalan dinding batang pada bagian pangkal rata-rata 1.4 cm, sedangkan bagian

ujung adalah 0.6 cm. Tampilan pohon bambu secara utuh dapat diamati pada

Gambar 11. Pembahasan selanjutnya adalah uraian sifat anatomi berdasarkan

bagian batang, yakni pangkal, tengah, dan ujung.

Gambar 10. (a). Penampang lintang M. baccifera bagian ujung (pembesaran 40x),

(b). Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera

(pola 2)

kulit

dalam

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem (b)

(a)

Pangkal

Pada bagian tepi penampang lintang batang, rantai pembuluh pusat

dikelilingi oleh selubung serabut sehingga belum dapat ditentukan bentuk

polanya. Pada bagian tengah penampang lintang terlihat perluasan selubung

serabut dekat ruang antar sel sehingga bakal pembentukan pola 2 sudah mulai

terlihat. Demikian pula pada bagian pusat, bentuk pola ikatan hampir sama

dengan bagian tengah, tetapi perluasan selubung serabutnya agak memanjang.

Namun, pada bagian dalam, perluasan selubung serabut pada ruang antar sel tidak

seluas seperti pada bagian tepi, tengah, dan pusat (Gambar 12).

Gambar 12. (a) Tampilan penampang lintang bambu C. pergracile bagian

pangkal l dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan

pembuluh 2 pada C. pergracile

Tengah

Pada bagian tepi penampang lintang batang, selubung serabut mengelilingi

seluruh rantai pembuluh pusat. Bagian tengah penampang lintang berbeda dengan

bagian tepi karena perluasan selubung sudah mulai terlihat. Hal yang sama terjadi

pada bagian dalam penampang lintang batang. Dengan demikian, pada bagian

tengah dan bagian dalam, bentuk pola ikatan pembuluh sudah terlihat jelas, yaitu

pola 2 (Gambar 13).

Gambar 11. Bentuk pohon bambu C. pergracile

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

kulit

dalam

(a)

(b)

Ujung

Pada bagian tepi penampang lintang batang, rantai pembuluh pusat

seluruhnya dikelilingi oleh selubung serabut dengan bagian yang agak menonjol

pada bagian ruang antar sel. Bentuk pola ikatan pada bagian tengah penampang

lintang adalah pola 2. Pada bagian dalam penampang lintang batang, bentuk pola

ikatan pembuluh ada yang tidak sempurna (Gambar 14).

Gambar 13. (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian tengah

(pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C.

pergracile

Gambar 14. (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian ujung dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

kulit

dalam

kulit

dalam

(a)

(b)

(a) (b)

Pengamatan pada susunan pola ikatan pembuluh pada posisi vertikal, pada

bagian pangkal, jarak antara ikatan pembuluh agak renggang dan selubung

serabut agak memanjang ke arah radial. Pada bagian tengah, selubung serabut

relatif agak pendek. Pada bagian ujung, selubung serabut lebih tipis dengan tetap

menunjukkan kekhasan pola 2-nya.

Dendrocalamus giganteus

D. giganteus adalah bambu simpodial dengan asal yang belum diketahui

secara pasti, tetapi kemungkinan berasal dari Burma dan Thailand (Dransfield dan

Widjaja 1995). Di Kebun Raya Bogor, tinggi batang bambu ini rata-rata 24 m.

Rata-rata tebal dinding batang bagian pangkal adalah 2.4 cm, sedangkan pada

bagian ujung adalah 0.6 cm. Adanya perbedaan yang mencolok dari ketebalan

dinding batang juga terlihat dari perbedaan diameter batang antara bagian pangkal

dan bagian ujung (Gambar 15). Selanjutnya, diuraikan sifat anatomi pada bagian

pangkal, tengah, dan ujung bambu.

Pangkal

Pada bagian tepi penampang lintang batang, sebagian besar sudah terlihat

cikal bakal munculnya pola 3, yaitu dengan adanya rantai serabut, sedangkan pada

bagian tengah penampang lintang sudah memunculkan bentuk pola 3 dengan

bentuk rantai serabut yang membulat. Bentuk pola yang hampir sama juga ada

pada bagian pusat dengan rantai serabut yang lebih pipih dan memanjang. Pada

bagian dalam, bentuk pola ikatan pembuluhnya tidak sempurna.

Gambar 15. Tampilan utuh bambu D. giganteus

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

Tengah

Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola tidak terlihat karena

pembuluh pusat dan rantai serabut masih menyatu. Pada bagian tengah

penampang lintang, bentuk pola sudah terlihat jelas dengan rantai serabut yang

bulat dan agak runcing pada bagian ujungnya. Pada bagian pusat, bentuk pola

hampir sama dengan tengah penampang lintang, tetapi bentuk rantai serabut

ramping. Bentuk yang hampir sama ditemukan pada bagian dalam, tetapi

dikombinasikan juga dengan adanya pola yang tidak sempurna karena tidak

mengandung rantai serabut (Gambar 17).

Ujung

Bentuk pola pada seluruh bagian penampang lintang bambu bagian ujung

hampir sama dengan bagian tengah dengan ukuran yang lebih kecil. Pada bagian

tepi penampang lintang batang, bentuk pola belum terlihat. Pada bagian tengah,

bentuk pola sudah terlihat, yaitu pola 3. Pada bagian dalam penampang lintang,

bentuk pola tidak sempurna ( Gambar 18).

Gambar 16. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian pangkal

(pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. giganteus

Gambar 17. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian tengah

(pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. giganteus

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

kulit

dalam

kulit

dalam

(a) (b)

(a) (b)

Susunan pola pada berbagai posisi vertikal terlihat berbeda. Pada bagian

pangkal bentuk rantai serabut ramping agak melengkung ke arah tangensial.

Sementara pada bagian tengah rantai serabut membulat agak melengkung

walaupun sebagian kecil berbentuk lurus (tidak melengkung). Pada bagian ujung

bentuk rantai serabut membulat dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan

bagian pangkal dan tengah.

Dendrocalamus strictus

Bambu D. strictus termasuk ke dalam bambu simpodial yang berasal dari

negara India, Nepal, Banglades, Burma dan Thailand (Dransfield danWidjaja

1995). Di kebun raya Bogor, bambu ini tumbuh dengan rata-rata tinggi batang

adalah 9 m dengan rata-rata tebal dinding batang bagian pangkal adalah 1.5 cm

(Gambar 19). Pada bagian ujung, penampang lintang batang berbentuk solid

(tidak berongga). Tahapan selanjutnya adalah uraian sifat anatomi pada pangkal,

tengah dan ujung batang.

Pangkal

Gambar 18. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian ujung (pembesaran

40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus

Gambar 19. Bentuk pohon bambu D. strictus secara utuh

kulit

dalam

(a) (b)

Pola ikatan pembuluh bambu D. strictus bagian pangkal adalah pola 3 yang

tampak jelas pada bagian tengah penampang lintang batang dengan rantai

serabut berbentuk setengah bulatan. Pada bagian dalam, bentuk pola tampak

tidak sempurna karena hanya terdiri atas rantai pembuluh pusat (Gambar 20).

Tengah

Pola ikatan pembuluh pada bagian tengah mempunyai bentuk yang sama

dengan bagian pangkal dan ujung, hanya ukuran dan kerapatannya saja yang

berbeda. Bentuk rantai serabut berupa setengah bulatan yang kelihatan jelas pada

bagian tengah dan pusat penampang lintang batang sementara pada bagian tepi

rantai serabut masih bergabung dengan dengan rantai pembuluh pusat sementara

pada bagian dalam bentuk pola tidak sempurna karena rantai serabut tidak ada

lagi (Gambar 21).

Gambar 20. (a). Penampang lintang Dendrocalamus strictus bagian pangkal

(pembesaran 40x) (b). Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. strictus

rantai serabut

sklerenkim

metaxilem

ruang antar sel

parenkim

jar. floem

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

kulit

dalam

kulit

dalam

(a) (b)

(a) (b)

Ujung

Bentuk pola ikatan pembuluh pada bagian ujung agak berbeda

dibandingkan dengan bagian pangkal dan tengah karena bentuknya ramping.

Rantai serabut setengah bulatan yang lonjong yang terlihat jelas polanya pada

bagian tengah. Perubahan bentuk pola yang sangat mendadak terlihat antara

bagian tepi dengan tengah yang diduga terjadi karena dinding batang yang sempit

(Gambar 22).

Dendrocalamus asper

Bambu D. asper adalah bambu kelompok simpodial yang berasal dari Jawa

dan Malaysia (Botanic Garden of Indonesia 2001). Tingggi batang bambu rata-

rata 21 m dengan diameter batang pada bagian pangkal sebesar 1.8 cm sedangkan

ketebalan batang pada bagian ujung adalah 0.8 cm. Tampilan bambu D. asper

secara utuh dapat diamati pada Gambar 23. Uraian sifat anatomi pada berbagai

posisi vertikal dijelaskan pada uraian selanjutnya.

Gambar 21. (a) Penampang lintang D. strictus bagian tengah dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. strictus

Gambar 22. (a) Penampang melintang D. strictus bagian ujung dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D.

strictus

rantai serabut

sklerenkim

metaxilem

ruang antar sel

parenkim

jar. floem

kulit

dalam

(a) (b)

Pangkal

Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh

tampak terdiri atas 2 bagian yaitu rantai pembuluh pusat dan rantai serabut.

Ukuran rantai serabut lebih besar dibandingkan rantai pembuluh pusat. Pada

bagian tengah penampang lintang, sudah terlihat bentuk pola yaitu pola 4 dengan

bentuk rantai serabut agak membulat dan tebal. Demikian pula pada bagian pusat

bentuk pola 4 terlihat jelas dengan sedikit perbedaan dalam bentuk rantai

serabutnya yang lebih memanjang. Sementara pada bagian dalam bentuk pola

mirip dengan bagian pusat namun dengan rantai serabut yang memanjang tipis

atau bahkan berbentuk tidak sempurna (Gambar 24).

Tengah

Pada bagian tepi penampang lintang batang, kedua rantai serabut saling

bersambungan sehingga rantai pembuluh pusat seperti berada di tengah-tengah

serabut. Pada bagian tengah penampang lintang batang, bentuk pola ikatan

pembuluh terlihat jelas membentuk pola ikatan pembuluh 4 dan sebagian kecil

muncul pola ikatan pembuluh 3 (Gambar 25). Hal sama juga terlihat pada bagian

pusat penampang lintang, hanya bentuk kedua rantai serabut relatif memanjang

Gambar 23. Bentuk pohon bambu D. asper

Gambar 24. (a) Penampang lintang bambu D. asper bagian pangkal

dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

kulit

dalam

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

(a) (b)

dan pada bagian ini terbentuk pola 3 dan 4. Pada bagian dalam bentuk pola ikatan

pembuluh ada yang sempurna dan tidak sempurna.

Ujung

Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh

belum terlihat karena rantai serabut masih menyatu. Sedangkan pada bagian

tengah penampang lintang sudah terlihat pemisahan rantai serabut membentuk

pola 3. Pada bagian pusat bentuk kedua rantai serabut terlihat memanjang dan

menjadi tidak sempurna pada bagian dalam (Gambar 26).

Gambar 25. (a) Penampang lintang D. asper bagian tengah dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. asper

rantai serabut

sklerenkim

metaxilem

ruang antar sel

parenkim

jar. floem

kulit

dalam

kulit

dalam

rantai serabut

sklerenkim

metaxilem

ruang antar sel

parenkim

jar. floem

(a)

(b)

(a) (b)

Gigantochloa apus

G. apus adalah bambu yang berasal dari Burma dan Thailand dan termasuk

ke dalam bambu simpodial (Dransfield dan Widjaja 1995). Tinggi batang rata-

rata 17 m dengan diameter batang bagian pangkal adalah 7.2 cm. Pada bagian

ujung batang, diameternya adalah 5.2 cm. Ketebalan dinding batang berturut-

turut pada bagian pangkal dan ujung adalah 1 cm dan 0.5 cm (Gambar 27).

Selanjutnya adalah uraian sifat anatomi bambu pada bagian pangkal, tengah, dan

ujung batang.

Pangkal

Pola ikatan pembuluh pada bambu G.apus adalah pola 4 yang kelihatan

jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang (Gambar 28).

Rantai serabut yang muncul mendahului rantai pembuluh pusat berbentuk

setengah bulatan dengan ukuran lebih kecil dibandingkan rantai serabut

pasangannya. Pada bagian tepi penampang lintang, kedua rantai serabut masih

menyatu dengan rantai pembuluh pusat sehingga bentuk pola tidak terlihat jelas.

Hal yang agak berbeda terlihat di bagian dalam yaitu bentuk pola tampak tidak

sempurna karena ada sebagian rantai serabut yang hilang.

Gambar 26. Penampang lintang D. asper bagian ujung dengan pembesaran

40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan pembuluh 3 pada D. asper

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

Gambar 27. Tampilan utuh bambu G. apus

Tengah

Pola ikatan pembuluh pada bagian tengah batang adalah pola 4 yang jelas

terlihat pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang. Pada bagian tepi

penampang lintang, rantai serabut sebagian masih bergabung dengan rantai

pembuluh pusat sedangkan yang lainnya terlihat sudah terpisah. Dua rantai

serabut yang bergabung dengan rantai pembuluh pusat memiliki ukuran yang

berbeda (Gambar 29).

Ujung

Pola ikatan pembuluh pada bagian ujung batang adalah pola 3. Rantai

serabut pada bagian ujung berbentuk memanjang ramping di bagian pusat

penampang lintang dan agak membulat pada bagian tengah penampang lintang.

Bentuk pola yang lengkap juga sebagian muncul pada bagian dalam. Tampilan

lengkap tersaji pada Gambar 30.

Gambar 28. (a). Penampang lintang G. apus bagian pangkal (pembesaran 40x),

(b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. apus

Gambar 29. (a) Tampilan penampang lintang G. apus bagian tengah

(pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. apus

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

kulit

dalam

kulit

dalam

(a) (b)

(a) (b)

Gigantochloa atroviolacea

G. atrovilacea adalah bambu yang berasal dari negara Indonesia dan

tumbuh secara simpodial (Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini tumbuh di

daerah Dermaga, Bogor (Fakultas Kehutanan) dengan tinggi batang rata-rata 19

m. Diameter batang bagian pangkal adalah 6.2 cm dengan ketebalan dinding

batang 1.1 cm. Diameter batang bagian ujung adalah 5.1 cm dengan ketebalan

dinding batang sebesar 0.6 cm. Gambaran lengkap bambu G. atroviolacea dapat

diamati pada Gambar 31. Adapun uraian sifat anatomi batang pada bagian

pangkal, tengah dan ujung diuraikan dalam tulisan selanjutnya.

Pangkal

Pola ikatan pembuluh bambu Gigantochloa atroviolacea adalah pola 4

yang terlihat sangat jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang

batang. Rantai serabut pada bagian tepi penampang lintang masih bergabung

dengan rantai pembuluh pusat sehingga bentuk pola belum terlihat. Pada bagian

dalam sebagian pola tersusun sempurna dan sebagian lagi tidak sempurna.

Bentuk rantai serabut sangat unik dibandingkan dengan pola pada spesies bambu

lain yaitu seperti bulan sabit yang melengkung tajam. Memang ada 2 rantai

serabut yang menyusun pola tetapi ukuran salah satu rantai serabut yang satu

Gambar 31. Bentuk pohon bambu G. atroviolecea

Gambar 30. (a) Penampang lintang G. apus bagian ujung ( pembesaran 40x),

(b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada G. apus

kulit

dalam

(a) (b)

lebih kecil dibanding pasangannya (Gambar 32). Sifat anatomi batang bagian

pangkal, tengah, dan ujung batang akan diuraikan pada penjelasan selanjutnya.

Tengah

Pada posisi ini, bambu G. atroviolacea memiliki pola 4 yang terlihat sangat

jelas baik pada bagian tengah maupun pusat penampang lintang bambu (Gambar

33). Rantai serabut membentuk setengah bulatan tipis yang melengkung tajam.

Ukuran rantai serabut yang membentuk satu pola ikatan tidak sama. Pola yang

sangat jelas terlihat pada penampang lintang bagian tengah dan pusat sementara

pola ikatan pembuluh pada bagian dalam tidak sempurna.

Ujung

Bagian ujung batang bambu G. atroviolacea memiliki pola 3. Pada bagian

ujung ini rantai serabut berbentuk setengah bulatan yang lebih tebal dibandingkan

dengan bagian pangkal dan tengah. Dinding batang yang relatif tipis membagi

penampang lintang batang hanya terdiri atas tepi, tengah dan dalam (Gambar 34).

Gambar 32. (a). Penampang lintang G. atroviolacea bagian pangkal (pembesaran

40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. atroviolacea

rantai serabut

parenkim

metaxilem

jar. floem

sklerenkim

ruang antar sel

Gambar 33. (a) Penampang lintang bambu G. atroviolacea bagian tengah

(pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada

G. atroviolacea

ruang antar sel

parenkim

metaxilem

jar. floem

sklerenkim

rantai serabut

rantai serabut

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

kulit

dalam

kulit

dalam

(a) (b)

(a)

(b)

Hasil penelitian peneliti sebelumnya menyatakan bahwa genus Arundinaria

memiliki pola 1 (Grosser dan Liese 1971). Dalam hal ini khusus untuk bambu A.

hundsii dan A. javonica, pembuatan contoh uji dan pengamatan tidak dilakukan

pada bagian pangkal dan ujung. Hal ini terjadi karena ukuran bambu sangat kecil

(diameter 1-2 cm) sedangkan penelitian yang dilakukan membutuhkan bahan

yang sangat banyak karena selain untuk bahan penelitian anatomi juga diperlukan

juga sebagai bahan dalam penelitian kimia, fisik, dan mekanik. Demikian pula

dinyatakan bahwa bambu genus Cephalostachyum hanya memiliki satu pola,

yaitu pola 2 untuk semua bagian batang (pangkal, tengah, dan ujung) sedangkan

untuk genus Melocanna pada ruas bawah terdapat gabungan pola 2 dan 3. Pada

Dendrocalamus dan Gigantochloa pun pada ruas bawah umumnya merupakan

gabungan antara pola 3 dan 4.

Penelitian yang telah dilakukan memberikan hasil yang berbeda seperti

yang ditunjukkan oleh spesies Gigantochloa apus dan G atroviolacea. Pada

kedua bambu ini pada ruas bawah tidak terdapat pola gabungan, namun pada D.

asper khususnya pada ruas bawah murni terdiri atas pola 4 sedangkan pola

gabungan hanya ada pada bagian tengah yaitu gabungan pola 3 dan 4 yang

didominasi oleh pola 3. Sebagai pembanding penelitian ini, sketsa 4 macam pola

ikatan pembuluh hasil penelitian Grosser dan Liese (1971) disajikan pada Gambar

35 dan 36.

metaxilem

Selubung

sklerenkim

Selubung pada

ruang antar sel

Gambar 34. (a) Penampang lintang G. atroviolacea bagian ujung

(pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

G. atroviolacea

kulit

dalam

(a) (b)

Sumber : Grosser dan Liese (1971)

Gambar 35. Sketsa pola ikatan pembuluh 1 (a) dan 2 (b)

Sumber : Grosser dan Liese (1971)

Gambar 36. Sketsa pola ikatan pembuluh 3 (c) dan 4 (d)

Penjelasan dari sketsa pola ikatan pembuluh menurut Grosser and Liese

(1971) bahwa pola 1 tersusun atas rantai pembuluh pusat yang terdiri atas

metaxilem, floem, dan ruang antar sel sedangkan pada pola 2 hanya ada tambahan

berupa selubung pada ruang antar sel yang lebih besar dibanding selubung yang

lain. Sementara pola 3 selain memiliki rantai pembuluh pusat juga didukung oleh

1 rantai serabut dan pola 4 memiliki susunan yang hampir sama dengan pola 3 ,

yaitu hanya memiliki 2 rantai serabut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola ikatan pembuluh pada bambu A.

javonica dan A. hundsii yang sama-sama memiliki pola 1 ternyata memiliki

beberapa perbedaan (Gambar 37). Perubahan bentuk pola secara bertahap terjadi

pada bambu A. javonica sedangkan pada bambu A. hundsii perubahan bentuk pola

Rantai

serabut

Selubung

sklerenkim

metaxilem

(a) (b)

(c) (d)

tidak secara bertahap. Hal ini diduga karena adanya perbedaan ketebalan dinding

batang. Bambu A. javonica memiliki dinding batang tipis dan secara umum

dinding batang hanya terbagi atas 3 bagian saja yaitu bagian tepi, tengah, dan

bagian dalam. Bentuk pola ikatan pembuluh antara bagian tengah dan dalam

hampir sama tetapi ada sedikit perbedaan dalam selubung sklerenkim dimana

pada bagian dalam ukurannya lebih kecil. Bentuk pola terlihat jelas pada bagian

tengah yaitu membentuk pola 1.

Gambar 37. (a) Pola ikatan pembuluh pada A. javonica (pembesaran 40x),

(a1) Sketsa pola ikatan pembuluh A. javonica, (b) Pola ikatan

pembuluh A. hundsii (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola

ikatan pembuluh 1 pada A. hundsii.

Bambu A. hundsii juga memiliki dinding tipis sehingga penampang batang

terbagi atas bagian tepi, tengah, dan bagian dalam. Bentuk pola 1 yang sudah

jelas tampak pada bagian dalam. Hal ini dimungkinkan karena bambu A. hundsii

memiliki dinding batang tipis sehingga perubahan bentuk pola yang cukup jelas

baru muncul di bagian dalam batang.

Meta

xilem

Meta

xilem

Selubung

sklerenkim

Selubung

sklerenkim

(a)

(b)

(a1)

(b1)

Bambu C. pergracile dan M. baccifera memiliki pola 2 baik pada bagian

pangkal, tengah maupun ujung. Antara kedua bambu tersebut selain berbeda

dalam ketebalan dinding sel di mana bambu C.pergracile lebih tebal dibandingkan

dengan bambu M. baccifera juga selubung sklerenkim pada C. pergracile lebih

lebar baik yang mengelilingi metaxilem maupun yang mengelilingi ruang antar

sel. Untuk lebih jelasnya Gambar 38 menampilkan pola ikatan pembuluh 2

bagian tengah.

Gambar 38. Pola ikatan pembuluh pada (a) C. pergracil (pembesaran 40x), (a1)

Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile, (b) M. baccifera

dengan pembesaran 40x, (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada

M. baccifera

Bambu-bambu yang memiliki pola 3 dalam penelitian ini adalah D. strictus

dan D. giganteus. Bentuk pola bagian pangkal yang dimiliki oleh D. strictus

lebih membulat dan berukuran lebih kecil tapi pada D. giganteus bentuk rantai

serabutnya memanjang. Demikian pula bentuk rantai serabut kedua bambu pada

Selubung

sklerenkim

Selubung sklerenkim

pada ruang antar sel

Selubung

sklerenkim

(a)

(b)

(a1)

)

(b1)

bagian tengah sama dengan bentuk rantai serabut bagian pangkal dengan ukuran

yang lebih kecil. Pada bagian ujung bentuk rantai serabut pada D. giganteus

mendatar dan ramping sementara pada D. strictus tetap membulat. Gambaran

yang lebih jelas dari kedua bambu pada bagian ujung seperti pada Gambar 39.

Gambar 39. Pola ikatan pembuluh pada (a) D. strictus (pembesaran 40x), (a1)

Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus, (b) Pola ikatan

pembuluh D. giganteus (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan

pembuluh 3 pada D. giganteus

Rantai serabut

yang membulat

Rantai serabut

yang mendatar

(a)

(b)

(a1

)

(b1)

Beberapa jenis bambu ternyata dalam tampilan batangnya mempunyai 2

jenis pola. Perbedaan pola antar bagian batang pada tingkatan jenis/spesies

memang tidak diungkapkan dalam penelitian Grosser dan Liese (1971) tetapi

dinyatakan bahwa perbedaan pola dalam satu batang bambu jenis tertentu

kemungkinan ada terutama dengan munculnya pola gabungan. Dalam penelitian

ini ternyata ditemukan ada 3 jenis bambu yang memiliki perbedaan pola antar

bagian batangnya, misal untuk bambu G. apus dan G. atroviolacea memiliki tren

pola yang sama yaitu pada bagian pangkal dan tengah mempunyai pola 4

sedangkan pada bagian ujung mempunyai pola 3. Hal ini mudah untuk

dimengerti karena pola 4 merupakan pola yang memerlukan ruangan yang relatif

lebih luas sehingga muncul hanya pada bagian batang dengan dinding yang relatif

lebih tebal sedangkan pola 3 merupakan pola yang lebih sederhana dan

memerlukan ruangan lebih sempit sehingga memungkinkan muncul pada bagian

ujung. Hal yang sama berlaku pula untuk bambu D. asper namun perbedaan pola

terjadi antar bagian pangkal dengan bagian tengah/ujung yaitu pola 4 berada pada

bagian pangkal sedangkan bagian tengah dan ujung memiliki pola 3.

Bambu D. asper terutama pada bagian pangkal dan tengah memiliki bentuk

rantai serabut yang lancip hampir seperti setengah lingkaran dengan jarak antar

pola yang relatif renggang jika dibandingkan dengan pola ikatan pembuluh pada

bambu G atroviolacea dan G. apus (Gambar 40). Pada G. atroviolacea bentuk

rantai serabut lancip tajam dan jarak antar pola relatif rapat sementara pada G.

apus bentuk rantai serabut membulat dan kecil dengan jarak antar pola relatif

renggang. Pada bagian tengah batang bentuk rantai serabut sama dengan bagian

pangkal dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk rantai serabut bagian ujung dari

bambu D. asper adalah membulat ramping sampai datar, juga terdapat pada G.

atroviolacea tetapi bentuk yang agak berbeda dimiliki oleh bambu G. apus

dengan bentuk rantai serabut mulai dari yang mendatar hingga membulat dengan

salah satu sisi melengkung atau meruncing.

Rantai serabut

membulat ramping

Rantai serabut mendatar

Rantai serabut

membulat Rantai serabut

membulat dengan satu

sisi melengkung

(a) (b) (c)

Gambar 40. Bentuk rantai serabut pada bagian ujung (a) D. asper,

(b) G. atroviolacea, dan (c) G. apus

Rangkuman tentang pola ikatan pembuluh yang dimiliki oleh 9 jenis

bambu seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Pola ikatan pembuluh pada 9 jenis bambu

Spesies Bagian Pola ikatan pembuluh

1 2 3 4

Arundinaria hundsii tengah √

Arundinaria javonica tengah √

Melocanna baccifera pangkal

tengah

ujung

Cephalostachyum pergracile pangkal

tengah

ujung

Dendrocalamus strictus pangkal

tengah

ujung

Dendrocalamus giganteus pangkal

tengah

ujung

Dendrocalamus asper pangkal

tengah

ujung

Gigantochloa apus pangkal

tengah

ujung

Gigantochloa atroviolacea pangkal

tengah

ujung √

Kerapatan ikatan pembuluh

Nilai kerapatan ikatan pembuluh pada penampang lintang batang 8 jenis

bambu dapat diamati pada Lampiran 2. Analisis keragaman terhadap nilai

kerapatan ikatan pembuluh sebagai variabel y dan faktor jenis, posisi vertikal,

posisi horizontal, dan pola sebagai variabel x menghasilkan persamaan regresi (1)

bersifat nyata (Lampiran 3).

Dari berbagai variabel yang diujikan ternyata yang mempengaruhi nilai

kerapatan adalah semua faktor yang terdiri atas faktor jenis, posisi vertikal, posisi

horizontal dan pola. Apabila dari berbagai faktor tersebut dibandingkan nilai

signifikannya maka faktor pola menduduki urutan pertama dalam tingkat

kesignifikannya. Hal ini berarti pola paling mempengaruhi nilai kerapatan

bambu. Uji lanjutan Duncan untuk melihat jenis-jenis bambu yang berpengaruh

nyata terlihat bahwa jenis bambu A. hundsii (Ah), G. apus (Ga), A. javonica (Aj),

D. asper (Da), M. baccifera (Mb), C. pergracile (Cp), dan D. giganteus (Dg)

memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh yang sama sementara antara jenis-jenis

bambu yang sudah diuraikan sebelumnya dengan bambu D. strictus memiliki nilai

kerapatan ikatan pembuluh yang berbeda nyata. Hal ini terjadi karena kerapatan

ikatan pembuluh bambu D. strictus bagian ujung batang terutama pada bagian tepi

penampang lintang relatif paling tinggi jika dibandingkan dengan bambu-bambu

lain (Lampiran 2). Nilai kerapatan ikatan pembuluh untuk 8 jenis bambu

tercantum pada Gambar 41.

Y = 3.4 + 0.4X2 + 0.6X3 + 0.6X4 - 2.7X5 +2.1X6 + 1.6X7 + 1.1X8 + 0.5X9 + 0.5X10

- 0.4X11 - 1.2X12 + 0.9X13 - 1.2X14 - 2.4X15…………………………………(1)

Secara vertikal, nilai kerapatan ikatan pembuluh pada posisi pangkal dan

tengah tidak berbeda nyata namun antara pangkal, tengah, dan bagian ujung

mempunyai nilai kerapatan ikatan pembuluh yang berbeda nyata (Gambar 42).

Secara vertikal kerapatan ikatan pembuluh pada bagian pangkal lebih rendah

dibandingkan dengan kerapatan pada bagian tengah dan ujung. Hasil uji lanjut

Duncan menyatakan bahwa nilai kerapatan pada bagian pangkal dan tengah tidak

berbeda nyata tetapi jika dibandingkan dengan bagian ujung maka nilai kerapatan

antar pangkal dan tengah dengan bagian ujung berbeda nyata. Hal ini berarti

bahwa nilai kerapatan antara bagian pangkal dan tengah tidak terdapat perbedaan

yang mencolok tetapi perbedaan kerapatan itu terlihat relatif besar jika

dibandingkan dengan bagian ujung. Nilai kerapatan ikatan pembuluh diperoleh

melalui perhitungan jumlah ikatan pembuluh untuk luasan tertentu sehingga

semakin kecil dan rapat ukuran ikatan pembuluh maka nilai kerapatan ikatan

pembuluh akan semakin tinggi. Kerapatan ikatan pembuluh antara bagian

pangkal dan tengah walaupun melalui hasil uji lanjut tidak berbeda nyata tetapi

trennya semakin meningkat dan semakin tinggi nilainya pada bagian ujung. Hal

ini diduga terkait dengan ketebalan dinding batang bambu yang semakin kecil ke

arah ujung batang Grosser dan Liese 1971). Semakin sempit dinding batang maka

3.2

4.7

6.8

4.1

4.7 4.75.1 5.1

0

4

8

Ah Mb Ds Ga Aj Da Cp Dg

Gambar 41. Kerapatan ikatan pembuluh (/mm2) pada 8 jenis

bambu

Jenis bambu

Ker

apat

anik

atan

pem

bu

luh

/mm

2

terlihat ukuran dan jumlah ikatan pembuluh juga akan semakin kecil sehingga

nilai kerapatan akan semakin meningkat ke arah ujung batang. Penelitian

Mohmod dan Mustafa (1992) yang mengamati nilai kerapatan ikatan pembuluh

bambu Bambusa blumeana memperlihatkan hasil yang sama dengan nilai

kerapatan/mm2 pada bagian pangkal sebesar 3.07 pada bagian tengah 3.55 dan

pada bagian ujung sebesar 4.05. Terlihat bahwa nilai kerapatan semakin besar

dari mulai pangkal hinggga ke ujung.

Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi horizontal juga berpengaruh nyata.

Uji lanjut Duncan memberikan hasil bahwa posisi pusat, tengah, dan dalam

memiliki kerapatan ikatan pembuluh yang sama dan berbeda nyata jika

dibandingkan dengan bagian tepi (Gambar 43). Kerapatan ikatan pembuluh pada

bagian tepi paling tinggi jika dibandingkan dengan bagian-bagian lain. Hal ini

mudah dimengerti karena pada bagian tepi ukuran ikatan pembuluh paling kecil

dan rapat sehingga tentu saja kerapatannya akan meningkat. Demikian pula nilai

kerapatan ikatan pembuluh pada bagian tengah relatif lebih tinggi juka

dibandingkan dengan bagian pusat, hal ini terkait selain dengan ukuran juga

kelengkapan suatu pola. Dalam bambu terutama bambu yang berdinding tipis

maka, kemunculan suatu pola secara utuh itu ada pada bagian pusat. Pada bagian

tengah umumnya tampilan suatu pola dalam bentuk transisi dengan bentuk dan

ukuran berbeda sehingga nilai kerapatannya lebih tinggi dibandingkan bagian

pusat. Sementara kerapatan pada bagian dalam relatif lebih tinggi dibandingkan

1.4

1.9

3.1

0.0

2.0

4.0

Pangkal Tengah Ujung

Gambar 42. Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi

pangkal, tengah dan ujung

Ker

apat

an ikat

an p

emb

ulu

h/m

m2

bagian tengah dan pusat karena pada bagian ini bentuk dan ukuran pola tidak

sempurna sehingga kondisi ini akan meningkatkan nilai kerapatan ikatan

pembuluh.

Nilai kerapatan ikatan pembuluh juga dipengaruhi oleh pola ikatan

pembuluh yang dimiliki bambu (Gambar 44). Berdasarkan uji lanjut Duncan

terhadap ke-4 pola yang diujikan terlihat bahwa pola 2, 3, dan 4 memiliki nilai

kerapatan ikatan pembuluh yang tidak berbeda nyata. Nilai kerapatan antar ke-3

pola tersebut jika dibandingkan dengan pola 1 memberikan hasil uji yang berbeda

nyata.

3.2

2.01.7

2.2

0.0

2.5

5.0

Tepi Tengah Pusat Dalam

Gambar 43. Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi horizontal

Ker

apat

an i

kat

an p

emb

ulu

h/m

m2

3.9

1.5

0.2

1.2

0.0

1.5

3.0

4.5

Pola 1 Pola 2 Pola 3 Pola 4

Gambar 44. Kerapatan ikatan pembuluh pada berbagai pola

Ker

apat

an ik

atan

pem

bu

luh

/mm

2

Pola 1 memiliki nilai kerapatan yang paling tinggi dibandingkan dengan

pola-pola lain, demikian juga pola 2 memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh

lebih tinggi dibandingkan pola 3 dan 4. Pola 3 memiliki nilai yang terendah

dibandingkan dengan pola-pola lain. Pola 4 mempunyai kerapatan yang

cenderung lebih tinggi jika dibandingkan pola 3. Pengamatan pada ukuran ikatan

pembuluh yang dimiliki oleh bambu dengan pola 1 ternyata ukuran ikatan pada

pola 1 paling kecil dibandingkan dengan pola-pola lain, demikian pula ukuran

pola ikatan pembuluh pada pola 2 lebih kecil dibandingkan dengan pola 3 dan

pola 4. Bentuk ikatan pembuluh antar pola 1 dan 2 tidak terlalu berbeda yaitu

sama-sama terdiri atas rantai pembuluh pusat dan didukung jaringan selubung

sklerenkim, hanya memang untuk pola 2 ada tambahannya yang berbentuk

selubung sklerenkim pada ruang interseluler. Demikian juga bentuk ikatan

pembuluh antara pola 3 dan 4 menunjukkan adanya kesamaan yaitu keduanya

terdiri atas selain rantai pembuluh pusat juga hadirnya rantai serabut, hanya untuk

pola 4 jumlah rantai serabut adalah 2 buah. Dengan demikian jumlah ikatan

pembuluh/satuan luas paling tinggi pada pola 1 karena ukurannya paling kecil,

demikian juga dengan ukuran ikatan pembuluh pada pola 4 paling besar

dibandingkan dengan pola-pola lain sehingga seharusnya memiliki nilai kerapatan

yang paling rendah. Akan tetapi, dalam uji ini ternyata nilai kerapatan pola 3

lebih rendah dibandingkan dengan nilai kerapatan ikatan pembuluh pada pola 4,

hal ini diduga karena jarak antar ikatan pembuluh yang relatif renggang

dibandingkan pada pola 4. Dalam penelitian ini jarak antar ikatan tidak diukur.

Dalam pengamatan visual terhadap pola 3 dan 4 terlihat bahwa jarak antar pola

relatif jarang dibandingkan dengan pola 1 dan 2. Diduga kondisi ini turut

mempengaruhi nilai kerapatan ikatan pembuluh yang relatif kecil. .

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mohmod & Mustafa (1992)

terhadap Bambusa blumeana dan B vulgaris serta Gigantochloa scortechinii

dengan rata-rata kerapatan ikatan pembuluh /mm2 adalah berturut-turut 2.9, 2.5

serta 1.8 . Sedangkan hasil penelitian Wahab et al. (2009) pada bambu Bambusa

vulgaris ternyata nilai rata-rata kerapatan ikatan pembuluh/mm2 adalah 2.6 ± 0.19.

Sementara nilai kerapatan ikatan pembuluh dalam penelitian ini adalah 0.2/mm2

untuk pola 3 dan 1.2/mm2 untuk pola 4.

Panjang serabut

Hasil pengukuran panjang serabut pada 8 jenis bambu selengkapnya

tercantum pada Lampiran 4. Analisa keragaman terhadap faktor-faktor yang

mempengaruhi panjang serabut dengan menggunakan analisa regresi

menghasilkan persamaan regresi (2) bersifat sangat nyata (Lampiran 5).

Adapun faktor-faktor yang berpengaruh nyata adalah jenis dan pola.

Berdasar hasil uji lanjut Duncan terhadap jenis-jenis bambu ternyata bahwa

bambu C. pergracil (Cp) memiliki urutan panjang serabut terendah dan berbeda

nyata jika dibandingkan dengan bambu-bambu lain sedangkan bambu D. strictus

(Ds) berada pada posisi peralihan (Gambar 41). Bambu A. hundsii (Ah), D.

giganteus (Dg), D. asper (Da), A. javonica (Aj), M. baccifera (Mb) dan G. apus

(Ga) memiliki nilai yang tidak berbeda.

Panjang serabut beragam diantara spesies dan bahkan dalam spesies.

Panjang serabut bambu beragam sehingga menjadi ciri individu bambu (Liese

1987, Grosser dan Liese 1971). Hasil uji Duncan terhadap pola bambu

memperlihatkan hasil bahwa panjang serabut antara pola 1,2, dan 3 tidak berbeda

Y = 2081,7 + 197.2X1 + 425.7X2 - 420.3X3 + 842.7X4 - 987.9X5 + 165.4X7 - 150.4X8 +

225.8X9 + 729.6X10 + 717.9X12………………………………………………… (2)

2307.52472.9 2472.9

1485.0

2327.7

1907.4

2333.12530.3

0

2000

4000

Ah Aj Mb Cp Dg Ds Da Ga

Gambar 45. Posisi panjang serabut (µm) berbagai jenis bambu

Jenis bambu

Pan

jang s

erab

ut

(µm

)

tetapi berbeda secara nyata dengan pola 4. Terlihat juga bahwa panjang serabut

pola 1 terendah dibandingkan dengan pola-pola lain (Gambar 46). Panjang

serabut cenderung meningkat nilainya mulai dari pola 1 ke pola berikutnya

(walaupun panjang serabut antara pola 2 dan 3 relatif sama) akan tetapi antara

pola 1, 2, dan 3 dengan pola 4 berbeda nyata.

Dalam tanaman bambu, ternyata pembagian sel, diferensiasi parenkim dan

serabut tidak secara jelas terorganisir seperti halnya pada kayu (Gritsch dan

Murphy 2005) walaupun pertumbuhan panjang serabut dipengaruhi juga oleh

faktor lingkungan seperti kondisi tanah dan perubahan iklim (Mohmod dan

Mustafa 1992). Sementara Liese (1980) mengemukakan juga hasil penelitiannya

terhadap beberapa jenis bambu yaitu rata-rata panjang serabut pada jenis-jens

Phillostachys edulis, 1.5 mm, P nakinoi, 2.5 mm, P puhescens, 1.3 mm (mewakili

pola 1) sedangkan pada Melocanna baccifera, 2.7 mm, Thirsosiachvs siamensis,

2.3 mm. Teinostachyum sp, 3.6 mm (mewakili pola 2). Pada jenis-jenis

Oxvtenanthera nigrociliata, 3.6 mm, D. strictus, 2.4 mm, Dendrocalamus

giganteus, 3.2 mm; Bambusa arundinacea adalah 2.7 mm, B.textilis, 3.0 mm, B.

tulda, 3.0 mm, B. vulgaris, 2.3 mm, D. niemhranaceus, 4.3 mm, Gigantochloa

aspera, 3.8 mm diduga mewakili tipe 3 sampai 4.

Apabila dikelompokan berdasar pola ikatan pembuluh dengan acuan

sebagian hasil penelitian ini serta hasil penelitian Grosser dan Liese (1971)

ternyata pola 1 memiliki panjang serabut relatif pendek dibandingkan dengan

2373.6

3091.5 3091.5

3821.1

0

2500

5000

Pola 1 Pola 2 Pola 3 Pola 4

Gambar 46. Posisi panjang serabut (µm) pada 4 pola bambu

Pan

jan

g se

rab

ut

(µm

)

pola-pola lain. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Liese (1992)

terhadap bambu-bambu dengan panjang serabut yang cukup pendek yaitu

Phyllostachys edulis (1.5 mm), Ph. pubescens (1.3 mm), sedangkan bambu yang

memiliki panjang serabut yang cukup panjang yaitu Dendrocalamus giganteus

(3.2 mm), Oxytenanthera nigrocilliata (3.6 mm), D. membranaceus (4.3 mm).

Serabut-serabut itu sendiri tersusun dalam jaringan sklerenkim yang

terdapat sebagai selubung ikatan pembuluh atau rantai isolasi (Mohmod dan

Mustafa 1992). Sel serabut merupakan sel yang panjang dan meruncing pada

bagian ujungnya. Serabut dalam pola 1 terdapat dalam selubung sklerenkim

sedangkan serabut pada pola 2 selain ada pada selubung sklerenkim juga terdapat

perluasan serabut pada ruang antar sel. Serabut dalam pola 3 dan 4 selain dalam

selubung juga terdapat dalam bentuk rantai serabut. Posisi serabut dalam pola

ikatan pembuluh kemungkinan ikut mempengaruhi ukuran/panjang serabut. Pada

pola 4, sebagian besar serabut berada di dalam rantai serabut. Rantai serabut

akan membatasi perkembangan ke arah diameter dibanding ke arah panjang. Hal

ini terjadi terutama pada tahap awal diferensiasi jaringan di mana serabut yang

ada pada bagian dalam rantai terhalang berkembang ke arah diameter (Murphy

dan Alvin 1997).

Pada penampang melintang batang bambu, panjang serabut meningkat dari

bagian tepi sehingga mencapai puncaknya pada bagian tengah dan menurun ke

bagian dalam (Liese 1980). Terkait dengan hal tersebut dapat dijelaskan melalui

ketebalan masing-masing pola bambu. Ketebalan dinding batang pola 1dan 2

pada umumnya dibawah 1 cm (kecuali bagian pangkal bambu Cephalostachyum

pergracil memiliki ketebalan dinding batang paling tinggi (1.4 cm). Bambu-

bambu dengan pola 3 maksimum memiliki rata-rata ketebalan dinding batang

bagian pangkal sebesar 1.4 cm (kecuali bagian pangkal bambu Dendrocalamus

giganteus sebesar 2.40 cm dengan ketebalan bagian ujung rata-rata 0.5 cm).

Bambu dengan pola 4 umumnya pada bagian ujung memiliki pola 3 dengan

ketebalan dinding pangkal rata-rata dari 1 cm (Gigantochloa apus) sampai 1.8 cm

(Dendrocalamus asper) dengan ketebalan dinding batang bagian ujung adalah 0.5

cm (G. apus) dan 0.8 cm (D. asper). Adanya perbedaan nilai panjang serabut

antara pola 1, 2 dan 3 dengan pola 4 apabila dikaitkan dengan ketebalan dinding

batang terutama yang untuk jenis bambu yang memiliki 2 pola terlihat bahwa pola

4 berada pada dinding batang yang relatif lebih tebal dibandingkan dengan pola 3.

Apabila hal ini dikaitkan dengan pernyataan Liese (1980) yang mengungkapkan

bahwa panjang serabut pada bagian tengah batang adalah maksimum maka

dengan proporsi bagian tengah pada pola 4 lebih besar dibandingkan dengan pola

3 maka panjang serabut pada pola 4 lebih menonjol.

Persentase serabut

Berdasarkan hasil analisa keragaman terhadap faktor-faktor yang diduga

mempengaruhi nilai persentase serabut ternyata menghasilkan persamaan regresi

(3) yang bersifat sangat nyata (Lampiran 6).

Di antara faktor yang diujikan ternyata hanya posisi horizontal saja yang

berpengaruh sangat nyata sedangkan faktor jenis, posisi vertikal, dan pola tidak

berpengaruh nyata. Melalui uji lanjut Duncan ternyata nilai persentase serabut

pada posisi bagian dalam berbeda nyata dengan persentase serabut pada bagian

pusat. Demikian pula nilai persentase serabut antara bagian dalam, pusat dan tepi

berbeda nyata, hanya pada bagian tengah nilai persentase serabut berada diantara

bagian dalam dan pusat. Berikut hasil ujinya dalam Tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji Duncan untuk persentase serabut

Posisi

Horizontal Persen Serabut Kode

Dalam 24.63 a

Tengah 31.97 ab

Pusat 33.17 b

Tepi 53.49 c

Pada bagian dalam penampang lintang batang, bentuk pola tidak sempurna

sehingga wilayah serabut menjadi berkurang. Dengan demikian bagian dalam

akan memiliki persentase serabut yang rendah. Persentase serabut pada bagian

Y= 49.5 – 2.1X2 + 1.5X4 - 7.9X5 + 10.4X6 - 7.4X7 + 1.6X8 + 5.6X9 - 8.5X10 +

1.2X11 - 21.5X12 + 4.6X13 - 8.7X14 + 7.8X15 ………………………………(3)

tengah lebih tinggi dibandingkan bagian dalam tetapi lebih rendah dibandingkan

bagian pusat. Hal ini terjadi karena bentuk pola pada bagian tengah umumnya

merupakan bentuk transisi menuju ke bentuk pola yang sempurna. Nilai

persentase serabut pada bagian pusat memiliki nilai yang relatif tinggi karena

berasal dari serabut pola-pola yang sudah terbentuk sempurna. Posisi tepi

memiliki nilai persentase serabut yang paling tinggi karena bagian tepi disusun

oleh ikatan-ikatan serabut yang sangat rapat sehingga total nilai serabut pun paling

tinggi. Hal ini didukung oleh Ray et al. (2004) dalam penelitian mikro struktur

yang mengemukakan bahwa populasi serabut bervariasi dari bagian luar (tepi) ke

bagian dalam. Serabut pada bagian tepi sangat kompak dengan jumlah serabut

yang lebih banyak dibandingkan bagian dalam sehingga nilai persentase serabut

semakin tinggi (Gambar 47). Hal yang sama juga diungkapkan Londono et al.

(2002) dalam hasil penelitiannya pada bambu Gigantochloa angustifolia dengan

persentase serabut ditemukan pada bagian pinggir/tepi penampang lintang batang

dan nilai persentase serabut yang terendah ada pada bagian dalam penampang

lintang.

Faktor-faktor lain yang tidak berpengaruh nyata antara lain adalah pola.

Hal ini terjadi karena rata-rata persentase serabut antar pola tidak ada perbedaan.

Hasil penelitian ini agak berbeda dengan pernyataan Grosser dan Liese (1971)

yang mengemukakan bahwa pada umumnya kandungan serabut pada pola 2 lebih

53.5

32.0 33.2

24.6

0

30

60

Tepi Tengah Pusat Dalam

Gambar 47. Persentase serabut penampang lintang bambu

Per

senta

se s

erab

ut

(%

)

banyak dibandingkan dengan pola 1 demikian pula dengan kandungan serabut

pada pola 3 lebih banyak dibandingkan dengan pola 2 dan seterusnya. Pernyataan

yang dikemukakan oleh Grosser dan Liese tentang persentase serabut akan

terbukti jika jarak antar pola ikatan cukup rapat. Dalam pengamatan visual

terhadap pola 3 dan 4 terlihat bahwa jarak antar pola relatif jarang dibandingkan

dengan pola 1 dan 2. Diduga kondisi ini turut mempengaruhi nilai persentase

serabut.

Hubungan antara kerapatan ikatan pembuluh dengan persentase serabut

menghasilkan persamaan Y = 0.572 + 0.045X dengan R2=0.159 yang berarti

bahwa terdapat hubungan yang positif antara kerapatan ikatan pembuluh dengan

persentase serabut yang bermakna bahwa kerapatan ikatan pembuluh akan

semakin tinggi nilainya apabila nilai persentase serabut semakin besar. Hal ini

terjadi karena dengan nilai persentase serabut yang tinggi maka semakin tinggi

peluang untuk memperoleh kerapatan yang tinggi walaupun koefisien korelasinya

kecil (39.87%), hal ini terutama berlaku untuk pola-pola yang sederhana (1 dan 2).

Susunan pola ikatan pembuluh pada pola yang sederhana terdiri atas 1 rantai

pembuluh pusat yang dikelilingi selubung serabut (sklerenkim) dan biasanya jarak

antar pola relatif dekat. Susunan pola ikatan pembuluh pada pola yang kompleks

(pola 3 dan 4) selain terdiri atas unsur-unsur yang ada pada pola 1 dan 2 juga

ditambah dengan 1 atau 2 rantai serabut dengan jarak tertentu. Dengan kondisi

tersebut akan memunculkan nilai koefisien korelasi yang kecil (Gambar 48).

Berdasarkan hasil uraian terlihat bahwa pola ikatan pembuluh mempunyai

peran yang cukup penting karena mempunyai pengaruh terhadap nilai kerapatan

ikatan pembuluh dan panjang serabut. Dengan demikian dapat dijadikan

pegangan dalam menentukan karakteristik anatomi bambu. Hal ini didukung

pula oleh cara penetapannya yang relatif mudah.

Simpulan dan Saran

Hasil penelitian pada penampang lintang batang bambu diperoleh

kesimpulan bahwa bambu-bambu yang diteliti mempunyai pola ikatan pembuluh

1 untuk bambu Arundinaria hundsii dan Arundinaria javoniva, pola 2 untuk

bambu Melocanna baccifera dan Cephalostachyum pergracile, pola 3 untuk

bambu Dendrocalamus strictus dan Dendrocalamus giganteus dan pola

gabungan 3 dan 4 untuk bambu Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea

dan Gigantochloa apus.

Nilai kerapatan ikatan pembuluh dipengaruhi selain oleh jenis-jenis bambu

juga oleh posisi vertikal, posisi horizontal dan juga oleh pola ikatan pembuluh.

Faktor jenis dan pola ikatan pembuluh mempengaruhi nilai panjang serabut.

Nilai persentase serabut hanya dipengaruhi oleh posisi horizontal penampang

y = 0.045x + 0.572R² = 0.159

0

2

4

6

8

10

12

0 20 40 60 80 100

Ker

apat

an i

kat

an p

emb

ulu

h

Persentase Serabut

Gambar 48. Hubungan antara kerapatan ikatan pembuluh dan

persentase serabut

lintang bambu. Persentase serabut yang semakin tinggi akan memberikan nilai

kerapatan ikatan pembuluh yang tinggi.

Pola ikatan pembuluh pada bambu berhubungan erat dengan struktur

penyusun ikatan pembuluh dan bersifat konsisten pada genus dan spesies sehingga

dapat digunakan untuk identifikasi bamboo. Karakteristik struktur penyusun pola

ikatan pembuluh tersebut merupakan dasar bagi arah pemanfaatan bambu.

Pola ikatan pembuluh perlu dipertimbangkan dalam pengenalan jenis bambu

dan perencanaan pemanfaatan bambu sesuai dengan karakteristik yang dimiliki

setiap jenis bambu. Untuk itu perlu pendalaman lebih lanjut mengenai sifat

struktural dan teknologinya.

DAFTAR PUSTAKA

[ABS] American Bamboo Society. 1999. Bamboo: Past-present-future.

Newsletter 20 (1).

Botanic Gardens of Indonesia. 2001. An Alphabetical List of Plants Spesies

Cultivated in the Bogor Botanical Garden. Indonesian Institute of Sciences.

Dransfield S, Widjaja EA. 1995. Bamboos. Indonesia: Prosea Bogor.

Draper N, Smith H. 1992. Analisis Regresi Terapan. Ed ke-2. Jakarta: PT

Gramedia Pusta Utama.

Gritsch CS, Murphy RJ. 2005. Ultrastructure of fibre and parenchyma cell walls

during early stages of culm development in Dendrocalamus asper. Annals

of Botany 95: 619–629.

Grosser D, Liese W. 1971. On the anatomy of Asian bamboos, with spesial

reference to their vascular bundles. Wood Sci and Tech 5: 290-312

Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Di dalam: Lessard G dan Chounard A,

editor. Proceedings of a Workshop. Singapore, 28-30 Mei 1980.

Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on

morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos.

http://www.myanmar.gov.mm/Ag/Jur/ProcFo01.10.[3 Nov. 2007].

Liese W. 1987. Anatomy and properties of bamboo. Di dalam: Rao, A.N.,

Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo.

Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's

Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's

Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada,

hal: 196-208.

Liese W. 1992. The structure of bamboo in relation to its properties and

utilization. Dalam Bamboo And Its Use, International Symposium On

Industrial Use Of Bamboo. Beijing, China, 7-11 Desember 1992. hlm 1 - 6

Londono X, Camayo GC, Riano NM, Lopez Y. 2002. Characterization of the

anatomy of Guadua angustifolia (Poaceae: Bambusoideae) culms. J Am

Bam Soc 16 (1): 18–31.

Mohmod AL, Mustafa MT. 1992. Variasi in anatomical properties of three

Malaysian bamboos from natural stands. J Tropic For Sci 5(1): 90-96

Murphy RJ , Alvin KL. 1997. Fibre maturation in the bamboo Gigantochloa

scortechinii. IAWA J, Vol. 18 (2): 147-156.

Ray AK, Das SK, Mondal S. 2004. Microstructural characterization of bamboo.

J Mater Sci 39: 1055-1060.

Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique . Iowa: The Iowa State College Press.

Wahab R, Mohammed A, Mustafa MT, Hassan A. 2009. Physical characteristics

and anatomical properties of cultivated bamboo Bambusa vulgaris (Schrad.)

culms. J Biol Sci 9: 753-759.

Widjaja, EA. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor : LIPI – seri

panduan lapangan.

III. KORELASI POLA IKATAN PEMBULUH PADA SIFAT FISIK

DAN MEKANIK TIGA JENIS BAMBU

Abstrak

Sifat fisik dan mekanik 3 jenis bambu, yaitu Dendrocalamus giganteus,

Dendrocalamus asper, dan Gigantochloa apus diteliti dalam hubungannya dengan

pola ikatan pembuluh. Sifat fisik dan mekanik seperti berat jenis, keteguhan

lentur patah (MOR), modulus elastisitas (MOE), keteguhan tekan sejajar serat,

dan keteguhan tarik sejajar serat ditentukan, dan pola ikatan pembuluh dianalisis

dengan metode berdasarkan panduan dari Grosser dan Liese (1971). Hubungan

diantara sifat fisik dan mekanik dengan pola ikatan pembuluh dianalisis regresi

dengan variabel dummy. Kombinasi pola ikatan pembuluh ditemukan pada G.

apus dan D. asper, sedangkan D. giganteus mempunyai pola ikatan pembuluh

tunggal. Perbedaan pola ikatan pembuluh tidak memberikan kontribusi pada sifat

fisik dan mekanik bambu yang diteliti kecuali pada MOR. Perbedaan jenis bambu

dan posisi vertikal batang memberikan kontribusi pada perbedaan nilai keteguhan

tekan sejajar serat, sedangkan keteguhan tarik hanya dipengaruhi oleh jenis

bambu.

Kata kunci: pola ikatan pembuluh, sifat fisik, sifat mekanik

Abstract

The physical and mechanical properties of three species of bamboo, namely

Dendrocalamus giganteus, Dendrocalamus asper, and Gigantochloa apus were

investigated in relation to its vascular bundle pattern. As physical and

mechanical properties, specific gravity, modulus of rupture (MOR), modulus of

elasticity (MOE), compressive strength parallel to grain and tension strength

parallel to grain were determined, and the vascular bundle pattern was evaluated

by method according to Grosser and Liese (1971). The relationship between

physical and mechanical properties with the vascularl bundle pattern was

analyzed by regression with dummy variables. Pattern combination of vascular

bundle was found on G. apus and D. asper, while D. giganteus has a single

pattern of vascular bundle type. The difference of vascular bundle pattern did not

contributed to the physical and mechanical properties of bamboo investigated,

except for MOR. The difference species of bamboo and vertical position of

samples contributed to the different value of compressive strength parallel to

grain, whereas tension strength was only affected by bamboo species.

Key words: vascularl bundle pattern, physical properties, mechanical properties.

Pendahuluan

Tanaman bambu merupakan tanaman serba guna bagi masyarakat

Indonesia. Pentingnya tanaman bambu dalam berbagai penggunaan telah

diperkenalkan di berbagai negara mulai dari makanan, kerajinan, mebel, sampai

berbagai produk industri (Erakhrumen dan Ogunsanwo 2009). Hal ini didukung

juga oleh kondisi semakin menurunnya ketersediaan kayu sehingga bambu

berpeluang tinggi sebagai bahan yang diharapkan setara dengan kayu. Selama

ini kayu merupakan bahan bangunan yang dominan dipergunakan sebagai

konstruksi rangka struktur (rangka lantai, rangka dinding dll) dan yang bersifat

nonstruktur (penutup lantai, penutup dinding, penutup langit-langit, dll). Bambu

dapat menggantikan kayu (Purwito 2008) karena bambu memiliki keunggulan

sebagai bahan bangunan dan merupakan salah satu material yang sangat potensial

untuk pemenuhan kebutuhan perumahan, serta telah diakui masyarakat dunia

dengan terbitnya standar internasional (ISO) yang masih perlu diadaptasi untuk

diterapkan di Indonesia dengan penyesuaian pada kondisi setempat.

Hal lain yang cukup menarik untuk diperhatikan dengan banyak

digunakannya bambu sebagai bahan bangunan adalah harganya yang relatif

murah, ramah lingkungan, dan ketersediaannya yang berlimpah (BMTPC 2007) .

Pengetahuan sifat-sifat mekanik bambu mendapatkan perhatian para periset

berkaitan dengan potensi bambu untuk digunakan sebagai bahan konstruksi yang

memberikan kekuatan tinggi namun ringan (Ghavami et al. 2003a). Bobot jenis

adalah sifat fisik yang paling penting yang mempengaruhi sifat kekakuan,

kekuatan dan penyusutan, dalam skala yang lebih luas lagi bobot jenis ini dapat

menentukan penggunaan akhir bahan berkayu (Wang et al. 2011). Hal yang

sama diungkapkan pula oleh Jansen (1987) yang menyatakan bahwa antara BJ

dengan sifat-sifat mekanis terkait erat. Dengan demikian kedua sifat tersebut

merupakan satu rangkaian yang saling terkait.

Terdapat berbagai jenis tanaman bambu yang dapat digunakan untuk

keperluan bangunan antara lain Dendrocalamus asper, D giganteus,

Gigantochloa atroviolacea (Surjokusumo 1997). Selama ini penggunaan bambu

berdasarkan kebiasaan turun temurun (Morisco 2011). Kondisi seperti ini

menyulitkan penggunaan bambu secara optimum dan tidak mudah untuk

menentukan manfaat setiap jenis bambu secara tepat. Hal ini didukung juga

dengan banyaknya jenis-jenis bambu yang belum dikenal dan belum diketahui

kesesuaian pemanfaatannya. Salah satu alternatif cara yang dapat dilakukan untuk

mengetahui sifat-sifat bambu adalah melalui pendekatan evaluasi pola ikatan

pembuluh yang ada di setiap jenis bambu.

Bambu memiliki berbagai pola ikatan pembuluh yang bersikap khas untuk

jenis bambu tertentu. Menurut Grosser dan Liese (1971) tanaman bambu

memiliki 4 pola ikatan pembuluh. Jenis bambu yang selama ini dipergunakan

sebagai bahan dasar konstruksi diduga umumnya memiliki pola ikatan pembuluh

pola 3 atau 4 (Nuriyatin 2000). Hal ini mendasari perlunya penelitian secara

mendalam tentang pola ikatan pembuluh sebagai variabel yang dapat digunakan

sebagai penduga sifat mekanis bambu dan penggunaannya sebagai bahan

konstruksi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis korelasi antara pola ikatan

pembuluh dengan sifat fisik dan mekanik beberapa jenis bambu.

Bahan dan Metode

Bahan

Bahan penelitian adalah 3 jenis bambu yaitu Dendrocalamus giganteus

Wallich ex Munro, Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurs dan D. asper

(Schultes f.) Backer ex Heyne yang telah berumur 3-4 tahun. Sampel bambu

diambil sekitar Fakultas Kehutanan IPB serta di Kebun Raya Bogor. Sampel uji

diambil di bagian pangkal, tengah dan ujung bambu dengan ulangan 3 kali

kecuali untuk D giganteus pada bagian ujung tidak dapat diambil sampel untuk

sifat mekanis karena dinding batangnya sangat tipis.

Metode

Pembuatan contoh uji bobot jenis mengikuti standar ISO/TC165N314

(2001) sedangkan pembuatan contoh uji sifat mekanik terutama untuk MOE,

MOR berpedoman ke ASTM D 143-94 (2000) yang dimodifikasi. Dalam hal ini

tidak setiap jenis bambu memiliki ketebalan yang sama sehingga untuk

mendapatkan ketebalan tertentu dilakukan proses penyambungan secara

setangkup terutama dalam pembuatan sampel uji lentur. Bentuk dan ukuran

keteguhan tekan sejajar serat berpedoman ke ISO/TC165N314 (2001) dengan

panjang spesimen sama dengan diameter bambu terluar bahkan jika lebih kecil

atau sama dengan 20 mm maka panjangnya 2 kali diameter terluar. Bentuk dan

ukuran contoh uji keteguhan tarik sejajar serat berpedoman ke ASTM D 143-94

(2000) yang dimodifikasi dengan ukuran yang lebih panjang dan ketebalan

sampel sesuai dengan ketebalan bambu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Bagian Rekayasa dan Disain Bangunan Kayu Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

serta di Laboratorium Fisik dan Mekanik, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan.

Bentuk contoh uji

Bentuk contoh uji bobot jenis, keteguhan tekan, keteguhan lentur dan

keteguhan tarik ditampilkan berturut-turut pada Gambar 49 sampai Gambar 52.

Gambar 49. Bentuk contoh uji bobot jenis (BJ)

Gambar 50. Bentuk contoh uji tekan sejajar serat

2.5 cm

2.5 cm

D

2D

2 cm

2 cm

Gambar 52. Bentuk contoh uji tarik sejajar serat

Gambar 51. Bentuk contoh uji lentur

1 cm

28 cm

30 cm

50 cm

1cm

2 cm

17 cm 17 cm 6 cm 6 cm 4 cm

3 mm

2 mm

1 cm

Prosedur pengujian

Pengujian bobot jenis dilakukan dengan cara pengukuran volume sampel uji

dengan metoda pemindahan berat dan pengukuran bobot kering tanur (BKT)

sampel uji. Perhitungan bobot jenis (BJ) dengan menggunakan rumus(4):

Keterangan:

BJ : Bobot jenis

BKT : Bobot Kering Tanur

Vol : Volume saat basah

Pengujian MOE menggunakan mesin Instron dengan pembebanan

dilakukan di tengah-tengah contoh uji dengan panjang bentang 28 cm.

Perhitungan MOE menggunakan rumus(5):

Keterangan:

MOE : Modulus Elastisitas (kg/cm2)

P : Beban sebelum batas proporsi (kg)

L : Jarak sangga (cm)

y : Lenturan/defleksi pada beban P (cm)

b : Lebar contoh uji (cm)

h : Tinggi contoh uji (cm)

Keteguhan lentur patah (MOR)

Pengujian MOR menggunakan mesin Instron dengan pembebanan

dilakukan di tengah-tengah contoh uji dengan jarak sangga 28 cm. Perhitungan

MOR menggunakan rumus (6):

Keterangan :

MOR : Modulus of Rupture (kg/cm2)

P : Beban maksimal (kg)

MOE = PL3

4 ybh3

MOR = 3 P L

2 bh2

BJ = BKT

Vol. …………………………………………………(4)

………………………………………………….(5)

………………………………………………... (6)

L : Jarak sangga (cm)

b : Lebar contoh uji (cm)

h : Tinggi contoh uji (cm) Keteguhan Tekan Sejajar Serat (σ tk//)

Pengujian keteguhan tekan sejajar menggunakan mesin Baldwin.

Pembebanan dilakukan pada arah sejajar serat dengan kedudukan contoh uji

vertikal sehingga terjadi kerusakan pada contoh uji. Besarnya keteguhan tekan

sejajar serat dihitung dengan rumus (7):

Keterangan :

σtk// : Keteguhan tekan sejajar serat (kg/cm2)

P : Beban tekan maksimum (kg)

A : Luas penampang (cm2)

Keteguhan Tarik Sejajar Serat (σtr//)

Pengujian keteguhan tarik sejajar menggunakan mesin Instron dengan kedudukan

contoh uji vertikal yang dijepit pada kedua ujungnya kemudian ditarik sehingga terjadi

kerusakan pada dimensi terkecilnya. Besarnya keteguhan tarik sejajar serat dihitung

dengan rumus (8):

Keterangan :

σtr// : keteguhan tarik sejajar serat (kg/cm2)

P : Beban tekan maksimum (kg)

A : Luas penampang (cm2)

Analisis data

Data dianalisis melalui pendekatan regresi dengan peubah boneka. Peubah

boneka dalam analisis ini adalah tiga jenis bambu yang terwakili dalam peubah

X1-X2, posisi vertikal yaitu pangkal, tengah dan ujung yang terwakili dalam

peubah X3 dan X4, dua pola bambu yang terwakili dalam X5. Kontribusi

keseluruhan peubah akan dianalisis dalam persamaan regresi.

σ tk// : P

A

σ tr// = P

A

…………………………………………………… (7)

…………………………………………………..(8)

Hasil dan Pembahasan

Pola ikatan pembuluh

Hasil penetapan pola ikatan pembuluh bambu yang diteliti (ditentukan

berdasarkan panduan dari penelitian Grosser dan Liese 1971) selengkapnya pada

Tabel 3. Bambu-bambu yang diteliti mempunyai pola ikatan pembuluh 3 (D.

giganteus) dan kombinasi pola 3 dan 4 (G. apus dan D. asper).

Tabel 3. Pola ikatan pembuluh pada bambu yang diteliti

Jenis bambu Bagian Pola

Gigantochloa apus Pangkal 4

Tengah 4

Ujung 3

Dendrocalamus asper Pangkal 4

Tengah 3

Ujung 3

Dendrocalamus giganteus Pangkal 3

Tengah 3

Ujung 3

Bobot jenis (BJ)

Hasil pengukuran bobot jenis selengkapnya ada dalam Lampiran 7.

Berdasarkan hasil analisis regresi, jenis bambu, posisi vertikal dan pola ikatan

pembuluh tidak memberikan pengaruh terhadap nilai berat jenis. Hal ini berarti

bahwa nilai berat bobot jenis tidak dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut, ada

faktor-faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi nilai berat jenis. Berat jenis

adalah salah sifat fisik kayu yang dihitung berdasarkan berat kering tanur sel

penyusun bambu. Dalam hal ini penyusun batang bambu yang mempengaruhi

nilai BJ adalah kandungan serabut baik dalam diameter maupun ketebalan

dindingnya (Liese 1992, Liese 1998). Dalam setiap pola, serabut yang berdinding

tebal ada di sekeliling metaxilem, fhloem maupun ruang antar sel sebagai sel

sklerenkim. Pola ikatan pembuluh 3 maupun 4 relatif memiliki kandungan

sklerenkim yang hampir sama walaupun memiliki jumlah rantai serabut yang

berbeda. Dalam perhitungan nilai BJ yang berpengaruh adalah sklerenkim

sehingga diduga tidak ada perbedaan yang mencolok dalam nilai BJ antar kedua

pola sehingga hasil analisis dinyatakan tidak berpengaruh.

Nilai keteguhan lentur (MOR)

Hasil pengujian selengkapnya nilai keteguhan lentur (MOR) tercantum

dalam Lampiran 8. Uji analisa keragaman untuk respon Y berupa MOR

memberikan hasil uji regresi yang bersifat sangat nyata (Lampiran 9) dengan

persamaan regresi (9):

Variabel-variabel yang mempengaruhi nilai MOR adalah jenisan p

Melalui uji Duncan terhadap variabel jenis terlihat bahwa nilai MOR antara

bambu D. giganteus, G. apus dan D. asper berbeda nyata dengan nilai MOR

berturut-turut dari yang terendah ke yang tertinggi (Gambar 53). Ditinjau dari

hasil pengujian, ternyata beban maksimum yang paling tinggi adalah untuk bambu

D. asper. Hal ini terjadi karena perbedaan struktur bambu terutama adanya

perbedaan penyebaran serabut yang berdinding tebal. Sementara untuk variabel

pola ternyata antara pola 3 dan 4 memberikan nilai MOR yang berbeda nyata

seperti yang ditampilkan pada Gambar 54.

505.0

1004.3

201.5

0

600

1200

G. apus D. asper D. giganteus

Gambar 53. Posisi nilai MOR untuk 3 jenis bambu

MO

R (

kg/c

m2)

Y = 890.772-802.890X1+499.381X2-464.166X3-249.155X4-533.911X5+439.613BJ ….(9)

Hasil analisis keragaman pada variabel pola ternyata antara pola 3 dan 4

memberikan nilai MOR yang berbeda nyata. Sifat-sifat mekanik bambu

tergantung pada BJ (Hisham et al. 2003) terutama kandungan serabut (Liese

1985) dan Espiloy (1988) secara khusus lebih menekankan kepada frekuensi

ikatan pembuluh. Sedangkan Ghavami et al. (2003b) menyatakan bahwa

kekuatan bambu dipengaruhi oleh kandungan sklerenkim. Pengamatan terhadap

nilai rata-rata keseluruhan bambu yang berpola 3 dan 4 terlihat bahwa pola 3

memiliki kandungan serabut 31.5%, sedangkan kandungan serabut pada pola 4

adalah 29.3%. Sklerenkim adalah serabut berdinding tebal yang berada

mengelilingi metaxilem, floem, dan protoxilem/ruang antar sel. Pola ikatan

pembuluh 3 selain memiliki sklerenkim juga serabut dalam satu rantai serabut.

Seperti halnya pola ikatan pembuluh 3, pola ikatan pembuluh 4-pun selain

memiliki sklerenkim juga serabut yang berada pada 2 rantai serabut. Apabila

berasumsi bahwa luasan satu rantai serabut itu sama maka kandungan sklerenkim

lebih banyak berada pada pola ikatan pembuluh 3. Dengan demikian diduga

bahwa hal ini memberikan kontribusi terhadap nilai MOR pola ikatan pembuluh 3

lebih tinggi dibandingkan MOR pola ikatan pembuluh 4. Persentase sklerenkim

yang lebih tinggi dan penyebaran pola ikatan pembuluh akan memberikan nilai-

nilai kekuatan yang tinggi pula karena dapat menahan beban yang lebih tinggi

secara merata (Lo et al. 2004).

909.7

375.7

0

500

1000

Pola 3 Pola 4

Gambar 54. Posisi nilai MOR (kg/cm2) untuk bambu

dengan pola 3 dan 4

MO

R (

kg/c

m2)

Modulus elastisitas (MOE)

Hasil perhitungan nilai MOE selengkapnya terdapat pada Lampiran 8. Nilai

MOE bambu G. apus, D. asper, dan D. giganteus berturut-turut adalah 22005.3

kg/cm2, 40365.1 kg/cm

2, dan 56643.4 kg/cm

2 dan secara berturut-turut juga

merupakan urutan nilai MOE mulai yang terendah ke yang tertinggi. Perbedaan

nilai MOE terjadi karena perbedaan persentase sklerenkim yang dapat ditunjukan

oleh perbedaan nilai BJ (Janssen 1981).

Hasil pengolahan data menyatakan bahwa nilai modulus elastisitas tidak

dipengaruhi oleh jenis bambu, posisi vertikal, pola dan BJ. Persamaan regresi

yang terbentuk tidak bersifat nyata (Lampiran 9) bahkan koefisien determinasinya

pun bernilai kecil, yaitu sebesar 33.47% yang berarti bahwa hanya 33.47% variasi

Y yang dapat diterangkan oleh variabel X sedangkan sisanya yaitu 66.53%

diterangkan oleh variabel lain selain X. Dengan demikian ada variabel lain yang

berperan dan mempengaruhi nilai MOE.

Hamdan et al. (2009) menyatakan bahwa struktur anatomi mempengaruhi

sangat kuat pada sifat-sifat mekanik. Panjang serabut berkorelasi sangat kuat

terhadap nilai MOE (Liese 2003). Serabut tersusun atas sejumlah lapisan/lamella

dengan berbagai orientasi mikrofibril. Susunan sel serabut tersebut akan

memberikan kontribusi yang tinggi terhadap fleksibilitas bambu. Informasi

mengenai panjang serabut tidak muncul dalam bentuk pola ikatan pembuluh.

Dengan demikian diduga hal ini yang menyebabkan pola ikatan pembuluh tidak

memberikan kontribusi terhadap nilai MOE.

Keteguhan tekan sejajar serat

Hasil perhitungan nilai keteguhan sejajar serat tercantum pada Lampiran 10.

Persamaan regresi yang membentuk hubungan antara keteguhan tekan (Y) dan

peubah X (10) memberikan hasil yang bersifat sangat nyata dengan koefisien

determinasi (R2) sebesar 79% (Lampiran 11) membentuk persamaan:

Y = 3711.204-497.518X1+757.393X2-321.699X3-3631.46X4+894.204X5+524.266BJ …….(10)

Berdasar uji analisa keragaman ternyata faktor jenis bersifat nyata dan posisi

vertikal bersifat sangat nyata. Hasil uji beda Duncan terhadap jenis bambu

menyatakan tidak ada perbedaan artinya bahwa uji Duncan tidak cukup peka

terhadap perbedaan yang ada namun perbandingan diantara nilai-nilai keteguhan

tekan yang ada diantara jenis-jenis tersebut dari yang terendah ke yang tertinggi

berturut-turut adalah bambu G. apus, D. giganteus dan D. asper.

Posisi 3 jenis bambu berdasar nilai keteguhan tekan sejajar serat

tampilannya disajikan pada Gambar 55. Hasil pengamatan terhadap tampilan fisik

sampel uji keteguhan tekan sejajar serat ke-3 jenis bambu pada kondisi kering

udara ternyata Gigantochloa apus memiliki dinding batang yang paling tipis,

yaitu (0.2 cm-0.4 cm) dan luas permukaan paling kecil serta memerlukan tekanan

maksimum yang paling rendah dibandingkan bambu-bambu lain. Sementara pada

Dendrocalamus giganteus memiliki ketebalan dinding batang kurang lebih

berkisar dari 0.4 cm-0.6 cm dengan luas permukaan paling besar dibandingkan

bambu lain namun tekanan yang diperlukan sampai sampel uji rusak berada

diantara tekanan bambu D. asper dan G. apus. Pada D. asper meskipun

ketebalan dinding batangnya sekitar 0.5 cm dengan luas permukaan lebih kecil

dibandingkan D. giganteus namun memerlukan tekanan yang paling tinggi untuk

sampai pada posisi sampelnya rusak sehingga mempunyai nilai keteguhan tekan

yang paling tingggi diantara ke-3 jenis bambu. Menganalisis fakta-fakta yang ada

diduga bahwa yang menentukan dalam keteguhan tekan selain luas permukaan

penampang juga struktur dari bambunya sendiri. Perbedaan struktur terjadi

karena distribusi serabut pada penampang lintang bambu (Shao et al. 2010).

Melihat penyebaran serabut pada 2 jenis bambu khususnya D. asper dan D.

giganteus pada batang bagian tengah terlihat bahwa permukaan penampang

lintang D. asper memiliki kandungan serabut yang lebih tinggi dibandingkan D.

giganteus pada berbagai bagian permukaan batang. Demikian pula pada bagian

ujung nampak bahwa persen serabut pada bambu D. asper lebih tinggi. Data

selengkapnya ada pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase serabut pada 2 jenis bambu

Jenis bambu Posisi vertikal Posisi horizontal % serabut

D. asper Tengah tepi 49.1

tengah 31.5

pusat 30.2

dalam 24.5

D. giganteus Tengah tepi 41.7

tengah/pusat 22.0

dalam 19.0

D. asper Ujung tepi …

tengah 37

pusat 33

dalam ….

D. giganteus Ujung tepi 49.6

tengah/pusat 27.9

dalam 22.3

2126.1

2883.5

2386

0

2000

4000

G. apus D. asper D. giganteus

Gambar 55. Posisi nilai keteguhan tekan pada 3 jenis bambu

Ket

eguhan

tek

an /

/ se

rat

(kg/c

m2)

Keterangan: … tidak ada data karena sampel tidak bisa disayat

Ditinjau dari kandungan bahan kimia menurut Lybeer & Koch (2005)

mengemukakan bahwa porsi lignin mempengaruhi kekuatan mekanik. Menurut

Ghavami et al. (2003b) bahkan menyatakan bahwa daerah pada pola ikatan

pembuluh dengan kerapatan yang lebih tinggi yaitu pada sklerenkim yang

mempengaruhi kekuatan. Pernyataan yang sama juga dikemukakan Jansen (l981),

perbedaan nilai keteguhan tekan lebih karena adanya perbedaan persentase

sklerenkim. Mohmod et al. (1992) menemukan adanya korelasi positif antara

ketebalan dinding sel dengan keteguhan tekan. Sklerenkim adalah serabut yang

berdinding tebal dan umumnya berposisi sebagai selubung pada rantai pembuluh

pusat yang mengelilingi baik xilem maupun ruang antar sel.

Nilai keteguhan tekan sejajar pada posisi vertikal memberikan pengaruh

yang nyata, sehingga berdasarkan uji Duncan terlihat bahwa nilai keteguhan tekan

sejajar serat bagian ujung dan bagian tengah sama dan keduanya berbeda nyata

dengan nilai keteguhan tekan bagian pangkal.

Sampel uji keteguhan tekan sejajar serat pada penelitian ini diperoleh dari

sampel uji berbentuk potongan bambu utuh sehingga ukuran sampel uji terbesar

adalah pada bagian pangkal dan yang terkecil ada di bagian ujung. Hasil

pengujian terhadap keteguhan tekan bagian pangkal bambu D. asper dan D.

giganteus bernilai sangat tinggi. Sementara nilai keteguhan tekan sejajar serat

4908.6

1277955.4

0

3000

6000

Pangkal Tengah Ujung

Ket

eguhan

tek

an /

/ se

rat

(kg/c

m2)

Gambar 56. Posisi nilai keteguhan tekan sejajar serat (kg/cm2)

pada bagian batang bambu

pada bagian tengah dan ujung relatif lebih kecil. Adanya hasil yang sama antara

bagian pangkal dan tengah diduga karena perbedaan luas penampang yang relatif

kecil karena umumnya perbedaan ukuran yang cukup signifikan terjadi antara

bagian pangkal dengan bagian tengah atau ujung.

Keteguhan tarik

Hasil perhitungan keteguhan tarik selengkapnya ada pada Lampiran 10.

Persamaan yang membentuk hubungan regresi antara keteguhan tarik sebagai

variabel terikat (Y) dan variabel jenis, posisi, pola dan BJ sebagai variabel X

(variabel bebas) menghasilkan persamaan regresi yang bersifat sangat nyata

dengan R2 sebesar 64.13% (Lampiran 11). Persamaan regresi (11) yang terbentuk

adalah:

Uji analisis keragaman terhadap variabel bebas terlihat bahwa variabel jenis

bambu memberikan pengaruh yang sangat nyata dan berdasarkan uji Duncan

memberikan hasil bahwa bambu D. giganteus memiliki keteguhan tarik yang

paling rendah dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan D. asper dan G. apus

sedangkan nilai keteguhan tarik G apus sama dengan D. asper.

Keteguhan tarik sejajar serat antara lain sangat bergantung pada kekuatan

serabut (sifat kohesi) dan susunannya dalam kayu (Wangaard 1950). Sedangkan

2236.4 2339.4

1190

0

1500

3000

G. apus D. asper D. giganteus

Gambar 57. Posisi jenis bambu berdasar nilai keteguhan tarik (kg/cm2)

Ke

tegu

han

tar

ik (

kg/c

m2)

Y = 3352.537-1149.293X1+103.042X2-325.426X3-427.696X4-489.731X5-621.019BJ ..(11)

Janssen (1981) menyatakan bahwa kekuatan tarik tergantung kepada persentase

sklerenkim yang dimiliki oleh bambu. Hal ini diperkuat pula oleh Wang et al.

(2011) yang mengemukakan bahwa sklerenkim memberikan kontribusi dalam

stabilitas kekuatan, sementara Lo et al. (2004) menyatakan bahwa kerapatan

serabut dalam jaringan sklerenkim adalah indikator yang baik dalam pendugaan

kekuatan bambu.

Simpulan dan Saran

Nilai bobot jenis (BJ) tidak dipengaruhi oleh jenis bambu, posisi vertikal

batang dan pola pada bambu. Sementara nilai MOR secara bersama-sama

dipengaruhi oleh faktor–faktor yang diujikan yaitu jenis bambu, posisi vertikal

batang dan pola ikatan.pembuluh. Jenis bambu dan pola ikatan pembuluh

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai MOR. Dendrocalamus

asper memberikan kontribusi yang terbesar terhadap nilai MOR (1004 kg/cm2)

sedangkan kontribusi yang terkecil diberikan oleh Dendrocalamus giganteus (505

kg/cm2). Demikian pula pola ikatan pembuluh 3 memberikan kontribusi yang

lebih tinggi terhadap nilai MOR (376 kg/cm2) dibandingkan pola ikatan pembuluh

4 (910 kg/cm2).

Nilai keteguhan lentur (MOE) tidak dipengaruhi oleh jenis bambu, posisi

vertikal, pola dan BJ pada bambu. Nilai keteguhan tekan dipengaruhi oleh jenis

bambu dan posisi vertikal dan hasil uji yang berbeda ditunjukan oleh keteguhan

tarik yang hanya dipengaruhi oleh jenis bambu saja. Dendrocalamus asper

cenderung memberikan kontribusi yang tertinggi terhadap nilai keteguhan tekan

sejajar serat (2884 kg/cm2) dibandingkan Dendrocalamus giganteus (2386

kg/cm2) dan Gigantochloa apus (2126 kg/cm

2). Hasil uji yang berbeda ditunjukan

oleh kekuatan keteguhan tarik yang hanya dipengaruhi oleh jenis bambu saja.

Dendrocalamus asper memberikan kontribusi yang tertinggi pada nilai keteguhan

tarik (2340 kg/cm2) sedangkan Dendrocalamus giganteus memberikan kontribusi

yang terendah (1190 kg/cm2).

Di antara berbagai jenis bambu yang diujikan, D. asper memiliki sifat

mekanis yang tertinggi yaitu dalam nilai MOR, keteguhan tekan sejajar serat, dan

keteguhan tarik. D. giganteus memiliki sifat mekanis yang terendah terutama

dalam nilai MOR dan keteguhan tarik. Sementara G. apus mempunyai nilai

keteguhan tekan yang terendah dibandingkan bambu yang lain.

Hasil pengujian pada berbagai variabel yang mempengaruhi nilai sifat

mekanis, pola ikatan pembuluh muncul sebagai salah satu variabel yang

berpengaruh terhadap nilai MOR. Hal ini berarti bahwa pola ikatan pembuluh

dapat dipertimbangkan sebagai variabel yang berperan dalam sifat mekanis.

Mengingat pemanfaatan bambu untuk konstruksi sangat dipengaruhi oleh

kualitas kekuatan mekanik, maka perlu dibuat suatu standar kekuatan untuk

bambu. Keberadaan pola ikatan pembuluh diharapkan dapat menjadi bagian

pengelompokan bambu berdasarkan kekuatannya seperti halnya standar kekuatan

kayu.

DAFTAR PUSTAKA

[ASTM] American Society for Testing and Materials. D 143-94 (Reapproved

2000). Standard test methods for small clear specimens of timber. Astm

Intl.

[BMTPC] Building Materials & Technology Promotion Council. 2007. The

Technological base of the building materials industry bamboo in housing &

building construction. Ministry of Housing and Urban Proverty Alleviation,

Government of India.

Draper N, Smith H. 1992. Analisis Regresi Terapan. Ed ke-2. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Erakhrumen AA, Ogunsawo OY. 2009. Water absorption, anti-swell efficiency,

and dimensional stability properties of neem seed-oil treated wild grown

Bambusa vulgaris Schrad.Ex J.C. Wendl. In Southwest Nigeria.

BioResources 4(4): 1417-1429.

Espiloy ZB, Tesoro FO. 1988. Bamboo Research in the Philippines. Di dalam:

Rao R, Gnanaharan R, Sastry CB. Bamboos Current Research Proceedings

of the International Bamboo Workshop; India.

Ghavami K, Rodrigues CS, Paciornik S. 2003a. Bamboo: functionally graded

composite material. J civ eng (building and housing) 4 (1): 1-10

Ghavami K, Allameh SM, Sanchez ML, Soboyejowo. 2003b. Multiscale study

of bamboo Phyllostachys edulis. Departement of civil engineering, Rio de

Janeiro.

Hamdan H, Anwar U M K, Zaidon A, Tamizi M M. 2009. Mechanical properties

and failure behavior of Gigantochloa scortechinii. J Tropic For Sci 21(4):

336-334.

Hisham N, Mohmod AL, Sulaiman O. 2003. Variation of moisture content and specific

gravity of Gigantochloa scortechinii Gamble along the internodes sixth Height.

World Forestry Congress XII. Canada.

ISO/TC165N314. 2001, Determination of physical and mechanical properties of

bamboo. INBAR.

Jansen JJA. 1981. The relationship between the mechanical properties and the

biological and chemical composition of bamboo. Pp. 27-32 in Higuchi, T.

(Ed.) Bamboo Production and Utilization. Proceedings of the Congress

Group 5.3A. Production and Utilization of Bamboo and Related Species.

XVII IUFRO World Congress. September 6 -17, 1981. Kyoto, Japan.

Janssen JJA. 1987. Bamboo research at the Eindhoven University of Technology.

Lybeer1 B, Koch G. 2005. Lignin distribution in the tropical bamboo spesies

Gigantochloa levisia IAWA J, Vol. 26 (4): 443–456

Liese W. 1985. Anatomy and properties of bamboo. Di dalam : Rao, A.N.,

Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo.

Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's

Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's

Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada,

hal: 196-208.

Liese W. 1998. The anatomy of bamboo culms. INBAR Technology Report No

18.

Liese W. 2003. Structures of bamboo culm affecting its utilization. Di dalam

Xuhe C, Yiping L, Ying H, editor. Proceedings of International Workshop

on Bamboo Industrial Utilization. Hubei dan Xianning, Oktober 2003. hlm

6–10.

Lo T, Cui H, Leung H. 2004. The effect of fiber density on strength capacity of

bamboo. Matterials Letters 58 (21): 2595-2598.

Morisco. 2011. Pemberdayaan bambu untuk kesejahteraan rakyat dan kelestarian

lingkungan. Http://www.moriscobamboo.com/artikel_02.html.[17 Desember

2011).

Mohmod, AL. Amin, A. Kasim, J. Jusuh MZ. 1992. Effects of anatomical

characteristics on the physical and mechanical properties of Bambusa

blumeana. J Tropil For Sci 6(2): 159-170 159

Nuriyatin N. 2000. Studi analisa sifat-sifat dasar bambu pada beberapa tujuan

penggunaan [tesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut

Pertanian Bogor.

Purwito. 2008. Standarisasi bambu sebagai bahan bangunan alternatif pengganti

kayu. Prosiding PPI Standardisasi 2008, 25 November 2008

Shao Z P, Zhou L, Liu Y M, Wu Z M, Arnaud C. 2010. Differences in

structure and strength between internode and node section of moso bamboo.

J Tropic For Sci 22 (2): 133-138.

Surjokusumo, HMS. 1997. Pemanfaatan bambu untuk bangunan. Dalam panel

diskusi bambu, 4 Desember 1997, Jakarta.

Wang X, Ren H, Zhang B, Fei B, Burgert I. 2011. Cell wall structure and

formation of maturing fibres of moso bamboo (Phyllostachys pubescens)

increase buckling resistance . J. R. Soc. Interface rsif20110462.

Wangaard FF. 1950. The Mechanical Properties of Wood. John Willey & Sons,

Inc. New York, Chapman & Hill Limited London.

IV. KORELASI POLA IKATAN PEMBULUH PADA

KANDUNGAN KIMIA 4 JENIS BAMBU

Abstrak

Informasi tentang sifat kimia bambu selama ini terbatas baik dari jenis

bambu maupun posisi pengambilan sampelnya, pengamatan variabel, dan

hubungan di antara variabel respons. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan

informasi lengkap dengan mempertimbangkan pola ikatan pembuluh dan

melihat pengaruhnya pada sifat kimia bambu. Selain itu, diharapkan juga dapat

mengeksplorasi keberadaan pola ikatan pembuluh serta kontribusinya pada sifat

kimia bambu. Bahan penelitian adalah 4 jenis bambu yaitu, Arundinaria hundsii,

Cephalostachyum pergracile, Dendrocalamus giganteus, dan Dendrocalamus

asper yang diambil dari Kebun Raya Bogor dan di sekitar Fakultas Kehutanan

Insitut Pertanian Bogor. Variabel yang diamati adalah kandungan ekstraktif,

abu, lignin, alfa selulosa, dan pati yang dianalisis dengan berbagai pengujian

standar. Data diolah dengan analisi deskripsi dan analisis keragaman.

Kandungan ekstraktif pada berbagai jenis dan pola ikatan pembuluh bambu

berkisar dari 4% hingga 9.9%. Berdasarkan pengujian, interaksi antara jenis

bambu dan pola ikatan pembuluh berpengaruh pada kadar ekstraktif. Interaksi

antara jenis dan pola ikatan pembuluh bambu juga berpengaruh pada nilai kadar

abu. Kandungan abu bambu berkisar dari 1.6% hingga 4.3%. Adanya interaksi

antara jenis dan pola bambu berpengaruh pada nilai kadar lignin. Nilai kadar

lignin pada bambu yang diteliti berkisar dari 28.9% sampai 32%. Pengaruh

interaksi juga muncul dalam penentuan analisis kadar pati yang nilainya berkisar

dari 0.1% sampai 1.4%. Tidak ada interaksi antara jenis dan pola ikatan

pembuluh bambu yang mempengaruhi nilai kadar alfa selulosa, demikian pula

setiap jenis dan pola ikatan pembuluh bambu tidak berpengaruh pada nilai

respons. Kesimpulannya ialah interaksi antara jenis dan pola ikatan pembuluh

bambu berpengaruh pada beberapa sifat kimia kayu.

Kata kunci: sifat kimia bambu, pola ikatan pembuluh bambu, jenis bambu

Abstract

Information about chemical properties of bamboo is limited both in species

of the bamboo, position of sampling, observation variables, and relationship

among variables with response. This study was done to obtain complete

information, by considering vessel bundle pattern of bamboo and evaluate its

effect on the chemical properties of bamboo. In addition, it is expected to

explore the existence of the vessel bundle pattern of bamboo as well as its

contribution to the chemical properties of the bamboo. The material research is 4

species of bamboo which are Arundinaria hundsiii, Cephalostachyum pergracile,

Dendrocalamus giganteus and D. asper taken from the Bogor Botanical Garden

and the area of Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. The observed

variables were content of extractives, ash, lignin, alpha cellulose, and starch

using various testing standards. The data was processed by description analysis

and varian analysis. The extractive content of the species various and the vessel

bundle patterns of bamboo range from 4% to 9.9%. The results showed that

interaction between the species and the vessel bundle patterns of bamboo

influences the extractive content. Ash content of the bamboo range from 1.6% to

4.3%. The interaction between the species and vessel bundle pattern of bamboo

effects the lignin level. Lignin in bamboo in this study ranges from 28.9% to

31.9%. The interaction effect also appears in the starch content, which ranges

from 0.1% to 1%. There was no interaction between the species and the vessel

bundle pattern of bamboo that affect the alpha cellulose content. This study

concludes that interaction between the species and the vessel bundle pattern of

bamboo affect some chemical properties of the bamboo.

Keyword: bamboo chemical properties, bamboo bonding pattern, bamboo species

Pendahuluan

Sifat-sifat kimia beragam berdasar spesies, kondisi pertumbuhan, umur,

bagian batang bambu dan faktor-faktor eksternal topografi dan efek musim ( Lwin

et al. 2007). Bambu terdiri atas sekitar 50-70% holoselulosa, 30% pentosan, dan

20-25% lignin. Kandungan silika 0.5-5% dan mempengaruhi pemotongan bambu

dan mutu pulping dan umumnya ada di daerah epidermis (Liese l992) sedangkan

menurut Qisheng et al. (2001) komponen organik bambu sama seperti kayu

terutama terdiri atas selulosa (±55%), lignin (±25%) dan hemiselulosa (pentosan

±20%) (Lwin et al. 2007). Menurut Liese (2006), bambu memiliki beberapa

ekstraktif yang disimpan dalam dinding sel, dalam sel lumina sebagai tambahan

korteks atau dalam lakuna. Bahan organik pada bambu antara lain adalah lilin dan

pati. Bahan anorganik seperti silika adalah penyusun utama epidermis dengan

nilai berkisar diantara 1.5% dan 6.4%.

Kebanyakan studi menyediakan informasi secara umum dari beberapa spesies

bambu dan terpusat pada satu spesies atau hanya satu asfek saja (Li 2004).

Selama ini informasi sifat kimia yang diperoleh berasal dari jenis-jenis bambu

tertentu dengan perolehan beragam dari berbagai posisi vertikal dan posisi

horizontal. Sebagai upaya pemanfaatan bambu secara optimum memang

diperlukan berbagai informasi yang akurat yang sifatnya lebih mendalam.

Penelitian ini bertujuan menggali sifat kimia bambu khususnya yang terkait

dengan pola ikatan pembuluh karena setiap jenis bambu tampil khas dalam

penampang melintang batang. Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat

diperoleh informasi yang lebih lengkap termasuk mengenai posisi pola ikatan

pembuluh dalam kontribusinya terhadap sifat kimia.

Bahan dan Metode

Bahan

Bahan penelitian adalah 4 jenis bambu yang telah berumur 3-4 tahun serta

memiliki pola ikatan pembuluh 1 sampai 4 yang ditentukan berdasarkan panduan

penetapan pola ikatan pembuluh bambu oleh Grosser dan Liese (1971) dengan

setiap ulangan 2 kali. Spesies bambu tersebut ialah Arundinaria hundsii (Ah),

Cephalostachyum pergracile (Cp) dan Dendrocalamus asper (Da), D. giganteus

(Dg) yang diambil dari Kebun Raya Bogor dan dari daerah Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor.

Penentuan Komponen Kimia Bambu

Variabel pengamatan dalam penelitian ini tercantum selengkapnya pada

Tabel 5. Sampel uji diambil pada penampang lintang batang khususnya pada ruas

tengah bagian pangkal, tengah dan ujung bambu.

Tabel 5. Standar pengujian untuk analisis sifat kimia bambu

Variabel pengamatan Standar pengujian

Kadar ekstraktif

Kadar abu

Kadar lignin

Kadar alfa selulosa

Kadar holoselulosa

Kadar pati

T 204 cm – 97 TAPPI 1997

T 211 om-02 TAPPI 2002

T 222 om-02 TAPPI 2002

ASTM D 1103 – 60 (Reapproved 1977)

Browning (1967)

SNI 01-2892-1992

Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan analisis deskripsi dan analisis

keragaman.

Hasil dan Pembahasan

Hasil rata-rata analisis sifat kimia bambu untuk berbagai jenis dan pola

bambu dapat diamati pada Tabel 6. Secara umum yang terlihat cukup mencolok

adalah nilai rata-rata kadar ekstraktif, kadar abu, kadar alfa, kadar holoselulosa,

dan kadar pati untuk berbagai jenis bambu dan pola sedangkan rata-rata nilai

kadar lignin relatif sama.

Tabel 6. Rata-rata nilai kandungan kimia pada berbagai jenis dan pola bambu

Jenis Pola Rata-rata (%)

Ekstraktif Abu Lignin Alfa

selulosa Pati

Ah 1 9.0 2.3 32.0 49.1 0.1

Dg 3 4.2 2.6 28.9 45.7 0.2

Cp 2 4.0 4.3 29.2 46.7 0.1

Da 4 7.0 1.6 29.2 44.4 1.0

Da 3 9.9 3.0 30.7 40.2 1.4

Kadar ekstraktif hasil penelitian pada berbagai jenis bambu dan pola

berkisar dari 4.o% (Cephalostachyum pergracile) hingga 9.9% (Dendrocalamus

asper). Hasil penelitian Li (1983) pada bambu Phyllostachys pubescens ternyata

nilai kandungan ekstraktifnya adalah sekitar 7%. Demikian pula dengan

kandungan abu hasil penelitian untuk berbagai jenis bambu berkisar dari 1.6%

hingga 4.3% sedangkan kandungan abu untuk bambu Phyllostachys pubescens

rata-rata 1.3% (Li 2007). Kandungan lignin hasil penelitian berkisar dari 28.9%

hingga 32.0%. Hasil penelitian memberikan hasil yang relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan lignin rata-rata bambu yaitu 20-25% (Liese 1992). Kisaran

kandungan alfa selulosa hasil penelitian ini adalah 40.2% hingga 49.1%

sedangkan kandungan alfa selulosa hasil penelitian Li et al (2007) adalah 47%.

Kadar pati yang diperoleh melalui hasil penelitian adalah berkisar dari 0.1%-0.4%

sedangkan kadar pati pada bambu D. asper berkisar dari 0.27%-2.8% (Sulthoni

1985). Secara umum hasil penelitian tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian

lain. Perbedaan diduga disebabkan karena perbedaan lokasi/tempat tumbuh,

spesies dan musim (Lwin et al. 2007).

Untuk mengetahui interaksi antara jenis dan pola yang berpengaruh pada

nilai kandungan kimia maka semua variabel pengamatan sifat kimia bambu harus

diamati khususnya dengan membandingkan jenis bambu yang berbeda tetapi

memiliki pola yang sama (D. giganteus) serta jenis bambu yang sama dengan pola

yang berbeda (D. asper) untuk melihat interaksi jenis dan pola yang

mempengaruhi kandungan kimia bambu. Tahap selanjutnya untuk memudahkan

dalam pemahaman olahan data maka penulisan jenis bambu dan pola dapat

digantikan oleh notasi Ah/1, Dg/3, dan seterusnya.

Kadar ekstraktif

Nilai rata-rata kandungan ekstraktif pada berbagai jenis dan pola bambu

nilainya berkisar dari 4.0% (C.pergracile) sampai 9.9% (D. asper) (Gambar 58).

Pengolahan lebih lanjut terhadap data diawali dengan memeriksa kemungkinan

adanya interaksi antara jenis dan pola dengan melihat nilai kandungan ekstraktif

antara Dg/3 dibandingkan dengan Da/3 dan antara kandungan ekstraktif pada

bambu Da/4 dan Da/3. Terlihat perbedaan yang mencolok sehingga diduga

terdapat interaksi antara variabel jenis dan pola yang untuk selanjutnya dianalisis

keragamannya guna menguji pengaruh interaksi terhadap kandungan ekstraktif

dan berdasarkan hasil uji ternyata interaksi berpengaruh sangat nyata sehingga

dilanjutkan dengan uji Duncan pada Tabel 7.

Pengolahan lebih lanjut terhadap data diawali dengan memeriksa

kemungkinan adanya interaksi antara jenis dan pola dengan melihat nilai

kandungan ekstraktif antara Dg/3 dibandingkan dengan Da/3 dan antara

kandungan ekstraktif pada bambu Da/4 dan Da/3. Terlihat perbedaan yang

mencolok sehingga diduga terdapat interaksi antara variabel jenis dan pola. Hasil

uji menyatakan interaksi berpengaruh sangat nyata sehingga dilanjutkan dengan

uji Duncan pada Tabel 7. Berdasarkan uji Duncan terlihat bahwa interaksi ini

mengelompokkan jenis/pola bambu ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok 1 dan

kelompok 2. Kelompok 1 terdiri atas Cp/2, Dg/3, dan Da/4 yang memberikan

pengaruh yang sama terhadap kadar ekstraktif. Kelompok 2 terdiri atas Da/4,

Ah/1 dan Da/3 juga memberikan pengaruh yang sama pada kadar ekstraktif.

Tabel 7. Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar ekstraktif pada jenis/pola bambu

Jenis/pola

α = 0.05

1 2

9

4.2 4

7.

9.9

0

6

12

Ah/1 Dg/3 Cp/2 Da/4 Da/3

Gambar 58. Kadar ekstraktif (%) pada 4 jenis/pola bambu

Jenis /pola

bambu

Ekst

rakti

f (%

)

Cp/2 4.0

Dg/3 4.2

Da/4 7.0 7.0

Ah/1 9.0

Da/3 9.9

Apabila ditelusuri lebih lanjut dari pengelompokan interaksi itu sendiri

terlihat bahwa pengaruh interaksi pada kelompok 2 (kecuali pada Da/4)

memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap nilai kadar ekstraktif

dibandingkan dengan kelompok 1. Kelompok 1 terdiri atas bambu-bambu dengan

pola 2 dan 3 sedangkan kelompok 2 terdiri atas bambu-bambu yang memiliki

pola 1 dan 3. Analisa lebih lanjut terhadap nilai kadar ekstraktif tidak akan

terlepas dari letak ekstraktif itu sendiri dalam batang bambu yang menurut Liese

(2006) bambu memiliki ekstraktif yang disimpan dalam dinding sel, dalam rongga

sel atau dalam lakuna (rongga batang bambu). Dengan demikian kandungan

ekstraktif suatu bambu tidak akan terlepas dari struktur selnya. Selanjutnya analis

akan diutamakan pada pola 3 yang terpisah pengelompokannnya. Kadar ekstraktif

yang berasal dari D. asper mempunyai nilai yang lebih besar dibandingkan

ekstraktif dari bambu D. giganteus. Pengamatan terhadap struktur sel khususnya

ketebalan dinding sel dikombinasikan dengan persen serabut selengkapnya dapat

dilihat pada Tabel 8. Tebal dinding sel serabut D. asper bagian tengah dan ujung

(6.3 µm) lebih kecil daripada tebal dinding sel serabut D. giganteus (7.2 µm),

namun persentase serabut yang lebih tinggi (34.4%) dimiliki oleh bambu D. asper

sementara D. giganteus mempunyai persentase serabut 28.8%. Dengan demikian

karena jumlah sel D. asper lebih banyak dengan dinding sel yang relatif tebal

maka bambu D. asper berpeluang mendapatkan kadar ekstraktif yang lebih

tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dengan nilai kadar ekstraktif D.

asper lebih besar yaitu 9.9% sedangkan kadar ekstratif D. giganteus hanya 4.2%.

Bambu C. pergracile yang memiliki pola 2 ternyata mempunyai tebal

dinding serabut sebesar 5.8 µm (Tabel 8) relatif lebih kecil dibandingkan

ketebalan dinding serabut A. hundsii (5.9 µm) tapi C. pergracile memiliki

persentase serabut lebih tinggi (40.3% dibandingkan 38.4%). Kondisi seperti ini

sulit menjelaskan adanya kontribusi yang berbeda terhadap kadar ekstraktif kedua

jenis bambu tersebut. Seperti yang telah dikemukakan oleh Liese (2006) bahwa

ekstraktif juga ada pada rongga sel. Pengamatan terhadap lebar rongga sel serabut

A. hundsii (6.9 µm ) yang lebih lebar dibandingkan diameter rongga sel serabut

pada C. pergracile (3.4 µm) maka kemungkinan akan ada perbedaan kandungan

ekstraktif. Hasil analisa lebih lanjut terhadap kandungan ekstraktif (Tabel 7)

memperlihatkan hasil bahwa kandungan ekstraktif pada bambu A. hundsii lebih

tinggi dibandingkan dengan kandungan ekstraktif C. pergracile.

Tabel 8. Ketebalan dinding sel dan persen serabut D. asper, D. giganteus,

C. pergracile dan A. hundsii

Jenis bambu Bagian Pola Tebal dinding

(mikron)

Persen serabut

(%)

Ekstraktif memainkan peranan penting dalam menentukan penggunaan

sejumlah spesies selain itu juga dapat mengontrol keawetan, warna, bau dan rasa.

Dalam beberapa spesies, ekstraktif yang bersifat fenolik menyediakan ketahanan

terhadap busuk dan serangan serangga (Liese 2006). Di antara bambu-bambu

yang diujikan terlihat bahwa bambu A. hundsii (pola 1) dan D. asper (pola 3)

memiliki kandungan ekstraktif yang relatif lebih besar sehingga diduga memiliki

keawetan yang lebih tinggi.

Kadar abu

Nilai kandungan abu rata-rata selengkapnya ditampilkan pada Gambar 59.

Perbandingan antara D/3 dengan Da/3 dan Da/4 dengan Da/3 kelihatan berbeda

secara mencolok sehingga kemungkinan ada interaksi antara jenis dan pola.

D.asper

D.giganteus

C.pergracile

A.hundsii

Tengah

Ujung

Pangkal

Tengah

Ujung

Pangkal

Tengah

Ujung

Tengah

3

3

3

3

3

2

2

2

1

5.4

7.1

Rata2 6.3

6.3

8.4

6.8

Rata2 7.2

6.0

5.8

5.5

Rata2 5.8

5.9

33.8

35.0

Rata2 34.4

25.9

27.6

33.3

Rata2 28.8

39.5

45.3

36.1

40.3

38.4

Tahap selanjutnya dilakukan uji beda dengan variabel jenis bambu/pola.

Berdasar hasil uji analisis keragaman ternyata interaksi bersifat nyata. Hasil uji

beda Duncan terlihat pada Tabel 9. Pengaruh interaksi dikelompokkan ke dalam

2 kelompok. Kelompok 1 adalah kelompok yang terdiri atas Da/4, Ah/1, Dg/3,

dan Da/3 yang interaksinya memberikan pengaruh yang sama pada nilai rata-rata

kadar abu sedangkan kelompok 2 terdiri atas Dg/3, Da/3, dan Cp/2 yang juga

interaksinya memberikan pengaruh yang sama pada nilai rata-rata kadar abu.

Interaksi yang diberikan oleh Da/4 dan Ah/1 berbeda pengaruhnya dibandingkan

dengan interaksi yang diberikan oleh Cp/2.

Tabel 9. Hasil uji beda Duncan terhadap kandungan abu

Jenis bambu/pola α=5%

1 2

Da/4

Ah/1

Dg/3

Da/3

Cp/2

1.6

2.3

2.6

3.0

2.6

3.0

4.3

Kandungan abu merupakan indikator kandungan mineral yang terutama

terdiri atas kalsium dan magnesium, karbonat, oksalat dan kadang-kadang kristal

silika (Bodig dan Jayne 1993). Tanaman memperoleh nutrisi anorganik dari

2.32.6

4.3

1.6

3

0

2.5

5

Ah/1 Dg/3 Cp/2 Da/4 Da/3 Jenis/pola

bambu

Gambar 59. Kadar abu (%) pada 4 jenis /pola bambu

Kad

ar a

bu (

%)

dalam tanah atau dari air hujan (Austin et al. 1974) sehingga nutrisi yang diambil

tergantung dari spesies, tanah, iklim dan faktor eksternal lain (Chen et al. 1987,

Kozlowskin & Pallardy 1997).

Pada tanaman bambu Phylostahys pubescens, akumulasi nutrisi mineral

bervariasi dari satu bagian ke bagian yang lain. Sebagai contoh nutrisi mineral

pada rizoma lebih tinggi dibandingkan di bagian batang namun lebih rendah

dibanding daun. Tapi untuk akumulasi K, Ca dan Mn lebih besar di bagian batang

dibandingkan rizoma (Pai-hui 1985). Sebagai pendukung transport air dan nutrisi

adalah ikatan pembuluh (Wang et al. 2011) khususnya metaxilem yang terdiri atas

2 pembuluh besar (Liese dan Kumar 2003). Unsur hara diserap oleh akar dalam

bentuk cairan bersama-sama dengan air dan aliran ini mengalir melalui unsur

metaxilem (Salisbury dan Ross 1992). Dengan demikian metaxilem adalah

bagian yang sangat penting dalam transportasi hara sehingga keberadaannya

termasuk ukuran diameter metaxilem akan mempengaruhi proses penyaluran

unsur hara. Metaxilem pada penampang lintang bambu terlihat secara jelas

berada dalam setiap pola ikatan pembuluh sehingga untuk mengetahui jumlah

metaxilem harus diketahui pula jumlah pola ikatan dalam luasan tertentu

(kerapatan ikatan pembuluh). Tabel 10 menjelaskan tentang kerapatan ikatan

pembuluh dan ukuran metaxilem. Arundinaria hundsii dengan pola 1 memiliki

kerapatan ikatan pembuluh tertinggi namun dengan diameter metaxilem yang

terkecil, bambu D. asper dengan kerapatan ikatan pembuluh terkecil mempunyai

diameter metaxilem terbesar sedangkan C. pergracil dengan pola 2 memiliki

kerapatan dan diameter metaxilem yang berada diantara kedua bambu D. asper

dan A. hundsii. Hasil uji lanjut Duncan menyatakan bahwa yang berpengaruh

pada kontribusi kadar abu yang lebih tinggi adalah hasil dari interaksi antara jenis

bambu C. pergracil dengan pola 2. Berpengaruhnya perbedaan ukuran metaxilem

ini terkait dengan akumulasi nutrisi yang berbeda terkait dengan laju siklus nutrisi

yang berbeda pula (Kozlowskin & Pallardy 1997). Bambu A.hundsii dengan pola

1 memiliki kerapatan ikatan pembuluh yang tertinggi dengan diameter metaxilem

yang paling kecil akan mengalami hambatan yang paling besar karena adanya

gaya tarik antarlarutan dengan dinding sel metaxilem/adhesi akan lebih besar

dibanding kohesinya juga ditambah oleh gaya tahanan dari gravitasi. Bambu

D.asper/4 memiliki kerapatan ikatan pembuluh yang rendah dengan diameter

yang besar juga akan mengalami hambatan dalam mengalirkan nutrisinya karena

selain oleh gaya adhesi dan kohesi yang besar juga tertahan oleh gaya gravitasi.

Dengan demikian kondisi optimum dalam proses penyerapan akan dimiliki oleh

bambu C.pergracil/2 dengan kerapatan dan diameter metaxilem berada di antara

bambu D.asper/4 dan A.hundsii/1 sehingga siklus nutrisi berjalan dengan lancar

dan otomatis akan memberikan kontribusi terhadap kandungan abu yang tinggi

pula.

Tabel 10. Kerapatan ikatan pembuluh dan diameter metaxilem bambu

Jenis bambu/pola Kerapatan ikatan pembuluh (/mm2) Diameter metaxilem(µm)

A. hundsii/1 3.2 80.2

D. asper/4 0.6 203.6

C. pergracil/2 2.8 118.4

Lignin

Nilai rata-rata kandungan lignin pada beberapa jenis bambu/pola tercantum

selengkapnya pada Gambar 60. Untuk melihat interaksi antara jenis dan pola

maka dibandingkan antara Dg/3 dengan Da/3 dan Da/4 dengan Da/3, terlihat

terdapat perbedaan yang mencolok sehingga ada dugaan terdapat interaksi.

Berdasar perbedaan tersebut maka dilakukan uji beda dengan variabel jenis

bambu/pola dan teruji bahwa interaksi antar jenis dan pola memberikan pengaruh

yang sama terhadap kadar lignin. Hal ini terjadi karena perbedaan kandungan

lignin antar jenis bambu/pola relatif kecil.

Lignin adalah komponen utama dinding sel serabut, parenkim dan

pembuluh dan bertanggung jawab pada berbagai sifat mekanis (Lybeer dan Koch

2005). Menurut Wang et al. (2011), dinding sekunder (S) serabut sklerenkim

mempunyai kandungan lignin tertinggi dibandingkan dengan sel parenkim dan

serabut yang berada pada rantai serabut. Hal ini lebih diperjelas lagi oleh Lybeeer

dan Koch (2005) terutama pada bagian S2 lapisan sekunder sel sklerenkim.

Sklerenkim mempunyai lapisan S2 yang terdiri atas lapisan berselingan antara

lapisan lebar dan sempit. Lapisan-lapisan yang sempit berwarna lebih gelap

dibandingkan dengan lapisan yang lebar, menandakan kandungan lignin yang

tinggi. Serabut-serabut yang berada pada rantai serabut mempunyai dinding sel

yang lebih tipis dan lumen yang besar. Lapisan-lapisan penyusun dindingnya

memiliki lapisan lebar yang lebih sedikit dengan jumlah lapisan sangat beragam.

Sementara sel parenkim memiliki dinding yang tipis yang disusun oleh beberapa

lapisan sempit. Serabut bambu mengandung lignin guaiacyl and syringyl (Lin et

al. 2002).

Terkait dengan hasil penelitian lignin pada beberapa jenis bambu dan pola

walaupun interaksinya memberikan pengaruh yang sama pada kandungan lignin,

tapi terlihat bahwa ada kecenderungan pada bambu Arundinaria hundsii dengan

pola 1 memiliki kandungan lignin yang relatif lebih tinggi dibandingkan bambu

dengan pola-pola lain. Penelitian anatomi mengenai kerapatan ikatan pembuluh

32

28.9 29.2 29.2

30.7

25

30

35

Ah/1 Dg/3 Cp/2 Da/4 Da/3Jenis/pola

bambu

Gambar 60. Kadar lignin (%) pada 4 jenis/pola bambu

Kad

ar lig

nin

(%)

pada pola 1 memperlihatkan nilai yang paling tinggi dibandingkan pola-pola lain.

Serabut pada pola 1 ada sebagai sklerenkim (tidak ada serabut yang berposisi

dalam rantai serabut) sehingga dapat dipastikan semua serabut berdinding tebal

dengan kandungan lignin yang tinggi. Dalam pengamatan di lapangan diduga

kontribusi lignin dan kerapatan memberikan pengaruh pada kondisi pertumbuhan

batang yang berdiri tegak. Sama halnya dengan kandungan serabut pada bambu

Cephalostachym pergracile (Cp) dengan pola 2 terdiri atas serabut sklerenkim

sehingga memiliki kandungan lignin yang relatif tinggi pula.

Kandungan lignin pada bambu Dendrocalamus asper (Da) memiliki nilai

yang berbeda antara pola 3 dengan pola 4. Kedua pola mempunyai serabut dalam

posisi sebagai rantai serabut, tapi kandungan serabut pada posisi sebagai rantai

serabut dalam pola 3 lebih sedikit dibandingkan dengan pola 4. Hasil

perhitungan nilai rata-rata kandungan serabut pada pola 3 adalah 34% sedangkan

pada pola 4 adalah 23%, hal ini berarti bahwa porsi sklerenkim lebih tinggi pada

bambu dengan pola 3 sehingga kandungan ligninnya pun relatif lebih tinggi.

Kandungan lignin pada bambu Dendrocalamus giganteus (Dg/3) lebih

rendah dibandingkan dengan kandungan lignin pada Dendrocalamus asper (Da/3).

Hasil perhitungan persentase serabut pada kedua bambu pun mendukung kondisi

tersebut. Bambu D. giganteus mempunyai nilai rata-rata 29% serabut, sementara

D. asper memiliki 34% serabut. Perbedaan kandungan serabut akan berkontribusi

pada kandungan lignin.

Kandungan pati

Hasil penelitian nilai rata-rata kandungan kadar pati dapat dilihat pada

Gambar 61. Terdapat interaksi antara pola dan jenis dengan perbandingan kadar

pati antara Dg/3 dengan Da/3 dan antara Da/4 dengan Da/3 yang cukup

mencolok. Di antara berbagai jenis/pola yang diujikan terlihat bahwa bambu D.

asper memiliki kandungan pati yang tertinggi sedangkan bambu A. hundsii/pola 1

dan C. pergracile/pola 2 memiliki kandungan pati yang terendah.

Hasil analisis keragaman terlihat bahwa variabel jenis bambu/pola

berpengaruh nyata dalam penentuan kadar pati. Hasil uji lanjut Duncan tercantum

selengkapnya pada Tabel 11. Jenis/pola bambu AH/1, Cp/2 dan Dg/3

memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai kadar pati dan pengaruhnya

berbeda dibandingkan dengan jenis/pola bambu Da/4 dan Da/3 sedangkan

jenis/pola bambu Da/4 dan Da/3 memberikan pengaruh yang sama terhadap kadar

pati.

Tabel 11. Hasil uji Duncan terhadap kadar pati bambu

Jenis/pola bambu

α = 0.05

1 2

AH/1 0.1

Cp/2 0.1

Dg/3 0.2

Da/4 1.0

Da/3 1.4

Liese (2006) mengemukakan bahwa butiran pati terdapat melimpah dalam

jaringan parenkim. Sel-sel parenkim adalah tempat penyimpanan utama dan

mobilisasi energi batang (Liese 2003). Dalam penelitian Bhat et al. (2005) lebih

diperjelas lagi bahwa jaringan parenkim yang kaya dengan kandungan pati ada di

bagian dalam batang bambu. Sel-sel parenkim sekitar buku dan diafragma

memperlihatkan kandungan pati yang melimpah. Hal ini juga telah dibuktikan

dalam bentuk pola kerusakan serangan serangga penggerek yang lebih intensif ke

0.1 0.2 0.1

1

1.4

0

0.8

1.6

Ah/1 Dg/3 Cp/2 Da/4 Da/3 Jenis/pola

bambuGambar 61. Kadar pati (%) 4 jenis /pola bambu

Kad

ar p

ati (

%)

bagian dalam dinding batang yang menandakan adanya kandungan pati yang lebih

banyak (Bhat et al. 2005, Liese 2006).

Analisis hasil penelitian ini terkait penelitian Liese (2006) dan Bhat et al.

(2005) memerlukan informasi tentang kondisi bagian dalam batang yang

dicerminkan dalam bentuk kerapatan ikatan pembuluh jenis-jenis bambu yang

diteliti (Tabel 12). Pola penyebaran kerapatan ikatan pembuluh penampang

lintang batang bambu secara umum adalah kerapatan pada bagian dalam paling

rendah dibandingkan bagian lainnya. Kerapatan ikatan pembuluh yang rendah

berarti mengandung parenkim/jaringan dasar yang tinggi sehingga memungkinkan

mengandung pati yang paling banyak.

Hasil pengujian (Tabel 11) menyatakan bahwa baik AH/1, Dg/3, maupun

Cp/2 memberikan pengaruh yang sama pada kadar pati . Demikian pula Da/4 dan

Da/3 memberikan kontribusi sama pada kadar pati. Bambu AH/1, Dg/3, maupun

Cp/2 memberikan pengaruh pada kandungan pati yang relatif lebih rendah

dibandingkan dengan jenis/pola bambu Da/4 dan Da/3. Apabila hal ini dikaitkan

dengan kondisi kerapatan ikatan pembuluh terutama pada bagian dalam terlihat

bahwa bambu AH/1, Dg/3, maupun Cp/2 memiliki persentase parenkim yang

lebih kecil (kerapatan ikatan pembuluh tinggi) dibandingkan dengan bambu Da/4

dan Da/3 yang berarti bambu AH/1, Dg/3, maupun Cp/2 memiliki kandungan pati

yang lebih sedikit dibandingkan dengan jenis/pola bambu Da/4 dan Da/3.

Pati yang terkandung dalam bambu memainkan peranan penting dalam

keawetan dan masa pakai bambu. Ketahanan bambu terhadap jamur dan serangga

penggerek terkait erat dengan komposisi kimia (Li 2004). Pati yang terdapat pada

bambu merupakan nutrisi untuk jamur dan serangga penggerek. Bambu dengan

nilai kadar pati yang tinggi memiliki peluang kurang resisten terhadap serangan

organisme (Hidalgo 2011, Liese 2003, Sulistyowati 1997). Dalam penelitian

ternyata bambu dengan kadar pati yang tinggi dimiliki oleh bambu D.asper. Hasil

penelitian Sulthoni (1985) memperlihatkan hasill diantaranya bahwa kandungan

pati pada bambu D. asper berfluktuasi diantara 0.3%-3.0%. Dengan demikian

bambu D. asper rentan terhadap serangan organisma penggerek dan posisi

ketahanan terhadap serangan serangga lebih tinggi dibandingkan Bambusa

vulgaris namun lebih rendah dibandingkan Gigantochloa apus dan G. atter.

sehingga perlu mempertimbangkan proses pengawetan apabila akan dipergunakan

di luar ruangan.

Tabel 12. Kerapatan ikatan pembuluh pada berbagai jenis/pola bambu

Pola Jenis bambu Bagian Kerapatan ikatan pembuluh (/mm2)

1 A. hundsii Tepi 3.7

Tengah/pusat 3.1

Dalam 2.7

2 C. pergracil pangkal Tepi 2.8

Tengah 1.4

Pusat 1.2

2 C. pergracil tengah Tepi 2.6

Tengah/pusat 2.3

Dalam 2.6

2 C. pergracil ujung Tepi 5.3

Tengah/pusat 2.1

Dalam 4.9

3 D. gigantus pangkal Tepi ……

Tengah/pusat 1

Dalam 1.1

3 D. giganteus tengah Tepi 1.6

Tengah/pusat 1

Dalam 1

3 D. giganteus ujung Tepi 3.7

Tengah/pusat 1.3

Dalam 1.8

4 D. asper pangkal Tepi ……

Tengah 0.6

Pusat 0.6

Dalam 0.8

3 D. asper tengah Tepi 2.1

Tengah 1

Pusat 0.5

Dalam 1

3 D. asper ujung Tepi ……

Tengah 0.9

Pusat 1.1

Kandungan alfa selulosa

Hasil perhitungan terhadap nilai rata-rata kandungan alfa selulosa

sejelasnya seperti yang ditampilkan pada Gambar 62. Interaksi antara pola dan

jenis dengan membandingkan kandungan alfa selulosa pada bambu Dg/3 dengan

bambu Da/3 dan antara bambu Da/4 dengan bambu Da/3 dan nampak tidak

terlihat adanya perbedaan mencolok pada respons sehingga dilanjutkan dengan

uji analisa keragaman untuk masing-masing variabel pola dan jenis. Hasil uji

yang dilakukan terhadap variabel jenis bambu menyatakan bahwa jenis bambu

tidak berpengaruh terhadap nilai alfa selulosa sedangkan hasil analisa keragaman

terhadap variabel pola ikatan pembuluh juga menyatakan bahwa pola tidak

berpengaruh terhadap nilai alfa selulosa. Sebagai struktur dasar sel tanaman,

selulosa merupakan bahan alam paling penting yang dibuat oleh organisma hidup

(Fengel dan Wegener l995) termasuk juga untuk tanaman bambu. Dengan

demikian baik jenis bambu maupun pola tidak berpengaruh terhadap nilai alfa

selulosa. Jika dilihat dari nilai alfa selulosa yang cukup bervariasi mulai dari

40.2% sampai 49.1% maka dipastikan bahwa ada variabel lain yang

mempengaruhi nilai respon selain pola dan jenis bambu.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian sifat kimia pada 4 jenis/pola bambu diperoleh

kesimpulan bahwa terdapat interaksi antara jenis bambu dan pola ikatan pembuluh

dalam hal kandungan ekstraktif, kadar abu, kadar lignin, dan kadar pati pada

bambu. Tetapi tidak ada interaksi antara jenis dan pola ikatan pembuluh

terhadap kadar alfa.

Kadar ekstraktif yang paling tinggi dimiliki oleh bambu Dendrocalamus

asper dengan pola 3 (9.9%) dan diikuti oleh Arundinaria hundsii dengan pola 1

49.145.7 46.7 44.4

40.2

0

30

60

Ah/1 Dg/3 Cp/2 Da/4 Da/3Jenis/pola

bambu

Gambar 62 Kadar alfa selulosa pada 4 jenis/pola bambu

Kad

aral

fa s

elulo

sa (%

)

(9%). Bambu Cephalostachyum pergracile dengan pola 2 memiliki kadar abu

tertinggi (4.3%), sementara bambu Arundinaria hundsii dengan pola 1 memiliki

kandungan lignin dan alfa selulosa tertinggi berturut-turut 32% dan 49.1%.

Bambu Dendrocalamus asper mempunyai kandungan pati tertinggi yang berkisar

dari 1%-1.4%.

Adanya peranan interaksi antara jenis dan pola bambu yang memberikan

kontribusi terhadap beberapa sifat kimia menandakan bahwa jenis dan pola bambu

penting untuk diperhatikan karena terkait dengan beberapa sifat kimia.

Pola ikatan pembuluh memiliki hubungan erat dengan sifat kimia bambu

dan akan berpengaruh terhadap pemanfaatan bambu. Dengan demikian hubungan

sifat kimia dengan pola ikatan pembuluh bambu perlu dikembangkan lebih

mendalam agar bermanfaat dalam membantu menentukan arah penggunaan

bambu.

DAFTAR PUSTAKA

Austin R, Euda K, Levy D. 1974. Bamboo: its Growth and Cultivation. New

York: Weatherhill.

Bhat KV, Varma RV, Paduvil R, Pandalai RC. Santhoshkumar R. 2005.

Distribution of starch in the culms of Bambusa bambos (L.)Voss and its

influence on borer damage. J Americ Bamb Socie 19(1): 1-4

Bodig J, Jayne BA. 1993. Mechanics of Wood and Wood Composites. Florida:

Krieger Publishing Company.

Chen Y, Qin W, LI X, Gong J, Nimanna. 1987. The chemical composition of ten

bamboo species. Di dalam: Rao AN et al, editor. Proceedings of the

International Workshop; Hangzhou. 6–14 October 1985. hlm 110–113.

Espiloy, Z.B. 1983. Variability of specific gravity, silica content and fiber

measurements in kauayan-tinik (B. blumeana). NSTA Technology Journal

8(2): 42-74.

Grosser D, Liese W. 1971. On the anatomy of Asian bamboos, with spesial

reference to their vaskular bundles. Wood Sci and Tech 5: 290-312.

Hidalgo H. 2011. When and how to harvest bamboo?.

http://www.guaduabamboo.com/starch-bamboo.htm[23 Oktober 2011]

Kozlowski TT, Pallardy SG. 1997. Physiology of Woody Plants. United States

of America: Academic Pr.

Li, 1983. Report. Institute of Wood Industry,Chinese Academy of Forestry,

Beijing

Li XB, Shupe TF, Peter GF, Hse CY, Eberhardt TL. 2007. Chemical changes

with maturation of the bamboos spesies Phyllostachys pubescens.

Li XB. 2004. Physical, chemical and mechanical properties of bamboo and its

utilization potential for fibreboard manufacturing [Thesis]. Chinese

Academy of Forestry.

Li XB, Peter GF, Hse CY, Eberhardt TL. 2007. Chemical changes with

maturation of the bamboo spesies Phyllostachys puberscens. J Trop Fort

Sci 19(1): 612 (2007).

Lybeer B, Koch G. 2005. Lignin distribution in the tropical bamboo spesies

Gigantochloa levis. J IAWA 26 (4): 443–456.

Liese W. 1992. The Structure of bamboo in relation to its properties and utilization .

Di dalam: Bamboo and its use. International Symposium On Industrial Use

Of Bamboo. Beijing, China, 7-11 Desember 1992. hlm 1 – 6.

Liese W. 2003. Structures of bamboo culm affecting its utilization. Di dalam

Xuhe C, Yiping L, Ying H, editor. Proceedings of International Workshop

on Bamboo Industrial Utilization. Hubei dan Xianning, Oktober 2003. hlm

6 – 10.

Liese W. 2006. The Anatomy of Bamboo Culms. Http://www.inbar.int/

/txt/tr18/default2.htm. [24 Desember 2006].

Liese W, Kumar S. 2003. Bamboo Preservation Compendium. INBAR Tech.

Rep. No. 22.

Lin J, He X, Hu Y, Kuang T, Ceulemans R. 2002. Lignification and lignin

heterogeneity for various age classes of bamboo (Phyllostachys pubescens)

stems. Physiologia plantarum 112: 296-302.

Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on

morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos.

http://www.myanmar.gov.mm/Ag/Jur/ProcFo01.10.[3 Nov. 2007]

Pai-hui H. 1985. A Study on the Mineral Nutrition of Phyllostachys pubescens.

Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent

Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop,

Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985.

Qisheng Z, Shenxue J, Yongyu T. 2001. Physical properties of bamboo

material. Industrial Utilization On Bamboo Technical Report No.26

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: ITB

Sulistyowati A. 1997. Pengawetan bambu. Wacana No 6.

Sulthoni A. 1985. Traditional preservation of bamboo in Java, Indonesia. Di

dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent

Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop,

Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985.

Wang X, Ren H, Zhang B, Fei B, Burgert I. 2011. Cell wall structure and

formation of maturing fibres of moso bamboo (Phyllostachys pubescens)

increase buckling resistance. J R Soc Interface.

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM

Pembahasan Umum

Pemanfaatan bambu berdasarkan pola

Lebih dari 1000 spesies bambu yang tersebar di dunia memiliki sifat fisik

dan mekanik yang berbeda (Liese 1997). Perbedaan di antara spesies tanaman

bambu tersebut terkait dengan perbedaan dalam sifat anatomi dan kimia (Lwin et

al 2007 ). Dengan demikian studi pada sifat anatomi, fisik dan mekanik harus

dibawa ke arah penjaminan mutu bambu. Karena itu diperlukan informasi yang

menyeluruh dari sifat-sifat yang dimiliki bambu tersebut (Liese 1997). Pola

ikatan pembuluh sebagai variabel sifat anatomi mempunyai karakter yang

mewakili sifat-sifat suatu jenis bambu.

Pola ikatan pembuluh (disingkat pola) berperan dalam sifat mekanik

sebagai faktor yang mempengaruhi kekuatan. Pola ikatan pembuluh juga

mempunyai peran penting karena bersama-sama dengan jenis bambu berpengaruh

pada beberapa sifat kimia bambu yang menjadi dasar dalam pemanfaatan bambu

secara luas.

Bambu pada pola ikatan pembuluh 1

Dalam penelitian sifat anatomi bambu khususnya dalam penentuan

kerapatan ikatan pembuluh ternyata salah satunya dipengaruhi oleh jenis bambu

dan pola. Pola 1 memiliki kerapatan ikatan pembuluh tertinggi dibandingkan

dengan pola-pola yang ada. Kerapatan ikatan pembuluh umumnya terkait dengan

nilai BJ. Hal ini berarti bahwa pola 1 berpeluang mempunyai nilai BJ yang

tinggi. Hasil pengukuran nilai BJ bambu Arundinaria hundsii adalah 0.8

sedangkan nilai BJ bambu Arundinaria javonica adalah 0.6. Bambu dengan nilai

BJ yang relatif tinggi dapat digunakan untuk pemanfaatan struktural dan

termasuk ke dalam kelas kuat II jika dilihat dari sisi BJ saja (Lampiran 12).

Diameter dan tebal batang bambu A. hundsii pada bagian pangkal berturut-turut

adalah 1.6 cm dan 0.6 cm, sedangkan diameter dan tebal batang bambu A.

javonica pada bagian pangkal berturut-turut adalah 2 cm dan 0.6 cm. Ditinjau dari

segi fisik, baik bambu A. hundsii maupun A. javonica memiliki kekurangan jika

digunakan sebagai bahan konstruksi secara langsung. Dengan demikian untuk

memanfaatkan kedua jenis bambu ini memerlukan dukungan teknologi khususnya

dengan memanfaatkan teknologi laminasi bambu (Puslitbang Pemukiman 2009)

sehingga dapat menghasilkan balok dengan kekuatan tinggi. Alternatif lain

pemanfaatan bambu dengan diameter kecil adalah dengan memproses lebih lanjut

sebagai bahan papan partikel bambu (Renjie et al. 2003). Penggunaan bambu

pola 1 secara langsung adalah sebagai asesori elemen bangunan (Surjokusumo

1997) ataupun sebagai tanaman hias. Penggunaan bambu pola 1 sebagai asesori

elemen bangunan didukung juga oleh potensi keawetannya karena termasuk

kelompok bambu dengan kandungan ekstraktif yang tinggi dibandingkan pola

lain. Kandungan pati yang rendah pada pola 1 akan memberikan ketahanan

terhadap serangan serangga penggerek. Ditinjau dari sisi panjang serat, walaupun

panjang serat yang dimiliki pola 1 paling rendah dibandingkan dengan pola-pola

lain namun masih termasuk ke dalam kelompok kelas I apabila digunakan sebagai

bahan baku serat/pulp dan kertas (acuan persyaratan kayu sebagai bahan baku

pulp dan kertas pada Lampiran 13 dan hasil penetapan berdasarkan acuan pada

Lampiran 14). Demikian pula potensi kandungan alfa selulosa yang relatif paling

tinggi (49.1%) dibandingkan pola lain mengindikasikan bahwa pola 1 mempunyai

kandungan serat yang paling tinggi. Namun kandungan ligninnya yang tinggi

sehingga meningkatkan kebutuhan bahan kimia pemasak tinggi pula.

Bambu pada pola ikatan pembuluh 2

Pola 2 yang dimiliki oleh bambu Cephalostachyum pergracile dan

Melocanna baccifera memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh yang berada

setingkat lebih rendah dibandingkan kerapatan ikatan pembuluh pola 1. Sama

halnya seperti pola 2, bambu dengan pola 1 pun berpotensi memiliki nilai BJ yang

tinggi. Bambu yang tergolong pola 2 yaitu bambu Melocanna baccifera dan

Cephalostachyum pergracile masing-masing memiliki nilai BJ 0.7 dan 0.6

(termasuk kelas kuat II apabila dilihat dari sisi BJ-nya). Hasil pengukuran

terhadap diameter batang M. baccifera bagian pangkal adalah 3.4 cm dan tebal

dinding batangnya adalah 0.7 cm. Diameter batang bambu C. pergracile adalah

4.7 cm sedangkan tebal dinding batangnya adalah 1.4 cm. Seperti halnya bambu

A. hundsii dan A. javonica, bambu M. baccifera dan bambu C. pergracile pun

tidak dapat dipergunakan secara langsung sebagai bahan konstruksi, tapi dapat

diaplikasikan dalam bentuk bambu lamina dan bambu lapis. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Nuriyatin (2000) yang mengumpulkan informasi tentang

jenis-jenis bambu serta kegunaannya, di antaranya menyatakan bahwa bambu C.

pergracile umumnya dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi, sedangkan bambu

M. baccifera umumnya digunakan sebagai bahan bangunan, anyaman, kerajinan,

dan bahan baku pulp dan kertas (Dransfield dan Widjaja 1995). Hal yang harus

diperhatikan untuk bambu berpola 2 adalah kandungan ekstraktifnya lebih rendah

dibandingkan pola lain. Kandungan abu yang tinggi juga dimiliki oleh bambu ini.

Diduga kadar silika yang tinggi ada pada bambu C. pergracile sehingga harus

diwaspadai pada saat proses pemotongan karena akan menumpulkan

pisau/gergaji. Namun bambu C. pergracile memiliki kadar pati yang rendah

yang berarti relatif lebih tahan terhadap serangan serangga penggerek.

Penggunaan bambu M. baccifera sebagai bahan kerajinan (Nuriyatin 2000)

menghasilkan produk ramah lingkungan dan sangat diminati masyarakat dunia

(Anonim 2011).

Bambu C.pergracile dan M.baccifera juga dapat digunakan sebagai bahan

baku serat termasuk bahan baku pulp dan kertas. Panjang serabut bambu pada

pola 2 termasuk ke dalam kelas I karena mempunyai panjang serat lebih dari 2000

mikron (Lampiran 14). Nilai alfa selulosanya pun mendukung karena mempunyai

nilai yang relatif tinggi (46.7%) sehingga berpotensi untuk dijadikan bahan baku

pulp. Kandungan lignin yang dimiliki pola 2 berada diantara pola-pola lain

sehingga bahan kimia yang dibutuhkan diduga berada di antara pola-pola

tersebut.

Bambu pada pola ikatan pembuluh 3

Nilai kerapatan ikatan pembuluh untuk pola 3 berada pada posisi paling

rendah dibandingkan pola-pola lain. Bambu-bambu yang memiliki pola 3 adalah

Dendrocalamus strictus, D. giganteus, D. asper bagian tengah dan ujung, serta

Gigantochloa apus bagian ujung. Ditinjau dari BJ, nilai BJ keseluruhan bambu

yang diteliti adalah 0.6 namun khusus bambu-bambu untuk keperluan konstruksi

struktural, nilai BJ-nya adalah 0.8. D. asper, dan Gigantochloa apus secara

tampilan fisik sesuai untuk penggunaan struktural. Berdasarkan hasil pengujian,

salah satu variabel yang dilibatkan dalam standar kekuatan kayu adalah MOR

yang dipengaruhi pola ikatan pembuluh. Posisi pola 3 dalam perannya sebagai

bahan dasar konstruksi termasuk ke dalam kelas kuat II (Lampiran 12).

Bambu D. giganteus juga dapat dimanfaatkan sebagai elemen non

struktural, bahan baku pulp dan kertas, kerajinan dan lain-lain. Bambu G. apus

bagian ujung juga dapat digunakan sebagai bahan angklung. Dalam penelitian

Nuriyatin (2000) dikemukakan bahwa diantara 5 jenis bambu yang diujikan

ternyata bambu G. atroviolacea memiliki kualitas suara terbaik. Diduga hal ini

terjadi selain karena nilai persentase serabut yang berdinding tebal cukup tinggi

(BJ-nya adalah 0.7) juga kondisi serabut tersebar secara merata pada penampang

lintang batang bambu. Bambu G. apus berada pada posisi ke-2 sebagai bahan

angklung setelah bambu G. atroviolacea.

Seperti halnya pola-pola lain, bambu-bambu yang tergolong ke dalam pola 3-

pun dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku serat/pulp dan kertas (Lampiran 14).

Hal ini didukung ukuran serabut yang panjang sehingga termasuk ke dalam

kualitas I jika digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Pola 3 yang berasal

dari bambu D. asper memiliki sifat kimia yang khas karena memiliki kandungan

ekstraktif serta kadar pati yang paling tinggi dibanding pola lain. Keadaan yang

berbeda dimiliki oleh bambu D. giganteus yang mempunyai kandungan ekstraktif

dan pati yang rendah.

Bambu pada pola ikatan pembuluh 4

Bambu-bambu yang memiliki pola 4 adalah adalah D. asper bagian pangkal

dan G. apus bagian pangkal dan tengah. Bambu-bambu tersebut memiliki

diameter batang yang besar serta dinding batang yang tebal sehingga sesuai jika

digunakan sebagai bahan baku struktural. Ditinjau dari sisi BJ-pun memiliki nilai

yang cukup tinggi pula yaitu 0.6. Dengan nilai BJ yang tinggi diharapkan dimensi

lebih stabil berdasarkan sifat mekanis serta mengacu kepada standar kayu sebagai

bahan baku konstruksi maka bambu-bambu yang memiliki pola 4 dapat

dikelompokan ke dalam kelas kuat III (Lampiran 14).

Hasil penelitian Nuriyatin (2000) menyatakan bahwa bambu D. asper

mempunyai kegunaan sebagai bahan konstruksi, kerajinan, mebel, dan lain-lain.

Sebagai bahan mebel, bambu D. asper memenuhi beberapa persyaratan termasuk

karena kekokohannya (Ridwanti 2000). Hal ini sesuai apabila dikaitkan dengan

persyaratan fisik mekanik kayu untuk mebel yang menuntut kekuatan dan

keawetan bahan baku minimum kelas III (SNI 1989). Bambu G. apus selain

dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi juga digunakan sebagai bahan baku pulp

dan kertas. Hasil penelitian Bachtiar (2008) pada bambu G. apus menyatakan

bahwa bambu ini dapat digunakan sebagai komponen konstruksi rangka batang

ruang.

Bambu-bambu yang tergolong ke dalam pola 4 juga memiliki peluang yang

baik sebagai bahah pulp dan kertas (Lampiran 14). Hal ini didukung dengan nilai

serabut yang terpanjang dibandingkan pola-pola lain sehingga nilai daya tenun

pun sangat baik (kelas I). Tapi di antara pola yang ada, kadar alfa selulosa pada

pola 4 paling rendah sehingga dapat berpengaruh pada kekuatan serat. Bambu

yang termasuk ke dalam pola 4 juga mempunyai kandungan ekstraktif yang tidak

terlalu tinggi, kadar abu paling rendah, dan kadar pati yang tinggi sehingga harus

diperhitungkan apabila persyaratan penggunannya memerlukan sifat keawetan

tinggi.

Pola dalam Pemanfaatan Bambu

Pengamatan terhadap keseluruhan hasil penelitian memberikan gambaran

pemanfaatan bambu dalam penggunaan tertentu dengan memanfaatkan pola yang

dimiliki oleh setiap jenis bambu. Dalam penggunaan bambu sebagai bahan

konstruksi, pola menunjukkan hubungan yang cukup erat terutama terhadap nilai

MOR . Penelitian ini merupakan langkah awal dalam memanfaatkan bambu

secara optimum. Langkah ke depan diharapkan adanya pengembangan standar

penggunaan bambu sebagai bahan dasar konstruksi dengan melibatkan pola ikatan

pembuluh.

Penggunaan bambu sebagai bahan berserat (pulp dan kertas) telah lama

dilakukan industri di berbagai negara. Penelitian terhadap bambu sebagai bahan

serat dilakukan banyak peneliti yang menunjukkan prospek bambu. Hasil

penelitian yang diperoleh dengan menguji melalui morfologi serat dan turunannya

adalah bahwa bambu dengan pola ikatan pembuluh 1 sampai 4 memberikan hasil

yang sama, yaitu setiap pola menghasilkan daya tenun kelas I sementara untuk

nilai lainnya termasuk kelas III. Pengamatan lebih mendalam terhadap karakter

pola ikatan pembuluh terkait dengan perannya sebagai bahan baku pulp dan kertas

terlihat bahwa bambu pada pola 1 mempunyai ciri tertentu yaitu memiliki

fleksibilitas yang paling tinggi dibandingkan dengan pola-pola lain sementara ciri

pada pola ikatan pembuluh 4 adalah mempunyai panjang serabut dan daya tenun

yang paling tinggi.

Hasil penelaahan terhadap penggunaan bambu sebagai bahan kerajinan

terlihat bahwa seluruh bambu yang tergabung dalam pola 4 dapat digunakan

sebagai bahan kerajinan, demikian pula sebagian bambu yang tergabung dalam

pola 2 (Cephalostachyum pergracile). Secara fisik, selama ini bambu-bambu

yang dipergunakan sebagai bahan kerajinan berukuran besar baik diameter

maupun ketebalan dinding batangnya.

Dalam aplikasi penggunaan, ciri-ciri yang dimiliki setiap pola akan

memberikan kontribusi ketahanan terhadap serangan penggerek, tingkat

kandungan serat dan kelancaran dalam proses pemesinan. Khusus bambu yang

tergolong pola 1 selain memiliki kandungan serat tertinggi, ketahanan terhadap

serangan penggerek juga tinggi. Sementara pada pola 2, diindikasikan bambu

memiliki ketahanan terhadap serangan penggerek tinggi, juga diduga

mengandung silika tinggi yang berpengaruh pada proses pemesinan. Bambu pada

pola 3 mempunyai kandungan serat sedang dengan ketahanan terhadap serangan

rayap beragam. Salah satu ciri yang dimiliki oleh bambu yang tergolong pola 4

adalah selain mempunyai kandungan serat paling rendah juga ketahanan terhadap

penggereknya pun paling rendah.

Gambaran umum yang dapat dibaca dari keberadaan pola ikatan pembuluh

bambu terkait dengan penggunaannya dapat dilihat pada Gambar 63.

Gambar 63. Pemanfaatan bambu berdasarkan pola

Simpulan umum

Pola ikatan pembuluh bambu (pola) adalah variabel sifat anatomi selain

dapat digunakan sebagai kunci identifikasi juga menunjukkan karakter yang

mewakili sifat-sifat suatu jenis bambu. Pola tersebut memiliki fungsi dan

keterkaitan dengan sifat-sifat dasar yang berguna dalam arah pemanfaatan bambu.

Pola ikatan pembuluh muncul pada berbagai jenis bambu baik dalam bentuk

pola tunggal atau bentuk pola kombinasi antara dua pola. Pola pada bagian

pangkal batang terdiri dari pola tunggal sedangkan pola kombinasi terbentuk pada

bagian tengah dan ujung batang bambu. Perbedaan pola berkaitan dengan

kerapatan ikatan pembuluh, panjang serabut dan persentase kandungan serabut.

Pengujian sifat fisik dan mekanik bambu menunjukkan bahwa pola

berpengaruh pada nilai MOR kecuali pada BJ, MOE, keteguhan tekan sejajar

Pola 1

•Konstruksi

•Laminasi

•Papan partikel

•Serat/pulp dan kertas

Pola 2

•Konstruksi

•Kerajinan

•Laminasi

•Papan partikel

•Serat/pulp dan kertas

Pola 3

•Konstruksi

•Meubel

•Kerajianan

•Alat musik

•Laminasi

•Papan partikel

•Serat/pulp dan kertas

Pola 4

•Konstruksi

•Meubel

•Kerajinan

•Laminasi

•Papan partikel

•Serat/pulp dan kertas

serat, dan keteguhan tarik sejajar serat. Meskipun demikian pola tersebut cukup

kuat dalam menduga kekuatan bambu sehingga dapat dipakai dalam arah

pemanfaatan untuk bahan konstruksi, bahan bangunan, mebel dan sebagainya.

Demikian pula pola dapat mengarahkan pemanfaatan untuk keperluan non

struktural seperti kerajinan, asesori bahan bangunan, anyaman dan lain-lain.

Pengujian terhadap sifat kimia terbukti adanya hubungan erat antara jenis

bambu dan pola dengan kadar ekstraktif, kadar abu, kadar pati, dan lignin kecuali

dengan selulosa. Hal ini dapat menjadi dasar hubungan erat antara jenis dan pola

dengan sifat kimia yang menjadi dasar pemanfaatan bambu seperti untuk bahan

baku pulp dan kertas, dan papan serat.

Berdasarkan kajian hubungan antara pola dengan sifat-sifat dasar dan

kaitannya dengan parameter pemanfaatan bambu, dapat disimpulkan bahwa pola

tersebut dapat dipakai sebagai penduga kemungkinan pemanfaatan bambu dalam

praktek. Selain itu penerapan di lapangan lebih mudah dan praktis. Untuk itu

perlu dilengkapi dengan pembuatan matriks pemanfaatan dan parameter yang

dipersyaratkan untuk tujuan pemakaian tertentu dengan memasukan

penggolongan jenis bambu berdasar pola ikatan pembuluh.

Mengingat banyaknya jenis bambu, maka perlu dilakukan inventarisasi

bambu-bambu yang tumbuh di Indonesia sekaligus menetapkan pola ikatan

pembuluhnya. Selanjutnya untuk mempertegas peranan ikatan pembuluh dalam

pendugaan penggunaannya, sebaiknya penelitian dikembangkan pula untuk

bambu-bambu lainnya. Tahap selahjutnya diharapkan aplikasi pemanfaatan pola

dapat dijadikan acuan dalam penentuan pemanfaatan bambu dengan dilibatkan

secara langsung dalam klasifikasi kelas penggunaan bambu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Usaha Kerajinan Bambu Indonesia Diminati Pasar Dunia. Http://

bisnisukm.com/usaha-kerajinan-bambu-indonesia-diminati-pasar-

dunia.html.[17 Desember 2011]

Bactiar G. 2008. Pemanfaatan buluh bambu tali sebagai komponen pada

konstruksi rangka batang ruang [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

Dransfield S, Widjaja EA, editor. 1995. Bamboos. No 7. Indonesia: Prosea

Foundation Bogor.

Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on

morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos. Nuriyatin N. 2000. Studi analisa sifat-sifat dasar bambu pada beberapa tujuan

penggunaan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Puslitbang Pemukiman. 2009, Pengembangan Bambu Komposit sebagai Bahan

Bangunan Alternatif Pengganti Kayu

Renjie, Z, Zhe C, Jianhui Z. 2003. Technological innovative course and prospect

of bamboo-based panel of China. Proceedings of International Workshop

on Bamboo Industrial Utilization.

Ridwanti. 2002. Pemanfaatan bambu di Indonesia. Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatra Utara.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1989. Persyaratan kayu sebagai bahan mebel.

Surjokusumo, HMS. 1997. Pemanfaatan bambu untuk bangunan. Dalam panel

diskusi bambu, 4 Desember 1997. Jakarta.