pokok-pokok pikiran usulan koalisi masyarakat sipil dalam revisi uu migas 22/2001

6
POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS Pokok Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001 POSITION NOTE JUNI, 2015 Position Notes Konteks Penyusunan kembali kebijakan sektor Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, melalui undang-undang adalah mutlak diperlukan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) dinilai kurang memberikan daya dorong bagi perkembangan sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Indonesia serta kurang menjawab aspek ketahanan energi kita. Hal ini ditandai dengan sejumlah persoalan-persoalan antara lain jumlah produksi yang terus menyusut, krisis energi, tata kelola yang kurang transparan dan akuntabel, serta persoalan hukum kelembagaan pengelola sektor migas. Terkait produksi, sebagai contoh pada tahun 2005, total produksi minyak Indonesia tidak mampu mengimbangi kebutuhan domestik Indonesia. Pada saat itu konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,3 Juta barel/hari dengan produksi nasional Indonesia sebesar 1.1 Juta barel/hari. Tren ini berlanjut hingga 2014 dengan posisi konsumsi domestik Indonesia sebanyak 1,6 Juta Barel/hari, sedangkan produksi menyusut menjadi 800 ribu barel/hari. Pada isu tata kelola, penerapan UU 22/2001 memiliki beberapa persoalan pada sektor hulu, mid-stream dan hilir, terutama menyangkut aspek transparansi dan akuntabilititas. Pada sektor hulu terkait cost recovery, audit BPK menunjukan adanya potensi kerugian negara dari dispute yang terjadi, sebagaimana temuan audit BPK tahun 2013 terkait biaya penyimpangan pembayaran cost recovery sebesar USD 221,5 juta atau Rp. 2,25 triliun pada periode 2010-2012. Pada sektor mid-stream, penjualan dan pembelian minyak mentah ditengarai sarat dengan praktek mafia pemburu ‘rente’, yang salah satunya diindikasikan dengan temuan kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penjualan minyak mentah dan kondensat bagian negara (government entitlement). Pada sektor hilir, misalnya diindikasikan oleh dugaan praktek ketertutupan dan ketidakefisienan dalam proses pengadaan minyak mentah untuk kebutuhan BBM dalam negeri oleh Petral yang dinyatakan oleh Menteri ESDM baru-baru ini. Terkait investasi sektor hulu, ketentuan yang berlaku dalam UU 22/2001 berupa penyertaan modal (participating interest) sebesar 10% yang menjadi hak daerah pun tidak sepi dari isu pemburu rente, yang alih-alih menguntungkan daerah, melainkan bagi hasil keuntungan penyertaan (dividen) yang lebih lebih besar dinikmati oleh pihak ketiga (pemodal). Sedangkan pada subtansi hukum, UU 22/2001 setidak-tidaknya telah tiga kali dimintakan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK), yang kemudian diputuskan melalui Putusan MK No. 002/PUU-I/ 2003, Putusan MK No. 20/PUU-V/2007, dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012. Dari ketiga putusan tersebut, Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 memiliki dampak signifikan kepada sektor Migas di Indonesia dengan membubarkan BP Migas sebagai lembaga pelaksana kegiatan hulu Migas di Indonesia

Upload: publish-what-you-pay-pwyp-indonesia

Post on 08-Jan-2017

283 views

Category:

Government & Nonprofit


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001

POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS

Pokok Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001

POSITION NOTE JUNI, 2015

Posi t ion Notes

Konteks Penyusunan kembali kebijakan sektor Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, melalui undang-undang adalah mutlak diperlukan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) dinilai kurang memberikan daya dorong bagi perkembangan sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Indonesia serta kurang menjawab aspek ketahanan energi kita. Hal ini ditandai dengan sejumlah persoalan-persoalan antara lain jumlah produksi yang terus menyusut, krisis energi, tata kelola yang kurang transparan dan akuntabel, serta persoalan hukum kelembagaan pengelola sektor migas. Terkait produksi, sebagai contoh pada tahun 2005, total produksi minyak Indonesia tidak mampu mengimbangi kebutuhan domestik Indonesia. Pada saat itu konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,3 Juta barel/hari dengan produksi nasional Indonesia sebesar 1.1 Juta barel/hari. Tren ini berlanjut hingga 2014 dengan posisi konsumsi domestik Indonesia sebanyak 1,6 Juta Barel/hari, sedangkan produksi menyusut menjadi 800 ribu barel/hari. Pada isu tata kelola, penerapan UU 22/2001 memiliki beberapa persoalan pada sektor hulu, mid-stream dan hilir, terutama menyangkut aspek transparansi dan akuntabilititas. Pada sektor hulu terkait cost recovery, audit BPK menunjukan adanya potensi kerugian negara dari dispute yang terjadi, sebagaimana temuan audit BPK tahun 2013 terkait biaya penyimpangan pembayaran cost recovery sebesar USD 221,5 juta atau Rp. 2,25 triliun pada periode 2010-2012. Pada sektor mid-stream, penjualan dan pembelian minyak mentah ditengarai sarat dengan praktek mafia pemburu ‘rente’, yang salah satunya diindikasikan dengan temuan kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penjualan minyak mentah dan kondensat bagian negara (government entitlement). Pada sektor hilir, misalnya diindikasikan oleh dugaan praktek ketertutupan dan ketidakefisienan dalam proses pengadaan minyak mentah untuk kebutuhan BBM dalam negeri oleh Petral yang dinyatakan oleh Menteri ESDM baru-baru ini. Terkait investasi sektor hulu, ketentuan yang berlaku dalam UU 22/2001 berupa penyertaan modal (participating interest) sebesar 10% yang menjadi hak daerah pun tidak sepi dari isu pemburu rente, yang alih-alih menguntungkan daerah, melainkan bagi hasil keuntungan penyertaan (dividen) yang lebih lebih besar dinikmati oleh pihak ketiga (pemodal). Sedangkan pada subtansi hukum, UU 22/2001 setidak-tidaknya telah tiga kali dimintakan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK), yang kemudian diputuskan melalui Putusan MK No. 002/PUU-I/2003, Putusan MK No. 20/PUU-V/2007, dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012. Dari ketiga putusan tersebut, Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 memiliki dampak signifikan kepada sektor Migas di Indonesia dengan membubarkan BP Migas sebagai lembaga pelaksana kegiatan hulu Migas di Indonesia

Page 2: Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001

POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS

Berdasarkan uraian permasalah tersebut, maka diperlukan sebuah rumusan undang-undang baru di sektor Migas yang dapat menjawab persoalan-persoalan di atas.

Usulan Materi Revisi UU MigasRancangan Undang-Undang Migas usulan koalisi

masyarakat sipil ini mengusulkan pengaturan-pengaturan untuk menjawab permasalahan UU 22/2001 sebagaimana diuraikan di atas. Secara umum usulan RUU ini menggarisbawahi aspek perencanaan dan pencadangan migas untuk ketahanan energi; sinergi kegiatan migas dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas;; pemanfaatan migas untuk pengembangan energi bersih-terbarukan dan stabilisasi ekonomi; serta kepentingan daerah dan pembangunan yang mensejahterakan masyarakat

.1. Perencanaan dan Pencadangan Migas   Perencanaan memiliki peran penting dalam pengelolaan

migas di Indonesia, yaitu: Pertama, adanya pendekatan secara komprehensif yang terintegrasi antara sektor hulu dan hilir. Kedua, melakukan sinkronisasi berbagai rencana kebijakan pemerintah terkait dengan pencadangan dan pemenuhan kebutuhan energi nasional sebagai strategi ketahanan energi. Ketiga, menyelaraskan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan migas dengan kebijakan di sektor lingkungan hidup, tata ruang, pertanahan, dan aspek pembangunan berkelanjutan lainnya. Penegasan aspek perencanaan dalam RUU migas ini merupakan inisiatif untuk melakukan koreksi terhadap UU 22/2001 yang kental dengan nuansa eksplorasi dan eksploitasi (pelaksanaan kegiatan usaha/pemanfaatan migas), tanpa adanya perencanaan yang komperehensif sebagai bagian dari strategi ketahanan energi. RUU Migas ini mengatur pengelolaan migas dengan pendekatan komprehensif sejak dari perencanaan, eksplorasi-eksploitasi, produksi dan penerimaan negara, hingga manajemen hasil dan ketahanan energi hingga aspek penegakan hukum. Oleh karena itu pada tataran implementasi, pemerintah seharusnya telah mempersiapkan instrumen perencanaan terlebih dahulu sebelum memanfaatkan migas untuk strategi pembangunan.

Perencanaan migas disusun berdasarkan pertimbangan: • hasil inventarisasi potensi dan cadangan minyak dan gas

bumi; dengan mempertimbangkan laju eksploitasi dan pertimbangan tingkat pengembalian cadangan (reserve replacement ratio) yang ideal.

• kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional sebagaimana diatur dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah.

• Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup;

• Rencana pembangunan nasional baik jangka menengah maupun panjang; agar selaras dengan strategi

pembangunan lainnya   serta terdapat indikator dan proses minitoring dan evaluasi yang sistemik.

• Rencana Tata Ruang dan Wilayah; termasuk pemanfaatan lahan, pemanfaatan hutan dan kawasan lainnya.

• Sebaran penduduk, kondisi geografis dan  kearifan lokal.• Strategi pengembangan ekonomi yang distributif, dan

berkeadilan sosial

Perencanaan ini setidaknya memuat:

• Pemenuhan kebutuhan energi nasional dari sektor minyak dan gas bumi;

• Inventarisasi dan keseimbangan neraca potensi, pencadangan dan pemanfaatan minyak bumi

• Pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup yang terkena dampak dari kegiatan usaha minyak dan gas bumi;

• Pengendalian dan pengawasan industri hulu minyak dan gas bumi; serta pengawasan pemanfaatan dan distribusi di sektor hilir

• Strategi pengurangan tingkat ketergantungan pada energi fosil, melalui substitusi secara bertahap pemenuhan energi dari sumber minyak dan gas bumi ke sumber energi yang terbarukan.

Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Domestik (Domestic Market Obligation)

Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 membatalkan Pasal 22 ayat (1) UU 22/2001. MK berpendapat bahwa frasa “paling banyak” dalam Pasal tersebut berarti hanya ada pagu atas (patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan batasan pagu terendah, hal ini berpotensi digunakan oleh pelaku usaha untuk menyerahkan DMO bagiannya dengan persentase serendah-rendahnya. Hal ini bertentangan dengan prinsip Pasal 33 UUD RI Tahun 1945.

Putusan MK tersebut menyatakan bahwa pasal tentang DMO dalam UU Migas 22/2001 telah tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian kami memandang bahwa pengaturan DMO harus disesuaikan dengan perencanaan dan dan prioritas pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Dimana, besaran DMO ditetapkan strateginya oleh Pemerintah yang selaras dengan proses perencanaan pembangunan dengan pertimbangan DPR. Hal tersebut juga dimaksudkan agar Pemerintah tidak memiliki batasan dalam mengatur ketentuan DMO, sebagai pengejawantahan fungsi penguasaan dan pengaturan sebagaimana mandat pasal 33 UUD 1945.

POSITION NOTE JUNI, 2015

Page 3: Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001

POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS

2. Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas   Dalam penyelenggaraan kegiatan usaha migas, koalisi

ini memberikan penekanan pada aspek model dan mekanisme pelaksanaan kontrak migas, aspek kelembagaan di sektor hulu maupun hilir, aspek penerimaan negara dan perpajakan, cost recovery, serta aspek perlindungan atas dampak lingkungan dari kegiatan migas. Model Pelaksanaan Kontrak Migas

Koalisi ini memandang bahwa model Kontrak Kerja Sama (baik Production Sharing Contract (PSC) maupun Technical Assistant Contract (TAC) secara umum saat ini masih dapat untuk dipertahankan, namun jika terdapat kebutuhan dimungkinkan untuk adanya variasi misalnya pada fiscal term atau ketentuan perpajakan (taxation) lainnya. Pada proses tender penawaran Wilayah Kerja (WK) baru ataupun proses perpanjangan, perlu dibuat mekanisme yang lebih baku, dengan kriteria yang jelas dan proses due diligent yang lebih transparan dan akuntabel untuk menghindari ruang bagi diskresi para negosiator yang sangat rentan terhadap korupsi. Pada Blok Migas perpanjangan, hak pertama penawaran pertama diutamakan untuk BUMN, dan perlu diatur mekanisme transisi yang menguntungkan bagi semua pihak agar tidak menimbulkan krisis produksi dan kinerja pengelolaan migas.

Setting Kelembagaan Sektor Hulu dan Hilir Pada dasarnya, hak kepemilikan Migas ada pada

negara (mining property right) yang hak pengelolaannya menjadi tanggung jawab Pemerintah (economic right). Pemerintah kemudian membentuk kelembagaan di sektor migas, yang diberi mandat untuk menjalankan fungsi pemanfaatan, pengaturan, pengusahaan, pengelolaan, dan pengawasan di

sektor migas. Lembaga tersebut berupa Badan Usaha Khusus yang berbentuk BUMN untuk menjalankan 5 (lima) fungsi strategis di atas, yang diawasi oleh lembaga pengawas yang juga melibatkan unsur independen.

Putusan MK No.36/PUU-X/2012 menyatakan bahwa:“Dalam menjalankan penguasaan Negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu, kemudian Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan KKS dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap.”

Berdasarkan Putusan MK tersebut, Negara melakukan keseluruhan pengelolaan migas. Dalam hal ini, Negara menguasai sumber daya migas sebagai kekayaan nasional. Penguasaan Negara tersebut kemudian diselenggarakan oleh Pemerintah. Penyelenggaraan oleh Pemerintah meliputi: penyelenggaraan fungsi pengaturan dan pengurusan oleh Menteri ESDM, penyelenggaraan fungsi pengelolaan oleh BUMN, dan penyelenggaraan fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas.

Fungsi Pengaturan dan pengurusan dilakukan dengan penyusunan regulasi dan peraturan perundang-undangan serta pemberian izin kuasa pertambangan. Fungsi Pengelolaan dilakukan oleh BUMN sebagai penerima kuasa pertambangan. Fungsi Pengawasan dilakukan terhadap kegiatan hulu dan kegiatan hilir migas.

“Dalam menjalankan penguasaan Negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu, kemudian Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan KKS dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap.”

Putusan MK No.36/PUU-X/2012

POSITION NOTEPOSITION NOTE JUNI, 2015

Page 4: Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001

POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS

BUMN PengelolaDalam melaksanakan fungsi pengelolaan migas,

pemerintah melimpahkan Kuasa Pertambangan kepada BUMN Pengelola untuk melakukan fungsi pengelolaan hulu migas. Dalam hal BUMN Pengelola tidak dapat melakukan pengelolaan sendiri, maka dapat melakukan kerja sama dengan badan usaha lain melalui mekanisme Kontrak Kerja Sama. BUMN Pengelola memiliki tugas menjamin kebutuhan nasional atas Migas baik untuk konsumsi maupun mendukung kegiatan ekonomi nasional dan mencari cadangan strategis Migas untuk ketahanan energi baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam melaksanakan tugas tersebut BUMN Pengelola memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Wilayah Kerja secara intensif serta memproduksi Migas secara optimal dengan Kaidah Keteknikan yang baik dan melakukan manajemen operasi secara transparan dan akuntabel.

Badan PengawasPutusan MK No.36/PUU-X/2012 dalam

pertimbangannya, menyatakan bahwa pengawasan menjadi salah satu makna “penguasaan Negara” dalam Pasal 33 UUD 1945. Selain mengadakan kebijakan, pengurusan, pengaturan, dan pengelolaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perubahan struktur kelembagaan tidak serta merta memberikan jaminan adanya kinerja yang efektif. Pengalaman di Negara lain menunjukkan bahwa dibutuhkan mekanisme untuk menjamin akuntabilitas terhadap publik maupun antar lembaga pemerintah jika lembaga-lembaga tersebut ingin dapat memaksimalkan efektivitasnya, serta mengurangi resiko terjadinya skandal atau konflik kepentingan. Dengan demikian pengawasan menjadi salah satu agenda utama yang harus diatur dalam UU Migas yang baru. Dalam hal melakukan pengawasan, Pemerintah yang dalam hal ini adalah Presiden mengangkat Badan Pengawas untuk melakukan pengawasan atas kegiatan usaha hulu dan hilir migas, yang dilakukan oleh BUMN Pengelola serta Badan Usaha. Badan Pengawas beranggotakan 5 (lima) orang yang mewakili unsur pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan dunia usaha.

Penerimaan Negara dan Perpajakan (Revenue dan Taxation)

Mekanisme perpajakan dan penerimaan negara dari sektor migas hendaknya didorong untuk mengatasi persoalan pengembangan sektor migas, pemenuhan kebutuhan energi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menopang ketahanan energi yang berkelanjutan. Mekanisme perpajakan dan penerimaan negara didorong menjadi lebih adil, transparan dan akuntabel, dengan memperhatikan pemanfaatan penerimaan negara bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini juga diperlukan kepastian hukum dari mekanisme perpajakan di sektor migas. Pembelanjaan Penerimaan negara sektor migas didorong pelaksanaannnya

secara efektif, tepat sasaran, berkelanjutan dan memperhatikan kepentingan inter-generasi.

Koalisi ini mendorong penguatan inisiatif transparansi penerimaan melalui mekanisme EITI (Extractive Industries Transparency Initiative). EITI merupakan mekanisme pelaporan penerimaan negara (pajak dan non-pajak) yang dibayarkan oleh perusahaan ekstraktif dan yang diterima oleh pemerintah. Indonesia telah menjadi anggota EITI sejak tahun 2010 yang mekanisme pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Presiden No.26/2010. Melalui EITI, diharapkan dapat terjadi: crosscheck and balance antara pemerintah-pengusaha-dan masyarakat, terutama terkait informasi produksi/lifting, penerimaan negara dan dana bagi hasil migas. Melalui EITI, persoalan asimetri informasi yang menimbulkan ketidakpercayaan publik diharapkan dapat terkurangi secara bertahap.

Cost Recovery Dengan model kelembagaan hulu migas yang baru (sesuai usulan koalisi ini), cost recovery dilakukan oleh BUMN Pengelola. RUU ini menekankan pada aspek transparansi cost recovery. Ketertutupan dalam penentuan dan perincian cost recovery selama ini ditengarai memberi peluang terjadinya praktek-praktek kolusi dan korupsi sebagaimana terafirmasi dalam temuan pemeriksaan BPK pada tahun 2013 dimana ditemukan biaya penyimpangan pembayaran cost recovery sebesar USD 221,5 juta atau Rp. 2,25 triliun pada periode 2010-2012.2 Penerapan transparansi merupakan kunci untuk meningkatkan akuntabilitas perhitungan cost recovery yang

dibayarkan  kepada kontraktor KKS.

Selain itu, mengenai biaya-biaya operasi apa saja yang bisa di-recover, RUU ini mengusulkan agar biaya pengelolaan lingkungan hidup tidak dimasukkan dalam cost recovery agar perusahaan migas terdorong untuk benar-benar mengelola lingkungannya dengan baik. Apabila terjadi pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, perusahaan lah yang akan bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan dan biaya pemulihan lingkungan sesuai dengan asas polluters pays principle yang diatur di UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan instrumen hukum internasional.

Perlindungan Lingkungan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) tidak banyak mengatur aspek lingkungan dalam kegiatan migas. Padahal, kegiatan usaha migas merupakan salah satu kegiatan yang memiliki dampak terhadap lingkungan. Selain dampak perubahan permukaan tanah, kegiatan usaha migas juga mengeluarkan emisi yang menjadi salah satu penyebab perubahan iklim.

UU 22/2001 mengatur aspek lingkungan dalam kesatuannya dengan aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2):

INVESTOR NEWSLETTER ISSUE N°3 FALL 2009POSITION NOTE JUNI, 2015

Page 5: Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001

POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS

  Secara substansi dan tujuan, K3 dan pengelolaan lingkungan hidup memiliki perbedaan yang signifikan, sehingga seharusnya pengaturanya dipisah. Oleh karena itu, RUU Migas usulan koalisi masyarakat ini mengatur aspek lingkungan hidup terpisah dari ketentuan K3.

Pengaturan aspek lingkungan hidup mencakup kewajiban BUMN dan Badan Usaha dalam menjamin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kewajiban bagi usaha tertentu untuk memiliki asuransi lingkungan hidup. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mencakup kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan atas terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan migas.

Pengaturan mengenai asuransi lingkungan hidup dilakukan sebagai upaya memperkuat konsep strict liability (tanggung jawab mutlak) dalam kasus lingkungan yang saat ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan diaturnya jaminan keuangan/asuransi, perusahaan tidak diperbolehkan melakukan pengeboran apabila tidak memiliki asuransi/jaminan keuangan dengan minimum cakupan sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pengaturan mengenai K3 ditujukan untuk memberikan perlindungan bagi sumber daya manusia yang bekerja pada industri migas. Perlindungan K3 dilakukan sesuai dengan standar dan mutu yang berlaku, kaidah keteknikan yang baik, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan lainnya terkait dengan kegiatan migas adalah terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan migas. Pasal 10 huruf e Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa kegiatan  migas masuk dalam kategori kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, pengadaan tanah untuk kegiatan migas harus tunduk kepada UU 2/2012. Meski demikian, pengadaan tanah untuk kegiatan migas ini harus pula mempertimbangkan eksistensi dan kepemilikan tanah serta hutan adat oleh masyarakat adat sebagaimana juga telah dikuatkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi.

3. Peranan Pemerintah Daerah

Sejak reformasi, kebijakan desentralisasi yang dilaksanakan diantaranya bertujuan untuk memberikan kewenangan yang lebih

besar kepada pemerintah daerah untuk mendesain prioritas pembangunannya sendiri dan menggunakan SDA yang tersedia untuk membangun daerah. Meskipun pengelolaan sektor Migas masih sangat terpusat, dalam konteks desentralisasi pemerintah daerah mengambil peran yang lebih besar untuk mengelola pendapatan dari Migas lewat mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang ditransfer pemerintah Pusat ke kas daerah.

Prosentasi DBH untuk APBD daerah-daerah penghasil Migas meningkat cukup signifikan dan memiliki pengaruh yang besar terhadap kapasitas fiskal daerah. Karena itu APBD untuk daerah-daerah penghasil Migas memiliki resiko yang cukup besar terhadap volatilitas harga komoditas dunia dengan demikian keberlangsungan perencanaan pembangunan daerah sangat dipengaruhi oleh situasi pasar dunia yang relatif tidak stabil. Dalam konteks tersebut diperlukan mekanisme di daerah-daerah penghasil untuk dapat meminimalisir resiko volatilitas harga komoditas dunia terhadap perencanaan pembangunan dan kapasitas fiskal daerah lewat Sovereight Wealth Funds (SWF) sebagaimana telah disebutkan di atas. .

“Badan Usaha atau Bentuk

Usaha Tetap menjamin

keselamatan dan kesehatan

kerja serta pengelolaan

lingkungan hidup dan menaati

ketentuan peraturan

perundang-undangan yang

berlaku dalam kegiatan usaha

Minyak dan Gas Bumi.”

Pasal 40 ayat (2), UU Migas 22/2001

INVESTOR NEWSLETTER ISSUE N°3 FALL 2009POSITION NOTE JUNI, 2015

Page 6: Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001

POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS

Participating InterestMasalah yang kerap terjadi pada participating

interest adalah daerah tidak mampu mengambil keseluruhan hak participating interest, kecuali mereka menggandeng pihak swasta. Hal ini membuat tujuan adanya participating interest, yaitu untuk melibatkan, serta memberikan manfaat kepada pemerintah daerah, perusahaan daerah dan warga lokal menjadi tidak tercapai, dikarenakan skema kerja sama yang lebih menguntungkan pihak ketiga. RUU Migas usulan masyarakat ini mengusulkan besaran skema participating interest sebesar maksimal 10% dimana Pemda diberi fleksibilitas untuk mengambil bagian sesuai kemampuannya. Koalisi ini mendorong agar BUMD dapat meminjam kepada lembaga pembiayaan seperti Pusat Investasi Pemerintah atau menerbitkan obligasi untuk menghimpun dana dari masyarakat. Selain itu, BUMD yang dapat mengambil participating interest adalah BUMD yang kepemilikan modalnya 100% dikuasai oleh Pemerintah Daerah.

4. Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi Di era modern saat ini, aspek keterbukaan informasi,

akuntabilitas dan partisipasi merupakan elemen penting dalam penyelenggaraan negara dan tata pemerintahan yang baik. Oleh karena ini, RUU usulan masyarakat ini mendorong penguatan aspek keterbukaan informasi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sektor migas.Hal tersebut juga sejalan dengan keikutsertaan Pemerintah dalam mendorong keterbukaan tata pemerintahan secara global, misalnya melalui standar EITI maupun Open Government Partnerhsip (OGP).

Dalam pelaksanaan kegiatan sektor migas, keterbukaan informasi secara pro-aktif (setiap saat), berkala, maupun serta merta selaras dengan pelaksanaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008). UU ini juga mewajibkan pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di setiap badan publik, guna memenuhi hak publik atas informasi. Keterbukaan informasi, akuntabilitas dan partisipasi didorong terjadi di

sepanjang rantai proses industri migas, sektor hulu maupun hilir. Di sektor hulu, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi didorong terjadi saat proses penawaran wilayah kerja (kontrak blok migas), proses eksplorasi dan eksploitasi, produksi dan penjualan migas, proses pembayaran penerimaan negara, dana bagi hasil, maupun alokasi pembelanjaan pendapatan migas. Di sektor hilir, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi didorong terjadi dalam proses transportasi, pengangkutan dan distribusi hasil migas, pengadaan minyak mentah untuk BBM, serta perhitungan dan alokasi subsidi migas berikut pembiayaan dan distribusinya.

RUU Migas ini juga harus dapat menegaskan pentingnya akses informasi publik atas dokumen dan proses pemberian kontrak kerja sama, dengan tentu saja menghormati kepentingan para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU KIP. Pada proses lelang dan pemberian kontrak didorong agar lebih transparan dan fair, dimana pada setiap proses diharapkan pemerintah memberikan argumen secara terbuka kepada publik sebagai dasar pengambilan keputusannya. Hal tersebut juga akan memudahkan DPR (dan juga publik) untuk melakukan pengawasan terhadap proses lelang dan pelaksanaan sebuah kontrak kerja sama migas.

PenutupPosition note ini disusun sebagai gambaran pokok-pokok fikiran dari usulan revisi Undang-Undang Migas 22/2001 yang disusun oleh jaringan koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay Indonesia yang diinisiasi oleh kelompok kerja advokasi revisi undang-undang migas, terdiri dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Institut for Essential Services Reform (IESR), dan Indonesia Parliamentary Center (IPC). Position note ini merupakan brief singkat dari isi draft Revisi Undang Undang Migas-versi usulan masyarakat sipil, berikut penjelasannya yang juga dilengkapi oleh Naskah Akademik dalam dokumen yang terpisah.

POSITION NOTE JUNI, 2015

Tim Penyusun Dessy Eko Prayitno, Nisa Istiqomah, M. Giri Taufik, Maryati Abdullah, Aryanto Nugroho, Sulastio, Emanuel Bria.

Alamat Sekretariat Nasional Publish What You Pay IndonesiaJl. Tebet Utara 2C No.22B, Tebet, Jakarta Selatan 12810, IndonesiaT/F : +62 21 8355560 | [email protected] | www.pwyp-indonesia.org