pneumotoraks
TRANSCRIPT
-
1
PNEUMOTORAKS SPONTAN
Barmawi Hisyam*, Eko Budiono
PENDAHULUAN
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura.
Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga dada. 3,6,10,14,15. Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan
atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder, primer jika
penyebabnya tidak diketahui, sedangkan sekunder jika terdapat latar belakang penyakit
paru. Pneumotoraks traumatik dibagi menjadi pneumotoraks traumatik iatrogenik dan
bukan iatrogenik. 3,14,15.
Insidens pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak
diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5 : 1. 3 Pneumotoraks
spontan primer (PSP) sering juga dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit
paru sebelumnya. Pneumotoraks spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia
antara dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus PSP berusia
kurang dari 45 tahun. 3,14 Seaton dkk,14 melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif
mengalami komplikasi pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru
komplikasi pneumotoraks meningkat lebih dari 90%.
-
2
Di Olmested Country, Minnesota, Amerika, Melton et al14 melakukan penelitian
selama 25 tahun (tahun 1950-1974) pada pasien yang terdiagnosis sebagai pneumotoraks
atau pneumomediastinum, didapatkan 75 pasien karena trauma, 102 pasien karena
iatrogenik dan sisanya 141 pasien karena pneumotoraks spontan. Dari 141 pasien
pneumotoraks spontan tersebut 77 pasien PSP dan 64 pasien pneumotoraks spontan
sekunder (PSS). Pada pasien-pasien pneumotoraks spontan didapatkan angka insidensi
sebagai berikut : PSP terjadi pada 7,4 - 8,6/100.000 per tahun untuk pria dan 1,2/100.000
per tahun untuk wanita; sedangkan insidensi PSS 6,3/100.000 per tahun untuk pria dan
2,0/100.000 per tahun untuk wanita. 5,13 (Loddenkemper, 2003). Penelitian epidemiologi
pada 15.204 orang yang bertempat tinggal di kota Stockholm, Swedia mendapatkan
insidens pneumotoraks spontan sebesar 18/100.000 untuk pria dan 6/100.000 untuk
wanita. Dilaporkan adanya pneumotoraks spontan familial dalam suatu keluarga (23
anggota keluarga), 6 di antaranya mengalami serangan pneumotoraks dan ternyata
insidensi tersebut berhubungan dengan dijumpainya HLA haplotype A2, B40 dan alpha-
1 antitrypsin phenotype M1M2. Pneumotoraks familial sering menimbulkan
pneumotoraks spontan dan terbanyak didapatkan justru pada wanita daripada pria.6
Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak dikerjakan pendekatan
baru berupa tindakan torakostomi disertai video (video-assissted thoracoscopy surgery =
VATS), ternyata memberikan banyak keuntungan pada pasien-pasien yang mengalami
pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lama rawat inap di rumah sakit. 7,17,18
Dengan teknik Video-Assisted Thoracoscopy Surgery (VATS), dapat dilakukan
reseksi bulla (wedge resection) dengan endoscopic stapler dan juga dapat dilakukan
-
3
tindakan pleurodesis pada saat yang sama. Tingkat rekurensi pneumotoraks setelah
tindakan tersebut kurang dari 5% (Light, 2002).
KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi
pneumotoraks berdasarkan penyebabnya adalah sebagai berikut:
a. Pneumotoraks spontan
Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa
adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu :
- Pneumotoraks spontan primer
Pneumotoraks spontan primer (PSP) adalah suatu pneumotoraks yang terjadi
tanpa ada riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya, umumnya pada
individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktifitas fisik yang
berat tetapi justru terjadi pada saat istirahat dan sampai sekarang belum
diketahui penyebabnya.
- Pneumotoraks spontan sekunder
Pneumotoraks spontan sekunder (PSS) adalah suatu pneumotoraks yang
terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya (tunerkulosis paru, PPOK,
asma bronkial, pneumonia, tumor paru, dan sebagainya). 4,14
Pasien PSS bilateral dengan reseksi torakoskopi dijumpai adanya metastase
paru yang primernya berasal dari sarkoma jaringan lunak di luar paru. 8
-
4
b. Pneumotoraks traumatik
Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru. Pneumotoraks traumatik diperkiraan 40% dari semua kasus
pneumotoraks. Pneumotoraks traumatik tidak harus disertai dengan fraktur iga
maupun luka penetrasi yang terbuka. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding
dada juga dapat menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab trauma penetrasi
pada dinding dada adalah luka tusuk, luka tembak, akibat tusukan jarum maupun
pada saat dilakukan kanulasi vena sentral (Gambar 1) (Loddenkemper, 2003).
Gambar 1. Pneumotoraks traumatik
-
5
Keterangan gambar :
1. Trauma jaringan lunak pada region subklavia (emfisema subkutis) 2. Trauma pada trakea (emfisema mediastinum, emfisema subkutis) 3. Trauma pada bronkus (emfisema mediastinum, emfisema interstisialis) 4. Ruptur alveoli (emfisema interstisialis) 5. Robekan pada pleura viseralis (pneumotoraks) 6. Ruptur dari bulla maupun bleb (pneumotoraks spontan) 7. Trauma dinding dada dan pleura parietalis (pneumotoraks, emfisema
subkutis) 8. Ruptur esophagus (emfisema mediastinum, emfisema subkutis) 9. Robeknya diafragma (emfisema mediastinum, pneumotoraks)
Sumber : Loddenkemper,R, dan Frank, 2003, W, Pleural Disease, dalam G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Respiratory Medicine, third edition, pg : 1907-1937. Saunders.
Berdasarkan kejadiannya pneumotoraks traumatik dibagi 2 jenis yaitu :
- Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik
Adalah pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas
pada dinding dada baik terbuka maupun tertututp, barotrauma.
- Pneumotoraks traumatik iatrogenik
Adalah pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.
Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi 2 yaitu :
Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental, adalah pneumotoraks
yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi
tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parasentesis dada, biopsi
pleura, biopsi transbronkial, biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi
vena sentral, barotrauma ( ventilasi mekanik).
-
6
Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate), adalah
pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke
dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box.
Biasanya untuk terapi tuberkulosis (sebelum era antibiotik), atau untuk
menilai permukaan paru. 14
Berdasarkan jenis fistulanya pneumotoraks dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
Pneumotoraks tertutup (simple pneumothorax)
Pneumotoraks tertutup yaitu suatu pneumotoraks dengan tekanan udara di
rongga pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi
hemitoraks kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dari tekanan
atmosfir. Pada jenis ini tidak didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding
dada (Stark, 2002).
Pneumotoraks terbuka (open pneumothorax)
Pneumotoraks terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada
sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat
inspirasi, mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser kea rah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound)
(Stark, 2002)
-
7
Tension pneumotoraks
Tension pneumotoraks terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada
saat inspirasi udara mauk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi
udara dari rongga pleura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di
dalam rongga pleura akan meningkat dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal nafas. Pneumotoraks ini juga sering disebut pneumotoraks
ventil (Alsagaff, 1995; Stark, 2002).
PATOGENESIS
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, ditunjang oleh
jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Rongga pleura
dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis dan pleura
viseralis. Pleura parietalis melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago,
diafragma dan mediastinum, sangat sensitif terhadap nyeri. Pleura viseralis melapisi paru
dan menyusup ke dalam semua fisura dan tidak sensitif terhadap nyeri. 3 Rongga pleura
individu sehat terisi cairan (10-20 mL) dan berfungsi sebagai pelumas di antara kedua
lapisan pleura. 3,9
Patogenesis pneumotoraks spontan sampai sekarang belum jelas.
1. Pneumotoraks spontan primer (PSP)
PSP terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian
secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumotoraks spontan yang parunya
direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb dan
-
8
bulla. Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotik
yang menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh
jaringan paru emfisematous. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah melalui
jaringan interstisial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian
berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme terjadinya bulla atau bleb belum jelas,
banyak pendapat menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan
dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli daerah apeks paru akibat
tekanan pleura yang lebih negatif. Apabila dilihat secara patologis dan radiologis
pada pneumotoraks spontan sering didapatkan bulla di apeks paru. Obsevasi klinis
yang dilakukan pada pasien PSP ternyata angka kejadiannya lebih banyak dijumpai
pada pasien pria yang berbadan tinggi dan kurus. Kelainan intrinsik jaringan konektif
seperti pada sindrom Marfan, prolaps katup mitral, kelainan bentuk tubuh
mempunyai kecenderungan terbentuknya bleb atau bulla. Belum ada hubungan yang
jelas antara aktivitas yang berlebihan dengan pecahnya bleb atau bulla karena pada
keadaan tanpa aktifitas (istirahat) juga dapat terjadi pneumotoraks. Pecahnya alveoli
berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran nafas kecil sehingga timbul
distensi ruang udara di bagian distalnya. Obstruksi jalan nafas bisa diakibatkan oleh
penumpukan mukus dalam bronkioli baik oleh karena infeksi atau bukan infeksi.
Bayi aterm mampu menampung tekanan pleura antara -40 sampai -100 cm H2O.
Apabila tekanan udara melebihi nilai ambang tersebut dapat menimbulkan pecahnya
alveoli, misalnya akibat aspirasi mekoneum. Penelitian pada 11 pasien bukan perokok
yang sembuh dari pneumotoraks spontan, dengan ventilation-perfusion scintigraphy
ternyata didapatkan gambaran obstruksi saluran napas. 6
-
9
2. Pneumotoraks spontan sekunder (PSS)
PSS terjadi karena pecahnya bleb viseralis atau bulla subpleura dan sering
berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Patogenesis PSS
multifaktorial, umumnya terjadi akibat komplikasi penyakit PPOK (penyakit paru
obstruktif kronik), asma, fibrosis kistik, tuberkulosis paru, penyakit-penyakit paru
infiltratif lainnya (misalnya pneumonia supuratif dan termasuk pneumonia P. carinii).
PSS umumnya lebih serius keadaanyya daripada PSP, karena pada PSS terdapat
penyakit paru yang mendasarinya. Pneumotoraks katamenial (endometriosis pada
pleura) adalah bentuk lain dari PSS yang timbulnya berhubungan dengan menstruasi
pada wanita dan sering berulang. 15 Artritis rheumatoid juga dapat menyebabkan
pneumotoraks spontan karena terbentuknya nodul rheumatoid pada paru.
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan Subyektif
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah :
Sesak nafas, yang didapatkan pada 80-100% penderita
Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% penderita. Lindskog dan Halasz
menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada.
Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% penderita
Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya
pada PSP (Loddenkemper, 2003).
-
10
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan menurut Mills
dan Luce 12 derajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan
gangguan ringan sampai berat.
Pemeriksaan fisik
Suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai menghilang,
resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor. 6,12,15 Pneumotoraks ukuran
kecil biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang tidak khas. Pada
pneumotoraks ukuran besar biasanya didapatkan suara napas yang melemah bahkan
sampai menghilang pada auskultasi, fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor.
Pneumotoraks tension dicurigai apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan
pergeseran mediastinum atau trakea.15
Pemeriksaan Penunjang
Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada sebuah penelitian didapatkan 17%
dengan PO2 < 55 mmHg, 4% dengan PO2 < 45 mmHg, 16% dengan PCO2 > 50 mmHg
dan 4% dengan PCO2 > 60 mmHg. Pada penderita PPOK lebih mudah terjadi
pneumotoraks spontan. Dalam sebuah penelitian 51 dari 171 pasien PPOK (30%)
dengan FEV1 < 1,0liter dan 33% dengan FEV1/FVC < 40% prediksi (Light, 2003).
Penelitian lain menyebutkan bahwa gagal napas yang berat (PO2 < 50 mmHg dan
PCO2 > 50 mmHg, atau disertai dengan syok) terdapat pada 16% penderita dan secara
signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10% (Loddenkemper, 2003).
-
11
Pneumotoraks primer paru kiri sering menimbulkan perubahan aksis QRS dan
gelombang T prekordial pada rekaman elektrokardiografi (EKG) dan dapat ditafsirkan
sebagai infark miokard akut (IMA).
Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung
terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara kedua
garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan
corakan vaskuler pada daerah tersebut. Pada tension pneumotoraks gambaran foto
dadanya tampak jumlah udara pada hemitoraks yang cukup besar dan susunan
mediastinum yang bergeser ke arah kontralateral (Gambar 2). Gambar tersebut
merupakan salah satu contoh tension pneumotoraks kiri pada penderita tuberculosis
yang lanjut. Pada hemitoraks kiri tampak kumpulan udara yang hiperlusen tanpa disertai
corakan vaskuler, pelebaran celah iga kiri, inverse dari diafragma kiri dan pergeseran
mediastinum kea rah kanan (Stark, 2002). 15
Gambar 2. Tension pneumotoraks Sumber : Stark, P, 2002, Imaging of Pneumothorax, Uptodate 12.1
-
12
Pemeriksaan Computed Tomography (CT-scanning) mungkin diperlukan apabila
dengan pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih
spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara
udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta untuk membedakan antara
pneumotoraks spontan primer atau sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-scanning
untuk mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumotoraks spontan
primer antara 80-90% (Loddenkemper, 2003).
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive, tetapi
memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-scanning. Menurut
Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990,
hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu :
Derajat I : pneumotoraks dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%)
Derajat II : pneumotoraks dengan perlengketan diserati hemotorak (12%)
Derajat III : pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla < 2 cm (31%)
Derajat IV : pneumotoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter > 2 cm (17%)
(Loddenkemper, 2003)
Cara Menentukan Ukuran (Persentase) Pneumotoraks
Volume paru dan hemitoraks dihitung sebagai diameter kubus. Jumlah (isi) paru
yang kolaps ditentukan dengan rata-rata diameter kubus paru dan toraks sebagai nilai
perbandingan (rasio). Misalnya : Diameter kubus rata-rata hemitoraks 10 cm dan
diameter kubus rata-rata paru yang kolaps 8 cm, maka rasio diameter kubus adalah 83/10.3
= 512/1000, sehingga diperkirakan ukuran pneumotoraksnya 50%.9
-
13
Cara lain untuk menentukan luas atau persentase pneumotoraks (Rhea et
al.1982) adalah dengan menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis
vertikal ditambah dengan jarak terjauh celah pleura pada garis horizontal ditambah
dengan jarak terdekat celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi 3 dan
dikalikan 10 (Gambar 3).
Gambar 3. Cara menentukan luas pneumotoraks
Sumber : Loddenkemper,R, dan Frank, 2003, W, Pleural Disease, dalam G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Respiratory Medicine, third Edition, pg : 1929, Saunders.
-
14
Diagnosis Banding
Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli paru dan
pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada
pneumotoraks, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumotoraks spontan primer.
Pneumotoraks spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks
yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura. 15
Komplikasi
Pneumotoraks tension (terjadi pada 3-5% pasien pneumotoraks), dapat
mengakibatkan kegagalan respirasi akut. pio-pneumotoraks, hidro-pneumotoraks/hemo-
pneumotoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi);
pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagi akibat komplikasi pneumotoraks
spontan, biasanya karena pecahnya esophagus atau bronkus, sehingga kelainan tersebut
harus ditegakkan (insidensinya sekitar 1%), pneumotoraks simultan bilateral,
insidensinya sekitar 2%, pneumotoraks kronik, bila tetap ada selama waktu lebih dari 3
bulan, insidensinya sekitar 5%. 13,15
PENATALAKSANAAN
Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung dari luasnya pneumotoraks.
Tujuan dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan udara dari rongga
pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. British Thoracic Society dan
American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan
pneumotoraks. Prinsip-prinsip penanganan pneumotoraks adalah :
-
15
Observasi dan pemberian tambahan oksigen
Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau
tanpa pleurodesis
Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau
bulla
Torakotomi
Observasi dan pemberian tambahan oksigen
Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks < 15% dari hemitoraks.
Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura telah menutup, udara dalam rongga pleura
perlahan-lahan akan diresorbsi. Laju resorbsinya diperkirakan 1,25% dari sisi
pneumotoraks per hari. Laju resorbsi tersebut akan meningkat jika diberikan tambahan
oksigen. Pemberian oksigen 100% pada kelinci percobaan yang mengalami
pneumotoraks ternyata meningkatkan laju resorbsi enam kali lipat (Light, 2002).
Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tiap 12-24
jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus dirawat di rumah sakit. Jika
penderita dirawat di rumah sakit dianjurkan untuk memberikan tambahan oksigen. Pasien
dengan luas pneumotoraks kecil unilateral dan stabil, tanpa gejala diperbolehkan berobat
jalan dan dalam 2-3 hari pasien harus kontrol lagi. 12
-
16
Aspirasi dengan jarum dan tube torakostomi
Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada penderita pneumotoraks yang
luasnya > 15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura
(dekompresi). Tindakan dekompresi dapat dilakukan dengan cara :
1) Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga
tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil, yaitu dengan :
a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura,
kemudian ujung pipa plastik di pangkal saringan tetesan dipotong dan
dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem dibuka, maka akan timbul
gelembung-gelembung udara di dalam botol (Gambar 4).
Gambar 4. Aspirasi udara dari rongga pleura
Sumber : Netter, 1979. Respiratory system, The Ciba Collection of Medical Illustration, vol. 7.
-
17
b. Jarum abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin dicabut,
dihubungkan dengan pipa infuse set, selanjutnya dikerjakan seperti (a).
c. Water Sealed Drainage (WSD) : pipa khusus (kateter urine) yang steril
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit.
Sebelum trokar dimasukkan ke rongga pleura, terlebih dahulu dilakukan insisi
kulit pada ruang antar iga ke enam pada linea aksilaris media. Insisi kulit juga
bias dilakukan pada ruang antar iga kedua pada linea mid-klavikula. Sebelum
melakukan insisi kulit, daerah tersebut harus diberikan cairan disinfektan dan
dilakukan injeksi anestesi local dengan xilokain atau prokain 2% dan kemudian
ditutup dengan kain duk steril. Setelah trokar masuk ke dalam rongga pleura,
pipa khusus (kateter urine) segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian
trokar dicabut sehingga hanya pipa khusus tersebut yang masih tertinggal di ruang
pleura. Pemasukan pipa khusus tersebut diarahkan ke atas apabila lubang insisi
kulit di ruang antar iga keenam dan diarahkan ke bawah jika lubang insisi
kulitnya ada di ruang antar iga kedua. Pipa khusus atau kateter tersebut kemudian
dihubungkan dengan pipa yang lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang
dimasukkan ke dalam air di dalam botol. Masuknya pipa kaca ke dalam air
sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya gelembung udara mudah keluar.
Apabila tekanan rongga pleura masih tetap positif, perlu dilakukan penghisapan
udara secara aktif (continuous suction) dengan memberikan tekanan -10 cm
sampai 20 cm H2O agar supaya paru cepat mengembang. Apabila paru sudah
mengembang penuh dan tekanan rongga leura sudah negatif, maka sebelum
dicabut dilakukan uji coba dengan menjepit pipa tersebut selama 24 jam.
-
18
Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi dengan foto dada, apakah paru
mengembang dan tidak mengempis lagi atau tekanan rongga pleura menjadi
positif lagi. Apabila tekanan di dalam rongga pleura menjadi positif lagi maka
pipa tersebut belum dapat dicabut.13 Di RS Persahabatan, setelah WSD diklem
selama 1-3 hari dibuat foto dada. Bila paru sudah mengembang maka WSD
dicabut. Pencabutan WSD dilakukan waktu pasien dalam keadaan ekspirasi
maksimal. Pada wanita muda dengan alasan kosmetika maka insisi kulit dapat
dilakukan pada ruang antar iga empat atau lima linea mid-klavikula. Pemasangan
WSD tersebut bisa dengan sistem 2 botol atau 3 botol (Gambar 5). Apabila akan
dilakukan pleurodesis, dari pipa tersebut dapat diinjeksikan suatu derivate dari
tetracycline sehingga resiko untuk kambuh dapat dikurangi. Pada sebuah
penelitian secara random pada 229 PSP, ternyata tingkat kekambuhan pada
kelompok yang dilakukan pleurodesis sebesar 25%, sedangkan pada kelompok
control tingkat kekambuhannya 41% (Loddenkemper, 200).
-
19
Gambar 5. Teknik WSD dengan 2 botol dan 3 botol
Sumber : Netter, 1979. Respiratory system, The Ciba Collection of Medical Illustration, vol. 7.
Menurut Asril penatalaksanaan pneumotoraks spontan dibagi dalam :
1. PSP, yang terjadi pada usia muda dengan fungsi paru normal, maka akan
sembuh sendiri. Evaluasi selanjutnya perlu berhati-hati sampai pengembangan
paru sempurna. PSP ukuran besar, bila pada aspirasi pipa kecil tidak
mengembang dalam 24-48 jam, perlu dipasang pipa interkostal besar, dengan
-
20
Water Sealed Drainage (WSD) atau pengisapan secara perlahan-lahan
memakai katup flutter (continuous suction). Bila paru sudah mengembang,
biarkan pipa rongga pleura di tempatnya dengan diklem alirannya dan
dievaluasi selama 24 jam. Apabila udara masih menetap dalam rongga pleura
selama 1 minggu, perlu dilakukan torakotomi.
2. PSS : sebelum melakukan pemasangan pipa rongga pleura, perlu diyakini lagi
adanya pneumotoraks pada pasien-pasien emfisema, karena tindakan tersebut
dapat berakibat fatal. Pengeluaran udara biasanya secara terus-menerus
(continuous suction) sampai beberapa hari hingga fistula bronkopleura
(Broncho Pleural Fistel = BPF) menghilang. Bila gagal mengembang
sempurna, dapat dipasang pipa rongga pleura kedua dan bila gagal juga
mengembang setelah 1 minggu, perlu operasi torakotomi. Untuk mengetahui
adanya BPF dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut :
Mengukur PO2 dan PCO2 gas yang berpindah. Bila PO2 > 50 torr dan
PCO2 < 40 torr, tersangka ada BPF persisten. Bila PO2 < 40 torr dan
PCO2 > 45 torr, BPF menghilang.
Mengukur tekanan udara intrapleura. Pada keadaan normal tekanan
udara pada rongga pleura adalah negatif dan pada akhir ekspirasi
tekanan udaranya masih di bawah atmosfir. Bila ada BPF artinya
tekanan intrapleura pada akhir ekspirasi sama dengan tekanan dalam
alveolar yang berarti sama dengan tekanan atmosfir.
Mengukur jumlah udara yang dikeluarkan selama aspirasi. Pada
keadaan normal BPF negatif artinya udara yang keluar jumlahnya
-
21
terbatas, BPS positif artinya udara yang keluar jumlahnya tidak
terbatas.
Torakoskopi
Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga
toraks dengan alat bantu torakoskop. Torakoskopi dilakukan pertama kali oleh Dr. Hans
Christian Jacobeus dari Stockholm Swedia pada tahun 1919, dengan menggunakan alat
sistoskop. Pada waktu itu torakoskopi dilakukan untuk memotong adhesi pleura
(pneumolisis) dan menghasilkan pneumotoraks artificial pada penderita tuberkulosis
paru oleh karena belum ada obat antituberkulosis (Embran, 2001).
Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assisted Thoracoscopy Surgery
= VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator maupun pasiennya
karena akan diperoleh lapangan pandang yang lebih luas dan gambar yang lebih bagus.
Tindakan ini sangat efektif dalam penanganan PSP dan mencegah berulangnya kembali.
Dengan prosedur ini dapat dilakukan reseksi bulla atau bleb dan juga bisa dilakukan
untuk pleurodesis. Tindakan ini dilakukan apabila :
Tindakan aspirasi maupun WSD gagal
Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi
Terjadinya fistula bronkopleura
Timbulnya kembali pneumotoraks setelah tindakan pleurodesis
Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh
kembali seperti pada pilot dan penyelam (Light, 2003).
-
22
Tindakan torakoskopi yang dikerjakan pada 25 pasien pneumotoraks spontan yang
berulang, menunjukkan di parunya terdapat bleb di daerah apek paru serta pernah
dilakukan pleurektomi apical, setelah dievaluasi lebih dari 2,5 tahun ternyata hanya
didapatkan angka komplikasi 3% dan hanya terbatas sekitar luka tersebut.15
Pengambilan bleb atau bulla dengan torakoskopi disertai pleurodesis pada 82 pasien
pneumotoraks spontan yang berulang atau persisten, ternyata yang mengalami komplikasi
hanya 6 pasien (7,3%), terdiri 3 pasien (4%) dengan kelainan paru berupa bulla yang
merata dan mengalami intubasi yang cukup lama (berturut-turut 9, 11 dan 12 hari), 2
pasien (3%) mengalami kebocoran udara yang menetap berlangsung sekitar 10-14 hari,
dan 1 pasien mengalami kerusakan parenkim paru setelah batuk kuat 2 hari. Pada 69
pasien (83%) ternyata pada parunya didapatkan bleb atau bulla. Hasil tindakan tersebut
menunjukkan pengembangan paru yang cukup baik setelah operasi dan setelah 22 bulan
pengamatan tidak mengalami kekambuhan. 11 Video Assisted Thoracoscopy Surgery
(VATS) masih merupakan pilihan yang tepat untuk pneumotoraks spontan, lamanya
operasi sekitar 45 menit, rasa tak enak setelah operasi sangat minimal dan lamanya rawat
inap di rumah sakit setelah operasi rata-rata 4 - 6 hari. Rata-rata rawat inap pasien
pneumotoraks spontan di rumah sakit setelah dilakukan torakoskopi video dengan
pleurodesis talk sekitar 5,7 hari dan jika dengan bullektomi sekitar 6 hari.
Penderita dengan luas pneumotoraks > 20% biasanya membutuhkan waktu > 10
hari untuk berkembangnya paru kembali.12 Pada pasien PSP sekitar 50% akan mengalami
kekambuhan. Tindakan torakoskopi atau torakostomi yang disertai dengan abrasi pleura
akan mencegah kekambuhan hampir 100%. Pada hampir semua pasien PSS akhirnya
diterapi dengan torakostomi disertai pemberian obat sklerosing. Pasien-pasien PSP
-
23
maupun PSS yang diketahui ada udara yang persisten di rongga pleura dan parunya
belum mengembang setelah 6 hari pemasangan pipa torakostomi, maka diharuskan
torakotomi terbuka.10
Jika didapatkan adanya bleb atau bulla, maka yang bisa dilakukan adalah :
Lesi ukuran kecil, bleb atau bulla < 2 cm, dikoagulasi dengan pleurodesis talk.
Bleb atau bulla > 2 cm, reseksi torakoskopi dengan suatu alat EndoGIA,
kemudian diikuti skarifikasi (electrocoagulation) pada pleura parietalis. Pada
43 pasien yang dikerjakan tersebut ternyata didapatkan 15 kasus (34%) tidak
dijumpai bleb/bulla, 6 kasus (14%) hanya bleb < 2 cm, 23 kasus (52%)
dijumpai bleb/bulla > 2 cm. Pada 44 kasus tersebut, 21 kasus (48%)
dikerjakan pleurodesis talk dan 23 kasus (52%) dikerjakan bullektomi. Hasil
semua tindakan di atas sebagian besar tanpa komplikasi.
Torakotomi
Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi.
Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat
di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut
(Light, 2002)
PROGNOSIS
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami
kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube
thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang
-
24
dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaanya cukup baik,
umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung
penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus lebih
berhati-hati karena sangat berbahaya.
PNEUMOTORAKS SPONTAN PADA KEADAAN KHUSUS
a. Pneumotoraks pada penderita HIV
Lebih dari 80% kasus pneumotoraks pada penderita HIV terjadi karena adanya
infeksi Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP). Penyebab yang lain biasanya karena
sarcoma kaposi, pemakaian obat-obat intravena, toksoplasmosis, infeksi bakterial, jamur
maupun virus. Kasus pneumotoraks pada penderita HIV dilaporkan pertama kali pada
tahun 1984. Sejak itu lebih dari 250 kasus yang dilaporkan dan diperkirakan 10% dari
penderita yang terinfeksi PCP akan terjadi pneumotoraks dengan tingkat mortalitas lebih
dari 50% (Tietjen dan Sahn, 2002).
Patogenesis pneumotoraks pada penderita HIV belum jelas. Hipotesis yang
dikembangkan adalah akibat nekrosis jaringan dan penggunaan pentamidine aerosol.
Invasi dari PCP bisa pada septum interalveoler, pleura atau pembuluh darah. Invasi
tersebut bisa menimbulkan nekrosis akibat respon inflamasi dari penjamu, kerusakan
jaringan secara langsung akibat toksin dari pneumocystis dan infark jaringan akibat
kerusakan pembuluh darah pada jaringan tersebut. Akibat nekrosis jaringan tersebut
dapat terbentuk suatu kavitas atau terjadinya pneumotoraks (Tietjen dan Sahn, 2002).
Penggunaan pentamidine aerosol diduga dapat menimbulkan kavitasi, kista
maupun pneumotoraks meskipun patogenesisnya belum jelas. Pentamidin secara
-
25
langsung tidak menimbulkan reaksi toksik terhadap paru, tetapi secara tidak langsung
dimungkinkan memacu timbulnya kavitasi atau pneumatokel akibat pneumocystis dan
dapat menimbulkan pneumotoraks spontan. Kavitasi oleh PCP terjadi pertama kali pada
lobus superior dan jaringan paru perifer karena distribusi pentamidine aerosol lebih
banyak pada jaringan paru di dekat hilus pada lobus inferior. Deposisi pentamidine
yang tidak adekuat pada jaringan paru perifer memungkinkan timbulnya infeksi
pneumocystis dan pembentukan pneumatocoele pada jaringan paru perifer yang bisa
menimbulkan pneumotoraks (Tietjen dan Sahn, 2002).
Pengobatan atau management penderita pneumotoraks spontan pada penderita
HIV pada prinsipnya sama. Jika pneumotoraks < 15% dan asimtomatik hanya dilakukan
observasi. Pada penderita dengan luas pneumotoraks > 15% dan simtomatik dapat
dilakukan pemasangan tube torakostomi. Tindakan pleurodesis dengan talk, tetracycline,
doxycycline dan bleomycin dapat mencegah rekurensi pneumotoraks dan dapat menutup
fistula bronkopleura (Tietjen dan Sahn, 2002).
b. Pneumotoraks pada perjalanan udara
Insidensi pneumotoraks pada perjalanan udara komersial belum diketahui karena
belum adanya standarisasi kegawatan medis pada penerbangan. Dalam pengamatannya
selama 2 tahun (1986-1988) Federal Aviation Adsministration (FAA) memeriksa 2.322
kegawatan yang terjadi selama penerbangan, ternyata hanya terdapat 1 kasus dengan
pneumotoraks yang definitif dan 1 kasus dengan dugaan pneumotoraks. Insidensi
pneumotoraks spontan pada pilot-pilot militer tampaknya lebih tinggi. Dari tahun 1952-
1964 di angkatan udara Amerika dilaporkan 47-78/100.000 orang pertahun. Terdapat
-
26
dua faktor penting yang berperanan pada patogenesis pneumotoraks pada perjalanan
udara yaitu air traping (udara yang terkumpul) akibat obstruksi saluran nafas oleh
lendir dan ekspansi dari udara yang terjebak tersebut akibat berkurangnya tekanan
atmosfir. Berdasarkan hukum Boyle, volume gas berbanding terbalik dengan
tekanannya. Pada ketinggian 35.000 kaki di atas permukaan air laut, tekanan atmosfir
akan menurun secara drastis sehingga volume udara paru akan meningkat 4,3 kali
dibanding volume awal. Peningkatan volume udara paru ini bisa menyebakan rupturnya
bleb, bulla maupun kista kongenital dan menimbulkan pneumotoraks (Frye dan Sahn,
1999).
-
27
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Embran, P, 2001. Torakoskopi Medis, Pertemuan Ilmiah Paru Milenium 2001, Malang, hal : 136-143. Frye, M.D dan Sahn, S.A, 1999, Pneumothorax and Air Travel, Uptodate 12.2 Light, R.W, 2002, Primary Spontaneous Pneumothorax, Uptodate 12.2. Light, R.W, 2003 Causes and Management of Secondary Spontaneous Pneumothorax, Uptodate 12.2 Loddenkemper, R dan Frank, W, 2003, Pleural Disease, dalam G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Respiratoru Medicine, third edition, vol 2 pg : 1184-1937, Saunders. Netter, F.H., 1979. Respiratory System, dalam Matthew B. Divertie, The Ciba Collection of Medical Illustration, vol. 7. Stark, P, 2002, Imaging of Pneumothorax, Uptodate 12.2 Tietjen, P.A dan Sahn, S.A, 2002, Pneumothorax in HIV-infected Patients, Uptodate 12.2.