pneumotoraks

27
1 PNEUMOTORAKS SPONTAN Barmawi Hisyam*, Eko Budiono PENDAHULUAN Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. 3,6,10,14,15 . Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder, primer jika penyebabnya tidak diketahui, sedangkan sekunder jika terdapat latar belakang penyakit paru. Pneumotoraks traumatik dibagi menjadi pneumotoraks traumatik iatrogenik dan bukan iatrogenik. 3,14,15. Insidens pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5 : 1. 3 Pneumotoraks spontan primer (PSP) sering juga dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya. Pneumotoraks spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia antara dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus PSP berusia kurang dari 45 tahun. 3,14 Seaton dkk, 14 melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru komplikasi pneumotoraks meningkat lebih dari 90%.

Upload: holmessb

Post on 26-Nov-2015

53 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 1

    PNEUMOTORAKS SPONTAN

    Barmawi Hisyam*, Eko Budiono

    PENDAHULUAN

    Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura.

    Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa

    mengembang terhadap rongga dada. 3,6,10,14,15. Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan

    atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder, primer jika

    penyebabnya tidak diketahui, sedangkan sekunder jika terdapat latar belakang penyakit

    paru. Pneumotoraks traumatik dibagi menjadi pneumotoraks traumatik iatrogenik dan

    bukan iatrogenik. 3,14,15.

    Insidens pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak

    diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5 : 1. 3 Pneumotoraks

    spontan primer (PSP) sering juga dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit

    paru sebelumnya. Pneumotoraks spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia

    antara dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus PSP berusia

    kurang dari 45 tahun. 3,14 Seaton dkk,14 melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif

    mengalami komplikasi pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru

    komplikasi pneumotoraks meningkat lebih dari 90%.

  • 2

    Di Olmested Country, Minnesota, Amerika, Melton et al14 melakukan penelitian

    selama 25 tahun (tahun 1950-1974) pada pasien yang terdiagnosis sebagai pneumotoraks

    atau pneumomediastinum, didapatkan 75 pasien karena trauma, 102 pasien karena

    iatrogenik dan sisanya 141 pasien karena pneumotoraks spontan. Dari 141 pasien

    pneumotoraks spontan tersebut 77 pasien PSP dan 64 pasien pneumotoraks spontan

    sekunder (PSS). Pada pasien-pasien pneumotoraks spontan didapatkan angka insidensi

    sebagai berikut : PSP terjadi pada 7,4 - 8,6/100.000 per tahun untuk pria dan 1,2/100.000

    per tahun untuk wanita; sedangkan insidensi PSS 6,3/100.000 per tahun untuk pria dan

    2,0/100.000 per tahun untuk wanita. 5,13 (Loddenkemper, 2003). Penelitian epidemiologi

    pada 15.204 orang yang bertempat tinggal di kota Stockholm, Swedia mendapatkan

    insidens pneumotoraks spontan sebesar 18/100.000 untuk pria dan 6/100.000 untuk

    wanita. Dilaporkan adanya pneumotoraks spontan familial dalam suatu keluarga (23

    anggota keluarga), 6 di antaranya mengalami serangan pneumotoraks dan ternyata

    insidensi tersebut berhubungan dengan dijumpainya HLA haplotype A2, B40 dan alpha-

    1 antitrypsin phenotype M1M2. Pneumotoraks familial sering menimbulkan

    pneumotoraks spontan dan terbanyak didapatkan justru pada wanita daripada pria.6

    Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak dikerjakan pendekatan

    baru berupa tindakan torakostomi disertai video (video-assissted thoracoscopy surgery =

    VATS), ternyata memberikan banyak keuntungan pada pasien-pasien yang mengalami

    pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lama rawat inap di rumah sakit. 7,17,18

    Dengan teknik Video-Assisted Thoracoscopy Surgery (VATS), dapat dilakukan

    reseksi bulla (wedge resection) dengan endoscopic stapler dan juga dapat dilakukan

  • 3

    tindakan pleurodesis pada saat yang sama. Tingkat rekurensi pneumotoraks setelah

    tindakan tersebut kurang dari 5% (Light, 2002).

    KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI PNEUMOTORAKS

    Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi

    pneumotoraks berdasarkan penyebabnya adalah sebagai berikut:

    a. Pneumotoraks spontan

    Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa

    adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu :

    - Pneumotoraks spontan primer

    Pneumotoraks spontan primer (PSP) adalah suatu pneumotoraks yang terjadi

    tanpa ada riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya, umumnya pada

    individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktifitas fisik yang

    berat tetapi justru terjadi pada saat istirahat dan sampai sekarang belum

    diketahui penyebabnya.

    - Pneumotoraks spontan sekunder

    Pneumotoraks spontan sekunder (PSS) adalah suatu pneumotoraks yang

    terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya (tunerkulosis paru, PPOK,

    asma bronkial, pneumonia, tumor paru, dan sebagainya). 4,14

    Pasien PSS bilateral dengan reseksi torakoskopi dijumpai adanya metastase

    paru yang primernya berasal dari sarkoma jaringan lunak di luar paru. 8

  • 4

    b. Pneumotoraks traumatik

    Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik

    trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada

    maupun paru. Pneumotoraks traumatik diperkiraan 40% dari semua kasus

    pneumotoraks. Pneumotoraks traumatik tidak harus disertai dengan fraktur iga

    maupun luka penetrasi yang terbuka. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding

    dada juga dapat menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab trauma penetrasi

    pada dinding dada adalah luka tusuk, luka tembak, akibat tusukan jarum maupun

    pada saat dilakukan kanulasi vena sentral (Gambar 1) (Loddenkemper, 2003).

    Gambar 1. Pneumotoraks traumatik

  • 5

    Keterangan gambar :

    1. Trauma jaringan lunak pada region subklavia (emfisema subkutis) 2. Trauma pada trakea (emfisema mediastinum, emfisema subkutis) 3. Trauma pada bronkus (emfisema mediastinum, emfisema interstisialis) 4. Ruptur alveoli (emfisema interstisialis) 5. Robekan pada pleura viseralis (pneumotoraks) 6. Ruptur dari bulla maupun bleb (pneumotoraks spontan) 7. Trauma dinding dada dan pleura parietalis (pneumotoraks, emfisema

    subkutis) 8. Ruptur esophagus (emfisema mediastinum, emfisema subkutis) 9. Robeknya diafragma (emfisema mediastinum, pneumotoraks)

    Sumber : Loddenkemper,R, dan Frank, 2003, W, Pleural Disease, dalam G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Respiratory Medicine, third edition, pg : 1907-1937. Saunders.

    Berdasarkan kejadiannya pneumotoraks traumatik dibagi 2 jenis yaitu :

    - Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik

    Adalah pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas

    pada dinding dada baik terbuka maupun tertututp, barotrauma.

    - Pneumotoraks traumatik iatrogenik

    Adalah pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.

    Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi 2 yaitu :

    Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental, adalah pneumotoraks

    yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi

    tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parasentesis dada, biopsi

    pleura, biopsi transbronkial, biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi

    vena sentral, barotrauma ( ventilasi mekanik).

  • 6

    Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate), adalah

    pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke

    dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box.

    Biasanya untuk terapi tuberkulosis (sebelum era antibiotik), atau untuk

    menilai permukaan paru. 14

    Berdasarkan jenis fistulanya pneumotoraks dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

    Pneumotoraks tertutup (simple pneumothorax)

    Pneumotoraks tertutup yaitu suatu pneumotoraks dengan tekanan udara di

    rongga pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi

    hemitoraks kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dari tekanan

    atmosfir. Pada jenis ini tidak didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding

    dada (Stark, 2002).

    Pneumotoraks terbuka (open pneumothorax)

    Pneumotoraks terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada

    sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat

    inspirasi, mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi

    mediastinum bergeser kea rah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound)

    (Stark, 2002)

  • 7

    Tension pneumotoraks

    Tension pneumotoraks terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada

    saat inspirasi udara mauk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi

    udara dari rongga pleura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di

    dalam rongga pleura akan meningkat dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yang

    terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering

    menimbulkan gagal nafas. Pneumotoraks ini juga sering disebut pneumotoraks

    ventil (Alsagaff, 1995; Stark, 2002).

    PATOGENESIS

    Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, ditunjang oleh

    jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Rongga pleura

    dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis dan pleura

    viseralis. Pleura parietalis melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago,

    diafragma dan mediastinum, sangat sensitif terhadap nyeri. Pleura viseralis melapisi paru

    dan menyusup ke dalam semua fisura dan tidak sensitif terhadap nyeri. 3 Rongga pleura

    individu sehat terisi cairan (10-20 mL) dan berfungsi sebagai pelumas di antara kedua

    lapisan pleura. 3,9

    Patogenesis pneumotoraks spontan sampai sekarang belum jelas.

    1. Pneumotoraks spontan primer (PSP)

    PSP terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian

    secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumotoraks spontan yang parunya

    direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb dan

  • 8

    bulla. Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotik

    yang menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh

    jaringan paru emfisematous. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah melalui

    jaringan interstisial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian

    berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme terjadinya bulla atau bleb belum jelas,

    banyak pendapat menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan

    dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli daerah apeks paru akibat

    tekanan pleura yang lebih negatif. Apabila dilihat secara patologis dan radiologis

    pada pneumotoraks spontan sering didapatkan bulla di apeks paru. Obsevasi klinis

    yang dilakukan pada pasien PSP ternyata angka kejadiannya lebih banyak dijumpai

    pada pasien pria yang berbadan tinggi dan kurus. Kelainan intrinsik jaringan konektif

    seperti pada sindrom Marfan, prolaps katup mitral, kelainan bentuk tubuh

    mempunyai kecenderungan terbentuknya bleb atau bulla. Belum ada hubungan yang

    jelas antara aktivitas yang berlebihan dengan pecahnya bleb atau bulla karena pada

    keadaan tanpa aktifitas (istirahat) juga dapat terjadi pneumotoraks. Pecahnya alveoli

    berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran nafas kecil sehingga timbul

    distensi ruang udara di bagian distalnya. Obstruksi jalan nafas bisa diakibatkan oleh

    penumpukan mukus dalam bronkioli baik oleh karena infeksi atau bukan infeksi.

    Bayi aterm mampu menampung tekanan pleura antara -40 sampai -100 cm H2O.

    Apabila tekanan udara melebihi nilai ambang tersebut dapat menimbulkan pecahnya

    alveoli, misalnya akibat aspirasi mekoneum. Penelitian pada 11 pasien bukan perokok

    yang sembuh dari pneumotoraks spontan, dengan ventilation-perfusion scintigraphy

    ternyata didapatkan gambaran obstruksi saluran napas. 6

  • 9

    2. Pneumotoraks spontan sekunder (PSS)

    PSS terjadi karena pecahnya bleb viseralis atau bulla subpleura dan sering

    berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Patogenesis PSS

    multifaktorial, umumnya terjadi akibat komplikasi penyakit PPOK (penyakit paru

    obstruktif kronik), asma, fibrosis kistik, tuberkulosis paru, penyakit-penyakit paru

    infiltratif lainnya (misalnya pneumonia supuratif dan termasuk pneumonia P. carinii).

    PSS umumnya lebih serius keadaanyya daripada PSP, karena pada PSS terdapat

    penyakit paru yang mendasarinya. Pneumotoraks katamenial (endometriosis pada

    pleura) adalah bentuk lain dari PSS yang timbulnya berhubungan dengan menstruasi

    pada wanita dan sering berulang. 15 Artritis rheumatoid juga dapat menyebabkan

    pneumotoraks spontan karena terbentuknya nodul rheumatoid pada paru.

    MANIFESTASI KLINIS

    Keluhan Subyektif

    Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah :

    Sesak nafas, yang didapatkan pada 80-100% penderita

    Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% penderita. Lindskog dan Halasz

    menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada.

    Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% penderita

    Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya

    pada PSP (Loddenkemper, 2003).

  • 10

    Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan menurut Mills

    dan Luce 12 derajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan

    gangguan ringan sampai berat.

    Pemeriksaan fisik

    Suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai menghilang,

    resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor. 6,12,15 Pneumotoraks ukuran

    kecil biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang tidak khas. Pada

    pneumotoraks ukuran besar biasanya didapatkan suara napas yang melemah bahkan

    sampai menghilang pada auskultasi, fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor.

    Pneumotoraks tension dicurigai apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan

    pergeseran mediastinum atau trakea.15

    Pemeriksaan Penunjang

    Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia meskipun pada

    kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada sebuah penelitian didapatkan 17%

    dengan PO2 < 55 mmHg, 4% dengan PO2 < 45 mmHg, 16% dengan PCO2 > 50 mmHg

    dan 4% dengan PCO2 > 60 mmHg. Pada penderita PPOK lebih mudah terjadi

    pneumotoraks spontan. Dalam sebuah penelitian 51 dari 171 pasien PPOK (30%)

    dengan FEV1 < 1,0liter dan 33% dengan FEV1/FVC < 40% prediksi (Light, 2003).

    Penelitian lain menyebutkan bahwa gagal napas yang berat (PO2 < 50 mmHg dan

    PCO2 > 50 mmHg, atau disertai dengan syok) terdapat pada 16% penderita dan secara

    signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10% (Loddenkemper, 2003).

  • 11

    Pneumotoraks primer paru kiri sering menimbulkan perubahan aksis QRS dan

    gelombang T prekordial pada rekaman elektrokardiografi (EKG) dan dapat ditafsirkan

    sebagai infark miokard akut (IMA).

    Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung

    terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara kedua

    garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan

    corakan vaskuler pada daerah tersebut. Pada tension pneumotoraks gambaran foto

    dadanya tampak jumlah udara pada hemitoraks yang cukup besar dan susunan

    mediastinum yang bergeser ke arah kontralateral (Gambar 2). Gambar tersebut

    merupakan salah satu contoh tension pneumotoraks kiri pada penderita tuberculosis

    yang lanjut. Pada hemitoraks kiri tampak kumpulan udara yang hiperlusen tanpa disertai

    corakan vaskuler, pelebaran celah iga kiri, inverse dari diafragma kiri dan pergeseran

    mediastinum kea rah kanan (Stark, 2002). 15

    Gambar 2. Tension pneumotoraks Sumber : Stark, P, 2002, Imaging of Pneumothorax, Uptodate 12.1

  • 12

    Pemeriksaan Computed Tomography (CT-scanning) mungkin diperlukan apabila

    dengan pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih

    spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara

    udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta untuk membedakan antara

    pneumotoraks spontan primer atau sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-scanning

    untuk mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumotoraks spontan

    primer antara 80-90% (Loddenkemper, 2003).

    Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive, tetapi

    memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-scanning. Menurut

    Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990,

    hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu :

    Derajat I : pneumotoraks dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%)

    Derajat II : pneumotoraks dengan perlengketan diserati hemotorak (12%)

    Derajat III : pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla < 2 cm (31%)

    Derajat IV : pneumotoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter > 2 cm (17%)

    (Loddenkemper, 2003)

    Cara Menentukan Ukuran (Persentase) Pneumotoraks

    Volume paru dan hemitoraks dihitung sebagai diameter kubus. Jumlah (isi) paru

    yang kolaps ditentukan dengan rata-rata diameter kubus paru dan toraks sebagai nilai

    perbandingan (rasio). Misalnya : Diameter kubus rata-rata hemitoraks 10 cm dan

    diameter kubus rata-rata paru yang kolaps 8 cm, maka rasio diameter kubus adalah 83/10.3

    = 512/1000, sehingga diperkirakan ukuran pneumotoraksnya 50%.9

  • 13

    Cara lain untuk menentukan luas atau persentase pneumotoraks (Rhea et

    al.1982) adalah dengan menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis

    vertikal ditambah dengan jarak terjauh celah pleura pada garis horizontal ditambah

    dengan jarak terdekat celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi 3 dan

    dikalikan 10 (Gambar 3).

    Gambar 3. Cara menentukan luas pneumotoraks

    Sumber : Loddenkemper,R, dan Frank, 2003, W, Pleural Disease, dalam G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Respiratory Medicine, third Edition, pg : 1929, Saunders.

  • 14

    Diagnosis Banding

    Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli paru dan

    pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada

    pneumotoraks, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumotoraks spontan primer.

    Pneumotoraks spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks

    yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura. 15

    Komplikasi

    Pneumotoraks tension (terjadi pada 3-5% pasien pneumotoraks), dapat

    mengakibatkan kegagalan respirasi akut. pio-pneumotoraks, hidro-pneumotoraks/hemo-

    pneumotoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi);

    pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagi akibat komplikasi pneumotoraks

    spontan, biasanya karena pecahnya esophagus atau bronkus, sehingga kelainan tersebut

    harus ditegakkan (insidensinya sekitar 1%), pneumotoraks simultan bilateral,

    insidensinya sekitar 2%, pneumotoraks kronik, bila tetap ada selama waktu lebih dari 3

    bulan, insidensinya sekitar 5%. 13,15

    PENATALAKSANAAN

    Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung dari luasnya pneumotoraks.

    Tujuan dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan udara dari rongga

    pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. British Thoracic Society dan

    American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan

    pneumotoraks. Prinsip-prinsip penanganan pneumotoraks adalah :

  • 15

    Observasi dan pemberian tambahan oksigen

    Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau

    tanpa pleurodesis

    Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau

    bulla

    Torakotomi

    Observasi dan pemberian tambahan oksigen

    Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks < 15% dari hemitoraks.

    Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura telah menutup, udara dalam rongga pleura

    perlahan-lahan akan diresorbsi. Laju resorbsinya diperkirakan 1,25% dari sisi

    pneumotoraks per hari. Laju resorbsi tersebut akan meningkat jika diberikan tambahan

    oksigen. Pemberian oksigen 100% pada kelinci percobaan yang mengalami

    pneumotoraks ternyata meningkatkan laju resorbsi enam kali lipat (Light, 2002).

    Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tiap 12-24

    jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus dirawat di rumah sakit. Jika

    penderita dirawat di rumah sakit dianjurkan untuk memberikan tambahan oksigen. Pasien

    dengan luas pneumotoraks kecil unilateral dan stabil, tanpa gejala diperbolehkan berobat

    jalan dan dalam 2-3 hari pasien harus kontrol lagi. 12

  • 16

    Aspirasi dengan jarum dan tube torakostomi

    Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada penderita pneumotoraks yang

    luasnya > 15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura

    (dekompresi). Tindakan dekompresi dapat dilakukan dengan cara :

    1) Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga

    tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.

    2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil, yaitu dengan :

    a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura,

    kemudian ujung pipa plastik di pangkal saringan tetesan dipotong dan

    dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem dibuka, maka akan timbul

    gelembung-gelembung udara di dalam botol (Gambar 4).

    Gambar 4. Aspirasi udara dari rongga pleura

    Sumber : Netter, 1979. Respiratory system, The Ciba Collection of Medical Illustration, vol. 7.

  • 17

    b. Jarum abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin dicabut,

    dihubungkan dengan pipa infuse set, selanjutnya dikerjakan seperti (a).

    c. Water Sealed Drainage (WSD) : pipa khusus (kateter urine) yang steril

    dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit.

    Sebelum trokar dimasukkan ke rongga pleura, terlebih dahulu dilakukan insisi

    kulit pada ruang antar iga ke enam pada linea aksilaris media. Insisi kulit juga

    bias dilakukan pada ruang antar iga kedua pada linea mid-klavikula. Sebelum

    melakukan insisi kulit, daerah tersebut harus diberikan cairan disinfektan dan

    dilakukan injeksi anestesi local dengan xilokain atau prokain 2% dan kemudian

    ditutup dengan kain duk steril. Setelah trokar masuk ke dalam rongga pleura,

    pipa khusus (kateter urine) segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian

    trokar dicabut sehingga hanya pipa khusus tersebut yang masih tertinggal di ruang

    pleura. Pemasukan pipa khusus tersebut diarahkan ke atas apabila lubang insisi

    kulit di ruang antar iga keenam dan diarahkan ke bawah jika lubang insisi

    kulitnya ada di ruang antar iga kedua. Pipa khusus atau kateter tersebut kemudian

    dihubungkan dengan pipa yang lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang

    dimasukkan ke dalam air di dalam botol. Masuknya pipa kaca ke dalam air

    sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya gelembung udara mudah keluar.

    Apabila tekanan rongga pleura masih tetap positif, perlu dilakukan penghisapan

    udara secara aktif (continuous suction) dengan memberikan tekanan -10 cm

    sampai 20 cm H2O agar supaya paru cepat mengembang. Apabila paru sudah

    mengembang penuh dan tekanan rongga leura sudah negatif, maka sebelum

    dicabut dilakukan uji coba dengan menjepit pipa tersebut selama 24 jam.

  • 18

    Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi dengan foto dada, apakah paru

    mengembang dan tidak mengempis lagi atau tekanan rongga pleura menjadi

    positif lagi. Apabila tekanan di dalam rongga pleura menjadi positif lagi maka

    pipa tersebut belum dapat dicabut.13 Di RS Persahabatan, setelah WSD diklem

    selama 1-3 hari dibuat foto dada. Bila paru sudah mengembang maka WSD

    dicabut. Pencabutan WSD dilakukan waktu pasien dalam keadaan ekspirasi

    maksimal. Pada wanita muda dengan alasan kosmetika maka insisi kulit dapat

    dilakukan pada ruang antar iga empat atau lima linea mid-klavikula. Pemasangan

    WSD tersebut bisa dengan sistem 2 botol atau 3 botol (Gambar 5). Apabila akan

    dilakukan pleurodesis, dari pipa tersebut dapat diinjeksikan suatu derivate dari

    tetracycline sehingga resiko untuk kambuh dapat dikurangi. Pada sebuah

    penelitian secara random pada 229 PSP, ternyata tingkat kekambuhan pada

    kelompok yang dilakukan pleurodesis sebesar 25%, sedangkan pada kelompok

    control tingkat kekambuhannya 41% (Loddenkemper, 200).

  • 19

    Gambar 5. Teknik WSD dengan 2 botol dan 3 botol

    Sumber : Netter, 1979. Respiratory system, The Ciba Collection of Medical Illustration, vol. 7.

    Menurut Asril penatalaksanaan pneumotoraks spontan dibagi dalam :

    1. PSP, yang terjadi pada usia muda dengan fungsi paru normal, maka akan

    sembuh sendiri. Evaluasi selanjutnya perlu berhati-hati sampai pengembangan

    paru sempurna. PSP ukuran besar, bila pada aspirasi pipa kecil tidak

    mengembang dalam 24-48 jam, perlu dipasang pipa interkostal besar, dengan

  • 20

    Water Sealed Drainage (WSD) atau pengisapan secara perlahan-lahan

    memakai katup flutter (continuous suction). Bila paru sudah mengembang,

    biarkan pipa rongga pleura di tempatnya dengan diklem alirannya dan

    dievaluasi selama 24 jam. Apabila udara masih menetap dalam rongga pleura

    selama 1 minggu, perlu dilakukan torakotomi.

    2. PSS : sebelum melakukan pemasangan pipa rongga pleura, perlu diyakini lagi

    adanya pneumotoraks pada pasien-pasien emfisema, karena tindakan tersebut

    dapat berakibat fatal. Pengeluaran udara biasanya secara terus-menerus

    (continuous suction) sampai beberapa hari hingga fistula bronkopleura

    (Broncho Pleural Fistel = BPF) menghilang. Bila gagal mengembang

    sempurna, dapat dipasang pipa rongga pleura kedua dan bila gagal juga

    mengembang setelah 1 minggu, perlu operasi torakotomi. Untuk mengetahui

    adanya BPF dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut :

    Mengukur PO2 dan PCO2 gas yang berpindah. Bila PO2 > 50 torr dan

    PCO2 < 40 torr, tersangka ada BPF persisten. Bila PO2 < 40 torr dan

    PCO2 > 45 torr, BPF menghilang.

    Mengukur tekanan udara intrapleura. Pada keadaan normal tekanan

    udara pada rongga pleura adalah negatif dan pada akhir ekspirasi

    tekanan udaranya masih di bawah atmosfir. Bila ada BPF artinya

    tekanan intrapleura pada akhir ekspirasi sama dengan tekanan dalam

    alveolar yang berarti sama dengan tekanan atmosfir.

    Mengukur jumlah udara yang dikeluarkan selama aspirasi. Pada

    keadaan normal BPF negatif artinya udara yang keluar jumlahnya

  • 21

    terbatas, BPS positif artinya udara yang keluar jumlahnya tidak

    terbatas.

    Torakoskopi

    Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga

    toraks dengan alat bantu torakoskop. Torakoskopi dilakukan pertama kali oleh Dr. Hans

    Christian Jacobeus dari Stockholm Swedia pada tahun 1919, dengan menggunakan alat

    sistoskop. Pada waktu itu torakoskopi dilakukan untuk memotong adhesi pleura

    (pneumolisis) dan menghasilkan pneumotoraks artificial pada penderita tuberkulosis

    paru oleh karena belum ada obat antituberkulosis (Embran, 2001).

    Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assisted Thoracoscopy Surgery

    = VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator maupun pasiennya

    karena akan diperoleh lapangan pandang yang lebih luas dan gambar yang lebih bagus.

    Tindakan ini sangat efektif dalam penanganan PSP dan mencegah berulangnya kembali.

    Dengan prosedur ini dapat dilakukan reseksi bulla atau bleb dan juga bisa dilakukan

    untuk pleurodesis. Tindakan ini dilakukan apabila :

    Tindakan aspirasi maupun WSD gagal

    Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi

    Terjadinya fistula bronkopleura

    Timbulnya kembali pneumotoraks setelah tindakan pleurodesis

    Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh

    kembali seperti pada pilot dan penyelam (Light, 2003).

  • 22

    Tindakan torakoskopi yang dikerjakan pada 25 pasien pneumotoraks spontan yang

    berulang, menunjukkan di parunya terdapat bleb di daerah apek paru serta pernah

    dilakukan pleurektomi apical, setelah dievaluasi lebih dari 2,5 tahun ternyata hanya

    didapatkan angka komplikasi 3% dan hanya terbatas sekitar luka tersebut.15

    Pengambilan bleb atau bulla dengan torakoskopi disertai pleurodesis pada 82 pasien

    pneumotoraks spontan yang berulang atau persisten, ternyata yang mengalami komplikasi

    hanya 6 pasien (7,3%), terdiri 3 pasien (4%) dengan kelainan paru berupa bulla yang

    merata dan mengalami intubasi yang cukup lama (berturut-turut 9, 11 dan 12 hari), 2

    pasien (3%) mengalami kebocoran udara yang menetap berlangsung sekitar 10-14 hari,

    dan 1 pasien mengalami kerusakan parenkim paru setelah batuk kuat 2 hari. Pada 69

    pasien (83%) ternyata pada parunya didapatkan bleb atau bulla. Hasil tindakan tersebut

    menunjukkan pengembangan paru yang cukup baik setelah operasi dan setelah 22 bulan

    pengamatan tidak mengalami kekambuhan. 11 Video Assisted Thoracoscopy Surgery

    (VATS) masih merupakan pilihan yang tepat untuk pneumotoraks spontan, lamanya

    operasi sekitar 45 menit, rasa tak enak setelah operasi sangat minimal dan lamanya rawat

    inap di rumah sakit setelah operasi rata-rata 4 - 6 hari. Rata-rata rawat inap pasien

    pneumotoraks spontan di rumah sakit setelah dilakukan torakoskopi video dengan

    pleurodesis talk sekitar 5,7 hari dan jika dengan bullektomi sekitar 6 hari.

    Penderita dengan luas pneumotoraks > 20% biasanya membutuhkan waktu > 10

    hari untuk berkembangnya paru kembali.12 Pada pasien PSP sekitar 50% akan mengalami

    kekambuhan. Tindakan torakoskopi atau torakostomi yang disertai dengan abrasi pleura

    akan mencegah kekambuhan hampir 100%. Pada hampir semua pasien PSS akhirnya

    diterapi dengan torakostomi disertai pemberian obat sklerosing. Pasien-pasien PSP

  • 23

    maupun PSS yang diketahui ada udara yang persisten di rongga pleura dan parunya

    belum mengembang setelah 6 hari pemasangan pipa torakostomi, maka diharuskan

    torakotomi terbuka.10

    Jika didapatkan adanya bleb atau bulla, maka yang bisa dilakukan adalah :

    Lesi ukuran kecil, bleb atau bulla < 2 cm, dikoagulasi dengan pleurodesis talk.

    Bleb atau bulla > 2 cm, reseksi torakoskopi dengan suatu alat EndoGIA,

    kemudian diikuti skarifikasi (electrocoagulation) pada pleura parietalis. Pada

    43 pasien yang dikerjakan tersebut ternyata didapatkan 15 kasus (34%) tidak

    dijumpai bleb/bulla, 6 kasus (14%) hanya bleb < 2 cm, 23 kasus (52%)

    dijumpai bleb/bulla > 2 cm. Pada 44 kasus tersebut, 21 kasus (48%)

    dikerjakan pleurodesis talk dan 23 kasus (52%) dikerjakan bullektomi. Hasil

    semua tindakan di atas sebagian besar tanpa komplikasi.

    Torakotomi

    Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi.

    Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat

    di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut

    (Light, 2002)

    PROGNOSIS

    Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami

    kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube

    thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang

  • 24

    dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaanya cukup baik,

    umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung

    penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus lebih

    berhati-hati karena sangat berbahaya.

    PNEUMOTORAKS SPONTAN PADA KEADAAN KHUSUS

    a. Pneumotoraks pada penderita HIV

    Lebih dari 80% kasus pneumotoraks pada penderita HIV terjadi karena adanya

    infeksi Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP). Penyebab yang lain biasanya karena

    sarcoma kaposi, pemakaian obat-obat intravena, toksoplasmosis, infeksi bakterial, jamur

    maupun virus. Kasus pneumotoraks pada penderita HIV dilaporkan pertama kali pada

    tahun 1984. Sejak itu lebih dari 250 kasus yang dilaporkan dan diperkirakan 10% dari

    penderita yang terinfeksi PCP akan terjadi pneumotoraks dengan tingkat mortalitas lebih

    dari 50% (Tietjen dan Sahn, 2002).

    Patogenesis pneumotoraks pada penderita HIV belum jelas. Hipotesis yang

    dikembangkan adalah akibat nekrosis jaringan dan penggunaan pentamidine aerosol.

    Invasi dari PCP bisa pada septum interalveoler, pleura atau pembuluh darah. Invasi

    tersebut bisa menimbulkan nekrosis akibat respon inflamasi dari penjamu, kerusakan

    jaringan secara langsung akibat toksin dari pneumocystis dan infark jaringan akibat

    kerusakan pembuluh darah pada jaringan tersebut. Akibat nekrosis jaringan tersebut

    dapat terbentuk suatu kavitas atau terjadinya pneumotoraks (Tietjen dan Sahn, 2002).

    Penggunaan pentamidine aerosol diduga dapat menimbulkan kavitasi, kista

    maupun pneumotoraks meskipun patogenesisnya belum jelas. Pentamidin secara

  • 25

    langsung tidak menimbulkan reaksi toksik terhadap paru, tetapi secara tidak langsung

    dimungkinkan memacu timbulnya kavitasi atau pneumatokel akibat pneumocystis dan

    dapat menimbulkan pneumotoraks spontan. Kavitasi oleh PCP terjadi pertama kali pada

    lobus superior dan jaringan paru perifer karena distribusi pentamidine aerosol lebih

    banyak pada jaringan paru di dekat hilus pada lobus inferior. Deposisi pentamidine

    yang tidak adekuat pada jaringan paru perifer memungkinkan timbulnya infeksi

    pneumocystis dan pembentukan pneumatocoele pada jaringan paru perifer yang bisa

    menimbulkan pneumotoraks (Tietjen dan Sahn, 2002).

    Pengobatan atau management penderita pneumotoraks spontan pada penderita

    HIV pada prinsipnya sama. Jika pneumotoraks < 15% dan asimtomatik hanya dilakukan

    observasi. Pada penderita dengan luas pneumotoraks > 15% dan simtomatik dapat

    dilakukan pemasangan tube torakostomi. Tindakan pleurodesis dengan talk, tetracycline,

    doxycycline dan bleomycin dapat mencegah rekurensi pneumotoraks dan dapat menutup

    fistula bronkopleura (Tietjen dan Sahn, 2002).

    b. Pneumotoraks pada perjalanan udara

    Insidensi pneumotoraks pada perjalanan udara komersial belum diketahui karena

    belum adanya standarisasi kegawatan medis pada penerbangan. Dalam pengamatannya

    selama 2 tahun (1986-1988) Federal Aviation Adsministration (FAA) memeriksa 2.322

    kegawatan yang terjadi selama penerbangan, ternyata hanya terdapat 1 kasus dengan

    pneumotoraks yang definitif dan 1 kasus dengan dugaan pneumotoraks. Insidensi

    pneumotoraks spontan pada pilot-pilot militer tampaknya lebih tinggi. Dari tahun 1952-

    1964 di angkatan udara Amerika dilaporkan 47-78/100.000 orang pertahun. Terdapat

  • 26

    dua faktor penting yang berperanan pada patogenesis pneumotoraks pada perjalanan

    udara yaitu air traping (udara yang terkumpul) akibat obstruksi saluran nafas oleh

    lendir dan ekspansi dari udara yang terjebak tersebut akibat berkurangnya tekanan

    atmosfir. Berdasarkan hukum Boyle, volume gas berbanding terbalik dengan

    tekanannya. Pada ketinggian 35.000 kaki di atas permukaan air laut, tekanan atmosfir

    akan menurun secara drastis sehingga volume udara paru akan meningkat 4,3 kali

    dibanding volume awal. Peningkatan volume udara paru ini bisa menyebakan rupturnya

    bleb, bulla maupun kista kongenital dan menimbulkan pneumotoraks (Frye dan Sahn,

    1999).

  • 27

    DAFTAR KEPUSTAKAAN

    Embran, P, 2001. Torakoskopi Medis, Pertemuan Ilmiah Paru Milenium 2001, Malang, hal : 136-143. Frye, M.D dan Sahn, S.A, 1999, Pneumothorax and Air Travel, Uptodate 12.2 Light, R.W, 2002, Primary Spontaneous Pneumothorax, Uptodate 12.2. Light, R.W, 2003 Causes and Management of Secondary Spontaneous Pneumothorax, Uptodate 12.2 Loddenkemper, R dan Frank, W, 2003, Pleural Disease, dalam G.J. Gibson, D.M. Geddes, U. Costabel, P.J. Sterk, B. Corrin, Respiratoru Medicine, third edition, vol 2 pg : 1184-1937, Saunders. Netter, F.H., 1979. Respiratory System, dalam Matthew B. Divertie, The Ciba Collection of Medical Illustration, vol. 7. Stark, P, 2002, Imaging of Pneumothorax, Uptodate 12.2 Tietjen, P.A dan Sahn, S.A, 2002, Pneumothorax in HIV-infected Patients, Uptodate 12.2.