pkn otonomi daerah

24
TUGAS MAKALAH MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN 39 PERMASALAHAN DALAM OTONOMI DAERAH NAMA : GILANG FIRMANSYAH NIM : 141910101047 NO. ABSEN : N0. HP : 087805599721

Upload: gilang-firmansyah

Post on 04-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Makalah Otonomi Daerah

TRANSCRIPT

Page 1: PKN OTONOMI DAERAH

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN 39

PERMASALAHAN DALAM OTONOMI DAERAH

NAMA : GILANG FIRMANSYAH

NIM : 141910101047

NO. ABSEN :

N0. HP : 087805599721

UNIT PELAKSANA TEKNIK BIDANG STUDI MATA KULIAH UMUM ( UPT BSMKU )

UNIVERSITAS JEMBER2015

Page 2: PKN OTONOMI DAERAH

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas

berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah untuk memenuhi tugas

mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.

Dalam penulisan makalah ini penulis membahas tentang “ Permasalahan

Dalam Otonomi Daerah ” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah

Pendidikan Kewarganegaraan.

Dengan menyelesaikan Makalah ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan.

Namun penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca

yang sifatnya membangun untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan

datang sehingga menjadi lebih baik lagi. Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi

penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jember, Maret 2015

Penulis

Page 3: PKN OTONOMI DAERAH

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………

Daftar Isi ……………………………………………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ……………………………………………………

1.2 Rumusan Masalah ……………….………………………………

1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………

1.4 Manfaat Penulisan ………………………………………………

1.5 Sistematika Penulisan .……………………………………………

1.6 Metodologi Penelitian ………………………………………….

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah …..………………………….

2.2 Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia …………………

2.3 Adanya Eksploitasi Pendapatan Daerah…………………………

2.4 Korupsi di Daerah…………………………………………………

BAB 3. PENUTUP

3.1 Simpulan …………………………………………………

3.2 Saran ………………………………………………………

Daftar Pustaka …………………………………………………

Page 4: PKN OTONOMI DAERAH

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian tersebut di atas maka akan

tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan

mengurus kepentingan sendiri.

Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah

dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU otonomi daerah ini

merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 sehingga kedua

UU tersebut kini tidak berlaku lagi.

Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut

memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata

dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing

daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber

pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan

dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan

pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.

Memang harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau

harapan tentu akan berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap

pelaksanaan juga berjalan baik. Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya

mulai terlihat dalam otonomi daerah yang ada di Indonesia. Masih banyak

permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.

Page 5: PKN OTONOMI DAERAH

Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal

dari otonomi daerah dapat tercapai.

1.2 Rumusan  Masalah

Dalam penyusunan ini penulisan memberikan batasan-batasan masalah,

meliputi :

1. Eksploitasi Pendapatan Daerah

2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi

daerah yang belum mantap

3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai

4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya

pelaksanaan otonomi daerah

5. Korupsi di Daerah

6. Potensi munculnya konflik antar daerah

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini di bagi menjadi 2 yaitu, tujuan umum dan khusus:

            1.3.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di

Indonesia

2. Meneliti penyelesaian dari permasalahan yang ada

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

tentang Permasalahan Dalam Otonomi Daerah

1.4 Manfaat Penulisan

1. Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa.

2. Sebagai wacana awal bagi penyusunan karya tulis selanjutnya.

Page 6: PKN OTONOMI DAERAH

3. Sebagai literature untuk lebih memahami otonomi daerah di Indonesia.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan yang digunakan

adalah :

BAB 1. PENDAHULUAN

Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB 2. PEMBAHASAN

Berisi tentang : Pembahasan mengenai permasalahan dalam

pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

BAB 3. PENUTUP

Berisi tentang : kesimpulan dan saran.

1.6 Metodologi Penelitian

Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan

adalah :

Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan

dengan penulisan karya tulis ini

Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin

pencari yang tidak penulis tidak dapatkan dari buku-buku

 

Page 7: PKN OTONOMI DAERAH

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri

berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan

Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi

suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam

keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan

kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi

akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan

adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di

Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab,

kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke

pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan

untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang

merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan

dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan

umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar

tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi

sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan

pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-

sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

2.2 Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia

Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang

sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi

daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk

mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem

pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku

pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan

Page 8: PKN OTONOMI DAERAH

potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan.

Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses

pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah

yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.

Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit

kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan

yang, jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk

memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa?

Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi

pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang

dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada

susunan ketatanegaraan Indonesia.

Masalah-masalah tersebut antara lain :

1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah 

2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum

mantap

3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai

4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya

pelaksanaan otonomi daerah

5. Korupsi di Daerah

6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah

Beberapa permasalahan tersebut dibahas lebih lanjut sebagai berikut :

1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah

Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar

dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai

pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam

ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan

melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah.

Page 9: PKN OTONOMI DAERAH

Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup

untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus

membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya

dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu

daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan

pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola

tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan

pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat

gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi

pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis

modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena

ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha

(enterpreneurship).

Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu

tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah

daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah

daerah telah kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika

menghitung berapa item pajak dan retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah.

Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item.

Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta,

bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda

DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi

Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan

terhadap label sebuah produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut

termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya

Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan,

dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi

sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya kurang

Page 10: PKN OTONOMI DAERAH

meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul

kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.

Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa upaya

pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah

melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak sebagai warga negara kita harus ikut

berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan menyumbangkan sebagian

kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan tetapi,

apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya

hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh

mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?

Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang

cenderung eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru

dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah.

Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.

Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar

seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang yang harus

dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau

retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua

terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam

menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan

lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-

ujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau

pemerintah daerah ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada

saat yang sama justru mengurangi minat investor untuk berinvestasi ?

2. Korupsi di Daerah

Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan

berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi

dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti

bahwa banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-

hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding.

Page 11: PKN OTONOMI DAERAH

Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan

kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih

besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana

legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per

orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan.

Mengapa harus ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa

anggaran seharusnya tidak dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus

disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata apapun perilaku

pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah

tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka.

Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses

pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga

sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara

bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas

yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan

pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga

kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari

dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah setelah

mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat

publik itu?

Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah :

1. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti

asuhan dan jompo)

Modus :

a. Pemotongan dana bantuan sosial

b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).

Page 12: PKN OTONOMI DAERAH

2. Bantuan fiktif

Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah

ke pihak luar.

3. Penyelewengan dana proyek

Modus :

a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.

b. Memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.

4. Proyek fiktif fisik

Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.

5. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran

Modus :

a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.

b. Penetapan target penerimaan.

6. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan

pensiun dan sebagainya

Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.

2.3 Penyelesaian permasalahan otonomi daerah di Indonesia

Pada intinya, masalah – masalah tersebut seterusnya akan menjadi persoalan

tersendiri, terlepas dari keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan

yang tidak populer melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah

sebenarnya sudah ada sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya

baru muncul dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah

Page 13: PKN OTONOMI DAERAH

memang memungkinkan untuk itu. Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk

mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para pahlawan

baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk bertindak semau kita.

Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya

bisa menempuh jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung

membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1)

efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi perusahaan daerah. Saya sepenuhnya yakin

bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui alternatif ini. Akan tetapi, jika

keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya

alasan lain. Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah

tidak mempunyai keinginan kuat (strong will) untuk melakukan efisiensi anggaran

karena upaya ini tidak gampang. Di samping itu, ada keengganan (inertia) untuk

berubah dari perilaku boros menjadi hemat.

Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang

memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi

hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan

paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika

dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa

menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah

daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah

kepada swasta melalui privatisasi.

Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam

pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Saya punya

hipotesis bahwa pemerintah daerah atau pejabat publik lainnya, termasuk legislatif,

pada dasarnya kurang bisa dipercaya, lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan

dengan pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi

pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat.

Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat

publik, yang jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat

pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat

Page 14: PKN OTONOMI DAERAH

justru bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani

keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat

publik lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan

pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atawa hibah dalam kaitan

jabatan yang dipangkunya.

Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan

masalah baru di bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah

Otonomi Daerah tanpa harus mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah

dan masyarakat bersinergi mengatasi masalah tersebut. Pasti kesejahteraan

masyarakat segera terwujud.

1. Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi

Pembangunan di daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan

membuat pemerataan pembangunan antar daerah.

2. Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan

mengadakan kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban

mengibarkan bendera merah putih.

3.  Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian

korupsi yang dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi

membuat kepala daerah melakukan korupsi.

4.  Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan

peraturan diatasnya yang lebih tinggi.

5. Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan

daerah untuk mencegah pembentukan dinasti politik.

6. Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih

mendagri yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.

7. Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi

birokrasi), mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan

efisiensi anggaran.

8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta

mencari dari sektor lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk

kesejahteraan masyarakat. 

Page 15: PKN OTONOMI DAERAH

BAB 3. PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Otonomi daerah  adalah suatu  keadaan yang memungkinkan daerah dapat

mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Dimana

untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya

segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk

mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya, kecuali untuk persoalan-

persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam

perspektif keutuhan negara- bangsa. Dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah

pula ditetapkan   Ketetapan MPR  No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam

Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip

otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian

dan keprakarsaan dari daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi

daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari

pemerintahan pusat. Bahkan,kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan

pula dalam materi perubahan Pasal 18UUD 1945.

Adapun dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan

bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran,

munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya

kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih

berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi

berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus

dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat tercapai.

3.2. Saran

Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:

1. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan

Page 16: PKN OTONOMI DAERAH

antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan

keanekaragaman daerah.

2.  Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan

dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling

dekat dengan masyarakat.

3. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga

perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada

masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat

memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan

aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi

Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga

perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan

pelaksanaan Otonomi Daerah.

Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya

membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan

kelompoknya dan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak

tersebut seharusnya tidak bertindak egois dan melaksanakan fungsi serta

kewajibannya dengan baik.

Page 17: PKN OTONOMI DAERAH

DAFTAR PUSTAKA

Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi, kerjasama LAN – Depdagri.

Seminar Desentralisasi Pemerintahan “Inventarisasi Penyerahan Urusan Pemerintahan” Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda – Depdagri.

Marzuki, M. Laica, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI – Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″, Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Siregar, Faris. 2011. Hambatan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dari http://catatankuliahpraja.blogspot.com/2011/09/hambatan-pelaksanaan-otonomi-daerah.html, dikutip pada 27 Maret 2012

Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif Masyarakat dalam Otonomi Daerah. Dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437, dikutip pada 27 Maret 2012

Lubis, Rusdi. 2011.PEMBINAAN SDM UNTUK PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH. D http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2474:pembinaan-sdm-untuk-pelaksanaan-otonomi-daerah&catid=11:opini&Itemid=83, dikutip pada 27 Maret 2012

Undang-Undang No. 22/1999

Undang-Undang No. 32/2004

Undang-Undang No. 33/2004