pjbl fp appendicitis peritonitis

57
Laporan Project Based Learning (PJBL) APPENDICITIS & PERITONITIS Disusun untuk melengkapi tugas blok Fundamental Pathophysiology of Digestive System Oleh: Kelompok 6 Anita Ika Lestari 115070207111011 Kinanti Primandini 115070207111013 Wisam Wafi Kurniawan 115070207111015 Maretta Sekar Dewi 115070207111017 Giovanny Sumeinar 115070207111019 Dewanti Erin Sasmi 115070213111001 Dhinar Ika Wardhani P 115070207111025 Yuni Widiyaningsih 115070207111027 Baiq Ririn Vihasti S. 115070207111029 Isroah 115070207111031

Upload: giovanny-sumeinar

Post on 16-Jan-2016

55 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

apendisitis dan peritonitis

TRANSCRIPT

Page 1: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

Laporan Project Based Learning (PJBL)

APPENDICITIS &

PERITONITIS

Disusun untuk melengkapi tugas blok

Fundamental Pathophysiology of Digestive System

Oleh: Kelompok 6

Anita Ika Lestari 115070207111011

Kinanti Primandini 115070207111013

Wisam Wafi Kurniawan 115070207111015

Maretta Sekar Dewi 115070207111017

Giovanny Sumeinar 115070207111019

Dewanti Erin Sasmi 115070213111001

Dhinar Ika Wardhani P 115070207111025

Yuni Widiyaningsih 115070207111027

Baiq Ririn Vihasti S. 115070207111029

Isroah 115070207111031

Jurusan Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

2014

Page 2: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit inflamasi pada system pencernaan sangat banyak,

diantaranya appendisitis dan divertikular disease. Appendisitis

adalah suatu penyakit inflamasi pada apendiks diakibanya

terbuntunya lumen apendiks. Divertikular disease merupakan

penyakit inflamasi pada saluran cerna terutama kolon. Keduanya

merupakan penyakit inflamasi tetapi penyebabnya berbeda.

Appendisitis disebabkan terbuntunya lumen apendiks. dengan

fecalit, benda asing atau karena terjepitnya apendiks, sedang

diverticular disebabkan karena massa feces yang terlalu keras dan

membuat tekanan dalam lumen usus besar sehingga membentuk

tonjolan-tonjolan divertikula dan divertikula ini yang kemudian bila

sampai terjepit atau terbuntu akan mengakibatkan diverticulitis

Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada

Negara berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasawarsa

terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000

populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin

disebabkan perubahan pola makan, yaitu Negara berkembang

berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data epidemiologi

apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas,

dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an,

sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa. Sedangkan

insiden diverticulitis lebih umum terjadi pada sebagian besar Negara

barat dengan diet rendah serat. Lazimnya di Amerika Serikat sekitar

10%. Dan lebih dari 50% pada pemeriksaan fisik orang dewasa pada

umur lebih dari 60 tahun menderita penyakit ini

Apendisitis dan divertikulitis termasuk penyakit yang dapat

dicegah apabila kita mengetahui dan mengerti ilmu tentang penyakit

Page 3: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

ini. Seorang perawat memiliki peran tidak hanya sebagai care giver

yang nantinya hanya akan bisa memberikan perawatan pada pasien

yang sedang sakit saja. Tetapi, perawat harus mampu menjadi

promotor, promosi kesehatan yang tepat akan menurunkan tingkat

kejadian penyakit ini.  

Sehingga makalah ini di susun agar memberi pengetahuan

tentang penyakit apendisitis dan diverticulitis sehingga mahasiswa

calon perawat dapat lebih mudah memahami tentang pengertian,

etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, asuhan keperawatan,

penatalaksanaan medis pada pasien dengan apendisitis dan

diverticulitis.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan appendicitis ?

2. Bagaimana klasifikasi appendicitis ?

3. Apa penyebab terjadinya appendicitis ?

4. Bagaimana epidemiologi appendicitis ?

5. Bagaimana patofisiologi appendicitis ?

6. Apa faktor risiko dari appendicitis ?

7. Apa manifestasi klinis dari appendicitis ?

8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik appendicitis ?

9. Bagaimana penatalaksaan medis appendicitis ?

Page 4: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Appendicitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis

dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.

Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun

perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10

sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).

Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah

penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan

dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum

untuk bedah abdomen darurat. Jadi, dapat disimpulkan apendisitis

adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan

merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.

Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena

tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan

limfoid, dan cacing usus Obstruksi lumen merupakan penyebab

utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat

terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris

trichiura, dan Enterobius vermikularis

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus

buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan

pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa

pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu

dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum).

Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut

kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun,

lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa

mengeluarkan lendir.

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai

cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi

Page 5: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai

cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup

tinggi, dikarenakan oleh peritonitis (peradangan

peritonium ,biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi dari

organ abdomen berfurasi apendik atau saluran cerna atau luka

tembus abdomen)dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi

hancur.

2. Klasifikasi Appendicitis

Klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah

sebagai berikut :

1. Appendicitis Akut

Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang

memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi

yang lebih buruk jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat

terjadi seperti peritonitis umum, terjadinya abses, dan komplikasi

pasca operasi seperti fistula dan infeksi luka operasi (Jaffe &

Berger, 2005).

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang

didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan

tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan

peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-

samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah

epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual

dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun.

Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke

titik McBurney (Bedah UGM, 2009; Burkit et al, 1992). Di sini nyeri

dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga

merupakan nyeri somatic setempat. Kadang tidak ada nyeri

epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita seperti

memerlukan obat pencahar.

Page 6: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

Bila dilakukan penekanan kemudian dilepaskan pada titik

MC. Burney maka pasien apendisitis akut akan merasa sangat

nyeri. Penekanan juga dapat dilakukan di abdomen kiri bawah,

dikatakan apendisitis bila merasa nyeri pada abdomen kanan

bawah (bedah UGM, 2009).

a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub

mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk

dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam

lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi

menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa

nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise,

dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi

leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema,

dan tidak ada eksudat serosa.

b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai

edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding

appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini

memperberat iskemia dan edema pada apendiks.

Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam

dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa

menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada

appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan

di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai

dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri

lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak

aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada

seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c. Appendicitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah

arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren.

Page 7: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami

gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna

ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis

akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan

peritoneal yang purulen.

2. Appendicitis Infiltrat

Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang

penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,

kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa

flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

3. Appendicitis Abses

Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk

berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari

sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.

4. Appendicitis Perforasi

Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang

sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga

perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks

tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

5. Appendicitis Kronis

Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut

supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi

mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi

parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat

ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut

kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks

secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding

appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia

mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan

eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa.

Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

Page 8: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

Pada pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi

terkadang menggambarkan hasil yang normal. Setelah dilakukan

apendektomi, gejala akan menghilang pada 82-93% pasien (Jaffe

& Berger, 2005). Patologi anatomi digunakkan untuk menegakkan

apendisitis kronikkarena diagnosis sebelum operasi sangat sulit

ditetapkan (Smink & Soybel, 2005). Ciri Apendisitis kronikadalah

fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total

lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa,

dan infiltrasi sel inflamasi kronik(Pieter, 2005).

3. Etiologi Appendicitis

Penelitian menunjukkan peran kebiasaan makan-makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya

apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang

berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan

meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Kuman yang

sering ditemukan dalam apendiks belum diketahui secara pasti.

Lumen yang sering ditemukan dalam apendiks ditemukan dalam

apendiks yang meradang adalah E. Coli dan streptococus.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.

Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah

obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Apendisitis merupakan

infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan

akibat :

1. Hiperplasia dari folikel limfoid

2. Adanya fekalit dalam lumen appendiks

3. Tumor appendiks

4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis

5. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica.

 

Page 9: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mucosa

yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan

semakin meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan

tekanan intra mucosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan

menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi

peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada

dinding apendiks. (Mansjoer et.al., 2005 ; Sjamsuhidajat et.al., 2005 ;

Yopi Simargi et al., 2008).

Penyebab lain obstruksi lumen appendix juga dapat

disebabkan oleh apendikolit, fekalomas (tinja yang mengeras) yang

akhirnya merusak suplai darah dan merobek mukosa yang

menyebabkan inflamasi, parasit (biasanya cacing ascaris), benda

asing, karsinoid, jaringan parut, mukus, dan lain-lain (Subanada,

dkk, 2007, Price dan Wilson, 2006).

4. Epidemiologi Appendicitis

Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada

di Negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat

perubahan pola makan di Negara berkembang yang banyak

mengkonsumsi makanan berserat. Apendisitis merupakan

kedaruratan bedah paling sering di Negara-negara Barat. Namun

dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara

bermakna. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya

pada anak kurang dari 2 tahun jarang dilaporkan. Insiden

apendisitis tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah

umur 30 tahun insiden apendisitis mengalami penurunan jumlah.

Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali

pada umur 20-30 tahun, insiden laki-laki lebih sering. Ini

disebabklan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa

tersebut.(Pieter, 2005)

Di Indonesia insidens apendisitis akut jarang dilaporkan.

Insidens apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedang kan pada

Page 10: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

wanita jumlahnya 218 dari keseluruhan 460 kasus (Ruchiyat

dkk,1999). Tahun 2008, insiden apendisitis mengalami

peningkatan. Hal ini diakibatkan karena peningkatan konsumsi

junk food dari pada makanan berserat. Apendisitis kronik

insidennya hanya 1 - 5 %.

Insiden apendisitis pada laki – laki tertinggi pada umur 10 –

14 tahun (27.6% per 10.000 penduduk), sementara pada wanita

insiden tertinggi pada umur 15 – 19 tahun (20,5% per 10.000

penduduk) (Bernard & David, 2005; douglas & david, 2005.)

5. Patofisiologi Appendicitis

(Terlampir)

Page 11: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

6. Faktor Risiko Appendicitis

Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian

distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini

merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.

(Gearhart.S.L & Silen.W, 2008)

a. Faktor Host

1. Umur

Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling

sering pada dewasa muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika

Serikat, appendicitis tertinggi pada usia 10-19 tahun dengan

Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000

penduduk. Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan

limfoid karena jaringan limfoid mencapai puncak pada usia

pubertas.

2. Jenis Kelamin

Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific

Morbidity Rate (SSMR) pria : wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000

penduduk dengan rasio 1,4 : 1. Penelitian Gunerhan (2008) di

Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6 per

100.000 penduduk dengan rasio 1,07: 1. Kesalahan diagnosa

appendicitis 15-20% terjadi pada perempuan karena munculnya

gangguan yang sama dengan appendicitis seperti pecahnya

folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik, kista

ovarium, dan penyakit ginekologi lain.

3. Ras

Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet

rendah serat dan pencarian pengobatan. Penelitian Addins

(1996) di Amerika Serikat, IR kulit putih : kulit hitam yaitu 15,4 :

Page 12: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

10,3 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,5 : 1. Penelitian

Richardsonet al (2004) di Afrika Selatan, IR kulit putih : kulit

hitam yaitu 2,9 : 1,7 per 1.000 penduduk dengan rasio 1,7 : 1.

Penelitian Ponsky (2004) di Children's National Medical

Center Amerika Serikat dengan desain Case Control pada anak

umur 5-17 tahun didapat penderita ruptur appendicitis 1,66 kali

lebih besar pada anak keturunan Asia (Odds Ratio [OR]: 1,66;

95% Confidence Interval [CI] : 1,24-2,23) dan 1,13 kali lebih

besar pada anak kulit hitam (OR: 1,13; 95% CI: 1,01-1,30)

dibandingkan anak bukan penderita ruptur appendicitis.

Penelitian Smink (2005) di Boston dengan desain Case Control

pada anak umur 0-18 tahun didapat penderita ruptur

appendicitis 1,24 kali lebih besar pada kulit hitam (OR: 1,24;

95% CI: 1,10–1,39) dan 1,19 kali lebih besar pada anak

hispanik (OR: 1,19; 95% CI: 1,10–1,29) dibandingkan anak

bukan penderita ruptur appendicitis.

b. Faktor Agent

Proses radang akut appendiks disebabkan invasi

mikroorganisme yang ada di usus besar. Pada kultur ditemukan

kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan Eschericia coli,

Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan

Bacteriodes splanicus. Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri

anaerob 96% dan aerob 4%.

c. Faktor Environment

Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi

perubahan pola makan dalam masyarakat seiring dengan

peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi lemak dan rendah

serat. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya

appendicitis. Kebiasaan konsumsi rendah serat mempengaruhi

defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga

memiliki risiko appendicitis yang lebih tinggi.

Page 13: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

7. Manifestasi Klinis Appendicitis

Menurut Cecily Lynn & Linda (2009), manifestasi klinis

appendicitis :

1. Sakit, kram didaerah periumbilikus menjalar ke kuadaran kanan

bawah dengan intensitas nyeri tertinggi pada titik McBurney (yang

terletak dipertengahan antara Krista iliaka anterior superior kanan

dan umbilikus).

2. Anoreksia, mual, muntah, demam

3. Muntah (tanda awal yang umum, kurang umum pada anak yang

lebih besar).

4. Nyeri lepas (nyeri yang timbul sewaktu tekanan dihilangkan dari

bagian yang sakit), merupakan gejala klasik peritonitis dan umum

ditemukan di apendisitis. Terjadi sefans muscular atau

pengencangan perut (Elizabeth J Corwin. 2009)..

5. Bising usus menurun atau tidak ada sama sekal, konstipasi.

6. Diare (sedikit, berair).

7. Kesulitan berjalan atau bergerak.

8. Iritabilitas

Sedangkan Smeltzer & Bare, 2001 adalah :

a. Nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri di daerah

epigastrium di sekitar umbilicus, adanya keluhan mual dan muntah

b. Nafsu makan menurun

c. Nyeri tekan local pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan

d. Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh

perut,tetapi paling terasa nyeri pada titik Mc Burney

e. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi

sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.

f. Demam biasanya ringan 37,50C – 38,50C

g. Nyeri timbul saat berjalan

Page 14: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

h. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi

perforasi

Untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor

Alvarado, yaitu:

2.1. Pemeriksaan Diagnostik Appendicitis

Pemeriksaan fisik.

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal

swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan

distensi abdomen.

b. Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa

nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan

perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis.

Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut

kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan

Page 15: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa

sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg

sign).

c. Pemeriksaan colok dubur

Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah

bila pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri.

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan

letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan

pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang

meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci

diagnosis apendisitis pelvika. Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi

dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi adanya radang usus

buntu.

d. Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks

yang meradang. Pada apendiks yang terletak pada retro sekal

maka uji Psoas akan positif dan tanda perangsangan peritoneum

tidak begitu jelas, sedangkan bila apendiks terletak di rongga

pelvis maka Obturator sign akan positif dan tanda perangsangan

peritoneum akan lebih menonjol.

Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat

hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan

ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas

mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.

Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan

andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks

yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang

merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan

menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis

pelvika (Akhyar Yayan, 2008 )

Page 16: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

menentukan dan mendiagnosa adanya penyakit radang usus

buntu (Appendicitis). Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien

dengan appendisitis menurut Doengoes, 2000 adalah :

a. Pemeriksaan Diagnostik

- Pemeriksaan diagnostik pre operasi apendektomi :

1) SDP : Leukositosis di atas 12.000 / mm3 , neutrofil

meningkat sampai 75 %.

2) Urinalisis : normal, tetapi eritrosit / leukosit mungkin ada.

3) Foto abdomen : dapat menyatakan adanya pengerasan

material pada apendiks ( fekalit ), atau ileus terlokalisir.

4) Pemeriksaan rectal toucher akan teraba benjolan dan

penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.

- Pemeriksaan diagnostik post op apendektomi :

1) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya

peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya

infeksi.

2) Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya

komplikasi pasca pembedahan

Laboratorium

Darah lekosit akan terjadi peningkatan lekosit lebih dari 10.000-

20.000/ml (leukositosis) sebagai respon fisiologis untuk melindungi

tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang pada appendicitis

akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi

dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah

serum yang meningkat.

Pemeriksaan urin sangat membantu dalam menyingkirkan

diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal

yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan

appendisitis.Urin ditemukan jumlah lekosit dan bakteri yang

diterlihat.

Page 17: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

Hb (hemoglobin) nampak normal

Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan appendicitis

infiltrat

Radiologi

Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa

appendicitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala

dapat ditemukan gambaran sebagai berikut :

Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan

cairan

Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam

diafragma

Foto polos abdomen setelah enema barium akan nampak jika

appendik tidak terisi oleh kontras dicurigai adanya sumbatan

(fekolit)

Adapun macam-macam pemeriksaan radiologi diantaranya :

Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang

pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.

Pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang

dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami

inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

Abdominal X-Ray untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab

appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

USG : Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan

pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai

adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan

diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan

sebagainya.

Barium enema : Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan

barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan

Page 18: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya

dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.

Laparoscopi : Suatu tindakan dengan menggunakan kamera

fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat

divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah

pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini

didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga

dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.

1. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan

pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks

dengan jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan

apendiks yang meradang. CT- Scan sangat baik untuk mendeteksi

apendiks dengan abses atau flegmon . Pada pasien yang tidak

hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk

mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus

menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan

pelvis yang menyerupai appendicitis (Bedah UGM, 2009.

2. Laparoskopi (Laparoscopy)

Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai alat

diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis apendisitis

secara langsung, laparoskopi juga dapat digunakan untuk melihat

keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat

terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi

diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi

laparoskopi(Smink & Soybel, 2005).

3. Appendicogram

Pada appendicitis kronis, dilakukan pemeriksaan appendicogram.

Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa

appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus

Page 19: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

oleh fekalit. Kontras dapat mengisi lumen (filling), mengisi

sebagian (partial filling), dan tidak dapat mengisi (non filling).

8. Penatalaksanaan Medis Appendicitis

Penatalaksanaan Medis

- Appendiktomi cito (app akut, abses dan perforasi)

- Appendiktomi elektif (app kronik)

- Konservatif kemudian operasi elektif (app infiltrate)

(PPNI Klaten – 2013)

Penatalaksanaan Apendisitis Akut

- Perawatan Kegawatdaruratan

a. Berikan terapi kristaloid untuk pasien dengan tanda-tanda

klinis dehidrasi atau septicemia.

b. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan

apapun melalui mulut.

c. Berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk

kenyamanan pasien.

d. Berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-tanda

septicemia dan pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi.

- Antibiotik Pre-Operatif

a. Pemberian antibiotik pre-operatif telah menunjukkan

keberhasilan dalam menurunkan tingkat luka infeksi pasca

bedah.

b. Pemberian antibiotic spektrum luas untuk gram negatif dan

anaerob diindikasikan.

c. Antibiotik preoperative harus diberikan dalam hubungannya

pembedahan.

- Tindakan Operasi

a. Bila diagnosis klinis sudah jelas, maka tindakan paling tepat

adalah apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan

Page 20: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

yang baik. Penundaan tindakan bedah sambil pemberian

antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

b. Jika apendiks mengalami perforasi, maka abdomen dicuci

dengan garam fisiologis dan antibiotika.

c. Bila terjadi abses apendiks maka terlebih dahulu diobati

dengan antibiotika IV, massanya mungkin mengecil, atau

abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu

beberapa hari.

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita

appendicitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.

1. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada

penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah

berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk

mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum

operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta

pemberian antibiotik sistemik.

2. Operasi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis

maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang

appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan

pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.

Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah

ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta

untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan

( akhyar yayan,2008 ). Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa

ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat

apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko

perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum

umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara

Page 21: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.

Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh

para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas

sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium

dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih

terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi

diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan

akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang

sudah meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang

penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah

dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum

operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi

dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi

dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya,

teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan

cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks

(Sanyoto, 2007).

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian

antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman

anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan

sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, DeJong, 2004).

Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu

dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan

bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut

sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan

juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap

selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang

disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu

dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik

(Sanyoto, 2007).

Page 22: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

Daftar Pustaka

Mansjoer, A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3.

Jakarta: Media Aesculapius.

Rahmad Juwono. 1999. Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3. Jakarta:

FKUI.

Sjaifoellah Noer. 1998. Standar Perawatan Pasien. Jakarta: Monica

Ester.

Brunners & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Edisi 8. Jakarta:

EGC.

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta:

EGC.

Schwartz, Seymour. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah.

Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.

Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, R. & Jong, W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi

revisi. Jakarta: EGC.

Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi, edisi

2. Jakarta: EGC.

Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B., 2007. Appendicitis. In:

Essential Surgery Problems, Diagnosis, & Management. Fourth

Edition. London: Elsevier, 389-398.

Chapter II. Universitas Sumatera Utara.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19162/4/Chapter

%20II.pdf . Diaksestanggal 25 Februari 2014

Page 23: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat

kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan

nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan

penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah,

misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan, infeksi,

obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi

yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna

sehingga terjadilah peritonitis.

Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi

berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-

organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus

gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi,

iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi

bakteri secara inokulasi kecil-kecilan. Kontaminasi yang terus

menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya

benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor

yang memudahkan terjadinya peritonitis.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera

diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit

yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan

diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan

melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

Page 24: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan peritonitis ?

2. Bagaimana klasifikasi peritonitis ?

3. Apa penyebab terjadinya peritonitis ?

4. Bagaimana epidemiologi peritonitis ?

5. Bagaimana patofisiologi peritonitis ?

6. Apa faktor risiko dari peritonitis ?

7. Apa manifestasi klinis dari peritonitis ?

8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik peritonitis ?

9. Bagaimana penatalaksaan medis peritonitis ?

10. Apa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien peritonitis ?

Page 25: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI

Peritonitis adalah inflamasi atau peradangan pada selaput

peritoneum, yaitu lapisan serosa rongga abdomen. Peradangan yang

biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga perut

(peritoneum)—lapisan membran serosa rongga abdomen dan dinding

perut sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi

berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-

organ abdomen (misalnya, apendisitis, salpingitis), rupture saluran

cerna atau dari luka tembus abdomen.

2. KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut agen:

a. Peritonitis kimia, misalnya peritonitis yang disebabkan karena

asam lambung, cairan empedu, cairan pankreas yang masuk

ke rongga abdomen akibat perforasi.

b. Peritonitis septic, merupakan peritonitis yang disebabkan

kuman. Misalnya karena ada perforasi usus, sehingga kuman-

kuman usus dapat sampai ke peritoneum dan menimbulkan

peradangan.

Klasifikasi menurut sumber kuman:

a. Peritonitis primer (spontan)

Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal

dari penyebaran secara hematogen. Sering disebut juga

sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis ini

bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh

perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ

Page 26: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

visera dengan inokulasi bakterial pada rongga peritoneum.

Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama

oleh bakteri gram negatif (E.coli, klebsiella pneumonia,

pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif ( streptococcus

pneumonia, staphylococcus). Peritonitis primer dibedakan

menjadi:

1) Spesifik

Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik,

misalnya kuman tuberkulosa.

2) Non- spesifik

Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non

spesifik, misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak

spesifik.

b. Peritonitis sekunder

Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab

utama, diantaranya adalah:

1) Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus

gastrointestinal atau traktus genitourinarius ke dalam

rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks,

perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus,

kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.

2) Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke

peritoneum saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya asam

empedu akibat trauma pada traktus biliaris.

3) Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters

Terapi dilakukan dengan pembedahan untuk

menghilangkan penyebab infeksi (usus, appendiks, abses),

antibiotik, analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri, dan cairan

intravena untuk mengganti kehilangan cairan. Mengetahui

sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif

Page 27: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

1) Secara non operatif

Dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat

digunakan dengan efektif sebagai terapi, bila suatu abses

dapat dikeringkan tanpa disertai kelainan dari organ visera

akibat infeksi intra-abdomen

2) Cara operatif

Dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari

organ visera akibat infeksi intra abdomen

Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder

antara lain adalah syok septik, abses, perlengketan

intraperitoneal.

c. Peritonitis Tersier

Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous

Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien

imunokompromise. Organisme penyebab biasanya organisme

yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus,

S.Aureus, gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan

fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan

keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan

atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV

atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan

berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium.

Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis

berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini

sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.

3. EPIDEMIOLOGI

Menurut survey WHO  Jumlah penderita PERITONITIS di dunai

berkisar 5,9 jt/tahun. Insiden di negara barat telah menurun jelas pada

dekade terakhir, sedangkan di Afrika jarang dilaporkan adanya

Page 28: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

penyakit ini. Di Indonesia belum diteliti apakah ada kesan ada

kenaikan insiden. Di Amerika, insiden pada orang kulit hitam

sebanding atau sedikit lebih tinggi dibanding orang kulit putih. Terdapat

predisposisi familier, tetapi hubungannya lebih jelas. Lebih banyak

ditemukan pada orang yang golongan darah O, dan juga lebih sering

ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi.

Pada 39 kasus peritonitis neonatal ditemukan sekitar 51,3%

mempunyai peritonitis mekonium. Asites pada 45% kasus dan muntah-

muntah pada 40% kasus, 30% mempunyai massa pada abdominal.

Angka mortalitas pada peritonitis mekonium sekitar 80%.

4. ETIOLOGI

a. Infeksi bakteri

1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal

2) Appendisitis yang meradang dan perforasi

3) Tukak peptik (lambung / dudenum)

4) Tukak thypoid

5) Tukan disentri amuba / colitis

6) Tukak pada tumor

7) Salpingitis

8) Divertikulitis

b. Secara langsung dari luar.

1) Operasi yang tidak steril

2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida,

terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan

granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut

juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis

lokal.

3) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati

4) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.

Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.

Page 29: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut

seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media,

mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah

streptokokus atau pnemokokus.

Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah :

1) Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering

menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus,

kandung empedu atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum

sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak

berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan

peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.

2) Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif

melakukan kegiatan seksual

3) Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan

oleh beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkan

gonore dan infeksi chlamidia)

4) Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul

di perut (asites) dan mengalami infeksi

5) Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera

pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus

selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam

perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk

menyambungkan bagian usus.

6) Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering

mengakibatkan peritonitis. Penyebabnya biasanya adalah

infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam perut.

7) Iritasi tanpa infeksi; Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis

akut) atau bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga

dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.

5. PATOFISIOLOGI (Terlampir)

Page 30: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

6. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang

berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik.

Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari

dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum

peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi

dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik

meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah,

dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok

(Doherty, 2006).

a. Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada

pada peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-

tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya

didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).

Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-

menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan

timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada

daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya

intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya

lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah

meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan

penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al, 1989).

b. Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan

dapat diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh

haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan

menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya

sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989). (Corwin, 2001).

c. Facies Hipocrates

Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates.

Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan

Page 31: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka

yang tampak pucat (Cole et al,1970).

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies

Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini

ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan

dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan

dapat menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989).

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat

dengan tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan

mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik,

angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).

d. Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena

dua factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke

cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua

dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970).

Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata

melibatkan kuman gram negative dimana dapat menyebabkan

terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari

fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui

bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan

sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang

terlihat pada manusia (Cole et al,1970).

e. Tanda Vital

Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan

atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan

asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang

lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi

untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi,

berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang

menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal

seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih

Page 32: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat

perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk

(Schwartz et al, 1989).

f. Rigiditas Abdomen

Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi

akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai

respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen

ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum.

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Pada pemeriksaan fisik.

1) Perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,

pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum

melakukan pemeriksaan abdomen.

2) Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau

sepsis juga perlu diperhatikan.

3) Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan

akan sangat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien,

namun pemeriksaan abdomen ini harus dilakukan untuk

menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.

4) Inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas

operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut

membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang

disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya

akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau

distended.

5) Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang

paling terasa sakit di abdomen.

6) Auskultasi, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari

yang ditunjuk pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah

terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis

umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama

Page 33: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh

sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus

paralitik).

7) Palpasi, Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik

dan viseral yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum

parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu

dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan

nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang

tidak nyeri dengan bagian yang nyeri.

8) Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya

proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri

somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan

dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi

otot terhadap rangsangan tekanan.

9) Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri

tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans

muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang

meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.

10)Perkusi, Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada

peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat

ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan

shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar

akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena

adanya udara bebas tadi.

b. PemeriksaanDiagnostik

1) Test laboratorium

a) Leukositosis

Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung

banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak

limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi

peritoneum per kutan atau secara laparoskopi

Page 34: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan

merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan

didapat.

b) Hematokrit meningkat

c) Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium

pada pasien peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40,

BE= -4 )

2) X. Ray

Dari tes X Ray didapat foto polos abdomen 3 posisi (anterior,

posterior, lateral), didapatkan:

a) Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.

b) Usus halus dan usus besar dilatasi.

c) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus

perforasi.

3) Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)

Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan

cedera intra abdomen, setelah trauma tumpul yang disertai

dengan kondisi :

Hilangnya kesadaran

Intoksikasi alkohol

Perubahan sensori, misalnya pada cedera medula

spinalis

Cedera pada costae atau processus transversus

vertebra.

Tehnik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan

rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis

sampai 1.000 ml melalui kanul, setelah sebelumnya pada

pengisapan tidak ditemukan darah atau cairan.

Pada DPL dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif,

hal-hal yang perlu dianalisis antara lain: kadar pH, glukosa,

protein, LDH, hitung sel, gram stain, serta kultur kuman aerob

dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis, cairan peritonealnya

Page 35: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

menunjukkan kadar pH = 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL

dengan kadar protein dan LDH yang meningkat. Tehnik ini

dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati dan

hematom yang signifikan dengan dinding abdomen.

4) Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang

untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan

abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3

posisi, yaitu :

a) Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan

proyeksi anteroposterior.

b) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau

memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal proyeksi

anteroposterior.

c) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan

sinar horizontal proyeksi anteroposterior.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film

yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya.

Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35×43 cm.

Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan

pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3

posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:

a) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat,

ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu

pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan

dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone

appearance).

b) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan

perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan

pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak

tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan

Page 36: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara

bebas infra diafragma dan air fluid level.

c) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis

diperoleh adanya air fluid level dan step ladder appearance.

8. PENATALAKSANAAN

a. Bila peritonitismeluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena

syok dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan

diberikan cairan vena yang berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat

untuk mengganti elektrolit dan kehilangan protein. Lakukan

nasogastric suction melalui hidung ke dalam usus untuk

mengurangi tekanan dalam usus.

Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting.

Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan

dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan.

Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus

dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi. 8,17

b. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam:

Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah

gantamisin 5 mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan

metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis

bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik,

dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan

antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai

menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan

tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada

saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama

operasi.

c. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase

bedah dan perbaikan dapat diupayakan.Lavase peritoneum

Page 37: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan

larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi

ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan

antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon

iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi,

sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini

akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.

d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan,

karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari

cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi

kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana

terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan

diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat

direseksi.

e. Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah

peritonitis. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan

mayor adalah insisi dan drainase terhadap abses. (Saifuddin, Abdul

Bari.2008.Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Jakarta:

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)

f. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan

dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal

digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh

abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis

terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi

yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada

lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada

umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat

dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus

yang perforasi.

Page 38: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

9. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut

sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi

komplikasi dini dan lanjut, yaitu :

1. Komplikasi dini.

1. Septikemia dan syok septic.

2. Syok hipovolemik.

3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol

dengan kegagalan multisystem.

4. Abses residual intraperitoneal.

5. Portal Pyemia (misal abses hepar).

2. Komplikasi lanjut.

1. Adhesi.

2. Obstruksi intestinal rekuren.

Page 39: PJBL FP Appendicitis Peritonitis

DAFTAR PUSTAKA

Burner and suddarth, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah,-edisi 8,-volume 2, Jakarta : EGC.

Engram, Barbara, 1994, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal

Bedah, Vol 2, Jakarta : EGC.

Perry & Potter, 2006, Fundamental Keperawatan volume 2, Jakarta

: EGC.

Guyton, Arthur.c, John E.hall.2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

Jakarta : EGC

Mansjoer Arief.M,dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Media

Ausculapius, FKUI

Schwartz, Shires, Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen

dalam Intisari Prinsip–Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC.

2000. Hal 489–493.