perubahan sosial- endang usman
DESCRIPTION
HukumTRANSCRIPT
Makalah Hukum dan Perubahan Sosial
PENDEKATAN SOSIO-KULTURAL DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh : Endang Usman
Kajian sosio-kultural terhadap korupsi akan dapat memperjelas keterlibatan
variabel budaya masyarakat dalam korelasinya dengan korupsi. Dalam hubungan ini
pakar budaya Sjafri Sairin selain mengelaborasi pengaruh faktor mentalitas yang
selalu merasa kekurangan (unsatiable mentality) terhadap korupsi, juga mengkaitkan
dengan faktor sosio-kultural. Praktek korupsi juga didorong oleh pelbagai faktor
sosio-kultural bangsa yang berada di luar diri pelaku itu sendiri. Diantaranya adalah
faktor beban kultural (culture burden) yang membebani pundak banyak orang
terutama para aparat pemerintah. Beban ini muncul sebagai akibat dari kondisi
transisional yang sedang dihadapi para aparat negara dengan semakin maraknya
budaya konsumtif di tengah kehidupan masyarakat. Konsep beban kultural berkaitan
dengan beban yang harus dipikul seseorang sebagai akibat dari tuntutan nilai yang
datang dari masyarakat sendiri.1 Faktor sosio-kultural yang dikemukakan Sjafri Sairin
ini tidak lepas dari nilai-nilai yang dianut dan berlaku di dalam masyarakat Indonesia
dewasa ini yang diwarnai oleh budaya materialisme, hedonisme, dan konsumerisme.
Konsekuensi dari budaya yang demikian; masyarakat lebih menghargai orang yang
memiliki kekayaan materi yang banyak dibandingkan dengan orang yang jujur
berintegritas moral tinggi tetapi dia lebih miskin dalam bidang materi. Dengan iklim
kebiasaan masyarakat yang demikian, maka warga masyarakat berlomba untuk
memiliki simbol status materi untuk mencapai atau menunjukkan citra dirinya di mata
masyarakat.2
Korupsi juga telah terjadi di seluruh tingkatan masyarakat, sebagaimana
disebutkan dalam World Bank Policy Paper, yaitu pada tataran3 1 Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 204-205. Lebih rinci Sjafri Sairin memaparkan bahwa selalu ada semacam ekspektasi dan bahkan semacam tuntutan kultural pada diri masyarakat untuk menuntut mereka yang menduduki jabatan tertentu untuk memenuhi standar simbol-simbol kehidupan tertentu sesuai dengan tuntutan zaman. Harapan dan tuntutan kultural itu acapkali menjadi beban kultural yang diletakkan di pundak mereka yang dianggap sukses, terutama yang berhasil menduduki jabatan atau status tertentu.
2 Artidjo Alkostar, Korelasi Korupsi Politik Dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern
(Telaah tentang Praktik Korupsi Politik dan Penanggulangannya), Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009: hlm.166-167.
3 World Bank Policy Paper, Anticorruption in Transition A Contribution to The Policy Debate, 2000.
1
a. Pada tataran institusi nasional, korupsi terjadi antara pemerintah (eksekutif)
dan administrasi serta institusi birokrasi (pegawai negeri, kekuasaan
kehakiman, legislatif, dan pemerintahan daerah). Hubungan tersebut
memungkinkan terjadinya korupsi, hal ini dikarenakan adanya overlapping
dan konflik kewenangan, persaingan antar partai politik, dan hubungan antar
personal sehubungan dengan kemandirian dan loyalitas. Kontribusi faktor-
faktor lain yang memperlemah pemisahan hubungan antara pegawai negeri
dan partisipan politik, lemahnya profesionalisme birokrasi, kurangnya
akuntabilitas dan transparansi administrasi, dan kurangnya kontrol dan audit
politik. Penyalahgunaan diskresi oleh pejabat melalui penyalahgunaan
peraturan secara kompleks dan tidak transparan memungkinkan terjadinya
korupsi.
b. Pada tataran masyarakat nasional (publik), hubungan korupsi terjadi antara
negara dan berbagai aktor di luar negara. Di satu sisi pejabat negara yang
menerima atau melakukan korupsi (pada seluruh tingkatan); di sisi lain adalah
koruptor yang memberikan suap.
c. Pada tataran dunia usaha (korporasi), korupsi dapat menjadi gejala dalam
masyarakat ekonomi san pembangunan politik. Selain itu, seluruh bentuk
korupsi pada tataran korporasi dapat merusak moral publik dan mengurangi
kepercayaan publik dan kepercayaan terhadap hukum dan peraturan.
Bagaimanapun, dengan mempokuskan pada korupsi di sektor usaha
(korporasi) semata maka elemen inti dari korupsi akan hilang. Pada umumnya
definisi dari korupsi akan menekankan korupsi sebagai hubungan antara
negara dan masyarakat karena korupsi di sektor publik dipercayai sebagai
masalah fundamental dibandingkan korupsi di sektor usaha (korporasi), dan
karena pengawasan korupsi disektor publik merupakan prasyarat untuk
mengontrol korupsi di sektor usaha (korporasi).
Pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah perkembangan korupsi di Indonesia
adalah: Pertama, korupsi pada dasarnya berkaitan dengan perilaku kekuasaan.
Mengutip Lord Acton4, kekuasaan memang cenderung untuk korup. Kekuasaan yang
4 Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan "pintu masuk" bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, dengan adagiumnya yang terkenal ia menyatakan: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut), Lihat: H.M. Arsyad Sanusi, Relasi antara Korupsi dan Kekuasaan, Jurnal Konstitusi, Vol 6, No. 2, hlm.83-102.
2
berkuasa secara absolut, akan korup secara absolut pula. Kedua, korupsi sangat erat
kaitannya dengan perkembangan sikap kritis masyarakat. Semakin berkembang sikap
kritis masyarakat, maka korupsi akan cenderung dipandang sebagai fenomena yang
semakin meluas.
Hukum secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga
kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-
kaidah, dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia. Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, hidup berdampingan
dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh
mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi.5 Dengan demikian,
maka hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih
dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses.6
Roscoe Pound berpendapat, bahwa hukum harus dilihat atau dipandang
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka
yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Paham tadi
terbukti dari pendapatnya tentang sejarah hukum sebagai: “…..the record of a
continually wider recognizing and satisfying of human wants or claims or desires
through social control; a more embracing and more effective security of social
interest a continually more complete and effective elimination of waste and
precluding of friction in human enjoyment of the goods of existence-in short a
continually more efficacious social engineering.”7 Dalam kaitan ini, Roscoe Pound
juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action)
yang dibedakannya dengan hukum tertulis (law in the books). Pembedaan ini dapat
diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun hukum
ajektif.8
Di dalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya
dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan
5 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Ke-20, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011, hlm. 4
6 Ibid, hlm.5.7 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, New Heaven: Yale University Press,
1959, hlm.47.8 Ajarannya tersebut menonjolkan masalah, apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola
perikelakuan. Ajarannya tersebut dapat diperluas lagi sehingga mencakup masalah keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannnya dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-efeknya yang nyata. Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm.43.
3
pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana hukum.
Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan
yang menegakkan hukum serta badan-badan pelaksana yang menjalankan hukum,
merupakan ciri-ciri yang terdapat pada negara-negara modern. 9 Dengan adanya
penyimpangan sosial - dalam bentuk korupsi - tersebut perlu adanya pengendalian
sosial, yaitu suatu upaya yang ditempuh sekelompok orang atau masyarakat melalui
mekanisme tertentu untuk mencegah dan meluruskan anggota masyarakat yang
berperilaku menyimpang/membangkang serta mengajak dan mengarahkannya untuk
berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Pengendalian sosial
tersebut dapat dilaksanakan melalui jalur hukum (yang harus kita lakukan), norma-
norma (yang biasanya kita lakukan), dan petunjuk moral (yang seharusnya kita
lakukan).
Soerjono Soekanto,10 menyatakan bahwa pengendalian sosial adalah suatu
proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk
mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi
nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Dengan demikian, pengendalian sosial
meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk
mengarahkan seseorang atau kelompok orang. Selain itu pengendalian sosial pada
dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan
memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
Berkaitan dengan korupsi yang merupakan salah satu bentuk penyimpangan
sosial, maka dalam hal ini perlu dilakukan pengendalian sosial melalui sistem
mendidik dan mengarahkan melalui mekanisme tertentu. Mendidik dimaksudkan agar
dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku yaitu bersikap anti-korupsi. Mengajak
bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma yang
berlaku dan tidak menurut kemauan individu-individu atau kelompok yang
melakukan korupsi.
Dalam merespon fenomena sosial yang perkembangan masyarakat pada era
globalisasi saat ini, termasuk berbagai corak ekses pembangunan dan perilaku asosial
dan korupsi, hukum Indonesia (dapat) menunjukkan keberadaan dan wataknya sesuai
dengan perkembangan dan kompleksitas interaksi nasional maupun internasional.
9 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm.113.10 www.dikmenum.go.id . (Diunduh tanggal 17 Desember 2012, Jam: 19.45 WIB)
4
Hukum yang berakar filsafat utilitarian banyak mewarnai hukum suatu negara dan
norma internasional. Hukum yang beraliran utilitarianisme mengagungkan kebebasan
maksimal bagi setiap individu sebagaimana yang digagas oleh Jeremy Bentham
(1748-1832). Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, pemidanaan, menurut Bentham
harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak
boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-
penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan
harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Tujuan akhir dari perundang-
undangan adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah
terbesar rakyat.11Dengan demikian, kajian tentang keberadaan fungsi dan visi hukum
Indonesia terutama tentang korupsi menjadi sangat relevan, agar keberadaan hukum
sesuai dengan hakikat keberadaannya. Tersedianya integritas peradilan dan hukum
yang visioner dalam suatu pemerintahan, merupakan salah satu indikator adanya
komitmen bangsa dalam upaya menanggulangi korupsi.
Pembenahan sistem penegakan hukum harus melalui pemberlakuan asas
legalitas secara ketat dan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsekuen.
Untuk itu perlu adanya pencabutan “hukum yang korup” karena hal ini menjadi
variabel penghambat pemberantasan korupsi. Hukum yang korup adalah hukum yang
menghilangkan atau merampas hak-hak strategis yang dipunyai rakyat seperti halnya
beberapa hukum yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda, Orde Lama dan
Orde Baru. Antara lain adalah aturan hukum yang menyangkut haatzaai artikelen,
undang-undang subversi, dan lain sejenisnya. Perangkat hukum yang korup adalah
instrumen penguasa yang diwujudkan dalam bentuk aturan; yang hal itu tidak
mengandung nilai positif bagi rakyat dan peradaban bangsa. Jadi perlu adanya
gerakan “pembersihan norma hukum dari nafsu kekuasaan” yang menyelinap dalam
perangkat hukum. Dari proses penyidikan dan penuntutan, perlu adanya spirit
maksimalisasi hukuman bagi koruptor di kalangan penegak hukum baik pengacara,
polisi, jaksa dan hakim. Di samping tuntutan pemberlakuan asas transparansi bagi
penyelenggaraan peradilan, dalam arti dibukanya pintu “dissenting opinion” terutama
dalam perkara korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
11 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 289.
5
Artidjo Alkostar, Korelasi Korupsi Politik Dengan Hukum dan Pemerintahan di
Negara Modern (Telaah tentang Praktik Korupsi Politik dan
Penanggulangannya), Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009.
H.M. Arsyad Sanusi, Relasi antara Korupsi dan Kekuasaan, Jurnal Konstitusi, Vol 6,
No. 2.
Pound, Roscoe, An Introduction to the Philosophy of Law, New Heaven: Yale
University Press, 1959.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.
Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Ke-20, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2011.
World Bank Policy Paper, Anticorruption in Transition A Contribution to The Policy
Debate, 2000.
www.dikmenum.go.id . (Diunduh tanggal 17 Desember 2012, Jam: 19.45 WIB)
6