perubahan pada revitalisasi bangunan cagar budaya studi
TRANSCRIPT
Perubahan pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya
Studi Kasus : Gedung Kunstkring
Agustinus Leonardo W.,Dipl. Ing. Han Awal
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia
ABSTRAK
Bangunan cagar budaya merupakan warisan yang harus diturunkan ke generasi
berikutnya, sehingga perlu dijaga kelestariannya. Salah satu cara pelestarian atau yang
disebut konservasi adalah dengan melakukan revitalisasi. Dalam proses ini terjadi
perubahan-perubahan yang berupa perubahan fisik maupun fungsional. Sebagai
bangunan cagar budaya golongan A, Gedung Kunstkring juga telah mengalami
beberapa perubahan-perubahan dalam proses revitalisasi. Perubahan-perubahan ini
berhubungan dengan periode/zaman yang sedang terjadi saat itu. Meskipun begitu,
beberapa diantara perubahan ini tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku
dikarenakan minimnya pengawasan terhadap bangunan cagar budaya dan kurang
mendetailnya aturan mengenai konservasi.
PENDAHULUAN
Jakarta mempunyai beragam kekayaan sejarah, salah satu kekayaan sejarah tersebut
adalah bangunan-bangunan tua yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi
dikarenakan adanya suatu cerita penting dibalik bangunan tua tersebut. Namun, tidak
semua bangunan tua dikatakan sebagai bangunan cagar budaya. Aturan- aturan
mengenai bangunan cagar budaya diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun
2010. Tolak ukur sebuah bangunan dikatakan sebagai bangunan cagar budaya diatur
dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV.
Dalam bukunya Fitch (1992) mengungkapkan ada beberapa cara dalam usaha
melestarikan, diantaranya preservation, restoration, consolidation, reconstritution,
adaptive re-use, reconstruction, dan replication. Salah satu cara yang akan dibahas
dalam skripsi ini adalah adaptive re-use atau melakukan perubahan fungsi.Apabila
terjadi perubahan fungsi pada suatu bangunan, maka akan terdapat pula beberapa
perubahan fisik dari gedung tersebut guna menyesuaikan fungsi yang sedang
berlangsung.
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
Untuk itu menurut saya fenomena perubahan fungsi pada bangunan cagar budaya
khususnya di Jakarta perlu ditinjau lebih lanjut. Bangunan yang akan saya bahas
adalah gedung Kunstkring. Bangunan yang terletak di Jl. Teuku Umar No.1, Menteng
didirikan pada tahun 1912 ini telah mengalami perubahan fungsi dari awal berdiri
hingga sekarang.Seiring adanya perubahan fungsi yang terjadi pada suatu gedung
maka terdapat pula perubahan perubahan dalam elemen bangunan tersebut yang ikut
menyesuaikan fungsi.
BANGUNAN BERSEJARAH SEBAGAI CAGAR BUDAYA
II.1 Bangunan Bersejarah dan Cagar Budaya
Dalam bukunya Bernard M Fielden (1994) mengatakan bahwa bangunan bersejarah
meupakan simbol identitas budaya dan merupakan bagian dari kekayaan budaya. Dan
mempunyai nilai nilai arsitektural, estetika, sejarah, arkeologi, ekonomi, sosial, politik
dan sebagai simbol. Sejarah di suatu lingkungan atau suatu kota dapat ditelusuri dari
bangunan sejarah yang merupakan tempat terjadinya peristiwa penting di daerah
tersebut. Sehingga suatu bangunan bersejarah sangat berkaitan terhadap
lingkungannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 yang mengatur mengenai cagar
budaya, pada bab 1 pasal (1) ayat 1 mengatakan bahwa
“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs
Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan.”
Dan pada pasal (1) ayat 3 berbicara mengenai bangunan cagar budaya dalam ayat itu
tertulis bahwa
“Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda
alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.”
II.2 Kriteria dan Penggolongan Bangunan Cagar Budaya Sebuah bangunan dapat dikatakan sebagai bangunan cagar budaya melalui suatu
proses penetapan pemerintah. Dalam penetapan ini terdapat beberapa kriteria-kriteria
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
bangunan menjadi bangunan cagar budaya, di dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2010 bab III pasal 5, mengatakan bahwa:
“Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila
memenuhi kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh)
tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian
bangsa.”
Apabila suatu bangunan bersejarah dan mempunyai nilai-nilai namun belum mencapai
usia 50 tahun tidak dapat dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya, begitu pula
sebaliknya.
Setelah sebuah bangunan ditetapkan ke dalam bangunan cagar budaya, selanjutnya
adalah menggolongkan bangunan tersebut. Penggolongan bangunan tersebut
berdasarkan tolak ukur yang berlaku pada masing-masing daerah. Di Bandung
peraturan daerah yang berlaku adalah Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2009.
Sedangkan untuk di Jakarta sendiri peraturan yang berlaku adalah Peraturan Daerah
DKI Jakarta No.9 Tahun 1999 Bab IV. Isi dari kedua peraturan ini kurang lebih sama,
tolak ukurnya antara lain :
1. Tolak ukur nilai sejarah, apabila suatu bangunan berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi di Jakarta atau skala
nasional.
2. Tolak ukur umur, apabila suatu bangunan telah berusia sekurang-
kurangnya 50 tahun atau lebih.
3. Tolak ukur keaslian, apabila suatu bangunan memiliki keaslian yang
mencangkup sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material,
tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
4. Tolak ukur tengeran atau landmark, apabila keberadaaan sebuah bangunan
tersebut dapat menjadi simbol dari suatu lingkungan sehingga dijadikan
tanda atau patokan di lingkungan tersebut.
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
5. Tolak ukur arsitektur, apabila suatu bangunan mewakili suatu zaman dan
gaya pada masa tertentu.
Dari tolak ukur tersebut akhirnya suatu bangunan cagar budaya dapat digolongkan
menjadi 3 bagian berdasarkan banyaknya tolak ukur yang dimiliki oleh bangunan
tersebut dari 5 tolak ukur yang telah ditentukan oleh Peraturan Daerah.
Penggolongannya antara lain :Golongan A (utama, contoh Gereja Katedral Jakarta),
Golongan B (madya, contoh Bioskop Metropole), Golongan C (pratama, contoh Cafe
Batavia. Golongan A ini dapat dipertahankan dengan cara preservasi, tidak boleh
dibongkar atau berubah, dan pemeliharaannya harus menggunakan material dan
bahan yang sama. Golongan B dapat dipertahankan dengan cara restorasi/ rehabilitasi
atau rekonstruksi. Tidak boleh membongkar atau merubah kecuali memang tidak
memungkinkan namun harus dikembalikan ke bentuk aslinya. Apabila terpaksa
mengubah tata ruang untuk memasukkan fungsi baru diperbolehkan selama tidak
mengganggu struktur utama. Untuk Golongan C, detail-detail ornamen dan material
bisa disesuaikan dengan lingkungan sekitar. Memasukkan fungsi baru harus
disesuaikan dengan rencana Kota. Contoh bangunan golongan C adalah Cafe Batavia.
REVITALISASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA
III.1. Konservasi dan Revitalisasi
III.1.1. Konservasi
Konservasi adalah tindakanyang diambil untukmencegah kerusakan sebuah bangunan
(Feilden, 1995).Pada buku Pengantar Panduan Konservasi Bangunan Bersejarah Masa
Kolonial (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011), bahwa konservasi berarti tindakan
untuk mencegah kerusakan dan memperpanjang usia suatu bangunan tua. Proses
konservasi itu sendiri tidak boleh menyebabkan kerusakan pada bangunan tadi serta
menghancurkan atau menghilangkan bukti sejarah.kan kegiatan-kegiatan baru di
dalamnya.
Menurut peraturan-peraturan mengenai bangunan cagar budaya (Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010, Perda DKI Jakarta No.9 Tahun 1999) macam-macam
pelestarian yang bisa dilakukan pada bangunan cagar budaya antara lain:
Preservasi(proses bagaimana bangunan cagar budaya dilestarikan sesuai dengan
bentuk asli dan terjadi penguatan-penguatan struktur dan pemeliharan material-
materialnya), Rehabilitasi/Renovasi (proses membuat bangunan tua dapat berfungsi
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
kembali dengan melakukan perubahan-perubahan sehingga sesuai dengan fungsi saat
ini), Konservasi (proses pemeliharaan dan melindungi bangunan cagar budaya
supaya tidak hancur atau rusak), Rekonstruksi(proses pembangunan kembali
bangunan yang telah hancur atau rusak)
Menurut Fitch (1992) dalam bukunya, konservasi bangunan dan perubahan-perubahan
pada bangunan cagar budaya digolongkan ke dalam 7 tingkatan yaitu:
a. Pengawetan (preservation), yaitu mempertahankan bangunan seperti apa
adanya hal ini dilakukan dengan tidak menambahkan atau menguurangi
fisik bangunan, hanya mempertahankan kondisi saat itu.
b. Pemugaran (restoration), yaitu pengembalian bangunan cagar budaya ke
kondisi awal perkembangan.
c. Penguatan (consolidation), yaitu usaha mempertahankan bentuk dan
keterbangunan bangunan cagar budaya dengan melakukan penguatan
tambahan pada struktur bangunan.
d. Penataan ulang (reconstritution), yaitu pembangunan kembali
bangunan cagar budaya yang telah runtuh.
e. Pemakaian baru (adaptive re-use), yaitu pembangunan kembali
bangunan cagar budaya yang kemudian dimasukkan fungsi bangunan
baru. Biasanya fungsi yang dimasukkan adalah fungsi komersil. Hal ini
merupakan cara yang paling efektif untuk menyelamatkan bangunan,
karena dengan memasukkan fungsi baru bangunan ini akan mempunyai
biaya sendiri untuk menghidupi dirinya sendiri. Kebanyakan terjadi
perubahan-perubahan ruang guna menyesuaikan dengan fungsi baru.
Sering disebut sebagai revitalisasi.
f. Pembangunan ulang (reconstruction), yaitu proses membangun ulang
bangunan cagar budaya yang sudah rusak terlalu parah yang kemudian
dihancurkan. Dibangun diatas struktur aslinya dan berdasarkan data-data,
arsip-arsip, dan dokumentasi bangunan tersebut.
g. Pembuatan kembaran (replication), yaitu proses ini kurang lebih sama
seperti pembangunan ulang namun bedanya proses pembuatan kembaran
menggunakan konstruksi baru. Dengan melakukan pembuatan kembaran
memiliki tampilan fisik yang lebih mirip dengan semula dibandingkan
proses
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
III.1.1.1. Proses Konservasi
Sebuah bangunan cagar budaya perlu mengalami proses konservasi, sehingga
bangunan tersebut dapat hidup hingga saat ini. Dalam proses konsevasi ini ada
beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan sebelum akhirnya sebuah bangunan
akan “dibangun” kembali.
Tahap-tahapannya adalah sebagai berikut:
TAHAP I, Inventarisasi & Database: mengumpulkan semua data-data
mengenai bangunan tersebut termasuk dalam proses dokumentasi,
pengumpulan sejarah, penelitian material-material, serta penggambaran ulang
bangunan.
TAHAP II, Registrasi & sertifikasi: proses pendaftaran bangunan ke
pemerintahan untuk dilakukan konservasi sehingga nantinya dikeluarkan surat
keputusan
TAHAP III, Perencanaan & perancangan: disinilah perancangan dimulai dan
mulai ditentukan pelestarian yang bagaimana yang akan diterapkan ke
bangunan ini
TAHAP IV, Implementasi : penerapan perencanaan dan perancangan yang
telah ditentukan
TAHAP V, Evaluasi & pengawasan: mengawasi proses konservasi supaya
berjalan sesuai dengan rencana dan aturan-aturan yang berlaku
III.1.2. Revitalisasi
“A building is not something you finished. A building is something you start” (Brand,1994)
Proses revitalisasi adalah memasukkan fungsi baru kedalam bangunan tersebut maka
fungsi tersebut harus bisa menghidupkan dan membiayai bangunan itu sendiri. Oleh
karena itu fungsi biasanya merupakan komersil. Banyak yang menggunakan
bangunan cagar budaya sebagai tempat komersil karena memang fungsi awalnya
sebagai tempat komersil atau ingin memanfaatkan suasana yang dibentuk oleh
bangunan tersebut.
Revitalisasi sering disamakan dengan adaptive re-use karena memasukkan fungsi baru
yang sesuai ke dalam bangunan cagar budaya. Adaptive sendiri berasal dari kata adapt
yang berarti penyesuaian, sehingga secara sederhana adaptive re-use bisa diartikan
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
penggunaan kembali dengan penyesuaian. Menurut Steven Groak (1992) adaptasi ini
menurutnya adalah kemampuan ruang untuk menyesuaikan fungsi sesuai dengan
penggunanya. Dengan kata lain fungsi ruang dapat berubah-rubah sesuai dengan
penggunanya walaupun pada tahap awal telah ditentukan fungsinya. Sedangkan dalam
proses konservasi yang dimaksud dengan adaptive re-use bukan hanya ruang tersebut
yang mengikuti fungsi tetapi juga sebaliknya yaitu fungsi yang akan dimasukan
disesuaikan dengan ketersediaan ruang yang ada. Sehingga apabila akan dilakukan
penyesuaian ruang mengikuti fungsi tersebut tidak terlalu banyak yang diubah.
Untuk beradaptasi ruang memiliki 6 lapisan yaitu : Site, Structure, Skin, Services,
Space Plan, dan Stuff(Brand,1994). Site adalah lokasi dimana gedung itu berdiri serta
keterkaitan bangunan tersebut pada lingkungan sekitarnya. Structure adalah pondasi
bangunan tersebut yang memberi pengaruh terhadap keterbangunan bangunan. Skin
adalah fasad sebuah bangunan yang terkait dengan bagian eksterior dan interior
sebuah bangunan. Services adalah fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan manusia
dalam bangunan tersebut, dapat berupa: kelistrikan, saluran air, dan pengudaraan.
Space plan adalah tata letak atau layout dalam ruang tersebut, berkaitan dengan
interior. Stuff adalah benda-benda di dalam ruangan yang mudah dipindahkan. Site
dan structure adalah layer yang paling sulit diubah karena apabila merubah dua hal itu
akan merubah bangunan secara keseluruhan.
Berdasarkan lapisan bangunan yang dikemukakan oleh Brand (1994), yang
memungkinkan untuk diubah dalam revitalisasi adalah skin (hanya interiornya),
service, space plan, dan stuff. Mengenai apa saja yang boleh untuk dilakukan
perubahan harus disesuaikan dengan pada golongan apa bangunan itu digolongkan.
Namun sayangnya belum ada aturan secara mendetail dan perjanjian secara tertulis
bagian bagian apa saja yang boleh dirubah dan bagaimana merawat suatu bangunan
cagar budaya.
STUDI KASUS:
GEDUNG KUNSTKRING
IV.1 Gedung Kunstkring
Sebagai perumahan, Menteng memiliki pintu gerbang. Gedung Bouwploeg (Boplo)
dan gedung Kunstkring dianggap sebagai pintu gerbang menuju ke perumahan
menteng.1 P.A.J Moojen selaku arsitek yang merancang Menteng, juga merancang
1 Bouploeg dalam bahasa Indonesia artinya tim pembangun
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
kedua gedung ini sebagai pintu gerbang. Gedung Bouwploeg (sekarang Masjid Cut
Mutia) sendiri merupakan sebuah kantor arsitek sekaligus kantor pemasaran Menteng.
Sedangkan Gedung Kunstkring sendiri merupakan sebuah gedung tempat
berkumpulnya lingkar seni Belanda.
Gedung Kunstkring terletak di Jalan Teuku Umar No. 1 Menteng, Jakarta Pusat. Pada
tanggal 27 September 1912 Moojen ditunjuk sebagai ketua Lingkar Seni Hindia
Belanda dan juga sebagai arsitek yang merancang gedung tersebut (Gedenkboek,
1927). Pada periode awal abad 20-1920 yaitu saat pembangunan gedung Kunstkring,
di Indonesia sedang diutamakan pembangunan untuk fasilitas umum (Handinoto,
1996). Untuk gaya bangunannya sendiri menganut gaya post ekletisisme menuju
modern, yaitu percampuran dari beberapa gaya yang telah ada (Diskusi dengan Han
Awal, 2013). Hal ini bisa terlihat dari bangunan yang bergaya neo klasik, yaitu
adanya pilar pada bagian depan bangunan. Bentuk bangunannya mirip dengan
bangunan di Eropa namun menyesuaikan dengan kondisi iklim di Indonesia. Ini bisa
dilihat dengan adanya ruangan kecil yang mengelilingi satu ruangan utama yang besar
dan juga adanya menara pada bagian depan gedung yang keduanya berfungsi untuk
mendinginkan udara. Dan apa bila dilihat dari denah dan tampak depannya akan
terlihat bentuk yang simetris. Selain itu gedung Kunstkring mengandung gaya art
noveau, yaitu beberapa bagian bangunan sebagai unsur dekoratif dari bangunan, dan
juga terlihat bentuk lengkung pada tympanum dan bagian balkon. Selain itu juga
penggunaan material semen sebagai unsur dekoratif karena pada tahun-tahun itu baru
dibuka pabrik semen (Diskusi dengan Arya Abieta, 2013)
Gedung Kunstkring
Sumber : Pusat Data Arsitektur
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
IV.2. Perkembangan Kunstkring
Gedung Kunstkring dari masa ke masa
Sumber: Ilustrasi pribadi
IV.2.1. Perubahan Periode Konservasi-Buddha bar
Pada periode Buddha bar terjadi penambahan dan perubahan di beberapa bagian
gedung Kunstkring. Untuk interiornya yang berubah cukup signifikan adalah
pelapisan dinding dan lantai. Maksud dari pelapisan dinding dan lantai ini agar tidak
merusak bangunan utama. Perubahan-perubahan ini meliputi :
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
Lantai Dasar Gedung Kunstkring konservasi-Buddhabar
Kiri: periode konservasi, Kanan: periode Buddha bar
Sumber: Ilustrasi pribadi
Dimulai dari lobby yang berubah yaitu pada bagian sisi baratnya ada
dinding yang dihilangkan untuk memperluas area lobby. Pada area ini
difungsikan sebagai area lobby dan juga sebagai galeri
Sedangkan di daerah ruang utama bagian yang berubah adalah bagian
barat. Bagian pintu pada tembok dihilangkan sehingga memberi
kesan menjadi satu ruangan. Bagian ini difungsikan sebagai area bar
Pada sisi luar terjadi penambahan ruang yang digunakan untuk area
makan outdoor atau sebagai serambi
Sisi utara gedung dilakukan penambahan bangunan baru yang
difungsikan sebagai dapur dan service. Bangunan baru ini berjumlah
dua lantai
Adanya penambahan dinding baru sebagai partisi untuk membentuk
lorong. Dan dilakukan perubahan letak pintu bagian utara.
Untuk mencapai lantai dua selain menggunakan tangga mulia pihak
Buddha bar juga menambahkan lift pada void tangga.
2004 2004-2011
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
Lantai dua Gedung Kunstkring konservasi-Buddhabar
Kiri : periode konservasi, Kanan : periode Buddhabar
Sumber: Ilustrasi pribadi
Ada penambahan tembok sebagai partisi untuk membentuk lorong
dan untuk memperkecil ruangan. Ruangan-ruangan kecil yang
mengelilingi ruang utama digunakan sebagai VIP Room
Bagian ini terjadi penghilangan dinding dan penambahan dinding
untuk membentuk ruangan kecil yang baru
Bangunan baru yang berfungsi sebagai dapur ini untuk memenuhi
kebutuhan service di lantai dua
Sama seperti lantai satu pada bagian ini dilakukan penambahan partisi
untuk membentuk lorong menuju dapur dan perubahan letak pintu
Penambahan lift pada tangga mulia
Pada periode ini terjadi perubahan yang tidak sesuai dengan aturan dan syarat-syarat
konservasi. Yaitu penambahan gedung baru sebagai dapur yang menempel dengan
bangunan utama, penambahan lift, penambahan teras, dan penghilangan pintu. Namun
ada beberapa juga yang sifatnya reversible dan sesuai aturan yaitu pelapisan bagian
dinding, lantai, plafon.
2004 2004-2011
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
IV.2.2. Perubahan Periode Buddhabar-Tugu Kunstkring
Lantai dua Gedung Kunstkring Buddhabar-Tugu Kunstkring
Kiri : periode Buddhabar, Kanan : periode Tugu Kunstkring
Sumber: Ilustrasi pribadi
Pada perbandingan gambar diatas bisa terlihat bagian-bagian mana saja yang telah
terjadi perubahan pada periode Buddha bar namun tetap dipertahankan, ada yang
dirubah lagi, dan perubahan baru yang terjadi pada periode Tugu Kunstkring. Bagian
perubahan yang tetap dipertahankan antara lain dihilangkannya tembok pada bagian
resepsionis, teras bagian depan, penambahan lift, penambahan bangunan baru sebagai
dapur, perubahan letak pintu bagian utara. Perombakan perubahan terjadi pada bagian
sisi timur dan barat, pada periode Buddha bar ini merupakan serambi dan tempat
makan outdoor namun pada periode Tugu Kunstkring serambi ini ditutup bagian sisi
timur dialih fungsikan menjadi toko souvenir dan sisi barat menjadi bar. Sedangkan
perubahan baru terletak pada tembok sisi barat dan utara ruangan utama. Pada periode
Buddha bar sisi barat pintu dihilangkan sehingga sedangkan pada periode Tugu
Kunstkring tembok ini ditutup kembali. Beberapa perubahan ini sifatnya reversible
tapi ada beberapa perubahan juga yang menempel pada bangunan utama.
IV.2.3. Perubahan Periode Konservasi -Tugu Kunstkring
Apabila membandingkan langsung saat periode konservasi dengan periode Tugu
Kunstkring yang sekarang banyak sekali perubahan yang terjadi. Untuk menghadirkan
kesan megah dan menghadirkan unsur kerajaan maka Pak Anhar menghadirkan unsur
keraton Mangkunegara dan unsur chinese (karena ia berasal dari etnik tionghoa).
2004-2011 2013-
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
Unsur keraton dibalut dengan nuasa emas sedangkan unsur chinese dengan nuasa
merah.
Gedung Kunstkring
Kiri: periode konservasi, Kanan: periode Tugu Kunstkring
Sumber: Dokumentasi Arya Abieta dan Pribadi
Terjadi perubahan terutama pada warna cat dan penambahan ornamen yang bertujuan
untuk dekoratif. Penambahan canopy pada pintu bagian atas dimaksudkan sebagai
dekoratif saja bukan merupakan fungsional. Penambahan warna emas memberi kesan
megah pada gedung guna menyesuaikan sasaran pengguna gedung yaitu golongan
menengah keatas.
Pada lobby terlihat perubahan pada penurunan level langit-langit dan perubahan
lantai. Penambahan langit-langit ditujukan untuk menutupi pemasangan ducting ac
dan electrical. Perubahan ini terjadi pada keseluruhan gedung, dan sudah terjadi
semenjak periode Buddha bar. Sesuai dengan konsep awalnya yaitu kemegahan
interiornya dibalut dengan nuansa emas dan merah untuk memberikan kesan mewah
seperti di kerajaan. Sedangkan perubahan pada lantai dengan menggunakan lantai
kayu agar memberikan kesan mewah dan penyerasian.
Pada ruang utama lantai 1 perubahan sama seperti pada lobby yaitu pada lantai dan
langit-langit. Namun pada bagian timur gedung beberapa pintu yang telah dihilangkan
pada Buddha bar ditutup kembali dengan tembok dan penambahan dekorasi. Dan ada
penambahan dua pintu dikarenakan adanya penambahan ruang pada bagian belakang,
pada saat Buddha bar pintu masih berjumlah satu.
Pada bagian barat gedung difungsikan sebagai bar bernuasa eropa. Awalnya
menggunakan nuansa eropa namun karena Pak Anhar selaku pengelola saat ini
mendapat poster film Suzie Wong yang merupakan favoritnya akhirnya nuansanya
diubah menjadi nuansa chinese agar menyesuaikan poster. Perubahan yang sangat
signifikan terlihat dari jendela besar yang dihilangkan pada periode Tugu Kunstkring
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
sedangkan ruang tambahan pada sisi barat terjadi semenjak periode BuddhaBar. Serta
terjadi penambahan lift yang sudah dilakukan saat periode Buddha bar.
IV.2.4. Perubahan Fungsional Kunstkring
Untuk perubahan fungsional, secara keseluruhan Buddhabar berfungsi sebagai
restoran dengan konsep Buddha sedangkan Tugu Kunstkring Palais dikembalikan
fungsinya sebagai galeri namun ada restoran untuk menghidupi atau membiayai
perawatan gedung ini.
Lantai Dasar Gedung Kunstkring
Kiri: periode Buddha bar, Kanan: periode Tugu Kunstkring
Sumber : Ilustrasi Pibadi
Fungsi macam-macam ruangan kurang lebih sama yang berbeda hanya pada:
1. Resepsionis dan ruang tunggu : pada periode Buddha bar ruangan ini
selain berfungsi sebagai resepsionis dan ruang tunggu juga difungsikan
sebagai galeri. Namun pada periode Tugu Kunstkring ruangan ini
hanya berfungsi sebagai resepsionis adan ruang tunggu saja
2. Bar : pada periode Buddha bar, area bar mencangkup sebagian ruang
utama dan bagian sisi barat. Namun pada periode Tugu Kunstkring
area bar mencangkup bagian sisi barat dan ruangan tambahan.
3. Dinning room : pada periode Buddha bar dinning room seakan
terpisah-pisah. Namun pada periode Tugu Kunstkring karena bar
dipindahkan ke bagian barat maka area ruang utama secara keseluruhan
difungsikan sebagai area dinning room
2004-2011 2013-
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
4. Tempat makan outdoor : pada periode Buddha bar serambi bagian
timur digunakan sebagai tempat makan outdoor. Namun pada periode
Tugu Kunstkring area ini berubah menjadi toko souvenir
Lantai Dua Gedung Kunstkring
Kiri: periode Buddha bar, Kanan: periode Tugu Kunstkring
Sumber : Ilustrasi Pibadi
1. Bar : pada periode Buddha bar, bagian bar ini digunakan sebagai sushi bar.
Namun pada periode Tugu Kunstkring, bar berubaha menjadi bar minuman
2. Dinning room : pada periode Buddha bar, bagian bar ini digunakan sebagai
area dinning room. Namun pada periode Tugu Kunstkring, ruangan utama ini
lebih bersifat multifungsional tergantung kebutuhannya bisa digunakan
sebagai ruang pameran dan sebagai tea room
3. VIP room : pada periode Tugu Kunstkring selain berfungsi sebagai ruang VIP
juga dimanfaatkan sebagai ruang pameran
KESIMPULAN
Bangunan cagar budaya yang masih terjaga hingga saat ini karena telah
mengalami konservasi. Beberapa bangunan setelah selesai dikonservasi kemudian
dimasukkan fungsi baru yang sesuai dengan kondisi saat ini, hal ini guna
“menghidupkan” kembali bangunan cagar budaya tersebut. Proses ini sering
disebut sebagai proses revitalisasi. Biasanya fungsi yang dimasukkan merupakan
fungsi komersial. Sehingga bangunan ini dapat membiayai biaya operasional dan
perawatan gedung.
Dalam studi kasus skripsi ini bangunan cagar budaya yang saya pilih adalah
gedung Kunstkring. Menurut SK Gubernur DKI Jakarta No.475 Tahun 1993,
2004-2011 2013-
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
gedung Kunstkring merupakan bangunan cagar golongan A. Hingga saat ini
gedung Kunstkring telah mengalami beberapa perubahan fungsi. Perubahan
fungsional yang terjadi pada gedung Kunstkring pasti ada keterkaitan dengan
kondisi sekitar pada saat itu, namun dapat dikatakan sebagai proses revitalisasi
adalah perubahan fungsional setelah selesai di konservasi. Antara lain yaitu
menjadi Buddha bar kemudian menjadi Tugu Kunstkring Palais. Dalam beberapa
kali perubahan fungsional ini, gedung Kunstkring juga mengalami perubahan fisik
guna penyesuaian dengan fungsi baru. Perubahan ini meliputi perubahan layout
denah gedung serta perubahan dan penambahan komponen pada gedung.
Hubungan keadaan pada saat itu-perubahan fungsional-perubahan fisik
Sumber : Ilustrasi pribadi
Beberapa perubahan fisik sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk
bangunan cagar budaya golongan A, namun ada beberapa pula perubahan yang
tidak sesuai dengan peraturan. Perubahan yang masih sesuai dengan aturan antara
lain penambahan beberapa ornamen sebagai unsur dekoratif dan fungsional serta
pelapisan lantai dinding dan langit-langit. Perubahan ini masih sesuai karena
bersifat reversible atau bisa dikembalikan tanpa merusak. Sedangkan perubahan
yang tidak sesuai dengan aturan adalah penambahan gedung baru yang menempel
dengan bangunan utama dan perubahan layout denah gedung Kunstkring.
Dapat saya simpulkan hal ini terjadi karena belum adanya aturan yang benar-
benar mendetail. Yang menyebabkan apa bila pengelola baru yang tidak
mengetahui mengenai aturan-aturan konservasi akan melakukan perubahan yang
tidak sesuai dengan konservasi. Selain itu juga kurangnya pengawasan terhadap
bangunan-bangunan cagar budaya.
Keadaan pada saat itu
Perubahan fungsional
disesuaikan dengan kondisi saat itu
Perubahan fisik yang disesuaikan
dengan perubahan fungsional
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo, E. (1985). Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung
Brand, S. (1994). How Buildings Learn : What Happens After They’re Built. USA :
Penguin Books.
Burra Charter. 1999.
Australia : ICOMOS
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. 2005. Pedoman tehnis pemugaran bangunan
gedung dan lingkungan kawasan menteng. DKI Jakarta
Feilden, B.M. (1994). Conservation of Historic Building, Great Britain: Butterworth
Architecture
Fitch, J.M. (1992). Historic Preservation: Curatorial Management of The Build
World. New York: Mc Graw Hill Book company
Gedenkboek Nederlansche Indische Kunstkring. 1927. Batavia: G.Kloff & Co.
Handinoto. (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya
(1870-1940). Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit ANDI Yogyakarta
Heuken, A. Pamungkas, G. 2001. Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Lynch, Kevin. 1960. The Image of The City.
Cambridge MA :MIT Press
Nix, C.Th. 1953. Stedebouw en de stede bouwkundige vormgeving...., Bandung-
hemstede
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 1999 Bab IV Pusat Dokumentasi
Arsitektur. 2011. Pengantar Panduan Konservasi Bangunan Bersejarah Masa
Kolonial. Jakarta : Pusat Dokumentasi Arsitektur
Shahab, Y. 2000. Laporan penulisan Sejarah Menteng Daerah Pemukiman elite
Tertua di Jakarta, Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran Propinsi DKI Jakarta
Sullivan, Louis. 1896. The Tall Office Building Artistically Considered Urban
Redevelopment Authority. 1993. Objective Principles and Atandards for Preservation
and Conservation,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
Sumber elektronik
Http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2133/1/100.hari.jokowi-
basuki/read/xml/2011/02/02/03371222/Bangunan.Cagar.Budaya.Telantar . Diakses
pada tanggal 12 Februari 2013 pukul 18.00
BeritaJakarta.Com: 5 Pebruari 2009 Bangunan Cagar Budaya di Menteng Dibongkar
Total. Diakses pada tanggal 12 Februari 2013 pukul 18.00
Oxforddictionaries.com yang diakses pada 13 Februari 2013
Kbbi.web.id/ edisi III yang diakses pada 13 Februari 2013
Perubahan pada..., Agustinus Leonardo W, FT UI, 2013