pertunjukan wayang kulit gagrag banyumasan sebagai media penyampaian pesan pendidikan karakter di...
DESCRIPTION
Skripsi Bab 1-3, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, FISIP, Fakultas Ilmu Sosiologi dan Politik, KomunikasiTRANSCRIPT
A. Judul:
Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan sebagai Media
Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter di Kabupaten Banyumas
B. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah proses sepanjang hayat (long life education)
dan persoalan penting dalam kehidupan manusia. Pada masyarakat modern
saat ini, banyak tuntutan yang harus dilakukan sebagai warga negara
Indonesia, antara lain: (a.) Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal
27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”, (b.) Wajib
ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945
menyatakan “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara.”, (c.) Wajib menghormati hak manusia orang lain.
Pasal 28J ayat 1 mengatakan “Setiap orang wajib menghormati hak asai
manusia orang lain.”, (d.) Wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28J ayat 2 yang menyatakan
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.”, (e.) Wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara. Tertera dalam pasal 30 ayat (1)
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.” (Pustaka Agung Harapan, 2005:62).
Untuk memenuhi semua kewajiban tersebut, seluruh warga negara dituntut
untuk memiliki karakter yang cerdas dan bertanggungjawab. Karakter
tersebut dibutuhkan agar warga negara Indonesia mampu memahami
1
permasalahan dalam bangsanya dan tidak mudah tergoyahkan oleh
pengaruh yang datang dari luar.
Tujuan Negara Indonesia dalam Pembukaan Undang - Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah untuk (1) membentuk
suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum (2) mencerdaskan kehidupan bangsa (3) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial (Pustaka Agung Harapan, 2005:5).
Salah satu tujuan yang terkandung adalah mencerdaskan kehidupan
Bangsa. Hal ini bisa dilakukan adalah dengan menggunakan sarana
pendidikan. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1, “Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. (Tim Redaksi Fokus Media, 2008:58)
Hanum dalam bukunya Pendidikan Multikultural sebagai Sarana
Membentuk Karakter Bangsa mengatakan bahwa sebuah bangsa yang
besar dibangun oleh generasi muda yang memiliki karakter yang baik.
Generasi muda yang memiliki karakter yang baik dapat dilihat dari
perilaku yang penuh pengorbanan, setia, bertanggung jawab, dan
menjunjung kepentingan bersama (2009:2). Dengan kata lain, maju
mundurnya sebuah bangsa sangat bergantung pada kualitas dan karakter
generasi muda sebagai penerus kelangsungan bangsa. Akan tetapi, dewasa
ini, bangsa Indonesia memperlihatkan kondisi yang tidak baik. Indonesia
mengalami krisis multidimensi, seperti rendahnya loyalitas generasi muda,
korupsi, kriminalitas, dan lain-lain. Krisis multi dimensional ini saling
terkait (Sumantri, 2010:1). Indonesia juga mengalami krisis jati diri,
kondisi yang tidak baik yang dimiliki bangsa Indonesia memperlihatkan
2
bahwa bangsa ini belum dibangun oleh generasi muda yang memiliki
karakter yang baik (good character) secara menyeluruh (Sujana dalam
Karyanto 2008:46).
Dalam konteks yang lebih khusus yakni dalam dunia
pendidikan, Menteri Pendidikan Nasional Jateng pada tanggal 25 Maret
2014 memberitakan tentang kekerasan yang dilakukan guru. Dengan judul
Siswa SMK Pertanian Kalibagor Diludahi Dan Dipukul, berita ini
menuturkan tentang Dimas Ageng, siswa kelas X C yang dianiaya
gurunya, Munaris, disinyalir karena terlambat melakukan sholat dhuhur
(http://pekihmotor.blogspot.com diakses pada 25 Mei 2014 pukul 09:44)
Kekerasan yang telah disebutkan di atas menambah daftar
panjang kekerasan di sekolah adalah berita yang ditulis Nanang BNC pada
8 Mei 2014, mengenai kekerasan antar siswa di SDN 3 Dermaji, Lumbir.
Berita ini menceritakan tentang tuduhan menyembunyikan buku salah satu
teman, Didik siswa kelas 6, dikeroyok 5 teman sekelasnya dan
mengakibatkan luka memar di kepala Didik, sehingga dilarikan ke
Puskesmas Pembantu terdekat. Kasus ini berakhir damai, setelah
dilakukan mediasi oleh pihak sekolah dan orangtua korban.
(http://banyumasnews.com diakses pada 25 Mei 2014 pukul 09:44)
Bambang Ruwanto menuliskan berita mengenai Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatat bahwa kekerasan
terhadap anak terjadi hampir di setiap wilayah. Hasil pemantauan KPAI di
sembilan provinsi pada tahun 2012 menunjukkan, 86,6 persen anak
menjadi korban kekerasan di sekolah. Dalam Diskusi dan Konferensi Pers
Catatan Akhir Tahun Pendidikan di LBH Jakarta, Federasi Serikat Guru
Indonesia (FSGI) juga mencatat tingginya perilaku kekerasan fisik di
lingkungan sekolah atau kampus sepanjang 2013. Hal ini sangat
disayangkan, mengingat sekolah dan staf seharusnya menciptakan tempat
yang nyaman dan aman bagi anak, sehingga dapat menyerap pelajaran
dengan baik. (http://202.65.121.186/liputan-khusus/opini/2640/
3
mendambakan-sekolah-ramah-anak diakses pada 25 Mei 2014 pukul
09:43)
Banyaknya angka kriminalitas yang terjadi terutama di bidang
pendidikan pada dua tahun ini, merupakan bukti kurangnya pembentukan
sekaligus kebutuhan akan pendidikan karakter yang baik. Lambat laun
dirasakan karakter warga bangsa ini makin menurun kualitasnya,
dibuktikan dengan beberapa berita yang beredar di media massa tersebut.
Pesan adalah hal yang terpenting selain komunikator atau pelaku
komunikasi. Suatu pesan ditransformasikan pada titik-titik penyandian dan
pengalihan sandi sehingga pesan merupakan pikiran dan ide pada suatu
tempat pada sistem jaringan syaraf dari sumber atau penerima. Setelah
penyandian terjadi dalam suatu situasi tatap muka, ditransformasikan ke
dalam rangkaian getaran udara dan sinar-sinar cahaya yang terpantulkan.
Agus M. Hardjana (2003:22) dalam bukunya Komunikasi Intrapersonal &
Komunikasi Interpersonal mengungkapkan bahwa pesan yang
disampaikan oleh pengirim kepada penerima dapat dikemas secara verbal
dengan kata-kata atau nonverbal tanpa kata-kata. Komunikasi yang
pesannya dikemas secara verbal disebut komunikasi verbal, sedangkan
komunikasi yang pesannya dikemas secara nonverbal disebut komunikasi
nonverbal. Jadi, komunikasi verbal adalah penyampaian makna dengan
menggunakan kata-kata, sedangkan komunikasi nonverbal tidak
menggunakan kata-kata. Pesan pendidikan yang diberikan pelaku
komunikasi tidak akan dapat dicerna oleh penerimanya jika mereka tidak
memiliki persepsi yang sama dengan apa yang disampaikan pelaku. Oleh
karena itu, dibutuhkan media yang cocok untuk merengkuh lapisan
masyarakat yang ditargetkan pelaku komunikasi.
Wayang merupakan salah satu media tradisional dan sebagai
bentuk dari kearifan lokal. Wayang adalah budaya pertunjukan asli
Indonesia yang berkembang pesat di pulau Jawa dan menjadikan wayang
sebagai primadona di pulau ini. Pertunjukan wayang merupakan salah satu
obyek menarik dari peninggalan nenek moyang yang digelar pada waktu
4
dan perayaan tertentu dalam penanggalan Jawa. Saat ini Wayang kulit
bukan lagi monopoli masyarakat Jawa, namun telah dimiliki oleh seluruh
masyarakat Indonesia, bahkan mendunia. Wayang diakui menjadi warisan
budaya dunia pada 7 November 2003 oleh UNESCO.
(http://www.unesco.org diakses pada Minggu 1 Desember 2013 pukul
23.50)
Pertunjukan wayang adalah representatif alam dan karakter
manusia di dunia mengenai kehidupan apa yang terjadi di kehidupannyata
yang dicerminkan melalui sebuah pertunjukan. Kanti Waluyo
menyebutkan bahwa sebagai hasil kebudayaan, wayang mempunyai nilai
hiburan yang mengandung cerita baku baik untuk tontonan maupun
tuntunan. Di samping itu, wayang memberikan hiburan yang sehat bagi
penontonnya. Ada percintaan yang mengharukan, ada dilema-dilema yang
berat dan hiburan yang berupa lawakan. Penyampaian ceritanya diselingi
pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga
mempunyai nilai pendidikan (Waluyo, 2011:37).
Salah satu bentuk atau jenis wayang yang hingga saat ini masih
digunakan sebagai sarana penyampaian pesan ialah wayang purwa.
Wayang tradisional Jawa atau disebut juga sebagai wayang purwa adalah
salah satu jenis seni pertunjukan yang masih hidup bertahan dalam entitas
masyarakat Jawa, utamanya masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Beberapa daerah, misalnya di Jawa Barat, Sunda, Bali, Palembang dan
Banjarmasin juga mengenal seni pertunjukan wayang, namun tidak
sepopuler wayang kulit purwa di Jawa. Pertunjukan wayang purwa,
melalui kemampuan dalang beserta seluruh pendukung, dapat
menyampaikan pesan-pesan yang berguna bagi masyarakat dengan cara
merefleksikan cerita wayang yang ditampilkan dengan kondisi masyarakat
sekarang. Cerita pewayangan adalah cerita yang memiliki kesamaan dari
waktu ke waktu. Isinya dapat disesuaikan dengan maksud tujuan penutur,
dan dengan keadaan saat itu. Kelebihan ini membuat wayang dapat
dijadikan sebagai media pendidikan secara turun-temurun. Wayang adalah
5
warisan budaya nasional yang patut dilestarikan oleh bangsa Indonesia.
Melalui kemampuan dalang dan para pendukung inilah wayang purwa
dapat dijadikan sumber pendidikan, terutama pendidikan dalam
membangun karakter penontonya/ audience menjadi lebih baik.
Kepercayaan orang Jawa pada wayang kulit, selain sebagai
media komunikasi juga bersifat menghibur. Wayang kulit sendiri juga
mencerminkan karakter dari watak manusia. Selain dari sebuah
pertunjukan yang bersifat tontonan, media wayang kulit juga memberi
penonton tuntunan dengan nilai-nilai filosofis kehidupan yang bernilai
luhur (Setiyono, 2010:5). Variasi nilai-nilai tersebut dapat meliputi segi
kepribadian, kepemimpinan, kebijaksanaan dan kearifan dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Sesuai dengan pakem yang
berlaku, masing-masing pesan disampaikan melalui adegan tertentu
beserta tokoh-tokoh wayang yang terlibat, sedangkan mutu pertunjukkan
bergantung pada gaya dan persepsi dalang yang tidak terpisahkan dari
daya serap penonton. Pesan tersebut dikemas menarik, persuasif, dapat
diresapi, penuh simpati, empati dan tanpa adanya ketimpangan pribadi.
Kehidupan yang serba modern seperti saat ini, segala hal yang
menyangkut kebutuhan manusia dicukupi dan diselesaikan dengan
teknologi. Media elektronik seperti internet dan televisi memungkinkan
penonton menentukan sendiri apa yang akan dipilih. Peralatan komunikasi
yang makin canggih tersebut memberikan kesempatan untuk belajar bagi
masyarakat dimanapun dan kapanpun. Namun, bagaimanapun besarnya
penggunaan dan pengaruh teknologi komunikasi, namun komunikasi
tradisional di Indonesia masih tetap diperlukan dan dimanfaatkan untuk
menunjang pembangunan nasional (Wahyuni, 2005:2). Wayang
merupakan salah satu media dalam komunikasi tradisional Indonesia yang
memiliki beberapa kelebihan, terutama sebagai media pendidikan yaitu,
(1) Wayang bersifat acceptable. Artinya, wayang merupakan bagian dari
khasanah kebudayaan bangsa, sehingga bisa diterima oleh semua kalangan
(2) cerita pewayangan mengandung banyak ajaran moral dan kebaikan
6
dalam tokoh-tokoh yang bisa menjadi tuntunan dalam kehidupan (3)
wayang bersifat timeless yaitu, tak lekang oleh waktu sehingga dapat
digunakan secara turun-temurun pada generasi pelajar di masa yang akan
datang (Purnamasari, 2013:4).
Wayang telah lama dijadikan sebagai sarana pendidikan,
khususnya saat digunakan oleh para wali di Jawa sebagai media
penyebaran ajaran Islam dengan mengadopsi cerita dari India yaitu
Ramayana dan Mahabarata. Namun selain materi tentang agama Islam,
cerita-cerita wayang yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa
ternyata memiliki banyak pesan pendidikan karakter yang perlu dipahami
oleh para penonton, terutama yang muncul dari watak tokoh-tokoh wayang
yang disampaikan oleh dalang dan pendukung, seperti sinden dan pemain
musik atau niyaga, melalui permainan figur-figur wayang tersebut. Salah
satu tokoh utama yang terkenal menjadi pihak protagonis yaitu Pandawa.
Sebagai tokoh utama dalam kisah Mahabarata, Pandawa yang
beranggotakan Yudhistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa, memiliki
banyak hal dalam diri mereka yang dapat dijadikan teladan. Contohnya
dalam Ensiklopedia Wayang Indonesia (1999:141) disebutkan bahwa
Yudhistira yang sangat bijaksana sehingga kerajaan yang dipimpin
menjadi sangat makmur, adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama,
penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Adik Yudhistira, Bima atau
yang sering dikenal dengan nama Werkudara adalah sosok yang berani,
tegas, keras namun menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Arjuna, sejak
kecil gemar menuntut ilmu bahkan sampai berkelana ke negeri lain.
Digambarkan dalam pewayangan, ia pandai, pendiam, dan lemah lembut
budinya. Nakula dan Sadewa, mereka merupakan penjelmaan Dewa
kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Nakula pandai
memainkan senjata pedang sementara Sadewa adalah orang yang sangat
rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam
ilmu astronomi.
7
Doni Koesoema dalam buku Pendidikan Karakter: Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global, memaparkan sintesis atau
penggabungan makna tentang konsep pendidikan karakter. Karakter lebih
bersifat subjektif, sebab berkaitan dengan struktur antropologis manusia
dan tindakan dalam memaknai kebebasaan. Sementara, pendidikan
senantiasa berkaitan dengan dimensi sosialitas manusia yang sejak
kelahiran telah membutuhkan kehadiran orang lain dalam menopang
hidup. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan keseluruhan
dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik
dari dalam maupun dari luar diri. Secara singkat, Doni mengartikan
pendidikan karakter sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat
bertumbuh dalam menghayati kebebasan dalam hidup bersama dengan
orang lain di dunia (Koesoema, 2007:4). Menurut Ramli (dalam Gunawan,
2012:23), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik. Karakter tidak
terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional
agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal. Oleh karena itu, hakikat
dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari
budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.
Prof. Suyanto Ph. D Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
dasar dan Menengah mengungkapkan bahwa pembentukan karakter
merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas
(Sistem Pendidikan Nasional) tahun 2003 menyatakan bahwa di antara
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU
Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya
membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau
8
berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
berkembang dengan baik (Hastuti, 2012:37)
Pendidikan karakter bagi masyarakat itu sangat penting,
sehingga dalam proses pelaksanaan diperlukan adanya media yang
menarik dan mampu merengkuh seluruh kalangan, serta menarik dan
mudah dipahami. Penggunaan wayang menjadi media pendidikan karakter
menjadi komponen pendukung pembentukan generasi bangsa yang cerdas
sekaligus mempertahankan eksistensi sebagai budaya bangsa. Wayang
sebagai media tradisional dianggap mampu untuk melakukan tugas ini.
Maka dari itu, peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut
mengenai pertunjukan wayang kulit gagrag Banyumasan sebagai media
penyampaian pesan pendidikan karakter.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana peran pertunjukan wayang kulit
gagrag Banyumasan sebagai media penyampaian pesan pendidikan
karakter di Kabupaten Banyumas”.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka inti
dari tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan mengkaji karakter tokoh yang ada dalam sebuah
lakon atau cerita wayang.
b. Untuk mengetahui dan mengkaji pesan pendidikan karakter yang terdapat
dalam watak tokoh wayang.
c. Untuk mengetahui dan mengkaji sejauh mana penonton memaknai pesan
pendidikan karakter yang terdapat pada tokoh wayang.
9
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis dan praktis. Adapun manfaatnya antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan baru dan kontribusi
bagi perkembangan ilmu komunikasi khususnya komunikasi
tradisional dengan fokus pada wayang gagrag Banyumasan sebagai
media penyampaian pesan pendidikan karakter.
2. Manfaat Praktis
Sebagai salah satu motivasi agar penonton pertunjukan wayang,
terutama masyarakat Banyumas, bisa menggunakan dan menikmati
wayang bukan saja sebagai sarana hiburan tapi juga pertunjukan yang
sarat dengan nilai pendidikan. Selain itu juga diharapkan masyarakat
bisa menerapkan pesan pendidikan karakter yang ada dalam wayang
pada kehidupan sehari-hari.
F. Penelitian Terdahulu
Sebuah penelitian memerlukan pedoman dari riset terdahulu
dalam menyusun penelitiannya agar tidak terjadi distorsi atau
penyimpangan topik penelitian dan sebagai bahan evaluasi untuk
penelitian yang akan dilakukan. Asmadi Alsa (2007:46) menuturkan dalam
penelitian kualitatif, riset atau kepustakaan ini ditujukan sebagai dasar
untuk melakukan justifikasi atas problem penelitian dan tidak
mengarahkan pertanyaan penelitian.
Penelitian yang membahas mengenai pesan pendidikan karakter
dalam pertunjukan wayang pernah dilakukan beberapa kali. Antara lain
penelitian yang dilakukan oleh Joko Sutarso dan Bambang Murtiyoso
tahun 2008 dengan judul Wayang sebagai Sumber dan Materi
Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Budaya Lokal. Fokus
penelitian ini adalah pada pemahaman latar belakang sosial-budaya di
Surakarta dan lingkungan yang mendukung wayang sebagai media yang
10
potensial sebagai sumber dan materi pembelajaran etnik di sekolah-
sekolah. Menggunakan teknik pengumpulan data observasi dan
wawancara. Hasil penelitian ini adalah nilai dari pertunjukan wayang
mengalami penurunan, namun cerita wayang dan karakternya masih
berpotensi sebagai sumber pembelajaran.
Sigit Dadi Sampurno pada tahun 2012 menyelesaikan skripsi
dengan judul Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media
Tradisional Masyarakat Banyumas (Studi Media Tradisional dalam Pesan-
pesan Pembangunan). Bertujuan untuk mengetahui bagaimana pesan
pembangunan disampaikan dalam wayang kulit gagrag banyumasan,
informan penelitian yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling
dan snowball sampling. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi
partisipasi pasif, wawancara mendalam dan dokumentasi. Hasilnya adalah
dalam penyampaian pesan pembangunan di pertunjukan wayang kulit ini,
ada yang berupa pesan pembangunan fisik dan non fisik. Diselipkan pada
adegan limbukan dan goro-goro. Pesan pembangunan fisik dapat
disampaikan dalang yang sudah mengalami modifikasi, melalui tembang-
tembang yang dinyanyikan oleh pesinden dan lakon atau tokoh
pewayangan yang bermain. Pesan non fisiknya terdapat pada gunungan
wayang yang kesemuanya itu menggambarkan kompleksitas kehidupan.
Selanjutnya adalah penelitian dengan judul Pendidikan Karakter
Bangsa dalam Novel (Studi tentang Pesan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Bangsa menggunakan Pendekatan Semiologi Komunikasi dalam Novel
Nonfiksi “Habibie dan Ainun” Karya B.J. Habibie dan “Belahan Jiwa”
Karya Rosihan Anwar ) oleh Sri Herwindya Baskara Wijaya, dkk (2012).
Jurnal ini menekankan penelitiannya pada simbol-simbol komunikasi yang
terdapat pada novel yang dibahas, dengan pesan tersirat maupun
tersuratnya. Novel yang masing-masing mengangkat mengenai pesan
pendidikan karakter tokoh bangsa ini dianalisi dengan metode komunikasi
semiotik. Secara nonverbal, pesan pendidikan karakter pada novel Habibie
dan Ainun adalah: nilai keagamaan, toleransi, semangat nasionalisme,
11
patriotisme, kegemaran membaca, persahabatan, cinta damai,
tanggungjawab, kerja keras dan demokratis. Sementara itu pada novel
Belahan Jiwa karya Rosihan Anwar, pesan pendidikan karakternya adalah:
religiusitas, persahabatan, kepedulian sosial, patriotisme, toleransi,
penghargaan, tanggungjawab dan gemar membaca.
Penelitian berikutnya adalah milik I Gusti Gede Ngurah
Kursista, dkk (2009). Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Berita
Kedokteran Masyarakat ini berjudul Pengaruh Media Wayang Bali
Inovatif dalam Mempromosikan Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten
Bangli. Latar belakang penelitian ini adalah dengan pertimbangan bahwa
jumlah kasus HIV/AIDS di Kecamatan Kintamani paling tinggi, yaitu 50%
dari total kasus yang terdapat di Kabupaten Bangli. Selain itu juga
disinyalir pengetahuan dan persepsi masyarakat awam masih rendah
mengenai hal ini. Kepala keluarga di Desa Bangli merupakan target dari
promosi kesehatan mengenai HIV/AIDS melalui media tradisional yang
inovatif yaitu wayang Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh yang ditimbulkan wayang Bali dalam melakukan promosi
kesehatan dibandingkan dengan cara pidato mengenai metode pencegahan
HIV/AIDS. Penelitian ini merupakan penelitian semu eksperimental yang
menggunakan equivalent control group design with pre-test and post-test.
Variabel pengaruh, yaitu promosi kesehatan melalui metode pertunjukan
daerah dengan media wayang Bali inovatif dan ceramah, sedangkan
variabel terpengaruh yaitu pengetahuan dan persepsi kepala keluarga
dalam pencegahan HIV/AIDS. Lokasi penelitian dilakukan di
Kecamatan Kintamani dan Kecamatan Susut dalam wilayah Kabupaten
Bangli. Hasilnya adalah kelompok yang menerima promosi kesehatan
selama sebulan melalui media wayang Bali telah meningkatkan
pengetahuan subyek penelitian dengan signifikan, dibandingkan dengan
kelompok yang menerima informasi serupa hanya melalui metode pidato.
Jurnal lain yang membahas mengenai wayang dan pendidikan
adalah milik Suhartatik (2013) berjudul Meningkatkan Minat dan
12
Kemampuan Membaca pada Anak Usia Dini dengan Menggunakan
Metode Bercerita melalui Media Kartu Kata Bergambar Berbentuk
Wayang Di Tk Aisyiyah Bustanulathfal 39 Kelompok B Kelurahan
Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya. Penelitian ini berfokus
pada cara menumbuhkan minat baca pada anak usia dini dengan
menggunakan metode bercerita melalui media kartu kata bergambar
berbentuk wayang dan bagaimana tingkat kemampuan membacanya
setelah dilakukan praktik dengan metode tersebut. Penelitian ini
merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang
meliputi dua siklus. Tiap siklus dilakukan secara berurutan yang terdiri
dari empat tahap yaitu: perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Data
penelitian diambil melalui observasi di kelas. Berdasarkan analisis data
penelitian dan pembahasan, maka diperoleh hasil bahwa penerapan metode
bercerita dengan wayang mengalami peningkatan kemampuan berbicara
anak pada siklus I sebesar 71 % dan siklus II hasil yang di capai sebesar
89%. Perilaku yang ditunjukkan anak pun berubah setelah diberikan
tindakan. Anak lebih senang dan antusias dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran serta semakin aktif.
Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tersebut.
Memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang
hendak dilakukan penulis. Persamaannya yaitu sama-sama meneliti
mengenai isi pesan dalam sebuah karya sastra baik itu pertunjukan wayang
maupun novel dan metode yang digunakan yaitu kualitatif. Perbedaannya
terletak pada lokasi penelitian dan fokus kajian. Perbedaan hasil penelitian
dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bahwa hasil penelitian ini
akan menunjukkan bagaimana wayang gagrag Banyumasan menjadi
media penyampaian pesan pendidikan karakter. Walaupun demikian,
masing-masing penelitian tetap menjadi bahan referensi dan pertimbangan
bagi penulis dalam mengkaji tentang pesan pendidikan karakter dalam
pertunjukkan wayang.
13
Tabel 1. Perbandingan Penelitian Terdahulu
No PenelitiJudul Penelitian
(Tahun Penelitian)Subjek Penelitian
Objek Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
1. Joko Sutarso dan Bambang Murtiyoso
Wayang sebagai Sumber dan Materi Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Budaya Lokal (2008)
Karakter/ tokoh, lakon/ cerita, dan pertunjukan seni wayang
Pendidikan budi pekerti
Metode analisis isi (content analysis)
Nilai dari pertunjukan wayang mengalami penurunan. Namun cerita wayang dan karakternya masih berpotensi sebagai sumber pembelajaran.
2. Sigit Dadi Sampurno
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Tradisional Masyarakat Banyumas (Studi Media Tradisional dalam Pesan-pesan Pembangunan)(2012)
Karakter/ tokoh, lakon/ cerita, dan pertunjukan seni wayang
Pesan pembangunan
Kualitatif (deskriptif)
Penyampaian pesan pembangunan ada yang berupa pesan pembangunan fisik dan non fisik. Diselipkan pada adegan limbukan dan goro-goro. Pesan dapat disampaikan melalui tembang yang dinyanyikan oleh. Pesan non fisik terdapat pada gunungan wayang.
3. Sri Herwindya Baskara Wijaya, Mursito,Mahfud Anshor
Pendidikan Karakter Bangsa dalam Novel (Studi tentang Pesan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Bangsa menggunakan Pendekatan Semiologi Komunikasi dalam Novel Nonfiksi “Habibie dan Ainun” Karya B.J. Habibie dan “Belahan Jiwa” Karya Rosihan Anwar)(2012)
Novel Nonfiksi “Habibie dan Ainun” Karya B.J. Habibie dan “Belahan Jiwa” Karya Rosihan Anwar
Pesan nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dalam novel
Kualitatif (analisis semiotik)
Adanya simbol-simbol komunikasi yang terdapat pada novel baik tersirat dan tersurat. Secara nonverbal, pesan pendidikan karakter pada novel Habibie dan Ainun adalah: nilai keagamaan, toleransi, semangat nasionalisme, patriotisme, kegemaran membaca, persahabatan, cinta damai, tanggungjawab, kerja keras dan
14
demokratis. Pada novel Belahan Jiwa pesan pendidikan karakternya adalah: religiusitas, persahabatan, kepedulian sosial, patriotisme, toleransi, penghargaan, tanggungjawab dan gemar membaca.
4. I Gusti Gede Ngurah Kursista, Kursista, Yayi Suryo Prabandari, Rendra Widyatama
Pengaruh Media Wayang Bali Inovatif dalam Mempromosikan Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Bangli (2009)
Kepala keluarga di Kecamatan Kintamani, Bali
Kegiatan promosi kesehatan pencegahan HIV/AIDS
Kuantitatif (Semu eksperimen-tal)
Kelompok yang menerima promosi kesehatan selama sebulan melalui media wayang Bali meningkatkan pengetahuan subyek penelitian dengan signifikan, dibandingkan dengan yang menerima informasi serupa hanya melalui metode pidato.
5. Suhartatik Meningkatkan Minat dan Kemampuan Membaca pada Anak Usia Dini dengan Menggunakan Metode Bercerita melalui Media Kartu Kata Bergambar Berbentuk Wayang Di Tk Aisyiyah Bustanulathfal 39 Kelompok B Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya (2013)
Siswa TK Aisyiyah Bustanulathfal 39 Kelompok B Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya
Peningkatan minat dan kemampuan baca dengan metode jartu bergambar wayang
Kualitatif (deskriptif)
Subyek yang menerima penerapan metode dengan wayang mengalami peningkatan kemampuan berbicara pada siklus I sebesar 71 % dan siklus II hasil yang di capai sebesar 89%. Perilaku yang ditunjukkan anak berubah. Anak lebih senang dan antusias dalam mengikuti kegiatan pembelajaran serta semakin aktif.
6. Leli Ristawati
Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter
Karakter/ tokoh, lakon/ cerita, dan pertunjukan seni wayang
Pesan pendidikan karakter
Kualitatif (deskriptif)
15
G. Kerangka Konsep
1. Media Tradisional
Dalam komunikasi tradisional, diperlukan adanya media sebagai
penunjang dalam berkomunikasi yang disebut media komunikasi
tradisional. Media tradisional mempunyai fungsi meningkatkan dan
mengembangkan nilai spiritual, etis, dan estetis pada diri manusia. Di
samping itu, dapat juga sebagai media hiburan dan penyebarluasan
informasi publik, karena alur cerita dalam kesenian rakyat tradisional
biasanya disampaikan dengan bahasa lokal dan menyatu dalam
kehidupan masyarakat setempat, sehingga mudah dimengerti dan dicerna
oleh masyarakat.
Dalam komunikasi tradisional di pedesaan, penggunaan
pertunjukan rakyat sebagai media komunikasi mempunyai potensi besar
untuk mencapai rakyat banyak, terutama sekali karena media tersebut
memiliki daya tarik yang sangat kuat dan berakar di tengah-tengah
masyarakat. Media tradisional merupakan alat komunikasi yang sudah
lama digunakan di suatu tempat (bersifat lokal) yaitu sebelum
kebudayaan tersentuh oleh teknologi modern dan sampai sekarang masih
digunakan di daerah itu. Media ini akrab dengan massa khalayak, kaya
akan variasi, dengan segera tersedia, dan dengan biaya yang terjangkau
(Istiyanto, 2008:4).
Media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari
kata medium yang secara harfiah berarti perantara, yaitu perantara
sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Mereka
mencontohkan media ini dengan film, televisi, diagram, bahan tercetak
(printed materials), komputer, dan instruktur. Contoh media tersebut bisa
dipertimbangkan sebagai media pembelajaran jika membawa pesan-
pesan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Pesan tersebut secara
umum merupakan isi dari tema atau topik pembelajaran. Pesan-pesan
tersebut disampaikan oleh guru kepada anak melalui suatu media dengan
16
menggunakan prosedur pembelajaran tertentu yang disebut dengan
metode (Badru dkk, 2007:44).
Media ini merupakan salah satu aspek penting dalam proses
komunikasi tradisional. Komunikasi tradisional adalah proses
penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak lain, dengan menggunakan
media tradisional yang sudah lama digunakan di suatu tempat sebelum
kebudayaan tersentuh oleh teknologi modern. Pada perkembangan waktu,
usaha-usaha manusia untuk berkomunikasi terlihat dalam berbagai
bentuk kehidupan manusia di masa lalu. Pada zaman itu manusia
berkomunikasi dengan cara-cara dan alat-alat tradisional dan melalui
media yang masih bersifat tradisional pula. Bentuk kehidupan manusia
tersebut merupakan bentuk komunikasi yang disebut komunikasi
tradisional. Komunikasi tradisional merupakan titik awal dari proses
pembentukan komunikasi manusia di zaman modern ini. Pada zaman
dahulu, komunikasi tradisional dilakukan oleh masyarakat primitif
dengan cara yang sederhana. Seiring dengan perkembangan teknologi,
komunikasi tradisional mulai luntur dan jarang digunakan, namun masih
ada sebagian orang yang masih tetap menggunakan komunikasi
tradisional, khususnya di daerah pedesaan.
Ciri-ciri dari media tradisional (Chusmeru, 2010:22) adalah sebagai
berikut: (a.) Menggunakan media yang sudah relatif bertahan lama dan
tersedia di masyarakat (b) Mengikuti aturan/ pakem yang ditetapkan
secara turun temurun (c) Dalam beberapa kasus mengalami modifikasi
dalam perangkat, penampilan, dan aksesorisnya (d) Cenderung
memanfaatkan ruang terbuka sebagai simbol kebersamaan (komunal
egalitarian) (e) Organisasi media dikelola secara sosial, adat, dan tradisi
(f) Tidak profit oriented (mengutamakan keuntungan), lebih bersifat
sosial-religius.
Keberadaan media tradisional tidak dapat dilepaskan begitu saja
dari masyarakat/komunitas budaya pendukung. Fungsi media tradisional
adalah dalam hal pewarisan nilai dan memelihara solidaritas sosial bagi
17
masyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk magisreligius dan
permainan-hiburan. Nilai tertinggi dari budaya tradisional yang
diproduksi melalui media sosial adalah mitos dan diwujudkan dalam
berbagai format seperti seni suara, tari, drama, atau kombinasi suara, tari
dan drama, serta bersifat naratif seperti dongeng, pantun, dan sebagainya.
Media tradisional tidak hanya sebagai obyek hiburan (spectacle) dalam
fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat, tetapi dimaksudkan untuk
memelihara keberadaan dan identitas suatu masyarakat. Budaya
tradisional pada hakekatnya berfungsi dalam memelihara solidaritas
suatu masyarakat budaya, karenanya bersifat eksklusif. Ashadi Siregar
(2006:3) mengatakan bahwa perlu mengangkat suatu budaya tradisional
sekaligus dengan media yang mengampu, adalah untuk fungsi
konservasi. Dalam format yang asli, media tradisional hanya relevan
secara eksklusif bagi masyarakat budaya pendukung.
2. Pesan
Pesan adalah ide, gagasan atau perasaan yang disampaikan oleh
komunikator kepada komunikan untuk mencapai pemahaman. Pesan
yang disampaikan oleh komunikan diwujudkan dalam bentuk simbol-
simbol tertentu yang bisa dalam bentuk simbol verbal maupun nonverbal.
Jika pesan yang disampaikan oleh komunikator telah mempertimbangkan
kepentingan komunikan, maka pesan itu akan dapat diterima secara baik
sehingga tercapai pemahaman yang sama (Rendro, 2010:11).
Pesan merupakan bagian yang penting dalam sebuah proses
komunikasi. Komunikasi berawal dari gagasan yang ada pada seseorang.
Gagasan itu (Hardjana, 2003:11) diolahnya menjadi pesan dan
dikirimkan melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima.
Penerima menerima pesan, dan sesudah mengerti isi pesan itu kemudian
menanggapi dan menyampaikan tanggapan kepada pengirim pesan.
Ketika penerima menyampaikan tanggapan, maka ia bukan lagi ada di
posisi penerima, melainkan sebagai penyampai pesan. Proses ini
18
berlangsung terus menerus selama ada pesan atau gagasan yang harus
disampaikan.
Dari definisi pesan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa
pesan adalah salah satu bagian penting dalam komunikasi yang
merupakan hasil pemikiran komunikator yang disampaikan ke
komunikan (penerima pesan) melalui suatu saluran atau media.
3. Pendidikan Karakter
Pendidikan dalam bahasa Inggris adalah education, yang berasal
dari akar kata Latin educatum. Terdiri dari dua kata yaitu E dan Duco. E
menyatakan sebuah progres atau kemajuan dari dalam ke arah luar.
Sedangkan Duco berarti perkembangan. Kata educatum juga
berhubungan dengan educere, yang berasal dari bahasa yang sama.
Secara harafiah berarti dorongan dari dalam keluar. Berarti, pendidikan
merupakan sebuah pengaplikasian perubahan-perubahan agar seseorang
menjadi lebih baik. Pendidikan menurut Kleis (dalam Djudju Sudjana,
2007:3) mengartikan pendidikan sebagai sejumlah pengalaman yang
dengan pengalaman itu, seseorang atau kelompok orang dapat memahami
sesuatu yang sebelumnya tidak dipahami. Pengalaman terjadi karena
adanya interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan.
Interaksi itu menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan
proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi
kehidupan seseorang atau kelompok dalam lingkungan temapat
tinggalnya. Sedangkan arti yang sering didengar mengenai pendidikan
adalah pendapat dari Plato yang mengatakan bahwa pendidikan adalah
bagian dari proses kehidupan. Sejak awal manusia hidup hingga saat
terakhir. Tujuan pendidikan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 dalam Adisusilo (2012:76) yang
menyebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
19
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Telah disinggung bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk
membentuk karakter. Karakter (Gunawan, 2012:1) sendiri dapat diartikan
dari dari sisi kebahasaan dan sisi istilah. Menurut bahasa (etimologis)
istilah karakter berasal dari bahasa latin kharakter, kharassaein, dan
kharax. Dalam bahasa Yunani character dari kata charassein, yang
berarti membuat tajam dan membuat dalam. Dalam bahasa Inggris
character dan dalam bahasa Indonesia lazim digunakan dengan istilah
karakter. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional kata karakter berarti
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lain, atau bermakna bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak. (Depdiknas, 2008: 623). Karakter dianggap sama
dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik
atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diteriman dari lingkungan, misalnya keluarga
pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir (Sjarkawi,
2006:11). Di samping itu, karakter didefinisikan oleh Roosseno (dalam
Wangsadinata, 2008: 264) adalah budi pekerti yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Sri
Herwindya Wijaya (2013:3) menuliskan bahwa karakter adalah cara
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup
dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang dibuat.
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona dalam Gunawan
(2012:23) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang
20
melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan
nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab,
menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Aristoteles
berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang
kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku. Menurut Elkind dan Sweet
dalam Gunawan (20012: 34) pendidikan karakter adalah upaya yang
disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli dan inti atas
nilai-nilai etis/ susila.
Russel Williams dalam Husaini (2010:40), menggambarkan
karakter laksana otot, yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih.
Dengan latihan demi latihan, maka ‘otot-otot’ karakter akan menjadi
kuat dan akan berubah menjadi kebiasaan (habit). Orang yang
berkarakter tidak melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan
hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan atau loving the good.
Karena cinta itulah, maka muncul keinginan untuk berbuat baik, yang
bisa disebut dengan desiring in good.
Pendidikan karakter berfungsi (1) untuk mengembangkan potensi
dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik (2)
memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur dan (3)
meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia
(Gunawan, 2012:30). Foester dalam Majid (2010:36) menyebutkan,
paling tidak ada empat (4) ciri dasar pendidikan karakter, yaitu (a)
keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki
nilai maka nilai menjadi pedoman yang bersifat normatif dalam setiap
tindakan (b) koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang
teguh pada prinsip, dan tidak mudah terombang ambing pada situasi baru
atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa
percaya satu sama lain, tidak adanya koherensi dapat meruntuhkan
kredibilitas seseorang (c) otonomi yaitu saat seseorang
menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi
pribadi. Ini dapat dilihat dari penilaian atas keputusan pribadi tanpa
21
terpengaruh desakan pihak lain (d) keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan
merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan apapun yang
dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa
yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
4. Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Thomas Stamford Raffles, seorang Inggris yang menetap lama di
Pulau Jawa mencatat mengenai wayang di Jawa secara umum, dalam
buku milik Thomas Stamford Raffles, The History of Java yang ditulis
ulang tahun 2003. Gambar wayang yang beliau pahami adalah ketika
figur-figur diletakkan di atas paku tanduk, dan memiliki sedikit bagian
dari tanduk pada masing-masing tangan. Dengan benda tersebut, tangan
disatukan dengan siku dan pundak, dan dapat digerakkan sesuai
kehendak yang memainkan. Selembar kain putih atau tirai yang
dipancangkan dengan kuat pada bingkai bujur, dengan panjang sekitar
sepuluh atau dua belas kaki, dan tinggi lima kaki serta ditempatkan di
depan para penonton, kemudian dijadikan transparan dengan cara
menggantung lampu di belakang. Beberapa tokoh wayang saling
bergantian dalam memainkan bagian penokohan. Sebelum memulai
pertunjukan ini, dalang yang duduk menetap di belakang tirai, mengatur
berbagai karakter yang berbeda-beda di setiap sisi tirai, dengan
menancapkan mereka pada sebuah batang pohon pisang panjang yang
diletakkan sepanjang dasar tirai. Gamelan kemudian mulai mengalun,
dan beberapa tokoh wayang menampilkan diri. Ringkasan kisah sejarah
diulang, dan dialog kemudian dibawakan, biasanya sesuai dengan
kebijaksanaan dan diciptakan oleh dalang sendiri. Tanpa dalang, tidak
22
ada yang bisa dilakukan, karena dalang tidak hanya membuat wayang-
wayang bergerak, tapi juga memainkan wayang-wayang itu, menyelang-
nyelingkan mereka dalam versi yang berbeda-beda dari ilustrasi yang
romantis dalam cerita, dan penggambaran kualitas dari berbagai tokoh,
mengatur waktu mengalunnya musik dengan palu yang dipegang di
tangan, sementara dalang mendeklamasikan kalimat yang sesuai dengan
kejadian dalam cerita yang dibawakan (Raffles, 2003:232).
Kanti Waluyo (2011:19) memaparkan bahwa wayang kulit purwa
adalah salah satu jenis wayang kulit yang paling tua atau paling awal
(purwa) yang dimainkan oleh seorang dalang dan didukung oleh sindhen
(penyanyi) dan niyaga (pemain musik). Wayang kulit purwa termasuk
salah satu hasil peninggalan kebudayaan yang mampu bertahan hidup
hingga hari ini, khususnya di lingkungan masyarakat Jawa, Sunda dan
Bali. Cerita-cerita pokok bersumber dari kitab Mahabharata dan
Ramayana yang bernafaskan kebudayaan dan filsafat Hindu India, akan
tetapi dalam perkembangan telah diserap ke dalam kebudayaan
Indonesia. Dalam perjalanan sejarah, kebudayaan Indonesia memang
banyak mengalami asimilasi atau akulturasi dengan berbagai kebudayaan
asing yang berpengaruh di Indonesia.
Sudarko (2007:212) dalam bukunya Sejarah Pedalangan
menuliskan bahwa dunia pewayangan Indonesia dikenal adanya berbagai
gaya, atau gagrag atau tradisi pedalangan seperti gaya Surakarta, gaya
Ngayogyakarta atau Mataram, gaya Jawatimuran, gaya pesisiran, dan
sebagainya. Munculnya gaya-gaya pedalangan tidak lepas dari kehidupan
keraton Jawa yaitu Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat yang membawa perkembangan dua gaya pedalangan yaitu
gaya pedalangan Surakarta dan gaya pedalangan Ngayogyakarta atau
Mataram. Selanjutnya, diperkirakan bahwa seni pedalangan masuk ke
Banyumas bersama orang-orang beragama Hindu dari Majapahit yang
lari karena terdesak oleh orang-orang agama Islam abad 15. Orang-orang
Hindu masuk ke Banyumas diperkirakan melalui Gunung Lawu, Merapi,
23
Merbabu, Sindoro, Sumbing, Dieng, Rogojembangan dan Gunung
Slamet terus ke barat. Pada zaman Kasultanan Demak abad 15-16 orang-
orang Islam juga masuk ke Banyumas untuk menyebarkan agama Islam.
Cara pengembangan agama Islam diperkirakan menggunakan seni
pedalangan. Seni pedalangan yang sudah dimulai pada zaman Hindu
kemudian berubah karena pengaruh agama Islam dan selanjutnya
bercampur dengan budaya Banyumas. Pencampuran antara Hindu, Islam,
dan budaya Banyumas sampa sekarang masih terasa pada seni
pedalangan gagrag Banyumas-Purbalingga. Hal ini dapat dilihat pada
cakepan-cakepan, janturan, serta sulukan yang masih digunakan sampai
sekarang di pedalangan gagrag Banyumasan. Lebih-lebih di daerah
pegunungan serta lembah Sungai Serayu. Hal ini sering disebut
pedalangan gagrag Banyumas lor gunung (Gunung Kendeng), yang
pakelirannya sampai sekarang menggunakan Bahasa Banyumas. Pada
zaman keraton Pajang, Banyumas menjadi kekuasaan Kasultanan Pajang.
Pada waktu itu masuklah bahasa Jawa dari timur yang disebut “Basa
Bandek”. Bandek berasal dari banasing gandek, sebab yang
menyebarkan bahasa itu adalah para gandek yaitu para utusan dari
Pajang. Pada zaman Mataram Islam dari Panembahan Senapati sampai
dengan Keraton Pleret bedah, seni pedalangan Banyumas semakin
berkembang. Hal ini disebabkan adanya hubungan dengan Mataram dan
Kedu. Hal itu menyebabkan pedalangan gagrag Mataram dan Kedu
memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap pedalangan gagrag
Banyumas, khususnya daerah Banyumas sebelah selatan, yakni daerah
pesisir selatan yang menimbulkan seni pedalangan gagrag Banyumas
Pesisir. Dengan demikian di Banyumas terdapat dua gaya atau gagrag
pedalangan yakni gagrag pesisiran dan gagrag lor gunung. Gagrag
pesisiran maju di dalam hal seni karawitan, sedang gagrag lor gunung
maju dalam hal falsafah. Dalang gagrag pesisiran yang terkenal adalah
almarhum Ki Tutur dari Kasugihan. Sedangkan Ki Parsa dan Ki Sugih
keduanya merupakan dalang terkenal dalam gagrag lor gunung.
24
Wayang kulit gagrag Banyumasan merupakan salah satu gaya
pedalangan di Jawa Tengah, yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran.
Wayang tersebut berperan sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan
wahana untuk mempertahankan nilai etika, devosional dan hiburan, yang
kualitasnya selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para
pakar yang memahami benar mengenai pewayangan. Pakeliran ini
mencakup unsur-unsur yaitu, lakon wayang (penyajian alur cerita dan
maknanya), sabet (seluruh gerak wayang), catur (narasi dan percakapan),
dan karawitan (gendhing, sulukan, dan properti panggung). Pakeliran
gagrag Banyumasan mempunyai nuansa kerakyatan yang kental
sebagaimana karakter masyarakat yang jujur dan terus terang, dan hidup
serta berkembang di daerah eks-karesidenan Banyumas. Wayang tersebut
merupakan ekspresi dan sifat lebih bebas, sederhana, serta lugas dan
mampu bertahan sampai saat ini dalam menghadapi perubahan zaman
karena memperoleh simpati dan dicintai masyarakat. Pedalangan gagrag
Banyumasan memperoleh pengaruh serta memiliki tatanan atau pakem
dari seni pedalangan Surakarta dan Yogyakarta. Akan tetapi pedalangan
gagrag Banyumasan mempunyai ciri khas tersendiri dengan penokohan
Bawor serta Gendhing Banyumasan. Seni pedalangan Banyumasan ini
kemudian dibakukan dan dilestarikan oleh pakar pedalangan
Banyumasan dalam paguyuban ganasidi/ pedalangan eks-Karesidenan
Banyumas yang diselenggarakan di Kawedanan Bukateja tanggal 21
April 1979.
Pengaruh kuat lain pada pedalangan Banyumasan, yaitu pada
zaman Kesultanan Demak (1478-1546), kemudian Kesultanan Pajang
(1546-1587), sampai dengan pengaruh Mataram pada zaman Plered
(1645-1677) Amangkurat Tegalarum yang secara khusus mempunyai
perhatian besar untuk karesidenan Banyumas, dan mengutus dalang Ki
Lebdajiwa ke Ajibarang, untuk lebih mengembangkan seni pedalangan
gagrag Banyumasan. Pengaruh gagrag Mataram (Surakarta dan
Yogyakarta) lebih kuat, terutama melalui kawasan pesisir kidul
25
(selatan), dan dikenal dengan seni pedalangan Banyumas pesisiran atau
gagrag Kidul Gunung, pengaruh itu dapat diketahui sampai dengan
kisaran tahun 1920, dan terus berkembang melalui dalang trah
Gombong, yaitu Ki Cerma sampai Ki Dalang Menganti. Sementara itu,
kawasan depan Banyumas dari Purbalingga kemudian menyusuri
Sungai serayu, menuju ke arah barat, mempunyai pakeliran tersendiri
dan dikenal dengan gagrag Lor Gunung, seperti berkembang melalui
trah Kesugihan (aslinya dari pengembangan pesisiran) diantaranya Ki
Dalang Tutur, dan terus berkembang sampai dengan era Ki Dalang
Parsa, Ki Dalang Sugih. Akan tetapi, yang cenderung tidak terpengaruh
adalah Donorojo, dalang pesisiran adalah Ki Dalang Waryan dari
Kalimanah (Wibisana, 2010:30).
5. Pandawa Lima
Banyak sekali karakter pewayangan yang bisa kita jadikan contoh
dalam kehidupan sehari-hari, tapi tentu harus yang berkarakter baik. baik
Pandawa Lima merupakan tokoh yang tidak dapat dipisahkan dengan
kisah Mahabharata. Pandawa lima adalah sebutan lima bersaudara, putra
dari Pandu Dewanata yakni Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan
Sadewa. Cerita mengenai mereka tertuang dalam Kitab Mahabharata
yang ditulis oleh Begawan Wiyasa dibantu oleh Ganapati
(Rajagopalachari, 2013:15). Pada abad 12, epos (syair panjang yang
menceritakan riwayat pahlawan) Mahabharata diinterpertasi ulang oleh
Mpu Sedah dan mengalami pelokalan, digubah dalam lakon wayang
yang mengandung simbol-simbol ajaran kebatinan Jawa, seperti Serat
Dewa Ruci dan Serat Arjuna Wiwaha, yang merefleksikan sinkretisme
dan akulturasi budaya Jawa dan Hindu (Adisasmito, 2008:57). Kitab
Mahabharata ini sering juga disebut Asthadasaparwa. Astha berarti
delapan, dasa berarti sepuluh, parwa berarti bagian atau bab. Jadi Kitab
Mahabharata ini dibagi menjadi 18 bagian atau 18 parwa. Sebagian besar
menceritakan peperangan sengit antara Pandawa dan Kurawa selama 18
26
hari, sehingga ada yang menyebut dengan nama yang lengkap yaitu Kitab
Mahabharatayudda yang artinya peperangan besar antara keluarga
Bharata.
Diceritakan bahwa kedua istri Pandu dari kerajaan Hastinapura,
Dewi Kunthi dan Dewi Madri/ Dewi Madrim melahirkan 5 putra yang
kemudian dikenal sebagai Pandawa. Mereka adalah Yudhistira, Bima dan
Arjuna para putra Kunthi; dan Nakula-Sadewa putra Madri. Mereka yang
tumbuh di lingkungan kerajaan memiliki sifat yang baik. Berikut ini
karakter yang terdapat dalam diri Pandawa Lima: (a) Yudhistira sebagai
pemimpin Pandawa Lima, sifatnya sangat bijaksana terbukti saat ia
memimpin Kerajaan Kuru menjadi makmur, tidak memiliki musuh,
hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang
sangat tinggi, suka memaafkan serta suka mengampuni musuh yang
sudah menyerah. Sifat lainnya yang menonjol adalah adil, sabar, jujur,
taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani berspekulasi.
(b) Bima, Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki
nama julukan Bayusutha. Bima memililki sifat dan perwatakan; gagah
berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Ia juga memiliki sifat kasar
dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut,
setia pada satu sikap, tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap
mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri., postur tubuhnya
hampir dua kali tinggi dan besar rata-rata bangsa manusia. Kekuatannya
paling besar diantara anggota Pandawa yang lain. Matanya tajam, kumis
dan jenggot tebal (Sucipta, 2010:77). Keistimewaan lain adalah
tumbuhnya tulang menonjol keluar dari pangkal ibu jari dan telunjuknya
yang begitu tajam, keras dan kuat bernama kuku Pancanaka. Bima tidak
pandai berkata-kata, maka ia cenderung memakai bahasa yang kasar
terhadap gurunya, Durna, sekalipun. Namun perkataannya yang demikian
tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap orang yang lebih tua.
Meskipun memiliki kekuatan yang besar, dalam episode lain
(Rajagopalachari 2013:75) diceritakan bahwa ia memiliki sifat protektif
27
terhadap keluarganya. Ketika keluarganya kelelahan dalam buruan bala
Kurawa, ia menggendong ibunya di punggung, ia rangkul Nakula dan
Sadewa dengan lengannya, dan kedua tangannya menuntun Arjuna dan
Yudhistira. Dengan beban seberat itu, Bima terus melangkah menembus
hutan, seperti seekor gajah yang menerjang semak belukar dan
pepohonan yang menghalangi jalan. (c) Arjuna, Ia merupakan
penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Ia adalah ksatria cerdik
dan gemar berkelana, gemar bertapa dan berguru menuntut ilmu. Arjuna
memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria.
Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan
para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran
besar di melawan Kurawa. Arjuna dikenal juga dengan nama Janaka dan
Dananjaya. Arjuna memiliki sifat perwatakan cerdik pandai, pendiam,
lemah lembut budinya, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi
yang lemah. (d) Nakula, Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar
bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Nakula pandai memainkan
senjata pedang. Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan
merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Perwatakan jujur,
setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi serta dapat menjaga
rahasia. (e) Sadewa yang memiliki nama kecil Tangsen, merupakan salah
satu putera kembar pasangan Dewi Madri dan Pandu. Ia merupakan
penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan.
Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga
merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi. Karakternya sama
dengan Nakula.
28
H. Kerangka Pemikiran
Penyebaran informasi melalui media massa masih memerlukan
upaya dengan media tradisional terutama jika target pesan itu adalah
masyarakat yang mempunyai struktur dan sistem sosial yang majemuk
(pedesaan) (Rogers 1992:165). Pesan dalam komunikasi tradisional
biasanya disampaikan secara verbal dan nonverbal dengan mengggunakan
bahasa daerah, begitu pula halnya dengan wayang kulit gagrag
Banyumasan ini yang merupakan media komunikasi tradisional yang
masih bertahan di Banyumas.
Wayang telah lama dijadikan sebagai sarana pendidikan,
khususnya saat digunakan oleh para wali di Jawa sebagai media
penyebaran ajaran Islam yang mengadopsi cerita dari India salah satunya
adalah mengenai Lakon Baratayuda dalam Kitab Mahabharata. Lakon ini
menceritakan perang besar yang terjadi antara dua saudara keturunan
Barata yaitu Kurawa dan Pandawa. Lakon ini memiliki keistimewaan
dibanding lakon-lakon lain karena bagi sebagian masyarakat Jawa
dianggap sebagai lakon keramat dan tidak boleh dipertunjukkan di
sembarang tempat dan waktu (Marsono 1993 dalam Budiarta, 2010:166).
Namun selain materi tentang agama Islam, cerita-cerita wayang yang telah
disesuaikan dengan kebudayaan Jawa ternyata memiliki banyak pesan
pendidikan karakter yang perlu penontonnya pahami. Berbagai cerita
wayang dan karakter para tokoh banyak yang dijadikan anutan, prinsip
hidup, sumber pencarian nilai-nilai, atau paling tidak mempengaruhi sikap
hidup masyarakat penggemar cerita itu (Burhan, 2003:3). Dengan
Pandawa sebagai tokoh sentral protagonis yang memiliki banyak karakter
positif, mereka dapat dijadikan teladan untuk menjalani hidup sehari-hari
bagi siapapun yang menonton dalam pertunjukkan wayang.
Kehadiran penonton atau khalayak juga hal yang penting dalam
sebuah proses komunikasi tradisional. Khalayak adalah anggota
masyarakat setempat (insider). Dalam pementasan yang dihadiri oleh
29
penonton dari luar biasanya dianggap sebagai outsider. Segmentasi
khalayak kurang jelas, karena biasanya khalayak dalam komunikasi
tradisional adalah homogen (Chusmeru, 2011: 6). Komunikasi tradisional
juga dapat menumbuhkan efek perilaku bagi khalayaknya. Muncul
apresiasi terhadap bermacam bentuk komunikasi tradisional di tengah
gencarnya media komunikasi modern, seperti televisi dan internet.
Apresiasi itu dalam bentuk masih peduli dan masih sering wayang kulit ini
ditanggap dalam berbagai upacara/ ritual adat Banyumasan. Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat digambarkan kerangka pemikirannya berikut ini:
Gambar H.1 Kerangka Pemikiran
Wilayah penelitian
30
Komunikasi Tradisional
Media Tradisional
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Pandawa:a. Yudhistirab. Arjunac. Bimad. Nakulae. Sadewa
Pesan Pendidikan Karakter
Karakter Pandawa:a. Bijaksanab. Jujurc. Adild. Tegase. Jujurf. Beranig. Cerdikh. Sopan
Penonton
I. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
Menurut Deddy Mulyana (2003:150) metode penelitian kualitatif
dalam arti penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti
berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode
statistik. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk
dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya,
alih-alih mengubah menjadi entitas-entitas kuantitatif. Dalam
penelitian ini, metodologi kualitatif digunakan untuk
mendeskripsikan bagaimana pesan pendidikan karakter
disampaikan melalui pertunjukan wayang dengan gaya
pedhalangan atau gagrag Banyumas.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih mempertimbangkan dan
menyesuaikan tempat pementasan yang dapat berbeda-beda dari
tiap dalang. Sehingga lokasi yang ditetapkan adalah di wilayah
Kabupaten Banyumas.
3. Teknik Pemilihan Informan
Dengan Dengan berdasar pada metode penelitian kualitatif,
maka pengambilan informan ditujukan bukan didasarkan atas
premis keterwakilan populasi. Akan tetapi, dituju adalah
kecukupan dan kedalaman data yang diperoleh peneliti. Metode
pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik purposive sampling dalam menetapkan informan, yaitu
peneliti memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya
untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui
permasalahan secara mendalam. Purposive sampling adalah teknik
31
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.
Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap
paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia
sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi
objek atau situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2007:53). Melalui
cara ini informan ditetapkan sesuai dengan tujuan peneliti.
Dalam pelaksanaan pengumpulan data, pemilihan informan
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti
untuk memperoleh data. Bersifat selektif di mana peneliti
menggunakan berbagai pertimbangan berdasarkan konsep teoritis
yang digunakan keingintahuan pribadi, karakteristik empiris.
Berikut adalah kriteria informan utama dan informan pendukung
dalam penelitian ini:
1. Informan utama
a. Dalang pertunjukan wayang kulit gagrag Banyumasan
b. Tinggal atau berdomisili di Banyumas
c. Mengadakan pertunjukan wayang di Banyumas
d. Memahami karakter tokoh-tokoh yang dimainkan
e. Memahami pesan pendidikan karakter yang terdapat
dalam pertunjukan wayangnya
2. Informan pendukung
a. Penonton wayang kulit gagrag Banyumasan
b. Pernah menonton 2-5 kali pertunjukan wayang
c. Bisa dan memahami bahasa Banyumas
d. Tinggal atau berdomisili di Banyumas
e. Mengerti jalan cerita pertunjukan wayang
32
4. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan
dari sumber pertama, seperti hasil wawancara, dan observasi
(Prastowo, 2012:205).
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh bukan
dari sumber pertama, atau dapat diperoleh dari studi pustaka
sebagai pelengkap yang berhubungan dengan tujuan penelitian
seperti buku-buku, dokumen, catatan, majalah, jurnal, dan situs
internet (Prastowo, 2012:205). Data ini berfungsi untuk
mendukung data primer.
I. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan tiga cara dalam mengumpulkan data
penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Observasi
Marshall (dalam: Sugiyono, 2007:66) menyatakan bahwa
“through observation, the researcher learn about behavior and the
meaning attached to those behavior”. Melalui observasi, peneliti
belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku. Observasi dilakukan
untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari hasil wawancara
seperti dengan melihat makna tersirat informan melalui nonverbal
yang dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi tidak
berstruktur. Dalam observasi tidak berstruktur, fokus observasi akan
berkembang selama kegiatan observasi berlangsung.
Teknik observasi dipergunakan untuk menggali data dari
sumber yang berupa peristiwa, aktifitas, perilaku, tempat atau lokasi,
benda, serta rekaman gambar. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan observasi partisipasi pasif (pasisive participation) yaitu
33
peneliti mengamati langsung hal yang terjadi di lokasi penelitian
tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Dengan pengamatan
langsung di lapangan, maka peneliti tidak hanya mengumpulkan data
yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan
merasakan situasi sosial yang diteliti.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini mengambil
tempat di Kabupaten Banyumas, dengan dalang-dalang yang ada di
Banyumas. Waktu observasi di lapangan menyesuaikan jadwal
pementasan wayang kulit dari dalang-dalang yang nanti dijadikan
informan.
2. Wawancara Mendalam (In depth interview)
In depth interview merupakan proses menggali informasi secara
tidak formal, guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang
banyak hal yang bermanfaat untuk menjadi dasar penelitian lebih lanjut.
Wawancara mendalam merupakan cara pengumpulan data untuk
mendapatkan informasi dari subjek penelitian melalui tanya jawab secara
langsung, dengan menggunakan alat bantu berupa draf wawancara yang
telah disusun sebelumya (Moleong, 2007:56).
Teknik wawancara dalam penelitian ini menggunakan
wawancara semistruktur. Jenis wawancara ini, sudah temasuk dalam
kategori in depth interview, di mana pelaksanaanya lebih bebas
dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara
jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka,
di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-
idenya.
Langkah langkah yang dipersiapkan peneliti sebelum
melaksanakan wawancara yaitu menyusun pedoman wawancara,
melakukan perjanjian wawancara dengan informan dan melaksanakan
wawancara pada saat peneliti berkunjung di rumah informan.
34
3. Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2007:82) studi dokumen merupakan pelengkap
dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian
kualitatif. Dokumentasi merupakan media pendukung penelitian
yang dapat berupa pengumpulan data berupa dokumen-dokumen
yang didapatkan dari objek penelitian, literatur yang relevan ataupun
melalui internet, arsip, foto untuk melengkapi penelitian. Dalam
pencatatan data sangat sulit jika hanya dilaksanakan secara langsung
dalam wawancara. Oleh karena itu, dalam penelitian peneliti
menggunakan berbagai cara pendamping antara lain yaitu dengan
meminjam buku literatur terkait, rekaman CD wayang dan lain-lain.
J. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis interaktif yaitu penggambaran dari tulisan, ucapan dan perilaku
yang diamati (Miles dan Hubberman, 1992:20) yang terdiri dari empat
komponen analisis yaitu:
1. Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dari wawancara dan dokumentasi dicatat dalam
catatan lapangan yang terdiri dari dua aspek, yaitu deskripsi dan
refleksi. Catatan deskripsi merupakan data alami yang berisi tentang
apa yang dilihat, didengar, dirasakan, disaksikan dan dialami sendiri
oleh peneliti tanpa adanya pendapat dan penafsiran dari peneliti
tentang fenomena yang dijumpai, sedangkan dengan catatan refleksi
yaitu memuat kesan dan tafsiran peneliti tentang temuan yang
dijumpai dan merupakan bahan rencana pengumpulan data untuk
tahap berikutnya.
35
2. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, mengabstrakan dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung
terus menerus selama proyek yang berorientasi langsung. Dengan kata
lain, reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,
mengolongkan, membuang yang tidak perlu sehingga kesimpulan
finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
3. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data merupakan penyajian sekumpulan data dan informasi
yang disusun oleh peneliti yang kemudian dimungkinkan untuk
melakukan penarikan kesimpulan atau penentuan tindakan. Data-data
dan informasi yang sudah dikelompokan kemudian disajikan dalam
bentuk narasi secara lengkap dan detail agar setiap data dan informasi
tidak lepas dari kondisi permasalahan yang ada dan memudahkan
peneliti dalam upaya pengambilan kesimpulan.
4. Penarikan Kesimpulan (Verification)
Penarikan kesimpulan merupakan kegitan mencari arti data, mencatat
keteraturan, pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur
sebab dan proporsi. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dalam
sebuah siklus. Peneliti bergerak di antara ketiga komponen tersebut.
Hal ini dimaksudkan untuk memahami dan mendapatkan pengertian
mendalam, kompherensif dan rinci. Sehingga dapat menghasilkan
kesimpulan sebagai hasil pemahaman dan pengertian peneliti. Dalam
penelitian ini, data-data yang sudah didapatkan sebelumnya, kemudian
dibandingkan dengan data-data hasil wawancara dengan wawancara
untuk menarik kesimpulan.
36
Keterkaitan ketiga komponen tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar K.1 Skema Penarikan Kesimpulan
Sumber: (Milles dan Hubberman, 1992:20)
K. Validitas Data
Menurut (Moleong, 2007:330) validitas data dilakukan dengan
tujuan untuk memperkaya ataupun memperdalam data yang diperoleh di
lapangan. Validitas memiliki arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan
suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya atau memberikan hasil
ukur yang sesuai dengan maksud yang dilakukan pengukuran tersebut.
Untuk menguji keabsahan data penelitian, peneliti menggunakan
teknik perpanjangan pengamatan. Perpanjangan pengamatan berarti
peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawacara lagi
dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dengan
perpanjangan pengamatan, ini berarti hubungan peneliti dengan
narasumber semakin terbentuk rapport, semakin akrab (tidak ada jarak
lagi), semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi
yang disembunyikan lagi. Bila telah terbentuk rapport, maka telah terjadi
kewajaran dalam penelitian, di mana kehadiran peneliti tidak lagi
menggangu pelaku yang dipelajari.
Pada awal peneliti memasuki lapangan, peneliti masih dianggap
orang asing, masih dicurigai, sehingga informasi yang diberikan belum
lengkap, belum mendalam bahkan mungkin masih banyak yang
37
Pengumpulan Data
Reduksi Data Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
dirahasiakan. Dengan perpanjangan pengamatan ini, peneliti mengecek
kembali apakah data yang telah diberikan selama ini merupakan data
yang sudah benar atau tidak. Bila data yang diperoleh selama ini setelah
dicek kembali pada sumber data asli atau sumber data lain ternyata tidak
benar, maka peneliti melakukan pengamatan lagi lebih luas dan
mendalam sehingga diperoleh data yang pasti kebenarannya.
Triangulasi sumber data dilakukan dengan membandingkan dan
mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan cara yang berbeda dalam metode kualitatif yang
dilakukan dengan: (1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan
hasil wawancara (2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan
umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi (3) Membandingkan
apa yang dikatakan tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan
sepanjang waktu (4) Membandingkan keadaan dan pespektif seseorang
dengan berbagai pendapat dan pandangan (5) Membandingkan hasil
wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Peneliti akan menggunakan dua dari lima teknik triangulasi di
atas, yaitu (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil
wawancara dan (2) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen yang berkaitan.
38