pertunjukan wayang kulit gagrag banyumasan sebagai media penyampaian pesan pendidikan karakter di...

64
A. Judul: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter di Kabupaten Banyumas B. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses sepanjang hayat (long life education) dan persoalan penting dalam kehidupan manusia. Pada masyarakat modern saat ini, banyak tuntutan yang harus dilakukan sebagai warga negara Indonesia, antara lain: (a.) Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”, (b.) Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”, (c.) Wajib menghormati hak manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan “Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain.”, (d.) Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang. Pasal 28J ayat 2 yang menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang 1

Upload: leli-ristawati

Post on 19-Jan-2016

196 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Skripsi Bab 1-3, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, FISIP, Fakultas Ilmu Sosiologi dan Politik, Komunikasi

TRANSCRIPT

Page 1: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

A. Judul:

Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan sebagai Media

Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter di Kabupaten Banyumas

B. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah proses sepanjang hayat (long life education)

dan persoalan penting dalam kehidupan manusia. Pada masyarakat modern

saat ini, banyak tuntutan yang harus dilakukan sebagai warga negara

Indonesia, antara lain: (a.) Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal

27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”, (b.) Wajib

ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945

menyatakan “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya

pembelaan negara.”, (c.) Wajib menghormati hak manusia orang lain.

Pasal 28J ayat 1 mengatakan “Setiap orang wajib menghormati hak asai

manusia orang lain.”, (d.) Wajib tunduk kepada pembatasan yang

ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28J ayat 2 yang menyatakan

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis.”, (e.) Wajib ikut serta dalam

usaha pertahanan dan keamanan negara. Tertera dalam pasal 30 ayat (1)

“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha

pertahanan dan keamanan negara.” (Pustaka Agung Harapan, 2005:62).

Untuk memenuhi semua kewajiban tersebut, seluruh warga negara dituntut

untuk memiliki karakter yang cerdas dan bertanggungjawab. Karakter

tersebut dibutuhkan agar warga negara Indonesia mampu memahami

1

Page 2: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

permasalahan dalam bangsanya dan tidak mudah tergoyahkan oleh

pengaruh yang datang dari luar.

Tujuan Negara Indonesia dalam Pembukaan Undang - Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah untuk (1) membentuk

suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum (2) mencerdaskan kehidupan bangsa (3) ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial (Pustaka Agung Harapan, 2005:5).

Salah satu tujuan yang terkandung adalah mencerdaskan kehidupan

Bangsa. Hal ini bisa dilakukan adalah dengan menggunakan sarana

pendidikan. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1, “Pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa, dan negara. (Tim Redaksi Fokus Media, 2008:58)

Hanum dalam bukunya Pendidikan Multikultural sebagai Sarana

Membentuk Karakter Bangsa mengatakan bahwa sebuah bangsa yang

besar dibangun oleh generasi muda yang memiliki karakter yang baik.

Generasi muda yang memiliki karakter yang baik dapat dilihat dari

perilaku yang penuh pengorbanan, setia, bertanggung jawab, dan

menjunjung kepentingan bersama (2009:2). Dengan kata lain, maju

mundurnya sebuah bangsa sangat bergantung pada kualitas dan karakter

generasi muda sebagai penerus kelangsungan bangsa. Akan tetapi, dewasa

ini, bangsa Indonesia memperlihatkan kondisi yang tidak baik. Indonesia

mengalami krisis multidimensi, seperti rendahnya loyalitas generasi muda,

korupsi, kriminalitas, dan lain-lain. Krisis multi dimensional ini saling

terkait (Sumantri, 2010:1). Indonesia juga mengalami krisis jati diri,

kondisi yang tidak baik yang dimiliki bangsa Indonesia memperlihatkan

2

Page 3: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

bahwa bangsa ini belum dibangun oleh generasi muda yang memiliki

karakter yang baik (good character) secara menyeluruh (Sujana dalam

Karyanto 2008:46).

Dalam konteks yang lebih khusus yakni dalam dunia

pendidikan, Menteri Pendidikan Nasional Jateng pada tanggal 25 Maret

2014 memberitakan tentang kekerasan yang dilakukan guru. Dengan judul

Siswa SMK Pertanian Kalibagor Diludahi Dan Dipukul, berita ini

menuturkan tentang Dimas Ageng, siswa kelas X C yang dianiaya

gurunya, Munaris, disinyalir karena terlambat melakukan sholat dhuhur

(http://pekihmotor.blogspot.com diakses pada 25 Mei 2014 pukul 09:44)

Kekerasan yang telah disebutkan di atas menambah daftar

panjang kekerasan di sekolah adalah berita yang ditulis Nanang BNC pada

8 Mei 2014, mengenai kekerasan antar siswa di SDN 3 Dermaji, Lumbir.

Berita ini menceritakan tentang tuduhan menyembunyikan buku salah satu

teman, Didik siswa kelas 6, dikeroyok 5 teman sekelasnya dan

mengakibatkan luka memar di kepala Didik, sehingga dilarikan ke

Puskesmas Pembantu terdekat. Kasus ini berakhir damai, setelah

dilakukan mediasi oleh pihak sekolah dan orangtua korban.

(http://banyumasnews.com diakses pada 25 Mei 2014 pukul 09:44)

Bambang Ruwanto menuliskan berita mengenai Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatat bahwa kekerasan

terhadap anak terjadi hampir di setiap wilayah. Hasil pemantauan KPAI di

sembilan provinsi pada tahun 2012 menunjukkan, 86,6 persen anak

menjadi korban kekerasan di sekolah. Dalam Diskusi dan Konferensi Pers

Catatan Akhir Tahun Pendidikan di LBH Jakarta, Federasi Serikat Guru

Indonesia (FSGI) juga mencatat tingginya perilaku kekerasan fisik di

lingkungan sekolah atau kampus sepanjang 2013. Hal ini sangat

disayangkan, mengingat sekolah dan staf seharusnya menciptakan tempat

yang nyaman dan aman bagi anak, sehingga dapat menyerap pelajaran

dengan baik. (http://202.65.121.186/liputan-khusus/opini/2640/

3

Page 4: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

mendambakan-sekolah-ramah-anak diakses pada 25 Mei 2014 pukul

09:43)

Banyaknya angka kriminalitas yang terjadi terutama di bidang

pendidikan pada dua tahun ini, merupakan bukti kurangnya pembentukan

sekaligus kebutuhan akan pendidikan karakter yang baik. Lambat laun

dirasakan karakter warga bangsa ini makin menurun kualitasnya,

dibuktikan dengan beberapa berita yang beredar di media massa tersebut.

Pesan adalah hal yang terpenting selain komunikator atau pelaku

komunikasi. Suatu pesan ditransformasikan pada titik-titik penyandian dan

pengalihan sandi sehingga pesan merupakan pikiran dan ide pada suatu

tempat pada sistem jaringan syaraf dari sumber atau penerima. Setelah

penyandian terjadi dalam suatu situasi tatap muka, ditransformasikan ke

dalam rangkaian getaran udara dan sinar-sinar cahaya yang terpantulkan.

Agus M. Hardjana (2003:22) dalam bukunya Komunikasi Intrapersonal &

Komunikasi Interpersonal mengungkapkan bahwa pesan yang

disampaikan oleh pengirim kepada penerima dapat dikemas secara verbal

dengan kata-kata atau nonverbal tanpa kata-kata. Komunikasi yang

pesannya dikemas secara verbal disebut komunikasi verbal, sedangkan

komunikasi yang pesannya dikemas secara nonverbal disebut komunikasi

nonverbal. Jadi, komunikasi verbal adalah penyampaian makna dengan

menggunakan kata-kata, sedangkan komunikasi nonverbal tidak

menggunakan kata-kata. Pesan pendidikan yang diberikan pelaku

komunikasi tidak akan dapat dicerna oleh penerimanya jika mereka tidak

memiliki persepsi yang sama dengan apa yang disampaikan pelaku. Oleh

karena itu, dibutuhkan media yang cocok untuk merengkuh lapisan

masyarakat yang ditargetkan pelaku komunikasi.

Wayang merupakan salah satu media tradisional dan sebagai

bentuk dari kearifan lokal. Wayang adalah budaya pertunjukan asli

Indonesia yang berkembang pesat di pulau Jawa dan menjadikan wayang

sebagai primadona di pulau ini. Pertunjukan wayang merupakan salah satu

obyek menarik dari peninggalan nenek moyang yang digelar pada waktu

4

Page 5: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

dan perayaan tertentu dalam penanggalan Jawa. Saat ini Wayang kulit

bukan lagi monopoli masyarakat Jawa, namun telah dimiliki oleh seluruh

masyarakat Indonesia, bahkan mendunia. Wayang diakui menjadi warisan

budaya dunia pada 7 November 2003 oleh UNESCO.

(http://www.unesco.org diakses pada Minggu 1 Desember 2013 pukul

23.50)

Pertunjukan wayang adalah representatif alam dan karakter

manusia di dunia mengenai kehidupan apa yang terjadi di kehidupannyata

yang dicerminkan melalui sebuah pertunjukan. Kanti Waluyo

menyebutkan bahwa sebagai hasil kebudayaan, wayang mempunyai nilai

hiburan yang mengandung cerita baku baik untuk tontonan maupun

tuntunan. Di samping itu, wayang memberikan hiburan yang sehat bagi

penontonnya. Ada percintaan yang mengharukan, ada dilema-dilema yang

berat dan hiburan yang berupa lawakan. Penyampaian ceritanya diselingi

pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga

mempunyai nilai pendidikan (Waluyo, 2011:37).

Salah satu bentuk atau jenis wayang yang hingga saat ini masih

digunakan sebagai sarana penyampaian pesan ialah wayang purwa.

Wayang tradisional Jawa atau disebut juga sebagai wayang purwa adalah

salah satu jenis seni pertunjukan yang masih hidup bertahan dalam entitas

masyarakat Jawa, utamanya masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Beberapa daerah, misalnya di Jawa Barat, Sunda, Bali, Palembang dan

Banjarmasin juga mengenal seni pertunjukan wayang, namun tidak

sepopuler wayang kulit purwa di Jawa. Pertunjukan wayang purwa,

melalui kemampuan dalang beserta seluruh pendukung, dapat

menyampaikan pesan-pesan yang berguna bagi masyarakat dengan cara

merefleksikan cerita wayang yang ditampilkan dengan kondisi masyarakat

sekarang. Cerita pewayangan adalah cerita yang memiliki kesamaan dari

waktu ke waktu. Isinya dapat disesuaikan dengan maksud tujuan penutur,

dan dengan keadaan saat itu. Kelebihan ini membuat wayang dapat

dijadikan sebagai media pendidikan secara turun-temurun. Wayang adalah

5

Page 6: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

warisan budaya nasional yang patut dilestarikan oleh bangsa Indonesia.

Melalui kemampuan dalang dan para pendukung inilah wayang purwa

dapat dijadikan sumber pendidikan, terutama pendidikan dalam

membangun karakter penontonya/ audience menjadi lebih baik.

Kepercayaan orang Jawa pada wayang kulit, selain sebagai

media komunikasi juga bersifat menghibur. Wayang kulit sendiri juga

mencerminkan karakter dari watak manusia. Selain dari sebuah

pertunjukan yang bersifat tontonan, media wayang kulit juga memberi

penonton tuntunan dengan nilai-nilai filosofis kehidupan yang bernilai

luhur (Setiyono, 2010:5). Variasi nilai-nilai tersebut dapat meliputi segi

kepribadian, kepemimpinan, kebijaksanaan dan kearifan dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Sesuai dengan pakem yang

berlaku, masing-masing pesan disampaikan melalui adegan tertentu

beserta tokoh-tokoh wayang yang terlibat, sedangkan mutu pertunjukkan

bergantung pada gaya dan persepsi dalang yang tidak terpisahkan dari

daya serap penonton. Pesan tersebut dikemas menarik, persuasif, dapat

diresapi, penuh simpati, empati dan tanpa adanya ketimpangan pribadi.

Kehidupan yang serba modern seperti saat ini, segala hal yang

menyangkut kebutuhan manusia dicukupi dan diselesaikan dengan

teknologi. Media elektronik seperti internet dan televisi memungkinkan

penonton menentukan sendiri apa yang akan dipilih. Peralatan komunikasi

yang makin canggih tersebut memberikan kesempatan untuk belajar bagi

masyarakat dimanapun dan kapanpun. Namun, bagaimanapun besarnya

penggunaan dan pengaruh teknologi komunikasi, namun komunikasi

tradisional di Indonesia masih tetap diperlukan dan dimanfaatkan untuk

menunjang pembangunan nasional (Wahyuni, 2005:2). Wayang

merupakan salah satu media dalam komunikasi tradisional Indonesia yang

memiliki beberapa kelebihan, terutama sebagai media pendidikan yaitu,

(1) Wayang bersifat acceptable. Artinya, wayang merupakan bagian dari

khasanah kebudayaan bangsa, sehingga bisa diterima oleh semua kalangan

(2) cerita pewayangan mengandung banyak ajaran moral dan kebaikan

6

Page 7: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

dalam tokoh-tokoh yang bisa menjadi tuntunan dalam kehidupan (3)

wayang bersifat timeless yaitu, tak lekang oleh waktu sehingga dapat

digunakan secara turun-temurun pada generasi pelajar di masa yang akan

datang (Purnamasari, 2013:4).

Wayang telah lama dijadikan sebagai sarana pendidikan,

khususnya saat digunakan oleh para wali di Jawa sebagai media

penyebaran ajaran Islam dengan mengadopsi cerita dari India yaitu

Ramayana dan Mahabarata. Namun selain materi tentang agama Islam,

cerita-cerita wayang yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa

ternyata memiliki banyak pesan pendidikan karakter yang perlu dipahami

oleh para penonton, terutama yang muncul dari watak tokoh-tokoh wayang

yang disampaikan oleh dalang dan pendukung, seperti sinden dan pemain

musik atau niyaga, melalui permainan figur-figur wayang tersebut. Salah

satu tokoh utama yang terkenal menjadi pihak protagonis yaitu Pandawa.

Sebagai tokoh utama dalam kisah Mahabarata, Pandawa yang

beranggotakan Yudhistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa, memiliki

banyak hal dalam diri mereka yang dapat dijadikan teladan. Contohnya

dalam Ensiklopedia Wayang Indonesia (1999:141) disebutkan bahwa

Yudhistira yang sangat bijaksana sehingga kerajaan yang dipimpin

menjadi sangat makmur, adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama,

penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Adik Yudhistira, Bima atau

yang sering dikenal dengan nama Werkudara adalah sosok yang berani,

tegas, keras namun menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Arjuna, sejak

kecil gemar menuntut ilmu bahkan sampai berkelana ke negeri lain.

Digambarkan dalam pewayangan, ia pandai, pendiam, dan lemah lembut

budinya. Nakula dan Sadewa, mereka merupakan penjelmaan Dewa

kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Nakula pandai

memainkan senjata pedang sementara Sadewa adalah orang yang sangat

rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam

ilmu astronomi.

7

Page 8: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

Doni Koesoema dalam buku Pendidikan Karakter: Strategi

Mendidik Anak di Zaman Global, memaparkan sintesis atau

penggabungan makna tentang konsep pendidikan karakter. Karakter lebih

bersifat subjektif, sebab berkaitan dengan struktur antropologis manusia

dan tindakan dalam memaknai kebebasaan. Sementara, pendidikan

senantiasa berkaitan dengan dimensi sosialitas manusia yang sejak

kelahiran telah membutuhkan kehadiran orang lain dalam menopang

hidup. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan keseluruhan

dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik

dari dalam maupun dari luar diri. Secara singkat, Doni mengartikan

pendidikan karakter sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat

bertumbuh dalam menghayati kebebasan dalam hidup bersama dengan

orang lain di dunia (Koesoema, 2007:4). Menurut Ramli (dalam Gunawan,

2012:23), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama

dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah

membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga

masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik. Karakter tidak

terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional

agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal. Oleh karena itu, hakikat

dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah

pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari

budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina kepribadian

generasi muda.

Prof. Suyanto Ph. D Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan

dasar dan Menengah mengungkapkan bahwa pembentukan karakter

merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas

(Sistem Pendidikan Nasional) tahun 2003 menyatakan bahwa di antara

tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik

untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU

Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya

membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau

8

Page 9: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh

berkembang dengan baik (Hastuti, 2012:37)

Pendidikan karakter bagi masyarakat itu sangat penting,

sehingga dalam proses pelaksanaan diperlukan adanya media yang

menarik dan mampu merengkuh seluruh kalangan, serta menarik dan

mudah dipahami. Penggunaan wayang menjadi media pendidikan karakter

menjadi komponen pendukung pembentukan generasi bangsa yang cerdas

sekaligus mempertahankan eksistensi sebagai budaya bangsa. Wayang

sebagai media tradisional dianggap mampu untuk melakukan tugas ini.

Maka dari itu, peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut

mengenai pertunjukan wayang kulit gagrag Banyumasan sebagai media

penyampaian pesan pendidikan karakter.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana peran pertunjukan wayang kulit

gagrag Banyumasan sebagai media penyampaian pesan pendidikan

karakter di Kabupaten Banyumas”.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka inti

dari tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan mengkaji karakter tokoh yang ada dalam sebuah

lakon atau cerita wayang.

b. Untuk mengetahui dan mengkaji pesan pendidikan karakter yang terdapat

dalam watak tokoh wayang.

c. Untuk mengetahui dan mengkaji sejauh mana penonton memaknai pesan

pendidikan karakter yang terdapat pada tokoh wayang.

9

Page 10: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara

teoritis dan praktis. Adapun manfaatnya antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan baru dan kontribusi

bagi perkembangan ilmu komunikasi khususnya komunikasi

tradisional dengan fokus pada wayang gagrag Banyumasan sebagai

media penyampaian pesan pendidikan karakter.

2. Manfaat Praktis

Sebagai salah satu motivasi agar penonton pertunjukan wayang,

terutama masyarakat Banyumas, bisa menggunakan dan menikmati

wayang bukan saja sebagai sarana hiburan tapi juga pertunjukan yang

sarat dengan nilai pendidikan. Selain itu juga diharapkan masyarakat

bisa menerapkan pesan pendidikan karakter yang ada dalam wayang

pada kehidupan sehari-hari.

F. Penelitian Terdahulu

Sebuah penelitian memerlukan pedoman dari riset terdahulu

dalam menyusun penelitiannya agar tidak terjadi distorsi atau

penyimpangan topik penelitian dan sebagai bahan evaluasi untuk

penelitian yang akan dilakukan. Asmadi Alsa (2007:46) menuturkan dalam

penelitian kualitatif, riset atau kepustakaan ini ditujukan sebagai dasar

untuk melakukan justifikasi atas problem penelitian dan tidak

mengarahkan pertanyaan penelitian.

Penelitian yang membahas mengenai pesan pendidikan karakter

dalam pertunjukan wayang pernah dilakukan beberapa kali. Antara lain

penelitian yang dilakukan oleh Joko Sutarso dan Bambang Murtiyoso

tahun 2008 dengan judul Wayang sebagai Sumber dan Materi

Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Budaya Lokal. Fokus

penelitian ini adalah pada pemahaman latar belakang sosial-budaya di

Surakarta dan lingkungan yang mendukung wayang sebagai media yang

10

Page 11: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

potensial sebagai sumber dan materi pembelajaran etnik di sekolah-

sekolah. Menggunakan teknik pengumpulan data observasi dan

wawancara. Hasil penelitian ini adalah nilai dari pertunjukan wayang

mengalami penurunan, namun cerita wayang dan karakternya masih

berpotensi sebagai sumber pembelajaran.

Sigit Dadi Sampurno pada tahun 2012 menyelesaikan skripsi

dengan judul Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media

Tradisional Masyarakat Banyumas (Studi Media Tradisional dalam Pesan-

pesan Pembangunan). Bertujuan untuk mengetahui bagaimana pesan

pembangunan disampaikan dalam wayang kulit gagrag banyumasan,

informan penelitian yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling

dan snowball sampling. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi

partisipasi pasif, wawancara mendalam dan dokumentasi. Hasilnya adalah

dalam penyampaian pesan pembangunan di pertunjukan wayang kulit ini,

ada yang berupa pesan pembangunan fisik dan non fisik. Diselipkan pada

adegan limbukan dan goro-goro. Pesan pembangunan fisik dapat

disampaikan dalang yang sudah mengalami modifikasi, melalui tembang-

tembang yang dinyanyikan oleh pesinden dan lakon atau tokoh

pewayangan yang bermain. Pesan non fisiknya terdapat pada gunungan

wayang yang kesemuanya itu menggambarkan kompleksitas kehidupan.

Selanjutnya adalah penelitian dengan judul Pendidikan Karakter

Bangsa dalam Novel (Studi tentang Pesan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

Bangsa menggunakan Pendekatan Semiologi Komunikasi dalam Novel

Nonfiksi “Habibie dan Ainun” Karya B.J. Habibie dan “Belahan Jiwa”

Karya Rosihan Anwar ) oleh Sri Herwindya Baskara Wijaya, dkk (2012).

Jurnal ini menekankan penelitiannya pada simbol-simbol komunikasi yang

terdapat pada novel yang dibahas, dengan pesan tersirat maupun

tersuratnya. Novel yang masing-masing mengangkat mengenai pesan

pendidikan karakter tokoh bangsa ini dianalisi dengan metode komunikasi

semiotik. Secara nonverbal, pesan pendidikan karakter pada novel Habibie

dan Ainun adalah: nilai keagamaan, toleransi, semangat nasionalisme,

11

Page 12: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

patriotisme, kegemaran membaca, persahabatan, cinta damai,

tanggungjawab, kerja keras dan demokratis. Sementara itu pada novel

Belahan Jiwa karya Rosihan Anwar, pesan pendidikan karakternya adalah:

religiusitas, persahabatan, kepedulian sosial, patriotisme, toleransi,

penghargaan, tanggungjawab dan gemar membaca.

Penelitian berikutnya adalah milik I Gusti Gede Ngurah

Kursista, dkk (2009). Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Berita

Kedokteran Masyarakat ini berjudul Pengaruh Media Wayang Bali

Inovatif dalam Mempromosikan Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten

Bangli. Latar belakang penelitian ini adalah dengan pertimbangan bahwa

jumlah kasus HIV/AIDS di Kecamatan Kintamani paling tinggi, yaitu 50%

dari total kasus yang terdapat di Kabupaten Bangli. Selain itu juga

disinyalir pengetahuan dan persepsi masyarakat awam masih rendah

mengenai hal ini. Kepala keluarga di Desa Bangli merupakan target dari

promosi kesehatan mengenai HIV/AIDS melalui media tradisional yang

inovatif yaitu wayang Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh yang ditimbulkan wayang Bali dalam melakukan promosi

kesehatan dibandingkan dengan cara pidato mengenai metode pencegahan

HIV/AIDS. Penelitian ini merupakan penelitian semu eksperimental yang

menggunakan equivalent control group design with pre-test and post-test.

Variabel pengaruh, yaitu promosi kesehatan melalui metode pertunjukan

daerah dengan media wayang Bali inovatif dan ceramah, sedangkan

variabel terpengaruh yaitu pengetahuan dan persepsi kepala keluarga

dalam pencegahan HIV/AIDS. Lokasi penelitian dilakukan di

Kecamatan Kintamani dan Kecamatan Susut dalam wilayah Kabupaten

Bangli. Hasilnya adalah kelompok yang menerima promosi kesehatan

selama sebulan melalui media wayang Bali telah meningkatkan

pengetahuan subyek penelitian dengan signifikan, dibandingkan dengan

kelompok yang menerima informasi serupa hanya melalui metode pidato.

Jurnal lain yang membahas mengenai wayang dan pendidikan

adalah milik Suhartatik (2013) berjudul Meningkatkan Minat dan

12

Page 13: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

Kemampuan Membaca pada Anak Usia Dini dengan Menggunakan

Metode Bercerita melalui Media Kartu Kata Bergambar Berbentuk

Wayang Di Tk Aisyiyah Bustanulathfal 39 Kelompok B Kelurahan

Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya. Penelitian ini berfokus

pada cara menumbuhkan minat baca pada anak usia dini dengan

menggunakan metode bercerita melalui media kartu kata bergambar

berbentuk wayang dan bagaimana tingkat kemampuan membacanya

setelah dilakukan praktik dengan metode tersebut. Penelitian ini

merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang

meliputi dua siklus. Tiap siklus dilakukan secara berurutan yang terdiri

dari empat tahap yaitu: perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Data

penelitian diambil melalui observasi di kelas. Berdasarkan analisis data

penelitian dan pembahasan, maka diperoleh hasil bahwa penerapan metode

bercerita dengan wayang mengalami peningkatan kemampuan berbicara

anak pada siklus I sebesar 71 % dan siklus II hasil yang di capai sebesar

89%. Perilaku yang ditunjukkan anak pun berubah setelah diberikan

tindakan. Anak lebih senang dan antusias dalam mengikuti kegiatan

pembelajaran serta semakin aktif.

Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tersebut.

Memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang

hendak dilakukan penulis. Persamaannya yaitu sama-sama meneliti

mengenai isi pesan dalam sebuah karya sastra baik itu pertunjukan wayang

maupun novel dan metode yang digunakan yaitu kualitatif. Perbedaannya

terletak pada lokasi penelitian dan fokus kajian. Perbedaan hasil penelitian

dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bahwa hasil penelitian ini

akan menunjukkan bagaimana wayang gagrag Banyumasan menjadi

media penyampaian pesan pendidikan karakter. Walaupun demikian,

masing-masing penelitian tetap menjadi bahan referensi dan pertimbangan

bagi penulis dalam mengkaji tentang pesan pendidikan karakter dalam

pertunjukkan wayang.

13

Page 14: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

Tabel 1. Perbandingan Penelitian Terdahulu

No PenelitiJudul Penelitian

(Tahun Penelitian)Subjek Penelitian

Objek Penelitian

Metode Penelitian

Hasil Penelitian

1. Joko Sutarso dan Bambang Murtiyoso

Wayang sebagai Sumber dan Materi Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Budaya Lokal (2008)

Karakter/ tokoh, lakon/ cerita, dan pertunjukan seni wayang

Pendidikan budi pekerti

Metode analisis isi (content analysis)

Nilai dari pertunjukan wayang mengalami penurunan. Namun cerita wayang dan karakternya masih berpotensi sebagai sumber pembelajaran.

2. Sigit Dadi Sampurno

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Tradisional Masyarakat Banyumas (Studi Media Tradisional dalam Pesan-pesan Pembangunan)(2012)

Karakter/ tokoh, lakon/ cerita, dan pertunjukan seni wayang

Pesan pembangunan

Kualitatif (deskriptif)

Penyampaian pesan pembangunan ada yang berupa pesan pembangunan fisik dan non fisik. Diselipkan pada adegan limbukan dan goro-goro. Pesan dapat disampaikan melalui tembang yang dinyanyikan oleh. Pesan non fisik terdapat pada gunungan wayang.

3. Sri Herwindya Baskara Wijaya, Mursito,Mahfud Anshor

Pendidikan Karakter Bangsa dalam Novel (Studi tentang Pesan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Bangsa menggunakan Pendekatan Semiologi Komunikasi dalam Novel Nonfiksi “Habibie dan Ainun” Karya B.J. Habibie dan “Belahan Jiwa” Karya Rosihan Anwar)(2012)

Novel Nonfiksi “Habibie dan Ainun” Karya B.J. Habibie dan “Belahan Jiwa” Karya Rosihan Anwar

Pesan nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dalam novel

Kualitatif (analisis semiotik)

Adanya simbol-simbol komunikasi yang terdapat pada novel baik tersirat dan tersurat. Secara nonverbal, pesan pendidikan karakter pada novel Habibie dan Ainun adalah: nilai keagamaan, toleransi, semangat nasionalisme, patriotisme, kegemaran membaca, persahabatan, cinta damai, tanggungjawab, kerja keras dan

14

Page 15: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

demokratis. Pada novel Belahan Jiwa pesan pendidikan karakternya adalah: religiusitas, persahabatan, kepedulian sosial, patriotisme, toleransi, penghargaan, tanggungjawab dan gemar membaca.

4. I Gusti Gede Ngurah Kursista, Kursista, Yayi Suryo Prabandari, Rendra Widyatama

Pengaruh Media Wayang Bali Inovatif dalam Mempromosikan Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Bangli (2009)

Kepala keluarga di Kecamatan Kintamani, Bali

Kegiatan promosi kesehatan pencegahan HIV/AIDS

Kuantitatif (Semu eksperimen-tal)

Kelompok yang menerima promosi kesehatan selama sebulan melalui media wayang Bali meningkatkan pengetahuan subyek penelitian dengan signifikan, dibandingkan dengan yang menerima informasi serupa hanya melalui metode pidato.

5. Suhartatik Meningkatkan Minat dan Kemampuan Membaca pada Anak Usia Dini dengan Menggunakan Metode Bercerita melalui Media Kartu Kata Bergambar Berbentuk Wayang Di Tk Aisyiyah Bustanulathfal 39 Kelompok B Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya (2013)

Siswa TK Aisyiyah Bustanulathfal 39 Kelompok B Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya

Peningkatan minat dan kemampuan baca dengan metode jartu bergambar wayang

Kualitatif (deskriptif)

Subyek yang menerima penerapan metode dengan wayang mengalami peningkatan kemampuan berbicara pada siklus I sebesar 71 % dan siklus II hasil yang di capai sebesar 89%. Perilaku yang ditunjukkan anak berubah. Anak lebih senang dan antusias dalam mengikuti kegiatan pembelajaran serta semakin aktif.

6. Leli Ristawati

Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter

Karakter/ tokoh, lakon/ cerita, dan pertunjukan seni wayang

Pesan pendidikan karakter

Kualitatif (deskriptif)

15

Page 16: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

G. Kerangka Konsep

1. Media Tradisional

Dalam komunikasi tradisional, diperlukan adanya media sebagai

penunjang dalam berkomunikasi yang disebut media komunikasi

tradisional. Media tradisional mempunyai fungsi meningkatkan dan

mengembangkan nilai spiritual, etis, dan estetis pada diri manusia. Di

samping itu, dapat juga sebagai media hiburan dan penyebarluasan

informasi publik, karena alur cerita dalam kesenian rakyat tradisional

biasanya disampaikan dengan bahasa lokal dan menyatu dalam

kehidupan masyarakat setempat, sehingga mudah dimengerti dan dicerna

oleh masyarakat.

Dalam komunikasi tradisional di pedesaan, penggunaan

pertunjukan rakyat sebagai media komunikasi mempunyai potensi besar

untuk mencapai rakyat banyak, terutama sekali karena media tersebut

memiliki daya tarik yang sangat kuat dan berakar di tengah-tengah

masyarakat. Media tradisional merupakan alat komunikasi yang sudah

lama digunakan di suatu tempat (bersifat lokal) yaitu sebelum

kebudayaan tersentuh oleh teknologi modern dan sampai sekarang masih

digunakan di daerah itu. Media ini akrab dengan massa khalayak, kaya

akan variasi, dengan segera tersedia, dan dengan biaya yang terjangkau

(Istiyanto, 2008:4).

Media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari

kata medium yang secara harfiah berarti perantara, yaitu perantara

sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Mereka

mencontohkan media ini dengan film, televisi, diagram, bahan tercetak

(printed materials), komputer, dan instruktur. Contoh media tersebut bisa

dipertimbangkan sebagai media pembelajaran jika membawa pesan-

pesan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Pesan tersebut secara

umum merupakan isi dari tema atau topik pembelajaran. Pesan-pesan

tersebut disampaikan oleh guru kepada anak melalui suatu media dengan

16

Page 17: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

menggunakan prosedur pembelajaran tertentu yang disebut dengan

metode (Badru dkk, 2007:44).

Media ini merupakan salah satu aspek penting dalam proses

komunikasi tradisional. Komunikasi tradisional adalah proses

penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak lain, dengan menggunakan

media tradisional yang sudah lama digunakan di suatu tempat sebelum

kebudayaan tersentuh oleh teknologi modern. Pada perkembangan waktu,

usaha-usaha manusia untuk berkomunikasi terlihat dalam berbagai

bentuk kehidupan manusia di masa lalu. Pada zaman itu manusia

berkomunikasi dengan cara-cara dan alat-alat tradisional dan melalui

media yang masih bersifat tradisional pula. Bentuk kehidupan manusia

tersebut merupakan bentuk komunikasi yang disebut komunikasi

tradisional. Komunikasi tradisional merupakan titik awal dari proses

pembentukan komunikasi manusia di zaman modern ini. Pada zaman

dahulu, komunikasi tradisional dilakukan oleh masyarakat primitif

dengan cara yang sederhana. Seiring dengan perkembangan teknologi,

komunikasi tradisional mulai luntur dan jarang digunakan, namun masih

ada sebagian orang yang masih tetap menggunakan komunikasi

tradisional, khususnya di daerah pedesaan.

Ciri-ciri dari media tradisional (Chusmeru, 2010:22) adalah sebagai

berikut: (a.) Menggunakan media yang sudah relatif bertahan lama dan

tersedia di masyarakat (b) Mengikuti aturan/ pakem yang ditetapkan

secara turun temurun (c) Dalam beberapa kasus mengalami modifikasi

dalam perangkat, penampilan, dan aksesorisnya (d) Cenderung

memanfaatkan ruang terbuka sebagai simbol kebersamaan (komunal

egalitarian) (e) Organisasi media dikelola secara sosial, adat, dan tradisi

(f) Tidak profit oriented (mengutamakan keuntungan), lebih bersifat

sosial-religius.

Keberadaan media tradisional tidak dapat dilepaskan begitu saja

dari masyarakat/komunitas budaya pendukung. Fungsi media tradisional

adalah dalam hal pewarisan nilai dan memelihara solidaritas sosial bagi

17

Page 18: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

masyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk magisreligius dan

permainan-hiburan. Nilai tertinggi dari budaya tradisional yang

diproduksi melalui media sosial adalah mitos dan diwujudkan dalam

berbagai format seperti seni suara, tari, drama, atau kombinasi suara, tari

dan drama, serta bersifat naratif seperti dongeng, pantun, dan sebagainya.

Media tradisional tidak hanya sebagai obyek hiburan (spectacle) dalam

fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat, tetapi dimaksudkan untuk

memelihara keberadaan dan identitas suatu masyarakat. Budaya

tradisional pada hakekatnya berfungsi dalam memelihara solidaritas

suatu masyarakat budaya, karenanya bersifat eksklusif. Ashadi Siregar

(2006:3) mengatakan bahwa perlu mengangkat suatu budaya tradisional

sekaligus dengan media yang mengampu, adalah untuk fungsi

konservasi. Dalam format yang asli, media tradisional hanya relevan

secara eksklusif bagi masyarakat budaya pendukung.

2. Pesan

Pesan adalah ide, gagasan atau perasaan yang disampaikan oleh

komunikator kepada komunikan untuk mencapai pemahaman. Pesan

yang disampaikan oleh komunikan diwujudkan dalam bentuk simbol-

simbol tertentu yang bisa dalam bentuk simbol verbal maupun nonverbal.

Jika pesan yang disampaikan oleh komunikator telah mempertimbangkan

kepentingan komunikan, maka pesan itu akan dapat diterima secara baik

sehingga tercapai pemahaman yang sama (Rendro, 2010:11).

Pesan merupakan bagian yang penting dalam sebuah proses

komunikasi. Komunikasi berawal dari gagasan yang ada pada seseorang.

Gagasan itu (Hardjana, 2003:11) diolahnya menjadi pesan dan

dikirimkan melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima.

Penerima menerima pesan, dan sesudah mengerti isi pesan itu kemudian

menanggapi dan menyampaikan tanggapan kepada pengirim pesan.

Ketika penerima menyampaikan tanggapan, maka ia bukan lagi ada di

posisi penerima, melainkan sebagai penyampai pesan. Proses ini

18

Page 19: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

berlangsung terus menerus selama ada pesan atau gagasan yang harus

disampaikan.

Dari definisi pesan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa

pesan adalah salah satu bagian penting dalam komunikasi yang

merupakan hasil pemikiran komunikator yang disampaikan ke

komunikan (penerima pesan) melalui suatu saluran atau media.

3. Pendidikan Karakter

Pendidikan dalam bahasa Inggris adalah education, yang berasal

dari akar kata Latin educatum. Terdiri dari dua kata yaitu E dan Duco. E

menyatakan sebuah progres atau kemajuan dari dalam ke arah luar.

Sedangkan Duco berarti perkembangan. Kata educatum juga

berhubungan dengan educere, yang berasal dari bahasa yang sama.

Secara harafiah berarti dorongan dari dalam keluar. Berarti, pendidikan

merupakan sebuah pengaplikasian perubahan-perubahan agar seseorang

menjadi lebih baik. Pendidikan menurut Kleis (dalam Djudju Sudjana,

2007:3) mengartikan pendidikan sebagai sejumlah pengalaman yang

dengan pengalaman itu, seseorang atau kelompok orang dapat memahami

sesuatu yang sebelumnya tidak dipahami. Pengalaman terjadi karena

adanya interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan.

Interaksi itu menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan

proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi

kehidupan seseorang atau kelompok dalam lingkungan temapat

tinggalnya. Sedangkan arti yang sering didengar mengenai pendidikan

adalah pendapat dari Plato yang mengatakan bahwa pendidikan adalah

bagian dari proses kehidupan. Sejak awal manusia hidup hingga saat

terakhir. Tujuan pendidikan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 dalam Adisusilo (2012:76) yang

menyebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang

bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

19

Page 20: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Telah disinggung bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk

membentuk karakter. Karakter (Gunawan, 2012:1) sendiri dapat diartikan

dari dari sisi kebahasaan dan sisi istilah. Menurut bahasa (etimologis)

istilah karakter berasal dari bahasa latin kharakter, kharassaein, dan

kharax. Dalam bahasa Yunani character dari kata charassein, yang

berarti membuat tajam dan membuat dalam. Dalam bahasa Inggris

character dan dalam bahasa Indonesia lazim digunakan dengan istilah

karakter. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional kata karakter berarti

sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan

seseorang dengan yang lain, atau bermakna bawaan, hati, jiwa,

kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,

temperamen, watak. (Depdiknas, 2008: 623). Karakter dianggap sama

dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik

atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari

bentukan-bentukan yang diteriman dari lingkungan, misalnya keluarga

pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir (Sjarkawi,

2006:11). Di samping itu, karakter didefinisikan oleh Roosseno (dalam

Wangsadinata, 2008: 264) adalah budi pekerti yang melibatkan aspek

pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Sri

Herwindya Wijaya (2013:3) menuliskan bahwa karakter adalah cara

berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup

dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan

negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa

membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari

keputusan yang dibuat.

Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona dalam Gunawan

(2012:23) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang

20

Page 21: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan

nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab,

menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Aristoteles

berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang

kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku. Menurut Elkind dan Sweet

dalam Gunawan (20012: 34) pendidikan karakter adalah upaya yang

disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli dan inti atas

nilai-nilai etis/ susila.

Russel Williams dalam Husaini (2010:40), menggambarkan

karakter laksana otot, yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih.

Dengan latihan demi latihan, maka ‘otot-otot’ karakter akan menjadi

kuat dan akan berubah menjadi kebiasaan (habit). Orang yang

berkarakter tidak melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan

hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan atau loving the good.

Karena cinta itulah, maka muncul keinginan untuk berbuat baik, yang

bisa disebut dengan desiring in good.

Pendidikan karakter berfungsi (1) untuk mengembangkan potensi

dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik (2)

memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur dan (3)

meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia

(Gunawan, 2012:30). Foester dalam Majid (2010:36) menyebutkan,

paling tidak ada empat (4) ciri dasar pendidikan karakter, yaitu (a)

keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki

nilai maka nilai menjadi pedoman yang bersifat normatif dalam setiap

tindakan (b) koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang

teguh pada prinsip, dan tidak mudah terombang ambing pada situasi baru

atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa

percaya satu sama lain, tidak adanya koherensi dapat meruntuhkan

kredibilitas seseorang (c) otonomi yaitu saat seseorang

menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi

pribadi. Ini dapat dilihat dari penilaian atas keputusan pribadi tanpa

21

Page 22: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

terpengaruh desakan pihak lain (d) keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan

merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan apapun yang

dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas

komitmen yang dipilih.

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa

yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,

bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi

ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan

takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

4. Wayang Kulit Gagrag Banyumasan

Thomas Stamford Raffles, seorang Inggris yang menetap lama di

Pulau Jawa mencatat mengenai wayang di Jawa secara umum, dalam

buku milik Thomas Stamford Raffles, The History of Java yang ditulis

ulang tahun 2003. Gambar wayang yang beliau pahami adalah ketika

figur-figur diletakkan di atas paku tanduk, dan memiliki sedikit bagian

dari tanduk pada masing-masing tangan. Dengan benda tersebut, tangan

disatukan dengan siku dan pundak, dan dapat digerakkan sesuai

kehendak yang memainkan. Selembar kain putih atau tirai yang

dipancangkan dengan kuat pada bingkai bujur, dengan panjang sekitar

sepuluh atau dua belas kaki, dan tinggi lima kaki serta ditempatkan di

depan para penonton, kemudian dijadikan transparan dengan cara

menggantung lampu di belakang. Beberapa tokoh wayang saling

bergantian dalam memainkan bagian penokohan. Sebelum memulai

pertunjukan ini, dalang yang duduk menetap di belakang tirai, mengatur

berbagai karakter yang berbeda-beda di setiap sisi tirai, dengan

menancapkan mereka pada sebuah batang pohon pisang panjang yang

diletakkan sepanjang dasar tirai. Gamelan kemudian mulai mengalun,

dan beberapa tokoh wayang menampilkan diri. Ringkasan kisah sejarah

diulang, dan dialog kemudian dibawakan, biasanya sesuai dengan

kebijaksanaan dan diciptakan oleh dalang sendiri. Tanpa dalang, tidak

22

Page 23: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

ada yang bisa dilakukan, karena dalang tidak hanya membuat wayang-

wayang bergerak, tapi juga memainkan wayang-wayang itu, menyelang-

nyelingkan mereka dalam versi yang berbeda-beda dari ilustrasi yang

romantis dalam cerita, dan penggambaran kualitas dari berbagai tokoh,

mengatur waktu mengalunnya musik dengan palu yang dipegang di

tangan, sementara dalang mendeklamasikan kalimat yang sesuai dengan

kejadian dalam cerita yang dibawakan (Raffles, 2003:232).

Kanti Waluyo (2011:19) memaparkan bahwa wayang kulit purwa

adalah salah satu jenis wayang kulit yang paling tua atau paling awal

(purwa) yang dimainkan oleh seorang dalang dan didukung oleh sindhen

(penyanyi) dan niyaga (pemain musik). Wayang kulit purwa termasuk

salah satu hasil peninggalan kebudayaan yang mampu bertahan hidup

hingga hari ini, khususnya di lingkungan masyarakat Jawa, Sunda dan

Bali. Cerita-cerita pokok bersumber dari kitab Mahabharata dan

Ramayana yang bernafaskan kebudayaan dan filsafat Hindu India, akan

tetapi dalam perkembangan telah diserap ke dalam kebudayaan

Indonesia. Dalam perjalanan sejarah, kebudayaan Indonesia memang

banyak mengalami asimilasi atau akulturasi dengan berbagai kebudayaan

asing yang berpengaruh di Indonesia.

Sudarko (2007:212) dalam bukunya Sejarah Pedalangan

menuliskan bahwa dunia pewayangan Indonesia dikenal adanya berbagai

gaya, atau gagrag atau tradisi pedalangan seperti gaya Surakarta, gaya

Ngayogyakarta atau Mataram, gaya Jawatimuran, gaya pesisiran, dan

sebagainya. Munculnya gaya-gaya pedalangan tidak lepas dari kehidupan

keraton Jawa yaitu Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta

Hadiningrat yang membawa perkembangan dua gaya pedalangan yaitu

gaya pedalangan Surakarta dan gaya pedalangan Ngayogyakarta atau

Mataram. Selanjutnya, diperkirakan bahwa seni pedalangan masuk ke

Banyumas bersama orang-orang beragama Hindu dari Majapahit yang

lari karena terdesak oleh orang-orang agama Islam abad 15. Orang-orang

Hindu masuk ke Banyumas diperkirakan melalui Gunung Lawu, Merapi,

23

Page 24: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

Merbabu, Sindoro, Sumbing, Dieng, Rogojembangan dan Gunung

Slamet terus ke barat. Pada zaman Kasultanan Demak abad 15-16 orang-

orang Islam juga masuk ke Banyumas untuk menyebarkan agama Islam.

Cara pengembangan agama Islam diperkirakan menggunakan seni

pedalangan. Seni pedalangan yang sudah dimulai pada zaman Hindu

kemudian berubah karena pengaruh agama Islam dan selanjutnya

bercampur dengan budaya Banyumas. Pencampuran antara Hindu, Islam,

dan budaya Banyumas sampa sekarang masih terasa pada seni

pedalangan gagrag Banyumas-Purbalingga. Hal ini dapat dilihat pada

cakepan-cakepan, janturan, serta sulukan yang masih digunakan sampai

sekarang di pedalangan gagrag Banyumasan. Lebih-lebih di daerah

pegunungan serta lembah Sungai Serayu. Hal ini sering disebut

pedalangan gagrag Banyumas lor gunung (Gunung Kendeng), yang

pakelirannya sampai sekarang menggunakan Bahasa Banyumas. Pada

zaman keraton Pajang, Banyumas menjadi kekuasaan Kasultanan Pajang.

Pada waktu itu masuklah bahasa Jawa dari timur yang disebut “Basa

Bandek”. Bandek berasal dari banasing gandek, sebab yang

menyebarkan bahasa itu adalah para gandek yaitu para utusan dari

Pajang. Pada zaman Mataram Islam dari Panembahan Senapati sampai

dengan Keraton Pleret bedah, seni pedalangan Banyumas semakin

berkembang. Hal ini disebabkan adanya hubungan dengan Mataram dan

Kedu. Hal itu menyebabkan pedalangan gagrag Mataram dan Kedu

memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap pedalangan gagrag

Banyumas, khususnya daerah Banyumas sebelah selatan, yakni daerah

pesisir selatan yang menimbulkan seni pedalangan gagrag Banyumas

Pesisir. Dengan demikian di Banyumas terdapat dua gaya atau gagrag

pedalangan yakni gagrag pesisiran dan gagrag lor gunung. Gagrag

pesisiran maju di dalam hal seni karawitan, sedang gagrag lor gunung

maju dalam hal falsafah. Dalang gagrag pesisiran yang terkenal adalah

almarhum Ki Tutur dari Kasugihan. Sedangkan Ki Parsa dan Ki Sugih

keduanya merupakan dalang terkenal dalam gagrag lor gunung.

24

Page 25: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

Wayang kulit gagrag Banyumasan merupakan salah satu gaya

pedalangan di Jawa Tengah, yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran.

Wayang tersebut berperan sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan

wahana untuk mempertahankan nilai etika, devosional dan hiburan, yang

kualitasnya selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para

pakar yang memahami benar mengenai pewayangan. Pakeliran ini

mencakup unsur-unsur yaitu, lakon wayang (penyajian alur cerita dan

maknanya), sabet (seluruh gerak wayang), catur (narasi dan percakapan),

dan karawitan (gendhing, sulukan, dan properti panggung). Pakeliran

gagrag Banyumasan mempunyai nuansa kerakyatan yang kental

sebagaimana karakter masyarakat yang jujur dan terus terang, dan hidup

serta berkembang di daerah eks-karesidenan Banyumas. Wayang tersebut

merupakan ekspresi dan sifat lebih bebas, sederhana, serta lugas dan

mampu bertahan sampai saat ini dalam menghadapi perubahan zaman

karena memperoleh simpati dan dicintai masyarakat. Pedalangan gagrag

Banyumasan memperoleh pengaruh serta memiliki tatanan atau pakem

dari seni pedalangan Surakarta dan Yogyakarta. Akan tetapi pedalangan

gagrag Banyumasan mempunyai ciri khas tersendiri dengan penokohan

Bawor serta Gendhing Banyumasan. Seni pedalangan Banyumasan ini

kemudian dibakukan dan dilestarikan oleh pakar pedalangan

Banyumasan dalam paguyuban ganasidi/ pedalangan eks-Karesidenan

Banyumas yang diselenggarakan di Kawedanan Bukateja tanggal 21

April 1979.

Pengaruh kuat lain pada pedalangan Banyumasan, yaitu pada

zaman Kesultanan Demak (1478-1546), kemudian Kesultanan Pajang

(1546-1587), sampai dengan pengaruh Mataram pada zaman Plered

(1645-1677) Amangkurat Tegalarum yang secara khusus mempunyai

perhatian besar untuk karesidenan Banyumas, dan mengutus dalang Ki

Lebdajiwa ke Ajibarang, untuk lebih mengembangkan seni pedalangan

gagrag Banyumasan. Pengaruh gagrag Mataram (Surakarta dan

Yogyakarta) lebih kuat, terutama melalui kawasan pesisir kidul

25

Page 26: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

(selatan), dan dikenal dengan seni pedalangan Banyumas pesisiran atau

gagrag Kidul Gunung, pengaruh itu dapat diketahui sampai dengan

kisaran tahun 1920, dan terus berkembang melalui dalang trah

Gombong, yaitu Ki Cerma sampai Ki Dalang Menganti. Sementara itu,

kawasan depan Banyumas dari Purbalingga kemudian menyusuri

Sungai serayu, menuju ke arah barat, mempunyai pakeliran tersendiri

dan dikenal dengan gagrag Lor Gunung, seperti berkembang melalui

trah Kesugihan (aslinya dari pengembangan pesisiran) diantaranya Ki

Dalang Tutur, dan terus berkembang sampai dengan era Ki Dalang

Parsa, Ki Dalang Sugih. Akan tetapi, yang cenderung tidak terpengaruh

adalah Donorojo, dalang pesisiran adalah Ki Dalang Waryan dari

Kalimanah (Wibisana, 2010:30).

5. Pandawa Lima

Banyak sekali karakter pewayangan yang bisa kita jadikan contoh

dalam kehidupan sehari-hari, tapi tentu harus yang berkarakter baik. baik

Pandawa Lima merupakan tokoh yang tidak dapat dipisahkan dengan

kisah Mahabharata. Pandawa lima adalah sebutan lima bersaudara, putra

dari Pandu Dewanata yakni Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan

Sadewa. Cerita mengenai mereka tertuang dalam Kitab Mahabharata

yang ditulis oleh Begawan Wiyasa dibantu oleh Ganapati

(Rajagopalachari, 2013:15). Pada abad 12, epos (syair panjang yang

menceritakan riwayat pahlawan) Mahabharata diinterpertasi ulang oleh

Mpu Sedah dan mengalami pelokalan, digubah dalam lakon wayang

yang mengandung simbol-simbol ajaran kebatinan Jawa, seperti Serat

Dewa Ruci dan Serat Arjuna Wiwaha, yang merefleksikan sinkretisme

dan akulturasi budaya Jawa dan Hindu (Adisasmito, 2008:57). Kitab

Mahabharata ini sering juga disebut Asthadasaparwa. Astha berarti

delapan, dasa berarti sepuluh, parwa berarti bagian atau bab. Jadi Kitab

Mahabharata ini dibagi menjadi 18 bagian atau 18 parwa. Sebagian besar

menceritakan peperangan sengit antara Pandawa dan Kurawa selama 18

26

Page 27: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

hari, sehingga ada yang menyebut dengan nama yang lengkap yaitu Kitab

Mahabharatayudda yang artinya peperangan besar antara keluarga

Bharata.

Diceritakan bahwa kedua istri Pandu dari kerajaan Hastinapura,

Dewi Kunthi dan Dewi Madri/ Dewi Madrim melahirkan 5 putra yang

kemudian dikenal sebagai Pandawa. Mereka adalah Yudhistira, Bima dan

Arjuna para putra Kunthi; dan Nakula-Sadewa putra Madri. Mereka yang

tumbuh di lingkungan kerajaan memiliki sifat yang baik. Berikut ini

karakter yang terdapat dalam diri Pandawa Lima: (a) Yudhistira sebagai

pemimpin Pandawa Lima, sifatnya sangat bijaksana terbukti saat ia

memimpin Kerajaan Kuru menjadi makmur, tidak memiliki musuh,

hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang

sangat tinggi, suka memaafkan serta suka mengampuni musuh yang

sudah menyerah. Sifat lainnya yang menonjol adalah adil, sabar, jujur,

taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. 

(b) Bima, Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki

nama julukan Bayusutha. Bima memililki sifat dan perwatakan; gagah

berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Ia juga memiliki sifat kasar

dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut,

setia pada satu sikap, tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap

mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri., postur tubuhnya

hampir dua kali tinggi dan besar rata-rata bangsa manusia. Kekuatannya

paling besar diantara anggota Pandawa yang lain. Matanya tajam, kumis

dan jenggot tebal (Sucipta, 2010:77). Keistimewaan lain adalah

tumbuhnya tulang menonjol keluar dari pangkal ibu jari dan telunjuknya

yang begitu tajam, keras dan kuat bernama kuku Pancanaka. Bima tidak

pandai berkata-kata, maka ia cenderung memakai bahasa yang kasar

terhadap gurunya, Durna, sekalipun. Namun perkataannya yang demikian

tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap orang yang lebih tua.

Meskipun memiliki kekuatan yang besar, dalam episode lain

(Rajagopalachari 2013:75) diceritakan bahwa ia memiliki sifat protektif

27

Page 28: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

terhadap keluarganya. Ketika keluarganya kelelahan dalam buruan bala

Kurawa, ia menggendong ibunya di punggung, ia rangkul Nakula dan

Sadewa dengan lengannya, dan kedua tangannya menuntun Arjuna dan

Yudhistira. Dengan beban seberat itu, Bima terus melangkah menembus

hutan, seperti seekor gajah yang menerjang semak belukar dan

pepohonan yang menghalangi jalan. (c) Arjuna, Ia merupakan

penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Ia adalah ksatria cerdik

dan gemar berkelana, gemar bertapa dan berguru menuntut ilmu. Arjuna

memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria.

Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan

para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran

besar di melawan Kurawa. Arjuna dikenal juga dengan nama Janaka dan

Dananjaya. Arjuna memiliki sifat perwatakan cerdik pandai, pendiam,

lemah lembut budinya, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi

yang lemah. (d) Nakula, Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar

bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Nakula pandai memainkan

senjata pedang. Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan

merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Perwatakan jujur,

setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi serta dapat menjaga

rahasia. (e) Sadewa yang memiliki nama kecil Tangsen, merupakan salah

satu putera kembar pasangan Dewi Madri dan Pandu. Ia merupakan

penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan.

Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga

merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi. Karakternya sama

dengan Nakula.

28

Page 29: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

H. Kerangka Pemikiran

Penyebaran informasi melalui media massa masih memerlukan

upaya dengan media tradisional terutama jika target pesan itu adalah

masyarakat yang mempunyai struktur dan sistem sosial yang majemuk

(pedesaan) (Rogers 1992:165). Pesan dalam komunikasi tradisional

biasanya disampaikan secara verbal dan nonverbal dengan mengggunakan

bahasa daerah, begitu pula halnya dengan wayang kulit gagrag

Banyumasan ini yang merupakan media komunikasi tradisional yang

masih bertahan di Banyumas.

Wayang telah lama dijadikan sebagai sarana pendidikan,

khususnya saat digunakan oleh para wali di Jawa sebagai media

penyebaran ajaran Islam yang mengadopsi cerita dari India salah satunya

adalah mengenai Lakon Baratayuda dalam Kitab Mahabharata. Lakon ini

menceritakan perang besar yang terjadi antara dua saudara keturunan

Barata yaitu Kurawa dan Pandawa. Lakon ini memiliki keistimewaan

dibanding lakon-lakon lain karena bagi sebagian masyarakat Jawa

dianggap sebagai lakon keramat dan tidak boleh dipertunjukkan di

sembarang tempat dan waktu (Marsono 1993 dalam Budiarta, 2010:166).

Namun selain materi tentang agama Islam, cerita-cerita wayang yang telah

disesuaikan dengan kebudayaan Jawa ternyata memiliki banyak pesan

pendidikan karakter yang perlu penontonnya pahami. Berbagai cerita

wayang dan karakter para tokoh banyak yang dijadikan anutan, prinsip

hidup, sumber pencarian nilai-nilai, atau paling tidak mempengaruhi sikap

hidup masyarakat penggemar cerita itu (Burhan, 2003:3). Dengan

Pandawa sebagai tokoh sentral protagonis yang memiliki banyak karakter

positif, mereka dapat dijadikan teladan untuk menjalani hidup sehari-hari

bagi siapapun yang menonton dalam pertunjukkan wayang.

Kehadiran penonton atau khalayak juga hal yang penting dalam

sebuah proses komunikasi tradisional. Khalayak adalah anggota

masyarakat setempat (insider). Dalam pementasan yang dihadiri oleh

29

Page 30: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

penonton dari luar biasanya dianggap sebagai outsider. Segmentasi

khalayak kurang jelas, karena biasanya khalayak dalam komunikasi

tradisional adalah homogen (Chusmeru, 2011: 6). Komunikasi tradisional

juga dapat menumbuhkan efek perilaku bagi khalayaknya. Muncul

apresiasi terhadap bermacam bentuk komunikasi tradisional di tengah

gencarnya media komunikasi modern, seperti televisi dan internet.

Apresiasi itu dalam bentuk masih peduli dan masih sering wayang kulit ini

ditanggap dalam berbagai upacara/ ritual adat Banyumasan. Berdasarkan

penjelasan di atas, dapat digambarkan kerangka pemikirannya berikut ini:

Gambar H.1 Kerangka Pemikiran

Wilayah penelitian

30

Komunikasi Tradisional

Media Tradisional

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan

Pandawa:a. Yudhistirab. Arjunac. Bimad. Nakulae. Sadewa

Pesan Pendidikan Karakter

Karakter Pandawa:a. Bijaksanab. Jujurc. Adild. Tegase. Jujurf. Beranig. Cerdikh. Sopan

Penonton

Page 31: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

I. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

Menurut Deddy Mulyana (2003:150) metode penelitian kualitatif

dalam arti penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti

berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode

statistik. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk

dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya,

alih-alih mengubah menjadi entitas-entitas kuantitatif. Dalam

penelitian ini, metodologi kualitatif digunakan untuk

mendeskripsikan bagaimana pesan pendidikan karakter

disampaikan melalui pertunjukan wayang dengan gaya

pedhalangan atau gagrag Banyumas.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih mempertimbangkan dan

menyesuaikan tempat pementasan yang dapat berbeda-beda dari

tiap dalang. Sehingga lokasi yang ditetapkan adalah di wilayah

Kabupaten Banyumas.

3. Teknik Pemilihan Informan

Dengan Dengan berdasar pada metode penelitian kualitatif,

maka pengambilan informan ditujukan bukan didasarkan atas

premis keterwakilan populasi. Akan tetapi, dituju adalah

kecukupan dan kedalaman data yang diperoleh peneliti. Metode

pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik purposive sampling dalam menetapkan informan, yaitu

peneliti memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya

untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui

permasalahan secara mendalam. Purposive sampling adalah teknik

31

Page 32: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.

Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap

paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia

sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi

objek atau situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2007:53). Melalui

cara ini informan ditetapkan sesuai dengan tujuan peneliti.

Dalam pelaksanaan pengumpulan data, pemilihan informan

berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti

untuk memperoleh data. Bersifat selektif di mana peneliti

menggunakan berbagai pertimbangan berdasarkan konsep teoritis

yang digunakan keingintahuan pribadi, karakteristik empiris.

Berikut adalah kriteria informan utama dan informan pendukung

dalam penelitian ini:

1. Informan utama

a. Dalang pertunjukan wayang kulit gagrag Banyumasan

b. Tinggal atau berdomisili di Banyumas

c. Mengadakan pertunjukan wayang di Banyumas

d. Memahami karakter tokoh-tokoh yang dimainkan

e. Memahami pesan pendidikan karakter yang terdapat

dalam pertunjukan wayangnya

2. Informan pendukung

a. Penonton wayang kulit gagrag Banyumasan

b. Pernah menonton 2-5 kali pertunjukan wayang

c. Bisa dan memahami bahasa Banyumas

d. Tinggal atau berdomisili di Banyumas

e. Mengerti jalan cerita pertunjukan wayang

32

Page 33: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

4. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan

dari sumber pertama, seperti hasil wawancara, dan observasi

(Prastowo, 2012:205).

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh bukan

dari sumber pertama, atau dapat diperoleh dari studi pustaka

sebagai pelengkap yang berhubungan dengan tujuan penelitian

seperti buku-buku, dokumen, catatan, majalah, jurnal, dan situs

internet (Prastowo, 2012:205). Data ini berfungsi untuk

mendukung data primer.

I. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan tiga cara dalam mengumpulkan data

penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1. Observasi

Marshall (dalam: Sugiyono, 2007:66) menyatakan bahwa

“through observation, the researcher learn about behavior and the

meaning attached to those behavior”. Melalui observasi, peneliti

belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku. Observasi dilakukan

untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari hasil wawancara

seperti dengan melihat makna tersirat informan melalui nonverbal

yang dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi tidak

berstruktur. Dalam observasi tidak berstruktur, fokus observasi akan

berkembang selama kegiatan observasi berlangsung.

Teknik observasi dipergunakan untuk menggali data dari

sumber yang berupa peristiwa, aktifitas, perilaku, tempat atau lokasi,

benda, serta rekaman gambar. Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan observasi partisipasi pasif (pasisive participation) yaitu

33

Page 34: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

peneliti mengamati langsung hal yang terjadi di lokasi penelitian

tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Dengan pengamatan

langsung di lapangan, maka peneliti tidak hanya mengumpulkan data

yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan

merasakan situasi sosial yang diteliti.

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini mengambil

tempat di Kabupaten Banyumas, dengan dalang-dalang yang ada di

Banyumas. Waktu observasi di lapangan menyesuaikan jadwal

pementasan wayang kulit dari dalang-dalang yang nanti dijadikan

informan.

2. Wawancara Mendalam (In depth interview)

In depth interview merupakan proses menggali informasi secara

tidak formal, guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang

banyak hal yang bermanfaat untuk menjadi dasar penelitian lebih lanjut.

Wawancara mendalam merupakan cara pengumpulan data untuk

mendapatkan informasi dari subjek penelitian melalui tanya jawab secara

langsung, dengan menggunakan alat bantu berupa draf wawancara yang

telah disusun sebelumya (Moleong, 2007:56).

Teknik wawancara dalam penelitian ini menggunakan

wawancara semistruktur. Jenis wawancara ini, sudah temasuk dalam

kategori in depth interview, di mana pelaksanaanya lebih bebas

dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara

jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka,

di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-

idenya.

Langkah langkah yang dipersiapkan peneliti sebelum

melaksanakan wawancara yaitu menyusun pedoman wawancara,

melakukan perjanjian wawancara dengan informan dan melaksanakan

wawancara pada saat peneliti berkunjung di rumah informan.

34

Page 35: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

3. Dokumentasi

Menurut Sugiyono (2007:82) studi dokumen merupakan pelengkap

dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian

kualitatif. Dokumentasi merupakan media pendukung penelitian

yang dapat berupa pengumpulan data berupa dokumen-dokumen

yang didapatkan dari objek penelitian, literatur yang relevan ataupun

melalui internet, arsip, foto untuk melengkapi penelitian. Dalam

pencatatan data sangat sulit jika hanya dilaksanakan secara langsung

dalam wawancara. Oleh karena itu, dalam penelitian peneliti

menggunakan berbagai cara pendamping antara lain yaitu dengan

meminjam buku literatur terkait, rekaman CD wayang dan lain-lain.

J. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis interaktif yaitu penggambaran dari tulisan, ucapan dan perilaku

yang diamati (Miles dan Hubberman, 1992:20) yang terdiri dari empat

komponen analisis yaitu:

1. Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dari wawancara dan dokumentasi dicatat dalam

catatan lapangan yang terdiri dari dua aspek, yaitu deskripsi dan

refleksi. Catatan deskripsi merupakan data alami yang berisi tentang

apa yang dilihat, didengar, dirasakan, disaksikan dan dialami sendiri

oleh peneliti tanpa adanya pendapat dan penafsiran dari peneliti

tentang fenomena yang dijumpai, sedangkan dengan catatan refleksi

yaitu memuat kesan dan tafsiran peneliti tentang temuan yang

dijumpai dan merupakan bahan rencana pengumpulan data untuk

tahap berikutnya.

35

Page 36: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

2. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, mengabstrakan dan transformasi data kasar yang

muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung

terus menerus selama proyek yang berorientasi langsung. Dengan kata

lain, reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,

mengolongkan, membuang yang tidak perlu sehingga kesimpulan

finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

3. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data merupakan penyajian sekumpulan data dan informasi

yang disusun oleh peneliti yang kemudian dimungkinkan untuk

melakukan penarikan kesimpulan atau penentuan tindakan. Data-data

dan informasi yang sudah dikelompokan kemudian disajikan dalam

bentuk narasi secara lengkap dan detail agar setiap data dan informasi

tidak lepas dari kondisi permasalahan yang ada dan memudahkan

peneliti dalam upaya pengambilan kesimpulan.

4. Penarikan Kesimpulan (Verification)

Penarikan kesimpulan merupakan kegitan mencari arti data, mencatat

keteraturan, pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur

sebab dan proporsi. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dalam

sebuah siklus. Peneliti bergerak di antara ketiga komponen tersebut.

Hal ini dimaksudkan untuk memahami dan mendapatkan pengertian

mendalam, kompherensif dan rinci. Sehingga dapat menghasilkan

kesimpulan sebagai hasil pemahaman dan pengertian peneliti. Dalam

penelitian ini, data-data yang sudah didapatkan sebelumnya, kemudian

dibandingkan dengan data-data hasil wawancara dengan wawancara

untuk menarik kesimpulan.

36

Page 37: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

Keterkaitan ketiga komponen tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut:

Gambar K.1 Skema Penarikan Kesimpulan

Sumber: (Milles dan Hubberman, 1992:20)

K. Validitas Data

Menurut (Moleong, 2007:330) validitas data dilakukan dengan

tujuan untuk memperkaya ataupun memperdalam data yang diperoleh di

lapangan. Validitas memiliki arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan

suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya atau memberikan hasil

ukur yang sesuai dengan maksud yang dilakukan pengukuran tersebut.

Untuk menguji keabsahan data penelitian, peneliti menggunakan

teknik perpanjangan pengamatan. Perpanjangan pengamatan berarti

peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawacara lagi

dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dengan

perpanjangan pengamatan, ini berarti hubungan peneliti dengan

narasumber semakin terbentuk rapport, semakin akrab (tidak ada jarak

lagi), semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi

yang disembunyikan lagi. Bila telah terbentuk rapport, maka telah terjadi

kewajaran dalam penelitian, di mana kehadiran peneliti tidak lagi

menggangu pelaku yang dipelajari.

Pada awal peneliti memasuki lapangan, peneliti masih dianggap

orang asing, masih dicurigai, sehingga informasi yang diberikan belum

lengkap, belum mendalam bahkan mungkin masih banyak yang

37

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan

Page 38: Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumasan Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas

dirahasiakan. Dengan perpanjangan pengamatan ini, peneliti mengecek

kembali apakah data yang telah diberikan selama ini merupakan data

yang sudah benar atau tidak. Bila data yang diperoleh selama ini setelah

dicek kembali pada sumber data asli atau sumber data lain ternyata tidak

benar, maka peneliti melakukan pengamatan lagi lebih luas dan

mendalam sehingga diperoleh data yang pasti kebenarannya.

Triangulasi sumber data dilakukan dengan membandingkan dan

mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh

melalui waktu dan cara yang berbeda dalam metode kualitatif yang

dilakukan dengan: (1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan

hasil wawancara (2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan

umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi (3) Membandingkan

apa yang dikatakan tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan

sepanjang waktu (4) Membandingkan keadaan dan pespektif seseorang

dengan berbagai pendapat dan pandangan (5) Membandingkan hasil

wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Peneliti akan menggunakan dua dari lima teknik triangulasi di

atas, yaitu (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil

wawancara dan (2) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu

dokumen yang berkaitan.

38