pertemuan 6 setelah uts
DESCRIPTION
FH UGM 2012TRANSCRIPT
14 Mei 2014
Tindak Pidana Terorisme
Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
sesuai dengan ketentuan dalam UU ini. Rumusan ini sangatlah membingungkan dan tidak jelas,
karena contohnya: dalam tindak pidana sarana penerbangan yang memenuhi unsur tindak pidana
seseai UU terorisme, yang karena karena kealpaan menyebabkan kecelakaan pesawat itu juga
termasuk dalam kategori tindak pidana terorisme. Tapi apakah itu yang dimaksudkan? Maka dari
itu terpaksa kita harus kembali kepada doktrin tentang apa pengertian tindak pidana terorisme.
Terhadap tindak pidana terorisme dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Tindak pidana terorisme (pasal 6 – pasal 19)
b. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan terorisme (pasal 20 – pasal 24)
Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan
harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Catatan terhadap pasal 6:
- Seperti Pendapat Dr. Otz bahwa terorisme pasti menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan
- Karena ada kata “dengan sengaja” maka merupakan delik dolus. Berarti unsur
mengetahui dan menghendaki itu harus ada (willen en wetten). Menggunakan kekerasan
dan ancaman kekerasan itu memang diketahui dan dikehendaki.
- Karena ada kata menimbulkan dan mengakibatkan maka itu merupakan delik materiil.
Maka konsekuensi dari delik materiil adalah akibat yang terjadi harus berkorelasi dengan
perbuatan yang dilakukan terdakwa. Hal ini akan berbeda dengan pasal 7, kalau didalam
pasal 7 nanti ada unsur “dengan maksud” maka usnur disitu dengan maksud itu tidak
mesti sudah terbukti tapi ada sikap batin dari terdakwa untuk menimbulkan terjadinya
akibat tersebut.
- Ancaman pidananya menggunakan minimum khusus. Jadi kalau terbukti orang itu
terbukti melakukan perbuatan pasal 6, maka sekurang – kurangnya hakim harus
menjatuhkan selama 4 tahun.
- Sistem sanksinya adalah indefinete sentence karena ada pilihan-pilihan yang dapat
dijatuhkan oleh hakim.
Pasal 7
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud
untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya
nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Catatan terhadap pasal 7:
- Merupakan delik dolus karena dilakukan dengan sengaja
- Dalam rumusan “bermaksud untuk menimbulkan”, merupakan unsur subyektif dari delik
(subjectief onrechts element) . Dengan ada kata “bermaksud” disini tidak harus telah
menimbulkan akibat tetapi cukup ada sikap batin untuk menimbulkan suasana yang
dikehndaki dari pembuat. Yang harus dibukikan oleh hakim adalah adanya sikap batin
terdakwa untuk menimbulkan suasana teror. Jadi seseorang menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan itu untuk menimbulkan suasana teror.
Hal ini tentu berbeda dengan pasal 6, kalau pasal 6 unsur “mengakibatkan” berarti
akibatnya itu sudah terjadi maka akibat itu juga harus dibuktikan bahwa akibat yang
terjadi itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa. Tetapi dalam pasal 7,
yang harus dibuktikan adalah sikap batin terdakwa untuk menimbulan suasana teror (jadi
tidak harus sudah terjadi). Sering juga disebut bijkomend oogmerk
- Sistem sanksinya adalah definite sentence karena dipenjara paling lama seumur hidup.
Jadi hanya ada satu sanksi yang bisa dijatuhkan oleh hakim.
Tetapi kritik terhadap pasal 7 ini: bahwa pidana penjara seumur hidup tidak ada batasan
waktunya. Mestinya rumusannya tidak perlu ada kata “paling lama” sebab kalau ada kata
“paling lama” harus ada minimalnya.
- Delik formil menitikberatkan pada perbuatan
Pasal 8
Berasal dari berbagai Konvensi Internasional terntang Penerbangan. Pasal ini berkaitan
dengan tindak pidana sarana penerbangan. Pasal ini diadopsi dari pasal 479 e sampai dengan
pasal 479 h KUHP tentang kejahatan penerbangan. Seperti halnya dengan tindak pidana korupsi,
yang beberapa pasalnya diambil dari KUHP tentang kejahatan jabatan.
Pasal 479e – 479h KUHP itu sendiri berasal dari UU No. 4 Tahun 1976 yang
diintegrasikan didalam KUHP.
Sejarahnya sejak tahun 1953 – 1959 itu banyak sekali kejahatan terhadap sarana
penerbangan. Maka Civil Aviation Organization memprakasai penyusunan konvensi
penerbangan:
- Konvensi Tokyo 1963 diatur tentang Pelanggaran- Pelanggaran dan ttindakan tertentu
lainnya yang dilakukan didalam pesawat udara. Dengan adanya konvensi ini berarti ada
peluasan jurisdiksi yang awalnya itu hanya berada dalam kapal laut kemdian diperluas
sampai ke kapal udara.
- Konvensi Den Haag 1970 tentang pemberantasan penguasaan pesawat udara secara
melawan hukum. Jadi konvensi ini menyangkut soal pembajakan pesawat.
- Konvensi Montreal 1971 tentang pemberantasan tindakan-tindakan melawan hukum
yang mengancam keamanan penerbangan sipil.
Ketiga konvensi tersebut dalam hukum Indonesia dirumuskan / dinyatakan berlaku
melalui UU No. 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo, Konvensi Den Haag, dan
Konvensi Montreal. Sehingga Konvensi ini berlaku sebagai undang-undang.
Karena Konvensi ini berlaku sebagai undang-undang, maka beberapa perbuatan yang
dirumuskan dalam 3 konvensi ini rumuskan dan diintergrasikan didalam KUHP (pasal 479e-
479h)
UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan da Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP
yang bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perudangan pidana, kejahatan
penerbangan, dan kejahatan terhadap sarana penerbangan.
Dengan adanya Perpu No. 1 Tahun 2002, pasal – pasal yang ada dialam psal 479 itu
diambil kembali dan dimasukkan dalam UU terorisme. Jadi kalau kita runtut, kententuannya itu
berasal dari 3 konvensi diatas.
Rumusan Pasal 8:
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:
a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan
lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk
pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau
memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan
bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;
d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan
hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk
pengamanan penerbangan yang keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat
dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak
dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau
rusak;
Berarti kalau seseorang / pilot itu karena alpa nya menyebkan pesawat udara sedemikian
rupa, artinya melakukan tindak pidana terorisme. Apakah benar seperti itu? Secara
gramatikal rumusan pasal ini memang menentukan seperti itu. Tapi harus kita perhatikan
lagi, apa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme. Karena UU Terorisme tidak
memberikan suatu penjelasan yang memuaskan maka kita gunakan pengertian dari
doktrin.
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan
hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan
kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang
dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah
yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan
tersebut telah diterima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau
mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam
bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai
pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan
direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan
kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya,
dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas
kemerdekaan seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang
di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan
keselamatan pesawat udara tersebut;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau
menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat
terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di
dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat
menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan
kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam
penerbangan;
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari
permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan
luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m,
dan huruf n;
p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu
membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan
dalam pesawat udara dalam penerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu
ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan.
Lalu kritik Prof Markus terhadap pasal 8 ini adalah dolus & culpa dirumuskan menjadi
satu dengan ancaman pidana yang sama. Padahal delik culpa itu pada umumnya diancam dengan
pidana yang lebih rendah.
Pasal – pasal dalam KUHP masih berlaku kalau disitu tidak ada unsur terorismenya. Lalu
unsur terorisme itu apa? Maka kembalilah pada doktrin yaitu: adanya unsur kekerasan atau
ancaman kekerasan, menimbulkan rasa takut secara meluas, menimbulkan kerusakan secara
massal, dan ada tujuan politiknya.
Pasal 9
“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa,
mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu
senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya
dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.”
Catatan terhadap pasal 9:
- Merupakan delik formil karena menitikberatkan pada perbuatan
- Kalau Pasal 8 diadopsi dari UU No. 4 Tahun 1976 dan UU No. 2 Tahun 1976, maka
pasal 9 diadopsi dari Pasal 1 UU Drt. No. 12 / 1951 tentang Senjata Api.
- “dengan maksud” = bijkomend oogmerk = “maksud selanjutnya”. Tidak perlu maksud
perbuatan tersebut telah mencapai pada waktu pelaku selesai melakukan tindak pidana.
- Merupakan subjective onrecht element yang harus dinilai secara objektif oleh hakim
adalah apakah sikap batin terdakwa mempunyai maksud dan tujuan untuk melakukan
tindak pidana terorisme. Caranya bagaimana? Perbuatan terdakwa itu dinilai apakah ada
petunjuk bahwa perbuatannya itu menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
menimbulkan rasa takut secara luas atau kehancuran secara massal dan untuk mencapai
tujuan politik.
Pasal 10
“Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi,
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa
takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan
terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau
terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup,
fasilitas publik, atau fasilitas internasional.”
Catatan terhadap pasal 10:
- Jadi bentuk terorisme tidaklah hanya dengan bom bunuh diri, tetapi bisa menggunakan
senjata kimia, radiologi, mikroorganisme, virus dll.
- Pasal ini mengantisipasi technological terrorism yaitu tindak pidana terorisme yang
menggunakan sarana teknologi. Maka dalam penanggulan kejahatanpun dikenal yang
namanya techno crime prevention.
- Merupakan delik dolus
Pasal 11, 12, 13
- Adalah pasal tentang pendanaan terorisme.
- Dengan adanya UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pendanaan Terorisme, maka ketentuan itu
diambil oper.
- Pasal 11 dan pasal 13 a dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam pasal 48 UU No. 9
Tahun 2013
- Tindakan pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme diatur
dalam pasal 9-10 UU No. 9 Tahun 2013
Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan,
memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud
untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme,
organisasi teroris, atau teroris. jadi ini rumusan yang proparte dolus, proparte culpa.
Pasal 4 UU No. 9 Tahun 2013:
Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau
meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan
seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau
teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 14 menggerakan orang
Pasal 15 permufakatan jahat
Pasal 16 pembantuan, penyertaan
Ketiga perbuatan ini diancam dengan pidana yang sama sebagai pelaku. Hal ini merupakna
bentuk penyimpangan dari Buku I KUHP.
Pasal 17 dan Pasal 18
- Berkenaan dengan tindak pidana terorisme yang dilakukan korporasi
- Dalam hal korporasi sebagai pelaku tindak pidana, maka tuntutan dan penjatuhan pidana
dapat dikeluarkan pada korporasi dan/atau pengurusnya
- Apabila terorisme dilakukan oleh korporasi, maka korporasi diwakili pengurusnya. Tapi
apabila pengurusnya juga terlibat maka baik pengurusnya maupun korporasinya bisa dua-
duanya juga diancam
- Pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana denda paling banyak 1 triliun dan korporasi
dapat dicabut iziinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang
- Apabila korporasi melakukan tindak pidana, maka akan dikenal double track system
dimana korporasi dapat dicabut izinnya (sanksi administrasi). Jadi ada sanksi pidana dan
adm yang masing-masing berdiri sendiri
Pasal 20, 21, 22, 23
Menyangkut tindak pidana lain.yang berkaitan dengan terorisme:
Pasal 20:
Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan
mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang
menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 21
Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang
bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, atau
melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak
pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun.
Pasal 22
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 23
Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 24
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun.
HUKUM ACARA TINDAK PIDANA TERORISME
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaa di sidang pengadilan menggunakan hukum acara pidana
pada umumnya, kecuali ditentukan lain dalam PERPU No. 1 Tahun 2002. Artinya sepanjang
tidak diatur secara khusus maka menggunakan KUHAP. Yang diatur secara khusus:
Penangkapan
Didalam KUHAP, penangkapan paling lama adalah 1x24 jam. Pelanggaran tidak dilakukan
penangkapan kecuali 2x dia sudah diundang tapi tidak hadir juga.
Didalam terorisme, Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga
keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup max 7 x 24
jam.
Bukti permulaan yang cukup berbeda pengertiannya dengan yang ada didalam KUHAP. Kalau
dalam KUHAP bukti permulaan yang cukup adalah sekurang-kurangnya 2 alat bukti. Tetapi apa
yang dimaksud dengan alat bukti didalam UU terorisme itu ada yang disebut dengan bukti
intelejen.
Penahanan
Didalam KUHAP, untuk kepentingan penyidikan dapat melakukan penahanan selama 20
hari dan kalau kurang dapat diberikan lagi 40 hari. Artinya paling lama 60 hari. Untuk
kepentingan penuntutan didalam KUHAP 20 hari dan kalau kurang bisa diperpanjang 30 hari.
Artinya paling lama 50 hari.
Didalam terorisme, Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi
wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 bulan. (4 bulan untuk
kepentingan penyidikan dan 2 bulan untuk kepentingan penuntutan)
Bukti Permulaan yang Cukup
- Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap
laporan intelijen.
- Laporan intelejen adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-
masalah keamanan nasional. Laporan intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam
Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan
HAM, Departemen Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional
Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, atau instansi
lain yang terkait
- Setiap laporan intelejen itu bisa menjadi bukti permulaan yang cukup dengan mekanisme
tertentu
Cara supaya bukti intelejen itu bisa menjadi bukti permulaan yaitu:
1. Laporan intelejen harus sudah dapat penetapan. Jadi harus ada penetapan apakah sudah
dapat atau tidak sebagai bukti permulaan yang cukup. Hal ini akan dilakukan
pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
2. Proses pemeriksaan sebagaimana dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari
Penentuan informasi intelejen sebagai bukti permulaan yang cukup itulah yang disebut
dengan legal audit
Mendengarkan informan intelejen disebut dengan hearing
3. Jika dalam pemeriksaan ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua
Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Perpu ini memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi
tersangka/terdakwa yang disebut "safe guarding rules". Ketentuan tersebut antara lain
memperkenalkan lembaga hukum baru dalam hukum acara pidana yang disebut dengan
"hearing" dan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan "legal audit" terhadap seluruh
dokumen atau laporan intelijen yang disampaikan oleh penyelidik untuk menetapkan diteruskan
atau tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme.
Informan intelejen didengan apakah betul ada aktivitas terorisme hearing. Lalu
disebut legal audit karena informasi intelejen tadi akan dinilai secara hukum apakah memadai
atau tidak sebagai bukti permulaan yang cukup untuk menjadi dasar dilakukannya penyidikan.
Alat Bukti
- Alat bukti sebagaimana maksud dalam Hukum Acara Pidana
- alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu
- data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
- 3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pemblokiran Asset
Tentang pemblokiran asset juga sudah dimasukkan dalam UU Pendanaan Terorisme.
Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan
lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang
yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana
yang berkaitan dengan terorisme. Pemblokiran asset itu harus dilakukan segera setelah ada
permintaan, jadi tidak boleh ganti hari.
Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada
penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat harta kekayaan berada.
Bank dan lembaga jasa keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum,
atau hakim wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima.
Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan
pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja
terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.
Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada bank dan lembaga jasa keuangan
yang bersangkutan.
Bank dan lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuan dikenai sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Membuka Surat dan Penyadapan
Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berhak: membuka, memeriksa, dan
menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan
dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa;
Dan juga boleh menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang
diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana
terorisme.
Tindakan penyadapan, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pemeriksaan Saksi
Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor
atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud diberitahukan kepada saksi
dan orang lain tersebut oleh penyidik.
Perlindungan Hukum
Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam
perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun
sesudah proses pemeriksaan perkara. Perlu perlindungan karena yang dihadapi adalah kejahatan
yang terorganisasi. Maka sudah sepantasnya mereka mendapat perlindungan dan pengawalan
dari negara.
Perlindungan dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa :
- perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
- kerahasiaan identitas saksi;
- pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka
dengan tersangka.
Peradilan In Absentia
Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
Kompensasi itu diberikan kepada negara. Tetapi kalau restitusi diberikan oleh pelaku.
Tapi hampir mustahil, si pelaku akan memberikan restitusi. Sebab teroris di Indonesia sebagian
besar dikarenakan kebodohan dan kemiskinan.
Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan
kompensasi atau restitusi.
Pembiayaan kompensasi dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
Hal ini dikarenakan pemerintah dianggap tidak mampu melindungi warga negaranya. Sedangkan
Restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli
warisnya.Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
amar putusan pengadilan.
Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan
Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik,
jabatan, atau hak-hak lain termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik atau psikis serta
perbaikan harta benda.