pertanian juga menjadi korban dari uupa

19
PERTANIAN JUGA MENJADI KORBAN DARI UUPA “PERTANIAN JUGA MENJADI KORBAN DARI UUPA: TANGGAPAN TERHADAP UUPA (DAN AMANDEMEN UUPA YANG DIAJUKAN BPN)” Oleh: Syahyuti @ 2005 Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek “penguasaan/pemilikan” jelas berbeda dengan aspek “penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan. UUPA No. 5 tahun 1960 (maupun amandemennya dari BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51. Padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal. Selain jumlah yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen). Artinya (mungkin), bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua hanyalah bagian dari aspek pertama. Hal ini dapat dimengerti karena UUPA lahir di saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, yaitu bagaimana “merebut” tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial. Dengan pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini dapat dikatakan bahwa peraturan ini tidak melindungi kegiatan pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk mengolah, menggunakan, dan

Upload: rahmi-jinan-auuriyah

Post on 15-Nov-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERTANIAN JUGA MENJADI KORBAN DARI UUPA

Pertanian juga menjadi korban dari UUPA:tanggapan terhadap UUPA (dan amandemen UUPA yang diajukan BPN)Oleh: Syahyuti @ 2005

Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek penguasaan dan pemilikan dan aspek penggunaan dan pemanfaatan. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria. Aspek penguasaan/pemilikan jelas berbeda dengan aspek penggunaan/pemanfaatan, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan. UUPA No. 5 tahun 1960 (maupun amandemennya dari BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51. Padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal. Selain jumlah yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah bahwa aspek penggunaan tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen). Artinya (mungkin), bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua hanyalah bagian dari aspek pertama. Hal ini dapat dimengerti karena UUPA lahir di saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, yaitu bagaimana merebut tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial. Dengan pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini dapat dikatakan bahwa peraturan ini tidak melindungi kegiatan pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk mengolah, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah relasi hukumnya dengan tanah tersebut jelas.

Beberapa akibat (dan implikasi) yang terlihat selama ini dari paradigma berpikir UUPA tersebut adalah:

(1) Pemerintah tidak dapat mengontrol konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Itulah kenapa Inpres dan berbagai Perda tidak bergigi. Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa, Inpres dan Perda tersebut tidak konsisten dengan UUPA.(2) Implikasinya, kebijakan pencadangan lahan abadi pertanian yang dicetuskan dalam RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), yaitu 15 juta ha lahan basah ditambah 15 juta ha lahan kering, sesungguhnya tidak akan dapat direalisasikan. Peraturan yang ada tidak cukup menjamin kebijakan tersebut. (3) Lemahnya pengaturan dalam aspek penggunaan tersebut, secara tidak langsung juga berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata ruang dan kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Sebidang lahan yang sesungguhnya harus berupa hutan, dapat saja diolah menjadi lahan pertanian intensif, karena hak si penguasa tersebut dijamin dalam UUPA.

Khusus untuk Departemen Pertanian, wewenangnya terbatas hanya pada aspek kedua, yaitu bagaimana sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, dan dipelihara tanamannya; sehingga menghasilkan produksi pertanian. Itulah dalam organisasi Deptan terlihat ada bagian yang mengurusi teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan prasarana, memikirkan pemasarannya, dan lain-lain. Itulah kenapa banyak pihak sering meledek bahwa Deptan hanyalah Departemen bercocok tanam. Artinya, dengan wewenang Deptan yang hanya terbatas pada aspek kedua (penggunaan dan pemanfaatan tanah), sedangkan hal ini tidak dijamin cukup kuat secara hukum, terutama peraturan dasarnya (yaitu UUPA); maka dapat dikatakan bahwa memang kegiatan pertanian tidak cukup dijamin dan dihargai di negeri ini. Menyerahkan kegiatan pertanian, produksi pertanian, dan ketahanan pangan, hanya kepada mekanisme pasar terbukti telah menyebabkan pertanian sebagai sektor yang kalah. Nilai ekonomi lahan (dan juga air) yang digunakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air) tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri, pariwisata, dan lain-lain. Penulis tidak mengerti hukum, namun penulis berharap bagaimana istilah-istilah misalnya produksi pertanian, ketahanan pangan, dan skala usaha ekonomis-minimal dapat masuk ke dalam amandemen UUPA. Intinya adalah bagaimana aspek penggunaan dibuat lebih sejajar dengan aspek penguasaan, karena jika kita bicara reforma agraria keduanya harus dijalankan secara bersamaan. Revolusi hijau yang hanya memperhatikan aspek penggunaan tanah terbukti tidak berhasil optimal. Di sisi lain, betapa banyak petani yang melepaskan tanahnya ke pihak lain, karena mereka tidak cukup menguasai modal untuk mengolah tanahnya sendiri secara baik. Tanah yang sudah dikuasainya (aspek pertama) tidak bermakna ketika ia tidak mampu mengolahnya sendiri (aspek kedua).

(Syahyuti, peneliti bidang sosiologi pada PSE-KP Bogor).

******Tidak ada komentar: Minggu, 13 Mei 2012Memadukan Penelitian Ekonomi dan Sosiologi Kasus pada Penelitian Tata Niaga Hasil Pertanian(disusun oleh: SYAHYUTI, MSi, Ir. )

Kekurangjelasan peran dan tanggungjawab antara peneliti berlatar belakang ilmu ekonomi (pertanian) dengan sosiologi di PSE, telah menyebabkan hasil penelitian kurang optimal. Untuk itu, perlu ditumbuhkan sikap seluruh peneliti untuk menyadari dan menerima perbedaan antara kedua bidang tersebut. Tulisan berikut ingin memberikan pembenaran kenapa antara ekonomi dan sosiologi perlu dipadukan, dan bagaimana pula memadukannya.Bahwa faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya amat sulit dipilah, digambarkan dengan baik oleh pengalaman teori dan praktek. Sajogyo, pensiunan Gurubesar sosiologi perdesaan IPB, pada rekfleksi kariernya bulan Desember 2003, menuturkan kembali pertukaran pikirannya dengan David Penny (alm), ekonom pertanian dari Australia, sebagai berikut:

Jika Anda ingin mengerti perekonomian negeri kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami (Sajogyo, 2003:1).

Dari pernyataan ini tidak diragukan bahwa pengajaran ilmu ekonomi sebagai monodisiplin tidak mampu menjadikan siswa memahami apalagi memecahkan masalah-masalah kongkrit yang dihadapi masyarakat-bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain ilmu ekonomi hanya akan efektif sebagai pisau analisis jika digunakan bersama ilmu-ilmu sosial lain termasuk dan terutama ilmu politik, ilmu budaya, dan etika.

Dulu Ekonomi dan Sosiologi Menyatu Sesungguhnya ilmu ekonomi dan sosiologi dulu menyatu dan juga berkembang secara bersamaan, karena ilmu ekonomi adalah bagian dari dunia sosial (Granvetter dan Swedberg, 1992). Berbagai tokoh, seperti Max Weber dan Karl Max misalnya, diaku sekaligus sebagai ekonom dan juga sosiolog. Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation, mengatakan bahwa tak ada bentuk yang berbeda antara topik ekonomi dan sosial. Sementara itu Max Weber yang dikenal sebagai tokoh sosiologi adalah juga pendiri ilmu economic sociology, selain August Comte dan Durkheim. Weber menjadikan ekonomi sebagai interest utamanya, sebagaimana ia lakukan dalam analisis misalnya kajian hubungan industrial. Tulisan Weber yang penting dalam hal ini terlihat dalam buku Economic and Society dan General Economic History. Sosiologi memiliki minat lebih luas dari sekedar ekonomi (bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya secara materi). Namun, di PSE, yang dibutuhkan secara lebih banyak adalah penelitian sosiologi tentang ekonomi. Yaitu, bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dilihat dari konteks sebagai makhluk sosial yang multi dimensi. Artinya, sosiologi melihat manusia sekaligus dalam dimensi sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Ilmu ekonomi dan sosiologi sepakat, bahwa perilaku ekonomi adalah suatu tipe perilaku dengan memilih alat yang terbatas dengan berbagai alternatif penggunaan. Menurut Damsar (1996), sosiologi ekonomi memperhatikan tindakan ekonomi sejauh ia mempunyai dimensi sosial dan selalu melibatkan makna serta berhubungan dengan kekuasaan. Sementara menurut Schumpeter, bahwa sosiologi ekonomi berkaitan dengan konteks institusional dari ekonomi. Selama ini telah berbagai strategi dimunculkan untuk memperpadukan ilmu ekonomi dan sosiologi, yaitu aliran-aliran Rational Choice Sociology, New Economic Sociology, Socio-Economics, Psycho-Socio-Anttropo-Economics (=PSA-Economics), dan Transaction Cost Economics. Melalui New Institutional Economics ekonomi melihat ke dalam aspek institusi dan mencoba untuk mengintegrasikan institusi ke dalam analisis mereka. Melalui inilah tercipta ruang bagi dialog antara para ahli imu ekonomi dan sosiologi. Kenapa Harus Menyatu? Sosiologi perlu dilakukan secara bersamaan dengan ekonomi, karena (Granvetter dan Swedberg, 1992):

1. Economic action is a form of social action (perilaku ekonomi merupakan bentuk dari perilaku sosial),2. Economic action is a socially situated (terjadi dalam situasi sosial), dan 3. Economic institution are social construction (kelembagaan ekonomi terkontruksi secara sosial). Untuk PSEKP, ekonomi dan sosiologi sebaiknya dipadukan dengan beberapa alasan di antaranya adalah:1. Secara mandat, PSE diharuskan melakukan kajian sosial-ekonomi. Secara keorganisasian, staf PSE terdiri atas peneliti berlatarbelakang ekonomi (pertanian) dan sosiologi (pedesaan). 2. Dengan memadukan, maka akan diperoleh pemahaman yang lebih lengkap, terutama penelitian di aras mikro dan meso. Berbagai penelitian yang hanya dengan pendekatan ekonomi selama ini dikeluhkan tidak mampu memahami dan memberi solusi yang implikatif dan memuaskan.3. Banyak perilaku ekonomi masayarkaat yang tidak terjawab secara memuaskan, terutama dalam hal kelembagaan pertanian di pedesaan. Misalnya adalah naiknya harga-harga menjelang hari raya padahal bukan karena faktor supply, juga berfluktuasinya harga di tingkat produsen untuk komoditas karet dan lada padahal di hilir tidak demikian. Sosiologi yang Mana? Kata sosial saat ini setidaknya diberi dua makna yang saling berseberangan. Pertama, sosial dalam konteks ilmu sosial, yaitu seluruh ilmu yang mempelajari interaksi antar manusia, termasuk ilmu politik, antropologi, psikologi sosial, sosiologi, dan ekonomi. Kedua, adalah sesuatu yang anti ekonomi, yaitu segala perbuatan yang tidak dimaksudkan untuk mencari untung dan memupuk kekayaan, sebagaimana melekat pada kata berjiwa sosial, Panti Sosial, dan Departemen Sosial. Banyak orang mencampuradukkan kedua kata ini, sehingga sosiologi sebagai salah satu bentuk ilmu sosial dianggap sebagai ilmu yang anti ekonomi, anti kemajuan, dan anti kemodernan.

Dari begitu luas bidang kajian sosiologi, maka yang dibutuhkan di PSE adalah cabang sosiologi yang mempelajari perilaku ekonomi masyarakat. Atau lebih kurang adalah apa yang disebut dengan SOSIOLOGI EKONOMI. Yaitu, ilmu sosiologi yang membantu menjelaskan perilaku ekonomi, bagaimana agar ekonomi desa bersaing, bagaimana mencapai kesejahteraan, dan lain-lain.

Untuk menjelaskan itu semua, sosiologi memandang manusia sebagai makhluk yang multidimensi dan dihargai secara utuh. Manusia tidak hanya memiliki motivasi ekonomi (untung, efisien, kaya), namun memiliki dimensi-dimensi lain bahwa manusia juga punya motivasi, jiwa, orientasi hidup, etika, estetika, dunia batiniah, harga diri, hubungan transedental dengan Tuhan, dan lain-lain. Sosiologi ingin melihat bagaimana seluruh faktor ini mempengaruhi sikap dan perilaku ekonominya.

Maka menurut levelnya, bidang-bidang sosiologi yang relevan diterapkan adalah sosiologi mikro, sosiologi keluarga, sosiologi kelompok; bukan sosiologi makro dengan grand theories-nya. Maka aspek yang akan dilihat adalah masalah tata nilai, norma sosial, kepemimpinan, keberadaan kelompok-keleompok sosial, kelas sosial, perubahan sosial, struktur sosial, kewirausahaan, jaringan sosial, dan lain-lain.

Jadi, sosiologi yang diperlukan di PSE adalah sosiologi kontemporer dibandingkan sosiologi klasik. Lebih kepada sosiologi terapan dibandingkan sosiologi teoritis. Juga akan menerapkan bentuk-bentuk baru penerapan ilmu sosiologi dalam konsep-konsep pembangunan yang misalnya dikembangkan dalam konsep community development, capacity building, pembangunan berdimensi kerakyatan, pembangunan berkelanjutan, empowerment, dan lain-lain.Bentuk Tim Penelitian

Memadukan penelitian ekonomi dan sosiologi, berbeda dengan memadukan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Namun, khusus untuk PSE, pemaduan penelitian ekonomi yang kuantitatif dengan penelitian sosiologi yang kualitatif merupakan kombinasi yang paling baik. Penelitian kualitatif dapat melengkapi kelemahan penelitian ekonomi yang cenderung deduktif.

Upaya untuk mengintegrasikan penelitian kuantitatif dan kualitatif, pada pokoknya berpayung kepada prinsip triangulation. Kombinasi kuantitatif dan kualitatif dapat terjadi pada semua tahap, mulai dari metode, paradigma, hipotesa, pengambilan data, analisa data, sampai kepada penulisan hasil penelitian. Ada 5 tujuan yang dapat dicapai dengan mengintegrasikan penelitian kuantitatif dan kualitatif menurut Creswell (1994), yaitu: untuk mendapatkan hasil yang konvergen, bersifat saling melengkapi (complementary), saling mengembangkan (developmentally) karena metode kuantitatif dapat membantu metode kualitatif dan sebaliknya, bersifat inisiasi, serta sekaligus merupakan ekspansi karena meluaskan scope studi.

Selanjutnya menurut Creswell, ada tiga model kombinasi yang dapat dipilih dalam pengintegrasian ini, yang menunjukkan tingkat integrasi yang semakin kuat.

1. Desain 2 tahap. Tahap penelitian kuantitatif dilakukan secara terpisah dengan tahap penelitian kualitatif. Hal ini memiliki keuntungan, dimana dua paradigma yang berbeda dapat berjalan bersama, namun kerugiannya pembaca laporan menjadi bingung.

2. Desain dominant-subordinant. Disini salah satu harus mengalah, misalnya rancangan kuantitatif lebih dominan dan kualitatif tidak. Desain ini sering dipakai di PSE. Dalam pelaksanaannya, para peneliti yang berlatar belakang ekonomi menerapkan bentuk penelitian ekonomi-kuantitatif yang menggunakan metode eksperimen dengan testing korelasi variabel, sedangkan interview sosiologi-kualitatif dilakukan secara minor. Keuntungan dari desain ini adalah paradigma yang digunakan tetap dapat konsisten meskipun si peneliti kualitatif akan merasa kurang puas.

3. Desain metodologi campuran. Ini yang paling terkombinasi dibanding dua desain sebelumnya. Pencampuran ini sudah terjadi mulai dari paradigma yang digunakan, review literatur, teori-teori yang dipakai, serta tujuan dan pertanyaan penelitian sampai kepada analisis data dan penulisan laporan. Artinya disini dilakukan metode pencampuran deduktif (kuantitatif) dan induktif (kualitatif) sekaligus.

Sosiolog dapat masuk ke bidang ekonomi, misalnya ke jantungnya ekonomi yaitu pasar. Sosiologi dapat menggunakan pendekatan jaringan sosial untuk memahami pasar.

Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif

Kata kualitatif menunjuk terjadinya penekanan kepada proses dan makna yang tidak diperoleh dengen menguji atau mengukur secara jumlah (quantity), intensitas, ataupun frekwensi[endnoteRef:2][i]. Penelitian kualitatif menuntut hubungan dua arah sebagai hubungan subyek-suibyek (intersubyektifitas), dan data-data yang bersifat gayut nilai. Jadi, penelitian kualitatif tidak semata-mata mengutamakan hubungan kausal antar varaibel, namun lebih berfokus kepada proses. Dengan semangat induktif, maka kebenaran ilmiah adalah hasil kesepakatan antara peneliti dan pihak yang diteliti (tineliti). [2: ]

Penelitian kualitatif berbeda secara diametral dengan penelitian kuantitatif dalam segala aspek-aspeknya. Sifat-sifat penelitian kualitatif adalah induktif, naturalistik, subyektif, holistik, humanistik, aposteriori, fleksibel, dan validitas. Sedangkan penelitian kuantitatif bersifat deduktif, manipulatif, obyektif, reduktif, mekanistik, apriori, baku, dan reliabilitas. Prinsip validitas dalam penelitian kualitatif misalnya adalah suatu kesahihan yang diukur dari kesesuaian antara yang dikatakan dan diperbuat tineliti, bukan dari korelasi statistik yang kuat antar variabel belaka yang dapat saja karena kebetulan.

Karena tuntutan etikanya, penelitian kualitatif cenderung beraras mikro, namun mendalam, terperinci, dan kaya. Dalam konteks itu, penelitian kualitatif tidak berpretensi pada keterwakilan. Karena itu, studi kasus adalah pilihan yang tepat dengan segala kebutuhannya. Untuk dapat membuat generalisasi maka dapat dilakukan studi kasus multi lokasi.

Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan yang sangat berbeda, mulai dari rancangan penelitian sampai dengan penulisan laporan.[endnoteRef:3][ii] Rancangan penelitian kualitatif bersifat retropektif dan luwes sehingga terbuka terhadap perubahan di lapangan. Walaupun terbuka terhadap perubahan namun mesti memiliki arah yang jelas. Sampel dapat purposif, karena yang penting adalah keterwakilan aspek permasalahan. [3: ]

Berbeda dengan penelitian kuantitatif, ia dapat hanya menggunakan hipotesa pengarah yang menghubungkan antar dua konsep, bukan hipotesa uji yang menghubungkan dua variabel secara kuantitatif. Beberapa strategi penelitian kualitatif yang mungkin untuk penelitian kelembagaan misalnya studi kasus dan studi historik. Penelitian studi kasus menerapkan beragam metode misalnya dengan menerapkan metode wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen (prinsip triangulasi). Studi kasus merupakan satu strategi dalam penelitian kualitatif. Ia dapat dipilih bila pokok pertanyaan berkenaan dengan bagaimana (how) dan mengapa (why), bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitian terletak pada fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata[endnoteRef:4][iii]. [4: ]

Penelitian kualitatif juga dapat berbentuk studi historik dengan melakukan penafsiran dokumen-dokumen tentang masa lampau, maupun wawancara untuk me-recall ingatan pelaku maupun informan. Studi historik merupakan bentuk penelitian yang penting, karena berdasarkan asumsi bahwa gejala sosial harus dipelajari dalam konteks historisnya.

Dalam pengumpulan data dapat mengetengahkan data secara deskriptif terhdap gejala-gejala yang dihadapi dalam konteksnya yang alami (natura setting)[endnoteRef:5][iv]. Data dapat diperoleh dengan pendekatan intersubjektivitas melalui hubungan partisipatif. [5: ]

Menurut John Lofland (dalam Sitorus, 1998) dalam pengumpulan data kualitatif perlu diperhatikan empat hal berikut: (1) peneliti kualitatif harus cukup dekat dengan orang-orang dan situasi yang diteliti, sehingga dimungkinkan pemahaman mendalam dan rinci tentang apa yang sedang berlangsung; (2) peneliti kualitatif harus berupaya menangkap apa yang secara aktual terjadi dan diakatakan orang; (3) data kualitatif terdiri dari sekumpulan besar uraian murni mengenai berbagai orang, kegiatan, dan interaksi sosial, dan; (4) data kualitatif terdiri dari kutipan langsung dari berbagai orang, yaitu dari apa yang mereka katakan dan tulis. Untuk saling menutupi kekurangan satu metode maka lazim digunakan prinsip triangulasi, baik triangulasi data, triangulasi peneliti, triangulasi teori, dan triangulasi metodologi.

Dalam pengumpulan data harus menggunakan catatan harian, yang berfungsi sama dengan kuesioner dalam penelitian kuantitatif. Catatan harian memiliki fungsi yang sangat pokok. Biasanya terdiri dari topik, nara sumber, waktu dan tempat wawancara, dan isi yang terbagi menjadi bagian deskriptif dan bagian reflektif.

Dalam pengolahan data, menurut Miles dan Huberman (1992), ada tiga jalur analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data. Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung. Kegiatannya adalah meringkas hasil wawancara (data), mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat pratisi, dan menulis memo. Artinya disini dilakukan pengorganisasian data melalui penajaman dan penggolongan data, untuk mengarahkan ke tujuan penelitian.

Selanjutnya, penyajian data adalah bagaimana menyusun data sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam penarikan kesimpulan. Penyajian dapat dilakukan dengan bentuk teks naratif, matriks, grafik, serta jaringan dan bagan.

Terakhir, penarikan kesimpulan diperoleh setelah sebelumnya si peneliti mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Proses penarikan kesimpulan telah dimulai secara kasar semenjak penelitian dimulai, dengan terus menerus memikir ulang selama penulisan, meninjau ulang catatan lapang, tukar pikiran dengan teman sejawat dan juga tineliti. Uraian dapat dilakukan secara prosesual dengan saling menghubungkan antar kejadian sosial.

Satu hal yang juga khas dalam penelitian kualitatif adalah pada penulisan laporan. Proses penulisan laporan sudah dimulai semenjak di lapangan sampai akhir penelitian. Karena itulah penelitian kualitatif memerlukan waktu lebih lama di lapangan, untuk melakukan verifikasi serta memperoleh kesepakatan intersubyektif dengan tineliti. Dengan itu, akan dimungkinkan untuk melihat lobang-lobang dalam laporannya. Jika penelitian bergabung dengan penelitian kuantitatif, maka setelah data kuantitatif diolah akan dapat menjadi bahan diskusi dengan kesimpulan-kesimpulan yang sudah sudah dibuat dari data kualitatif.

Jelaslah bahwa memadukan penelitian ekonomi dan sosilogi dalam penelitian kelembagaan dan organisasi pertanian adalah salah satu strategi yang cukup beralasan. Meskipun tidak menutup kemungkinan, penelitian dengan hanya pendekatan ilmu sosiologi juga dapat dilakukan untuk melakukan kajian kelembagaan.

Disamping itu, peneliti yang berlatar belakang sosiologi, dapat pula menggunakan bentuk penelitian kualitatif baik dalam posisi pelengkap dalam penelitian yang lebih bersifat ekonomi maupun dalam penelitian tersendiri. Artinya ia dapat tugas khusus, mulai dari pencantuman bagian materinya dalam proposal, menggunakan catatan harian sebagai pengganti kuesioner, dan menulis laporan secara bersama-sama untuk memperkuat analisa kuantitatif. Namun untuk tim peneliti yang khusus peneliti sosiologi, maka dapat merancang proposal secara khusus, melakukan kegiatan lapang, serta menulis laporan dengan prinsip-prinsip penelitian kualitatif secara penuh.

Meskipun demikian, penelitian kelembagaan tidak selalu harus menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, karena dapat juga menggunakan metode sosiologi kuantitatif (berkembang di AS).

Memadukan Pendekatan Ekonomi-Kuantitaif dan Sosioolgi Kualitatif dalam Penelitian Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian

EkonomiSosiologi

1. Mempelajari perilaku benda untuk memprediksi perilaku manusia1. Mempelejari perilaku manusia yang diikat oleh benda-benda (=komoditas pertanian)

2. Objek terbatas namun dalam2. Objek luas namun dangkal.

3. Mengutamakan kehandalan informasi dengan sampel yang memadai3. Mengandalkan kepada kualitas informasi, meskipun dengan data n terbatas.

4. Mencari hubungan-hubungan dan memprediksi apa yang akan terjadi. 4. Memahami dan menjelaskan tanpa pretensi untuk memprediksi

5. Rancangan penelitian bersifat deduktif dan tertutup. Variabel dan indikator sudah bisa ditebak dari awal, dan cenderung tidak berubah. Tidak ada variabel baru yang akan diambil di lapangan.5. Rancangan penelitian bersifat induktif dan terbuka. Peneliti belum tahu persis akan menemukan apa. Variabel baru, indikator baru dapat dipakai jika dirasa perlu.

6. Pemilihan sampel telah ditetapkan sejal awal, jumlah dan jenisnya6. Rencana sampel awal masih dapat berubah. Yang penting adalah pengetahuan dan kemampuan responden memberikan informasi yang relevan.

7. Data kuantitatif merupakan andalan pokok. Semakin banyak jawaban semakin kuat.7. Data kuantitatif merupakan titik masuk untuk menggali data kualitatif sebagai andalan. Jawaban yang kuat tidak harus banyak kasus.

8. Rasio matematis8. Rasio dengan menonjolkan kualitas fakta, meskipun hanya 1-2 kejadian

9. Pengolahan data dan penulisan laporan dilakukan belakangan.9. Data diolah mulai dari lapangan, termasuk menulis laporan penelitian.

Objek Perhatian Peneliti Ekonomi dan Sosiologi dalam Penelitian Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian (=Kelembagaan Pemasaran)

Studi kelembagaan melihat tata aturan yang hidup, yang analisis ekonomi dapat mengukurnya apakah itu ekonomis, atau bagaimana ia menjadi lebih eknomis. Jadi sesungguhnya penelitian ekonomi dan sosiologi kelembagaan saling melengkapi kekurangannya masing-masing. Dengan memadukan penelitian kuantitatif dalam bidang ekonomi dan kualitatif untuk sosiologi, dimana beberapa variabel didalami secara kuantitatif dan variabel lain dieksplorasi secara kualitatif, maka banyak keuntungan yang akan diperoleh.

Dari sisi sudut pandang ekonomi, fungsi utama kelembagaan adalah agar tercapai efisiensi dalam bertindak. Menurut Bromley, kelembagaan persist us to carry on our daily lives with a minimum of repetition and costly negotiation[endnoteRef:6][v]. Suatu tindakan menjadi ekonomis, karena telah ada pedoman dalam bertindak (prdictable). Pelaku ekonomi tak akan bertindak secara acak, namun mengikuti pola yang sudah disepakati. Itulah gunanya kelembagaan yang salah satu fungsinya adalah pedoman bertindak bagi anggota-anggotanya. [6: ]

Dapat dikatakan, bahwa pada studi kelembagaan -lah terjadi integrasi antara sosiologi dan ekonomi. Studi kelembagaan memenuhi syarat untuk itu karena kelembagaan bersifat muti aras. Karena itu, studi kelembagaan bersifat multi disiplin dan multi metodologi. Sifat muti disiplin adalah karena ia dapat menjadi pertemuan para ekonom dan sosiolog, sementara sifat multi metodologinya adalah karena penelitiannya bisa dilakukan dengan metode survey untuk penelitian ekonomi serta observasi berperan (participatory observation), serta studi dokumen yang biasa digunakan dalam penelitian-penelitian sosiologi.

Penelitian ekonomi mempelajari gejala kelembagaan, sedangkan sosiologi mempelajari penyebab timbulnya gejala tersebut.

Berbagai hal yang dipelajari oleh peneliti berlatar belakang ekonomi biasanya adalah:

1. Struktur pasar, sistem pasar, dan keterpaduan pasar.

2. Demand, elastisitas demand, dan estimasi demand.

3. Suplai, elastisitas suplai, dan market supply.

4. Harga, struktur harga, analisis harga.

5. Margin pemasaran, biaya pemasasran, efisiensi pemasaran, resiko pemasaran, dan strategi pemasaran.

6. Standarisasi dan grading.

Objek penelitian sosiologi adalah manusia dan perilakunya. Sosiologi bertolak dari premis dasar bahwa manusia memiliki nilai, norma, sikap, kesenangan, kebutuhan yang beragam, perasaan, sentimen, etika, estetika, aspek religi, dan lain-lain. Artinya, seorang pedagang tidak semata-mata hanya mempertimbangkan efisiensi dan keuntungan saja dalam berinteraksi.

Karena itu, maka bidang sosiologi, khususnya kelembagaan pemasaran, dapat menggali hal-hal berikut. Kelembagaan akan sampai kepada dua aspek, yaitu aspek kelembagaan (nilai, norma, aturan, kesepakatan) dan aspek keorganisasian (struktur, peran).

Berkaitan dengan tata nilai.

1. Bagaimana seluruh pelaku (petani dan pedagang) memaknai hidupnya? Apakah mereka bertanam sayur dan berdagang karena terpaksa? Apa pekerjaan yang sesungguhnya mereka inginkan? (Pertanyaan ini penting untuk melihat misalnya level kewirausahaan dan potensi untuk berkembang di masa depan. Apakah mungkin mereka link dengan pola pemasaran modern dan ekspor misalnya?)2. Apakah pekerjaan berdagang dianggap jalan hidup yang baik? (Di Jawa dulu berdagang dianggap pekerjaan rendah)3. Apakah mereka dapat menemukan keselarasan antara pekerjaan yang ditekuni dengan nilai-nilai religius dari agama yang mereka anut? 4. Bagaimana mereka memaknai ekonomi desanya? Apakah kemajuan ekonomi dilihat dalam konteks untuk menuju ekonomi desa yang beraing dan mandiri? Adakah tujuan yang lebih hakiki dari kemajuan ekonomi itu sendiri? Apakah kemajuan ekonomi merupakan alat atau tujuan akhir?5. Bagaimana sikap mereka terhadap alam dan segala sumberdaya yang dimiliki dan dianugerahi kepadanya? Apakah semata-mata hanya alat ekonomi? Apakah perlu dijaga? Bagaimana dengan tanah: apakah tanah semata-mata hanya direduksi menjadi komoditas ekonomi? (Sikap yang mudah melepaskan tanah untuk memperoleh modal telah menyebabkan petani kehilangan tanahnya dan dimiliki oleh pedagang yang punya uang. Akibatnya mereka tergantung kepada pedagang selamanya).6. Bagaimana konsep mereka tentang kerja? (Hal ini akan berimplikasi kepada bagaimana etos kerja yang dikembangkan).

Berkaitan dengan sistem norma.

1. Bagaimana norma yang dijalankan, apakah murni berdasar pertimbangan efisiensi dan keuntungan? Apa yang disebut dengan keuntungan yang layak dalam penentuan harga dari seorang pedagang?

2. Tentang solidaritas. Bagaimana pedagang memandang petani? Apakah sebagai manusia impersonal sebagai pemasok belaka, sebagai asset yang harus dijaga eksistensinya, ataukah dipandang sebagai manusia yang sederajat?

3. Bagaimana sentimen keluarga, etnis, atau se daereah asal dalam berinteraksi? Apakah ini dipertimbangkan dalam berdagang?

4. Dengan pedagang selevel. Apakah pedagang slevel hanya dilihat semata-mata sebagai saingan? Adakah sikap saling membantu?

5. Dengan pedagang vertikal. Bagaimana menjaga hubungan antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang pengumpul besar? Adakah hubungan hutang piutang? Berapa lama dan berapa besar hutang masih dianggap wajar? Bagaimana jika tidak membayar dalam tempo yang seharusnya?

6. Tentang reward dan punishment. Tiap kelembagaan selalu memiliki ini. Apa bentuk terimakasih yang diberikan atau perlakuan-perlakuan berbeda yang ditunjukkan jika rekan dagang telah melakukan sesuai kesepakatan? Dan sebaliknya?

7. Tentang harga. Bagaimana harga ditentukan? Apakah semata-mata didasarkan kepada harga pasar, atau ada sentimen lain? Apakah harga untuk langganan berbeda?

8. Tentang konflik. Apakah konflik sering terjadi? Bagaimana bentuknya, antara siapa? Bagaimana solusi yang digunakan?

Berkaitan dengan keorganisasian.

1. Rantai tata niaga baru menggambarkan aliran barang. Bagaimana rantai tersebut terbentuk secara historik? Kenapa rantainya mesti panjang atau pendek? Adakah sentimen-sentimen non-pasar yang mempengaruhi terbentuknya?

2. Bagaimana stuktur kekuasaan? Dari seluruh level, dimana kekuasaan berpusat? Di hulu, di tengah, atau di hilir?

3. Bagaimana struktur modal? Apakah modal yang besar selalu merepresentasikan kekuasaaan yang besar? Apakah aliran permodalan dapat menggambarkan faktor-faktor kohensi sosial?

4. Bagaimana posisi petani dan pedagang terhadap pemerintah? Dan bagaimana posisi lokasi yang kita kaji dengan sentra produksi dan sentra perdagangan lain?

5. Apakah peran masing-masing dijalankan? Dapatkah mereka bertukar peran? Bagaimana prosedur seseorang dapat masuk menjadi pedagang? Artinya, apakah kelembagaan ini bersistem terbuka atau tertutup?

Selain itu, ada data-data penting yang harus dikumpulkan yang tidak dapat diklasifikasikan apakah termasuk kedalam bidang ekonomi atau sosiologi, yaitu:

1. Kondisi sarana dan prasarana transportasi.2. Informasi pasar3. Kebijakan pemasaran4. Keagrariaan5. Permodalan******