pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang …

83
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG MENYURUH MELAKUKAN PENGANIAYAAN TERHADAP ORANG LAIN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Dalam Hukum Pidana Islam OLEH: WIDIA ASTUTI SHP 162206 PEMBIMBING: Dr. H. Ishaq, S.H.,M.Hum Edi Kurniawan, S.Sy.,M.Phil PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI TAHUN 202

Upload: others

Post on 05-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG

MENYURUH MELAKUKAN PENGANIAYAAN TERHADAP ORANG

LAIN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Dalam Hukum Pidana Islam

OLEH:

WIDIA ASTUTI

SHP 162206

PEMBIMBING:

Dr. H. Ishaq, S.H.,M.Hum

Edi Kurniawan, S.Sy.,M.Phil

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI TAHUN 202

Page 2: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

i

Page 3: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

ii

Pembimbing I : Dr. H. Ishaq., SH., M.Hum

Pembimbing II : Edi Kurniawan., S.Sy., M.Phil

Alamat : Fakultas Syariah UIN STS Jambi

Jl. Jambi-Muara Bulian KM. 16 Simp. Sei Duren

Jaluko Kab. Muaro Jambi 31346 Telp. (0741) 582021

Kepada Yth. Jambi, April 2020

Dekan Fakulltas Syariah

UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Di-

JAMBI

NOTA DINAS

Assalamu’alaikum wr. wb.

Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka skripsi

saudari Widia Astuti yang berjudul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap

Orang Yang Menyuruh Melakukan Penganiayaan Terhadap Orang Lain

Menurut Hukum Pidana Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP)” telah disetujui dan dapat diajukan untuk dimunaqasahkan guna

melengkapi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) dalam program

studi Hukum Pidana Islam pada Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin

Jambi.

Demikianlah, kami ucapkan terima kasih semoga bermanfaat bagi

kepentingan Agama, Nusa dan Bangsa.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Ishaq., SH., M.Hum Edi Kurniawan., S.Sy., M.Phil

NIP.19631218199403 1 001 NIDN. 2018028801

Page 4: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

iii

Page 5: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

iv

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil ‘alamin

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat kesehatan sehingga

saya dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Sarjana Hukum

(SH). Shalawat beserta salam tidak lupa pula saya haturkan kepada baginda

Rasulullah SAW, manusia terbaik yang pernah ada di dunia ini, yang selalu

menjadi sumber inspirasi saya untuk menjadi lebih baik didalam berbagai hal.

Kuibaratkan karya kecilku ini bak serantai mawar yang wanginya akan tetap

teringat sepanjang hayat, meski kelak raganya akan lekang terlengser waktu, dan

kupersembahkan mawar ini untuk:

Pahlawan terhebatku ayahanda Fahmi dan malaikat tak bersayapku ibunda Rosini

yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kegigihan dan kesabaran,

yang tiada hentinya berjuang dan selalu menyelipkan namaku disetiap doanya.

Terima kasih untuk semua perjuangan yang ayah ibu berikan selama ini, berkat

do’a dan dorongan kalian berdualah saya dapat menyelesaikan skripsi ini, harapan

terbesarku semoga skripsi ini bisa menjadi hadiah terindah bagi ayah dan ibu.

Kakak-kakakku tersayang Imran Edi, Heriyanto, dan Sopiyan penyemangat

dalam setiap langkahku dan mendoakan keberhasilanku

Semua keponakanku tersayang yang tak bisa kusebutkan namanya satu persatu,

yang sudah memberikan semangat untukku

Teman-teman seperjuangan dijurusan Hukum Pidana Islam (HPI) angkatan 2016,

Fakultas Syariah UIN STS Jambi yang telah menyumbangkan bantuan dan do’a

untuk saya, semoga persahabatan kita menjadi persaudaraan yang abadi

selamanya.

Sahabat-sahabat terbaikku dan teman seperjuanganku selama menimba ilmu

pendidikan.

Almamaterku tercinta Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi,

tempat penulis menimba ilmu.

Page 6: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

v

MOTTO

Artinya:

“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan

melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat

zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Q.S Al-Zalzalah ayat 7-8).

Page 7: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas

segala rahmat dan hidayahnya yang telah memberikan kesehatan dan kesabaran,

serta tak lupa penulis haturkan shalawat serta salam kepada Nabi besar Muhammad

SAW, sehingga penulis dapat menyeleaikan skripsi ini dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Yang Menyuruh Melakukan

Penganiayaan Terhadap Orang Lain Menurut Hukum Pidana Islam dan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”.

Adapun maksud dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperoleh gelar

sarjana strata satu di jurusan Hukum Pidana Islam pada Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat

selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu melalui

kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan perasaan terdalam kepada semua

orang yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Dengan segenap

kerendahan hati, penulis ingin menghaturkan rasa bangga dan ribuan terima kasih

yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof Dr. H. Suaidi Asyari MA, Ph.D selaku Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

2. Bapak Dr. Sayuti Una, S.Ag., M.H selaku Dekan Fakultas Syariah Universitas

Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Page 8: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

vii

3. Bapak Agus Salim, S.Th. I., MA., M. IR., Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang

Akademik, Bapak Dr. Ruslan Abdul Ghani, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan

Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, Bapak Dr. H. Ishaq,

S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, dan Kerja Sama

Dilingkungan Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

4. Ibu Dr. Robi’atul Adawiyah, M.HI selaku ketua Jurusan Hukum Pidana Islam

Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

5. Bapak Dr. H. Ishaq, S.H., M.Hum selaku pembimbing I dan Bapak Edi

Kurniawan, S.Sy., M.Phil selaku pembimbing II yang dengan tulus telah

meluangkan waktu dalam membimbing, mengarahkan, dan memotivasi,

sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Bapak dan Ibu dosen, asisten dosen, dan karyawan Fakultas Syariah UIN

Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan

kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

7. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan, mahasiswa-mahasiswi HPI

angkatan 2016 yang sudah banyak memberikan dukungan dan motivasi sehingga

penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman KKN desa Teluk Rendah, Kecamatan Cerminan Gedang,

Kabupaten Sarolangun. Yang telah banyak mengajarkan penulis arti

kebersamaan dan kekeluargaan meski dalam waktu yang singkat selama satu

bulan penuh namun sangat bermanfaat.

9. Teman-teman PPL di Lapas Kelas II A Jambi yang telah mengajarkan penulis

arti disiplin, dan kesabaran, serta kerja samanya selama satu bulan penuh.

Page 9: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

viii

10. Sahabat-sahabatku, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu

persatu. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya, semoga kita selalu

menjadi sahabat dan saudara untuk selamanya. Serta semua pihak yang terlibat

dalam penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan,

akan tetapi penulis tetap berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua

pihak dalam proses menerapkan ilmu yang penulis dapatkan di bangku kuliah,

semoga skripsi ini mampu membantu kemajuan ilmu pengetahuan. Untuk lebih

menyempurnakan skripsi ini dimasa mendatang penulis sangat mengharapkan

kritik dan saran dari semua pihak dengan harapan agar dapat bermanfaat bagi yang

berkepentingan.

Jambi, 12 April 2020

Penulis,

Widia Astuti

Page 10: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

ix

ABSTRAK

Baik Hukum Pidana Islam maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), keduanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku tindak

pidana agar tidak mengulangi perbuatannya dan orang lain tidak menirunya. Namun

perbedaan keduanya terletak pada sumber hukum dan sanksi kepada pelaku tindak

pidana. Dengan demikian, skripsi ini membahas pertanggung pidana terhadap orang

yang menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut kedua

hukum ini. Skripsi ini bertujuan untuk mengungkap pertanggungjawaban pidana

terhadap orang yang menyuruh melakukan tindak pidana penganiayaan dalam

perspektif hukum Islam dan hukum positif. Permasalahan yang timbul dari

penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban terhadap orang yang

menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut kedua hukum

tersebut serta persamaan dan perbedaannya. Penelitian ini menggunakan cara

pengumpulan data dengan mencari referensi dari studi pustaka, dokumen dan studi

arsip serta menggunakan teori perbandingan pidana dalam penelitiannya. Penelitian

ini menyimpulkan bahwa: pertama, dalam hukum Islam penyuruh akan dikenakan

hukuman ta’zir, kedua menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

penyuruh pelaksana dapat dipidana dengan pidana dengan pasal 55 KUHP. Dimana

orang yang menyuruh melakukan sama dengan orang yang melakukan, ketiga

adalah persamaan dan perbedaannya, kedua hukum tersebut memberikan

kedudukan pertanggungjawaban yang berbeda-beda terhadap pelaku turut serta

dalam melakukan suatu jarimah namun terdapat persamaan diantara keduanya,

yaitu dalam KUHP dan hukum Islam mengenal orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (terganggu karena penyakit atau cacat

kejiwaan dan pengaruh daya paksa). Saran dari penulis, pemerintah harus

melakukan gerakan sadar hukum kepada masyarakat terhadap suatu

pertanggungjawaban pidana.

Kata Kunci: Penganiayaan, Tanggungjawab, Menyuruh.

Page 11: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... i

NOTA DINAS ............................................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................ iii

PERSEMBAHAN ........................................................................................ iv

MOTTO ........................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ................................................................................. vi

ABSTRAK ................................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................. x

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................ xii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................... 3

C. Batasan Masalah................................................................... 3

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................... 3

E. Kerangka Teori.................................................................... 5

F. Kerangka Koseptual ............................................................. 6

G. Tinjauan Pustaka ................................................................. 9

H. Metode Penelitian................................................................. 11

I. Sistematika Penulisan .......................................................... 16

BAB II. PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

(KUHP)

A. Pengertian Penganiayaan ......................................................18

1. Hukum Pidana Islam ........................................................18

2. Hukum Pidana KUHP ......................................................21

B. Macam-Macam Penganiayaan .............................................22

1. Hukum Pidana Islam ........................................................22

2. Hukum Pidana KUHP ......................................................25

BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG TURUT SERTA

MELAKUKAN INDAK PIDANA MENURUT HUKUM

PIDANA ISLAM DAN DAN KITAB UNDANG-

UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

A. Pengertian Turut Serta...........................................................28

1. Menurut Hukum Pidana Islam .........................................29

2. Menurut Hukum KUHP ...................................................30

B. Bentuk-Bentuk Turut Serta ...................................................33

1. Menurut Hukum Pidana Islam .........................................33

2. Menurut Hukum KUHP ...................................................40

BAB IV. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Yang

Menyuruh Melakukan Tindakan Pidana Menurut Hukum

Pidana Islam ....................................................................... 47

Page 12: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

xi

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Yang

Menyuruh Melakukan Tindakan Pidana Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) .......................... 52

C. Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjawaban Orang yang

Menyuruh Melakukan Menurut Hukum Pidana Islam dan

KUHP ................................................................................. 60

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ...........................................................................63

B. Saran ......................................................................................64

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................66

LAMPIRAN ....................................................................................................

CURRICULUM VITAE ................................................................................

Page 13: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

xii

DAFTAR SINGKATAN

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

MvS : Wetbooek van Strafrecht

MvT : Memori van Toelochting

QS : Al-Quran SuraH

RI : Republik Indonesia

UU : Undang-Undang

Page 14: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Pidana Islam merupakan peraturan Allah SWT yang bersumber

dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia disebut juga dengan fiqh jinayah, yaitu segala

ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang

bersumber dari al-Qur'an dan hadis serta ijtihad para ulama.1 Sedangkan Hukum

Pidana Positif merupakan sekumpulan asas dan kaidah hukum yang berlaku saat

ini, berbentuk lisan maupun tulisan yang memberlakukan hukum tersebut

bersifat mengikat secara khusus dan umum yang ditegakkan oleh lembaga

peradilan atau pemerintahan yang hidup dalam suatu negara.

Baik hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif, keduanya

bertujuan untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku tindak pidana agar tidak

mengulangi perbuatannya dan orang lain tidak menirunya. Namun perbedaan

keduanya terletak pada sumber hukum dan sanksi kepada pelaku tindak pidana.

Dengan demikian, skripsi ini membahas pertanggung pidana terhadap orang

yang menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut kedua

hukum ini. Tema ini menjadi menarik karena delik atau jarimah atau jinayah

merupakan perbuatan pidana terhadap orang lain, baik dilakukan secara

langsung maupun tidak langsung, yakni menyuruh orang lain untuk

melakukannya, terlebih hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

1 Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 1.

Page 15: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

2

Dalam kasus menyuruh orang lain melakukan tindak pidana, seperti A

menyuruh B menganiaya C, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan, hukum

pidana Islam dan hukum pidana positif memberikan sanksi yang berbeda.

Hukum pidana Islam memberikan sanksi ta’zir, yakni hukuman yang sifatnya

mendidik yang ditentukan oleh penguasa bisa berupa penjara, skorsing atau

pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata dan lain-lain.

Sementara dalam hukum pidana postif, sanksinya ditetapkan berdasarkan

KUHP, yakni apabila mengakibatkan luka-luka, dipidana dengan pidana penjara

selama delapan tahun (pasal 354 ayat 1). Apabila mengakibatkan kematian,

dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun (pasal 354 ayat 2

KUHP).

Dari uraian di atas, timbul masalah, bagaimana hukum pidana Islam dan

hukum pidana positif memberikan sanksi secara lengkap dan utuh berserta

sumber-sumber atau dasar-dasar pijakannya kepada mereka yang menyuruh

orang lain melakukan tindak pidana terhadap orang lain. Dengan demikian,

skripsi ini akan membahas: Pertanggungjawaban Pidana terhadap Orang yang

Menyuruh Melakukan Penganiayaan terhadap Orang Lain Menurut Hukum

Pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Page 16: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

3

B. Rumusan Masalah

Setelah menguraikan latar belakang yang disebutkan sebelumnya maka

dapat dirumuskan pokok permasalahan dari penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh

melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut Hukum Pidana Islam?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh

melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP)?

3. Apa saja persamaan dan perbedaan antara Hukum Pidana Islam dan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai pertanggungjawaban

pidana terhadap orang yang menyuruh melakukan?

C. Batasan Masalah

Seperti diketahui bahwa dalam ranah tindak pidana dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana banyak sekali yang dapat dikenakan delik atau tindak

pidana terkait yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mengakibatkan

kerugian disalah satu pihak. Maka fokus penelitian ini adalah sanksi bagi orang

yang menyuruh melakukan dan pihak yang turut serta dalam penganiayaan

dengan perspektif Hukum Pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) pasal 55 KUHP sebagai landasan konstruktif berpikirnya

penelitian ini.

Page 17: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

4

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang dicapai

oleh peneliti. Setelah diketahui rumusan masalah yang ingin dicapai, maka

penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang

menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut Hukum

Pidana Islam

2. Untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang

menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Islam

dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai

pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh melakukan

penganiayaan terhadap orang lain

b. Kegunaan Penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademis diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

masyarakat mengenai tindak pidana dalam hukum Islam dan hukum

positif, khususnya yan berkenaan dengan penganiayaan dan sanksi-sanksi

yang diterma bagi orang yang menyuruh melakukan dan termasuk pihak

yang turut serta didalamnya.

Page 18: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

5

2. Secara praktis, kajian ini diharapkan mempunyai nilai tambah dalam

meningkatkan kesadaran bagi siapa saja dalam bertindak ditengah

kehidupannya sehari-hari. Karena, kesalahan dalam bertindakyang dapat

merugikan pihak lain akan berujung maslah hukum yang selanjutnya dapat

ditindak secara pidana.

3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada

Hukum Pidana Islam (HPI) Fakultas Syariah UIN Sultan Thaha Saifuddin

Jambi.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori yang dimaksud dalam penelitian ini adalah teori-teori

yang digunakan. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori

Perbandingan Hukum Pidana.

Perbandingan hukum adalah cabang dari ilmu hukum yang

memperbandingkan sistem-sistem hukum yang berlaku di dalam satu atau

beberapa masyarakat. Alasan dari timbulnya perbandingan hukum adalah

karena hukum merupakan gejala sosial dan bagian dari kebudayaan bangsa. Tiap

bangsa mempunyai kebudayan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa

yang lainnya dan akhirnya melahirkan hukum tersendiri, sehingga sistem hukum

dari negara yang satu akan berbeda dengan sistem hukum negara yang lain

sehingga perlu adanya suatu perbandingan dari beberapa sistem hukum tersebut.

Kegunaan dari penerapan perbandingan hukum adalah untuk

memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara berbagai

bidang dan sistem hukum, serta pengertian dan dasar sistem hukum. Dengan

Page 19: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

6

pengertian tersebut akan mudah untuk melakukan unifikasi, kepastian hukum,

dan penyederhanaan hukum. Hasil-hasil perbandingan hukum akan bermanfaat

bagi penerapan hukum dalam masyarakat, terutama untuk mengetahui bidang-

bidang hukum yang dapat diunifikasikan dan bidang mana yang harus diatur

dengan hukum antar tata hukum.

F. Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kerangka konsep yang terdapat dalam judul, yaitu:

1. Pertanggungjawaban Pidana

Tanggung jawab berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

keaadan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh

dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). Tanggung jawab juga

merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai akibat dari sebuah

perbuatan yang dilakukan. Tanggung jawab dibebani kepada setiap manusia

yang sudah menjadi kodrat dari hidupnya.2

Tanggung jawab merupakan salah satu ciri dari manusia yang

memiliki adab. Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari

akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa ada pihak

lain yang memerlukan keadilan.3 Tanggung jawab timbul berdasarkan prinsip

manusia itu hidup bermasyarakat dan manusia tidak boleh berbuat semaunya

2 http://kbbi.web.id/tanggungjawab.com(akses tanggal 13 januari 2020) 3 http:/baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20,manusia-dan-tanngungjawab

(akses tanggal 20 juni 2019)

Page 20: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

7

terhadap manusia lain, harus menghormati dan melindungi haknya maupun

hak orang lain.4

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap

pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan

keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan

pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur

tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor

penentu pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana

mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau

melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka

orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan

kesalahannya.5 Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat

pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat

dipidana berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena

kelakuannya itu.

Dengan kata lain hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan

yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Menurut

Rachmat pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, unsur-unsur

kesalahan yakni:

a) Mampu bertanggungjawab;

Mempunyai kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa); dan

4 http:/mhaidarharif.wordpress.com/2012/05/02/manusia-dan-tanggungjawab (akses tanggal

20 juni 2019) 5 Rachmat, Akuntasi Pemerintahan, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 42.

Page 21: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

8

b) Tidak adanya alasan pemaaf.6

2. Orang Yang Menyuruh Melakukan

Orang yang menyuruh melakukan, yaitu seseorang ingin melakukan

suatu tindak pidana, akan tetapi ia tidak melaksanakannya sendiri. Dia

menyuruh orang lain untuk melaksanakannya, dengan syarat orang yang

disuruh tersebut adalah anak kecil, orang gila, dalam pengaruh daya paksa

dan lain sebagainya. Dalam penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan

dipidana, sedangkan orang yang menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya.

Dialah yang bertanggung jawab atas peristiwa pidana karena atas

suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana.

3. Penganiayaan

Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti:

perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian yang dimuat Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni

termasuk yang menyangkut perasaan atau batiniah.7 Penganiayaan yang

dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh

manusia. Arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan

diantara ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit

(pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain.8

6 Ibid, hlm 43 77 http://kbbi.web.id/penganiayaan.com(akses tanggal 13 januari 2020) 8 Dirdjosisworo Soejono, Hukum-Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990),

hlm 13.

Page 22: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

9

Menurut yurisprudensi, yang disebut dengan penganiayaan yaitu

sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.

Menurut ayat 4 pasal 351, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah

sengaja merusak kesehatan orang lain.9

4. Hukum Pidana Islam

Hukum Pidana Islam merupakan peraturan Allah SWT yang

bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum pidana Islam sering juga

dikenal dengan kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan

hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal.10

5. Hukum Pidana Positif

Hukum Pidana Positif merupakan sekumpulan asas dan kaidah hukum

yang berlaku saat ini, berbentuk lisan maupun tulisan yang memberlakukan

hukum tersebut bersifat mengikat secara khusus dan umum yang ditegakkan

oleh lembaga peradilan atau pemerintahan yang hidup dalam suatu negara.11

G. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terhadap beberapa lteratur

terdahulu, maka peneliti menemukan adanya beberapa literatur yang memiliki

relevansi dengan penelitian yang peneliti lakukan sebagai berikut:

1. Rosa Hoirisma Zulka12, dengan judul skripsinya “ Penyelesaian Tindak

Pidana Penganiayaan Menurut Hukum Adat dan Hukum Pidana”. Dalam

9 Ibid, hlm 14. 10 Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 1. 11 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm 5. 12 Mahasiswa Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

tahun 2017

Page 23: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

10

skripsi ini membahas tentang cara penyelesaian tindak pidana penganiayaan

menurut hukum adat dan hukum pidana.

2. Ardiansyah13, dengan judul skripsinya “Tinjauan Yuridis Terhadap Delik

Penganiayaan Studi Kasus Putusan PN No. 707/Pid.B/2013 PN.Mks”. Dalam

skripsi ini mebahas tentang penerapan hukum pidana dan sanksi pidana

terhadap kasus delik penganiayaan apakah telah sesuai dengan norma hukum

yang telah berlaku.

3. Rizki Febrian14, dengan judul skripsinya “Sanksi Terhadap Pelaku

Penganiayaan Ibu Hamil Yang Menyebabkan Kematian Janin Dilihat

Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam”. Dalam skripsi membahas

tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana penganiayaan menurut hukum

posistif dan hukum Islam.

4. Mutmainnah15, yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Orang Yang

Melakukan dan Menyuruh Melakukan Dalam Kasus Penganiayaan Menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. Dalam skripsi ini membahas tentang

pertanggungjawaban terhadap orang yang melakukan atau disuruh

melakukan tindak pidana penganiayaan Menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

Dari hasil analisis terhadap karya tersebut di atas, maka akan menjadi

jelas arah dan tujuan dari masing-masing penenelitian di atas demikian juga yang

13 Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2014 14 Mahasiswa Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

tahun 2015 15 Mahasiswa Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

tahun 2013

Page 24: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

11

dimaksud dalam penelitian ini. Atas dasar itu peluang untuk mewujudkan

penelitian ini juga menjadi sangat terbuka karena masing-masing penelitian

tersebut dengan perspektif yang berbeda. Jadi, antara peneliti terdahulu dengan

penulis terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama

meneliti tentang penganiayaan sedangkan perbedaannya seperti bagaimana telah

disebutkan di atas.

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan diartikan sebagai usaha dalam rangka aktivitas penelitian

untuk mengadakan hubungan dengan yang diteliti atau metode-metode untuk

mencapai pengertian tentang masalah penelitian.16

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif atau pendekatan undang- undang, sebuah penelitian yang

menggunakan metode alamiah yang bertujuan untuk menafsirkan fenomena

yang terjadi dan dilakukan dengan berbagai metode yang ada.17 Pendekatan

yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu pendekatan yang meninjau

dan menganalisa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan hukum pidana

Islam tentang Turut serta melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu,

dalam penelitian ini akan dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan

dengan pokok permasalahan di atas, yang lebih jelasnya adalah

membandingkan dan memahami ketetapan dari dua sistem hukum yang

16 Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi, (Bandung:

Alfabeta, 2017), hlm 68-69. 17 Lexy J Moleong. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm

157.

Page 25: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

12

berbeda mengenai sanksi bagi orang yang menyuruh melakukan

penganiayaan terhadap orang lain.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan yang disebut pula dengan istilah Library Research

yang menggambarkan secara sistematis, normatif, dan akurat terhadap objek

yang menjadi pokok permasalahan.

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah data

sekunder saja karena penelitiannya adalah penelitian hukum normatif atau

pustaka.18

b. Sumber Data

Sumber data sekunder diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan

atau literatur yang ada hubungannya dengan objek penelitian.19 Data

sekunder jika dilihat hubungannya dengan objek penelitian terdiri atas:

1. Bahan Hukum Primer

Menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan bahan hukum

yang bersifat otoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-

bahan hukum primer terdiri atas perundang-perundangan,

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

18 Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi, (Bandung:

Alfabeta, 2017), hlm 67. 19 Ibid, hlm 67.

Page 26: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

13

perundangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penulisan ini

yang penulis anggap sebagai data primer yaitu: peraturan

perundang-perundangan RI (KUHP) dan Al-Quran serta Hadist.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dikumen-dokumen resmi. Publikasi

tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,

jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, misalnya kamus-kamus hukum, kamus besar bahasa

indonesia (KBBI), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan

sebagainya.20

4. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data adalah alat yang digunakan dalam

mengumpulkan data dan fakta penelitian. Dalam penelitian kualitatif, alat

utama yang digunakan adalah si penulis itu sendiri (human instrument).21

Pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif terdapat 3 (tiga)

jenis metode pengumpulan data sekunder, yaitu:

20 Ibid, hlm 68. 21 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi, (Jambi: Syariah Press, 2012), hlm

25.

Page 27: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

14

a. Studi Pustaka

b. Dokumen

c. Studi arsip22

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian

pustaka ini dengan masalah penganiayaan yaitu melakukan beberapa langkah

sebagai berikut: (1) mencari dan mengumpulkan data dari buku-buku yang

menjadi sumber utama dalam penyusunan proposal; (2) data yang dihimpun

bersumber dari data hukum primer, jika tidak ditemukan maka data hukum

sekunder dapat dijadikan sumber tambahan sebagai pelengkap materi

pembahasannya; dan (3) sumber data yang terkumpul dikodifikasikan dengan

tambahan buku yang sesuai dengan kerangka acuan; serta (4) terakhir, setelah

itu diadakan penelaahan untuk meneliti kelengkapan data yang akurat dan

tepat.23

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data menjelaskan cara menganalisa data hasil

penelitian dan data mentah yang peneliti diperoleh harus diubah menjadi data

yang dapat terbaca dengan baik dan pengolahan data juga harus didasarkan

pada kebutuhan data yang akan disajikan dalam skripsi. Jika dalam penelitian

kualitatif data yang diperoleh harus diolah dan disusun ulang agar dapat

menjadi bagian yang menyatu dari teks-teks skripsi. Pengolahan data dimulai

22 Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi, (Bandung:

Alfabeta, 2017), hlm 69. 23 Lexy J Moleong. Metode Penelitian..., hlm 157.

Page 28: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

15

dengan melakukan pengkodean data untuk melakukan kategorisasi melalui

lembar kertas bantu (short card).24

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif

adalah analisis kualitatif, yakni analisis data dengan cara menguraikan data

secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak

tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan

pemahaman hasil analisis. Dengan kata lain bahwa analisis kualitatif adalah

cara menganalisis data yang bersumber dari bahan hukum berdasarkan

kepada konsep, teori, peraturan perundang-perundangan, doktrin, prinsip

hukum, pendapat pakar atau pandangan peneliti sendiri.25

Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis data dengan

menggunakan kerangka berfikir: induktif, yaitu suatu pola pikir yang diawali

dari teori-teori yang bersifat khusus menuju kepada kesimpulan yang bersifat

umum;26 deduktif, yaitu suatu pola atau cara berfikir yang diawali dengan

mengemukakan judul-judul yang bersifat umum kemudian menuju kepada

suatu kesimpulan yang bersifat khusus; dan komparatif, yaitu suatu pola pikir

yang bersifat membandingkan antara kerangka pikir atau pendapat yang satu

dengan pendapat yang lain. Kemudian baru ditarik suatu kesimpulan yang

paling kuat dan diyakini kebenarannya.27 Dan historis, yaitu merupakan

24 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan..., hlm 14. 25 Ishaq, Metode Penelitian Hukum..., hlm 69-70. 26 Sudarto. Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 57. 27 Ibid, hlm 59.

Page 29: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

16

penelaahan dokumen serta sumber-sumber lain yang berisi informasi

mengenai masa lampau dan dilaksanakan secaea sistematis.28

I. Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, antar babnya ada yang

terdiri dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan tersendiri,

tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang berikutnya. Utnuk

memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah dan jelas mengenai

pembahasan skripsi ini menyusun menggunakan sistematika dengan membagi

pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka

teori, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab kedua, menguraikan penjelasan tentang penganiayaan menurut

Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam yang berisi tentang pengertian

dan macam-macamnya.

Bab ketiga, menguraikan tentang tinjauan umum tentang orang yang

menyuruh melakukan tindak pidana penganiayaan menurut Hukum Pidana

Positif dan Hukum Pidana Islam yang berupa bentuk-bentuk, serta syarat-

syaratnya.

Bab keempat, bab ini adalah analisis dalam pertanggungjawaban pidana

dari tiap-tiap pelaku langsung maupun tidak langsung serta mencari dan

28 Suharsini Arikunto. Manajemen Penelitian, (Jakarta: Reineka Cipta, 2000), hlm 332.

Page 30: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

17

menjelaskan titik tentu dari perbandingan dan dalam kasus menyuruh melakukan

tindak pidana menurut hukum pidana pidan Islam dan hukum pidana positif.

Bab kelima, merupakan bab terakhir atau bab penutup yang berupa atau

berisi kesimpulan dari penulisan judul skripsi ini sebagai jawaban dari pokok

masalah yang dibahas sebelumnya, dan diakhiri dengan saran-saran untuk

memudahkan penelitian selanjutnya.

Page 31: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

18

BAB II PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

A. Pengertian Penganiayaan dan Unsur-Unsurnya

1. Menurut Hukum Pidana Islam

Pengertian istilah delik dalam hukum pidana positif sama dengan istilah

jarimah dalam hukum Islam, hanya saja tedapat perbedaan yaitu kalau

jarimah itu hukum Allah sedangkan delik merupakan hukum manusia.

Jarimah mempunyai arti larangan-larangan syara’ yang diancam dengan

hukuman had, qishas, atau ta’zir.29 Larangan yang dimaksud adalah

mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang

diperintahkan, karena perintah dan larangan tersebut datang dari syara’.30

Yang dimaksud dengan penganiayaan dalam hukum Islam adalah dengan

sengaja melakukan perbuatan yang menimbulkan cidera atau cacat pada

seseorang.31

Para fuqaha’ sering menggunakan kata jinayah untuk jarimah, mereka

mengartikan jinayah dengan suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik

perbuatan tersebut mengenai harta, jiwa dan lain sebagainya.32

Penganiayaan sebagai bentuk kejahatan (jarimah) oleh fuqaha dibawa

dalam satu bab (kitab) khusus yang dimasukan dalam kitab jinayat, termasuk

dalam pembahasan mengenai masalah pembunuhan, pencurian, prostitusi,

penganiayaan, perampokan dan bentuk kriminal lainnya. Penganiayaan

29A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm

9. 30 Ibid, hlm 9 31 Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam, (Jakarta: CV Amelia, 1980), hlm 35. 32 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990), hlm 526

Page 32: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

19

diidentikkan dengan melukai, yang dalam bahasa Arab disebut dengan istilah

jirahah yang artinya melukai. Istilah jirah ini dipergunakan dalam lapangan

ilmu fiqh pada perbuatan yang melukai badan, menghilangkan nyawa, baik

disertai dengan luka atau tidak, seperti membunuh dengan racun, serta

tindakan-tindakan lain yang menghilangkan manfaat alat tubuh manusia,

seperti menjadi buta, tuli dan lainnya.33

Untuk mengetahui suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai jarimah

dan pelakunya dapat dikenai pertanggung jawaban pidana apabila telah

terpenuhi beberapa unsur, yaitu :

1. Unsur formiil, yaitu adanya ketentuan atau aturan yang

menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang diancam

hukuman.

2. Unsur materiil, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum baik

itu perbuatan nyata-nyata berbuat atau sikap tidak berbuat.

3. Unsur moril, yaitu unsur yang terdapat pada pelaku. Pelaku jarimah

haruslah mukallaf34, yaitu orang yang dapat dimintai

pertanggungjawaban terhadap jarimah yang dilakukannya.35

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, kata jinayat adalah bentuk jamak,

adapun bentuk tunggalnya adalah jinayah yang diambil dari kata jana, yajni

yang artinya memetik. Dikatakan : “Jana as-Samara” yang artinya: bilamana

33 Ibid, hlm 554. 34 Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan

agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai pertanggungjawaban hukum). Seseorang berstatus

mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. 35A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm

6.

Page 33: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

20

ia mengambil buah dari pohonnya. Dan dikatakan pula: “Jana ‘Ala Qawmihi

Jinayatan” yang artinya: ia telah melakukan tindakan kriminalitas terhadap

kaumnya, karena itu ia dipidana.36

Para ahli fiqh Islam telah membuat terminologi khusus untuk

mengkategorikan tindakan-tindakan pidana, yaitu menjadi 2 (dua) macam :

- Pertama : Jaraim al-Hudud, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan

hukum had.

- Kedua : Jaraim al-Qishas, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan

hukum qishas.

Penganiayaan merupakan tindakan kejahatan yang membuat jiwa atau bukan

jiwa, menderita musibah dalam bentuk luka atau terpotong organ tubuh.37

Dalam hukum pidana Islam istilah penganiayaan tidak dipakai, yang

ada dalam hukum pidana Islam adalah jarimah/jinayah terhadap selain jiwa.

Pembunuhan didefinisikan sebagai suatu perbuatan mematikan; atau

perbuatan seseorang yang dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan.

Suatu tindakan seseorang untuk menghilangkan nyawa; menghilangkan ruh

atau jiwa orang lain.38 Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke

dalam jaraim qishas (tindakan pidana yang bersanksikan hukum qishas),

yaitu tindakan kejahatan yang membuat jiwa atau bukan jiwa menderita

musibah dalam bentuk hilangnya nyawa, atau terpotong organ tubuhnya.39

36Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, III (Kairo : Dar al-Fath Lil I’lam al-‘Arabi, 1990), hlm 5. 37Ibid., hlm 5. 38Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’I al-Jina’I al-Islami, II (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t),

hlm 6. 39Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, III (Kairo : Dar al-Fath Lil I’lam al’Arabi, 1990), hlm 263.

Page 34: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

21

Kejahatan atas fisik tetapi tidak menimbulkan kematian, dalam literatur

fiqh jinayah disebut dengan الجناية على ما دون النفس baik dilakukan secara

sengaja atau tidak sengaja.40

2. Menurut Hukum Pidana Positif

Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh dalam KUHP disebut

penganiayaan. Dari segi bahasa, penganiayaan adalah suatu kata jadian atau

kata sifat yang berasal dari kata dasar “aniaya” yang mendapat awalan “pe”

dan akhiran “an”. Penganiayaan adalah tindak kejahatan/delict yang

merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang

disertai ancaman, yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar

larangan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan “sebagai perlakuan yang sewenang-wenang (penyiksaan,

penindasan, dan sebagainya)”. 41 Dengan kata lain untuk menyebut seseorang

telah melakukan penganiayaan, maka orang tersebut harus memiliki

kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk membuat rasa sakit

pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain ataupun dalam perbuatannya

merugikan kesehatan orang lain. Pengertian penganiayaan yang dimuat

Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengertian dalam arti luas: yakni yang

menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam

ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia.42

40 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana 2003), hlm 269. 41 http://kbbi.web.id/penganiayaan.com(akses tanggal 13 maret 2020) 42 Siti Badriah, “Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Hukum Islam Hukum Positif: Studi

Kasus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan”, skripsi (UIN Syarif Hidayatullah, 2007), hlm 39.

Page 35: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

22

Tirtamidjaja membuat pengertian penganiayaan sebagai perbuatan atau

tindakan yang dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka terhadap orang

lain. Akan tetapi, suatu perbuatan semacam ini tidak dapat dianggap sebagai

penganiayaan jika dilakukan untuk menambah keselamatan badan.43

Penganiayaan dalam pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), tidak ada uraian tentang unsur-unsurnya, hanya disebutkan tentang

penganiayaan saja, yang berbunyi “Barang siapa yang dengan sengaja dan

tanpa hak menyakiti atau melukai badan orang lain karena penganiayaan,

diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan atau

denda tiga ratus rupiah”. Sedangkan menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula

dalam pengertian penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang lain.44

B. Macam-Macam Penganiayaan

1. Menurut Hukum Pidana Islam

Ada dua klasifikasi dalam menentukan pembagian tindak pidana

penganiayaan, yaitu:

a. Ditinjau dari Segi Niatnya

Ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana penganiayaan dibagi

menjadi dua macam:

1) Penganiayaan Sengaja

Perbuatan sengaja adalah setiap perbuatan dimana pelaku sengaja

melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum. Dari defenisi

43 Tirtamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fresco, 1995), hlm 70. 44 Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Page 36: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

23

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana penganiayaan

dengan sengaja yaitu pelaku sengaja melakukan perbuatan yang

dilarang dengan maksud untuk mengenai dan menyakiti orang lain.

Misalnya pemukulan terhadap korban itu disertai dengan kemarahan

dan menggunakan alat yang pada galibnya dapat melukai.45

2) Penganiayaan Tidak Sengaja

Penganiayaan tidak sengaja adalah suatu perbuatan yang tidak

disengaja, akan tetapi karena kealpaannya yang mengakibatkan ia

menyakiti atau melukai orang lain tanpa sepengetahuannya.46

b. Ditinjau dari Segi Objek (Sasarannya)

Ditinjau dari segi objek atau sasarannya, tindak pidana penganiayaan

baik sengaja maupun tidak sengaja dapat dibagi kepada lima macam, yaitu:

1) Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya (Ibanat al-Atraf)

Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya (Ibanat al-

Atraf) adalah tindakan perusakan terhadap anggota badan seseorang

yang berupa pemotongan maupun pelukaan. Dalam kelompok ini

termasuk pemotongan tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar,

telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokkan gigi, pemotongan

rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan,

dan lidah.47

45 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, hlm 554. 46 http://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt56ef342d8a5e6/penganiayaan -tidak-

sengaja/(akses tanggal 10 maret 2020) 47 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah cet ke-4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012), hlm 321.

Page 37: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

24

2) Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih

tetap utuh (Izhab ma’a al-Atraf)

Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang

merusak manfaat dari anggota badan sedangkan jenis anggota

badannya masih tetap ada ataupun masih utuh. Misalnya pelukaan

terhadap mata yang mengakibatkan seseorang menjadi buta,

walaupun ia buta tetapi matanya masih ada dan tidak menghilangkan

jenis mata tersebut.48

3) Asy-Syijaj

Yang dimaksud As-syijaj adalah pelukaan khusus pada bagian

muka dan kepala. Sedangkan pelukaan atas badan selain muka dan

kepala termasuk kelompok yang keempat, yaitu jirah. Imam abu

Hanifah berpendapat bahwa syijaj adalah pelukaan pada bagian

muka dan kepala, tetapi khusus dibagian tulang, seperti dahi.

Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk syijaj,

namun para ulama lain berpendapat bahwa syijaj adalah pelukaan

pada bagian muka dan kepala secara mutlak.49

4) Al-Jirah

Al-jirah adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, dan

kepala. Anggota badan yang pelukaannya termasuk jirah ini

meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul.50

5) Tindakan selain yang telah disebutkan di atas

48 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm 181. 49 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, hlm 583. 50 Ibid, hlm 583.

Page 38: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

25

Adapun yang termasuk kedalam kelompok ini adalah setiap

tindakan pelanggaran, atau menyakiti yang tidak sampai merusak

atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan luka

syajaj atau jirah.51

2. Menurut Hukum Pidana Positif

Dalam hukum pidana positif, menurut KUHP penganiayaan dibagi

menjadi 6 macam, yaitu sebagai berikut:

a. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP)

Penganiayaan biasa adalah suatu tindakan hukum karena

kesengajaan. Kesengajaan ini berarti akibat suatu perbuatan tersebut

dikehendaki untuk menyebabkan seseorang mengalami rasa sakit, luka,

sehingga bisa menimbulkan kematian.52

b. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP)

Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak

menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak

menjalankan aktivitas sehari-harinya.53

c. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 KUHP)

Penganiayaan berencana adalah suatu perbuatan yang direncanakan

terlebih dahulu, oleh sebab itu terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu

(meet voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan, berencana adalah

bentuk khusus dari kesengajaan dan merupakan alasan pemberat pidana

51 Ibid, hlm 584. 52 Nanda Indiati, "Delik Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian Menurut Hukum Islam

Dan Hukum Positif." (2012), hlm 54. 53 Ibid, hlm 54.

Page 39: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

26

pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada

pembunuhan berencana.54

d. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP)

Penganiayaan berat adalah penganiayaan yang menimbulkan luka

berat. Adapun unsurnya, yaitu perbuatan yang dilarang, akibat yang

menjadi alasan diadakan larangan itu dan perbuatan itu melanggar hukum.

Misalnya menusuk dengan pisau yang mengakibatkan luka berat.55

e. Penganiayaan Berat Berencana (Pasal 355 KUHP)

Bila kita lihat penjelasan yang telah ada di atas tentang kejahatan

yang berupa penganiayaan berencana dan penganiayaan berat, maka

penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara

penganiayaan berat dengan penganiayaan berencana. Dengan kata lain

suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana,

kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak atau

bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi

unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.56

54 Ibid, hlm 55. 55 http://www.gresnews.com/mobile/berita/tips/81865-mengenal-tindak-pidana-

penganiayaan-berat/ (diakses tanggal 7 februari 2020) 56 Siti Badriah, “Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Hukum Islam Hukum Positif: Studi

Kasus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan”, skripsi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007), hlm

42.

Page 40: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

27

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TURUT SERTA MELAKUKAN

TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

A. Pengertian Turut Serta

1. Penyertaan Melakukan Jarimah Menurut Hukum Islam

a) Pengertian Jarimah dan Ruang Lingkupnya

Secara bahasa jarimah berasal dari kata jarama, yajrimu, jarimatan

yang berarti “berbuat” dan “memotong”. Kemudian secara khusus

dipergunakan terbatas pada “perbuatan dosa” atau “perbuatan yang

dibenci”. Kata jarimah juga berasal dari kata ajrama yajrimu yang berarti

melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, keadilan, dan

menyimpang dari jalan yang lurus.57

Secara istilah Jarimah adalah melakukan perbuatan yang

diharamkan yang apabila melakukannya mengakibatkan ancaman sanksi

hukum tertentu apabila tidak melakukan atau meninggalkan perbuatan

yang keharamannya telah ditetapkan oleh syariat dan adanya ancaman

hukuman tertentu.58 Pada dasarnya kata jarimah mengandung arti

perbuatan buruk, jelek dan dosa. Jadi secara harfiyah sama dengan

pengertian jinayah, yaitu larangan-larangan syara’ yang apabila

melanggar diancam oleh Allah dengan hukuman had dan ta’zir.59

Berikut adalah pengertian jarimah menurut para ahli, yaitu:

57 Abdi, F. “Keluwesan Hukum Pidana Islam Dalam Jarimah Hudud Pencurian (Pendekatan

Pada Jarimah Hudud Pencurian)”. Al-Risalah 14, no. 2 (2014): hlm 5. 58 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm

14. 59 Ibid, hlm 19.

Page 41: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

28

1. Menurut Al-Mawardi, jarimah adalah jaraim (tindakan kriminal) yang

merupakan semua tindakan yang diharamkan oleh syariat, Allah ta’ala

mencegah terjadinya tindak kriminal dengan menjatuhkan hudud atau

ta’zir kepada pelakunya.

2. Menurut Ahmad Warson Munawir, jarimah secara etimologis berarti

berbuat dosa atau kesalahan, berbuat kejahatan dan delik.

3. Menurut Ahmad Hanafi, jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang

diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.60

Dari beberapa defenisi di atas dapat dirumuskan bahwa jarimah

adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT yang apabila

dilanggar akan dikenai hukuman had atau ta’zir.

b) Pengertian Turut Serta dan Ruang Lingkupnya

Perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara

perseorangan atau secara kelompok. Sehingga pengertian turut serta

melakukan jarimah dalam hukum Islam adalah melakukan jarimah secara

bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut,

menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keluasan dengan berbagai

bentuk sehingga terjadinya suatu tindak pidana. Dari pengertian tersebut

dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan turut serta meliputi yang

pertama, baik dikehendaki bersama secara kebetulan sama-sama

melakukan perbuatan tersebut; kedua, menyuruh atau menghasut orang

60 Mardani, Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 110.

Page 42: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

29

lain serta memberi fasilitas bagi terselenggaranya suatu perbuatan

jarimah.61

Turut serta melakukan jarimah dalam hukum Islam berada dalam

empat lingkup, yakni:

1) Pelaku melakukan jarimah bersama orang lain (mengambil

bagian dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan

melakukan bersama-sama.

2) Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk

melakukan jarimah

3) Orang yang memberi bantuan atau kesempatan terjadinya suatu

jarimah dengan berbagai cara tanpa turut serta melakukannya.

4) Pelaku menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan

jarimah.62

2. Penyertaan Melakukan Perbuatan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP)

a) Pengertian Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) kepada mereka yang

melanggar larangan tersebut.63 Dikatakan sebagai perbuatan pidana karena

alasan: Pertama, karena perbuatan tersebut dilarang, apabila dilanggar

akan mendapatkan sanksi pidana. Kedua, karena antara larangan dan

ancaman memiliki hubungan yang erat.64

Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih

tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang

61 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm

217. 62 Ibid, hlm 225. 63 Ismu Gunadi, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2014), hlm 35. 64 Ibid, hlm 35.

Page 43: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

30

menunjuk pada dua keadaan konkret, yaitu pertama, adanya kejadian

tertentu (perbuatan); dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang

menimbulkan kejadian itu. Pandangan yang memisahkan antara perbuatan

dan orang yang melakukan hal tersebut sering disebut dengan pandangan

dualisme.65

Berdasarkan pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang

berisi larangan untuk tidak melakukan sesuatu secara melawan hukum

dengan kesalahan dan diberikan sanksi, baik dalam Undang-Undang

maupun dalam Peraturan Daerah.66

b) Pengertian Turut Serta

Kata penyertaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

berarti proses, cara, perbuatan menyertai atau menyertakan.67 Hal tersebut

menjelaskan bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak

pidana atau dengan kata lain dua orang atau lebih turut mewujudkan suatu

tindak pidana.68

Secara luas dapat disebutkan bahwa:

Seseorang turut serta mengambil bagian dalam hubungannya

dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana,

mungkin jauh sebelum terjadinya hal tersebut (misalnya:

merencanakan), dekat sebelum terjadinya (seperti menyuruh atau

menggerakkan untuk melakukan, memberikan keterangan atau

65 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm

71. 66 Rahman Syamsuddin, Mengenal Hukum Indonesia, hlm 197. 67 http://kbbi.web.id/penyertaan.com(akses tanggal 25 februari 2020) 68 Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia

Grafika, 2002), hlm 336.

Page 44: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

31

seorang itu dibantu oleh orang lain), atau setelah terjadinya suatu

tindak pidana (menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana

pelaku).69

Pengertian turut serta (ikut serta, bersama-sama) melakukan

perbuatan pidana (delict) dapat dilakukan oleh beberapa orang bersama-

sama. Turut serta (delneeming) dari beberapa orang dalam perbuatan

pidana dapat merupakan kerjasama, yang masing-masing dapat berbeda-

beda sifat dan bentuknya.70

Dalam proses penegakan hukum pidana, aturang yang sering

digunakan adalah pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang lazim digunakan dalam

penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dan melibatkan lebih dari satu

orang pelaku. Pasal 55 KUHP secara teoritik dikenal dengan istilah

delneeming atau penyertaan. Dalam konteks ini delneeming merupakan

suatu yang berkaitan dengan peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari

satu orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggungjawab masing-

masing pelaku dalam perbuatan pidana tersebut.71

Dalam masalah penyertaan ini terdapat seorang pelaku psikis

(aktor intelektual) dan pelaku materiil (fisik) dari suatu tindak pidana.

Penyertaan memungkinkan seseorang dapat dihukum atas perbuatannya,

walaupun perbuatan tersebut hanya memenuhi sebagian saja dari

perumusan tindak pidana, atau ia hanya memberikan sumbangan maupun

69 Ibid, hlm 336. 70 Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2015),

hlm 243. 71 Loebby Loqman. Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta:

Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hlm 59.

Page 45: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

32

bantuan dalam bentuk perbuatan-perbuatan tertentu kepada orang lain

untuk melaksanakan tindak pidananya.72

Hubungan antara peserta dalam penyelesaian tindak pidana

tersebut dapat bermacam-macam, yakni sebagai berikut:

a. Bersama-sama melakukan suatu kejahatan;

b. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan,

sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan

tindak pidana tersebut;

c. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana tersebut.

Karenanya ajaran penyertaan berpokok kepada penentuan

pertanggungjawaban daripada setiap pelaku atas perbuatan

masing-masing dalam melaksanakan tindak pidana

(pertanggungjawaban atas bantuan yang diberikan oleh tiap-tiap

pelaku dalam pelaksanaan terwujudnya tindak pidana tersebut.73

B. Bentuk-Bentuk Turut Serta

1. Menurut Hukum Islam

Hukum pidana dalam hukum Islam disebut dengan fiqh jinayah yang

merupakan hukum mengenai tindak kejahatan yang berkaitan dengan

kejahatan manusia atas manusia lainnya ataupun atas benda yang merupakan

harta benda hak orang lain. Suatu kejahatan atau perbuatan jarimah kadang-

kadang dilakukan oleh satu orang dan ada kalanya dilakukan oleh beberapa

orang.74 Perbuatan jarimah yang dalam kaitannya dengan turut serta berbuat

jarimah memiliki beberapa bentuk sebagai berikut: (a) Turut Berbuat

Jarimah Langsung (Isytirakul al-Mubasyir); (b) Turut Berbuat Jarimah

Secara Tidak Langsung (Isytirak Ghairi al- Mubasyir).

72 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm

595. 73 Abdul Salam Siku, Hukum Pidana II, (Ciputat: Pustaka Rabbani Indonesia, 2015), hlm 45. 74 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: CV.ASY-SYIFA, 1990), hlm 526.

Page 46: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

33

Penjelasan dari kedua bentuk turut serta tersebut di atas bisa dilihat

dibawah ini:

a) Turut Berbuat Jarimah Langsung (Isytirakul al-Mubasyir)

Turut berbuat jarimah langsung (isytirakul al-mubasyir) adalah

orang yang melakukan perbuatan tindak pidana (jarimah) sendirian atau

bersama-sama dengan orang lain. Misalnya, tiga orang mengarahkan

tembakan kepada seseorang yang mengakibatkan kematian, maka mereka

dianggap melakukan pembunuhan.75 Seseorang yang melakukan

pembunuhan akan mendapatkan balasan neraka jahannam oleh Allah SWT

sebagaimana telah dijelaskan dalam Q.S an-nissa ayat ke 93 sebagai

berikut:

Artinya:

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,

maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia didalamnya dan allah murka

kepadanya, dang mengutukinya serta menyediakan azab yang besar

baginya.”76

Dalam hal ini fuqaha juga memisahkan apakah kerjasama itu

dilakukan secara tidak sengaja atau kebetulan (tawafuq) atau memang

75 Sukmawati, “Turut Serta Melakukan Perbuatan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Hukum Islam (Studi Perbandingan)”, skripsi (UIN Alauddin Makassar, 2016), hlm

53. 76 Kementerian Agama RI, Al-Quran Terjemah Tafsiryah, (Bandung: Syaamil, 2013), hlm

93.

Page 47: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

34

sengaja bahkan sudah direncanakan bersama-sama (tamalu). Menurut

kebanyakan fuqaha, ada perbedaan pertanggungjawaban peserta antara

tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq, masing-masing peserta hanya

bertanggungjawab atas akibat perbuatannya saja, dan tidak

bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Dengan demikian istilah al-

tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara

bersama-sama tanpa kesepakatan atau tanpa ada perencanaan

sebelumnya.77 Namun dalam al-Quran selalu mengirinya dengan

pernyataan yang sesuai dengan Q.S An-Nissa ayat 16 sebagai berikut:

Artinya:

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuaan keji diantara kamu,

maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya

bertaubat dan memperbaiki diri. Maka biarkanlah mereka, sesungguhnya

Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.”78

Kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan

pemikiran yang datang secara tiba-tiba. Contoh kejahatan yang datang

secara tiba-tiba pada saat memuncak demonstrasi, karena pengaruh emosi

massa maka kejahatan terjadi secara tiba-tiba tanpa direncanakan terlebih

dahulu. Dalam kasus ini para pelaku tindak pidana masing-masing

77 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm

225. 78 Kementerian Agama RI, Al-Quran Terjemah Tafsiryah, (Bandung: Syaamil, 2013), hlm

80.

Page 48: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

35

bertanggungjawab atas perbuatannya.79 Akan tetapi pada tamalu, para

peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya sebagai

keseluruhan. Jika korban meninggal maka masing-masing peserta

dianggap sebagai pembunuh. Jadi tamalu, adalah kejahatan yang

dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama dan terencana.

Misalnya pembunuhan atas seorang oleh sekelompok orang secara

terencana, ada yang mengikatnya, memukulnya atau menembaknya, maka

semua pelaku bertanggungjawab atas kematian korban.80 Seperti yang

dipertegaskan dalam Q.S Al-Mudatzir ayat ke 38 sebagai berikut:

Artinya:

“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.”81

Ayat tersebut diatas, kemudian dijelaskan oleh Mustafa Hasan

dalam bukunya, ayat tersebut menegaskan apabila perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang, maka pertanggungjawabannya akan

dikenakan pada masing-masing orang tersebut. Menurut Abu

Hanifah, antara tawafuq dan tamalu sama saja hukumannya, yaitu

masing-masing orang hanya bertanggungjawab atas perbuatannya

sendiri dan tidak bertanggungjawab atas akibat perbuatan secara

keseluruhan. Ketentuan turut berbuat langsung adalah hadist dari

Abu Hurairah r.a dari Nabi Muhammad SAW, “Apabila seorang

laki-laki memegangi (korban), sedangkan laki-laki lain

membunuhnya, maka dibunuh bagi orang yang membunuhnya dan

dikurung bagi orang yang memeganginya.”82

79 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm 139. 80 Ibid, hlm 140. 81 Kementerian Agama RI, Al-Quran..., hlm 283. 82 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm

227.

Page 49: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

36

Di samping itu, juga dipandang sebagai turut berbuat langsung

orang yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat langsung

hanya kaki tangannya semata-mata. Misalnya jika seseorang menyuruh

anak dibawah umur untuk membunuh orang lain, kemudian suruhan itu

dilaksanakan, maka menurut imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad orang yang

menyuruh itu dipandang sebagai pembuat langsung karena orang yang

disuruh hanya merupakan alat semata-mata.83

b) Turut Berbuat Jarimah Secara Tidak Langsung (Isytirak Ghairi al-

Mubasyir)

Berbuat jarimah secara tidak langsung adalah setiap orang yang

mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu

perbuatan pidana. Setiap orang mengadakan perjanjian dengan orang lain

untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum ataupun suatu

perbuatan yang dilarang oleh syariat, menyuruh orang lain, atau

memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai

kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.84

Adapun unsur-unsur turut berbuat jarimah secara tidak langsung adalah

sebagai berikut:

1) Adanya perbuatan yang dapat dihukum. Untuk terwujudnya turut serta

tidak langsung, disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dihukum.

Dalam hal ini perbuatan tersebut tidak perlu harus selesai melainkan

83 Ibid, hlm 228. 84 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: CV.ASY-SYIFA, 1990), hlm 530.

Page 50: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

37

cukup walaupun baru percobaan saja. Juga tidak disyaratkan pelaku

langsung harus dihukum pula.85

2) Dengan kesepakatan, bujukan, atau bantuan, dimaksudkan agar

kejahatan tertentu dapat terlaksana. Jika tidak ada kejahatan tertentu

yang dimaksudkan, maka pelaku dianggap turut berbuat dalam segala

tindak pidana yang terjadi.86

3) Cara mewujudkan perbuatan adalah dengan mengadakan kesepakatan,

menyuruh, dan memberi bantuan. Adapun cara mewujudkan perbuatan

turut berbuat tidak langsung atau Isytirak Ghairi al-Mubasyir

dijelaskan sebagai berikut:

a. Kesepakatan, bisa terjadi karena adanya saling pengertian dan

kesamaan kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana (jarimah),

jika tidak ada kesepakatan sebelumnya maka tidak terdapat turut

berbuat.

b. Suruhan atau hasutan, menyuruh atau menghasut adalah membujuk

orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana (jarimah) dan

bujukan itu menjadi pendorong untuk dilakukan tindak pidana itu.

Dalam tingkatan paling rendah, dorongan bisa berupa materi

ataupun memberi semangat kepada orang lain untuk melakukan

tindak pidana. Sedangkan paksaan merupakan tingkatan yang lebih

tinggi lagi.87

85 Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’I al-Jina’I al-Islami, II (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi,

t.t), hlm 356. 86 Ibid, hlm 356. 87 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm 150.

Page 51: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

38

c. Memberi bantuan, orang yang memberi bantuan kepada orang lain

dalam melaksanakan suatu tindak pidana (jarimah) dianggap

sebagai pelaku tidak langsung. Meskipun tidak ada kesepakatan

sebelumnya, seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan

orang untuk melakukan kejahatan seperti penganiayaan, maka secara

tidak langsung orang tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku

jarimah.88

Menurut hukum pidana Islam, apabila perbuatan langsung, yaitu

penganiayaan terjadi secara bersamaan dengan perbuatan tidak langsung,

seperti yang menyuruh melakukan suatu tindak pidana, maka keduanya

terdapat 2 kemungkinan, yaitu:

1) Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan langsung.

Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang

berlawanan dengan hukum, seperti kesaksian palsu yang

mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan

hukuman qishas atas tersangka.

2) Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung.

Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung dapat memutus daya

kerja perbuatan tidak langsung, dan perbuatan tidak langsung itu

sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi

seperti orang yang mengikat tangan seseorang, kemudian ada

seorang lagi yang memukul atau menganiaya orang yang sedang

diikat tersebut. 89

88 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,

2006), hlm 71. 89 Ibid, hlm 72.

Page 52: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

39

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dalam hukum pidana di Indonesia, yakni Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana atau diringkas dengan KUHP, bentuk-bentuk penyertaan

terdapat dan diterangkan dalam pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan

yang disebut mededader (disebut para peserta atau para pembuat) dan pasal

56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).

Pasal 55 dijelaskan sebagai berikut:

a) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang

turut serta melakukan perbuatan.

2. Mereka yang memberi dan menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan

acaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,

sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain

supaya melakukan perbuatan pidana.

b) Terhadap penganjur, hanya perbuatan sengaja yang dianjurkan

sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.90

Pasal 56 dijelaskan sebagai pembantu kejahatan sebagai berikut:

a) Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan.

b) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan.91

Dari kedua pasal 55 dan 56 di atas dapat diketahui bahwa menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) penyertaan itu dibedakan

dalam dua kelompok yang terdiri dari lima bentuk yaitu:

90 Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 91 Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Page 53: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

40

a) Kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam pasal 55 ayat

(1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader), adalah

mereka:

1. Yang melakukan (pleger);

2. Yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan

pembuat penyuruh (doenpleger);

3. Yang turut serta melakukan (medeplegen), orangnya disebut dengan

peserta (medepleger).

4. Yang sengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut dengan

pembuat penganjur (uitlokker).

b) Orang yang disebut dengan pembantu kejahatan (medeplichtige)

kejahatan, yang dibedakan menjadi:

1. Pemberian bantuan pada saat pelaksaan kejahatan; dan

2. Pemberian bantuan pada saat sebelum pelaksanaan kejahatan.92

Dengan diketahuinya dua kelompok penyertaan tersebut, maka kini

dapatlah diketahui bahwa menurut sistem hukum pidana yang berlaku di

Indonesia, bahwa siapa saja yang terlibat dalam mewujudkan suatu tindak

pidana, sebagai berikut:

1. Mereka yang melakukan (pelaksana atau pleger)

Dalam tindak pidana formiil, wujud perbuatan pidananya ialah

sama dengan perbuatan apa yang dirumuskan dalam tindak pidana.

92 Ahmad Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian III, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2002), hlm 79.

Page 54: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

41

Sedangkan dalam tindak pidana materiil, yang dilihat adalah akibat yang

timbul atas perbuatan tersebut.93

Dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formiil, pembuat

pelaksananya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan

terlarang yang diatur dalam tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan

dalam tindak pidana materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya

menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-Undang.94

2. Mereka yang menyuruh untuk melakukan (pembuat penyuruh atau

doenpleger).

Mereka yang menyuruh untuk melakukan adalah mereka yang juga

melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan

melalui perantara orang lain sebagai alat dalam tangannya.95 Apabila

orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan, atau tanpa

tanggungjawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau

tunduk pada kekerasan dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk pembuat

penyuruh, yaitu: Pertama, Melakukan tindak pidana dengan perantara

orang lain sebagai alat. Kedua, Orang lain itu yang berbuat tanpa

kesengajaan, tanpa kealpaan dan tanpa tanggungjawab. Kedua bentuk

tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Melakukan tindak pidana dengan perantara orang lain sebagai alat.

Orang yang menguasai orang lain sebagai alat untuk mewujudkan

suatu tindak pidana, dengan memberikan atau menjanjikan sebuah upah

93 Ibid, hlm 82. 94 Ibid, hlm 82. 95 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm 213.

Page 55: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

42

atau hadiah. Penyuruhnya tidak melakukan sesuatu perbuatan aktif,

akan tetapi ia menjadi otak dari terjadinya tindak pidana tersebut.96

b. Orang lain itu yang berbuat:

1) Tanpa kesengajaan (manus ministra);

Perbuatan manus ministra adalah perbuatan yang telah

mewujudkan suatu tindak pidana, namun tidak ada kesalahan

didalamnya, baik karena kesengajaan maupun kealpaan. Contoh

karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu

menyuruh pembantunya berbelanja dipasar dengan menyerahkan 10

lembar uang yang diketahuinya palsu. Dimana pembantu tersebut

sebagai manus ministra dalam kejahatan mengedarkan uang palsu.

Keadaan yang tidak diketahuinya itu yang berarti pada dirinya tidak

ada unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan).97

2) Tanpa kealpaan;

Kealpaan adalah kelalaian atau keteledoran. Contohnya

seorang ibu membenci seorang pemulung karena seringnya mencuri

benda-benda yang diletakkan dipekarangan rumah. Pada suatu hari

ia membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia menyuruh

pembantunya untuk menumpahkan air panas dari atas jendela dan

mengenai pemulung tersebut. Pada diri pembantu tidak ada

kelalaian, diketahuinya selama ini bahwa karena keadaan tidaklah

96 Ibid, hlm 213. 97 Ibid, hlm 214.

Page 56: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

43

mungkin ada dan tidak pernah ada orang yang berada dibawah

jendela dan perbuatan seperti ini sudah sering pula dilakukannya.

3) Tanpa tanggungjawab, oleh sebab keadaan, seperti: yang tidak

diketahuinya, karena disesatkan atau karena tunduk pada kekerasan.

Sebagai hal yang juga penting, bahwa orang yang disuruh tidak

dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subjektif

(batin: tanpa kesalahan atau tersesatkan) dan tidak berdaya karena

pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif). Walaupun

tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subjektif, yakni dalam

hal tidak dipidananya pembuat materiil (orang yang disuruh

melakukan) karena ia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal yang

tidak dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang-orang

yang dipakai sebagai alat, yakni tidak tau dan tersesatkan,

merupakan sesuatu yang subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk

pada kekerasan adalah bersifat objektif.98

3. Mereka yang turut serta melakukan (pembuat peserta atau medepleger)

Turut serta melakukan ialah orang yang sengaja turut berbuat

dalam melakukan suatu tindak pidana. Pada mulanya disebut dengan turut

berbuat itu pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang

sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan.99

Misalnya, dua orang A dan B mencuri sebuah televisi disebuah kediaman

98 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm

542. 99 Ibid, hlm 543.

Page 57: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

44

dimana mereka berdua sama-sama masuk melalui jendela yang tidak

terkunci dan sama-sama pula mengangkat objek televisi tersebut kedalam

mobil yang telah disediakan dipinggir jalan. Pada contoh ini perbuatan A

dan B sama-sama melakukan pencurian, sehingga jelas bahwa perbuatan

mereka memenuhi rumusan tindak pidana.

4. Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur atau uitlokker)

Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur), sama

juga dengan orang yang menyuruh melakukan, ia tidak mewujudkan

tindak pidana secara materiil tetapi melalui orang lain. Terdapat beberapa

unsur dari uitlokker yaitu:

a. Unsur-unsur obyektif terdiri dari:

1) Unsur perbuatan, yaitu menganjurkan orang lain untuk melakukan

perbuatan;

2) Caranya, ialah dengan memberikan sesuatu, menjanjikan sesuatu,

dengan menyalahgunakan kekuasaan dan martabat, dengan ancaman

kekerasan, penyesatan, memberi kesempatan, memberikan saran,

dan dengan memberikan keterangan.

b. Unsur-unsur subyektif yakni:

1) Tentang kesengajaan si pembuat penganjur, yang harus ditujukan

pada 4 hal yaitu:

a) Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran;

b) Mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya;

Page 58: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

45

c) Pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang

dianjurkan);

d) Pada orang lain yang mampu bertanggungjawab atau dapat

dipidana.

2) Dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan

cara-cara menganjurkan, sebagaimana yang ditentukan dalam pasal

55 ayat 1 angka 2 KUHP.100

3) Terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan untuk melakukan

tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan yang disebabkan

langsung oleh upaya-upaya penganjuran.

4) Orang yang dianjurkan telah melaksanakan tindak pidana sesuai

dengan yang dianjurkan

5) Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan

bertanggungjawab.

5. Pembantuan (medeplichtige)

Berikut adalah syarat-syarat pembantuan:

a. Dari sudut subyektif

Kesengajaan pembuat pembantu ini tidak ditujukan pada

pelaksanaan atau penyelesaian kejahatan, melainkan pada

mempermudah pelaksanaan kejahatan saja. Artinya ialah sikap batin

100 Dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang dengan memberi atau menjanjikan

sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau

penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang

lain supaya melakukan perbuatan.

Page 59: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

46

pembuat pembantu terhadap kejahatan tidak sama dengan sikap batin

dari pembuat pelaksananya.

b. Dari sudut obyektif

Wujud dari perbuatan yang dilakukan oleh pembuat pembantu

hanyalah bersifat mempermudah atau memperlancar pelaksanaan

kejahatan. Pada kenyataannya menurut pengalaman manusia pada

umumnya, mengenai wujud perbuatan apa yang dilakukan oleh

pembuat pembantu berperan atas mempunyai andil, atau memberi

sumbangan dalam hal mempermudah atau memperlancar penyelesaian

kejahatan. Artinya, wujud dari perbuatan pembuat pembantu itu

tidaklah dapat menyelesaikan kejahatan, yang menyelesaikan kejahatan

itu adalah wujud perbuatan apa yang dilakukan sendiri oleh pembuat

pelaksananya.

Berikut adalah bentuk-bentuk pembantuan menurut Undang-

Undang pasal 56 KUHP ada dua bentuk pembantuan, yaitu:

a. Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan, dan

b. Pembantuan pada saat dan sesudah pelaksanaan kejahatan.101

101 Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Page 60: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

47

BAB IV

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menyuruh Melakukan Penganiayaan

Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban dikenal dengan istilah

pembebanan seseorang sebagai akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan

yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui

maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Pertanggungjawaban pidana

ditegakkan atas tiga hal, yaitu:

1) Adanya perbuatan yang dilarang

2) Dikerjakan dengan kemauan sendiri

3) Pelakunya mengetahui akibat perbuatan tersebut.

Apabila terdapat tiga keadaan tersebut maka terdapat pula

pertanggungjawaban pidana, apabila tidak terdapat, maka tidak ada pula

pertanggungjawaban pidana. Karena itu, orang gila, anak dibawah umur, orang

yang dipaksa atau terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, sebab

dasar pertanggungjawaban pidana pada kelompok tersebut tidak ada.102 Jadi,

pelaku harus mukallaf, pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya berlaku bagi

individu, tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Selanjutnya, besar kecilnya

hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah, selain ditentukan oleh akibat

yang ditimbulkan juga ditentukan oleh hal-hal lain yang terdapat dalam diri

pelaku tindak pidana. Karena perbuatan melawan adakalanya disepakati

bersama-sama, langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, dan lain

102 Hamzah Hasan, Hukum..., hlm 18.

Page 61: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

sebagainya. Adanya perbedaan antara bentuk-bentuk perlawanan terhadap

hukum mengakibatkan adanya tingkatan dalam pertanggungjawaban pidana.103

Dalam hukum islam, pertanggungjawaban pidana dapat terhapus karena

adanya sebab tertentu, baik yang berkaitan dengan perbuatan pelaku tindak

pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat jarimah.

Terhapusnya pertanggungjawaban pidana karena perbuatan yang dilakukan itu

diperbolehkan oleh syara’. Seperti seseorang yang terpaksa membunuh

seseorang pencuri untuk menyelamatkan jiwa serta hartanya. Selain itu,

perbuatan yang dilakukan termasuk dalam kategori kedua, yang berhubungan

dengan kondisi pelaku karena perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang,

namun pelakunya tidak dijatuhi hukuman karena keadaan yang ada dalam

dirinya.104

Para ulama sepakat bahwa pelaku langsung itu harus dikenai hukuman

meskipun ia melaksanakan perbuatan itu bersama orang lain dengan menyuruh

orang lain, hanya saja hukuman yang dikenakan kepada setiap pelaku itu sangat

tergantung kepada sifat perbuatannya, sifat pelakunya dan niat daripada si

pelaku tersebut. Misalnya bagi seorang pelaku perbuatan itu dilakukan sebagai

pembelaan terhadap diri sendiri, sedangkan bagi orang yang menyuruh

merupakan suatu kejahatan. Bagi seorang pelakunya hal itu merupakan suatu

tindakan kesalahan atau kealpaan, sedangkan bagi orang yang menyuruh

merupakan tindakan sengaja.105

103 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam..., hlm 588. 104 Ibid, hlm 589. 105 Dzajuli, Fiqh Jinayah..., hlm 18-19.

Page 62: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

Mengenai turut serta dalam melakukan perbuatan jarimah, dalam hukum

Islam ada dua bentuk penyertaan dengan pertanggungjawaban dari masing-

masing bentuk penyertaan tersebut, yang pembagiannya sebagai berikut:

Pertama, turut berbuat jarimah langsung. Kedua, turut berbuat jarimah tidak

langsung. Jika dilihat kedua bentuk tersebut diatas dapat dilihat penjelasan

dibawah ini:

1. Turut berbuat jarimah langsung (isytirakul al-mubasyir)

Perbuatan jarimah secara langsung dalam pelaksananaannya terbagi

menjadi dua bentuk, yakni: pertama, pelaku jarimah berbuat secara kebetulan

(tawafuq) dan kedua adanya kesepakatan para pelaku untuk melakukan

kejahatan tersebut (tamalu).106 Oleh karena itu, dalam hal

pertanggungjawaban jarimah turut serta secara tawafuq, pelaku

bertanggungjawab tanpa dibebani hasil perbuatan yang dilakukan oleh orang

lain, seperti dijelaskan dalam Q.S. Al-An’am ayat 164 sebagai berikut:

Artinya:

“Katakanlah (Muhammad), Apakah (patut) aku akan mencari Tuhan

selain Allah. Padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap

perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggungjawab.

Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian

106 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013),

hlm 227.

Page 63: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukannya

kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.”107

Yang berarti bahwa orang yang melakukan suatu jarimah tersebut,

maka pertanggungjawaban hukumannya akan kembali pada dirinya sendiri

atau pembuat jarimah tersebut.

Berbeda dengan turut serta tamalu, semua pelaku turut serta dalam

berbuat jarimah, bertanggungjawab atas apa yang terjadi, sehingga

menetapkan hukumannya itu dipandang adil, seperti firman Allah Swt dalam

Q.S An-Nisa ayat 58 sebagai berikut:

Artinya:

“Sesungguhnya allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila

menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu

menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya allah sebaik-baik yang

memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya allah adalah maha

mendengar lagi maha melihat.”108

Maksud dari ayat tersebut bahwa pelaku jarimah secara tamalu, dalam

hal bahwa hukuman atas apa yang telah mereka lakukan harus dikenakan

secara adil tanpa terkecuali. Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa pelaku

jarimah berbuat secara kesepakatan (tamalu), sudah tentu ia melakukan

dengan sengaja.

107 Kementerian Agama RI, Al-Quran Terjemah Tafsiryah, (Bandung: Syaamil, 2013), hlm

150 108 Ibid, hlm 87.

Page 64: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

2. Berbuat jarimah secara tidak langsung (Isytirak Ghairi al-Mubasyir)

Setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk

melakukan suatu jarimah, menyuruh orang serta pembantuan. Sebagaimana

dalam hukum Islam menetapkan mengenai pertanggungjawaban terhadap

hukuman bagi pelaku turut serta berbuat jarimah tidak langsung yakni pidana

ta’zir109. Adapun jarimah yang ditentukan syara’ hanya jarimah hudud110,

qishas111, dan diyat112. Sebab, dalam turut serta melakukan jarimah tidak

langsung, tidak ditentukan oleh syara’ (baik bentuk maupun macam

hukumnya). Oleh karena itu, sanksi pelaku turut serta dalam berbuat jarimah

secara tidak langsung, maka hukumannya adalah ta’zir..113

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban

dalam hukum Islam terhadap orang yang menyuruh melakukan adalah

dikenakan hukuman ta’zir. Sebagaimana diketahui bahwa hukuman ta’zir

yang sifatnya mendidik dimana pelakunya tidak dikenai had114. Ancaman

hukuman ta’zir ditentukan oleh penguasa atau dalam hal ini biasanya disebut

hakim untuk memberikan pelajaran bagi pelakunya. Dalam memberikan

hukuman tersebut berupa hukuman penjara, skorsing atau pemecatan, ganti

109 Ta’zir secara etimologi berarti menolak atau mencegah, yang bertujuan untuk mencegah

yang bersangkutan mengulangi kembali perbuatannya dan menimbulkan efek jera pada pelaku. 110 Hudud berarti sanksi-sanksi yang ditetapkan kadarnya untuk memenuhi hak Allah SWT. 111 Qishas adalah pembalasan yang sepadan atau setimpal dengan kadar kejahatan. 112 Diyat adalah harta yang dibebankan karena adanya tindak kriminal atau yang sering

disebut dengan denda. 113 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013),

hlm 593. 114 Had adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’ dalam rangka mencegah seseorang

untuk melakukan tindakan kriminal yang menyebabkan timbulnya hukuman tersebut.

Page 65: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata dan jenis hukuman lainnya akan

diberikan kepada pelakunya sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.115

B. Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menyuruh Melakukan Penganiayaan

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Tanggung jawab merupakan salah satu ciri dari manusia yang memiliki

adab. Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau

buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa ada pihak lain yang

memerlukan keadilan.116 Tanggung jawab timbul berdasarkan prinsip manusia

itu hidup bermasyarakat dan manusia tidak boleh berbuat semaunya terhadap

manusia lain, harus menghormati dan melindungi haknya maupun hak orang

lain.117

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap

pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan

yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada

kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur tindak

pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu

pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna

bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum,

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut

mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.118 Dasar

115 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah cet ke-4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012), hlm 392. 116 http:/baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20,manusia-dan-tanngungjawab

(akses tanggal 20 juni 2019) 117 http:/mhaidarharif.wordpress.com/2012/05/02/manusia-dan-tanggungjawab (akses

tanggal 20 juni 2019) 118 Rachmat, Akuntasi Pemerintahan, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 42.

Page 66: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam

hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana berdasarkan

kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya itu.

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana merupakan konsep

sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Kesalahan dalam arti sempit dapat

berbentuk sengaja (opzet) atau lalai (culpa). Dalam bahasa latin ajaran kesalahan

ini disebut dengan sebutan “mens rea”. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu

perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran

seseorang itu jahat. Pertanggungjawaban pidana adalah penilaian apakah

seseorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak

pidana yang terjadi.119

Seseorang tersangka atau terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas

suatu tindak pidana yang dilakukan dan dapat dipidana jika mempunyai

kesalahan, yakni apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari

segi masyarakat, dia dapat dicela, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika

memang tidak ingin berbuat demikian. Pertanggungjawaban pidana pada

hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana

untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu

perbuatan tertentu.120

Seseorang dapat dipidana jika orang tersebut telah melakukan perbuatan

yang bersifat melawan hukum, serta mempunyai kesalahan dan mampu

119 Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2020), hlm 93. 120 Ibid, hlm 94.

Page 67: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

bertanggungjawab. Kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada

orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan

tersebut dengan perbuataan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga orang itu

dapat dicela karena melakukan perbuatan. Berdasarkan hal tersebut diatas untuk

adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan

pidana, yaitu pertama, adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu, dan kedua,

adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan

yang dilakukan hingga menimbulkan celaan.121

Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas mengenai

kemampuan bertanggungjawab pidana. KUHP diseluruh dunia pada umumnya

tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab yang diatur ialah

ketidakmampuan bertanggungjawab. Seperti pada pasal 44 ayat (1) KUHP justru

merumuskan keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu

beranggungjawab untuk tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan

dari kemampuan bertanggungjawab. Doktrin hukum pidana, mengenal dua

sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana pada penyertaan, yaitu:

1) Mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama kedalam

suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara

sama dengan orang yang sendirian melakukan tindak pidana tanpa

dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa

yang ada dalam sikap batinnya.

2) Mengatakan bahwa masing-masing orang yang secara bersama

terlibat dalam suatu tindak pidana dipandang dan

dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yaitu berat ringannya sesuai

dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang

dalam mewujudkan tindak pidana.122

121 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm 158. 122 Kanter, Asas-Asas..., hlm 253.

Page 68: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia pertanggungjawaban (pidana)

menjurus kepada pemidanaan pelaku yang telah melakukan suatu tindak pidana

dan memenuhi unsur-unsurnya yang sudah dirumuskan dalam Undang-Undang.

Sebagaimana diketahui, bahwa terjadinya suatu tindakan terlarang yang

kemudian mengharuskan pelaku tersebut untuk mempertanggungjawabkan

tindakan yang telah dilakukannya tersebut. Orang yang telah melanggar hukum

akan dikenakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.

Dalam doenplegen terdapat dua pihak, yaitu pelaku langsung (orang yang

disuruh) dan pelaku tidak langsung (orang yang menyuruh). Pelaku langsung

tidak dapat dipidana karena ia hanya digunakan sebagai alat dalam perbuatan

pidana tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 44 KUHP, bahwa pelaku

tidak dapat bertanggungjawab atas perbuatannya jika terganggu jiwanya, dimana

dalam hal ini orang yang disuruh hanya sebagai alat. Ada beberapa alasan yang

menghilangkan kesalahan yaitu: kurang sempurna akalnya, diancam, tidak

bersalah sama sekali, belum dewasa dan menjalankan perintah jabatan yang

diberikan oleh pimpinan.

Apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan, atau tanpa

tanggungjawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk

pada kekerasan dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:

1. Melakukan tindak pidana dengan perantara orang lain sebagai alat.

Orang yang menguasai orang lain sebagai alat untuk mewujudkan

suatu tindak pidana, dengan memberikan atau menjanjikan sebuah

upah atau hadiah. Penyuruhnya tidak melakukan sesuatu perbuatan

Page 69: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

aktif, akan tetapi ia menjadi otak dari terjadinya tindak pidana

tersebut.123

2. Orang lain itu yang berbuat:

a. Tanpa kesengajaan (manus ministra);

Perbuatan manus ministra adalah perbuatan yang telah

mewujudkan suatu tindak pidana, namun tidak ada kesalahan

didalamnya, baik karena kesengajaan maupun kealpaan. Contoh

karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu

menyuruh pembantunya berbelanja dipasar dengan menyerahkan

10 lembar uang yang diketahuinya palsu. Dimana pembantu

tersebut sebagai manus ministra dalam kejahatan mengedarkan

uang palsu. Keadaan yang tidak diketahuinya itu yang berarti pada

dirinya tidak ada unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan).124

b. Tanpa kealpaan;

Kealpaan adalah kelalaian atau keteledoran. Contohnya

seorang ibu membenci seorang pemulung karena seringnya

mencuri benda-benda yang diletakkan dipekarangan rumah. Pada

suatu hari ia membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia

menyuruh pembantunya untuk menumpahkan air panas dari atas

jendela dan mengenai pemulung tersebut. Pada diri pembantu tidak

ada kelalaian, diketahuinya selama ini bahwa karena keadaan

123 Ibid, hlm 213. 124 Ibid, hlm 214.

Page 70: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

tidaklah mungkin ada dan tidak pernah ada orang yang berada

dibawah jendela dan perbuatan seperti ini sudah sering pula

dilakukannya.

Tanpa tanggungjawab, oleh sebab keadaan, seperti: yang tidak

diketahuinya, karena disesatkan atau karena tunduk pada kekerasan. Sebagai

hal yang juga penting, bahwa orang yang disuruh tidak dapat dipidana, sebagai

konsekuensi logis dari keadaan subjektif (batin: tanpa kesalahan atau

tersesatkan) dan tidak berdaya karena pembuat materiilnya tunduk pada

kekerasan (objektif). Walaupun tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata

subjektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiil (orang yang

disuruh melakukan) karena ia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal yang tidak

dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang-orang yang dipakai sebagai

alat, yakni tidak tau dan tersesatkan, merupakan sesuatu yang subjektif.

Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif.125

Misalnya, dengan upah Rp. 5.000.000, A menyuruh B untuk menganiaya

C. Setelah B melaksanakan penganiayaan ternyata menimbulkan akibat

kematian pada C, maka B sebagai pembuat pelaksana pada penganiayaan yang

menimbulkan kematian. Atas perbuatannya, maka B diancam dengan pasal 351

ayat 3 KUHP yang berbunyi:

125 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm

542.

Page 71: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun

delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling

lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.126

Dan jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang berbunyi:

(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang

turut serta melakukan perbuatan;

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan

sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya

melakukan perbuatan

(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan

sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.127

Dan A disebut sebagai berkualias karena pembuat pelaksana (pleger)

pada penganiayaan yang menimbulkan kematian dipidana dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun, sebagaimana pada pasal 351 ayat 3 KUHP, dan

jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Akan tetapi bila pelaku melakukan penganiayaan

dengan mengakibatkan luka-luka, maka penyuruh pelaksana dapat dipidana

126 Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 127 Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Page 72: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

dengan pidana penjara selama delapan tahun, disebutkan pada pasal 354 ayat 1

KUHP, yang berbunyi:

(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam

karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling

lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.128

Dan bila mengakibatkan kematian, maka orang yang menyuruh

pelaksanaan penganiayaan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling

lama sepuluh tahun, seperti yang disebutkan pada pasal 354 ayat 2 KUHP di

atas.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban

terhadap orang yang menyuruh melakukan tindak pidana penganiayaan menurut

hukum pidana positif tergantung pada perbuatan itu sendiri. Orang yang

menyuruh melakukan pertanggungjawabannya sama dengan orang yang

melakukan, karena orang yang menyuruh melakukan merupakan aktor

intelektual dibelakang perbuatan tersebut. Karena tanpa ada yang menyuruh,

seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan melawan hukum.

128 Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Page 73: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

C. Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjawaban Orang yang Menyuruh

Melakukan Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP

Setelah dianalisa secara mendalam, ditemukan bahwa baik Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia maupun hukum

Pidana Islam, memberikan kedudukan pertanggungjawaban yang berbeda-beda

terhadap pelaku turut serta dalam melakukan suatu jarimah. Adapun Persamaan

dan Perbedaan dari keduanya adalah sebagai berikut:

1. Persamaannya

Memberikan efek jera kepada pelaku

Dilakukan oleh lebih dari satu orang (pelaku) atau beberapa orang

Terjadi secara kebetulan ataupun melalui kesepakatan

Merupakan suatu perbuatan jarimah/delict

Suatu ajaran tentang pertanggungjawaban

Memiliki pelaku langsung dan tidak langsung

Masing-masing pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya

Dalam KUHP dan hukum Islam mengenal orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (terganggu karena penyakit

atau cacat kejiwaan dan pengaruh daya paksa).

2. Perbedaanya

Dalam hukum pidana Islam hukuman bagi orang yang melakukan

penganiayaan adalah dikenakan sanksi qishas sedangkan orang yang

menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain adalah dikenakan

hukuman takzir yang jumlah atau jenis hukumannya ditentukan oleh

Page 74: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

penguasa atau hakim. Hukuman tersebut dapat berupa penjara, kurungan,

denda, skorsing, pemecatan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana orang yang menyuruh melakukan

penganiayaan terhadap orang lain hukumannya sama dengan orang yang

melakukan, sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 55 KUHP. Jika

penganiayaan tersebut mengakibatkan luka-luka maka orang yang menyuruh

tersebut dipidana dengan pidana penjara selama delapan tahun, sebagaimana

yang disebutkan dalam pasal 354 ayat 1. Dan bila mengakibatkan kematian,

maka orang yang menyuruh tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara

paling lama sepuluh tahun, seperti yang disebutkan dalam pasal 354 ayat 2

KUHP.

Dalam hukum Islam, batas hukumannya ditentukan oleh hakim. Sedangkan

dalam hukum positif sudah diatur dalam Undang-Undang.

Penyertaan dalam KUHP memiliki 5 bentuk (mereka yang melakukan,

menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menganjurkan dan membantu

melakukan) sedangkan dalam hukum islam ada 2 bentuk (turut berbuat

jarimah langsung dan turut berbuat jarimah tidak langsung).

Pertanggungjawaban terhadap pelaku turut serta menurut KUHP mengenal 2

sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana yakni, pertama

pertanggungjawaban secara bersama-sama tanpa melihat besar kecilnya

peran pelaku dalam melakukan perbuatan pidana, kedua pertanggungjawaban

masing-masing pelaku atas perbuatan pidana yang dilakukan. Sedangkan

Page 75: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

dalam hukum Islam hanya dikenakan satu pertanggungjawaban bagi orang

yang turut serta dalam perbuatan pidana, yaitu dikenakan hukuman ta’zir.

Page 76: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

63

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka

akhirnya sampailah penulis untuk mengemukakan beberapa kesimpulan yang

merupakan inti dari skripsi ini, adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh melakukan

dalam hukum Islam memberikan kedudukan pertanggungjawaban terhadap

mereka yang menyuruh melakukan tindak pidana dikenakan sanksi ta’zir,

yaitu: suatu hukuman yang ditentukan oleh penguasa, atau dalam hal ini

biasanya disebut hakim untuk memberikan pelajaran bagi pelakunya. Sanksi

tersebut bisa berupa hukuman penjara, skorsing atau pemecatan, ganti rugi,

pukulan, teguran dan kata-kata yang diberikan kepada pelakunya.

2. Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh melakukan

tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dikenakan pasal 55 KUHP, yaitu tergantung pada perbuatan itu sendiri. Pada

penganiayaan dengan mengakibatkan luka-luka, maka penyuruh pelaksana

dapat dipidana dengan pidana penjara selama delapan tahun, disebutkan pada

pasal 354 ayat 1. Dan bila mengakibatkan kematian, maka orang yang

menyuruh pelaksanaan penganiayaan tersebut dapat dipidana dengan pidana

penjara paling lama sepuluh tahun, seperti yang disebutkan pada pasal 354

ayat 2 KUHP.

Page 77: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

3. Setelah dianalisa secara mendalam, ditemukan bahwa baik Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia maupun hukum

Islam, memberikan kedudukan pertanggungjawaban yang berbeda-beda

terhadap pelaku turut serta dalam melakukan suatu jarimah. Persamaannya

yaitu, sama-sama memberikan efek jera kepada pelaku, dilakukan lebih dari

satu orang, terjadi secara kebetulan ataupun melalui kesepakatan, serta dalam

KUHP dan hukum Islam mengenal orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (terganggu karena penyakit atau

cacat kejiwaan dan pengaruh daya paksa). Sedangkan perbedaannya adalah

dalam hukum Islam, batas hukumannya ditentukan oleh hakim, yaitu

dikenakan hukuman ta’zir.sedangkan dalam hukum positif sudah diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu

pertanggungjawabannya dikenakakan Pasal 55 KUHP.

B. Saran

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang terdapat didalam pembahasan

skripsi yang penulis susun dan dihubungkan dengan kondisi kehidupam pada

Abad ke-21 ini, kejahatan semakin meningkat dan semakin bervariasi sesuai

dengan perkembangan zaman, maka penulis ingin memberikan saran-saran

yaitu:

1. Memberikan sosialisasi hukum yang berkesinambungan dengan masyarakat

setempat dengan menggunakan teknik-teknik tertentu seperti mengadakan

seminar, penyuluhan dan lain-lain.

Page 78: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

2. Melakukan gerakan sadar hukum. Dengan melakukan gerakan sadar hukum

dapat memberikan pengarahan terhadap masyarakat bahwa segala sesuatunya

mempunyai kekuatan hukum dan suatu pertanggungjawaban.

3. Melakukan pendekatan secara persuasive kepada masyarakat mengenai

pertangungjawaban atas tindakan apa yang dilakukan.

Page 79: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

66

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

A. Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. cet. Ke-2. Jakarta: Bulan Bintang.

1976.

Abdul Qadir ‘Audah. at-Tasyri’I al-Jina’I al-Islami. II Beirut : Dar al-Kitab al-

‘Arabi, t.t. 1990.

Abdul Salam Siku. Hukum Pidana II. Ciputat: Pustaka Rabbani Indonesia.

2015.

Adami Chazawi. Percobaan dan Penyertaan. Jakarta: Rajawali Press. 2011.

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Rajawali Pers.

2014.

Ahmad Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian III. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada. 2002.

Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:

Sinar Grafika. 2006.

Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana. 2003.

As-Sayyid Sabiq. Fiqh as-Sunnah. III Kairo : Dar al-Fath Lil I’lam al-‘Arabi.

1990.

Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi

Islam dan Kemasyarakatan. 1992.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka. 1990.

Dirdjosisworo Soejono. Hukum-Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti. 1990.

Hendra Alkhadhiat. Psikologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia. 2014.

Ibnu Rusyd. Bidayatu’l Mujtahid. Semarang: CV.ASY-SYIFA. 1990.

Ishaq. Hukum Pidana. Depok: PT RajaGrafindo Persada. 2020.

Ishaq. Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi.

Bandung: Alfabeta. 2017.

Page 80: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

Ismu Gunadi. Hukum Pidana. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri. 2014.

Kanter. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:

Storia Grafika. 2002.

Kementerian Agama RI. Al-Quran Terjemah Tafsiryah. Bandung: Syaamil.

2013.

Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

2014.

Lexy J Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

2004.

Loebby Loqman. Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana.

Jakarta: Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan. 1995.

Madjloes. Pengantar Hukum Pidana Islam. Jakarta: CV Amelia. 1980.

Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.

Mardani. Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.

Masdar Farid Mas’udi. Syarah UUD 1945 Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka

Alvabet. 2013.

Muhammad Ainul Syamsu. Pergeseran Turut Serta dalam Ajaran Penyertaan.

Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri. 2014.

Mustofa Hasan. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia.

2013.

R. Soenarto Soerodibroto. KUHP dan KUHAP. Jakarta: Pustaka Buana. 2014.

Rachmat. Akuntasi Pemerintahan. Bandung: Pustaka Setia. 2010.

Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia.

2000.

Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah cet ke-4. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2012.

Sudarto. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001.

Suharsini Arikunto. Manajemen Penelitian. Jakarta: Reineka Cipta. 2000.

Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi. Jambi: Syariah Press.

2012.

Tirtamidjaja. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fresco. 1995.

Page 81: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

Umar Said Sugiarto. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta Timur: Sinar

Grafika. 2015.

Wiryono Projodikoro. Tindak-Tindak Pidana Khusus di Indonesia. Bandung:

Eresco. 1986.

Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.

B. Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

C. Skripsi

Ardiansyah. Tinjauan Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Studi Kasus

Putusan PN No. 707/Pid.B/2013 PN.Mks, Fakultas Hukum, Universitas

Hasanuddin Makassar tahun 2014

Badriyah, Siti. "Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Hukum Islam Hukum

Positif: Studi Kasus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan."

Indiati, Nanda. 2012. "Delik Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian

Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif."

Indriani, Novia Eka Putri. Sanksi Tindak Pidana Penganiayaan Ibu Hamil

Yang Mengakibatkan Kematian Janin Oleh Suami Terhadap Istri

Perspektif Hukum Pidana Islam.

Mutmainnah, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Yang Melakukan

dan Menyuruh Melakukan Dalam Kasus Penganiayaan Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam

Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi tahun 2013.

Rizki Febrian, Sanksi Terhadap Pelaku Penganiayaan Ibu Hamil Yang

Menyebabkan Kematian Janin Dilihat Perspektif Hukum Positif Dan

Hukum Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sulthan

Thaha Saifuddin Jambi tahun 2015.

Rosa Hoirisma Zulka, Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Menurut

Hukum Adat dan Hukum Pidana, Fakultas Syariah, Universitas Islam

Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi tahun 2017.

D. Website

http://kbbi.web.id/tanggungjawab.com akses tanggal 13 januari 2020

http:/baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20,manusia-dan-

tanngungjawab akses tanggal 20 juni 2019

Page 82: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

http:/mhaidarharif.wordpress.com/2012/05/02/manusia-dan-tanggungjawab

akses tanggal 20 juni 2019

http:/wulanpradnyasari.blogspot.co.id/2012/10/09penyertaan-dan

pembantuan_7244.html akses tanggal 17 februari 2020

http://www.gresnews.com/mobile/berita/tips/81865-mengenal-tindak-pidana-

penganiayaan-berat/ diakses tanggal 7 februari 2020

Page 83: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG …

CURRICULUM VITAE

Nama : WIDIA ASTUTI

Tempat Tanggal Lahir : SEMABU, 31 Desember 1998

Email : [email protected]

No. Kontak HP : 0821-8407-2431

Alamat : Desa Semabu, Rt.02, Kec. Tebo Tengah, Kab. Tebo

Fendidikan Formal

1. SDN 12 Ds. Semabu, Kecamatan Tebo Tengah, Kabupaten Tebo, Provinsi

Jambi

2. SMP N 28 KABUPATEN TEBO

3. SMA N 3 TEBO

Pengalaman Organisasi

1. Karang Taruna ( 2016-2020)

Moto hidup : Jangan pernah berhenti untuk berjuang hanya karena

satu kegagalan, karena masih banyak kesuksesan yang

menanti untuk kau temui dimasa yang akan datang.

Jambi, 20 Mei 2020

WIDIA ASTUTI

SHP.162206