pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak
TRANSCRIPT
i
TESIS
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI
DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN
DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
TESIS
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI
DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN
DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA
NIM: 1390561058
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI DALAM
TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA
NIM. 1390561058
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 6 AGUSTUS 2015
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS. Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH.
NIP. 19530914 197903 1 002 NIP. 19620605 198803 1 020
Mengetahui,
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K)
NIP.19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal 5 Agustus 2015
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 2120/UN14.4/HK/2015, Tanggal 3 Agustus 2015
Ketua : Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS
Sekretaris : Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH.
Anggota : 1. Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH.
2. Dr. I Gede Artha, SH.,MH
3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Dessy Lina Oktaviani Suendra
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana
Perbankan Tanpa Ijin
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima
sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 6 Agustus 2015
Yang menyatakan,
Dessy Lina Oktaviani Suendra
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Om Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa), karena atas berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI
DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN”.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada
Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS., Pembimbing I yang telah penuh perhatian
dan kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis.
Terimakasih penulis ucapkan juga kepada Dr. Ida Bagus Surya Darmaja, SH.,MH,
Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam
penyusunan tesis ini.
Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.
Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD KEMD, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister
(S2) Ilmu Hukum di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan
kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka
Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi
mahasiswa Program Magister (S2) Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas
vii
Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., atas ijin
yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister (S2)
Ilmu Hukum. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih
kepada Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Dr. Ni Ketut Supasti
Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM, para penguji tesis, yaitu Dr. Gde Made Swardhana,
SH.,MH, Dr. I Gede Artha, SH.,MH, dan Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra,
SH.,M.Hum, yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi dalam
penyempurnaan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada para
Dosen Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah mengajar
dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Magister (S2) Ilmu
Hukum Universitas Udayana. Para pegawai administrasi Program Magister (S2) Ilmu
Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam pengurusan
administrasi penulis selama perkuliahan, serta para pegawai perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam memperoleh
literatur yang dibutuhkan selama penyusunan tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Ayahanda dan Ibunda tercinta, kakak, serta teman-teman yang sangat penulis cintai
dan banggakan yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi dalam
penyusunan tesis ini. Teman-teman MH’13 seluruhnya, yang telah banyak
memberikan masukan, saran, semangat, dan motivasi sehingga penyusunan tesis ini
selesai tepat pada waktunya.
viii
Penulis menyadari bahwa materi yang disajikan dalam tesis ini masih jauh
dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman
yang dimiliki penulis. Oleh karena keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun guna kelengkapan dan penyempurnaan tesis ini.
Akhir kata, penulis harapkan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi para pembaca.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Denpasar, Agustus 2015
Penulis,
ix
ABSTRAK
Koperasi dipandang sebagai usaha yang dapat membantu perbaikan tingkat
kehidupan ekonomi dikarenakan pada hakikatnya Koperasi membantu berdasakan
asas tolong menolong. Namun Koperasi di Indonesia saat ini tidak terlepas dari
kemungkinan melakukan tindak pidana, salah satunya tindak pidana perbankan
terkait perijinan. Konflik norma terjadi dalam pengaturan pertanggungjawaban
pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, di mana dalam UU
Perkoperasian hanya diatur mengenai sanksi administrtif bagi koperasi namun
pengurus koperasi tidak dikenakan sanksi pidana, sedangkan dalam UU Perbankan
diatur mengenai sanksi pidana bagi pengurus/pimpinan koperasi. Berdasarkan latar
belakang tersebut maka didapatlah rumusan masalah yaitu: 1) Bagaimakah
pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang
dilakukan oleh koperasi 2) Siapakah yang bertanggungjawab bilamana koperasi
melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi kepustakaan dengan
menggunakan metode sistematis melalui card system. Teknik analisis bahan hukum
yang digunakan adalah teknik analisis deskripsi, teknik argumentasi, dan teknik
analisis interpretasi. Dari keseluruhan data-data terkait akan diolah dan dianalisis
dengan cara menyusun data tersebut secara sistematis dan selektif, kemudian data
tersebut dianalisis dalam bentuk uraian-uraian yang disertai dengan penjelasan teori-
teori hukum.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbuatan koperasi yang dapat
dipertanggungjawabkan pidana adalah tindak pidana penggelapan, tindak pidana
penipuan, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana
perbankan yang dapat dilakukan oleh koperasi adalah tindak pidana perbankan terkait
perijinan, di mana untuk saat ini dalam pertanggungjawaban pidananya masih
mengacu pada UU Perbankan yang memberikan sanksi pidana bagi orang yang
memberikan perintah/ pemimpin. Sedangkan pihak yang bertanggungjawab apabila
koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin adalah pengurus koperasi.
Kata Kunci : Koperasi, Pertanggungjawaban Pidana, Perbankan
x
ABSTRACT
Cooperatives seen as an attempt to help improve the level of economic life
because in essence Cooperative Based on the principle of helping assist. However
Cooperative in Indonesia today is inseparable from the possibility of a criminal act,
one criminal offense related banking licenses. Conflicts occur in the setting of norms
of criminal responsibility in the cooperative banking activities without a license,
where the Cooperatives Act only regulates the sanctions administrtif for
cooperatives, but cooperative management is not subject to criminal sanctions, while
the Banking Act regulated the criminal sanctions for the management / leadership of
the cooperative. Based on this background, the obtained formulation of the problem,
namely: 1) How is criminal responsibility in case of banking criminal acts without
permission undertaken by cooperatives 2) Who is responsible for committing a crime
when the cooperative banking without permission.
This research is a normative legal research. The legal materials used in this
study include primary legal materials, secondary, and tertiary. Data collection
techniques used is literature study technique using a systematic method through the
card system. Legal materials analysis techniques used are descriptive analysis
technique, argumentation technique, interpretation and analysis techniques. Of
overall relevant data will be processed and analyzed by arranging such data
systematically and selectively, then the data is analyzed in terms of the descriptions
are accompanied by an explanation of the theories of law.
These results indicate that the cooperative actions that can be accounted for
criminal is a criminal offense embezzlement, criminal fraud, banking criminal acts
and corruption. As for the banking criminal acts that can be performed by the
cooperative is a criminal offense related banking licenses, in which for the moment in
its criminal liability still refers to the Banking Act which provide criminal sanctions
for those who give orders / leader. While the parties responsible for committing a
crime if the cooperative banking without permission is a cooperative management
Key words : Cooperative, Criminal Liability, Banking
xi
RINGKASAN
Penelitian tentang Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana
Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin, disusun dalam lima bab yang secara garis
besar dapat diuraikan sebagai berikut :
Bab I menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi penyusunan
penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan umum dan
tujuan khusus, manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat
praktis, orisinalitas penelitian, landasan teoritis, kerangka berpikir penelitian, dan
metode penelitian.
Bab II menguraikan tentang tinjauan umum yang berupa tinjauan secara garis
besar tentang konsep yang tertuang dalam judul penelitian, yakni
pertanggungjawaban pidana (meliputi pengertian pertanggungjawaban pidana dan
pertanggungjawaban pidana korporasi), koperasi (meliputi pengertian koperasi, latar
belakang berdirinya koperasi, tujuan koperasi, sifat koperasi, nilai dan prinsip
koperasi serta jenis-jenis koperasi), dan tindak pidana perbankan tanpa ijin (meliputi
pengertian tindak pidana perbankan tanpa ijn dan pengaturan tindak pidana
perbankan tanpa ijin).
Bab III adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan
masalah pertama yakni, pertanggungjawaban pidana koperasi. Bab ini terdiri dari tiga
sub bab, dimana sub bab pertama menguraikan tentang perbuatan tindak pidana yang
berkaitan dengan koperasi, sub bab kedua membahas tentang koperasi sebagai
xii
korporasi, dan sub bab ketiga membahas tentang pertanggungjawaban pidana oleh
koperasi.
Bab IV adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan
masalah kedua yakni, pihak-pihak yang dapat dipertanggungjawabkan pidana dalam
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Bab ini terdiri dari dua sub bab, dimana
sub bab pertama membahas tentang pihak-pihak koperasi yang dapat
dipertanggungjawabkan pidana dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin,
sedangkan sub bab kedua membahas tentang formulasi kebijakan pertanggung-
jawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin
Bab V adalah bab penutup yang terdiri dari sub bab simpulan dan saran.
Simpulan merupakan hasil dari pembahasan penelitian baik terhadap rumusan
masalah pertama maupun rumusan masalah kedua, sedangkan saran memuat hal-hal
yang dapat direkomendasikan terkait dengan permasalahan dalam penelitian sebagai
bentuk jalan keluar atas permasalahan yang dikemukakan, sehingga layak untuk
dilaksanakan.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ............................................................................. i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...........................................ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ....................................................... iv
UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT ............................................................................................................ ix
RINGKASAN .......................................................................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.1 Rumusan Masalah ............................................................................................... 10
1.2 Ruang Lingkup Masalah ..................................................................................... 10
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 10
1.4.1 Tujuan Umum........................................................................................... 10
1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................................... 11
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 11
xiv
1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................................... 11
1.5.2 Manfaat Praktis......................................................................................... 11
1.6 Orisinalitas Penelitian ........................................................................................ 12
1.7 Landasan Teoritis ............................................................................................... 16
1.7.1 Kerangka Berpikir ................................................................................... 40
1.8 Metode Penelitian .............................................................................................. 42
1.8.1 Jenis Penelitian ......................................................................................... 42
1.8.2 Jenis Pendekatan ....................................................................................... 44
1.8.3 Sumber Bahan Hukum.............................................................................. 45
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................................ 46
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................................. 47
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1 Pertanggungjawaban Pidana .............................................................................. 49
2.2 Koperasi ............................................................................................................. 54
2.4 Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin ................................................................. 66
xv
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BILAMANA TERJADI TINDAK
PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN YANG MELIBATKAN KOPERASI
3.1 Perbuatan Koperasi yang Dapat Dipidanakan .................................................... 74
3.2 Koperasi sebagai Korporasi ............................................................................... 95
3.3 Pertanggungjawaban Pidana oleh Koperasi ....................................................... 99
BAB IV PIHAK-PIHAK KOPERASI YANG DAPAT DIPERTANGGUNG-JAWABKAN
PIDANA DALAM MELAKUKAN KEGIATAN PERBANKAN TANPA IJIN
4.1 Pihak-Pihak Koperasi yang dapat Dipertanggungjawabkan Pidana dalam Melakukan
Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin ......................................................................... 121
4.2 Formulasi Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi yang Melakukan
Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin ....................................................................... 145
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 162
5.2 Saran ................................................................................................................ 163
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah Perang Dunia II berakhir, konsentrasi masyarakat telah berpusat pada
pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah
menunjukkan pengembangan ekonomi yang cukup pesat, namun juga membawa
suatu permasalahan baru yang serius yaitu kesenjangan ekonomi yang semakin tajam
antara kesejahteraan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara maju dengan
negara-negara berkembang. Negara maju terdiri dari 20 persen penduduk dunia,
menikmati sekitar ⅔ penghasilan dunia. Sementara negara-negara berkembang yang
berpopulasi 50 persen dari penduduk dunia, menikmati sekitar ⅛ pendapatan dunia,
dan negara-negara miskin yang berpenduduk sekitar 30 persen dari penduduk dunia
hanya menikmati 3 persen dari pendapatan dunia.1
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, berdasarkan penjelasan di
atas hanya menikmati ⅛ dari pendapatan dunia. Ketimpangan ini membuat
Pemerintah Indonesia termotifasi untuk semakin menggiatkan perekonomian
Indonesia. Salah satu cara untuk menggiatkan perekonomian tersebut adalah dengan
menunjang kaum yang ekonominya lemah agar dapat memperbaiki ekonominya dan
hidup mandiri.
1 Bulajic, Milan, 1998, Principles of International Development Law, Martinus Niijhoff
Publishers, The Netherlands, page. 20-23, dikutip dari Lili Rasjidi, Wyasa Putra, 2003, Hukum
Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, Hal.170
2
Koperasi didirikan untuk melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan
ekonomi dari orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang-orang yang
jatuh miskin sebagai akibat pelaksanaan sistem kapitalisme.2 Koperasi dipandang
sebagai usaha yang dapat membantu perbaikan tingkat kehidupan ekonomi
dikarenakan pada hakikatnya Koperasi membantu berdasakan asas tolong menolong.
Dikemukakan oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in
Indonesia bahwa:
koperasi adalah melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya
berdasarkan self-help dan tolong menolong di antara anggota-anggotanya yang
melahirkan di antara mereka rasa percaya pada diri sendiri dan persaudaraan.
Koperasi menyatakan semangat baru untuk menolong diri sendiri yang didorong
oleh keinginan member jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan.3
Secara etimologi, koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
cooperatives: merupakan gabungan kata co dan operation. Dalam bahasa Belanda
disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama. Dalam bahasa Indonesia
dilafalkan menjadi koperasi.4
Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang
beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005, Hukum Koperasi
Indonesia, Kencana, Jakarta, Hal. 14 3Ibid, hal. 19 4Ibid, hal. 15
3
Gerakan ekonomi kerakyatan yang berdasarkan atas asas kekeluargaan ini
juga dicantumkan dalam Pasal 33 UUD NKRI 1945 yaitu:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Asas kekeluargaan menjadi faktor yang penting dalam membangun
perekonomian bagi masyarakat karena mementingkan kepercayaan yang diberikan
sesama anggota dalam memberikan modal usaha sehingga dapat membantu
pengembangan perekonomiannya.
Inpres Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan
Pengembangan Perkoperasian dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia pada
saat itu untuk mempermudah perijinan pendirian Koperasi. Dikeluarkannya Inpres
Nomor 18 Tahun 1998 ini berdampak terhadap banyaknya jumlah koperasi yang ada
di Indonesia. Inpres Nomor 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan
wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas
usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah.5
Koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (yang selanjutnya disebut
KSP) merupakan jenis koperasi yang hampir menyerupai bank. Hal ini dikarenakan
5Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2002, Perkoperasian Sejarah, Teori dan Praktek,
Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.109
4
KSP juga menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan simpan pinjam
bagi para anggota koperasi yang berangkutan serta kepada koperasi lain dan
anggotanya Untuk dapat melakukan kegiatan tersebut tentunya KSP juga harus
mengikuti persyaratan-persyaratan yang ada untuk mendirikan suatu koperasi dan
apabila nantinya KSP tersebut akan melakukan kegiatan perbankan, maka koperasi
tersebut haruslah mendapat ijin/persetujuan dari Pimpinan Bank Indonesia terelebih
dahulu.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak koperasi yang tidak menjalankan
usahanya dengan menggunakan asas kekeluargaan. Koperasi yang mengusung
membantu perekonomian masyarakat miskin malah bergerak hanya untuk mencari
keuntungan saja dan melupakan tujuan untuk mensejahterakan seluruh anggota
koperasi. Dalam prakteknya banyak terdapat koperasi, khususnya koperasi simpan
pinjam di Indonesia yang anggotanya hanya mendaftarkan KTP-nya saja dan tidak
menyetor seluruh simpanan yang diwajibkan. Atau dengan kata lain, KTP tersebut
hanya formalitas dibalik pemodal utama yang merupakan aktor dibelakang layar yang
mengendalikan koperasi. Koperasi Simpan Pinjam juga dinilai sebagai korporasi di
mana koperasi terkadang hanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan
tidak jarang pula mencari keuntungan tersebut dengan cara yang tidak sesuai dengan
AD/ART Perkoperasian. Dan tidak jarang koperasi tersebut juga menyimpan dana
pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat
5
Contoh diatas menunjukkan salah satu tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh koperasi yaitu tindak pidana perbankan terkait perijinan yang jelas-jelas
melanggar Pasal 1 ayat 2 UU No.7/1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan yang
menerangkan bahwa hanya insitintusi perbankan yang diperbolehkan untuk
menyimpan dana pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat.6
UU No.7/ 1992 jo.UU No. 10/1998 tentang Perbankan menguraikan jenis-
jenis atau bentuk-bentuk tindak pidana perbankan yang diklasifikasikan ke dalam 13
jenis tindak pidana dengan unsur dan penerapan yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Dari ketiga belas jenis tindak pidana perbankan tersebut, pada dasarnya
dapat dikelompokkan kembali menjadi 5 kelompok utama, yaitu sebagai berikut:
1. Tindak Pidana yang berkaitan dengan perizinan
2. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank
3. Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan
oleh pengurus bank, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan pemegang saham
bank.
4. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank
5. Tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank7
Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan ini diatur dengan tegas dan
jelas dalam UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan pada Pasal 16,
Pasal 18, dan Pasal 20. Dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992
tentang Perbankan disebutkan bahwa “setiap pihak yang melakukan kegiatan
6 I Gede Hartadi Kurniawan, 2013, Tindakan Koperasi Simpan Pinjam yang Mengakibatkan
Perbuatan Tindak Pidana, dikutip dari http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/348,
diakses pada tanggal 26 Januari 2015 7Kristian, dan Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung,
Hal.44
6
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari
Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Sedangkan tindak
pidana yang berkaitan dengan pendirian bank tanpa izin (bank gelap) dapat
ditemukan dalam Pasal 46 UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan
menyatakan bahwa:
(1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa
izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal
16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau
koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik
terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang
bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Penjabaran Pasal 46 UU No. 7/1992 jo. UU N. 10/1998 tentang Perbankan tersebut
menjelaskan bahwa Koperasi juga dapat dikatakan melakukan tindak pidana
perbankan terkait perizinan dan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah bagi
mereka yang memberi perintah maupun yang bertindak sebagai pimpinan. Sehingga
dalam pasal ini secara tersirat menjabarkan bahwa Koperasi merupakan bagian dari
Korporasi dan juga sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana.
Berbeda halnya dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, koperasi
masih belum dapat dikatakan sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana.
7
Hal ini dikarenakan dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian tidak mengatur
mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada koperasi apabila melakukan
suatu tindak pidana. Koperasi hanya dikenakan sanksi administratif yaitu pembubaran
sesuai dengan ketentuan Pasal 46-56 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Dimana
dalam Pasal 47 ayat (1) UU No.25/1992 tentang Perkoperasian disebutkan bahwa:
(1) Keputusan pembubaran oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 huruf b dilakukan apabila:
a. Terdapat bukti bahwa koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi
ketentuan Undang-undang ini;
b. Kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
c. Kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan.
Penjelasan pasal tersebut menunjukkan bahwa menurut UU No.25/1992 tentang
Perkoperasian, Koperasi tidak dipandang sebagai subyek hukum pidana sehingga
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana khususnya kepada pihak-
pihak individu yang menggerakkan koperasi. Jadi apabila koperasi melakukan suatu
tindak pidana maka UU Perkoperasian hanya dapat memberikan sanksi administratif
saja yaitu pembubaran koperasi sebagai badan hukum.
Koperasi sebagai badan hukum/ korporasi juga masih menuai pro dan kontra.
Terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa koperasi berbeda dengan korporasi. Hal
ini sering disebutkan dalam berbagai literatur dikarenakan koperasi memiliki cara
kerja serta interaksi internal dan eksternal yang khusus dan berbeda dengan badan
usaha lainnya. Namun pada kenyataanya Koperasi saat ini juga sering dipandang
sebagai suatu Korporasi. Hal ini dikarenakan dalam UU No 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian dinyatakan bahwa Koperasi merupakan badan usaha yang
8
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Sedangkan Korporasi menurut Pasal 1 UU
No. 31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah kumpulan orang dan/ kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum serta dalam Pasal 1 butir 13 UU No. 5/1997
tentang Psikotropika menyebutkan pengertian korporasi adalah kumpulan yang
terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun
bukan. Apabila dilihat dari unsur-usur yang terdapat dalam pengertian Koperasi dan
Korporasi yang telah disebutkan di atas, maka akan terlihat persamaan yaitu pada
unsur sekumpulan orang atau badan hukum.
Seperti yang tercantum dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang
Perbankan, dalam Pasal 46 ayat (2) disebutkan bahwa “badan hukum yang berbentuk
perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi”, kalimat tersebut
menyiratkan bahwa koperasi pun merupakan korporasi dan dapat melakukan
pertanggungjawaban sebagai korporasi sehingga tindak pidana yang dilakukan oleh
Koperasi dianggap sebagai tindak pidana korporasi pula. Pertanggung Jawaban
Pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana pada
seseorang pembuat tindak pidana.8 Hal seperti itu juga diatur dalam Pasal 46 UU
No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan, dimana subyek hukum yang
8 Chairul Huda, 2006,Dari‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.64
9
dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya terkait tindak pidana perbankan
berkaitan dengan perizinan adalah bagi mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pempimpin dalam melakukan perbuatan menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpananan tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia. Bilamana
koperasi adalah korporasi maka koperasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
apabila koperasi tersebut melakukan tindak pidana.
Sayangnya, dalam menjatuhkan pidana bagi Kopersi Simpan Pinjam yang
melakukan tindak pidana perbankan akan mengalami kesulitan karena adanya
perbedaan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian dengan UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang
Perbankan. Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, koperasi yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan
kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum maka koperasi tersebut hanya
dikenakan sanksi administratif berupa pembubaran. Hal ini sangat jauh berbeda
dengan sanksi yang dicantumkan dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang
Perbankan yang memberikan sanksi pidana kepada Pengurus/Pemimpin
Perusahaan/Koperasi yang dalam hal ini kalau koperasi yang melakukan tidak pidana
perbankan maka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam perbuatan atau terhadap kedua-duanya harus bertanggung
jawab. Konflik norma ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam
memberiakan keadilan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat apabila terdapat
10
koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal inilah membuat penulis
tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut mengenai “Pertanggungjawaban
Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin”
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana
perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi?
2. Siapakah yang bertanggungjawab bilamana koperasi melakukan tindak pidana
perbankan tanpa ijin?
1.3.Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada dalam hal
pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin
yang dilakukan oleh koperasi, serta siapa yang bertanggungjawab dalam hal
koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.
1.4.Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis siapakah yang
bertanggungjawab dalah hal koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa
ijin.
11
1.4.2. Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum di atas dan dengan menekankan pada aspek
normatifnya, maka tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan
yang dibahas yakni:
1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan pertanggungjawaban pidana
bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan
oleh koperasi,
2. Untuk menganalisis dan mengkritisi, siapa pihak yang
bertanggungjawab dalam hal koperasi melakukan kegiatan tindak
pidana perbankan tanpa ijin.
1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia
akademis,yaitu dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam Hukum
Pidana yang berkaitan dengan pengisian hukum dan penegakan hukum
terhadap pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana
perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi.
1.5.2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
kepada Pemerintah, maupun peneliti sendiri. Dimana hasil penelitian ini
12
diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan rekomendasi bagi seluruh
pihak-pihak yang berkepentingan untuk konsisten terhadap komitmen dalam
menjaga dan memberikan solusi yang tepat dan adil dalam penanganan
koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal ini ditujukan
agar kedepannya tidak ada konflik norma antara peraturan perundang-
undangan yang ada sehingga Hakim kedepannya dapat memberikan
keputusan yang seadil-adilnya bagi semua pihak yang mencari keadilan.
Selain itu diperlukannya suatu peraturan yang jelas mengenai Koperasi yang
melakukan tindak pidana perbankan agar kedepannya tidak ada lagi
kerancuan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana.
1.6.Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan beberapa studi empiris yang
ada kaitannya dengan permasalahan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam
Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin, belum pernah dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Akan tetapi permasalahan mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
antara lain
Pertama, penelitian Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anggota
Penyimpan Dana Pada Koperasi Credit Union Khatulistiwa Bakti Pontianak oleh
Blasius Andjioepada Program Magister Hukum Universitas Tanjungpura pada Tahun
13
2013. Tesis ini mengkaji tentang bagaiamana hubungan hukum antara anggota
penyimpan dana dengan Koperasi CU Khatulistiwa Bakti Pontianak dihubungkan
dengan perlindungan hukum terhadap anggota penyimpan dana pada Koperasi CU
Khatulistiwa Bakti serta bagaimana pelaksanaan sistem pengaturan aktivitas usaha
simpan pinjam pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti. Penelitian dalam Tesis ini
berpusat pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti, dimana Koperasi ini merupakan salah
satu Koperasi Simpan Pinjam yang ada di Kalimanatan Barat, dan dalam kenyataanya
Koperasi ini menawarkan berbagai bentuk simpanan dan pinjaman bagi para
anggotanya sehingga dapat dilihat bahwa Koperasi CU Khatulistiwa Bakti secara
tidak langsung melakukan kegiatan Perbankan. Namun Blasius mengkaji lebih dalam
mengenai bagaimana perlindungan bagi nasabah yang menyimpan uangnya di
Koperasi CU Khatulistiwa Bakti karena takut dikemudian hari dana yang mereka
simpan tersebut akan hilang yang salah satunya dikarenakan adanya penipuan dari
koperasi simpan pinjam tersebut.
Kedua adalah Tesis oleh Orpa Ganefo Manuain, Universitas Diponegoro
Semarang, Tahun 2005, yang menganalisis tentang Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini mengarah pada pengkajian
mengenai sistem hukum pidana yang dianut oleh KUHP Indonesia tidak mengenal
korporasi sebagai subyek hukum. namun dalam perkembangannya ternyata bahwa
hukum pidana yang tersebar di luar KUHP sudah menerima korporasi sebagai subyek
hukum. di Indonesia hal ini diawali dengan lahirnya UU No 7/Drt/1995 tentang
14
Tindak Pidana Ekonomi yang kemudian disusul oleh peraturan pidana khusus lainnya
seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No
20 Tahun 2001).
Adapun berdasarkan hal tersebut, dalam tesis ini permasalahan yang diangkat
adalah: bagaiamana formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana)
korporasi dalam tindak pidana korupsi, dan bagaimana sebaiknya formulasinya di
masa yang akan datang.
Perbedaan signifikan antara tesis diatas dengan penelitian yang dibuat oleh
peneliti adalah mengenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi.
Tesis ini mengangkat mengenai apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama
dengan manusia dalam hal tindak pidana korupsi. Dimana dalam penelitiannya
ditemukan bahwa formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana)
korporasi dalam tindak pidana korupsi terdapat kelemahan-kelemahan sebagai
berikut: dalam merumuskan kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi tidak
dijelaskan pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”, tidak diatur pemberatan
pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (2); tidak diatur pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh
korporasi. Selain itu juga terdapat kelemahan umum dari UUPTPK yang berpengaruh
terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu: tidak diaturnya pengertian
pemufakatan jahat menurut UUPTPK, dan syarat-syarat pengulangan tindak pidana
korupsi (residive) menurut UUPTPK. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tesis ini
15
juga menjelaskan bahwa untuk prospeknya di masa yang akan datang, UUPTPK
harus memformulasikan: pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”,
pemberatan pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (2); pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh
korporasi; pengertian pemufakatan jahat; dan syarat-syarat pengulangan tindak
pidana korupsi.
Ketiga, Tesis mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh M. Yusufidli
Adhyaksana,SH pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, Tahun 2008.
Dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah bagaiamana pengaturan
pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana penyelesaian kasus BLBI dan
penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Perbedaan yang jelas dalam tesis ini dengan penelitian yang dibuat oleh peneliti
adalah dalam penelitiandiatas menjelaskan bahwa hukum positif di Indonesia yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang relevan dengan kasus
BLBI, pada saat itu tidak mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh
karena itu, semua kasus BLBI yang menggunakan proses peradilan pidana,
didasarkan pada pertanggungjawaban perorangan, yang pada umumnya adalah para
pengurus atau pemegang saham atau orang yang memegang peranan penting dalam
beroperasinya korporasi debitur BLBI tersebut. Dengan demikian konstruksi
16
penyidikan dan penuntutan perkara BLBI didasarkan pada perbuatan Individu, dan
tidak berorientasi pada pertanggungjawaban pidana korporasi itu sendiri. Selain itu
dalam penelitian ini juga dibahas mengenai perbandingan KUHP Indonesia dengan
KUHP di Perancis, Firlandia, Norwegia, dan Australia, dimana dalam KUHP negara-
negara tersebut telah diatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi,
sehingga selain pegurus atau pejabat korporasi lannya dapat dipidana, terhadap
korporasi itu sendiri akan dikenakan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Berdasarkan penjabaran singkat dari tesis-tesis tersebut di atas, maka dapat dilihat
bahwa penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak pidana
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin belum pernah dilakukan sehingga penelitian
ini dapat dilakukan oleh peneliti.
1.7.Landasan Teoritis
1.7.1. Landasan Teoritis
Ada asumsi yang menyatakan, bahwa bagi suatu penelitian, maka teori
mempunyai beberapa kegunaan yaitu sebagai berikut:
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih
mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-
definsi.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obek yang diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh
karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan
17
mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa
mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan
pada pengetahuan peneliti.9
Maka berdasarkan kegunaan tersebut teori sangat diperlukan dalam suatu
penelitian agar dicapainya kesimpulan yang kongkrit dan baik. Landasan teori
merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan
(problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin
disetujui ataupun tidak disetujui.10 Adapun dalam penelitian ini tidak hanya teori
yang digunakan untuk mencari kesimpulan yang sebaik-baiknya,terdapat pula
asas-asas, konsep-konsep hukum, serta doktrin yang memiliki korelasi yang erat
dengan permasalahan yang dibahas yaitu Pertanggungjawaban Pidana Koperasi
Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin.
Dalam penelitian ini digunakan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Apabila
membicarakan pertanggungjawaban pidana korporasi maka asas yang paling erat
kaitannya adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan (Green Straf Zonder Schuld
atau Nulla Poena Sine Culpa). Kesalahan merupakan asas yang fundamental
dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya sehingga meresap dan
menggema dalam hampir semua ajaran dalam hukum pidana.11Menurut Sudarto,
9 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Hal.121 10 Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung, h.
81.
11 Muladi dan Dwidja Priyanto, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenada Media,
Jakarta, Hal.99-100
18
dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
seseorang yang melakukan suatu kesalahan yang melanggar rumusan delik yang
ada atau ketentuan perundang-undangan tidaklah dikatakan cukup untuk dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jadi meskipun pelakunya memenuhi
rumusan delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan (anobjective breach
of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective
guild). Permasalahan pertanggungjawaban koperasi sebagai korporasi pelaku
tindak pidana adalah suatu hal yang tidak sederhana mengingat pelaku tindak
pidana adalah korporasi atau badan hukum. Mens rea sebagai unsur yang sulit
dibuktikan dari korporasi yang dianggap melakukan tindak pidana mengingat
korporasi hanya bisa melakukan tindakan melalui organ direksi. Korporasi bisa
dianggap melakukan tindak pidana berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh
orang yang mengontrol pengurusan korporasi.12 Apabila pengurus korporasi
melakukan suatu kesalahan atau bersalah dengan mengatasnamakan perbuatannya
sebagai perbuatan dari korporasi maka korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana.
Untuk menyelesaikan konflik norma yang terjadi dalam UU Perkoperasian
dan UU Perbankan, maka diperlukan asas-asas lainnya seperti asas lex specialis
12 Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 263
19
derograt legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan
peraturan yang lebih umum) dan asas lex posteriori derograt legi priori
(peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-
undangan yang lama) juga terkait dalam penelitian ini.
UU Perkoperasian sebagai peraturan yang khusus dipandang sebagai
acuan utama dalam berjalannya suatu koperasi, namun apabila koperasi tersebut
telah melakukan tindak pidana perbankan maka UU Perbankan sebagai peraturan
yang lebih khusus, apalagi dalam UU tersebut telah diatur mengenai koperasi
yang dapat melakukan kegiatan perbankan maka UU Perbankan dapat dikatakan
lebih khusus dalam menangani permasalahan ini.
Sama halnya dengan asas lex posteriori derograt legi priori (peraturan
perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-undangan
yang lama), UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, saat ini belum mengalami
perubahan. Sedangkan kehidupan sosial di masyarakat terus mengalami
perubahan menyebabkan terkadang suatu peraturan perundang-undangan tidak
dapat mengikuti perubahan yang cepat tersebut. Lain halnya dengan UU
No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang telah mengalami
perubahan. UU Perbankan ini lebih mampu mengikuti perkembangan yang terjadi
di dalam masyarakat khususnya mengenai tindak pidana perbankan tanpa ijin
yang dilakukan oleh koperasi. Sebagai peraturan yang lebih baru, tentu saja UU
20
Perbankan akan dirasa lebih mampu untuk menyelesaikan tindak pidana
perbankan yang dilakukan oleh Koperasi saat ini.
Mengarah pada Konsep-konsep hukum yang digunakan dan relevan dalam
penelitian ini karena memiliki hubungan dengan permasalahan yang dibahas
adalah adalah Konsep Tindak Pidana dan Konsep White Collar Crime (Kejahatan
Kerah Putih). Konsep tindak pidana ini telah dirumuskan oleh banyak ahli hukum
pidana. Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai: Perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan mana disetai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar hukum tersebut.13 Selain itu,
beliau juga mengungkapkan dengan substansi yang sama bahwa tindak pidana
adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa
melanggar larangan tersebut.14
Sedangkan sering sekali dalam berbagai literatur disebutkan bahwa
kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih
(white collar crime). Menurut Sutherland, kejahatan kerah putih adalah
“kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial
yang tingi dalam menjalankan jabatannya”.15 Definisi dari Sutherland ini
memfokuskan kepada dua hal yakni, pelaku kejahatan dan status sosial yang
tinggi dari pelaku kejahatan. Konsep ini berkaitan dengan pertanggungjawaban
13 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 59 14 Moeljatno, 1983, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Akasara, Jakarta,
Hal.11 15 Ellen S. Podgor, 2007, “The Challenge of White Collar Sentencing”, Journal of Criminal Law
and Criminology, Vol.9, Page 735, dikutip dari Mahrus Ali,2013, Asas-Asas Hukum Pidana
Korporasi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, Hal. 22
21
pidana koperasi karena tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh
koperasi dikarakteristikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam
kapasitasnya sebagai orang yang dipandang terhormat dan dipercaya dalam
memimpin suatu perkumpulan/ badan hukum tersebut.
J Kelly Strader mengemukakan bahwa terdapat tiga parameter untuk
menentukan apakah kejahatan tertentu dikategorikan sebagai kejahatan kerah
putih atau tidak, yaitu pertama status sosial pelaku, dimana pelaku kejahatan
kerah putih bukanlah orang-orang dengan status ekonomi sosial rendah.
Contohnya seperti manager suatu perusahaan, dimana orang tersebut memiliki
status sosial yang tinggi serta kemampuan ekonomi yang tinggi pula. Kedua sifat
dari perbuatan. Sifat yang dimaksudkan adalah sifat sang pelaku kejahatan kerah
putih haruslah memiliki kemampuan teknis dan pengetahuan yang professional.
Ketiga pertimbangan pertimbangan praktis dimana kejahatan kerah putih ini tidak
terkait dengan penggunaan kekerasan, bukanlah kejahatan langsung yang
ditujukan kepada pemilik barang, berbeda dengan kejahatan terorganisir, serta
tidak terkait dengan wilayah kebijakan tertentu seperti imigrasi, hak-hak sipil
warga negara serta keamanan nasional.16 White collar crime digambarkan sebagai
tindakan illegal yang mengarah pada hal-hal yang tidak tampak atau tipu
muslihat, untuk mengeruk keuntungan atau kekayaan dalam usaha atau bisnis.
Hal-hal ini dapat dilihat pada koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan
khususnya tindak pidana perbankan terkait perijinan.
16Ibid, Hal 24-25
22
Doktrin yang dipergunakan adalah doktrin respondeat superior, yaitu
suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak dapat melakukan
kesalahan. Dalam hal ini, hanya orang-orang korporasi yang dapat melakukan
kesalahan, yakni mereka yang bertindak atas nama korporasi. Oleh sebab itu
orang-orang yang bertindak atas nama korporasi saja yang dapat melakukan
kesalahan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.17
Penelitian ini juga menggunakan putusan hakim/ yurisprudensi yang
terkait pertanggungjawaban koperasi dalam tindak pidana perbankan tanpa ijin.
Adapun yurisprudensi tersebut adalah Putusan Nomor: 31/PID.B/2013/PN.MTR
Pengadilan Negeri Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana,SE.,
mengenai kasus tindak pidana perbankan terkait perijinan yang dilakukan oleh
Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati. Dalam Putusan Pengadilan ini,
Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan dan dihukum
dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Terdakwa terbukti bersalah karana
terbukti melanggar Pasal 46 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang
Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain menilik pada asas, konsep, doktrin para sarjana, serta yurisprudensi
dalam mengupas permasalahan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori,
17 Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi; Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung hal.54
23
antara lain Teori Hukum Progresif, Teori Harmonisasi Hukum, Teori
Pertanggungjawaban Pidana (direct corporate criminal liability, strict liability,
dan vicarious liability), serta Teori Badan Hukum. Teori Badan Hukum dan Teori
Harmonisasi Hukum, Teori Pertanggungjawaban Pidana digunakan dalam
memecahkan permasalahan dalam hal bagaimana pertanggungjawaban pidana
bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi.
Sedangkan dalam permasalahan pihak yang bertangggungjawab bilamana
koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin dengan Teori
Pertanggungjawaban Pidana serta Teori Hukum Progresif.
1. Teori Harmonisasi Hukum
Harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai upaya mencari keselarasan18. Kata harmonisasi sendiri berasal dari
kata harmoni yang dalam bahasa Indonesia berarti pernyataan rasa, aksi,
gagasan, dan minat: keselarasan, keserasian. Sedangkan dalam Bahasa
Inggris, harmoni dapat diartikan dengan harmonize, dalam bahasa Perancis
disebut dengan Harmonie, dan dalam bahasa yunani disebut Harmonia.
Harmonize dalam buku Jean.L diartikan sebagai “a fitting together,
agreement, to exist in peace and friendship as individuals or families (1)
combination of parts into an orderly or proportionate whole (2) agreement
18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.64
24
in feeling, idea, action,interest, etc.19 Berdasarkan penjabaran diatas ditarik
kesimpulan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah
upaya untuk menselaraskan peraturan perundang-undangan agar menjadi
proposional dan bermanfaat bagi kepentingan bersama atau masyarakat.
Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam buku yang disusun oleh
Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan, menyatakan bahwa
harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses
pengharmonisan tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis,
sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.20 Nilai filosofis adalah ketika suatu
kaedah hukum sudah sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif
yang tertinggi. Nilai yuridis adalah apabila persyaratan formal
terbentuknya peraturan perundang-undangan telah terpenuhi. Nilai
sosiologis yaitu efektivitas atau hasil guna peraturan perundang-undangan
dalam kehidupan masyarakat.21 Dan nilai ekonomi yaitu substansi
peraturan perundang-undangan hendaknya disusun dengan memperhatikan
efisiensi dalam pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan.
19 Jean L. McKechnie, 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second
Edition, Page. 828
20 Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodelogi
Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, Jakarta, Hal.2
21 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
Hal.109
25
Dalam negara hukum, UUD 1945 harus menjadi acuan dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini maka
sistem pemerintahannya perlu menghadirkan adanya suatu tata hukum
untuk membingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun
menjadi sebuah sistem. Setiap norma hukum dalam sistem ini tidak boleh
mengesampingkan atau bahkan bertentang dengan norma hukum lainnya.
Dengan demikian dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun
secara hierarki dan tidak boleh salin bertentangan di antara norma-norma
hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga, apabila
terjadi konflik norma maka acuannya akan tetap tunduk pada norma
logisnya yaitu norma-norma yang dasar yang ada dalam konstitusi.
Karektiristik dari norma yang bersumber pada norma dasar itu
meliputi prinsip konsistensi dan legitimasi. Di mana suatu norma hukum
tetap akan berlaku dalam suatu sistem hukum sampai masa belakunya
diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau
digantikan norma lain yang diberlakukan oleh suatu sitem hukum itu
sendiri. Maka dalam karakteristik tersebut berlaku asas-asas/ prinsip-
prinsip lex posteriori derograte legi priori (peraturan perundang-undangan
yang baru mengesampingkan peraturan perundangan-undangan yang
terdahulu), lex superior derograte legi inferiori (peraturan yang lebih
tinggi tingkatanya mengesampingkan peraturan yang lebih rendah), dan lex
26
specialis derograte legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya
mengalahkan peraturan yang lebih umum).
Dalam kaitan harmonisasi hukum, menurut UU No.10/20014
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah memberikan
pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal
18 ayat (2) disebutkan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi rencangan undang-undang yang berasal dari presiden
dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan. Adapun menteri yang dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2) tersebut adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut maka dapat dilihat
secara jelas bahwa harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini bertujuan agar norma-
norma dalam rancangan undang-undang dimaksud tidak bertentangan
secara vertikal dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang
lain. Harmonisasi hukum ini juga sangat diperlukan agar meminimalisir
judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
2. Teori Badan Hukum
Selain manusia, badan hukum juga dipandang sebagai subyek hukum.
Badan hukum adalah segala sesuatu yang berdasarkan kebutuhan
27
masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban,
yang memiliki status personel seperti manusia. Status ini yang
menentukan hak dan kewajibannya, termasuk keberadaan dan berakhirnya
badan hukum itu. Jadi yang termasuk orang menurut hukum adalah
manusia dan badan hukum.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah suatu badan
yang disamping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam
hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan
hukum terhadap orang lain atau badan lain.22Sedangkan Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang
bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta
kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan).23
Menurut Von Savigny, meskipun syarat-syarat dalam peraturan hukum
yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun badan
hukum boleh dianggap seolah-olah manusia.24Hal ini terdapat dalam
pandangan penganut teori fiksi, dimana badan hukum disamakan dengan
manusia hanya saja sebagai perumpamaan (fiksi) saja. Sehingga perbuatan
hukum yang dalam pelaksanaannya memerlukan jiwa manusia, seperti
ketakutan dalam suatu paksaan tidak berlaku bagi badan hukum. Negara-
22 P.N.H Simanjuntak, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, Hal.
28-29 23Ibid 24 Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, Hal. 23-24
28
negara, korporasi-korporsi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat
menjadi subyek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah
badan-badan itu manusia.25
Adanya badan hukum (rechtspersoon) disamping manusia tunggal
(natuurlijkpersoon) timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam
pergaulan ditengah-tengah masyarakat. Manusia selain mempunyai
kepentingan perseorangan juga mempunyai kepentingan bersama dan
tujuan bersama yang harus diperjuangkan pula, karenanya mereka
berkumpul untuk bersatu dalam suatu organisasi dan memilih
pengurusnya untuk memimpin mereka. Mereka juga memasukkan harta
kekayaan masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan
peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku di kalangan mereka
anggota organisasi tersebut.
H.M.N Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu
badan hukum dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar
suatu badan dapat dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan:
1) Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang
terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan
itu. Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan
kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu;
2) Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama;
3) Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.26
25 Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strick
Liability dan Vicarious Liability), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 30
29
Ketiga unsur tersebut merupakan unsur material (substansif) bagi suatu
badan hukum. Kemudian persyaratan lainnya adalah persyaratan yang
bersifat formal, yakni adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu
badan adalah badan hukum.
Selain teori fiksi yang telah disebutkan diatas, terdapat pula teori
kekayaan bertujuan, teori organ, teori kekayaan bersama, dan teori
kekayaan yuridis. Teori kekayaan bertujuan adalah teoriyang mana hanya
manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun ada kekayaan
(vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan
itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyai dan
terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum.
Teori organ ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke
(1948-1921). Menurut teori ini badan hukum itu seperti manusia, menjadi
penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu ‘eine
leiblichgeistige lebensein heit’. Badan hukum itu menjadi suatu
‘verbandpersoblich keit’ yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya
dengan perantaran alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya
anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan
26H.M.N Purwosutjipto, 1982, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 2, Djambatan,
Jakarta, Hal.63 dalam Ridwan Khairandy, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-
Undangan, dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta, Hal.10
30
kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan
tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka
putuskan, adalah kehendak dari badan hukum. Dengan demikian, menurut
teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-
benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak
bersubyek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup
dan bekerja seperti manusia biasa.
Lain halnya dengan teori organ, menurut teori kekayaan bersama hak
dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban
para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah milik
bersama seluruh anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut
merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan
badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi
yuridis saja. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang abstrak. Teori
ini berpendapat bahwa yang dapat menjadi subyek-subyek hak badan
hukum adalah manusia-manusia yang secara nyata ada dibelakangnya,
anggota-anggota badan hukum, dan mereka yang mendapat keuntungan
dari suatu yayasan.
Terakhir, teori kenyataan yuridis, badan hukum itu merupakan suatu
realitas, konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi
suatu kenyataan yuridis. Dengan kata lain, badan hukum dipersamakan
31
cdengan manusia adalah suatu realita yuridis, yaitu suatu fakta yang
diciptakan oleh hukum. Jadi adanya badan hukum itu karena ditentukan
oleh hukum sedemikian rupa. Sebagai contoh, koperasi merupakan
kumpulan yang diberi kedudukan sebagai badan hukum setelah memenuhi
persyaratan tertentu, tetapi firma bukan merupakan badan hukum, karena
hukum di Indonesia menuntukan demikian (vide Pasal 18 KUH Dagang)
3. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability”
dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe
Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the
situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to
the exaction.”27 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah
sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima
pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,28 menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut
masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai
moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Pertanggungjawaban Pidana dalam berbagai peraturan perundanng-
undangan hanya dikenakan kepada orang/manusia. Hal ini dikarenakan
27Roscoe Pound, “ introduction to the phlisophy of law” dikutip dari Romli Atmasasmita,2000,
Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Mandar Maju, Bandung, Hal.65
28Ibid
32
adanya pandangan hanya manusia alamiah sebagai subyek hukum pidana
yang dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest”, yaitu badan
hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.29
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai
“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”
pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan
apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana
atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu. 30
Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang
melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan
merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak
tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,”
merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.31
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara
terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa
pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang
yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga)
syarat, yaitu :
29 Dwidja Priyatno dan Muladi, dikutip dari Kristian, Op.Cit, Hal.40
30 S.R Sianturi . 1996, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Alumni,
Jakarta, Hal.245
31 Djoko Prakoso, 1987, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty
Yogyakarta, Hal.75
33
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam
kejahatan,
2. Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut
dalam pergaulan masyarakat,
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap
perbuatan tadi.32
Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa
mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan
hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan
kehendaknya.33Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan
beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu :
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang
baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum;
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.34
Kemampuan bertanggungjawab dengan kata lain berkaitan dengan
dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan
antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang atau melanggar
hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan
kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh
kesadaran.
32 Sutrisna, I Gusti Bagus,“Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap
pasal 44 KUHP),” dikutip dari Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana
,Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 79 33Ibid 34Ibid, Hal. 83
34
Roeslan Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk
pertanggungjawaban dari badan hukum (Korporasi), asas kesalahan tidak
mutlak berlaku.35 Dalam kejahatan tindak pidana perbankan, dikenal tiga
model pertanggungjawaban pidana Korporasi, yaitu Identification Theory,
strict liability, dan vicarious liability.
Direct Corporate Liability atau Identification Theory membenarkan
bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik
sebagai pembuat atau peserta untuk setiap delik, meskipun diisyaratkan
adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Menurut teori
ini, korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui
pimpinan dan diidentifikasikan sebagai perbuatan dari perusahaan atau
badan hukum atau korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan
pimpinan tersebut dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi apabila
suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana makan orang
yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat diidentifikasikan
terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar
dibebankan kepada orang yang dapat disebut sebagai “directing mind”
dari korporasi tersebut.
Dalam teori identifikasi, perbuatan pidana atau tindak pidana yang
dilakukan oleh pimpinan suatu perusahaan atau korporasi
35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Hal.
140
35
diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter ego” yang dapat
diartikan sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi yaitu hanya
perbuatan pejabat senior atau otak korporasi yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi.36 Hal ini dikarenakan hanya
pejabat senior atau ketua, dalam halnya koperasi, yang dapat
mengendalikan suatu perusahaan atau korporasi secara sendiri atau
bersama-sama yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali
perusahaan atau korporasi.
Berbeda halnya dengan Identification theory, Strict Liability dalam
prinsipnya menyatakan pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan
tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak
pidana. Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa Strict Liability
atau Absolute Liability tidak hanya mengesampingkan asas kesalahan
tetapi meniadakan asas kesalahan.37
Hamzah Hatrik mendefinisikan bahwa Strict Liability adalah
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang
dalam hal ini sim pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah
melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah
dirumuskan secara tegas dalam undang-undang tanpa melihat lebih
jauh sikap batin si pembuat.38
36 Barda Nawawi Arief, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Hal. 246 37Kristian S.H, Op.Cit, Hal.58 38Ibid, Hal.61
36
Terakhir, Vicarious Liability didasarkan pada prinsip employment
principle. Yang dimaksud dengan employment principle dalam hal ini
bahwa majikan (employer) adalah penaggungjawab utama dari perbuatan
para buruh atau karyawannya. Sutan Remy Sjahdeini selaras dengan apa
yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang mengistilahkan
konsep pertanggungjawaban ini dengan istilah “pertanggungjawaban
pengganti”. Ia juga menyatakan bahwa ajaran “vicarious liability”, atau
yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah
“pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti”,
adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan,
misalnya oleh A ke B.39
Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua dari
teori tersebut yaitu Direct Corporate Liability/ Identification Theory dan
Vicarious Liability. Hal ini dikarenakan Koperasi sebagai salah satu
badan hukum, dapat melakukan pertanggungjawaban pidana dikarenakan
adanya struktur kepengurusan yang mengatur jalannya koperasi.
4. Teori Hukum Progresif
Secara etimologi, kata “progresif” berasal dari kata progress dari
Bahasa Inggris yang berarti kemajuan. Jika kata ‘hukum’ dan kata
39 Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, Hal.
84
37
‘progresi’ digabung, maka dapat diartikan bahwa hukum hendaknya
mampu mengikuti perkembangan zaman agar mampu melayani
kepentingan masyarakat berdasarkan aspek moralitas sumber daya para
penegak hukum. Sedangkan apabila hukum progresif dihubungkan
dengan penafsiran hukum, maka dapat diartikan bahwa penafsiran
progresif memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap
suatu konsep kuno yang tidak dapat digunakan dalam melayani
kehidupan masa kini.40 Kekuatan hukum progresif (penafsiran) adalah
ketentuan untuk menolak dan mematahkan keadaan status quo.41
Hukum tertulis saat ini tidak dapat mengikuti perkembangan yang
terjadi di kehidupan masyarakat karena hukum tertulis bersifat kaku
sedangkan perkembangan dalam masyarakat terjadi sangat cepat.
Disinilah pentingnya peran hakim untuk mengisi kekosongan hukum
akibat ketertinggalan hukum dari perubahan masyarakat, karena kalau
tidak akan mengakibatkan adanya ketegangan.42
Dalam menghadapi problematika ini, Satjipto Rahardjo
memunculkan gagasan hukum progresif. Progresif berasal dari kata
progress yang berarti kemajuan. Gagasan hukum progresif bertolak dari
pandangan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu ilmu. Oleh
40Sajipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Press,
Yogyakarta, Hal.128 41I Gede Wiranata, ed.et.al, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara,
Jakarta, Hal.114 42Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Hal. 21-23
38
karenanya hukum tidak hanya dianggap selesai setelah tersusun sebagai
peraturan perundang-undangan dengan kalimat-kalimat yang sangat rapi
dan sistematis, namun hukum harus selalu mengalami proses pemaknaan
sebagai sebuah pendewasaan atau pematangan.43
Sebagaimana prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam
berbagai teori hukum atau aliran hukum, hukum progresif juga memiliki
prinsip utama, yaitu ‘hukum adalah untuk manusia dan bukan
sebaliknya,...dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk suatu yang lebih luas, yaitu,...untuk harga diri manusia,
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia’44.
Karena hukum mengabdi untuk manusia bukan mengabdi pada
hukum itu sendiri, maka karakter hukum progresif sebagai berikut.
Pertama, hukum progresif mengantarkan masyarakat pada sebuah
paradigma bahwa hukum ditujukan untuk manusia. Hukum bukan
merupakan pusat dalam berhukum, melainkan manusia yang berada di
titik pusat perputaran hukum.45 Kedua hukum progresif tidak menerapkan
status quo dalam berhukum. Konsekuensi penerapan status quo dalam
berhukum yakni hukum menjadi tolak ukur dalam segala aspek dan
manusia adalah untuk hukum. Peranan manusia disini merupakan
konsekuensi terhadap pilihan untuk tidah berpegangan secara mutlak
43 Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, Hal. 7 44I Gede Wiranata, Op.Cit, Hal. 154 45Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, Hal.139
39
kepada teks formal suatu peraturan. Cara berhukum yang penting untuk
mengatasi suatu stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi
yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa
dilakukan, apabila unsur manusia atau perbuatan manusia dilibatkan
dalam berhukum.
Ketiga, hukum progresif berpihak terhadap keadilan yang pro
rakyat. Prinsip keadilan yang pro rakyat ini dapat dijadikan ukuran untuk
menghindari agar progresivitas yang terkandung dalam hukum progresif
tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal
negatif lainnya,46 sehingga hukum progresif dapat mengantarkan
masyarakat kepada keadilan dan kesejahteraan. Keempat, hukum
progresif berasumsi bahwa hukm tidak bersifat final, dengan kata lain
hukum selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the
making). Dengan demikian, hukum progresif peka dan tanggap dalam
setiap perubahan di tengah masyarakat yang bersifat dinamis (dynamic
society) sehingga hukum progresf siap menghadapi perubahan tersebut
tanpa melakukan kewajibannya yakni melindungi rakyat menuju ideal
humu.
Kelima, Hukum progresif berusaha membangun negara hukum
yang berhati nurani dengan kecerdasan spritual. Cara menghukum dengan
46Shidarta, 2010, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat
Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), Jakarta, Hal.4
40
nurani tidak hanya berdasarkan logika tetapi diiringi dengan modalitas
kenuranian seperti empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian.47
Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spritual yang tidak
dibatasi suatu patokan tertentu (rule bound) dan hanya bersifat
kontekstual, tetapi lebih bersifat out of the box dari situasi yang ada dalam
usaha mencari kebenaran makna atau nilai yang lebih dalam.
Hakim yang berpikir progresif berani untuk mengambil inisiasi rule
breaking jika hukum normatif sudah tidak bisa menciptakan keadilan.
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk melakukan rule breaking,
yaitu:
1. Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari
keterpurukan hukum
2. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru
dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum.
3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika
saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan keterlibatan
(compassion) kepada kelompok yang lemah.48
1.7.2. Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kerangka
berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
47Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif..., Op.Cit, Hal.18
48Yusriyadi, dikutip oleh Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, SH, diambil darihttp://mitrahukum.orgdiakses tanggal 12 Juli 2014
41
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana Perbankan
Tanpa Ijin
Maraknya tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh koperasi menjadi suatu
permasalahan yang mendalam mengingat semakin hilangnya asas kekeluargaan
dalam koperasi di Indonesia saat ini. Namun dalam pertanggungjawabannya
pidana koperasi saat ini terdapat konflik norma yaitu dalam Pasal 46 UU
Perbankan yang memberikan sanksi pidana bagi pengurus koperasi dan Pasal
47 UU Perkoperasian yang hanya memberikan sanksi administratif kepada
koperasi dan tidak memberikan sanksi kepada pengurus koperasi.
Bagaimana pertanggungjawaban
pidana bilamana terjadi tindak
pidana perbankan tanpa ijin yang
dilakukan oleh koperasi
Siapakah yang bertanggungjawab
bilamana koperasi melakukan
tindak pidana perbankan tanpa ijin
Teori Pertanggungjawaban Pidana,
Teori Hukum Progresif Teori Badan Hukum, Teori
Pertanggungjawaban Pidana, Teori
Harmonisasi Hukum
Hasil Penelitian :
Pertanggungjawaban pidana koperasi bilamana terjadi tindak pidana perbankan
tanpa ijin dilakukan berdasarkan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga
pihak yang dapat bertanggungjawab adalah pengurus/pimpinan koperasi yang
bertindak atas nama koperasi dan menggerakan koperasi tersebut. Dalam
pertanggungjawaban pidana koperasi sebagai korporasi masih terdapat konflik
norma dalam UU Perkoperasian dengan UU Perbankan yang dapat diselesaikan
dengan asas lex posteriori derograt legi priori, sehingga UU Perbankan sebagai
UU yang lebih baru dapat digunakan sebagai landasarn hukum dalam mengadili
koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan.
42
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
‘Metode’ itu dalam arti harafiahnya berarti ‘cara’. Sedangkan
Penelitian adalah suatu kegiatan bersengaja dan bertujuan serta pula
berprosedur alias bermetode. Dengan demikian apa yang disebut ‘metode
penelitian’ ini tak lain daripada ‘cara mencari (dan menemukan
pengetahuan yang benar yang dapat dipakai untuk menjawab suatu
masalah)’.49
Morin L. Cohen dan Kent memberikan definisi tentang penelitian
hukum sebagai berikut:
"legal research is an essential component of legal practice. It is proses
of finding the law that thefoverns an actifity and materials that explain or
analys that law. The Resources give the lawyer the knowledge with wich
orovide accurate and insightful advise to draft effective document or
devent their client right in court"50
Artinya:
Penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek hukum
yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu
kegiatan dan menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini
penelitian hukum memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi
hukum untuk memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk
membuatu suatu dokumen atau pembelaan terhadap hak-hak kliennya di
pengadilan.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran
49 Sulistowati Irianto dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Hal 96-97 50 Morin L. Cohen and Kent C. Olson; 2000, "Legal Research", 7 ed, West Group, St. Paul Minn.
Virginia, Page 1
43
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu dan beberapa gejala
hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.51
Ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa
penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan
suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.52 Amiruddin
dan H. Zinal Asikin berpandangan bahwa penelitian hukum normatif
disebut juga penelitian hukum doctrinal karena dikonsepkan sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Law in
books).53Sedangkan penelitian hokum empiris menurut Mukti Fajar dan
Yulianto Ahmad adalah penelitian hukum yang pada kenyataannya dibuat
dan diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat.54Penelitian
hukum empiris ini berpusat pada peranan masyarakat disekitarnya,
keadaan sosial masyarakat dan perilaku masyarakat yang terkait dengan
lembaga hukum.
Dalam penelitian pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak
pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, tipe penelitian yang
51 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 18 52 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.
35 53 Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, Hal. 118. 54 Fajar Mukti & Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika,
Yogyakarta, Hal. 32.
44
digunakan adalah penelitian hukum normatifatau penelitian hukum
dogmatik (dogmatic law research) atau penelitian doktrinal. Hal ini
dikarenakan dalam penelitian ini diinginkan suatu kesimpulan yang
mengarah pada penemuan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum
yang dihadapi.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan bagian
pokok dari penegakan hukum. Oleh karena itu, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kasus
(case approach), pendekatan historis (historical approach) dan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan kasus didasarkan
pada semakin bermunculannya tindak pidana perbankan yang dapat
dilakukan oleh koperasi yang melanggar peraturan perundang-undangan
(UU Koperasi dan UU Perbankan). Selain itu pendekatan perundang-
undangan juga digunakan karena dalam penelitian ini akan dikaji secara
detail dan jelas mengenai perundangan-undangan yang terkait dengan
penyelesaian permasalahan tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh
koperasi.
45
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis yaitu bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yang dimaksud adalah bahan hukum yang
memiliki kekuatan mengikat.55 Adapun bahan hukum tersebut berupa
Peraturan Perundang-Undangan seperti:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah
5. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 7/PER/M.KUKM/IX/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pengembangan Koperasi Skala Besar.
6. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 21/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam
Koperasi
55 H. Salim & Erlies Septiana Nurnani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 16
46
7. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 20/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan
Pinjam Koperasi.
8. Putusan Nomor: 31/ PID.B/2013/PN.MTR Pengadilan Negeri Kelas
IA Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana, SE
mengenai kasus tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh
Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati.
Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan hukum yang dapat
memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
yang dipergunakan dalam penelitian ini seperti hasil penelitian, hasil karya
para pakar dibidang hukum baik dalam buku-buku maupun literatur, tesis,
disertasi, jurnal, makalah, majalah dan Koran.
Bahan hukum tersier juga digunakan dalam penelitian ini seperti
ensikopledia dan kamus hukum yang dapat menunjang dan memperjelas
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan bahan hukum
berupa studi kepustakaanyang merupakan bahan hukum utama penelitian
yang dikumpulkan melalui metode sistematis dengan dicatat melalui sistem
47
kartu (card system) guna untuk lebih memudahkan analisis permasalahan.
Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain
permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh,
alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Kemudian mengenai
kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang
hukum pidana khususnya Hukum Pidana Khusus dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana
koperasi dalam tindapk pidana melakukan kegiatan perbankan terkait
perijinan.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul,
penelitian ini menggunakan teknik analisis deskripsi, teknik argumentasi, dan
teknik analisis interpretasi. Teknik deskripsi yaitu penggambaran/uraian apa
adanya tehadap suatu kondisi atau posisi dari proposi-proposi hukum atau non
hukum. Dalam teknik argumentasi diberikan penilaian terhadap bahan hukum
dari hasil penelitian untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya. Sedangkan
teknik interprestasi digunakan sebagai penafsiran dalam ilmu hukum baik
dalam penelitian ini digunakan penafsiran secara sistematis dengan menelaah
apakah penjelasan dalam UU Perbankan dapat menyelesaikan kasus tindak
pidana perbankan yang dilakukan oleh Koperasi, serta penafsiran ekstensif
48
dimana yang dimaksud adalah penafsiran memperluas, yaitu memperluas
pengertian atau istilah yang ada dalam suatu undang-undang.56 Dalam hal ini
khusunya UU Perbankan dan UU Perkoperasian.
56 Amiruddin dan Zainal Asikin,Op.Cit, Hal.166
49
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai
“toereken-baareid,” “criminal rensposibility,” “criminal liability”.
Pertanggungjawaban pidana di sini di maksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang dilakukanya itu.57
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak
termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh
mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai
kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak
tertulis mengatakan “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar
dari pada di pidananya si pembuat.58
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada
waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela.59 Dengan
demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal,
yaitu pertama harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan
57 S.R Sianturi,Op.Cit, Hal.245 58 Djoko Prakoso, Op.Cit, Hal.75 59Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT Pradnya
Paramita, Jakarta, Hal. 31
50
kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Kedua, terhadap pelakunya ada unsur
kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang
melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Unsur melawan hukum merupakan salah satu unsur perbuatan pidana.
Bilamana suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum?
Sesorang dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila
perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebgaimana dirumuskan dalam undang-
undang.
Sifat melawan hukum menurut para ahli hukum pada umumya dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
a. Sifat melawan hukum formil; dan
b. Sifat melawan hukum materiil.
Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang disebut melawan
hukum adalah apabila suatu perbuatan telah sesuai dengan semua unsur yang
terdapat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan
tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Jadi menurut
ajaran sifat melawan hukum formil, melawan hukum sama dengan melawan
undang-undang atau hukum tertulis. Sedangkan menurut ajaran sifat melawan
hukum materiil, di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu sesuai dengan
semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik dan perbuatan tersebut harus
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau
51
tercela. Ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang.
Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak
tertulis.
Kedua ajaran ini dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan itu
memenuhi rumusan delik, maka perbuatan itu dapat diindikasikan bersifat
melawan hukum. Namun sifat melawan hukum tersebut dapat pula dihapus
dengan adanya alasan pembenar. Seperti halnya tidak disengaja menghilangkan
nyawa orang lain dikarenakan berusaha melindungi diri. Hal ini dapat dijadikan
alasan pembenar karena apabila pelaku tidak melindungi diri maka pelakulah
yang akan kehilangan nyawanya. Tindakan ini dapat terjadi apabila pelaku
memang dalam posisi melindungi diri dari ancaman sesorang sehingga pelaku
terpaksa untuk melawan.
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun
perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak
dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana. Seseorang
baru dikatakan memenuhi syarat untuk dipidana apabila mempunyai kesalahan
atau bersalah. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah asas keine strafe ohne
schuld atau geen straf zonder schuld atau Tiada Pidana Tanpa Kesalahan. Asas ini
memang tidak tercantum dalam KUHP Indonesia, namun berlakunya asas ini
adalah berdasarkan tujuan dari pemidanaan yaitu untuk keadilan. Untuk itu harus
52
diingat bahwa untuk adanya kesalahann dalam arti yang seluas-luasnya
(pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih
dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
Selain sifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana juga dapat
dilihat dari unsur kesengajaan dan karena kealpaan. Apabila dicermati dalam
rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, terutama buku kedua, tampak
dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan atau kealpaan. Adapun pasal-pasal
tersebut adalah:
1. Dengan sengaja. Misalnya, Pasal 338 KUHP yang
berbunyi:“barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.”
2. Karena kealpaan. Misalnya, Pasal 359 KUHP yang
berbunyi:“barang siapa karena kesalahannya (kealpaanya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun
1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-
undang.” Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan
unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.
53
Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan dibedakan menjadi
tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar
kepastian, dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).60
Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud
melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia
dianggal lalai melakukan perbuatan tersebut jadi dalam kealpaan terdakwa kurang
berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan keadaan
yang dilarang.
Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat bahwa pertumbuhan dari hukum
pidana menitik beratkan kepada perbuatan orang berserta akibatnya. Apabila
perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian baik kerugian materiil dan
kerugian moril, maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan suatu tindak
pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Untuk adanya
pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu
bertanggungjawab. Mengenai kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab,
menurut KUHP diatur dalam Pasal 44 KUHP. Dalam penjabaran Pasal 44 KUHP
tidak dijelaskan langsung mengenai kemampuan seseorang untuk dapat
bertanggungjawab melainkan menjabarkan keadaan bagaimana seseorang tidak
mampu bertanggungjawab. Adapun bunyi Pasal 44 KUHP adalah sebagai
berikut:“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
60 Moeljatno, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 174-
175
54
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau
jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”
Moeljatno menyebutkan bahwa untuk adanya kemampuan
bertanggungjawab harus ada:
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.61
2.2 Koperasi
Ide Koperasi lahir dalam era kejayaan kapitalisme. Jika kapitalisme
berpijak pada paham tentang pentingnya peranan modal dalam kegiatan ekonomi,
maka koperasi lebih mengutamakan peranan manusia dalam memupuk modal.62
Koperasi berfungsi sebagai suatu badan usaha yang melakukan usaha
perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari orang-orang yang berasal dari
kelompok pekerja atau orang-orang yang kurang mampu.Secara etimologi,
koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives; merupakan
gabungan dua kata co dan operation dan dalam bahasa Belanda disebut
cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama.63
61 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, Hal.54
62 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit, Hal. 14 63Ibid, Hal. 15
55
Dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang
seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Frank Robotka dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Cooperative,
mengemukakan bahwa kebanyakan ekonom-ekonom Amerika Serikat yang telah
menulis tentang teori koperasi, pada umumnya menerima ide-ide umum tentang
perkumpulan koperasi (cooperative business association) sebagai berikut:
a. Suatu perkumpulan koperasi adalah suatu bentuk badan usaha atau
persekutuan ekonomi, yakni suatu perkumpulan yang anggota-anggotanya
adalah para langganannya (patrons). Koperasi diorganisasikan oleh
mereka dan pada dasarnya dimiliki dan diawasi oleh para anggota dan
bekerja untuk kemanfaatan mereka.
b. Mengenai teknik organisasi dan teknik operasional, pembagian, dan
praktik usahanya terdapat kesesuaian pendapat dengan apa yang disebut
Rochdale Principle. Misalnya berdagang harga umum, pembagian sisa
hasil usaha menurut jasa anggota, menolak pemberian suara yang diwakili
(proxy voting), pengawasan hanya dilakukan oleh anggota yang aktif
(active patrons members), pembayaran yang rendah oleh para anggotanya
untuk keanggotaanya, netral dalam politik dan agama, dan seterusnya.
c. Koperasi sebagai struktur ekonomi merupakan suatu kombinasi horizontal
dari unit-unit yang dikoordinasikan, yang melayani berbagai tujuan dari
unit-unit itu. Akan tetapi, bila integrasi vertical dipertimbangkan baik ke
depan terhadap para konsumen atau ke belakang terhadap sumber yang
tersedia, kombinasi horizontal adalah perlu diantara unit-unit yang terlalu
kecil untuk melaksanakan integrasi vertical secara individual.
d. Mengenai hubungan ekonomi yang terjadi diantara anggota suatu
koperasi, Black mengatakan bahwa koperasi merupakan antitesis dari
persaingan, yakni bahwa anggota-anggota lebih bersifat bekerjasama
daripada bersaing di antara mereka sendiri.
e. Pengakuan atas implikasi dari bentuk bukan kumpulan modal dan bukan
mengejar keuntungan dari koperasi yang bertitik tolak dari prinsip-prinsip
56
Rochdale di mana Nourse telah menunjukkan bentuk organisasi demikian
yaitu suatu bentuk yang sangat berbeda dengan sebuah perseroan yang
mengejar keuntungan dan bekerja dengan suatu rencana atau skema
khusus untuk memperoleh keuntungan.
f. Keanggotaan di dalam koperasi lebih mendasarkan kepada anggota secara
perseorangan daripada atas dasar yang bersifat finansial bukan perorangan
(impersonal financial basis). Orang akan secara sukarela bergabung atas
dasar keinginan mereka sendiri, penilaian perseorangan dan kesanggupan
serta kemauan untuk menepati janji termasuk di dalamnya pelaksanaan
timbale balik terutama terhadap resiko dan biaya-biaya.
g. Koperasi merupakan suatu wadah di mana para anggotanya secara lebih
efektif menunjukkan fungsi-fungsinya yang tertentu, proses atau aktivitas-
aktivitas yang berhubungan secara integraldengan kegiatan-kegiatan
ekonomi dari para anggota. Koperasi semacam ini bukan suatu unit
ekonomi yang mengejar karier ekonomi yang berifat bebas.
h. Keanggotaan dalam koperasi yang sungguh-sungguh tidak ditentukan oleh
pengikutsertaan modalnya, akan tetapi oleh partisipasinya dalam kegiatan-
kegiatan koperasi yang bersangkutan. Modal koperasi yang demikian
terlepas sama sekali dari konotasi entrepreneur yang tradisional
(traditional entrepreneurial connotation) dan didasarkan atas dasar
pinjaman.
i. Karena suatu kegiatan yang dilaksanakan secara kooperatif adalah suatu
usaha yang timbal balik, maka anggota-anggota koperasi itu setuju untuk
memenuhi kewajiban-kewajiban dalam usaha memperoleh keuntungan
timbal balik dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi-fungsi
tertentu yang biasa berlaku dalam mencapai tujuan ekonomi mereka, yang
bukan anggota adalah bukan bagian dari perkumpulan semacam ini. oleh
karena itu tidak konsisten koperasi melayani mereka.64
Margono Djojohadikoesoemo mengatakan bahwa Koperasi ialah
perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendirian hendak
bekerja sama untuk memajukan ekonominya. Adapun unsur-unsur yang tersirat
dalam definisi tersebut adalah
1. Unsur kesukarelaan dalam berkoperasi
64Ibid, Hal 17-18
57
2. Bahwa dengan bekerjasama manusia akan lebih mudah mencapai apa
yang diinginkan
3. Bahwa pendirian dari suatu koperasi mempunyai pertimbangan-
pertimbangan ekonomis.
R.S Soeriaatmadja, memberikan definisi koperasi sebagai suatu perkumpulan
dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak
memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk, untuk sekedar
memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama.
Kalau diteliti lebih lanjut, adapun unsur-unsur yang terdapat dalam definisi
tersebut adalah:
1. Unsur demokrasi;
2. Unsur sosial;
3. Unsur tidak semata-mata mencari keuntungan.
Terdapat 6 ciri Koperasi yaitu:
1. Sebagai badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu
tujuan keuntungan ekonomis sehingga dapat bergerak disegala sektor
perekonomian di mana saja dengan mempertimbangkan kelayakan
usaha.
2. Harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk
meningkatkan usaha dan kesejahteraannya.
3. Sifat keanggotaanya sukarela tanpa paksaan.
4. Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para
anggota memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sehingga
anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.
5. Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha di dalam koperasi
didasarkan pertimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi
dibatasi, yaitu tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar,
58
sehingga dengan demikian tidak didasarkan atas besarnya modal
yang diberikan.
6. Koperasi bersifat mandiri, memiliki kebebasan yang
bertanggungjawab, memiliki otonomi, swadaya, serta
mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan keinginan
mengelola diri sendiri.65
Indonesia sebagai negara yang turut memajukan perekonomian bagi
seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan asas kekeluargaan juga dapat
dilihat dengan jelas dalam definisi Koperasi oleh Mohammad Hatta dalam
bukunya The Cooperative Movement in Indonesia.66 Beliau mengemukakan
bahwa koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan
ekonomi berdasarkan tolong menolong. Koperasi melambangkan harapan bagi
kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di
antara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya pada
diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat baru untuk
menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan member jasa kepada kawan
berdasarkan kebersamaan.
Dalam pidato Mohammad Hatta pada tanggal 12 Juli 1951 disebutkan
bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasar kekeluargaan
adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerjasama antara mereka
yang berusaha sebagai suatu keluarga. Sebagaimana orang sekeluarga
65 H. Budi Untung, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit Andi,
Yogyakarta, Hal.3 66 Andjar Pachta W, Op.Cit, Hal.19
59
bertanggungjawab atas keselamatan rumah tangganya, demikian pula para
anggota koperasi sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur
koperasinya makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya rusaklah pula
hidup mereka bersama. Adapun yang dimaksud oleh Mohammad Hatta, Pasal 38
UUDS 1950 dalam pidato tersebut adalah Pasal 33 dalam UUD 1945 yaitu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Asas kekeluargaan dalam Pasal inilah yang menjadi pondasi dasar
dalam berdirinya suatu koperasi yang baik bagi masyarakat Indonesia.
Sejarah Koperasi di Indonesia sesungguhnya berawal dari masa
penjajahan dimana pada saat itu diberlakukan “culturstelsel” yang
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat terutama petani dan golongan bawah.
Peristiwa ini menimbulkan gagasan dari seorang Patih Purwokerto, Raden Ario
Wiraatmadja untuk membantu mengatasi kemelaratan rakyat. Kegiatannya
diawali dengan menolong pegawai dan orang kecil dengan mendirikan Hulpen
Spaaren Landbouwcredit, didirikan juga rumah gadai, lumbung desa, dan bank
desa.
Perkumpulan Budi Utomo yang dalam programnya memanfaatkan sektor
perkoperasian untuk mensejahterakan rakyat miskin dimulai dengan koperasi
industri kecil dan kerajinan. Ketetapan kongres Budi Utomo di Yogyakarta
adalah antara lain memperbaiki dan meningkatkan kecerdasan rakyat melalui
pendidikan, serta mewujudkan dan mengembangkan gerakan berkoperasi.
60
Tahun 1915 lahir UU Koperasi yang pertama “Verordening op de
Cooperative Vereeniging” dengan Koninklijk Besluit 7 April 1912 stbl 431 yang
bunyinya sama dengan UU Koperasi di Negara Belanda (tahun 1876) yang
kemudian diubah tahun 1925. Selanjutnya, di zaman pendudukan Jepang, usaha-
usaha koperasi dikoordinasikan/dipusatkan dalam badan-badan koperasi yang
disebut Kumiai yang berfungsi sebagai pengumpul barang-barang logistik untuk
kepentingan perang.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, usaha pengembangan
Koperasi mengalami pasang surut mengikuti perkembangan politik. Kongres-
kongres koperasi, munas-munas dan lain-lain untuk pengembangan koperasi
terus berlanjut. Puncaknya, pada tahun 1985 akhirnya Indonesia berhasil
melahirkan UU No 70/1985 tentang Koperasi yang pada dasarnya berisi tentang
tata cara pembentukan, pengelolaan koperasi (seperti prinsip-prinsip Rochdale).
UU Koperasi mengalami 2 kali perubahan, yaitu yang pertama adalah UU
No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, yang kemudian disempurnakan
dengan UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Koperasi di Indonesia pada hakikatnya, seperti yang diungkapkan oleh
Charles Gide kalau mau berkembang dan tetap setia pada dirinya sendiri dan
tidak menyimpang menjadi bentuk lain, maka nilai-nilai moral yang
mendasarinya harus merupakan realita-realita hidup dalam kegiatan maupun
61
tingkah laku orang-orang koperasi.67 Jadi, dengan kata lain hakikat koperasi tidak
ditentukan dari nama maupun hak badan hukum yang diperolehnya dari
pemerintah, akan tetapi apakah asas dan prinsip-prinsipnya sudah merupakan
kenyataan yang diterapkan dalam setiap kegiatannya serta tingkah laku koperasi
dan anggotanya.
Berdasarkan hakikat tersebut maka dapat kita lihat bahwa koperasi
memiliki tujuan, sifat, nilai dan prinsip-prinsip serta jenis koperasi. Adapun
penjabarannya adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Koperasi
Koperasi pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu unsur ekonomi
dan unsur sosial. Karena koperasi merupakan suatu sistem dan
sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan komponen-
komponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara bersama-
sama berfungsi mencapai tujuan.
Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan kata lain
bahwa koperasi harus berdasarkan motif ekonomi yaitu mencari
keuntungan, sedangkan unsur sosial lebih untuk menerangkan
kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar sesama anggota
dan hubungan anggota dengan pengurus, bukan dalam arti
kedermawanan. Unsur sosial juga ditemukan dalam cara koperasi yang
demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk anggota, calon
67 Ibid, Hal.21
62
anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha kepada anggota
secara proposional dengan jasanya, serta menolong diri sendiri. 68
b. Sifat Koperasi
Koperasi memiliki sifat kerjasama, yaitu antara orang-orang yang
termasuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan yang ingin
meringankan beban hidup atau beban kerja. Persamaan koperasi
dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar suatu
keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya adalah
bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar-benar
memerlukan sekali kerjasama ini untuk mencapai suatu tujuan yang
dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan, tetapi mereka
berusaha untuk memperbesar keuntungan tersebut.
c. Nilai dan Prinsip-Prinsip Koperasi
Koperasi melandaskan nilai-nilai menolong diri sendiri,
bertanggungjawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan
dan solidaritas. Berdasarkan pengaruh para pendirinya, para anggota
koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan,
tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.
68 Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2004, Pekoperasian: Sejarah, Teori, dan Praktek,
Ghalia Indonesia, Bogor, Hal. 9
63
Sedangkan prinsip-prinsip koperasi adalah merupakan pedoman bagi
koperasi-koperasi dalam melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam
praktik. Adapun prinsip-prinsip koperasi dibagi menjadi empat yaitu:
1. Prinsip Keanggotaan yang Sukarela dan Terbuka
Prinsip ini melihat bahwa koperasi adalah organisasi yang bersifat
sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan
jasa-jasanya dan bersedia menerima tanggungjawab keanggotaan,
tanpa membedakan jenis kelamin (gender) latar belakang sosial,
ras, politik dan agama.
2. Prinsip Pengawasan Demokratis oleh Anggota
Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh pada
anggotanya, yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat
keputusan. Dalam koperasi primer, para anggota memiliki hak
suara sama dan koperasi pada tingkat-tingkat lainnya juga dikelola
secara demokratis.
3. Prinsip Partisipasi Anggota dalam Kegiatan Ekonomi
Anggota memberikan kontribusi permodalan koperasi secara adil
dan melakukan pengawasan secara demokratis (terhadap modal
tersebut). Setidak-tidaknya sebagian dari modal itu adalah milik
bersama koperasi. Apabila ada, para anggota biasanya menerima
64
kompensasi yang terbatas atas modal yang disyaratkan untuk
menjadi anggota.
4. Prinsip Otonomi dan Kemandirian (Independence)
Koperasi sebagai organisasi yang otonom, menolong diri sendiri
serta diawasi oleh para anggotanya. Apabila koperasi melakukan
perjanjian dengan organisasi lain, termasuk pemerintah, atau
memupuk modal dari sumber luar, koperasi melakukannya
berdasarkan persyaratan yang menjamin pengawasan demokratis
oleh para anggotanya dan yang mempertahankan otonomi mereka.
5. Prinsip Pendidikan, Pelatihan dan Penerangan
Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota
wakil-wakil anggota yang dipilih dari rapat anggota serta para
manajer dan karyawan, agar mereka dapat melakukan tugasnya
lebih efektif bagi perkembangan koperasinya. Mereka memberikan
penerangan kepada masyarakat umum-khususnya pemuda dan para
pembentuk opini di masyarakat-tentang hakikat perkoperasian dan
manfaat berkoperasi.
6. Prinsip Kerjasama antar Koperasi
Koperasi melayani anggotanya secara kolektif dan memperkuat
gerakan koperasi dengan bekerjasama melalui organisasi koperasi
tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.
65
7. Prinsip Kepedulian terhadap Masyarakat
Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat
sekitarnya secara berkelanjutan, melalui kebijakan-kebijakan yang
diputuskan oleh rapat anggota.
d. Jenis-Jenis Koperasi
Untuk memisah-misahkan koperasi yang serba heterogen itu satu sama
lainnya, Indonesia dalam sejarahnya menggunakan berbagai dasar atau
kriteria seperti: lapangan usaha, tempat tinggal para anggota,
golongan, dan fungsi ekonominya. Pemisahan-pemisahan ini
selanjutnya disebut dengan penjenisan.
Dalam Pasal 2 PP No 6/1959 tentang Perkembangan Gerakan
Koperasi, menyatakan bahwa:
(1) Pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi ialah
pembedaan koperasi yang didasarkan golongan dan fungsi
ekonomi;
(2) Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada
lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota sesuatu
koperasi.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka terdapatlah 7 jenis
koperasi yang dijabarkan dalam Pasal 3 PP No.6/1959 yaitu:
a. Koperasi Desa
66
b. Koperasi Pertanian
c. Koperasi Peternakan
d. Koperasi Perikanan
e. Koperasi Kerajinan/Industri
f. Koperasi Simpan Pinjam
g. Koperasi Konsumsi.
2.3 Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin
Perbankan merupakan suatu lembaga hukum yang dibentuk dalam
rangka menunjang pelaksanaan pemerataan pembangunan nasional,
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 4 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,
menentukan bahwa Perbankan di Indonesia bertujuan unuk menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat
banyak. Peran Perbankan sangatlah strategis dalam pembangunan nasional
khususnya dalam pembangunan ekonomi, namun seiring dengan peran
strategis tersebut terdapat pula tindakan yang merugikan dan dapat merusak
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tersebut, misalnya
tindak pidana perbankan.
67
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau perbuatan
melanggar hukum apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada
menentukanbahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Sutan Remi
Sjadeini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah
perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika pelaku itu
melakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang
dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu
yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.69
Selain itu, Munir Fuady juga berpendapat bahwa kejahatan bank
makin meningkat dewasa ini, modus operandinya pun makin canggih. Bahkan
dalam beberapa kasus, terlibat sindikat mafia, baik dari dalam maupun dari
luar negeri. Di samping itu, lebih dari 90% kejahatan bank di lakukan melalui
kerja sama orang luar dan orang dalam bank. Uniknya, orang dalam tersebut
terdiri dari para young urban profesional (yuppies) Indonesia, dengan ciri-ciri
muda, pintar, gesit. workaholic, ambisius, punya posisi baik, punya
penghasilan, dan memiliki angan-angan tinggi.
Tindak pidana perbankan dan tindak pidana perbankan memiliki
pengertian yang berbeda. Anwar mengemukakan bahwa perbedaan antara
pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana dibidang perbankan
didasarkan pada perbedaan perlakukan peraturan terhadap perbuatan-
69Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta,
Hal.26-27
68
perbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-
kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tindak pidana perbankan terdiri atas
perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan dalam undang-undang
perbankan, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang perbankan. Sedangkan tindak pidana dibidang perbankan
terdiri atas perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan
usaha pokok bank, perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan
pidana di luar undang-undang tentang perbankan, seperti KUHAP, undang-
undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan lainnya yang
sejenis.70 Kehidupan perbankan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi.
Dengan demikian dalam membicarakan pelanggaran pada dunia perbankan
tidak lepas dari pembicaraan tindak pidana ekonomi. Secara umum tindak
pidana ekonomi adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan karena
atau untuk motif-motif ekonomi.71 Tindak pidana ekonomi ini biasanya
disebut juga kejahatan kerah putih (white collar crime). Secara umum Conklin
merumuskan dan mengidentifikasian unsur-unsur tindak pidana ekonomi
sebagai berikut:
a. Suatu perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi
pidana
70M. Arief Amrullah, 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering), Bayumedia
Publishing, Malang, Hal.52
71Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, Hal.151
69
b. Yang dilakukan ole seseorang, atau korporasi di dalam
pekerjaannya yang sah atau di dalam pencarian/usahanya dibidang
industri atau perdagangan.
c. Untuk tujuan memperoleh uang atau kekayaan, menghindari
pembayaran uang atau menghindari kehilangan/kerugian
kekayaan, memperoleh keuntungan bisnis atau keuntungan
pribadi.72
Seiring dengan perkembangan era globalisasi di segala bidang
kehidupan termasuk perkembangan ekonomi, keuangan, perdagangan,
perbankan dan sosialisasi yang pesat, telah membawa implikasi hukum
tertentu bagi Indonesia. Pertama, bagaimana peranan hukum yang harus
dikedepankan untuk mendukung perubahan-perubahan kebijakan di berbagai
sektor kehidupan masyarakat Indonesia untuk masa kini dan mendatang.
Kedua, peranan hukum mana yang perlu dan mendesak dikedepankan untuk
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dana masyarakat era
globalisasi.73
Budi Untung mengemukakan bahwa dalam hukum perbankan,
terdapat beberapa kategori tindak pidana perbankan.74 Pertama, tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum (PT, Yayasan, atau
Koperasi) yang melakukan praktik perbankan tanpa seijin Menteri Keuangan.
72Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, Hal.138-
139
73Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Hal.18
74Ibid, Hal.156
70
Praktik Perbankan yang dimaksud misalnya menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan
lain-lain (Pasal 46 UU Perbankan). Kedua, perbuatan tindak pidana yang
dilakukan oleh pegawai bank, komisaris, ataupun direksi yang dengan sengaja
ataupun lalai membuat laporan kepada Bank Indonesia mengenai usahanya
maupun neraca untung rugi secara berkala sesuai dengan tata cara yang
ditentutakn Bank Indonesia (Pasal 48 UU Perbankan). Ketiga, perbuatan
pidana yang dilakukan oleh komisaris, direksi ataupun pegawai bank dengan
cara merusak, menghilangkan, mengaburkan, memalsukan, mengubah
menjadi tidak benar segala sesuatu yang menyangkut “segala dokumen
perbankan” (Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan). Keempat, tindak pidana yang
dilakukan oleh komisaris, direksi atau pegawai bank yang menguntungkan
diri sendiri atau keluarganya (karena menerima komisi/ menerima sogokan)
dalam rangka pencairan kredit atau pemberian kredit yang melebihi batas,
bank garansi dan segala macam yang menyengkut transaksi perbankan (Pasal
49 ayat (2) UU Perbankan).
Sedangkan menurut Sofyan Nasution (analis Bank Madya Senior)
Pejabat Bank Indonesia pada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan
(DIMP). Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,
pengaturan mengenai pemidanaan diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal
71
50 A. Dalam ketentuan ini jenis-jenis tindak pidana perbankan
dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok besar yaitu:
1. Tindak pidana berkaitan dengan perijinan
2. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha
3. Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank
4. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank oleh Ban
Indonesia
5. Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi
Dalam pendirian sebuah bank, tidak dapat dilakukan dengan sembarangan.
Dengan kata lain, untuk dapat mendirikan sebuah bank harus memenuhi
syarat-syarat yang sudah ditentukan. Untuk pendirian sebuah bank tersebut,
dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, mengatur secara
jelas mengenai syarat pendirian sebuah bank yaitu dalam Pasal 16, 18, 19, dan
Pasal 20.
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut, dapat kita lihat dengan
jelas bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dan dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh ijin
usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat dari pimpinan Bank
Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat yang
dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
72
Pendirian bank yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan secara tegas dalam UU Perbankan ini dapat dikatakan sebagai bank
gelap dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pertama tindak pidana
perbankan. Disebut sebagai bank gelap adalah badan (dalam hal ini berbentuk
bank) yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tanpa
ijin dari pihak yang berwenang (Bank Indonesia).
Ketentuan mengenai tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan
perijinan ini dapat kita lihat dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU
No.10/1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa:
(1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas,
perserikatan, yayasan, atau koperasi, maka penuntutan terhadap
badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakkan perbuatan itu atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-
duanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang
diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) adalah setiap
orang (orang pada umumnya) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan (yang meliputi tabungan, deposito berjangka, giro, dan lain
73
sebagainya) namun dilakukan tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia atau
dengan perkataan lain, dapat dikatakan telah membuat suatu bank atau suatu
badan yang berfungsi atau menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah
sebagai sebuah bank namun tidak memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank
Indonesia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap. Badan hukum yang
menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun
tidak pernah memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonsia sehingga
dikategorikan sebagai bank gelap dan dapat dikenakan sanksi pidana
berdasarkan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.
74
BAB III
PERTANGGUNJAWABAN PIDANA BILAMANA TERJADI TINDAK
PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN YANG MELIBATKAN KOPERASI
3.1 Perbuatan Tindak Pidana Yang Melibatkan Koperasi
Koperasi sebagai suatu badan hukum tidak bisa terlepas dari kemungkinan
melakukan suatu perbuatan pidana. Tindak pidana merupakan suatu konsep yuridis
yang berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana.
Dalam pengertian lain, tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar perbuatan tersebut.75 Kata tindak pidana
merupakan terjemahan dari “delik” yang berasal dari bahasa Latin yakni delictum. 76
Adapun tindak pidana yang berkaitan dengan koperasi yang sering tejadi
adalah sebagai berikut:
1. Tindak Pidana Penipuan
Tindak Pidana Penipuan menurut Pasal 378 KUHP yang
dirumuskan sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau
75Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, Hal.1 76Leden Marpaung, 2003, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap Perbankan,
Penerbit Djambatan, Jakarta, Hal.5
75
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama empat Tahun.”
Dalam penipuan, dimilikinya suatu benda oleh seseorang dilakukan
dengan cara melawan hukum, yaitu dengan perbuatan yang tidak sah;
memakai nama palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan.
Seseorang yang melakukan penipuan, dengan kata-kata bohongnya itu,
menyebabkan orang lain menyerahkan suatu benda kepadanya. Dan
apabila tidak adanya kebohongan tersebut, maka belum tentu orang yang
bersangkutan akan menyerahkan benda itu secara sukarela.
Contoh yang dapat kita lihat dalam kasus koperasi yang melakukan
penipuan adalah kasus koperasi yang melakukan penipuan terhadap
anggota koperasi. Salah satu bentuk penipuan yang dapat dilakukan oleh
koperasi adalah apabila koperasi yang berkewajiban memberikan bagi
hasil koperasi dari modal penyertaan yang ditanamkan namun dalam
pelaksanaannya tersebut koperasi tidak memberikannya (contoh kasusnya
adalah Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada).
2. Tindak Pidana Penggelapan
Tindak Pidana Penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP, dimana
yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik
orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu
sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Dalam
76
penggelapan, dimilikinya suatu benda terjadi bukan karena perbuatan
yang melawan hukum (bukan karena perbuatan yang tidak sah),
melainkan karena suatu perbuatan yang sah (bukan karena kejahatan).
Perbuatan dimilikinya barang tersebut dilakukan dengan kesadaran bahwa
si pemberi dan penerima barang sama-sama menyadari perbuatan mereka,
namun pada akhirnya dimilikinya benda tersebut oleh penerima barang
dipanda sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki (melawan hukum).
Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya
menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi
karena tugas atau jabatannya, contoh pengurus koperasi yang
dipercayakan oleh nasabah untuk menghimpun dana-dana dari anggota
koperasi, namun pada akhirnya dana-dana tersebut bukannya digunakan
untuk kepentingan sesama anggota malah digunakan untuk kepentingan
pribadi pengurus.
3. Tindak Pidana Korupsi
Koperasi juga dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi.
Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi apabila
orang tersebut bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Hal ini diatur
77
dalam ketentuan Pasal 3 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Salah satu contoh kasus koperasi yang melakukan korupsi adalah
kasus Koperasi Warga Desa Harapan Maju – Serang Banten, dimana
pengurus koperasi tersebut telah mengajukan permohonan bantuan
perkuatan permodalan sebesar Rp6,9 miliar, untuk budidaya rumput laut.
Setelah dana tersebut berhasil cair, sebesar Rp4,8 miliar, dana tersebut
tidak dipergunakan untuk pengembangan budi daya rumput laut seperti
yang diajukan dalam permohonan awal melainkan dipergunakan untuk
usaha lain. Bahkan uang bantuan tersebut, dibawa kabur oleh ketua
koperasi Harapan Maju sendiri, akibatnya negara dirugikan sebesar Rp
4,8 miliar.
4. Tindak Pidana Perbankan
Tindak pidana perbankan adalah perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja (lalai) yang
dilakukan oleh korporasi dan/atau anggota-anggota pengurusnya dalam
menjalankan setiap bentuk usahanya (usaha bank) sehingga menimbulkan
kerugian materiil dan kerugian immateriil baik bagi masyarakat maupun
bagi negara, baik yang disadari maupun yang tidak disadari yang terjadi
dalam suatu wilayah negara tertentu ataupun lintas batas negara
78
(transnasional) dengan waktu yang seketika ataupun dengan adanya
jangka waktu.77
Untuk menjaga ketajaman dari penelitian agar tidak terlalu meluas, maka
peneliti lebih lanjut hanya akan membahas tindak pidana perbankan yang dapat
dilakukan oleh Koperasi.
Sebagaimana diketahui, bahwa tindak pidana perbankan merupakan salah satu
bentuk dari tindak pidana di bidang ekonomi. Tindak pidana perbankan dilakukan
dengan menggunakan bank sebagai sarana dan sasarannya.78Menurut UU No.7/1992
jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana perbankan
terdiri dari 13 (tiga belas) macam. Dari ketiga belas macam tindak pidana tersebut,
dikelompokkan menjadi 5 kelompok utama, yaitu:
1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
Tindak pidana perbankan yang tergolong dalam kelompok ini adalah tindak
pidana yang berhubungan dengan perizinan pendirian bank sebagai lembaga
keuangan. Setiap orang yang ingin mendirikan bank, haruslah memenuhi
syarat-syarat atau ketentuan yang terdapat dalam undang-undang. Pihak yang
mendirikan bank tanpa memenuhi syarat-syarat atau ketentuan yang
ditetapkan oleh undang-undang dapat dikatakan telah melakukan tindak
77 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, Hal.15-16
78Hermansyah, Op.Cit, Hal.141
79
pidana di bidang perbankan kelompok ini. Bank yang telah didirikan ini
disebut juga dengan bank gelap.
Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, syarat pendirian
sebuah bank ini telah diatur dengan tegas dan jelas dalam Pasal 16, Pasal 18,
Pasal 19, dan Pasal 20, sedangkan ketentuan mengenai tindak pidana yang
berkaitan dengan bank gelap dapat ditemukan dalam Pasal 46 UU No.7/1992
jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.
2. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank
Tindak pidana perbankan ini berkaitan dengan jenis dan bentuk usaha yang
dilakukan oleh bank. Adapun jenis dan bentuk usaha ini sangat
memperngaruhi dalam mendorong pertumbuhan perekonomian nasional suatu
negara. Oleh sebab itu, jenis dan bentuk usaha bank harus senantiasa
mendapat kepercayaan dari masyarakat karena apabila jenis dan usaha bank
ini tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat maka perbankan itu sendiri
akan hancur dan akan menimbulkan dampak serius, dampak sistemik dan
meluas bahkan sampai mengancam stabilitas perekonomian nasional.
Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank dan segala
bentuk dan jenis usaha yang dilakukannya, hukum harus mengambil
peranannya sehingga dana dari nasabah atau dana dari masyarakat dapat
dipergunakan secara tepat sasaran, digunakan secara benar sesuai dengan
tujuannya dan dapat dipertanggungjawabkan, yakni diwujudkan dalam bentuk
80
laporan pertanggungjawaban yang akan diumumkan langsung kepada publik
melalui media massa, maupun diberikan kepada Bank Indonesia atau Otoritas
Jasa Keuangan.
Berkaitan dengan tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan usaha bank
ini, di dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, telah
disebutkan atau diatur secara tegas dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf c dan Pasal 49 ayat (2) huruf a dan huruf b.
3. Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan Sikap dan/atau Tindakan yang
Dilakukan oleh Pengurus, Pegawai, Pihak Terafiliasi, dan Pemegang Saham
Bank
Sebagai pihak yang sangat memerlukan kepercayaan dalam menjalankan
setiap usahanya, tepatnya pihak yang mengelola langsung dana yang
diperoleh dari masyarakat, sudah seharusnya apabila bank dan para pihak
yang terkait dengan bank, misalnya pengurus bank, pegawai bank, pihak lain
yang terafiliasi dengan bank serta pemegang saham bank itu sendiri
menjalankan setiap tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab
dan semua tindakannya harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian serta
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Prinsip tanggung jawab dan
prinsip kehati-hatian ini pada dasarnya penting untuk dilakukan dalam rangka
menjaga kepercayaan yang sudah dipercayakan masyarakat dan untuk
81
mencegah dilakukannya kecurangan-kecurangan atau bahkan suatu tindak
pidana atau penyelewengan dana.
Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan
oleh pengurus, pegawai, pihak terafiliasi, dan pemegang saham bankini diatur
secara tegas dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan
yang menyebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tidak
pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan oleh
pegawai bank, pengurus bank, pihak terafiliasi, dan pemegang saham diatur
dalam Pasal 50 dan Pasal 50 A.
4. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank
Untuk menjaga aktivitas atau kegiatan bank agar selalu berada dalam koridor
yang berlaku, serta dalam rangka mencegah dilakukannya kecurangan-
kecurangan atau penyelewengan-penyelewengan atau bahkan tindak pidana
perbankan sekaligus dalam rangka menjaga kelangsungan hidup bank yang
bersangkutan atau lembaga perbankan pada umunya guna meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, maka setiap bank
mempunyai keharusan atau kewajiban untuk mematuhi kewajibannya kepada
pihak yang bertanggungjawab dalam pengawasan dan pembinaan bank yang
dalam hal ini adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral dan/atau Otoritas
Jasa Keuangan (OJK).
82
Dalam kaitannya dengan hal ini, dapat dilihat apabila terdapat bank yang
menyalahi aturan yang berlaku atau menjalankan aktivitasnya tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maka Bank
Indonesia sebagai bank sentral dapat mengambil tindakan seperti mencabut
izin usaha bank yang bersangkutan, melakuka penutupan bank, dan lain
sebagainya.
Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan
diatur secara tegas dalam Pasal 48 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998
tentang Perbankan.
5. Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Rahasia Bank
Sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat dalam jumlah
yang besar, salah satu yang harus dijaga adalah kepercayaan masyarakat.
Kepercayaan yang harus dijaga tersebut, salah satunya adalah mengenai
keterangan tentang data diri dan keadaan keuangan nasabah. Jika ada pihak
yang dengan melawan hukum membocorkan tentang keadaan keuangan
nasabah suatu bank, maka dia termasuk melakukan tindak pidana perbankan
kelompok ini. Rahasia bank dapat didefinisikan secara umum sebagai berikut
yaitu segala sesuatu yang dipercayakan oleh nasabah bank kepada pihak bank
yang dengan sengaja disembunyikan dengan maksud agar tidak diketahui oleh
orang lain atau oleh pihak lain yang tidak berwenang atau tidak berhak yang
dilakukan dalam kegiatan menjalankan jenis usaha yang dilakukan oleh bank
83
yakni menghimpun dana dari masyarakat dan kegiatan menyalurkannya
kembali kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.79
Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, disebutkan
bahwa tindak pidana yangtermasuk ke dalam jenis tindak pidana yang
berkaitan dengan rahasiabank, terdapat dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat
(2), dan Pasal 47A.
Tindak pidana perbankan yang berpotensi dilakukan dalam kegiatan Koperasi
adalah kejahatan melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Adapun beberapa contoh-
contoh kasus tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan yang dilakukan oleh
Koperasi yang terjadi di Indonesia dan telah melalui proses peradilan. Contoh kasus
pertama adalah sebagai berikut:
1. Kasus Koperasi Simpan Pinjam Anugerah Sejahtera, Lumajang, yang
melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan wajib tanpa terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai
Bank Umum atau Bank Pengkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank
Indonesia. Perbuatan ini dilakukan oleh Hery Santoso Al Henfa yang
menjabat sebagai Manajer Kantor Koperasi Simpan Pinjam Anugerah
Sejahtera. Hery selaku manajer melakukan kegiatan usaha menerima
simpanan berjangka 1 (satu) tahun atau 12 (dua belas) bulan dengan
79Kristian, Op.Cit, Hal. 114
84
ketetapan suku bunga 15% per tahun, namun Hery dalam menjalankan
usaha perkoperasian tersebut tidak sesuai dengan UU Perbankan yang
menjelaskan bahwa KSP tidak diperbolehkan menghimpun dana dari
masyarakat yang bukan merupakan anggota.
Selain itu, pada saat jatuh tempo dari simpanan berjangka milik
korban/nasabah Koperasi Anugerah Sejahtera, Hery tidak dapat melunasi
atau membayarkan uang tersebut kepada korban dengan alasan simpanan
berjangka milik saksi dan korban tidak dapat dicairkan karena Koperasi
tidak ada dana atau tidak ada uang. Dan setiap kali dilakukan penagihan
terdakwa selalu berjanji namun saksi dan korban tidak mendapatkan uang
miliknya tersebut. Selain itu para korban juga tidak mendapat sisa hasil
usaha yang seharusnya diterima oleh setiap anggota koperasi.
Adapun dalam putusan pengadilan, Penuntut Umum meyakinkan
terdakwa Hery melanggar ketentuan pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 46 UU
No.7/1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan. Pasal tersebut
menyinggung adanya unsur-unsur yang harus terpenuhi yaitu:
1) Unsur setiap pihak;
2) Unsur melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan;
85
3) Unsur wajib terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank
Indonesia; dan
4) Unsur kecuali kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dimaksud diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
Dalam unsur setiap pihak, yang dimaksud di sini adalah orang atau
perseorangan atau Badan Hukum atau Korporasi sebagai subyek hukum
yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Menimbang hal
tersebut maka Hery yang menjabat sebagai Manager Koperasi Simpan
Pinjam Anugerah Sejahtera yang mengelola KSP Angerah Sejahtera dapat
bertanggungjawab secara pidana.
Unsur-unsur lainnya pun telah terpenuhi sehingga Hery dianggap dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dipidana dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun penjara dan denda sejumlah Rp. 10.000.000.000,-
(sepuluh milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan
diganti denan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
2. Kasus penggelapan Rp 71 Miliar oleh pengurus Koperasi Serba Usaha
Swadana Mandiri yang bekerja sama dengan Suwondo komisaris PT.
Bank Pasar Harta Guna. Kasus ini terjadi di kota Malang dan merupakan
kasus kejahatan berskala nasional yang berimplikasi luas terhadap
86
masyarakat umum dan perekonomian. Pada saat surat laporan dan tuntutan
yang diajukan LHKI No 04/BPHG.KSUSM/LHKI/IX/2002 kepada :
1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta
2. Kepala Kejaksaan Agung RI di Jakarta.
kasus ini telah sampai pada tahap persidangan PN Malang, JPU tetap
bersikukuh memajukan tersangka tunggal Suwondo., tanpa menahan
tersangka lain (yakni pengurus dan Manajer KSU) sehingga mendapat
kritikan pedas dari berbagai kalangan (Kuasa Hukum para korban, LSM,
Mass media, dan masyarakat).
Dasar pemprosesan perkara diatas menggunakan laporan polisi dari 6
korban. Sedangkan dalam kasus ini, LHKI merupakan pemegang kuasa
dari korban lainnya, yang dua diantaranya telah melapor ke Polisi yaitu
dengan laporan Polisi No. Pol. : LP/ 129/V/2002/Polwil, tanggal 07 Mei
2002 dan Laporan polisi No. Pol : LP/ 130/ V/2002 Polwil, tanggal 07
Mei 2002, namun anehnya berdasarkan laporan tersebut tidak segera
dilakukan penyelidikan. Kronologi kasus ini adalah :
a. Kasus ini menggunakan modus operandi perbankan fiktif (bank
gelap) dimana koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri (SUSM)
melakukan operasional layaknya perbankan dengan melakukan
pelayanan deposito, yang sebagian besar deposannya berasal dari
87
eks nasabah PT. Bank Pasar Harta Guna (BPHG) yang
berkedudukan di Malang.
b. Awalnya para nasabah PT. BPHG datang untuk melakukan
transaksi (deposito), namun oleh karyawan PT. BPHG yaitu
Theresia dan Indah Saronto para nasabah tersebut
disuruh/dianjurkan menyetorkan uangnya dalam bentuk deposito
di koperasi SUSM dengan dijanjikan keuntungan antara lain
adanya Bunga Deposito yang lebih tinggi dan tidak kena pajak
sehingga para nasabah PT BPHG akhirnya memasukkan dan
memindahkan uangnya dalam bentuk deposito (dengan nama
deposito Mandiri) ke Koperasi tersebut. Dimana pada saat
melakukan transaksi para nasabah/ deposan melihat pengoperasian
Koperasi tersebut layaknya seperti bank, hal ini membuat nasabah
yakin terhadap keberadaan dan kebonafidan Koperasi tersebut.
c. Penerbitan Deposito mandiri oleh koperasi SUSM merupakan
sebuah kegiatan perbankan yang illegal, karena menurut Pasal 16
UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 diatur bahwa sebuah lembaga
yang akan melakukan kegiatan perbankan harus mendapat izin dan
memenuhi syarat-syarat dari BI.
d. Deposan yang uangnya disimpan/ didepositokan ke Koperasi
tersebut sebenarnya belum jelas kedudukan mereka dalam
88
keanggotaannya, padahal menurut UU No 23 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian segala kegiatan yang dilakukan oleh koperasi
haruslah dilakukan dari, oleh dan untuk anggota koperasi tersebut.
e. Karena ketat dan beratnya sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan
perbankan sebagaimana ditetapkan dalam UU No.7/1992 jo. UU
No.10/1998 tentang Perbankan, maka Suwondo memprakarsai
pendirian Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang dipakai
sebagi killing field untuk merampok/menguras uang eks. Nasabah/
deposan PT. BPHG
f. Sejumlah korban yang uangnya diduga digelapkan oleh oknum-
oknum Koperasi SUSM, yakni kurang lebih 217 orang dengan
jumlah kerugian kurang lebih sebesar Rp. 71 milyar.
g. Kadiskop Kota Malang ternyata telah lalai dalam melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap Koperasi SUSM, sehingga
kejahatan perbankan berkedok koperasi tersebut dengan mudah
dapat terjadi, oleh karenanya mereka harus ikut bertanggung jawab
terhadap kerugian yang diderita oleh para korban.
Fakta-fakta diatas menunjukkan adanya kejanggalan-kejanggalan dalam
penanganan kasus ini, yang pada intinya :
Koperasi ini tidak memiliki anggota yang jelas dan tidak adanya badan
pengawas serta sangat besarnya kekuasaan Suwondo (bisa mengendalikan
89
pengurus dan manajer koperasi SUSM sehingga dengan leluasa sekali
mengeluarkan keputusan terutama pengelolaan uang koperasi).
Koperasi bukan merupakan sebuah Bank, tapi melakukan transaksi
selayaknya bank, yakni dengan mengeluarkan deposito Mandiri. Oleh
karenanya, Koperasi ini dapat dikategorikan kejahatan bank gelap dan
melanggar Pasal 46 UU No.7/1992 jo. No.10/1998 tentang Perbankan.80
Namun dalam kasus ini, pengurus dan manajer koperasi tidak ditahan,
padahal biasanya dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh koperasi,
pengurus dan manajer ikut bertanggungjawab karena mereka memiliki
posisi yang tinggi dalam koperasi dan pengurus bertugas dalam
mengambil setiap kebijakan yang ada di koperasi tersebut. Sedangkan
manajer dalam koperasi biasanya mengatasi karyawannya. Manajerlah
yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan bawahannya.
Sehingga dalam penanganan kasus ini seharusnya pengurus dan manajer
tidak boleh dilepaskan dari tanggungjawab begitu saja. Padahal dalam
Pasal 34 UU No.25/1992 tentang perkoperasian menyatakan bahwa
pengurus menanggung kerugian yang diderita koperasi karena tindakan
yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian. Selain itu, apabila
tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan maka tidak menutup
80Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia, 2009, Kasus Penggelapan 71M oleh Pengurus
Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang bekerjasama dengan Suwondo Komisaris PT/ Bank
Pasar Harta Guna, tersedia di website http://lhkipusat.blogspot.com/2009/08/kasus-penggelapan-71m-
oleh-pengurus.html, diakses pada tanggal 1 April 2015
90
kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan. Melalui
penjelesan Pasal 34 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian tersebut maka
membuktikan bahwa pengurus wajib untuk bertanggungjawab atas
tindakan yang dilakukannya, termasuk tindak pidana.
3. Kasus Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati (KSP KMS) dengan
tersangka Ida Bagus Gede Wiradnyana, I Nyoman Mandiarta sebagai
Sekretaris KSP KMS, dan I Wayan Tisna sebagai Bendahara KSP KMS.
Terdakwa didakwa melakukan menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998
KSP KMS menghimpun dana dari masyarakat di wilayah Mataram dan
sekitarnya yang sebagian besar dari Masyarakat umum bukan anggota
KSP KMS, calon anggota KSP KMS, koperasi lain dan/atau anggotanya
dalam bentuk simpanan (tabungan/simpanan, simpanan berjangka/
deposito dan simpanan masa depan) tanpa ada ijin dari Pimpinan Bank
Indonesia, dengan cara pegawai lapangan KSP KMS mendatangi ke
rumah-rumah penduduk masyarakat umum di wilayah kota Mataram dan
sekitarnya untuk menawarkan menyimpan/menabung uangnya di KSP
KMS dalam bentuk tabungan/simpanan, simpanan berjangka/deposito dan
simpanan masa depan. Bahkan terdakwa juga ikut menawarkan untuk
menyimpan/menabung uangnya di KSP KMS kebeberapa masyarakat.
91
Hal ini menyebabkan pada kenyataanya KSP KMS menerima simpanan
berbentuk tabungan/simpanan berjangka/deposito dan simpanan masa
yang bukan dari anggota koperasi.
Berdasarkan perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 46 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang
Perbankan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1
KUHP. Sehingga pada akhirnya hakim memutuskan bahwa menyatakan
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “bersama-sama menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan tanpa memperoleh ijin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia
secara berlanjut” dan oleh karena itu dihukum dengan pidana penjara
selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp 10.000.000.000,-
(sepuluh miliar rupiah), subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
Peneliti dalam kasus ini melihat adanya perbedaan pendapat oleh saksi
ahli yang dihadirkan dalam kasus ini. Adapun saksi ahli pertama yaitu Dr.
I Wayan Wiryawan,SH.,MH menyatakan bahwa kalau koperasi
menjalankan aktivitasnya berdasarkan ketentuan dalam UU
Perkoperasian, maka kalau terjadi pelanggaran dikenakan sanksi
berdasarkan UU Perkoperasian pula; akan tetapi kalau koperasi dalam
menjalankan aktivitasnya di luar yang ditentukan dalam UU
Perkoperasian, maka koperasi tersebut dikenakan UU di luar UU
92
Perkoperasian. Sehingga koperasi yang bentuk usahanya adalah tabungan,
deposito, dan tabungan masa depan dengan memberi bunga kepada
penabungnya dan bukan merupakan SHU, maka koperasi tersebut
menjalankan usaha perbankan. Koperasi seperti ini tidak dibolehkan
karena operasi asasnya untuk kesejahteraan anggotanya sehingga dapat
dikenakan UU Perbankan.
Pendapat yang berbeda diberikan oleh saksi ahli Dr. I Ketut
Westra,SH.,MH dimana beliau menyatakan bahwa Pasal 46 UU
No.7/1992 jo. UU No.10/1998. tentang Perbankan perlu dipahami secara
keseluruhan dan utuh ketentuan dalam Pasal 16 UU No.7/1992 jo. UU
No.10/1998 tentang Perbankan; di mana dinyatakan bahwa setiap pihak
melakukan menghimpun dana dari masyarakat wajib terlebih dahulu
mendapat ijin, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
diatur dalam asuransi atau ataupun kegiatan oleh badan hukum koperasi
yang telah diatur oleh UU tersendiri dapat mengenyampingkan atau tidak
dapat diterapkan unsur untuk terlebih dahulu memperoleh ijin dari BI
karena telah diatur UU tersendiri yakni UU No 25/1995 tentang
Perkoperasian.
Jadi, badan hukum yang bersifat khusus maka penuntutan atau aturan serta
penerapan aturan adalah UU Khusus yang mengatur mengenai hal
tersebut. Sehingga menurut saksi ahli kalau badan hukum sudah diatur
93
dalam UU Perkoperasian maka tidak bisa diselesaikan dengan UU
Perbankan; demikian sebaliknya.
Berdasarkan penjabaran kasus-kasus tersebut diatas maka dapat kita lihat
bahwa koperasi dapat melakukan tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan.
Hal ini dikarenakan koperasi merupakan suatu badan hukum yang bentuknya
menyerupai bank. Bahkan dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang
Perbankan pun mengatur mengenai pemidanaan bagi Koperasi yang melakukan
perbuatan tindak pidana perbankan terkait perijinan yaitu dalam Pasal 46 UU
No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.
Selain itu, dalam UU Perbankan telah disebutkan dalam Pasal 21 bahwa:
(1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah
(2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu
dari:
a. Perusahaan Daerah;
b. Koperasi;
c. Perseroan Terbatas;
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang
berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka koperasi termasuk salah satu
klasifikasi bentuk hukum suatu bank sehingga apabila koperasi melakukan perbuatan
tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan maka koperasi tersebut dapat
dipidanakan seseuai dengan UU Perbankan yang berlaku saat ini yaitu UU No.7/1992
94
jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. Hal ini juga sesuai dengan teori fiksi dan teori
kenyataan yuridis dalam teori badan hukum dimana badan hukum dapat dilihat
sebagai subyek hukum dan Koperasi sebagai kumpulan yang diberikan kedudukan
sebagai badan hukum setelah memenuhi persyaratan tertentu telah dinyatakan dalam
UU No.25/1992 tentang Perkoperasian.
Namun dalam pelaksanaannya, pertanggungjawaban koperasi dalam
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin dengan menggunakan UU Perbankan
masih menuai pro dan kontra. Seperti contohnya dalam kasus Koperasi Simpan
Pinjam Karya Mandiri Sejati (KSP KMS) dimana saksi ahli tidak sependapat
mengenai koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tersebut diselesaikan
dengan UU Perbankan. Hal ini dikarenakan koperasi telah memiliki peraturan
perundang-undangannya sendiri sehingga proses pengadilannya pun harus
menggunakan perturan perundang-undangan yang khusus pula yaitu dengan UU
Perkoperasian (lex specialis derograt legi generali). Padahal dalam pelaksanaannya,
banyak putusan hakim yang menjatuhkan hukuman pidana kepada para pengurus
koperasi karena dianggap bertanggungjawab atas tindak pidana perbankan terkait
perijinan yang dilakukannya. Selain itu, dalam putusan-putusan tersebut dapat dilihat
bahwa pertanggungjawaban pidana koperasi baru dibebankan hanya kepada
pengurus/ pimpinan yang memberikan perintah, sedangkan pemberian sanksi
administratif tidak dibebankan kepada koperasi sebagai korporasi.
95
Adanya kesempatan yang diberikan untuk melakukan perbuatan melawan
hukum menyebabkan semakin banyaknya koperasi yang melakukan tindak pidana,
termasuk tindak pidana perbankan terkait perijinan. Semakin banyaknya jenis tindak
pidana yang ada semakin besar ruang lingkup tindak pidana yang dapat dilanggar
oleh koperasi. Hal-hal inilah yang kedepannya dapat merugikan masyarakat apabila
masih terjadi konflik norma dalam hal pertanggungjawaban pidana koperasi dalam
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin.
3.2 KOPERASI SEBAGAI KORPORASI
Seperi yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Bab II, Koperasi menurut
Margono Djojohadikoesoemo adalah perkumpulan manusia seseorang-seseorang
yang dengan sukanya sendiri hendak bekerja sama untuk memajukan ekonominya.
Prof. R.S. Soeriaatmadja juga memberikan definisi yang hampir serupa yaitu koperasi
merupakan suatu perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat
sebagai manusia, dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara sukarela
masuk untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas
tanggungan bersama.
Negara Nederland, berhasil mengundangkan Undang-Undang Koperasi pada
tahun 1876 yang memberikan definisi mengenai koperasi sebagai suatu perkumpulan
dari orang-orang, dalam mana diperbolehkan masuk atau keluar sebagai anggota, dan
yang bertujuan memperbaiki kepentingan-kepentingan perbedaan atau materiil dari
96
para anggota, secara bersama-sama menyelenggarakan suatu penghidupan atau
pekerjaan (gemeenschappelijke uitoefening van hun nering of hun ambacht).81
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, Koperasi
adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Berdasarkan penjabaran Pasal tersebut dapat dilihat secara hukum bahwa
Koperasi memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Koperasi adalah badan usaha/ badan hukum;
2. Pendirinya adalah orang-orang (perorangan/individu) atau badan hukum
Koperasi;
3. Bekerja berdasarkan prinsip-prinsip Koperasi dan asas kekeluargaan; dan
4. Sebagai gerakan ekonomi rakyat.
Koperasi sebagai salah satu badan hukum memiliki hak dan kewajibannya
yang sama dengan badan hukum lainnya. Badan hukum memiliki kewajiban untuk
bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukannya, termasuk
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan. Dalam pertanggungjawaban
pidana, koperasi dapat dikategorikan sebagai korporasi.
Secara harafiah korporasi (corporatie, Belanda), corporation (Inggris),
Corporation (Jerman) berasal dari kata “corporation” dalam bahasa latin.
Corporation sebagai kata benda (substantivum) berasal dari kata kerja
“corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau
81Budi Untung, Op.Cit, Hal 1-2
97
sesudah itu. “Corporare” berasal dari kata “corpus” (Indonesia=Badan) yang
berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, “corporation”
berasal dari hasil pekerjaan membadankan. Badan yang dijadikan orang, badan
yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia
yang terjadi menurut alam.82
Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa korporasi berasal dari kata
corporate, yaitu suatu badan yang mempunyai sekumpulan anggota dang anggota-
anggota tersebut mempunyai hak dan kewajiban tiap-tiap anggota.83
J.C. Smith dan Brian Hogan mendefinisikan korporasi sebagai:
A corporation is a legal person but it has no physical existence and cannot,
therefore, act a form an intention of any kind except throught its directors or
servant is also a legal person quite distinct from the corporation, it follows that a
corporation’s legal liabilities are all, in a sense, vicarious. This line of thingking
is epitomized in the catchphrase “corporations don’t commit crimes”; people
do84
Pengertian Korporasi juga disebutkan dalam berbagai undang-undang yang
bersifat khusus seperti UU No.31/1999 jo. UU No.20/2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 1 angka 3 UU No.31/1999 jo. UU
No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 1 angka 10 UU
No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
dikemukakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
82Soetan K.Malikoel Adil, 1995, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, PT Pembangunan, Jakarta,
Hal.83, dikutip dari Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali Pers, Jakarta,
Hal.1
83Muladi dan Dwidja Priyanto, Op.Cit, Hal.19-20
84Eric Colvin, 1995, Corporate Personality and Criminal Liability, Criminal Law Forum, Page.5
98
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan dan/atau badan hukum.
Berdasarkan penjelasan tersebut sudah dapat dilihat persamaan unsur-unsur dari
definisi koperasi dengan korporasi yaitu merupakan perkumpulan orang dan
merupakan badan hukum.
Korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena itu
tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui Direktur atau
karyawannya. Direktur dan karyawan juga merupakan entitias hukum yang berbeda
dengan korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah
melalui pertanggungjawaban pengganti. Hal ini berarti bahwa korporasi tidak dapat
melakukan kejahatan, tapi orang-orang yang bertindak untuk dan atau atas ama
korporasilah yang bisa melakukan kejahatan.
Menurut sifatnya, badan hukum itu ada dua macam, yaitu korporasi
(corporatie) dan yayasan (stichting).85 Badan hukum merupakan subyek hukum pada
akhinya tumbuh pada bidang-bidang hukum lain di luar stelsel hukum perdata,
termasuk dalam stelsel hukum pidana. Penempatan korporasi sebagai subyek tindak
pidana sampai sekarang masih menjadi masalah, sehinggal timbul sikap pro dan
kontra.
Koperasi dikatakan sebagai korporasi bukanlah sekedar pernyataan, namun
juga berdasarkan landasan-landasan hukum. Seperti yang dijelaskan dalam pengertian
Koperasi dan Korporasi, dimana dalam pengertian tersebut Koperasi dan Korporasi
85H. Setiyono, 2009, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, Hal.6
99
merupakan badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri. Dengan adanya persamaan tersebut maka
pertanggungjawaban pidana koperasi merupakan pertanggungjawaban korporasi pula.
Pada sub bab sebelumnya, telah dijabarkan kasus-kasus koperasi yang
melakukan tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan. Ditegaskan bahwa
koperasi-koperasi tersebut dikenakan Pasal 16 dan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU
No.10/1998 tentang Perbankan karena telah menghimpun dana dari masyarakat luas
tanpa seijin dari Pimpinan Bank Indonesia. Hal ini tentu saja menunjukkan secara
jelas bahwa para penegak hukum juga beranggapan bahwa koperasi merupakan salah
satu bentuk korporasi dan dapat dipertanggungjawabkan secara korporasi pula.
3.3 Pertanggungjawaban Pidana Oleh Koperasi
Ketika korporasi harus bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana
yang dilakukannya, maka secara umum dikenal tiga sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi yaitu sebagai berikut86:
a) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus harus
bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban
korporasi pada tahap pertama);
Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat
tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatas pada perorangan
86Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Hal.9
100
(natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam
lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh
pengurus korporasi itu.
b) Korporasi sebagai pembuat, namun pengurus yang harus
bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban
korporasi pada tahap ke dua);
Sistem pertanggungjawaban korporasi ini ditandai dengan pengakuan
yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak
pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi),
akan tetapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan
hukum (korporasi) tersebut. Secara perlahan-lahan tanggungjawab
pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang
memerintahkan.
c) Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus
bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban
korporasi pada tahap ketiga).
Sistem pertanggungjawaban pada tahap ketiga ini merupakan permulaan
adanya tanggungjawab yang langsung dari koporasi. Dalam sistem ini
dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Adapun hal-hal yang
dapat digunakan sebagai dasar pembenar atau alasan-alasan bahwa
101
korporasi sebagai pembuat sekaligus yang bertanggungjawab adalah
sebagai berikut:
1) Karena dalam berbagai tindakan ekonomi dan fiscal, keuntungan
yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat
dapat sedemikian besar sehingga tidak akan mungkin seimbang
bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja;
2) Dengan hanya memidanakan pengurus saja, tidak atau belum ada
jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana
lagi. Dengan memidanakan korporasi dengan jenis dan berat sesuai
dengan sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapat menaati
peraturan yang bersangkutan.87
Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi tidak cukup sampai dengan 3
konsep yang dikemukakan di atas, perlu ditambahkan satu konsep lagi yaitu,
pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula
yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana. Hal ini dikemukakan oleh
Sutan Remi Sjahdeini dengan beberapa penjelasan yaitu:
a. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka
menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian.
b. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi
sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini
akan atau dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi
tangan” atau mnegalihkan pertanggungjawaban.
c. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin
dilakukan secara vikarius, dan bukan secara langsung (doctrine of vicarious
liability) yaitu pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang dibebankan kepada pihak lain. Pembebanan pertanggungjawaban
pidana korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius karena korporasi
tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam hal perbuatan hukum, merupakan
kejahatan atau suatu tindak pidana apabila actus reus tindak pidana tersebut dilkukan
87 H. Setiyono, Op.Cit, Hal.14-15
102
oleh manusia sebagai pelaku tindak pidana itu (pengurus). Berdasarkan pemahaman
tersebut, maka tidak seharusnya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut
adalah bahwa hanya korporasi yang harus memilkul pertanggungjawaban pidana,
sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Sama halnya dengan koperasi, pengurus
koperasi tidak boleh dibebaskan begitu saja ketika telah melakukan tindak pidana.
Pengurus koperasi harus terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa tindak pidana
tersebut benar-benar telah dilakukan oleh pengurus koperasi dan sikap batin pengurus
koperasi tersebut dalam melakukan tindak pidana itu haruslah benar-benar bersalah
sehingga dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.
Dalam Teori Badan Hukum, selain manusia, badan hukum juga dipandang
sebagai subyek hukum. Hal inilah yang menjadi dasar pembenar dari
pertanggungjawaban pidana oleh koperasi. Koperasi sebagai badan hukum dapat kita
lihat dalam penjabaran Pasal 1 ayat (1) bahwa Koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Terminology atau istilah korporasi, yang sebenarnya belum terlalu lama
dipergunakan sebagai suatu istilah dalam hukum di Indonesia, dewasa ini dalam
kehidupan sehari-hari sudah biasa dipergunakan sebagai pengganti kata perusahaan,
badan usaha, dan atau badan hukum.88 Secara etimologi, menurut Soetan K. Malikoel
Adil, korporasi atau corporation (inggris) berasal dari kata corporare yang banyak
88 Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit, Hal. 27
103
dipakai orang pada abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari
kata corpus (badan dalam Bahasa Indonesia), yang berarti memberikan badan atau
membadankan. Dengan demikian, corporation itu berarti hasil dari pekerjaan
membadankan; dengan kata lain, badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh
dengan perbuatan manusia, sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi
menurut alam.89 J.S Badudu mengartikan korporasi sebagai: badan usaha yang sah
sebagai badan hukum/ badan serikat. Korpus berarti badan, satu keseluruhan.90
Pengaturan korporasi sebagai subyek tindak pidana juga masih menjadi suatu
permasalahan, yang mana timbul pendapat pro dan kontra terhadap layak atau
tidaknya suatu korporasi sebagai subyek hukum. Adapun anggapan pihak-pihak yang
tidak setuju mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
hanya terdapat pada persona alamiah.
b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat
dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat
dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang,
perkosaan, dan sebagainya)
c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang,
tidak dapat dikenakan pada korporasi.
d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.
e. Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma
atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi
itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.
89Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, Hal. 12 90J.S. Badudu, 2009, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Kompas,
Jakarta, Hal. 199
104
Berbeda dengan pihak kontra, pihak yang setuju menempatkan korporasi sebagai
subyek hukum pidana mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan represi
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.
Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi, korporasi dan
pengurus, atau pengurus saja.
b. Dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan
yang penting pula.
c. Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu
melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan-
ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya
ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia maka
tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu
menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.
d. Pemidanaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan
tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.91
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, Oemar Seno Adji berpendapat,
kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan, didasarkan
tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilitas, melainkan pula atas dasar-dasar
teoritis dapat dibenarkan.92 Peneliti juga setuju terhadap pengaturan korporasi sebagai
subyek tindak pidana. Hal tersebut dikarenakan agar suatu korporasi dapat
mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya diperlukan adanya
pengaturan hukum yang pasti untuk korporasi sehingga suatu korporasi tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Selain itu, dilihat dari perspektif korban dari
tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi, biasanya tidaklah sedikit,
sehingga tidak adil rasanya apabila korporasi tidak ikut mempertanggungjawabkan
91H. Setiyono, Op.Cit, Hal.10-11
92Ibid
105
perbuatannya. Adapaun seperti yang disebutkan sebelumnya korporasi tersebut dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui 4 sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus harus
bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi
pada tahap pertama), korporasi sebagai pembuat, namun pengurus yang harus
bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi
pada tahap ke dua), korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus
bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi
pada tahap ketiga), serta pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak
pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana.
Seperti pendapat Von Savigny, meskipun meskipun syarat-syarat dalam
peraturan hukum yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun
badan hukum boleh dianggap seolah-olah manusia.93 Hal ini terdapat dalam
pandangan penganut teori fiksi (fiction theory), dimana badan hukum disamakan
dengan manusia hanya saja sebagai perumpamaan (fiksi) saja. Sehingga perbuatan
hukum yang dalam pelaksanaannya memerlukan jiwa manusia, seperti ketakutan
dalam suatu paksaan tidak berlaku bagi badan hukum. Kepribadian hukum sebagai
kesatuan-kesatuan dari manusia yang merupakan hasil dari suatu khayalan.
Kepribadian sesungguhnya hanya ada pada diri manusia. Negara-negara, korporasi-
korporsi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subyek hak dan
93Komariah, Loc.Cit
106
perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia.94 Badan
hukum dalam hal ini korporasi, dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
sebagai subyek hukum pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada
dan berlaku.
Pertanggungjawaban pidana oleh koperasi juga tidak terlepas dari teori
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban atau yang kita kenal dengan
konsep “liability” diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan
yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Pertanggungjawaban
yang dilakukan tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi
menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu
masyarakat.
Dalam pertanggungjawaban pidana, adanya kesalahan merupakan unsur
mutlak yang bisa mengakibatkan dimintakannya pertanggungjawaban pidana dari si
pelaku delik. Pertanggungjawaban pidana atau criminal responsibility artinya orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana belum berarti harus dipidana. Ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya jika ditemukan unsur
kesalahan padanya 95 karena suatu tindak pidana itu terdiri dari a criminal act (actus
reus) dan a criminal intent (mens rea). 96Actus reus atau guilty act dan mens rea atau
94Hamzah Hatrik, Loc.Cit
95Suharto R.M, 2004, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan,
Sinar Grafika, Jakarta, Hal.106 96Robert W. Emerson, 2004, Business Law, Barron’s, New York, Page.409
107
guilty mind ini mutlak ada untuk pertanggungjawaban pidana.97 Pengecualian prinsip
actus reus dan mens rea ini ada pada delik yang bersifat strict liability, di mana mens
rea tidak perlu dibuktikan.98
Permasalahan pertanggungjawaban koperasi sebagai korporasi pelaku tindak
pidana adalah suatu hal yang tidak sederhana, mengingat koperasi adalah badan
hukum. permasalahan ini berpangkal pada adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan.
Kesalahan adalah mens rea atau sikap kalbu yang secara alamiah hanya ada pada
orang alamiah. Oleh sebab itu, hanya manusia alamiah yang bisa dimintakan
pertanggungjawaban pidana. “Since the corporation has a legal personality, that it
can be criminally liable ini the same way that a normal person can”99. Karena
korporasi dianggap sebagai orang, yang mempunyai organ layaknya manusia
alamiah, maka korporasi harus dianggap mempunyai sikap kalbu atau dipandang
sebagai manusia biasa.
Dalam KUHP Indonesia belum dikenal adanya ketentuan yang menetapkan
rechtpersoon atau korporasi sebagai subyek hukum pidana. Hal ini terlihat dari Pasal
2 KUHP yang menyebutkan berlakunya KUHP bagi setiap orang di Indonesia yang
melakukan suatu delik. Karenanya, istilah atau terminology yang umunya dipakai
dalam KUHP merujuk pada subyek atau pelaku delik adalah barang siapa. Pandangan
KUHP bahwa hanya ada manusia alamiah semata yang bisa menjadi subyek hukum
97Paul Dobson, 2008, Nutshells Criminal Law, Sweet & Maxwell, London, Page.18 98Roger Geary, 2002, Understanding Criminal Law, Cavendish Publishing Limited, Oregon,
USA, Page.7 99Emily Finch and Stefan Fafinski, 2011, Criminal Law, Pearson Education, England, Page. 124
108
pidana tersebut mungkin didasari pemikiran bahwa hanya manusia yang mempunyai
mens rea; sedangkan makhluk hidup lain ataupun koperasi sebagai korporasi-badan
yang diciptakan manusia melalui hukum-dianggap tidak memiliki mens rea.
Korporasi dianggap sebagai subyek hukum pidana dikenal oleh peraturan
perundang-undangan di luar KUHP. Bahkan sejak pertengahan tahun 1950-an
korporasi sudah ditempatkan oleh peraturan perundang-undangan di luar KUHP
sebagai subyek hukum pidana, hingga dapat pula dimintakan pertanggungjawaban
pidananya. Penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia telah
ada di dalam hukum poitif meskipun terdapat dalam peraturan perundang-undangan
di luar KUHP sebagai peraturan perundang-undangan pidana khusus. Dalam kaitan
ini, perumusan korporasi sebagai subyek hukum pidana-sekaligus dapat dimintakan
tanggungjawab pidananya-sudah saatnya di akui dalam KUHP guna sebagai salah
satu sarana pengendalian kecenderungan perilaku korporasi melakukan delik.
Latar belakang adanya pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana
berbeda di setiap negara, termasuk juga di Indonesia. Namun pada akhirnya ada
kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan industrialisasi dan
kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah mendorong
pemikiran bahwa subyek hukum pidana tidak lagi hanya bisa dibatasi pada manusia
alamiah, tetapi meliputi juga korporasi karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula
dilakukan oleh korporasi.100 Adanya sikap kontra dalam korporasi sebagai subyek
100E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Storia Grafika, Jakarta, Hal.222
109
hukum pada dasarnya merupakan argument yang lemah. Hal ini dikarenakan,
pertama, hampir dalam setiap pengenaan pidana bagi pelaku tindak pidana akan
berimbas pada pihak lainnya yang berkaitan dengan pelaku tersebut, yang secara
langsung atau tidak langsung, sedikit atau banyak, akan menanggung akibatnya.
Kedua, antara korporasi sebagai badan hukum dan pihak-pihak lainnya, termasuk
pengurus, manajer, karyawan, adalah hal yang terpisah sama sekali karena korporasi
adalah badan yang dianggap mempunyai kedudukan sendiri layaknya manusia.
Sanksi denda yang diberikan kepada korporasi tidak bisa diartikan sebagai pemberian
sanksi, baik kepada pengurus, manajer mapun karyawannya.
Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double track system) dalam
pemidanaan, dalam arti di samping pidana dapat pula dikenakan berbagai tindakan
kepada pelaku, maka sistem ini dapat pula diterapkan dalam pertanggungjawaban
korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Sesuai dengan motif-motif kejahatan
korporasi, sanksi yang bersifat ekonomis dan administrative juga sangat sesuai
diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Maksudnya, agar adanya keadilan dan perlindungan bagi korban maupun masyarakat
lainnya, sebaiknya tidak hanya pengurus saja yang harus dikenakan
pertanggungjawaban pidana melainkan juga korporasi itu sendiri sebagai subyek
hukum dapat dikenakan sanksi administrative sesuai dengan perturan perundang-
undangan yang berlaku.
110
Pertanggungjawaban pidana korporasi dilandasi pada Teori Indentifikasi
(Identification Theory), Teori Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious
Liability), dan Teori Pertanggungjawaban Ketat Menurut Undang-Undang (Strict
Liability). Adapun pada penelitian ini, teori pertanggungjawaban pidana korporasi
yang dirasa paling tepat digunakan dalam pertanggungjawaban pidana koperasi
sebagai korporasi adalah Teori Identifikasi (Identification Theory).
Teori indentifikasi ini berlandaskan adanya pengharusan dapat
diidentifikasikan terlebih dahulu siapa yang melakukan tindak pidana tersebut.
Apabila yang melakukan tindak pidana merupakan “directing mind” atau orang yang
diberi wewenang untuk bertindak atas nama korporasi, maka korporasi dapat
dibebani pertanggungjawaban pidana. Seperti dalam kasus-kasus koperasi yang telah
disebutkan sebelumnya, tentu dapat kita lihat bahwa suatu koperasi dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana dengan berdasarkan teori
pertanggungjawaban pidana korporasi ini. Siapapun pihak yang memberikan
wewenang untuk bertindak atas nama korporasi dapat bertanggungjawab pula atas
nama korporasi. Sama dengan halnya koperasi, apabila melakukan suatu tindak
pidana yang bertentang dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka
siapapun pihak yang bertindak atas nama koperasi atau merupakan directing mind
dari perbuatan pidana tersebut maka ia dapat bertanggung jawab atas perbuatan
tindak pidana yang dilakukannya tersebut. Dalam sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi terdapat salah satu sistem di mana apabila korporasi sebagai pembuat,
111
namun pengurus yang harus bertanggungjawab secara pidana. Sistem
pertanggungjawaban korporasi ini ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam
perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh
perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggungjawab untuk itu
menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi) tersebut. Secara perlahan-
lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang
memerintahkan.
Hal ini sejalan dengan teori identifikasi, bahwa pengurus sebagai directing
mind atau yang memberikan perintah atau orang yang menggerakkan suatu korporasi
dan bertindak atas nama korporasi maka perrtanggungjawaban pidananya dapat
dilakukan secara pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini dapat dilihat dalam
kasus-kasus yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa walaupun
pertanggungjawaban pidana yang digunakan adalah pertanggungjawaban pidana
korporasi, namun dalam pembebanan pertanggungjawabannya digunakan teori
identifikasi sehingga pengurus/ manajer yang merupakan directing mind dan bergerak
atas nama koperasi tersebutlah yang dianggap pantas untuk bertanggungjawab dalam
hal terjadinya tindak pidana perbankan tanpa ijin tersebut.
Adanya teori identifikasi digunakan dalam rangka memberikan jaminan
pertanggungjawaban koperasi terhadap korban kejahatan koperasi sehingga
diharapkan dapat memberikan dasar hukum bagi pembebanan pertanggungjawaban
pidana koperasi. Hal inilah yang kedepannya diharapkan dapat diformulasikan dalam
112
UU Perkoperasian di Indonesia, agar pertanggungjawaban pidana koperasi dapat
dipertegas dan membawa keadilan bagi korbannya.
Banyak orang mengatakan bahwa mengelola koperasi adalah lebih sulit
daripada mengelola seebah Perusahaan Terbatas.101 Hal ini diucapkan bukan tanpa
alasan, karena sebagaimana kita ketahui koperasi mempunyai ciri ganda yaitu
merupakan suatu organisasi ekonomi yang berwatak sosial sebagaimana dinyatakan
dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Disamping itu dengan adanya
kekuatan yang tidak terbatas yang berkumpul dalam rapat anggota, menjadikan
manajemen dari koperasi menjadi lebih rumit lagi. Ciri ganda ini tidak ditemukan
dalam Perseroan Terbatas/korporasi lainnya. Ewell Paul Roy, dari Agricultural
Economics and Agribusiness Louisiana State University mengatakan bahwa
manajemen dari koperasi itu melibatkan 4 unsur (perangkat) yaitu: anggota,
pengurus, manajer, dan karyawan.102 Khusus mengenai karyawan, mereka bertugas
sebagai penghubung antara manajemen dengan anggota pelanggan.
Keempat unsur dalam manajemen ini lah yang berpengaruh besar terhadap
kesuksesan suatu koperasi. Dan pihak yang paling andil dalam mengambil keputusan
dalam koperasi adalah pengurus serta manajer. Mengapa pengurus? Pengurus
koperasi mempunyai tugas dan tanggungjawab. Adapun tugas dan tanggungjawab ini
telah diatur dalam Pasal 29 s/d Pasal 37 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Leon
101 Drs. Hendrojogi,M.Sc, 2012, Koperasi: Asas-Asas, Teori, dan Praktik, Rajawali Pers, Jakarta,
Hal.133 102Ibid, Hal.135
113
Garayon dan Paul O.Mohn menyebutkan bahwa pengurus mempunyai fungsi idiil
(ideal function), dan karenanya pengurus mempunyai fungsi yang luas, yaitu103:
a. Berfungsi sebagai pusat mengambil keputusan tertinggi (Supreme
Decision Center Function)
Pengurus suatu organisasi biasanya mempunyai kekuasaan yang lebih
tinggi daripada yang lain. Masalah-masalah yang tidak bisa diputuskan
oleh bawahan maka akan ditarik dan diputuskan oleh atasan/pengurus.
Sekali sudah diputuskan oleh pengurus tertinggi, maka keputusan tersebut
akan dikembalikan ke bawahan untuk dijabarkan lebih lanjut dan
mengambil keputusan pada tingkatan yang lebih rendah.
Fungsi pengurus sebagai pusat pengambil keputusan yang tertinggi dapat
diwujudkan dalam bentuk: menentukan tujuan organisasi, merumuskan
kebijakan-kebijakan organisasi; menentukan rencana, sasaran serta
program-program dari organisasi; memilih manajer-manajer tingkat atas,
serta mengawasi tindakan-tindakannya.
b. Berfungsi sebagai pemberi nasihat (Advisory Function)
Bagi para manajer, meminta nasehat kepada pengurus adalah penting,
terutama dalam penjabaran dan penerapan kebijaksanaan operasional dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dirumuskan oleh pengurus.
103Ibid, Hal.150
114
c. Berfungsi sebagai pengawas atau sebagai orang yang dapat dipercaya
(Trustee Function)
Yang dimaksud sebagai pengawas adalah bahwa pengurus merupakan
kepercayaan dari anggota untuk melindungi semua kekayaan organiasasi.
d. Berfungsi sebagai penjaga berkesinambungannya organisasi (Perpetuating
Function)
Agar organiasi tetap berlanjut maka pengurus di sini berperan untuk
mampu menyediakan adanya manajer yang cakap dalam organisasi, perlu
menyeleksi manajer yang efektif, memberikan pengarahan kepada para
manajer, mengusahakan adanya pengurus yang terdiri dari orang-orang
yang mampu mengarahkan kegiatan dari organisasi, serta mengikuti
perkembangan pasar.
e. Berfungsi sebagai symbol (Symbolic Function).
Pengurus sebagai symbol dari kekuatan, kepemimpinan dan sebagai
motivator bagi tercapainya tujuan organisasi. Karena berfungsi sebagai
symbol dari organisasi maka hendaknya langkah-langkah yang diambil
pengurus terhadap anggota maupun karyawan bersifat persuasif.
Meskipun pengurus mempunyai kekuasaan-kekuasaan seperti tersebut di atas,
tetapi dia atau mereka harus bertanggungjawab pribadi atas kerugian organisasi
bilamana hal tersebut disebabkan karena kelalaiannya. Hal lain di mana pengurus
secara hukum harus bertanggungjawab pribadi adalah dalam hal seperi:
115
penyalahgunaan uang organisasi, melalaikan tugas, melakukan tugasnya dengan tidak
hati-hati, dan sebagainya.
Manajer untuk koperasi diperkenalkan di Indonesia pada akhir 1970-an.
Tetapi sesungguhnya sebelum tahun tersebut, banyak koperasi yang dalam bidang
pengelolaan administrasi perkantorannya diserahkan kepada seorang manajer yang
lebih dikenal dengan istilah administrator.104 Dalam batasan yang diberikan oleh
Mary Parker Follet, dapat diartikan bahwa manajer itu mempunyai bawahan.105 Jadi
manajer mempunyai orang-orang di bawahnya untuk diarahkan dan dikendalikan
untuk mencapai tujuan. Pengurus bertanggungjawab penuh dan harus memahami
keinginan anggota-anggota dan merumuskannya dalam suatu kebijakan (policy).
Pengurus boleh menunjukkan ataupun memberikan pengarahan-pengarahan kegiatan,
akan tetapi pelaksanaan detailnya harus diserahkan kepada manajer, karena
penguruslah yang kemudian harus memberikan penilaian apakah seorang manajer itu
berhasil dalam operasinya atau tidak. Manajerlah yang bertanggungjawab atas
keberhasilan usaha-usaha dari koperasi yang bersangkutan. Hal-hal inilah yang tidak
jarang juga menempatkan manajer sebagai salah satu orang yang memiliki kewajiban
untuk bertanggungjawab secara pidana apabila ia melakukan kelalaian dan kesalahan
yang dapat merugikan koperasi dan anggotanya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Koperasi merupakan badan hukum
yang dapat dijadikan subyek hukum pidana. Terlepas dari pendapat pro dan kontra,
104 Drs.Hendrojogi, M.Sc., Op.Cit, Hal.160 105Ibid
116
berbagai perturan perundang-undangan di luar KUHP telah mengatur mengenai
pertanggungjawaban korporasi. Koperasi sebagai subyek hukum pidana, dapat
dibebankan pertanggungjawaban pidana baik itu pada koperasi yang melakukan
tindak pidana, maupun membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius
kepada koperasi, maka kemungkinan yang dapat terjadi adalah manusia pelakunya
(pengurus koperasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana, sedangkan
koperasinya bebas.
Berbeda dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian belum diatur lebih
lanjut mengenai ketentuan pertanggungjawaban pidana bagi pengurus koperasi yang
melakukan tindak pidana. Sehingga apabila suatu koperasi melakukan tindak pidana,
UU Perkoperasian hanya mampu untuk memberikan sanksi administrasi sesuai
dengan Pasal 47 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian yaitu berupa pencabutan ijin
dari koperasi tersebut namun tidak ada pemidanaan lebih lanjut yang diatur
mengenai pengurus koperasi yang melakukan tindak pidana sehingga apabila hanya
mengandalkan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian maka pengurus dapat
dibebaskan dari pertanggungjawaban pidananya.
Hal ini berbeda dengan kasus-kasus yang telah dibahas dalam sub bab
sebelumnya, di mana dalam kasus-kasus tersebut pertanggungjawaban pidana
koperasi dikenakan kepada perorangan/individu (pengurus/pimpinan) yang
memberikan perintah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo UU
No.10/1998 tentang Perbankan yaitu dengan memberikan sanksi pidana berupa denda
117
dan penjara. Sedangkan sanksi administrasi tidak diberikan kepada koperasi tersebut
sehingga hal ini memperlihatkan adanya konflik norma dalam UU Perbankan dan UU
Perkoperasian.
Disinilah peran Teori Harmonisasi Hukum dalam menyelesaikan kasus
konflik norma yang terjadi dalam UU Perkoperasian dan UU Perbankan. Berdasarkan
teori harmonisasi hukum, maka sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan
dapat dilhat dari harmonisasi vertikal dan harmonisasi horizontal. Apabila
menganalisis berdasarkan hamonisasi vertikal maka akan dilihat apakah UU
No.25/1992 tentang Perkoperasian dan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan diatasnya seperti UUD 1945 dan KUHP. Sedangkan dalam harmonisasi
horizontal, UU No.25/1992 tentang Perkoperasian akan dibandingkan dengan
berbagai peraturan perundang-undangan yang setara dengan UU Perkoperasian.
Dalam Penjelasan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, sudah dijelaskan
bahwa UU ini dibentuk berdasarkan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (1) yang
menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 33 menyatakan bahwa
kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang dan
bangun perusahaan, hal tersebut sesuai dengan koperasi. Selain itu Pasal 33 UUD
1945 menempatkan koperasi baik dalam kedudukan sokuguru perekonomian nasional
maupun sebagai bagian integral tata perekonoman nasional. Dalam bagian
menimbang juga dijabarkan bahwa koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat
118
maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang
maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam tata
perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Hal inilah yang menunjukkan bahwa UU
Perkoperasian tidak bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 karena UU
Perkoperasian itu sendiri dibentuk mengingat Pasal 33 UUD 1945.
Begitu pula dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,
Undang-undang ini tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 atau peraturan yang ada
diatasnya. UU Perbankan dibentuk karena menimbang adanya upaya pembangunan
yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, UU Perbankan dibentuk
mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 UUD 1945 serta UU
No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian (saat ini sudah berubah menjadi UU
No.25/1995 tentang Perkoperasian).
Namun, secara harmonisasi horizontal, UU Perkoperasian dan UU Perbankan
masih terdapat konflik norma. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun
dalam UU Perbankan dibentuk karena mengingat UU Perkoperasian, namun
ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi apabila melakukan tindak
pidana khususnya tindak pidana perbankan terkait perijinan masih berbeda atau
disharmonisasi. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pemidanaan bagi pemimpin/
atau orang yang memberikan perintah pada koperasi dapat dikenakan pidana apabila
119
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin (Pasal 46 ayat (2)). Sedangkan dalam UU
Perkoperasian, tidak terdapat sanksi pidana bagi pimpinan (dalam hal ini adalah
pengurus) yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Pasal 47 UU No.25/1992
hanya memberikan sanksi administratif bagi koperasi yaitu berupa pembubaran
koperasi. Perbedaan ketentuan ini tentunya akan sangat berbahaya mengingat
maraknya kasus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin saat ini,
sedangkan masyarakat tentu saja menginginkan keadilan yang setinggi-tingginya.
Untuk mencari jawaban atas disharmonisasi peraturan perundang-undagan
tersebut, maka asas-asas/ prinsip-prinsip lex posteriori derograte legi priori
(peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan
perundangan-undangan yang terdahulu), dan lex specialis derograte legi generali
(peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan peraturan yang lebih umum)
dapat digunakan. Apabila kita melihat waktu dibentuknya peraturan perundang-
undangan, maka UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan berada diatas
UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Hal tersebut dikarenakan UU Perbankan yang
berlaku saat ini lebih baru dan lebih mengikuti perkembangan perekonomian saat ini
sehingga tidaklah salah apabila hakim menggunakan UU Perbankan dalam mengadili
kasus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin. Sedangkan
apabila menganalisis berdasarkan asas lex specialis derograte legi generali (peraturan
yang lebih khusus sifatnya mengalahkan peraturan yang lebih umum) maka akan
terlihat bahwa UU Perbankan akan lebih tepat digunakan dalam mengadili kasus
120
koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal tersebut dikarenakan
walaupun koperasi telah memiliki peraturannya yang mengkhusus, namun apabila
berkaitan dengan melakukan tindak pidana perbankan maka tidaklah salah apabila
melihat eksistensi dari UU Perbankan. Karena ketentuan pertanggungjawaban
koperasi apabila melakukan tindak pidana perbankan telah diatur dalam UU
Perbankan maka UU Perbankan tentunya dapat digunakan untuk mengadili koperasi
tersebut.
121
BAB IV
PIHAK-PIHAK KOPERASI YANG DAPAT
DIPERTANGGUNGJAWABKAN PIDANA DALAM
MELAKUKAN KEGIATAN PERBANKAN TANPA IJIN
4.1 Pihak-Pihak Koperasi Yang Dapat Dipertanggung-Jawabkan Pidana Dalam
Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin
Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab III, pengurus koperasi harus
bertanggungjawab apabila terjadi tindak pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa
ijin. Hal ini telah dikuatkan dengan menggunakan teori pertanggungjawaban pidana
korporasi yaitu Identification Theory, dimana berdasasrkan teori ini, pimpinan/
pengurus koperasi yang menggerakkan suatu koperasi adalah pihak yang
bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya atas nama koperasi. Hal ini
dikarenakan koperasi sebagai korporasi, maka dalam pertanggungjawaban pidananya
hanya manusia alamiah lah yang diakui sebagai subyek hukum.
Konsep White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih) juga menjadi alasan
pembenar dalam menentukan pihak yang dapat bertanggungjawab apabila koperasi
melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin. Hal tersebut dikarenakan kejahatan
kerah putih merupakan kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki
kehormatan/ berstatus sosial tinggi. White collar crime juga digambarkan sebagai
tindakan illegal yang mengarah pada hal-hal yang tidak tampak atau tipu muslihat,
122
untuk mengeruk keuntungan atau kekayaan dalam usaha atau bisnis. Terkait dengan
penelitian ini, dapat dilihat bahwa sama halnya dengan koperasi, Pengurus koperasi
sebagai pemimpin/ orang yang memberikan perintah dalam suatu koperasi dapat
dikatakan melakukan kejahatan kerah putih karena pengurus sebagai orang yang
memiliki jabatan tertinggi dalam koperasi dan dipandang terhormat oleh anggota-
anggotanya. Selain itu pengurus yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin
juga menempatkan pengurus yang terhormat tersebut untuk menggunakan tipu
muslihat mereka guna mendapatkan keuntungan dan kekayaan baik untuk
kepentingan koperasi maupun untuk pribadi.
Koperasi sebagai salah satu bentuk hukum suatu bank seperti yang tercantum
dalam Pasal 21 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, dapat pula
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Apabila bank sebagai suatu badan usaha
yang mempunyai kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bebagai
bentuknya, maka sudah tentu membutuhkan persyaratan dalam melaksanakan
kegiatan usahanya. Hal ini sangat penting untuk melindungi kepentingan masyarakat,
terutama terhadap nasabah penyimpan dan simpanannya.
Untuk itu, dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan telah
sedemikian rupa diatur mengenai perizinan untuk menjalankan kegiatan usahanya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) yaitu:
Pasal 16 ayat (1):
Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai
123
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia,
kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur
dengan undang-undang tersendiri.
Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) di atas terkandung arti bahwa kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat oleh siapa pun pada dasarnya merupakan kegiatan
yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat
yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan
dengan itu dalam ayat ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah
memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat.
Kenyataannya dimasyarakat, terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga
melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau
semacam simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun,
atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga-lembaga tersebut tidak dicakup
sebagai usaha perbankan berdasarkan ayat ini. Kegiatan penghimpunan dan dari
masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut diatur dengan undang-
undang tersendiri.
Selain Pasal 16 ayat (1) dalam ketentuan Pasal 16 ayat (2) juga diatur mengenai
kewajiban suatu badan hukum untuk dapat melakukan kegiatan perbankan. Adapun
bunyi dari Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 16 ayat (2):
124
Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-
kurangnya tentang:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan;
b. Permodalan;
c. Kepemilikan;
d. Keahlian di bidang perbankan;
e. Kelayakan rencana kerja.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa dalam hal
memberikan izin usaha sebagai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank
Indonesia selain memerhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ayat ini, juga wajib memerhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank, tingkat
kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan pembangunan
ekonomi nasional. Apabila dikaitkan dengan koperasi, pemenuhan persyaratan untuk
dapat memperoleh ijin ini akan sulit dicapai. Pasalnya, suatu koperasi dalam
pelaksanaanya tidak memiliki keahlian di bidang perbankan, hal ini dikarenakan
koperasi hanya bertujuan untuk membangun perekonomian masyarakat dengan
berdasarkan asas gotong royong dan kekeluargaan, berbeda halnya dengan Bank
Umum maupun Bank Perkreditan lainnya. Namun pada kenyataanya di masyarakat,
banyak koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin.
Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) disebutkan bahwa persyaratan dan tata cara
perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank
Indonesia. Sebagaimana halnya ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), maka
berhubungan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (3) dapat di
125
kemukakan bahwa pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
memuat antara lain:
a. Persyaratan untuk menjadi pengurus bank antara lain menyangkut keahlian di
bidang perbankan dan konduite yang baik.
b. Larangan adanya hubungan keluarga di antara pengurus bank.
c. Modal disetor minimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat.
d. Batas maksimum kepemilikan dan kepengurusan.
e. Kelayakan rencana kerja
f. Batas waktu pemberian izin pendirian bank.106
Melalui ketantuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa
undang-undang perbankan menyebutkan bahwa setiap pihak yan melakukan kegatan
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari
Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat yang dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Begitu pula
dengan koperasi yang melakukan kegiatan perbankan, apabila tidak memenuhi ijin
dari pimpinan Bank Indonesia maka koperasi tidak diperbolehkan menghimpun dana
dari masyarakat luas yang bukan anggota. Selain itu, dalam undang-undangn
perkoperasian sendiri tidak diatur mengenai ijin untuk koperasi melakukan kegiatan
perbankan.
Dikaitkan dengan tindak pidana perbankan, perbuatan yang dikategorikan atau
diklasifikasikan sebagai tindak pidana perbankan terkait dengan perizinan ini adalah
106 Hermansyah, Op.Cit, Hal.26
126
setiap pihak (orang dan/atau suatu korporasi) yang mendirikan bank tetapi tidak
memenuhi syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan dalam UU
No.7/1992 jo UU No.10/1998 tentang Perbankan, pihak yang mendirikan bank akan
tetapi bank tersebut didirikan tidak berdasarkan atau tidak memenuhi syarat-syarat
atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang Perbankan mengenai
syarat pendirian suatu bank, maka pihak pendiri bank tersebut dapat dikatakan telah
melakukan tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan bank.
Pendirian bank yang tidak sesuai dengan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan
yang telah diatur secara tegas dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang
Perbankan atau dengan istilah lain dapat dikatakan sebagai bank gelap dapat
dikategorikan sebagai bentuk pertama tindak pidana perbankan menurut undang-
undang ini.
Ketentuan mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan bank gelap ini dapat
ditemukan dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan
yang menyatakan bahwa:
Pasal 46:
(3) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(4) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan,
atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan
baik terhadap mereka yang memberi perintah melakkan perbuatan itu atau
127
yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-
duanya.
Ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998
tentang Perbankan ini dapat digambarkan dengan skema sabagai berikut:
Gambar 2. Skema Ketentuan Pasal 46
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang diancam
dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) adalah setiap orang (orang
pada umumnya) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
(yang meliputi tabungan, deposito berjangka, giro, dan lain sebagainya) namun
dilakukan tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia atau dengan perkataan lain, dapat
dikatakan telah membuat suatu bank atau suatu badan yang berfungsi atau
Barang siapa
Pasal 55 KUHP
Korporasi
Badan usaha
berbadan hukum
maupun tidak
berbadan hukum
Menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk
simpanan
Tanpa izin usaha dari
pimpinan Bank Indonesia
128
menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun tidak
memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sehingga dikategorikan sebagai
bank gelap. Hal inilah yang terjadi pada Koperasi yang melakukan kegiatan
perbankan tanpa ijin. Koperasi menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah
sebagai sebuah bank namun tidak pernah memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank
Indonsia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap dan dapat dikenakan sanksi
pidana berdasarkan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.
Sayangnya, dalam Undang-Undang Perkoperasian sendiri belum ada ketentuan
mengenai tanggung jawab pidana bagi koperasi yang melakukan kegiatan perbankan
tanpa ijin.
Perlu diketahui pula bahwa perumusan Pasal 46 ini merupakan delik formil
dimana delik yang sudah dapat dipidana manakala telah memenuhi setiap unsur yang
ada dalam rumusan tanpa memperhatikan akibat yang muncul. Hal ini merupakan hal
yang wajar mengingat, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa tindak pidana
perbankan merupakan tindak pidana yang menimbulkan dampak sangat luas,
sistemik, dan menimbulkan dampak negatif yang sangat luar biasa. Hal ini
dikarenakan keamanan perekonomian di Indonesia akan dinilai lemah sehingga para
infestor akan merasa ragun serta takut untuk melakukan infestasi di Indonesia.
Padahal untuk dapat memajukan perekonomian bangsa, keamanan perekonomian ini
sangat penting untuk menarik minta para infestor sehingga tidak menutup
kemungkinan baik perusahaan besar maupun UMKM dapat dilirik oleh infestor asing
129
dan dapat berkembang dengan baik. Dengan demikian, perumusan delik formal ini
diharapkan tidak hanya mampu menanggulangi tindak pidana ini namun lebih
menitikberatkan kepada upaya pencegahan.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, menurut Ewell Paul Roy dari
Agricultural Economics and Agribusiness Louisiana State University mengatakan
bahwa manajemen dari koperasi itu melibatkan 4 unsur (perangkat) yaitu: anggota,
pengurus, manajer, dan karyawan.107 Khusus mengenai karyawan, mereka bertugas
sebagai penghubung antara manajemen dengan anggota pelanggan.
Keempat unsur dalam manajemen ini lah yang berpengaruh besar terhadap
kesuksesan suatu koperasi. Dan pihak yang paling andil dalam mengambil keputusan
dalam koperasi adalah pengurus serta manajer. Mengapa pengurus? Pengurus
koperasi mempunyai tugas dan tanggungjawab. Adapun tugas dan tanggungjawab ini
telah diatur dalam Pasal 29 s/d Pasal 37 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian.
Meskipun pengurus mempunyai kekuasaan-kekuasaan tertentu, tetapi dia atau
mereka harus bertanggungjawab pribadi atas kerugian organisasi bilamana hal
tersebut disebabkan karena kelalaiannya. Hal lain di mana pengurus secara hukum
harus bertanggungjawab pribadi adalah dalam hal seperi: penyalahgunaan uang
organisasi, melalaikan tugas, melakukan tugasnya dengan tidak hati-hati, dan
sebagainya.
107Ibid, Hal.135
130
Ketentuan tentang tanggungjawab pengurus terhadap kerugian koperasi
seperti yang disebutkan di atas tertera dalam Pasal 34 UU No.25/1992 tentang
Perkoperasian yang menyatakan bahwa:
(1) Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri menanggung
kerugian yang diderita koperasi karena tindakan yang dilakukan
dengan kesengajaan atau kelalaiannya.
(2) Di samping penggantian kerugian tersebut, apabila tindakan itu
dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi
penuntut umum untuk melakukan penuntutan.
Sehingga dengan adanya ketentuan Pasal 34 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian
ini, seharusnya tidak ada lagi alasan pengurus dapat lari dari pertanggungjawaban
pidana. Apabila pengurus tersebut terbukti melakukan tindakan dengan kesengajaan
maka seharusnya pengurus dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman pidana. Namun
apabila kita melihat lebih jauh lagi, dalam UU Perkoperasian masih belum diatur
lebih jelas ketentuan pidana apabila pengurus atau yang memimpin suatu koperasi
dapat dipindana apabila melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Sehingga Hakim
saat ini hanya menggunakan Pasal 46 ayat (1) UU Perbankan dalam menyelesaikan
permasalahan tindak pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin oleh koperasi.
Pengurus koperasi ini juga tidak dapat begitu saja dikatakan telah melakukan
suatu tindak pidana perbankan tanpa ijin. Apabila dilihat berdasarkan rumusannya,
unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang atau sekelompok orang dapat
dikatakan telah melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin sebagaimana diatur
dalam Pasal 46 ayat (1) ini harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
131
a. Unsur barangsiapa
Secara sederhana pengertian unsur “barangsiapa” dapat diartikan dengan
setiap orang tanpa terkecuali. Namun demikian, harus diketahui dengan jelas
siapa yang dimaksud dengan “barangsiapa” dalam perumusan UU No.7/1992
jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal 1 UU No.7/1992 jo. UU
No.10/1998 tentang Perbankan tidak diatur secara tegas mengenai unsur
“barangsiapa” ini. Oleh sebab itu, untuk menjelaskan siapa yang sebenarnya
dimaksud dengan unsur “barangsiapa” dalam undang-undang ini akan
mengacu kepada Pasal 55 KUHP sebagai berikut:
Pasal 55 KUHP:
(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:
Ke-1 Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut
serta melakukan perbuatan;
Ke-2 Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP tersebut diatas, dapat dilihat bahwa
yang dimaksud dengan barangsiapa dalam KUHP yang berlaku pula bagi
penerapan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan meliputi:
a) Pembuat (Dader)
132
Yang dimaksud dengan pembuat (dader) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 KUHP adalah setiap oang yang sikap dan tindakannya memenuhi
semua unsur yang disebut atau terkandun dalam rumusan tindak pidana
(peraturan perundang-undangan pidana) dan orang ini adalah orang yang
melakukan tindak pidana tersebut atau dengan kata lain, orang ini adalah
orang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen
dari tindak pidana.108
Dalam kaitannya dengan tindak pidana perbankan, dapat dikategorikan
sebagai orang yang melakukan atau sebagai pembuat (dader) adalah
mereka yang mendirikan dan menjalankan suatu bank gelap yang
berfungsi atau menjalankan tugas selayaknya sebuah bank resmi namun
tidak memperoleh atau tidak mendapatkan izin dari Pimpinan Bank
Indonesia.
b) Yang menyuruh melakukan (Doenpleger)
Yang dimaksud dengan mereka yang menyuruh melakukan menurut
doktrin ilmu hukum pidana dinyatakan bahwa terdapat 2 (dua) subyek
hukum, yaitu mereka yang menyuruh melakukan dan mereka yang disuruh
melakukan. Dalam hal ini, yang dapat dimintai pertanggungjawaban
secara pidana adalah orang yang menyuruh melakukan bukan orang yang
disuruh melakukan. Orang yang disuruh melakukan tidak dapat
108 R. Soesilo, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, Hal. 73
133
dimintakan pertanggungjawaban secara pidana karena subyek yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. P.A.F. Lamitang
sebagaimana mengutip pernyataan Simons menyatakan bahwa untuk
adanya doenpleger orang yang dibuat melakukan (yang disuruh
melakukan atau manus ministra) haruslah memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah
seseorang (manusia)
2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu
merupakan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana seperti:
a. Apabila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya atau rusak
jiwanya (sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP);
b. Apabila ia berbuat karena daya paksa (sebagaimana diatur dalam
Pasal 48 KUHP);
c. Apabila ia melakukan tindak pidana atas perintah jabatan yang
tidak sah seperti dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP;
d. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana sama
sekali tidak mempunyai suatu dwaling atau kesalahpahaman
mengenai salah satu unsur tindak pidana yang bersangkutan;
e. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana sama
sekali tidak mempunyai unsur schuld (kesalahan) baik dolus dan
culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet
seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak
pidana yang bersangkutan;
f. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu
tidak memenuhi unsur-unsur oogmerk atau kesengajaan padahal
unsur tersebut telah disyaratkan di dalam rumusan undang-undang
mengenai tindak pidana yang bersangkutan;
g. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu
dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah, padahal
perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak
berwenang memberikan perintah semacam itu;
h. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu
tidak mempunyai hoedanigheid atau sifat tertentu seperti yang
134
disyaratkan oleh undang-undang yakni sebagai sifat yang harus
dimiliki pelakunya sendiri.109
c) Orang yang turut serta melakukan (Medepleger)
Dalam beberapa literatur hukum pidana, istilah medepeleger sering
pula dituangkan dalam istilah mededader. Pada dasarnya, terhadap kedua
istilah tersebut tidak dapat dibedakan secara prinsipil. Di dalam KUHP
sendiri, tidak ada suatu definisi yang menggambarkan hal ini. Namun
demikian, untuk menggambarkan hal ini, peneliti akan mengutip pendapat
dari Memorie van Toelichting Wetboek van Strafrecht, yang menyatakan
bahwa orang yang turut serta melakukan (mededader) merupakan orang
yang secara langsung telah ikut mengambil bagian di dalam pelaksanaan
suatu tindak pidana yang diancam dengan suatu hukuman oleh undang-
undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau
turut melakukan perbuatan-perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana
yang bersangkutan.110
Menurut P.A.F Lamintang dalam bukunya yang berjudul Hukum
Pidana Indonesia mengemukakan pendapat hoge Raad antara lain putusan
Hoge Raad tanggal 9 Januari 1914, N.J.1914, sebagai berikut:
Untuk adanya suatu mededader itu diisyaratkan bahwa setiap
pelaku mempunyai maksud yang diperlukan serta pengetahuan yang
109 P.A.F.Lamintang,1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, Hal. 610
110 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, Hal.52
135
disyaratkan. Untuk dapat menyatakan bersalah turut melakukan itu
haruslah diselidiki dan dibuktikan bahwa pengetahuan dan maksud
tersebut memang terdapat pada tiap peserta.111
Dalam kaitannya dengan tindak pidana perbankan sebagaimana diatur
dalam Pasal 46 di atas, ketentuan mengenai medepleger (orang yang turut
serta melakukan) dapat sangat luas jangkuannya. Dikatakan demikian
karena mulai dari pemegang saham, direksi atau organ yang melakukan
atau menjalankan usaha bank gelap serta pihak-pihak lainnya yang terlibat
dalam pendirian dan pengelolaan atau pengurus suatu bank gelap yang
seolah-olah adalah bank resmi dapat dikualifikasikan sebagai orang yang
turut serta melakuka tindak pidana sebagaimana tercakup dalam rumusan
unsur “barangsiapa” dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang
Perbankan. Sedangkan dalam koperasi yang melakukan kegiatan
perbankan tanpa ijin ini, orang yang turut serta melakukan dapat ditujukan
kepada pengurus dan manajer koperasi. Hal ini dilakukan karena kedua
pihak ini merupakan pengelola dari koperasi, sehingga mereka
bertanggungjawab apabila koperasinya melakukan kegiatan perbankan
tanpa ijin.
d) Penganjuran (Uitlokker)
Menurut Jan Remmelink dalam kontruksi hukum utilokker terdapat
4 (empat) syarat yang dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
111 P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
Hal. 40
136
1) Harus ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain
melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang.
2) Perbuatan menggerakkan orang lain ini dilakukan dengan
sarana-sarana sebagaimana ditetapkan secara tegas oleh undang-
undang.
3) Keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus
dibangkitkan.
4) Orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi) mewujudkan
rencana yang ditanamkan oleh pembujuk atau penggerak untuk
melakukan tindak pidana atau setidak-tidaknya melakukan
percobaan ke arah itu.
5) Orang yang terbujuk niscaya harus dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.112
Dikaitkan dengan tindak pidana perbankan, sama halnya dengan
medepleger, ketentuan mengenai uitlokker (penganjuran) dapat sangat
luas jangkauannya. Dikatakan demikian dikarenakan penganjuran dapat
menganjurkan orang lain (siapa pun) untuk mendirikan atau menjalankan
bank seolah-olah sebagai suatu bank resmi. Dalam hal ini, perlu pula
dikemukakan bahwa baik orang yang menganjurkan ataupun orang yang
dianjurkan akan dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
b. Unsur menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
Perbuatan orang sebagaimana dimaksud dalam unsur “barangsiapa”
di atas haruslah berupa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan. Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dapat dilihat dalam definisi mengenai bank sebagaimana diatur
112 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.328
137
dalam Pasal 1 angka 2 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang
Perbankan yang menyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yan
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Berdasarkan definsi di atas dapat dilihat bahwa kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat mempunyai tugas dan fungsi bank
yang utama dan mempunyai tujuan yang mulia, yaitu meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak atau mensejahterakan masyarakat. Sama halnya
dengan koperasi, ia memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu untuk
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak atau mensejaterakan masyarakat,
namun lebih mengedepankan asas kekeluargaan dan gotong royong serta
penghimpunan dana tersebut tidak dilakukan kepada masyarakat luas
tetapi hanya kepada anggota koperasi.
c. Unsur tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia
Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan izin pimpinan Bank
Indonesia, pembahasan tidak akan mengacu kepada UU No.7/1992 jo.
UU No.10/1998 tentang Perbankan melainkan akan mengacu kepada UU
No.3/2004 jo. UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Hal ini dilakukan
karena dalam Pasal 1 angka 20 dan angka 21 UU No.7/1992 jo. UU
No.10/1998 tentang Perbankan dikemukakan dengan tegas bahwa Bank
138
Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang berlaku dan pimpinan Bank
Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang berlaku. Perkataan “sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang berlaku” akan mengacu kepada UU No.3/2004 jo. UU No.23/1999
tentang Bank Indonesia.
Perlu dikemukakan bahwa unsur “tanpa izin pimpinan Bank
Indonesia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 UU Perbankan ini
sangat berkaitan dengan tugas dan fungsi dari Bank Indonesia sebagai
bank sentral. Secara umum, tugas Bank Indonesia tersebut diatas
dikelompokkan kembali mejadi 4 (empat) bidang tugas, yaitu bidang
moneter, bidang pengawasan, bidang sistem permbayaran, bidang operasi
internal.113 Dalam kaitannya menjelaskan unsur izin pimpinan Bank
Indonesia, peneliti hanya akan menjelaskan tugas Bank Indonesia dalam
hal pengawasan yaitu dalam hal mengatur dan mengawasi bank yang
diatur secara tegas dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 35 UU Bank
Indonesia. Namun dalam penelitian mengenai pengaturan
pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan
perbankan tanpa ijin maka Pasal yang akan dibahas hanya Pasal 24, Pasal
26, Pasal 33, dan Pasal 34.
113 Suarpika Bimantaro dan Syahrul Bahroen, 2003, Organisasi Bank Indonesia, Pusat Pendidikan
dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Jakarta, Hal.5
139
Untuk mencapai tujuan yaitu mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, Bank Indonesia mempunyai tugas mengatur dan mengawasi
bank serta melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum
pemerintah di bidang perekonomian.
Dalam Pasal 24 UU Bank Indonesia, disebutkan bahwa Bank
Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan
pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam Pasal 26 menyatakan:
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24, Bank Indonesia berhak:
a. Memberikan dan mencabut izin usaha Bank;
b. Memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor
Bank;
c. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank;
d. Memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-
kegiatan usaha terentu.
Pasal 33
Dalam hal keadaaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia
membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau
membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, Bank Indoenesia dapat melakukan
tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan
yang berlaku.
Pasal 34
(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-
undang.
140
(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Adapun berdasarkan Pasal 34, dapat kita lihat adanya lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen untuk melakukan kegiatan
pengawasan. Lembaga tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam
siaran pers bersama OJK, menganai nota kesepahaman Otoritas Jasa
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Koperasi dan UKM
tentang Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga
Keuangan Mikro114, OJK telah menyepakati Nota Kesepahaman dengan
Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Koperasi dan UKM tentang
Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) mengenai tindak lanjut dari Pasal 28 UU LKM yang
menegaskan bahwa:
1. Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
2. Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan Kementerian
yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerian Dalam
Negeri;
3. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
114Otoritas Jasa Keuangan, 2014, Siaran Pers Bersana: Nota Kesepahaman Otoritas Jasa
Keuangan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koperasi dan UKM tentang Koordinasi
Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga Keuangan Mikro, tersedia di website
http://www.ojk.go.id/siaran-pers-bersama-nota-kesepahaman-otoritas-jasa-keuangan-kementerian-
dalam-negeri-dan-kementerian-dalam-negeri-dan-kementerian-koperasi-dan-ukm-tentang-koordinasi-
pelaksanaan-uu-nomor-1-2003-mengenai-lembaga-keuangan-mikro, diakses pada tanggal 19 April
2015
141
4. Dalam hal pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas
Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan
LKM kepada pihak lain yang ditunjuk.
Dengan adanya Nota kesepahaman ini maka pada awal tahun 2015
OJK siap mengawasi keberadaan koperasi di Indonesia dalam menyikapi
masalah dan penyimpangan yang ada dalam lembaga koperasi di Indonesia.
Munculnya pengawasan koperasi oleh OJK ini bukan tanpa alasan. Hal ini
dikarenakan koperasi sebagai lembaga keuangan dewasa ini dalam praktiknya
tidak hanya melibatkan anggota tetapi juga pihak ketiga. Terjadi perubahan-
perubahan dalam operasional koperasi khususnya koperasi simpan pinjam
sehingga asetnya terus tumbuh dan bertambah. Bahkan di berbagai daerah di
Indonesia, banyak ditemui koperasi simpan pinjam yang memiliki aset
puluhan hingga raturan miliar rupiah. Dan merupakan hal yan biasa bagi KSP
tersebut memungut dana dari pihak ketiga kemudian menyalurkan kembali
kepada pihak ketiga sehingga sudah sepatutnya diawasi oleh OJK.
Adanya peran pengawasan oleh OJK terhadap koperasi
memperlihatkan bahwa pada kenyataannya, koperasi saat ini sudah tumbuh
layaknya seperti bank dan melakukan kegiatan perbankan. Koperasi tidak lagi
memiliki asas kekeluargaan sehingga tidak lagi memperoleh modal dari
anggota dan kemudian disalurkan kembali kepada anggota sendiri. Hal inilah
yang menimbulkan pernyataan bahwa koperasi saat ini melakukan kegiatan
perbankan tanpa ijin.
142
Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tidak jarang digunakan
dalam mengadili koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin
dikarenakan dalam Pasal 46 ayat (2) dimana dikemukakan secara tegas
bahwa:
Dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan
atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud
dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan
perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan
itu atau terhadap kedua-duanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa unsur-
unsur pidana yang diancamkan dalam Pasal 46 ayat (2) sama dengan unsur-
unsur dan pidana yang diancamkan dalam Pasal 46 ayat (1). Namun
perbedaanya hanya terletak pada subyek hukum yang melakukan tindak
pidana. Pada Pasal 46 ayat (1) subyek hukum yang melakukan tindak pidana
adalah orang perseorangan (manusia alamiah atau naturelijk person),
sedangkan dalam ketentuan Pasal 46 ayat (2) yang menjadi subyek hukum
adalah korporasi. Jadi dalam hal tindak pidana perbankan ini sudah mengakui
korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak
pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.
Sesungguhnya penggunaan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU
No.10/1998 tentang Perbankan terhadap pertanggungjawaban pidana koperasi
yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin sudah tepat. Hal ini
dikarenakan adanya teori hukum progresif, dimana dikarenakan adanya
143
hambatan pada hukum tertulis saat ini yang tidak dapat mengikuti
perkembangan yang terjadi di kehidupan masyarakat karena hukum tertulis
bersifat kaku sedangkan perkembangan dalam masyarakat terjadi sangat
cepat, maka peran hakim untuk mengisi kekosongan hukum akibat
ketertinggalan hukum dari perubahan masyarakat sangatlah penting.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya oleh peneliti, gagasan hukum
progresif bertolak dari pandangan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu
ilmu, jadi hukum tidak hanya dianggap selesai setelah tersusun sebagai suatu
peraturan perundang-undangan dengan kalimat-kalimat yang sangat rapi dan
sistematis, namun hukum harus selalu mengalami proses pemaknaan sebagai
sebuah pendewasaan atau pematangan.
Dalam konsep pengaturan pertanggungjawaban pidana koperasi yang
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin ini, UU Perbankan menganggap
koperasi sebagai salah satu subyek hukum. Hal ini dapat kita lihat dalam
penjabaran Pasal 46 ayat (2) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998, dimana
koperasi sebagai salah satu badan hukum apabila melakukan kegiatan
perbankan tanpa ijin, maka baik mereka yang memberi perintah melakukan
perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau
terhadap kedua-duanya. Hakim dalam mengambil keputusannya
menggunakan Pasal 46 dalam memberikan pertanggungjawaban pidana
144
koperasi dalam melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin karena adanya
inisiasi rule breaking.
Teori Hukum Progresif merupakan suatu proses penemuan hukum. UU
No.25/1992 tentang Perkoperasian yang dianggap sebagai peraturan khusus
mengenai koperasi tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai
pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan perbankan
tanpa ijin. Sanksi yang diberikan dalam UU Perkoperasian pun hanyalah
sanksi administrasi sehingga tidak memberikan rasa aman dan keadilan bagi
masyarakat yang resah karena koperasi saat ini dapat melakukan tindak pidana
yang dapat merugikan perekonomian masyarakat dan negara.
Hakim melalui teori hukum progresif melihat peraturan dalam UU
Perbankan dapat memberikan keamanan untuk sementara bagi masyarakat
sampai nanti dibentukannya peraturan perundang-undangan khusus mengenai
perkoperasian yang baru sehingga keadilan dapat diberikan tidak hanya bagi
pihak korban melainkan juga bagi pelaku tindak pidana itu sendiri yaitu dalam
kasus ini adalah koperasi.
Hukum tertulis yang tidak dapat senantiasa mengikuti perkembangan
yang terjadi di kehidupan masyarakat membuat pentingnya peran hakim untuk
mengisi kekosongan hukum akibat ketertinggalan hukum dari perubahan
masyarakat. Dalam UU Perkoperasian saat ini, belum dikenal adanya koperasi
yang dapat melakukan suatu tindak pidana sehingga dalam pengaturannya
145
tidak ada ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana apabila koperasi
melakukan suatu tindak pidana. Jadi tidaklah salah bagi hakim apabila
menggunakan UU Perbankan sebagai acuan untuk memberikan pidana bagi
pengurus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.
4.2 Formulasi Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Yang
Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin
Seperti yang dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, koperasi saat ini
dapat melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Namun dalam kenyataannya,
perlindungan masyarakat terhadap kemungkinan mereka ikut dalam kegiatan
koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin ini belum berjalan
maksimal. Hal ini terjadi karena belum adanya ketentuan pertanggungjawaban
pidana koperasi apabila melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin secara jelas.
Apabila meninjau peraturan perundang-undangan terkait dengan
perkoperasian, maka sanksi yang dapat diberikan kepada koperasi sebagai bentuk
pertanggungjawabannya hanya lah berupa sanksi administratif. Sedangkan sanksi
pidana masih belum diatur dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian.
Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam proses
pembentukan suatu norma atau suatu produk hukum atau suatu peraturan
perundang-undangan dalam rangka mencegah, menanggulangi, dan memberantas
suatu tindak pidana adalah orientas dan tujuan yang hendak dicapai dari produk
146
hukum atau suatu peraturan perundang-undangan itu sendiri. Intinya, dalam
proses pembentukan suaut produk hukum yang dalam hal ini adalah peraturan
perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan, khususnya
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai
pertanggungjawaban pidana koperasi serta segala sesuatu yang berkaitan atau
mempengaruhi penegakan hukum (law enforcement) pertanggungjawaban pidana
koperasi, harus dapat diakomodasi atau setidaknya dipertimbangkan dalam
proses pembentukan perturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Hal ini penting untuk diperhatikan karena sebuat produk hukum yang
dapat dijalankan tentu merupakan sebuah produk hukum yang memiliki sebuah
tujuan utama atau orientasi yang hendak dicapai, yang pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan baik dari ideologi nasional (Pancasila dan UUD RI 1945), kondisi
manusia atau masyarakat dalam negara, kebutuhan masyarakat, budaya dan
tradisi bangsa, kesadaran hukum masyarakat atau integritas dari aparatur penegak
hukum, maupun dari perkembangan masyarakat internasional atau dunia
internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. Oleh sebab itu, proses
pembentukan suatu produk hukum atau suatu peraturan perundang-undangan
harus memerhatikan asas-asas hukum atau nilai-nilai hukum yang akan sangat
berpengaruh terhadap produk hukum yang akan dilahirkan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa asas-asas hukum atau nilai-nilai hukum merupakan jiwa
atau roh dari sebuah produk hukum.
147
Indonesia sebagai negara hukum wajib melindungi seluruh
masyarakatnya dengan cara memberikan rasa aman dan perlindungan dari
ancaman baik yang berasal dari luar negara maupun dari dalam negara. Indonesia
yang menganut teori negara hukum tentu saja memandang bahwa pemerintahan
harus menjunjung tinggi supremasi hukum dan tidak berorientasi kepada
kekuasaan. Sehingga hukum akan ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum). Salah satu
syarat adanya negara hukum (rechtsstaat) adalah adanya asas legalitas, dimana
setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-
undangan (wetleijke grondslag). Suatu tindak pidana tidak dapat dipidana apabila
tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya terlebih dahulu.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini, koperasi
yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin tidak dapat dipidana dengan pasti
karena dalam UU Perkoperasian belum diatur secara jelas dan pasti mengenai
tindak pidana ini, sehingga koperasi dapat meloloskan diri dari
pertanggungjawabannya. Dengan menggunakan teori negara hukum sebagai
landasan untuk diperlukannya melakukan formulasi UU Perkoperasian yang
baru, peneliti mencoba menggali hal-hal apa saja yang diperlukan kedepannya
untuk dapat menegakkan keadilan terhadap koperasi yang melakukan kegiatan
perbankan tanpa ijin sehingga dapat mewujudkan Indonesia sebagai negara
hukum yang seutuhnya.
148
Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya,
pentingnya nilai-nilai dan asas-asas hukum dalam rangka pembentukan sebuah
produk hukum yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan dapat
dijabarkan ke dalam beberapa prinsip dasar sebagai berikut:
1. Asas-asas hukum merupakan tendensi-tendensi yang dituntut oleh
rasas susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan
kesusilaan kita, yang secara langsung dengan jelas menonjol;
2. Asas-asas mempunyai ungkapan-ungkapan yang sangat umum
sifatnya, yang bertumpu pada perasaan yang ada pada setiap orang;
3. Asas-asas hukum merupakan pikiran-pikiran yang memberi arah atau
pimpinan yang menjadi dasar pada tata hukum yang ada;
4. Asas-asas hukum dapat ditemukan dengan menunjukkan hal-hal yang
sama dari berbagai peraturan yang berjauh satu sama lain;
5. Asas-asas hukum merupakan suatu sesuatu yang ditaati oleh orang-
orang, apabila mereka ikut bekerja dalam merumuskan dan
mewujudkan undang-undang.
6. Asas-asas hukum dipositifkan, baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan maupun yurisprudensi;
7. Asas-asas hukum tidak bersifat transendental atau melampui alam
kenyataan yang dapat disaksikan oleh pancaindera;
8. Artikulasi dan penjabaran-penjabaran hukum bergantung pada kondisi-
kondisi sosial sehingga bersifat open ended, multi interpretable,
gesellschaftsgebunden, dan bukannya bersifat absolut seperti
pandangan yuridis yang tradisional;
9. Asas-asas hukum berkedudukan relatif otonom dan melandasi fungsi
pengendalian masyarakat, penyelenggaraan ketertiban, dan
penanggulangan kejahatan atau tindak pidana;
10. Asas-asas hukum merupakan legetimasi dalam prosedur pembentukan,
penemuan dan pelaksanaan hukum.
11. Asas-asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan
pejabat-pejabat resmi (penguasa) sehingga bukan merupakan suatu
keharusan untuk menganutnya dalam hukum positif.115
115 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.88-90
149
Penjelasan tersebut di atas mengemukakan bahwa nilai-nilai atau asas-
asas hukum mempunyai kedudukan dan fungsi yang fundamental dari sistem
hukum yang berlaku pada suatu Negara, baik saat ini maupun di masa yang akan
datang. Di sisi lain, nilai-nilai atau asas-asas hukum tersebut sekaligus berfungsi
sebagai alat atau instrumen penguji krisis terhadap sistem hukum yang berlaku
saat ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai atau asas-asas hukum ini akan
menjadi dasar dari sistem hukum yang berlaku sekaligus alat atau instrumen
penguji kritis terhadap sistem hukum yang berlaku itu.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, selain berfungsi sebagai alat atau
instrumen penguji kritis terhadap sistem hukum yang berlaku saat ini, nilai-nilai
atau asas-asas hukum juga berfungsi untuk menguji kritis, apakah suatu produk
hukum atau suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan hukum yang
telah dibuat itu sesuai dengan nilai-nlai atau asas-asas hukum, atau justru
bertentangan dengan nilai-nilai atau asas-asas hukum yang mendasarinya.
Apabila suatu produk hukum atau suatu peraturan peraturan perundang-undangan
atau keputusan hukum yang telah dibuat bertetangan dengan nilai-nilai atau asas-
asas hukum yang mendasarinya, maka produk hukum atau suatu peraturan
perundang-undangan atau keputusan hukum tersebut ditinjau ulang bahkan
dicabut atau dinyatakan tidak berlaku atau dirumuskan kembali (reformulasi)
dengan penyesuaian asas-asas hukum atau nilai-nilai hukum atau orientasi yang
hendak dicapai.
150
Peneliti beranggapan bahwa sebelum melakukan pengaturan mengenai
pertanggungjawaban pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan
tanpa ijin dalam sistem hukum atau peraturan perundang-undangan di Indonesia,
harus diperhatikan terlebih dahulu nilai-nilai atau asas-asas hukum yang
mendasarinya dan tujuan yang ingin dicapai dari pengaturan mengenai
pertanggungjawaban pidana koperasi itu sendiri. Apabila proses pembentukan
peraturan perundang-undangan ini sudah dilaksanakan, maka ketentuan atau
produk hukum tersebut dapat diimplementasikan atau dilaksanakan dengan baik
tanpa adanya tumpang tindih atau perumusan yang kabur, sehingga akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan hambatan-hambatan dalam
pelaksanaanya (hambatan-hambatan dalam tahap aplikasi dan eksekusinya).
Hukum pidana di era modern ini tidak hanya berfungsi sebagai pelindung
nilai-nilai moral semata tetapi juga cenderung berfungsi sebagai sarana atau alat
untuk meningkatkan atau mencapai kesejahteraan sosial atau kesejahteraan
masyarakat (social welfare), serta memberikan keamanan atau perlindungan bagi
setiap warga masyarakatnya (social defence). Terkait dengan hal ini, Barda
Nawawi Arief menyatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik
kriminal (criminal policy) adalah memberikan perlindungan masyarakat (social
defence) dan mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).116
116 Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Pranada Media Grup, Jakarta, Hal,4
151
Demikian pula dengan Muladi, menyatakan keadaan seperti itu dengan
kalimat “sarana untuk meningkatkan rasa tanggungjawab pemerintah dalam
rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya”117. Senada dengan hal
tersebut, Sjachran Basah juga menyatakan bahwa:
Fungsi hukum secara klasik perlu ditambah dengan fungsi-fungsi
lainnya yakni untuk menciptakan hukum yang berfungsi sebagai sarana
pembaruan masyarakat. Oleh karena itu, hukum tidak harus dipandang
sebagai kaidah semata-mata, tetapi juga harus dipandang sebagai sarana
pembangunan dengan tujuan untuk mencapai tujuan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di lain pihak, hukum sebagai
sarana pembaruan masyarakat dapat diartikan bahwa hukum harus
mampu memberi motivasi cara berpikir masyarakat ke arah yang lebih
maju (progresif), dengan demikian, hukum tidak terpaku kepada
pemikiran yang konservatif dengan tetap memerhatikan faktor-faktor
sosiologis, antropologis, dan kebudayaan masyarakat.118
Jadi dalam mencegah dan memberantas suatu tindak pidana, pada
dasarnya dapat ditempuh melalui kebijakan kriminal (criminal policy) yang
terdiri dari dua bagian besar, yaitu kebijakan hukum pidana yang dirumuskan
dalam sebuah peraturan perundang-undangan atau dirumuskan secara penal yang
dikenal pula dengan istilah penal policy dan kebijakan hukum pidana yang tidak
dirumuskan secara penal atau perundang-undangan yang disebut dengan istilah
non penal policy. Proses perumusan peraturan perundang-undangan mengenai
pertanggungjawaban pidana koperasi ini sudah tentu merupakan proses atau
117 Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah Pidato
Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang, Hal.148
118 S.F.Marbun, Deno Kamelus, Saut P.Panjaitan, dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran
Hukum Administrasi Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hal.184-185
152
sebuah contoh kebijakan hukum pidana yang dilakukan secara penal (penal
policy).
Charles O.Jones mendefinisikan atau mengartikan kebijakan (policy)
sebagai keputusan tetap yang ditandai dengan adanya konsistensi dan
pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang
memenuhi keputusan tersebut.119 Sementara itu menurut Barda Nawawi Arief,
kebijakan (policy) berasal dari kata “politic”, “politics” dan “policy” (Inggris)
atau “politiek” (Belanda). Sedangkan politik itu sendiri berarti “acting of judging
wisely, prudent”120.
Selain itu, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa kebijakan hukum
pidana atau politik hukum pidana (criminal policy) tersebut dapat dilakukan
dengan dua cara, yakni dengan menggunakan sarana penal dan sarana nonpenal.
Barda mengutip pernyataan dari Marc Ancel yang menyatakan bahwa:
“.........Modern criminal science has in fact three essential components;
criminology, which studies the phenomenon of crime in all its aspects;
criminal law, which is the explantion and application of the positive rule
whereby society reacts against the phenomenon of crime; finally, penal
policy, both of science and an art, of which the better formulated and to
guide not only the lesgilator who has to draft criminal statutes, but the
court by which they are applied and the prison administration which
gaves practical effect to the court’s decision”121
119 Charles O.Jones, 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Grafindo, Jakarta, Hal.74
120 William N.Dunn (Penyadur: Muhadjir Darwin), 2000, Analisa Kebijakan Publik, PT.
Hadindita Graha Widia, Yogyakarta, Hal.10
121 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, Hal.VI
153
Apabila diterjemahkan maka dapat diartikan sebagai berikut: ilmu hukum
pidana modern pada kenyataanya terdiri dari tiga komponen penting: kriminologi
sebagai ilmu yang mempelajari fenomena tentang kejahatan dari segala
aspeknya; ilmu hukum pidana yang merupakan penjelasan dan penerapan dari
aturan positif di mana masyarakat bereaksi terhadap fenomena kejahatan yang
terjadi; dan akhirnya, kebijakan penal yang merupakan ilmu pengetahuan dan
sekaligus seni, yang digunakan untuk tujuan praktis dan pada akhirnya adalah
untuk memungkinkan aturan positif menjadi aturan yang dirumuskan secara
lebih baik dan tidak hanya membimbing legislator yang harus menyusun undang-
undang pidana, tetapi juga pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Dapat dilihat bahwa Marc Ancel berpendapat penal policy adalah suatu
ilmu sekaligus seni yang pada hakikatnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada para pembentuk undang-undang dan juga
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Dengan demikian,
menurut peneliti, hal yang penting untuk diperhatikan terkait dengan pembahasan
pada bagian ini adalah dengan penal policy atau kebijakan penal. Penal policy
atau kebijakan penal mempunyai tujuan yang sangat jelas yakni membentuk
suatu peraturan hukum positif yang lebih baik dari sebelumnya dan memberi
pedoman, arah, patokan, panduan atau ukuran, bak bagi para pembentuk undang-
154
undang maupun bagi pengadilan dan pelaksana putusan pengadilan atau dengan
kata lain, kebijakan penal ini akan berlaku bagi seluruh aparatur penegak hukum
di mana seluruh aparatur penegak hukum diharapkan dapat menerapkan hukum
secara tepat dan akurat.
Berkaitan dengan pengaturan pertanggungjawaban pidana koperasi dalam
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin dalam sistem hukum Indonesia dan
positif di Indonesia, sudah tentu yang menjadi pertanyaan dasar adalah, apakah
pertanggungjawaban pidana koperasi dalam mencegah dan memberantas
kegiatan perbankan yang dilakukan tanpa ijin oleh koperasi perlu diatur? Bentuk
formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi seperti apa yang sepatutnya
dilakukan untuk memperbaharui hukum pidana Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang tidaklah mudah. Namun
mengingat adanya kekosongan norma dalam UU Perkoperasian saat ini
mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan
perbankan tanpa ijin sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dan konflik
norma mengenai ketidaksesuaian sanksi yang diberikan kepada koperasi yang
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketertiban umum (dalam hal ini
adalah tindak pidana perbankan tanpa ijin), di mana dalam UU No.25/1992
tentang Perkoperasian dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang
Perbankan dimana sanksi dalam UU Pekoperasian hanya memberikan sanksi
administratif bagi koperasi sedangkan dalam UU Perbankan, koperasi dipandang
155
sebagai badan hukum/korporasi yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara
pidana dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 46 UU
No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yaitu sanksi pidana penjara
dan sanksi pidana berupa denda. Sehingga dalam hal ini peneliti akan membahas
formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi seperti apa yang seyogyanya
harus dilakukan untuk memperbaharui hukum pidana Indonesia.
Adapun pembaharuan hukum pidana (penal reform) itu sendiri pada
hakikatnya dapat diartikan sebagai suatu upaya atau proses untuk melakukan
reorientasi dan reformulasi hukum pidana yan sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosiopolitis, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial (social policy), kebijakan kriminal (criminal policy),
dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) di Indonesia.122
Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan hukum pidana, tepatnya
termasuk pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi
dilatarbelakangi beberapa faktor, yaitu antara lain karena hukum pidana yang ada
saat ini berlaku tidak lengkap atau tidak dapat menampung berbagai masalah dan
dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru yang dapat dilakukan
oleh koperasi; karena hukum pidana yang berlaku saat ini kurang dan bahkan
tidak sesuai dengan nilai-nilai sosipolitis, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang
hidup di dalam masyarakat; karena hukum pidana yang berlaku saat ini kurang
122 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, Hal.7
156
atau tidak sesuai dengan perkembangan pemikiran dan aspirasi tuntuan
kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan masyarakat nasional maupun kebutuhan
masyarakat internasional dan hukum pidana yang berlaku saat ini berlaku bukan
merupakan sistem hukum pidana yang utuh karena masih banyak terdapat pasal-
pasal yang bertentangan satu dengan yang lainnya.
Kebijakan hukum pidana dapat dilaksanakan melalui beberapa tahapan
yaiu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)
dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif atau kebijakan administratif). Berkaian
dengan tahapan-tahapan tersebut, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa:
Pembagian kewenangan itu didasarkan pada adanya tiga tahap
konkretisasi atau fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana
dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana. Pertama, tahap penetapan atau
perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang (tahap kebijakan
formulatif atau legislatif). Kedua, tahap penerapan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum atau pengadilan (tahap kebijakan aplikatif atau
yudikatif atau yudisial). Dan ketiga, tahap pelaksanaan pidana oleh aparat
pelaksana atau eksekusi pidana (tahap kebijakan eksekutif atau
administratif.123
Maka dari itu dapat dikatakan bahwa tahap formulasi adalah tahap
penetapan atau perumusan hukum pidana oleh lembaga legislatif atau para
pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto
oleh badan pembuat undang-undang. Tahap aplikasi adalah tahap penerapan
hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan
123 Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT. Citra Adiya Bhakti, Bandung, Hal.137
157
sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah tahap pelaksana pidana
oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana.
Tahap formulasi pada dasarnya merupakan tahap yang paling penting
karena tahap ini akan menentukan produk hukum yang telah dibuat dapat
ditegakkan (enforceable) atau tidak. Barda juga menyatakan bahwa dari ketiga
tahapan tesebut di atas, tahap formulasi merupakan tahapan yang paling strategis
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan atau pemberantasan tindak pidana
melalui kebijakan hukum pidana (penal policy). Sebaliknya, kesalahan atau
kelemahan kebijakan lembaga legislatif dalam merumuskan dan menyusun
undang-undang merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi kendala atau
penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan suatu tindak pidana pada
tahap aplikasi dan eksekusi.124
Jadi menurut peneliti, lemahnya penegakan hukum dan carut marut
penegakan hukum di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh lemahnya integritas
dari aparat penegak hukum, melainkan dipengaruhi pula oleh formulasi peraturan
perundang-undangan yang ada. Dengan kata lain, kesalahan atau kelemahan
kebijakan lembaga legislatif dalam merumuskan dan menyusun undang-undang
merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam rangka membenahi
penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia.
124 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro
(UNDIP), Semarang, Hal.30
158
Dalam memformulasikan pertanggungjawaban pidana koperasi di masa
yang akan datang, yakni dalam rangka pembaharuan hukum pidana (penal
reform), peneliti mengidentifikasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengertian atau definisi Koperasi
Formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang
harus mengatur secara konsisten dan tegas definisi dari koperasi, dimana yang
dimaksud dengan koperasi adalah
2. Subjek Hukum
Formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang
harus mengatur secara tegas bahwa koperasi merupakan subyek hukum
pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana (tidak hanya koperasi saja
tetapi juga pengurusnya)
3. Dasar Pemidanaan Koperasi
Menurut peneliti, dalam dasar pemidanaan koperasi, formulasi
pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang harus
mengatur secara tegas mengenai dasar pemidanaan suatu koperasi. Dasar
pemidanaan koperasi dalam hal ini diatur secara tegas mengenai teori-teori
yang membenarkan pertanggungjawaban pidana koperasi (dalam hal ini
koperasi dapat dimasukkan ke dalam korpoasi) yakni: identification theory
atau direct liability, serta vicarious liability, sebagaimana telah dijelaskan
dalam Bab III.
159
4. Klasifikasi Perbuatan Sebagai Tindak Pidana Koperasi dalam Melakukan
Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin
Hal ini perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan
nasional mengenai klasifikasi perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh
koperasi. Adapun klasifikasi tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin
apabila:
a. Tindak pidana dilakukan oleh personel pengendali koperasi (sebagai
directing mind);
b. Tindak pidana dilakukan karena perintah personel pengendali koperasi
(adanya pendelegasian);
c. Tindak pidana dilakukan oleh agen atau organ atas nama koperasi;
d. Tindak pidana dilakukan dalam lingkup pekerjaan;
e. Tindak pidana dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan
koperasi;
f. Tindak pidana dilakukan melalui agen yang berhubungan erat dengan
koperasi;
g. Tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku
atau pemberi perintah;
160
h. Tindak pidana yang dilakukan oleh sekumpulan orang secara kolektif
(karena telah dijelaskan sebelumnya dalam pertanggungjawaban pidana,
koperasi dipandang sebagai korporasi);
i. Koperasi tidak membentuk sebuah sistem, prosedur, disiplin internal
atau pengawasan dan budaya yang terdapat dalam koperasi yang
mencegah dan menindak tindak pidana;
j. Tindak pidana dilakukan dengan maksud memberikan manfaat atau
keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi koperasi.
5. Jenis Sanksi Terhadap Koperasi
Mengingat bahwa jenis sanksi yang diancamkan terhadap koperasi dalam
perturan perundang-undangan nasional saat ini masih banyak dirumuskan
secara tidak tegas, maka menurut peneliti perlu diatur alternatif sanksi yang
dapat dibebankan terhadap koperasi.
Adapun alternatif sanksi (baik pidana pokok maupun pidana tambahan) yang
dapat dijatuhkan terhadap koperasi antara lain sebagai berikut:
a. Sanksi denda (fine);
b. Pencabutan hak tertentu;
c. Perampasan aset koperasi;
d. Pengumuman putusan hakim;
e. Penyitaan barang dan perampasan keuntungan yang diperoleh secara
melawan hukum;
161
f. Pengawasan koperasi;
g. Peringatan;
h. Pengaturan sanksi administrartif.
Hal-hal tersebutlah yang sudah seharusnya diatur dalam Undang-Undang
Perkoperasian yang baru. Formulasi yang inovatif diperlukan dalam
memberantas koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Dengan
adanya formulasi yang baru, maka koperasi tidak akan lari lagi dari
keharusannya untuk bertanggungjawab secara pidana dan Indonesia sebagai
negara hukum tidak akan lagi diragukan atau dipertanyakan.
162
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
1. Pertanggungjawaban pidana koperasi bilamana terjadinya tindak pidana
perbankan terkait perijinan dalam UU Perkopeasian masih sebatas pemberian
sanksi administrasi, padahal sesungguhnya koperasi merupakan korporasi
sehingga bentuk pertanggungjawabannya pun seharusnya
pertanggungjawaban korporasi. Berbeda dengan yurisprudensi yang ada
dimana pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan koperasi saat ini
dibebankan kepada pengurus/ pimpinan koperasi yang memberikan perintah
sehingga pertanggungjawabannya hanya diberikan kepada pribadi masing-
masing.
2. Pihak-pihak yang bertanggungjawab bilama koperasi melakukan tindak
pidana perbankan tanpa ijin adalah pengurus/ manajer koperasi sebagai orang
yang memberikan perintah dan menggerakan koperasi. Menurut UU
No.25/1995 tentang Perkoperasian tidak dikenal pertanggungjawaban pidana,
yang dikenal hanyalah sanksi administratif. Hal ini menimbulkan konflik
norma dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang
mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi yang mana
seharusnya koperasi yang merupakan korporasi dapat
163
dipertanggungjawabankan pidana dan pihak koperasi yang
bertanggungjawab dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin tersebut
adalah pengurus koperasi/pimpinan yang memberikan perintah.
5.2 SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Agar hakim untuk saat ini tetap menggunakan UU Perbankan sebagai
landasan hukum dalam pemberian pidana bagi pihak-pihak koperasi yang
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal tersebut sesuai dengan asas lex
posteriori derograt legi priori di mana UU Perbankan lebih baru dibandingan
dengan UU Perkoperasian dan dirasa lebih mengikuti perkembangan yang
terjadi di masyarakat.
2. Agar pemerintah kedepannya dapat melakukan pembaharuan terhadap UU
Perkoperasian mengenai pihak-pihak yang dapat bertanggungjawab atas
tindak pidana perbankan terkait perijinan yang dilakukan oleh koperasi. Hal
ini diperlukan agar tidak terjadi disharmonisasi antara UU Perkoperasian
dengan UU Perbankan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi
sebagai korporasi, dalam dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali, Mahrus, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta
---------------, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT Sinar Grafika, Jakarta
Amiruddin, H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Arief Amrullah, M., 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering),
Bayumedia Publishing, Malang
Atmasasmita, Romli, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung
-------------------------, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media,
Jakarta
Badudu, J.S., 2009, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia,
Kompas, Jakarta
Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Adiya Bhakti, Bandung
-----------------------------, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
-----------------------------, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Pranada
Media Grup, Jakarta
Budi Untung, H. 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit
Andi, Yogyakarta
--------------------, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta
Eric Colvin, 1995, Corporate Personality and Criminal Liability, Criminal Law
Forum
Fajar Mukti & Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil
Komunika, Yogyakarta
Finch, Emily and Stefan Fafinski, 2011, Criminal Law, Pearson Education, England
Firdaus, Muhammad dan Agus Edhi Susanto, 2004, Perkoperasian Sejarah, Teori
dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta
Geary, Roger, 2002, Understanding Criminal Law, Cavendish Publishing Limited,
Oregon, USA
Hamzah, Andi, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
(Strick Liability dan Vicarious Liability), PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta
Hasan Wargakusumah, Moh., dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang
Metodelogi Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta
Hasbullah F. Sjawie, 2013, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana,
Jakarta
Hendrojogi, 2012, Koperasi: Asas-Asas, Teori, dan Praktik, Rajawali Pers, Jakarta
Huda, Chairul, 2006, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Kencana Prenada Media
Group, Jakarta
Irianto, Sulistowati dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Jones, Charles O., 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Grafindo, Jakarta
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Kanter, E.Y dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Khairandy, Ridwan, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-
Undangan, dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta
Komara, Endang, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama,
Bandung
Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang
Kristian, Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan, Nuansa Aulia, Bandung
--------------, 2014, Hukum Pidana Korporasi; Kebijakan Integral (Integral Policy)
Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV.
Nuansa Aulia, Bandung
Lamintang, P.A.F., 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung
Lamintang, P.A.F, dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung
Lili Rasjidi, Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju,
Bandung
Marpaung, Leden, 2003, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap
Perbankan, Penerbit Djambatan, Jakarta
McKechnie, Jean L., 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second
Edition
Moeljatno, 1983, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Akasara,
Jakarta
-------------, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta
-------------, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta
Marbun, Deno Kamelus, Saut P.Panjaitan, dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran
Hukum Administrasi Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah
Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru
Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
(UNDIP), Semarang
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung
-------------------------------------------, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung
Muladi dan Dwidja Priyanto, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenada
Media, Jakarta
Morin L. Cohen and Kent C. Olson; 2000, "Legal Research", 7 ed, West Group, St.
Paul Minn. Virginia
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
--------------------------------------, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas
Diponegoro (UNDIP), Semarang
Pachta W, Andjar, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, 2005,
Hukum Koperasi Indonesia; Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal
Usaha, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Paul Dobson, 2008, Nutshells Criminal Law, Sweet & Maxwell, London
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta
Prakoso, Djoko, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty
Yogyakarta
Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung
Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT
Pradnya Paramita, Jakarta
Rahardjo, Sajipto, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Press, Yogyakarta
---------------------, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta
Reksodiputro, Mardjono 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta
Robert W. Emerson, 2004, Business Law, Barron’s, New York
Salim, H. & Erlies Septiana Nurnani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Setiyono, H. 2009, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggung-
jawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia
Publishing, Malang
Shidarta, 2010, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran
Filsafat Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), Jakarta
Sianturi, S.R, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni,
Jakarta
Simanjuntak, P.N.H, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan,
Jakarta
Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
------------------------, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Soesilo, R., 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor
Soetan K.Malikoel Adil, 1995, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, PT Pembangunan,
Jakarta, Hal.83, dikutip dari Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana
Korporasi, Rajawali Pers, Jakarta
Suarpika Bimantaro dan Syahrul Bahroen, 2003, Organisasi Bank Indonesia, Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Jakarta
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta
Suharto R.M, 2004, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar
Dakwaan, Sinar Grafika, Jakarta
Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers,
Jakarta
William N.Dunn (Penyadur: Muhadjir Darwin), 2000, Analisa Kebijakan Publik, PT.
Hadindita Graha Widia, Yogyakarta
Wiranata, I Gede, ed.et.al, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media
Nusantara, Jakarta
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5164
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan
Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian
C. Jurnal Ilmiah
I Gede Hartadi Kurniawan, 2013, Tindakan Koperasi Simpan Pinjam yang
Mengakibatkan Perbuatan Tindak Pidana, tersedia di website
http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/348
Suteki, 2010, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,
SH, tersedia di website http://mitrahukum.org/wp-
content/uploads/2012/09/Rekam-Jejak-Pemikiran-Hukum_Progresif-Prof-
Satjiipto-Rahardjo-by-Suteki.pdf
D. Internet
Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia, 2009, Kasus Penggelapan 71M oleh
Pengurus Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang bekerjasama
dengan Suwondo Komisaris PT/ Bank Pasar Harta Guna, tersedia di
website http://lhkipusat.blogspot.com/2009/08/kasus-penggelapan-71m-
oleh-pengurus.html, diakses pada tanggal 1 April 2015
Otoritas Jasa Keuangan, 2014, Siaran Pers Bersana: Nota Kesepahaman Otoritas Jasa
Keuangan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koperasi dan
UKM tentang Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai
Lembaga Keuangan Mikro, tersedia di website
http://www.ojk.go.id/siaran-pers-bersama-nota-kesepahaman-otoritas-
jasa-keuangan-kementerian-dalam-negeri-dan-kementerian-dalam-negeri-
dan-kementerian-koperasi-dan-ukm-tentang-koordinasi-pelaksanaan-uu-
nomor-1-2003-mengenai-lembaga-keuangan-mikro, diakses pada tanggal
19 April 2015