pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak

188
i TESIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: phamtruc

Post on 30-Dec-2016

232 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

i

TESIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI

DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN

DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

i

TESIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI

DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN

DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA

NIM: 1390561058

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

ii

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI DALAM

TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA

NIM. 1390561058

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 6 AGUSTUS 2015

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS. Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH.

NIP. 19530914 197903 1 002 NIP. 19620605 198803 1 020

Mengetahui,

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana

Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana

Universitas Udayana

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K)

NIP.19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001

iv

Tesis Ini Telah Diuji

Pada Tanggal 5 Agustus 2015

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor : 2120/UN14.4/HK/2015, Tanggal 3 Agustus 2015

Ketua : Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS

Sekretaris : Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH.

Anggota : 1. Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH.

2. Dr. I Gede Artha, SH.,MH

3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum.

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Dessy Lina Oktaviani Suendra

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana

Perbankan Tanpa Ijin

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di

kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima

sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 6 Agustus 2015

Yang menyatakan,

Dessy Lina Oktaviani Suendra

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan

Yang Maha Esa), karena atas berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan

tesis yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI

DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN”.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada

Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS., Pembimbing I yang telah penuh perhatian

dan kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis.

Terimakasih penulis ucapkan juga kepada Dr. Ida Bagus Surya Darmaja, SH.,MH,

Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam

penyusunan tesis ini.

Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.

Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD KEMD, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister

(S2) Ilmu Hukum di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan

kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka

Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi

mahasiswa Program Magister (S2) Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana

Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas

vii

Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., atas ijin

yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister (S2)

Ilmu Hukum. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih

kepada Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Dr. Ni Ketut Supasti

Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM, para penguji tesis, yaitu Dr. Gde Made Swardhana,

SH.,MH, Dr. I Gede Artha, SH.,MH, dan Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra,

SH.,M.Hum, yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi dalam

penyempurnaan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada para

Dosen Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah mengajar

dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Magister (S2) Ilmu

Hukum Universitas Udayana. Para pegawai administrasi Program Magister (S2) Ilmu

Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam pengurusan

administrasi penulis selama perkuliahan, serta para pegawai perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam memperoleh

literatur yang dibutuhkan selama penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada

Ayahanda dan Ibunda tercinta, kakak, serta teman-teman yang sangat penulis cintai

dan banggakan yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi dalam

penyusunan tesis ini. Teman-teman MH’13 seluruhnya, yang telah banyak

memberikan masukan, saran, semangat, dan motivasi sehingga penyusunan tesis ini

selesai tepat pada waktunya.

viii

Penulis menyadari bahwa materi yang disajikan dalam tesis ini masih jauh

dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman

yang dimiliki penulis. Oleh karena keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun guna kelengkapan dan penyempurnaan tesis ini.

Akhir kata, penulis harapkan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya bagi para pembaca.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, Agustus 2015

Penulis,

ix

ABSTRAK

Koperasi dipandang sebagai usaha yang dapat membantu perbaikan tingkat

kehidupan ekonomi dikarenakan pada hakikatnya Koperasi membantu berdasakan

asas tolong menolong. Namun Koperasi di Indonesia saat ini tidak terlepas dari

kemungkinan melakukan tindak pidana, salah satunya tindak pidana perbankan

terkait perijinan. Konflik norma terjadi dalam pengaturan pertanggungjawaban

pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, di mana dalam UU

Perkoperasian hanya diatur mengenai sanksi administrtif bagi koperasi namun

pengurus koperasi tidak dikenakan sanksi pidana, sedangkan dalam UU Perbankan

diatur mengenai sanksi pidana bagi pengurus/pimpinan koperasi. Berdasarkan latar

belakang tersebut maka didapatlah rumusan masalah yaitu: 1) Bagaimakah

pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang

dilakukan oleh koperasi 2) Siapakah yang bertanggungjawab bilamana koperasi

melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi kepustakaan dengan

menggunakan metode sistematis melalui card system. Teknik analisis bahan hukum

yang digunakan adalah teknik analisis deskripsi, teknik argumentasi, dan teknik

analisis interpretasi. Dari keseluruhan data-data terkait akan diolah dan dianalisis

dengan cara menyusun data tersebut secara sistematis dan selektif, kemudian data

tersebut dianalisis dalam bentuk uraian-uraian yang disertai dengan penjelasan teori-

teori hukum.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbuatan koperasi yang dapat

dipertanggungjawabkan pidana adalah tindak pidana penggelapan, tindak pidana

penipuan, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana

perbankan yang dapat dilakukan oleh koperasi adalah tindak pidana perbankan terkait

perijinan, di mana untuk saat ini dalam pertanggungjawaban pidananya masih

mengacu pada UU Perbankan yang memberikan sanksi pidana bagi orang yang

memberikan perintah/ pemimpin. Sedangkan pihak yang bertanggungjawab apabila

koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin adalah pengurus koperasi.

Kata Kunci : Koperasi, Pertanggungjawaban Pidana, Perbankan

x

ABSTRACT

Cooperatives seen as an attempt to help improve the level of economic life

because in essence Cooperative Based on the principle of helping assist. However

Cooperative in Indonesia today is inseparable from the possibility of a criminal act,

one criminal offense related banking licenses. Conflicts occur in the setting of norms

of criminal responsibility in the cooperative banking activities without a license,

where the Cooperatives Act only regulates the sanctions administrtif for

cooperatives, but cooperative management is not subject to criminal sanctions, while

the Banking Act regulated the criminal sanctions for the management / leadership of

the cooperative. Based on this background, the obtained formulation of the problem,

namely: 1) How is criminal responsibility in case of banking criminal acts without

permission undertaken by cooperatives 2) Who is responsible for committing a crime

when the cooperative banking without permission.

This research is a normative legal research. The legal materials used in this

study include primary legal materials, secondary, and tertiary. Data collection

techniques used is literature study technique using a systematic method through the

card system. Legal materials analysis techniques used are descriptive analysis

technique, argumentation technique, interpretation and analysis techniques. Of

overall relevant data will be processed and analyzed by arranging such data

systematically and selectively, then the data is analyzed in terms of the descriptions

are accompanied by an explanation of the theories of law.

These results indicate that the cooperative actions that can be accounted for

criminal is a criminal offense embezzlement, criminal fraud, banking criminal acts

and corruption. As for the banking criminal acts that can be performed by the

cooperative is a criminal offense related banking licenses, in which for the moment in

its criminal liability still refers to the Banking Act which provide criminal sanctions

for those who give orders / leader. While the parties responsible for committing a

crime if the cooperative banking without permission is a cooperative management

Key words : Cooperative, Criminal Liability, Banking

xi

RINGKASAN

Penelitian tentang Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana

Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin, disusun dalam lima bab yang secara garis

besar dapat diuraikan sebagai berikut :

Bab I menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi penyusunan

penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan umum dan

tujuan khusus, manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat

praktis, orisinalitas penelitian, landasan teoritis, kerangka berpikir penelitian, dan

metode penelitian.

Bab II menguraikan tentang tinjauan umum yang berupa tinjauan secara garis

besar tentang konsep yang tertuang dalam judul penelitian, yakni

pertanggungjawaban pidana (meliputi pengertian pertanggungjawaban pidana dan

pertanggungjawaban pidana korporasi), koperasi (meliputi pengertian koperasi, latar

belakang berdirinya koperasi, tujuan koperasi, sifat koperasi, nilai dan prinsip

koperasi serta jenis-jenis koperasi), dan tindak pidana perbankan tanpa ijin (meliputi

pengertian tindak pidana perbankan tanpa ijn dan pengaturan tindak pidana

perbankan tanpa ijin).

Bab III adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan

masalah pertama yakni, pertanggungjawaban pidana koperasi. Bab ini terdiri dari tiga

sub bab, dimana sub bab pertama menguraikan tentang perbuatan tindak pidana yang

berkaitan dengan koperasi, sub bab kedua membahas tentang koperasi sebagai

xii

korporasi, dan sub bab ketiga membahas tentang pertanggungjawaban pidana oleh

koperasi.

Bab IV adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan

masalah kedua yakni, pihak-pihak yang dapat dipertanggungjawabkan pidana dalam

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Bab ini terdiri dari dua sub bab, dimana

sub bab pertama membahas tentang pihak-pihak koperasi yang dapat

dipertanggungjawabkan pidana dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin,

sedangkan sub bab kedua membahas tentang formulasi kebijakan pertanggung-

jawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin

Bab V adalah bab penutup yang terdiri dari sub bab simpulan dan saran.

Simpulan merupakan hasil dari pembahasan penelitian baik terhadap rumusan

masalah pertama maupun rumusan masalah kedua, sedangkan saran memuat hal-hal

yang dapat direkomendasikan terkait dengan permasalahan dalam penelitian sebagai

bentuk jalan keluar atas permasalahan yang dikemukakan, sehingga layak untuk

dilaksanakan.

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ............................................................................. i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...........................................ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ....................................................... iv

UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................... viii

ABSTRACT ............................................................................................................ ix

RINGKASAN .......................................................................................................... x

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xvi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1

1.1 Rumusan Masalah ............................................................................................... 10

1.2 Ruang Lingkup Masalah ..................................................................................... 10

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 10

1.4.1 Tujuan Umum........................................................................................... 10

1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................................... 11

1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 11

xiv

1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................................... 11

1.5.2 Manfaat Praktis......................................................................................... 11

1.6 Orisinalitas Penelitian ........................................................................................ 12

1.7 Landasan Teoritis ............................................................................................... 16

1.7.1 Kerangka Berpikir ................................................................................... 40

1.8 Metode Penelitian .............................................................................................. 42

1.8.1 Jenis Penelitian ......................................................................................... 42

1.8.2 Jenis Pendekatan ....................................................................................... 44

1.8.3 Sumber Bahan Hukum.............................................................................. 45

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................................ 46

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................................. 47

BAB II TINJAUAN UMUM

2.1 Pertanggungjawaban Pidana .............................................................................. 49

2.2 Koperasi ............................................................................................................. 54

2.4 Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin ................................................................. 66

xv

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BILAMANA TERJADI TINDAK

PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN YANG MELIBATKAN KOPERASI

3.1 Perbuatan Koperasi yang Dapat Dipidanakan .................................................... 74

3.2 Koperasi sebagai Korporasi ............................................................................... 95

3.3 Pertanggungjawaban Pidana oleh Koperasi ....................................................... 99

BAB IV PIHAK-PIHAK KOPERASI YANG DAPAT DIPERTANGGUNG-JAWABKAN

PIDANA DALAM MELAKUKAN KEGIATAN PERBANKAN TANPA IJIN

4.1 Pihak-Pihak Koperasi yang dapat Dipertanggungjawabkan Pidana dalam Melakukan

Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin ......................................................................... 121

4.2 Formulasi Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi yang Melakukan

Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin ....................................................................... 145

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 162

5.2 Saran ................................................................................................................ 163

DAFTAR PUSTAKA

xvi

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian.

2. Gambar 2. Skema Ketentuan Pasal 46

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setelah Perang Dunia II berakhir, konsentrasi masyarakat telah berpusat pada

pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah

menunjukkan pengembangan ekonomi yang cukup pesat, namun juga membawa

suatu permasalahan baru yang serius yaitu kesenjangan ekonomi yang semakin tajam

antara kesejahteraan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara maju dengan

negara-negara berkembang. Negara maju terdiri dari 20 persen penduduk dunia,

menikmati sekitar ⅔ penghasilan dunia. Sementara negara-negara berkembang yang

berpopulasi 50 persen dari penduduk dunia, menikmati sekitar ⅛ pendapatan dunia,

dan negara-negara miskin yang berpenduduk sekitar 30 persen dari penduduk dunia

hanya menikmati 3 persen dari pendapatan dunia.1

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, berdasarkan penjelasan di

atas hanya menikmati ⅛ dari pendapatan dunia. Ketimpangan ini membuat

Pemerintah Indonesia termotifasi untuk semakin menggiatkan perekonomian

Indonesia. Salah satu cara untuk menggiatkan perekonomian tersebut adalah dengan

menunjang kaum yang ekonominya lemah agar dapat memperbaiki ekonominya dan

hidup mandiri.

1 Bulajic, Milan, 1998, Principles of International Development Law, Martinus Niijhoff

Publishers, The Netherlands, page. 20-23, dikutip dari Lili Rasjidi, Wyasa Putra, 2003, Hukum

Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, Hal.170

2

Koperasi didirikan untuk melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan

ekonomi dari orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang-orang yang

jatuh miskin sebagai akibat pelaksanaan sistem kapitalisme.2 Koperasi dipandang

sebagai usaha yang dapat membantu perbaikan tingkat kehidupan ekonomi

dikarenakan pada hakikatnya Koperasi membantu berdasakan asas tolong menolong.

Dikemukakan oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in

Indonesia bahwa:

koperasi adalah melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya

berdasarkan self-help dan tolong menolong di antara anggota-anggotanya yang

melahirkan di antara mereka rasa percaya pada diri sendiri dan persaudaraan.

Koperasi menyatakan semangat baru untuk menolong diri sendiri yang didorong

oleh keinginan member jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan.3

Secara etimologi, koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu

cooperatives: merupakan gabungan kata co dan operation. Dalam bahasa Belanda

disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama. Dalam bahasa Indonesia

dilafalkan menjadi koperasi.4

Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang

beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan

kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat

yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

2Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005, Hukum Koperasi

Indonesia, Kencana, Jakarta, Hal. 14 3Ibid, hal. 19 4Ibid, hal. 15

3

Gerakan ekonomi kerakyatan yang berdasarkan atas asas kekeluargaan ini

juga dicantumkan dalam Pasal 33 UUD NKRI 1945 yaitu:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan;

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

(3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Asas kekeluargaan menjadi faktor yang penting dalam membangun

perekonomian bagi masyarakat karena mementingkan kepercayaan yang diberikan

sesama anggota dalam memberikan modal usaha sehingga dapat membantu

pengembangan perekonomiannya.

Inpres Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan

Pengembangan Perkoperasian dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia pada

saat itu untuk mempermudah perijinan pendirian Koperasi. Dikeluarkannya Inpres

Nomor 18 Tahun 1998 ini berdampak terhadap banyaknya jumlah koperasi yang ada

di Indonesia. Inpres Nomor 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluas-

luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan

wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas

usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah.5

Koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (yang selanjutnya disebut

KSP) merupakan jenis koperasi yang hampir menyerupai bank. Hal ini dikarenakan

5Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2002, Perkoperasian Sejarah, Teori dan Praktek,

Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.109

4

KSP juga menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan simpan pinjam

bagi para anggota koperasi yang berangkutan serta kepada koperasi lain dan

anggotanya Untuk dapat melakukan kegiatan tersebut tentunya KSP juga harus

mengikuti persyaratan-persyaratan yang ada untuk mendirikan suatu koperasi dan

apabila nantinya KSP tersebut akan melakukan kegiatan perbankan, maka koperasi

tersebut haruslah mendapat ijin/persetujuan dari Pimpinan Bank Indonesia terelebih

dahulu.

Seiring dengan berjalannya waktu, banyak koperasi yang tidak menjalankan

usahanya dengan menggunakan asas kekeluargaan. Koperasi yang mengusung

membantu perekonomian masyarakat miskin malah bergerak hanya untuk mencari

keuntungan saja dan melupakan tujuan untuk mensejahterakan seluruh anggota

koperasi. Dalam prakteknya banyak terdapat koperasi, khususnya koperasi simpan

pinjam di Indonesia yang anggotanya hanya mendaftarkan KTP-nya saja dan tidak

menyetor seluruh simpanan yang diwajibkan. Atau dengan kata lain, KTP tersebut

hanya formalitas dibalik pemodal utama yang merupakan aktor dibelakang layar yang

mengendalikan koperasi. Koperasi Simpan Pinjam juga dinilai sebagai korporasi di

mana koperasi terkadang hanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan

tidak jarang pula mencari keuntungan tersebut dengan cara yang tidak sesuai dengan

AD/ART Perkoperasian. Dan tidak jarang koperasi tersebut juga menyimpan dana

pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat

5

Contoh diatas menunjukkan salah satu tindak pidana yang dapat dilakukan

oleh koperasi yaitu tindak pidana perbankan terkait perijinan yang jelas-jelas

melanggar Pasal 1 ayat 2 UU No.7/1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan yang

menerangkan bahwa hanya insitintusi perbankan yang diperbolehkan untuk

menyimpan dana pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat.6

UU No.7/ 1992 jo.UU No. 10/1998 tentang Perbankan menguraikan jenis-

jenis atau bentuk-bentuk tindak pidana perbankan yang diklasifikasikan ke dalam 13

jenis tindak pidana dengan unsur dan penerapan yang berbeda satu dengan yang

lainnya. Dari ketiga belas jenis tindak pidana perbankan tersebut, pada dasarnya

dapat dikelompokkan kembali menjadi 5 kelompok utama, yaitu sebagai berikut:

1. Tindak Pidana yang berkaitan dengan perizinan

2. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank

3. Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan

oleh pengurus bank, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan pemegang saham

bank.

4. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank

5. Tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank7

Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan ini diatur dengan tegas dan

jelas dalam UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan pada Pasal 16,

Pasal 18, dan Pasal 20. Dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992

tentang Perbankan disebutkan bahwa “setiap pihak yang melakukan kegiatan

6 I Gede Hartadi Kurniawan, 2013, Tindakan Koperasi Simpan Pinjam yang Mengakibatkan

Perbuatan Tindak Pidana, dikutip dari http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/348,

diakses pada tanggal 26 Januari 2015 7Kristian, dan Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung,

Hal.44

6

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu

memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari

Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari

masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Sedangkan tindak

pidana yang berkaitan dengan pendirian bank tanpa izin (bank gelap) dapat

ditemukan dalam Pasal 46 UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan

menyatakan bahwa:

(1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa

izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal

16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh

badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau

koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik

terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang

bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

Penjabaran Pasal 46 UU No. 7/1992 jo. UU N. 10/1998 tentang Perbankan tersebut

menjelaskan bahwa Koperasi juga dapat dikatakan melakukan tindak pidana

perbankan terkait perizinan dan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah bagi

mereka yang memberi perintah maupun yang bertindak sebagai pimpinan. Sehingga

dalam pasal ini secara tersirat menjabarkan bahwa Koperasi merupakan bagian dari

Korporasi dan juga sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana.

Berbeda halnya dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, koperasi

masih belum dapat dikatakan sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana.

7

Hal ini dikarenakan dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian tidak mengatur

mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada koperasi apabila melakukan

suatu tindak pidana. Koperasi hanya dikenakan sanksi administratif yaitu pembubaran

sesuai dengan ketentuan Pasal 46-56 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Dimana

dalam Pasal 47 ayat (1) UU No.25/1992 tentang Perkoperasian disebutkan bahwa:

(1) Keputusan pembubaran oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal

46 huruf b dilakukan apabila:

a. Terdapat bukti bahwa koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi

ketentuan Undang-undang ini;

b. Kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;

c. Kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan.

Penjelasan pasal tersebut menunjukkan bahwa menurut UU No.25/1992 tentang

Perkoperasian, Koperasi tidak dipandang sebagai subyek hukum pidana sehingga

tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana khususnya kepada pihak-

pihak individu yang menggerakkan koperasi. Jadi apabila koperasi melakukan suatu

tindak pidana maka UU Perkoperasian hanya dapat memberikan sanksi administratif

saja yaitu pembubaran koperasi sebagai badan hukum.

Koperasi sebagai badan hukum/ korporasi juga masih menuai pro dan kontra.

Terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa koperasi berbeda dengan korporasi. Hal

ini sering disebutkan dalam berbagai literatur dikarenakan koperasi memiliki cara

kerja serta interaksi internal dan eksternal yang khusus dan berbeda dengan badan

usaha lainnya. Namun pada kenyataanya Koperasi saat ini juga sering dipandang

sebagai suatu Korporasi. Hal ini dikarenakan dalam UU No 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian dinyatakan bahwa Koperasi merupakan badan usaha yang

8

beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan

kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat

yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Sedangkan Korporasi menurut Pasal 1 UU

No. 31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

adalah kumpulan orang dan/ kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan

hukum maupun bukan badan hukum serta dalam Pasal 1 butir 13 UU No. 5/1997

tentang Psikotropika menyebutkan pengertian korporasi adalah kumpulan yang

terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun

bukan. Apabila dilihat dari unsur-usur yang terdapat dalam pengertian Koperasi dan

Korporasi yang telah disebutkan di atas, maka akan terlihat persamaan yaitu pada

unsur sekumpulan orang atau badan hukum.

Seperti yang tercantum dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang

Perbankan, dalam Pasal 46 ayat (2) disebutkan bahwa “badan hukum yang berbentuk

perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi”, kalimat tersebut

menyiratkan bahwa koperasi pun merupakan korporasi dan dapat melakukan

pertanggungjawaban sebagai korporasi sehingga tindak pidana yang dilakukan oleh

Koperasi dianggap sebagai tindak pidana korporasi pula. Pertanggung Jawaban

Pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana pada

seseorang pembuat tindak pidana.8 Hal seperti itu juga diatur dalam Pasal 46 UU

No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan, dimana subyek hukum yang

8 Chairul Huda, 2006,Dari‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.64

9

dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya terkait tindak pidana perbankan

berkaitan dengan perizinan adalah bagi mereka yang memberi perintah atau yang

bertindak sebagai pempimpin dalam melakukan perbuatan menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpananan tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia. Bilamana

koperasi adalah korporasi maka koperasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

apabila koperasi tersebut melakukan tindak pidana.

Sayangnya, dalam menjatuhkan pidana bagi Kopersi Simpan Pinjam yang

melakukan tindak pidana perbankan akan mengalami kesulitan karena adanya

perbedaan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992

tentang Perkoperasian dengan UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang

Perbankan. Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian, koperasi yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan

kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum maka koperasi tersebut hanya

dikenakan sanksi administratif berupa pembubaran. Hal ini sangat jauh berbeda

dengan sanksi yang dicantumkan dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang

Perbankan yang memberikan sanksi pidana kepada Pengurus/Pemimpin

Perusahaan/Koperasi yang dalam hal ini kalau koperasi yang melakukan tidak pidana

perbankan maka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak

sebagai pimpinan dalam perbuatan atau terhadap kedua-duanya harus bertanggung

jawab. Konflik norma ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam

memberiakan keadilan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat apabila terdapat

10

koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal inilah membuat penulis

tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut mengenai “Pertanggungjawaban

Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin”

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana

perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi?

2. Siapakah yang bertanggungjawab bilamana koperasi melakukan tindak pidana

perbankan tanpa ijin?

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada dalam hal

pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin

yang dilakukan oleh koperasi, serta siapa yang bertanggungjawab dalam hal

koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.

1.4.Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis siapakah yang

bertanggungjawab dalah hal koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa

ijin.

11

1.4.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum di atas dan dengan menekankan pada aspek

normatifnya, maka tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan

yang dibahas yakni:

1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan pertanggungjawaban pidana

bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan

oleh koperasi,

2. Untuk menganalisis dan mengkritisi, siapa pihak yang

bertanggungjawab dalam hal koperasi melakukan kegiatan tindak

pidana perbankan tanpa ijin.

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia

akademis,yaitu dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam Hukum

Pidana yang berkaitan dengan pengisian hukum dan penegakan hukum

terhadap pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana

perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi.

1.5.2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

kepada Pemerintah, maupun peneliti sendiri. Dimana hasil penelitian ini

12

diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan rekomendasi bagi seluruh

pihak-pihak yang berkepentingan untuk konsisten terhadap komitmen dalam

menjaga dan memberikan solusi yang tepat dan adil dalam penanganan

koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal ini ditujukan

agar kedepannya tidak ada konflik norma antara peraturan perundang-

undangan yang ada sehingga Hakim kedepannya dapat memberikan

keputusan yang seadil-adilnya bagi semua pihak yang mencari keadilan.

Selain itu diperlukannya suatu peraturan yang jelas mengenai Koperasi yang

melakukan tindak pidana perbankan agar kedepannya tidak ada lagi

kerancuan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana.

1.6.Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan beberapa studi empiris yang

ada kaitannya dengan permasalahan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam

Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin, belum pernah dilakukan

oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Akan tetapi permasalahan mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,

antara lain

Pertama, penelitian Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anggota

Penyimpan Dana Pada Koperasi Credit Union Khatulistiwa Bakti Pontianak oleh

Blasius Andjioepada Program Magister Hukum Universitas Tanjungpura pada Tahun

13

2013. Tesis ini mengkaji tentang bagaiamana hubungan hukum antara anggota

penyimpan dana dengan Koperasi CU Khatulistiwa Bakti Pontianak dihubungkan

dengan perlindungan hukum terhadap anggota penyimpan dana pada Koperasi CU

Khatulistiwa Bakti serta bagaimana pelaksanaan sistem pengaturan aktivitas usaha

simpan pinjam pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti. Penelitian dalam Tesis ini

berpusat pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti, dimana Koperasi ini merupakan salah

satu Koperasi Simpan Pinjam yang ada di Kalimanatan Barat, dan dalam kenyataanya

Koperasi ini menawarkan berbagai bentuk simpanan dan pinjaman bagi para

anggotanya sehingga dapat dilihat bahwa Koperasi CU Khatulistiwa Bakti secara

tidak langsung melakukan kegiatan Perbankan. Namun Blasius mengkaji lebih dalam

mengenai bagaimana perlindungan bagi nasabah yang menyimpan uangnya di

Koperasi CU Khatulistiwa Bakti karena takut dikemudian hari dana yang mereka

simpan tersebut akan hilang yang salah satunya dikarenakan adanya penipuan dari

koperasi simpan pinjam tersebut.

Kedua adalah Tesis oleh Orpa Ganefo Manuain, Universitas Diponegoro

Semarang, Tahun 2005, yang menganalisis tentang Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini mengarah pada pengkajian

mengenai sistem hukum pidana yang dianut oleh KUHP Indonesia tidak mengenal

korporasi sebagai subyek hukum. namun dalam perkembangannya ternyata bahwa

hukum pidana yang tersebar di luar KUHP sudah menerima korporasi sebagai subyek

hukum. di Indonesia hal ini diawali dengan lahirnya UU No 7/Drt/1995 tentang

14

Tindak Pidana Ekonomi yang kemudian disusul oleh peraturan pidana khusus lainnya

seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No

20 Tahun 2001).

Adapun berdasarkan hal tersebut, dalam tesis ini permasalahan yang diangkat

adalah: bagaiamana formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana)

korporasi dalam tindak pidana korupsi, dan bagaimana sebaiknya formulasinya di

masa yang akan datang.

Perbedaan signifikan antara tesis diatas dengan penelitian yang dibuat oleh

peneliti adalah mengenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi.

Tesis ini mengangkat mengenai apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama

dengan manusia dalam hal tindak pidana korupsi. Dimana dalam penelitiannya

ditemukan bahwa formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana)

korporasi dalam tindak pidana korupsi terdapat kelemahan-kelemahan sebagai

berikut: dalam merumuskan kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi tidak

dijelaskan pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”, tidak diatur pemberatan

pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam

Pasal 2 ayat (2); tidak diatur pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh

korporasi. Selain itu juga terdapat kelemahan umum dari UUPTPK yang berpengaruh

terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu: tidak diaturnya pengertian

pemufakatan jahat menurut UUPTPK, dan syarat-syarat pengulangan tindak pidana

korupsi (residive) menurut UUPTPK. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tesis ini

15

juga menjelaskan bahwa untuk prospeknya di masa yang akan datang, UUPTPK

harus memformulasikan: pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”,

pemberatan pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana

diatur dalam Pasal 2 ayat (2); pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh

korporasi; pengertian pemufakatan jahat; dan syarat-syarat pengulangan tindak

pidana korupsi.

Ketiga, Tesis mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam

Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh M. Yusufidli

Adhyaksana,SH pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

Semarang, Tahun 2008.

Dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah bagaiamana pengaturan

pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana penyelesaian kasus BLBI dan

penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Perbedaan yang jelas dalam tesis ini dengan penelitian yang dibuat oleh peneliti

adalah dalam penelitiandiatas menjelaskan bahwa hukum positif di Indonesia yang

berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang relevan dengan kasus

BLBI, pada saat itu tidak mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh

karena itu, semua kasus BLBI yang menggunakan proses peradilan pidana,

didasarkan pada pertanggungjawaban perorangan, yang pada umumnya adalah para

pengurus atau pemegang saham atau orang yang memegang peranan penting dalam

beroperasinya korporasi debitur BLBI tersebut. Dengan demikian konstruksi

16

penyidikan dan penuntutan perkara BLBI didasarkan pada perbuatan Individu, dan

tidak berorientasi pada pertanggungjawaban pidana korporasi itu sendiri. Selain itu

dalam penelitian ini juga dibahas mengenai perbandingan KUHP Indonesia dengan

KUHP di Perancis, Firlandia, Norwegia, dan Australia, dimana dalam KUHP negara-

negara tersebut telah diatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi,

sehingga selain pegurus atau pejabat korporasi lannya dapat dipidana, terhadap

korporasi itu sendiri akan dikenakan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Berdasarkan penjabaran singkat dari tesis-tesis tersebut di atas, maka dapat dilihat

bahwa penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak pidana

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin belum pernah dilakukan sehingga penelitian

ini dapat dilakukan oleh peneliti.

1.7.Landasan Teoritis

1.7.1. Landasan Teoritis

Ada asumsi yang menyatakan, bahwa bagi suatu penelitian, maka teori

mempunyai beberapa kegunaan yaitu sebagai berikut:

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih

mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,

membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-

definsi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh

karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan

17

mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa

mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan

pada pengetahuan peneliti.9

Maka berdasarkan kegunaan tersebut teori sangat diperlukan dalam suatu

penelitian agar dicapainya kesimpulan yang kongkrit dan baik. Landasan teori

merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan

(problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin

disetujui ataupun tidak disetujui.10 Adapun dalam penelitian ini tidak hanya teori

yang digunakan untuk mencari kesimpulan yang sebaik-baiknya,terdapat pula

asas-asas, konsep-konsep hukum, serta doktrin yang memiliki korelasi yang erat

dengan permasalahan yang dibahas yaitu Pertanggungjawaban Pidana Koperasi

Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin.

Dalam penelitian ini digunakan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Apabila

membicarakan pertanggungjawaban pidana korporasi maka asas yang paling erat

kaitannya adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan (Green Straf Zonder Schuld

atau Nulla Poena Sine Culpa). Kesalahan merupakan asas yang fundamental

dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya sehingga meresap dan

menggema dalam hampir semua ajaran dalam hukum pidana.11Menurut Sudarto,

9 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Hal.121 10 Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung, h.

81.

11 Muladi dan Dwidja Priyanto, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenada Media,

Jakarta, Hal.99-100

18

dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi

seseorang yang melakukan suatu kesalahan yang melanggar rumusan delik yang

ada atau ketentuan perundang-undangan tidaklah dikatakan cukup untuk dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jadi meskipun pelakunya memenuhi

rumusan delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan (anobjective breach

of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk

menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang

yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective

guild). Permasalahan pertanggungjawaban koperasi sebagai korporasi pelaku

tindak pidana adalah suatu hal yang tidak sederhana mengingat pelaku tindak

pidana adalah korporasi atau badan hukum. Mens rea sebagai unsur yang sulit

dibuktikan dari korporasi yang dianggap melakukan tindak pidana mengingat

korporasi hanya bisa melakukan tindakan melalui organ direksi. Korporasi bisa

dianggap melakukan tindak pidana berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh

orang yang mengontrol pengurusan korporasi.12 Apabila pengurus korporasi

melakukan suatu kesalahan atau bersalah dengan mengatasnamakan perbuatannya

sebagai perbuatan dari korporasi maka korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana.

Untuk menyelesaikan konflik norma yang terjadi dalam UU Perkoperasian

dan UU Perbankan, maka diperlukan asas-asas lainnya seperti asas lex specialis

12 Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,

PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 263

19

derograt legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan

peraturan yang lebih umum) dan asas lex posteriori derograt legi priori

(peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-

undangan yang lama) juga terkait dalam penelitian ini.

UU Perkoperasian sebagai peraturan yang khusus dipandang sebagai

acuan utama dalam berjalannya suatu koperasi, namun apabila koperasi tersebut

telah melakukan tindak pidana perbankan maka UU Perbankan sebagai peraturan

yang lebih khusus, apalagi dalam UU tersebut telah diatur mengenai koperasi

yang dapat melakukan kegiatan perbankan maka UU Perbankan dapat dikatakan

lebih khusus dalam menangani permasalahan ini.

Sama halnya dengan asas lex posteriori derograt legi priori (peraturan

perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-undangan

yang lama), UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, saat ini belum mengalami

perubahan. Sedangkan kehidupan sosial di masyarakat terus mengalami

perubahan menyebabkan terkadang suatu peraturan perundang-undangan tidak

dapat mengikuti perubahan yang cepat tersebut. Lain halnya dengan UU

No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang telah mengalami

perubahan. UU Perbankan ini lebih mampu mengikuti perkembangan yang terjadi

di dalam masyarakat khususnya mengenai tindak pidana perbankan tanpa ijin

yang dilakukan oleh koperasi. Sebagai peraturan yang lebih baru, tentu saja UU

20

Perbankan akan dirasa lebih mampu untuk menyelesaikan tindak pidana

perbankan yang dilakukan oleh Koperasi saat ini.

Mengarah pada Konsep-konsep hukum yang digunakan dan relevan dalam

penelitian ini karena memiliki hubungan dengan permasalahan yang dibahas

adalah adalah Konsep Tindak Pidana dan Konsep White Collar Crime (Kejahatan

Kerah Putih). Konsep tindak pidana ini telah dirumuskan oleh banyak ahli hukum

pidana. Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai: Perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum larangan mana disetai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar hukum tersebut.13 Selain itu,

beliau juga mengungkapkan dengan substansi yang sama bahwa tindak pidana

adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa

melanggar larangan tersebut.14

Sedangkan sering sekali dalam berbagai literatur disebutkan bahwa

kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih

(white collar crime). Menurut Sutherland, kejahatan kerah putih adalah

“kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial

yang tingi dalam menjalankan jabatannya”.15 Definisi dari Sutherland ini

memfokuskan kepada dua hal yakni, pelaku kejahatan dan status sosial yang

tinggi dari pelaku kejahatan. Konsep ini berkaitan dengan pertanggungjawaban

13 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 59 14 Moeljatno, 1983, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Akasara, Jakarta,

Hal.11 15 Ellen S. Podgor, 2007, “The Challenge of White Collar Sentencing”, Journal of Criminal Law

and Criminology, Vol.9, Page 735, dikutip dari Mahrus Ali,2013, Asas-Asas Hukum Pidana

Korporasi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, Hal. 22

21

pidana koperasi karena tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh

koperasi dikarakteristikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam

kapasitasnya sebagai orang yang dipandang terhormat dan dipercaya dalam

memimpin suatu perkumpulan/ badan hukum tersebut.

J Kelly Strader mengemukakan bahwa terdapat tiga parameter untuk

menentukan apakah kejahatan tertentu dikategorikan sebagai kejahatan kerah

putih atau tidak, yaitu pertama status sosial pelaku, dimana pelaku kejahatan

kerah putih bukanlah orang-orang dengan status ekonomi sosial rendah.

Contohnya seperti manager suatu perusahaan, dimana orang tersebut memiliki

status sosial yang tinggi serta kemampuan ekonomi yang tinggi pula. Kedua sifat

dari perbuatan. Sifat yang dimaksudkan adalah sifat sang pelaku kejahatan kerah

putih haruslah memiliki kemampuan teknis dan pengetahuan yang professional.

Ketiga pertimbangan pertimbangan praktis dimana kejahatan kerah putih ini tidak

terkait dengan penggunaan kekerasan, bukanlah kejahatan langsung yang

ditujukan kepada pemilik barang, berbeda dengan kejahatan terorganisir, serta

tidak terkait dengan wilayah kebijakan tertentu seperti imigrasi, hak-hak sipil

warga negara serta keamanan nasional.16 White collar crime digambarkan sebagai

tindakan illegal yang mengarah pada hal-hal yang tidak tampak atau tipu

muslihat, untuk mengeruk keuntungan atau kekayaan dalam usaha atau bisnis.

Hal-hal ini dapat dilihat pada koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan

khususnya tindak pidana perbankan terkait perijinan.

16Ibid, Hal 24-25

22

Doktrin yang dipergunakan adalah doktrin respondeat superior, yaitu

suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak dapat melakukan

kesalahan. Dalam hal ini, hanya orang-orang korporasi yang dapat melakukan

kesalahan, yakni mereka yang bertindak atas nama korporasi. Oleh sebab itu

orang-orang yang bertindak atas nama korporasi saja yang dapat melakukan

kesalahan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.17

Penelitian ini juga menggunakan putusan hakim/ yurisprudensi yang

terkait pertanggungjawaban koperasi dalam tindak pidana perbankan tanpa ijin.

Adapun yurisprudensi tersebut adalah Putusan Nomor: 31/PID.B/2013/PN.MTR

Pengadilan Negeri Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana,SE.,

mengenai kasus tindak pidana perbankan terkait perijinan yang dilakukan oleh

Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati. Dalam Putusan Pengadilan ini,

Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan dan dihukum

dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar

Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Terdakwa terbukti bersalah karana

terbukti melanggar Pasal 46 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang

Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain menilik pada asas, konsep, doktrin para sarjana, serta yurisprudensi

dalam mengupas permasalahan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori,

17 Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi; Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung hal.54

23

antara lain Teori Hukum Progresif, Teori Harmonisasi Hukum, Teori

Pertanggungjawaban Pidana (direct corporate criminal liability, strict liability,

dan vicarious liability), serta Teori Badan Hukum. Teori Badan Hukum dan Teori

Harmonisasi Hukum, Teori Pertanggungjawaban Pidana digunakan dalam

memecahkan permasalahan dalam hal bagaimana pertanggungjawaban pidana

bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi.

Sedangkan dalam permasalahan pihak yang bertangggungjawab bilamana

koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin dengan Teori

Pertanggungjawaban Pidana serta Teori Hukum Progresif.

1. Teori Harmonisasi Hukum

Harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan

sebagai upaya mencari keselarasan18. Kata harmonisasi sendiri berasal dari

kata harmoni yang dalam bahasa Indonesia berarti pernyataan rasa, aksi,

gagasan, dan minat: keselarasan, keserasian. Sedangkan dalam Bahasa

Inggris, harmoni dapat diartikan dengan harmonize, dalam bahasa Perancis

disebut dengan Harmonie, dan dalam bahasa yunani disebut Harmonia.

Harmonize dalam buku Jean.L diartikan sebagai “a fitting together,

agreement, to exist in peace and friendship as individuals or families (1)

combination of parts into an orderly or proportionate whole (2) agreement

18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.64

24

in feeling, idea, action,interest, etc.19 Berdasarkan penjabaran diatas ditarik

kesimpulan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah

upaya untuk menselaraskan peraturan perundang-undangan agar menjadi

proposional dan bermanfaat bagi kepentingan bersama atau masyarakat.

Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam buku yang disusun oleh

Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan, menyatakan bahwa

harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses

pengharmonisan tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis,

sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.20 Nilai filosofis adalah ketika suatu

kaedah hukum sudah sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif

yang tertinggi. Nilai yuridis adalah apabila persyaratan formal

terbentuknya peraturan perundang-undangan telah terpenuhi. Nilai

sosiologis yaitu efektivitas atau hasil guna peraturan perundang-undangan

dalam kehidupan masyarakat.21 Dan nilai ekonomi yaitu substansi

peraturan perundang-undangan hendaknya disusun dengan memperhatikan

efisiensi dalam pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan.

19 Jean L. McKechnie, 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second

Edition, Page. 828

20 Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodelogi

Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia RI, Jakarta, Hal.2

21 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

Hal.109

25

Dalam negara hukum, UUD 1945 harus menjadi acuan dalam

penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini maka

sistem pemerintahannya perlu menghadirkan adanya suatu tata hukum

untuk membingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun

menjadi sebuah sistem. Setiap norma hukum dalam sistem ini tidak boleh

mengesampingkan atau bahkan bertentang dengan norma hukum lainnya.

Dengan demikian dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun

secara hierarki dan tidak boleh salin bertentangan di antara norma-norma

hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga, apabila

terjadi konflik norma maka acuannya akan tetap tunduk pada norma

logisnya yaitu norma-norma yang dasar yang ada dalam konstitusi.

Karektiristik dari norma yang bersumber pada norma dasar itu

meliputi prinsip konsistensi dan legitimasi. Di mana suatu norma hukum

tetap akan berlaku dalam suatu sistem hukum sampai masa belakunya

diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau

digantikan norma lain yang diberlakukan oleh suatu sitem hukum itu

sendiri. Maka dalam karakteristik tersebut berlaku asas-asas/ prinsip-

prinsip lex posteriori derograte legi priori (peraturan perundang-undangan

yang baru mengesampingkan peraturan perundangan-undangan yang

terdahulu), lex superior derograte legi inferiori (peraturan yang lebih

tinggi tingkatanya mengesampingkan peraturan yang lebih rendah), dan lex

26

specialis derograte legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya

mengalahkan peraturan yang lebih umum).

Dalam kaitan harmonisasi hukum, menurut UU No.10/20014

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah memberikan

pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal

18 ayat (2) disebutkan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi rencangan undang-undang yang berasal dari presiden

dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang

peraturan perundang-undangan. Adapun menteri yang dimaksud dalam

Pasal 18 ayat (2) tersebut adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut maka dapat dilihat

secara jelas bahwa harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini bertujuan agar norma-

norma dalam rancangan undang-undang dimaksud tidak bertentangan

secara vertikal dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang

lain. Harmonisasi hukum ini juga sangat diperlukan agar meminimalisir

judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

2. Teori Badan Hukum

Selain manusia, badan hukum juga dipandang sebagai subyek hukum.

Badan hukum adalah segala sesuatu yang berdasarkan kebutuhan

27

masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban,

yang memiliki status personel seperti manusia. Status ini yang

menentukan hak dan kewajibannya, termasuk keberadaan dan berakhirnya

badan hukum itu. Jadi yang termasuk orang menurut hukum adalah

manusia dan badan hukum.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah suatu badan

yang disamping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam

hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan

hukum terhadap orang lain atau badan lain.22Sedangkan Sri Soedewi

Masjchoen Sofwan, badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang

bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta

kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan).23

Menurut Von Savigny, meskipun syarat-syarat dalam peraturan hukum

yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun badan

hukum boleh dianggap seolah-olah manusia.24Hal ini terdapat dalam

pandangan penganut teori fiksi, dimana badan hukum disamakan dengan

manusia hanya saja sebagai perumpamaan (fiksi) saja. Sehingga perbuatan

hukum yang dalam pelaksanaannya memerlukan jiwa manusia, seperti

ketakutan dalam suatu paksaan tidak berlaku bagi badan hukum. Negara-

22 P.N.H Simanjuntak, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, Hal.

28-29 23Ibid 24 Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, Hal. 23-24

28

negara, korporasi-korporsi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat

menjadi subyek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah

badan-badan itu manusia.25

Adanya badan hukum (rechtspersoon) disamping manusia tunggal

(natuurlijkpersoon) timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam

pergaulan ditengah-tengah masyarakat. Manusia selain mempunyai

kepentingan perseorangan juga mempunyai kepentingan bersama dan

tujuan bersama yang harus diperjuangkan pula, karenanya mereka

berkumpul untuk bersatu dalam suatu organisasi dan memilih

pengurusnya untuk memimpin mereka. Mereka juga memasukkan harta

kekayaan masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan

peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku di kalangan mereka

anggota organisasi tersebut.

H.M.N Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu

badan hukum dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar

suatu badan dapat dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan:

1) Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang

terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan

itu. Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan

kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu;

2) Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama;

3) Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.26

25 Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strick

Liability dan Vicarious Liability), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 30

29

Ketiga unsur tersebut merupakan unsur material (substansif) bagi suatu

badan hukum. Kemudian persyaratan lainnya adalah persyaratan yang

bersifat formal, yakni adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu

badan adalah badan hukum.

Selain teori fiksi yang telah disebutkan diatas, terdapat pula teori

kekayaan bertujuan, teori organ, teori kekayaan bersama, dan teori

kekayaan yuridis. Teori kekayaan bertujuan adalah teoriyang mana hanya

manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun ada kekayaan

(vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan

itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyai dan

terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum.

Teori organ ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke

(1948-1921). Menurut teori ini badan hukum itu seperti manusia, menjadi

penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu ‘eine

leiblichgeistige lebensein heit’. Badan hukum itu menjadi suatu

‘verbandpersoblich keit’ yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya

dengan perantaran alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya

anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan

26H.M.N Purwosutjipto, 1982, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 2, Djambatan,

Jakarta, Hal.63 dalam Ridwan Khairandy, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-

Undangan, dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta, Hal.10

30

kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan

tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka

putuskan, adalah kehendak dari badan hukum. Dengan demikian, menurut

teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-

benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak

bersubyek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup

dan bekerja seperti manusia biasa.

Lain halnya dengan teori organ, menurut teori kekayaan bersama hak

dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban

para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah milik

bersama seluruh anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut

merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan

badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi

yuridis saja. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang abstrak. Teori

ini berpendapat bahwa yang dapat menjadi subyek-subyek hak badan

hukum adalah manusia-manusia yang secara nyata ada dibelakangnya,

anggota-anggota badan hukum, dan mereka yang mendapat keuntungan

dari suatu yayasan.

Terakhir, teori kenyataan yuridis, badan hukum itu merupakan suatu

realitas, konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi

suatu kenyataan yuridis. Dengan kata lain, badan hukum dipersamakan

31

cdengan manusia adalah suatu realita yuridis, yaitu suatu fakta yang

diciptakan oleh hukum. Jadi adanya badan hukum itu karena ditentukan

oleh hukum sedemikian rupa. Sebagai contoh, koperasi merupakan

kumpulan yang diberi kedudukan sebagai badan hukum setelah memenuhi

persyaratan tertentu, tetapi firma bukan merupakan badan hukum, karena

hukum di Indonesia menuntukan demikian (vide Pasal 18 KUH Dagang)

3. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability”

dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe

Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the

situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to

the exaction.”27 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah

sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima

pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,28 menurutnya juga bahwa

pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut

masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai

moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Pertanggungjawaban Pidana dalam berbagai peraturan perundanng-

undangan hanya dikenakan kepada orang/manusia. Hal ini dikarenakan

27Roscoe Pound, “ introduction to the phlisophy of law” dikutip dari Romli Atmasasmita,2000,

Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Mandar Maju, Bandung, Hal.65

28Ibid

32

adanya pandangan hanya manusia alamiah sebagai subyek hukum pidana

yang dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest”, yaitu badan

hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.29

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai

“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”

pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan

apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana

atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu. 30

Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang

melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan

merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak

tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,”

merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.31

Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara

terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa

pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang

yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga)

syarat, yaitu :

29 Dwidja Priyatno dan Muladi, dikutip dari Kristian, Op.Cit, Hal.40

30 S.R Sianturi . 1996, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Alumni,

Jakarta, Hal.245

31 Djoko Prakoso, 1987, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty

Yogyakarta, Hal.75

33

1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam

kejahatan,

2. Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut

dalam pergaulan masyarakat,

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap

perbuatan tadi.32

Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa

mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan

hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan

kehendaknya.33Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan

beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu :

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang

baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan

hukum;

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut

keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.34

Kemampuan bertanggungjawab dengan kata lain berkaitan dengan

dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan

antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang atau melanggar

hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan

kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh

kesadaran.

32 Sutrisna, I Gusti Bagus,“Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap

pasal 44 KUHP),” dikutip dari Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana

,Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 79 33Ibid 34Ibid, Hal. 83

34

Roeslan Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk

pertanggungjawaban dari badan hukum (Korporasi), asas kesalahan tidak

mutlak berlaku.35 Dalam kejahatan tindak pidana perbankan, dikenal tiga

model pertanggungjawaban pidana Korporasi, yaitu Identification Theory,

strict liability, dan vicarious liability.

Direct Corporate Liability atau Identification Theory membenarkan

bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik

sebagai pembuat atau peserta untuk setiap delik, meskipun diisyaratkan

adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Menurut teori

ini, korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui

pimpinan dan diidentifikasikan sebagai perbuatan dari perusahaan atau

badan hukum atau korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan

pimpinan tersebut dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi apabila

suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana makan orang

yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat diidentifikasikan

terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar

dibebankan kepada orang yang dapat disebut sebagai “directing mind”

dari korporasi tersebut.

Dalam teori identifikasi, perbuatan pidana atau tindak pidana yang

dilakukan oleh pimpinan suatu perusahaan atau korporasi

35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Hal.

140

35

diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter ego” yang dapat

diartikan sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi yaitu hanya

perbuatan pejabat senior atau otak korporasi yang dapat

dipertanggungjawabkan kepada korporasi.36 Hal ini dikarenakan hanya

pejabat senior atau ketua, dalam halnya koperasi, yang dapat

mengendalikan suatu perusahaan atau korporasi secara sendiri atau

bersama-sama yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali

perusahaan atau korporasi.

Berbeda halnya dengan Identification theory, Strict Liability dalam

prinsipnya menyatakan pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan

tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak

pidana. Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa Strict Liability

atau Absolute Liability tidak hanya mengesampingkan asas kesalahan

tetapi meniadakan asas kesalahan.37

Hamzah Hatrik mendefinisikan bahwa Strict Liability adalah

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang

dalam hal ini sim pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah

melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah

dirumuskan secara tegas dalam undang-undang tanpa melihat lebih

jauh sikap batin si pembuat.38

36 Barda Nawawi Arief, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

Hal. 246 37Kristian S.H, Op.Cit, Hal.58 38Ibid, Hal.61

36

Terakhir, Vicarious Liability didasarkan pada prinsip employment

principle. Yang dimaksud dengan employment principle dalam hal ini

bahwa majikan (employer) adalah penaggungjawab utama dari perbuatan

para buruh atau karyawannya. Sutan Remy Sjahdeini selaras dengan apa

yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang mengistilahkan

konsep pertanggungjawaban ini dengan istilah “pertanggungjawaban

pengganti”. Ia juga menyatakan bahwa ajaran “vicarious liability”, atau

yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah

“pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti”,

adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan,

misalnya oleh A ke B.39

Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua dari

teori tersebut yaitu Direct Corporate Liability/ Identification Theory dan

Vicarious Liability. Hal ini dikarenakan Koperasi sebagai salah satu

badan hukum, dapat melakukan pertanggungjawaban pidana dikarenakan

adanya struktur kepengurusan yang mengatur jalannya koperasi.

4. Teori Hukum Progresif

Secara etimologi, kata “progresif” berasal dari kata progress dari

Bahasa Inggris yang berarti kemajuan. Jika kata ‘hukum’ dan kata

39 Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, Hal.

84

37

‘progresi’ digabung, maka dapat diartikan bahwa hukum hendaknya

mampu mengikuti perkembangan zaman agar mampu melayani

kepentingan masyarakat berdasarkan aspek moralitas sumber daya para

penegak hukum. Sedangkan apabila hukum progresif dihubungkan

dengan penafsiran hukum, maka dapat diartikan bahwa penafsiran

progresif memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap

suatu konsep kuno yang tidak dapat digunakan dalam melayani

kehidupan masa kini.40 Kekuatan hukum progresif (penafsiran) adalah

ketentuan untuk menolak dan mematahkan keadaan status quo.41

Hukum tertulis saat ini tidak dapat mengikuti perkembangan yang

terjadi di kehidupan masyarakat karena hukum tertulis bersifat kaku

sedangkan perkembangan dalam masyarakat terjadi sangat cepat.

Disinilah pentingnya peran hakim untuk mengisi kekosongan hukum

akibat ketertinggalan hukum dari perubahan masyarakat, karena kalau

tidak akan mengakibatkan adanya ketegangan.42

Dalam menghadapi problematika ini, Satjipto Rahardjo

memunculkan gagasan hukum progresif. Progresif berasal dari kata

progress yang berarti kemajuan. Gagasan hukum progresif bertolak dari

pandangan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu ilmu. Oleh

40Sajipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Press,

Yogyakarta, Hal.128 41I Gede Wiranata, ed.et.al, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara,

Jakarta, Hal.114 42Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

Hal. 21-23

38

karenanya hukum tidak hanya dianggap selesai setelah tersusun sebagai

peraturan perundang-undangan dengan kalimat-kalimat yang sangat rapi

dan sistematis, namun hukum harus selalu mengalami proses pemaknaan

sebagai sebuah pendewasaan atau pematangan.43

Sebagaimana prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam

berbagai teori hukum atau aliran hukum, hukum progresif juga memiliki

prinsip utama, yaitu ‘hukum adalah untuk manusia dan bukan

sebaliknya,...dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan

untuk suatu yang lebih luas, yaitu,...untuk harga diri manusia,

kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia’44.

Karena hukum mengabdi untuk manusia bukan mengabdi pada

hukum itu sendiri, maka karakter hukum progresif sebagai berikut.

Pertama, hukum progresif mengantarkan masyarakat pada sebuah

paradigma bahwa hukum ditujukan untuk manusia. Hukum bukan

merupakan pusat dalam berhukum, melainkan manusia yang berada di

titik pusat perputaran hukum.45 Kedua hukum progresif tidak menerapkan

status quo dalam berhukum. Konsekuensi penerapan status quo dalam

berhukum yakni hukum menjadi tolak ukur dalam segala aspek dan

manusia adalah untuk hukum. Peranan manusia disini merupakan

konsekuensi terhadap pilihan untuk tidah berpegangan secara mutlak

43 Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, Hal. 7 44I Gede Wiranata, Op.Cit, Hal. 154 45Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, Hal.139

39

kepada teks formal suatu peraturan. Cara berhukum yang penting untuk

mengatasi suatu stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi

yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa

dilakukan, apabila unsur manusia atau perbuatan manusia dilibatkan

dalam berhukum.

Ketiga, hukum progresif berpihak terhadap keadilan yang pro

rakyat. Prinsip keadilan yang pro rakyat ini dapat dijadikan ukuran untuk

menghindari agar progresivitas yang terkandung dalam hukum progresif

tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal

negatif lainnya,46 sehingga hukum progresif dapat mengantarkan

masyarakat kepada keadilan dan kesejahteraan. Keempat, hukum

progresif berasumsi bahwa hukm tidak bersifat final, dengan kata lain

hukum selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the

making). Dengan demikian, hukum progresif peka dan tanggap dalam

setiap perubahan di tengah masyarakat yang bersifat dinamis (dynamic

society) sehingga hukum progresf siap menghadapi perubahan tersebut

tanpa melakukan kewajibannya yakni melindungi rakyat menuju ideal

humu.

Kelima, Hukum progresif berusaha membangun negara hukum

yang berhati nurani dengan kecerdasan spritual. Cara menghukum dengan

46Shidarta, 2010, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat

Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), Jakarta, Hal.4

40

nurani tidak hanya berdasarkan logika tetapi diiringi dengan modalitas

kenuranian seperti empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian.47

Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spritual yang tidak

dibatasi suatu patokan tertentu (rule bound) dan hanya bersifat

kontekstual, tetapi lebih bersifat out of the box dari situasi yang ada dalam

usaha mencari kebenaran makna atau nilai yang lebih dalam.

Hakim yang berpikir progresif berani untuk mengambil inisiasi rule

breaking jika hukum normatif sudah tidak bisa menciptakan keadilan.

Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk melakukan rule breaking,

yaitu:

1. Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari

keterpurukan hukum

2. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru

dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum.

3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika

saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan keterlibatan

(compassion) kepada kelompok yang lemah.48

1.7.2. Kerangka Berpikir

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kerangka

berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

47Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif..., Op.Cit, Hal.18

48Yusriyadi, dikutip oleh Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto

Rahardjo, SH, diambil darihttp://mitrahukum.orgdiakses tanggal 12 Juli 2014

41

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana Perbankan

Tanpa Ijin

Maraknya tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh koperasi menjadi suatu

permasalahan yang mendalam mengingat semakin hilangnya asas kekeluargaan

dalam koperasi di Indonesia saat ini. Namun dalam pertanggungjawabannya

pidana koperasi saat ini terdapat konflik norma yaitu dalam Pasal 46 UU

Perbankan yang memberikan sanksi pidana bagi pengurus koperasi dan Pasal

47 UU Perkoperasian yang hanya memberikan sanksi administratif kepada

koperasi dan tidak memberikan sanksi kepada pengurus koperasi.

Bagaimana pertanggungjawaban

pidana bilamana terjadi tindak

pidana perbankan tanpa ijin yang

dilakukan oleh koperasi

Siapakah yang bertanggungjawab

bilamana koperasi melakukan

tindak pidana perbankan tanpa ijin

Teori Pertanggungjawaban Pidana,

Teori Hukum Progresif Teori Badan Hukum, Teori

Pertanggungjawaban Pidana, Teori

Harmonisasi Hukum

Hasil Penelitian :

Pertanggungjawaban pidana koperasi bilamana terjadi tindak pidana perbankan

tanpa ijin dilakukan berdasarkan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga

pihak yang dapat bertanggungjawab adalah pengurus/pimpinan koperasi yang

bertindak atas nama koperasi dan menggerakan koperasi tersebut. Dalam

pertanggungjawaban pidana koperasi sebagai korporasi masih terdapat konflik

norma dalam UU Perkoperasian dengan UU Perbankan yang dapat diselesaikan

dengan asas lex posteriori derograt legi priori, sehingga UU Perbankan sebagai

UU yang lebih baru dapat digunakan sebagai landasarn hukum dalam mengadili

koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan.

42

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

‘Metode’ itu dalam arti harafiahnya berarti ‘cara’. Sedangkan

Penelitian adalah suatu kegiatan bersengaja dan bertujuan serta pula

berprosedur alias bermetode. Dengan demikian apa yang disebut ‘metode

penelitian’ ini tak lain daripada ‘cara mencari (dan menemukan

pengetahuan yang benar yang dapat dipakai untuk menjawab suatu

masalah)’.49

Morin L. Cohen dan Kent memberikan definisi tentang penelitian

hukum sebagai berikut:

"legal research is an essential component of legal practice. It is proses

of finding the law that thefoverns an actifity and materials that explain or

analys that law. The Resources give the lawyer the knowledge with wich

orovide accurate and insightful advise to draft effective document or

devent their client right in court"50

Artinya:

Penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek hukum

yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu

kegiatan dan menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini

penelitian hukum memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi

hukum untuk memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk

membuatu suatu dokumen atau pembelaan terhadap hak-hak kliennya di

pengadilan.

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran

49 Sulistowati Irianto dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Hal 96-97 50 Morin L. Cohen and Kent C. Olson; 2000, "Legal Research", 7 ed, West Group, St. Paul Minn.

Virginia, Page 1

43

tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu dan beberapa gejala

hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.51

Ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan

penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa

penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan

suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.52 Amiruddin

dan H. Zinal Asikin berpandangan bahwa penelitian hukum normatif

disebut juga penelitian hukum doctrinal karena dikonsepkan sebagai apa

yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Law in

books).53Sedangkan penelitian hokum empiris menurut Mukti Fajar dan

Yulianto Ahmad adalah penelitian hukum yang pada kenyataannya dibuat

dan diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat.54Penelitian

hukum empiris ini berpusat pada peranan masyarakat disekitarnya,

keadaan sosial masyarakat dan perilaku masyarakat yang terkait dengan

lembaga hukum.

Dalam penelitian pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak

pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, tipe penelitian yang

51 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 18 52 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.

35 53 Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, Hal. 118. 54 Fajar Mukti & Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika,

Yogyakarta, Hal. 32.

44

digunakan adalah penelitian hukum normatifatau penelitian hukum

dogmatik (dogmatic law research) atau penelitian doktrinal. Hal ini

dikarenakan dalam penelitian ini diinginkan suatu kesimpulan yang

mengarah pada penemuan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum

yang dihadapi.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan bagian

pokok dari penegakan hukum. Oleh karena itu, pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kasus

(case approach), pendekatan historis (historical approach) dan

perundang-undangan (statute approach). Pendekatan kasus didasarkan

pada semakin bermunculannya tindak pidana perbankan yang dapat

dilakukan oleh koperasi yang melanggar peraturan perundang-undangan

(UU Koperasi dan UU Perbankan). Selain itu pendekatan perundang-

undangan juga digunakan karena dalam penelitian ini akan dikaji secara

detail dan jelas mengenai perundangan-undangan yang terkait dengan

penyelesaian permasalahan tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh

koperasi.

45

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Bahan hukum primer yang dimaksud adalah bahan hukum yang

memiliki kekuatan mengikat.55 Adapun bahan hukum tersebut berupa

Peraturan Perundang-Undangan seperti:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah

dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah

5. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Nomor 7/PER/M.KUKM/IX/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman

Pengembangan Koperasi Skala Besar.

6. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Nomor 21/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman

Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam

Koperasi

55 H. Salim & Erlies Septiana Nurnani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan

Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 16

46

7. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Nomor 20/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman

Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan

Pinjam Koperasi.

8. Putusan Nomor: 31/ PID.B/2013/PN.MTR Pengadilan Negeri Kelas

IA Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana, SE

mengenai kasus tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh

Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati.

Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan hukum yang dapat

memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

yang dipergunakan dalam penelitian ini seperti hasil penelitian, hasil karya

para pakar dibidang hukum baik dalam buku-buku maupun literatur, tesis,

disertasi, jurnal, makalah, majalah dan Koran.

Bahan hukum tersier juga digunakan dalam penelitian ini seperti

ensikopledia dan kamus hukum yang dapat menunjang dan memperjelas

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan bahan hukum

berupa studi kepustakaanyang merupakan bahan hukum utama penelitian

yang dikumpulkan melalui metode sistematis dengan dicatat melalui sistem

47

kartu (card system) guna untuk lebih memudahkan analisis permasalahan.

Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain

permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh,

alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Kemudian mengenai

kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang

hukum pidana khususnya Hukum Pidana Khusus dan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana

koperasi dalam tindapk pidana melakukan kegiatan perbankan terkait

perijinan.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul,

penelitian ini menggunakan teknik analisis deskripsi, teknik argumentasi, dan

teknik analisis interpretasi. Teknik deskripsi yaitu penggambaran/uraian apa

adanya tehadap suatu kondisi atau posisi dari proposi-proposi hukum atau non

hukum. Dalam teknik argumentasi diberikan penilaian terhadap bahan hukum

dari hasil penelitian untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya. Sedangkan

teknik interprestasi digunakan sebagai penafsiran dalam ilmu hukum baik

dalam penelitian ini digunakan penafsiran secara sistematis dengan menelaah

apakah penjelasan dalam UU Perbankan dapat menyelesaikan kasus tindak

pidana perbankan yang dilakukan oleh Koperasi, serta penafsiran ekstensif

48

dimana yang dimaksud adalah penafsiran memperluas, yaitu memperluas

pengertian atau istilah yang ada dalam suatu undang-undang.56 Dalam hal ini

khusunya UU Perbankan dan UU Perkoperasian.

56 Amiruddin dan Zainal Asikin,Op.Cit, Hal.166

49

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai

“toereken-baareid,” “criminal rensposibility,” “criminal liability”.

Pertanggungjawaban pidana di sini di maksudkan untuk menentukan apakah

seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak

terhadap tindakan yang dilakukanya itu.57

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak

termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh

mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai

kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak

tertulis mengatakan “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar

dari pada di pidananya si pembuat.58

Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada

waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela.59 Dengan

demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal,

yaitu pertama harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan

57 S.R Sianturi,Op.Cit, Hal.245 58 Djoko Prakoso, Op.Cit, Hal.75 59Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT Pradnya

Paramita, Jakarta, Hal. 31

50

kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Kedua, terhadap pelakunya ada unsur

kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang

melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Unsur melawan hukum merupakan salah satu unsur perbuatan pidana.

Bilamana suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum?

Sesorang dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila

perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebgaimana dirumuskan dalam undang-

undang.

Sifat melawan hukum menurut para ahli hukum pada umumya dibagi

menjadi dua macam, yaitu:

a. Sifat melawan hukum formil; dan

b. Sifat melawan hukum materiil.

Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang disebut melawan

hukum adalah apabila suatu perbuatan telah sesuai dengan semua unsur yang

terdapat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan

tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Jadi menurut

ajaran sifat melawan hukum formil, melawan hukum sama dengan melawan

undang-undang atau hukum tertulis. Sedangkan menurut ajaran sifat melawan

hukum materiil, di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu sesuai dengan

semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik dan perbuatan tersebut harus

benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau

51

tercela. Ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang.

Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak

tertulis.

Kedua ajaran ini dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan itu

memenuhi rumusan delik, maka perbuatan itu dapat diindikasikan bersifat

melawan hukum. Namun sifat melawan hukum tersebut dapat pula dihapus

dengan adanya alasan pembenar. Seperti halnya tidak disengaja menghilangkan

nyawa orang lain dikarenakan berusaha melindungi diri. Hal ini dapat dijadikan

alasan pembenar karena apabila pelaku tidak melindungi diri maka pelakulah

yang akan kehilangan nyawanya. Tindakan ini dapat terjadi apabila pelaku

memang dalam posisi melindungi diri dari ancaman sesorang sehingga pelaku

terpaksa untuk melawan.

Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun

perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak

dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana. Seseorang

baru dikatakan memenuhi syarat untuk dipidana apabila mempunyai kesalahan

atau bersalah. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah asas keine strafe ohne

schuld atau geen straf zonder schuld atau Tiada Pidana Tanpa Kesalahan. Asas ini

memang tidak tercantum dalam KUHP Indonesia, namun berlakunya asas ini

adalah berdasarkan tujuan dari pemidanaan yaitu untuk keadilan. Untuk itu harus

52

diingat bahwa untuk adanya kesalahann dalam arti yang seluas-luasnya

(pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih

dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.

Selain sifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana juga dapat

dilihat dari unsur kesengajaan dan karena kealpaan. Apabila dicermati dalam

rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, terutama buku kedua, tampak

dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan atau kealpaan. Adapun pasal-pasal

tersebut adalah:

1. Dengan sengaja. Misalnya, Pasal 338 KUHP yang

berbunyi:“barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang

lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling

lama lima belas tahun.”

2. Karena kealpaan. Misalnya, Pasal 359 KUHP yang

berbunyi:“barang siapa karena kesalahannya (kealpaanya)

menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara

paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun

1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak

melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-

undang.” Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan

unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

53

Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan dibedakan menjadi

tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar

kepastian, dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).60

Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud

melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia

dianggal lalai melakukan perbuatan tersebut jadi dalam kealpaan terdakwa kurang

berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan keadaan

yang dilarang.

Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat bahwa pertumbuhan dari hukum

pidana menitik beratkan kepada perbuatan orang berserta akibatnya. Apabila

perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian baik kerugian materiil dan

kerugian moril, maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan suatu tindak

pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Untuk adanya

pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu

bertanggungjawab. Mengenai kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab,

menurut KUHP diatur dalam Pasal 44 KUHP. Dalam penjabaran Pasal 44 KUHP

tidak dijelaskan langsung mengenai kemampuan seseorang untuk dapat

bertanggungjawab melainkan menjabarkan keadaan bagaimana seseorang tidak

mampu bertanggungjawab. Adapun bunyi Pasal 44 KUHP adalah sebagai

berikut:“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

60 Moeljatno, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 174-

175

54

dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau

jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”

Moeljatno menyebutkan bahwa untuk adanya kemampuan

bertanggungjawab harus ada:

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.61

2.2 Koperasi

Ide Koperasi lahir dalam era kejayaan kapitalisme. Jika kapitalisme

berpijak pada paham tentang pentingnya peranan modal dalam kegiatan ekonomi,

maka koperasi lebih mengutamakan peranan manusia dalam memupuk modal.62

Koperasi berfungsi sebagai suatu badan usaha yang melakukan usaha

perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari orang-orang yang berasal dari

kelompok pekerja atau orang-orang yang kurang mampu.Secara etimologi,

koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives; merupakan

gabungan dua kata co dan operation dan dalam bahasa Belanda disebut

cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama.63

61 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, Hal.54

62 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit, Hal. 14 63Ibid, Hal. 15

55

Dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang

seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya

berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang

berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Frank Robotka dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Cooperative,

mengemukakan bahwa kebanyakan ekonom-ekonom Amerika Serikat yang telah

menulis tentang teori koperasi, pada umumnya menerima ide-ide umum tentang

perkumpulan koperasi (cooperative business association) sebagai berikut:

a. Suatu perkumpulan koperasi adalah suatu bentuk badan usaha atau

persekutuan ekonomi, yakni suatu perkumpulan yang anggota-anggotanya

adalah para langganannya (patrons). Koperasi diorganisasikan oleh

mereka dan pada dasarnya dimiliki dan diawasi oleh para anggota dan

bekerja untuk kemanfaatan mereka.

b. Mengenai teknik organisasi dan teknik operasional, pembagian, dan

praktik usahanya terdapat kesesuaian pendapat dengan apa yang disebut

Rochdale Principle. Misalnya berdagang harga umum, pembagian sisa

hasil usaha menurut jasa anggota, menolak pemberian suara yang diwakili

(proxy voting), pengawasan hanya dilakukan oleh anggota yang aktif

(active patrons members), pembayaran yang rendah oleh para anggotanya

untuk keanggotaanya, netral dalam politik dan agama, dan seterusnya.

c. Koperasi sebagai struktur ekonomi merupakan suatu kombinasi horizontal

dari unit-unit yang dikoordinasikan, yang melayani berbagai tujuan dari

unit-unit itu. Akan tetapi, bila integrasi vertical dipertimbangkan baik ke

depan terhadap para konsumen atau ke belakang terhadap sumber yang

tersedia, kombinasi horizontal adalah perlu diantara unit-unit yang terlalu

kecil untuk melaksanakan integrasi vertical secara individual.

d. Mengenai hubungan ekonomi yang terjadi diantara anggota suatu

koperasi, Black mengatakan bahwa koperasi merupakan antitesis dari

persaingan, yakni bahwa anggota-anggota lebih bersifat bekerjasama

daripada bersaing di antara mereka sendiri.

e. Pengakuan atas implikasi dari bentuk bukan kumpulan modal dan bukan

mengejar keuntungan dari koperasi yang bertitik tolak dari prinsip-prinsip

56

Rochdale di mana Nourse telah menunjukkan bentuk organisasi demikian

yaitu suatu bentuk yang sangat berbeda dengan sebuah perseroan yang

mengejar keuntungan dan bekerja dengan suatu rencana atau skema

khusus untuk memperoleh keuntungan.

f. Keanggotaan di dalam koperasi lebih mendasarkan kepada anggota secara

perseorangan daripada atas dasar yang bersifat finansial bukan perorangan

(impersonal financial basis). Orang akan secara sukarela bergabung atas

dasar keinginan mereka sendiri, penilaian perseorangan dan kesanggupan

serta kemauan untuk menepati janji termasuk di dalamnya pelaksanaan

timbale balik terutama terhadap resiko dan biaya-biaya.

g. Koperasi merupakan suatu wadah di mana para anggotanya secara lebih

efektif menunjukkan fungsi-fungsinya yang tertentu, proses atau aktivitas-

aktivitas yang berhubungan secara integraldengan kegiatan-kegiatan

ekonomi dari para anggota. Koperasi semacam ini bukan suatu unit

ekonomi yang mengejar karier ekonomi yang berifat bebas.

h. Keanggotaan dalam koperasi yang sungguh-sungguh tidak ditentukan oleh

pengikutsertaan modalnya, akan tetapi oleh partisipasinya dalam kegiatan-

kegiatan koperasi yang bersangkutan. Modal koperasi yang demikian

terlepas sama sekali dari konotasi entrepreneur yang tradisional

(traditional entrepreneurial connotation) dan didasarkan atas dasar

pinjaman.

i. Karena suatu kegiatan yang dilaksanakan secara kooperatif adalah suatu

usaha yang timbal balik, maka anggota-anggota koperasi itu setuju untuk

memenuhi kewajiban-kewajiban dalam usaha memperoleh keuntungan

timbal balik dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi-fungsi

tertentu yang biasa berlaku dalam mencapai tujuan ekonomi mereka, yang

bukan anggota adalah bukan bagian dari perkumpulan semacam ini. oleh

karena itu tidak konsisten koperasi melayani mereka.64

Margono Djojohadikoesoemo mengatakan bahwa Koperasi ialah

perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendirian hendak

bekerja sama untuk memajukan ekonominya. Adapun unsur-unsur yang tersirat

dalam definisi tersebut adalah

1. Unsur kesukarelaan dalam berkoperasi

64Ibid, Hal 17-18

57

2. Bahwa dengan bekerjasama manusia akan lebih mudah mencapai apa

yang diinginkan

3. Bahwa pendirian dari suatu koperasi mempunyai pertimbangan-

pertimbangan ekonomis.

R.S Soeriaatmadja, memberikan definisi koperasi sebagai suatu perkumpulan

dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak

memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk, untuk sekedar

memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama.

Kalau diteliti lebih lanjut, adapun unsur-unsur yang terdapat dalam definisi

tersebut adalah:

1. Unsur demokrasi;

2. Unsur sosial;

3. Unsur tidak semata-mata mencari keuntungan.

Terdapat 6 ciri Koperasi yaitu:

1. Sebagai badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu

tujuan keuntungan ekonomis sehingga dapat bergerak disegala sektor

perekonomian di mana saja dengan mempertimbangkan kelayakan

usaha.

2. Harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk

meningkatkan usaha dan kesejahteraannya.

3. Sifat keanggotaanya sukarela tanpa paksaan.

4. Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para

anggota memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sehingga

anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.

5. Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha di dalam koperasi

didasarkan pertimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi

dibatasi, yaitu tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar,

58

sehingga dengan demikian tidak didasarkan atas besarnya modal

yang diberikan.

6. Koperasi bersifat mandiri, memiliki kebebasan yang

bertanggungjawab, memiliki otonomi, swadaya, serta

mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan keinginan

mengelola diri sendiri.65

Indonesia sebagai negara yang turut memajukan perekonomian bagi

seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan asas kekeluargaan juga dapat

dilihat dengan jelas dalam definisi Koperasi oleh Mohammad Hatta dalam

bukunya The Cooperative Movement in Indonesia.66 Beliau mengemukakan

bahwa koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan

ekonomi berdasarkan tolong menolong. Koperasi melambangkan harapan bagi

kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di

antara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya pada

diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat baru untuk

menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan member jasa kepada kawan

berdasarkan kebersamaan.

Dalam pidato Mohammad Hatta pada tanggal 12 Juli 1951 disebutkan

bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasar kekeluargaan

adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerjasama antara mereka

yang berusaha sebagai suatu keluarga. Sebagaimana orang sekeluarga

65 H. Budi Untung, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit Andi,

Yogyakarta, Hal.3 66 Andjar Pachta W, Op.Cit, Hal.19

59

bertanggungjawab atas keselamatan rumah tangganya, demikian pula para

anggota koperasi sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur

koperasinya makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya rusaklah pula

hidup mereka bersama. Adapun yang dimaksud oleh Mohammad Hatta, Pasal 38

UUDS 1950 dalam pidato tersebut adalah Pasal 33 dalam UUD 1945 yaitu

perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

kekeluargaan. Asas kekeluargaan dalam Pasal inilah yang menjadi pondasi dasar

dalam berdirinya suatu koperasi yang baik bagi masyarakat Indonesia.

Sejarah Koperasi di Indonesia sesungguhnya berawal dari masa

penjajahan dimana pada saat itu diberlakukan “culturstelsel” yang

mengakibatkan penderitaan bagi rakyat terutama petani dan golongan bawah.

Peristiwa ini menimbulkan gagasan dari seorang Patih Purwokerto, Raden Ario

Wiraatmadja untuk membantu mengatasi kemelaratan rakyat. Kegiatannya

diawali dengan menolong pegawai dan orang kecil dengan mendirikan Hulpen

Spaaren Landbouwcredit, didirikan juga rumah gadai, lumbung desa, dan bank

desa.

Perkumpulan Budi Utomo yang dalam programnya memanfaatkan sektor

perkoperasian untuk mensejahterakan rakyat miskin dimulai dengan koperasi

industri kecil dan kerajinan. Ketetapan kongres Budi Utomo di Yogyakarta

adalah antara lain memperbaiki dan meningkatkan kecerdasan rakyat melalui

pendidikan, serta mewujudkan dan mengembangkan gerakan berkoperasi.

60

Tahun 1915 lahir UU Koperasi yang pertama “Verordening op de

Cooperative Vereeniging” dengan Koninklijk Besluit 7 April 1912 stbl 431 yang

bunyinya sama dengan UU Koperasi di Negara Belanda (tahun 1876) yang

kemudian diubah tahun 1925. Selanjutnya, di zaman pendudukan Jepang, usaha-

usaha koperasi dikoordinasikan/dipusatkan dalam badan-badan koperasi yang

disebut Kumiai yang berfungsi sebagai pengumpul barang-barang logistik untuk

kepentingan perang.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, usaha pengembangan

Koperasi mengalami pasang surut mengikuti perkembangan politik. Kongres-

kongres koperasi, munas-munas dan lain-lain untuk pengembangan koperasi

terus berlanjut. Puncaknya, pada tahun 1985 akhirnya Indonesia berhasil

melahirkan UU No 70/1985 tentang Koperasi yang pada dasarnya berisi tentang

tata cara pembentukan, pengelolaan koperasi (seperti prinsip-prinsip Rochdale).

UU Koperasi mengalami 2 kali perubahan, yaitu yang pertama adalah UU

No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, yang kemudian disempurnakan

dengan UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Koperasi di Indonesia pada hakikatnya, seperti yang diungkapkan oleh

Charles Gide kalau mau berkembang dan tetap setia pada dirinya sendiri dan

tidak menyimpang menjadi bentuk lain, maka nilai-nilai moral yang

mendasarinya harus merupakan realita-realita hidup dalam kegiatan maupun

61

tingkah laku orang-orang koperasi.67 Jadi, dengan kata lain hakikat koperasi tidak

ditentukan dari nama maupun hak badan hukum yang diperolehnya dari

pemerintah, akan tetapi apakah asas dan prinsip-prinsipnya sudah merupakan

kenyataan yang diterapkan dalam setiap kegiatannya serta tingkah laku koperasi

dan anggotanya.

Berdasarkan hakikat tersebut maka dapat kita lihat bahwa koperasi

memiliki tujuan, sifat, nilai dan prinsip-prinsip serta jenis koperasi. Adapun

penjabarannya adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Koperasi

Koperasi pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu unsur ekonomi

dan unsur sosial. Karena koperasi merupakan suatu sistem dan

sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan komponen-

komponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara bersama-

sama berfungsi mencapai tujuan.

Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan kata lain

bahwa koperasi harus berdasarkan motif ekonomi yaitu mencari

keuntungan, sedangkan unsur sosial lebih untuk menerangkan

kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar sesama anggota

dan hubungan anggota dengan pengurus, bukan dalam arti

kedermawanan. Unsur sosial juga ditemukan dalam cara koperasi yang

demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk anggota, calon

67 Ibid, Hal.21

62

anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha kepada anggota

secara proposional dengan jasanya, serta menolong diri sendiri. 68

b. Sifat Koperasi

Koperasi memiliki sifat kerjasama, yaitu antara orang-orang yang

termasuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan yang ingin

meringankan beban hidup atau beban kerja. Persamaan koperasi

dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar suatu

keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya adalah

bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar-benar

memerlukan sekali kerjasama ini untuk mencapai suatu tujuan yang

dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan, tetapi mereka

berusaha untuk memperbesar keuntungan tersebut.

c. Nilai dan Prinsip-Prinsip Koperasi

Koperasi melandaskan nilai-nilai menolong diri sendiri,

bertanggungjawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan

dan solidaritas. Berdasarkan pengaruh para pendirinya, para anggota

koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan,

tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.

68 Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2004, Pekoperasian: Sejarah, Teori, dan Praktek,

Ghalia Indonesia, Bogor, Hal. 9

63

Sedangkan prinsip-prinsip koperasi adalah merupakan pedoman bagi

koperasi-koperasi dalam melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam

praktik. Adapun prinsip-prinsip koperasi dibagi menjadi empat yaitu:

1. Prinsip Keanggotaan yang Sukarela dan Terbuka

Prinsip ini melihat bahwa koperasi adalah organisasi yang bersifat

sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan

jasa-jasanya dan bersedia menerima tanggungjawab keanggotaan,

tanpa membedakan jenis kelamin (gender) latar belakang sosial,

ras, politik dan agama.

2. Prinsip Pengawasan Demokratis oleh Anggota

Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh pada

anggotanya, yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat

keputusan. Dalam koperasi primer, para anggota memiliki hak

suara sama dan koperasi pada tingkat-tingkat lainnya juga dikelola

secara demokratis.

3. Prinsip Partisipasi Anggota dalam Kegiatan Ekonomi

Anggota memberikan kontribusi permodalan koperasi secara adil

dan melakukan pengawasan secara demokratis (terhadap modal

tersebut). Setidak-tidaknya sebagian dari modal itu adalah milik

bersama koperasi. Apabila ada, para anggota biasanya menerima

64

kompensasi yang terbatas atas modal yang disyaratkan untuk

menjadi anggota.

4. Prinsip Otonomi dan Kemandirian (Independence)

Koperasi sebagai organisasi yang otonom, menolong diri sendiri

serta diawasi oleh para anggotanya. Apabila koperasi melakukan

perjanjian dengan organisasi lain, termasuk pemerintah, atau

memupuk modal dari sumber luar, koperasi melakukannya

berdasarkan persyaratan yang menjamin pengawasan demokratis

oleh para anggotanya dan yang mempertahankan otonomi mereka.

5. Prinsip Pendidikan, Pelatihan dan Penerangan

Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota

wakil-wakil anggota yang dipilih dari rapat anggota serta para

manajer dan karyawan, agar mereka dapat melakukan tugasnya

lebih efektif bagi perkembangan koperasinya. Mereka memberikan

penerangan kepada masyarakat umum-khususnya pemuda dan para

pembentuk opini di masyarakat-tentang hakikat perkoperasian dan

manfaat berkoperasi.

6. Prinsip Kerjasama antar Koperasi

Koperasi melayani anggotanya secara kolektif dan memperkuat

gerakan koperasi dengan bekerjasama melalui organisasi koperasi

tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.

65

7. Prinsip Kepedulian terhadap Masyarakat

Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat

sekitarnya secara berkelanjutan, melalui kebijakan-kebijakan yang

diputuskan oleh rapat anggota.

d. Jenis-Jenis Koperasi

Untuk memisah-misahkan koperasi yang serba heterogen itu satu sama

lainnya, Indonesia dalam sejarahnya menggunakan berbagai dasar atau

kriteria seperti: lapangan usaha, tempat tinggal para anggota,

golongan, dan fungsi ekonominya. Pemisahan-pemisahan ini

selanjutnya disebut dengan penjenisan.

Dalam Pasal 2 PP No 6/1959 tentang Perkembangan Gerakan

Koperasi, menyatakan bahwa:

(1) Pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi ialah

pembedaan koperasi yang didasarkan golongan dan fungsi

ekonomi;

(2) Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada

lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota sesuatu

koperasi.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka terdapatlah 7 jenis

koperasi yang dijabarkan dalam Pasal 3 PP No.6/1959 yaitu:

a. Koperasi Desa

66

b. Koperasi Pertanian

c. Koperasi Peternakan

d. Koperasi Perikanan

e. Koperasi Kerajinan/Industri

f. Koperasi Simpan Pinjam

g. Koperasi Konsumsi.

2.3 Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin

Perbankan merupakan suatu lembaga hukum yang dibentuk dalam

rangka menunjang pelaksanaan pemerataan pembangunan nasional,

pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 4 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,

menentukan bahwa Perbankan di Indonesia bertujuan unuk menunjang

pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat

banyak. Peran Perbankan sangatlah strategis dalam pembangunan nasional

khususnya dalam pembangunan ekonomi, namun seiring dengan peran

strategis tersebut terdapat pula tindakan yang merugikan dan dapat merusak

kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tersebut, misalnya

tindak pidana perbankan.

67

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau perbuatan

melanggar hukum apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada

menentukanbahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Sutan Remi

Sjadeini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah

perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika pelaku itu

melakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang

dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu

yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.69

Selain itu, Munir Fuady juga berpendapat bahwa kejahatan bank

makin meningkat dewasa ini, modus operandinya pun makin canggih. Bahkan

dalam beberapa kasus, terlibat sindikat mafia, baik dari dalam maupun dari

luar negeri. Di samping itu, lebih dari 90% kejahatan bank di lakukan melalui

kerja sama orang luar dan orang dalam bank. Uniknya, orang dalam tersebut

terdiri dari para young urban profesional (yuppies) Indonesia, dengan ciri-ciri

muda, pintar, gesit. workaholic, ambisius, punya posisi baik, punya

penghasilan, dan memiliki angan-angan tinggi.

Tindak pidana perbankan dan tindak pidana perbankan memiliki

pengertian yang berbeda. Anwar mengemukakan bahwa perbedaan antara

pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana dibidang perbankan

didasarkan pada perbedaan perlakukan peraturan terhadap perbuatan-

69Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta,

Hal.26-27

68

perbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-

kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tindak pidana perbankan terdiri atas

perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan dalam undang-undang

perbankan, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan pidana oleh

undang-undang perbankan. Sedangkan tindak pidana dibidang perbankan

terdiri atas perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan

usaha pokok bank, perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan

pidana di luar undang-undang tentang perbankan, seperti KUHAP, undang-

undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan lainnya yang

sejenis.70 Kehidupan perbankan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi.

Dengan demikian dalam membicarakan pelanggaran pada dunia perbankan

tidak lepas dari pembicaraan tindak pidana ekonomi. Secara umum tindak

pidana ekonomi adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan karena

atau untuk motif-motif ekonomi.71 Tindak pidana ekonomi ini biasanya

disebut juga kejahatan kerah putih (white collar crime). Secara umum Conklin

merumuskan dan mengidentifikasian unsur-unsur tindak pidana ekonomi

sebagai berikut:

a. Suatu perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi

pidana

70M. Arief Amrullah, 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering), Bayumedia

Publishing, Malang, Hal.52

71Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, Hal.151

69

b. Yang dilakukan ole seseorang, atau korporasi di dalam

pekerjaannya yang sah atau di dalam pencarian/usahanya dibidang

industri atau perdagangan.

c. Untuk tujuan memperoleh uang atau kekayaan, menghindari

pembayaran uang atau menghindari kehilangan/kerugian

kekayaan, memperoleh keuntungan bisnis atau keuntungan

pribadi.72

Seiring dengan perkembangan era globalisasi di segala bidang

kehidupan termasuk perkembangan ekonomi, keuangan, perdagangan,

perbankan dan sosialisasi yang pesat, telah membawa implikasi hukum

tertentu bagi Indonesia. Pertama, bagaimana peranan hukum yang harus

dikedepankan untuk mendukung perubahan-perubahan kebijakan di berbagai

sektor kehidupan masyarakat Indonesia untuk masa kini dan mendatang.

Kedua, peranan hukum mana yang perlu dan mendesak dikedepankan untuk

mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dana masyarakat era

globalisasi.73

Budi Untung mengemukakan bahwa dalam hukum perbankan,

terdapat beberapa kategori tindak pidana perbankan.74 Pertama, tindak pidana

yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum (PT, Yayasan, atau

Koperasi) yang melakukan praktik perbankan tanpa seijin Menteri Keuangan.

72Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, Hal.138-

139

73Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Hal.18

74Ibid, Hal.156

70

Praktik Perbankan yang dimaksud misalnya menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan

lain-lain (Pasal 46 UU Perbankan). Kedua, perbuatan tindak pidana yang

dilakukan oleh pegawai bank, komisaris, ataupun direksi yang dengan sengaja

ataupun lalai membuat laporan kepada Bank Indonesia mengenai usahanya

maupun neraca untung rugi secara berkala sesuai dengan tata cara yang

ditentutakn Bank Indonesia (Pasal 48 UU Perbankan). Ketiga, perbuatan

pidana yang dilakukan oleh komisaris, direksi ataupun pegawai bank dengan

cara merusak, menghilangkan, mengaburkan, memalsukan, mengubah

menjadi tidak benar segala sesuatu yang menyangkut “segala dokumen

perbankan” (Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan). Keempat, tindak pidana yang

dilakukan oleh komisaris, direksi atau pegawai bank yang menguntungkan

diri sendiri atau keluarganya (karena menerima komisi/ menerima sogokan)

dalam rangka pencairan kredit atau pemberian kredit yang melebihi batas,

bank garansi dan segala macam yang menyengkut transaksi perbankan (Pasal

49 ayat (2) UU Perbankan).

Sedangkan menurut Sofyan Nasution (analis Bank Madya Senior)

Pejabat Bank Indonesia pada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan

(DIMP). Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,

pengaturan mengenai pemidanaan diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal

71

50 A. Dalam ketentuan ini jenis-jenis tindak pidana perbankan

dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok besar yaitu:

1. Tindak pidana berkaitan dengan perijinan

2. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha

3. Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank

4. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank oleh Ban

Indonesia

5. Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi

Dalam pendirian sebuah bank, tidak dapat dilakukan dengan sembarangan.

Dengan kata lain, untuk dapat mendirikan sebuah bank harus memenuhi

syarat-syarat yang sudah ditentukan. Untuk pendirian sebuah bank tersebut,

dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, mengatur secara

jelas mengenai syarat pendirian sebuah bank yaitu dalam Pasal 16, 18, 19, dan

Pasal 20.

Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut, dapat kita lihat dengan

jelas bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dan dari

masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh ijin

usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat dari pimpinan Bank

Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat yang

dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

72

Pendirian bank yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan secara tegas dalam UU Perbankan ini dapat dikatakan sebagai bank

gelap dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pertama tindak pidana

perbankan. Disebut sebagai bank gelap adalah badan (dalam hal ini berbentuk

bank) yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tanpa

ijin dari pihak yang berwenang (Bank Indonesia).

Ketentuan mengenai tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan

perijinan ini dapat kita lihat dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU

No.10/1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa:

(1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana

penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak

Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas,

perserikatan, yayasan, atau koperasi, maka penuntutan terhadap

badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang

memberi perintah melakkan perbuatan itu atau yang bertindak

sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-

duanya.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang

diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) adalah setiap

orang (orang pada umumnya) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan (yang meliputi tabungan, deposito berjangka, giro, dan lain

73

sebagainya) namun dilakukan tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia atau

dengan perkataan lain, dapat dikatakan telah membuat suatu bank atau suatu

badan yang berfungsi atau menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah

sebagai sebuah bank namun tidak memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank

Indonesia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap. Badan hukum yang

menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun

tidak pernah memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonsia sehingga

dikategorikan sebagai bank gelap dan dapat dikenakan sanksi pidana

berdasarkan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.

74

BAB III

PERTANGGUNJAWABAN PIDANA BILAMANA TERJADI TINDAK

PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN YANG MELIBATKAN KOPERASI

3.1 Perbuatan Tindak Pidana Yang Melibatkan Koperasi

Koperasi sebagai suatu badan hukum tidak bisa terlepas dari kemungkinan

melakukan suatu perbuatan pidana. Tindak pidana merupakan suatu konsep yuridis

yang berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana.

Dalam pengertian lain, tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar perbuatan tersebut.75 Kata tindak pidana

merupakan terjemahan dari “delik” yang berasal dari bahasa Latin yakni delictum. 76

Adapun tindak pidana yang berkaitan dengan koperasi yang sering tejadi

adalah sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Penipuan

Tindak Pidana Penipuan menurut Pasal 378 KUHP yang

dirumuskan sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai

nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun

rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan

barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau

75Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, Hal.1 76Leden Marpaung, 2003, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap Perbankan,

Penerbit Djambatan, Jakarta, Hal.5

75

menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana

penjara paling lama empat Tahun.”

Dalam penipuan, dimilikinya suatu benda oleh seseorang dilakukan

dengan cara melawan hukum, yaitu dengan perbuatan yang tidak sah;

memakai nama palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan.

Seseorang yang melakukan penipuan, dengan kata-kata bohongnya itu,

menyebabkan orang lain menyerahkan suatu benda kepadanya. Dan

apabila tidak adanya kebohongan tersebut, maka belum tentu orang yang

bersangkutan akan menyerahkan benda itu secara sukarela.

Contoh yang dapat kita lihat dalam kasus koperasi yang melakukan

penipuan adalah kasus koperasi yang melakukan penipuan terhadap

anggota koperasi. Salah satu bentuk penipuan yang dapat dilakukan oleh

koperasi adalah apabila koperasi yang berkewajiban memberikan bagi

hasil koperasi dari modal penyertaan yang ditanamkan namun dalam

pelaksanaannya tersebut koperasi tidak memberikannya (contoh kasusnya

adalah Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada).

2. Tindak Pidana Penggelapan

Tindak Pidana Penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP, dimana

yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik

orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu

sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Dalam

76

penggelapan, dimilikinya suatu benda terjadi bukan karena perbuatan

yang melawan hukum (bukan karena perbuatan yang tidak sah),

melainkan karena suatu perbuatan yang sah (bukan karena kejahatan).

Perbuatan dimilikinya barang tersebut dilakukan dengan kesadaran bahwa

si pemberi dan penerima barang sama-sama menyadari perbuatan mereka,

namun pada akhirnya dimilikinya benda tersebut oleh penerima barang

dipanda sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki (melawan hukum).

Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya

menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi

karena tugas atau jabatannya, contoh pengurus koperasi yang

dipercayakan oleh nasabah untuk menghimpun dana-dana dari anggota

koperasi, namun pada akhirnya dana-dana tersebut bukannya digunakan

untuk kepentingan sesama anggota malah digunakan untuk kepentingan

pribadi pengurus.

3. Tindak Pidana Korupsi

Koperasi juga dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi.

Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi apabila

orang tersebut bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Hal ini diatur

77

dalam ketentuan Pasal 3 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Salah satu contoh kasus koperasi yang melakukan korupsi adalah

kasus Koperasi Warga Desa Harapan Maju – Serang Banten, dimana

pengurus koperasi tersebut telah mengajukan permohonan bantuan

perkuatan permodalan sebesar Rp6,9 miliar, untuk budidaya rumput laut.

Setelah dana tersebut berhasil cair, sebesar Rp4,8 miliar, dana tersebut

tidak dipergunakan untuk pengembangan budi daya rumput laut seperti

yang diajukan dalam permohonan awal melainkan dipergunakan untuk

usaha lain. Bahkan uang bantuan tersebut, dibawa kabur oleh ketua

koperasi Harapan Maju sendiri, akibatnya negara dirugikan sebesar Rp

4,8 miliar.

4. Tindak Pidana Perbankan

Tindak pidana perbankan adalah perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja (lalai) yang

dilakukan oleh korporasi dan/atau anggota-anggota pengurusnya dalam

menjalankan setiap bentuk usahanya (usaha bank) sehingga menimbulkan

kerugian materiil dan kerugian immateriil baik bagi masyarakat maupun

bagi negara, baik yang disadari maupun yang tidak disadari yang terjadi

dalam suatu wilayah negara tertentu ataupun lintas batas negara

78

(transnasional) dengan waktu yang seketika ataupun dengan adanya

jangka waktu.77

Untuk menjaga ketajaman dari penelitian agar tidak terlalu meluas, maka

peneliti lebih lanjut hanya akan membahas tindak pidana perbankan yang dapat

dilakukan oleh Koperasi.

Sebagaimana diketahui, bahwa tindak pidana perbankan merupakan salah satu

bentuk dari tindak pidana di bidang ekonomi. Tindak pidana perbankan dilakukan

dengan menggunakan bank sebagai sarana dan sasarannya.78Menurut UU No.7/1992

jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana perbankan

terdiri dari 13 (tiga belas) macam. Dari ketiga belas macam tindak pidana tersebut,

dikelompokkan menjadi 5 kelompok utama, yaitu:

1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan

Tindak pidana perbankan yang tergolong dalam kelompok ini adalah tindak

pidana yang berhubungan dengan perizinan pendirian bank sebagai lembaga

keuangan. Setiap orang yang ingin mendirikan bank, haruslah memenuhi

syarat-syarat atau ketentuan yang terdapat dalam undang-undang. Pihak yang

mendirikan bank tanpa memenuhi syarat-syarat atau ketentuan yang

ditetapkan oleh undang-undang dapat dikatakan telah melakukan tindak

77 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, Hal.15-16

78Hermansyah, Op.Cit, Hal.141

79

pidana di bidang perbankan kelompok ini. Bank yang telah didirikan ini

disebut juga dengan bank gelap.

Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, syarat pendirian

sebuah bank ini telah diatur dengan tegas dan jelas dalam Pasal 16, Pasal 18,

Pasal 19, dan Pasal 20, sedangkan ketentuan mengenai tindak pidana yang

berkaitan dengan bank gelap dapat ditemukan dalam Pasal 46 UU No.7/1992

jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.

2. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank

Tindak pidana perbankan ini berkaitan dengan jenis dan bentuk usaha yang

dilakukan oleh bank. Adapun jenis dan bentuk usaha ini sangat

memperngaruhi dalam mendorong pertumbuhan perekonomian nasional suatu

negara. Oleh sebab itu, jenis dan bentuk usaha bank harus senantiasa

mendapat kepercayaan dari masyarakat karena apabila jenis dan usaha bank

ini tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat maka perbankan itu sendiri

akan hancur dan akan menimbulkan dampak serius, dampak sistemik dan

meluas bahkan sampai mengancam stabilitas perekonomian nasional.

Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank dan segala

bentuk dan jenis usaha yang dilakukannya, hukum harus mengambil

peranannya sehingga dana dari nasabah atau dana dari masyarakat dapat

dipergunakan secara tepat sasaran, digunakan secara benar sesuai dengan

tujuannya dan dapat dipertanggungjawabkan, yakni diwujudkan dalam bentuk

80

laporan pertanggungjawaban yang akan diumumkan langsung kepada publik

melalui media massa, maupun diberikan kepada Bank Indonesia atau Otoritas

Jasa Keuangan.

Berkaitan dengan tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan usaha bank

ini, di dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, telah

disebutkan atau diatur secara tegas dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a sampai

dengan huruf c dan Pasal 49 ayat (2) huruf a dan huruf b.

3. Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan Sikap dan/atau Tindakan yang

Dilakukan oleh Pengurus, Pegawai, Pihak Terafiliasi, dan Pemegang Saham

Bank

Sebagai pihak yang sangat memerlukan kepercayaan dalam menjalankan

setiap usahanya, tepatnya pihak yang mengelola langsung dana yang

diperoleh dari masyarakat, sudah seharusnya apabila bank dan para pihak

yang terkait dengan bank, misalnya pengurus bank, pegawai bank, pihak lain

yang terafiliasi dengan bank serta pemegang saham bank itu sendiri

menjalankan setiap tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab

dan semua tindakannya harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian serta

dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Prinsip tanggung jawab dan

prinsip kehati-hatian ini pada dasarnya penting untuk dilakukan dalam rangka

menjaga kepercayaan yang sudah dipercayakan masyarakat dan untuk

81

mencegah dilakukannya kecurangan-kecurangan atau bahkan suatu tindak

pidana atau penyelewengan dana.

Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan

oleh pengurus, pegawai, pihak terafiliasi, dan pemegang saham bankini diatur

secara tegas dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan

yang menyebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tidak

pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan oleh

pegawai bank, pengurus bank, pihak terafiliasi, dan pemegang saham diatur

dalam Pasal 50 dan Pasal 50 A.

4. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank

Untuk menjaga aktivitas atau kegiatan bank agar selalu berada dalam koridor

yang berlaku, serta dalam rangka mencegah dilakukannya kecurangan-

kecurangan atau penyelewengan-penyelewengan atau bahkan tindak pidana

perbankan sekaligus dalam rangka menjaga kelangsungan hidup bank yang

bersangkutan atau lembaga perbankan pada umunya guna meningkatkan

kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, maka setiap bank

mempunyai keharusan atau kewajiban untuk mematuhi kewajibannya kepada

pihak yang bertanggungjawab dalam pengawasan dan pembinaan bank yang

dalam hal ini adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral dan/atau Otoritas

Jasa Keuangan (OJK).

82

Dalam kaitannya dengan hal ini, dapat dilihat apabila terdapat bank yang

menyalahi aturan yang berlaku atau menjalankan aktivitasnya tidak sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maka Bank

Indonesia sebagai bank sentral dapat mengambil tindakan seperti mencabut

izin usaha bank yang bersangkutan, melakuka penutupan bank, dan lain

sebagainya.

Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan

diatur secara tegas dalam Pasal 48 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998

tentang Perbankan.

5. Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Rahasia Bank

Sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat dalam jumlah

yang besar, salah satu yang harus dijaga adalah kepercayaan masyarakat.

Kepercayaan yang harus dijaga tersebut, salah satunya adalah mengenai

keterangan tentang data diri dan keadaan keuangan nasabah. Jika ada pihak

yang dengan melawan hukum membocorkan tentang keadaan keuangan

nasabah suatu bank, maka dia termasuk melakukan tindak pidana perbankan

kelompok ini. Rahasia bank dapat didefinisikan secara umum sebagai berikut

yaitu segala sesuatu yang dipercayakan oleh nasabah bank kepada pihak bank

yang dengan sengaja disembunyikan dengan maksud agar tidak diketahui oleh

orang lain atau oleh pihak lain yang tidak berwenang atau tidak berhak yang

dilakukan dalam kegiatan menjalankan jenis usaha yang dilakukan oleh bank

83

yakni menghimpun dana dari masyarakat dan kegiatan menyalurkannya

kembali kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak.79

Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, disebutkan

bahwa tindak pidana yangtermasuk ke dalam jenis tindak pidana yang

berkaitan dengan rahasiabank, terdapat dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat

(2), dan Pasal 47A.

Tindak pidana perbankan yang berpotensi dilakukan dalam kegiatan Koperasi

adalah kejahatan melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Adapun beberapa contoh-

contoh kasus tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan yang dilakukan oleh

Koperasi yang terjadi di Indonesia dan telah melalui proses peradilan. Contoh kasus

pertama adalah sebagai berikut:

1. Kasus Koperasi Simpan Pinjam Anugerah Sejahtera, Lumajang, yang

melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan wajib tanpa terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai

Bank Umum atau Bank Pengkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank

Indonesia. Perbuatan ini dilakukan oleh Hery Santoso Al Henfa yang

menjabat sebagai Manajer Kantor Koperasi Simpan Pinjam Anugerah

Sejahtera. Hery selaku manajer melakukan kegiatan usaha menerima

simpanan berjangka 1 (satu) tahun atau 12 (dua belas) bulan dengan

79Kristian, Op.Cit, Hal. 114

84

ketetapan suku bunga 15% per tahun, namun Hery dalam menjalankan

usaha perkoperasian tersebut tidak sesuai dengan UU Perbankan yang

menjelaskan bahwa KSP tidak diperbolehkan menghimpun dana dari

masyarakat yang bukan merupakan anggota.

Selain itu, pada saat jatuh tempo dari simpanan berjangka milik

korban/nasabah Koperasi Anugerah Sejahtera, Hery tidak dapat melunasi

atau membayarkan uang tersebut kepada korban dengan alasan simpanan

berjangka milik saksi dan korban tidak dapat dicairkan karena Koperasi

tidak ada dana atau tidak ada uang. Dan setiap kali dilakukan penagihan

terdakwa selalu berjanji namun saksi dan korban tidak mendapatkan uang

miliknya tersebut. Selain itu para korban juga tidak mendapat sisa hasil

usaha yang seharusnya diterima oleh setiap anggota koperasi.

Adapun dalam putusan pengadilan, Penuntut Umum meyakinkan

terdakwa Hery melanggar ketentuan pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 46 UU

No.7/1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan. Pasal tersebut

menyinggung adanya unsur-unsur yang harus terpenuhi yaitu:

1) Unsur setiap pihak;

2) Unsur melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan;

85

3) Unsur wajib terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai Bank

Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank

Indonesia; dan

4) Unsur kecuali kegiatan menghimpun dana dari masyarakat

dimaksud diatur dengan Undang-Undang tersendiri.

Dalam unsur setiap pihak, yang dimaksud di sini adalah orang atau

perseorangan atau Badan Hukum atau Korporasi sebagai subyek hukum

yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Menimbang hal

tersebut maka Hery yang menjabat sebagai Manager Koperasi Simpan

Pinjam Anugerah Sejahtera yang mengelola KSP Angerah Sejahtera dapat

bertanggungjawab secara pidana.

Unsur-unsur lainnya pun telah terpenuhi sehingga Hery dianggap dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dipidana dengan pidana

penjara 5 (lima) tahun penjara dan denda sejumlah Rp. 10.000.000.000,-

(sepuluh milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan

diganti denan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

2. Kasus penggelapan Rp 71 Miliar oleh pengurus Koperasi Serba Usaha

Swadana Mandiri yang bekerja sama dengan Suwondo komisaris PT.

Bank Pasar Harta Guna. Kasus ini terjadi di kota Malang dan merupakan

kasus kejahatan berskala nasional yang berimplikasi luas terhadap

86

masyarakat umum dan perekonomian. Pada saat surat laporan dan tuntutan

yang diajukan LHKI No 04/BPHG.KSUSM/LHKI/IX/2002 kepada :

1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta

2. Kepala Kejaksaan Agung RI di Jakarta.

kasus ini telah sampai pada tahap persidangan PN Malang, JPU tetap

bersikukuh memajukan tersangka tunggal Suwondo., tanpa menahan

tersangka lain (yakni pengurus dan Manajer KSU) sehingga mendapat

kritikan pedas dari berbagai kalangan (Kuasa Hukum para korban, LSM,

Mass media, dan masyarakat).

Dasar pemprosesan perkara diatas menggunakan laporan polisi dari 6

korban. Sedangkan dalam kasus ini, LHKI merupakan pemegang kuasa

dari korban lainnya, yang dua diantaranya telah melapor ke Polisi yaitu

dengan laporan Polisi No. Pol. : LP/ 129/V/2002/Polwil, tanggal 07 Mei

2002 dan Laporan polisi No. Pol : LP/ 130/ V/2002 Polwil, tanggal 07

Mei 2002, namun anehnya berdasarkan laporan tersebut tidak segera

dilakukan penyelidikan. Kronologi kasus ini adalah :

a. Kasus ini menggunakan modus operandi perbankan fiktif (bank

gelap) dimana koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri (SUSM)

melakukan operasional layaknya perbankan dengan melakukan

pelayanan deposito, yang sebagian besar deposannya berasal dari

87

eks nasabah PT. Bank Pasar Harta Guna (BPHG) yang

berkedudukan di Malang.

b. Awalnya para nasabah PT. BPHG datang untuk melakukan

transaksi (deposito), namun oleh karyawan PT. BPHG yaitu

Theresia dan Indah Saronto para nasabah tersebut

disuruh/dianjurkan menyetorkan uangnya dalam bentuk deposito

di koperasi SUSM dengan dijanjikan keuntungan antara lain

adanya Bunga Deposito yang lebih tinggi dan tidak kena pajak

sehingga para nasabah PT BPHG akhirnya memasukkan dan

memindahkan uangnya dalam bentuk deposito (dengan nama

deposito Mandiri) ke Koperasi tersebut. Dimana pada saat

melakukan transaksi para nasabah/ deposan melihat pengoperasian

Koperasi tersebut layaknya seperti bank, hal ini membuat nasabah

yakin terhadap keberadaan dan kebonafidan Koperasi tersebut.

c. Penerbitan Deposito mandiri oleh koperasi SUSM merupakan

sebuah kegiatan perbankan yang illegal, karena menurut Pasal 16

UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 diatur bahwa sebuah lembaga

yang akan melakukan kegiatan perbankan harus mendapat izin dan

memenuhi syarat-syarat dari BI.

d. Deposan yang uangnya disimpan/ didepositokan ke Koperasi

tersebut sebenarnya belum jelas kedudukan mereka dalam

88

keanggotaannya, padahal menurut UU No 23 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian segala kegiatan yang dilakukan oleh koperasi

haruslah dilakukan dari, oleh dan untuk anggota koperasi tersebut.

e. Karena ketat dan beratnya sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan

perbankan sebagaimana ditetapkan dalam UU No.7/1992 jo. UU

No.10/1998 tentang Perbankan, maka Suwondo memprakarsai

pendirian Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang dipakai

sebagi killing field untuk merampok/menguras uang eks. Nasabah/

deposan PT. BPHG

f. Sejumlah korban yang uangnya diduga digelapkan oleh oknum-

oknum Koperasi SUSM, yakni kurang lebih 217 orang dengan

jumlah kerugian kurang lebih sebesar Rp. 71 milyar.

g. Kadiskop Kota Malang ternyata telah lalai dalam melakukan

pengawasan dan pembinaan terhadap Koperasi SUSM, sehingga

kejahatan perbankan berkedok koperasi tersebut dengan mudah

dapat terjadi, oleh karenanya mereka harus ikut bertanggung jawab

terhadap kerugian yang diderita oleh para korban.

Fakta-fakta diatas menunjukkan adanya kejanggalan-kejanggalan dalam

penanganan kasus ini, yang pada intinya :

Koperasi ini tidak memiliki anggota yang jelas dan tidak adanya badan

pengawas serta sangat besarnya kekuasaan Suwondo (bisa mengendalikan

89

pengurus dan manajer koperasi SUSM sehingga dengan leluasa sekali

mengeluarkan keputusan terutama pengelolaan uang koperasi).

Koperasi bukan merupakan sebuah Bank, tapi melakukan transaksi

selayaknya bank, yakni dengan mengeluarkan deposito Mandiri. Oleh

karenanya, Koperasi ini dapat dikategorikan kejahatan bank gelap dan

melanggar Pasal 46 UU No.7/1992 jo. No.10/1998 tentang Perbankan.80

Namun dalam kasus ini, pengurus dan manajer koperasi tidak ditahan,

padahal biasanya dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh koperasi,

pengurus dan manajer ikut bertanggungjawab karena mereka memiliki

posisi yang tinggi dalam koperasi dan pengurus bertugas dalam

mengambil setiap kebijakan yang ada di koperasi tersebut. Sedangkan

manajer dalam koperasi biasanya mengatasi karyawannya. Manajerlah

yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan bawahannya.

Sehingga dalam penanganan kasus ini seharusnya pengurus dan manajer

tidak boleh dilepaskan dari tanggungjawab begitu saja. Padahal dalam

Pasal 34 UU No.25/1992 tentang perkoperasian menyatakan bahwa

pengurus menanggung kerugian yang diderita koperasi karena tindakan

yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian. Selain itu, apabila

tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan maka tidak menutup

80Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia, 2009, Kasus Penggelapan 71M oleh Pengurus

Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang bekerjasama dengan Suwondo Komisaris PT/ Bank

Pasar Harta Guna, tersedia di website http://lhkipusat.blogspot.com/2009/08/kasus-penggelapan-71m-

oleh-pengurus.html, diakses pada tanggal 1 April 2015

90

kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan. Melalui

penjelesan Pasal 34 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian tersebut maka

membuktikan bahwa pengurus wajib untuk bertanggungjawab atas

tindakan yang dilakukannya, termasuk tindak pidana.

3. Kasus Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati (KSP KMS) dengan

tersangka Ida Bagus Gede Wiradnyana, I Nyoman Mandiarta sebagai

Sekretaris KSP KMS, dan I Wayan Tisna sebagai Bendahara KSP KMS.

Terdakwa didakwa melakukan menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998

KSP KMS menghimpun dana dari masyarakat di wilayah Mataram dan

sekitarnya yang sebagian besar dari Masyarakat umum bukan anggota

KSP KMS, calon anggota KSP KMS, koperasi lain dan/atau anggotanya

dalam bentuk simpanan (tabungan/simpanan, simpanan berjangka/

deposito dan simpanan masa depan) tanpa ada ijin dari Pimpinan Bank

Indonesia, dengan cara pegawai lapangan KSP KMS mendatangi ke

rumah-rumah penduduk masyarakat umum di wilayah kota Mataram dan

sekitarnya untuk menawarkan menyimpan/menabung uangnya di KSP

KMS dalam bentuk tabungan/simpanan, simpanan berjangka/deposito dan

simpanan masa depan. Bahkan terdakwa juga ikut menawarkan untuk

menyimpan/menabung uangnya di KSP KMS kebeberapa masyarakat.

91

Hal ini menyebabkan pada kenyataanya KSP KMS menerima simpanan

berbentuk tabungan/simpanan berjangka/deposito dan simpanan masa

yang bukan dari anggota koperasi.

Berdasarkan perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 46 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang

Perbankan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1

KUHP. Sehingga pada akhirnya hakim memutuskan bahwa menyatakan

terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “bersama-sama menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan tanpa memperoleh ijin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia

secara berlanjut” dan oleh karena itu dihukum dengan pidana penjara

selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp 10.000.000.000,-

(sepuluh miliar rupiah), subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.

Peneliti dalam kasus ini melihat adanya perbedaan pendapat oleh saksi

ahli yang dihadirkan dalam kasus ini. Adapun saksi ahli pertama yaitu Dr.

I Wayan Wiryawan,SH.,MH menyatakan bahwa kalau koperasi

menjalankan aktivitasnya berdasarkan ketentuan dalam UU

Perkoperasian, maka kalau terjadi pelanggaran dikenakan sanksi

berdasarkan UU Perkoperasian pula; akan tetapi kalau koperasi dalam

menjalankan aktivitasnya di luar yang ditentukan dalam UU

Perkoperasian, maka koperasi tersebut dikenakan UU di luar UU

92

Perkoperasian. Sehingga koperasi yang bentuk usahanya adalah tabungan,

deposito, dan tabungan masa depan dengan memberi bunga kepada

penabungnya dan bukan merupakan SHU, maka koperasi tersebut

menjalankan usaha perbankan. Koperasi seperti ini tidak dibolehkan

karena operasi asasnya untuk kesejahteraan anggotanya sehingga dapat

dikenakan UU Perbankan.

Pendapat yang berbeda diberikan oleh saksi ahli Dr. I Ketut

Westra,SH.,MH dimana beliau menyatakan bahwa Pasal 46 UU

No.7/1992 jo. UU No.10/1998. tentang Perbankan perlu dipahami secara

keseluruhan dan utuh ketentuan dalam Pasal 16 UU No.7/1992 jo. UU

No.10/1998 tentang Perbankan; di mana dinyatakan bahwa setiap pihak

melakukan menghimpun dana dari masyarakat wajib terlebih dahulu

mendapat ijin, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat

diatur dalam asuransi atau ataupun kegiatan oleh badan hukum koperasi

yang telah diatur oleh UU tersendiri dapat mengenyampingkan atau tidak

dapat diterapkan unsur untuk terlebih dahulu memperoleh ijin dari BI

karena telah diatur UU tersendiri yakni UU No 25/1995 tentang

Perkoperasian.

Jadi, badan hukum yang bersifat khusus maka penuntutan atau aturan serta

penerapan aturan adalah UU Khusus yang mengatur mengenai hal

tersebut. Sehingga menurut saksi ahli kalau badan hukum sudah diatur

93

dalam UU Perkoperasian maka tidak bisa diselesaikan dengan UU

Perbankan; demikian sebaliknya.

Berdasarkan penjabaran kasus-kasus tersebut diatas maka dapat kita lihat

bahwa koperasi dapat melakukan tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan.

Hal ini dikarenakan koperasi merupakan suatu badan hukum yang bentuknya

menyerupai bank. Bahkan dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang

Perbankan pun mengatur mengenai pemidanaan bagi Koperasi yang melakukan

perbuatan tindak pidana perbankan terkait perijinan yaitu dalam Pasal 46 UU

No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.

Selain itu, dalam UU Perbankan telah disebutkan dalam Pasal 21 bahwa:

(1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:

a. Perseroan Terbatas;

b. Koperasi; atau

c. Perusahaan Daerah

(2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu

dari:

a. Perusahaan Daerah;

b. Koperasi;

c. Perseroan Terbatas;

d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang

berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka koperasi termasuk salah satu

klasifikasi bentuk hukum suatu bank sehingga apabila koperasi melakukan perbuatan

tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan maka koperasi tersebut dapat

dipidanakan seseuai dengan UU Perbankan yang berlaku saat ini yaitu UU No.7/1992

94

jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. Hal ini juga sesuai dengan teori fiksi dan teori

kenyataan yuridis dalam teori badan hukum dimana badan hukum dapat dilihat

sebagai subyek hukum dan Koperasi sebagai kumpulan yang diberikan kedudukan

sebagai badan hukum setelah memenuhi persyaratan tertentu telah dinyatakan dalam

UU No.25/1992 tentang Perkoperasian.

Namun dalam pelaksanaannya, pertanggungjawaban koperasi dalam

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin dengan menggunakan UU Perbankan

masih menuai pro dan kontra. Seperti contohnya dalam kasus Koperasi Simpan

Pinjam Karya Mandiri Sejati (KSP KMS) dimana saksi ahli tidak sependapat

mengenai koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tersebut diselesaikan

dengan UU Perbankan. Hal ini dikarenakan koperasi telah memiliki peraturan

perundang-undangannya sendiri sehingga proses pengadilannya pun harus

menggunakan perturan perundang-undangan yang khusus pula yaitu dengan UU

Perkoperasian (lex specialis derograt legi generali). Padahal dalam pelaksanaannya,

banyak putusan hakim yang menjatuhkan hukuman pidana kepada para pengurus

koperasi karena dianggap bertanggungjawab atas tindak pidana perbankan terkait

perijinan yang dilakukannya. Selain itu, dalam putusan-putusan tersebut dapat dilihat

bahwa pertanggungjawaban pidana koperasi baru dibebankan hanya kepada

pengurus/ pimpinan yang memberikan perintah, sedangkan pemberian sanksi

administratif tidak dibebankan kepada koperasi sebagai korporasi.

95

Adanya kesempatan yang diberikan untuk melakukan perbuatan melawan

hukum menyebabkan semakin banyaknya koperasi yang melakukan tindak pidana,

termasuk tindak pidana perbankan terkait perijinan. Semakin banyaknya jenis tindak

pidana yang ada semakin besar ruang lingkup tindak pidana yang dapat dilanggar

oleh koperasi. Hal-hal inilah yang kedepannya dapat merugikan masyarakat apabila

masih terjadi konflik norma dalam hal pertanggungjawaban pidana koperasi dalam

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin.

3.2 KOPERASI SEBAGAI KORPORASI

Seperi yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Bab II, Koperasi menurut

Margono Djojohadikoesoemo adalah perkumpulan manusia seseorang-seseorang

yang dengan sukanya sendiri hendak bekerja sama untuk memajukan ekonominya.

Prof. R.S. Soeriaatmadja juga memberikan definisi yang hampir serupa yaitu koperasi

merupakan suatu perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat

sebagai manusia, dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara sukarela

masuk untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas

tanggungan bersama.

Negara Nederland, berhasil mengundangkan Undang-Undang Koperasi pada

tahun 1876 yang memberikan definisi mengenai koperasi sebagai suatu perkumpulan

dari orang-orang, dalam mana diperbolehkan masuk atau keluar sebagai anggota, dan

yang bertujuan memperbaiki kepentingan-kepentingan perbedaan atau materiil dari

96

para anggota, secara bersama-sama menyelenggarakan suatu penghidupan atau

pekerjaan (gemeenschappelijke uitoefening van hun nering of hun ambacht).81

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, Koperasi

adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi

dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai

gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Berdasarkan penjabaran Pasal tersebut dapat dilihat secara hukum bahwa

Koperasi memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

1. Koperasi adalah badan usaha/ badan hukum;

2. Pendirinya adalah orang-orang (perorangan/individu) atau badan hukum

Koperasi;

3. Bekerja berdasarkan prinsip-prinsip Koperasi dan asas kekeluargaan; dan

4. Sebagai gerakan ekonomi rakyat.

Koperasi sebagai salah satu badan hukum memiliki hak dan kewajibannya

yang sama dengan badan hukum lainnya. Badan hukum memiliki kewajiban untuk

bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukannya, termasuk

bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan. Dalam pertanggungjawaban

pidana, koperasi dapat dikategorikan sebagai korporasi.

Secara harafiah korporasi (corporatie, Belanda), corporation (Inggris),

Corporation (Jerman) berasal dari kata “corporation” dalam bahasa latin.

Corporation sebagai kata benda (substantivum) berasal dari kata kerja

“corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau

81Budi Untung, Op.Cit, Hal 1-2

97

sesudah itu. “Corporare” berasal dari kata “corpus” (Indonesia=Badan) yang

berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, “corporation”

berasal dari hasil pekerjaan membadankan. Badan yang dijadikan orang, badan

yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia

yang terjadi menurut alam.82

Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa korporasi berasal dari kata

corporate, yaitu suatu badan yang mempunyai sekumpulan anggota dang anggota-

anggota tersebut mempunyai hak dan kewajiban tiap-tiap anggota.83

J.C. Smith dan Brian Hogan mendefinisikan korporasi sebagai:

A corporation is a legal person but it has no physical existence and cannot,

therefore, act a form an intention of any kind except throught its directors or

servant is also a legal person quite distinct from the corporation, it follows that a

corporation’s legal liabilities are all, in a sense, vicarious. This line of thingking

is epitomized in the catchphrase “corporations don’t commit crimes”; people

do84

Pengertian Korporasi juga disebutkan dalam berbagai undang-undang yang

bersifat khusus seperti UU No.31/1999 jo. UU No.20/2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 1 angka 3 UU No.31/1999 jo. UU

No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 1 angka 10 UU

No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

dikemukakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang

82Soetan K.Malikoel Adil, 1995, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, PT Pembangunan, Jakarta,

Hal.83, dikutip dari Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali Pers, Jakarta,

Hal.1

83Muladi dan Dwidja Priyanto, Op.Cit, Hal.19-20

84Eric Colvin, 1995, Corporate Personality and Criminal Liability, Criminal Law Forum, Page.5

98

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan dan/atau badan hukum.

Berdasarkan penjelasan tersebut sudah dapat dilihat persamaan unsur-unsur dari

definisi koperasi dengan korporasi yaitu merupakan perkumpulan orang dan

merupakan badan hukum.

Korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena itu

tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui Direktur atau

karyawannya. Direktur dan karyawan juga merupakan entitias hukum yang berbeda

dengan korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah

melalui pertanggungjawaban pengganti. Hal ini berarti bahwa korporasi tidak dapat

melakukan kejahatan, tapi orang-orang yang bertindak untuk dan atau atas ama

korporasilah yang bisa melakukan kejahatan.

Menurut sifatnya, badan hukum itu ada dua macam, yaitu korporasi

(corporatie) dan yayasan (stichting).85 Badan hukum merupakan subyek hukum pada

akhinya tumbuh pada bidang-bidang hukum lain di luar stelsel hukum perdata,

termasuk dalam stelsel hukum pidana. Penempatan korporasi sebagai subyek tindak

pidana sampai sekarang masih menjadi masalah, sehinggal timbul sikap pro dan

kontra.

Koperasi dikatakan sebagai korporasi bukanlah sekedar pernyataan, namun

juga berdasarkan landasan-landasan hukum. Seperti yang dijelaskan dalam pengertian

Koperasi dan Korporasi, dimana dalam pengertian tersebut Koperasi dan Korporasi

85H. Setiyono, 2009, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban

Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, Hal.6

99

merupakan badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan tersendiri. Dengan adanya persamaan tersebut maka

pertanggungjawaban pidana koperasi merupakan pertanggungjawaban korporasi pula.

Pada sub bab sebelumnya, telah dijabarkan kasus-kasus koperasi yang

melakukan tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan. Ditegaskan bahwa

koperasi-koperasi tersebut dikenakan Pasal 16 dan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU

No.10/1998 tentang Perbankan karena telah menghimpun dana dari masyarakat luas

tanpa seijin dari Pimpinan Bank Indonesia. Hal ini tentu saja menunjukkan secara

jelas bahwa para penegak hukum juga beranggapan bahwa koperasi merupakan salah

satu bentuk korporasi dan dapat dipertanggungjawabkan secara korporasi pula.

3.3 Pertanggungjawaban Pidana Oleh Koperasi

Ketika korporasi harus bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana

yang dilakukannya, maka secara umum dikenal tiga sistem pertanggungjawaban

pidana korporasi yaitu sebagai berikut86:

a) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus harus

bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban

korporasi pada tahap pertama);

Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat

tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatas pada perorangan

86Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Hal.9

100

(natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam

lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh

pengurus korporasi itu.

b) Korporasi sebagai pembuat, namun pengurus yang harus

bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban

korporasi pada tahap ke dua);

Sistem pertanggungjawaban korporasi ini ditandai dengan pengakuan

yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak

pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi),

akan tetapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan

hukum (korporasi) tersebut. Secara perlahan-lahan tanggungjawab

pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang

memerintahkan.

c) Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus

bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban

korporasi pada tahap ketiga).

Sistem pertanggungjawaban pada tahap ketiga ini merupakan permulaan

adanya tanggungjawab yang langsung dari koporasi. Dalam sistem ini

dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta

pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Adapun hal-hal yang

dapat digunakan sebagai dasar pembenar atau alasan-alasan bahwa

101

korporasi sebagai pembuat sekaligus yang bertanggungjawab adalah

sebagai berikut:

1) Karena dalam berbagai tindakan ekonomi dan fiscal, keuntungan

yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat

dapat sedemikian besar sehingga tidak akan mungkin seimbang

bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja;

2) Dengan hanya memidanakan pengurus saja, tidak atau belum ada

jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana

lagi. Dengan memidanakan korporasi dengan jenis dan berat sesuai

dengan sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapat menaati

peraturan yang bersangkutan.87

Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi tidak cukup sampai dengan 3

konsep yang dikemukakan di atas, perlu ditambahkan satu konsep lagi yaitu,

pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula

yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana. Hal ini dikemukakan oleh

Sutan Remi Sjahdeini dengan beberapa penjelasan yaitu:

a. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka

menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian.

b. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi

sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini

akan atau dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi

tangan” atau mnegalihkan pertanggungjawaban.

c. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin

dilakukan secara vikarius, dan bukan secara langsung (doctrine of vicarious

liability) yaitu pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang dibebankan kepada pihak lain. Pembebanan pertanggungjawaban

pidana korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius karena korporasi

tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam hal perbuatan hukum, merupakan

kejahatan atau suatu tindak pidana apabila actus reus tindak pidana tersebut dilkukan

87 H. Setiyono, Op.Cit, Hal.14-15

102

oleh manusia sebagai pelaku tindak pidana itu (pengurus). Berdasarkan pemahaman

tersebut, maka tidak seharusnya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut

adalah bahwa hanya korporasi yang harus memilkul pertanggungjawaban pidana,

sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Sama halnya dengan koperasi, pengurus

koperasi tidak boleh dibebaskan begitu saja ketika telah melakukan tindak pidana.

Pengurus koperasi harus terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa tindak pidana

tersebut benar-benar telah dilakukan oleh pengurus koperasi dan sikap batin pengurus

koperasi tersebut dalam melakukan tindak pidana itu haruslah benar-benar bersalah

sehingga dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.

Dalam Teori Badan Hukum, selain manusia, badan hukum juga dipandang

sebagai subyek hukum. Hal inilah yang menjadi dasar pembenar dari

pertanggungjawaban pidana oleh koperasi. Koperasi sebagai badan hukum dapat kita

lihat dalam penjabaran Pasal 1 ayat (1) bahwa Koperasi adalah badan usaha yang

beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan

kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat

yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Terminology atau istilah korporasi, yang sebenarnya belum terlalu lama

dipergunakan sebagai suatu istilah dalam hukum di Indonesia, dewasa ini dalam

kehidupan sehari-hari sudah biasa dipergunakan sebagai pengganti kata perusahaan,

badan usaha, dan atau badan hukum.88 Secara etimologi, menurut Soetan K. Malikoel

Adil, korporasi atau corporation (inggris) berasal dari kata corporare yang banyak

88 Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit, Hal. 27

103

dipakai orang pada abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari

kata corpus (badan dalam Bahasa Indonesia), yang berarti memberikan badan atau

membadankan. Dengan demikian, corporation itu berarti hasil dari pekerjaan

membadankan; dengan kata lain, badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh

dengan perbuatan manusia, sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi

menurut alam.89 J.S Badudu mengartikan korporasi sebagai: badan usaha yang sah

sebagai badan hukum/ badan serikat. Korpus berarti badan, satu keseluruhan.90

Pengaturan korporasi sebagai subyek tindak pidana juga masih menjadi suatu

permasalahan, yang mana timbul pendapat pro dan kontra terhadap layak atau

tidaknya suatu korporasi sebagai subyek hukum. Adapun anggapan pihak-pihak yang

tidak setuju mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan

hanya terdapat pada persona alamiah.

b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat

dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat

dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang,

perkosaan, dan sebagainya)

c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang,

tidak dapat dikenakan pada korporasi.

d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya

mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.

e. Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma

atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi

itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.

89Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, Hal. 12 90J.S. Badudu, 2009, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Kompas,

Jakarta, Hal. 199

104

Berbeda dengan pihak kontra, pihak yang setuju menempatkan korporasi sebagai

subyek hukum pidana mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan represi

terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.

Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi, korporasi dan

pengurus, atau pengurus saja.

b. Dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan

yang penting pula.

c. Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu

melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan-

ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya

ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia maka

tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu

menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.

d. Pemidanaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan

tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.91

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, Oemar Seno Adji berpendapat,

kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan, didasarkan

tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilitas, melainkan pula atas dasar-dasar

teoritis dapat dibenarkan.92 Peneliti juga setuju terhadap pengaturan korporasi sebagai

subyek tindak pidana. Hal tersebut dikarenakan agar suatu korporasi dapat

mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya diperlukan adanya

pengaturan hukum yang pasti untuk korporasi sehingga suatu korporasi tersebut dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana. Selain itu, dilihat dari perspektif korban dari

tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi, biasanya tidaklah sedikit,

sehingga tidak adil rasanya apabila korporasi tidak ikut mempertanggungjawabkan

91H. Setiyono, Op.Cit, Hal.10-11

92Ibid

105

perbuatannya. Adapaun seperti yang disebutkan sebelumnya korporasi tersebut dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui 4 sistem pertanggungjawaban

pidana korporasi yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus harus

bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi

pada tahap pertama), korporasi sebagai pembuat, namun pengurus yang harus

bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi

pada tahap ke dua), korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus

bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi

pada tahap ketiga), serta pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak

pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana.

Seperti pendapat Von Savigny, meskipun meskipun syarat-syarat dalam

peraturan hukum yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun

badan hukum boleh dianggap seolah-olah manusia.93 Hal ini terdapat dalam

pandangan penganut teori fiksi (fiction theory), dimana badan hukum disamakan

dengan manusia hanya saja sebagai perumpamaan (fiksi) saja. Sehingga perbuatan

hukum yang dalam pelaksanaannya memerlukan jiwa manusia, seperti ketakutan

dalam suatu paksaan tidak berlaku bagi badan hukum. Kepribadian hukum sebagai

kesatuan-kesatuan dari manusia yang merupakan hasil dari suatu khayalan.

Kepribadian sesungguhnya hanya ada pada diri manusia. Negara-negara, korporasi-

korporsi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subyek hak dan

93Komariah, Loc.Cit

106

perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia.94 Badan

hukum dalam hal ini korporasi, dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya

sebagai subyek hukum pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada

dan berlaku.

Pertanggungjawaban pidana oleh koperasi juga tidak terlepas dari teori

pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban atau yang kita kenal dengan

konsep “liability” diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan

yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Pertanggungjawaban

yang dilakukan tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi

menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu

masyarakat.

Dalam pertanggungjawaban pidana, adanya kesalahan merupakan unsur

mutlak yang bisa mengakibatkan dimintakannya pertanggungjawaban pidana dari si

pelaku delik. Pertanggungjawaban pidana atau criminal responsibility artinya orang

yang telah melakukan suatu tindak pidana belum berarti harus dipidana. Ia harus

mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya jika ditemukan unsur

kesalahan padanya 95 karena suatu tindak pidana itu terdiri dari a criminal act (actus

reus) dan a criminal intent (mens rea). 96Actus reus atau guilty act dan mens rea atau

94Hamzah Hatrik, Loc.Cit

95Suharto R.M, 2004, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan,

Sinar Grafika, Jakarta, Hal.106 96Robert W. Emerson, 2004, Business Law, Barron’s, New York, Page.409

107

guilty mind ini mutlak ada untuk pertanggungjawaban pidana.97 Pengecualian prinsip

actus reus dan mens rea ini ada pada delik yang bersifat strict liability, di mana mens

rea tidak perlu dibuktikan.98

Permasalahan pertanggungjawaban koperasi sebagai korporasi pelaku tindak

pidana adalah suatu hal yang tidak sederhana, mengingat koperasi adalah badan

hukum. permasalahan ini berpangkal pada adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan.

Kesalahan adalah mens rea atau sikap kalbu yang secara alamiah hanya ada pada

orang alamiah. Oleh sebab itu, hanya manusia alamiah yang bisa dimintakan

pertanggungjawaban pidana. “Since the corporation has a legal personality, that it

can be criminally liable ini the same way that a normal person can”99. Karena

korporasi dianggap sebagai orang, yang mempunyai organ layaknya manusia

alamiah, maka korporasi harus dianggap mempunyai sikap kalbu atau dipandang

sebagai manusia biasa.

Dalam KUHP Indonesia belum dikenal adanya ketentuan yang menetapkan

rechtpersoon atau korporasi sebagai subyek hukum pidana. Hal ini terlihat dari Pasal

2 KUHP yang menyebutkan berlakunya KUHP bagi setiap orang di Indonesia yang

melakukan suatu delik. Karenanya, istilah atau terminology yang umunya dipakai

dalam KUHP merujuk pada subyek atau pelaku delik adalah barang siapa. Pandangan

KUHP bahwa hanya ada manusia alamiah semata yang bisa menjadi subyek hukum

97Paul Dobson, 2008, Nutshells Criminal Law, Sweet & Maxwell, London, Page.18 98Roger Geary, 2002, Understanding Criminal Law, Cavendish Publishing Limited, Oregon,

USA, Page.7 99Emily Finch and Stefan Fafinski, 2011, Criminal Law, Pearson Education, England, Page. 124

108

pidana tersebut mungkin didasari pemikiran bahwa hanya manusia yang mempunyai

mens rea; sedangkan makhluk hidup lain ataupun koperasi sebagai korporasi-badan

yang diciptakan manusia melalui hukum-dianggap tidak memiliki mens rea.

Korporasi dianggap sebagai subyek hukum pidana dikenal oleh peraturan

perundang-undangan di luar KUHP. Bahkan sejak pertengahan tahun 1950-an

korporasi sudah ditempatkan oleh peraturan perundang-undangan di luar KUHP

sebagai subyek hukum pidana, hingga dapat pula dimintakan pertanggungjawaban

pidananya. Penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia telah

ada di dalam hukum poitif meskipun terdapat dalam peraturan perundang-undangan

di luar KUHP sebagai peraturan perundang-undangan pidana khusus. Dalam kaitan

ini, perumusan korporasi sebagai subyek hukum pidana-sekaligus dapat dimintakan

tanggungjawab pidananya-sudah saatnya di akui dalam KUHP guna sebagai salah

satu sarana pengendalian kecenderungan perilaku korporasi melakukan delik.

Latar belakang adanya pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana

berbeda di setiap negara, termasuk juga di Indonesia. Namun pada akhirnya ada

kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan industrialisasi dan

kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah mendorong

pemikiran bahwa subyek hukum pidana tidak lagi hanya bisa dibatasi pada manusia

alamiah, tetapi meliputi juga korporasi karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula

dilakukan oleh korporasi.100 Adanya sikap kontra dalam korporasi sebagai subyek

100E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

Storia Grafika, Jakarta, Hal.222

109

hukum pada dasarnya merupakan argument yang lemah. Hal ini dikarenakan,

pertama, hampir dalam setiap pengenaan pidana bagi pelaku tindak pidana akan

berimbas pada pihak lainnya yang berkaitan dengan pelaku tersebut, yang secara

langsung atau tidak langsung, sedikit atau banyak, akan menanggung akibatnya.

Kedua, antara korporasi sebagai badan hukum dan pihak-pihak lainnya, termasuk

pengurus, manajer, karyawan, adalah hal yang terpisah sama sekali karena korporasi

adalah badan yang dianggap mempunyai kedudukan sendiri layaknya manusia.

Sanksi denda yang diberikan kepada korporasi tidak bisa diartikan sebagai pemberian

sanksi, baik kepada pengurus, manajer mapun karyawannya.

Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double track system) dalam

pemidanaan, dalam arti di samping pidana dapat pula dikenakan berbagai tindakan

kepada pelaku, maka sistem ini dapat pula diterapkan dalam pertanggungjawaban

korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Sesuai dengan motif-motif kejahatan

korporasi, sanksi yang bersifat ekonomis dan administrative juga sangat sesuai

diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana.

Maksudnya, agar adanya keadilan dan perlindungan bagi korban maupun masyarakat

lainnya, sebaiknya tidak hanya pengurus saja yang harus dikenakan

pertanggungjawaban pidana melainkan juga korporasi itu sendiri sebagai subyek

hukum dapat dikenakan sanksi administrative sesuai dengan perturan perundang-

undangan yang berlaku.

110

Pertanggungjawaban pidana korporasi dilandasi pada Teori Indentifikasi

(Identification Theory), Teori Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious

Liability), dan Teori Pertanggungjawaban Ketat Menurut Undang-Undang (Strict

Liability). Adapun pada penelitian ini, teori pertanggungjawaban pidana korporasi

yang dirasa paling tepat digunakan dalam pertanggungjawaban pidana koperasi

sebagai korporasi adalah Teori Identifikasi (Identification Theory).

Teori indentifikasi ini berlandaskan adanya pengharusan dapat

diidentifikasikan terlebih dahulu siapa yang melakukan tindak pidana tersebut.

Apabila yang melakukan tindak pidana merupakan “directing mind” atau orang yang

diberi wewenang untuk bertindak atas nama korporasi, maka korporasi dapat

dibebani pertanggungjawaban pidana. Seperti dalam kasus-kasus koperasi yang telah

disebutkan sebelumnya, tentu dapat kita lihat bahwa suatu koperasi dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana dengan berdasarkan teori

pertanggungjawaban pidana korporasi ini. Siapapun pihak yang memberikan

wewenang untuk bertindak atas nama korporasi dapat bertanggungjawab pula atas

nama korporasi. Sama dengan halnya koperasi, apabila melakukan suatu tindak

pidana yang bertentang dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka

siapapun pihak yang bertindak atas nama koperasi atau merupakan directing mind

dari perbuatan pidana tersebut maka ia dapat bertanggung jawab atas perbuatan

tindak pidana yang dilakukannya tersebut. Dalam sistem pertanggungjawaban pidana

korporasi terdapat salah satu sistem di mana apabila korporasi sebagai pembuat,

111

namun pengurus yang harus bertanggungjawab secara pidana. Sistem

pertanggungjawaban korporasi ini ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam

perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh

perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggungjawab untuk itu

menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi) tersebut. Secara perlahan-

lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang

memerintahkan.

Hal ini sejalan dengan teori identifikasi, bahwa pengurus sebagai directing

mind atau yang memberikan perintah atau orang yang menggerakkan suatu korporasi

dan bertindak atas nama korporasi maka perrtanggungjawaban pidananya dapat

dilakukan secara pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini dapat dilihat dalam

kasus-kasus yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa walaupun

pertanggungjawaban pidana yang digunakan adalah pertanggungjawaban pidana

korporasi, namun dalam pembebanan pertanggungjawabannya digunakan teori

identifikasi sehingga pengurus/ manajer yang merupakan directing mind dan bergerak

atas nama koperasi tersebutlah yang dianggap pantas untuk bertanggungjawab dalam

hal terjadinya tindak pidana perbankan tanpa ijin tersebut.

Adanya teori identifikasi digunakan dalam rangka memberikan jaminan

pertanggungjawaban koperasi terhadap korban kejahatan koperasi sehingga

diharapkan dapat memberikan dasar hukum bagi pembebanan pertanggungjawaban

pidana koperasi. Hal inilah yang kedepannya diharapkan dapat diformulasikan dalam

112

UU Perkoperasian di Indonesia, agar pertanggungjawaban pidana koperasi dapat

dipertegas dan membawa keadilan bagi korbannya.

Banyak orang mengatakan bahwa mengelola koperasi adalah lebih sulit

daripada mengelola seebah Perusahaan Terbatas.101 Hal ini diucapkan bukan tanpa

alasan, karena sebagaimana kita ketahui koperasi mempunyai ciri ganda yaitu

merupakan suatu organisasi ekonomi yang berwatak sosial sebagaimana dinyatakan

dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Disamping itu dengan adanya

kekuatan yang tidak terbatas yang berkumpul dalam rapat anggota, menjadikan

manajemen dari koperasi menjadi lebih rumit lagi. Ciri ganda ini tidak ditemukan

dalam Perseroan Terbatas/korporasi lainnya. Ewell Paul Roy, dari Agricultural

Economics and Agribusiness Louisiana State University mengatakan bahwa

manajemen dari koperasi itu melibatkan 4 unsur (perangkat) yaitu: anggota,

pengurus, manajer, dan karyawan.102 Khusus mengenai karyawan, mereka bertugas

sebagai penghubung antara manajemen dengan anggota pelanggan.

Keempat unsur dalam manajemen ini lah yang berpengaruh besar terhadap

kesuksesan suatu koperasi. Dan pihak yang paling andil dalam mengambil keputusan

dalam koperasi adalah pengurus serta manajer. Mengapa pengurus? Pengurus

koperasi mempunyai tugas dan tanggungjawab. Adapun tugas dan tanggungjawab ini

telah diatur dalam Pasal 29 s/d Pasal 37 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Leon

101 Drs. Hendrojogi,M.Sc, 2012, Koperasi: Asas-Asas, Teori, dan Praktik, Rajawali Pers, Jakarta,

Hal.133 102Ibid, Hal.135

113

Garayon dan Paul O.Mohn menyebutkan bahwa pengurus mempunyai fungsi idiil

(ideal function), dan karenanya pengurus mempunyai fungsi yang luas, yaitu103:

a. Berfungsi sebagai pusat mengambil keputusan tertinggi (Supreme

Decision Center Function)

Pengurus suatu organisasi biasanya mempunyai kekuasaan yang lebih

tinggi daripada yang lain. Masalah-masalah yang tidak bisa diputuskan

oleh bawahan maka akan ditarik dan diputuskan oleh atasan/pengurus.

Sekali sudah diputuskan oleh pengurus tertinggi, maka keputusan tersebut

akan dikembalikan ke bawahan untuk dijabarkan lebih lanjut dan

mengambil keputusan pada tingkatan yang lebih rendah.

Fungsi pengurus sebagai pusat pengambil keputusan yang tertinggi dapat

diwujudkan dalam bentuk: menentukan tujuan organisasi, merumuskan

kebijakan-kebijakan organisasi; menentukan rencana, sasaran serta

program-program dari organisasi; memilih manajer-manajer tingkat atas,

serta mengawasi tindakan-tindakannya.

b. Berfungsi sebagai pemberi nasihat (Advisory Function)

Bagi para manajer, meminta nasehat kepada pengurus adalah penting,

terutama dalam penjabaran dan penerapan kebijaksanaan operasional dari

kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dirumuskan oleh pengurus.

103Ibid, Hal.150

114

c. Berfungsi sebagai pengawas atau sebagai orang yang dapat dipercaya

(Trustee Function)

Yang dimaksud sebagai pengawas adalah bahwa pengurus merupakan

kepercayaan dari anggota untuk melindungi semua kekayaan organiasasi.

d. Berfungsi sebagai penjaga berkesinambungannya organisasi (Perpetuating

Function)

Agar organiasi tetap berlanjut maka pengurus di sini berperan untuk

mampu menyediakan adanya manajer yang cakap dalam organisasi, perlu

menyeleksi manajer yang efektif, memberikan pengarahan kepada para

manajer, mengusahakan adanya pengurus yang terdiri dari orang-orang

yang mampu mengarahkan kegiatan dari organisasi, serta mengikuti

perkembangan pasar.

e. Berfungsi sebagai symbol (Symbolic Function).

Pengurus sebagai symbol dari kekuatan, kepemimpinan dan sebagai

motivator bagi tercapainya tujuan organisasi. Karena berfungsi sebagai

symbol dari organisasi maka hendaknya langkah-langkah yang diambil

pengurus terhadap anggota maupun karyawan bersifat persuasif.

Meskipun pengurus mempunyai kekuasaan-kekuasaan seperti tersebut di atas,

tetapi dia atau mereka harus bertanggungjawab pribadi atas kerugian organisasi

bilamana hal tersebut disebabkan karena kelalaiannya. Hal lain di mana pengurus

secara hukum harus bertanggungjawab pribadi adalah dalam hal seperi:

115

penyalahgunaan uang organisasi, melalaikan tugas, melakukan tugasnya dengan tidak

hati-hati, dan sebagainya.

Manajer untuk koperasi diperkenalkan di Indonesia pada akhir 1970-an.

Tetapi sesungguhnya sebelum tahun tersebut, banyak koperasi yang dalam bidang

pengelolaan administrasi perkantorannya diserahkan kepada seorang manajer yang

lebih dikenal dengan istilah administrator.104 Dalam batasan yang diberikan oleh

Mary Parker Follet, dapat diartikan bahwa manajer itu mempunyai bawahan.105 Jadi

manajer mempunyai orang-orang di bawahnya untuk diarahkan dan dikendalikan

untuk mencapai tujuan. Pengurus bertanggungjawab penuh dan harus memahami

keinginan anggota-anggota dan merumuskannya dalam suatu kebijakan (policy).

Pengurus boleh menunjukkan ataupun memberikan pengarahan-pengarahan kegiatan,

akan tetapi pelaksanaan detailnya harus diserahkan kepada manajer, karena

penguruslah yang kemudian harus memberikan penilaian apakah seorang manajer itu

berhasil dalam operasinya atau tidak. Manajerlah yang bertanggungjawab atas

keberhasilan usaha-usaha dari koperasi yang bersangkutan. Hal-hal inilah yang tidak

jarang juga menempatkan manajer sebagai salah satu orang yang memiliki kewajiban

untuk bertanggungjawab secara pidana apabila ia melakukan kelalaian dan kesalahan

yang dapat merugikan koperasi dan anggotanya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Koperasi merupakan badan hukum

yang dapat dijadikan subyek hukum pidana. Terlepas dari pendapat pro dan kontra,

104 Drs.Hendrojogi, M.Sc., Op.Cit, Hal.160 105Ibid

116

berbagai perturan perundang-undangan di luar KUHP telah mengatur mengenai

pertanggungjawaban korporasi. Koperasi sebagai subyek hukum pidana, dapat

dibebankan pertanggungjawaban pidana baik itu pada koperasi yang melakukan

tindak pidana, maupun membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius

kepada koperasi, maka kemungkinan yang dapat terjadi adalah manusia pelakunya

(pengurus koperasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana, sedangkan

koperasinya bebas.

Berbeda dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian belum diatur lebih

lanjut mengenai ketentuan pertanggungjawaban pidana bagi pengurus koperasi yang

melakukan tindak pidana. Sehingga apabila suatu koperasi melakukan tindak pidana,

UU Perkoperasian hanya mampu untuk memberikan sanksi administrasi sesuai

dengan Pasal 47 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian yaitu berupa pencabutan ijin

dari koperasi tersebut namun tidak ada pemidanaan lebih lanjut yang diatur

mengenai pengurus koperasi yang melakukan tindak pidana sehingga apabila hanya

mengandalkan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian maka pengurus dapat

dibebaskan dari pertanggungjawaban pidananya.

Hal ini berbeda dengan kasus-kasus yang telah dibahas dalam sub bab

sebelumnya, di mana dalam kasus-kasus tersebut pertanggungjawaban pidana

koperasi dikenakan kepada perorangan/individu (pengurus/pimpinan) yang

memberikan perintah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo UU

No.10/1998 tentang Perbankan yaitu dengan memberikan sanksi pidana berupa denda

117

dan penjara. Sedangkan sanksi administrasi tidak diberikan kepada koperasi tersebut

sehingga hal ini memperlihatkan adanya konflik norma dalam UU Perbankan dan UU

Perkoperasian.

Disinilah peran Teori Harmonisasi Hukum dalam menyelesaikan kasus

konflik norma yang terjadi dalam UU Perkoperasian dan UU Perbankan. Berdasarkan

teori harmonisasi hukum, maka sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan

dapat dilhat dari harmonisasi vertikal dan harmonisasi horizontal. Apabila

menganalisis berdasarkan hamonisasi vertikal maka akan dilihat apakah UU

No.25/1992 tentang Perkoperasian dan bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan diatasnya seperti UUD 1945 dan KUHP. Sedangkan dalam harmonisasi

horizontal, UU No.25/1992 tentang Perkoperasian akan dibandingkan dengan

berbagai peraturan perundang-undangan yang setara dengan UU Perkoperasian.

Dalam Penjelasan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, sudah dijelaskan

bahwa UU ini dibentuk berdasarkan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (1) yang

menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar

atas asas kekeluargaan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 33 menyatakan bahwa

kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang dan

bangun perusahaan, hal tersebut sesuai dengan koperasi. Selain itu Pasal 33 UUD

1945 menempatkan koperasi baik dalam kedudukan sokuguru perekonomian nasional

maupun sebagai bagian integral tata perekonoman nasional. Dalam bagian

menimbang juga dijabarkan bahwa koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat

118

maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang

maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam tata

perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Hal inilah yang menunjukkan bahwa UU

Perkoperasian tidak bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 karena UU

Perkoperasian itu sendiri dibentuk mengingat Pasal 33 UUD 1945.

Begitu pula dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,

Undang-undang ini tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 atau peraturan yang ada

diatasnya. UU Perbankan dibentuk karena menimbang adanya upaya pembangunan

yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan

makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, UU Perbankan dibentuk

mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 UUD 1945 serta UU

No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian (saat ini sudah berubah menjadi UU

No.25/1995 tentang Perkoperasian).

Namun, secara harmonisasi horizontal, UU Perkoperasian dan UU Perbankan

masih terdapat konflik norma. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun

dalam UU Perbankan dibentuk karena mengingat UU Perkoperasian, namun

ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi apabila melakukan tindak

pidana khususnya tindak pidana perbankan terkait perijinan masih berbeda atau

disharmonisasi. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pemidanaan bagi pemimpin/

atau orang yang memberikan perintah pada koperasi dapat dikenakan pidana apabila

119

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin (Pasal 46 ayat (2)). Sedangkan dalam UU

Perkoperasian, tidak terdapat sanksi pidana bagi pimpinan (dalam hal ini adalah

pengurus) yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Pasal 47 UU No.25/1992

hanya memberikan sanksi administratif bagi koperasi yaitu berupa pembubaran

koperasi. Perbedaan ketentuan ini tentunya akan sangat berbahaya mengingat

maraknya kasus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin saat ini,

sedangkan masyarakat tentu saja menginginkan keadilan yang setinggi-tingginya.

Untuk mencari jawaban atas disharmonisasi peraturan perundang-undagan

tersebut, maka asas-asas/ prinsip-prinsip lex posteriori derograte legi priori

(peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan

perundangan-undangan yang terdahulu), dan lex specialis derograte legi generali

(peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan peraturan yang lebih umum)

dapat digunakan. Apabila kita melihat waktu dibentuknya peraturan perundang-

undangan, maka UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan berada diatas

UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Hal tersebut dikarenakan UU Perbankan yang

berlaku saat ini lebih baru dan lebih mengikuti perkembangan perekonomian saat ini

sehingga tidaklah salah apabila hakim menggunakan UU Perbankan dalam mengadili

kasus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin. Sedangkan

apabila menganalisis berdasarkan asas lex specialis derograte legi generali (peraturan

yang lebih khusus sifatnya mengalahkan peraturan yang lebih umum) maka akan

terlihat bahwa UU Perbankan akan lebih tepat digunakan dalam mengadili kasus

120

koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal tersebut dikarenakan

walaupun koperasi telah memiliki peraturannya yang mengkhusus, namun apabila

berkaitan dengan melakukan tindak pidana perbankan maka tidaklah salah apabila

melihat eksistensi dari UU Perbankan. Karena ketentuan pertanggungjawaban

koperasi apabila melakukan tindak pidana perbankan telah diatur dalam UU

Perbankan maka UU Perbankan tentunya dapat digunakan untuk mengadili koperasi

tersebut.

121

BAB IV

PIHAK-PIHAK KOPERASI YANG DAPAT

DIPERTANGGUNGJAWABKAN PIDANA DALAM

MELAKUKAN KEGIATAN PERBANKAN TANPA IJIN

4.1 Pihak-Pihak Koperasi Yang Dapat Dipertanggung-Jawabkan Pidana Dalam

Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin

Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab III, pengurus koperasi harus

bertanggungjawab apabila terjadi tindak pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa

ijin. Hal ini telah dikuatkan dengan menggunakan teori pertanggungjawaban pidana

korporasi yaitu Identification Theory, dimana berdasasrkan teori ini, pimpinan/

pengurus koperasi yang menggerakkan suatu koperasi adalah pihak yang

bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya atas nama koperasi. Hal ini

dikarenakan koperasi sebagai korporasi, maka dalam pertanggungjawaban pidananya

hanya manusia alamiah lah yang diakui sebagai subyek hukum.

Konsep White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih) juga menjadi alasan

pembenar dalam menentukan pihak yang dapat bertanggungjawab apabila koperasi

melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin. Hal tersebut dikarenakan kejahatan

kerah putih merupakan kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki

kehormatan/ berstatus sosial tinggi. White collar crime juga digambarkan sebagai

tindakan illegal yang mengarah pada hal-hal yang tidak tampak atau tipu muslihat,

122

untuk mengeruk keuntungan atau kekayaan dalam usaha atau bisnis. Terkait dengan

penelitian ini, dapat dilihat bahwa sama halnya dengan koperasi, Pengurus koperasi

sebagai pemimpin/ orang yang memberikan perintah dalam suatu koperasi dapat

dikatakan melakukan kejahatan kerah putih karena pengurus sebagai orang yang

memiliki jabatan tertinggi dalam koperasi dan dipandang terhormat oleh anggota-

anggotanya. Selain itu pengurus yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin

juga menempatkan pengurus yang terhormat tersebut untuk menggunakan tipu

muslihat mereka guna mendapatkan keuntungan dan kekayaan baik untuk

kepentingan koperasi maupun untuk pribadi.

Koperasi sebagai salah satu bentuk hukum suatu bank seperti yang tercantum

dalam Pasal 21 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, dapat pula

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Apabila bank sebagai suatu badan usaha

yang mempunyai kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bebagai

bentuknya, maka sudah tentu membutuhkan persyaratan dalam melaksanakan

kegiatan usahanya. Hal ini sangat penting untuk melindungi kepentingan masyarakat,

terutama terhadap nasabah penyimpan dan simpanannya.

Untuk itu, dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan telah

sedemikian rupa diatur mengenai perizinan untuk menjalankan kegiatan usahanya

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) yaitu:

Pasal 16 ayat (1):

Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai

123

Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia,

kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur

dengan undang-undang tersendiri.

Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) di atas terkandung arti bahwa kegiatan

menghimpun dana dari masyarakat oleh siapa pun pada dasarnya merupakan kegiatan

yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat

yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan

dengan itu dalam ayat ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah

memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat.

Kenyataannya dimasyarakat, terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga

melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau

semacam simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun,

atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga-lembaga tersebut tidak dicakup

sebagai usaha perbankan berdasarkan ayat ini. Kegiatan penghimpunan dan dari

masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut diatur dengan undang-

undang tersendiri.

Selain Pasal 16 ayat (1) dalam ketentuan Pasal 16 ayat (2) juga diatur mengenai

kewajiban suatu badan hukum untuk dapat melakukan kegiatan perbankan. Adapun

bunyi dari Pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 16 ayat (2):

124

Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-

kurangnya tentang:

a. Susunan organisasi dan kepengurusan;

b. Permodalan;

c. Kepemilikan;

d. Keahlian di bidang perbankan;

e. Kelayakan rencana kerja.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa dalam hal

memberikan izin usaha sebagai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank

Indonesia selain memerhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

ayat ini, juga wajib memerhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank, tingkat

kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan pembangunan

ekonomi nasional. Apabila dikaitkan dengan koperasi, pemenuhan persyaratan untuk

dapat memperoleh ijin ini akan sulit dicapai. Pasalnya, suatu koperasi dalam

pelaksanaanya tidak memiliki keahlian di bidang perbankan, hal ini dikarenakan

koperasi hanya bertujuan untuk membangun perekonomian masyarakat dengan

berdasarkan asas gotong royong dan kekeluargaan, berbeda halnya dengan Bank

Umum maupun Bank Perkreditan lainnya. Namun pada kenyataanya di masyarakat,

banyak koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin.

Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) disebutkan bahwa persyaratan dan tata cara

perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank

Indonesia. Sebagaimana halnya ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), maka

berhubungan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (3) dapat di

125

kemukakan bahwa pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia

memuat antara lain:

a. Persyaratan untuk menjadi pengurus bank antara lain menyangkut keahlian di

bidang perbankan dan konduite yang baik.

b. Larangan adanya hubungan keluarga di antara pengurus bank.

c. Modal disetor minimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan

Rakyat.

d. Batas maksimum kepemilikan dan kepengurusan.

e. Kelayakan rencana kerja

f. Batas waktu pemberian izin pendirian bank.106

Melalui ketantuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa

undang-undang perbankan menyebutkan bahwa setiap pihak yan melakukan kegatan

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu

memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari

Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari

masyarakat yang dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Begitu pula

dengan koperasi yang melakukan kegiatan perbankan, apabila tidak memenuhi ijin

dari pimpinan Bank Indonesia maka koperasi tidak diperbolehkan menghimpun dana

dari masyarakat luas yang bukan anggota. Selain itu, dalam undang-undangn

perkoperasian sendiri tidak diatur mengenai ijin untuk koperasi melakukan kegiatan

perbankan.

Dikaitkan dengan tindak pidana perbankan, perbuatan yang dikategorikan atau

diklasifikasikan sebagai tindak pidana perbankan terkait dengan perizinan ini adalah

106 Hermansyah, Op.Cit, Hal.26

126

setiap pihak (orang dan/atau suatu korporasi) yang mendirikan bank tetapi tidak

memenuhi syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan dalam UU

No.7/1992 jo UU No.10/1998 tentang Perbankan, pihak yang mendirikan bank akan

tetapi bank tersebut didirikan tidak berdasarkan atau tidak memenuhi syarat-syarat

atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang Perbankan mengenai

syarat pendirian suatu bank, maka pihak pendiri bank tersebut dapat dikatakan telah

melakukan tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan bank.

Pendirian bank yang tidak sesuai dengan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan

yang telah diatur secara tegas dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang

Perbankan atau dengan istilah lain dapat dikatakan sebagai bank gelap dapat

dikategorikan sebagai bentuk pertama tindak pidana perbankan menurut undang-

undang ini.

Ketentuan mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan bank gelap ini dapat

ditemukan dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan

yang menyatakan bahwa:

Pasal 46:

(3) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5

(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-

kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling

banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(4) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh

badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan,

atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan

baik terhadap mereka yang memberi perintah melakkan perbuatan itu atau

127

yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-

duanya.

Ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998

tentang Perbankan ini dapat digambarkan dengan skema sabagai berikut:

Gambar 2. Skema Ketentuan Pasal 46

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang diancam

dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) adalah setiap orang (orang

pada umumnya) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

(yang meliputi tabungan, deposito berjangka, giro, dan lain sebagainya) namun

dilakukan tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia atau dengan perkataan lain, dapat

dikatakan telah membuat suatu bank atau suatu badan yang berfungsi atau

Barang siapa

Pasal 55 KUHP

Korporasi

Badan usaha

berbadan hukum

maupun tidak

berbadan hukum

Menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk

simpanan

Tanpa izin usaha dari

pimpinan Bank Indonesia

128

menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun tidak

memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sehingga dikategorikan sebagai

bank gelap. Hal inilah yang terjadi pada Koperasi yang melakukan kegiatan

perbankan tanpa ijin. Koperasi menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah

sebagai sebuah bank namun tidak pernah memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank

Indonsia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap dan dapat dikenakan sanksi

pidana berdasarkan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.

Sayangnya, dalam Undang-Undang Perkoperasian sendiri belum ada ketentuan

mengenai tanggung jawab pidana bagi koperasi yang melakukan kegiatan perbankan

tanpa ijin.

Perlu diketahui pula bahwa perumusan Pasal 46 ini merupakan delik formil

dimana delik yang sudah dapat dipidana manakala telah memenuhi setiap unsur yang

ada dalam rumusan tanpa memperhatikan akibat yang muncul. Hal ini merupakan hal

yang wajar mengingat, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa tindak pidana

perbankan merupakan tindak pidana yang menimbulkan dampak sangat luas,

sistemik, dan menimbulkan dampak negatif yang sangat luar biasa. Hal ini

dikarenakan keamanan perekonomian di Indonesia akan dinilai lemah sehingga para

infestor akan merasa ragun serta takut untuk melakukan infestasi di Indonesia.

Padahal untuk dapat memajukan perekonomian bangsa, keamanan perekonomian ini

sangat penting untuk menarik minta para infestor sehingga tidak menutup

kemungkinan baik perusahaan besar maupun UMKM dapat dilirik oleh infestor asing

129

dan dapat berkembang dengan baik. Dengan demikian, perumusan delik formal ini

diharapkan tidak hanya mampu menanggulangi tindak pidana ini namun lebih

menitikberatkan kepada upaya pencegahan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, menurut Ewell Paul Roy dari

Agricultural Economics and Agribusiness Louisiana State University mengatakan

bahwa manajemen dari koperasi itu melibatkan 4 unsur (perangkat) yaitu: anggota,

pengurus, manajer, dan karyawan.107 Khusus mengenai karyawan, mereka bertugas

sebagai penghubung antara manajemen dengan anggota pelanggan.

Keempat unsur dalam manajemen ini lah yang berpengaruh besar terhadap

kesuksesan suatu koperasi. Dan pihak yang paling andil dalam mengambil keputusan

dalam koperasi adalah pengurus serta manajer. Mengapa pengurus? Pengurus

koperasi mempunyai tugas dan tanggungjawab. Adapun tugas dan tanggungjawab ini

telah diatur dalam Pasal 29 s/d Pasal 37 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian.

Meskipun pengurus mempunyai kekuasaan-kekuasaan tertentu, tetapi dia atau

mereka harus bertanggungjawab pribadi atas kerugian organisasi bilamana hal

tersebut disebabkan karena kelalaiannya. Hal lain di mana pengurus secara hukum

harus bertanggungjawab pribadi adalah dalam hal seperi: penyalahgunaan uang

organisasi, melalaikan tugas, melakukan tugasnya dengan tidak hati-hati, dan

sebagainya.

107Ibid, Hal.135

130

Ketentuan tentang tanggungjawab pengurus terhadap kerugian koperasi

seperti yang disebutkan di atas tertera dalam Pasal 34 UU No.25/1992 tentang

Perkoperasian yang menyatakan bahwa:

(1) Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri menanggung

kerugian yang diderita koperasi karena tindakan yang dilakukan

dengan kesengajaan atau kelalaiannya.

(2) Di samping penggantian kerugian tersebut, apabila tindakan itu

dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi

penuntut umum untuk melakukan penuntutan.

Sehingga dengan adanya ketentuan Pasal 34 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian

ini, seharusnya tidak ada lagi alasan pengurus dapat lari dari pertanggungjawaban

pidana. Apabila pengurus tersebut terbukti melakukan tindakan dengan kesengajaan

maka seharusnya pengurus dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman pidana. Namun

apabila kita melihat lebih jauh lagi, dalam UU Perkoperasian masih belum diatur

lebih jelas ketentuan pidana apabila pengurus atau yang memimpin suatu koperasi

dapat dipindana apabila melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Sehingga Hakim

saat ini hanya menggunakan Pasal 46 ayat (1) UU Perbankan dalam menyelesaikan

permasalahan tindak pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin oleh koperasi.

Pengurus koperasi ini juga tidak dapat begitu saja dikatakan telah melakukan

suatu tindak pidana perbankan tanpa ijin. Apabila dilihat berdasarkan rumusannya,

unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang atau sekelompok orang dapat

dikatakan telah melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin sebagaimana diatur

dalam Pasal 46 ayat (1) ini harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

131

a. Unsur barangsiapa

Secara sederhana pengertian unsur “barangsiapa” dapat diartikan dengan

setiap orang tanpa terkecuali. Namun demikian, harus diketahui dengan jelas

siapa yang dimaksud dengan “barangsiapa” dalam perumusan UU No.7/1992

jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal 1 UU No.7/1992 jo. UU

No.10/1998 tentang Perbankan tidak diatur secara tegas mengenai unsur

“barangsiapa” ini. Oleh sebab itu, untuk menjelaskan siapa yang sebenarnya

dimaksud dengan unsur “barangsiapa” dalam undang-undang ini akan

mengacu kepada Pasal 55 KUHP sebagai berikut:

Pasal 55 KUHP:

(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:

Ke-1 Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut

serta melakukan perbuatan;

Ke-2 Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman

atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau

keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan.

(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah

yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP tersebut diatas, dapat dilihat bahwa

yang dimaksud dengan barangsiapa dalam KUHP yang berlaku pula bagi

penerapan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan meliputi:

a) Pembuat (Dader)

132

Yang dimaksud dengan pembuat (dader) sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 55 KUHP adalah setiap oang yang sikap dan tindakannya memenuhi

semua unsur yang disebut atau terkandun dalam rumusan tindak pidana

(peraturan perundang-undangan pidana) dan orang ini adalah orang yang

melakukan tindak pidana tersebut atau dengan kata lain, orang ini adalah

orang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen

dari tindak pidana.108

Dalam kaitannya dengan tindak pidana perbankan, dapat dikategorikan

sebagai orang yang melakukan atau sebagai pembuat (dader) adalah

mereka yang mendirikan dan menjalankan suatu bank gelap yang

berfungsi atau menjalankan tugas selayaknya sebuah bank resmi namun

tidak memperoleh atau tidak mendapatkan izin dari Pimpinan Bank

Indonesia.

b) Yang menyuruh melakukan (Doenpleger)

Yang dimaksud dengan mereka yang menyuruh melakukan menurut

doktrin ilmu hukum pidana dinyatakan bahwa terdapat 2 (dua) subyek

hukum, yaitu mereka yang menyuruh melakukan dan mereka yang disuruh

melakukan. Dalam hal ini, yang dapat dimintai pertanggungjawaban

secara pidana adalah orang yang menyuruh melakukan bukan orang yang

disuruh melakukan. Orang yang disuruh melakukan tidak dapat

108 R. Soesilo, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, Hal. 73

133

dimintakan pertanggungjawaban secara pidana karena subyek yang tidak

dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. P.A.F. Lamitang

sebagaimana mengutip pernyataan Simons menyatakan bahwa untuk

adanya doenpleger orang yang dibuat melakukan (yang disuruh

melakukan atau manus ministra) haruslah memenuhi syarat sebagai

berikut:

1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah

seseorang (manusia)

2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu

merupakan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara

pidana seperti:

a. Apabila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya atau rusak

jiwanya (sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP);

b. Apabila ia berbuat karena daya paksa (sebagaimana diatur dalam

Pasal 48 KUHP);

c. Apabila ia melakukan tindak pidana atas perintah jabatan yang

tidak sah seperti dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP;

d. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana sama

sekali tidak mempunyai suatu dwaling atau kesalahpahaman

mengenai salah satu unsur tindak pidana yang bersangkutan;

e. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana sama

sekali tidak mempunyai unsur schuld (kesalahan) baik dolus dan

culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet

seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak

pidana yang bersangkutan;

f. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu

tidak memenuhi unsur-unsur oogmerk atau kesengajaan padahal

unsur tersebut telah disyaratkan di dalam rumusan undang-undang

mengenai tindak pidana yang bersangkutan;

g. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu

dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah, padahal

perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak

berwenang memberikan perintah semacam itu;

h. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu

tidak mempunyai hoedanigheid atau sifat tertentu seperti yang

134

disyaratkan oleh undang-undang yakni sebagai sifat yang harus

dimiliki pelakunya sendiri.109

c) Orang yang turut serta melakukan (Medepleger)

Dalam beberapa literatur hukum pidana, istilah medepeleger sering

pula dituangkan dalam istilah mededader. Pada dasarnya, terhadap kedua

istilah tersebut tidak dapat dibedakan secara prinsipil. Di dalam KUHP

sendiri, tidak ada suatu definisi yang menggambarkan hal ini. Namun

demikian, untuk menggambarkan hal ini, peneliti akan mengutip pendapat

dari Memorie van Toelichting Wetboek van Strafrecht, yang menyatakan

bahwa orang yang turut serta melakukan (mededader) merupakan orang

yang secara langsung telah ikut mengambil bagian di dalam pelaksanaan

suatu tindak pidana yang diancam dengan suatu hukuman oleh undang-

undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau

turut melakukan perbuatan-perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana

yang bersangkutan.110

Menurut P.A.F Lamintang dalam bukunya yang berjudul Hukum

Pidana Indonesia mengemukakan pendapat hoge Raad antara lain putusan

Hoge Raad tanggal 9 Januari 1914, N.J.1914, sebagai berikut:

Untuk adanya suatu mededader itu diisyaratkan bahwa setiap

pelaku mempunyai maksud yang diperlukan serta pengetahuan yang

109 P.A.F.Lamintang,1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, Hal. 610

110 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, Hal.52

135

disyaratkan. Untuk dapat menyatakan bersalah turut melakukan itu

haruslah diselidiki dan dibuktikan bahwa pengetahuan dan maksud

tersebut memang terdapat pada tiap peserta.111

Dalam kaitannya dengan tindak pidana perbankan sebagaimana diatur

dalam Pasal 46 di atas, ketentuan mengenai medepleger (orang yang turut

serta melakukan) dapat sangat luas jangkuannya. Dikatakan demikian

karena mulai dari pemegang saham, direksi atau organ yang melakukan

atau menjalankan usaha bank gelap serta pihak-pihak lainnya yang terlibat

dalam pendirian dan pengelolaan atau pengurus suatu bank gelap yang

seolah-olah adalah bank resmi dapat dikualifikasikan sebagai orang yang

turut serta melakuka tindak pidana sebagaimana tercakup dalam rumusan

unsur “barangsiapa” dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang

Perbankan. Sedangkan dalam koperasi yang melakukan kegiatan

perbankan tanpa ijin ini, orang yang turut serta melakukan dapat ditujukan

kepada pengurus dan manajer koperasi. Hal ini dilakukan karena kedua

pihak ini merupakan pengelola dari koperasi, sehingga mereka

bertanggungjawab apabila koperasinya melakukan kegiatan perbankan

tanpa ijin.

d) Penganjuran (Uitlokker)

Menurut Jan Remmelink dalam kontruksi hukum utilokker terdapat

4 (empat) syarat yang dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

111 P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,

Hal. 40

136

1) Harus ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain

melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang.

2) Perbuatan menggerakkan orang lain ini dilakukan dengan

sarana-sarana sebagaimana ditetapkan secara tegas oleh undang-

undang.

3) Keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus

dibangkitkan.

4) Orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi) mewujudkan

rencana yang ditanamkan oleh pembujuk atau penggerak untuk

melakukan tindak pidana atau setidak-tidaknya melakukan

percobaan ke arah itu.

5) Orang yang terbujuk niscaya harus dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana.112

Dikaitkan dengan tindak pidana perbankan, sama halnya dengan

medepleger, ketentuan mengenai uitlokker (penganjuran) dapat sangat

luas jangkauannya. Dikatakan demikian dikarenakan penganjuran dapat

menganjurkan orang lain (siapa pun) untuk mendirikan atau menjalankan

bank seolah-olah sebagai suatu bank resmi. Dalam hal ini, perlu pula

dikemukakan bahwa baik orang yang menganjurkan ataupun orang yang

dianjurkan akan dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.

b. Unsur menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

Perbuatan orang sebagaimana dimaksud dalam unsur “barangsiapa”

di atas haruslah berupa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan. Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan dapat dilihat dalam definisi mengenai bank sebagaimana diatur

112 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.328

137

dalam Pasal 1 angka 2 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang

Perbankan yang menyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yan

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-

bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Berdasarkan definsi di atas dapat dilihat bahwa kegiatan

menghimpun dana dari masyarakat mempunyai tugas dan fungsi bank

yang utama dan mempunyai tujuan yang mulia, yaitu meningkatkan taraf

hidup rakyat banyak atau mensejahterakan masyarakat. Sama halnya

dengan koperasi, ia memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu untuk

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak atau mensejaterakan masyarakat,

namun lebih mengedepankan asas kekeluargaan dan gotong royong serta

penghimpunan dana tersebut tidak dilakukan kepada masyarakat luas

tetapi hanya kepada anggota koperasi.

c. Unsur tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia

Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan izin pimpinan Bank

Indonesia, pembahasan tidak akan mengacu kepada UU No.7/1992 jo.

UU No.10/1998 tentang Perbankan melainkan akan mengacu kepada UU

No.3/2004 jo. UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Hal ini dilakukan

karena dalam Pasal 1 angka 20 dan angka 21 UU No.7/1992 jo. UU

No.10/1998 tentang Perbankan dikemukakan dengan tegas bahwa Bank

138

Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang yang berlaku dan pimpinan Bank

Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang

yang berlaku. Perkataan “sebagaimana dimaksud dalam undang-undang

yang berlaku” akan mengacu kepada UU No.3/2004 jo. UU No.23/1999

tentang Bank Indonesia.

Perlu dikemukakan bahwa unsur “tanpa izin pimpinan Bank

Indonesia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 UU Perbankan ini

sangat berkaitan dengan tugas dan fungsi dari Bank Indonesia sebagai

bank sentral. Secara umum, tugas Bank Indonesia tersebut diatas

dikelompokkan kembali mejadi 4 (empat) bidang tugas, yaitu bidang

moneter, bidang pengawasan, bidang sistem permbayaran, bidang operasi

internal.113 Dalam kaitannya menjelaskan unsur izin pimpinan Bank

Indonesia, peneliti hanya akan menjelaskan tugas Bank Indonesia dalam

hal pengawasan yaitu dalam hal mengatur dan mengawasi bank yang

diatur secara tegas dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 35 UU Bank

Indonesia. Namun dalam penelitian mengenai pengaturan

pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan

perbankan tanpa ijin maka Pasal yang akan dibahas hanya Pasal 24, Pasal

26, Pasal 33, dan Pasal 34.

113 Suarpika Bimantaro dan Syahrul Bahroen, 2003, Organisasi Bank Indonesia, Pusat Pendidikan

dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Jakarta, Hal.5

139

Untuk mencapai tujuan yaitu mencapai dan memelihara kestabilan

nilai rupiah, Bank Indonesia mempunyai tugas mengatur dan mengawasi

bank serta melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,

konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum

pemerintah di bidang perekonomian.

Dalam Pasal 24 UU Bank Indonesia, disebutkan bahwa Bank

Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas

kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan

pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Sedangkan dalam Pasal 26 menyatakan:

Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 24, Bank Indonesia berhak:

a. Memberikan dan mencabut izin usaha Bank;

b. Memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor

Bank;

c. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank;

d. Memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-

kegiatan usaha terentu.

Pasal 33

Dalam hal keadaaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia

membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau

membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang

membahayakan perekonomian nasional, Bank Indoenesia dapat melakukan

tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan

yang berlaku.

Pasal 34

(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan

sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-

undang.

140

(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Adapun berdasarkan Pasal 34, dapat kita lihat adanya lembaga

pengawasan sektor jasa keuangan yang independen untuk melakukan kegiatan

pengawasan. Lembaga tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam

siaran pers bersama OJK, menganai nota kesepahaman Otoritas Jasa

Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Koperasi dan UKM

tentang Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga

Keuangan Mikro114, OJK telah menyepakati Nota Kesepahaman dengan

Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Koperasi dan UKM tentang

Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga Keuangan

Mikro (LKM) mengenai tindak lanjut dari Pasal 28 UU LKM yang

menegaskan bahwa:

1. Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh

Otoritas Jasa Keuangan;

2. Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan Kementerian

yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerian Dalam

Negeri;

3. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

114Otoritas Jasa Keuangan, 2014, Siaran Pers Bersana: Nota Kesepahaman Otoritas Jasa

Keuangan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koperasi dan UKM tentang Koordinasi

Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga Keuangan Mikro, tersedia di website

http://www.ojk.go.id/siaran-pers-bersama-nota-kesepahaman-otoritas-jasa-keuangan-kementerian-

dalam-negeri-dan-kementerian-dalam-negeri-dan-kementerian-koperasi-dan-ukm-tentang-koordinasi-

pelaksanaan-uu-nomor-1-2003-mengenai-lembaga-keuangan-mikro, diakses pada tanggal 19 April

2015

141

4. Dalam hal pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas

Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan

LKM kepada pihak lain yang ditunjuk.

Dengan adanya Nota kesepahaman ini maka pada awal tahun 2015

OJK siap mengawasi keberadaan koperasi di Indonesia dalam menyikapi

masalah dan penyimpangan yang ada dalam lembaga koperasi di Indonesia.

Munculnya pengawasan koperasi oleh OJK ini bukan tanpa alasan. Hal ini

dikarenakan koperasi sebagai lembaga keuangan dewasa ini dalam praktiknya

tidak hanya melibatkan anggota tetapi juga pihak ketiga. Terjadi perubahan-

perubahan dalam operasional koperasi khususnya koperasi simpan pinjam

sehingga asetnya terus tumbuh dan bertambah. Bahkan di berbagai daerah di

Indonesia, banyak ditemui koperasi simpan pinjam yang memiliki aset

puluhan hingga raturan miliar rupiah. Dan merupakan hal yan biasa bagi KSP

tersebut memungut dana dari pihak ketiga kemudian menyalurkan kembali

kepada pihak ketiga sehingga sudah sepatutnya diawasi oleh OJK.

Adanya peran pengawasan oleh OJK terhadap koperasi

memperlihatkan bahwa pada kenyataannya, koperasi saat ini sudah tumbuh

layaknya seperti bank dan melakukan kegiatan perbankan. Koperasi tidak lagi

memiliki asas kekeluargaan sehingga tidak lagi memperoleh modal dari

anggota dan kemudian disalurkan kembali kepada anggota sendiri. Hal inilah

yang menimbulkan pernyataan bahwa koperasi saat ini melakukan kegiatan

perbankan tanpa ijin.

142

Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tidak jarang digunakan

dalam mengadili koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin

dikarenakan dalam Pasal 46 ayat (2) dimana dikemukakan secara tegas

bahwa:

Dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh

badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan

atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud

dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan

perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan

itu atau terhadap kedua-duanya.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa unsur-

unsur pidana yang diancamkan dalam Pasal 46 ayat (2) sama dengan unsur-

unsur dan pidana yang diancamkan dalam Pasal 46 ayat (1). Namun

perbedaanya hanya terletak pada subyek hukum yang melakukan tindak

pidana. Pada Pasal 46 ayat (1) subyek hukum yang melakukan tindak pidana

adalah orang perseorangan (manusia alamiah atau naturelijk person),

sedangkan dalam ketentuan Pasal 46 ayat (2) yang menjadi subyek hukum

adalah korporasi. Jadi dalam hal tindak pidana perbankan ini sudah mengakui

korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak

pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.

Sesungguhnya penggunaan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU

No.10/1998 tentang Perbankan terhadap pertanggungjawaban pidana koperasi

yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin sudah tepat. Hal ini

dikarenakan adanya teori hukum progresif, dimana dikarenakan adanya

143

hambatan pada hukum tertulis saat ini yang tidak dapat mengikuti

perkembangan yang terjadi di kehidupan masyarakat karena hukum tertulis

bersifat kaku sedangkan perkembangan dalam masyarakat terjadi sangat

cepat, maka peran hakim untuk mengisi kekosongan hukum akibat

ketertinggalan hukum dari perubahan masyarakat sangatlah penting.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya oleh peneliti, gagasan hukum

progresif bertolak dari pandangan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu

ilmu, jadi hukum tidak hanya dianggap selesai setelah tersusun sebagai suatu

peraturan perundang-undangan dengan kalimat-kalimat yang sangat rapi dan

sistematis, namun hukum harus selalu mengalami proses pemaknaan sebagai

sebuah pendewasaan atau pematangan.

Dalam konsep pengaturan pertanggungjawaban pidana koperasi yang

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin ini, UU Perbankan menganggap

koperasi sebagai salah satu subyek hukum. Hal ini dapat kita lihat dalam

penjabaran Pasal 46 ayat (2) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998, dimana

koperasi sebagai salah satu badan hukum apabila melakukan kegiatan

perbankan tanpa ijin, maka baik mereka yang memberi perintah melakukan

perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau

terhadap kedua-duanya. Hakim dalam mengambil keputusannya

menggunakan Pasal 46 dalam memberikan pertanggungjawaban pidana

144

koperasi dalam melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin karena adanya

inisiasi rule breaking.

Teori Hukum Progresif merupakan suatu proses penemuan hukum. UU

No.25/1992 tentang Perkoperasian yang dianggap sebagai peraturan khusus

mengenai koperasi tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai

pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan perbankan

tanpa ijin. Sanksi yang diberikan dalam UU Perkoperasian pun hanyalah

sanksi administrasi sehingga tidak memberikan rasa aman dan keadilan bagi

masyarakat yang resah karena koperasi saat ini dapat melakukan tindak pidana

yang dapat merugikan perekonomian masyarakat dan negara.

Hakim melalui teori hukum progresif melihat peraturan dalam UU

Perbankan dapat memberikan keamanan untuk sementara bagi masyarakat

sampai nanti dibentukannya peraturan perundang-undangan khusus mengenai

perkoperasian yang baru sehingga keadilan dapat diberikan tidak hanya bagi

pihak korban melainkan juga bagi pelaku tindak pidana itu sendiri yaitu dalam

kasus ini adalah koperasi.

Hukum tertulis yang tidak dapat senantiasa mengikuti perkembangan

yang terjadi di kehidupan masyarakat membuat pentingnya peran hakim untuk

mengisi kekosongan hukum akibat ketertinggalan hukum dari perubahan

masyarakat. Dalam UU Perkoperasian saat ini, belum dikenal adanya koperasi

yang dapat melakukan suatu tindak pidana sehingga dalam pengaturannya

145

tidak ada ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana apabila koperasi

melakukan suatu tindak pidana. Jadi tidaklah salah bagi hakim apabila

menggunakan UU Perbankan sebagai acuan untuk memberikan pidana bagi

pengurus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.

4.2 Formulasi Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Yang

Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin

Seperti yang dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, koperasi saat ini

dapat melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Namun dalam kenyataannya,

perlindungan masyarakat terhadap kemungkinan mereka ikut dalam kegiatan

koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin ini belum berjalan

maksimal. Hal ini terjadi karena belum adanya ketentuan pertanggungjawaban

pidana koperasi apabila melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin secara jelas.

Apabila meninjau peraturan perundang-undangan terkait dengan

perkoperasian, maka sanksi yang dapat diberikan kepada koperasi sebagai bentuk

pertanggungjawabannya hanya lah berupa sanksi administratif. Sedangkan sanksi

pidana masih belum diatur dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian.

Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam proses

pembentukan suatu norma atau suatu produk hukum atau suatu peraturan

perundang-undangan dalam rangka mencegah, menanggulangi, dan memberantas

suatu tindak pidana adalah orientas dan tujuan yang hendak dicapai dari produk

146

hukum atau suatu peraturan perundang-undangan itu sendiri. Intinya, dalam

proses pembentukan suaut produk hukum yang dalam hal ini adalah peraturan

perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan, khususnya

peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai

pertanggungjawaban pidana koperasi serta segala sesuatu yang berkaitan atau

mempengaruhi penegakan hukum (law enforcement) pertanggungjawaban pidana

koperasi, harus dapat diakomodasi atau setidaknya dipertimbangkan dalam

proses pembentukan perturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Hal ini penting untuk diperhatikan karena sebuat produk hukum yang

dapat dijalankan tentu merupakan sebuah produk hukum yang memiliki sebuah

tujuan utama atau orientasi yang hendak dicapai, yang pada dasarnya tidak dapat

dilepaskan baik dari ideologi nasional (Pancasila dan UUD RI 1945), kondisi

manusia atau masyarakat dalam negara, kebutuhan masyarakat, budaya dan

tradisi bangsa, kesadaran hukum masyarakat atau integritas dari aparatur penegak

hukum, maupun dari perkembangan masyarakat internasional atau dunia

internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. Oleh sebab itu, proses

pembentukan suatu produk hukum atau suatu peraturan perundang-undangan

harus memerhatikan asas-asas hukum atau nilai-nilai hukum yang akan sangat

berpengaruh terhadap produk hukum yang akan dilahirkan. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa asas-asas hukum atau nilai-nilai hukum merupakan jiwa

atau roh dari sebuah produk hukum.

147

Indonesia sebagai negara hukum wajib melindungi seluruh

masyarakatnya dengan cara memberikan rasa aman dan perlindungan dari

ancaman baik yang berasal dari luar negara maupun dari dalam negara. Indonesia

yang menganut teori negara hukum tentu saja memandang bahwa pemerintahan

harus menjunjung tinggi supremasi hukum dan tidak berorientasi kepada

kekuasaan. Sehingga hukum akan ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam

penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum). Salah satu

syarat adanya negara hukum (rechtsstaat) adalah adanya asas legalitas, dimana

setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-

undangan (wetleijke grondslag). Suatu tindak pidana tidak dapat dipidana apabila

tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya terlebih dahulu.

Apabila dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini, koperasi

yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin tidak dapat dipidana dengan pasti

karena dalam UU Perkoperasian belum diatur secara jelas dan pasti mengenai

tindak pidana ini, sehingga koperasi dapat meloloskan diri dari

pertanggungjawabannya. Dengan menggunakan teori negara hukum sebagai

landasan untuk diperlukannya melakukan formulasi UU Perkoperasian yang

baru, peneliti mencoba menggali hal-hal apa saja yang diperlukan kedepannya

untuk dapat menegakkan keadilan terhadap koperasi yang melakukan kegiatan

perbankan tanpa ijin sehingga dapat mewujudkan Indonesia sebagai negara

hukum yang seutuhnya.

148

Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya,

pentingnya nilai-nilai dan asas-asas hukum dalam rangka pembentukan sebuah

produk hukum yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan dapat

dijabarkan ke dalam beberapa prinsip dasar sebagai berikut:

1. Asas-asas hukum merupakan tendensi-tendensi yang dituntut oleh

rasas susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan

kesusilaan kita, yang secara langsung dengan jelas menonjol;

2. Asas-asas mempunyai ungkapan-ungkapan yang sangat umum

sifatnya, yang bertumpu pada perasaan yang ada pada setiap orang;

3. Asas-asas hukum merupakan pikiran-pikiran yang memberi arah atau

pimpinan yang menjadi dasar pada tata hukum yang ada;

4. Asas-asas hukum dapat ditemukan dengan menunjukkan hal-hal yang

sama dari berbagai peraturan yang berjauh satu sama lain;

5. Asas-asas hukum merupakan suatu sesuatu yang ditaati oleh orang-

orang, apabila mereka ikut bekerja dalam merumuskan dan

mewujudkan undang-undang.

6. Asas-asas hukum dipositifkan, baik dalam bentuk peraturan

perundang-undangan maupun yurisprudensi;

7. Asas-asas hukum tidak bersifat transendental atau melampui alam

kenyataan yang dapat disaksikan oleh pancaindera;

8. Artikulasi dan penjabaran-penjabaran hukum bergantung pada kondisi-

kondisi sosial sehingga bersifat open ended, multi interpretable,

gesellschaftsgebunden, dan bukannya bersifat absolut seperti

pandangan yuridis yang tradisional;

9. Asas-asas hukum berkedudukan relatif otonom dan melandasi fungsi

pengendalian masyarakat, penyelenggaraan ketertiban, dan

penanggulangan kejahatan atau tindak pidana;

10. Asas-asas hukum merupakan legetimasi dalam prosedur pembentukan,

penemuan dan pelaksanaan hukum.

11. Asas-asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan

pejabat-pejabat resmi (penguasa) sehingga bukan merupakan suatu

keharusan untuk menganutnya dalam hukum positif.115

115 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan

Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.88-90

149

Penjelasan tersebut di atas mengemukakan bahwa nilai-nilai atau asas-

asas hukum mempunyai kedudukan dan fungsi yang fundamental dari sistem

hukum yang berlaku pada suatu Negara, baik saat ini maupun di masa yang akan

datang. Di sisi lain, nilai-nilai atau asas-asas hukum tersebut sekaligus berfungsi

sebagai alat atau instrumen penguji krisis terhadap sistem hukum yang berlaku

saat ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai atau asas-asas hukum ini akan

menjadi dasar dari sistem hukum yang berlaku sekaligus alat atau instrumen

penguji kritis terhadap sistem hukum yang berlaku itu.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, selain berfungsi sebagai alat atau

instrumen penguji kritis terhadap sistem hukum yang berlaku saat ini, nilai-nilai

atau asas-asas hukum juga berfungsi untuk menguji kritis, apakah suatu produk

hukum atau suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan hukum yang

telah dibuat itu sesuai dengan nilai-nlai atau asas-asas hukum, atau justru

bertentangan dengan nilai-nilai atau asas-asas hukum yang mendasarinya.

Apabila suatu produk hukum atau suatu peraturan peraturan perundang-undangan

atau keputusan hukum yang telah dibuat bertetangan dengan nilai-nilai atau asas-

asas hukum yang mendasarinya, maka produk hukum atau suatu peraturan

perundang-undangan atau keputusan hukum tersebut ditinjau ulang bahkan

dicabut atau dinyatakan tidak berlaku atau dirumuskan kembali (reformulasi)

dengan penyesuaian asas-asas hukum atau nilai-nilai hukum atau orientasi yang

hendak dicapai.

150

Peneliti beranggapan bahwa sebelum melakukan pengaturan mengenai

pertanggungjawaban pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan

tanpa ijin dalam sistem hukum atau peraturan perundang-undangan di Indonesia,

harus diperhatikan terlebih dahulu nilai-nilai atau asas-asas hukum yang

mendasarinya dan tujuan yang ingin dicapai dari pengaturan mengenai

pertanggungjawaban pidana koperasi itu sendiri. Apabila proses pembentukan

peraturan perundang-undangan ini sudah dilaksanakan, maka ketentuan atau

produk hukum tersebut dapat diimplementasikan atau dilaksanakan dengan baik

tanpa adanya tumpang tindih atau perumusan yang kabur, sehingga akan

menimbulkan ketidakpastian hukum dan hambatan-hambatan dalam

pelaksanaanya (hambatan-hambatan dalam tahap aplikasi dan eksekusinya).

Hukum pidana di era modern ini tidak hanya berfungsi sebagai pelindung

nilai-nilai moral semata tetapi juga cenderung berfungsi sebagai sarana atau alat

untuk meningkatkan atau mencapai kesejahteraan sosial atau kesejahteraan

masyarakat (social welfare), serta memberikan keamanan atau perlindungan bagi

setiap warga masyarakatnya (social defence). Terkait dengan hal ini, Barda

Nawawi Arief menyatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik

kriminal (criminal policy) adalah memberikan perlindungan masyarakat (social

defence) dan mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).116

116 Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Pranada Media Grup, Jakarta, Hal,4

151

Demikian pula dengan Muladi, menyatakan keadaan seperti itu dengan

kalimat “sarana untuk meningkatkan rasa tanggungjawab pemerintah dalam

rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya”117. Senada dengan hal

tersebut, Sjachran Basah juga menyatakan bahwa:

Fungsi hukum secara klasik perlu ditambah dengan fungsi-fungsi

lainnya yakni untuk menciptakan hukum yang berfungsi sebagai sarana

pembaruan masyarakat. Oleh karena itu, hukum tidak harus dipandang

sebagai kaidah semata-mata, tetapi juga harus dipandang sebagai sarana

pembangunan dengan tujuan untuk mencapai tujuan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di lain pihak, hukum sebagai

sarana pembaruan masyarakat dapat diartikan bahwa hukum harus

mampu memberi motivasi cara berpikir masyarakat ke arah yang lebih

maju (progresif), dengan demikian, hukum tidak terpaku kepada

pemikiran yang konservatif dengan tetap memerhatikan faktor-faktor

sosiologis, antropologis, dan kebudayaan masyarakat.118

Jadi dalam mencegah dan memberantas suatu tindak pidana, pada

dasarnya dapat ditempuh melalui kebijakan kriminal (criminal policy) yang

terdiri dari dua bagian besar, yaitu kebijakan hukum pidana yang dirumuskan

dalam sebuah peraturan perundang-undangan atau dirumuskan secara penal yang

dikenal pula dengan istilah penal policy dan kebijakan hukum pidana yang tidak

dirumuskan secara penal atau perundang-undangan yang disebut dengan istilah

non penal policy. Proses perumusan peraturan perundang-undangan mengenai

pertanggungjawaban pidana koperasi ini sudah tentu merupakan proses atau

117 Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah Pidato

Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang, Hal.148

118 S.F.Marbun, Deno Kamelus, Saut P.Panjaitan, dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran

Hukum Administrasi Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hal.184-185

152

sebuah contoh kebijakan hukum pidana yang dilakukan secara penal (penal

policy).

Charles O.Jones mendefinisikan atau mengartikan kebijakan (policy)

sebagai keputusan tetap yang ditandai dengan adanya konsistensi dan

pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang

memenuhi keputusan tersebut.119 Sementara itu menurut Barda Nawawi Arief,

kebijakan (policy) berasal dari kata “politic”, “politics” dan “policy” (Inggris)

atau “politiek” (Belanda). Sedangkan politik itu sendiri berarti “acting of judging

wisely, prudent”120.

Selain itu, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa kebijakan hukum

pidana atau politik hukum pidana (criminal policy) tersebut dapat dilakukan

dengan dua cara, yakni dengan menggunakan sarana penal dan sarana nonpenal.

Barda mengutip pernyataan dari Marc Ancel yang menyatakan bahwa:

“.........Modern criminal science has in fact three essential components;

criminology, which studies the phenomenon of crime in all its aspects;

criminal law, which is the explantion and application of the positive rule

whereby society reacts against the phenomenon of crime; finally, penal

policy, both of science and an art, of which the better formulated and to

guide not only the lesgilator who has to draft criminal statutes, but the

court by which they are applied and the prison administration which

gaves practical effect to the court’s decision”121

119 Charles O.Jones, 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Grafindo, Jakarta, Hal.74

120 William N.Dunn (Penyadur: Muhadjir Darwin), 2000, Analisa Kebijakan Publik, PT.

Hadindita Graha Widia, Yogyakarta, Hal.10

121 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, Hal.VI

153

Apabila diterjemahkan maka dapat diartikan sebagai berikut: ilmu hukum

pidana modern pada kenyataanya terdiri dari tiga komponen penting: kriminologi

sebagai ilmu yang mempelajari fenomena tentang kejahatan dari segala

aspeknya; ilmu hukum pidana yang merupakan penjelasan dan penerapan dari

aturan positif di mana masyarakat bereaksi terhadap fenomena kejahatan yang

terjadi; dan akhirnya, kebijakan penal yang merupakan ilmu pengetahuan dan

sekaligus seni, yang digunakan untuk tujuan praktis dan pada akhirnya adalah

untuk memungkinkan aturan positif menjadi aturan yang dirumuskan secara

lebih baik dan tidak hanya membimbing legislator yang harus menyusun undang-

undang pidana, tetapi juga pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga

para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

Dapat dilihat bahwa Marc Ancel berpendapat penal policy adalah suatu

ilmu sekaligus seni yang pada hakikatnya mempunyai tujuan praktis untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

memberi pedoman tidak hanya kepada para pembentuk undang-undang dan juga

para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Dengan demikian,

menurut peneliti, hal yang penting untuk diperhatikan terkait dengan pembahasan

pada bagian ini adalah dengan penal policy atau kebijakan penal. Penal policy

atau kebijakan penal mempunyai tujuan yang sangat jelas yakni membentuk

suatu peraturan hukum positif yang lebih baik dari sebelumnya dan memberi

pedoman, arah, patokan, panduan atau ukuran, bak bagi para pembentuk undang-

154

undang maupun bagi pengadilan dan pelaksana putusan pengadilan atau dengan

kata lain, kebijakan penal ini akan berlaku bagi seluruh aparatur penegak hukum

di mana seluruh aparatur penegak hukum diharapkan dapat menerapkan hukum

secara tepat dan akurat.

Berkaitan dengan pengaturan pertanggungjawaban pidana koperasi dalam

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin dalam sistem hukum Indonesia dan

positif di Indonesia, sudah tentu yang menjadi pertanyaan dasar adalah, apakah

pertanggungjawaban pidana koperasi dalam mencegah dan memberantas

kegiatan perbankan yang dilakukan tanpa ijin oleh koperasi perlu diatur? Bentuk

formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi seperti apa yang sepatutnya

dilakukan untuk memperbaharui hukum pidana Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang tidaklah mudah. Namun

mengingat adanya kekosongan norma dalam UU Perkoperasian saat ini

mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan

perbankan tanpa ijin sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dan konflik

norma mengenai ketidaksesuaian sanksi yang diberikan kepada koperasi yang

melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketertiban umum (dalam hal ini

adalah tindak pidana perbankan tanpa ijin), di mana dalam UU No.25/1992

tentang Perkoperasian dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang

Perbankan dimana sanksi dalam UU Pekoperasian hanya memberikan sanksi

administratif bagi koperasi sedangkan dalam UU Perbankan, koperasi dipandang

155

sebagai badan hukum/korporasi yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara

pidana dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 46 UU

No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yaitu sanksi pidana penjara

dan sanksi pidana berupa denda. Sehingga dalam hal ini peneliti akan membahas

formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi seperti apa yang seyogyanya

harus dilakukan untuk memperbaharui hukum pidana Indonesia.

Adapun pembaharuan hukum pidana (penal reform) itu sendiri pada

hakikatnya dapat diartikan sebagai suatu upaya atau proses untuk melakukan

reorientasi dan reformulasi hukum pidana yan sesuai dengan nilai-nilai sentral

sosiopolitis, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang

melandasi kebijakan sosial (social policy), kebijakan kriminal (criminal policy),

dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) di Indonesia.122

Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan hukum pidana, tepatnya

termasuk pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi

dilatarbelakangi beberapa faktor, yaitu antara lain karena hukum pidana yang ada

saat ini berlaku tidak lengkap atau tidak dapat menampung berbagai masalah dan

dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru yang dapat dilakukan

oleh koperasi; karena hukum pidana yang berlaku saat ini kurang dan bahkan

tidak sesuai dengan nilai-nilai sosipolitis, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang

hidup di dalam masyarakat; karena hukum pidana yang berlaku saat ini kurang

122 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, Hal.7

156

atau tidak sesuai dengan perkembangan pemikiran dan aspirasi tuntuan

kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan masyarakat nasional maupun kebutuhan

masyarakat internasional dan hukum pidana yang berlaku saat ini berlaku bukan

merupakan sistem hukum pidana yang utuh karena masih banyak terdapat pasal-

pasal yang bertentangan satu dengan yang lainnya.

Kebijakan hukum pidana dapat dilaksanakan melalui beberapa tahapan

yaiu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)

dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif atau kebijakan administratif). Berkaian

dengan tahapan-tahapan tersebut, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa:

Pembagian kewenangan itu didasarkan pada adanya tiga tahap

konkretisasi atau fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana

dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana. Pertama, tahap penetapan atau

perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang (tahap kebijakan

formulatif atau legislatif). Kedua, tahap penerapan hukum pidana oleh

aparat penegak hukum atau pengadilan (tahap kebijakan aplikatif atau

yudikatif atau yudisial). Dan ketiga, tahap pelaksanaan pidana oleh aparat

pelaksana atau eksekusi pidana (tahap kebijakan eksekutif atau

administratif.123

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa tahap formulasi adalah tahap

penetapan atau perumusan hukum pidana oleh lembaga legislatif atau para

pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto

oleh badan pembuat undang-undang. Tahap aplikasi adalah tahap penerapan

hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan

123 Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, PT. Citra Adiya Bhakti, Bandung, Hal.137

157

sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah tahap pelaksana pidana

oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana.

Tahap formulasi pada dasarnya merupakan tahap yang paling penting

karena tahap ini akan menentukan produk hukum yang telah dibuat dapat

ditegakkan (enforceable) atau tidak. Barda juga menyatakan bahwa dari ketiga

tahapan tesebut di atas, tahap formulasi merupakan tahapan yang paling strategis

dalam upaya pencegahan dan penanggulangan atau pemberantasan tindak pidana

melalui kebijakan hukum pidana (penal policy). Sebaliknya, kesalahan atau

kelemahan kebijakan lembaga legislatif dalam merumuskan dan menyusun

undang-undang merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi kendala atau

penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan suatu tindak pidana pada

tahap aplikasi dan eksekusi.124

Jadi menurut peneliti, lemahnya penegakan hukum dan carut marut

penegakan hukum di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh lemahnya integritas

dari aparat penegak hukum, melainkan dipengaruhi pula oleh formulasi peraturan

perundang-undangan yang ada. Dengan kata lain, kesalahan atau kelemahan

kebijakan lembaga legislatif dalam merumuskan dan menyusun undang-undang

merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam rangka membenahi

penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia.

124 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro

(UNDIP), Semarang, Hal.30

158

Dalam memformulasikan pertanggungjawaban pidana koperasi di masa

yang akan datang, yakni dalam rangka pembaharuan hukum pidana (penal

reform), peneliti mengidentifikasikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pengertian atau definisi Koperasi

Formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang

harus mengatur secara konsisten dan tegas definisi dari koperasi, dimana yang

dimaksud dengan koperasi adalah

2. Subjek Hukum

Formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang

harus mengatur secara tegas bahwa koperasi merupakan subyek hukum

pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana (tidak hanya koperasi saja

tetapi juga pengurusnya)

3. Dasar Pemidanaan Koperasi

Menurut peneliti, dalam dasar pemidanaan koperasi, formulasi

pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang harus

mengatur secara tegas mengenai dasar pemidanaan suatu koperasi. Dasar

pemidanaan koperasi dalam hal ini diatur secara tegas mengenai teori-teori

yang membenarkan pertanggungjawaban pidana koperasi (dalam hal ini

koperasi dapat dimasukkan ke dalam korpoasi) yakni: identification theory

atau direct liability, serta vicarious liability, sebagaimana telah dijelaskan

dalam Bab III.

159

4. Klasifikasi Perbuatan Sebagai Tindak Pidana Koperasi dalam Melakukan

Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin

Hal ini perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan

nasional mengenai klasifikasi perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh

koperasi. Adapun klasifikasi tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin

apabila:

a. Tindak pidana dilakukan oleh personel pengendali koperasi (sebagai

directing mind);

b. Tindak pidana dilakukan karena perintah personel pengendali koperasi

(adanya pendelegasian);

c. Tindak pidana dilakukan oleh agen atau organ atas nama koperasi;

d. Tindak pidana dilakukan dalam lingkup pekerjaan;

e. Tindak pidana dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan

koperasi;

f. Tindak pidana dilakukan melalui agen yang berhubungan erat dengan

koperasi;

g. Tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku

atau pemberi perintah;

160

h. Tindak pidana yang dilakukan oleh sekumpulan orang secara kolektif

(karena telah dijelaskan sebelumnya dalam pertanggungjawaban pidana,

koperasi dipandang sebagai korporasi);

i. Koperasi tidak membentuk sebuah sistem, prosedur, disiplin internal

atau pengawasan dan budaya yang terdapat dalam koperasi yang

mencegah dan menindak tindak pidana;

j. Tindak pidana dilakukan dengan maksud memberikan manfaat atau

keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi koperasi.

5. Jenis Sanksi Terhadap Koperasi

Mengingat bahwa jenis sanksi yang diancamkan terhadap koperasi dalam

perturan perundang-undangan nasional saat ini masih banyak dirumuskan

secara tidak tegas, maka menurut peneliti perlu diatur alternatif sanksi yang

dapat dibebankan terhadap koperasi.

Adapun alternatif sanksi (baik pidana pokok maupun pidana tambahan) yang

dapat dijatuhkan terhadap koperasi antara lain sebagai berikut:

a. Sanksi denda (fine);

b. Pencabutan hak tertentu;

c. Perampasan aset koperasi;

d. Pengumuman putusan hakim;

e. Penyitaan barang dan perampasan keuntungan yang diperoleh secara

melawan hukum;

161

f. Pengawasan koperasi;

g. Peringatan;

h. Pengaturan sanksi administrartif.

Hal-hal tersebutlah yang sudah seharusnya diatur dalam Undang-Undang

Perkoperasian yang baru. Formulasi yang inovatif diperlukan dalam

memberantas koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Dengan

adanya formulasi yang baru, maka koperasi tidak akan lari lagi dari

keharusannya untuk bertanggungjawab secara pidana dan Indonesia sebagai

negara hukum tidak akan lagi diragukan atau dipertanyakan.

162

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

1. Pertanggungjawaban pidana koperasi bilamana terjadinya tindak pidana

perbankan terkait perijinan dalam UU Perkopeasian masih sebatas pemberian

sanksi administrasi, padahal sesungguhnya koperasi merupakan korporasi

sehingga bentuk pertanggungjawabannya pun seharusnya

pertanggungjawaban korporasi. Berbeda dengan yurisprudensi yang ada

dimana pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan koperasi saat ini

dibebankan kepada pengurus/ pimpinan koperasi yang memberikan perintah

sehingga pertanggungjawabannya hanya diberikan kepada pribadi masing-

masing.

2. Pihak-pihak yang bertanggungjawab bilama koperasi melakukan tindak

pidana perbankan tanpa ijin adalah pengurus/ manajer koperasi sebagai orang

yang memberikan perintah dan menggerakan koperasi. Menurut UU

No.25/1995 tentang Perkoperasian tidak dikenal pertanggungjawaban pidana,

yang dikenal hanyalah sanksi administratif. Hal ini menimbulkan konflik

norma dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang

mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi yang mana

seharusnya koperasi yang merupakan korporasi dapat

163

dipertanggungjawabankan pidana dan pihak koperasi yang

bertanggungjawab dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin tersebut

adalah pengurus koperasi/pimpinan yang memberikan perintah.

5.2 SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Agar hakim untuk saat ini tetap menggunakan UU Perbankan sebagai

landasan hukum dalam pemberian pidana bagi pihak-pihak koperasi yang

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal tersebut sesuai dengan asas lex

posteriori derograt legi priori di mana UU Perbankan lebih baru dibandingan

dengan UU Perkoperasian dan dirasa lebih mengikuti perkembangan yang

terjadi di masyarakat.

2. Agar pemerintah kedepannya dapat melakukan pembaharuan terhadap UU

Perkoperasian mengenai pihak-pihak yang dapat bertanggungjawab atas

tindak pidana perbankan terkait perijinan yang dilakukan oleh koperasi. Hal

ini diperlukan agar tidak terjadi disharmonisasi antara UU Perkoperasian

dengan UU Perbankan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi

sebagai korporasi, dalam dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Mahrus, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta

---------------, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Raja Grafindo Perkasa,

Jakarta

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT Sinar Grafika, Jakarta

Amiruddin, H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta

Arief Amrullah, M., 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering),

Bayumedia Publishing, Malang

Atmasasmita, Romli, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung

-------------------------, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media,

Jakarta

Badudu, J.S., 2009, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia,

Kompas, Jakarta

Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan

Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Adiya Bhakti, Bandung

-----------------------------, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta

-----------------------------, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana

(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Pranada

Media Grup, Jakarta

Budi Untung, H. 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit

Andi, Yogyakarta

--------------------, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta

Eric Colvin, 1995, Corporate Personality and Criminal Liability, Criminal Law

Forum

Fajar Mukti & Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil

Komunika, Yogyakarta

Finch, Emily and Stefan Fafinski, 2011, Criminal Law, Pearson Education, England

Firdaus, Muhammad dan Agus Edhi Susanto, 2004, Perkoperasian Sejarah, Teori

dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta

Geary, Roger, 2002, Understanding Criminal Law, Cavendish Publishing Limited,

Oregon, USA

Hamzah, Andi, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia

Indonesia, Jakarta

Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana

(Strick Liability dan Vicarious Liability), PT RajaGrafindo Persada,

Jakarta

Hasan Wargakusumah, Moh., dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang

Metodelogi Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional,

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta

Hasbullah F. Sjawie, 2013, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung

Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana,

Jakarta

Hendrojogi, 2012, Koperasi: Asas-Asas, Teori, dan Praktik, Rajawali Pers, Jakarta

Huda, Chairul, 2006, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Kencana Prenada Media

Group, Jakarta

Irianto, Sulistowati dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan

Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta

Jones, Charles O., 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Grafindo, Jakarta

Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Kanter, E.Y dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Khairandy, Ridwan, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-

Undangan, dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta

Komara, Endang, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama,

Bandung

Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang

Kristian, Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan, Nuansa Aulia, Bandung

--------------, 2014, Hukum Pidana Korporasi; Kebijakan Integral (Integral Policy)

Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV.

Nuansa Aulia, Bandung

Lamintang, P.A.F., 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung

Lamintang, P.A.F, dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,

Bandung

Lili Rasjidi, Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju,

Bandung

Marpaung, Leden, 2003, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap

Perbankan, Penerbit Djambatan, Jakarta

McKechnie, Jean L., 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second

Edition

Moeljatno, 1983, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Akasara,

Jakarta

-------------, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta

-------------, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta

Marbun, Deno Kamelus, Saut P.Panjaitan, dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran

Hukum Administrasi Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah

Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru

Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

(UNDIP), Semarang

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,

Bandung

-------------------------------------------, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,

Alumni, Bandung

Muladi dan Dwidja Priyanto, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenada

Media, Jakarta

Morin L. Cohen and Kent C. Olson; 2000, "Legal Research", 7 ed, West Group, St.

Paul Minn. Virginia

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

--------------------------------------, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas

Diponegoro (UNDIP), Semarang

Pachta W, Andjar, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, 2005,

Hukum Koperasi Indonesia; Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal

Usaha, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Paul Dobson, 2008, Nutshells Criminal Law, Sweet & Maxwell, London

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta

Prakoso, Djoko, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty

Yogyakarta

Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT

Pradnya Paramita, Jakarta

Rahardjo, Sajipto, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta

Press, Yogyakarta

---------------------, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta

Reksodiputro, Mardjono 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,

Jakarta

Robert W. Emerson, 2004, Business Law, Barron’s, New York

Salim, H. & Erlies Septiana Nurnani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian

Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Setiyono, H. 2009, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggung-

jawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia

Publishing, Malang

Shidarta, 2010, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran

Filsafat Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), Jakarta

Sianturi, S.R, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni,

Jakarta

Simanjuntak, P.N.H, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan,

Jakarta

Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta

------------------------, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta

Soesilo, R., 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor

Soetan K.Malikoel Adil, 1995, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, PT Pembangunan,

Jakarta, Hal.83, dikutip dari Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana

Korporasi, Rajawali Pers, Jakarta

Suarpika Bimantaro dan Syahrul Bahroen, 2003, Organisasi Bank Indonesia, Pusat

Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Jakarta

Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,

Yogyakarta

Suharto R.M, 2004, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar

Dakwaan, Sinar Grafika, Jakarta

Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers,

Jakarta

William N.Dunn (Penyadur: Muhadjir Darwin), 2000, Analisa Kebijakan Publik, PT.

Hadindita Graha Widia, Yogyakarta

Wiranata, I Gede, ed.et.al, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media

Nusantara, Jakarta

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor

134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5164

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan

Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian

C. Jurnal Ilmiah

I Gede Hartadi Kurniawan, 2013, Tindakan Koperasi Simpan Pinjam yang

Mengakibatkan Perbuatan Tindak Pidana, tersedia di website

http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/348

Suteki, 2010, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,

SH, tersedia di website http://mitrahukum.org/wp-

content/uploads/2012/09/Rekam-Jejak-Pemikiran-Hukum_Progresif-Prof-

Satjiipto-Rahardjo-by-Suteki.pdf

D. Internet

Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia, 2009, Kasus Penggelapan 71M oleh

Pengurus Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang bekerjasama

dengan Suwondo Komisaris PT/ Bank Pasar Harta Guna, tersedia di

website http://lhkipusat.blogspot.com/2009/08/kasus-penggelapan-71m-

oleh-pengurus.html, diakses pada tanggal 1 April 2015

Otoritas Jasa Keuangan, 2014, Siaran Pers Bersana: Nota Kesepahaman Otoritas Jasa

Keuangan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koperasi dan