persamaan differensial biasa

15
BAB 5 PERSAMAAN DIFFERENSIAL BIASA ika pada bab sebelumnya sudah mempelajari metode untuk mencari akar-akar persamaan dengan dua metode yaitu metode bisection dan metode newton-raphson, maka pada bab terakhir ini akan mendapatkan materi metode untuk menyelesaikan persamaan diferensial biasa. Berikut uraian singkat motivasi mengapa penting untuk menguasai bab ini. Motivasi Pada bab sebelumnya, telah menurunkan persamaan berdasarkan Hukum kedua Newton untuk menghitung kecepatan dari penerjun payung sebagai fungsi dari waktu . = βˆ’ (3.1) dengan g adalah tetapan gravitasi, m adalah massa dan c adalah koefisien hambat udara. Persamaan tersebut memiliki fungsi yang tidak diketahui dan turunannya, disebut persamaan differensial. Persamaan (3.1) biasa disebut sebagai persamaan laju, karena merepresentasikan laju perubahan suatu variabel sebagai fungsi dari variabel dan beberapa parameter. Banyak fenomena fisika yang lebih baik diformulasikan dalam laju perubahannya. Pada persamaan (3.1), besaran yang berubah, , disebut variabel terikat. Sedangkan besaran yang menyebabkan mengalami perubahan, , disebut variabel bebas. Ketika fungsi hanya memiliki satu variabel bebas, maka persamaan tersebut disebut persamaan diferensial biasa [ordinary differential equation (ODE)] . Inilah yang membedakan dengan persamaan diferensial parsial [partial differential equation (PDE)] yang memiliki dua atau lebih variabel bebas. Persamaan diferensial juga dikelompokkan berdasarkan ordenya. Sebagai contoh, persamaan (3.1) disebut persamaan differensial orde 1 (first-order equation) karena orde turunan tertinggi merupakan turunan pertama. Sebuah persamaan differensial orde 2 (second- order equation) memiliki turunan kedua. Sebagai contoh, persamaan yang merepresentasikan posisi dari sebuah sistem pegas bermassa dengan redaman merupakan persamaan differensial orde 2, 2 2 + + = 0 (3.2) dengan c adalah koefisien redaman dan k adalah konstanta pegas. Begitu pula, sebuah persamaan diferensial orde akan memiliki turunan ke-. Persamaan orde tinggi dapat direduksi menjadi sebuah sistem persamaan diferensial orde 1. Untuk persamaan (3.2), hal ini dilakukan dengan mendefinisikan sebuah varibel baru , dimana J

Upload: novia-angelita

Post on 22-Jul-2016

278 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Persamaan differensial biasa

BAB 5

PERSAMAAN DIFFERENSIAL BIASA

ika pada bab sebelumnya sudah mempelajari metode untuk mencari akar-akar

persamaan dengan dua metode yaitu metode bisection dan metode newton-raphson,

maka pada bab terakhir ini akan mendapatkan materi metode untuk menyelesaikan

persamaan diferensial biasa. Berikut uraian singkat motivasi mengapa penting untuk

menguasai bab ini.

Motivasi

Pada bab sebelumnya, telah menurunkan persamaan berdasarkan Hukum kedua Newton

untuk menghitung kecepatan 𝑣 dari penerjun payung sebagai fungsi dari waktu 𝑑.

𝑑𝑣

𝑑𝑑= 𝑔 βˆ’

𝑐

π‘šπ‘£ (3.1)

dengan g adalah tetapan gravitasi, m adalah massa dan c adalah koefisien hambat udara.

Persamaan tersebut memiliki fungsi yang tidak diketahui dan turunannya, disebut persamaan

differensial. Persamaan (3.1) biasa disebut sebagai persamaan laju, karena merepresentasikan

laju perubahan suatu variabel sebagai fungsi dari variabel dan beberapa parameter. Banyak

fenomena fisika yang lebih baik diformulasikan dalam laju perubahannya.

Pada persamaan (3.1), besaran yang berubah, 𝑣, disebut variabel terikat. Sedangkan

besaran yang menyebabkan 𝑣 mengalami perubahan, 𝑑, disebut variabel bebas. Ketika fungsi

hanya memiliki satu variabel bebas, maka persamaan tersebut disebut persamaan diferensial

biasa [ordinary differential equation (ODE)] . Inilah yang membedakan dengan persamaan

diferensial parsial [partial differential equation (PDE)] yang memiliki dua atau lebih variabel

bebas.

Persamaan diferensial juga dikelompokkan berdasarkan ordenya. Sebagai contoh,

persamaan (3.1) disebut persamaan differensial orde 1 (first-order equation) karena orde

turunan tertinggi merupakan turunan pertama. Sebuah persamaan differensial orde 2 (second-

order equation) memiliki turunan kedua. Sebagai contoh, persamaan yang merepresentasikan

posisi π‘₯ dari sebuah sistem pegas bermassa dengan redaman merupakan persamaan

differensial orde 2,

π‘šπ‘‘2π‘₯

𝑑𝑑2+ 𝑐

𝑑π‘₯

𝑑𝑑+ π‘˜π‘₯ = 0 (3.2)

dengan c adalah koefisien redaman dan k adalah konstanta pegas. Begitu pula, sebuah

persamaan diferensial orde 𝑛 akan memiliki turunan ke-𝑛.

Persamaan orde tinggi dapat direduksi menjadi sebuah sistem persamaan diferensial orde

1. Untuk persamaan (3.2), hal ini dilakukan dengan mendefinisikan sebuah varibel baru

𝑦, dimana

J

Page 2: Persamaan differensial biasa

𝑦 =𝑑π‘₯

𝑑𝑑 (3.3)

yang dengan sendirinya dapat diturunkan untuk menghasilkan

𝑑𝑦

𝑑𝑑=

𝑑2π‘₯

𝑑𝑑2 (3.4)

Lalu, substitusi persamaan (3.3) dan (3.4) ke dalam persamaan (3.2) untuk menghasilkan

π‘šπ‘‘π‘¦

𝑑𝑑+ 𝑐𝑦 + π‘˜π‘₯ = 0 (3.5)

atau dalam bentuk lain

𝑑𝑦

𝑑𝑑= βˆ’

𝑐𝑦 + π‘˜π‘₯

π‘š (3.6)

Dengan demikian, persamaan (3.3) dan (3.6) adalah pasangan dari persamaan diferensial

orde 1 yang ekivalen dengan persamaan diferensial orde 2 yang sebenarnya. Persamaan

diferensial orde 𝑛 lainnya dengan cara yang sama dapat direduksi sehingga menjadi

persamaan differensial orde 1.

Dalam bab ini akan dipelajari bagaimana menentukan suatu nilai dari laju perubahan

variabel terikat terhadap variabel bebasnya dengan menggunakan metode numerik.

Penggunaan metode numerik lebih efektif untuk persamaan diferensial yang memiliki orde

tinggi atau untuk fungsi yang kompleks. Metode numerik yang banyak digunakan adalah

metode Euler dan metode Runge-Kutta.

1.1 Metode Euler

Suatu persamaan diferensial dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝑑𝑦

𝑑𝑑= 𝑓 𝑑, 𝑦 , π‘Ž ≀ 𝑑 ≀ 𝑏, 𝑦 π‘Ž = 𝛼 (3.7)

Pada kenyataannya, melalui pendekatan numerik, kita tidak akan memperoleh solusi

fungsi yang kontinyu; yang mungkin kita dapat adalah solusi diskrit dalam bentuk mesh

point di dalam interval [a,b]. Setelah diperoleh solusi numerik pada suatu point, maka

point-point yang lainpun bisa ditentukan.

Tahap awal solusi pendekatan numerik adalah dengan menentukan point-point dalam

jarak yang sama di dalam interval [a,b], yaitu dengan menerapkan

𝑑𝑖 = π‘Ž + 𝑖𝑕, 𝑖 = 0,1,2, … , 𝑁 (3.8)

Jarak antar point dirumuskan sebagai

𝑕 = 𝑏 βˆ’ π‘Ž

𝑁 (3.9)

ini disebut step size.

Page 3: Persamaan differensial biasa

Metode Euler diturunkan dari deret Taylor. Misalnya, fungsi 𝑦 𝑑 adalah fungsi yang

kontinyu dan memiliki turunan dalam interval [a,b]. Maka dalam deret Taylor

𝑦 𝑑𝑖+1 = 𝑦 𝑑𝑖 + 𝑑𝑖+1 βˆ’ 𝑑𝑖 𝑦′ 𝑑𝑖 + 𝑑𝑖+1 βˆ’ 𝑑𝑖 2

2 𝑦′′ πœ‰π‘– (3.10)

Karena 𝑕 = 𝑑𝑖+1 βˆ’ 𝑑𝑖 , maka

𝑦 𝑑𝑖+1 = 𝑦 𝑑𝑖 + 𝑕𝑦′ 𝑑𝑖 +𝑕2

2 𝑦′′ πœ‰π‘– (3.11)

(a) (b)

Gambar 3.1 Metode Euler

dan, karena 𝑦(𝑑) memenuhi persamaan differensial (3.7)

𝑦 𝑑𝑖+1 = 𝑦 𝑑𝑖 + 𝑕𝑓 𝑑𝑖 , 𝑦(𝑑𝑖) +𝑕2

2 𝑦′′ πœ‰π‘– (3.12)

Metode Euler dibangun dengan pendekatan 𝑀𝑖 β‰ˆ 𝑦(𝑑𝑖) untuk 𝑖 = 1, 2, 3, … , 𝑁, dengan

mengabaikan suku terkahir yang terdapat pada persamaan (3.12). Jadi metode Euler

dinyatakan sebagai

𝑀0 = 𝛼 (3.13)

𝑀𝑖+1 = 𝑀𝑖 + 𝑕𝑓 𝑑𝑖 , 𝑀𝑖 (3.14)

dimana 𝑖 = 0, 1, 2, … , 𝑁 βˆ’ 1

Namun metode Euler memiliki kelemahan untuk harga h yang bernilai besar, h haruslah

bernilai << 1 untuk menghindari error yang besar. Error ini terjadi karena penggunaan

pendekatan deret Taylor yang hanya menggunakan dua suku pertama. Perhatikan gambar

3.2

Page 4: Persamaan differensial biasa

Gambar 3.2 Error Metode Euler

Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih akurat seperti hasil dari perhitungan analitik,

dapat digunakan metode lain, yaitu metode runge-kuta. Pada metode runge-kuta tidak

diperlukan nilai h << 1.

Itulah tadi penjabaran materi, pola pikir dan cara metode Euler bekerja. Cukup mudah

bukan? Sekarang, seperti biasa kalian harus mengasah kemampuan kalian tidak hanya

dengan membaca, melainkan juga berlatih. Di bawah ini terdapat contoh soal yang dapat

kalian pahami bagaimana penyelesaiannya. Kasus peluruhan zat radioaktif ini

mengandung persamaan diferensial biasa yang dapat kalian selesaikan dengan metode

Euler.

Peluruhan Zat Radioaktif

Peluruhan zat radioaktif dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:

𝑑𝑁

π‘‘π‘‘βˆ’ π‘˜π‘ = 0

dimana N = massa zat radioaktif pada waktu tertentu; k = konstanta peluruhan. Jika massa

mula-mula adalah 50 miligram dan nilai k = -0,053,

(a) Tentukan massa radioaktif yang meluruh selama 20 jam, dengan interval waktu 1 jam.

Gunakan metode Euler.

(b) Buatlah kurva peluruhan zat radioaktif terhadap waktu berdasarkan analisis numerik

menggunakan medote Euler diatas.

Penyelesaian:

𝑑𝑁

𝑑𝑑= π‘˜π‘

dengan nilai 𝑁0 = 50 π‘šπ‘” dan π‘˜ = βˆ’0.053

Maka persamaan di atas menjadi

Page 5: Persamaan differensial biasa

𝐹(𝑦, 𝑑) =𝑑𝑁

𝑑𝑑= βˆ’0.053 𝑁

Berdasarkan persamaan metode Euler

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 + βˆ†π‘‘ . 𝐹(𝑦𝑛 , 𝑑𝑛)

atau

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 + βˆ†π‘‘ . 𝐹𝑛

Misal kita gunakan βˆ†π‘‘ = 1

Maka untuk kasus persamaan diatas menjadi

saat 𝑑0 = 0 𝑁0 = 50

𝑁1 = 𝑁0 + 1(βˆ’0.053 𝑁0)

𝑁1 = 50 + 1 βˆ’0.053 βˆ— 50

𝑁1 = 47.35

saat 𝑑1 = 1 𝑁1 = 47.35

𝑁2 = 𝑁1 + 1(βˆ’0.053 𝑁1)

𝑁2 = 47.35 + 1 βˆ’0.053 βˆ— 47.35

𝑁2 = 44.84045

saat 𝑑2 = 2 𝑁2 = 44.84045

𝑁3 = 𝑁2 + 1(βˆ’0.053 𝑁1)

𝑁3 = 44.84045 + 1 βˆ’0.053 βˆ— 44.84045

𝑁3 = 42.4639

dst.

apabila kita gunakan program MATLAB

Maka hasil yang akan di dapat seperti pada Tabel 3.1.

Kita juga dapat melihat bentuk grafik dari persamaan peluruhan radioaktif dengan cara:

>> plot(t,N);

No = 50; f = inline('-0.053*No','No'); h = 1; t = 1:1:20; disp(' Waktu(jam) dN/dt N(t)'); for n=1:20 N(n) = No + h * f(No); No = N(n); fprintf(' %5g %12.4f %12.4f\n', t(n) , f(No) , N(n) ); end

Page 6: Persamaan differensial biasa

Maka akan muncul grafik antara massa yang meluruh terhadap waktu:

Gambar 3.3. Grafik Hasil Perhitungan Peluruhan Massa Zat Radioaktif dengan Metode Euler

Tabel 3.1 Hasil Perhitungan dengan Metode Euler

1.2 Metode Runge-Kutta

Setelah menguasai metode Euler, dapat dianalisis metode Euler kurang efisien dalam

masalah-masalah praktis, karena dalam metode Euler diperlukan h << 1 untuk

memperoleh hasil yang cukup teliti (akurat). Metode Runge-kutta dapat digunakan

untuk menyelasaikan masalah ini. Metode Runge-kutta dibuat untuk mendapatkan

ketelitian yang lebih tinggi dan kelebihan dari metode ini adalah bahwa untuk

Page 7: Persamaan differensial biasa

memperoleh hasil-hasil tersebut hanya diperlukan nilai-nilai fungsi dari titik-titik

sembarang yang dipilih pada suatu interval bagian.

Metode Runge-Kutta merupakan alternatif lain dari metode deret Taylor yang tidak

membutuhkan perhitungan turunan. Metode ini berusaha mendapat derajat ketelitian

yang lebih tinggi, dan sekaligus menghindarkan keperluan mencari turunan yang lebih

tinggi dengan jalan mengevaluasi fungsi 𝑓(π‘₯, 𝑦) pada titik terpilih dalam setiap selang

langkah. Metode Runge-Kutta adalah metode PDB yang paling populer karena banyak di

pakai dalam praktek.

Metode Runge-Kutta merupakan salah satu dari satu perangkat metode yang penting

untuk menyelesaikan persamaan diferensial dengan syarat awal

𝑦′ = 𝑓 𝑦, 𝑑 ; 𝑦 0 = 𝑦0 (3.15)

Untuk menghitung 𝑦𝑛+1 pada 𝑑𝑛+1 = 𝑑𝑛 + 𝑕 dengan nilai 𝑦𝑛 diketahui, kita integralkan

persamaan 3.15 pada interval [𝑑𝑛 , 𝑑𝑛+1]

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 + 𝑓 𝑦, 𝑑 𝑑𝑑 𝑑𝑛+1

𝑑𝑛

(3.16)

Metode Runge-Kutta didapatkan dengan menerapkan metode integrasi numerik untuk

mengintegralkan ruas kanan pada persamaan 3.16. Dalam bab ini kami akan dijelaskan

metode Runge-Kutta orde ke-2, -3, dan -4.

1.2.1 Metode Runge-Kutta Orde Dua

Disini kita akan memeriksa aplikasai pada ruas kanan dari persamaan 3.16

𝑓 𝑦, 𝑑 𝑑𝑑 𝑑𝑛+1

𝑑𝑛

β‰ˆ1

2𝑕 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛 + 𝑓 𝑦𝑛+1 , 𝑑𝑛+1 (3.17)

Pada persamaan 3.17, 𝑦𝑛+1 tidak diketahui, jadi bentuk kedua di aproksimasikan

dengan 𝑓 𝑦 𝑛+1, 𝑑𝑛+1 , dimana 𝑦 𝑛+1 adalah estimasi awal untuk 𝑦𝑛+1 dihitung dengan

Metode Euler. Bentuk yang didapatkan disini disebut Metode Runge-Kutta orde-2 dan

di ringkas seperti berikut:

𝑦 𝑛+1 = 𝑦𝑛 + 𝑕𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +𝑕

2 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛 + 𝑓 𝑦 𝑛+1 , 𝑑𝑛+1

atau secara umumnya berbentuk:

π‘˜1 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛

π‘˜2

= 𝑕𝑓 𝑦𝑛

+ π‘˜1 , 𝑑𝑛+1 ( 3.18)

Page 8: Persamaan differensial biasa

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1

2[π‘˜1 + π‘˜2]

Metode Runge-Kutta orde ke-2 identik dengan metode prediktor-corrector Euler, dan

juga ekuivalen dengan memodifikasi penerapan metode Euler hanya dengan langkah

dua iterasi saja.

1.2.2 Metode Runge-Kutta Orde Tiga

Metode Runge-Kutta yang terkenal dan banyak dipakai dalam praktek adalah metode

Runge-Kutta orde tiga dan metode Runge-Kutta orde empat. Kedua metode tersebut

terkenal karena tingkat ketelitian solusinya tinggi (dibandingkan metode Runge-Kutta

orde sebelumnya, mudah diprogram, dan stabil).

Metode Runge-Kutta orde Tiga yang lebih akurat dibandingkan metode Runge-Kutta

orde Dua dapat dicari menggunakan bentuk integrasi numerik dengan orde yang lebih

tinggi untuk bentuk kedua dari persamaan 3.16. Gunakan hukum 1/3 Simpson, maka

persamaan 3.16 diaproksimasikan dengan:

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +𝑕

6 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛 + 4𝑓 𝑦 𝑛+1

2, 𝑑𝑛+1

2 + 𝑓 𝑦 𝑛+1 , 𝑑𝑛+1 (3.19 )

dimana 𝑦 𝑛+1 dan 𝑦 𝑛+12 adalah estimasi, karena 𝑦𝑛+1 dan 𝑦𝑛+1

2 tidak diketahui.

Estimasi nilai 𝑦 𝑛+12 dapat dihitung dengan menggunakan metode Euler

𝑦 𝑛+12

= 𝑦𝑛 +𝑕

2𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛 (3.20)

Estimasi 𝑦 𝑛+1di hitung menggunakan

𝑦 𝑛+1 = 𝑦𝑛 + 𝑕𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛

atau

𝑦 𝑛+1 = 𝑦𝑛 + 𝑕𝑓 𝑦 𝑛+12, 𝑑𝑛+1

2

atau kombinasi linier keduanya adalah

𝑦 𝑛+1 = 𝑦𝑛 + 𝑕[πœƒπ‘“ 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛 + 1 βˆ’ πœƒ 𝑓 𝑦 𝑛+12, 𝑑𝑛+1

2 ] (3.21)

Disini πœƒ merupakan parameter undetermined, yang mana akan dihitung untuk

memaksimalkan ke-akuratan pada metode numerik. Dengan menggunakan persamaan

3.21, seluruh skema ditulis dalam bentuk:

π‘˜1 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛

π‘˜2 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +1

2π‘˜1 , 𝑑𝑛 +

𝑕

2

π‘˜3 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 + πœƒπ‘˜1 + 1 βˆ’ πœƒ π‘˜2, 𝑑𝑛 + 𝑕 (3.22)

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1

6[π‘˜1 + 4π‘˜2 + π‘˜3]

Page 9: Persamaan differensial biasa

Secara ringkas, metode Runge-Kutta orde-3 dapat ditulis

π‘˜1 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛

π‘˜2 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +1

2π‘˜1 , 𝑑𝑛 +

𝑕

2

π‘˜3 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 βˆ’ π‘˜1 + 2π‘˜2, 𝑑𝑛 + 𝑕 (3.23)

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1

6[π‘˜1 + 4π‘˜2 + π‘˜3]

1.2.3 Metode Runge-Kutta Orde Empat

Ada beberapa pilihan alternatif untuk skema integrasi numerik yang digunakan pada

persamaan 3.16. Metode Runge-Kutta orde keempat sesuai dengan bentuk ekspansi

Taylor orde keempat, sehingga error nya sebanding dengan 𝑕5 . Berikutnya ada dua

versi dalam metode Runge-Kutta orde keempat yang paling banyak digunakan. Versi

pertama berdasarkan hukum 1/3 Simpson yang dituliskan dengan

π‘˜1 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛

π‘˜2 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +1

2π‘˜1 , 𝑑𝑛 +

1

2𝑕

π‘˜3 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +1

2π‘˜2, 𝑑𝑛 +

1

2𝑕

π‘˜4 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 + π‘˜3 , 𝑑𝑛 + 𝑕 (3.24)

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1

6 π‘˜1 + 2π‘˜2 + 2π‘˜3 + π‘˜4

versi kedua berdasarkan hukum 3/8 Simpsons yang dituliskan dengan

π‘˜1 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛

π‘˜2 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +1

3π‘˜1 , 𝑑𝑛 +

1

3𝑕,

π‘˜3 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +π‘˜1

3+

π‘˜2

3, 𝑑𝑛 +

2

3𝑕

π‘˜4 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 + π‘˜1 βˆ’ π‘˜2 + π‘˜3, 𝑑𝑛 + 𝑕 (3.25)

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1

8 π‘˜1 + 2π‘˜2 + 2π‘˜3 + π‘˜4

1.2.4 Metode Runge-Kutta Orde Lima

Bentuk umum metode Runge-Kutta orde-5 yaitu:

π‘˜1 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 , 𝑑𝑛

π‘˜2 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +1

2π‘˜1 , 𝑑𝑛 +

1

2𝑕

Page 10: Persamaan differensial biasa

π‘˜3 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +3

16π‘˜1 +

1

16π‘˜2 , 𝑑𝑛 +

1

4𝑕

π‘˜4 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +1

2π‘˜3, 𝑑𝑛 +

1

2𝑕

π‘˜5 = 𝑕𝑓 𝑦𝑛 +3

16π‘˜2 +

1

16π‘˜3 +

9

16π‘˜4, 𝑑𝑛 +

3

4𝑕 (3.26)

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1

9 7π‘˜1 + 32π‘˜3 + 12π‘˜4 + 7π‘˜6 𝑂 𝑕6

Untuk mengetahui perbedaan kedua metode (metode Euler dan metode Runge-Kutta)

tersebut di atas, kami berikan contoh soal yang sama pada materi metode sebelumnya,

yaitu kasus peluruhan zat radioaktif. Jika sebelumnya kalian sudah menyelesaikannya

dengan metode Euler, sekarang saatnya kalian pahami bagaimana metode Runge-

Kutta bekerja untuk kasus yang sama.

Peluruhan Zat Radioaktif

Peluruhan zat radioaktif dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:

𝑑𝑁

π‘‘π‘‘βˆ’ π‘˜π‘ = 0

dimana N = massa zat radioaktif pada waktu tertentu; k = konstanta peluruhan. Jika

massa mula-mula adalah 50 miligram dan nilai k = -0,053,

(a) Tentukan massa radioaktif yang meluruh selama 20 jam, dengan interval waktu 1

jam. Gunakan metode Runge-Kutta Orde-4.

(b) Buatlah kurva peluruhan zat radioaktif terhadap waktu berdasarkan analisis numerik

menggunakan medote Euler diatas.

Penyelesaian:

𝑑𝑁

𝑑𝑑= π‘˜π‘

dengan nilai 𝑁0 = 50 π‘šπ‘” dan π‘˜ = βˆ’0.053

Maka persamaan diatas menjadi

𝐹(𝑁, 𝑑) =𝑑𝑁

𝑑𝑑= βˆ’0.053 𝑁

Berdasarkan persamaan metode Runge-Kutta Orde-4

π‘˜1 = 𝑕𝑓 𝑁𝑛 , 𝑑𝑛

π‘˜2 = 𝑕𝑓 𝑁𝑛 +1

2π‘˜1 , 𝑑𝑛 +

1

2𝑕

Page 11: Persamaan differensial biasa

π‘˜3 = 𝑕𝑓 𝑁𝑛 +1

2π‘˜2 , 𝑑𝑛 +

1

2𝑕

π‘˜4 = 𝑕𝑓 𝑁𝑛 + π‘˜3, 𝑑𝑛 + 𝑕

𝑁𝑛+1 = 𝑁𝑛 +1

6 π‘˜1 + 2π‘˜2 + 2π‘˜3 + π‘˜4

Misal kita gunakan βˆ†π‘‘ = 1

Maka untuk kasus persamaan diatas menjadi

saat 𝑑0 = 0 𝑁0 = 50

π‘˜1 = 1 βˆ’0.053 𝑁0 = βˆ’2.65

π‘˜2 = 1 βˆ’0.053 (𝑁0 +1

2π‘˜1) = βˆ’2.5798

π‘˜3 = 1 βˆ’0.053 𝑁0 +1

2π‘˜2 = βˆ’2.5816

π‘˜4 = 1 βˆ’0.053 𝑁0 + π‘˜3 = βˆ’2.5132

𝑁1 = 𝑁0 +1

6 π‘˜1 + 2π‘˜2 + 2π‘˜3 + π‘˜4 = 47.4190

saat 𝑑1 = 1 𝑁1 = 47.4190

π‘˜1 = 1 βˆ’0.053 𝑁1 = βˆ’2.5132

π‘˜2 = 1 βˆ’0.053 (𝑁1 +1

2π‘˜1) = βˆ’2.4466

π‘˜3 = 1 βˆ’0.053 𝑁1 +1

2π‘˜2 = βˆ’2.4483

π‘˜4 = 1 βˆ’0.053 𝑁1 + π‘˜3 = βˆ’2.3834

𝑁2 = 𝑁1 +1

6 π‘˜1 + 2π‘˜2 + 2π‘˜3 + π‘˜4 = 44.9712

dst...

apabila kita gunakan program MATLAB

No = 50; f = inline ('-0.053*N','N'); h = 1; t = 1:1:20; disp (' Waktu(jam) dN/dt N(t)'); for n = 1:20 k1 = h * f(No); k2 = h * f(No + (k1/2)); k3 = h * f(No + (k2/2)); k4 = h * f(No + k3); N(n) = No + 1/6 *(k1 + 2*k2 + 2*k3 + k4); No = N(n); fprintf(' %5g %12.4f %12.4f\n', t(n), f(No), N(n)); end

Page 12: Persamaan differensial biasa

Maka hasil yang akan di dapat seperti pada Tabel 3.2.

Kita juga dapat melihat bentuk grafik dari persamaan peluruhan radioaktif dengan cara:

>> plot(t,N);

Maka akan muncul grafik antara massa yang meluruh terhadap waktu:

Gambar 3.4. Grafik Hasil Perhitungan Peluruhan Massa Zat Radioaktif dengan Metode Runge-Kutta

Orde-4

Tabel 3.2 Hasil Perhitungan dengan Metode Runge-Kutta Orde-4

Page 13: Persamaan differensial biasa

Metode-metode numerik yang sudah kalian pelajari akan sangat membantu kalian

dalam menyelesaikan persamaan-persamaan rumit jika kalian ingin menguasainya.

β€œOne secret of success in life is for a man to be ready for his opportunity when it

comes” (Benjamin Disraeli)

LABORATORY EXCERCISE 3

1. Jika air dihabiskan dari sebuah tangki silinder vertikal dengan membuka katup pada

bagian dasarnya, air akan mengalir dengan cepat ketika tangki terisi penuh dan akan

mengalir dengan lambat seterusnya sampai habis. Nilai dimana tinggi air turun adalah:

𝑑𝑦

𝑑𝑑= βˆ’π‘˜ 𝑦

Dimana π‘˜ adalah konstanta yang bergantung pada bentuk lubang dan diagonal permukaan

dari tangki dan lubang keluarnya air. Kedalaman air 𝑦 diukur dalam satuan meter dan

waktu 𝑑 dalam menit. Jika π‘˜ = 0,06, tentukan berapa lama waktu yang diperlukan hingga

tangki tersebut kosong jika ketinggian awal fluida adalah 3 m. Gunakan metode Euler

dengan 𝑕 = 0,5 menit.

2. Kecepatan jatuh objek seperti penerjun payung dapat digambarkan dengan persamaan

turunan berikut

Page 14: Persamaan differensial biasa

𝑑𝑣

𝑑𝑑= 𝑔 βˆ’

𝑐𝑑

π‘šπ‘£2

dimana 𝑣 = kecepatan (m/s), 𝑑 = waktu (s), 𝑔 = percepatan gravitasi (9,81 m/s2), 𝑐𝑑 =

koefisien hambatan orde kedua (kg/m), dan π‘š = massa (kg). Selesaikan persamaan

berikut untuk memperoleh kecepatan dan jarak jatuh objek sebesar 90-kg dengan

koefisien hambat sebesar 0.225 kg/m. Jika ketinggian awal adalah 1 km, tentukan kapan

objek tersebut membentur tanah. Gunakan metode Runge-Kutta orde 4!

3. Tingkat kedinginan suatu benda dapat dinyatakan seperti:

𝑑𝑇

𝑑𝑑= βˆ’π‘˜(𝑇 βˆ’ π‘‡π‘Ž)

dimana 𝑇 = suhu benda (oC), π‘‡π‘Ž = suhu medium sekitar (

oC), and π‘˜ = konstanta (menit

-

1). Jadi, persamaan tersebut menjelaskan bahwa tingkat kedinginan sebanding dengan

perubahan suhu antara benda dan medium sekitarnya. Jika sebuah bola metal yang

dipanaskan hingga 90 o

C ditenggelamkan ke dalam air yang memiliki nilai konstan π‘‡π‘Ž =

20 oC, hitunglah berapa lama suhu bola turun hingga 40

oC jika π‘˜ = 0,25 menit

-1!

4. Gerak sistem pegas-massa teredam (Gambar P 3.1) digambarkan oleh persamaan

diferensial biasa berikut:

π‘šπ‘‘2π‘₯

𝑑𝑑2+ 𝑐

𝑑π‘₯

𝑑𝑑+ π‘˜π‘₯ = 0

dimana π‘₯ = perpidahan dari posisi setimbang (m), 𝑑 = waktu (s), π‘š = 20 kg mass, and

𝑐 = koefisien teredam (N Β· s/m). Koefisien teredam 𝑐 memiliki tiga nilai yaitu 5 (under-

damped), 40 (critically damped), dan 200 (overdamped). Konstanta pegas π‘˜ = 20 N/m.

kecepatan awal sebesar nol, dan posisi awalnya adalah 1 m. Selesaikan persamaan

tersebut selama periode waktu 0 ≀ 𝑑 ≀ 15 s. Plot grafik perpindahan terhadap waktu

untuk setiap tiga nilai koefisien teredam dalam satu kurva yang sama.

Gambar P 3.1

Page 15: Persamaan differensial biasa

5. Sebuah neraca massa untuk suatu bahan kimia dalam reaktor tercampur dapat ditulis

sebagai

𝑉𝑑𝑐

𝑑𝑑= 𝐹 βˆ’ 𝑄𝑐 βˆ’ π‘˜π‘‰π‘2

dimana 𝑣 = volum (12 m3), 𝑐 = konsentrasi (g/m

3), 𝐹 = feed rate (175 g/min), 𝑄 = flow

rate (1 m3/min), and π‘˜ = second-order reaction rate (0,15 m

3/g/min). Jika 𝑐(0) = 0,

selesaikan persamaan tersebut sampai konsentrasi mencapai tingkat stabil dan plot

hasilnya.