perpustakaan kpk · setiap 1 oktober. hari lahir pancasila mengacu pada pidato presiden soekarno...

2
PERPUSTAKAAN KPK PANCASILA & KERESAHAN YANG ADA DI DALAMNYA B elakangan, kita kerap menemukan slogan “Saya Pancasila, Saya Indonesia”. Dan sejenis dengan itu, untuk menunjukkan spirit nasionalisme, kebhinekaan, toleransi dan kecintaan terhadap tanah air. Namun, di saat yang bersamaan, kita disuguhkan peristiwa ironis: terorisme, sikap intoleran, atau persekusi atas nama suku, agama dan golongan. Pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar memahami Pancasila? Selama 73 tahun sudah Pancasila menjadi dasar bagi ideologi Bangsa Indonesia. Ideologi yang berasal dari pemikiran pendiri bangsa, Ir. Soekarno, dan disepakati bersama dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Ideologi yang bahkan lebih dulu terbentuk dibanding negara itu sendiri. Ideologi yang akan menjadi nafas tiap warga negaranya yang kemudian menjadi penghayatan dalam kehidupan bernegara, melebihi sekadar jargon. Itulah keresahan yang dirasakan Tan Swie Ling dalam bukunya “Masa Gelap Pancasila: Wajah Nasionalisme Indonesia”. Bahwa Pancasila tengah memasuki masa gelapnya, bahkan sudah dimulai ideologi itu dirumuskan. Menurut Tan, dasar pertama yang digunakan dalam Pancasila adalah “Kebangsaan Indonesia”, bukan “Persatuan Indonesia” yang kemudian menjadi sila ketiga. Dua terminologi itu, menurut Tan, sejatinya memiliki arti yang berbeda. Tidak hanya itu, Pancasila seolah ‘terkhianati’ ketika Presiden Soeharto mengeluarkan SK Presiden Nomor 153/1967 pada 27 September 1967 yang menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Penetapan ini mengganti Hari Lahir Pancasila yang biasa diperingati tiap 1 Juni, yang didasarkan pada klaim keberhasilan Soeharto dan tentaranya dalam menumpas pemberontakan G 30 S PKI. Peristiwa pemberontakan itu lantas digunakan sebagai dasar untuk menyingkirkan Soekarno dari pemerintahan. Pancasila yang merupakan gagasan Soekarno pun dianggap sebagai ideologi sayap kiri. Enam puluh lima tahun sejak kelahirannya, atau pada 2010, Hari Lahir Pancasila kembali diperingati. Meski begitu, keresahan Tan tetap meyakini Pancasila masih berada dalam kegelapan. Pengamalan nilai-nilai Pancasila, masih jauh panggang dari api. Anarkisme, konflik suku, agama, ras dan antargolongan, lemahnya semangat persatuan, rendahnya moral dan akhlak, korupsi dan politik transaksional serta merosotnya disiplin dan wibawa hukum merupakan akibat dari merosotnya nilai-nilai Pancasila digunakan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Selain keresahan, Tan juga mengajak kembali memaknai bagaimana sejarah pembentukan Pancasila ketika dirumuskan, serta tujuan dari pembentukannya. Bahwa para pemuda bangsa Indonesia telah lama memiliki cita-cita untuk memperbaiki masa depan bangsa ini meski saat itu kita belum merdeka. Terinspirasi dari semangat para pejuang itu, Tan pun mengajak kita mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang belum tercapai. Keresahan senada tentang pemaknaan Pancasila, juga diulas Ria Casmi Assra dalam “ Deideologi Pancasila”. Assra menunjukkan pasang-surut Pancasila dalam dunia politik, sosial serta hukum ketatanegaraan. Tak hanya membahas bagaimana Pancasila mengalami kemunduran pada beberapa decade , ia juga menawarkan rumusan praktik penerapan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya ini disebut dengan deideologi, yakni sebuah upaya untuk membangun kembali ideologi Pancasila sebagai dasar negara, juga praktik penyelenggaraan dan output yang hendak dihasilkan. Buku ini menyajikan penjelasan mengenai kedudukan Pancasila, mulai dari pembentukan hingga mengalami masa gelap dalam pemaknaannya, hingga kedudukan Pancasila sebagai ideologi. Kedudukan Pancasila merupakan bagian konstitusi yang berperan sebagai ide hukum, bukan sumber dari segala sumber. Selanjutnya, deidoelogi yang dimaksud adalah dengan mengarahkan pemahaman bahwa Pancasila merupakan landasan konstitusionalisme Indonesia, landasan hukum progresif, dan Pancasila adalah landasan uji konstitusional peraturan perundang- undangan. Untuk memperbarui makna “Saya Pancasila” sebagaimana yang kerap didengungkan, kiranya dua buku ini bisa dibaca untuk memberi endapan pemahaman yang saling melengkapi. Dari Tan kita belajar dan memetik pelajaran tentang kelahiran Pancasila dan bagaimana ia mengalami kemunduran dalam pemaknaannya, maka dari Assra kita memahami upaya membangun kembali pemahaman dan pemaknaan terhadap Pancasila itu sendiri. BUKU PILIHAN ¢ Berebut Jiwa Bangsa ¢ Demokrasi Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur dalam Proses Demokrasi di Indonesia ¢ Di Bawah Ancaman Penyeragaman ¢ Dinamika Konsolidasi Demokrasi ¢ Indonesia Bagian dari Desa Saya ¢ Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi ¢ Masih(kah) Indonesia ¢ Pendidikan Kadeham (Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia): Menapaki Jejak-jejak Reformasi ¢ Reaktualisasi Pancasila: Menyoal Identitas, Globalisasi, dan Diskursus Negara-Bangsa “Aku dak mengatakan bahwa, aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima bur muara yang indah” – Ir. Soekarno, Presiden pertama Indonesia – E-NEWSLETTER EDISI 06 VOL.IV | JUNI 2018 Penulis: Tan Swie Ling Penerbit: Ruas Penulis: Ria Casmi Arrsa Penerbit: UB Press

Upload: duongkhanh

Post on 23-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERPUSTAKAAN KPK · setiap 1 Oktober. Hari Lahir Pancasila mengacu pada pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan BPUPKI mengenai lima dasar bagi Indonesia Merdeka. Sementara

PERPUSTAKAAN KPK

PANCASILA& KERESAHAN YANG ADA DI DALAMNYA

Belakangan, kita kerap menemukan slogan “Saya

Pancasila, Saya Indonesia”. Dan sejenis dengan

itu, untuk menunjukkan spirit nasionalisme,

kebhinekaan, toleransi dan kecintaan terhadap tanah

air. Namun, di saat yang bersamaan, kita disuguhkan

peristiwa ironis: terorisme, sikap intoleran, atau

persekusi atas nama suku, agama dan golongan.

Pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar memahami

Pancasila?Selama 73 tahun sudah Pancasila menjadi dasar

bagi ideologi Bangsa Indonesia. Ideologi yang berasal

dari pemikiran pendiri bangsa, Ir. Soekarno, dan

disepakati bersama dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni

1945. Ideologi yang bahkan lebih dulu terbentuk

dibanding negara itu sendiri. Ideologi yang akan

menjadi nafas tiap warga negaranya yang kemudian

menjadi penghayatan dalam kehidupan bernegara,

melebihi sekadar jargon. Itulah keresahan yang dirasakan Tan Swie Ling

dalam bukunya “Masa Gelap Pancasila: Wajah

Nasionalisme Indonesia”. Bahwa Pancasila tengah

memasuki masa gelapnya, bahkan sudah dimulai

ideologi itu dirumuskan. Menurut Tan, dasar pertama

yang digunakan dalam Pancasila adalah “Kebangsaan

Indonesia”, bukan “Persatuan Indonesia” yang

kemudian menjadi sila ketiga. Dua terminologi itu,

menurut Tan, sejatinya memiliki arti yang berbeda. Tidak hanya itu, Pancasila seolah ‘terkhianati’ ketika

Presiden Soeharto mengeluarkan SK Presiden Nomor

153/1967 pada 27 September 1967 yang menetapkan

1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Penetapan

ini mengganti Hari Lahir Pancasila yang biasa

diperingati tiap 1 Juni, yang didasarkan pada klaim

keberhasilan Soeharto dan tentaranya dalam

menumpas pemberontakan G 30 S PKI. Peristiwa pemberontakan itu lantas digunakan

sebagai dasar untuk menyingkirkan Soekarno dari

pemerintahan. Pancasila yang merupakan gagasan

Soekarno pun dianggap sebagai ideologi sayap kiri. Enam puluh lima tahun sejak kelahirannya, atau

pada 2010, Hari Lahir Pancasila kembali diperingati.

Meski begitu, keresahan Tan tetap meyakini Pancasila

masih berada dalam kegelapan. Pengamalan nilai-nilai

Pancasila, masih jauh panggang dari api. Anarkisme,

konflik suku, agama, ras dan antargolongan, lemahnya

semangat persatuan, rendahnya moral dan akhlak,

korupsi dan politik transaksional serta merosotnya

disiplin dan wibawa hukum merupakan akibat dari

merosotnya nilai-nilai Pancasila digunakan dalam

hidup berbangsa dan bernegara.Selain keresahan, Tan juga mengajak kembali

memaknai bagaimana sejarah pembentukan Pancasila

ketika dirumuskan, serta tujuan dari pembentukannya.

Bahwa para pemuda bangsa Indonesia telah lama

memiliki cita-cita untuk memperbaiki masa depan

bangsa ini meski saat itu kita belum merdeka.

Terinspirasi dari semangat para pejuang itu, Tan pun

mengajak kita mewujudkan cita-cita kemerdekaan

yang belum tercapai. Keresahan senada tentang pemaknaan Pancasila,

juga diulas Ria Casmi Assra dalam “Deideologi

Pancasila”. Assra menunjukkan pasang-surut

Pancasila dalam dunia politik, sosial serta hukum

ketatanegaraan. Tak hanya membahas bagaimana

Pancasila mengalami kemunduran pada beberapa

decade , ia juga menawarkan rumusan praktik

penerapan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Upaya ini disebut dengan deideologi, yakni

sebuah upaya untuk membangun kembali ideologi

Pancasila sebagai dasar negara, juga praktik

penyelenggaraan dan output yang hendak dihasilkan.Buku ini menyaj ikan penjelasan mengenai

kedudukan Pancasila, mulai dari pembentukan hingga

mengalami masa gelap dalam pemaknaannya, hingga

kedudukan Pancasila sebagai ideologi. Kedudukan

Pancasila merupakan bagian konstitusi yang berperan

sebagai ide hukum, bukan sumber dari segala sumber.

Selanjutnya, deidoelogi yang dimaksud adalah dengan

mengarahkan pemahaman bahwa Pancasi la

merupakan landasan konstitusionalisme Indonesia,

landasan hukum progresif, dan Pancasila adalah

landasan uji konstitusional peraturan perundang-

undangan.Untuk memperbarui makna “Saya Pancasila”

sebagaimana yang kerap didengungkan, kiranya dua

buku ini bisa dibaca untuk memberi endapan

pemahaman yang saling melengkapi. Dari Tan kita

belajar dan memetik pelajaran tentang kelahiran

Pancasila dan bagaimana ia mengalami kemunduran

dalam pemaknaannya, maka dar i Assra ki ta

memahami upaya membangun kembali pemahaman

dan pemaknaan terhadap Pancasila itu sendiri.

BUKU PILIHAN

¢ Berebut Jiwa Bangsa¢ Demokrasi Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur dalam Proses Demokrasi di

Indonesia¢ Di Bawah Ancaman Penyeragaman¢ Dinamika Konsolidasi Demokrasi¢ Indonesia Bagian dari Desa Saya¢ Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi¢ Masih(kah) Indonesia¢ Pendidikan Kadeham (Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia): Menapaki

Jejak-jejak Reformasi

¢ Reaktualisasi Pancasila: Menyoal Identitas, Globalisasi, dan Diskursus Negara-Bangsa

“Aku �dak mengatakan bahwa, aku menciptakan Pancasila.

Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami,

tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan

lima bu�r mu�ara yang indah”

– Ir. Soekarno, Presiden pertama Indonesia –

E-NEWSLETTER EDISI 06 VOL.IV | JUNI 2018

Penulis: Tan Swie LingPenerbit: Ruas

Penulis: Ria Casmi ArrsaPenerbit: UB Press

Page 2: PERPUSTAKAAN KPK · setiap 1 Oktober. Hari Lahir Pancasila mengacu pada pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan BPUPKI mengenai lima dasar bagi Indonesia Merdeka. Sementara

ramoedya Ananta Toer atau biasa dipanggil Pdengan Pram, merupakan sastrawan

masyhur yang kental dengan karyanya yang

penuh kritik terhadap pemerintah. Bukunya

dilarang dari pasar dan ia dipenjara tanpa

pengadilan, di Nusakambangan dan Pulau Buru.

Kini, sosok Pram boleh tiada, namun karyanya

masih dibaca pecinta sastra. Kepergiannya

membuat sang adik, Soesilo Toer untuk

mempercepat pembangunan perpustakaan yang

didedikasikan untuk mengenang sang kakaknya

sekaligus menggiatkan literasi. Perpustakaan

Pataba namanya, merupakan akronim dari

Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak

Semua Bangsa.

Perpustakaan ini terletak di samping rumah

peninggalan orangtua Pram di Jalan Sumbawa

No. 40 Jetis, Blora, Jawa Tengah. Dengan koleksi

5.000 buku, perpustakaan ini tidak hanya

menyediakan buku-buku karangan Pram saja,

tetapi juga karangan Soes –sapaan akrab Soesilo

Toer- dan Koesalah Soebagyo Toer –kakak dari

Soes serta adik dari Pram.

Siapapun dapat mengakses Perpustakaan

Pataba. Pengunjung Perpustakaan ini pun tidak

hanya dari mahasiswa maupun pecinta sastra

Indonesia, melainkan juga berasal dari berbagai

negara. Di sini, juga kerap diselenggarakan

berbagai kegiatan, seperti bedah buku, diskusi,

tempat referensi, sarasehan budaya, membuat

skripsi, belajar menulis, hingga penerbitan.

Sejak tahun 2009, Perpustakaan Pataba melalui

Pataba Press menerbitkan zine, sebuah media

cetak alternatif yang diperbanyak dengan cara

foto kopi, yang berada di bawah naungan

Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang

Surut. Baru pada tahun 2011, Pataba Press mulai

menerbitkan buku.

Berbagai sumber

Inspirasi Literasi

è Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni tidak sama dengan Hari Kesaktian Pancasila

setiap 1 Oktober. Hari Lahir Pancasila mengacu pada pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 di

depan BPUPKI mengenai lima dasar bagi Indonesia Merdeka. Sementara Hari Kesaktian Pancasila

mengacu pada SK Presiden Nomor 153/1967 berdasarkan keberhasilan tentara dalam

menggagalkan kudeta Gerakan 30 September (G 30 S) pada 1965.

è Pancasila merupakan buah pikir Soekarno yang muncul ketika dirinya diasingkan di Ende, Flores,

Nusa Tenggara Timur. Pada masa pengasingannya, Soekarno kerap merenung di bawah Pohon

Sukun yang jaraknya 700 meter dari rumah pengasingannya. Pohon Sukun tersebut memiliki 5

batang besar yang kemudian menginspirasi Soekarno dalam merumuskan 5 dasar negara yang

dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang besar.

tahukah kamu?

Artikel Korupsi

Asset Recovery and Mutual Legal Assistance

Bribery

Fraud

Indeks

Persepsi

Korupsi

Pemberantasan

Korupsi

di Indonesia

Kasus Korupsi

Korupsi dan Agama

Korupsi

di Wilayah

Lain

Korupsi Khusus

Money Laundering

Novel

Korupsi Pendidikan Antikorupsi

Peradilan

Peraturan

Korupsi

Prosiding

Korupsi

Teori Korupsi

Whis

tleblo

win

g

Direktori Subjek Korupsi Perpustakaan KPK

Kunjungi dan manfaatkan koleksi Perpustakaan KPK untuk mencari referensi dan rekreasi!

perpustakaan.kpk.go.id

Menemukan Pram di Perpustakaan Pataba