pernikahan dan cinta -...

27
BAB II PERNIKAHAN DAN CINTA Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena cinta itu membangkitkan semangat hukum-hukum kemanusiaan dan gejala alami pun tidak mampu mengubah perjalanannya. Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku, jika cinta memelukmu maka dekaplah ia walau pedang disela-sela sayapnya melukaimu. -Gibran, Lebanon- Sebagai sesuatu yang telah dan akan terus menerus dipraktekkan oleh manusia, maka pernikahan dan cinta, kini telah menjadi fenomena sosial yang menarik simpati banyak orang untuk melihatnya lebih mendalam. Fenomena ini begitu kompleks, karenanya ada yang merasa bahagia, merasa sedih, frustasi bahkan menjadi trauma lalu terkadang nekad mengambil tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Pada bagian ini, penulis akan membahas secara singkat mengenai pernikahan sampai pada pernikahan beda agama menurut Islam dan Kristen. Kemudian setelah itu penulis akan menjelaskan mengenai teori cinta menurut Erich Fromm dan John D Caputo. Berhubung karena begitu luasnya tema ini, dan juga ketidak sesuaian topik yang akan dikaji maka, mengenai, rasa sedih, frustasi dan trauma yang sering terjadi dalam pernikahan dan cinta, tidak akan penulis jelaskan dalam bagian ini. 2.1. Pengertian Pernikahan Secara umum, pernikahan merupakan tindakan sepakat antara dua insan untuk duduk di pelaminan, kemudian hidup bersama menjalani suka-duka dalam

Upload: dinhhuong

Post on 09-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

PERNIKAHAN DAN CINTA

Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena cinta itu membangkitkansemangat hukum-hukum kemanusiaan dan gejala alami pun tidak mampu

mengubah perjalanannya. Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia walaujalannya terjal berliku, jika cinta memelukmu maka dekaplah ia walau pedang

disela-sela sayapnya melukaimu.

-Gibran, Lebanon-

Sebagai sesuatu yang telah dan akan terus menerus dipraktekkan oleh

manusia, maka pernikahan dan cinta, kini telah menjadi fenomena sosial yang

menarik simpati banyak orang untuk melihatnya lebih mendalam. Fenomena ini

begitu kompleks, karenanya ada yang merasa bahagia, merasa sedih, frustasi

bahkan menjadi trauma lalu terkadang nekad mengambil tindakan-tindakan yang

tidak diinginkan. Pada bagian ini, penulis akan membahas secara singkat mengenai

pernikahan sampai pada pernikahan beda agama menurut Islam dan Kristen.

Kemudian setelah itu penulis akan menjelaskan mengenai teori cinta menurut Erich

Fromm dan John D Caputo. Berhubung karena begitu luasnya tema ini, dan juga

ketidak sesuaian topik yang akan dikaji maka, mengenai, rasa sedih, frustasi dan

trauma yang sering terjadi dalam pernikahan dan cinta, tidak akan penulis jelaskan

dalam bagian ini.

2.1. Pengertian Pernikahan

Secara umum, pernikahan merupakan tindakan sepakat antara dua insan

untuk duduk di pelaminan, kemudian hidup bersama menjalani suka-duka dalam

mengarungi dinamika bahtera kehidupan dalam berkeluarga. Dalam KBBI, kata

dasar dari pernikahan ialah nikah yang berarti ikatan (akad) perkawinan yang

dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.1 Dalam ilmu sosiologi

pernikahan dipandang sebagai institusi sosial yang merupakan landasan yang

mendasari dari kehidupan kemanusiaan. Dua individu dengan jenis kelamin yang

berbeda saling tertarik melalui kekuatan insting yang misterius, saling mencintai

dan komitmen dengan bebas dan total, pada masing-masing untuk membentuk unit

kreatif yang dinamis, komunitas mikro yang disebut keluarga.2 Di sini keluarga

menjadi penyumbang generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan aktif-

poisitit untuk kebaikan kemaslahatan masyarakat.

Secara sederhana dan penuh makna, David Iman Sutikno memberi

pengertian mengenai pernikahan bahwa pernikahan adalah hubungan antara dua

orang yang berlainan jenis (pria dan wanita) yang sepakat menjadi satu untuk hidup

bersama dalam sebuah rumah tangga.3 Dua pribadi berbeda jenis, karakter, dan latar

belakang disatukan dalam ikatan pernikahan. Singkatnya bahwa, keduanya harus

mau menerima keberadaan masing-masing dengan beradaptasi (menyesuaikan diri)

sehingga terjadi kompromi yang kreatif di mana masing-masing pribadi harus

memikirkan kepentingan pasangannya demi kebahagiaan bersama.

Selanjutnya, menurut Sutjipto Subeno, pernikahan adalah lembaga pertama

yang ditetapkan dan dikehendaki oleh Tuhan Allah sendiri.4 Allah menghendaki

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 7282 http://sururudin.wordpress.com/2009/03/14/sosiologi-perkawinan/,diaskes tanggal 18

Mei 20163 David Iman Sutikno, Pintu Membangun Rumah Tangga Harmonis, (Yogyakarta: Andi

Ofset, 2011), 15.4 Sutjipto Subeno, Indahnya Pernikahan Kristen, (Surabaya: Momentum, 2008), 2

pernikahan sebagai salah satu bentuk relasi agar manusia dapat saling melengkapi

satu sama lainnya (perempuan dan laki-laki).

Senada dengan yang dikatakan Subeno; menurut Robert P. Borong,

pernikahan adalah peraturan suci yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Sehingga

lewat aturan atau pernikahan tersebut Tuhan mengaruniakan persekutuan khusus

antara suami dan istri untuk dijalani bersama sebagai sumber yang membahagiakan

kehidupan.5 Di sini penulis sepakat bahwa lewat pernikahan yang penuh cinta dapat

tercipta hubungan yang harmonis.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I

pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6

Dari pemaparan di atas ditemukan paling tidak ada dua istilah yang berbeda

yaitu, pernikahan dan perkawinan. Akan tetapi dalam menelusuri maknanya

masing-masing, keduanya memiliki maksud yang sama. Misal seperti yang

tercantum di dalam UUD NO 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan. Dalam konteks

tersebut perkawinan diharapkan agar pria dan wanita sebagai suami istri

membentuk keluarga dengan tujuan hidup bahagia berdasar pada prinsip-prinsip

Ketuhanan. Dengan demikian, apa yang dikatakan Subeno dan Borong mengenai

pernikahan senada dengan istilah perkawinan jika merujuk pada UUD 1974

5 Robert P. Borong, Etika Seksual Kontemporer, (Bandung: Ink Media, 2006), 25.6 Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan.

mengenai perkawinan. Oleh karena hal tersebut, penulis dalam tulisan ini akan lebih

sering menggunakan istilah pernikahan.

Jadi, dengan beberapa pengertian di atas penulis mencoba merumuskannya

sebagai berikut: (1) Pernikahan merupakan anugerah yang asalnya dari Tuhan. (2)

Pernikahan merupakan sarana untuk membangun, memulai menyatukan perbedaan,

menepis sikap egoisme karena dalam pernikahan, dua insan diajak untuk saling

memikirkan, bekerja sama guna mencapai ikatan yang harmonis bersama dan

bertadaptasi dengan masyrakat secara bertanggungjawab. (3) Pernikahan

merupakan ikatan cinta, tindakan sepakat, keteguhan komitmen untuk hidup

menjalani suka maupun duka.

Setiap lembaga (agama) tentunya memiliki pengertian tersendiri mengenai

pernikahan. Oleh karena itu, ada baiknya jika melihat bagaimana setiap agama

memberikan pengertian pernikahan khususnya Islam- Kristen :

2.1.1. Pernikahan Menurut Islam

Pernikahan adalah terjemahan yang diambil dari bahasa Arab yaitu nakaha

dan zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok yang digunakan Al-

Qur’an untuk menunjuk perkawinan (pernikahan). Istilah atau kata zawaja berarti

‘pasangan’, dan istilah nakaha berarti ‘berhimpun’. Dengan demikian, dari sisi

bahasa, perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan

berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra. Menurut kamus

Munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan

senggama.7 Nikah menurut syara’ adalah akad serah terima antara laki-laki dan

perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta

membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah.8

Adapun menurut istilah Ahli Ushul nikah menurut arti aslinya ialah aqad,

yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan,

sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul

golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang diatur

oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap

faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.9

Adapun beberapa dasar di antara banyak dasar hukum pernikahan menurut

Islam adalah sebagai berikut:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmuisteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasatenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tandabagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-Ruum 30:21).

Menikah adalah salah satu dari sunnah nabi kepada umatnya. Terdapat hadis

yang memerintahkan para muda-mudi untuk menikah sebagaimana yang

diriwayatkan oleh Bukhori da Muslim melalui sahabat Nabi ‘Abdullâh bin Mas’ûd.

Bunyinya adalah:

Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu kawin, makahendaklah dia kawin. Itu lebih baik dapat menjadikan pandangan tunduk (tidak liar ke kanan dan kiri) dan lebih membentengi kemaluan. Barang siapa

7 A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:Pustaka Progressif, 2002), 1461.

8 Lihat http://10213009.blog.unikom.ac.id/bab-pernikahan.6tp, diaskes pada, 05 Maret2016.

9 Lihat http://tanbihun.com/fikih/definisihukum-dan-pelaksanaan-nikah/ diakses pada 01Maret 2016

yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalahperisai baginnya10

Hadis ini, di samping mengarahkan para pemuda dan pemudi untuk kawin,

sekaligus menggarisbawahi syarat yang harus dipenuhi yaitu “kemampuan untuk

kawin”. Kemampuan tersebut, mencakup kematangan mental, kemampuan fisik

serta khusus bagi pria dana yang cukup untuk membina rumah tangga sakinah.11

Islam dalam hal ini sangat memandang mulia suatu yang disebut dengan

pernikahan. Pernikahan menurut Islam adalah perintah dari Tuhan dan wajib

hukumnya untuk dilaksanakan bagi pemuda-pemudi yang sudah mapan secara

finansial dan yang beresiko jatuh dalam perbuatan zina.

Umumnya umat Islam sepakat bahwa, pernikahan merupakan sunnah nabi

Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku

nabi Muhammad saw. Pernikahan diisyaratkan supaya manusia mempunyai

keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat,

di dalam ikatan cinta kasih dan ridha dari Allah SWT. Dan hal ini telah diisyaratkan

dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orangyang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akanmemampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).

Dengan demikian, menurut Islam pernikahan sangat baik untuk dilakukan

dengan harapan terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah dan wa rahma.

10 M. Quraish Shihab, 1001 Soal Keagamaan yang Patut Anda Ketahui. (Tanggerang :Lentera Hati, 2012), 562.

11 Ibid, 562-563.

2.1.2. Pernikahan Menurut Kristen

Pernikahan Kristen adalah ikatan dan persekutuan hidup yang menyeluruh

(total) dari seorang pria (suami) dengan seorang wanita (istri) yang telah diteguhkan

Allah dalam pernikahan kudus; yang meliputi roh, jiwa dan tubuh; masa kini dan

masa yang akan datang (sampai salah seorang meninggal dunia), dengan tujuan

untuk membentuk secara bertanggung jawab suatu rumah tangga, lembaga keluarga

kristiani yang kudus, harmonis, dan bahagia serta memuliakan dan melayani Tuhan

di dalam terang dan teladan Yesus kristus.12

Di dalam ke-Kristenan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat sakral

dalam arti, menyatunya tubuh, roh dan jiwa, sehingga lewat pemberkatan,

peneguhan pernikahan tersebut mengandung unsur kesetiaan, tanggung jawab, dan

sebagai bentuk pelayanan terhadap Tuhan.

Lebih dari itu, Pernikahan Kristen memiliki karakteristik yang berbeda.

Pernikahan Kristen sangat menjunjung kesakralan dari suatu sakramen salah

satunya adalah “sakramen” pernikahan sehingga, sangat minim dijumpai kasus

perceraian di dalam pernikahan Kristen. Pernikahan Kristen dirumuskan sebagai

suatu persekutuan hidup total dalam pertalian kasih antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan yang berlangsung seumur hidup yang dimeteraikan dengan

berkat nikah kudus.

Di dalam ke-Kristenan, juga ada beberapa nats atau yang biasa disebut

sebagai landasan Alkitabiah mengenai pernikahan. Kisah di taman Eden, dipandang

12 http://tentangagamakristen.blogspot.com/2012/07/Dasar-dasar-Pernikahan-Kristen.html, 10 Maret 2016.

sebagai suatu perintah kepada manusia, ketika Allah berfirman: beranak cuculah

dan penuhilah bumi. Ayat tersebut mengandung perintah agar manusia

mengusahakan keturunan lewat pernikahan. (Bnd. Kej. 1:28).

“Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunyadan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yangtelah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Matius 19:5-6).

Dengan demikian, Islam dan Kristen pada dasarnya menganggap bahwa

pernikahan adalah Anugrah dari Tuhan dan merupakan sesuatu hal yang sakral

untuk dilakukan dalam rangka mewujudkan, menyatakan cinta kasih terhadap

orang yang dicintai sebab lewat pernikahan juga mereka menjalin persekutuan

dengan Allah.

2.2. Suatu Perdebatan: Pernikahan Beda Agama

Pernikahan beda agama memang sudah tidak lazim lagi didengar, biasa juga

disebut dengan istilah “kawin campur”. Pernikahan beda agama ialah perkawinan

yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki agama yang berbeda dan mereka

saling mempertahankan agamanya masing-masing. Diskursus pernikahan dengan

landasan perbedaan agama kini telah menjadi perbincangan umum di tengah

masyarakat. Nampaknya, hal tersebut dianggap wajar dan lumrah di tengah

masyarakat sekarang. Namun, yang menjadi pertanyaannya ialah, apakah agama

masing-masing melegalkan terjadi pernikahan tersebut? Tentunya masing-masing

agama memiliki peraturan, garis-garis (role) yang menjadi acuan bagi masing-

masing penganutnya untuk dijalani.

Pernikahan beda agama agama merupakan model pernikahan yang masih

dianggap ‘tabu’ dalam prakteknya. Hal ini dikarenakan masih bertentangan oleh

paham agama dan peraturan-perundangan di Indonesia. Menurut Nurcholish, paling

tidak ada empat persepsi yang mempengaruhinya. Pertama, masyarakat pada

umumnya hanya tau bahwa doktrin agama yang dianutnya melarang pernikahan

beda agama. Orang-orang yang menghidupi persepsi ini cenderung tidak mau tahu

mengenai tafsir-tafsir teks dan hanya berpegang teguh pada doktrin tunggal yang

didengarnya dari para petinggi agama. Kedua, begitupun para agamawan yang

memiliki ‘otoritas tunggal’ dalam menerjemahkan pesan kitab suci kepada umat

cenderung memegang kuat tafsir-tafsir teks yang melarang pernikahan beda agama.

Ketiga, baik masyarakat, organisasi keagamaan, maupun para agamawan, (hampir)

sepakat bahwa pernikahan beda agama rawan akan terjadinya konflik permasalahan

dalam rumah tangga. Keempat, pandangan masyarakat dan para agamawan tersebut

makin kuat karena dilegalkan negara melalui UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan dengan Inpres No.1 Tahun 1991.

Bersamaan dengan itu, MUI juga mengeluarkan fatwa haram untuk menikah bedah

agama. Akibatnya negara sama sekali tidak mengakomodir pernikahan beda agama

terjadi di Indonesia.13

Terlepas dari berbagai faktor di atas, mengenai larangan perinkahan beda

agama, faktanya kian hari pernikahan beda agama kian menjadi perbincangan yang

menarik untuk dilakukan dengan berbagai alasan. Menurut Norcholish, ada dua hal

13 Meski pernikahan beda agama kian banyak jumlahnya di Indonesia, namun belummendapat tempat yang layak baik di kalangan masyarakat, agama maupun negara. AhmadNurcholis, Memoar Cintaku : Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama, (Yogyakarta: LKiS,2004) 1-5.

yang mempengaruhi yaitu; Pertama, seiring dengan kemajuan teknologi dan

komunikasi, berdampak pada kemudahan manusia untuk berkomunikasi dan

berinteraksi. Hal ini akan berpengaruh terhadap perubahan pergaulan kepada

manusia. Artinya, dalam menjalin relasi sosial manusia semakin mudah terhubung

dengan satu dan yang lainnya. Terlepas pula dari kondisi masyarakat Indonesia

yang majemuk, pergaulan dalam dunia kerjapun memungkinkan manusia

terhubung dengan orang-orang yang berbeda agama. Kedua, pandangan atau tafsir

yang membolehkan pernikahan beda agama makin menegaskan bahwa tidak ada

tafsir tunggal atas teks-teks suci.14

Karena setiap agama (Islam- Kristen) memiliki pengajaran, sudut pandang

tersendiri mengenai wacana (boleh atau tidak) pernikahan beda agama. Hal ini,

penting untuk diketahui bersama, sebagai berikut:

2.2.1. Pernikahan Beda Agama Menurut Islam

Pandangan Agama Islam terhadap pernikahan beda agama pada prinsipnya

tidak memperkenankannya. Alasannya jelas, dalam Al-Quran dengan tegas

dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis

dalam Al-Quran yang berbunyi :

Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikah orang musyrik(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnyabudak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun diamenarik hatimu. (Al-Baqarah 2:221)

14 Pandangan hidup setiap orang mengalami perubahan. Lebih kritis, terbuka dan pekaterhadap doktrin-doktrin agama, yang jika dicermati malah membelenggu kebebasan dan kreatifitasmanusia sebagai makhluk yang merdeka. Ahmad Nurcholis, Memoar Cintaku : PengalamanEmpiris Pernikahan Beda Agama,. . . 6-8.

Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-

laki maupun wanita yang beragama Islam untuk tidak kawin dengan orang-orang

yang tidak beragama Islam.15 Atau dengan bahasa lain bahwa di luar dari Islam

ialah kafir. Hal ini dipertegas oleh Mamah Dedeh dalam ceramahnya, ia

mengatakan bahwa orang yang kafir tidak halal bagi perempuan yang beriman

begitu pun sebaliknya, orang yang tidak satu akidah (baca:beda agama) tidak halal

untuk menikah karena ketika mereka berhubungan badan hukumnya sama dengan

zina.16

Namun, menurut Cak Nur yang dikutip oleh Imam Fauzi dalam skripsinya

bahwa Pemikiran seperti ini kurang tepat. Pemikiran semacam ini dikarenakan

sebagian masyarakat muslim Indonesia beranggapan bahwa yang termasuk dalam

golongan musyrik adalah Yahudi dan Nasrani sehingga, muncul dalam benaknya,

apakah kaum non-muslim (Yahudi dan Nasrani) adalah tergolong Musyrik?

Kemudian, Cak Nur mengutip pendapat al-Maududi yang mengatakan bahwa

dalam al-quran terdapat term yang disematkan kepada kaum non-muslim yang

maknanya antar satu dan lainnya memiliki makna yang berbeda. Istilah itu adalah

musyrik, ahl-kitab, dan ahl Iman.17

15 Lihat http://daruttahfidz.blogspot.com/2013/05/pernikahan-beda-agama-dalam-pandangan.html, 2016.

16Mamah Dede dalam pengajiannya, dapat dilihat di alamat: http://r11---snnpo7en7d.googlevideo.com/videoplayback?id=o-

17 Imam Fauzi, Studi Komperatif Pemikiran Masjfuk Zuhdi dan Nurcholis Majid TentangPernikahan Beda Agama, disusun dalam memenuhi syarat memperoleh Sarjana Hukum Islam diUniversitas Islam Negeri Malik Ibrahim, Kota Malang. Dapat diakses pada http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_iii/07210023-imam-fauzi.ps

Meski dalam ayat di atas, Islam secara tegas melarang pernikahan beda

agama sampai orang yang dinikahinya beriman kepada Allah dan Rasulnya18, akan

tetapi terdapat ayat lainnya yang memberikan ‘kesempatan’ adanya pernikahan

dengan selain Islam yaitu Ahl Kitab. Penjelasan tersebut terdapat dalam surat al-

Mâidah 5: 5 yaitu:

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjagakehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yangmenjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelumkamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksudmenikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannyagundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerimahukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamattermasuk orang-orang merugi

Hematnya, tidaklah tepat manakala istilah musyrik tersebut dialamatkan

kepada non- muslim.

Menurut Mamah Dede dalam menafsir ayat di atas bahwa yang dimaksud

sebagai ahlul kitab ialah “orang menekuni dan mengerjakan perintah Allah dalam

Kitab Taurat, Zabur dan Injil. Namun pada saat ini tidak ada lagi ahlul kitab karena

mereka yang semulanya mengesakan Allah kini sudah musyrik dengan

menyerikatkan Allah, Tuhan mereka tidak lagi satu melainkan banyak. Itulah

sebabnya haram menikah dengan ahli kitab yang sekarang”. Hal ini menurut Cak

Nur tidaklah adil, karena menurutnya jika orang non-muslim melakukan perbuatan

syirik tidak secara langsung menjadikan pelakunya sebagai musyrik, namun,

18 M. Ali Ash-Shobuni, Tafsir Ayatul Ahkam. (Kairo : Dar ashobuni, 2008), 202.

sebaliknya seorang itu dikatakan musyrik maka sudah jelas ia pelaku perbuatan

syirik.19

Dari seluruh teori yang telah dituliskan di atas, dapat dirumuskan bahwa

dalam Islam juga terjadi perdebatan yang serius tentang boleh tidaknya pernikahan

beda agama. Namun pada umumnya, doktrin yang berkembang di dalam kalangan

Islam melarang adanya pernikahan beda agama.

2.2.2. Pernikahan Beda Agama Menurut Kristen

Ada beberapa ayat yang sering dilegitimasi sebagai bentuk penolakan

terhadap pernikahan beda agama, misal Teks 2 Korintus 6:14 yang berbunyi:

Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenarandan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?

Ayat di atas, biasanya digunakan dalam seminar-seminar pemuda saat

membahas mengenai pernikahan Kristen. Pernah juga penulis secara langsung

mendengar ungkapan yang keluar dari mulut pendeta mengakatakan bahwa,

“jalinlah hubungan cinta dengan yang seiman”. Lalu digereja tertentu, seorang yang

menikah beda agama tidak diperbolehkan untuk menjadi majelis gereja. Artinya,

secara konseptual kristen tidaklah membenarkan dan masih hidup dalam bayang-

bayang penolakan terhadap pernikahan beda agama.

Jika menilik konteksnya, sejatinya ayat di atas, tidak ditujukan untuk

melarang atau mendukung seorang Kristen menikah dengan orang non-Kristen,

melainkan lebih ditujukan bagi para petobat baru, yang pasangannya masih

19 Ibid, 23

memeluk kepercayaan yang lama.20 Tujuannya jelas, yakni agar orang-orang

Kristen benar-benar menerapkan kekudusan dalam hidupnya dan tidak lagi terjatuh

dalam kehidupan cemar yang masih menjadi gaya hidup pasangannya. Mereka

dipanggil untuk menularkan positive influence bagi pasangannya yang belum

percaya. Namun demikian toh Paulus tetap melarang orang-orang Kristen

menceraikan pasangannya yang sudah berbeda iman itu, kecuali pasangannya yang

menginginkan (lihat: 1 Korintus 7: 12-16). Dalam konteks yang demikian para istri

dan suami tetap harus menjalankan panggilannya untuk menjadi kesaksian di

tengah orang yang tidak percaya. (1 Petrus 2: 12).

Namun di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa di dalam PL, kawin campur

juga dibeberkan sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Sebagai

bangsa kecil di tengah beragamnya peradaban di sekitarnya, orang-orang Israel tak

dapat menghindari relasi sosial dengan bangsa lain yang juga beragama lain. Maka

pernikahan beda agama juga menjadi realitas yang tak terhindarkan. Bahkan

"tokoh-tokoh besar" Israel pun mengalaminya, dan itu dicatat oleh Alkitab. Misal,

(1) Kejadian 38:1-2 (Yehuda menikah dengan Syua, wanita Kanaan) (2) Kejadian

46: 10 (Simeon juga menikah dengan wanita Kanaan) (3) Kejadian 41:45 (Yusuf

dengan Asnat, anak Potifera, imam di On-Mesir) (4) Kejadian 26:34 (Esau dengan

Yudit, anak Beeri orang Het) (5) Bilangan 12:1 (Musa - sang pemimpin Israel

menikah dengan seorang perempuan Kusy) (6) Kejadian 4:10 (Rut dan Boas).

20 J. Wesley Brili, Tafsiran Surat Korintus Pertama, (Bandung: Kalam Hidup, 2003), 141-142. Wesley menjelaskan bahwa; Pernikahan yang dimaksudkan adalah pasangan antara keduaorang kafir tetapi, salah seorang di antaranya sudah percaya kepada Tuhan dan seorang lagi yangbelum percaya. Pernikahan beda keyakinan ini harus tetap dijaga dengan harapan agar pasanganyang tidak seiman tersebut dapat ditarik kepada keyakinan orang Kristen.

Di konteks tertentu penulis melihat bahwa pernikahan dengan wanita non-

Israel diijinkan agar umat tidak terjatuh pada dosa kejahatan perang, dalam hal

perlakuan biadab terhadap para wanita tawanan perang.

Hal ini terdapat dalam Ulangan 21:10-14. Bagian ini merupakan rangkaian dari

perikop yang berbicara mengenai hukum perang yang ditetapkan bagi orang Israel

(lihat Ulangan 20 - 21 :14).

Apabila engkau keluar berperang melawan musuhmu, dan TUHAN,Allahmu, menyerahkan mereka ke dalam tanganmu dan engkau menjadikanmereka tawanan, 21:11 dan engkau melihat di antara tawanan itu seorangperempuan yang elok, sehingga hatimu mengingini dia dan engkau maumengambil dia menjadi isterimu, 21:12 maka haruslah engkau membawadia ke dalam rumahmu. Perempuan itu harus mencukur rambutnya,memotong kukunya, 21:13 menanggalkan pakaian yang dipakainya padawaktu ditawan, dan tinggal di rumahmu untuk menangisi ibu bapanyasebulan lamanya. Sesudah demikian, bolehlah engkau menghampiri dia danmenjadi suaminya, sehingga ia menjadi isterimu.21:14 Apabila engkautidak suka lagi kepadanya, maka haruslah engkau membiarkan dia pergisesuka hatinya; tidak boleh sekali-kali engkau menjual dia dengan bayaranuang; tidak boleh engkau memperlakukan dia sebagai budak, sebab engkautelah memaksa dia.

Pada bagian ini dengan gamblang diatur: apabila Israel menang perang,

menawan musuh dan di antaranya ada para wanita yang menarik, maka wanita itu

harus diperlakukan secara manusiawi, dihormati hak-haknya. Lalu: ... "sesudah itu

bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi

istrimu."

Meski demikian, pada umumnya Islam dan Kristen secara doktrinasi

menolak pernikahan beda agama. Jadi, secara sederhana dan jelas bahwa, Kristen

juga menolak pernikahan beda agama.

2.3. Teori Cinta

Cinta adalah praktek hidup yang paling banyak diinginkan oleh manusia di

dunia ini. Dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua semua ingin merasakan

apa yang disebut dengan cinta. Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang

kuat dan ketertarikan pribadi.

Dalam konteks filosofi cinta, cinta merupakan sifat baik yang mewarisi

semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta

adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain,

berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti

perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek

tersebut terlepas dari sikap egois.21

Menurut Marx yang dikutip dalam buku Frans Magnis Soseno bahwa dalam

cinta, laki-laki dan perempuan saling menjadi kebutuhan secara alami; secara alami

dan spontan manusia yang satu terdorong dan gembira untuk memenuhi kebutuhan

manusia yang lain, tanpa melirik pada keuntungan egoisnya sendiri. Apabila dua

orang saling mencintai, mereka ingin saling membahagiakan. Kebahagiaan yang

satu adalah kebahagiaan yang lain dan sebaliknya. Apabila mereka saling memberi

hadiah, mereka tidak pernah berpikir untuk menuntut pembayaran. Maka cinta

sejati merupakan hubungan di mana individu bersifat individu sekaligus bersifat

sosial.22

21 http://di.wikipedia.org/wiski/cinta, diaskes April, 2016.22 Frans Magnis Soseno, Pemikiran Karl Marx, (Bandung: Gramedia, 2010), 99.

Cinta memiliki peranan penting dalam aspek kehidupan. Cinta merupakan

hal yang paling utama dalam kehidupan untuk menjadikan kehidupan harmoni.

Berikut adalah teori cinta menurut:

2.3.1. Erich Fromm: Cinta Sebagai Instrumen Pemersatu23

Erich Fromm adalah seorang Psikoanalitis sosial yang merupakan salah satu

tokoh dari psikologi humanistis pasca Sigmud Freud. Fromm Lahir di Frankrut,

Jerman 1990. Riwayat akademisnya sangat panjang dan brilian, disertai

pengalaman mengajar dan meneliti yang terbilang padat. Ia menghabiskan

waktunya dengan mengasah pikiran mengenai jiwa manusia, sekaligus mengkritik

dan menambal lobang-lobang pada teori psikoanalisis Freud. Tidak hanya itu,

Fromm juga menulis buku tentang teologi, psikologi dan mengenai keagamaan.

Fromm belajar sosiologi dan psikologi di Universitas Heidelberg Frankrut

sampai mendapatkan gelar Ph.D. Pada tahun 1933, Fromm muda hijrah ke Amerika

dan membuka praktik privat psikoanalisis di New York. Di negeri Paman Sam itu,

ia sempat mengajar di Columbia University dan Institute for Social Research. Dan

masih pada kota yang sama Fromm menjadi guru besar di Yale University. Pada

tahun 1974, Fromm dan isterinya memutuskan untuk berangkat ke Swiss untuk

menikmati dan menghabiskan masa hidupnya di negeri itu. Pada 18 Maret 1980,

Fromm tutup usia di kota Murallo Swiss.24

Dalam The Art Of Loving Menurut Fromm, manusia memiliki kebutuhan

eksistensial untuk mengatasi rasa keterpisahan dengan alam semesta sejak lahirnya

23 Erich Fromm, The Art Of Loving: Memaknai Hakikat Cinta, (Jogjakarta: Garasi, 2009),28.

24 Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, Matriarki: Kajian Komperehensip Tentang Gender,(Yogyakarta: Jalasutra, 2011) v.

di dunia. Kesadaran akan ketakberdayaan manusia di hadapan kekuatan alam dan

masyarakat telah membuat eksistensi manusia terpecah belah dan diliputi

kecemasan. Oleh karena itu, manusia memiliki kebutuhan eksistensial, yakni

kebutuhan akan persatuan. Lalu bagaimana manusia dapat mencapai kesatuan

tersebut? Fromm menjawab bahwa, jawaban sepenuhnya terletak pada tercapainya

kesatuan antar pribadi dan kesatuan melalui perpaduan dengan pribadi lain dalam

cinta. Lanjut, Fromm menegaskan, bahwa “Tanpa Cinta kemanusiaan tak akan

ada”. Sebenarnya, Fromm yakin bahwa cinta itu adalah alat pemersatu yang paling

kuat, sehingga ia dengan tegas mengatakan bahwa sungguh mustahil mencari

kemanusiaan tanpa cinta. Fromm setuju bahwa cinta itu meliputi bermacam bentuk,

yaitu cinta sesama dan persahabatan, cinta Tuhan, cinta orang tua- anak, cinta pada

diri sendiri, maupun cinta romantis. Namun di antara bentuk-bentuk cinta tersebut,

cinta sesama merupakan bentuk cinta yang paling mendasar.

Cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam.

Menurut Erich Fromm, ada lima syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:

Perasaan, Pengenalan, Tanggung jawab, Perhatian, Saling menghormati. Cinta

adalah seni, selain itu agar mampu mencintai, seseorang harus menempatkan cinta

sebagai tujuan yang tertinggi. Cinta adalah penembusan aktif dalam pribadi lain

hingga mengalami rasa persatuan. Fromm kemudian melihat segala bentuk

perbedaan yang ada di masyarakat, misal golongan, ras, etnis, dan agama.

Perbedaan ialah perbedaan, namun, untuk mewujudkan cinta hanya berasal dari

pribadi-pribadi matang. Mereka yang telah mewujudkan kerukunan dan persatuan

antara umat manusia, berarti telah mampu menembus batas-batas yang memisahkan

dirinya dengan orang lain. Mereka telah menembus kulit luar perbedaan antara

umat manusia dan masuk pada kedalaman pribadi lain serta mengalami persatuan.

Sungguh sangat indah hidup dalam harmoni yang penuh cinta, kata Fromm.

Namun sayang sekali, tidak semua orang sanggup mewujudkan harmoni seperti itu.

Tampaknya dengan rasa keterpisahan yang melekat, perbedaan-perbedaan antar

kelompok yang tampak dari luar telah menimbulkan ilusi yang menakutkan (dirasa

mengancam) bagi orang-orang atau kelompok tertentu. Yang diharapkan ialah

keseragaman, sementara hukum alam telah menetapkannya berbeda. Menurut

Fromm, ada yang sangat berbahaya; mereka yang tidak sama dengan kelompoknya

akan dianggap sebagai musuh.

Ketika orang tidak menyatukan dirinya dengan orang lain, maka orang

tersebut tetap merasa terpisah, terpisah dari dirinya sendiri maupun orang lain

(alienasi). Fromm mengatakan, orang yang mengalami alienasi tidak mengalami

dirinya sendiri sebagai pusat yang memancarkan aktivitas-aktivitas hidup cinta dan

akal budinya. Sungguh hampa makna, sehingga hidupnya hanya bergantung dan

tunduk pada pemimpin negara, politik, dan kelompok. Selain itu, mereka juga

menjadi penyembah Tuhan yang diberlakukan sebagai berhala, mencintai orang

lain sebagai berhala, dan juga menyembah perwujudan-perwujudan nafsu-nafsu

irasional (memburu uang, kehormatan, harga diri, menghancurkan orang lain,

mengancam dan sebagainya).

Selanjutnya Fromm juga mempertanyakan, apa itu keyakinan? apakah

keyakinan selalu merupakan kepercayaan kepada Allah, atau doktrin agama?

Apakah keyakinan harus selalu dipertentangkan atau dipisahkan rasio dan

pemikiran irasional? Menjawab pertanyaan ini ia mengatakan bahwa, keyakinan

irrasional adalah keyakinan yang sifatnya tunduk terhadap sesuatu yang didasarkan

pada otoritas irrasional. Sedangkan keyakinan rasional merupakan pendirian yang

berakar pada pengalaman pribadi dalam berpikir dan merasakan. Pada aras ini,

Fromm menegasklan bahwa keyakinan rasional berakar pada watak dan pendirian

terhadap yang diyakini. Yakin terhadap eksistensi diri, jati diri, dan berani

mengambil resiko dengan syarat yang membutuhkan keberanian. Artinya, yakin

akan kualitas cinta yang dimiliki dengan fokus berpuncak pada nilai-nilai sesama

manusia. Terpenting yang berkaitan dengan cinta ialah keyakinan pada mutu

cintanya sendiri; dalam kemampuannya untuk memberikan cinta kepada orang lain,

dan kemampuannya untuk dapat dipercaya. Lewat itu, sifat tunduk terhadad

keyakinan irrasional yang berdasarkan pemahaman mayoritas kelompok dapat

dilampaui. Sebab bagi Fromm, mencintai berarti menyerahkan diri tanpa jaminan,

menyerahkan diri sepenuhnya dengan harapan bahwa cintanya akan membuahkan

cinta kepada orang yang dicintai. Cinta adalah tindakan keyakinan dan siapun yang

kecil keyakinannya maka kecil pula cintanya.

Dengan berdasar pada uraian Fromm di atas, baginya ada suatu

pengahambat terwujudnya, terjalinnya cinta, kerukunan, hubungan harmonis.

Penghambat tersebut ialah kurangnya pribadi matang yang mampu menembus

batas-batas dari perbedaan. “Kurangnya pribadi matang” yang dimaksudkan oleh

Fromm yaitu, pribadi-pribadi yang masih terus menganggap bahwa perbedaan

adalah suatu ancaman bukan keindahan.

2.3.2. Jhon D. Caputo: Cinta dan Religiusitas25

Ia adalah salah seorang teolog sekaligus filsuf Katolik yang mencoba

menentang kemapanan berpikir mengenai tema-tema religius yang di semangati

oleh paham mistis “antara baik dan jahat” dengan menggunakan bahasa cintanya.

Caputo memulai tesisnya dengan pernyataan bahwa sebagian kalangan

dapat secara mendalam bersifat “religius” dengan atau tanpa teologi, dengan atau

tanpa agama-agama. Agama dapat ditemukan dengan atau tanpa agama. Kemudian

disusul dengan pertanyaan, Apa yang aku cintai ketika aku mencintai Tuhanku?

Mencintai Tuhan berarti mencintai sesuatu secara mendalam dan tak bersyarat.

Caputo menyadari bahwa, memang tidak ada “agama”. “Agama” secara singular,

sebagai subjek yang berdiri sendiri tidak akan ditemukan di mana-mana. Sebab, ada

yang disebut agama-agama purba, agama-agama timur, agama-agama barat,

agama-agama modern, agama-agama monoteistik, politeistik, dan malahan agama-

agama yang hampir ateis. Sehingga dalam kewajarannya agama dalam ruang publik

bertemu satu sama lain. Dengan kemajemukan ini, cinta merupakan alat

pemersatunya.26

Berbicara mengenai cinta, menurut Caputo, salah satu gagasan di balik kata

cinta adalah sebentuk pemberian yang sepenuhnya, suatu komitmen “tanpa syarat”,

yang menandai cinta dengan semacam ekses tertentu. Oleh karena itu, tidak ada

artinya jika mencintai sedang-sedang saja, sampai batas tertentu. Sebab, cinta

bukanlah tawar-menawar melainkan pemberian diri yang tak bersyarat; bukan

25 Jhon D Caputo, Agama Cinta Agama Masa Depan, . . .26 Informasi mengenai kemajemukan agama yang disampaikan Caputo membawa penulis

dalam perenungan bahwa; Tuhan menciptakan “perbedaan” dan cintalah yang menjadi instrumenpemersatunya.

investasi demi masa depan, melainkan komitmen, apapun yang terjadi di masa

depan. Betapa mulianya cinta untuk mencinta, sehingga cinta tidak hanya penting

untuk cinta, tapi juga untuk yang di cinta.

Menurut Caputo cinta memiliki arti sebuah pemberian yang utuh, sebuah

komitmen tanpa syarat. Totalitas menjadi suatu syarat penting dalam mencintai

sehingga tidak ada istilah setengah-setengah atau mencintai dengan sedang-sedang

saja, sampai batas tertentu sembari mencari yang lebih baik. Totalitas ini dipertegas

lagi dengan sebuah komitmen tanpa syarat yang membawa manusia itu masuk

dalam suatu ketegasan hati untuk menerima yang dicintai apa adanya. Dengan

demikian, cinta itu bukanlah suatu investasi demi masa depan “aku mencintai

supaya..” melainkan sebuah komitmen pada apa pun yang terjadi di masa depan.

Dari penjelasan ini, Caputo merumuskan premis pertamanya bahwa dalam energi

cinta, ketidakmungkinan menjadi wilayah yang paling mungkin dan di sanalah

wilayah cinta sejati, Cinta kasih Tuhan. Cinta memampukan manusia untuk

melewati wilayah yang mungkin dan berani masuk dalam suatu dunia/wilayah

ketidakmungkinan.

Dalam wilayah ketidakmungkinan ini pada akhirnya manusia dibawa pada

suatu batas di mana kita harus melepaskan segala kemungkinan-kemungkinan yang

ada dalam hidup. Kita dibawa pada suatu masa di mana kita harus mencintai apa

yang tak mungkin kita cintai, mencintai mereka yang tidak layak untuk dicintai,

mencintai mereka yang tidak mencintai kita, mencintai musuh-musuh kita. Kita

tidak lagi bermain-main dalam wilayah kemungkinan-kemungkinan semata,

melainkan berjuang dalam wilayah yang tidak dapat dimainkan. Inilah yang

mustahil dalam pikiran kita, tetapi hanya pada saat itulah cinta itu menjadi mungkin

yaitu ketika kita berjuang mencintai mereka yang tidak mungkin kita cintai, ketika

kita berada di wilayah ketidakmungkinan itu.

Caputo menegaskan bahwa “cinta itu bukanlah sebuah makna untuk

memberi definisi, tetapi sesuatu untuk dilakukan, sesuatu untuk dibuat. Dengan kata

lain, cinta itu adalah suatu panggilan untuk bertindak. Bertindak berarti

mengaktualisasikan cinta itu dalam hidup kepada, sesama dan apa saja yang ada

termasuk Tuhan”.

Caputo berpendapat bahwa suatu dunia tanpa cinta adalah dunia yang diatur

berdasarkan kontrak-kontrak yang kaku dan kewajiban yang tak tertanggungkan,

suatu dunia yang moga-moga tidak diatur oleh para pengacara, imam-imam dan

tokoh agama. Tanda paling jelas jika seorang mencintai orang lain atau sesuatu

yang lain adalah ke-takbersyaratan dan keterbukaan pada eksesnya, keterlibatannya

yang mendalam dan komitmennya dan gelora gairahnya. Dalam arti yang menarik

perhatian penulis bahwa, syarat mencinta ialah cinta itu sendiri bukan agama.

Tiba pada pertanyaan yang membuat Caputo harus mengeksplor lebih jauh

pikirannya, apa sesungguhnya yang aku cinta ketika aku mencintai Tuhanku? Dari

pertanyaan ini, Caputo mengajak pembacanya untuk melihat kedalaman memaknai

cinta dan kebertuhanan. Katanya, Tuhan itu lebih penting daripada agama seperti

kasih lebih lebih penting daripada iman. Agama adalah rakit, buatan manusia,

konstruksi historis yang diatur dalam keadaan tertentu oleh komunitas manusia

dalam rangka mengartikulasi kasih Allah, dan sifat-siafat dasar manusia. Allah

bukanlah hanya sebuah nama tetapi sebuah perintah, sebuah gagasan, sebuah

permintaan, yang terjemahannya adalah suatu gerakan, perbuatan, yang harus

dilakukan. Dari pernyataannya ini, Caputo mengatakan bahwa sia-sia menyebut

nama Tuhan jika tidak mengasihi tau mencintai.

Makna Allah dimainkan dan perankan dalam berbagai gerakan kasih. Kasih

Allah diperankan atau dimainkan saat kemanusiaan kita, segala keinginan yang

terlalu manusiawi itu, diputarbalikkan dan kita semua ditarik keluar dari diri kita

sendiri oleh sesuatu yang lebih besar atau yang lain dari diri kita, ketika kekuasaan

dan potensi kita lepas dari engselnya dan kita ditinggalkan tergantung dalam sebuah

doa kepada yang “tak mungkin”. Wilayah tak mungkin adalah wilayah cinta dan

Tuhan berkarya. Kemudian haruslah disadari bahwa, kasih atau cinta haruslah

dimainkan dalam keterbukaan untuk masa depan yang kedengarannya susah untuk

dijangkau. Akan tetapi semangat yang menandai cinta tersebut adalah usaha

pemberian diri dan percaya yang dengan-Nya tidak ada yang mustahil.

2.3.3. Cinta: Teologis- Filosofis

Sebenarnya teori-teori cinta di atas telah menyiratkan makna atau pesan-

pesan yang penulis anggap representatif untuk dijadikan rujukan sebagai landasan

teologis-filosofis atau filosofis-teologis mengenai betapa kuatnya cinta.

Seperti yang dikatakan oleh, Fromm “Tanpa Cinta kemanusiaan tak akan

ada”, lalu menurut Gibran, “ cinta mengarahkan manusia kepada Allah dan karena

cinta pula Allah mempertemukan dirinya dengan manusia sehingga, bagi yang

mencinta hendaknya Allah ada di dalam aku”, kemudian menurut Caputo, “suatu

dunia tanpa cinta adalah dunia yang diatur berdasarkan kontrak-kontrak yang kaku

dan kewajiban yang tak tertanggungkan, suatu dunia yang moga-moga tidak diatur

oleh para pengacara”. Tentunya hal ini senada bahkan senafas dengan perkataan

Yesus dalam Matius 22:37-40:

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenapjiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama danyang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu, ialah:Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukuminilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Perkataan ini diarahkan pada seorang ahli Taurat jika sekarang bisa disebut

dengan pendeta atau kaum agamawan yang saat itu sangat mempertahankan isi dari

hukum Taurat namun mengabaikan substansi dari hukum tersebut. Mereka (baca:

ahli Taurat) terus menerus menganggap diri paling benar, menafsirkan kitab suci

secara harafia, terlalu banyak aturan tidak boleh ini, tidak boleh itu, gila hormat,

sementara praktek kasih dilupakannya. Semoga saja, dunia sekarang tidak ada lagi

Ahli-ahli Taurat kaku, itu harapan. Namun dengan membatasi cinta atas nama

agama sangat berpotensi menjadi Ahli Taurat modern yang turut serta mengambil

bagian menjadi pelaku atau penerus dari sikap egoisme yang menciderai nilai

kemanusiaan.

Perkataan Yesus tersebut merupakan sebuah simpulan dari 66 kitab yang

ada di dalam Alkitab (Kejadian- Wahyu) dimana cinta kasih diharapkan menjadi

hulu dan muara dari kehidupan manusia. Kemudian Paulus dalam suratnya kepada

jemaat di Korintus menambahkan bahwa; Iman, Pengharapan dan Kasih, dan dari

ketiga hal tersebut kasihlah yang menjadi Utama. Di dalam bahasa cinta Paulus

tersebut tersirat suatu makna cinta yang tidak bersyarat yaitu, sabar, murah hati,

tidak bermega diri, cinta kasih menutupi segalanya, memercayai segalanya,

mengharapkan segalanya, jujur, adil, menanggung segalanya (Bnd. 1 Kor 13:13).

Dengan demikian ditegaskan bahwa “Barang siapa yang tidak mengasihi berarti ia

tidak mengenal Tuhan. Jikalau seorang berkata; “Aku mengasihi Allah,” dan ia

membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barang siapa tidak

mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak

dilihatnya” (1 Yoh. 4:8, 20).

Kisah penciptaan dalam kejadian merupakan kisah yang kemudian penulis

pilih untuk dijadikan sebagai salah satu refleksi teologis- filosofis bahwa, Allah

menciptakan manusia laki-laki dan perempuan kemudian Allah memberkatinya

dengan pesan “beranak cuculah dan penuhilah bumi”. Allah menempatkan cinta di

antara mereka dan lewat cinta itu mereka dipersatukan-Nya, bukan malah

menetapkan, menciptakan agama lalu membuat aturan yang menihilkan salah satu

kebenaran dari agama lain dengan ungkapan kafir, musyrik, gelap, tidak beriman

dan memisahkannya. Sederhananya, Allah menciptakan cinta, agar manusia (laki

dan perempuan), lebih sederhana lagi, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan

untuk saling melengkapi agar bisa bersatu untuk harmoni.

Secara filosofis dapat dikatakan bahwa, di dalam cinta dan perjuangan

terdapat kata, “Aku dan Kamu” di dalam cinta, kata tersebut akan menjadi satu

kata yang ideal yaitu kita. Kata kita merupakan simbol bahwa betapa kuatnya “aku

dan kamu”, simbol bahwa tidak ada lagi ‘aku’ dan tidak ada lagi ‘kamu’ yang ada

ialah kita. Kita di dalam ikatan cinta adalah simbol perdamaian, simbol

harmonisasi. Kita adalah satu yang kata yang tunggal dalam kejamakannya, satu

visi dalam berbagai peran, kemudian menjadi penawar atau roh ampuh terhadap

disintegrasi.

Dengan memperhatikan teori-teori di atas, mereka (Fromm, Caputo dan

Yesus) menganggap cinta sebagai unsur tertinggi dalam kehidupan. Kehidupan

harus dimulai dengan mencintai, mencintai tanpa melihat latar belakang, demi

terjalinnya seuatu kesatuan yang memungkinkan bersatunya ‘aku dan kamu’ tidak

hanya secara teologis, filosofis, psiokologis, biologis, melainkan juga sosiologis.