permesta dan gerakan otonomi daerah 1957

17
PERMESTA DAN GERAKAN OTONOMI DAERAH 19571960 Taufik Ahmad Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Sultan AlauddinTala Salapang Km 7 Makassar 90221 Telp. (0411) 885119 Fax. (0411) 865166, 883748 Pos-el: [email protected] ABSTRAK Studi ini bertujuan untuk menjelaskan konsep dan implementasi otonomi daerah yang diperjuangkan oleh Permesta serta bagaimana pengelolaan dalam pembagian wilayah, perimbangan keuangan pusat dan daerah, pengaturan birokrasi, pemanfaatan sumber daya alam, ekonomi kerakyatan dan kemandirian regional. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah sejarah kritis melalui tahapan kerja heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil studi memperlihatkan bahwa konsep otonomi daerah yan diperjuangkan Permesta meliputi pembagian wilayah otonom di tingkat provinsi dan kabupaten, perimbangan keuangan daerah dan pusat serta pemberian wewenang dalam pengelolaah sumber daya lokal. Otonomi daerah yang diperjuangkan oleh Permesta telah berhasil diimplemtasikan dalam berbagai sektor kendatipun tidak merata di seluruh wilayah Indonesia Timur. Gerakan Permesta telah melakukan pembangunan infrastruktur dan mendorong perkembangan ekonomi rakyat yang berbasis desa. Kata kunci: Permesta, Otonomi Daerah, Keamanan Regional PENDAHULUAN

Upload: taufik-ahmad

Post on 22-Oct-2015

56 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Gerakan Permesta merupakan gerakan daerah yang menuntut otonomi pada tahun 1957 di Sulawesi

TRANSCRIPT

Page 1: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

PERMESTA DAN GERAKAN OTONOMI DAERAH 1957–1960

Taufik Ahmad Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Jalan Sultan Alauddin–Tala Salapang Km 7 Makassar 90221

Telp. (0411) 885119 Fax. (0411) 865166, 883748

Pos-el: [email protected]

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan konsep dan implementasi otonomi daerah yang diperjuangkan oleh

Permesta serta bagaimana pengelolaan dalam pembagian wilayah, perimbangan keuangan pusat dan daerah,

pengaturan birokrasi, pemanfaatan sumber daya alam, ekonomi kerakyatan dan kemandirian regional.

Metode yang digunakan dalam studi ini adalah sejarah kritis melalui tahapan kerja heuristik, kritik,

interpretasi dan historiografi. Hasil studi memperlihatkan bahwa konsep otonomi daerah yan diperjuangkan

Permesta meliputi pembagian wilayah otonom di tingkat provinsi dan kabupaten, perimbangan keuangan

daerah dan pusat serta pemberian wewenang dalam pengelolaah sumber daya lokal. Otonomi daerah yang

diperjuangkan oleh Permesta telah berhasil diimplemtasikan dalam berbagai sektor kendatipun tidak merata

di seluruh wilayah Indonesia Timur. Gerakan Permesta telah melakukan pembangunan infrastruktur dan

mendorong perkembangan ekonomi rakyat yang berbasis desa.

Kata kunci: Permesta, Otonomi Daerah, Keamanan Regional

PENDAHULUAN

Page 2: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

Tanggal 2 Maret 1957, sejumlah perwira militer di Sulawesi Selatan, di antaranya; Letkol

Kawilarang, Letkol Ventje Sumual, Letkol M. Saleh Lahade memproklamirkan Permesta

(Perjuangan Rakyat Semesrta) Sebelumnya,mereka menyatakan wilayah Teritorial VII Wirabuana

dalam keadaaan S.O.B. (Staat van Oorlog en Beleg), sehingga secara otomatis militer mengontrol

jalannya pemerintahan. Gubernur Andi Pangeran Pettarani dilantik sebagai Gubernur Militer dan

bertanggungjawab atas keamanan daerah. Gerakan Permesta bertujuan memperjuangkan otonomi

daerah untuk menjawab persoalan pembangunan daerah ketika itu. Otonomi daerah benar-benar

menjadi “magnet” dan begitu populer diperjuangkan, baik otonomi tingkat provinsi maupun

tingkat kabupaten. Persoalannya, bagaimana mengatur otonomi daerah di tengah upaya mengatasi

gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Muzakkar, bagaimana mengontrol

perdagangan dan penyelundupan yang semakin marak pada dekade 1950/1960an, bagaimana

mengoptimalkan sumber-sumber ekonomi regional, serta bagaimana mengontrol korporasi-

korporasi yang telah lama mengambil keuntungan dari situasi yang tidak stabil. Apakah otonomi

daerah Permesta mendorong munculnya transaksi-transaksi “gelap” antara pihak korporasi dengan

pihak penguasa lokal? Di sinilah ketepatan konsep otonomi daerah Permesta dan dedikasi aktornya

diuji, sejauhmana ide otonomi tersebut dapat dijalankan dengan baik untuk kepentingan

pembangunan daerah.

Studi tentang Permesta bukanlah studi sejarah masa lalu yang telah mati. Meskipun

mengkaji masa yang telah lewat, tetapi memberikan sebuah pengetahuan dan wawasan tentang

suatu konflik politik yang tidak kurang lebih pentingnya dari berbagai peristiwa politik di tanah

air pada pascarevolusi kemerdekaan. Pengetahuan dan wawasan ini kemudian dapat menjadi

landasan untuk memahami konteks berikutnya, termasuk memahami berbagai persoalan kekinian.

Page 3: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

Permesta menarik untuk dilirik kembali sebagai sebuah fenomena historis mengingat fenomena

yang sama juga dirasakan terutama satu dekade setelah reformasi.

Memang, sudah banyak jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan tentang

Permesta. Ini tidaklah berarti bahwa studi tentang Permesta telah berada pada posisi final.

Sebaliknya harus turus dikaji sehingga pemahaman tentang Permesta lebih komprehensif. Dalam

materi pelajaran sejarah untuk anak sekolah, misalnya; penguraian tentang Permesta sangat singkat

dan tidak secara komprehensif. Ini berakibat pemahaman kita pun sering keliru. Memoar A. H.

Nasution (1983) yang melihatnya dari sudut pandangan penulisnya. Dinas Sejarah Militer

Indonesia (TNI-AD) hanya menempatkan Permesta ke dalam kerangka peranan TNI dalam

penumpasan Permesta. Nugroho Notosusanto (1993) juga melihat Permesta jelas sebagai bagian

dari gerakan separatis-pemberontak, serta beragam lagi tulisan-tulisan lain yang kesemua itu

kemudian membentuk opini kita bahwa Permesta adalah gerakan separatis-pemberontak terhadap

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemahaman sejarah kita ini pun kemudian berlanjut kepada

sebuah asumsi bahwa apapun yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah pusat adalah

gerakan separatis-pemberontak. Ini dikarenakan banyak tulisan yang secara apriori mengecam

Permesta tanpa dukungan fakta-fakta dan celakanya anomali ini kemudian menjalar ke wilayah

garapan sejarah akademis, berlangsung hampir selama kekuasaan Orde Baru.

Dalam kajian sejarah akademis, paling tidak ada dua tulisan tentang Permesta yang telah

diterbitkan. Pertama, Barbara Sillars Harvey (1989) Permesta: Pemberontak Setengah Hati. Karya

ini merupakan kajian politik tentang Permesta dari sudut pandang pengamat luar. Harvey mencoba

menelusuri peristiwa Permesta dengan memakai teori center periphery. Teori ini berusaha melihat

faktor lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis yang merupakan warisan dari kondisi umum

zaman penjajahan, menjadi unsur pokok yang menimbulkan ketegangan pusat dengan daerah. Dari

Page 4: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

tulisan ini setidaknya Harvey juga berusaha menggeser pandangan tulisan-tulisan sebelumnya, dan

mendorong sebuah pemahaman baru bahwa ada faktor situasional yang menyebabkan Permesta

lahir, sehingga klaim sejarah Permesta sebagai gerakan separatis-pemberontak, total masih perlu

dipertanyakan secara akademis.

Kedua, Leirissa (1997) PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis,

memberi persepsi lain dari tulisan sebelumnya. Dengan menggunakan oral history mencoba

menemukan faktok-faktor utama di balik gerakan Permesta. Temuan Leirissa memperlihatkan

beberapa permasalahan menjelang Permesta, antara lain; kesenjangan dalam kubu Angkatan

Darat, bahaya komunisme, dan kegalan pembangunan ekonomi adalah faktor-faktor utama dibalik

gerakan Permesta. Selain itu, Ia juga menguraikan persepsi para eksponen PRRI-Permesta

mengenai tanah airnya pada tahun 1950-an, apa yang mereka lakukan, serta bagaimana upaya

menyusun strategi pembangunan berskala nasional tanpa keterlibatan PKI dalam kegiatan politik

nasional merupakan pokok-pokok penting dalam tulisan ini. Satu temuan yang dapat memancing

nalar sejarah kita adalah klaim sejarah atas Permesta sebagai gerakan separatis-pemberontak tidak

lagi disebutkan dalam tulisan ini, dan bahkan sedikitnya mendapat pembelaan secara argumentatif.

Kedua studi sejarah akademis di atas menguraikan secara detail tentang ketegangan antara

pusat dan daerah sebagai akibat lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis. Situaasi ini menjalar

sampai ke daerah-daerah dan terakumulasi menjadi bentuk kekecewaan pemerintah daerah

terhadap kebijakan politik dan ekonomi pemerintah pusat. Akibatnya, munculnya berbagai

pergolakan daerah dengan tuntutan agar pemerintah daerah dapat mengatur wilayah kerjanya

sendiri. Ini didasari atas pemikiran bahwa dalam situasi seperti itu diperlukan format pemerintah

yang efektif dan efisien (Harvey, 1989:18).

Page 5: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

Untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial politik dan ekonomi mengharuskan

pemerintah daerah mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di wilayah

kerjanya. Adalah sangat tidak efektif apabila masalah-masalah yang segera ditangani

meniscayakan kemampuan pemerintah daerah atau kemudian harus menunggu restu dari pusat

dengan rantai birokrasi yang demikian panjang. Maka implikasinya di sini termasuk di bidang

politik pemerintah daerah harus mengambil keputusan politik dan kebijaksanaan publik bersifat

segera agar secepatnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Tidak lancarnya pembangunan

daerah merupakan salah satu isu yang paling kuat dirasakan masyarakat di Sulawesi. Partai-partai

politik dan berbagai kelompok sosial lainnya berlomba mengajukan jalan keluar. Salah satu yang

paling popular ketika itu adalah otonomi daerah, dari masalah otonomi propinsi sampai ke taraf

kabupaten (Leirissa, 1997:76). Isu otonomi daerah dikelola secara formal dan bahkan menjadi

produk yang diperebutkan oleh partai politik serta berbagai kelompok sosial.

Bagaimana bentuk, konsep dan implementasi otonomi daerah yang dimaksud Permesta?

Bagaimana pengelolaan dalam pembagian wilayah, perimbangan keuangan pusat dan daerah,

pengaturan birokrasi, pemanfaatan sumber daya alam, ekonomi kerakyatan dan kemandirian

regional, ataukah ini hanya berawal dari konflik elit di pusat yang kemudian ditarik dan diisukan

ke tingkat regional untuk kepentingan kelompok tertentu? Lalu mengapa militer mengambil posisi

trategis dalam gerakan ini? Studi ini mencoba menelusuri pemikiran otonomi daerah yang

diperjuangan Permesta, perjuangan mewujudkan otonomi tersebut, serta menelusuri bukti-bukti

pembangunan ekonomi Permesta. Dinamika politik lokal, keamanaan regional, pemanfaatan

sumber-sumber ekonomi, hubungan sipil dan militer merupakan bagian penting akan diuraikan

dalam studi ini.

Page 6: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

Beranjak dari persoalan di ata, maka metode sejarah kritis yang digunakan dalam

penelitian ini melalui tahapan heuristic, kritis sumber, interpretasi dan historiografi. Sumber-

sumber primer yang digunakan meliputi, arsip dan dokumen pemerintah dan pribadi. Selain

sumber primer, informasi tentang Permesta juga diperoleh melalui karya-karya terdahulu, berupa

buku, artikel, majalah atau bulletin dan lain sebagainya. Sumber-sumber sejarah tersebut, setelah

melalui proses kritik selanjutnya dinarasikan dalam bentuk eksplanasi sejarah.

PEMBAHASAN

Dalam Harian Rakyat menyatakan bahwa “tahun 1958 Sulawesi Selatan dikenal sebagai

daerah yang terus menerus dalam pemberontakan” (Harian Rakyat, 10-09-1958 dalam Velthoen,

2011). Keadaan ini memperlihatkan dinamika dan gejolak senantiasa berlangsung. Dalam kondisi

demikian, Permesta lahir dengan menawarkan solusi pembangunan. Kendatipun pada akhirnya

Permesta dianggap gerakan separatis pemberontak. Pada bagian ini akan diuraikan berbagai ide

dan perjuangan Permesta dalam pembangunan Indonesia Timuar

Konsep Otonomi Daerah Permesta

Lahirnya konsep otonomi daerah pada dasarnya merupakan dampak dari pertumbuhan

ekonomi dan perubahan politik. Program pembangunan pada masa demokrasi liberal tampaknya

tidak berjalan dengan lancar. Sementara itu di daerah muncul masalah-masalah sosial-ekonomi

dan politik yang mengharuskan pemerintah daerah mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah

yang dihadapi wilayah kerjanya. Masalah-masalah yang ditangani pemerintah daerah itu sendiri

meliputi bidang kesejahteraan sosial dan peningkatan sumberdaya manusia. Misalnya ketika itu di

daerah Sulawesi kurangnya pelayanan sosial terhadap korban perang, korban pembantaian

Westerling, dan minimnya fasilitas sosial, serta kurangnya sumberdaya manusia yang profesional.

Sementara itu, perubahan politik pada demokrasi liberal yang berbingkai dalam sistem demokrasi

Page 7: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

parlementer sejak 3 November 1945 telah memunculkan sistem multi partai. (Sastroatmodjo,

1994: 17). Dalam kondisi sistem politik yang belum mapan, lembaga-lembaga politik yang belum

mantap sementara tuntutan politik yang sangat tinggi telah berakibat munculnya instabilitas

politik. Melalui sistem multi partai yang berlebihan (super fluous), penyaluran masukan sangat

besar tetapi kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya. Sementara konflik politik-

ideologi muncul di parlemen, akibatnya, politik-ideologi aspirasi masyarakat yang belum

tertampung. Maka timbullah prustrasi politik terutama di daerah-daerah.

Keadaan Indonesia Timur itu membuktikan suatu hal yang sudah lama disadari Letkol

Sumual selaku Panglima TT-VII / Wirabuana wilayah ini secara administratif dan politik sangat

labil. Integrasi dalam wilayah Kesatuan Republik Indonesia masih belum mantap. Struktur

administrasi masih lemah. Gangguan keamanan masih kuat seperti tampak dalam gerakan RMS

di Seram, atau DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan gerakan-

gerakan otonomi (Leirissa, 1997:81). Seluruh perkembangan di Sulawesi tersebut kemudian

diperhatikan secara waspada dan cermat oleh pimpinan TT/VII Wirabuana. Mereka menyadari,

situasi wilayahnya, khususnya Sulawesi yang berada diambang perpecahan. Adalah sangat tidak

efektif apabila masalah-masalah yang segera ditangani kemudian harus menunggu restu

pemerintah pusat dengan rantai birokrasi yang demikian panjang. Maka implikasinya di sini

termasuk di bidang politik, pemerintah harus mengambil keputusan politik dan kebijakan publik

yang bersifat segera. Di sinilah letak urgensi pemikiran permesta (otonomi daerah) dalam upaya

menangani masalah-masalah di daerah yang dirasa mendesak.

Namun, masalah yang kemudian mengemuka adalah efektivitas dan efisiensi

pemerintahan daerah yang otonom sebagaimana dalam tuntutan Permesta, seyogyanya ditanggapi

dengan positif sehingga ide otonomi daerah dapat berkembang menjadi sebuah paradigma dalam

Page 8: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

pembangunan dan penstrukturan negara. Sebaliknya, sebagian orang di pusat terutama PKI

mengecam tindakan Permesta sebagai gerakan separatis (Warta PIA, tanggal 30 Januari 1958).

Perjuangan Permesta untuk mewujudkan pemerintahan otonom di daerah adalah

penolakan dan perlawanan terhadap paradigma pembangunan yang sentralistik, yang sarat dengan

muatan ketergantungan. Pernyataan Saleh Lahade dalam pidato pada rapat Dewan Permesta, Maret

1957 bahwa sistem sentralisme di Jakarta yang merupakan pangkal dari buruknya birokrasi, sarang

korupsi, dan biang keladi dari stagnasi pembangunan. Oleh karena itu, hanya satu alternatif ialah

menghilangkan dengan segera penyakit sentralisme dan mengganti secara radikal dengan

desentralisasi hak dan kekuasaan daerah (Arsip Pribadi Saleh Lahade Reg. 236). Pernyataan ini

menunjukkan bahwa sentralisme ketika itu merupakan proyeksi eksploitasi sumber daya lokal oleh

kekuatan pemerintah pusat dengan berbagai instrumen melalui kebijakan politik ekonomi yang

membuat pemerintah dan masyarakat daerah sangat rentan.

Kemudian secara ideologi, otonomi daerah merupakan salah satu wujud penolakan atau

perlawanan terhadap sosialisme kekuasaan menjadi liberalisme. Perang dua mainstream ideologi,

dalam konteks ini, diresponi oleh masyarakat lalu diimplementasikan ke dalam struktur

pemerintahan. Penganut paham sosialis menekankan pada sentralisme kekuasaan, sebaliknya

penganut paham liberal menekankan pada distribusi kekuasaan ke daerah-daerah, yang kemudian

lebih dikenal dengan istilah daerah otonom. Namun dalam Permesta, perjuangan mewujudkan

otonomi tidak nyata ke dalam perang dua ideologi ini, walaupun gerakan Permesta mendapat

kecaman dari sosialisme/PKI. Tetapi belum ada bukti secara formal-ligitimed pernyataan Permesta

yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari penganut paham liberal. Tuntutan otonominya lebih

mcrupakan refleksi dari kondisi bangsa ketika itu, di mana daerah termarginalisasi dari proses

pembangunan.

Page 9: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

Dalam konteks ini, Permesta kemudian menawarkan konsep otonomi yang menekankan

pada pemerataan hasil sumber-sumber ekonomi dan perimbangan keuangan antara pusat dan

daerah yang meliputi "daerah surplus, 70 % hasil pendapatan daerah untuk daerah dan 30 % untuk

pemerintahan pusat. Daerah minus 100 % penadapatan daerah untuk daerah ditambah subsidi dari

pemerintah pusat untuk pembangunan vital selama 2-5 tahun". Dengan pembagian ini, maka secara

berangsur dapat menghilangkan sentralisme di bidang ekonomi.

Kebijakan-kebijakan ekonomi Permesta kemudian baik yang dilakukan oleh Bank

Permesta maupun kebijakan-kebijakan lainnya diarahkan pada pemberdayaan ekonomi

masyarakat desa, karena masyarakat desa merupakan komponen yang paling mayoritas.

Pembangunan masyarakat desa dalam rangka otonom merupakan keharusan yang tidak dapat

ditawar-tawar. Seperti, pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di antaranya, "jalan-jalan

desa dan jembatan desa, saluran air dan bendungan, pertanian, perikanan, industri/kerajinan,

perdagangan, koperasi, dan lain-lain" (Arsip Saleh Lahade Reg. Saleh Lahade Reg. 237)

Kemudian di bidang pemerintahan daerah. dibagi ke dalam dua jenis daerah otonom yakni

daerah otonom tingkat I dan daerah otonom tingkat II atau taraf kabupaten. Daerah otonom Tingkat

I yang dimaksud meliputi daerah – daerah bekas kerisidenan. Sedangkan daerah otonom tingkat II

adalah tiap-tiap kewedanan yang dilebur menjadi kabupaten. Untuk mendorong pembangunan di

daerah-daerah Tingkat II (kabupaten) dan menyambung usaha-usaha pembangunan, maka jalan

yang ditempuh di antaranya memberi bantuan kepada daerah Rp 2 Juta untuk tiap kabupaten.

Demikian pula mengenai penanaman modal untuk meng-expolitir, termasuk perusahaan yang vital

ditetapkan 50% modal particulir dan 50% modal dari daerah-daerah otonom Tingkat II (Arsip

Pribadi Saleh Lahade Reg.366).

Page 10: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

Kemudian untuk mengangkatan pejabat/personall diutamakan berasal dari daerah.

Dengan mempergunakan putra daerah tidaklah berati bahwa menolak tenaga-tenaga dari luar

terutama tenaga ahli. Untuk menciptakan tenaga-tenaga daerah yang profesional maka perlu

adanya kursus-kursus keahlian atau memberi kesempatan kepada putra daerah untuk mengikukti

kursus-kursus yang diadakan oleh negara. Kemudian pembudayaan pemerintah daerah (otonomi)

yang diperjuangkan oleh Permesta juga bemuatan phisikologis, sedang yang menjadi indikatornya

adalah perasaan individu yang terakumulasi menjadi perasaan kolektif dalam menyadari

eksistensinya.

Pembagian Daerah Otonom

Sebelumnya telah diuraikan tentang konsep otonomi daerah sebagai hasil dari pemikiran

tokoh-tokoh Permesta. Kemudian diimplementasikan dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Supaya pengimpletasian ide otonomi daerah ini dapat efektif dan merata, maka diperlukan suatu

pembagian daerah otonom, agar terjadi distribusi kekuasaan ke daerah-daerah. Karena apabila

tidak terjadi distribusi kekuasaan ke daerah-daerah yang efektif dan merata, maka bisa saja

menimbulkan ketidakpuasan daerah-daerah yang lebih rendah. Oleh karenanya, untuk

menghindari hal tersebut, maka pembagian daerah dalam rangka otonomi adalah merupakan syarat

mutlak agar tercapai pembagian wewenang yang lebih efektif dan efisien.

Berdasarkan realita di atas, maka pada 20 Maret 1957, Sumual selaku Kepala

Pemerintahan Militer, mengeluarkan Surat Keputusan No. Kpts 0139/30-1957 mengenai

pembagian-pembagian daerah otonom tingkat I, maka wilayah Wirabuana terdiri atas; (1) propinsi

Sulawesi-Selatan dengan ibu kota Makassar, (2) Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado,

Page 11: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

(3) Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kota Singa Radja, (4) Provinsi Nusa Tenggara Tmur

dengan ibu kota Kupang, (5) Propinsi Nusa Tenggara Maluku dengan ibu kota Ambon, dan (6)

Provinsi Nusa Tenggara Irian Barat terdiri dari daerah Irian Barat, ditambah dengan daerah Tidore,

dengan ibu kola Soa Siu (Laporan Rencana Kerja Panitia II Dewan Tertinggi Permesta).

Pembagian administrasi ini memang tidak terlaksana seluruhnya semasa Permesta berkuasa, tetapi

telah menjadi kenyataan (Leirissa, 1997:97).

Supaya pembagian wilayah itu efektif dan dapat berjalan dengan baik, maka dibuat suatu

ketentuan-ketentuan bahwa daerah-daerah otonom tersebut tetap memiliki satu kesatuan, politik,

dan ekonomi. "pembentukan suatu provinsi atau pembagian salah satu daerah tidak boleh

dipergunakan untuk merusak daerah-daerah lain, karena keutuhan Republilk Indonesia harus

dimulai dari daerah otonom dari bawah" (Laporan Rencana Kerja Panitia II Dewan Tertinggi

Permesta).

Selain pembentukan daerah otonomi Tingkat I, juga muncul tuntutan beberapa daerah

kabupaten menuntut otonomi. Seperti di daerah Sulawesi-Selatan dan Tenggara di antaranya

tuntutan daerah Kabupaten Gowa, Bone, Luwu, dibagi menjadi beberapa kabupaten lebih kecil.

Sedangkan di tiap daerah-daerah onderafdeling yang jumlahnya 25 buah juga menuntut agar

daerahnya menjadi otonom, meliputi: (1) Sulawesi Selatan dan Tenggara, meliputi beberapa

Kabupaten, antara lain, Kabupaten Makassar, dimekarkan mendjadi Kabupaten Gowa, Takalar,

Jeneponto, Maros-Pangkajene. Pada tiap daerah onderafdeling di Sulawesi-selatan Tenggara ini

yang di djumlahnya 25 buah, timbul pergolakan untuk menjadikan daerah-daerah otonom tingkat

II atau kabupaten. (2) Sulawesi Utara dan Tengah juga terjadi hal yang sama. Untuk

menghindarkan timbulnya pelayanan yang tidak memuaskan terhadap daerah yang terkecil, maka

timbul hasrat yang kuat dalam masyarakat Sulawesi Utara dan Tengah untuk membagi propinsi

Page 12: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

ini atas 12 daerah kabupaten, antara lain: Daerah Menado, Minahasa, Bolaa Mangondow, Sangir

Talaud, Gorontalo, Bual-Toli-toli, Banggai, Parigi, Posso, Mori-Bungku, Donggala, dan Palu. (3)

Sedangkan daerah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Barat tidak

ada terdengar suara-suara yang menghendaki pemekaran daerah kabupaten (Laporan Rencana

Kerja Panitia II Dewan Tertinggi Permesta). Daerah-daerah Tingkat II ini, kemudian mendapat

status sebagai daerah otonom, dan dalam realisasinya mendapat subsidi dari pemerintahan militer

pada masa kekuasaan Permesta. Istilah otonomi daerah di Sulawesi-Selatan, menjadi menarik

untuk dibicarakan sebagai salah satu jalan keluar untuk menciptakan tatanan ekonomi daerah yang

mandiri. Rencana pokok ini adalah merupakan rangkaian dari usaha untuk menciptakan suasana

stabil dan aman di daerah Indonesia Timur.

Permesta Membangun

Gerakan Pertmesta lahir sebagai wadah tunggal yang mengakomodasi keinginan-

keinginan masyarakat Indonesia bagian timur pada umumnya. Tuntutan otonomi semakin keras di

suarakan, baik itu dari pemerintah daerah sendiri maupun dari masyarakat yang dimanipesrtasikan

melalui organisasi kemasyarakatan, pemuda, dan partai politik. Mencermati situasi demikian,

Panglima TT. VII/Wirabuana selaku penanggung jawab keamanan di wilayah Indonesia bagian

timur. Untuk mengarahkan tuntutan masyarakat tersebut agar tidak berkembang menjadi gerakan

separatis atau pemberontak, maka dibentuklah wadah tunggal yang dikenal dengan nama

"Perjuangan Semesta". Agar perjuangan ini dapat berjalan dengan lancar, maka didahulukan

pengumuman keadaan darurat atau S.O.B. lni dimaksudkan untuk mencegah meruncingnya

pertentangan-pertentangan yang dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam masyarakat. (Laporan

Seksi Politik, 4 Maret 1957).

Page 13: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

Pemberlakuan S.O.B. tersebut melapangkan terbentuknya bentuklah pemerintahan militer

TT.VII Wirabuana. Langkah pertama yang diambil adalah dibentuklah pemerintahan yang terdiri

atas unsur sipil yang tergabung dalam Konsentrasi Tenaga dan unsur TNI Staf TT-VII/Wirabuana.

Selang beberapa jam setelah pengumuman S.O.B. dan Piagam Permesta tersebut. Letkol Sumual,

kemudian mengeluarkan pengumuman selaku kepala pemerintahan militer dan wilayah TT-

VII/Wirabuana, mengenai organisasi pemerintahan. Pada hari-hari berikutnya dikeluarkan juga

sejumlah surat keputusan mengenai berbagai masalah yang perlu ditangani sesegera mungkin.

Pada tanggal 8 Maret 1957 Panglima TT.VII/Wirabuana sekaligus kepala pemerintahan militer

mengeluarkan instruksi kerja kepada seluruh komponen yang telah dibentuk.

Dalam rangka implementasi otonomi, Sumual (selaku panglima/kepala pemerintahan)

dalam menjalankan tugasnya dibantu dua Staf "Staf Pertama adalah militer yang terdiri atas Staf

TT-VII/Wirabuana yang sudah ada. Sedangkan Staf Kedua adalah sebuah staf pemerintahan yang

di pimpin Letkol. M. Saleh Lahade sebagai kepala staf' (Leirissa, 1997:94). Kemudian untuk tugas

sehari-hari dalam staf pemerintahan, maka dibentuklah team asistensi yang dipimpin kepala staf

pemerintahan Letkol Saleh Lahade.

Diberlakukannya keadaan S.O.B. bukan berarti kudeta terhadap pemerintahan sipil karena

pemerintahan yang terbentuk setelah keadaan S.O.B. bukanlah pemerintahan militerisme. Ini dapat

dibuktikan dalam pelaksanaan sehari-hari, golongan sipil tetap diikutsertakan. Setelah berlakunya

pemerintahan militer, kini dihadapi kenyataan untuk menata kembali format pembangunan dengan

memprioritaskan hal-hal yang mendesak, salah satu di antaranya adalah pembangunan bidang

ekonomi dalam bingkai otonomi. Untuk itu, dikeluarkanlah berbagai kebijakan-kebijakan

ekonomi yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik.

Page 14: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

Implementasi dari kebijakan di atas, maka dibukalah jaringan perdagangan kopra yang

kemudian dibagi dalam tiga jaringan utama yaitu, Pelabuhan Makassar, Ambon dan Bitung,

sekaligus sebagai tempat pengumpulan kopra. Kemudian pemanfaatan hasil perdagangan kopra

tersebut digunakan untuk kebutuhan sendiri, kebutuhan perdagangan dalam negeri dan kebutuhan

perdagangan ekspor. Selain kebijakan ekonomi, dalam mekanisme pemerintahan juga dibentuk

Dewan Pertimbangan Pusat (DPP), tugas dewan ini memberi saran kepada pemerintah dalam

menjalankan program-program pembangunan, demikian pula bertugas untuk menggalang atau

menghimpun seluruh potensi di Indonesia bagian timur salah satu contoh adalah

menyelenggarakan kongres Bhinneka Tunggal Ika.

Sementara itu, pembangunan di daerah (wilayah Wirabuana) sebagai Implementasi ide

otonomi daerah segera digalakkan. Pada tanggal 2 Mei 1957, Sumual secara resmi mengadakan

perjanjian "pinjaman darurat" sebesar seratus juta rupiah dengan Bank Indonesia Cabang Makassar

untuk dana pembangunan. (Leirissa, 1997:97), Pada hari itu juga dikeluarkanlah perintah kepada

semua daerah Tingkat II di wilayah Wirabuana untuk membentuk panitia pembangunan dengan

melibatkan, unsur-unsur lain seperti Ormas, partai-partai dan militer. Untuk Pelaksanaan

pembangunan di daerah Tingkat II sebagaimana tercantum dalam rencana pembangunan Permesta,

maka kepada daerah Tingkat II mendapat jatah dua juta rupiah setiap kabupaten.

Sesuai dengan rencana pembangunan Permesta yang dihasilkan Konferensi Bhinneka

Tunggal Ika, yaitu, mengenai rencana pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Rencana

pembangunan jangka pendek menekankan pada merangsang pertumbuhan industri rakyat, atau

kebijakan ekonomi yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat seperti penggaraman, modenisasi

alat penangkapan ikan, perbengkelan, usaha transportasi dan lain-lain sebagainya. Sasaran

pembangunan jangka pendek ini dapat berjalan dengan baik, hal ini dapat dibuktikan banyaknya

Page 15: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

bantuan yang diberikan untuk pembangunan (Arsip Pribadi Saleh Lahade No. 385). Sasaran

pembangunan jangka panjang, meliputi pembangunan pembangkit tenaga listrik, pabrik-pabrik

tekstil, minyak, semen, belerang, besi, aspal, dan lain-lain.

Salah satu sumber devisa terbesar melalui perdagangan kopra adalah wilayah Sulawesi

Utara. Perdagangan kopra di wilyah ini, dikendalikan suatu badan koordinasi yang dipimpin J.M.J.

Pantouw. Hasil-hasil dari perdagangan kopra di wilayah ini kemudian dialokasikan untuk berbagai

proyek jalan antara Manado dan Tomohon sepanjang 25 Km pun mulai ditingkatkan dan

diperlebar. Dengan bantuan TNI, rakyat berhasil membangun jalan yang menghubungkan

Kinalawirang dan Tomposo Baru di Minahasa Selatan berhasil membangun sebuah bendungan di

Sungai Ronoyapo untuk mengairi sekitar 100 hektar lahan per-tanian. Masih banyak lagi proyek-

proyek yang tidak seluruhnya tidak dapat dilaporkan dalam pers setempat (Leirissa, 1997:113)

Berdasarkan data-data pembangunan di atas, menunjukkan bahwa Permesta dapat

mewujudkan sebagian hasrat masyarakat terutama bagi masyarakat desa, walaupun belum

maksimal. Untuk efektifnya pemerintahan militer ini, maka wilayah bagian timur dibentuk daerah-

daerah otonom, baik tingkat I maupun daerah otonomi tingkat U. Untuk daerah otonomi Tingkat

I, adalah provinsi-provinsi dalam wilayah Indonesia Timur. Kemudian daerah otonom Tingkat II

adalah daerah swapraja dan berbagai onderafdeling yang juga menuntut otonomi tingkat

kabupaten.

Selain implementasi otonomi bidang sarana fisik dan pembagian atau pemekaran wilayah,

juga dalam bidang kepemudaan dan pendidikan mendapat perhatian. Hal ini dapat dibuktikan

dengan dilaksanakannya "Kongres Pemuda Indonesia Timur yang berlangsung di Tondano 5-9

Juli 1957, dengan Jan Torras sebagai ketua panitia" (Leirissa, 1997.111). Salah satu keputusan

penting dalam kongres pemuda itu adalah pembentukan wadah tunggal yang dinamakan Komando

Page 16: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

Pemuda Permesta (KoP2) dengan pimpinan utama yang terdapat beberapa departemen.

Departemen-departemen tersebut menurut Leirissa meliputi :"Departemen Pengerahan Tenaga,

Pertahanan, Pendidikan dan Kebudayaan, Ekonomi dan Sosial, Keuangan, Agama dan Umum"

(Arsip Pribadi Saleh Lahade Reg. 379)

Pembangunan-pembangunan yang telah dilancarkan Permesta tersebut adalah wujud

nyata dari implementasi ide otonom. Paradigma otonom ternyata dapat merubah atau

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. "dalam beberapa bulan saja keadaan sosial ekonomi

banyak berubah dibanding, tahun-tahun sebelumnya. Usaha pembangunan lebih banyak

ditekankan pada pengadaan dan perbaikan prasarana di bawah pimpinan yang tegas". (Leirissa,

1997:115). Namun keberhasilan ini menimbulkan kecurigaan dari PKI, mereka secara apriori

menuduh Permesta sebagai agen kapitalilsme. Antipati PKI terhadap gerakan Permesta tampak

setelah Peristiwa Cikini, di mana PKI mengeksploitasi peristiwa tersebut untuk kepentingan

partainya dengan menuduh daerah bergolak dalam hal ini Permesta sebagai dalang di balik

peristiwa tersebut.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah dalam gerakan Permesta telah

diimplementasikan dalam pembangunan di daerah, walaupun tentang ide otonomi daerah tidak

mendapat legalitas dari pemerintah pusat. Implementasi ide otonomi daerah ini tidak lebih

merupakan moment yang dimanfaatkan setelah diberlakukan S.O.B bagi wilayah Indonesia

Timur. Otonomi daerah yang diperjuangkan oleh Permesta boleh dikatakan berhasil dengan baik,

hal ini dapat dibuktikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

PENUTUP

Otonomi daerah sebagaimana diperjuangkan oleh Permesta mencakup pengertian,

penyadaran masyarakat daerah akan pentingnya pembangunan, kemudian pengaturan wewenang

Page 17: Permesta Dan Gerakan Otonomi Daerah 1957

pemerintah agar daerah dibenarkan mengatur rumah tangga sendiri. Permesta dalam menata

pembangunan ekonomi terutama dalam mengontrol perdagangan kopra dan mendorong

perekonomian berbasis desa, memberi bantuan kepada peternak dan petani, pengaturan desa,

pengangkatan guru-guru dan pegawai lokal, pembinaan kesenian dan kebudayaan. Menyangkut

kepentingan nasional, seperti keamanan, politik luar negeri, menjadi bagian pemerintah pusat.

Implementasi dari perjuangan otonomi daerah Permesta dapat dilihat dari berbagai program

pembangunan di wilayah Indonesia Timur. Permesta melakukan tindakan nyata dalam bidang

infrastruktur.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Harvey, Barbara Sillars. 1989. Permesta: Pemberontak Setengah Hati. Jakarta: Grafiti Press.

Leirissa, R.Z. 1997. PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta:

Gramedia.

Nasution, A.H, 1983 Memenuhi Panggilan Tugas, Jakarta: Gunung Agung

Notosusanto, Nugroho, 1993 Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pusataka

Velthoen, Esther. 2011. “Memetakan Sulawesi Tahun 1950-an” dalam Sita Van Bemmelen dan

Remco Raben (Ed) Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Sastroatmodjo, Sudjono, 1994, Prilaku Politik, Semarang, IKIP Semarang Press

Arsip

Warta PIA, tanggal 30 Januari 1958

Koleksi Pribadi Saleh Lahade. Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Laporan Rencana Kerja Panitia II Dewan Tertinggi Permesta

Laporan Seksi Politik, ketatanegaraan, hukum, dan ketata tertiban Permesta, 4 Maret 1957