permesta dan gerakan otonomi daerah 1957
DESCRIPTION
Gerakan Permesta merupakan gerakan daerah yang menuntut otonomi pada tahun 1957 di SulawesiTRANSCRIPT
PERMESTA DAN GERAKAN OTONOMI DAERAH 1957–1960
Taufik Ahmad Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jalan Sultan Alauddin–Tala Salapang Km 7 Makassar 90221
Telp. (0411) 885119 Fax. (0411) 865166, 883748
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan konsep dan implementasi otonomi daerah yang diperjuangkan oleh
Permesta serta bagaimana pengelolaan dalam pembagian wilayah, perimbangan keuangan pusat dan daerah,
pengaturan birokrasi, pemanfaatan sumber daya alam, ekonomi kerakyatan dan kemandirian regional.
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah sejarah kritis melalui tahapan kerja heuristik, kritik,
interpretasi dan historiografi. Hasil studi memperlihatkan bahwa konsep otonomi daerah yan diperjuangkan
Permesta meliputi pembagian wilayah otonom di tingkat provinsi dan kabupaten, perimbangan keuangan
daerah dan pusat serta pemberian wewenang dalam pengelolaah sumber daya lokal. Otonomi daerah yang
diperjuangkan oleh Permesta telah berhasil diimplemtasikan dalam berbagai sektor kendatipun tidak merata
di seluruh wilayah Indonesia Timur. Gerakan Permesta telah melakukan pembangunan infrastruktur dan
mendorong perkembangan ekonomi rakyat yang berbasis desa.
Kata kunci: Permesta, Otonomi Daerah, Keamanan Regional
PENDAHULUAN
Tanggal 2 Maret 1957, sejumlah perwira militer di Sulawesi Selatan, di antaranya; Letkol
Kawilarang, Letkol Ventje Sumual, Letkol M. Saleh Lahade memproklamirkan Permesta
(Perjuangan Rakyat Semesrta) Sebelumnya,mereka menyatakan wilayah Teritorial VII Wirabuana
dalam keadaaan S.O.B. (Staat van Oorlog en Beleg), sehingga secara otomatis militer mengontrol
jalannya pemerintahan. Gubernur Andi Pangeran Pettarani dilantik sebagai Gubernur Militer dan
bertanggungjawab atas keamanan daerah. Gerakan Permesta bertujuan memperjuangkan otonomi
daerah untuk menjawab persoalan pembangunan daerah ketika itu. Otonomi daerah benar-benar
menjadi “magnet” dan begitu populer diperjuangkan, baik otonomi tingkat provinsi maupun
tingkat kabupaten. Persoalannya, bagaimana mengatur otonomi daerah di tengah upaya mengatasi
gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Muzakkar, bagaimana mengontrol
perdagangan dan penyelundupan yang semakin marak pada dekade 1950/1960an, bagaimana
mengoptimalkan sumber-sumber ekonomi regional, serta bagaimana mengontrol korporasi-
korporasi yang telah lama mengambil keuntungan dari situasi yang tidak stabil. Apakah otonomi
daerah Permesta mendorong munculnya transaksi-transaksi “gelap” antara pihak korporasi dengan
pihak penguasa lokal? Di sinilah ketepatan konsep otonomi daerah Permesta dan dedikasi aktornya
diuji, sejauhmana ide otonomi tersebut dapat dijalankan dengan baik untuk kepentingan
pembangunan daerah.
Studi tentang Permesta bukanlah studi sejarah masa lalu yang telah mati. Meskipun
mengkaji masa yang telah lewat, tetapi memberikan sebuah pengetahuan dan wawasan tentang
suatu konflik politik yang tidak kurang lebih pentingnya dari berbagai peristiwa politik di tanah
air pada pascarevolusi kemerdekaan. Pengetahuan dan wawasan ini kemudian dapat menjadi
landasan untuk memahami konteks berikutnya, termasuk memahami berbagai persoalan kekinian.
Permesta menarik untuk dilirik kembali sebagai sebuah fenomena historis mengingat fenomena
yang sama juga dirasakan terutama satu dekade setelah reformasi.
Memang, sudah banyak jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan tentang
Permesta. Ini tidaklah berarti bahwa studi tentang Permesta telah berada pada posisi final.
Sebaliknya harus turus dikaji sehingga pemahaman tentang Permesta lebih komprehensif. Dalam
materi pelajaran sejarah untuk anak sekolah, misalnya; penguraian tentang Permesta sangat singkat
dan tidak secara komprehensif. Ini berakibat pemahaman kita pun sering keliru. Memoar A. H.
Nasution (1983) yang melihatnya dari sudut pandangan penulisnya. Dinas Sejarah Militer
Indonesia (TNI-AD) hanya menempatkan Permesta ke dalam kerangka peranan TNI dalam
penumpasan Permesta. Nugroho Notosusanto (1993) juga melihat Permesta jelas sebagai bagian
dari gerakan separatis-pemberontak, serta beragam lagi tulisan-tulisan lain yang kesemua itu
kemudian membentuk opini kita bahwa Permesta adalah gerakan separatis-pemberontak terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemahaman sejarah kita ini pun kemudian berlanjut kepada
sebuah asumsi bahwa apapun yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah pusat adalah
gerakan separatis-pemberontak. Ini dikarenakan banyak tulisan yang secara apriori mengecam
Permesta tanpa dukungan fakta-fakta dan celakanya anomali ini kemudian menjalar ke wilayah
garapan sejarah akademis, berlangsung hampir selama kekuasaan Orde Baru.
Dalam kajian sejarah akademis, paling tidak ada dua tulisan tentang Permesta yang telah
diterbitkan. Pertama, Barbara Sillars Harvey (1989) Permesta: Pemberontak Setengah Hati. Karya
ini merupakan kajian politik tentang Permesta dari sudut pandang pengamat luar. Harvey mencoba
menelusuri peristiwa Permesta dengan memakai teori center periphery. Teori ini berusaha melihat
faktor lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis yang merupakan warisan dari kondisi umum
zaman penjajahan, menjadi unsur pokok yang menimbulkan ketegangan pusat dengan daerah. Dari
tulisan ini setidaknya Harvey juga berusaha menggeser pandangan tulisan-tulisan sebelumnya, dan
mendorong sebuah pemahaman baru bahwa ada faktor situasional yang menyebabkan Permesta
lahir, sehingga klaim sejarah Permesta sebagai gerakan separatis-pemberontak, total masih perlu
dipertanyakan secara akademis.
Kedua, Leirissa (1997) PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis,
memberi persepsi lain dari tulisan sebelumnya. Dengan menggunakan oral history mencoba
menemukan faktok-faktor utama di balik gerakan Permesta. Temuan Leirissa memperlihatkan
beberapa permasalahan menjelang Permesta, antara lain; kesenjangan dalam kubu Angkatan
Darat, bahaya komunisme, dan kegalan pembangunan ekonomi adalah faktor-faktor utama dibalik
gerakan Permesta. Selain itu, Ia juga menguraikan persepsi para eksponen PRRI-Permesta
mengenai tanah airnya pada tahun 1950-an, apa yang mereka lakukan, serta bagaimana upaya
menyusun strategi pembangunan berskala nasional tanpa keterlibatan PKI dalam kegiatan politik
nasional merupakan pokok-pokok penting dalam tulisan ini. Satu temuan yang dapat memancing
nalar sejarah kita adalah klaim sejarah atas Permesta sebagai gerakan separatis-pemberontak tidak
lagi disebutkan dalam tulisan ini, dan bahkan sedikitnya mendapat pembelaan secara argumentatif.
Kedua studi sejarah akademis di atas menguraikan secara detail tentang ketegangan antara
pusat dan daerah sebagai akibat lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis. Situaasi ini menjalar
sampai ke daerah-daerah dan terakumulasi menjadi bentuk kekecewaan pemerintah daerah
terhadap kebijakan politik dan ekonomi pemerintah pusat. Akibatnya, munculnya berbagai
pergolakan daerah dengan tuntutan agar pemerintah daerah dapat mengatur wilayah kerjanya
sendiri. Ini didasari atas pemikiran bahwa dalam situasi seperti itu diperlukan format pemerintah
yang efektif dan efisien (Harvey, 1989:18).
Untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial politik dan ekonomi mengharuskan
pemerintah daerah mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di wilayah
kerjanya. Adalah sangat tidak efektif apabila masalah-masalah yang segera ditangani
meniscayakan kemampuan pemerintah daerah atau kemudian harus menunggu restu dari pusat
dengan rantai birokrasi yang demikian panjang. Maka implikasinya di sini termasuk di bidang
politik pemerintah daerah harus mengambil keputusan politik dan kebijaksanaan publik bersifat
segera agar secepatnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Tidak lancarnya pembangunan
daerah merupakan salah satu isu yang paling kuat dirasakan masyarakat di Sulawesi. Partai-partai
politik dan berbagai kelompok sosial lainnya berlomba mengajukan jalan keluar. Salah satu yang
paling popular ketika itu adalah otonomi daerah, dari masalah otonomi propinsi sampai ke taraf
kabupaten (Leirissa, 1997:76). Isu otonomi daerah dikelola secara formal dan bahkan menjadi
produk yang diperebutkan oleh partai politik serta berbagai kelompok sosial.
Bagaimana bentuk, konsep dan implementasi otonomi daerah yang dimaksud Permesta?
Bagaimana pengelolaan dalam pembagian wilayah, perimbangan keuangan pusat dan daerah,
pengaturan birokrasi, pemanfaatan sumber daya alam, ekonomi kerakyatan dan kemandirian
regional, ataukah ini hanya berawal dari konflik elit di pusat yang kemudian ditarik dan diisukan
ke tingkat regional untuk kepentingan kelompok tertentu? Lalu mengapa militer mengambil posisi
trategis dalam gerakan ini? Studi ini mencoba menelusuri pemikiran otonomi daerah yang
diperjuangan Permesta, perjuangan mewujudkan otonomi tersebut, serta menelusuri bukti-bukti
pembangunan ekonomi Permesta. Dinamika politik lokal, keamanaan regional, pemanfaatan
sumber-sumber ekonomi, hubungan sipil dan militer merupakan bagian penting akan diuraikan
dalam studi ini.
Beranjak dari persoalan di ata, maka metode sejarah kritis yang digunakan dalam
penelitian ini melalui tahapan heuristic, kritis sumber, interpretasi dan historiografi. Sumber-
sumber primer yang digunakan meliputi, arsip dan dokumen pemerintah dan pribadi. Selain
sumber primer, informasi tentang Permesta juga diperoleh melalui karya-karya terdahulu, berupa
buku, artikel, majalah atau bulletin dan lain sebagainya. Sumber-sumber sejarah tersebut, setelah
melalui proses kritik selanjutnya dinarasikan dalam bentuk eksplanasi sejarah.
PEMBAHASAN
Dalam Harian Rakyat menyatakan bahwa “tahun 1958 Sulawesi Selatan dikenal sebagai
daerah yang terus menerus dalam pemberontakan” (Harian Rakyat, 10-09-1958 dalam Velthoen,
2011). Keadaan ini memperlihatkan dinamika dan gejolak senantiasa berlangsung. Dalam kondisi
demikian, Permesta lahir dengan menawarkan solusi pembangunan. Kendatipun pada akhirnya
Permesta dianggap gerakan separatis pemberontak. Pada bagian ini akan diuraikan berbagai ide
dan perjuangan Permesta dalam pembangunan Indonesia Timuar
Konsep Otonomi Daerah Permesta
Lahirnya konsep otonomi daerah pada dasarnya merupakan dampak dari pertumbuhan
ekonomi dan perubahan politik. Program pembangunan pada masa demokrasi liberal tampaknya
tidak berjalan dengan lancar. Sementara itu di daerah muncul masalah-masalah sosial-ekonomi
dan politik yang mengharuskan pemerintah daerah mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapi wilayah kerjanya. Masalah-masalah yang ditangani pemerintah daerah itu sendiri
meliputi bidang kesejahteraan sosial dan peningkatan sumberdaya manusia. Misalnya ketika itu di
daerah Sulawesi kurangnya pelayanan sosial terhadap korban perang, korban pembantaian
Westerling, dan minimnya fasilitas sosial, serta kurangnya sumberdaya manusia yang profesional.
Sementara itu, perubahan politik pada demokrasi liberal yang berbingkai dalam sistem demokrasi
parlementer sejak 3 November 1945 telah memunculkan sistem multi partai. (Sastroatmodjo,
1994: 17). Dalam kondisi sistem politik yang belum mapan, lembaga-lembaga politik yang belum
mantap sementara tuntutan politik yang sangat tinggi telah berakibat munculnya instabilitas
politik. Melalui sistem multi partai yang berlebihan (super fluous), penyaluran masukan sangat
besar tetapi kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya. Sementara konflik politik-
ideologi muncul di parlemen, akibatnya, politik-ideologi aspirasi masyarakat yang belum
tertampung. Maka timbullah prustrasi politik terutama di daerah-daerah.
Keadaan Indonesia Timur itu membuktikan suatu hal yang sudah lama disadari Letkol
Sumual selaku Panglima TT-VII / Wirabuana wilayah ini secara administratif dan politik sangat
labil. Integrasi dalam wilayah Kesatuan Republik Indonesia masih belum mantap. Struktur
administrasi masih lemah. Gangguan keamanan masih kuat seperti tampak dalam gerakan RMS
di Seram, atau DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan gerakan-
gerakan otonomi (Leirissa, 1997:81). Seluruh perkembangan di Sulawesi tersebut kemudian
diperhatikan secara waspada dan cermat oleh pimpinan TT/VII Wirabuana. Mereka menyadari,
situasi wilayahnya, khususnya Sulawesi yang berada diambang perpecahan. Adalah sangat tidak
efektif apabila masalah-masalah yang segera ditangani kemudian harus menunggu restu
pemerintah pusat dengan rantai birokrasi yang demikian panjang. Maka implikasinya di sini
termasuk di bidang politik, pemerintah harus mengambil keputusan politik dan kebijakan publik
yang bersifat segera. Di sinilah letak urgensi pemikiran permesta (otonomi daerah) dalam upaya
menangani masalah-masalah di daerah yang dirasa mendesak.
Namun, masalah yang kemudian mengemuka adalah efektivitas dan efisiensi
pemerintahan daerah yang otonom sebagaimana dalam tuntutan Permesta, seyogyanya ditanggapi
dengan positif sehingga ide otonomi daerah dapat berkembang menjadi sebuah paradigma dalam
pembangunan dan penstrukturan negara. Sebaliknya, sebagian orang di pusat terutama PKI
mengecam tindakan Permesta sebagai gerakan separatis (Warta PIA, tanggal 30 Januari 1958).
Perjuangan Permesta untuk mewujudkan pemerintahan otonom di daerah adalah
penolakan dan perlawanan terhadap paradigma pembangunan yang sentralistik, yang sarat dengan
muatan ketergantungan. Pernyataan Saleh Lahade dalam pidato pada rapat Dewan Permesta, Maret
1957 bahwa sistem sentralisme di Jakarta yang merupakan pangkal dari buruknya birokrasi, sarang
korupsi, dan biang keladi dari stagnasi pembangunan. Oleh karena itu, hanya satu alternatif ialah
menghilangkan dengan segera penyakit sentralisme dan mengganti secara radikal dengan
desentralisasi hak dan kekuasaan daerah (Arsip Pribadi Saleh Lahade Reg. 236). Pernyataan ini
menunjukkan bahwa sentralisme ketika itu merupakan proyeksi eksploitasi sumber daya lokal oleh
kekuatan pemerintah pusat dengan berbagai instrumen melalui kebijakan politik ekonomi yang
membuat pemerintah dan masyarakat daerah sangat rentan.
Kemudian secara ideologi, otonomi daerah merupakan salah satu wujud penolakan atau
perlawanan terhadap sosialisme kekuasaan menjadi liberalisme. Perang dua mainstream ideologi,
dalam konteks ini, diresponi oleh masyarakat lalu diimplementasikan ke dalam struktur
pemerintahan. Penganut paham sosialis menekankan pada sentralisme kekuasaan, sebaliknya
penganut paham liberal menekankan pada distribusi kekuasaan ke daerah-daerah, yang kemudian
lebih dikenal dengan istilah daerah otonom. Namun dalam Permesta, perjuangan mewujudkan
otonomi tidak nyata ke dalam perang dua ideologi ini, walaupun gerakan Permesta mendapat
kecaman dari sosialisme/PKI. Tetapi belum ada bukti secara formal-ligitimed pernyataan Permesta
yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari penganut paham liberal. Tuntutan otonominya lebih
mcrupakan refleksi dari kondisi bangsa ketika itu, di mana daerah termarginalisasi dari proses
pembangunan.
Dalam konteks ini, Permesta kemudian menawarkan konsep otonomi yang menekankan
pada pemerataan hasil sumber-sumber ekonomi dan perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah yang meliputi "daerah surplus, 70 % hasil pendapatan daerah untuk daerah dan 30 % untuk
pemerintahan pusat. Daerah minus 100 % penadapatan daerah untuk daerah ditambah subsidi dari
pemerintah pusat untuk pembangunan vital selama 2-5 tahun". Dengan pembagian ini, maka secara
berangsur dapat menghilangkan sentralisme di bidang ekonomi.
Kebijakan-kebijakan ekonomi Permesta kemudian baik yang dilakukan oleh Bank
Permesta maupun kebijakan-kebijakan lainnya diarahkan pada pemberdayaan ekonomi
masyarakat desa, karena masyarakat desa merupakan komponen yang paling mayoritas.
Pembangunan masyarakat desa dalam rangka otonom merupakan keharusan yang tidak dapat
ditawar-tawar. Seperti, pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di antaranya, "jalan-jalan
desa dan jembatan desa, saluran air dan bendungan, pertanian, perikanan, industri/kerajinan,
perdagangan, koperasi, dan lain-lain" (Arsip Saleh Lahade Reg. Saleh Lahade Reg. 237)
Kemudian di bidang pemerintahan daerah. dibagi ke dalam dua jenis daerah otonom yakni
daerah otonom tingkat I dan daerah otonom tingkat II atau taraf kabupaten. Daerah otonom Tingkat
I yang dimaksud meliputi daerah – daerah bekas kerisidenan. Sedangkan daerah otonom tingkat II
adalah tiap-tiap kewedanan yang dilebur menjadi kabupaten. Untuk mendorong pembangunan di
daerah-daerah Tingkat II (kabupaten) dan menyambung usaha-usaha pembangunan, maka jalan
yang ditempuh di antaranya memberi bantuan kepada daerah Rp 2 Juta untuk tiap kabupaten.
Demikian pula mengenai penanaman modal untuk meng-expolitir, termasuk perusahaan yang vital
ditetapkan 50% modal particulir dan 50% modal dari daerah-daerah otonom Tingkat II (Arsip
Pribadi Saleh Lahade Reg.366).
Kemudian untuk mengangkatan pejabat/personall diutamakan berasal dari daerah.
Dengan mempergunakan putra daerah tidaklah berati bahwa menolak tenaga-tenaga dari luar
terutama tenaga ahli. Untuk menciptakan tenaga-tenaga daerah yang profesional maka perlu
adanya kursus-kursus keahlian atau memberi kesempatan kepada putra daerah untuk mengikukti
kursus-kursus yang diadakan oleh negara. Kemudian pembudayaan pemerintah daerah (otonomi)
yang diperjuangkan oleh Permesta juga bemuatan phisikologis, sedang yang menjadi indikatornya
adalah perasaan individu yang terakumulasi menjadi perasaan kolektif dalam menyadari
eksistensinya.
Pembagian Daerah Otonom
Sebelumnya telah diuraikan tentang konsep otonomi daerah sebagai hasil dari pemikiran
tokoh-tokoh Permesta. Kemudian diimplementasikan dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Supaya pengimpletasian ide otonomi daerah ini dapat efektif dan merata, maka diperlukan suatu
pembagian daerah otonom, agar terjadi distribusi kekuasaan ke daerah-daerah. Karena apabila
tidak terjadi distribusi kekuasaan ke daerah-daerah yang efektif dan merata, maka bisa saja
menimbulkan ketidakpuasan daerah-daerah yang lebih rendah. Oleh karenanya, untuk
menghindari hal tersebut, maka pembagian daerah dalam rangka otonomi adalah merupakan syarat
mutlak agar tercapai pembagian wewenang yang lebih efektif dan efisien.
Berdasarkan realita di atas, maka pada 20 Maret 1957, Sumual selaku Kepala
Pemerintahan Militer, mengeluarkan Surat Keputusan No. Kpts 0139/30-1957 mengenai
pembagian-pembagian daerah otonom tingkat I, maka wilayah Wirabuana terdiri atas; (1) propinsi
Sulawesi-Selatan dengan ibu kota Makassar, (2) Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado,
(3) Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kota Singa Radja, (4) Provinsi Nusa Tenggara Tmur
dengan ibu kota Kupang, (5) Propinsi Nusa Tenggara Maluku dengan ibu kota Ambon, dan (6)
Provinsi Nusa Tenggara Irian Barat terdiri dari daerah Irian Barat, ditambah dengan daerah Tidore,
dengan ibu kola Soa Siu (Laporan Rencana Kerja Panitia II Dewan Tertinggi Permesta).
Pembagian administrasi ini memang tidak terlaksana seluruhnya semasa Permesta berkuasa, tetapi
telah menjadi kenyataan (Leirissa, 1997:97).
Supaya pembagian wilayah itu efektif dan dapat berjalan dengan baik, maka dibuat suatu
ketentuan-ketentuan bahwa daerah-daerah otonom tersebut tetap memiliki satu kesatuan, politik,
dan ekonomi. "pembentukan suatu provinsi atau pembagian salah satu daerah tidak boleh
dipergunakan untuk merusak daerah-daerah lain, karena keutuhan Republilk Indonesia harus
dimulai dari daerah otonom dari bawah" (Laporan Rencana Kerja Panitia II Dewan Tertinggi
Permesta).
Selain pembentukan daerah otonomi Tingkat I, juga muncul tuntutan beberapa daerah
kabupaten menuntut otonomi. Seperti di daerah Sulawesi-Selatan dan Tenggara di antaranya
tuntutan daerah Kabupaten Gowa, Bone, Luwu, dibagi menjadi beberapa kabupaten lebih kecil.
Sedangkan di tiap daerah-daerah onderafdeling yang jumlahnya 25 buah juga menuntut agar
daerahnya menjadi otonom, meliputi: (1) Sulawesi Selatan dan Tenggara, meliputi beberapa
Kabupaten, antara lain, Kabupaten Makassar, dimekarkan mendjadi Kabupaten Gowa, Takalar,
Jeneponto, Maros-Pangkajene. Pada tiap daerah onderafdeling di Sulawesi-selatan Tenggara ini
yang di djumlahnya 25 buah, timbul pergolakan untuk menjadikan daerah-daerah otonom tingkat
II atau kabupaten. (2) Sulawesi Utara dan Tengah juga terjadi hal yang sama. Untuk
menghindarkan timbulnya pelayanan yang tidak memuaskan terhadap daerah yang terkecil, maka
timbul hasrat yang kuat dalam masyarakat Sulawesi Utara dan Tengah untuk membagi propinsi
ini atas 12 daerah kabupaten, antara lain: Daerah Menado, Minahasa, Bolaa Mangondow, Sangir
Talaud, Gorontalo, Bual-Toli-toli, Banggai, Parigi, Posso, Mori-Bungku, Donggala, dan Palu. (3)
Sedangkan daerah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Barat tidak
ada terdengar suara-suara yang menghendaki pemekaran daerah kabupaten (Laporan Rencana
Kerja Panitia II Dewan Tertinggi Permesta). Daerah-daerah Tingkat II ini, kemudian mendapat
status sebagai daerah otonom, dan dalam realisasinya mendapat subsidi dari pemerintahan militer
pada masa kekuasaan Permesta. Istilah otonomi daerah di Sulawesi-Selatan, menjadi menarik
untuk dibicarakan sebagai salah satu jalan keluar untuk menciptakan tatanan ekonomi daerah yang
mandiri. Rencana pokok ini adalah merupakan rangkaian dari usaha untuk menciptakan suasana
stabil dan aman di daerah Indonesia Timur.
Permesta Membangun
Gerakan Pertmesta lahir sebagai wadah tunggal yang mengakomodasi keinginan-
keinginan masyarakat Indonesia bagian timur pada umumnya. Tuntutan otonomi semakin keras di
suarakan, baik itu dari pemerintah daerah sendiri maupun dari masyarakat yang dimanipesrtasikan
melalui organisasi kemasyarakatan, pemuda, dan partai politik. Mencermati situasi demikian,
Panglima TT. VII/Wirabuana selaku penanggung jawab keamanan di wilayah Indonesia bagian
timur. Untuk mengarahkan tuntutan masyarakat tersebut agar tidak berkembang menjadi gerakan
separatis atau pemberontak, maka dibentuklah wadah tunggal yang dikenal dengan nama
"Perjuangan Semesta". Agar perjuangan ini dapat berjalan dengan lancar, maka didahulukan
pengumuman keadaan darurat atau S.O.B. lni dimaksudkan untuk mencegah meruncingnya
pertentangan-pertentangan yang dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam masyarakat. (Laporan
Seksi Politik, 4 Maret 1957).
Pemberlakuan S.O.B. tersebut melapangkan terbentuknya bentuklah pemerintahan militer
TT.VII Wirabuana. Langkah pertama yang diambil adalah dibentuklah pemerintahan yang terdiri
atas unsur sipil yang tergabung dalam Konsentrasi Tenaga dan unsur TNI Staf TT-VII/Wirabuana.
Selang beberapa jam setelah pengumuman S.O.B. dan Piagam Permesta tersebut. Letkol Sumual,
kemudian mengeluarkan pengumuman selaku kepala pemerintahan militer dan wilayah TT-
VII/Wirabuana, mengenai organisasi pemerintahan. Pada hari-hari berikutnya dikeluarkan juga
sejumlah surat keputusan mengenai berbagai masalah yang perlu ditangani sesegera mungkin.
Pada tanggal 8 Maret 1957 Panglima TT.VII/Wirabuana sekaligus kepala pemerintahan militer
mengeluarkan instruksi kerja kepada seluruh komponen yang telah dibentuk.
Dalam rangka implementasi otonomi, Sumual (selaku panglima/kepala pemerintahan)
dalam menjalankan tugasnya dibantu dua Staf "Staf Pertama adalah militer yang terdiri atas Staf
TT-VII/Wirabuana yang sudah ada. Sedangkan Staf Kedua adalah sebuah staf pemerintahan yang
di pimpin Letkol. M. Saleh Lahade sebagai kepala staf' (Leirissa, 1997:94). Kemudian untuk tugas
sehari-hari dalam staf pemerintahan, maka dibentuklah team asistensi yang dipimpin kepala staf
pemerintahan Letkol Saleh Lahade.
Diberlakukannya keadaan S.O.B. bukan berarti kudeta terhadap pemerintahan sipil karena
pemerintahan yang terbentuk setelah keadaan S.O.B. bukanlah pemerintahan militerisme. Ini dapat
dibuktikan dalam pelaksanaan sehari-hari, golongan sipil tetap diikutsertakan. Setelah berlakunya
pemerintahan militer, kini dihadapi kenyataan untuk menata kembali format pembangunan dengan
memprioritaskan hal-hal yang mendesak, salah satu di antaranya adalah pembangunan bidang
ekonomi dalam bingkai otonomi. Untuk itu, dikeluarkanlah berbagai kebijakan-kebijakan
ekonomi yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik.
Implementasi dari kebijakan di atas, maka dibukalah jaringan perdagangan kopra yang
kemudian dibagi dalam tiga jaringan utama yaitu, Pelabuhan Makassar, Ambon dan Bitung,
sekaligus sebagai tempat pengumpulan kopra. Kemudian pemanfaatan hasil perdagangan kopra
tersebut digunakan untuk kebutuhan sendiri, kebutuhan perdagangan dalam negeri dan kebutuhan
perdagangan ekspor. Selain kebijakan ekonomi, dalam mekanisme pemerintahan juga dibentuk
Dewan Pertimbangan Pusat (DPP), tugas dewan ini memberi saran kepada pemerintah dalam
menjalankan program-program pembangunan, demikian pula bertugas untuk menggalang atau
menghimpun seluruh potensi di Indonesia bagian timur salah satu contoh adalah
menyelenggarakan kongres Bhinneka Tunggal Ika.
Sementara itu, pembangunan di daerah (wilayah Wirabuana) sebagai Implementasi ide
otonomi daerah segera digalakkan. Pada tanggal 2 Mei 1957, Sumual secara resmi mengadakan
perjanjian "pinjaman darurat" sebesar seratus juta rupiah dengan Bank Indonesia Cabang Makassar
untuk dana pembangunan. (Leirissa, 1997:97), Pada hari itu juga dikeluarkanlah perintah kepada
semua daerah Tingkat II di wilayah Wirabuana untuk membentuk panitia pembangunan dengan
melibatkan, unsur-unsur lain seperti Ormas, partai-partai dan militer. Untuk Pelaksanaan
pembangunan di daerah Tingkat II sebagaimana tercantum dalam rencana pembangunan Permesta,
maka kepada daerah Tingkat II mendapat jatah dua juta rupiah setiap kabupaten.
Sesuai dengan rencana pembangunan Permesta yang dihasilkan Konferensi Bhinneka
Tunggal Ika, yaitu, mengenai rencana pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Rencana
pembangunan jangka pendek menekankan pada merangsang pertumbuhan industri rakyat, atau
kebijakan ekonomi yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat seperti penggaraman, modenisasi
alat penangkapan ikan, perbengkelan, usaha transportasi dan lain-lain sebagainya. Sasaran
pembangunan jangka pendek ini dapat berjalan dengan baik, hal ini dapat dibuktikan banyaknya
bantuan yang diberikan untuk pembangunan (Arsip Pribadi Saleh Lahade No. 385). Sasaran
pembangunan jangka panjang, meliputi pembangunan pembangkit tenaga listrik, pabrik-pabrik
tekstil, minyak, semen, belerang, besi, aspal, dan lain-lain.
Salah satu sumber devisa terbesar melalui perdagangan kopra adalah wilayah Sulawesi
Utara. Perdagangan kopra di wilyah ini, dikendalikan suatu badan koordinasi yang dipimpin J.M.J.
Pantouw. Hasil-hasil dari perdagangan kopra di wilayah ini kemudian dialokasikan untuk berbagai
proyek jalan antara Manado dan Tomohon sepanjang 25 Km pun mulai ditingkatkan dan
diperlebar. Dengan bantuan TNI, rakyat berhasil membangun jalan yang menghubungkan
Kinalawirang dan Tomposo Baru di Minahasa Selatan berhasil membangun sebuah bendungan di
Sungai Ronoyapo untuk mengairi sekitar 100 hektar lahan per-tanian. Masih banyak lagi proyek-
proyek yang tidak seluruhnya tidak dapat dilaporkan dalam pers setempat (Leirissa, 1997:113)
Berdasarkan data-data pembangunan di atas, menunjukkan bahwa Permesta dapat
mewujudkan sebagian hasrat masyarakat terutama bagi masyarakat desa, walaupun belum
maksimal. Untuk efektifnya pemerintahan militer ini, maka wilayah bagian timur dibentuk daerah-
daerah otonom, baik tingkat I maupun daerah otonomi tingkat U. Untuk daerah otonomi Tingkat
I, adalah provinsi-provinsi dalam wilayah Indonesia Timur. Kemudian daerah otonom Tingkat II
adalah daerah swapraja dan berbagai onderafdeling yang juga menuntut otonomi tingkat
kabupaten.
Selain implementasi otonomi bidang sarana fisik dan pembagian atau pemekaran wilayah,
juga dalam bidang kepemudaan dan pendidikan mendapat perhatian. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dilaksanakannya "Kongres Pemuda Indonesia Timur yang berlangsung di Tondano 5-9
Juli 1957, dengan Jan Torras sebagai ketua panitia" (Leirissa, 1997.111). Salah satu keputusan
penting dalam kongres pemuda itu adalah pembentukan wadah tunggal yang dinamakan Komando
Pemuda Permesta (KoP2) dengan pimpinan utama yang terdapat beberapa departemen.
Departemen-departemen tersebut menurut Leirissa meliputi :"Departemen Pengerahan Tenaga,
Pertahanan, Pendidikan dan Kebudayaan, Ekonomi dan Sosial, Keuangan, Agama dan Umum"
(Arsip Pribadi Saleh Lahade Reg. 379)
Pembangunan-pembangunan yang telah dilancarkan Permesta tersebut adalah wujud
nyata dari implementasi ide otonom. Paradigma otonom ternyata dapat merubah atau
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. "dalam beberapa bulan saja keadaan sosial ekonomi
banyak berubah dibanding, tahun-tahun sebelumnya. Usaha pembangunan lebih banyak
ditekankan pada pengadaan dan perbaikan prasarana di bawah pimpinan yang tegas". (Leirissa,
1997:115). Namun keberhasilan ini menimbulkan kecurigaan dari PKI, mereka secara apriori
menuduh Permesta sebagai agen kapitalilsme. Antipati PKI terhadap gerakan Permesta tampak
setelah Peristiwa Cikini, di mana PKI mengeksploitasi peristiwa tersebut untuk kepentingan
partainya dengan menuduh daerah bergolak dalam hal ini Permesta sebagai dalang di balik
peristiwa tersebut.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah dalam gerakan Permesta telah
diimplementasikan dalam pembangunan di daerah, walaupun tentang ide otonomi daerah tidak
mendapat legalitas dari pemerintah pusat. Implementasi ide otonomi daerah ini tidak lebih
merupakan moment yang dimanfaatkan setelah diberlakukan S.O.B bagi wilayah Indonesia
Timur. Otonomi daerah yang diperjuangkan oleh Permesta boleh dikatakan berhasil dengan baik,
hal ini dapat dibuktikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
PENUTUP
Otonomi daerah sebagaimana diperjuangkan oleh Permesta mencakup pengertian,
penyadaran masyarakat daerah akan pentingnya pembangunan, kemudian pengaturan wewenang
pemerintah agar daerah dibenarkan mengatur rumah tangga sendiri. Permesta dalam menata
pembangunan ekonomi terutama dalam mengontrol perdagangan kopra dan mendorong
perekonomian berbasis desa, memberi bantuan kepada peternak dan petani, pengaturan desa,
pengangkatan guru-guru dan pegawai lokal, pembinaan kesenian dan kebudayaan. Menyangkut
kepentingan nasional, seperti keamanan, politik luar negeri, menjadi bagian pemerintah pusat.
Implementasi dari perjuangan otonomi daerah Permesta dapat dilihat dari berbagai program
pembangunan di wilayah Indonesia Timur. Permesta melakukan tindakan nyata dalam bidang
infrastruktur.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Harvey, Barbara Sillars. 1989. Permesta: Pemberontak Setengah Hati. Jakarta: Grafiti Press.
Leirissa, R.Z. 1997. PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta:
Gramedia.
Nasution, A.H, 1983 Memenuhi Panggilan Tugas, Jakarta: Gunung Agung
Notosusanto, Nugroho, 1993 Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pusataka
Velthoen, Esther. 2011. “Memetakan Sulawesi Tahun 1950-an” dalam Sita Van Bemmelen dan
Remco Raben (Ed) Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sastroatmodjo, Sudjono, 1994, Prilaku Politik, Semarang, IKIP Semarang Press
Arsip
Warta PIA, tanggal 30 Januari 1958
Koleksi Pribadi Saleh Lahade. Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Laporan Rencana Kerja Panitia II Dewan Tertinggi Permesta
Laporan Seksi Politik, ketatanegaraan, hukum, dan ketata tertiban Permesta, 4 Maret 1957