perlindungan hukum terhadap...

203
Volume 11, No.1 Mei 2011 i Perlindungan Hukum Terhadap Hak- Hak Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006); Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004; Kewenangan PTUN Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU PTUN; Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata; Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat Terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara; Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang Bea baliknama Kendaraan Bermotor; Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa. Volume 11, No.1 Mei 2011 ISSN 1412-2928

Upload: nguyenxuyen

Post on 12-May-2018

239 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 i

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-

Hak Rakyat Atas Tanah Dalam

Pembangunan (Kajian Atas Perpres No.

65 Tahun 2006);

Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan

Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU

No. 16 Tahun 2004;

Kewenangan PTUN Dalam Penanganan

Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU

PTUN;

Akibat Hukum Terhadap Perjanjian

Hutang Menurut KUH Perdata;

Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat

Terbitnya Keputusan Tata Usaha

Negara;

Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP

No. 44 Tahun 1993 Tentang Bea

baliknama Kendaraan Bermotor;

Perlindungan Hukum Advokat Sebagai

Penerima Kuasa.

Volume 11, No.1 Mei 2011 ISSN 1412-2928

Page 2: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 ii

JURNAL “YUSTITIA”

Pimpinan Umum/Penanggung Jawab

Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura

Pimpinan Redaksi

Muhammad, S.H.,MH.

Wakil Pimpinan Redaksi

Achmad Rifai, S.H., M.Hum.

M.Amin Rachman, S.H., MH.

Sekretaris Redaksi

Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.

Konsultan Redaksi

Drs. H. Kutwa, M.Pd.

Drs. H. Abd. Roziq, MH.

Dr. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.

Redaksi Pelaksana

H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.

Dr. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum.

Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum.

Adrianana Pakendek, S.H., MH.

Anni Puji Astutik, S.H., MH.

Pembantu Umum

Hj.Wasilaning Rahayu

Toyyib Muniri

Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan

E-mail: [email protected]

Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan

pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam

media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.

Page 3: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 iii

EDITORIAL

Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan

adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah terhadap

tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa

apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk

kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, , maka

pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan

dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah.Hal ini

diangkat sebagai tulisan utama dalam volume ini.

Tulisan ke dua memaparkan tentang kedudukan, tugas dan wewenang Komisi

Pemberantasan Korupsi ( KPK ) berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan,

akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara

hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan

keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi

Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah yang

dilaksanakan sendiri oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam kaitannya itu dengan

implementasi wewenang BPN membatalkan pemberian Hak Atas Tanah berbenturan

dengan wewenang mengadili Peradilan Tata Usaha Negara.

Akibat hukum yang timbul dalam perjanjian hutang menurut Kitab Undang-

undang Hukum Perdata, selama ini perjanjian penanggungan merupakan jaminan

perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu

diadakan antara kreditur dan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri

untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya

Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan

publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan jaminan terhadap hak masyarakat baik secara yuridis konstitusional maupun secara etika sosial.

. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan

nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus

dilakukan penyerahan yuridis, dan akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam

BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan;

Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian

bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru dalam batas

tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak seorang advokat dalam

rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban dan

sanksi terhadap pihak lain untuk menyerahkan bukti yang dibutuhkan

Editor

Page 4: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 iv

DAFTAR ISI

EDITORIAL …………………………………………………… ii

1. Dr.H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum.

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Rakyat Atas Tanah Dalam

Pembangunan (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006) …………………. 1

2. Nur Hidayat, S.H., M.Hum.

Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 ……………………………………….. 26

3. H.Hofney Setyo Poernamo, SH.,M.Hum.

Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penanganan

Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU PTUN .............................................. 52

4. Sri Sulastri, SH.M.Hum.

Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata ....... 83

5. Win Yuli Wardani, SH.,M.Hum.

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Dalam Memperoleh

Pelayanan Publik ............................................................................................. 103

6. M.Amin Rachman, S.H.,MH.

Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ........................................................... 123

7. Achmad Rifai, SH.M.Hum.

Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa ……………........ 147

Page 5: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 v

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH

DALAM PEMBANGUNAN (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006)

Oleh:

H. Akh.Munif.1*

ABSTRAK

Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam

pembangunan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang

hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan

atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah

perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari

diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk kepentingan umum

melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, maka pengadaan

tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan

dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum – Hak-Hak Rakyat – Atas Tanah.

LATAR BELAKANG

Peranan pembangunan dalam masa-masa sekarang ini, sangatlah dirasakan

adanya peningkatan kebutuhan akan tanah untuk keperluan berbagai macam aspek

dalam menumbuhkan pembangunan yang merata bagi lapisan masyarakat, terutama

pembangunan dibidang fisik baik desa maupun kota. Tanah sebagai modal dasar

pembangunan memegang peranan yang sangat penting untuk melaksanakan kegiatan pembangunan, seperti mendirikan gedung sekolah, pelebaran jalan dan lain sebagainya.

Akan tetapi banyaknya tanah yang tersedia untuk keperluan pembangunan sangatlah

terbatas.

Adapun faktor yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul di atas,

berawal dari seringnya muncul sengketa mengenai tanah diantara kelompok-kelompok

yang ada di masyarakat yang sangat mengharapkan suatu keadilan. Adapun ukuran

keadilan itu subyektif dan relatif. Subyektif, karena ditentukan oleh manusia (hakim)

yang mempunyai wewenang untuk memutuskan, namun tidak mungkin memiliki

kesempurnaan yang absolut. Relatif, karena bagi seseorang dirasa sudah adil, tetapi

bagi orang lain dirasa sama sekali tidak adil.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.

Page 6: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 vi

Oleh kerena itu dalam setiap kegiatan pembangunan tidak saja menjadi

tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga dibutuhkan peran aktif dari pihak swasta

dan masyarakat pada umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah bagi

pemerintah maupun perusahaan swasta, kecil sekali kemungkinannya menggunakan

tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara dikarenakan persediaan tanahnya yang

terbatas. Sebagai solusinya adalah menggunakan tanah-tanah hak rakyat dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. Sebagaimana ditentukan

dalam undang-undang pokok agraria (UUPA) pada pasal 6 telah disebutkan bahwa

semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah

dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-

mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau disesuaikan dengan keadaannya dan

sifat dari haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang

mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam

ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama

sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan

perseorangan haruslah saling mengimbangi sehingga pada akhirnya akan tercapailah

tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Berhubungan dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa

tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah

kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada

pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula

dari setiap badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan

tanah itu. Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang

ekonomis lemah.2

Pranata hukum yang mengatur pengambilan tanah-tanah penduduk untuk

keperluan pembangunan, dilakukan dengan melalui :

1. Pengadaan tanah

Pengadaan tanah ialah setiap kegiatan yang mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.

2. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

Pelepasan adalah kegiatan melepaskan hubungan antara pemegang hak atas tanah

dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar

musyawarah.

Pengadaan tanah erat sekali hubungannya dengan pembebasan atau pelepasan

hak atas tanah yang diperlukan baik untuk kepentingan umum maupun untuk

kepentingan swasta, yang sering kali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Hal ini

disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara yang

satu dengan yang lainnya.

2 Arif, Undang-Undang Pokok Agraria, Cet. III, CV. Mandar Maju, Bandung,

1994, h. 45.

Page 7: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 vii

Menurut Soedharyo Soimin, pembebasan tanah adalah “melepaskan hubungan

hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanah dengan cara

pemberian ganti rugi.2

Namun dalam prakteknya, rakyat sering dijadikan akses para penguasa. Rakyat

seringkali tidak diikutsertakan dalam musyawarah dan mengambil suatu kebijaksanaan

yang menyangkut nasib dan masa depan mereka. Pada umumnya mereka hanya diberi pengarahan yang harus diterima dengan penuh kepatuhan, bahkan rakyat seringkali

dibodohi dengan janji-janji yang menggiurkan, sehingga mereka merasa kecewa dan

merasa dirugikan karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bila persoalan

semacam ini tidak mendapatkan perhatian yang serius, pada gilirannya akan

menimbulkan masalah yang berdampak politik.

Hal-hal tersebut di atas tentunya menimbulkan keresahan dalam masyarakat

yang dirugikan secara moril dan materiil. Padahal dalam pelaksanan pengadaan tanah

harus tetap berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang sesuai dengan

prinsip bahwa negara kita adalah suatu negara hukum. Oleh karenanya, dalam

pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan suatu

pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi hukum),

prosperty approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach (pendekatan dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari segi

kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan

ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa

negara kita adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan kita harus

memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan tetap

terpelihara.3

Pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa rakyat merupakan faktor

dominan diberikan peranan sentral dalam menggerakkan pembangunan dan perlu

ditingkatkan kemampuannya untuk berproduksi dengan baik melalui investigasi

dibidang sumber daya manusia. Pembangunan oleh rakyat berarti memberikan setiap

manusia Indonesia memperoleh kesempatan yang adil untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan untuk rakyat berarti menjamin bahwa

setiap kemajuan yang diperoleh sebagai hasil pembangunan adalah untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat banyak.

Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka dapat diangkat

permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah hak dan kewajiban rakyat atas tanah ?

2 Soedharyo Soimin, Stutas Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, Sinar

Grafika, Jakarta, 2001, h. 76. 3Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan

Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51.

Page 8: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 viii

b. Bagaimanakah perlindungan hukumnya terhadap hak-hak rakyat atas tanah

dalam Pembangunan ?

HAK DAN KEWAJIBAN RAKYAT ATAS TANAH

A. Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah

Berbicara tentang masalah tanah, jika ditinjau dari hukum adat merupakan

suatu hal yang cukup esensiil dalam kehidupan manusia. Menurut Suyono Wignjodipuro

ada dua hak pokok yang menyebabkan tanah mempunyai kedudukan penting, yaitu :

a. Karena sifatnya:

Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bagaimanapun

keadaannya masih tetap bersifat tetap atau kadang-kadang bahkan

menguntungkan.

b. Karena fakta

Suatu kenyataan bahwa tanah itu :

- merupakan tempat tinggal persekutuannya;

- merupakan penghitungan bagi warga persekutuan; - merupakan tempat warga dikebumikan;

- dan juga merupakan tempat tinggal para roh dan dayang-dayang leluhur

persekutuan.4

Untuk kedudukan tanah karena sifatnya dalam hukum adat, sebagaimana

dimaksud di atas contohnya sebidang tanah yang dibakar atau di atasnya dijatuhkan

bom, tanah tersebut tidak akan lenyap, sebab setelah api itu padam atau setelah

pemboman selesai, sebidang tanah tersebut akan muncul kembali dan telah berwujud

tanah seperti semula. Memandang betapa tanah mempunyai arti yang sangat

penting, maka hal-hal yang berkaitan dengan tanah selalu mendapatkan perhatian

khusus, terutama tentang transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah termasuk juga persewaan tanah pertanian.

Transaksi tanah, sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat riil, di dalam

lapangan hukum harta kekayaan, merupakan salah satu perbuatan tunai dan berobyek

tanah. Intinya ialah penyerahan benda (sebagai prestasi) yang berjalan serentak dengan

penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya, kadang-kadang sebagian, selaku kontra

prestasi). Perbuatan “menyerahkan” itu dinyatakan dengan istilah “jual”(Indonesia),

“adol” (Jawa).

4 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, CV. Haji

Masagung, Jakarta, 1968, h. 197.

Page 9: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 ix

Oleh karena itu transaksi tanah segi dua atau timbal balik tersebut di atas

menyimpulkan pokok pikiran sebagai berikut : “saya melepaskan tanah setelah saya

menerima sejumlah uang tertentu, dan anda menjadi pemegang hak atas tanah itu :

1. atau untuk selamanya;

2. atau selama saya tidak menebusnya; 3. atau untuk beberapa lama saja.5

Dengan demikian transaksi-transaksi semacam itu digolongkan ke dalam perjanjian riil

atas tanah, berhadapan dengan perjanjian-perjanjian jenis lain yaitu:

1. perjanjian yang biasanya digolongkan kedalam transaksi yang bersangkutan

dengan tanah, di mana tanah merupakan faktor penting, namun tidak dapat

disebut obyek transaksi dan tidak bermaksud seperti pada transaksi jual;

2. perjanjian di mana tanah memegang peranan sangat penting dan didalamnya

terdapat perbuatan tunai.

B. Hak-Hak Rakyat Atas Tanah

Dalam membicarakan hak dan kewajiban atas tanah ada beberapa hak atas tanah yang penting harus diketahui yang berasal dari hukum agraria sebelum adanya

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Hak atas tanah menurut hukum Adat sebelum berlakunya UUPA yaitu :

1. Hak ulayat

Hak ulayat ialah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota

masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini

masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara

menyeluruh.

Adapun hak warga masyarakat atas tanah yang berwujud dalam hak ulayat ini

pada dasarnya berupa :

a. Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di

wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka yang bersangkutan. b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka.

Tetapi dalam konsepsi hak ulayat yang bersifat komunal ini pada hakikatnya

tetap terdapat juga hak anggota masyarakat yang bersangkutan untuk secara

perseorangan menguasai sebagian dari obyek penguasaan hak ulayat tersebut secara

tertentu (dengan menggunakan tanda-tanda tertentu) agar diketahui para anggota

masyarakat lainnya dalam waktu yang tertentu pula.

2. Hak milik dan hak pakai

5 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,

Yogyakarta, 1979, h. 177.

Page 10: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 x

Hak milik (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah yang dipegang oleh

perseorangan atas sebidang tanah tertentu yang terletak di dalam wilayah hak ulayat

masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Contohnya tanah yang dikuasai dengan hak

milik dalam hukum adat itu berupa sawah dan beralih turun temurun, sedangkan hak

pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah

memberikan wewenang kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah tertentu bagi kepentingannya. Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak pakai dalam

Hukum Adat itu berupa ladang.6

Hak atas tanah menurut hukum (Perdata) Barat sebelum berlakunya UUPA

yaitu :7

1. Hak Eigendom (pasal 570 KUHPer/BW).

Hak eigendom atas tanah ialah suatu hak yang terkuat dalam hukum barat.

Tidaklah sama hakikatnya hak “milik” atas tanah menurut konsepsi hukum (perdata)

Barat ini dengan hakikat hak milik atas tanah menurut konsepsi UUPA kita dewasa ini.

Dengan hak eigendom hak atas tanah, pemilik (eigenaar) tanah yang bersangkutan

mempunyai hak “mutlak” atas tanahnya. Hal ini dapat kita mengerti mengingat konsepsi

hukum Barat ini dilandasi oleh jiwa dan pandangan hidup yang bersifat individualistis-

materialistis, yaitu suatu pandangan hidup yang lebih mengagungkan kepentingan perorangan dari pada kepentingan umum maupun kebendaan dari pada keahlakan.

2. Hak opstal (pasal 711 KUH Per/BW).

Hak opstal ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada

pemegangnya untuk memiliki segala sesuatu yang terdapat di atas tanah eigendom

orang lain sepanjang sesuatu tersebut bukanlah kepunyaan “eigenaar” tanah yang

bersangkutan. Segala sesuatu yang dapat dimiliki itu misalkan rumah atau bangunan,

tanaman dan sebagainya. Disamping wewenang untuk dapat memiliki benda-benda

tersebut, hak opstal juga memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk :

- Memindahtangankan (benda yang menjadi) haknya itu kepada

orang lain;

- Menjadikan benda tersebut sebagai jaminan hutangnya (dengan Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996 );

- Mengalihkannya kepada ahli warisnya sepanjang jangka waktu

berlakunya hak opstal itu belum habis menurut perjanjian yang telah ditetapkan

bersama pemilik tanah.

3. Hak erfpacht (pasal 720 KUHPer/BW).

6 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h. 27. 7 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Cet. III,

Alumni Bandung, 1992, h. 128.

Page 11: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xi

Hak erfpacht ialah hak untuk dapat mengusahakan atau mengolah tanah orang

lain dan menarik manfaat atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut. Di

samping menggunakan tanah orang lain itu untuk dimanfaatkan hasilnya, pemegang hak

atas tanah, pemegang hak erfpacht ini berwenang pula untuk memindahtangankan

haknya itu kepada orang lain, menjadikannya sebagai jaminan hutang (dengan Hak

Tanggungan) dan mengalihkannya pula kepada ahli warisnya sepanjang belum habis masa berlakunya.

4. Hak gebruik (pasal 818 KUHPer/BW).

Hak gebruik ialah suatu hak atas tanah sebagi hak pakai atas tanah orang lain

(gebruik = pakai). Hak gebruik ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk

dapat memakai tanah eigendom orang lain guna diusahakan dan diambil hasilnya bagi

diri dan keluarganya saja. Di samping itu pemegang hak gebruik in boleh pula tinggal di

atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku hak itu.

Hak atas tanah menurut hukum agraria Indonesia, setelah berlakunya UUPA

yaitu :

1. Hak milik (pasal 20 sampai dengan 27 UUPA)

Hak milik ialah suatu hak atas tanah yang terpenuh, terkuat dan paling sempurna di antara hak-hak atas tanah lainnya. Tetapi pengertian terkuat, terpenuh dan

paling sempurna di sini tidaklah berarti bahwa si pemilik tanah itu boleh bertindak atau

melakukan apa saja atas tanahnya itu.

Hak milik menurut UUPA ialah hak milik yang mempunyai fungsi sosial

seperti juga semua hak atas tanah lainnya (pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung

arti bahwa :

a. Hak milik atas tanah tersebut di samping hanya memberikan manfaat bagi

pemiliknya, harus diusahakan pula agar sedapat mungkin dapat bermanfaat

pula bagi orang lain atau kepentingan umum, bila keadaan memang

memerlukan.

b. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh mengganggu ketertiban dan kepentingan umum.

Hakikat hak milik menurut UUPA adalah demikian karena UUPA sebagai hukum

agraria nasional telah dijiwai dan dilandasi oleh Pncasila sebagai pandangan hidup

bangsa, yang menempatkan kehidupan manusia dalam taraf keserasian antara demensi

individual dan demensi sosialnya. Dengan demikian, maka hal ini tentu saja berarti

bahwa di Indonesia pemenuhan kepentingan individu dan kepentingan sosial sama-sama

dijamin dan dilindungi penuh oleh hukum dalam taraf keseraisian pula. Akibatnya hak

milik sebagai suatu lembaga yang merupakan kepentingan individual seseorang atau

suatu pihak, memang dilindungi oleh hukum (proteksi hukum) tetapi disamping itu

tentu saja tetap dibatasi pula (restriksi hukum) sampai pada batas-batas kelayakan dan

kewajaran tertentu.

2. Hak guna usaha (pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA)

Page 12: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xii

Hak guna usaha ialah suatu hak yan memberikan wewenang kepada

pemegfangnya untuk mengusahakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara untuk

kegiatan-kegiatan pertanian saja. Jadi apabila yang bnersangkutan tidak berkegiatan

dalam bidang pertanian, hak guna usaha atas tanah ini tidak akan diberikan. Kegiatan

pertanian sendiri pada asasnya mengandung pengertian pertanian dalam arti luas dan

dalam arti sempit. Yang dimaksud dengan pertanian dalam arti luas ilah kegiatan pertanian yang disertai atau meliputi juga kegiatan-kegiatan peternakan, perkebunan,

perikanan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan pertanian dalam arti

sempit ialah pertanian yang kegiatannya hanyalah pertanian semisim panen belaka.

Disamping itu wewenang untuk mengusahakan tanah tersebut, pemegang hak

guna usaha yang bersangkutan juga berhak untuk menjadikan hak guna usaha atas tanah

ini sebagai jaminan hutang, atau memindahtangankannya dan mengalihkannya kepada

ahli warisnya sepanjang jangka waktu berlakunya hak tersebut belum habis.

3. Hak guna bangunan (pasal 35 sampai dengan pasal 40 UUPA)

Hak guna bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada

pemegangnya untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya

sendiri, baik tanah itu merupakan milik orang atau pihak lain maupun berupa tanah yang langsung dikuasai negara.

Disamping itu pemegang hak guna bangunan atas suatu tanah berwenang pula

untuk memindahtangankan hak tersebut, menjadikannya sebagai jaminan hutang dan

mengalihkannya epada ahli warisnya sepanjang belum habis jangka waktunya.

4. Hak pakai (pasal 41 sampai dengan pasal 43 UUPA)

Hak pakai ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk

menggunakan tanah pihak lain untuk keperluan penggunaan apa saja misalkan untuk

ditanami atau didiami dan didrikan bangunan diatsnya dan sebagainya selama waktu

tertentu menurut perjanjian. Sedangkan tanah yang dimaksud dalam hal ini bisa saja

tanah milik orang lain atau taah yang langsung dikuasai negara. Dalam hal yang terakhir maka hak pakai UUPA analog dengan hak pakai Adat.

5. Hak sewa untuk bangunan (pasal 44 sampai dengan pasal 45 UUPA).

Hak sewa untuk bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang bagi

pemegangnya untuk mempergunakan tanah milik orang lain guna keperluannya

mendirikan bangunan di atas tanah tersebut.

6. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (pasal 53 UUPA).

a. Hak gadai ialah suatu hak yang dipegang oleh seorang kreditur yang

memberikan wewenang kepadanya untuk menguasai tanah debiturnya dan

turut menikmati atau mengambil hasilnya selama si reditur itu belum dapat

melunaskan hutangnya. Taah yang dibebankan hak gadai ini dapat tanah

Page 13: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xiii

pertanian atau dapat juga tanah untuk bangunan. (Hak gadai UUPA tidak

analog dengan hak gadai Adat).

b. Hak usaha bagi hasil, yaitu hak yang memberkan wewenang kepada seorang

penggarap untuk dapat mengerjakan atau mengusahakan tanah milik orang lain

dengan memberikan sebagian tertentu dari jumlah hasil tanah tersebut kepada

pemiliknya menurut perjanjian. c. Hak menumpang, ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada

seseorang atau suatu pihak untuk menumpang tinggal diatas tanah milik orang

lain baik dengan menempati bangunan yang sudah ada maupun dengan

membangun sendiri bila seandainya tanah tersebut masih kosong.8

C. Kewajiban Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan

Merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak di situ

ada kewajiban dan sebaliknya. Karena itu maka dengan adanya hak atas tanah lahirlah

kewajiban atas tanah. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa

“Takaran Hak ialah Kewajiban” sehingga hal ini mengandung arti bahwa “seseorang

atau suatu pihak yang menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya untuk dapat menikmati hak tersebut”. Karena itu maka

sebanding dengan hak yang dapat diperoleh atas tanah, tentu saja ada pula kewajiban

yang harus dipenuhi oleh pihak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah, menurut Hukum Adat

yaitu :

1. Kewajiban pemegang hak ulayat.

Pemegang hak ulayat pada dasarnya berkewajiban untuk :

a. Menggunakan haknya sebagaimana mestinya untuk meramu atau berburu dalam

hutan wilayah hukum masyarakatnya itu;

b. Menepati ketentuan dan kata sepakat yang telah tercapai antar warga dalam

penggunaan hak ulayat tersebut baik secara bersama-sama maupun secara

pribadi atas tanah yang bersangkutan; c. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi alam tempat mereka

melakukan mata pencahariannya tersebut.

2. Kewajiban pemegang hak milik dan hak pakai.

Pemegang hak milik adat pada dasarnya berkewajiban untuk :

a. Menggunakan tanahnya secara semestinya menurut tujuannya;

b. Menjaga agar penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan

kepentingan orang lain atau kepentingan umum, dan memelihara tanah tersebut

dengan baik sehingga tanahnya dapat berfungsi sosial, sebagaimana hal ini

sudah menjadi “jiwa asli” yang melandasi hukum adat Indonesia.

8 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Op. Cit, h. 31.

Page 14: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xiv

Pemegang hak pakai adat bila dipandang sebagai masing-masing individu

yang menjadi bagian dari masyarakatnya, pada dasarnya berkewajiban untuk :

a. Sedapat mungkin berusaha agar ia dapat menambah kegunaan dari tanah yang

dipakai atau digarapnya itu. Peningkatan hasil tersebut tentunya berguna bagi

dirinya sendiri sebagai orang yang berhak memungut hasilnya selaku

penggarap. Disamping itu dengan adanya kewajiban ini, maka orang lain yang nantinya (menurut giliran berikutnya) menjadi pemakai/penggarap tanah

tersebut tentunya akan beruntung pula karena ia mendapat tanah garapan yang

sudah meningkat daya hasilnya. Dengan demikian maka sistem penggarapan

tanah menurut hak ulayat ini dapatlah disimpulkan bahwa setiap orang atau

kepala keluarga akan sedapat mungkin berusaha untuk meninggalkan tanah

bekas garapan mereka dalam keadaan yang sebaik mungkin.

b. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi tanah garapan yang

telah baik dan sedapat mungkin pula meningkatkan kondisi tanah yang masih

kurang daya hasilnya selama masa garapan mereka masing-masing.

Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah menurut Hukum Perdata

Barat yaitu :

1. Kewajiban pemegang hak eigendom. Kalau diresapi secara mendalam dan dibandingkan secara cermat antara hak

dan kewajiban atas tanah yang termaktub dalam hak eigendom ini bagi pemegangnya,

maka dengan segera akan terkesan bahwa antara hak dan kewajiban yang ada dalam

suatu hak eigendom tersebut sama sekali tidak berimbang. Hal ini disebabkan karena

bila dibandingkan dengan haknya yang demikian besar dan demikian banyaknya

melahirkan wewenang bagi pemegangnya, maka kewajiban pemegang hak tersebut

dapat dikatakan sangatlah ringan dan bahkan hampir tidak ada kewajiban lain selain

mungkin hanya membayar pajak milik atas tanah itu semata-mata.

Para pemegang hak eigendom itu tidak wajib memperhatikan apakah

penggunaan tanah yang dilakukan dengan seenaknya itu merugikan/mengganggu

kepentingan orang lain atau tidak. Hal ini dapat dimengerti mengingat landasan dari pada hak eigendom ini ialah Hukum (Perdata) Barat yang tentu saja konsepsinya masih

dilandasi pula oleh jiwa yang individualistis, yakni jiwa yang berpandangan bahwa

kepentingan perorangan harus lebih diperhatikan dan didahulukan dari pada

kepentingan umum. Karena itulah maka konsepsi hak eigendom ini sama sekali tidak

terpakai lagi dalam pembentukan konsepsi hak milik atas tanah menurut UUPA.

2. Kewajiban pemegang hak opstal.

Hampir sama halnya dengan hak eigendom, kewajiban pemegang hak opstal

inipun hampir tidak ada selain hanya menggunakan hak tersebut selaras dengan

perjanjian dan tujuannya selama jangka waktu berlakunya, dengan maksud tentunya

agar hak opstal itu sendiri jangan terhapus karena kadaluwarsaan akibat tidak pernah

digunakan selama masa berlakunya.

3. Kewajiban pemegang hak erfpacht. Pemegang hak erfpacht pun tidak banyak kewajibannya, selain hanya :

Page 15: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xv

a. Menggunakan tanah yang bersangkutan secara baik, dalam arti tidak merusak

keadaannya sehingga mendatangkan kerugian bagi pemiliknya;

b. Membagi hasil tanah garapannya itu kepada pemiliknya dengan cara yang

pantas dan jumlah yang adil, selama ia menjadi penggarap tanah tersebut

menurut jangka waktunya;

4. Kewajiban pemegang hak gebruik.

Kewajiban pemegang hak gebruik pada dasarnya hanyalah menjaga dan

memelihara kondisi dan keadaan tanah yang garapannya itu selama masa berlakunya

hak gebruik yang bersangkutan.9

Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah berdasarkan Hukum Agraria

Indonesia, setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa

kewajiban harus dipenuhi oleh pemegang hak milik atas tanah pada dasarnya ialah :

a. Sebelum menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus

memenuhi syarat bahwa ia itu adalah orang yang berkewarganegaraan Indonesia

secara tunggal atau badan hukum yang telah ditunjuk pemerintah sebagai badan

hukum yang dapat atau boleh memegang hak milik atas tanah di Indonesia (pasal

21 ayat (1) dan (2) UUPA); b. Kalau yang bersangkutan adalah orang asing (termasuk didalamnya bekas warga

negara Indonesia) yang telah menjadi warga negara lain atau orang Indonesia yang

tidak berkewarganegaraan Indonesia secara tunggal tetapi telah terlanjur memiliki

tanah di Indonesia, maka orang tersebut wajib melepaskan hak milinya atas tanah

tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, terhitung sejak hak milik itu

diperolehnya atau sejak ia kehilangan kewarganegaraan Indonesianya secara

tunggal (pasal 21 ayat (3) dan 4 UUPA);

c. Setelah menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus

mendaftarkan hak miliknya tersebut, lengkat dengan segala hal yang berkaitan

didalamnya,misalkan ada tidaknya hak-hak lain yang dibebankan atas hak milik

tersebut, peralihannya kepada pihak lain (kalau hak milik tersebut dialihkan kepada pihak lain baik sebagian maupun seluruhnya) dan sebagainya (*pasal 23 ayat (1) jo.

Pasal 19 UUPA);

d. Menggunakan hak miliknya atas tanah tersebut sebagaimana mestinya dalam arti :

- Tanah miliknya itu tidak diterlantarkan;

- Tanah miliknya itu tidak digunakan untuk kepentingan apa pun juga yang

sifatnya merugikan atau mengganggu kepentingan umum.

e. Menjaga dan memelihara tanah tersebut sedemikian rupa sehingga selalu ada fungsi

sosialnya, dalam arti selalu dapat juga bermanfaat bagi orang lain (kepentingan

umum) bila sewaktu-waktu diperlukan (pasal 6 UUPA).10

9 Ibid, h. 31-34. 10 Simanjuntak, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Penerbit

Djambatan, Jakarta, 1999, h. 128.

Page 16: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xvi

Sedangkan kewajiban rakyat atas tanah dalam pembangunan, maka dapat

diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan

umum dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah oleh

pemegang hak atas tanah. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Perpres No. 36 Tahun

2005 yang dimaksud dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan

melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Sebelum

memperoleh hak atas tanah, Instansi Pemerintah (pemerintah) yang memerlukan tanah

terlebih dahulu melaksanakan musyawarah dengan pemegang hak atas tanah.

Musyawarah tersebut dilaksanakan untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi

atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah.11

Sedangkan pengertian dari musyawarah ialah kegiatan yang mengandung

proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta

keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan

masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan

dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-

benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.

Rumusan musyawarah menunjukkan adanya proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara demokratis. Prinsip mendengar dan saling mendengar (to give a

little and to take a little) untuk mencapai kesepakatan yang bulat terhadap masalah yang

menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.

Musyawarah diharapkan dapat dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah

dengan instansi yang memerlukan tanah. Jika pemegang hak atas tanah berhalangan

dapat menguasakan kepada wakil-wakilnya. Proses musyawarah akan berjalan

seimbang manakala masing-masing pihak yang melakukannya dalam keadaan

seimbang, baik dalam hal pengetahuannya, kekuatan bargainingnya, maupun sumber

daya ekonomis serta politisnya.

Salah satu prinsip yang penting dalam musyawarah dalam rangka pelepasan

atau penyerahan hak atas tanah ialah prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Disini diperlukan kesamaan persepsi, apresiasi terhadap sesuatu hak yang

memperhatikan prinsip kewajaran, kepatutan, keadilan, dan kemanusiaan. Prinsip fungsi

sosial (pasal 6 UUPA) tidak dapat dipakai sebagai dasar melanggar bahkan

melenyapkan hak individual secara tidak wajar, adil, patut, dan berperikemanusiaan.12

11 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi Dalam Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Umum, PRO JUSTIA, tahun XVI No. 4, Oktober, 1998, Fak. Hukum

UNPAR, Bandung, 1998, h. 32. 12 Achmad Sodiki, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Materi

Penataran dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum Ekonomi,

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Batu, 29-31-Juli, 1996, h. 6-8.

Page 17: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xvii

Apabila dalam musyawarah antara pemegang hak atas tanah dan instansi

pemerintah yang memerlukan hak atas tanah tercapai kesepakatan dalam penetapan

bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka pemegang hak atas tanah mengisi surat

pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang telah disiapkan oleh Panitia

Pengadaan Tanah, dan bersamaan itu pula ganti kerugian tersebut diserahkan oleh

instansi pemerintah yang memerlukan tanah langsung kepada pemegang hak atas tanah. Akan tetapi bilamana tidak terdapat kesepakatan dalam musyawarah antara

pihak-pihak mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian walaupun keperluan akan

tanah tersebut sifatnya mendesak untuk kepentingan umum sedangkan lokasinya tidak

dapat dipindahkan ketempat lain, maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah

tidak dapat menggunakan konsinyasi, tetapi langsung mengajukan pencabutan hak atas

tanah kepada pihak yang berwenang.

BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK

RAKYAT ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN

A. Perangkat Peraturan Perundang-undangan Dibidang Pertanahan

Peraturan mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan

umum sebagaimana diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai mengandung

beberapa kelemahan. Oleh karena itu Pemerintah memandang perlu untuk menerbitkan

Perpres No. 36 Tahun 2005 dan sekarang sudah dirubah dengan Perpres No. 65 Tahun

2006, penerbitan peraturan dalam bentuk Perppres di samping untuk meningkatkan

legitimasi peraturan pengadaan tanah untuk pembangunan, juga memenuhi ketentuan

dalam UU No. 10 Tahun 2004 yang mengatur tata urutan peraturan perundang-

undangan di Indonesia.

Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut pasal 5

Perppres No. 65 Tahun 2006, hanya dibatasi untuk pembangunan yang dilakukan dan

selanjutnya dimiliki oleh pemerintah daerah serta tidak digunakan mencari keuntungan

dalam bidang lain sebagai berikut : a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang tanah, ataupun

diruang bawah tanah), saluran air minum / bersih, saluran

pembuangan air dan sanitasi;

b. Waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;

d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,

lahar, dan lain-lain bencana;

e. Tempat pembuangan sampah;

f. Cagar alam dan cagar budaya;

g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Persoalan mengenai kepentingan umum secara konsepsional memang sulit sekali dirumuskan dan lebih-lebih kalau kita secara operasional. Akan tetapi dalam

rangka penggunaan tanah masyarakat penegasan tentang kepentingan umum yang akan

Page 18: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xviii

menjadi dasar dan kreterianya perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan

tanah-tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku.13

Dalam konsinyasi instansi pemerintah yang memerlukan tanah menitipkan

uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri setempat, terserah kepada pemegang hak

atas tanah mau mengambil atau tidak uang ganti kerugian tersebut di Pengadilan Negeri

setempat. Instansi pemerintah menganggap bahwa dirinya telah melaksanakan kewajiban memberikan ganti kerugian yang dinilai telah memadai kepada pemegang

hak atas tanah melalui penitipan uang di Pengadilan Negeri setempat. Untuk

selanjutnya, tanah beserta benda-benda yang ada diatasnya dibebaskan oleh panitia

Pembebasan Tanah, sehingga proyek pembangunan yang telah direncanakan tersebut

segera dilaksanakan.14

Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan tanah untuk kepentingan

pemerintah diatur dalam pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 adalah sebagai berikut :

(1). Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat

dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain,

maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua

puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.

(2). Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti

kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti

rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi

tanah yang bersangkutan.

(3). Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah ganti rugi sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri

yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

Pelaksanaan asas musyawarah dalam rangka pengadaan tanah bagi

peleksanaan pembangunan untuk kepentingan umum seperti yang disebut dalam ayat 2

Pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa asas musyawarah

merupakan prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam rangka pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu

peranan panitia dalam hal ini sangat menentukan kualitas wakil dalam pelaksanaan

musyawarah ini dan perlu dihindari adanya wakil yang tidak aspiratif, tidak mampu

menyuarakan keinginan yang diwakili, mempunyai sikap yang jelas tetapi tidak kau dan

juga sebaliknya jangan sampai ditunjuk wakil yang sulit memehami maksud baik

pemerintah. Tegasnya wakil tersebut diharapkan adalah mereka yang mampu

menjembatani keinginan Panitia Pengadaan Tanah dan keinginan masyarakat.

Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah untuk

kepentingan pemerintah jelas sangat merugikan pemegang hak atas tanah, karena

13 Abdurrahman, Op. Cit, h. 51. 14 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Lok Cit,

Page 19: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xix

pemegang hak atas tanah tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan besarnya ganti

kerugian dan pemegang hak atas tanah tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus

menerima besarnya ganti kerugian yang telah dititipkan kepada Pengadilan Negeri

setempat. Oleh karena itu untuk menjamin dan memberikan perlindungan hukum serta

kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam menentukan besarnya ganti rugi

Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan pemilik/pemegang hak atas tanah berdasakan harga umum setempat, selain itu juga menentukan bahwa

dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Lokasi dan faktor strategi lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah.

Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus

berpedoman ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan

Umum/Dinas Pertanian setempat;

b. Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah, dan fasilitas lain.15

Ketentuan tentang konsinyasi dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan

umum yang diatasnya ada bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah

dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa dari mereka

tidak ditemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak ditemukan

tersebut, dikonsinyasikan di Pengadikan Negeri setempat oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah.

Ketentuan diatas mengenai konsinyasi masih menimbulkan persoalan yuridis

yaitu :

1. Jika beberapa pemilik yang secara bersama-sama memiliki tanah, bangunan,

tanaman atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah telah diketahui tidak

menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang

membutuhkan tanah, apakah dapat dibenarkan ganti kerugiannya dikonsinyasikan

di Pengadilan Negeri setempat ?

2. Bagaimanakah prosedur Konsinyasi atas ganti kerugian bagi seorang pemilik atau

beberapa orang pemilik, bangunan, tanaman atau benda-benda yang berkaitan

dengan tanah, yang tidak ditemukan oleh instansi pemerintah yang membutuhkan? Dengan demikian hal ini dapat menyulitkan dalam pelaksanaan konsinyasi. Oleh

karena itu Soedalhar berpendapat bahwa uang ganti kerugian baru dapat

dikonsinyasikan bilamana :

a. Musyawarah mengenai ganti kerugian tercapai dalam arti beberapa pemilik tanah

atas sebidang tanah menyetujui ganti kerugian, sedang satu atau beberapa orang

pemilik atas sebidang tanah tadi tidak dapat ditemukan,

15 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang, Yogyakarta, 2006,

h. 156.

Page 20: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xx

b. Yang memerlukan tanah adalah instansi pemerintah.16

Untuk memahami satu pasal dalam suatu peraturan harus dikaitkan dengan pasal-

pasal yang lain dalam peraturan tersebut. Atas dasar intepretasi ini, pengadaan tanah

untuk kepentingan umum dapat dilaksanakan apabila pemegang hak atas tanah

menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang

memerlukan tanah. Dengan demikian konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat diterapkan apabila beberapa pemilik tanah atas sebidang

tanah, bangunan, atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah telah memberikan

persetujuan mengenai besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa orang dari

mereka tidak dapat ditemukan tempat tinggalnya.

Mengenai prosedur konsinyasi atas ganti kerugian bagi satu atau beberapa

pemilik sebidang tanah, bangunan, tanaman, atau benda-benda lain yang terkait dengan

tanah yang tidak ditemukan tempat tinggalnya oleh instansi pemerintah yang

memerlukan tanah, maka hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan

konsinyasi tersebut. Sebagai jalan keluarnya pihak instansi pemerintah berupaya untuk

mencari tempat tinggal pemilik hak atas tanah dengan jalan memasang iklan nama-

nama orang yang berhak atas tanah yang tidak diketahui tempat tinggalnya di media

cetak dan elektronik dengan biaya pemasangan iklan ditanggung oleh isntansi pemerintah yang memerlukan tanah. Jika dalam waktu 30 hari setelah pemasangan iklan

tersebut tetap tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak ada tanggapan, maka instansi

pemerintah yang memerlukan tanah baru dapat menkonsinyasikan uang ganti kerugian

kepada Pengadilan Negeri setempat. Namun sebaliknya jika ada tanggapan dalam

waktu tiga puluh hari setelah pemasangan iklan, maka instansi pemerintah yang

memerlukan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pihak dengan dipandu

oleh Panitia Pengadaan Tanah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian.

Meskipun sebagian besar pemegang hak atas tanah dalam suatu kawasan telah

menyetujui bentuk dan besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi

pemerintah yang memerlukan tanah, namun demikian masih ada satu atau beberapa

pemegang hak atas tanah yang berbeda bidang tanahnya dalam kawasan tersebut belum menyetujui bantuk dan besarnya ganti kerugian, maka terhadap satu atau beberapa

pemegang hak atas tanah ini uang ganti kerugiannya tidak dibenarkan dikonsinyasikan

oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah.

Menurut AP. Parlindungan tidak mungkin lagi konsinyasi bagi orang yang

tidak bersedia menerima uang ganti kerugiannya karena alasan-alasan tertentu

16 Soedalhar, Fungsi Hukum Mengendalian Pembebasan Tanah Dalam

Pembangunan Berkesinambungan, Makalah, Seminar Hukum Sebagai Pengenadalian

Kesinambungan Pembangunan Nasional, Surabaya, 24 Oktober 1993, h. 8.

Page 21: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxi

sebagaimana praktek-praktek yang sudah banyak berlangsung dibanyak daerah dan

telah dibenarkan pula oleh beberapa pengadilan tertentu.17

Upaya yang seharusnya ditempuh oleh instansi pemerintah yang

membutuhkan tanah apabila dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan besarnya

ganti kerugian tidak tercapai kesepakatan dan lokasi pembangunan yang bersangkutan

tidak dapat dipindahkan adalah mengajukan permohonan pencabutan hak atas tanah kepada Presiden berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan

Hak-hak Atas tanah dan Benda-benda Yang Ada diatasnya.

Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum

memang dibuat tidak mudah dilakukan oleh instasi pemerintah yang memerlukan tanah.

Hal ini dimaksudkan agar pemegang hak atas tanah mendapatkan perlindungan hukum

terhadap hak-hak atas tanahnya dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh

instansi pemerintah yang membutuhkan tanah.18

Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah jenis yang pertama yakni

untuk kepentingan umum diawali dengan pembentukan Panitia pengadaan Tanah.

Panitia ini dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi, panitia ini juga dibentuk

ditiap Kabupaten atau Kotamadya. Jika pengadaan tanah menyangkut dua wilayah

Kabupaten/Kotamadya, maka panitia diketuai atau dibentuk oleh Gubernur yang susunan anggotanya mencerminkan instansi terkait dari propinsi maupun daerah tingkat

II yang bersangkutan (pasal 6).

Adapun susunan pantia terdiri dari seorang Ketua (Bupati/Walikota)

merangkap anggota, enam anggota, dua sekretaris (I dan II) bukan anggota. Tidak

dijelasklan mengapa dalam komposisi Panitia Pengadaan tanah tidak mengikut sertakan

wakil rakyat pemilik/pemegang hak atas tanah. Dengan mengikutkan sertakan wakil

rakyat diharapkan proses penentuan ganti kerugian maupun prosedur yang harus

ditempuh akan berlangsung lebih transparan dan obyektif.

Jika komposisi panitia ini benar-benar mencerminkan wakil-wakil mereka

yang terlibat dalam proses pengadaan tanah, berarti aspirasi mereka lebih dapat

diakomodasikan dengan lebih baik, sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan jurang perbedaan yang mungkin timbul.

Sedangkan tugas dari panitia berdasarkan pasal 7 Perppres No. 65 Tahun 2006

antara lain :

a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi tanah, bangunan, tanaman dan benda-

benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau

diserahkan;

17 AP. Parlindungan, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah dan

Swasta, Makalah., Dialog Agraria HUT UUPA, Fak. Hukum USU, Medan, 24

September 1993, h. 7. 18 Urip santoso, Aspek Konsinyasi, Op.Cit, h. 35.

Page 22: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxii

b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan

atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;

c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau

diserahkan;

d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana

pembangunan dan /atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka,

media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh

masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;

e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi

pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka

menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;

f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas

tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah;

g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;

h. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan

menyerahkan kepada pihak yang berkopeten.

Tugas inventarisasi tanah, bangunan maupun status haknya adalah untuk19 memenuhi asas spesialitas dan legalitas hak tersebut. Keduanya mengarah kepada asas

kepastian hukum. Kepastian hukum baik bagi subyek maupun obyeknya. Dengan

demikian akan jelas siapa yang akan diundang dalam musyawarah untuk menetapkan

atau menyetujui ganti rugi yang akan diberikan.

Berkenaan dengan kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk

kepentingan pemerintah masih dapat menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya.

Misalnya dalam suatu pengadaan tanah Panitia Pengadaan Tanah menyampaikan

kepada pemegang hak atas tanah bahwa tanahnya diperlukan untuk proyek

pembangunan yang mempunnyai sifat kepentingan umum. Oleh karena itu pemegang

hak atas tanah melepaskan atau menyerahkan hak atas tanahnya dengan pemberian uang

ganti kerugian yang telah disepakati bersama. Ternyata, dikemudian hari, pemegang hak atas tanah mengetahui bahwa hak atas tanah yang sudah dilepaskan atau diserahkan

tersebut digunakan bukan untuk proyek pembangunan yang mempunyai sifat

kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan perusahaan swasta. Dalam keadaan

seperti ini, apakah pemegang hak atas tanah dapat meminta tanahnya kembali dengan

mengembalikan ganti kerugian yang telah diserahkan atau meminta tambahan ganti

kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.20 Oleh karena itu untuk mengantisipasi

timbulnya praktek tersebut diatas dan memberikan perlindungan hukum bagi pemegang

hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau

19 Achmad Sodiki, Op.Cit, h. 18-21. 20 Urip Santoso, Aspek Kepentingan, Op.Cit, h. 47.

Page 23: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxiii

penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat

klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan

tanahnya bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan

swasta, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal demi hukum dan uang ganti

kerugian yang telah diterima akan dikembalikan kepada Panitia pengadaan Tanah, atau

pemegang hak atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.

Oleh karena itu latar belakang diterbitkannya Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005 yang sekarang sudah dirobah dengan Pepres No. 65 Tahun 2006, karena

dua alasan, yaitu pertama, meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang

memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan

dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas

tanah. Kedua, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

umum sebagaimana yang ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai sudah

tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi pengadaan tanah untuk pembangunan

demi kepentingan umum. Penerbitan Perpres No. 36 Tahun 2005 yang sudah dirobah

dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 berdasarkan beberapa peraturan perundang-

undangan, yaitu : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahu8n 1945;

2. Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor

2043);

3. Undang-Undang Nomor 51 /Prp./Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah

Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1960 Nomor 158. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2106);

4. Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan hak Atas Tanah dan Benda-

benda yang ada diatasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961

Nomor 288. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324);

5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara R.I Tahun 1992 Nomor 115. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501).21

Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan pelaksanaan pasal 18

UUPA, yaitu untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi

ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Kriteria kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum

yaitu suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat

kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :

a. Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau,

21 Muhadar, Op. Cit, h. 132.

Page 24: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxiv

b. Kepentingan masyarakat, dan/atau,

c. Kepentingan rakyat banyak, dan/atau,

d. Kepentingan pembangunan.

Dalam pengajuan usul penyelesaian pengadan tanah untuk kepentingan umum

dengan cara pencabutan hak atas tanah oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi kepada

Presiden melalui Menteri Agraria/Kepala BPN. Usul ini penyelesaiannya dilakukan karena upaya penyelesaian yang ditempuh oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi tetap

tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang

bersangkutan tidak dapat dipindahkan.

Pada acara perolehan hak atas tanah akan menemui masalah terhadap

penerapan bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan

umum, maka untuk penyelesaiannyai dapat menggunakan salah satu asas perundang-

undangan, yaitu : “Lex Posteriori derogat Legi Priori”.22 Atas dasar asas ini, maka

peraturan tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat

kepentingan umum maka peraturan yang lebih baru yang dijadikan dasar walaupun

peraturan tersebut sama-sama dibuat oleh presiden dan materinya juga sama-sama

mengatur tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat

kepentingan umum.

B. Prosedur Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

Untuk mempercepat proses perolehan hak atas tanah dalam rangka

pengadaan tanah untuk kepentingan umum, isntansi pemerintah yang memerlukan tanah

mengajukan permohonan untuk mengkonsinyasikan uang ganti kerugiannya melalui

Pengadilan Negeri setempat.

Pengadilan Negeri setempat berkewajiban menerima berkas permohonan

konsinyasi uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk

diperiksa lebih lanjut. Adalah kewajiban Pengadilan Negeri untuk menerima setiap

perkara yang masuk seperti yang ditegaskan dalam ketentuan pasal 14 UU No. 04

Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu : 1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara

yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib

untuk memeriksa dan mengadilinya.

2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian

perkara perdata secara perdamaian.

Kewajiban memeriksa dan mengadili permohonan konsinyasi atas uang ganti

kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah oleh Pengadilan Negeri tidak

berarti secara otomatis mengabulkan permohonan tersebut, akan tetapi Pengadilan

22 Hartono Hadisuprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty,

Yogyakarta, 1982, h. 30.

Page 25: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxv

Negeri sebelum mengambil keputusan atas permohonan konsinyasi tersebut harus

mempelajari dengan baik ketentuan-ketentuan tentang pengadaan tanah untuk

kepentingan umum.

Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap ketentuan-ketentuan tentang

pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun asas-asas, peraturan, dan hukum

pertanahan, maka putusan Pengadilan Negeri tentang permohonan konsinyasi atas uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah dapat berakibat

timbulnya kerugian bagi pemegang hak atas tanah dan tidak adanya penghormatan

terhadap hak-hak rakyat atas tanah.

Pengadilan Negeri seharusnya mengabulkan permohonan konsinyasi atas uang

ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum apabila unsur-unsur

yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yaitu beberapa pemilik atas

sebidang tanah telah menyetujui besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa

pemilik tanah tersebut benar-benar tidak diketahui tempat tinggalnya setelah instansi

pemerintah yang memerlukan tanah berupaya secara maksimal mengumumkan melalui

media cetak dan elektronik. Sebaliknya kalau unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi

seharusnya Pengadilan Negeri menolak permohonan konsinyasi atas uang ganti

kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah.23 Putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan konsinyasi yang diajukan

oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah walaupun belum tercapai kesepakatan

antara para pihak mengenai besarnya ganti kerugian merupakan penyimpangan terhadap

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini karena tidak ada dalam satu

pasal atau ayatpun yang membenarkannya adanya konsinyasi bilamana para

pihak dalam musyawarah tidak tercapai kesepakatan. Boedi Harsono mengatakan

bahwa dengan adanya praktek konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah

(pengadaan tanah) timbul kesan seakan-akan bagi rakyat yang bersangkutan hanya ada

satu pilihan, yaitu mengambil uang ganti rugi tersebut di Pengadilan Negeri, atau akan

kehilangan tanahnya tanpa ganti rugi.24 Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah

untuk kepentingan umum merupakan bentuk pemaksaan, perlakuan secara sepihak oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah terhadap pemegang hak atas tanah. Upaya

ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk pencabutan hak atas tanah secara terselubung

oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Praktek yang demikian dapat

dikatakan telah melangkahi kewenangan Presiden, karena pengambilan tanah-tanah

secara sepihak untuk kepentingan umum adalah kewenangan presiden melalui upaya

pencabutan hak atas tanah. 25

23 Ibid, h. 36. 24Boedi Harsono, Aspek Yuridis Penyediaan Tanah, Majalah Hukum dan

Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,No. 2 Tahun XX,Jakarta, April

1990, h. 168. 25 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Op Cit, h. 37.

Page 26: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxvi

Menurut Ali Sofwan Husein, praktek konsinyasi dalam pengadaan tanah

sebenarnya “tidak dibenarkan” oleh hukum karena lembaga konsinyasi itu

mensyaratkan adanya hubungan hukum (perdata) terlebih dahulu antar pihak sebelum

uang tersebut dititipkan di pengadilan. Sedangkan dalam pengadaan tanah tidak ada

hubungan hukum yang dimaksudkan itu. Dari sini jelas bahwa penguasa hanya

mengambil gampangnya saja untuk mencari keabsahan dan legalitas atas tindakannya, yaitu ketika tidak tercapai kesepakatan ganti rugi, maka uang yang dianggarkan itu

langsung dititipkan di pengadilan dan kemudian menganggap masalah penggusuran

tanah telah beres dan selesai.26

Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum

yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah tidak dapat

dibenarkan. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, instansi pemerintah

sebagai pihak yang memerlukan tanah harus memberikan ganti kerugian kepada

pemegang hak atas tanah berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati bersama

mengenai besarnya ganti kerugian. Bersamaan dengan pemberian ganti kerugian,

pemegang hak atas tanah membuat surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak

atas tanah sehingga tanah tersebut menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

Untuk selanjutnya instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan hak atas tanah yang baru atas tanah yang dilepaskan tersebut kepada Badan

Pertanahan Nasional.

C. Pemberian Konpensasi Ganti Rugi dan Konsinyasi

Masalah pokok yang banyak mendapat perhatian dalam pelaksanaan

pengadaan tanah itu adalah persoalan mengenai ganti kerugian, karena persoalan ganti

kerugian adalah menyangkut masalah hak-hak dari si pemilik tanah yang tanahnya

dibebaskan sehingga dapatlah dikatakan bahwa unsur yang mutlak harus ada dalam

pelaksanaan pengadaan tanah. Dalam pasal 13 Perpres No. 65 Tahun 2006 ditentukan

bentuk ganti kerugian berupa :

a. Uang b. Tanah pengganti

c. Pemukiman kembali

d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana huruf b dan

huruf c

e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yangbersangkutan.

Sesuai dengan Perpres No.65 Tahun 2006 pasal 15 ditegaskan bahwa dasar

dan cara penghitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar :

26 Ali Sofwan Husein, Konflik Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

1997, h. 94.

Page 27: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxvii

a. Nilai jual objek pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan nilai

objek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga

tanah yang ditunjuk oleh panitia.

b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang

bertanggungjawab dibidang bangunan

c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian.

Menurut pasal 6 ayat (1) pembebasan hak atas tanah Peraturan Menteri

Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, juga menegaskan pula bahwa, didalam penafsiran

atau penetapan mengenai besarnya ganti kerugian, oleh panitia pembebasan tanah harus

mengadakan musyawarah dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah dan benda atau

tanaman yang diatasnya berdasarkan harga setempat.27

Berdasarkan uraian diatas untuk menetapkan besarnya ganti kerugian harus

diperhatikan antara lain :

a. Penetapan ganti kerugian haruslah didasarkan musyawarah antara panitia

dengan para pemegang hak atas tanah. Didalam mengadakan

penafsiran/penetapan besar ganti kerugian panitia pengadaan tanah hendaknya

benar-benar mengusahakan tercapainya persetujuan antara kedua belah pihak berdasarkan musyawarah.

b. Penetapan ganti kerugian haruslah dengan memperhatikan faktor-faktor

lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

Dalam menentukan besarnya ganti kerugian, panitia pengadaan tanah juga

telah memakai cara penghitungan ganti kerugian yang telah ditetapkan, atas dasar pasal

15 (1) Perpres No. 65 Tahun 2006, yaitu : “Harga tanah yang didasarkan atas nilai

nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual objek pajak bumi dan

bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.

Selain itu panitia pengadaan tanah juga telah mempertimbangkan kerugian

imaterial yang dipikul oleh pemegang hak atas tanah setelah tanahnya dibebaskan,

misalkan kerugian karena mereka akan kehilangan sebagian dari tanah, yang menjadi mata pencaharian mereka. Dalam pertimbangan lainnya panitia pengadaan tanah dalam

memberikan gati kerugian, dengan melihat harga tanah sekitarnya yang terjadi dalam

tahun ang sama di wilayah yang digunakan untuk pembangunan.

Setelah ada kata sepakat antara kedua belah pihak, maka panitia pengadaan

tanah memberikan ganti kerugian tersebut kepada pemegang hak atas tanah dengan

disaksikan oleh anggota panitia pengadaan tanah diantaranya Camat dan Kepala Desa

yang wilayahnya terkena proyek pembangunan.

27 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Kebebasan

Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51.

Page 28: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxviii

Pada intinya, tata cara pelaksanaan kongsinya dalam penyelesaian masalah

ganti kerugian pengadaan tanah, dapat dijelaskan sebagai berikut :

(1) Instansi pemerintah yang memerlukan tanah

membuat daftar nominatif pemberi ganti kerugian berdasarkan hasil

inventarisasi.

(2) Pemberian ganti kerugian dalam bentuk yang dibayarkan secara langsung kepada yang berhak dilokasi yang ditentukan

oleh panitia, dengan disaksikan dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang

anggota panitia.

(3) Pemberi ganti kerugian dalam bentuk uang

dibuktikan dengan tanda terima.

Lebih jauh dalam pasal 29 peraturan yang bersangkutan diatur mengenai

pembayaran ganti kerugian ini sebagai berikut :

(1) Pemberi ganti kerugian selain berupa uang, dituangkan dalam berita acara

pemberian ganti kerugian yang ditandatangani oleh penerimaan ganti

kerugian yang bersangkutan dan ketua atau wakil ketua panitia serta

sekurang-kurangnya 2 (dua) arang anggota panitia.

(2) Pemberian ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk tanah wakaf dilakukan melalui nadzir yang bersangkutan

(3) Untuk pemberian ganti kerugian tanah ulayat dilakukan dalam bentuk

prasarana yag dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

Namun belakangan dinyatakan oleh banyak pihak bahwa pengadaan tanah

melalui lembaga konsinya merupakan kebijakan yang menyimpang dari konteks

kelembagaan hukum yang ada, sebagaimana pernah dinyatakan oleh J. Prihatmoko

seorang peneliti muda LIPI dan ketua LSPN (Lingkar Studi Pendidikan Nasional)

Semarang (Jayakarta, 14 Januari 1993).

Pengadaan tanah pada hakekatnya merupakan hubungan hukum jual beli,

yang masuk dalam lingkup perdata. Kegiatan musyawarah antara pemegang hak atas

tanah dengan panitia pengadaan tanah juga murni perdata. Ini membutuhkan suatu kesepakatan diantara para pihak. Oleh karenanya itu sebenarnya tidak diperlukan

adanya kegiatan konsinya uang ganti rugi di pengadilan terhadap ketidaksediaan rakyat

yang tanahnya dibebaskan. Jika kegiatan konsinya tersebut tetap dilaksanakan, itu

berarti syarat kesepakatan tidak tercapai, akrena terjadi pemaksaan terhadap pemilik

atau pemegang hak atas tanah yang mau tak mau diharuskan menerima keputusan dari

pantia pengadaan tanah.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dalam pembahasan permasalahan sebagaimana telah

diketengahkan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

a. Hak dan kewajiban rakyat atas tanah merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak disitu ada kewajiban, oleh karena itu apabila seseorang

menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya

Page 29: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxix

untuk dapat menikmati hak tersebut. Dengan demikian pemegang hak atas tanah

rakyat agar menjaga penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan

kepentingan orang lain atau kepentingan umum. Sedangkan kewajiban rakyat atas

tanah dalam pembangunan dapat diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka

pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan cara pelepasan

atau penyerahan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah. b. Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan

adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah

terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak

atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang

menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya

bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-

lain, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah

diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak

atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.

SARAN

a. Hendaknya penyuluhan hukum terhadap masyarakat lebih ditingkatkan agar supaya

pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pembangunan benar-benar mengerti

tentang arti pembangunan untuk kepentingan umum.

b. Pihak Pemerintah yang memerlukan tanah hendaknya memberikan petunjuk kepada

petugas yang melaksanakan pengadaan tanah dalam memberikan ganti kerugian

terhadap pemegang hak atas tanah sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam

peraturan perundang-undangan, dengan demikian hak-hak atas tanah rakyat yang

diperlukan untuk pembangunan dapat terlindungi.

Page 30: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxx

KEDUDUKAN JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004

Oleh:

Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.*

ABSTRAK

Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )

berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,

kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara

hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,

kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan

wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kata Kunci: Kedudukan Jaksa – Penyidikan – Tindak Pidana Korupsi.

LATAR BELAKANG

Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang di hadapi oleh Indonesia

dewasa ini. Setiap penguasa baru pada awalnya selalu menjanjikan akan melakukan

tindakan hukum yang tegas terhadap para koruptor. Termasuk dalam hal ini adalah

penguasa baru Indonesia pada saat ini . Umumnya janji tersebut tidak pernah

dilaksanakan dan dipenuhi secara sungguh-sungguh. Namun demikian janji-janji serupa

yang dibuat oleh penguasa, tetap disambut dengan suatu harapan bahwa janji tersebut dapat dilaksanakan secara serius. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin

meningkat dalam tahun-tahun terakhir, harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang

meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi . Indonesia masih tetap saja

termasuk dalam peringkat lima negara tertinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia. 1

Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan itu terlihat semakin rumit,

karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level

masyarakat . Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1 Hukum Online, Indonesia Masih Lima Besar Negara Terkorup , 20 Oktober

2004.

Page 31: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxi

korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak bisa dilenyapkan sama

sekali.Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (KPK) dan Pengadilan Khusus Korupsi. Pembentukan dua institusi ini

merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Karena dalam praktek,

baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja

pemberantasan Korupsi terbentur banyak permasalahan. Permasalahan tersebut antara

lain adalah hubungan kordinasi antara KPK dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan

sebagai sub sistem dari Peradilan Pidana Terpadu dan juga tugas dan peranan KPK itu

sendiri sebagai ‘super body’.

Dalam rangka membangun kembali kepercayaan publik terhadap peran dan

citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka salah satu mekanisme dalam sub

sistem peradilan pidana yaitu penyidikan dan penuntutan, perlu untuk diberdayakan

secara lebih optimal.

Keberadaan ketiga lembaga yang masing – masing mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana Korupsi yaitu

Kepolisian Negara Indonesia , Kejaksaan serta Komisi Pemberantasan Korupsi ,

dimana kewenangan dari ketiga lembaga itu didasarkan pada ketentuan Undang –

Undang yaitu Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 , Undang – Undang Nomor 16

tahun 2004 , Undang – Undang Nomor 30 tahun 2002 serta Undang – Undang Nomor

8 tahun 1981 sebagai payung nya , justru akan menyebabkan timbulnya suatu tarik

ulur dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi, serta akan

menyebabkan pula saling berebut kue perkara diantara tiga lembaga tersebut .

Tumpang tindihnya kewenangan yang ada pada ketiga lembaga tersebut

dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi akan menyebabkan pula

semakin sulit dan susahnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.. Pernyataan bahwa sama – sama mempunyai kewenangan atau sebaliknya akan selalu

dijadikan sebagai dasar untuk melemparkan tanggung jawabnya kepada pihak lain .

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ( yang selanjutnya disingkat

KUHAP ) sebagai hukum acara pidana yang bersifat unifikasi menyebutkan bahwa

yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat

polisi negara Republik Indoneia dan yang mempunyai kewenangan penyidikan adalah

pejabat polisi negara Republik Indonesia , serta pejabat pegawai negeri sipil tertentu

yang diberi wewenang khusus oleh undang –undang . Akan tetapi ternyata ketentuan

ini dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang sifatnya khusus , yaitu dalam hal ini

ketentuan yang ada dalam Undang – Undang Kejaksaan , dan Undang – Undang

Komisi Pemberantasan Korupsi . Undang –Undang Kejaksaan didalam pasal 30 ayat

1d menyebutkan di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang

Page 32: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxii

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang ,

tindak pidana tertentu disini yang dimaksud adalah tindak pidana Korupsi seperti yang

diatur didalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 , sebagaimana telah diubah dan

ditambah dengan Undang Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selanjutnya

dalam Undang –Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi pasal 6 huruf c menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( selanjutnya disingkat KPK ) mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa permasalahan Korupsi diperlukan

penangan secara khusus apalagi korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merambah

kesemua sektor baik ekonomi , hukum , sosial dan hankam dan bahkan korupsi

seperti menjadi budaya dari bangsa Indonesia , hal ini dapat kita lihat dari hasil survie

lembaga Internasional , dimana Indonesia sebagai peringkat ke 5 ( lima ) sebagai

negara terkorup didunia .

Penanganan secara sungguh – sungguh terhadap korupsi di Indonesia sangat

diperlukan , dan pada saat ini sejak Susilo Bambang Yudoyono menjadi Presiden ada

sedikit harapan untuk mengikis sedikit demi sedikit korupsi yang terjadi di Indonesia ,

terbukti pemerintah saat ini ada keberanian untuk menyeret pelaku – pelaku korupsi yang sebelumnya sulit dijerat dengan pidana , sekarang sudah banyak para koruptor

kelas kakap yang menjadi penghuni baru lembaga pemasyarakatan mulai dari para

Bupati , Anggota Dewan Perwakilan Rakyat , Gubenur dan bahkan para penegak

hukumpun sudah ada yang dikenakan pidana berdasarkan Undang Undang Tindak

Pidana Korupsi .

Permasalahan yang ada dan timbul pada saat ini adalah dalam hal

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi , karena pada saat ini ada tiga

lembaga yang mempunyai kompetensi melakukan tugas pemberantasan tindak pidana

korupsi .

Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK merupakan

suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih

dalam diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi , menjadikan dua lembaga yang sudah ada sebelumnya yaitu

Kepolisian dan Kejaksaan yang berdasarkan ketentuan undang – undang yang ada juga

mempunyai kewenangan untuk melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi, seakan - akan tugas dan wewenangnya diambil alih sepenuhnya oleh

KPK.

Bertitik tolak dari penjelasan diatas, maka dapat penulis uraikan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan Penyidik Polri dalam Tindak Pidana Korupsi ?

2. Bagaimanakah tugas dan wewenang KPK dalam penyidikan tindak pidana

korupsi ?

Page 33: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxiii

KEDUDUKAN PENYIDIK POLRI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Penyidik

Kepolisian Republik Indonesia , sebagai aparat penegak hukum yang

merupakan bagian dari Criminal Justice System , menduduki posisi sebagai “

diferensiasi fungsional “ sebagaimana digariskan didalam KUHAP , sehingga Polisi

diberikan “ peran “ ( role ) yang berupa “ kekuasaan umum menangani kriminal “ (

general policing authority in criminal matter ) di seluruh wilayah Hukum Negara

Kesatuan Republik Indonesia3. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut , Polri

berperan melakukan kontrol kriminal ( crime control ) dalam bentuk “ investigasi -

penangkapan – penahanan – penggeledahan – penyitaan ” .

Posisi sebagaimana yang telah digariskan didalam KUHAP tersebut harus “

dijaga kebebasan “ polisi dari “ politik “ ( police politically independent )4 , sehingga

dalam pelaksanaan operasional dan penggunaan desisi maupun diskresi tidak boleh

didiktekan oleh dan atau untuk kepentingan penguasa atau pemerintah , maupun oleh kepentingan partai politik tertentu , serta boleh kooperatif dan partisipatif secara saling

menguntungkan ( mutual beneficiary ) dengan pihak manapun atas informasi kriminal

yang diketahuinya . Dalam menegakkan hukum dan mendeteksi tindak pidana harus

benar – benar bebas , dengan pEngertian menentukan sendiri tanpa pengaruh , apakah

seorang tersangka diajukan untuk dituntut atau tidak , dan polisi tidak boleh menjadi

“budak” ( servant ) dari siapa pun , karena polisi hanya bertanggungjawab terhadap

law enforcement .

Kebebasan yang dimiliki oleh polisi dalam penegakan hukum seperti yang

diuraikan diatas akan terlaksana apabila polisi dalam melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya selalu berpedoman kepada ketentuan – ketentuan yang telah ada khususnya

ketentuan yang diatur didalam KUHAP.

Sesuai dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh polisi dalam

penegakan hukum , maka KUHAP menentukan bahwa apabila ada laporan dan atau

pengaduan mengenai telah terjadi suatu tindak pidana , harus terlebih dahulu dilakukan

penyelidikan yaitu berupa serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu

3 M . Yahya Harahap Pembahasan , Permasalahan , dan Penerapan KUHAP,

Penyelidikan dan Penuntutan , Edisi kedua , Sinar Grafika, Jakarta, 2000 , h. 91. 4 Ibid , h. 93.

Page 34: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxiv

keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak

pidana atau yang diduga sebagai tindak pidana , dengan maksud untuk menentukan

sikap pejabat penyelidik , apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan

atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP . Jadi , sebelum dilakukan

tindakan penyidikan , terlebih dahulu dilakukan penyelidikan oleh pejabat penyelidik

untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan penyidikan .

Jika diperhatikan dengan seksama , motivasi dan tujuan penyelidikan

merupakan bentuk tuntutan tanggungjawab kepada aparat penyidik , untuk tidak

melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat

manusia , serta juga sebagai tuntutan dan tanggung jawab moral yang sekaligus juga

sebagai peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati – hati .

Penyidikan sebagai tindak lanjut dari penyelidikan hanya dapat dilakukan

oleh pejabat Polri ataupun pejabat pegawai negeri sipil “ tertentu “ yang diberi

wewenang khusus oleh undang – undang , dan hal ini sangat berbeda dengan

penyelidikan yang dapat dilakukan oleh semua pejabat Polri .

Pengertian Penyidikan sebagaimana disebutkan didalam pasal 1 butir 2

KUHAP menyebutkan “ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan mnurut cara yang diatur dalam undang – undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya . Sedangkan pengertian “ Penyidik “

adalah sebagaimana disebutkan didalam ketentuan pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu “

Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri

Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang – undang untuk melakukan

penyidikan .

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyidik itu dapat

digolongkan kedalam dua bagian yaitu penyidik dari Polri yang telah diberi tugas

khusus untuk melakukan penyidikan , serta penyidik dari pegawai negeri sipil tertentu

( seperti pegawai pada kantor Pajak , Imigrasi , Bea dan Cukai , Lingkungan Hidup , Kehutanan ) yang telah mendapatkan Surat keputusan sebagai penyidik dari Menteri

Departemen yang bersangkutan .

B. Tugas dan Tanggung Jawab Penyidik Polri dalam Tindak Pidana

KUHAP sebagai hukum acara pidana yang bersifat unfikasi merupakan

undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas Legalitas . Pelaksanaan dan

penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law, dimana semua

tindakan penegakan hukum harus didasarkan pada :

- ketentuan hukum dan undang-undang,

Page 35: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxv

- kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya, sehingga

terwujud suatu kehidupan masyarakat dan bangsa , yang takluk dan tunduk

dibawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan

perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia . Jadi arti the

rule of law dan supremasi hukum , adalah menguji dan meletakkan setiap

tindakan penegakan hukum takluk dan tunduk di bawah ketentuan konstitusi , undang-undang dan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah kesadaran

masyarakat . Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat dari bangsa lain , tidak dapat disebut the rule of law, bahkan

mungkin berupa penindasan.

Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan

supremasi hukum , maka jajaran aparat penegak hukum ( Polisi ) tidak

dibenarkan :

- Bertindak diluar ketentuan hukum, atau (undue to law) maupun (undue

process),

- Bertindak sewenang-wenang (illegal abuse of power),

Dan setiap orang , baik dia sebagai tersangka atau terdakwa mempunyai

kedudukan :

- Sama derajat dihadapan hukum (equal before the law),

- Mendapatkan “perlindungan” yang sama oleh hukum (equal protection on the

law),

- Mendapat pengakuan keadilan yang sama dibawah hukum ( equal justice

under the law ) 5.

Penanggulangan kejahatan dalam bahasa kepolisian adalah fungsi “represif”

jadi, tindakan “represif kepolisian” tidak sama artinya dengan “menggunakan

kekerasan” yang sering dinyatakan oleh sementara orang akhir-akhir ini . Fungsi

“represif yustisial kepolisian” merupakan bagian integral, bahkan sebagai ujung

tombak dari sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) yang disemua negara

demokrasi ditetapkan dengan undang-undang dan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

Disadari bersama bahwa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi sangat pesat yang mengakibatkan arus informasi bergerak dengan cepat pula

sehingga pengaruh globalisasi masuk ke setiap aspek kehidupan. Hal ini membawa

konsekuensi logis bahwa penyidik dalam melaksanakan tugasnya akan menghadapi

tantangan yang semakin berat dan kompleks serta juga dituntut untuk mampu

menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi , tanpa harus kehilangan jati dirinya.

5 Ibid, h. 36.

Page 36: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxvi

Kemampuan penyesuaian diri tersebut akan dapat diwujudkan apabila sedini

mungkin telah dipersiapkan gambaran tentang perkiraan ancaman ( tindak pidana ) yang

akan dihadapi, sehingga dapat diperkirakan pula arah pengembangan kemampuan dan

kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman tersebut.

Disisi lain, masih dirasakan bersama bahwa kualitas penyidik Polri masih

relatif rendah, dimana hal ini ditandai dengan masih adanya beberapa masalah seperti terjadinya praperadilan , bolak-baliknya berkas perkara pidana yang dikirim ke Penuntut

Umum , masih minimnya penyidik atau penyidik pembantu yang mengikuti pendidikan

kejuruan Reserse, serta rendahnya tingkat penyelesaian perkara / kasus yang terjadi ,

belum lagi dihadapkan kepada kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru dan bersifat

transnasional seperti White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih), Money Laundring

(Kejahatan Pencucian Uang), Kejahatan Komputer, Kejahatan Bidang Perbankan ,

Monoter , Pasar Modal , Korupsi , Subversi, Lingkunga Hidup, Perpajakan, Kehutanan ,

Terorisme dan kejahatan-kejahatan lainnya yang berintensitas tinggi yang diikuti

dengan kekerasan dalam nuansa politik.

Diatas sudah dijelaskan bahwa Penyidikan seperti halnya dengan penuntutan

dan peradilan tidak boleh diintervensi oleh penguasa, apakah itu Presiden, Menteri,

Gubernur, dan bahkan oleh Pejabat atasan penyidik itu sendiri, hal ini harus benar – benar dilaksanakan agar supaya proses penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik

dapat menghasilkan suatu keadilan dan memenuhi rasa keadilan . Oleh karena itu maka

kewenangan yang dimiliki oleh penyidik harus benar – benar dapat dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan perundangan yang telah ada dan harus mendapatkan

dukungan dari semua pihak .

Didalam Pasal 7 KUHAP disebutkan bahwa Penyidik mempunyai

kewenangan berupa :

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana

2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian

3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka . 4. melakukan penangkapan , penahanan , penggeledahan , dan penyitaan .

5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

6. mengambil sidik jari dan memotret seseorang

7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi

8. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara .

9. mengadakan penghentian penyidikan

10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Disamping kewenangan seperti diatas juga ada pembagian kewenangan

menurut KUHAP, dimana dijelaskan bahwa kewenangan Polisi, yaitu :

1. Dibidang penyidikan kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak

pidana umum .

Page 37: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxvii

2. Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan.

3. Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai

Negeri Sipil.

Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undang-Undang

Kepolisian yang baru yaitu Undang Undang Nomor 28 Tahun 1997 yang kemudian

dinyatakan tidak berlaku lagi karena sudah ada undang undang yang baru yaitu Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 , menyatakan Polisi dapat melakukan penyidikan untuk

semua tindak pidana. Pernyataan ini seolah ingin menangkis anggapan bahwa untuk

penyidikan tindak pidana khusus hanya Jaksa yang berwenang, padahal menurut Pasal

284 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dimana wewenang Jaksa

itu bersifat sementara. Polisi seolah juga ingin menyatakan bahwa mereka kini sudah

mampu untuk menyidik perkara-perkara yang sulit seperti kasus tindak pidana korupsi,

ekonomi, dan subversi.

Keberadaan Kepolisian Negara yang profesional menuntut adanya sistem

yang kondusif, untuk itu Kepolisian harus dikeluarkan dari “sistem yang membelenggu”

dan tidak menguntungkan , karena keadaan seperti ini berimplikasi terhadap kerugian

sosial ekonomis bagi masyarakat, khususnya masyarakat pencari keadilan. Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) bisa terkatung-katung dan bolak-balik, karena ada trik tarik-menarik antara pelaksanaan kewenangan kepolisian dan kejaksaan.

Menurut Alkostar, sistem yang menjepit kepolisian berupa antara lain :

1. Saat ini Polisi belum sepenuhnya menjadi penyidik tunggal, karena Jaksa

masih sering melakukan penyidikan tambahan, belum lagi dalam perkara

Pidana Khusus.

2. Polisi masih sering menanggung beban angkatan lain, misalnya seseorang

dipukuli oleh angkatan lain lalu diserahkan kepada Polisi yang

sebelumnya tidak tahu tentang penangkapan dan pemukulan tersebut.6

Sebagai tindak lanjut Inpres Nomor 2 Tahun 1999, yang memisahkan Polri

secara struktural dari ABRI, maka tanggal 1 Juni 2000 dengan Keppres Nomor 89

Tahun 2000, Polri dikeluarkan dari Departemen Pertahanan dan berada langsung di bawah Presiden. Sementara itu juga, amendemen UUD 1945 dan Tap-Tap MPR yang

disahkan pada Agustus 2002 itu lebih mempertegas kedudukan dan peran Polri sebagai

Kepolisian Nasional Indonesia.

Harapan masyarakat, yang masih sukar untuk segera dapat dipenuhi ialah

setelah Polri mandiri yaitu agar kemampuan dan budaya Polri yang seperti militer dapat

berubah dan mampu menjadi penegak hukum yang profesional, sebagai pengayom,

pelindung, dan pelayan masyarakat serta penanggulang kejahatan di seluruh wilayah

Indonesia sesuai dengan motto Kepolisian Republik Indonesia.

6 Artidjo Alkostar, Membangun Kultur Polri yang Berorientasi Madani, UGM

Yogyakarta, 1999.

Page 38: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxviii

Adapun hal-hal yang menyangkut penyidikan menurut KUHAP yang

merupakan dasar, perlu dikemukakan dengan jelas dan pasti, karena hal ini langsung

menyinggung dan membatasi kepada Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebagai

berikut :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik atau peristiwa. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemeriksaan tersangka atau terdakwa.

5. Penahanan sementara.

6. Penggeladahan.

7. Pemeriksaan atau interogasi.

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan ditempat).

9. Penyitaan.

10. Penyampingan perkara.

11. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliaannya kepada

penyidik untuk disempurnakan.7

Sedangkan yang dimaksud dengan profesi, dalam wujud profesi penyidik dapat

dilihat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik yang harus didukung oleh kecakapan taktis dan teknis penyidikan. Kecakapan teknis ini diperoleh melalui

pendidikan, pelatihan, pengalaman-pengalaman tugas dan didukung oleh ilmu

pengetahuan (kepolisian). Hal tersebut merupakan landasan bagi profesi penyidik,

karena :

1. Profesi penyidik berkaitan dengan jaminan hak dan kewajiban setiap

warga negara yang berorientasi kepada kepentingan umum.

2. Pelaksanaan tugas profesi penyidik terkait dengan kepastian hukum dan

keadilan.

3. Profesi penyidik dibatasi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,

sehingga memerlukan kemahiran dan penguasaan hukum.

4. Adanya pengawasan ketat atas perilaku pribadi penyidik melalui kode etik profesi.8

Adapun kegiatan-kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak pidana

dalam penggolongannya menurut KUHAP adalah sebagai berikut :

1. Penyelidikan.

2. Penindakan.

3. Pemeriksaan.

4. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara.

7 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2000,

h.118. 8 Nurfaizi, Polisi dan Masyarakat, Cipta Manunggal, Jakarta, 1998 ,h. 100.

Page 39: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxix

Dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana dilaksanaakan setelah diketahui

bahwa sesuatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana. Dan diketahuinya tindak

pidana mempunyai dasar hukum yaitu :

1. Pasal 102 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP,

2. Pasal 106 KUHAP,

3. Pasal 108 KUHAP, 4. Pasal 109 ayat (1) KUHAP,

5. Pasal 111 KUHAP.

Didalam KUHAP ada empat kemungkinan diketahuinya terjadinya delik yaitu

sebagai berikut :

1. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KHUAP).

2. Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP).

3. Karena pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP).

4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik

mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di Surat Kabar, mendengar

dari radio atau orang bercerita, dan selanjutnya.

Dan sasaran dalam penyelidikan ialah :

1. Orang, 2. Benda atau barang,

3. Tempat.

“Dalam melakukan penangkapan, penyelidik Polri harus memperhatikan hal-

hal yang tidak boleh dilakukan penangkapan kecuali dalam kondisi atau keadaan

“ondecking op heterdaad” atau keadaan tertangkap tangan (Pasal 1 Butir 19 KUHAP),

yaitu :

1. Penangkapan tidak boleh dilakukan di ruang sidang Pengadilan yang

sedang melakukan sidang walaupun sifatnya terbuka.

2. Tidak boleh melakukan penangkapan di ruang DPR/DPRD yang

melakukan sidang.

3. Tidak boleh melakukan penangkapan di tempat-tempat ibadah yang sedang melakukan ibadah.

Apabila terjadi tindak kejahatan dan pada saat itu pula dalam keadaan

tertangkap tangan, maka dalam penyidikan deliknya lebih mudah dilakukan karena

terjadinya baru saja. Dan hal itu berbeda dengan delik biasa yang kejadiannya sudah

berselang beberapa waktu yang lalu.

Satu hal yang perlu diperhatikan ialah dalam KUHAP ada definisi tentang

delik tertangkap tangan, ialah tidak terperincinya tentang cara menyidik yang secara

khusus tentang siapa saja (Who) yang dapat menangkap si pelaku. Hanya saja

disebutkan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang

bukti kepada penyidik atau penyidik pembantu

Tindakan selanjutnya adalah penangkapan, dimana pada tingkat penyidikan

yang mempunyai wewenang adalah Polisi. Dan hal itu diatur dalam Pasal 20 sampai

Page 40: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xl

dengan Pasal 31 KUHAP, lamanya melakukan penangkapan ( 1 X 24 jam ) kecuali

seperti yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi

undang – undang dengan undang – undang nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana

terorisme yaitu penangkapan bisa dilakukan sampai paling lama ( 7 X 24 jam )

sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 .”

Mengenai penyidik kaitannya dengan Penuntut Umum (Jaksa Penuntut Umum) yaitu : Berdasarkan Pasal 110 KUHAP, “ Penyidik menyerahkan berkas perkara

kepada Penuntut Umun “. Penyerahan berkas perkara dilakukan :

(a). Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara setelah

sudah memenuhi syarat kelengkapan dalam berkas perkaranya ;

(b). Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan

tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.

Lahirnya Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2002, menjadi suatu momentum awal terciptanya suasana baru bagi keberadaan

negara umumnya dan lembaga penegak hukum Kepolisian pada khususnya dibidang

palaksanaan sistem keamanan bangsa dan negara Republik Indonesia. Tepatnya pada

tanggal 1 Juli 2000 melalui Keppres Nomor. 89 Tahun 2000, POLRI dikeluarkan dari

Departemen Pertahanan dan berada langsung di bawah Presiden, melalui amandemen UUD 1945 dan TAP MPR/RI No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR/RI No.VII/MPR/2000

yang telah disahkan pada Agustus 2002 lalu mempertegas kedudukan dan peran Polri

sebagai Kepolisian Nasional Indonesia.

Didalam Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisiain Negara

RI, Bab I Pasal 1, yang dimaksud Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan,

Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai

wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang

yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Penyidik Pembantu adalah pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara RI berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas

penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang.

Dalam melaksanakan tugas pokoknya dalam penyidikan dan penyelidikan,

Kepolisian Negara RI “melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak

pidana semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan

perundang-undangan lainnya”, menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2002 bab III pasal

14 (ayat 1) butir (g), tentang Kepolisian.

Menurut Pasal 16 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian menyebutkan :

(1). Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan

14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang

Untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan ;

Page 41: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xli

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan ;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan ;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa

tanda pengenal diri ; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat ;

f. memanggil orang untuk mendengarkan dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi ;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara ;

h. mengadakan penghentian penyidikan ;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi

yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak

atau mendadak untuk mencegah atau menangkalorang yang disangka

melakukan tindak pidana ;

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum ; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(2). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf 1 adalah tindakan

penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai

berikut :

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum ;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut

dilakukan ;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya ;

d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan

e. menghormati hak asasi manusia. Berdasarkan pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut,

merupakan dasar bagi penyidik kepolisian dalam melakukan tugas dan wewenangnya

melakukan penyidikan. Dimana, seringkali tujuan polisi dalam melakukan penyidikan

ialah supaya semua tersangka yang ditahan, dituntut, diadili, dapat dan dikenakan

dipidana , karena menurut pandangan polisi setiap kegagalan penuntutan dan

pemidanaan akan merusak kewajibannya dalam masyatakat. Penuntut umum pun tidak

mampu menuntut manakala polisi memperkosa hak-hak tersangka dalam proses

penyidikan, karena perkosaan demikian mengakibatkan bebasnya perkara itu di

pengadilan. Hal itu merupakan awal dalam proses penciptaan profesionalisme kerja

polisi sesuai dengan kewenangannya yang bersifat preventif dan kewenangan represif.

C. Kedudukan Penyidik Polri Dalam Tindak Pidana Korupsi

Page 42: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xlii

Korupsi merupakan kejahatan yang sangat sophisticated dan sudah masuk

dalam katagori extra ordinary crimes , dan bahkan sudah dapat dikatakan sebagai

kejahatan yang terorganisir , sehingga bukanlah pekerjaan yang mudah untuk

membuktikan adanya kejahatan korupsi. Tentunya tantangan yang akan dihadapi oleh

pihak kepolisian dalam hal ini para penyidiknya akan semakin berat . Profesionalisme

terhadap penanganan kejahatan ini sangat dibutuhkan , karena kekeliruan sedikit saja dalam proses penyidikan akan mengakibatkan perkara tersebut tidak dapat dikenakan

pidana , sehingga sia – sialah usaha penyidikan yang telah dilakukan oleh pnyidik

yang telah banyak menyita waktu dan tenaga . Penanganan yang serius dan hati – hati

sangat diperlukan mengingat tindak pidana korupsi akan selalu terkait dengan berbagai

jenis tindak pidana lainnya dan pelakunya lebih banyak dari mereka yang mempunyai

suatu kedudukan tertentu , oleh karena itu korupsi sering disebut sebagai white collar

crime , sehingga keahlian dari penyidik sangat dibutuhkan dalam proses penyidikan

tindak pidana korupsi ini .

Polisi sebagaimana disebutkan didalam KUHAP dan Undang-undang Nomor

2 Tahun 2002 , merupakan penyidik dalam segala tindak pidana , baik tindak pidana

umum maupun tindak pidana khusus . Dalam penyidikan tindak pidana umum sudah

tidak terbantahkan lagi , karena polisi sudah menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana digariskan oleh KUHAP , akan tetapi berlainan keadaannya terhadap

tindak pidana khusus ( tindak pidana koupsi ) , karena pada saat ini terdapat dua

lembaga lain selain kepolisian yang juga mempunyai tugas dan wewenang untuk

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yaitu Kejaksaan dan Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( KPK ) . KUHAP didalam ketentuan pasal 6

menyebutkan bahwa : Penyidik adalah : (1) pejabat polisi negara Republik Indonesia

dan (2) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang

– undang . Apabila mendasarkan kepada ketentuan pasal diatas , maka jelas bahwa

polisi adalah penyidik dalam segala tindak pidana baik yang bersifat umum , maupun

yang bersifat khusus , karena KUHAP merupakan undang – undang hukum acara yang

bersifat umum , dan merupakan hukum positif serta berkedudukan sebagai unifikasi dalam hukum acara pidana , artinya KUHAP dijadikan sebagai pedoman dalam hukum

acara untuk semua tindak pidana yang terjadi di Indoneia .

Begitu juga halnya didalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia didalam ketentuan pasal 14 ayat ( 1 ) e

menyebutkan “ Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: melakukan penyelidikan dan

penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan

peraturan perundang-undangan lainnya “ , dengan mendasarkan kepada kedua ketentuan

peraturan perundangan diatas , maka seyogyanya Polisi sebagai bagian dari criminal

justice system harus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegakan

hukum dalam bidang penyelidikan dan penyidikan pada semua jenis tindak pidana baik

Page 43: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xliii

umum maupun khusus , karena polisi sudah memiliki sarana dan prasarana berupa

tenaga atau personel yang sudah tersebar sampai tingkat kecamatan ( Polsek ) ,

sehingga hal ini akan lebih mempercepat proses penegakan hukum atas suatu tindak

pidana yang terjadi baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus , disamping

itu polisi pada saat ini juga sudah banyak memiliki personel yang berlatar belakang

pendidikan hukum .

TUGAS DAN WEWENANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tugas dan Wewenang Jaksa Dalam Penyidikan

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat

pembedaan pengertian antara Jaksa dalam pengertian umum dan Penuntut Umum dalam

pengertian Jaksa yang menuntut suatu perkara. Dalam Pasal 1 butir 6 ditegaskan hal itu

sebagai berikut :

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melakukan atau melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Dilihat dari perumusan Undang-Undang tersebut, maka dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa pengertian “jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan penuntut

umum menyangkut fungsi. Mengenai hal penuntut umum diatur dibagian ke-tiga Bab IV KUHAP,

wewenang penuntut umum pada bagian ini diatur dalam 2 (dua) pasal, yaitu pasal 14

dan pasal 15 antara lain, yaitu :

Pasal 14

Penuntut Umum mempunyai wewenang :

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu ;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan

memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik ;

c. Memberikan perpaanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik ;

d. Membuat surat dakwaan ;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan ;

Page 44: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xliv

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan

waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada

terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah

ditentukan ;

g. Melakukan penuntutan ;

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum ; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai

penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini ;

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 15

“Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah

hukummnya menurut ketentuan Undang-Undang”.

Dari perincian wewenang tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut :

Bahwa jaksa atau penuntut umum di Indeonesia tidak mempunyai wewenang

menyidik perkara, dari permulaan atau lanjutan. Hal ini berarti jaksa atau penuntut

umum di Indonesia tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap tersangka ataupun

terdakwa. Ketentuan pasal 14 KUHAP dapat dikategorikan kepada sistem tertutup,

artinya tertutup yaitu ada kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan

penyidikan meskipun dalam arti insidentil dalam perkara-perkara berat khususnya dari

segi pembuktian dan masalah teknis yuridisnya dan dalam penyidikan disini hanya

dilakukan terhadap berkas perkara , jadi tidak kepada tersangkanya .

Menurut KUHAP seperti yang telah dikemukakan tersebut, tertutup

kemungkinan bagi penuntut umum Indonesia melakukan penyidikan sendiri dan mengambil alih pemeriksaan yang telah dimulai oleh polisi. Dalam hal pengawasan,

masih tersirat secara samar peranan penuntut umum dalam penyidikan. Hal ini dapat

disimpulkan dari bunyi beberapa pasal, antara lain Pasal 109 dan 110 KUHAP:

Pasal 109

1. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan peyidikan suatu peristiwa yang

merupakan tindak pidana , penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut

umum.

2. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti

atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan

dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut

umum , tersangka atau keluarganya.

3. Dalam hal penghentian tersebut, pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimna dimaksudkan dalam pasal 6 ayat (1) huruf b pemberitahuan mengenai

hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.

Pasal 110

Page 45: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xlv

1. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera

menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.

2. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata

masih kurang lengkap, penuntut umum segera mngembalikan berkas perkara itu

kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.

3. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk

dari penuntut umum.

4. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari

penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas

waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut

umum kepada penyidik.

Dalam Pasal 109 ayat (1) tersebut, hanya dikatakan memberitahukan, tidak wajib

memberitahukan. Lagi pula tidak ada ketentuan yang memberi wewenang penuuntut

umum untuk memerintahkan penghentian penyidikan, umpama kerena kurang alasan.

Begitu pula ketentuan dalam pasal 110 ayat (2) hanya disebutkan ”……disertai

petunjuk untuk dilengkapi. Jadi, tidak disebutkan kemungkinan penuntut umum memerintahkan untuk tidak meneruskan penyidikan karena tidak ada alasan.9

Akan tetapi mengacu kepada pasal 138 KUHAP yang berbunyi :

Ayat 1

“Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari

dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik

apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum”.

Ayat 2

“Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan

berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan

untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,

penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum”.

Selanjutnya landasan hukum berlakunya UU tertentu yang memberikan

wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan disebutkan

dalam KUHAP dan dimuat di dalam Ketentuan Peralihan pasal 284 ayat 2. Ketentuan

ini sifatnya sementara, mengingat UU tertentu tersebut akan “ditinjau kembali, diubah

atau dicabut dalam waktu yang sesingkat singkatnya” penjelasan pasal 284 ayat 2

9 Andi Hamzah, S.H., op. cit., h.76.

Page 46: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xlvi

KUHAP Sampai saat ini, setelah KUHAP berlaku lebih dari 24 tahun, beberapa UU

tertentu telah dicabut, antara lain UU Tindak Pidana Ekonomi dan UU Pemberantasan

Subversi dan terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baru yaitu

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001,

ternyata masih memberi wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara korupsi. Wewenang Jaksa di sini tidak lagi bersifat

sementara, karena dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 pada

tanggal 16 Agustus 1999, maka wewenang Jaksa tersebut tidak lagi terkait dengan pasal

284 ayat 2 KUHAP. Dengan demikian dalam perkara korupsi terdapat dua aparat

penyidik yaitu Jaksa (berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU Nomor 16 Tahun

2004) dan Polisi (berdasarkan KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002).

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan ,yang merupakan suatu bentuk pembaharun terhadap peraturan perundang-

undangan yang mempunyai kekuatan mengikat kepada seluruh warga negara Indonesia.

Dimana, dengan perkembangan jaman yang semakin maju membawa bangsa Indonesia

kearah perkembangan kebutuhan hukum pada masyarakat yang signifikan dan mendasar

dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang menyatakan fungsi dan hubungannya dengan badan-badan lainnya yaitu salah

satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia.

Adapun maksud dan tujuan atas perubahan Undang-Undang tentang Kejaksaan

Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan

peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan harus bebas dari pengaruh

kekuasaan pihak manapun, yaitu yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari

pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasan lainnya.

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih

berperan dalam menegakkan supremasi hukum, penegakan hak asasi manusia, serta

pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-

perubahan tersebut diatas.

Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik

Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di

bidang penuntutan dan penyidikan harus mampu mewujudkan kepastian hukum,

ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan

norma-norma keagamaan, kesopanan,dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai

kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya, dalam proses pembangunan

antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan

pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,

Page 47: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xlvii

serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewajiban pemerintah dan

negara serta melindungi kepentingan masyarakat.

Dengan berlandaskan Pasal 30 ayat (1) butir (e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan RI menyebutkan bahwa :

“melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan

tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”.

Apabila diteliti dalam pasal ini ada 2 (dua) batasan dalam ketentuan ini, yaitu :

1. Berkas perkara tertentu ;

2. Dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik ;

Yang mempunyai maksud, bahwa :

a. “perkara tertentu” adalah hanya nota bene terhadap perkara-perkara yang sulit

pembuktiaannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau yang dapat

membahayakan keselamatan negara;

b. dalam hal pengkoordinasiannya tidak boleh dilakukan terhadap tersangka;

c. harus dapat dilaksanakan dalam waktu 14 hari setelah dilaksanakan sesuai

ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP;

d. prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik. Dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yaitu :

“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja

sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi

lainnya”.

Maksud dari Pasal 33 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, adalah sejalan dengan

prinsip koordinasi yang termaktub dalam Pasal 30 ayat (1) butir (e) Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2004 baik dengan penyidik maupun berbagai badan penegak hukum

dan atau instansi lainnya yang berkompetensi dalam melaksanakan dan menjalankan

penegakan supremasi hukum di negara kesatuan RI.

Mendasarkan kepada beberapa ketentuan yang telah diuraikan diatas , sudah

jelas dan pasti bahwa tugas dan wewenang jaksa dalam penegakan hukum adalah sebagai penuntut untuk segala macam tindak pidana yang terjadi di Indonesia , jadi

bukan sebagai penyidik kecuali untuk tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya ,

maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung , sehingga dari

ketentuan ini dapat dipahami bahwa jaksa bisa berkedudukan sebagai penyidik, dan hal

ini sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 30 ayat 1 d Undang-undang Nomor

16 Tahun 2004 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun 1999 .

B. Kedudukan Jaksa Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Page 48: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xlviii

Pada pembahasan didepan sudah dijelaskan bahwa Tindak Pidana Korupsi

merupakan kejahatan yang sangat sophisticated dan sudah masuk dalam katagori extra

ordinary crimes , dan bahkan sudah dapat dikatakan sebagai kejahatan yang terorganisir

, sehingga bukanlah pekerjaan yang mudah untuk membuktikan adanya kejahatan

korupsi , sehingga apabila bertitik tolak pada materi Tindak Pidana Korupsi , maka

Tindak Pidana Korupsi itu adalah sebagai bagian dari Hukum Pidana Khusus ( Ius Speciale , Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht ) dan mendasarkan pada pandangan yang

demikian maka pihak Kejaksaanlah yang mempunyai wewenang untuk melakukan

penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi . Akan tetapi KUHAP sebagai hukum

acara yang dijadikan sebagai landasan hukum dalam proses beracara , menentukan

bahwa penyidik itu adalah polisi atau pegawai negeri sipil tetrtentu yang diberi

wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat 1 KUHAP.

Dualisme dalam penyidikan tindak pidana Korupsi itu terjadi disebabkan karena

kurang jelasnya ketentuan pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang

hanya menentukan bahwa :

“ Penyidikan , penuntutan , dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak

pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku , kecuali ditentukan

lain dalam undang – undang ini “ , dari ketentuan ini tidak terdapat secara eksplisit ketentuan lembaga mana yang bertugas melakukan penyidikan terhadap tindak pidana

korupsi . Asumsi dasar yang menentukan kejaksaan sebagai pihak yang berwenang

melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didasarkan pada argumentasi

sebagai berikut 10 :

1. bahwa sebagai bagian dari hukum pidana khusus (Ius Speciale , Ius Singulare /

Bijzonder Strafrecht ) , maka modus operandi dan aspek pembuktian dari

tindak pidana korupsi ditangani secara spesifik sehingga dibutuhkan

ketrampilan dan profesionalisme tertentu .

2. apabila bertitik tolak pada ketentuan yuridis , berdasarkan ketentuan Pasal

284 ayat 2 KUHAP yang berbunyi “ dalam waktu dua tahun setelah undang –

undang ini diundangkan , maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang – undang ini , dengan pengecualian untuk sementara

mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada

undang – undang tertentu , sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak

berlaku lagi , akan tetapi kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 17 Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 beserta penjelasannya, serta ketentuan Pasal

10 Lilik Mulyadi , Tindak Pidana Korupsi Tinjauan khusus terhadap proses

penyidikan , penuntutan , peradilan serta upaya hukumnya menurut Undang – Undang

Nomor 31 tahun 1999 , Citra Aditya Bakti Bandung 2000 , h. 48-49

Page 49: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xlix

30 ayat 1d Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 beserta penjelannya ,

maka Jaksa adalah sebagai penyidik untuk tindak pidana korupsi .

3. ketentuan pasal 39 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan

bahawa : “ Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan

penyelidikan , penyidikan , dan penuntutan tindak pidana korupsi yang

dilakukan bersama – sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer “. Penegrtian mengkoordinasikan adalah merupakan

kewenangan Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan .

4. Instruksi Presiden RI Nomor 15 Tahun 1983 dan Keppres RI Nomor 15

Tahun 1991 dimana pada pokoknya ditentukan bahwa dalam pedoman

pelaksanaan pengawasan maka Menteri / Pinpinan Lembaga Pemerintah Non

Departeman / Pimpinan Instansi lainnya yang bersangkutan setelah menerima

laporan maka melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan

kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi

tindak pidana khusus seperti korupsi dan lain- lain .

5. Bertitik tolak pada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor :

R-124/F/Fpk.1/7/1995 tanggal 24 Juli 1995 dalam angka 2 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 Nopember

1994 dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Nusrul Yasid bin Abu

Yasid yang telah ditolak Majelis Hakim dengan alasan bahwa berkas perkara

tidak sah , oleh karena perkaranya disidik Penyidik Umum / Polri dan

berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1991 tetntang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI di mana pada Bab II Bagian Pertama

Pasal 4 angka 6 adanya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang mana

pada pasal 22 angka 3 Keppres 55 Tahun 1991 membawahi Direktorat Tindak

Pidana Korupsi dan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP 035/J.A/3/1992

tanggal 22 Maret 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan

RI pada Bab XVIII bagian pertama pasal 569 tentang Kejaksaan Negeri di mana Pasal 573 angka 6 Susunan Organisasi Kejaksaan Tinggi adalah Asisten

Tindak Pidana Khusus yang terdiri dari Seksi Tindak Pidana Korupsi ( Pasal

627 ayat 1 angka 2 ). Sedangkan untuk tingkat Kejaksaan Negeri yang

tergolong Tipe A Pasal 692 ayat 1 angka 5 salah satu bagian adalah seksi

Tindak Pidana Khusus dan berdasarkan Pasal 708 ayat 1 angka 2 salah satu

subseksi Tindak Pidana Korupsi adalah subseksi Tindak Pidana Korupsi dan

pada Kejaksaan Negeri Tipe B berdasarkan Pasal 718 ayat 1 angka 5 adalah

Seksi Tindak Pidana Khusus , Perdata dan Tata Usaha Negara .

Apabila mengkaji ketentuan yang telah disebutkan diatas , maka dapat

ditarik suatu pemahaman bahwa khusus Tindak Pidana Khusus ( Korupsi ) ,

Kejaksaan mempunyai kompetensi untuk melakukan penyidikan terhadap Tindak

Pidana Korupsi , mengingat Tindak Pidana Korupsi merupakan Tindak Pidana yang tergolong sebagai bagian dari hukum pidana khusus (Ius Speciale , Ius Singulare /

Page 50: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 l

Bijzonder Strafrecht ) , maka modus operandi dan aspek pembuktian dari tindak pidana

korupsi ditangani secara spesifik sehingga dibutuhkan ketrampilan dan profesionalisme

tertentu , selanjutnya apabila Tindak Pidana Korupsi itu pelakunya adalah para

pelaksana negara atau aparatur pemerintah.

C. Tugas dan Wewenang KPK Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, disebutkan bahwa dalam waktu paling lama 2

( dua ) tahun sejak undang ini berlaku , dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi , yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai

pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan

wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.

Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam

Undang-Undang tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana

korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh

karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-

Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan

dengan berbagai instansi tersebut.

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:

1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang

ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum atau penyelenggara negara;

2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah). Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:

1. dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan

institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga

pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;

2. tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan;

3. berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam

pemberantasan korupsi (trigger mechanism);

4. berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada,

dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Page 51: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 li

Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah

didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:

1. ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang

asas pembuktian terbalik;

2. ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat

melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap

penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku

pejabat negara;

3. ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada

publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik

Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan

Pemeriksa Keuangan;

4. ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota

Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan

5. ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi

Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah

pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi

Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat

sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat

independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan

manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut

terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang

dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota

Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan

keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus

melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik

Indonesia.Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan

wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau

Page 52: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lii

pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek

kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi

diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut

berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan

secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas.

Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas

dan berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan

Korupsi perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi

dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan

kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di

daerah provinsi.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga

dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex

specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan

hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur

mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan

umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa

dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri

atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian

pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang

hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan

ditentukan jangka waktu secara tegas.

Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur

pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi

Pemberantasan Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan

Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku.

Dari gambaran yang telah disebutkan diatas , maka dalam rangka

pemberantasan dan penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi , KPK

berdasrkan pada ketentuan pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 , dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:

a. kepastian hukum; b. keterbukaan;

Page 53: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 liii

c. akuntabilitas;

d. kepentingan umum; dan

e. proporsionalitas.

“Kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan

peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan

menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

“Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk

memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

“Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir

kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

“Kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan

cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

“Proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas,

wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ketentuan diatas memberikan makna bahwa KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan pada hukum , kepatutan dan rasa keadilan , serta

dilaksanakan secara terbuka , jujur , dan tidak diskriminatif , bersifat aspiratif ,

akomodatif serta selektif dengan mengutamakan kesejahteraan umum dan

keseimbangan antara tugas , wewenang , tanggung jawab dan kewajiban .

Sedangkan tugas dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu :

a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dari tugas yang dibebankan , maka KPK mempunyai wewenang seperti yang

diuraikan dalam ketentuan pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang meliputi antara

lain :

a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana

korupsi;

Page 54: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 liv

b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi;

c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

kepada instansi yang terkait;

d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Sedangkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh KPK sebagaimana

disebutkan dalam pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang berupa :

a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan

laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana

korupsi;

b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan

bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan

tindak pidana korupsi yang ditanganinya;

c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik

Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan

Pemeriksa Keuangan; d. menegakkan sumpah jabatan;

e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi

, KPK tetap menggunakan KUHAP sebagai dasar untuk melaksanakan tugas tersebut

, akan tetapi dalam pelaksanaan tugasnya sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik

, ketentuan pada pasal 7 ayat 2 KUHAP tidak berlaku pada penyelidik atau penyidik

KPK , yaitu suatu ketentuan yang menentukan bahwa penyidik dalam melaksanakan

tugasnya sesuai undang – undang yang menjadi dasar hukumnya masing – masing dan

dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik

tersebut dalam pasal 6 ayat 1 huruf a (dalam hal ini adalah penyidik Polri ) . Dari ketentuan ini sudah jelas bahwa penyidik KPK dalam menjalankan tugas penyidikan

dikesampingkan dari ketentuan yang ada dalam KUHAP.

Disamping ketentuan yang telah diuraikan diatas , KPK juga dapat

berkedudukan sebagai super body dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu

berupa suatu kewenangan untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah

ada , dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang

penyelidikan , penyidikan , dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian

dan atau kejaksaan . Sebagai super body dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

, maka KPK sesuai ketentuan pasal 50 UU Nomor 30Tahun 2002 yang berbunyi :

(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan

Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah

dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib

Page 55: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lv

memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14

(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus

dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan

tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau

kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan

oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( KPK ) , mempunyai wewenang untuk

melakukan penyelidikan dan penyidikan bahkan penuntutan terhadap Tindak Pidana

Korupsi yang terjadi di Indonesia , serta tugas dan wewenang yang dimilikinya sangat

luas jika dibandingkan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian

maupun Jaksa , hal ini dapat kita lihat dari kedudukan sebagai super body dalam

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .

KESIMPULAN

Berdasarkan dari pembahasan seperti yang telah diuraikan diatas maka dapat

ditarik beberapa kesimpulan dengan perumusan sebagai berikut :

a Kepolisian Republik Indonesia , sebagai aparat penegak hukum yang merupakan

bagian dari Criminal Justice System , menduduki posisi sebagai “

diferensiasi fungsional “ sebagaimana digariskan didalam KUHAP , sehingga

Polisi diberikan “ peran “ ( role ) yang berupa “ kekuasaan umum menangani

kriminal “ ( general policing authority in criminal matter ) di seluruh wilayah

Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut , Polri berperan melakukan kontrol kriminal ( crime control ) dalam

bentuk “ investigasi - penangkapan – penahanan – penggeledahan – penyitaan ” .

Sebagai Lembaga yang diberikan peran dan kekuasaan dalam penegakan hukum,

Polisi harus bebas dari segala macam intervensi dari pihak manapun juga Polisi

sebagai Penyidik tunggal berdasarkan KUHAP , dapat melakukan penyidikan

untuk semua tindak pidana baik umum maupun khusus.

b. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) berasaskan pada

kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan

proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara hukum mengutamakan landasan

peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan

menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian juga Keterbukaan yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh

Page 56: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lvi

informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sedangkan

Akuntabilitas menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi

Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat

atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

SARAN

Berdasarkan uraian dari pembahasan diatas , penulis ingin mengajukan

beberapa saran sebagai berikut :

a. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) menentukan bahwa

Penyidik adalah Polisi tertentu dan Pegawai Negeri sipil tertentu yang diberi tugas

atau wewenang berdasarkan undang – undang , maka dalam pelaksanaannya

supaya tetap memperhatikan ketentuan dalam KUHAP tersebut , karena Lembaga

Kepolisian ada dan tersebar sampai tingkat sektor , sehingga dengan demikian

apabila penyelidikan dan penyidikan untuk semua macam tindak pidana

diserahkan sepenuhnya kepada Kepolisian maka proses penyelesaian perkara pidana dapat cepat dilakukan sesuai dengan asas Spedy trial ( Contante Justicie ) ,

apalagi pada dewasa ini Kepolisian dari aspek Sumber daya manusia , sudah

banyak memiliki anggota kepolisian yang berlatar pendidikan hukum ( Sarjana

Hukum )

b. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai wewenang lebih

luas dari dua lembaga penegak hukum lainnya ( Kepolisian dan Kejaksaan )

dalam penanganan tindak pidana Korupsi hendaknya hanya menangani perkara

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara negara yang sulit

tersentuh (untouchable ) oleh hukum , hal ini mengingat bahwa KPK langsung

berada dibawah perintah Presiden.

Page 57: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lvii

KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM

PENANGANAN SENGKETA PERTANAHAN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG PTUN

Oleh:

H. Hofney Setyo Poernomo, S.H.,M.Hum.3

ABSTRAK

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan

Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, dan Nomor

9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas

Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, sepanjang menyangkut Pembatalan

Pemberian Hak Atas Tanah yang dilaksanakan sendiri oleh Badan

Pertanahan Nasional. Dalam kaitannya itu dengan implementasi

wewenang BPN membatalkan pemberian Hak Atas Tanah berbenturan

dengan wewenang mengadili Peradilan Tata Usaha Negara.

Kata Kunci: Kewenangan Pengadilan – Sengketa Pertanahan –

Undang-Undang PTUN.

LATAR BELAKANG

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dipergunakan dan

dimanfaatkan menurut hak serta kewajiban yang berimbang antara lain untuk memenuhi

baik bagi kebutuhan diri pribadi maupun kebutuhan masyarakat. Realisasi pemenuhan kebutuhan akan tanah tersebut menurut hukum ditata dalam rangka hubungan yang

serasi dan seimbang antara hak dan kewajiban agar terjamin pergaulan hidup yang

tertib, aman dan damai serta kehidupan yang berkeadilan sosial. Eratnya hubungan

antara manusia dengan tanah dilihat dari hubungan antar pribadi, pribadi dengan

masyarakat dan perorangan dengan badan hukum serta antar bangsa secara keseluruhan

dan pribadi dengan bangsa secara keseluruhan, tercermin dalam fungsi hak milik atas

tanah ditentukan oleh tata susunan masyarakatnya.

Didalam negara yang tata susunan masyarakatnya berdasarkan faham

individualistis, maka hak milik atas tanah bersifat mutlak, artinya bahwa hak milik yang

menurut terminologi hukum Belanda disebut eigendom, para eigenaarnya, pemilik,

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.

Page 58: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lviii

bebas menggunakan atau tidak menggunakan tanahnya sepanjang tidak dilarang oleh

undang-undang. Sebaliknya di dalam negara yang tata susunan masyarakatnya

menganut faham kolektivisme, maka hak milik atas tanah mempunyai fungsi sosial,

artinya penggunaan hak atas tanah selalu harus memperhatikan kepentingan sosial atau

kemasyarakatan.

Dalam Second Treatises Of Government, John Locke mengatakan bahwa : Sesungguhnya Tuhan telah menciptakan bumi u\ini untuk diberikan kepada

sesama manusia, agar bumi ini dikerjakan dan memberikan kesejahteraan bagi

setiap orang. Tiada seorangpun mempunyai hak istimewa baik atas hasil alam

maupun binatang yang diciptakan diatas bumi ini. Segalanya merupakan

warisan kita bersama. Untuk dapat mencuptakan kesejahteraan tersebut, maka

harus ada cara agar benda-benda tersebut dapat dimilki. Dengan kata lain,

individu dapat memetik kegunaan secara konkret apabila dia mempunyai hak

milik atas benda itu dan pekerjaannya sendiri.1

Asas Ketuhanan tersebut juga ditegaskan dalam pasal 1 ayat 2 UUPA yang

berbunyi : “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung didalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang akngkasa bangsa Indonesia dan merupakan

kekayaan nasional”, disini dikedepankan bahwa kekayaan Indonesia merupakan rahmat

dan karunia Tuhan, sedangkan dalam pasal 5 UUPA memberikan ketentuan bahwa

hukum agraria dan peraturan perundang-undangan lainnya dengan “mengindahkan

unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Hal yang demikian ini menunjukkan

bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air serta ruang angkasa adalah

merupakan hubungan yang bersifat pribadi sekali dan bahkan dalam pasal 1 ayat 3

menyebutkan bahwa hubungan itu merupakan suatu hubungan yang abadi. Sudargo

Gautama menafsirkan hubungan sebagai abadi ini menunjukkan bahwa selama rakyat

Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta

ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka hubungan ini tidak dapat diputuskan, meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga.2

Berbeda halnya dengan negara yang menganut faham sekulerisme yang

memisahkan antara kebendaan dengan agama, sebagaimana disebutkan Emeliana

Krisnawati bahwa negara yang menganut faham sekulerisme seperti Belanda dalam

menyusun peraturan perundang-undangan selalu memisahkan antara urusan agama

dengan susunan negara dan meskipun ada dogma agama yang digunakan, namun

1Achmad Sodiki, Konflik Pemilikan Hak Atas Tanah Perkebunan, Prisma,

1996, h. 4-5. 2Sudargo gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria (1960) dan

Peraturan-peraturan pelaksanaannya (1996), Cet. Ke- X, PT. Citra Aditya Bakti,

bandung, 1997, h. 51.

Page 59: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lix

penerumaannya sedemikian rupa sehingga menjadi hukum positif tanpa menyertakan

agama lagi.3

Diberikannya temapt untuk mengkedepankan asas Ketuhanan dan tempat yang

layak bagi hukum agama ini merupakan bukti bahwa masalah tanah sangat menentukan

sekali bagi hidup dan penghidupan manusia, sedangkan secara filosofis Moh. Koesnoe

memberikan pemahaman tentang makna tanah dengan adanya mitos4 yang dimulai dari adanya dua fenomena. Pertama ialah langit dan yang kedua ialah bumi atau tanah, dan

menurutnya bahwa :

Langit adalah merupakan bapak alam semesta dan bumi adalah merupakan

ibunya dan perkawinan langit dengan bumi, sama artinya dengan perkawinan

bapak dengan ibunya. Dari perkawian itu menghasilkan anak-anak. Siapa yang

termasuk anak-anak ialah segala apa yang ada diatas bumi antara lain benda-

benda mati, tumbuh-tumbuhan, segala macam dan jenis binatang yang

diantaranya ialah yang berjenis manusia.5

Dalam mitos itu dapat dijumpai adanya pandangan tentang bagaimana

hubungan manusia dengan tanah, lingkungannya dimana dia hidup dan menjalani

kehidupannya serta bagaimana hubungan manusia dengan segala apa yang ada di dalam lingkungan dimana manusi hidup dan menjalani kehidupannya, selanjutnya Koesnoe

menerangkan tentang mitos tersebut bahwa :

Mitos pada lahirnya merupakan cerita dan menurut ukuran pikiran biasa hal

tersebut adalah hanya cerita khayal yang tidak masuk akal. Tetapi bila mitos

itu diperhatikan dengan hati-hati, khayalan yang aneh isinya itu adalah hasil

kemampuan berfikir yang sangat abstrak terhadap totalitas yang dihadapinya

secara mendalam. Dalam kerangka hal termaksud, mitos yang

dikemukakandan dihayati itu mengandung arti dan nilai kemanusiaan yang

dalam. Atas dasar dan berpedoman pada nilai-nilai yang tersimpan didalam

mitos itu, rakyat berusaha untuk melaksanakan didalam kehidupan sehari-hari

sebagai idealnya.6

Pandangan masyarakat yang digambarkan dalam mitos dan filsafat tersebut

dapat difahami bagaimana masyarakat memberikan makna tanah dimana mereka

dilahirkan, dibesarkan dan menjalani kehidupannya. Hal yang demikian ini

3Emelia Krisnawati, Problematik Asas Monogami Dalam Undang-undang No.

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2000,

h. 56. 4Mitos dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat bahasa

Departemen pendidikan Nasional, balai Pustaka, jakarta, 2001, h. 479. 5Moh. Koesno, Prinsip-perinsip Hukum Adat Tentang hak Atas tanah, Varia

Peradilan, Majalah Hukum, tahun XIII, No. 150 Maret 1998, h. 89. 6Ibid., h. 88.

Page 60: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lx

menunjukkan tentang sikap batin dan kemesraan hubungan antara masyarakat dengan

tanah lingkungannya dimana mereka tinggal dan hidup diatasnya, sekaligus

menunjukkan bahwa masalah tanah bersinggungan erat dengan faktor adat.

Menurut Imam Sudiyat, bagi kehidupan dan penghidupan, tanah merupakan

conditio sine qua nom, seperti halnya udara yang kita hidup7 dan dalam kaitannya

dengan faktor adat tersebut, Boedi Harsono menyatakan bahwa : “ hukum adat dipakai sebagai dasar hukum tanah nasional adalah sesuai dengan kepribadian bangsa kita,

karena hukum adat adalah hukum asli kita …. dst.”, oleh karena itu dalam penjelasan

umum angka III ayat 1 UUPA dinyatakan secara tegas hubungan antara tanah dengan

hukum adat, hal ini dapat dicermati pada kalimat “ ….. hukum agraria baru tersebut

akan didasrkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat …. dst”; selanjutnya Pasal 5

UUPA menyebutkan “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa

ialah hukum adat …. dst”; penjelasan pasal 5 menyebutkan “ …. Hukum adat dijadikan

dasar hukum Agraria yang baru”; penjelsan Pasal 16 menyebutkan “ ….. Hukum

Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat ….. dst.” Dan dalam Pasal 56

menyebutkan “selama Undang-undang mengenai hak milik ….. belum terbentuk, maka

yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat ….. dst.”, sedangkan

kalimat yang tidak menyebut hukum adat secara langsung namun apa yang disebut”peraturan yang tidak tertulis” mencakup juga hukum adat dapat dilihat pada

Pasal 58, hal ini dapat dilihat juga pada pendapat Kusumadi Pudjosewojo yang

menggunakan sebutan hukum adat sebagai “keseluruhan aturan hukum tidak tertulis”.8

Menurut Ali Sofwan Husein, tanah merupakan investasi yang sangat

menguntungkan, karena nilainya tidak akan pernah turun, demikian juga pemiliknya

tidak perlu susah-susah memperbaiki mutu tanahnya, karena faktor alamiah, yaitu

tekanan penduduk yang selalu bertambah dan kebutuhan manusia yang terus meningkat.

Apalagi jika ada campur tangan manusia untuk mengupayakan naiknya nilai tanah

tambah tanah, maka tanah akan menjadi basis dari tambang kekayaan siapa saja yang

mempunyai akses terhadapnya.9

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah yang bertitik tolak dari judul dan latar belakang masalah adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsekuensi yuridis pembatalan pemberian hak atas tanah

dimuka Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional ?

2. Bagaimanakah Menyerasikan antinomi norma hukum pembatalan pemberian

hak atas tanah ?

7Iman Sidyat, Beberapa Masalah Penguasaan tanah di Berbagai Masyaraka

Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta, 1982, h. 7.t 8Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara

Baru, jakarta, 1975, h. 79. 9 Ali Sofwan Husein, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Pustaka Sinar

harapan, Jakarta, 1995, h. 8.

Page 61: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxi

KONSEKUENSI YURIDIS PEMBATALAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH

DI MUKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN BADAN

PERTANAHAN NASIONAL

A. Wewenang Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan

Nasional Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan

Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 secara tegas dosebutkan bahwa Negara

Indonesia adalah Negara hukum10 dan dalam sejarah ketatanegaraan R.I. konsep negara

hukum ini dalam penjelasan UUD 1945 disebut dengan istilah Indonesia negara yang

berdasar atas hukum “rechtsstaat”11 yang dilawankan dengan “machtsstaat” yang

artinya negara tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum menghendaki segala

tindakan semua orang maupun badan hukum wajib tunduk pada hukum, Martiman

Prodjohamidjojo memberikan makna negara hukum itu berarti semua orang menjunjung

tinggi hukum dan tidak ada tempat bagi orang yang mempertahankan haknya dengan

kekuatan sendiri.12 Demikian juga Pemerintah tidak ada kecualinya wajib tunduk pada

hukum, baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Arief

Budiman menulis bahwa keabsahan negara memerintah karena negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat dan

mengabdi pada kepentingan umum.13 Negara hukum pada prinsipnya terutama

bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyatnya, oleh karena itu

menurut Philipus M.Hadjon14 perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak

pemerintahan dilandasi oleh dua pihak, yakni , prinsip hak asasi manusia dan prinsip

negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat

tempat yang paling utama, dan dapat dikatakan sebagai tujuan negara hukum. Berbeda

dalam negara totaliter tidak ada tempat bagi hak-hak asasi manusia.

Negara hukum yang disebutkan dalam UUD 1945 merupakan negara hukum

dalam arti formal, oleh karenanya menurut Rochmat Soemitro harus diisi agar menjadi

negara hukum dalam arti materiel15 dan adanya kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

10Perubahan ketiga UUD 1945 yang diputuskan dalam rapat Paripurna MPR

ke-7 dalam sidang tahunan tanggal 9 Nopember 2001. 11Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, P.T.

Bina Ilmu, Cetakan Pertama, Surabaya, 1987, h. 72-82. 12 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata

Usaha Negara, P.T. Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, Jakarta, 1997, h. 1. 13Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, P.T.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, h. 1. 14Op. Cit., h. 71. 15Rochmat Soemitro, Peradilan tata Usaha negara, P.T. Eresco, Bandung,

1987, h. 1.

Page 62: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxii

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum

Republik Indonesia, hal ini menurut Soemitro merupakan langkah untuk

menyempurnakan bobot negara hukum dan guna menjadikan negara hukum formal

menjadi negara hukum materiel16. Kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 ayat 2 UUD

1945 dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang ada

dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum. Lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

Sebagai konsekuensi sebuah negara hukum, maka menurut pasal 27 ayat 1

UUD 1945 segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya,

sehingga setiap orang menurut Pasal 28 D ayat 1 oerubahan kedua UUD 1945 berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama dihadapan hukum. Demikian juga pengakuan, jaminan dan perlindungan

hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah,

maka ia dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan melalui PTUN,

oleh karenanya menurut Staablaad peradilan Tata Usaha Negara merupakan satu unsur

mutlak negara hukum,17 sedangkan menurut Soerjono upaya hukum itu dapat dilakukan melalui tiga badan, yaitu sebagai berikut :

1). Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administrasi;

2). Peradilan Tata Usaha negara, dan

3). Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau

KUHPerdata.18

Memahami konsep negara hukum yang diamanatkan UUD 1945 tersebut

menunjukkan bahwa keberadaan hukum merupakan suatu conditio sine quanom atau

syarat mutlak untuk menganut semua tindakan, baik yang dilakukan oleh warga

masyarakat maupun oleh Pemerintah. Demikian juga tindakan Pemerintah dalam

mengelola negara dilarang untuk bertindak semena-mena, hal ini menurut Hobhouse

yang mendukung rule of law atau tertib hukum mengatakan : syarat utama untuk pemerintah yang bebas yaitu pemerintahan tidak atas dasar kesewenang-wenangan

kehendak penguasa, namun atas dasar rules of law yang mapan dan penguasa juga

menundukkan diri.

Kekuasaan dan wewenang merupakan dua kalimat yang tidak dapat

dipisahkan. Dalam kaitannya itu Mochtar Kusumaatmaja mengungkapkan bahwa

16Ibid., 17Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan

Peradilan Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Cetakan Ketiga, Bandung, 1981, h.

85. 18Soerjono, Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Oleh Penguasa UUD

dan Masalah ganti Rugi, dalam Himpunan Karangan di Bidang Hukum Tata Usaha

Negara, Jakarta, 1993, h. 41.

Page 63: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxiii

kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal atau formal authority yang

memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu pihak dalam suatu

bidang tertentu, oleh karenanya dapat dikatakan kekuasaan itu bersumber pada hukum,

yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemberian wewenang.19

Demikian pula wewenang PTUN untuk mengadili bersumber dari UU No. 9 Tahun

2004, tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau ditulis UU PTUN dan undang-undang ini dalam Pasal 144 dapat disebut juga Undang-undang Peradilan Administrasi Negara,

namun demikian istilah Peradilan Administrasi Negara dikritisi oleh Sjachran Basah. Ia

menulis, predikat negara menjadi berlebihan dan tidak perlu, sebab sesungguhnya

hanyalah negara saja yang berhak membentuk peradilan yang ditetapkan dengan

undang-undang.20 Pandangan itu sesuai dengan dengan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang

No. 35 tahun 1999, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang

menyebutkan bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia yaitu

Peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undang-undang. Disamping itu menurut

Philipus, arti istilah administrasi dalam hukum administrasi yaitu pemerintahan, oleh

karena itu tidaklah ekonomis apabila sebutan peradilan administrasi ditambah dengan

atribut negara, karena tidak ada pemerintahan yang tidak berkaitan dengan negara.21

Wewenang PTUN memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara seperti disebutkan diats dan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha

negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan

perundang-undangan yang berlaku. Keputusan TUN yang menurut pengertian Pasal 1

ayat 3 yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat yang

berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang dapat merugikan orang atau

badan hukum perdata. Tindakan hukum tata usaha negara menurut Philipus M.Hadjon

tidaklah sama maknanya dengan tindakan pejabat atau tindakan badan tata usaha

negara. Tidak semua tindakan pejabat merupakan tindakan hukum tata usaha negara.22

Indroharto menilai bahwa yang dapat dirugikan oleh kepusan TUN sebenarnya

dapat digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu : Kelompok Pertama,

19Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, P.T.

Alumni Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Bandung, 2002, h. 5. 20Sjachran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi

Di Indonesia, Penerbit Alumni, Cetakan ke-3, Bandung, 1997, 35. 21Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam

Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato disampaikan pada enerimaan jabatan

Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya,

10 Oktober 1994, h. 5. 22Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah mada

University Press, Cetakan ketujuh, Yogyakarta, 2001, h. 319.

Page 64: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxiv

Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu

keputusan TUN. Dalam hal ini orang atau badan hukum perdata tersebut secara

langsung terkena kepentingannya, oleh karena itu mereka berhak untuk mengajukan

gugatan terhadap badan atau Pejabat TUN;

KelompokKkedua,

Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang meliputi :

a. individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan dan

kelompok ini sangat luas variasinya. Mereka itu merasa terkena

kepentingannya secara tidak langsung dengan adanya keputusan TUN yang

sebenarnya dialamatkan kepada orang lain. Kepentingan mereka ini ada yang

berlawanan dengan kepentingan dari si alamat yang dituju oleh keputusan

TUN yang bersangkutan;

b. kepentingan pihak ketiga bersifat pararel dengan kepentingan dari sialamat

yang dituju oleh keputusan TUN yang bersangkutan; dan

c. organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga dapat merasa

berkepentingan, karena keluarnya suatu keputusan TUN itu dianggapnya

bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Kelompok Ketiga,

Badan atau Pejabat TUN lain yang terkena keputusan TUN23.

Dalam proses di PTUN pihak yang berhak mengajukan gugatan sesuai Pasal

53 ayat 1 yaitu orang atau badan hukum perdata yang disebut sebagai tergugat, oleh

karena itu kelompok ketiga yang disebutkan Indroharto tidak dapat menjadi pihak

penggugat, mengingat UU PTUN tidak memberikan hak kepadanya untuk mengajukan

gugatan. Berbeda dengan pihak-pihak dalam peradilan umum, kedudukan sebagai

penggugat yaitu orang, badan hukum perdata maupun badan hukum publik, sedangkan

yang dapat menjadi tergugat yaitu orang, badan hukum perdata maupun badan hukum

publik. Keputusan Badan atau Pejabat TUN yang bagaimana menjadi wewenang

PTUN untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketanya, yaitu terhadap :

1. keputusan TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang bersifat konkret, individual dan final yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, Pasal 1

angka 3;

2. keputusan TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, Pasal 53 ayat 2 huruf a. Ada tiga hal pengertian :bertentangan

23Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan tata

Usaha Negara, Buku II Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1994, h.35-36.

Page 65: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxv

dengan peraturabn perundang-undangan yang berlaku” apabila keputusan yang

bersangkutan itu :

a. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan yang bersifat prosedural/formal;

b. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan yang bersifat materiel/substansial; c. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak

berwenang, penjelasan Pasal 53 ayat 2 huruf b .

Menurut Philipus M.Hadjon tidak berwenangnya itu bila dikaitkan dengan

ruang lingkup komptensi suatu jabatan, kemungkinan ada tiga macam bentuk

tidak berwenangnya atau onbevoegheid, yaitu onbevoegheidratione materiae

atau menyangkut kompetensi absolut, onbevoegheidratione loci

ataumenyangkut kompetensi relatif dan onbevoegheidratione temporis yaitu

tidak berwenang dari segi waktu.24

3. Badan atau Pejabat TUN yang pada waktu mengeluarkan keputusan telah

menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya

wewenang tersebut;

4. Badan tau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan telah mempertimbangkan semua kepentingan yang bersangkutan

dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan

tersebut, Pasal 53 ayat 2 huruf a, b dan c.

Rumusan wewenang PTUN untuk mengadili sengketa TUN tersebut di atas

oleh Philipus M.Hadjon,25 dipertegas sebagai berikut :

a. Keputusan TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Pertentangan itu menyangkut prosedur, substansi

dan wewenang keputusan;

b. Keputusan TUN tersebut mengandung unsur penyalahgunaan wewenang;

dan

c. Keputusan TUN tersebut mengandung unsur sewenang-wenang. Mengkaji beberapa wewenang hakim PTUN dalam memutus sengketa dengan

menggunakan Asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seharusnya hakim

berpedoman kembali kepada perintah Mahkamah Agung dimaksud yang secara tegas

menyebutkan bahwa penerapan AUPB pada “akhirnya harus mengacu pada Pasal 53

ayat 2 UU. PTUN”, Kata harus merupakan kewajiban hukum yang tidak boleh

disimpangi oleh hakim PTUN. Demikian juga dalam hal keputusan TUN yang

bagaimana yang menjadi wewenang PTUN untuk memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa pembatalan pemberian hak atas tanah. Keputusan BPN yang

menerbitkan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah dapat dibedakan

24Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum …… Op. Cit, h. 326-327. 25Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif, ….. Op. Cit, h. 10.

Page 66: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxvi

hak atas tanah yang timbul karena penetapan dan hak atas tanah yang timbul dari hukum

adat.

Sertifikat hak atas tanah yang bersal dari hukum adanya penetapan, yaitu

pemberian hak atas tanah-tanah negara berupa hak milik, hak gunan usaha, hak guna

bangunan, hak pakai dan hak pengelolaan, termasuk tanah negara yang menjadi obyek

landreform dan hak-hak yang diberikan menurut pasal 66 Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, tentang ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997, tentang

Pendaftaran Tanah. Penetapan yang kemudian menerbitkan sertifikat hak atas tanayh ini

Philipus M. Hadjon disebut dengan keputusan Tata Usaha Negara konstitutif, sedangkan

yang berasal dari hukum adat disebut sebagai keputusan tata usaha negara deklaratif 26.

Indroharto mengartikan konstitutif yaitu keputusan tata usaha negara yang melahirkan

atau menghapuskan suatu hubungan hukum dan deklarator yaitu untuk menetapkan

mengikatnya suatu hubungan hukum.27

Terhadap keputusan BPN yang bersifat konstitutif bila terjadi sengketa yang

wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan yaitu PTUN. Sedangkan yang

bersifat deklaratif menjadi wewenang peradilan umum. Peradilan umum pada

hakekatnya menurut Bernadus Sukismo berwenang menampung dan menyelesaikan

segala persengketaan hukum, baik yang nyata-nyata merupakan kewenangannnya maupun sengketa-sengketa hukum lainnya yang bukan merupakan kompetensi

lingkungan peradilan lainnya.28

Berbeda dengan wewenang PTUN, BPN juga mempunyai wewenang untuk

menyelesaikan sengketa hukum di bidang pertanahan dengan cara membatalkan hak-

hak atas tanah yang meliputi pembatalan hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, hak penguasaan dan ijin membuka tanah yang

tanahnya berasal dari tanah negara yang berakibat batalnya sertifikat. Landasan hukum

pembatalan hak-hak atas tanah tersebut semula diatur oleh Pasal 12 Permendagri No. 6

Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah yang

selanjutnya setelah dibentuknya lembaga Pemerintah non departemen dengan nama

BPN, pembatalan hak-hak atas tanah itu diatur dalam pasal 16 huruf c Kepres No. 26 Tahun 1988, tentang BPN.Wewenang pembatalan hak atas tanah yang diatur oleh

Kepres tersebut kemudian dijabarkan secara lebih specipik oleh Permeneg

Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian

Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan Permeneg

Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999, tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan

Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.

26Philipus M. Hadjon, Masalah Pertanahan Dalam Peradilan Tata Usaha

Negara, Yiridhika No. 4 Tahun VII, Juli-Agustus 1993, h. 3. 27Indroharto, Usaha Memahami, ….Op. Cit, h. 181. 28Bernadus Sukismo, Peradilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia

Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pasca Sarjana

Universitas Airlangga, 2001, h. 427.

Page 67: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxvii

Peraturan pelaksanaan pembatalan pemberian hak atas tanah tersebut

memberikan landasan hukum bagi BPN untuk mengatur tata cara pembatalan hak yang

selama ini belum pernah ada ketentuan yang mengaturnya, kecuali pembatalannya

dalam bentuk gugatan melalui PTUN dan sebelum ada lembaga PTUN, gugatan

terhadap badan atau pejabat PTUN dilakukan melalui peradilan umum. Gugatan melalui

peradilan umum ini dapat dilihat pada yurisprudensi Mahkamah Agung No. 421 K/Sip/1969 tertanggal 29 Oktober 1969 yang dalam pertimbangannya menyatakan :

“sebelum ada undang-undang tentang PTUN, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk

memeriksa dan memutus gugatan-gutan terhadap Pemerintah Indonesia”.29

B. Penyelesaian Sengketa Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Dimuka

Pengadilan Tata Usaha Negara dan Di Badan Pertanahan Nasional

Pengajuan gugatan dimuka PTUN dibatasi oleh tenggang waktu dan pasal 55

UU PTUN memberikan batas waktu sembilan puluh hari yang dihitung sejak saat

diterimanya atau diumumkannya keputusan PTUN. Hal ini berarti bila gugatan diajukan

setelah lewat dari sembilan puluh hari, maka pengadilan tidak akan menerima gugatan

tersebut. Rasionya menurut Wicipto Setiadi untuk menjaga agar kekuatan hukum dari keputusan TUN yang digugat itu tidak terlalu lama dalam keadaan yang tidak pasti.30

Dalam hal tenggang waktu sembilan puluh hari belum dilewati, maka gugatan dapat

dimajukan dan orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan

oleh keputusan pemberian hak atas tanah disebut sebagai : Penggugat, sedangkan

Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten 31yang menerbitkan keputusan pembatalan

pemberian hak atas tanah disebut sebagai : Tergugat. Proses penanganan sengketa

sampai pelaksanaan putusan dimuka PTUN dirinci sebagai berikut :

1. Rapat Pemusyawaratan

Proses rapat permusyawaratan ini merupakan kewajiban ketua pengadilan untuk

memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-

pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu tidak diterima atau tidak berdasar sebelum pokok perkaranya diperiksa, Pasal 62 ayat 1. Proses ini oleh Indroharto

disebut prosedur dismissal yang berarti ketua pengadilan telah memutus perkara

dengan acara yang sangat singkat atau acara yang sangat sederhana32 dan A.

Sudjadi menyebutkan rapat permusyawaratan itu merupakan suatu prosedur

29Yurisprudensi Mahkamah Agung, RI., Penerbit Mahkamah Agung R.I., 1970

h. 441-452. 30Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu

Perbandingan, P.T. Raja Grafindo Persada, Ed. I, Cetakan kedua, jakarta, 1995, h. 173. 31Kepala Kantor berwenang menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah

sesuai Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian

Hak Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan hak Pengelolaan. 32Indiharto, Usaha Memahami ….. Op., Cit., h. 86.

Page 68: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxviii

penyelesaian perkara yang disederhanakan atau vereenvoudigde behandeling atau

dismissal procedure33 , sebaliknya bila ketua berpendapat bahwa tidak terdapat

alasan baginya untuk menyatakan gugatan tersebut tidak diterima atau tidak

berdasar, maka gugatan tersebut dapat diperiksa dengan cara biasa.34

2. Pemeriksaan Persiapan

Proses pemeriksaan persiapan ini wajib dilakukan oleh hakim sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas, Pasal 63 ayat

1 dan pemeriksaan ini menurut Indroharto dilakukan hakim setelah proses rapat

permusyawaratan persiapan menurut angka III.I. Surat Edaran Mahkamah Agung

No. 2 Tahun 1991 yaitu untuk mematangkan perkara.

3. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat

Proses pemeriksaan dengan acara cepat dapat dilakukan bila terdapat kepentingan

Penggugat yang cukup mendesak yang dapat disimpulkan dari alasan-alasan

permohonannya dan bila permohonan pemeriksaan perkara dengan acara cepat ini

dikabulkan oleh ketua pengadilan, maka pemeriksaan perkara dan putusannya

dengan hakim tunggal tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan, Pasal 98 dan

99 Undang-undang Nomor 9 tahun 2004.

4. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa Proses pemeriksaan dengan acara biasa ini dilakukan dengan tiga orang hakim atau

majelis hakim sesuai Pasal 68 ayat 1 dan proses pemeriksaan selanjutnya sebagai

berikut :

a. Setelah Tergugat atau BPN menerima surat gugatan Penggugat, Tergugat dapat

menanggapinya dengan memberikan jawaban kepada penggugat, Pasal 74 dan

kemudian Penggugat diberi kesempatan untuk memberikan replik, Pasal 75

ayat 1. Selanjutnya Tergugat dapat memberikan duplik kepada Penggugat,

Pasal 75 ayat 2.

b. Setelah para pihak menyampaikan tanggapan berupa jawaban, replik dan

duplik, persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan alat bukti berupa surat

atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim, pasal 100. Kemudian para pihak diberi kesempatan untuk

memberikan pendapat akhir berupa kesimpulan, Pasal 97 ayat 1 dan

selanjutnya majelis hakim memberikan putusannya, Pasal 97 ayat 6.

c. Dalam hal putusan pengadilan mengabulkan gugatan Penggugat berupa

pembatalan atau pencabutan keputusan pemberian hak atas tanah, Tergugat

dapat mengajukan upaya hukum banding sesuai Pasal 122 sampai Pasal 130

dan dalam hal putusan pengadilan dikuatkan oleh pengadilan Tinggi, maka

Tergugat dapat mengajukan upaya hukum kasasi sesuai Pasal 131 dan Pasal 35

ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung.

33A.Sudjadi, Mengenai Peradilan tata Usaha Negara Dalam Negara Hukum

Republik Indonesia, Varia Peradilan, Penerbitan VI No. 62, Nopember 1990, h. 102. 34Indroharto, Usaha memahami ….. Op. Cit., H. 86.

Page 69: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxix

Dalam hal putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan tinggi,

maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.

d. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum telah dapat

dilaksanakan sesuai pasal 115. Putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, yaitu putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah

tidak dapat dilawan atau dimuntakan pemeriksaan banding, putusan pengadilan tinggi yang tidak dimintakan pemeriksaan kasasi lagi, dan putusan Mahkamah

Agung dalam tingkat kasasi. Pelaksanaan putusan pengadilan ditentukan sesuai

Pasal 116 yang bila dikaitkan dengan kajian karya ilmiah ini dapat dirinci

sebagai berikut :

1). Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dikirimkan kepada para pihak selambat-lambatnya dalam waktu empat

belas hari;

2). Dalam hal empat bulan setelah putusan diterima Tergugat tidak

melaksanakan kewajibannya sesuai Pasal 97 ayat 9 huruf a, maka

keputusan Tergugat yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan

hukum tetap;

3). Dalam hal tiga bulan setelah putusan diterima Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sesuai Pasal 97 ayat 9 huruf b dan c, maka Penggugat

mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar Tergugat

diperintahkan untuk melaksanakan putusan;

4). Dalam hal Tergugat tetap tidak melaksanakan putusan, ketua pengadilan

mengajukan hal ini kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Propensi sebagai

instansi atasan harus sudah memerintahkan tergugat untuk melaksanakan

putusan pengadilan. Selanjutnya secara berjenjang ketua pengadilan

mengajukan hal ini kepada BPN dan terakhir kepada Presiden sebagai

pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan tergugat

melaksanakan putusan tersebut.

Mengkaji pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai perintah Pasal 116 tersebut, Paupuls Effendie Lotulung menulis

bahwa sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang dianut PTUN, yaitu :

a. eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban, yaitu kewajiban

berupa pencabutan keputusan TUN atau beschikking yang bersangkutan sesuai

Pasal 97 ayat 9 huruf a. Terhadap eksekusi jenis ini ditetapkan Pasal 116 ayat

2, yaitu empat bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap

dikirimkan Tergugat tidak melaksanakan, maka keputusan tergugat tersebut

tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, dengan demikian tidak diperlukan lagi

ada tindakan-tindakan ataupun upaya lain dari pengadilan, misalnya memberi

surat peringatan, sebab keputusan TUN tersebut dengan sendirinya akan hilang

kekuatannya hukumnya. Cara eksekusi ini disebut eksekusi otomatis;

b. eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban, yaitu kewajiban berupa pencabutan keputusan TUN atau beschikking yang baru sesuai Pasal 97

Page 70: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxx

ayat 9 huruf b dan c. Terhadap eksekusi jenis ini diterapkan Pasal 116 ayat 3

sampai ayat 6 yaitu ketua pengadilan memberi surat perintah kepada Tergugat

dan seterusnya secara berjenjang. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan

eksekusi hierarkis.35

Lebih lanjut Paulus menulis bahwa pada dasarnya eksekusi di PTUN

menekankan pada rasa self respecct dan berdasarkan hukum dari pejabat PTUN untuk melaksanakan dengan sukarela tanpa adanya upaya hukum pemaksaan atau dwang

middelen yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap

pejabat PTUN yang bersangkutan36. Penerapan eksekusi dengan bersandar pada Pasal

116 dan hanya menunggu kesadaran hukum pejabat PTUN tentunya akan sangat

merugikan Penggugat sebagai pencari keadilan, padahal pejabat TUN sebagai pegawai

negeri sipil merupakan unsur aparatus Negara, Abdi negara dan Abdi Masyarakat yang

wajib mentaati semua peraturan perundang-undangan, termasuk putusan pengadilan,

sesuai PP No. 30 Tahun 1980, tetang Peraturan Disiplin Pegawai negeri Sipil. Terhadap

Pelaksanaan putusan pengadilan yang secara normatif berpedoman pada Pasal 16 itu,

Paulus memberikan kajian beberapa pemikiran sebagai berikut :

Pertama,

Pada eksekusi otomatis, bagaimana akibat hukumnya bagi pihak ketiga yang tidak ikut berperkara bilamana keputusan tata usaha negara atau sertifikat yang bersangkutan demi

hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, sedangkan dalam hukum tata usaha

negara atau hukum administrasi negara putusan pengadilan mengandung sifat erga

omnes, artinya berlaku untuk siapa saja, siapapun harus terikat dengan putusan

pengadilan, baik pihak yang berperkara maupun diluar itu. Bisa saja terjadi sertifikat

tanah ketika dalam proses sebelumnya telah berada pada pihak ketiga atau pada suatu

bank sebagai agunan kredit. Dalam hal ini pihak bank atau pihak ketiga yang beritikad

baik akan sangat dirugikan, sedangkan ia tidak menjadi pihak daklam suatu sengketa,

sehingga darimana ia mengetahui adanya keputusan TUN yang bersangkutan sudah

tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.36

Makna asas erga omnes menurut Philipus M.Hadjon yaitu putusan berlaku bagi semua orang dan bukan mengikat para pihak yang bersengketa saja, hal ini merupakan

pengejawantahan esensi peradilan administrasi yang pada dasarnya menegakkan hukum

publik.37

35Paulis Effendi Lotulung, Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha negara

Dan Problematiknya Dalam Praktik, dalam Machrup Elrick (Editor), Kapita Selekta

Hukum, Mengenang Almarhum Prof. Oemar Seno Adji, S.H., h. 268-269. 36Paulus Effendie Lotulung, Ibid., h. 268. 36Paulus Effendie Lotulung, Ibid., h. 270. 37Siparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi,

Airlangga University Press, Cetakan Pertama, Surabaya, 1997, h. 75.

Page 71: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxi

Kedua,

Pada eksekusi hierarkis, bagaimana bila semua jalur instansi atasan sampai presiden

ternyata tetap tidak melaksanakan putusan pengadilan, apakah kontrol lain dalam

bentuk political control dari DPR dan social control dari masyarakat ataupun mass

media control masih dapat diandalkan.38

Melihat sistem eksekusi dengan menerapkan Pasal 116 UU PTUN ternyata mengandung kelemahan tanpa adanya upaya pemaksaan dalam melaksanakan putusan

pengadilan itu Zairin Harahap menulis bahwa ketentuan ini dapat saja sekaligus

merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan sekedar memuat perintah dan

larangan. Dibalik larangan terutama harus ada ketentuan sanksi atas

ketidakpatuhan.39Kepatuhan hukum oleh siapa saja, baik pejabat umum maupun

masyarakat merupakan suatu hal yang menjadi tolok ukur bagi dilaksanakannya asas

supremasi hukum dalam negara hukum dan semua warga negara seyogyanya merasa

dirinya terikat dan concern dengan asas tersebut.

Sedangkan sengketa pembatalan pemberian hak atas tanah di Badan

Pertanahan Nasional, dalam hal ini definisi sengketa pertanahan menurut BPN yaitu

perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas

tanah.Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya antara pihak-pihak yang berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan

hukum dengan bidang tanah tertentu, Pasal 1 Angka 1 dan 2 Permeneg. Agraria/kepala

BPN No. 1 Tahun 1999, tentang Tata cara Penanganan sengketa Pertanahan. Untuk

penanganan sengketa tersebut dilakukan oleh unit kerja prosedural yang

keanggotaannya berasal dari unit kerja struktural di lingkungan kantor Menteri Negara

Agraria/BPN, Pasal 2 . Dari definisi tersebut terlihat bahwa penyelesaian sengketa

pertanahan dilakukan oleh BPN di luar lembaga peradilan dan sebelum ada lembaga

BPN menurut Rusmadi Murad penanganan sengketa pertanahan dilakukan oleh team

yang merupakan sekumpulan aparat fungsional antar departemen maupun aparat

fungsional antar komponen departemen dalam negeri atau aparat teknis yang merupakan

kelompok kerja lapangan antar sub-sub komponen direktorat jenderal agraria.40 Tujuan dibentuknya team ini menurut Murad yaitu untuk mencapai sasaran penyelesaian secara

koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simultan dengan maksud agar hasil

penyelesaiannya dapat dilaksanakan secara baik, terpadu dan konsisten.41

Penyelesaian sengketanya menurut Permeneg. Agraria/kepala BPN No. 1

Tahun 1999 dan No. 9 Tahun 1999 dapat ditangani oleh Kantor Menteri Negara

Agraria/BPN, Kanwil BPN Propensi atau Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten.

38Paulus Effendie lotulung, Op. Cit., h. 270. 39Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, P.T. Raja

Grafindo Persada, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Jakarta, h. 153. 40Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,

Cetakan Ke-1, Bandung, 1991, h. 39. 41Rusmadi Murad, Ibid, h. 39.

Page 72: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxii

Pelaksanaannya dilakukan karena adanya permohonan, tanpa adanya permohonan dan

karena untuk melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum

tetap. Proses penyelesaiannya dilaksanakan sebagai berikut :

1. Proses pembatalan karena permohonan

a. permohonan diajukan oleh pemohon kepada menteri melalui kantor pertanahan

dengan disertai alasan-alasannya, Pasal 108 dan pasal 110; b. kantor pertanahan meneliti kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan

serta memeriksa kelayakan permohonan sebelum diproses lebih lanjut, Pasal 112

ayat 1;

c. dalam hal keputusan pembatalan hak dilimpahkan kepada kepala kantor wilayah,

kepala kantor pertanahan menyampaikan berkas permohonan kepada kepala

kantor wilayah disertai pendapat dan pertimbangannya, Pasal 112 ayat 2. Dalam

hal keputusan pembatalan hak tidak dilimpahkan, kepala kantor pertanahan

menyampaikan berkas permohonan kepada menteri, Pasal 114;

d. setelah mengadakan penelitian berkas yang diterima, menteri atau kepala kantor

Wilayah memperhatikan pendapat dan pertimbangan kepala kantor Pertanahan,

kemudia ia menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau

menerbitkan keputusan penolakan disertai alasan penolaknnya, Pasal 115. Keputusan tersebut disampaikan kepada pemohon melaluio surat tercatat atau

dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang

berhak, Pasal 118.

2. Proses pembatalan tanpa permohonan.

a. pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang

dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses

penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya tanpa adanya

permohonan. Kepala kantor Pertanahan mengadakan penelitian data yuridis dan

data fisik terhadap keputusan pemberian dan/atau sertifikat yang diketahui cacad

hukum administratif dalam penerbitannya. Selanjutnya hasil penelitian itu

disampaikan kepada kepala Kantor Wilayah atau kepada Menteri untuk diusulkan pembatalannya disertai pendapat dan pertimbangannya, Pasal 119 dan Pasal 120;

b. setelah berkas diterima dan memeriksa pendapat serta pertimbangan Kepala

Kantor pertanahan, menteri atau Kepala kantor Wilayah memutuskan dapat atau

tidaknya diterbitkan keputusan pembatalannya atau keputusan penolakan disertai

alasan penolakannya dan keputusan tersebut disampaikan kepada yang berhak,

Pasal 121 dan Pasal 123.

3. Proses pembatalan karena melaksanakan putusan pengadilan

a. keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan

yang memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang

berkepentingan. Permohonan ini dapat diajukan langsung kepada Menteri atau

kepala kantor Wilayah atau melalui Kantor Pertanahan, pasal 124 dan Pasal 125;

b. permohonan diajukan pemohon dengan dilengkapi keterangan pemohon, keterangan mengenai tanahnya dan harus dilampiri fotocopy surat

Page 73: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxiii

keputusan/sertifikat, putusan pengadilan dan berita acara eksekusi apabila

perkara perdata atau pidana, Pasal 126;

c. setelah menerima berkas permohonan, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah

meneliti kebenaran data yuridis dan data fisik, kemudian memeriksa kelayakan

permohonan tersebut dapat atau tidaknya amar putusan pengadilan dilaksanakan,

Pasal 129 ayat 1 dan ayat2; d. Menteri atau Kepala kantor Wilayah memutuskan permohonan tersebut dengan

menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau

memberitahukan bahwa amar putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan

disertai alasan dan pertimbangannya, Pasal 129 ayat3;

e. dalam hal menteri atau Kepala kantor Wilayah berpendapat tidak dapat

melaksanakan amar putusan pengadilan, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah

dapat mohon fatwa Mahkamah Agung dalam pelaksanaan amar putusan

pengadilan tersebut, Pasal 129 ayat 4.

C. Konsekuensi Yuridis Pembatalan Keputusan Pemberian hak Atas Tanah

Dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara dan Di Badan Pertanahan Nasional

Disamping amar putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap

belum tentu dilaksanakan BPN yang telah disebutkan di atas, proses penyelesaian

pembatalan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah dimuka PTUN

mempunyai akibat hukum sebagai berikut :

1. putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut masih dapat

digugat oleh pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itu di lembaga peradilan

umum atau pengadilan negeri dan pihak ketiga yang dimaksudkan yaitu orang atau

badan hukum perdata yang memegang surat keputusan pemberian hak atas tanah.

Bila gugatan pihak ketiga diajukan dimuka PTUN dapat dipastikan gugatannya

tidak akan diterima dengan berpedoman pada rapat permusyawaratan atau

raadkamer sesuai Pasal 62, karena gugatannya bukan termasuk wewenang PTUN. Putusan PTUN yang membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah menurut

pasal 2 huruf e tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN. Dasar gugatan

pihak ketiga itu dengan argumentasi sebagai berikut :

a. selama proses sengketa berlangsung antara Penggugat dengan Tergugat atau

BPN, pihak ketiga tersebut tidak pernah ikut serta atau diikutkan dalam proses

sengketa;

b. pihak ketiga yang dirugikan selain mengajukan gugatan dimuka lembaga

peradilan umum, ia dapat mengajukan juga gugatan perlawanan terhadap

pelaksanaan putusan PTUN tersebut. Pasal 118 yang pada pokoknya

menentukan bahwa pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau

diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa, sedangkan ia dirugikan

terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum

Page 74: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxiv

tetap itu, maka ia dapat mengajukan gugatan perlawanan kepada PTUN yang

mengadili sengketa tersebut;

2. selama proses pembatalan, hak atas tanah tersebut tidak dapat dialihkan kepada

pihak lain dan dijaminkan kepada pihak bank atau kreditur lainnya.

Atas dasar kajian tersebut terlihat bahwa putusan PTUN yang memperoleh

kekuatan hukum tetap masih dapat dipermasalahkan oleh pihak ketiga yang kepentingannya dirugikan dengan cara melalui upaya gugatan perlawanan di PTUN dan

lembaga peradilan umum. Peradilan umum menurut Bernadus Sukismo pada

hakekatnya berwenang menampung dan menyelesaikan segala persengketaan hukum,

baik yang nyata-nyata merupakan kewenangannya maupun sengketa-sengketa hukum

lainnya yang bukan merupakan kompetensi lingkungan peradilan lainnya 42, dengan

demikian semua sengketa hukum yang bukan merupakan wewenang lembaga peradilan

lainnya dapat diajukan di lembaga peradilamn umum.

Tidak ikut sertanya pihak ketiga selama proses sengketa, meskipun Pasal 83

memberikan peluang baginya merupakan konsekuensi penerapan asas erga omnes

dalam PTUN yang disebutkan diatas, yaitu putusan PTUN berlaku bagi siapapun dan

bukan hanya mengikat para pihak yang bersengketa saja. Berbeda dengan putusan

hakim perdata yang pada hakekatnya hanya mempunyai kekuatan mengikat para pihak yang bersengketa dan menurut Suparno Wijoyo dalam diktum putusan hakim perdata

sering berbunyi : agar pihak-pihak tertentu, baik yang diikutsertakan pada salah satu

pihak maupun yang tidak diikutsertakan, tunduk dan mentaati putusan pengadilan.43

Demikian juga Indroharto membedakan kedua putusan itu dengan menegaskan bahwa

kalau pada putusan pengadilan perkara perdata pada prinsipnya hanya mempunyai

kekuatan hukum mengikat antara para pihak yang bersengketa, maka putusan PTUN

mempunyai daya kerja seperti suatu keputusan hukum publik, yang bersifat umum yang

berlaku terhadap siapapun.44Terhadap gugatan pihak ketiga pada PTUN dan peradilan

umum tersebut atas putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap jelas

bertentangan dengan asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya

ringan. Pasal 4 ayat 2 UU KPKK beserta penjelasannya menegaskan bahwa peradilan harus memenuhi harapan pencari keadilan dan tidak diperlukan pemeriksaan serta acara

yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan

harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan, sehingga biayanya tidak dapat

dipikul oleh rakyat. Upaya hukum tetap membuktikan semakin tidak adanya kepastian

hukum bagi penyelesaian sengketa pertanahan, padahal perkara yang masih menumpuk

42Bernadus Sukismo, Peradilan Pajak …..Op. Cit., h. 427. 43Suparto Wijoyo, Karakteristik …..Op. Cit., h. 75. 44Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, Buku II, Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar

Harapan, Edisi Baru, jakarta, 1994, h. 29.

Page 75: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxv

di Mahkamah Agung sampai tanggal 30 Juni 2003 berjumlah 16.581 perkara sesuai

penjelasan Bagir Mannan dalam sidang tahunan MPR masa persidangan tahun 2003.45

Konsekuensi hukum atas putusan PTUN yang membatalkan keputusan

pemberian hak atas tanah agaknya tidak berbeda dengan konsekuensi hukum atas

keputusan BPN. Penerbitan keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah olewh

BPN masih dapat diajukan gugatan oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan haknya atas keputusan tersebut, oleh karena keputusan BPN itu termasuk keputusan Tata Usaha

negara yang dalam rumusan Pasal 1 ayat 3 UU PTUN disebutkan :

Keputusan Tata Usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan

oleh Badan Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan

akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dengan ketentuan pengajuan gugatan tenggang waktunya tidak lebih dari sembilan

puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusannya BPN

sesuai Pasal 55, namun bila tenggang waktu tersebut dilewati gugatan dapat diajukan

melalui Peradilan Umum.

Perbedaannya terletak pada penerapam Pasal 129 ayat 3 dan 4 yang merupakan wewenang BPN untuk tidak melaksanakan amar putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap. Perbedaan lainnya selama proses permohonan pembatalan

melalui BPN, pihak yang memegang keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat

masih dapat mengalihkan hak atas tanhanya kepada pihak lain dan menjaminkan

tanahnya kepada pihak bank atau kreditur lainnya.

Konsekuensi hukum ini sebagai akibat pembatalan keputusan pemberian hak

atas tanah oleh dua lembaga negara yang berbeda. Disatu sisi pembatalan keputusan

pemberian hak atas tanah dapat diajukan gugatan dimuka peradilan dan disisi lain

pembatalannya dapat melalui lembaga eksekutif, yaitu BPN, padahal corak sengketa

pertanahan itu bervariasi. Litbang harian kompas mencatat tipologi sengketa tanah dapat

berupa : (a). sengketa perkebunan, (b). sengketa kawasan hutan, (c). sengketa kawasan perumahan, (d). sengketa obyek landreform, (e). sengketa hak dan batas, dan (f).

sengketa putusan pengadilan.46

ANTINOMI NORMA HUKUM PEMBATALAN PEMBERIAN HAK ATAS

TANAH

A. Antinomi Norma Hukum Dalam Penerapan Hukum Pembatalan Pemberian

Hak Atas tanah

45Bagir mannan, Varia Peradilan, Ukahi, Majalah Hukum Tahun XVIII, No.

216, Jakarta, 2003, h. 3. 46Kompas, Minggu, 28 September 2003, h. 36.

Page 76: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxvi

Langkah penerapan hukum yang diawali dengan identifikasi aturan hukum

dalam bidang pertanahan seringkali dijumpai adanya antinomi atau konflik norma

hukum.47 Konflik norma hukum yang dalam filsafat hukum disebut antinomi ini

dijumpai pula dalam hal dua institusi melakukan kewenangan yang tumpang tindih.

Terjadi dalam hal BPN menjalankan kewenangan yang merupakan kewenangan Badan

Peradilan pada pembatalan pemberian hak atas tanah. Adanya antinomi dapat diilustrasikan dalam penerapannya sebagai berikut :

1. BPN atas permohonan pihak ketiga membatalkan keputusan pemberian hak atas

tanah yang sudah diberikan kepada pihak lain. Alasan pembatalan yang diajukan

bahwa surat keputusan pemberian haknya mengandung salah satu kreteria cacat

hukum administratif dalam penerbitannya, yaitu adanya kesalahan subyek haknya;

2. Berdasarkan kewenangannya BPN setelah melakukan penelitian membatalkan

keputusan pemberian hak atas tanah milik pihak lain itu dan kemudia tanah yang

dibatalkan tersebut oleh BPN diberikan kepada pihak ketiga atau pemohon;

3. Pihak lain yang merasa dirugikan atau keputusan pembatalan itu kemudian

mengajukan gugatan terhadap BPN dimuka PTUN, sedangkan pemohon yang

memperoleh pemberian hak dari BPN dalam proses persidangan itu dapat ikut serta

atau diikutsertakan sebagai pihak, atau mengajukan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap bila

putusan PTUN merugikan kepentingannya.

Dari ilustrasi di atas terlihat adanya antinomi antara norma hukum yang satu

dengan norma hukum yang lainnya, sehingga dapat menjadi sengketa yang

berkepanjangan di lembaga peradilan. Sengketa yang berkepanjangan ini dapat

dijabarkan sebagai berikut :

1. pembatalan pemberian hak atas tanah oelh BPN terhadap pihak lain atas

permohonan pihak ketiga yang kemudian diikuti dengan pemberian hak kepada

pemohon tersebut dapat menjadi sengketa di PTUN;

2. pihak lain yang dibatalkan hak atas tanahnya itu dapat mengajukan gugatan

terhadap BPN dan PTUN, sedangkan pemohon yang diberi hak oleh BPN dapat ikut serta atau diikutsertakan dalam proses persidangan tersebut dan

pemohon ini disebut tergugat II intervensi48; dan

3. jika semua proses persidangan pemohon tidak ikut serta atau diikutsertakan,

maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN yang

memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.

Mencermati kajian tersebut secara hukum apabila BPN diberi wewenang

membatalkan pemberian hak atas tanah akan terjadi tumpang tindih kewenangan untuk

47Philipus M.Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam

Majalah Yuridhika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, No. 6 Tahun IX,

November-Desember 1994, h. 4. 48Lihat Pasal 83 ayat 2 UU PTUN berikut Penjelasannya.

Page 77: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxvii

menyelesaikan sengketa pertanahan. Antinomi norma hukum tersebut dapat

diidentifikasi sebagai berikut :

Pertama,

Pengadilan sesuai Pasal 97 ayat 9 UU PTUN memiliki kewenangan untuk membatalkan

keputusan pemberian hak atas tanah dan sekaligus memberikan kewenangan

menetapkan kewajiban yang harus dilakukan BPN untuk menerbitkan keputusan yang barus berupa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga;

Kedua,

BPN sesuai Pasal 106 Permeneg Agraria/Kepala BPN tersebut berwenang untuk

membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah, baik atas permohonan maupun atas

inisiatif BPN sendiri dan sesuai Pasal 129 BPN berwenang untuk tidak melaksanakan

amar putusan pengadilan disertai dengan pertimbangannya kemudia meminta fatwa

Mahkamah Agung.

Apabila dikaji dari sudut pandang Hans Kelsen, antinomi kedua norma hukum

itu sebagai suatu pertentangan norma yang lebih rendah dengan norma yang lebih tinggi

dan dalam ilmu hukum dogmatik disebut sinkronisasi vertikal. Hans Kelsen menyatakan

tentang sifat dinamis dari hukum yaitu :

Karakter pilihan dari norma yang lebih tinggi menentukan norma yang lebih rendah untuk mencegah pertentangan nyata antara norma yang hierarkhinya

lebih tinggi dengan norma yang hierarkhinya lebih rendah. Pertentangan antara

norma yang lebih rendah dengan ketentuan pertama dari dua pilihan yang

diberikan oleh norma yang lebih tinggi hanya relevan jika menetapkan

keberadaan hukum dari pertentangan semacam ini dengan jalan membatalkan

norma yang lebih rendah. Sebaliknya suatu pertentangan antara dua norma dari

tata hukum yang berbeda tidak dapat terjadi. Kesatuan tata hukum tidak pernah

dapat terancam oleh suatu pertentangan antara norma yang hierarkhinya lebih

rendah.49

Lebih lanjut tentang tata urutan itu Hans Kelsen melihat juga dari segi pembentukannya, ia menegaskan pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan

oleh norma yang lebih tinggi dan seterusnya.50 Ajaran tata urutan pertingkatan peraturan

perundang-undangan ini atau stufenbau des recht oleh Bagir mannan diberikan makna,

yaitu :

a. peraturan yang lebih rendah harus mempunyai sumber atau dasar pada peraturan

yang lebih tinggi;

b. peraturan perundang-undangan merupakan sebuah tertib hukum atau legal order;

dan

49Hans Kelsen, General Theory of Law And State, By Russell & Russell, New

York, 1961, h. 161-162. 50Hans Kelsen, Ibid., h. 124.

Page 78: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxviii

c. peraturan perundang-undangan untuk menjamin tata urutan itu dalam suatu

sistem yang tertib.51

Mencermati pandangan Hans Kelsen itu dapat disimpulkan bahwa norma yang

lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi dan bila norma

yang lebih rendah bertentangan dengan norma yang lebih tinggi, maka norma yang

lebih rendah itu batal demi hukum. Hal ini merupakan asas lex superior derogat legi inferiori 52. Bertitik tolak dari teori tersebut dan berkaitan dengan kajian ini, lembaga

PTUN yang dibentuk berdasarkan Undang-undang dapat membatalkan keputusan

pemberian hak atas tanah yang dibuat BPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan

Presiden, namun jika dikaji dari tata hukum yang berbeda, pembatalan keputusan

pemberian hak atas tanah dari dua lembaga tersebut tidak dapat terjadi sesuai teori Hans

Kelsen di atas.

Antinomi norma hukum dalam pembatalan pemberian hak atas tanah seperti

disebutkan di atas tidak dapat dihindari, mengingat kedua lembaga masing-masing

memiliki wewenang yang sama, yakni sama-sama memiliki wewenang untuk

membatalkan keputusan pemberian hak hak atas tanah, oleh karena itu dalam penulisan

ini akan dijelaskan tentang sumber hukumnya dengan menekankan pada aspek yang

hakiki atau mendasar serta mengkaji berbagai pandangan para ahli. Pandangan-pandangan para ahli, baik ahli hukum maupun filsafat seringkali terdapat perbedaan-

perbedaan, namun ahli hukum maupun filsaat seringkali terdapat satu dengan yang

lainnya. Perbedaan-perbedaan pikiran mereka ternyata saling isi mengisi atau saling

melengkapi wacana berfikir. Begitu pentingnya makna nilai bagi kehidupan manusia,

Louis O. Kattsoff menulis macam-macam nilai sebagai berikut :

a. mengandung nilai, artinya berguna;

b. merupakan nilai, artinya, baik atau benar atau indah;

c. mempunyai nilai, artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang

dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai

tertentu; dan

d. memberi nilai, artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.

Lebih lanjut kemudian ia membedakan nilai dalam dua macam, yaitu nilai instrinsik dan

nilai insterumental. Nilai insrinsik yaitu nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah

bernilai, sedangkan nilai instrumental yaitu nilai dari sesuatu karena dapat dipakai

sebagai sarana untuk mencapai tujuan sesuatu.

Adanya pernyataan “berbuatlah yang baik, hindarilah yang jahat” merupakan

ungkapan yang menunjukkan keputusan pikirang yang bernilai positif dan negarif yang

51Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang Peraturan Pengganti

Undang-undang (Perpu), Universitas Muhammadiyah, Malang, 2002, h. 23. 52Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu pengantar, Liberty, Edisi

Keempat, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 1999, h. 85.

Page 79: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxix

oleh Theo Huijbers disebut bonum est faciendum, malum est vitandum53dan pernyataan

itu dalam ajaran Thomas Aquinas merupakan karakteristik manusia sebagai persona

diwujudkan dalam aturan pertama hukum kodrat, dengan kata lin hukum kodrat pada

dasarnya yaitu manifestasi nilai-nilai dasar kemanusiaan yang tercermin dalam aktivitas

refleksi akal budi.54

Antinomi norma hukum penerapan pembatalan pemberian hak atas tanah dikaji dari nilai instrumental terlihat ada dua institusi yang berwenang membatalkan, yaitu

Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN dan Badan Pertanahan Nasional atau BPN.

Dikaji dari sumber hukumnya, pembatalan pemberian hak atas tanah yang dilakukan

PTUN berasal dari Undang-undang, sedangkan pembatalan oleh BPN yang dibentuk

dengan keputusan presiden berasal dari peraturan memnteri seperti yang disebutkan

pada II diatas. Dikaji dari segi kelembagaan, lembaga PTUN yang berpuncak pada

Mahkamah Agung merupakan pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi yang

kedudukannya sama dengan Presiden yang membentuk BPN yang merupakan lembaga

non depertemen yang bertanggungjawab langsung kepadanya. Kedua-duanya sama

sebagai lembaga tinggi negara. Uraian norma hukum untuk memperjelas adanya

antinomi dalam pembatalan pemberian hak atas tanah dapat ditemukan sebagai berikut :

Pertama, 1). Pada lembaga PTUN,

Dalam Pasal 47 disebutkan pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha negara dan dalam Pasal 53 ayat

1 UU PTUN pada pokoknya disebutkan bahwa seseorang atau badan hukum

perdata yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan

gugatan dengan tuntutan agar keputusan tersebut dinyatakan batal atau tidak sah.

Dengan demikian oleh karena surat keputusan pemberian hak atas tanah oleh BPN

itu merupakan keputusan tata usaha negara, maka gugatan itu dapat diajukan

dimuka lembaga PTUN;

2). Pada lembaga BPN, Dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 3, Pasal 108 dan Pasal 119 Permeneg

Agraria/Kepala BPN di atas yang pada pokoknya disebutkan pembatalan keputusan

pemberian hak atas tanah atau sertifikatnya dilakukan oleh menteri yang

wewenangnya dapat dilimpahkan kepada kepala kantor wilayah propensi atau

kepala kantor pertanahan kota/kabupaten dan pembatalannya itu atas permohonan

atau tanpa permohonan. Dengan demikian terlihat bahwa pembatalan keputusan

pemberian hak atas tanah atau sertifikatnya dapat dilakukan oleh BPN tanpa

melalui proses dimuka lembaga peradilan. Dalam hal BPN menerima permohonan

53Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Cetakan

ke 15, Yogyalarta, 1982, h. 252. 54E. Sumaryono, Etika & Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas

Aquinas, Kanisius, Cetakan ke-5, Yogyakarta, 2002, h. 250.

Page 80: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxx

untuk melaksanakan amar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum

tetap, BPN setelah meneliti putusan tersebut, ia dapat memberikan keputusan

berupa pembatalan atau penolakan permohonan tersebut;

Kedua,

1). Alasan hukum pembatalan oleh PTUN,

Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah oleh PTUN didasari alasan-alasan sesuai Pasal 53 ayat 2 dan penjelasannya yang pada pokoknya disebutkan :

a. keputusan BPN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, baik bersifat prosedur formal dan bersifat materiel substansial;

b. keputusan BPN dikeluarkan atas dasar enyalahgunaan wewenang atau de

tounement de pouvoir, dan

c. keputusan BPN dikeluarkan atas dasar perbuatan sewenang-wenang atau

wullekeur.

2. alasan hukum pembatalan oleh BPN,

Sesuai Pasal 107 keputusan pemberian hak atas tanah dapat dibatalkan bila

keputusan itu mengandung cacat hukum administratif dalam penerbitannya yang

meliputi :

a. adanya kesalahan prosedur; b. kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;

c. kesalahan subyek hak;

d. kesalahan obyek hak;

e. kesalahan jenis hak;

f. kesalahan perhitungan luas;

g. terdapat tumpang tindih hak atas tanah;

h. data yuridis atau data fisik tidak benar da

i. kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

Ketiga,

1). Proses pembatalan dimuka PTUN,

Bahwa permohonan gugatan didaftarkan ke panitera PTUN yang kemudian dilakukan pemeriksaan dismissal yang dilanjutkan dengan pemeriksaan persiapan.

Kemudian dilanjutkan dengan permulaan sidang berupa jawaban BPN sebagai

tergugat atas surat gugatan seseorang atau badan hukum perdata sebagai penggugat,

tanggapan penggugat atas jawaban BPN yang disebut replik, tanggapan BPN atas

replik penggugat yang disebut duplik, proses pembuktian, kesimpulan selama

sidang dan selanjutnya putusan majelis hakim PTUN. Dari putusan tersebut para

pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat mengajukan upaya hukum berupa

banding ke pengadilan tinggi TUN dan kasasi ke Mahkamah Agung serta dapat

mengajukan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung;

2). Proses pembatalan di BPN,

Bahwa permohonan pembatalan dapat diajukan melalui kepala kantor Pertanahan

Kota/kabupaten, kepala kantor Wilayah BPN Propensi atau dapat langsung kepada Kepala BPN. Setelah permohonan diterima dilakukan penelitian kebenaran

Page 81: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxi

permohonan dan kemudian menerbitkan keputusan pembatalan atau penolakan

permohonan tersebut. Proses pembatalan ini dapat dilakukan BPN sendiri tanpa ada

permohonan. Dalam hal BPN menerima permohonan untuk melaksanakan amar

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan ia menolak

permohonannya, maka BPN minta fatwa Mahkamah Agung.

Keempat, 1). Pelaksanaan putusan pembatalan oleh PTUN,

Salinan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang

membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah dikirimkan kepada Kepala

Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten dan bila tidak dilaksanakan secara benjenjang

akan dikirimkan kepada kepala Kantor Wilayah BPN Propensi, Kepala Badan

Pertanahan Nasional dan bila putusan masih tidak tetap tidak dilaksanakan, Ketua

Pengadilan mengirimkan surat kepada Presiden sebagai atasan langsung Kepala

BPN. Dengan demikian pelaksanaan putusan PTUN menunggu itikad baik pejabat

BPN yang oleh Paulus Effendie Lotulung disebut ai atas sebagai rasa self respect

dan kesadaran hukum pejabat PTUN untuk melaksanakan putusan, hal ini dapat

difahami mengingat PTUN menurut S.F. Marbun tidak memiliki lembaga

eksekutorial yang secara khusus berfungsi melaksanakan putusannya,55 dengan demikian putusan itu tidak dapat dieksekusi atau noneksekutabel56; dan

2). Pelaksanaan keputusan pembatalan oleh BPN,

Keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah dan sertfikat oleh Kepala BPN atau

Kepala Kantor Wilayah BPN Propensi langsung dapat dilaksanakan oleh Kepala

Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten. Dalam hal surat keputusan pemberian hak atas

tanah atau sertifikat yang dibatalkan tidak diserahkan dan atau dikembalikan

kepada kantor Pertanahan, maka Kepala Pertanahan mencatat batalnya surat

keputusan dan sertifikat pada Buku Tanah dan daftar umum lainnya yang ada pada

administrasi pendaftaran tanah serta mengumumkan surat keputusan pembatalan itu

di surat kabar harian setempat.57

Dengan demikian pelaksanaan putusan pembatalan hak atas tanah pada PTUN menunggu itikad baik BPN, sedangkan pelaksanaan keputusan pembatalan

pemberian hak atas tanah pada BPN langsung dapat dilaksanakan tanpa menunggu

itikad baik yang dibatalkan.

Mengkaji uraian tersebut diatas dapat ditemukan empat perbedaan antinomi

norma hukum, yaitu :

55S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di

Indonesia, Liberty, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, 1997, h. 325. 56M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,

Gramedia, Jakarta, 1988, h. 309. 57Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3-v-2002, tanggal

17 Oktober 2002, Tentang Pembatalan Sertifikat.

Page 82: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxii

1). Wewenang PTUN berbeda dengan wewenang BPN untuk membatalkan keputusan

pemberian hak atas tanah dan atau sertifikat;

2). Alasan hukum PTUN dalam membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah

berbeda dengan alasan hukum BPN; dan

3). Proses pembatalan pemberian hak atas tanah pada PTUN berbeda dengan di BPN;

dan 4). Pelaksanaan putusan atau eksekusi PTUN yang mempunyai kekuatan hukum tetap

yang membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah berbeda dengan

pelaksanaan keputusan pembatalam pemberian hak atas tanah oleh BPN.

Dilihat dari segi asas hukum, baik lembaga PTUN maupun lembaga BPN pada

prinsipnya memiliki asas yang sama, yaitu penyelesaian sengketa dilakukan dengan

cara yang sederhana. Secara umum PTUN mengikuti asas peradilan dilakukan

dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, sesuai Pasal 4 ayat 2 UU No. 35 tahun

1999, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara khusu

menerapkan asas hukum “pemeriksaan dengan secara singkat” serta “pemeriksaan

dengan acara cepat” sesuai Pasal 62 ayat 4 dan 98 UU PTUN. Demikian juga BPN

memiliki asas hukum “penyelesaian sengketa pertanahan dilakukan secara cepat

dan tuntas” sesuai konsideran huruf c Kepres No. 26 Tahun 1998, tentang BPN dan konsideran huruf b Permeneg. Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun 1999, tentang

Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, oleh karena itu asas hukum pada

kedua lembaga tersebut tidak saling bertentangan, sedangkan dari segi norma

hukum keduanya saling bertentangan dalam wewenang pembatalannya.

B. Penyerasian Antinomi Norma Hukum Penerapan Pembatalan Pemberian hak

Atas tanah

Adanya antinomi norma hukum pembatalan pemberian hak atas tanah seperti

yang dijabarkan diatas karena sistem hukum PTUN dengan BPN berbeda. Perbedaan

pokoknya terletak pada kewenangan dan dasar atau alasan pembatalannya. PTUN

memiliki wewenang mengadili sengketa pertanahan yang kemudian dapat menyatakan batal atau tidak sah keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan

BPN dan BPN memiliki wewenang mebatalkan keputusan pemberian hak atas tanah

yang ia terbitkan sendiri oleh Ali Achmad Chomzah disebut penyelesaian secara

administrasi yang merupakan koreksi serta merta dari pejabat PTUN58, sedangkan

Maria S.W. Sumardjono mengemukakan sengketa pertanahan dalam berbagai dimensi

yang pada umumnya diselesaikan melalui keputusan administrasi.59

58Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2003,

h. 29. 59Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Anatara Regulasi &

Implementasi, Buku Kompas, Jakarta, 2001, h. 48.

Page 83: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxiii

Demikian pula dasar atau alasan pembatalannya juga berbeda antara PTUN

dengan BPN. PTUN membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan

BPN itu dengan alasan, yaitu :

a. keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, atau

b. adanya penyalahgunaan wewenang, atau c. adanya perbuatan sewenang-wenang;

sedangkan BPN dalam membatalkan keputusannya sendiri berupa pemberian hak atas

tanah dengan alasan adanya cacat hukum administratif dalam penerbitannya seperti

disebutkan sebelumnya. Dasar pembatalan oleh PTUN dapat memandang argumentasi

hukum, apakah BPN yang mengadakan koreksi administratif terhadap produknya

sendiri berupa pembatalan pemberian hak atas tanah karena adanya cacat hukum

administratif itu dapat dikategorikan PTUN sebagai keputusan BPN yang bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau BPN menyalahgunakan

wewenangnya, atau BPN telah berbuat sewenang-wenang ?. Demikian pula dalam hal

BPN membatalkan pemberian hak atas tanah dengan alasan telah ditemukan adanya

cacat hukum administratif dalam keputusannya itu bukan termasuk sengketa pertanahan

yang merupakan wewenang PTUN ?. Perbedaan norma hukum dalam pembatalan hak atas tanah ini yang

mengakibatkan adanya antinomi, padahal suatu sistem hukum ini seharusnya

merupakan kesatuan utuh dari aturan-aturan yang saling berhubungan, sistem hukum

juga untuk menyelesaikan sengketa atau dispute settlement, dengan kata lain

menurutnya sistem hukum itu merupakan agen penyelesaian sengketa. Jadi pada

hakekatnya sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo merupakan suatu kesatuan

hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian yang di dalamnya setiap masalah

menemukan jawaban atau penyelesaiannya. Di Dalam sistem hukum tidak dikehendaki

adanya konflik dan jika terjadi konflik tidak akan dibiarkan,60 namun apakah PTUN

yang pembentukannya dari undang-undang dan BPN yang pembentukannya dari Kepres

itu merupakan suatu sistem hukum perlu dikaji lebih lanjut. Mengikuti pandangan sistem hukum yang dikemukakan di atas terlihat bahwa

baik wewenang PTUN maupun wewenang BPN untuk membatalkan pemberian hak atas

tanah masih belum memadai untuk disebut sebagai suatu sistem hukum, mengingat

pembatalan pemberian hak yang ia laksanakan masih belum dapat menyelesaikan

sengketa pertanahan dan bahkan dapat menimbulkan konsekuensi hukum berkelanjutan

yang pada gilirannya merugikan masyarakat pencari keadilan, oleh karena itu perlu

menyerasikan antinomi pada kedua norma hukum tersebut.

Guna memecahkan masalah antinomi norma hukum tersebut ada tiga pilihan

untuk mengatasinya yang oleh Dert Fredrik Malt disebut tiga pilihan penyelesaian

secara tradisional. Ia mengatakan ketiga aturan umum atau prinsip umum ia sebutkan

sebagai berikut :

60 Sudikno Mertokusumo, Mengenal …., Op. Cit., h. 116-119.

Page 84: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxiv

1. The lex posterior principle : lex posterior derogat legi priori, yaitu Undang-undang

yang kemudian mengalahkan yang terdahulu;

2. The lex posterior principle : lex specialis derogat legi generali, yaitu Undang-

undang khusus mengalahkan yang umum; dan

3. The lex posterior principle : lex superrior legi inferior, yaitu Undang-undang yang

lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.61 Pada prinsip lex posterior , antara PTUN dengan BPN tidak dapat diterapkan, oleh

karena baik PTUN maupun BPN dalam pembatalan pemberian hak atas tanah norma

hukumnya berbeda, artinya keduanya tidak dapat saling mengesampingkan dengan

menyatakan norma hukum yang satu ada setelah norma hukum lainnya. Pada prinsip lex

specialis , norma hukum PTUN secara umum bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, artinya tidak secara khusus

menangani sengketa pertanahan, sedangkan BPN norma hukumnya secara khusu untuk

membatalkan pemberian hak atas tanah. Dengan demikian norma hukum BPN yang

secara khusus membatalkan pemberian hak atas tanah dapat mengesampingkan norma

hukum PTUN yang bersifat umum berwenang menyelesaikan sengketa tata Usaha

negara. Demikian pula pada prinsip lex superior , keputusan BPN membatalkan

pemberian hak atas tanah, oleh karena BPN dibentuk oleh Kepres sedangkan PTUN dibentuk oleh Undang-undang yang susunan tata hukumnya lebih tinggi.

Penerapan salah satu dari tiga prinsip umum tersebut tidaklah mudah, dengan

argumentasi, siapakah yang berwenang menentukan pilihan ketiga prinsip umum itu

dalam pembatalan pemberian hak atas tanah ?, oleh karena itu kemudian Gert Frederik

Malt menyatakan penggunaan salah satu dari ketiga prinsip tersebut dapat menyesatkan

dan menimbulkan akibat-akibat hukum, karena memilih salah satu prinsip dari

ketiganya itu berarti meremehkan prinsip lainnya.62

Kajian antinomi penerapan norma hukum pembatalan pemberian hak atas

tanah ini menunjukkan bahwa tidak secara keseluruhan norma hukum yang ada pada

PTUN bertentangan dengan seluruh norma hukum pada BPN, demikian juga

sebaliknya. Dalam hal yang demikian itu Samsul Wahidin menyebutkan pertentangan aturan hukum ada dua, yaitu :

1. pertentangan secara keseluruhan dan

2. pertentangan pasal-pasalnya atau sebagaian.63

Sedangkan dalam kajian ini hanya sebagian saja norma hukum yang menjadi antinomi,

oleh karena itu remedy ini dapat digunakan untuk menyerasikan antinomi norma hukum

pembatalan pemberian haka atas tanah. Anotasi norma hukum yang dapat diserasikan

sebagai berikut :

61Gert Fredrik Malt, Coherence and Conflict in Law, Kluwer Law and Taxation

Publishers Deventer/Boston, Amsterdam, 1992, h. 203. 62Ibid, 63Samsul Wahidin, Hak Mengiji Materiil Menurut UUD 1945, Cendana Press,

Edisi Pertama. Cetakan Pertama, jakarta, 1984, h. 49.

Page 85: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxv

1. alasan atau dasar pembatalan yang digunakan BPN berupa cacat hukum

administrasi dapat diadopsi atau diambil alih PTUN dalam membatalkan

pemberian hak atas tanah. Dasar pembatalan adanya cacat hukum administratif

dalam pemberian hak atas tanah lebih terinci atau spesifik yang didefisinikan

BPN dibandingkan dengan dasar pembatalan yang digunakan yang sifatnya

umum, yaitu : keputusan BPN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Pasal 53;

2. BPN meneliti adanya keputusan pemberian hak atas tanah yang mengandung

cacat hukum administrasi, sedangkan proses penyelesaian pembatalan

keputusan di BPN yang bersifat tertutup itu diserahkan kepada hukum acara

PTUN yang merupakan lembaga peradilan sebagai penyelenggara kekuasaan

kehakiman yang merdeka dan proses pemeriksaannya bersifat terbuka untuk

umum;

3. pelaksanaan putusan PTUN atau eksekusi pembatalan pemberian hak atas

tanah diserahkan kepada BPN untuk melaksanakannya. Pelaksanaan

pembatalan di BPN berupa pengumuman di harian umum lebih sederhana

dengan biaya iklan yang sudah pasti dibandingkan dengan pelaksanaan putusan

pembatalan di PTUN dengan biaya tidak pasti dan belum tentu dilaksanakan oleh BPN.

Penyerasian antinomi norma hukum tersebut diatas dengan remedy ini dapat

menjadi sistem hukum dalam pembatalan pemberian hak atas tanah. Seperti

dikemukakan sebelumnya bahwa sistem hukum ini merupakan kesatuan yang saling

berhubungan dan di dalam sistem hukum itu tidak dikehendaki adanya konflik.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebelumnya, maka dapat saya

tarik kesimpulan dengan rumusan sebagai berikut:

1. a. Pembatalan pemberian hak atas tanah milik orang atau badan hukum perdata

mengandung konsekuensi yuridis sebagai berikut : (a). selama proses sengketa hak atas tanahnya tidak dapat dijaminkan atau dipindah

tangankan kepada pihak lain;

(b). selama proses sengketa pihak lain yang merasa berkepentingan dapat

mengajukan intervensi;

(c). dalam hal putusan PTUN yang membatalkan pemberian hak atas tanah

memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak lain yang merasa dirugikan atas

putusan PTUN itu dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN

tersebut; dan

(d). putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap belum tentu

dilaksanakan BPN, oleh karena putusan PTUN tidak mempunyai kekuatan

eksekutorial.

Page 86: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxvi

b. pembatalan pemberian hak atas tanah melalui BPN :

(a). keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah oleh BPN masih dapat

dipermasalahkan oleh pihak lain yang dirugikan melalui gugatan di PTUN;

(b). apabila keputusan pembatalan oleh BPN diketahui pihak lain yang dirugikan

lebih dari sembilan puluh hari, gugatan dapat diajukan dimuka lembaga

peradilan umum atau pengadilan negeri; dan (c). selama proses pembatalan, hak atas tanahnya masih dapat dijaminkan dan

dipindah tangankan kepada pihak lain.

2. Penerapan pembatalan pemberian hak atas tanah di dua lembaga, yaitu lembaga

PTUN dan lembaga BPN dapat menimbulkan antinomi dan antinomi norma hukum

tersebut mengakibatkan tidak adanya keadilan, kepastian hukum dan

kemanfaatannya bagi masyarakat pencari keadilan, sehingga bertentangan pula

dengan tujuan ideal UUPA antara lain untuk membawakan kemakmuran,

kebahagiaan, keadilan dan kepastian hukum.

Guna menghindari terjadinya antinomi norma hukum pembatalan hak atas tanah,

penyelesaiannya melalui musyawarah melalui penyerasian, artinya norma hukum

PTUN diserasikan dengan notma hukum BPN. Penyerasiannya dengan

menggunakan konsep remedy atau pembetulan. Konsep ini tidak saling menyingkirkan norma hukum lainnya, namun saling melengkapi kelemahan

masing-masing norma hukumnya.

SARAN

Mencermati adanya antinomi norma hukum penerapan pembatalan pemberian

hak atas tanah dan penyelesaian alternatifnya dengan menggunakan remedy atau

pembetulan, penulis menyampaikan saran sebagai berikut :

1. Wewenang BPN yang semula meneliti adanya pemberian hak atas tanah atau

sertifikat yang cacat hukum administrasi dan selanjutnya melakukan proses untuk

menerbitkan keputusan pembatalan, hendaknya dibatasi hanya pada penelitian saja

yang menentukan cacat hukum administrasi, sedangkan proses pembatalannya menggunakan hukum acara PTUN.

Disamping itu Alasan atau dasar pembatalan pemberian hak atas tanah yang

dilakukan oleh PTUN dengan menggunakan Pasal 53 UU PTUN sebagai acuan

hendaknya dikesampingkan dan mengadopsi saja alasan atau dasar pembatalan

yang digunakan BPN yang mengacu pada cacat hukum administrasi. Anotasinya,

definisi cacat hukum administrasi yang digunakan BPN lebih spesifik dan sampai

sekarang sulit ditemukan sengketa pertanahan diluar definisi tersebut, dan

pelaksanaan putusan PTUN yang mempunyai kekuatan hukum tetap hendaknya

menghadapi pelaksanaan keputusan yang digunakan BPN, yaitu cukup dengan

mencatat dan mematikan buku tanahnya serta mengumumkannya pada harian

umum setempat. Anotasinya pelaksanaan keputusan pembatalan yang dilakukan

BPN lebih konkrit, yaitu memenuhi asas sederhana, cepat dan biaya ringan, dan biaya yang dikeluarkan lebih pasti, yaitu biaya iklan pengumuman saja.

Page 87: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxvii

2. Landasan hukum berpijak guna mewujudkan penyerasian antinomi tersebut

tentunya tidak cukup dengan adanya political will lembaga pemerintah dan

lembaga yudicial saja, namun lebih dari itu, yaitu harus ada kemauan hati dari

kedua lembaga tersebut dengan semangat sebagai Abdi Rakyat. Kemauan hati itu

dapat diwujudkan sebagai berikut :

a. merevisi atau membuat remedy Kepres No. 26 Tahun 1998, tentang BPN jo Kepres No. 154 Tahun 1999, tentang Perubahan Kepres No. 26 Tahun 1988,

tentang BPN;

b. merevisi atau membuat remedy Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun

1999, tentang Tata cara Penanganan Sengketa Pertanahan jo No. 3 Tahun

1999, tentang pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan

Keputusan Pemberian hak Atas tanah Negara jo. No. 9 Tahun 1999, tentang

Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan hak Atas tanah Negara Dan Hak

Pengelolaan.

Page 88: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxviii

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Oleh:

Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.*4

ABSTRAK

Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian hutang menurut

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selama ini perjanjian

penanggungan merupakan jaminan perorangan maupun corporate

guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu diadakan antara

kreditur dan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri

untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak

memenuhinya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1820 KUHPerdata.

Kata Kunci : Akibat Hukum – Perjanjian Hutang – KUH Perdata.

LATAR BELAKANG

Sampai saat ini perjanjian hutang atau perjanjian kredit yang dibuat antara

bank dengan nasabah debitur telah dibuat dengan berlandaskan semata-mata hanya

kepada asas kebebasan berkontrak. Sebagaimana lazimnya pada setiap pembuatan

perjanjian yang semata-mata berlandaskan pada asas tersebut, maka juga pada perjanjian kredit, masing-masing pihak berusaha untuk merebut atau menciptakan

dominasi terhadap pihak lainnya, jadi yang saling berhadapan ialah antara dua lawan

janji bukan mitra janji.

Dalam hal perjanjian hutang biasanya kedudukan bank sebagai kreditur dan

nasabah sebagai debitur tidak pernah seimbang. Ada kalanya bank lebih kuat daripada

nasabah debitur dalam hal nasabah debitur termasuk pengusaha golongan ekonomi

lemah. Namun bila bank berhadapan dengan nasabah yang termasuk konglomerat, maka

kedudukan bank lemah. Yang lebih memprihatinkan lagi para konglomerat ini adalah

setelah memperolah bantuan hutang justru pemerintah memberi pengampunan kepada

*1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.

Page 89: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxix

para konglomerat yang berhutang, yang sangat dirasakan berat oleh

masyarakat adalah bebasnya dari kewajiban pembayaran utang tersebut. Akibatnya,

pada hakikatnya utang puluhan triliun untuk setiap konglomerat itu paling banyak hanya

bisa tertagih 30%. Perbedaan sebesar 70% dari nilai utang merupakan kerugian negara

dan dibebankan kepada rakyat, melalui pembebanan pajak.5

Lain halnya pada golongan ekonomi lemah, maka posisinya selalu lemah, terlebih pada saat pengajuan perjanjian kredit, hal tersebut dirasa karena pada saat

pembuatan perjanjian itu calon nasabah debitur sangat membutuhkan bantuan kredit

dari bank. Dalam hal demikian itu pada umumnya calon nasabah debitur tidak akan

banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan

oleh bank. Hal itu menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi sangat kuat.

Sehingga perjanjian hutang atau kredit bank yang dilandaskan hanya pada asas

kebebasan berkontrak semata-mata isi atau klausul-klausulnya dapat sangat berat

sebelah, yaitu akan lebih banyak melindungi kepentingan pihak yang kuat.

Di dalam praktek perbankan yang lazim di Indonesia, pada umumnya

perjanjian kredit bank yang dipakai adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang

klausul-klausulnya telah disusun sedemikian rupa oleh bank, dengan demikian maka

calon nasabah sebagai calon debitur hanya mempunyai pilihan antara menerima seluruh isi dari perjanjian itu atau tidak bersedia menerima klausul-klausulnya itu sebagian atau

seluruhnya yang berakibat nasabah tidak akan menerima kredit tersebut. Oleh karena

perjanjian-perjanjian kredit bank di Indonesia dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau

dibuat dengan klausul-klausul baku, maka ada kemungkinan dapat menimbulkan hal-hal

negatif dalam arti pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat dapat

memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat

keuntungan dari tindakannya tersebut, padahal dalam perjanjian telah ditegaskan

mengenai jaminan umum yang dimiliki oleh debitur, inipun masih dianggap kurang

kuat.

Dalam Pasal 1131 KUHPerdata dijelaskan bahwa segala kebendaan seorang,

baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.

Meskipun demikian, jaminan secara umum itu sering dirasakan kurang cukup dan

kurang aman oleh pihak kreditur, terlebih jika ada banyak kreditur, ada kemungkinan

beberapa orang dari mereka tidak lagi mendapat bagian. Dengan adanya kemungkinan

tersebut maka seringkali seorang kreditur minta diberikan jaminan khusus dan jaminan

khusus ini bisa berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fiduciair) dan bisa juga

5 Catatan Redaktur, Aspek Pajak R&B, Harian Bisnis Indonesia, Jakarta,

Senin, 2 Desember 2002, h. 5

Page 90: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xc

berupa jaminan perorangan. Yang terakhir inilah yang dinamakan penanggungan hutang

atau sering disebut dengan “borgtocht atau quaranty”.6

Jadi penanggungan hutang merupakan suatu bentuk jaminan yang bersifat

pribadi dan dalam hal ini adanya akan menunjang setelah adanya jaminan kebendaan

tersebut, sehingga penanggungan ini bersifat tambahan saja. Sedangkan munculnya

kewajiban untuk memberikan penanggungan atau penjaminan pada umumnya kadang-kadang timbul dari dalam undang-undang atau dari dalam suatu keputusan atau

penetapan.7 Seperti diketahui dalam hukum perdata dikenal pembagian atas hak

kebendaan yang memberi kenikmatan dan memberi jaminan. Atas hak kebendaan yang

memberi jaminan pada dasarnya dapat ditujukan terhadap benda bergerak dan benda

tetap. Dengan demikian yang dimaksud dengan jaminan kebendaan adalah jaminan

yang objeknya adalah benda baik bergerak maupun tetap. Atas benda tetap lembaga

jaminan yang disediakan dalam KUHPerdata adalah hipotik, kemudian dengan lahirnya

Undang-undang No. 4 Tahun 1996 disediakan lembaga jaminan khusus atas tanah

berupa hak tanggungan. Atas benda bergerak dalam KUHPerdata disediakan lembaga

jaminan berupa gadai, namun karena kebutuhan masyarakat diadakanlah lembaga

jaminan lembaga fidusia.

Dalam praktek perjanjian hutang terkadang, tidak hanya adanya jaminan umum tersebut oleh kreditur sebagai benda jaminan sebagai salah satu persetujuan perjanjian

hutang. Hal ini dimaklumi, sehubungan seringkali pihak kreditur harus mengalami

kekecewaan dan kerugian karena debiturnya bukanlah orang yang beritikad baik

sehingga dengan mudahnya memperalihkan objek jaminan yang ada dalam

kekuasaannya. Fakta tersebut menyebabkan adanya ketidakpastian hukum khususnya

bagi kreditur pemegang jaminan kebendaan tersebut, sementara fungsi jaminan sendiri

sebenarnya adalah untuk memberikan kepastian hukum.

Menyadari fungsi dan peranan jaminan dalam perjanjian hutang sangat

menentukan maka, disamping jaminan umum yang bersifat kebendaan tersebut dalam

KUHPerdata, khususnya pasal 1820 memberikan tambahan berupa jaminan perorangan

atau yang sering disebut dengan penanggungan. Hal ini perlu terutama dalam mendukung kelangsungan dunia usaha, serta sejalan dengan keinginan untuk

menegakkan supremasi hukum, yaitu adanya kepastian hukum kreditur atas kembalinya

uang yang telah dihutangkan kepada debitur.

Atas dasar pemikiran tersebut, kemudian adanya ketentuan seseorang bebas

untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya, termasuk

didalamnya dalam perjanjian hutang, maka para pihak bebas pula untuk memilih pihak

mana yang layak sebagai kreditur begitu pula sebaliknya, pihak kreditur yang seringkali

memiliki posisi yang kuat, bebas pula untuk memilih pihak mana yang layak sebagai

6 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid II, Rajawali, Jakarta,

1984, h. 445 7 Ibid, h. 444

Page 91: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xci

debiturnya, sehingga permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini dapat

dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah sistem perjanjian hutang pada umumnya di Indonesia ?

b. Bagaimanakah bentuk dan sifat penanggungan dalam perjanjian hutang menurut

Kitab Unsdang-undang Hukum Perdata ?

PERJANJIAN HUTANG PADA UMUMNYA

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPerdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih

lainnya. Ketentuan dalam pasal ini dinilai kurang tepat, karena ada beberapa

kelemahan-kelemahan, diantaranya adalah, hanya menyangkut sepihak saja, dengan

kata “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, seharusnya rumusan

itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak.

Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan, tindakan melawan

hukum, yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah

“persetujuan”,

Pengertian perjanjian terlalu luas, karena mencakup juga perjanjian kawin

yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku

III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan

bersifat kepribadian (personal). Tanpa menyebut tujuan, dalam rumusan diatas tidak

disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu

tidak jelas untuk apa.8

Berdasarkan alasan-alasan diatas, maka perjanjian sebenarnya dapat

dirumuskan sebagai berikut :

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling

mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.

Sehingga apabila diperinci, maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur

sebagai berikut :

a. ada pihak-pihak, paling sedikit dua orang, (subyek) b. ada persetujuan antara pihak-pihak itu ( konsensus)

8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,

2000, h. 224

Page 92: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xcii

c. ada obyek yang berupa benda,

d. ada tujuan bersifat kebendaan,

e. ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.9

Kemudian untuk membentuk perbuatan hukum yang disebut perjanjian diatas,

dalam pasal 1320 KUHPerdata menentukan empat hal syarat yang harus dipenuhi, syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

b. kecakapan untuk membuat perjanjian,

c. suatu hal tertentu,

d. suatu sebab yang halal.10

Selanjutnya mengenai perikatan merupakan hubungan hukum antara dua

orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari

pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak

menuntut sesuatu tadi dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang

berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.

Dari kedua pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perikatan

merupakan pengertian yang abstrak yaitu menyangkut hak dan kewajiban, sedangkan perjanjian merupakan pengertian yang konkrit yaitu perbuatan.11

Oleh karena itu, hubungan antara perjanjian dan perikatan dapat dibandingkan

dengan kejadian dan akibat adalah kejadian merupakan perjanjian sedangkan akibat

sebagai perikatan. Secara luas kejadian itu meliputi fakta hukum atau peristiwa hukum.

Peristiwa hukum ini terdiri dari :

a. Perbuatan hukum, yang terbagi menjadi :

1. Perbuatan hukum yang dilakukan dengan tujuan menimbulkan suatu akibat

hukum tertentu, bisa bersifat sepihak atau timbal balik, dan dapat berbentuk

lisan atau tertulis. Perjanjian termasuk dalam pengertian ini,

2. Perbuatan hukum yang dilakukan bukan dengan tujuan menimbulkan akibat

hukum, perbuatan ini terbagi lagi menjadi 2.1. Perbuatan hukum yang sah ( sesuai pasal 1354 dan 1359 KUHPerdata )

2.2. Perbuatan hukum yang tidak sah ( perbuatan melawan hukum, pasal 1365

KUHperdata )

9 Ibid, h. 225 10 Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unusr-unsur Perikatan, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1985, h. 28 11 Ibid, h. 23

Page 93: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xciii

b. Bukan perbuatan hukum, misalnya lahirnya anak (pasal 250 KUHPerdata), hidup

bertetangga (pasal 625 KUHPerdata). Mengenai hal-hal ini, undang-undang

menentukan adanya akibat hukum tertentu yaitu perikatan.12

Mengenai hubungan antara perjanjian dan perikatan dapat juga dikatakan

bahwa perjanjian merupakan sumber dari perikatan, bahkan salah satu sumber yang terpenting disamping sumber-sumber yang lain. Dari pasal 1233 KUHPerdata dijelaskan

bahwa sumber perikatan diantaranya adalah perjanjian dan undang-undang.

Dari beberapa uraian diatas maka perjanjian hutang yang didasarkan atas

penanggungan perorangan, segala kebendaan seorang, baik yang bergerak maupun yang

tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi

tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan, sesuai dengan pasal 1131

KUHPerdata.13

B. Pengelompokan Sistem Perjanjian di Indonesia

Mengenai sistem yang dianut dalam Buku III KUHPerdata tentang hukum

perikatan ini dikatakan menganut sistem terbuka dan sifatnya adalah sebagai pelengkap

artinya bahwa Para pihak diperbolehkan membuat perjanjian apapun, asal isinya tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sesuai dengan

pasal 1337 KUHPerdata. Jika para pihak tidak mengatur perjanjian yang mereka buat

secara lengkap, maka undang-undang akan melengkapinya.14

Mengenai sistem terbuka dan sifat pelengkap yang dianut dalam Buku III KUHPerdata itu sebagian kalangan menyimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) yang

menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.15

Dengan menekankan pada perkataan “semua” maka pasal tersebut seolah-olah

berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat

perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan

mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.

Didalam hukum perjanjian berlaku juga asas konsensualisme, yang berarti

untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Sehingga suatu perjanjian

kadang juga dinamakan dengan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau

bersepakat mengenai sesuatu hal. Arti asas konsensualisme, pada dasarnya perjanjian

12 Ibid, h. 24. 13 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,

h. 163 14 Oey Hoey Tiong, Op.Cit, h. 29 15 Ibid, h. 30

Page 94: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xciv

dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya

kesepakatan.16

Sedangkan perjanjian-perjanjian sendiri dapat dikelompokkan menurut

berbagai cara, diantaranya adalah :

a. Bila dipandang dari sudut hak dan kewajiban para pihak maka perjanjian dapat

dibedakan atas : i. Perjanjian-perjanjian timbal balik adalah perjanjian-perjanjian dimana masing-

masing pihak mempunyai hak dan kewajiban terhadap pihak lain. Contoh

dalam perjanjian hutang, pihak debitur berhak atas uang yang disepakati dan

berkewajiban membayar kembali hutang tersebut sesuai dengan jumlah yang

diperjanjikan sedangkan kreditur berhak untuk menerima kembali uangnya dan

berkewajiban untuk memberikan pinjaman kepada debitur sesuai yang

disepakati.

ii. Perjanjian-perjanjian yang sepihak, perjanjian ini dimana hanya salah satu

pihak saja yang mempunyai hak sedangkan pihak lainnya hanya mempunyai

kewajiban, seperti dalam perjanjian pemberian hadiah, hibah atau wasiat.17

iii. Perjanjian-perjanjian timbal balik yang tidak sempurna, merupakan perjanjian yang senantiasa timbul suatu kewajiban pokok bagi satu pihak, tetapi mungkin

juga pihak lainnya wajib untuk melakukan sesuatu, tanpa disitu dengan tegas

ada prestasi-prestasi yang satu dengan yang lain saling seimbang.18

b. Bila dipandang dari sudut imbalan antar pihak, maka perjanjian itu dapat dibedakan

atas :

i. Perjanjian-perjanjian atas beban, yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak

masing-masing terbebani kewajiban terhadap pihak lain, perjanjian ini disebut

juga dengan perjanjian imbalan. Contoh, dalam perjanjian jual beli, pergantian

ganti rugi.

ii. Perjanjian-perjanjian tanpa beban atau tanpa imbalan, yaitu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan sesuatu kepada pihak lain tanpa imbalan atau

kewajiban apapun, jadi secara cuma-cuma.

c. Bila dipandang dari sudut kemungkinan terlaksananya, maka perjanjian dapat

dibedakan atas :

i. Perjanjian biasa, yaitu perjanjian yang pada dasarnya akan ditepati oleh para

pihak bila tidak ada sebab-sebab tertentu yang membatalkannya dan hal yang

diperjanjikan sudah pasti,

16 Subekti, op.cit, h. 15 17 A. Ridwan Halim, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1984, h. 155 18 H.F.A. Vollmar, op.cit, h.134

Page 95: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xcv

ii. Perjanjian untung-untungan, yaitu perjanjian yang belum pasti terjadi dan

kalau terjadi dapat mendatangkan keuntungan atau mungkin juga kerugian atau

resiko bagi salah satu pihak.

d. Bila ditinjau dari sudut kekuatan yang mendasarinya, maka perjanjian itu dapat

dibedakan atas, i. Perjanjian kesepakatan ( konsensuil ), yaitu perjanjian yang baru terjadi atas

dasar kata sepakat atau persetujuan para pihak yang bersangkutan.

ii. Perjanjian nyata ( riil ), yaitu perjanjian yang terjadi disamping berdasarkan

kata sepakat juga telah terjadi suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan,

misalnya dengan penyerahan barang atau sejumlah uang sebelumnya dan

sebagainya.

e. Bila ditinjau dari sudut pandang tingkatan kepentingan maka perjanjian itu dapat

dibedakan atas :

i. Perjanjian primer (utama), yaitu perjanjian yang berisi hal-hal pokok yang

mengikat kedua belah pihak untuk dipenuhi, seperti perjanjian hutang

merupakan salah satu diantaranya, ii. Perjanjian sekunder (tambahan), yaitu perjanjian yang timbul kemudian

sehubungan dengan akibat dari adanya perjanjian primer, jadi lahirnya sebagai

akibat sampingan dari adanya perjanjian pokok diatas, contoh perjanjian

penanggungan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokok

sebelumnya yaitu perjanjian hutang.

f. Bila dikaji dari sudut pandang pengaturan masalah yang disebutkan dalam perjanjian

maka perjanjian itu dapat dibedakan atas :

i. Perjanjian bernama, umpamanya perjanjian hutang, perjanjian jual beli, dan

sebagainya,

ii. Perjanjian tak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian lainnya yang tidak termasuk dalam perjanjian bernama dan diatur tersendiri (perjanjian-perjanjian

khusus).19

Disamping pembedaan-pembedaan yang sudah disebut masih ada petunjuk-

petunjuk untuk kategori-kategori perjanjian khusus, yaitu sebagai berikut :

a. Perjanjian liberator kebalikan dari obligator. Liberator ini merupakan perjanjian

pembebasan hutang, sesuai dengan pasal 1474 KUHperdata,

b. Perjanjian-perjanjian pembuktian dan perjanjian penetapan,

c. Perjanjian yang bersifat hukum publik, yaitu perjanjian-perjanjian yang seluruhnya

atau sebagian diliputi oleh hukum publik.20

19 A. Ridwan Halim, Op.Cit, h. 155-157

Page 96: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xcvi

C. Prestasi Yang Lahir Setelah Adanya Perjanjian Hutang

Seperti dijelaskan diatas bahwa suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa

dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji

untuk melaksanakan sesuatu. Hal yang harus dilaksanakan itu didalam perjanjian

dinamakan prestasi.

Yang dimaksud dengan prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh

debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah obyek perikatan. Dalam hukum perdata

kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai dengan jaminan harta kekayaan debitur.

Dalam pasal 1131 dan pasal 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua harta

kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur. Tetapi

jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang

ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.

Sedangkan prestasi yang lahir setelah adanya perjanjian hutang ini dapat

disimak pada pasal 1234 KUHPerdata, dinyatakan bahwa terdapat tiga kemungkinan

wujud prestasi yaitu :

a. Memberikan sesuatu

Dalam pasal 1235 KUHPerdata memberikan sesuatu ini adalah menyerahkan

kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam

hutang piutang, dalam hal ini kewajiban si berhutang untuk menyerahkan

kebendaan yang bersangkutan sebagai barang jaminan kepada si berpiutang dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat

penyerahan.

b. Berbuat sesuatu,

Disini debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam

perjanjian, misalnya untuk mengosongkan rumah jika si berhutang tidak mampu

lagi untuk membayar atau mengembalikan seluruh hutang-hutangnya kepada si

berpiutang,

c. Tidak berbuat sesuatu,

Disini debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian,

mislanya, tidak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tapi jika debitur

berbuat berlawanan dengan perjanjian ini ia bertanggung jawab karena ia telah

melanggar perjanjian yang telah disepakatinya. Sedangkan prestasi yang lahir setelah adanya perjanjian hutang, akan

bermasalah jika si berhutang (debitur) tidak menepati janjinya kepada si berpiutang

20 H.F.A. Vollmar, Op.Cit, h. 134-135

Page 97: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xcvii

(kreditur) sehingga si berhutang tidak mampu lagi melaksanakan prestasinya dengan

baik. Padahal seperti dijelaskan diatas, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah dapat

berakibat :

a. dapat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,

b. perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau

karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan c. perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik, dalam hal ini baik debitur

maupun kreditur harus mampu melaksanakan prestasinya dengan baik.

Dalam perjanjian hutang ini, jika salah satu pihak tidak melaksanakan

kewajibannya dan isi dari perikatan itu tentunya telah diketahui oleh kedua belah pihak.

Dalam hal perjanjian hutang ini, agar terjamin bahwa debitur akan melunasi hutangnya

tepat pada waktunya maka diadakan suatu perjanjian somasi (ancaman) bahwa bila

debitur terlambat membayar hutangnya, maka untuk tiap bulan terlambat ia harus

membayar bunga misalnya 10 % dari jumlah hutang yang masih tersisa.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa si berhutang tidak dapat

melaksanakan prestasinya dengan baik yaitu membayar hutangnya kepada si berpiutang

maka si berhutang memiliki dua hal prestasi yaitu prestasi primair, yakni sejumlah

tertentu yang ia pinjam dari si berpiutang ( utang pokok ) dan prestasi subsidair, yakni suatu ganti rugi atas keterlambatan pembayaran dari si berhutang kepada si berpiutang.

Sedangkan barang yang subsidair ini tergantung dari isi perjanjian yang telah

disepakati antara si berhutang dengan si berpiutang soal besarnya ganti rugi atau yang

sering diebut dengan bunga ini.21

Menurut ketentuan pasal 1243 KUHPerdata ganti kerugian karena tidak

dipenuhinya suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah

dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus

diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang

telah dilampaukannya.

D. Tindakan Hukum Atas Wanprestasi Dari Salah Satu Pihak

Wanprestasi merupakan kelalaian suatu pihak dalam memenuhi kewajibannya

terhadap pihak lain yang seharusnya ditunaikannya berdasarkan perikatan yang telah

dibuat, berarti jika salah satu pihak wanprestasi artinya pihak tersebut tidak memenuhi

sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak

dipenuhinya kewajiban oleh debitur dapat disebabkan oleh dua hal kemungkinan alasan yaitu :

a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun

karena kelalaian,

21 Subekti, Op.Cit, h. 36

Page 98: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xcviii

b. Karena keadaan memaksa, overmacht, force majeure, jadi diluar kemampuan

debitur, jadi debitur tidak bersalah.22

Sedangkan untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan

wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau

lalai tidak memenuhi prestasi itu, ada 4 (empat) keadaan, yaitu :

a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, dalam hal ini tidak diperlukan penetapan lalai. Debitur dapat segera dituntut ganti

rugi. Selain itu penetapan lalai tidak diperlukan dalam hal :

i. Jika prestasi debitur yang berupa memberi atau berbuat sesuatu hanya

mempunyai arti bagi kreditur, jika dilaksanakan dalam waktu yang sudah

ditentukan, sesuai dengan pasal 1243 KUHPerdata,

ii. Jika debitur melanggar perikatan untuk tidak berbuat.23

b. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasinya, maka diperlukan penetapan

lalai. Debitur baru dapat dibebani ganti rugi setelah ia diberi penetapan lalai, tetapi

tetap lalai untuk memenuhi prestasinya. Penetapan lalai ini tidak diperlukan dalam

hal :

i. Debitur setelah terjadinya perikatan, baik secara tegas maupun diam-diam membebaskan kreditur dari kewajiban untuk memberikan penetapan lalai,

ii. Debitur memberitahukan kreditur bahwa ia tidak akan memenuhi prestasi. 24

c. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru,

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.25

Kemudian akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi

adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini :

a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur,

sesuai dengan pasal 1243 KUHPerdata,

b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau

pembatalan perikatan melalui hakim, sesuai dengan pasal 1266 KUHPerdata,

c. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi, sesuai pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata,

d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau

pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian, sesuai pasal 1267

KUHPerdata,

e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan,

dan debitur dinyatakan bersalah.26

22 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 203

23 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung,

1999, h. 19

24 Ibid, h. 20

25 Subekti, Op.Cit, h. 45

26 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 204-205

Page 99: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 xcix

Dengan demikian jika debitur melakukan wanprestasi maka kreditur berhak

untuk :

a. Tetap menuntut agar debitur melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang

diharapkan semula, meskipun sudah terlambat,

b. Menuntut agar debitur tetap melaksanakan kewajibannya yang sudah terlambat

itu dengan ganti kerugian yang layak, c. Menuntut ganti kerugian saja seluruhnya, yang meliputi kerugian yang sudah

diderita dan laba yang tidak jadi diterima karena lalainya pihak debitur,

d. Menuntut agar perjanjian dibatalkan (berdasarkan asas lex commisoria yang

berarti bahwa hukum membatalkan bila ada wanprestasi).27

Sehubungan wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka

harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi atau lalai,

dan kalau hal itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. Terkadang

juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali

juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi

yang dijanjikan. Dalam perjanjian hutang misalnya, tidak ditetapkan kapan

pelunasannya harus ditentukan atau berapa bunga bila terjadi keterlambatan atas

pembayaran hutang tadi. Sehingga yang paling mudah untuk menetapkan seorang melakukan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan

suatu perbuatan, apabila ia melakukannya berarti ia melanggar hukum.

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Rumusan Penanggungan

Seperti dijelaskan diatas sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata bahwa segala

kebendaan seorang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada

maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala

perikatannya perseorangan. Meskipun demikian, jaminan secara umum itu sering

dirasakan kurang cukup dan kurang aman, karena selainnya bahwa kekayaan si

berhutang pada suatu waktu bisa habis, juga jaminan secara umum itu berlaku untuk

semua kreditur, sehingga kalau ada banyak kreditur, ada kemungkinan beberapa orang

dari mereka tidak lagi mendapat bagian.

Jadi penanggungan merupakan suatu bentuk jaminan yang bersifat pribadi dan dalam hal ini adanya berhadapan dengan jaminan kebendaan. Suatu kewajiban untuk

memberikan penanggungan atau penjaminan pada umumnya kadang-kadang timbul dari

dalam undang-undang atau dari dalam suatu keputusan atau penetapan.28

27 A. Ridwan Halim, Op.Cit, h. 158-159

28 H.F.A. Vollmar, Op.Citt, h. 444.

Page 100: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 c

Oleh karena itu maka seringkali seorang kreditur minta diberikan jaminan

khusus dan jaminan khusus ini bisa berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fiduciair)

dan bisa juga berupa jaminan perorangan. Yang terakhir inilah yang dinamakan

penanggungan hutang atau sering disebut dengan “borgtocht atau quaranty”.29

Selanjutnya penanggungan atau borgtocht ini ada dua pihak yang dapat

berlaku sebagai penanggung dalam perjanjian hutang yaitu : a. Personal guarantee, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh orang

perseorangan,

b. Corporate guarantee, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh suatu badan

hukum atau korporasi atau sebuah perusahaan.30

Sedangkan pengertian penanggungan atau borgtocht sendiri diatur dalam

Buku III Bab XVII, khususnya dalam pasal 1820 KUHPerdata adalah suatu perjanjian

dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri

untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak

memenuhinya.

Jika dalam hal hipotik, gadai dan fiduciair sudah diletakkan suatu ikatan

kebendaan (kreditor memperoleh suatu hak atas benda-benda tertentu), maka dalam hal

penanggungan ini baru tercipta suatu perikatan perorangan. Kemudian dalam pasal 1821 KUHPerdata disebutkan bahwa tiada

penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun dapatlah seorang

mengajukan diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan , biarpun perikatan itu dapat

dibatalkan dengan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya pribadi si berhutang,

misalnya dalam hal orang belum dewasa.

B. Bentuk dan Sifat Penanggungan Dalam Perjanjian Hutang

Sebenarnya sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata, bentuk perjanjian ini

dapat dilaksanakan bebas sesuai dengan kehendak para pihak, namun guna kepentingan

pembuktian maka bentuk perjanjian penanggungan dan perjanjian hutang ini dapat

dibedakan kedalam beberapa bentuk, diantaranya :

a. Dalam bentuk tertulis, ini dapat terbagi dalam :

i. dalam bentuk standar atau baku sebagaimana perjanjian kredit pada

umumnya,

ii. akta baik notarial maupun dibawah tangan,

iii. para pihak sendiri dalam bentuk sehelai surat b. Dalam suatu pernyataan lisan.31

29 Ibid, h. 445

30 A. Yudha Hernoko, Hukum Jaminan, PPS, Univ. Airlangga, Surabaya, 2000,

h. 23

31 Ibid, h. 5

Page 101: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 ci

Sedangkan dalam pembuktian dari perjanjian penanggungan maka perjanjian

penanggungan dalam perjanjian hutang yang paling kuat adalah dalam bentuk akta

otentik yang definisinya diberikan dalam pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik

adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat

oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana

akta itu dibuatnya, sedangkan akta dibawah tangan, dalam pasal 1874 KUHPerdata dijelaskan bahwa sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan, surat-surat, register-register

surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan

seorang pegawai umum.

Disamping itu, pada asasnya setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian-

perjanjian atau melakukan perbuatan-perbuatan hukum apa saja yang dikehendakinya

dan orang lain tak dapat mencampuri ataupun menghalang-halangi perbuatan-

perbuatannya itu.

Ketentuan diatas menunjukkan bahwa penanggungan itu adalah suatu

perjanjian accessoir seperti halnya dengan perjanjian hipotik dan pemberian gadai, yaitu

bahwa eksistensi atau adanya penanggungan itu tergantung dari adanya suatu perjanjian

pokok, yaitu perjanjian yang pemenuhannya ditanggung atau dijamin dengan perjanjian

penanggungan itu. Sehingga masih adanya kemungkinan untuk diadakannya suatu perjanjian penanggungan terhadap suatu perjanjian pokok, yang dapat dimintakan

pembatalannya, misalnya suatu perjanjian pokok yang diadakan oleh seorang yang

belum cukup dewasa. Hal itu dapat diterima dengan pengertian, bahwa apabila

perjanjian pokok itu dikemudian hari dibatalkan, maka perjanjiannya penanggungan

juga ikut batal.

Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa syarat-syarat daripada seorang

penanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 1822 KUHPerdata yaitu antara lain

sebagai berikut :

a. seorang penanggungan tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih dari utangnya

yang ada pada perjanjian pokoknya,

b. seorang penanggung tidak dapat mengikatkan dirinya untuk lebih berat daripada syarat-syarat yang ada dalam perjanjian pokoknya,

c. jika hal itu tetap dilaksanakan, maka perikatannya tidak sama sekali batal,

melainkan penanggung hanya sah sesuai dengan apa yang ada di dalam

perjanjian pokoknya itu saja.

Persyaratan diatas berkaitan dengan sifat perjanjian penanggungan sebagai

suatu perjanjian accessoir, sebagaimana diterangkan diatas. Perikatan-periktan dalam

perjanjian yang sifatnya “tambahan atau mengabdi” kepada suatu perjanjian pokok,

tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu.

Sehingga perjanjian penanggungan akan lahir setelah adanya perjanjian

pokoknya terlebih dahulu yaitu perjanjian hutang antara debitur dengan kreditur, begitu

pula sebaliknya, jika perjanjian hutangnya gugur atau batal atau tidak jadi maka

Page 102: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cii

perjanjian penanggungannyapun secara otomatis juga ikut gugur, tetapi jika perjanjian

penanggungannya yang gugur maka perjanjian pokoknya (hutang) belum tentu gugur.

C. Ketentuan Tentang Hapusnya Perjanjian Hutang

Mengenai hapusnya perjanjian hutang ini secara umum telah ditegaskan dalam

pasal 1381 KUHPerdata, bahwa perikatan-perikatan hapus dikarenakan beberapa hal

diantaranya adalah :

a. pembayaran,

Dalam perjanjian hutang, maka jika si berhutang atau debitur atau seorang

penanggung hutang atau dalam pasal 1332 dapat juga pihak ketiga bertindak dan

atas nama debitur untuk melunasi utangnya dengan melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah dari isi perjanjian hutang dengan kreditur maka secara otomatis

perjanjian hutang tersebut akan hapus,

b. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,

Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan jika kreditur menolak

pembayaran. Misalnya kreditur tidak mau menerima pembayaran dari debitur

dalam bentuk barang, maka debitur melakukan pelelangan atas barang tersebut,

setelah laku baru dibayarakan kepada kreditur, namun seluruh biaya penyimpanan,

penitipan dan pelelangan barang itu dibebankan kepada debitur.

c. Pembaharuan hutang atau novasi

Novasi adalah suatau persetujuan yang menyebabkan hapusnya suatu perikatan dan

pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai

pengganti perikatan semula.32 Novasi ini terdiri dari 3 macam yaitu novasi obyektif, dimana perikatan yang telah

ada diganti dengan perikatan lain, kemudian novasi subyektif pasif, dimana

debiturnya diganti oleh debitur lainnya dan novasi subyektif aktif, yaitu krediturnya

diganti oleh kreditur lain.33

d. Perjumpaan hutang atau kompensasi

Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau

memperhitungkan hutang piutang secara timbal balik antara kreditur dengan

debitur. Misalnya A punya hutang B sejumlah Rp 1.000.000,-, kemudian B punya

hutang A sejumlah Rp 800.000,- hal itu jika dikompensasikan maka A masih

hutang kepada B sebesar Rp 200.000,-

e. Percampuran hutang, Hapusnya hutang dalam percampuran hutang ini benar-benar demi hukum dalam

arti otomatis, seperti debitur dan kreditur akhirnya melakukan perkawinan dalam

suatu kesatuan harta kawin.

32 R. Setiawan, Op.Cit, h. 116

33 Ibid, h. 117

Page 103: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 ciii

f. Pembebasan hutang,

Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur

melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Jadi dengan sendirinya

kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan

melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka hubungan

hutang piutang itu dengan sendirinya juga hapus. g. Musnahnya barang yang terutang,

Jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat

diperdagangkan atau hilang hingga sama sekali tak diketahui, apakah barang itu

masih ada, maka hapuslah perjanjiannya.

h. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan

Kebatalan ini dapat berimplikasi pada dua hal yaitu batal demi hukum ini

kebatalannya terjadi karena undang-undang dan dapat dibatalkan, kebatalan ini

baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim. Suatu perbuatan hukum adalah

batal, jika perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan akibat-akibat hukum yang

dimaksud. Jadi perjanjian- perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan adalah

batal secara mutlak, maka hapus pula perjanjian hutang yang dilaksanakan atas

dasar itu.

D. Akibat Hukum Adanya Perjanjian Penanggungan

Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, kecuali

jika siberpiutang lalai, sedangkan harta bendanya si berhutang ini harus lebih dahulu

disita dan dijual untuk melunasi hutangnya, sesuai dengan pasal 1831 KUHPerdata. Dari ketentuan tersebut, maka tanggung jawab si penanggung merupakan

suatu cadangan dalam halnya harta benda si debitur tidak mencukupi untuk melunasi

hutangnya, barulah tiba gilirannya untuk menyita barang harta benda si penanggung.

Tegasnya apabila seorang penanggung dituntut untuk membayar hutangnya debitur

(yang ditanggung olehnya) ia berhak untuk menuntut supaya dilakukan lelang sita untuk

melunasi hutangnya dalam hal :

a. Jika ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut dilakukannya lelang sita

lebih dahulu atau harta benda si berhutang tersebut,

b. Jika ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si berhutang-utana secara

tanggung menanggung, dalam hal ini akibat-akibat perikatannya diatur menurut

asas-asas yang ditetapkan untuk hutang-hutang tanggung menanggung, c. Jika si berhutang dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya

sendiri secara pribadi,

d. Jika si berhutang berada dalam keadaan pailit, dan

e. Dalam halnya dengan penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.34

34 R. Subekti, Op.Cit, h. 168

Page 104: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 civ

Kemudian dari pasal 1832 KUHPerdata dapat diurai sebagai berikut :

a. Bahwa ada kemungkinan si penanggung melepaskan haknya untuk menuntut

dilakukannya lelang sita lebih dahulu atas harta benda si berhutang utama,

pelepasan hak istimewa itu dilakukan dalam perjanjiannya penanggungan yang

diadakan dengan kreditur, tetapi juga dapat dilakukan kemudian, baik dalam suatu perjanjian lagi maupun dengan suatu pernyataan sepihak,

b. Bahwa ada kemungkinan si penanggung mengikatkan dirinya bersama-sama

(dalam satu perjanjian) dengan si berhutang utama secara tanggung menanggung

atau sering disebut dengan “penanggung solieder” atau “solidaire borg”. Keadaan

yang seperti itu memperkuat kedudukan kreditur, karena ia dapat menuntut baik

debitur maupun penanggung masing-masing untuk seluruh hutang, menurut

kehendaknya,

c. Tangkisan yang hanya mengenai dirinya si berhutang sendiri secara pribadi adalah

misalnya kalau hutang yang dituntut pembayarannya, yang telah ditanggung oleh si

penangung, dibuat oleh debitur dalam kedudukannya sebagai direktur sebuah

perseroan, sedangkan perusahaannya sudah tidak ada lagi dipegangnya kedudukan

tersebut, gugatan itu oleh hakim dinyatakan tidak diterima. Jika tangkisan (eksepsi) itu diterima, maka bagi kreditur sudah tidak ada jalan lagi untuk mendapat uangnya

kembali,

d. Jika si debitur jatuh pailit, ia tidak lagi dapat digugat dimuka pengadilan dan tidak

dapat dilakukan penyitaan lagi atas harta bendanya,

e. Penanggungan yang diperintahkan oleh hakim adalah misalnya penanggungan yang

diperintahkan kepada seorang wali sebagai jaminan atas pengurusan harta benda

seorang anak yang belum dewasa,

Si berpiutang tidak diwajibkan untuk menyita dan menjual lebih dulu harta

benda si berhutang, kecuali jika hal itu diminta oleh si penanggung pada waktu pertama

kali dituntut dimuka pengadilan.

Dari berbagai uraian diatas maka mengenai hubungan hukum antara penanggung dan debitur dan mengenai hubungan hukum antar para penanggung. Seperti

diketahui dalam perjanjian penanggungan terkadang tidak hanya melibatkan satu orang

penanggung saja tetapi dimungkinkan lebih dari itu, hal ini diatur sedemikian rupa

antara penanggung satu dengan lainnya agar tidak ada penanggung yang merasa

dirugikan. Tetapi jika ada penanggung yang merasa dirugikan, seperti penanggung telah

melunasi hutangnya si berhutang, baik secara terpaksa maupun dengan cara suka rela,

diberikan hak untuk memperoleh pelunasan mengenai apa yang telah dibayarkan dari

debitur utama tersebut.

E. Hambatan Atas Penanggungan Hutang

Page 105: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cv

Sehubungan perjanjian penanggungan ini merupakan jaminan perorangan

maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu diadakan antara

kreditur dan pihak ketiga dalam perjanjian dengan mana pihak ketiga guna kepentingan

kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur

sendiri tidak memenuhinya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1820 KUHPerdata.

Oleh karena itu penanggungan hutang ini diadakan untuk kepentingan kreditur, maka penanggungan hutang dapat diadakan baik dengan sepengetahuan

debitur maupun tidak sepengetahuannya, hal ini sesuai dengan pasal 1823 KUHPerdata.

Dengan mengadakan perjanjian penanggungan hutang ini, jika debitur lalai memenuhi

perikatannya maka kreditur dapat menuntut pihak penanggung, tanpa mengurangi hak

penanggung untuk menuntut agar barang-barang debitur bisa disita terlebih dahulu dan

dijual untuk melunasi hutangnya.

Dari beberapa uraian diatas maka terdapat kendala atau masalah dalam

penanggungan hutang oleh perorangan ini dalam praktek perjanjian hutang selama ini,

yaitu

a. Adanya ketentuan bahwa kesediaan penanggung untuk menjadi penanggungan ini

dapat dilakukan sepengetahuan debitur maupun tanpa sepengetahuan debitur. Jika

hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan debitur maka dikhawatirkan terjadi kemungkinan dari pihak debitur sendiri, dengan alasan yang bersangkutan tidak

memintanya, sehingga jika terjadi kerugian atas diri penanggung maka

penanggung tersebut tidak dapat meminta ganti rugi kepada debitur;

b. Adanya perjanjian penanggungan hutang ini, jika debitur lalai memenuhi

perikatannya maka kreditur dapat menuntut pihak penanggung, tanpa mengurangi

hak penanggung untuk menuntut agar barang-barang debitur bisa disita terlebih

dahulu dan dijual untuk melunasi hutangnya.

KESIMPULAN

a. Sistem perjanjian pertanggungan hutang pada umumnya di Indonesia, sebagaimana

dalam sistem yang dianut dalam Buku III KUHPerdata tentang hukum perikatan ini dikatakan menganut sistem terbuka dan sifatnya adalah sebagai pelengkap artinya

bahwa para pihak diperbolehkan membuat perjanjian apapun, asal isinya tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sesuai

dengan pasal 1337 KUHPerdata. Jika para pihak tidak mengatur perjanjian yang

mereka buat secara lengkap, maka undang-undang akan melengkapinya. Mengenai

sistem terbuka dan sifat pelengkap yang dianut dalam Buku III KUHPerdata itu

dari pasal 1338 ayat (1), maka semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Disamping itu perjanjian

pertanggungan hutang ini bersifat accessoir. Perikatan-perikatan dalam perjanjian

yang sifatnya “tambahan atau mengabdi” kepada suatu perjanjian pokok,

tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok

Page 106: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cvi

itu. Sehingga perjanjian penanggungan akan lahir setelah adanya perjanjian

pokoknya terlebih dahulu yaitu perjanjian hutang antara debitur dengan kreditur,

begitu pula sebaliknya, jika perjanjian hutangnya gugur atau batal atau tidak jadi

maka perjanjian penanggungannyapun secara otomatis juga ikut gugur, tetapi jika

perjanjian penanggungannya yang gugur maka perjanjian pokoknya (hutang) belum

tentu gugur. b. Masalah-masalah hukum yang timbul perjanjian hutang menurut Kitab Undang-

undang Hukum Perdata, selama ini adalah bahwa perjanjian penanggungan

merupakan jaminan perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian

penanggungan ini selalu diadakan antara kreditur dan pihak ketiga guna

kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur

bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya, seperti yang dijelaskan dalam pasal

1820 KUHPerdata, namun sayangnya, ada beberapa kendala diantaranya adalah :

- tidak sembarang orang dapat untuk menjadi penanggung, tetapi harus terlebih

dahulu adanya persetujuan dari pihak kreditur, baik sepengetahuan debitur

maupun tidak,

- sehubungan dalam dunia perbankan, terdapat Daftar Orang Tercela, maka

prinsip kehati-hatian dan kepercayaan kreditur dalam memberikan pinjaman kepada debitur nasabah, tetap tak terabaikan, sehingga meskipun ada pihak

penanggung namun tidak semestinya pihak kreditur langsung menyetujui

perjanjian tersebut,

- Sehubungan perjanjian penanggungan hutang ini, pihak penanggung suatu saat

harus mampu menanggung hutang pihak debitur maka, tidak sembarang orang

pula mau untuk menjadi penanggung atas hutang- hutang debitur.

SARAN

a. Perlu adanya profesionalisme kerja pada tataran perbankan, khususnya menyangkut

perjanjian hutang, sebab tidak sedikit para debitur kelas kakap yang nyata-nyata

sebagai debitur yang tidak baik, justru mereka inilah yang selalu mendapatkan

kepercayaan dari pihak kreditur, maka jangan heran jika banyak perusahaan-perusahaan besar justru cepat jatuh sehubungan pemiliknya berkaitan dengan

ketidakjujuran ini,

b. Perlu adanya perjanjian hutang yang sederajat, antara pihak debitur dengan kreditur

sehingga mereka sama-sama memiliki posisi yang kuat sehingga pihak kreditur

tidak merasa kuat atas posisi debitur yang dinilai paling membutuhkan kreditur,

sehingga seharusnya yang terjadi adalah mitra janji bukan lawan janji.

Page 107: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cvii

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MASYARAKAT DALAM

MEMPEROLEH PELAYANAN PUBLIK OLEH PEMERINTAH DAERAH

Oleh:

Win Yuli Wardani, SH., M.Hum35

*

ABSTRAK

Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh

pelayanan publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan jaminan terhadap hak masyarakat baik secara yuridis

konstitusional maupun secara etika sosial yang merupakan cita-cita

Negara hukum Indonesia yang sejak awal didirikan menghendaki

perlindungan hak masyarakat warga Negara.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum - Hak Masyarakat –

Pelayanan Publik.

LATAR BELAKANG

Negara adalah sebuah lembaga yang terbentuk dari persekutuan manusia atau

rakyat yang secara bersama-sama melakukan aktifitas dalam upaya pemenuhan

kebutuhan hidupnya. Kehendak manusia untuk berkumpul dan berkelompok disebabkan

disebabkan oleh kesadarannya akan kepentingan bersama yang kemudian terwujud

dalam proses interaksi sosial. Dari interaksi sosial tersebut dihasilkan sitem nilai yang

selanjut menghasilkan kaedah-kaedah yang teraktualisasi dalam bentuk hak dan

kewajiban dalam masyarakat.

Bertolak pada pengembangan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat yang

demokratis, unsur yang sangat menentukan pengembangan sistem hukum dan

penegakannya adalah budaya hukum yang berlaku dalam masyarakat. Budaya hukum

dalam konteks perkembangan perjalanan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang demokratis dapat menjadi faktor integral yang mempersatukan bangsa Indonesia di

tengah-tengah tuntutan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi

manusia, sekaligus juga hak masyarakat.

Salah satu konsekwensi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar

oleh negara adalah diwujudkan dalam bentuk pembentukan peraturan perundang-

undangan. Dalam kaitan dengan hal ini, pemerintah wajib memberikan pelayanan

1*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.

Page 108: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cviii

terhadap masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya

sebagai regulasi dan payung hukum dari hak masyarakat.

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani

setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus

dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan

dasar masyarakat.

Pelayanan publik adalah salah satu hak yang dapat dinikmati oleh setiap

masyarakat yang berkepentingan dengan apa yang mereka butuhkan. Karena pelayanan

publik merupakan natural rights di mana mereka sejak lahir sudah memiliki hak untuk

mendapatkan pelayanan. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan

kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Oleh karena itu pelayanan publik merupakan

hak yang sudah selayaknya dapat dinikmati oleh segenap masyarakat. Dalam hal ini

penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang diselenggarakan oleh pemerintah

pusat, lebih dari itu juga pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah

dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Namun demikian semua peraturan yang mengatur tentang sistem pelayanan publik disemua institusi yang berada disetiap tingkatan daerah otonom secara hierarkhi tetap

berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal

ini tidak lain karena peraturan perundang-undangan yang lebih rendah juga merupakan

implementasi dari peraturan tingkat di atasnya.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah masih

dihadapkan pada beberapa kendala, yang antara lain adalah sistem pemerintahan yang

belum efektif dan efisien yang disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia dari

aparatur ataupun sarana yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya

keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media

massa.

Namun demikian upaya peningkatan terhadap kualitas dari sistim pelayanan publik harus tetap menjadi tujuan dalam rangka upaya pemenuhan hak-hak dasar

manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.

Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas, maka dapat

diidentifikasi 2 (dua) rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sistem pelayanan publik menurut hukum positif di Indonesia ?

2. Sejauhmanakah perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh

pelayanan publik oleh pemerintah?

Penelitian ini mengambil judul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Masyarakat Dalam Memperoleh Pelayanan Publik Oleh Pemerintah ”. Judul di atas

terdiri dari beberapa sub pokok konsep/pengertian yang berkaitan dengan pelayanan

publik di daerah seperti hak, perlindungan hukum, konsep pelayanan publik, prinsip

pelayanan publik, dan teori kualitas pelayanan publik sebagai parameter analisis hasil penelitian di bab berikutnya yang akan penulis jelaskan sebagai berikut:

Page 109: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cix

Perlindungan hukum adalah suatu jaminan perlindungan pemerintah yang

diberikan terhadap warga negara sebagai subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum

baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun

tidak tertulis dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pengertian ini

perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan ketertiban, keadilan, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian

bagi masyarakat.

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi

setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif

yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.36

Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat diartikan sebagai segala bentuk jasa

pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang menjadi tanggung

jawab dan dilaksanakan oleh pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN

atau BUMD baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.37

Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang

dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan

hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.38

SISTEM PELAYANAN PUBLIK MENURUT HUKUM POSITIF DI

INDONESIA

A. Transparansi Pelayanan Publik

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa jika dicermati dewasa ini

penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kendala - kendala yang

menjadikan sebab sistem pelayanan publik tidak sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat khususnya di daerah. Keadaan

tersebut diikuti dengan pergeseran nilai yang harus disikapi dengan bijak melalui

langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek

pembangunan untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan pelayanan publik.

Menurut Ahmad Hidayat beberapa studi menunjukkan bahwa akar

permasalahan yang menyebabkan buruknya kinerja pelayanan publik adalah

36 R I Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1

angka 1.

37 Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik

38 R I Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1

angka 2.

Page 110: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cx

prosedur pelayanan publik yang berbelit-belit dan tidak transparan (tidak terbuka).

Oleh karena itu, transparency (trans paransi/keterbukaan) pelayanan publik adalah

merupakan salah satu hal yang harus segera diwujudkan demi untuk meningkatkan

keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan memenangkan persaingan di era

globalisasi sekarang ini.39

Transparansi (transparency) merupakan salah satu prinsip dalam perwujudan good governance (pemerintahan yang baik). Good governance dan

otonomi daerah adalah dua konsep yang saling berkaitan, dan berinteraksi dalam

suatu korelasi yang bersifat positif. Keduanya saling menyediakan iklim kondusif yang

berkembang satu sama lain. Akan tetapi, konsep good governance mudah diucapkan,

namun sebenarnya agak sulit untuk merumuskan ke dalam satu bahasa yang bisa

diterima khalayak karena di dalamnya ada unsur etika atau tata nilai.40

Dalam hubungannya dengan transparansi pelayanan publik di atas, maka

pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan transparansi pelayanan publik.

Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan transparansi pelayanan publik diatur

dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor.

KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis

Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kebijakan tersebut berdasarkan pada alinea ke4 pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa negara wajib melayani setiap

warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka

pelayanan umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat

kuat selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk

memberikan pelayanan publik. Birokrasi dan para pejabatnya lebih menempatkan

dirinya sebagai penguasa dari pada sebagai pelayan masyarakat. Akibatnya sikap dan

perilaku birokrasi dalam penyelegaraan pelayanan publik cenderung mengabaikan

aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Berkembangnya budaya paternalistik ikut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elit politik dan birokrasi sebagai variabel yang

dominan dalam penyelengaraan pelayanan publik. Elit politik dan birokrasi, dan atau

yang dekat dengan mereka, seringkali memperoleh perlakuan istimewa dalam

penyelenggaraan pelayanan publik. Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan

publik sering berbeda tergantung pada kedekatannya dengan elit birokrasi dan politik.

Hal seperti ini sering mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang nerasa

diperlakukan secara tidak wajar oleh birokrasi publik.

39 Ahmad Hidayat, “Transparansi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di

Indonesia”, artikel dalam www.untagjakarta.ac.id pdf diakses 10 Pebruari 2011, hal. 1

40 Ibid.

Page 111: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxi

B. Aspek Hukum Pelayanan Publik

Pelayanan publik merupakan program nasional untuk memperbaiki fungsi pada

sistem pelayanan publik. Pelayanan publik diartikan sebagai kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat.

Pelayanan publik dibatasi pada pengertian bahwa pelayanan publik merupakan segala

bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar

masyarakat untuk kesejahteraan sosial, sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem

kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap

beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan

merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan

bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut

sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat.

Pelaksanaan pelayanan publik erat kaitannya dengan kebijakan yang diturunkan kepada pejabat pelaksana pelayanan yang merupakan serangkaian petunjuk

pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi pelayanan

publik.

Sedangkan dari sisi masyarakat yang penting adalah adanya suatu standar

pelayanan publik yang menjabarkan pada masyarakat tentang pelayanan apa yang

menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga

bagaimana bentuk layanan itu.

Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut

efektif, maka diperlukan sedikitnya 3 (tiga) hal:

a. Adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga

dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan;

b. Kebijakan ini harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; dan c. Adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik

mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami

penyimpangan atau tidak.41

Upaya meningkatkan kualitas pelayanan tidak hanya ditempuh melalui

keputusan-keputusan MENPAN sebagaimana tersebut di atas, namun juga melalui

peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dilakukan

dengan cara memberikan berbagai materi mengenai manajemen pelayanan dalam diklat-

diklat struktural pada berbagai tingkatan.

Sesuai dengan katentuan di atas, Pasal 2 Undang-undang Nomor 25 Tahun

2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa undang-undang pelayanan publik

41 www.wikipedia.org 2008.

Page 112: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxii

dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat

dan penyelenggara dalam pelayanan publik.

Selanjutnya Pasal 3 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik mengatur/menetapkan tujuan undang-undang tentang pelayanan publik adalah:

1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung

jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.

Perwujudan batasan dan hubungan mengenai hak, kewajiban serta tanggung

jawab antara pemberi pelayanan dengan masyarakat sebagai pihak yang

terlayani tidak boleh tidak harus diwujudkan dalam konsep sistem standarisasi

pelayanan publik melalui pengaturan hukum pelayanan publik yang merespon

semua kebutuhan masyarakat.

2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai

dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik.

Sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak akan mampu

memberikan kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan bahkan

mampu memberikan interes positif bagi masyarakat.

3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketika pelayanan publik sudah didasarkan pada standar

pelayanan yang telah ditetapkan oleh masing-masing institusi pelayanan

publik, maka optimalisasi pelayanan publik akan terwujud.

4. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan publik. Jaminan perlindungan dan kepastian

hukum bagi masyarakat hanya dapat diperoleh apabila ada dan didasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang mengaturnya bukan didasarkan pada

kehendak pejabat institusi pelayanan publik.

Jadi jika diamati dari Pasal 3 tersebut di atas, maka jelas bahwa aspek hukum

pelayanan publik ini adalah adanya hubungan hak dan kewajiban antara birokrasi

pelayanan publik dengan masyarakat sebagai penerima pelayanan publik, adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memperoleh hak

pelayanan publik, adanya payung hukum bagi masyarakat dalam memperoleh hak

pelayanan publik sebagai hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah, dan

terciptanya standarisasi pelayanan publik melalui pengaturan hukum pelayanan publik

yang merespon semua kebutuhan masyarakat.

C. Efektivitas Pelayanan Publik

Efektif tidaknya pelayanan publik disemua institusi pada tiap tingkatan daerah

otonom sedikit banyak akan dipengaruhi oleh pengaturan hukum dan birokrasi sebagai

pelayan publik yang akan penulis jelaskan di bawah ini.

Di Indonesia upaya memperbaiki pelayanan publik sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres Nomor 5 Tahun 1984

tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha.

Page 113: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxiii

Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan

Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan

mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres Nomor 1 Tahun 1995 tentang

Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.

Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Kemudian lahirlah Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor.

KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis

Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Dalam kaitan ini, ada 2 (dua) badan yang mengelola pelayanan publik.

Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPan) bertanggungjawab

terhadap regulasi yang mengatur administrasi negara. Badan ini menjalankan fungsinya

melalui pengumuman kebijakan dan surat keputusan menteri yang seringkali tidak

dihiraukan oleh birokrasi lainnya. Badan Kepegawaian Nasional (BKN) secara formal

bertanggungjawab terhadap implementasi perundangan pelayanan publik dengan

mengeluarkan ”rule of the game”/aturan main dalam penerimaan, pemecatan dan

promosi, dan meregulasi jumlah pelayanan ini. Departemen Keuangan juga memainkan peran penting, karena alokasi anggarannya menentukan jumlah ini. Departemen Dalam

Negeri juga memegang peran penting melalui desentralisasi administrasi dalam

pengelolaan pelayanan publik mereka.

Standarisasi pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai

pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai

kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan

yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.42

Pejabat Pemerintah sebagai administrator publik adalah birokrat mempunyai

kewenangan sebagai pelaksana kebijaksanaan yang telah dirumuskan oleh superior

politiknya (pembuat kebijaksanaan). Dengan demikian, ia tidak memiliki peran politik,

tetapi semata-mata instrumental yang mempunyai tanggung jawab administratif/administrative responsibility. Ia hanya pelaksana kepentingan publik dan

bukan yang berperan dalam menerjemahkan/merumuskan kepentingan publik.43

Michael Mon Harmon menyatakan, bahwa tugas utama administrator publik

mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kepentingan publik, tetapi sayangnya

42 R I Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 1

angka 7

43 Irfan Ilamy, 1989. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta:

Bina Aksara hlm. 11

Page 114: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxiv

jarang sekali mereka mengenal teori tentang kepentingan publik.44

Krisis ini memberikan pelajaran betapa rapuhnya sistem birokrasi publik di Indonesia

dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam lingkungannya.

Mengenai permasalahan kurang efektif dan efisiensinya pelayanan publik oleh

aparat sebagai dampak negatif yang disebabkan besarnya jumlah pegawai dan

penambahan jumlah instansi. Saat ini pemerintah membutuhkan kinerja yang profesional dan orientasi pada kesejahteraan sosial. Melalui seleksi pegawai yang adil

dan proposional dapat melihat permasalahan yang sebenarnya terjadi ditengah

masyarakat baik dari segi ekonomi, politik, hukum dan budaya.

Birokrasi yang rumit merupakan permasalahan klasik yang diturunkan melalui

era orde baru status quo. Pengalaman yang terjadi adalah prosedur administrasi mulai

dari bawah sampai ke-atas secara hierarkis tidak mampu menyelesaikan masalah

melainkan menambah masalah baru, yaitu monopoli aparat penyelenggara pelayanan

yang hanya dapat tunduk kepada atasannya. Tidak terbatasnya kewenangan aparat

membuat kontrol masyarakat sulit dilakukan pada akhirnya cenderung menimbulkan

patologi birokrasi.

Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering

atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam

pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini sangat

memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan

pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang

diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan terhadap

masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit.

Studi-studi menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan

publik telah melahirkan dampak multidimensional. Secara sosial-politik, buruknya

pelayanan publik menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap

pemerintah yang pada gilirannya meruntuhkan ketertiban dan kedamaian pada

masyarakat.45 Pelayanan Publik di Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan

yang mendasar. Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam

penyelenggaraan pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum

44 Robert H. Simmon dan Eugene P. Dvorin, Public Administration: Values Policy

and Change, Port Washington; N.Y. 11050: Alfred Publishing Co, Ind., hlm. 470,

dalam Irfan Islami, 1989, Prinsip-Prinsip Perumusan............................, Ibid. hlm. 14.

45 Edi Suharto, 2008, “Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat

Dengan Kebutuhan Khusus”, artikel Disampaikan pada Focused Group Discussion

(FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special

Needs) pada Sektor Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara, Sahira Butik

Hotel, Bogor 9-10 Oktober 2008, hlm. 3

Page 115: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxv

memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas produk

layanan juga belum memuaskan para penggunanya.

Kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespon dinamika

yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh

bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam

pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu sendiri. Akan tetapi birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan

tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam

menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya

penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-

belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur

pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak

menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal

pelayanan publik).

Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu,

birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya dalam rangka

efektivitas pelayanan publik antara lain :

Pertama, birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan

pendekatan kekuasaan dan kewenangan.

Kedua, birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan

organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara

tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi

tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).

Ketiga, birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan

prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni :

pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi

biaya dan ketepatan waktu.

Keempat, birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan.

Kelima,birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari

birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya

lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MASYARAKAT DALAM

MEMPEROLEH PELAYANAN PUBLIK OLEH PEMERINTAH DAERAH

A. Hak Asasi Manusia

Masyarakat adalah kumpulan manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu

dan terikat oleh satu sistem hukum yang sama. Dengan kata lain masyarakat adalah komunitas yang didasarkan oleh adanya kesamaan geografis, kultur, sistem nilai tertentu

yang mengikat setiap anggotanya. Sedangkan hak masyarakat merupakan akumulasi

Page 116: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxvi

yang berasal dari hak perseorangan baik sebagai individu ataupun sebagai oanggota

masyarakat.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi hak

asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat dirinya serta keharmonisan

lingkungannya. Disamping itu manusia juga mengemban tugas mengelola dan

memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia.Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara

kodrati melekat pada diri manusia, yang bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu

harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau

dirampas oleh siapapun.

Pasal 3 Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999 menetapkan bahwa setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil

serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh

karena itu mendapatkan pelayanan publik merupakan sesuatu yang sudah selayaknya

didapat oleh masyarakat yang membutuhkan, karena pelayanan publik juga termasuk

bagian dari hak asasi manusia.

B. Pengertian Perlindungan Hukum

Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan

adil. Untuk mencapai kedamaian Hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan

mengadakan perimbanagn antara kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain

dan setiap orang harus memperoleh apa yang menjadi haknya.46 Berkenaan dengan

tujuan tersebut hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai, dimana hukum

bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam masyarakat, membagi

wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian

hukum itu sendiri. Beranjak dari hal tersebut, berbagai pakar di bidang hukum maupun

di bidang ilmu sosial lainnya mengemukakan pandangannya masing-masing tentang

tujuan hukum itu sendiri berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tatacara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat,

Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat

penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun

mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari

pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan

atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Dengan demikian berdasarkan pada konsep perlindungan di atas, maka dapat

dikatakan bahwa perlindungan hukum adalah suatu jaminan perlindungan pemerintah

yang diberikan terhadap warga negara sebagai subyek hukum dalam bentuk perangkat

hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis

46 Van Apeldoorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm.

10-11

Page 117: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxvii

maupun tidak tertulis dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam

pengertian ini perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu

konsep dimana hukum dapat memberikan ketertiban, keadilan, kepastian, kemanfaatan

dan kedamaian bagi masyarakat.

C. Asas-Asas Dalam Pelayanan Publik Oleh Pemerintah

Sebagaimana penulis jelaskan di awal, bahwa dalam penyelenggaraan

pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma dari rule government menjadi good

governance, dalam paradigma dari rule government penyelenggaraan pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan publik senantiasa menyandarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Sementara prinsip tata kelola pemerintahan yang

baik (good governance) tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip

penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau

negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi maupun ekstern birokrasi.

Pemerintah yang demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga dalam pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan

pelayanan publik merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari

good governance.

Salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur

pemerintah adalah pelayanan publik. Peraturan perundangan Indonesia telah

memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan atas

Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme

menyebutkan asas-asas tersebut, yaitu Asas Kepastian Hukum, Transparan, Daya

Tanggap, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung Jawab, Akuntabilitas dan Tidak

Menyalahgunakan Kewenangan sebagai berikut: Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme disebutkan

beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yaitu sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalan negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggaraan negara.

Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang

berdasarkan suatu keputusan pemerintah meskipun keputusan itu salah. Jadi demi

kepastian hukum setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak

untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan.

2. Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. Asas

Page 118: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxviii

ini menghendaki terciptanya penyelenggaraan negara yang tertib dan teratur dalam

melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan.

3. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum

dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Asas ini menghendaki agar

pemerintah dalam menjalankan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum

di atas kepentingan pribadi maupun golongan. 4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk

memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi

pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas ini menghendaki agar pemerintah

dalam menjalankan tugasnya selalu memberikan akses informasi kepada

masyarakat dalam setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan.

5. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak

dan kewajiban penyelenggara negara. Asas ini menghendaki pemerintah dalam

menjalankan tugasnya selalu mengutamakan keseimbangan antara hak dan

kewajiban penyelenggara negara.

6. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan

kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini menghendaki pemerintah dalam menjalankan tugasnya selalu memberikan kepada

para ahli yang memiliki keahlian di bidangnya sehingga tugas-tugas pemerintahan

dapat berjalan dengan lancar.

7. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil

akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan

kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini

menghendaki pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan hasil

akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van

behoorlijk bestuur) ini menjadi landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas tersebut digunakan oleh para aparatur penyelenggara kekuasaan negara dalam

menentukan perumusan kebijakan publik pada umumnya serta pengambilan keputusan

pada khususnya, jadi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) ini

diterapkan secara tidak langsung sebagai salah satu dasar penilaian.

Sesuai dengan penjelasan di atas, menurut Philipus M. Hadjon, Asas-Asas

Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) harus dipandang sebagai norma-norma

hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang

tepat dari AAUPL bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan

teliti. Dapat pula dikatakan bahwa AAUPL adalah asas - asas hukum tidak tertulis,

Page 119: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxix

dari mana untuk keadaan – keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum

yang dapat diterapkan.47

Senada dengan asas umum pemerintahan yang baik yang telah penulis

sebutkan di atas, Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun menyebutkan macam-macam

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) adalah sebagai berikut :48

1. Asas Kepastian Hukum

Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang

berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi

kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak

untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan.

2. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian

atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang

jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang

dilakukan oleh seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus

yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian

hukum.

3. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan

Asas ini menghendaki badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam

arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. Meskipun demikian,

agaknya dalam kenyataan sehari-hari sukar ditemukan adanya kesamaan mutlak

dalam dua atau lebih kasus. Oleh karena itu, menurut Philipus M. Hadjon, asas ini

memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan.

4. Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan

Asas ini menghendaki agar pemerintah atau administrasi bertindak cermat dalam

melakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sehingga

tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Apabila berkaitan dengan tindakan

pemerintah untuk mengeluarkan keputusan, pemerintah harus mempertimbangkan

secara cermat dan teliti semua faktor dan keadaan yang berkaitan dengan materi keputusan, mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh

pihak-pihak yang berkepentingan, juga harus mempertimbangkan akibat-akibat

hukum yang muncul dari keputusan tata usaha negara tersebut.

5. Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan

Asas ini menghendaki setiap keputusan badan-badan pemerintah harus mempunyai

motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan

sedapat mungkin alasan atau motivasi itu tecantum dalam keputusan. Motivasi atau

47 Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta,

Gajah Mada University Press, hlm. 265-266

48 SF. Marbun, 2001, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan

Yang Baik di Indonesia, Tulisan Pada Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi

Negara, Yogyakarta, UII Press, hlm. 29-39

Page 120: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxx

alasan ini harus benar dan jelas sehingga pihak administrabele memperoleh

pengertian yang cukup jelas atas keputusan yang ditujukan kepadanya. Asas

pemberiaan alasan ini dapat dibedakan dalam tiga sub varian berikut ini :

1. Syarat bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan

2. Ketetapan harus memiliki dasar fakta tang teguh

3. Pemberian alasan harus cukup dapat mendukung 6. Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan

Kewenangan pemerintah secara umum mencakup 3 (tiga) hal, yaitu kewenangan

dari segi material (bevoegheid ratione materiale), kewenangan dari segi wilayah

(bevoegheid ratione loci), dan kewenangan dari segi waktu (bevoegheid ratione

temporis). Asas tidak mencampuradukkan kewenangan ini menghendaki agar

pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain

selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan

wewenang yang melampaui batas.

7. Asas Permainan yang Layak (fair play)

Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya

untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatanuntuk membela diri

dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan

dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Asas keterbukaan ini

mempunyai fungsi-fungsi penting, yaitu sebagai berikut:

1. Fungsi partisipasi

2. Fungsi pertanggungjawaban umum dan pengawasan keterbukaan

3. Fungsi kepastian hukum

4. Fungsi hak dasar

8. Asas keadilan dan Kewajaran

Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara

selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap

orang.

9. Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar

Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus

menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu, aparat

pemerintah harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu harapan sudah

terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak

menguntungkan bagi pemerintah.

10. Asas Meniadakan Akibat suatu Keputusan yang Batal

Asas ini berkaitan dengan pegawai, yang dipecat dari pekerjaannya dengan suatu

surat ketepan (beschikking). Proses menempatkan kembali pada pekerjaan semula,

pemberian ganti rugi atau kompensasi, dan pemulihan nama baik merupakan cara-cara untuk meniadakan akibat keputusan yang batal atau tidak sah.

Page 121: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxi

11. Asas Perlindungan Atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi

Asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap

pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga negara,

sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan

melindungi hak asasi setiap warga negara. Dengan kata lain, asas ini merupakan

pengembangan dari salah satu prinsip negara hukum, yakni perlindungan hak asasi. 12. Asas Kebijaksanaan

Asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya

diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus

terpaku pada peraturan perundang-undangan formal karena peraturan perundang-

undangan formal atau hukum tertulis itu selalu membawa cacat bawaaan yang

berupa tidak fleksibel dan tidak dapat menampung semua persoalan serta cepat

ketingggalan zaman, sementara perkembangan masyarakat itu bergerak dengan

cepat dan dinamis. Oleh karena itu, pemerintah bukan saja dituntut untuk bertindak

cepat, tetapi juga dituntut untuk berpandangan luas dan jauh serta mampu

memperhitungkan akibat-akibat yang muncul dari tindakannya tersebut.

13. Penyelenggaraan Kepentingan Umum

Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua

aspek kehidupan orang banyak. Penyelenggaraan kepentingan umum dapat

berwujud hal-hal di antaranya :

1. Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai kepentingan negara, di

mana contohnya tugas pertahanan dan keamanan

2. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama dari warga

negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negara sendiri yang contohnya

adalah persediaan sandang pangan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain.

3. Memelihara kepentingan bersama tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh para

warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan negara. Contohnya pendidikan

dan pengajaran, kesehatan, dan lain-lain. 4. Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan yang tidak

seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk

bantuan negara karena adakalanya negara memelihara seluruh kepentingan

perseorangan tersebut yang contohnya adalah memelihara fakir miskin, anak

yatim piatu, anak cacat, dan lain-lain

5. Memelihara ketertiban, keamanan, dan kemakmuran setempat, yang contohnya

adalah perturan lalu lintas, pembangunan, perumahan, dan lain-lain.

Berdasarkan macam-macam asas umum pemerintahan di atas, maka jika

dikaitkan terhadap Pasal 4 Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan

Publik bahwa Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:

a. Kepentingan umum. Artinya Pemberian pelayanan tidak boleh

mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.

Page 122: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxii

b. Kepastian hukum. Artinya jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam

penyelenggaraan pelayanan.

c. Kesamaan hak. Artinya Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,

agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

d. Keseimbangan hak dan kewajiban. Artinya Pemenuhan hak harus sebanding

dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan.

e. Keprofesionalan. Artinya pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi

yang sesuai dengan bidang tugas.

f. Partisipatif. Artinya Peningkatan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan

harapan masyarakat.

g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Setiap warga negara berhak

memperoleh pelayanan yang adil.

h. Keterbukaan. Artinya setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah

mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang

diinginkan.

i. Akuntabilitas. Artinya proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Artinya Pemberian

kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam

pelayanan.

k. Ketepatan waktu. Artinya penyelesaian setiap jenis pelayanan

dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.

l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Artinya Setiap jenis

pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Dalam Memperoleh

Pelayanan Publik

Dalam konsideran Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan

Publik menegaskan bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan

penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka

pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan

penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam

penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi

pengaturan secara jelas sehingga lahirlah Undang-undang Nomor 25 tahun 2009

Tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Page 123: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxiii

Publik adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang

baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri.

Sedangkan sebagai upaya untuk menjamin kualitas pelayanan publik maka

diterbitkan pula Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman

Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kemudian lahirlah Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam

Penyelenggaraan Pelayanan Publik, bahkan di daerah kabupaten/kota lahir Peraturan

daerah tentang pelayanan publik.

Dalam konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan

profesi yang semakin penting. Ia tidak lagi merupakan aktivitas sambilan, tanpa payung

hukum, gaji dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di banyak negara

berkembang pada masa lalu.49

Sebagai sebuah lembaga, pelayanan publik menjamin keberlangsungan

administrasi negara yang melibatkan pengembangan kebijakan pelayanan dan

pengelolaan sumberdaya yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Sebagai

profesi, pelayanan publik berpijak pada prinsip-prinsip profesionalisme dan etika seperti

akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan bagi semua penerima pelayanan.50

Dalam konteks era desentralisasi ini, menurut Ismail Mohamad, pelayanan

publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik. Paradigma

pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan

yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan

(customer-driven government) dengan ciri-ciri:51

1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang

memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada

masyarakat.

2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat

mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama.

49 Edi Suharto, 2008. “Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat

Dengan Kebutuhan Khusus”, artikel Disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special

Needs) pada Sektor Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara, Sahira Butik

Hotel, Bogor 9-10 Oktober 2008.hlm.

50 Edi Suharto, Ibid.

51 Ismail Mohamad, 2003, “Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi, artikel

Disampaikan dalam acara Seminar “Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi”

diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas,

Jakarta Pusat.diakses 20 Pebruari 2011.

Page 124: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxiv

3. Menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu

sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.

4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada

hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan.

5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.

6. Pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan.

7. Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan.

8. Lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan

9. Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.

Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain:

(1) memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki wide

stakeholders, (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5)

memiliki complex and debated performance indicators, serta (6) seringkali menjadi

sasaran isu politik.

Dalam hal perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam memperoleh

pelayanan publik terkait adanya hubungan hak dan kewajiban yang harus dilindungi

oleh pemerintah, di mana Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memberikan hak kepada masyarakat untuk:

a. Mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;

b. Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;

c. Mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;

d. Mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan;

e. Memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan

apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;

f. Memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila

pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;

g. Mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan

dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; h. Mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan

dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan

ombudsman; dan

i. Mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.

Menurut Philipus M. Hadjon terdapat 2 (dua) macam perlindungan hukum

secara umum, yaitu:52

1. Perlindungan hukum preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini sebaiknya hukum diberi kesempatan untuk

mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan

pemerintah mendapatkan bentuk yang definetif. Tujuannya adalah untuk mencegah

52 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,

Surabaya, Bina Ilmu, hlm. 3-5

Page 125: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxv

terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi

tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan

adanya perlindungan preventif ini pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati

dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum

ada pengaturan secara khsusus mengenai perlindungan hukum preventif.

2. Perlindunghan hukum represif Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa termasuk

dalam perlindungan hukum represif adalah penanganan perlindungan hukum oleh

peradilan administrasi di Indonesia.

Jadi, perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan

publik oleh pemerintah daerah memiliki arti memberikan perlindungan kepada

masyarakat agar terlindungi dengan perangkat-perangkat hukum. Dengan kata lain,

perlindungan hukum bagi masyarakat merupakan upaya memberikan perlindungan

secara hukum agar hak-hak maupun kewajiban masyarakat sebagaimana penulis

jelaskan di atas dapat dilaksanakan pemenuhannya, sehingga di dalam perlindungan

hukum bagi masyarakat dalam memperoleh hak pelayanan publik oleh pemerintah

daerah yang terutama ialah perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat.

Hukum merupakan salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk tercapainya tujuan perlindungan tersebut baik dari segi hukum pidana, hukum perdata maupun

hukum administrasi Negara/publik.

J. Satrio menyebutkan bahwa setiap manusia, dalam arti hukum diakui sebagai

pribadi atau subyek hukum yang mempunyai wewenang berhak yang

dimulai dari saat lahirnya dan akan beralih kepada pewaris dengan

meninggalnya.53

Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya ialah untuk

mengintegrasikan dan mengoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa

berbenturan satu sama lain, sehingga bisa ditekan sekecil-kecilnya benturan itu.

Pengorganisasian kepentingan-kepentingan dilakukan dengan membatasi dan

melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sesuai dengan keinginan dan hak masyarakat.

KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa analisis yang telah penulis paparkan dalam hasil dan

pembahasan di awal sebagai jawaban atas permasalahan yang telah ditetapkan, maka

diakhir penelitian ini penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Mengenai sistem pelayanan publik menurut hukum positif di Indonesia, telah diatur

oleh beberapa peraturan peruturan perundang-undangan secara hierarkis dalam

53 J. Satrio, 1999, Hukum Pribadi Bagian I - Persoon Alamiah, Bandung, Citra

Aditya Bakti, hlm. 13-20

Page 126: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxvi

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Inpres Nomor 5

Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di

Bidang Usaha, Inpres Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan

Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Surat Keputusan

Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang

Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Kemudian pada awal reformasi pemerintah melalui Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk

Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan

Publik.

2. Perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik oleh

pemerintah melalui perlindungan hukum preventif maupun perlindungan hukum

represif memiliki makna memberikan perlindungan kepada masyarakat agar

terlindungi dengan perangkat-perangkat hukum. Perlindungan hukum bagi

masyarakat merupakan upaya memberikan perlindungan secara hukum agar hak-

hak maupun kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan terpenuhi di

antaranya hak atas kebenaran isi standar pelayanan; hak untuk mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; hak mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang

diajukan; hak mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan;

hak atas memberitahukan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila

pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; hak

mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan

dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; dan

hak untuk mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan

pelayanan.

SARAN

1. Perlu adanya penetapan “standar pelayanan publik” yang merupakan komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan berkualitas atas dasar

akumulasi/perpaduan harapan masyarakat dan kemampuan sarana dan pra sarana

pihak penyelenggara pelayanan.

2. Agar perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik

oleh pemerintah daerah berjalan secara optimal, maka disarankan perlu adanya

“penetapan dan pengembangan standar proses operasional” atau yang biasa

dikenal standard operating procedures. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan

proses pelayanan publik tersebut berjalan secara konsisten. Selain hal tersebut di

atas, juga disarankan adanya karakter positif/komitmen kebijakan pemerintah

daerah dalam mengembangkan pelayanan publik mengingat kebutuhan pelayanan

publik tiap satuan tingkatan pemerintah daerah otonom tidak sama disebabakan perbedaan kultur masyarakat, letak dan kondisi geografis daerah, tingkat dan

macam kebutuhan masyarakat serta kemampuan masing-masing daerah.

Page 127: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxvii

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PASAL 174 PP NO. 44 TAHUN 1993

TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR

Oleh:

M..Amin Rachman, S.H.,MH.*

ABSTRAK

. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan

nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga

harus dilakukan penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan

kepemilikan sepeda motor dari penjual kepada pembeli. Perobahan status

kepemilikan sepeda motor yang didaftarkan, akan melahirkan perobahan

nama pemilik dalam BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan;

Kata Kunci: Tinjauan Yuridis – Bea Balik Nama – Kendaraan Bermotor.

LATAR BELAKANG

Setiap penyerahan benda-benda terdaftar menghendaki adanya balik nama atau

penyerahan secara yuridis yang memerlukan akta otentik. Benda-benda terdaftar pada

perkembangan zaman sekarang ini tidak saja meliputi benda-benda tidak bergerak tetapi

juga mencakup benda-benda bergerak.

Pendapat-pendapat modern cenderung untuk mengakui perbedaan benda pada

benda-benda atas nama dan tidak atas nama atau benda-benda terdaftar dan benda-

benda tidak terdaftar daripada perbedaan secara lama yaitu benda bergerak dan benda

tidak bergerak.54 Yang dimaksud benda-benda terdaftar ialah benda-benda dimana

pemindahan dan pembebanannya disyaratkan harus didaftarkan dalam register. Tujuan

diadakan pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum.

Disamping itu juga harus diakui bahwa ketentuan melaksanakan pendaftaran juga

terdapat kepentingan fiskal.

54A. Yuda Hernoko, Diktat Hukum Perjanjian Kredit dan Jaminan – Aspek

Hukum Jaminan dan Lembaga Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,

Surabaya, 2001, h.11

Page 128: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxviii

Benda bergerak yang terdaftarpun dalam penyerahannya mendapat perlakuan

yang sama dengan benda-benda tidak bergerak, yaitu memerlukan adanya penyerahan

secara yuridis. Hanya dengan penyerahan nyata saja belum menimbulkan adanya

pemilik baru. Dalam karya ilmiah ini, saya menunjuk pada peristiwa jual beli kendaran

bermotor bekas yang dijumpai dalam masyarakat. Sengaja dipilih kendaran bermotor

yang bekas karena penguasaan terhadap benda ini sering dilakukan tanpa balik nama. Kendaraan bermotor adalah benda bergerak, benda bergerak pada umumnya

berlaku syarat penyerahan sekaligus, antara penyerahan nyata (feitelik levering) dan

penyerahan yuridis (yuridische levering) jatuh bersaman pada waktu benda diserahkan.

Anggapan ini sangat berpengaruh dalam masyarakat, sehingga penyerahan secara

yuridis yang harus dilakukan terhadap benda bergerak terdaftar sering diabaikan. Di

lapangan praktek asal barang sudah ditangan maka ia menjadi pemilik.

Maksud ketentuan di atas, sebenarnya menghendaki agar setiap peralihan

kendaran bermotor diikuti dengan penyerahan kekuasaan melalui balik nama. Namun

dalam praktek, justru yang dinyatakan sebagai pemilik bukanlah orang yang tersebut

sebagai pemilik dalam STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) atau BPKB (Bukti

Pemilik Kendaraan Bermotor), melainkan secara faktual yang menguasai kendaraan

beserta surat-suratnya (dalam hal ini STNK dan BPKB). Ketentuan ini cenderung memberikan perlindungan kepada para pemegang kendaraan bermotor.

Dalam sistem Eropa dikenal adanya lembaga bezitt. Pasal 1977 KUH Perdata

menyabutkan bahwa “terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun

piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang

menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.55 Dalam teori-teori tentang basit, baik

eigendoms theorie maupun legitimetie theorie, soal penyerahan tidak perlu dilakukan

oleh orang yang berwenang, sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 548 KUH

Perdata, tentang cara memperoleh hak milik.56

Sistem yang dibicarakan diatas sepanjang mengenai sistem yang dikenal dalam

KUH Perdata. Mengenai sistem-sistem yang lain yang terdapat dalam hukum adat,

maka ini menjadi pedoman dalam pembahasan karya ilmiah ini. Selaras dengan adanya suatu prinsip law is a tool of social engineering guna merintis jalan yang lapang untuk

memungkinkan terlaksananya pembangunan ekonomi yang lancar, khususnya proses

transaksi kendaraan bermotor dalam tradisi (hukum) adat, dengan jalan

mengaplikasikan nilai-nilai yang kerap dipraktekkan dalam transaksi jual beli kendaraan

bermotor melalui fungsi rechtsvinding (penemuan hukum).57

55Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Bab-bab Tentang

Hukum Benda, Cet.I, bina ilmu, Surabaya, 1984, h..63. 56Ibid., h..66. 57Soetandyo Wignjosoebroto, Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan

Hukum Di Indonesia pada Era Pascakolonial, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga

Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, PT. Eresco, Bandung, 1995, h. 419.

Page 129: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxix

Alternatif lain tidak dilaksakannya penyerahan yuridis, adalah kemungkinan

menghindari pengenaan bea balik nama. Alternatif-alternatif ini menjadi latar belakang

permasalahan dalam karya ilmiah ini.

Padahal dalam sisi lain, menghendaki adanya kepastian hak dan kepastian hukum. Agar

tujuan ini tercapai pembuat undang-undang menghendaki adanya proses balik nama

untuk memperoleh hak milik berdasarkan suatu alas hak. Sedangkan pembuat undang-undang berpendapat tidak ada pemilikan yang sah terhadap pemilikan kendaraan

bermotor tanpa dilakukan proses balik nama kepada pemilik yang terakhir sebagai

pemilik yang sebenarnya dan sah secara hukum. Sedangkan kenyataan yang terjadi,

masyarakat sudah dapat menganggap menjadi pemilik dan merasa mendapat kepastian

walaupun penyerahan secara yuridis tidak dilaksanakan. Sejauh mana akibat hukum dari

pemilikan terhadap benda-benda ini, menjadi pokok bahasan dalam karya ilmiah ini.

Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik permasalahan konkrit dengan

rumusan sebagai berikut:

a. Bagaimana perlindungan hukum atas jual beli kendaraan bermotor ?

b. Bagaimana proses penyerahan yuridis atas benda-benda terdaftar dalam suatu

transaksi?

c. Bagaimana akibat hukum terhadap pemilikan kendaraan bermotor ?

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS JUAL BELI KENDARAAN BERMOTOR

A. Jual beli harus dilaksanakan oleh orang yang berhak

Sebagaimana diatur dalam pasal 584 KUH Perdata, salah satu cara

memperoleh hak milik harus dilaksanakan oleh orang yang berwenang. Orang yang berwenang mempunyai kewenangan berhak (beschikkingsbevoegdheid) untuk

memindahkan milik ketangan lain.58 Hanya ada dua persoalan yang ingin saya

kemukakakan dari pasal ini, yaitu pertama pemindahan milik oleh orang berhak atas itu

dan kedua titel (alas hak) yang menjadi alasan bagi pemindahan tadi.

Persyaratan untuk kewenangan berhak adalah tidak lain dari suatu penerapan

azas tiada seorang pun dapat memindahkan hak lebih dari pada apa yang ia miliki

sendiri (Nemo plus juris ad alium transfere potest quam ipse haberet) atau dengan kata

lain : “tidak seorangpun dapat menerima suatu hak dari tangan seseorang yang tidak

berhak.”59

Mengenai benda bergerak dalam hal ini harus diperhatikan pasal 1977 KUHP

Perdata yang berbunyi untuk benda bergerak yang tidak terdiri atas bunga atau piutang

58Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Loc.cit. 59Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed.II, Liberty,

Yogyakarta, 2000, h.122.

Page 130: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxx

yang pembayarannya dapat dilakukan kepada pemegangnya (toonder papieren), berlaku

ketentuan “bezit merupakan titel yang sempurna”60

Dalam teori kausal, alas hak menjadi alasan penting bagi pemindahan hak

milik itu. Suatu yang menyebabkan pemindahan tersebut sama sekali tidak dapat

dilepaskan dari titel tersebut. Jadi apabila perjanjian tersebut batal , maka pemindahan

atas hak milik akan batal. Dalam jual beli kendaran bermotor bekas dari tangan ke tangan lain yang

sering terjadi, kurang memperhatikan siapa orang yang berwenang. Sesuai dengan

ketentuan di atas, bila jual beli demikian dilakukan oleh orang yang tidak berwenang

seharusnya batal, karena sahnya perjanjian menjadi sumber pokok perpindahan milik.

Pendapat ini sesuai dengan kehendak para pembuat undang-undang. Mereka

memandang bahwa sahnya perjanjian jual beli harus dilakukan oleh orang yang

berwenang, artinya orang itu dapat menunjukkan akta / surat-surat tanda pemilikan atas

namanya. Agar pihak ketiga (pembeli barang) menjadi orang yang berwenang baru,

maka setiap perpindahan hak milik harus disertai balik nama. Inilah seharusnya

ketentuan yang berlaku terhadap benda-benda terdaftar. Antara orang yang berwenang,

atas hak yang sah dan penyerahan yuridis merupakan suatu proses pemindahan hak

milik. Jika salah satu diantaranya tidak sah, maka pemindahan milik itu batal demi hukum.

Pada pokoknya, pemindahan benda-benda terdaftar menyerupai benda-benda

tidak bergerak, seperti yang berlaku sebagai berikut: kesepakan kehendak saja

kebanyakan belumlah untuk melakukan perpindahan hak milik. Acapkali disyaratkan

bahwa persetujuan kebendaan (zakelijk overeenkomst) itu diikuti dengan formalitas-

formalitas tertentu. Demikian penyerahan pada benda-benda tidak bergerak adalah tidak

cukup, bila hanya ada kehendak dari pihak-pihak saja. Untuk itu, di samping diperlukan

pula adanya suatu akta notariil (617 KUH Perdata, yang dibalik nama dalm daftar

umum pasal 616KUH Perdata).

Penafsiran lain mengenai pasal 584 di atas dikenal dengan teori abstrak.

Menurut ajaran abstrak, penyerahan dan atas hak itu merupakan hal-hal yang terpisah satu sama lain. Untuk sahnya penyerahan tidak tergantung pada alas hak nyata.

Sehingga menurut abstrak yang murni konsekuensinya bisa terjadi bahwa penyerahan

itu akan sah juga sekalipun titelnya tidak sah, bahkan sekalipun tanpa titel.61

Ajaran ini berlawanan dengan yang diuraikan sebelumnya, pendapat di atas

cenderung mengatakan sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak

berwenang. Seperti dikatakannya dalam teori ini, bahwa alas hak dan penyerahan

merupankan hal yang terpisah. Dengan demikian transaksi jual beli dimaksud dianggap

sudah dapat menimbulkan penyerahan yang sah.

60Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Cet.I, PT.Pembimbing Masa, Jakarta,

1969, h.174.

61Soetojo Prawirohamidjojo R dan Marthalena Pohan, Op.cit., h..43.

Page 131: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxi

Disamping itu, terdapat cara-cara memperoleh hak milik diluar pasasl 584.

Apakah cara ini menjadi lembaga baru untuk mengatur benda-benda terdaftar dan tidak

terdaftar. Undang-undang mengatur tersendiri, walaupun pengaturannya tidak

berdasarkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam KUH Perdata. Namun lembaga

penyerahan mempunyai peranan penting dalam pengaturan benda-benda semacam ini.

Apabila kita berfikir sederhana, seperti kebanyakan anggapan masyarakat, orang yang berwenang terhadap benda-benda berupa kendaraan bermotor adalah

pemegang sendiri. Mereka merasa dapat bebas mengadakan jual beli tanpa harus terikat

kewajiban penyerahan secara yuridis, dan tanpa rasa khawatir jual beli akan dibatalkan.

B. Status Pemilikan

Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat, agar jangan

sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-penyimpangan, akan tetapi

masyarakat selalu berkembang dan berubah. Ketentuan yang semula diatur secara rinci

dan jelas ternyata pada akhirnya tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat.

Ditinjau dari segi yuridis, setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan, jelas

hukum tidak akan memberikan kepastian hak dan kepastian hukum.

Dalam hal kepastian hukum diberikan kepada mereka yang berhak atas milik.

Artinya yang dimaksud dengan hak, tidak hanya penguasaan pada suatu benda, akan

tetapi meliputi kepentingan hukum yang menyertainya. Terhadap penguasaan di sini

saya juga menggunakan istilah pemilikan, karena dipandang lebih sesuai dengan

keadaan dalam praktek.

Dalam jual beli kendaraan bermotor bekas, masyarakat cenderung melupakan

kepentingan hukumnya daripada pemilikannya, untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemilikan

dalam konteks ini dianggap lebih bermanfaat dari pada kepentingan hukumnya. Apakah

karena tidak mempunyai arti ekonomis, kepentingan hukum selalu dikorbankan? Kedua

aspek ini tidak harus dipertentangkan. Antara kebutuhan ekonomi dan kepentingan

hukum memang berbeda. Tetapi perbedaan ini bukan untuk saling mengorbankan. Jika

ekonomi berputar, maka hukumnya harus diterapkan. Peranan hukum yang sangat penting adalah kemampuannya untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungan

antar manusia di dalam masyarakat.

Apabila kita berfikir yuridis antara kepentingan hukum dan pemilikan benda-

benda itu adalah melekat pada suatu “hak”. Timbulnya kepentingan hukum adalah

karena adanya penguasaan/pemilikan tehadap benda. Apabila pemilikan dipindahkan

juga berarti kepentingan hukumnya juga harus dipindahkan. Dan pemilik pertama tidak

lagi mempunyai kepentingan hukum.

Benda-benda bergerak adalah pembagian yang sudah lama dikenal masyarakat,

dan jumlahnya jauh lebih besar dari pada benda-benda serupa yang terdaftar. Benda-

benda bergerak dalam lembaga-lembaga yang dikenal dalam hukum benda diperlakukan

sangat berbeda dengan benda-benda tidak bergerak, yang menyerupai benda-benda terdaftar. Pergeseran kecenderungan dari pembagian benda-benda bergerak atau tidak

Page 132: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxii

bergerak menjadi benda terdaftar atau tidak terdaftar, ternyata belum dapat

meninggalkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam mengatur benda-benda bergerak

atau tidak bergerak. Seperti dapat dilihat dalam pasal 1977 KUH Perdata. Hukum ini

menghapuskan persyaratan kewenangan berhak untuk memperoleh benda-benda

bergerak yang berwujud, sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dalam bezit, ada dua aspek penting yaitu aspek pembuktian dan aspek itikad baik. Benda-benda terdaftar yang menjadi kreteria baru pembagian benda masih

berlindung pada ketentuan pasal 1977 KUH Perdata. Dalam praktek, pasal 1977 KUH

Perdata sering dihadapkan dengan pasal 584 KUH Perdata. Pasal 1977 merupakan

penyelesaian dan terobosan pertama terhadap pengesahan perolehan hak milik atas

benda bergerak yang terdaftar. Untuk selebihnya mengenai hal-hal yang tidak dapat

ditampung oleh ketentuan ini, maka perlu dipancangkan pasal 584 KUH Perdata.

Di sini kembali kewenangan berhak menentukan sahnya penyerahan hak milik.

Penyerahan yuridis terhadap benda-benda bergerak terdaftar, tetap harus dilakukan.

Bilamana penyerahan yuridis atau balik nama tidak dilakukan, maka selama itu pula

kepemilikan atas benda bergerak terdaftar adalah milik si empunya yang lama atau

penjual.

Transport akta (akta peralihan) memerlukan adanya pendaftaran, di mana dalam penyelenggaraan pendaftaran, dikenal adanya sistem negatif dan sistim positif.

Sistim ini lazim digunakan dalam pemberian surat-surat tanda bukti hak atas tanah.

Surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan untuk benda-benda bergerak terdaftar

dapat dikatakan menganut sistim positif.

Sistem positif menganggap bahwa apa yang tercantum dalam pendaftaran

merupakan alat pembuktian yang mutlak. Bila sistim ini berlaku atas tanah, maka

bertujuan untuk kepentingan tentang bisa atau tidaknya di adakan pembuktian baru

dalam gugat yang diajukan.

Terhadap benda-benda bergerak yang terdaftar cenderung menganut sistim

positif. Di sini tidak bisa digunakan sistim negatif karena tidak menghendaki adanya

pembuktian baru. Dan sudah barang tentu apabila sistim ini digunakan tidak akan berjalan efektif. Dalam ilmu hukum sistim-sistim ini tidak digunakan terhadap benda-

benda terdaftar. Hanya dapat dimengerti bahwa hak yang diberikan kepada pemilik

mengandung kewenangan-kewenangan yang bersifat publiekrechtelijk.

Semua hak-hak (subjectieve rechten), maksudnya kewenangan-kewenangan

yang diberikan oleh hukum, yang mempunyai sifat baik publiekrechtelijk itu maupun

privatrechtelijk. Kewenangan-kewenangan publiekrechtelijk itu tidak dapat dipindahkan

(niet overdrangbear). Demikian misalnya, hak pilih tidak dapat dipindahkan.

Kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada pemilik benda-benda bergerak

terdaftar bersifat publiekrechtelijk, artinya hak itu tidak dapat dipisahkan dari bendanya

sebab berkenaan dengan pengenaan pajak.62 Pajak hanya dapat dikenakan kepada orang

62Moch. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Cet.I, CV. Dharma

Muda, Surabaya, 1996, h.127.

Page 133: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxiii

yang langsung menikmati benda yang dalam penguasaannya. Hak wajib pajak ini tidak

dapat dipindahkan atau dikenakan pada orang lain yang tidak langsung menikmati

bendanya.

C. Bentuk Penyimpangan Hukum

Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat setiap

ketentuannya, agar jangan sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-

penyimpangan. Walaupun tidak bersifat statis, namun peerkembangan masyarakat lebih

cepat dibandingkan dengan ketentuan hukum yang ada. Ketentuan yang dibuat

tertinggal dan tidak dapat menampang kenyataan yang ada. Selama undang-undang ini

belum dirubah atau diganti, maka ia akan tetap dipertahankan. Setiap perbuatan yang

menyimpang dari ketentuan itu, jelas hukum tidak akan memberikan perlindungan yuridis berupa kepastian hak dan kepastian hukum. Sudah barang tentu pada waktu

undang-undang dibuat, akan selalu menganggap bahwa setiap orang dapat bertindak

jujur. Sebab undang-undang hanya dapat dilaksanakan dengan kejujuran serta membuat

pagar agar setiap orang jangan bertindak tidak jujur. Tentang kejujuran sering

dibicarakan dalam hukum perjanjian dan sering disebut dengan tegoeder trouw (itikad

baik), yang dapat diartikan bahwa apa yang menjadi tujuan seseorang, bertindak akan

sesuai dengan apa yang direncanakan dalam hati sebelumnya.

Memperoleh hak kebendaan pada umumnya berasal dari suatu perjanjian, yaitu

perjanjian yang menimbulkan kewajiban pernyerahan hak milik. Penyerahan hak milik

benda-benda terdaftar dibebani proses balik nama dan dikenakan bea. Bea balik nama

kendaraan bermotor (BBNKB) merupakan bea langsung yang obyeknya adalah transaksi. Jadi dasar pelaksanaan balik nama adalah suatu transaksi. Transaksi dapat

meliputi perhubungan hukum (titel), kewajiban dan penyerahan. Proses balik nama

adalah ketentuan yuridis, yang selama ini hanya dikenal dalam penyerahan atau

peralihan atau pemindahan hak milik. Di mana ketentuan ini seharusnya diletakkan,

apabila hanya disebut transaksi, maka peristiwa jual beli kendaraan bermotor bekas

sudah melalui perjanjian, pelaksanaan kewajiban dan penyerahan. Andaikata yang

disebut transaksi ini lebih menitik-beratkan kepada titelnya, maka kemungkinan semua

penyerahan yuridis dengan kewajiban membayar bea balik nama. Penyerahan terhadap

benda-benda terdaftar semacam kendaraan bermotor bekas harus melalui pendaftaran,

yaitu mengganti nama pemilik semula ke pemilik yang baru dengan dinyatakan dalam

surat-surat otentik BPKB dan STNKB-nya. Kewajiban terhadap pendaftaran ini yang

biasanya enggan dilaksanakan. Agar hukum tidak menjatuhkan sanki yuridis kepada pemilik kendaraan bermotor tanpa surat-surat yang dibalik nama, sering dijumpai para

pihak mengadakan persepakatan tersendiri untuk tidak menggunakan jalur hukum.

Misalnya tidak saling mengadakan tuntutan.

Walaupun hukum perdata menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan,

namun hukum diselenggarakan oleh negara untuk kepentingan perorangan maupun

Page 134: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxiv

masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian campur tangan negara adalah demi

kepentingan negara. Agar kepentingan ini tidak dikorbankan, maka undang-undang

menetapkan aturan-aturan membayar pajak setiap transaksi peralihan kendaraan

bermotor agar dilaksanakan balik nama.

Dalam hukum benda, tidak dapat diciptakan hak-hak baru kecuali yang telah

ditentukan. Sedang dalam hukum perjanjian, karena sebagian besar merupakan regelen (pelengkap saja) dapat menciptakan hal-hal baru diluar ketentuan yang ada.

Di sini ada dua sifat yang saling berhadapan, yaitu sifat tertutup pada hukum

benda disatu pihak dan sifat terbuka pada hukum perikatan. Apabila ketentuan dalam

hukum benda tidak dilaksanakan berarti masyarakat cenderung bergantung pada sifat

dari ketentuan-ketentuan hukum perikatan. Dalam perjanjian dikenal adanya kebebasan

berkontrak Kebebasan ini dianggap “menyelamatkan” dari ketentuan-ketentuan yang

bersifat tertutup. Akan tetapi dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenal

adanya perbuatan untuk melaksanakan suatu ketentuan untuk tidak melaksanakan suatu

ketentuan yang lain. Dalam hukum perjanjian memang diakui bahwa setiap perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

(pasal 1338 KUH Perdata).63

Salah satu unsur syarat perjanjian yang sah adalah itikad baik, di sini peranan kejujuran setiap orang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang. Apabila terjadi

persepakatan untuk menyimpangi suatu ketentuan yang lain dari undang-undang, maka

hukum memberi sanksi batal dan perjanjian tidak boleh dilaksanakan. Inilah pagar-

pagar yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang. Namun pagar-pagar ini

merupakan benda mati. Sedang yang berubah adalah manusianya sebagai pelaksana dari

undang-undang, maka pagarpun tetap dapat diterobos.

Jika azas dari pasal 1338 KUH Perdata ini dipergunakan untuk memperkuat

pemilikan benda-benda terdaftar berupa kendaraan bermotor, ini berarti terhadap obyek,

pemilik hanya mempunyai hak perorangan saja. Benda-benda ini hanya dapat

dipertahankan kepada orang-orang tertentu atau pemilik sebelumnya. Ini hasil yang

diperoleh dari pemilikan tanpa melaksanakan ketentuan yang ada. Padahal pemilikan atas benda-benda ini adalah untuk memperoleh hak-hak kebendaan, yaitu yang

memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap

tiap orang.64 Agar dapat dipertahankan undang-undang memerintahkan penyerahan

yuridis terhadap benda-benda terdaftar.

PROSES PENYERAHAN YURIDIS BENDA-BENDA TERDAFTAR

A. Dasar Hukum

63Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari

Perjanjian dan dari Undang-undang, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.66-67. 64Achmad Ichsan, Op.cit., h.154

Page 135: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxv

Dasar hukum kewajiban melaksanakan balik nama kendaraan bermotor adalah

dikarenakan terdapat suatu kewajiban untuk selalu mendaftarkan, demikian pula

bilamana terjadi perobahan kepemilikan karena penjualanan kendaraan bermotor

diwajibkan pula untuk melaporkan terjadinya perobahan kepemilikan atas kendaraan

bermotor tersebut. Hal ini mengacu pada: - Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992;

- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993;

- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993;

- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993.65

Kendaraan bermotor menurut pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 14 tahun

1992 adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada

kendaraan itu. Adapun kendaraan itu sendiri dalam angka 6 pasal yang sama

didefinisikan sebagai suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan

bermotor atau kendaraan tidak bermotor.

Setiap balik nama kendaran bermotor, diwajibkan membayar bea balik nama

yang disebut bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 pasal 174 ayat 2. Ketentuan dalam pasal ini adalah bersifat imperatif, karena terimplementasikan dari kata “wajib”, namun dalam praktek

setiap pelanggaran atas pasal di atas pengenaan sanksinya menjadi kabur, seolah tidak

ada sanksi hukum terhadap pembeli kendaraan sepeda motor yang tidak melakukan

balik nama.

Kemudian dijumpai pula ketentuan yang tertera di balik Surat Tanda Nomor

Kendaraan Bermotor (STNKB) bahwa STNK harus diadakan perubahan atau

penggantian STNK di daerah yang bersangkutan bilamana:

a. Identitas pemilik berobah;

b. Spesifikasi tehnis kendaraan berobah;

c. STNK hilang;

d. STNK rusak; e. Dioperasikan 3 (tiga) bulan terus menerus di daerah lain;66

Memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, timbulnya kewajiban penyerahan

secara yuridis/balik nama hanya ditentukan oleh lima alasan di atas, selebihnya tidak

ada ketentuan yang mengaturnya. Bagi pejabat yang berwenang melakukan balik nama

kendaraan bermotor, dapat menentukan kapan terjadinya waktu atau saat timbulnya

kewajiban tersebut. Hal ini adalah tidak mungkin ditetapkan secara pasti dan matematis,

sehubungan terjadinya transaksi sepeda motor antar pedagang dengan konsumen atau

65Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pelaksanaannya 1993, Cet.I, BP. Tri Rasaki,

Jakarta, 1993, h.3. 66Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 04 April 2011.

Page 136: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxvi

antar pedagang dengan pedagang “tidak pernah diberitahukan”. Sedang bagi kendaraan

bermotor bukan pemilik, masalah tersebut selalu dapat dibuat seakan-akan belum

menimbulkan kewajiban balik nama sesuai ketentuan-ketentuan diatas. Ketentuan-

ketentuan tentang jangka waktu yang berbeda-beda di atas, apabila kita hubungkan

dengan masa berlaku herregistrasi yang ditetapkan satu tahun, menjadi kurang efektif.

Karena pada saat herregistrasi, disamping membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu-lintas (SWDKL), langsung dapat

dibayarkan /diselesaikan balik nama, apabila terjadi penyerahan hak milik. Sehingga

jarang orang memberikan keterangan tentang balik nama sebelum STNK lama habis

masa berlakunya. Mengingat STNK lama masih berlaku selama tidak dikeluarkan

STNK lain/baru atau habis masa berlakunya.

Pejabat yang bertugas melakukan balik nama kendaraan bermotor, dilarang

untuk menyelenggarakan balik nama sesuatu kendaraan bermotor, atau memberi catatan

tentang adanya penyerahan kendaraan bermotor, sebelum kepadanya diserahkan bukti-

bukti bahwa bea balik nama kendaraan bermotor beserta dendanya kalau ada, telah

dilunasi atau diserahkan sesuatu surat keterangan bahwa penyerahan kendaraan

bermotor itu bebas balik nama kendaraan bermotor.

Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan balik nama adalah : a. Penyerahan kendaraan bermotor kepada negara dan daerah otonomi;

b. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Organisasi Internasional;

c. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Diplomatik, konsuler dan wakil

lain dari negara asing.67

Dari uraian diatas, kewajiban balik nama merupakan kewajiban para pemegang

kendaraan bermotor dengan tidak mengurangi tanggung jawab terhadap pihak yang

menyerahkan kendaraan bermotor itu.

B. Proses Balik Nama Kendaraan Bermotor.

Pelaksanaan balik nama kendaraan bermotor dilakukan melalui Sistim

Administrasi Manunggal Di bawah satu Atap (SAMSAT) yang merupakan gabungan dari instansi-instansi : POLRI, Dinas Pendapatan Daerah dan PERUM Asuransi

Kerugian Jasa Raharja.

Sistim ini melayani penyelesaian kewajiban yang berkaitan dengan kendaraan bermotor

yaitu :

- Penyelesaian Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB)

- Penyelesaian pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

(BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta

- Penyelesaian Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu lintas (SWDKL)

Menyelesaikan pembayaran bea balik nama kendaraan bermotor berarti

melakukan penyerahan secara yuridis. Dalam penyerahan secara yuridis akan terjadi

mutasi terhadap pajak kendaraan bermotor. Sedang yang disebut mutasi kendaraan

67Ibid.

Page 137: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxvii

bermotor adalah pemindahan bagi mereka yang menguasai kendaraan bermotor yang

dipindahkan dari wilayah lain baik atas nama tetap maupun yang dipindahkan tangan

atau ganti pemilik, karena jual beli atau hibah.

Adapun syarat-syarat bagi pemilik kendaraan bermotor bekas yang diperoleh

dari pembelian atau pemindahan dari wilayah lain untuk mengajukan permohonan

STNKB atas namanya antara lain : - Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) asli dan satu (1) foto copy.

- STNK asli dan satu (1) foto copy

- Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli dan foto copy

- Surat Keterangan Fiskal yaitu surat keterangan yang menyatakan bahwa

pajak kendaraan bermotor terakhir telah lunas.

- Gesekkan nomor mesin dan nomor rangka

- Jika ganti pemilik kwitansi jual beli

- Materai68

Persyaratan diatas hampir sama dengan persyaratan untuk mengadakan

herregitrasi STNK setiap tahun, kecuali kwitansi jual beli atau segala keterangan yang

harus diberikan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Keterangan atau pemberi tahuan itu harus memuat :

- Nama dan alamat lengkap baik dari yang menyerahkan atau yang

menerima penyerahan kendaraan bermotor.

- Tanggal penyerahan

- Jenis, merk dan tahun pembikinan kendaraan bermotor, nomor chasis

(landasan atau rangka) dan nomor mesin.

- Dasar atas nama penyerahan dilakukan

- Harga penjualan atau harga pembelian69

Karena kebesasan dalam jual beli kendaran bermotor bekas yang

menyebabkan pemindahan hak milik secara nyata, tidak dapat diketahaui oleh pejabat yang berwenang melakukan balik nama kendaraan bermotor, apabila yang bersangkutan

tidak memberikan keterangan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Oleh

karena sifat yang demikian ini, maka sering terjadi penyimpangan. Seperti diketahui

kendaraan bermotor harus didaftar ulang (herregistrasi) setiap tahun, dengan persyaratan

sebagaiman diatas, tetap dapat dilaksanakan walaupun telah ganti pemilik, dengan

upaya tetap menggunakan pemilik sesuai yang diberikan STNKB/BPKB.

Meskipun persyaratan itu mentetapkan kartu tanda penduduk pemilik yang

asli (sesuai nama dalam STNKB/BPKB), dalam kenyataannya persyaratan ini dapat

dilengkapi dengan cara meminjam kepada pemilik asli. Perjanjian ini adalah perbuatan

yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Sehingga pejabat yang

68Ibid. 69Ibid.

Page 138: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxviii

berwenang tetap dapat mengeluarkan STNKB baru setelah STNKB yang lama habis

masa berlakunya. Dapat juga dengan membuat kwitansi kosong, yang pengisiannya

dapat diatur sendiri oleh pemegang kendaran motor bekas, yang seakan-akan belum

timbul kewajiban adanya penyerahan yaitu mewajibkan pemegang kendaraan bermotor

itu.

C. Peranan Pendaftaran Terhadap Kendaran Bermotor

Sebagaimana telah diuraikan di atas pada bab pertama, bahwa tujuan

pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum. Demi

kepentingan itu, maka setiap pemilikan kendaraan bermotor perlu didukung dengan

pendaftaran dan diberikan STNK bagi pemiliknya. Dengan demikian STNK dapat

berfungsi sebagai bukti pendaftaran, juga berfungsi sebagai surat kuasa untuk menyetor

(SKUM) bea balik nama kendaran bermotor (BBNKB), SKP Pajak Kendaran Bermotor

(PKB) dan tanda lunas sumbangan wajib dana kecelakan lalu-lintas (SWDKL).

Sehingga setiap mengadakan pendaftaran harus membayar lunas pajak itu lebih dahulu

untuk jangka waktu satu tahun. Karena pajak berlaku untuk waktu satu tahun, maka

pendaftaran harus diulangi (herregitrasi) jika masa laku satu tahun telah habis dengan membayar pajak untuk tahun berikutnya.

Kedua fungsi ini saling berkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Di

satu pihak untuk kepastian hak dan kepastian hukum dan di satu pihak untuk

kepentingan pajak. Mengingat semua urusan yang berkaitan dengan kendaraan

diserahkan kepada Daerah Tingkat 1 serta penyerahan pajak-pajak negara kepada

daerah otonom, maka setiap kewajiban pendaftaran selalu dituangkan dalam peraturan-

peraturan yang melaksanakan pajak. Sehingga kepentingan pajak lebih mendominasi

dari pada sekedar melaksanakan pendaftaran.

Namun setiap pemilikan kendaran bermotor tanpa STNK yang sesuai dengan

pemilik, tetap akan merugikan pemerintah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya

transaksi jual beli yang tidak langsung diadakan balik nama. Pajak yang seharusnya

menjadi inkam (pendapatan) daerah tidak dapat dipungut karena peraturannya tidak dilaksanakan. Padahal peraturan daerah diadakan dalam rangka mengadakan efisiensi di

dalam bidang pemajakan, mengingat penjualan kendaran bermotor pada dewasa ini

tidak rendah dari pada harga penjualan atau penjualan nilai benda tidak bergerak,

sedangkan barang-barang yang berupa kendaran bermotor tersebut di dalam masyarakat

dijadikan suatu obyek spekulasi oleh para pedagang kendaran bermotor. Benda-benda

terdaftar berupa kendaran bermotor dalam penggunaannya selalu menyangkut

kepentingan umum di jalan raya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992, tentang Lalu-

lintas dan Angkutan Jalan Raya, mengatur kelancaran, keamanan dan ketertiban lalu-

lintas dan ketentuan-ketentuan pokok tentang politik pemerintah di bidang angkutan

jalan raya.

Agar undang-undang ini dapat terlaksana dengan baik, pemerintah daerah harus mengadakan pengawasan, melaksanakan uji kendaran bermotor, memelihara

keamanan serta pemberian fasilitas di bidang angkutan umum serta pemakai jalan.

Page 139: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxix

Semua ini memerlukan pengaturan dalam pemilikan. Pemberian STNK atas nama

pemilik, sebagai bukti adanya pelaksanaan pendaftaran mempunyai peranan penting

bagi terselengaranya kepentingan-kepentingan di atas, di samping tanda lunas

membayar pajak.

Untuk itu ditetapkan bahwa peraturan membayar pajak dapat dilakukan

sekaligus melaksanakan pendaftaran. Antara lain dengan membayar bea balik nama berarti telah melaksanakan peyerahan secara yuridis.

AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMILIKAN KENDARAN BERMOTOR

A. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Dibalik Nama

Akibat Hukum terhadap pemilikan kendaran bermotor yang tidak di balik nama

yang ditetapkan oleh peraturan-peraturan tentang bea balik nama kendaran bermotor

adalah akibatnya berupa sanksi hukum tidak melaksanakan kewajiban membayar

pajak/bea balik nama kendaran bermotor, yang berupa denda.

Seperti telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang bea balik nama

kendaraan bermotor, bahwa dalam satu bulan dari saat penyerahan harus meminta surat

kuasa untuk menyetor (SKUM) bea balik nama kendaraan bermotor. Sedang

pembayaran bea balik nama ini harus dilakukan pada saat mengajukan SKUM

dimaksud. Akan tetapi apabila dalam hal seorang akan mengajukan SKUM bea balik

nama sebelum sampai pada batas waktu yang ditentukan dan belum dapat membayar

lunas bea balik nama, maka yang bersangkutan dapat menunda pengajuan permintaan SKUM bea balik nama diatas selambat-lambatnya sampai pada batas waktu tersebut.70

Jika pada batas waktu itu, belum juga dilaksanakan pengajuan SKUM, dapat

dikenakan denda sebesar 25 % ( dua puluh lima persen ) dari jumlah bea yang terutang.

Gubernur Kepala Daerah dapat memperpanjang waktu yang dimaksud dengan waktu

satu bulan, apabila untuk itu oleh yang berkepentingan diajukan permohonan pada

waktu sebelum batas waktu itu lampau dan menurut pertimbangan terdapat alasan untuk

dikabulkan. Atas permohonan tertulis dari yang berkepentingan Gubernur Kepala

Daerah berwenang mengurangi atau membebaskan dari kewajiban dimaksud bila

terdapat alasan untuk itu. Bila yang menerima penyerahan tidak setuju dengan jumlah

yang dipakai sebagai dasar pengenaan bea, ia dapat mengajukan permohonan supaya

nilai jual kendaraan bermotor ditetapkan oleh suatu komisi taksasi.71

Kewajiban balik nama merupakan beban bagi orang yang menerima penyerahan. Apabila orang tersebut tidak mampu membayar, maka orang yang

70Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 4 April 2011. 71Ibid.

Page 140: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxl

menyerahkan kendaraan tersebut dapat pula dipertanggung jawabkan pembebanan

pembayarannya.

Berdasarkan ketentuan diatas, sebagai dasar pertama timbulnya kewajiban

membayar bea balik nama adalah saat penyerahan, yang kemudian dari saat penyerahan

pula terhitung batas waktu, yang apabila terlampaui akan dikenakan denda. Saat

penyerahan adalah perbuatan hukum antara pihak yang menyerahkan dan yang menerima penyerahan dalam suatu perjanjian. Apabila pada saat penyerahan tidak

dibuat secara tertulis, maka sesuai ketentuan yang ada, yang digunakan sebagai syarat

penyerahan adalah kwitansi jual beli antara pihak yang mengadakan penyerahan.

Walaupun sebenarnya tanggal yang tercantum dalam kwitansi adalah saat pembayaran,

sedang yang diperlukan adalah saat Penyerahan. Padahal seperti dijelaskan dalam bab

sebelumnya, yaitu sering kali terjadi jual beli dengan kwitansi kosong, sehingga tanggal

saat penyerahan dapat diatur seakan-akan belum menimbulkan balik nama.

Dengan demikian balik namapun dapat diatur dan beapun sulit dipungut.

Perihal yang sama adalah akibat jual beli kendaraan bermotor yang dilakukan secara

lisan. Para pihak dapat membuat sendiri suatu persepakatan yang mengatur penyerahan

apabila pada suatu saat diminta saat penyerahan secara tertulis. Dalam hal ini balik

nama masih dapat dilakukan.

Terhadap penguasaan kendaraan bermotor bukan pemilik dalam waktu

yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan dalih karena perjanjian pinjam

meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk memperoleh hak milik. Dalam

peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan bermotor, sudah berusaha untuk

mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai mana di atas.

Perjanjian pinjam meminjam untuk jangka waktu yang lama, ditetapkan

apabila lebih satu tahun dianggap sebagai penyerahan dalam hak milik. Menganggap

penyerahan hak milik dengan cara tersebut diatas, merupakan ketentuan yang bersifat

“pukul rata”. Sehingga akibat negatif berupa penguasaan kendaraan bermotor yang

berasal dari perbuatan hukum yang tidak sah kurang menjadi pertimbangan.

Mengenai bea balik nama ini Pemerintah Daerah mempunyai hak utama terhadap semua barang penanggung pajak. Hak utama ini mendahului segala hak

lainnya kecuali terhadap piutang tersebut dalam pasal 1139 sub 1 dan 4 serta pasal 1149

sub 1 KUH Perdata demikian pula pasal 80 dan 81 KUH Dagang, terhadap ikatan panen

hak gadai dan hipotik yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata yang

diadakan sebelum saat pajak terutang atau dalam hal diadakannya setelah saat itu,

sepanjang untuk itu diberikan suatu surat keterangan sebagai berikut :

a. Sebelum dan sesudah diadakan hipotik (saat ini bernama Hak Tanggungan)

menurut KUH Perdata, maka pemberi hipotik dapat minta surat keterangan,

bahwa hipotik itu mendahului hak utama sebagai mana dimaksud.

Page 141: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxli

b. Gubenur Kepala Daerah memberi surat keterangan tersebut jika tidak ada bea

balik nama yang mendahului hipotik atau menurut pendapatnya ada jaminan

bahwa bea balik nama terserbut akan dilunasi.

c. Dalam surat keterangan itu disebutkan tahun-tahun yang bersangkutan, dan

dalam hal surat keterangan tidak diberikan, maka pemberi hipotik dapat

mengajukan keberatannya kepada Gubernur Kepala Daerah, jika menurut pendapatnya ada alasan untuk itu, sedangkan terhadap ikatan kredit, diperlukan

juga ketentuan ini.

Terhadap tanah yang dimiliki menurut hukum adat, maka hak utama ini tidak

mendahului ikatan kredit yang diadakan, sebelum saat wajib bayar bea balik nama

terjadi atau dalam hal diadakannya sesudah saat itu, sepanjang sat itu diberikan suatu

keterangan seperti dimaksud. Tanah atau barang yang digadaikan menurut hukum adat,

maka hak Pemerintah Daerah tidak mendahului hak pemegang gadai atas pembayaran

uang gadai. Hak utama akan hilang setelah dua tahun sejak tanggal surat kuasa untuk

menyetor atau jika dalam waktu itu diberitahukan surat paksa untuk membayar dua

tahun setelah diberitahukannya akta tuntutan yang terakhir. Dalam hal ini diberitahukan

penundaan pembayaran, maka waktu tersebut, karena hukum dapat diperpanjang

dengan waktu penundaan paling lama dua tahun.

Walaupun pemilikan kendaraan bermotor dengan cara menyelundupkan

hukum seperti dimaksud dalam uraian di atas, ketentuan yang ada tidak memberikan

sanksi mencabut hak (onteigenen) yang diberikan. Ketentuan yang ada hanya

menetapkan tidak berlaku suatu hak yang diberikan berupa BPKB/STNKB. Apabila

ketentuan ini tidak ditaati, maka pemilikan itu tidak berdasarkan yuridis, sehingga tidak

terdapat kepastian hak dan kepastian hukum. Seperti diketahui pada lembaga

pencabutan hak hanya mungkin terjadi apabila terjadi penyalahgunaan.

Pencabutan itu dapat berupa :

a. Pengambilan suatu benda oleh pemerintah dan untuk kepentingan umum,

dengan penggantian kerugian dengan perantaraan hakim.

b. Penyitaan (inbeslagneming) dalam soal-soal kriminil yaitu : pengambilan atau penahanan suatu benda yang dapat dijadikan bukti untuk menemukan

kebenaran, atau benda-benda yang disita yang dapat diperintahkan

pemusnahannya atau supaya tidak dapat dipakai lagi.

c. Suatu nasionallisasi yaitu pengambilan suatu benda untuk dialihkan haknya

kepada nagara.72

Kriteria penyalahgunaan hak dapat berupa :

a. Penggunaan hak milik itu tidak masuk kepentingan umum.

b. Perbuatan itu dilakukan dengan maksud untuk merugikan orang lain.

72Muqodim, Perpajakan Buku Dua, Ed.II, UII Press, Yogyakarta, 1999, h. 82.

Page 142: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlii

Terhadap kendaraan bermotor dikenal adanya lembaga tilang. Benda-benda

tersebut dalam penggunaannya selalu menyangkut kepentingan umum di jalan raya.

Setiap pemakai jalan selalu diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 1992

Tentang Lalu-lintas Jalan Raya. Penyalahgunaan terhadap surat nomor, surat uji coba

dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan tidak benar dalam permohonannya

maka surat nomor, surat uji kendaraan yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak berlaku. Pemilik kendaran bermotor yang tidak menyerahkan secara yuridis kepada

pemilik baru, selalu dimintai pertanggungjawabannya apabila terjadi penyalahgunaan

hak pada kendaraan bermotor yang seharusnya menjadi wewenang/haknya.

Dilain pihak serung terjadi pembelian kendaraan bermotor yang masih

diangsur pelunasannya oleh pemilik pertama. Hal ini selalu menimbulkan masalah yang

rumit apbila ternyata pemilik pertama ini tidak melunasi harga pembeliannya yang telah

diperjanjikan dengan pemilik asal. Sehingga kendaraan bermotor dapat dituntut

pengembaliannya oleh pemilik asal kendaran bermotor.

Benda-benda bergerak berupa kendaran bermotor merupakan suatu obyek yang

dapat dijadikan suatu jaminan. Lembaga jaminan yang ada dalam pengaturannya,

membedakan jelas antara benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak.

Benda-benda tidak bergerak dapat dikenakan jaminan hipotik(saat ini diganti dengan Hak Tanggungan), sedang benda-benda bergerak dapat dibebani sebagai jaminan gadai

(pand). Benda-benda bergerak terdaftar, sulit dimasukkan pada pembagian benda-benda

diatas. Karena ia berdiri diantara kedunya.

Pada perkembangan selanjutnya, dalam praktek muncul lembaga jaminan

fudusia. Kita mengetai pula bahwa lembaga fidusia mengenai benda bergerak, meskipun

diakui oleh yurisprudensi sangat mudah disalahgunakan oleh debitur pemberi fidusia

dengan menjual lagi barang yang telah difidusiakan itu. Perlindungan yang diberikan di

sini kepada pembeli yang beritikad baik berdasarkan pasal 1997 ayat 2 KUH Perdata,

justru akan merugikan pihak pemberi fidusia. Pengaturan tentang lembaga jaminan,

tidak dapat dilepaskan dari pengaturan benda itu sendiri.

Adanya lembaga jaminan, berdasarkan hak-hak atas benda yang ditetapkan oleh undang-undang, seperti antara lain hak milik. Oleh karena itu tentang pemilikan

yang diatur oleh undang-undangtidak dapat digunakan sebagai barang jaminan, seperti

kendaran bermotor tanpa proses balik nama. Mengingat diadakannya tujuan pendaftaran

terhadap benda-benda terdaftar, Memerintahkan agar dibuat suatu register umum

(openbear register) dan supaya tiap-tiap orang dapat mengetahui tentang adanya hak

milik.

Adapun fidusia sendiri lahirnya dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan

dalam praktek, yaitu:

a. barang bergerak sebagai jaminan hutang;

b. tidak semua hak atas tanah (dulu) dapat dihipotikkan;

Page 143: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxliii

c. barang obyek jaminan hutang yang bersifat khusus;

d. barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan.73

Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum kita, dan juga hukum di

kebanyakan negera-negara Eropa kontinental, bahwa jika yang menjadi obyek jaminan

hutang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal

ini, obyek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi obyek jaminan hutang adalah benda bergerak,

maka jaminan tersebut haruslah (dulu) berbentuk hipotik (sekarang ada hak

tanggungan). Dalam hal ini barang obyek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur,

tetapi tetap dalam kekuasaan debitur.

Akan tetapi, terdapat kasus-kasus di mana barang obyek jaminan hutang masih

tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas

barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan

bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu, dibutuhkan

adanya suatu bentuk jaminan hutang yang obyeknya masih tergolong benda bergerak

tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur.

Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru di mana obyek benda bergerak, tetapi

kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur. Inilah yang disebut dengan jaminan fidusia. Sebaliknya, ada juga kasus-kasus di mana jaminan

hutang diberikan atas benda tidak bergerak, tetapi ada kebutuhan atau para pihak

sepakat agar barang tidak bergerak tersebut dialihkan kekuasaannya kepada pihak

kreditur. Inilah yang mendorong munculnya gadai tanah yang banyak dipraktekkan

dalam sistem hukum adat.

Latar belakang lain yang memotivasi timbulnya atau berkembangnya praktek

fidusia adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotik atau

hak tanggungan. Misalnya, dahulu hak pakai atas tanah tidak dijaminkan dengan

hipotik, sehingga atas hak pakai tersebut diikat dengan jaminan fidusia.

Sedangkan obyek jaminan hutang yang bersifat khusus adalah ada barang-

barang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak, tetapi mempunyai sifat-sifat seperti barang tidak bergerak. Sehingga pengikatannya dengan gadai dirasa tidak cukup

memuaskan, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda

obyek jaminan hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan. Misalnya,

fidusia atas pesawat terbang dahulu sebelum berlakunya Undang-undang tentang

penerbangan nomor 15 Tahun 1992. Dengan undang-undang tersebut, hipotik dapat

diikatkan atas sebuah pesawat terbang. Atau terhadap hasil panen, yang juga tidak

mungkin diikatkan dengan hipotik.

73Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,

h.1-3.

Page 144: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxliv

Pekembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu juga tidak selamanya

dapat diikuti oleh perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak atas barang

yang sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik. Misalnya,

tidak dapat diikatkan dengan hipotik atas strata title atau atas rumah susun. Maka

Undang-undang Rumah Susun Nomor 16 Tahun 1985, memperkenalkan fidusia

terhadap hak atas satuan rumah susun tersebut. Akan tetapi, sekarang dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka atas strata

title dapat diikatkan hak tanggungan asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.

Barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan, artinya

adakalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar

diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang

dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada

pihak kreditur. Misalnya, saham perseroan yang belum dicetak sertifikatnya. Karena itu,

timbul fidusia saham atau fidusia atas benda bergerak, tetapi benda tersebut karena

sesuatu dan lain hal masih di tangan pihak ketiga, sehingga penyerahan barang tersebut

belum dapat dilakukan. Karena itu, gadai tidak dapat dilakukan.

Mahkamah Agung Negeri Belanda dapat dipandang sebagai lembaga

pengadilan yang memungkinkan dipergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan melalui putusannya yang terkenal dengan nama Bierbrowery Arrest tanggal 25 Januari 1929,

sekalipun sebenarnya lembaga jaminan yang demikian ini sudah lama dikenal sejak

Jaman Romawi.74

Ada sementara pihak yang beranggaapan bahwa Arrest tersebut menyalahi

ketentuan undang-undang mengenai gadai oleh karena ketentuan mengenai gadai sudah

menentukan secara tegas bahwa barang yang dijadikan jaminan harus diserahkan

kepada kreditur, akan tetapi dalam fidusia tetap dipegang oleh debitur, sedangkan

sebaliknya ada pula ahli hukum yang memberikan dukungan terhadap Arrest tersebut,

sehingga lembaga fidusia berkembang seperti sekarang ini.

Ada yang berpendapat bahwa hal yang demikian dapat dibenarkan atas dasar

tuntutan masyarakat karena membutuhkan adanya lembaga jaminan yang demikian, sehingga undang-undang harus menyingkir atas dasar prinsip bahwa undang-undang

untuk manusia dan masyarakat, bukannya masyarakat untuk undang-undang. Sedangkan

pendapat lain yang pro terhadap putusan Hoge Raad di atas, menyetujui

dikembangkannya lembaga fidusia ini didasarkan pada asumsi bahwa jika fidusia ini

diterima maka ketentuan pasal 1152 KUH Perdata yang mengharuskan adanya

penyerahan benda yang digadaikan harus dihapuskan terlebih dahulu dan ada pula

pendapat yang tidak mau mengkaitkannya dengan persoalan gadai serta menilai fidusia

ini sebagai suatu lembaga jaminan baru yang dibutuhkan dalam praktek.

74Abdurrahman dan Sasul Wahidin, Beberapa Catatan Tentang Hukum

Jaminan dan Hak-hak Jaminan atas Tanah, Cet.I, Alumni, Bandung, 1985, h.39.

Page 145: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlv

Adanya pandangan yang demikian sangat banyak pengaruhnya terhadap

perkembangan fidusia itu sendiri. Dan berbagai putusan pengadilan, baik di negeri

Belanda maupun di negeri kita sudah terlihat adanya suatu kecenderungan untuk tetap

mempertahankan dan mengembangkan lembaga ini sekalipun hanya dimungkinkan

terhadap benda bergerak saja.

Di kalangan para ahli hukum sudah ada yang melangkah lebih jauh untuk memungkinkan diadakannya fidusia terhadap benda tetap seperti untuk memberikan

jaminan kepada penagih dengan jalan penyerahan hak milik. Pemberian jaminan secara

demikian ini sebenarnya hanya merupakan “pengurangan kebebasan hak kepemilikan

atas suatu benda”. Oleh karena itu, bisa saja terjadi “juridische levering” artinya dengan

“zakelijk overeenkomst” pendaftaran pada kadaster dan adanya perjanjian bahwa

penyerahan itu hanya atas dasar kepercayaan saja. Akan tetapi hal yang demikian adalah

jarang terjadi disebabkan karena telah ada peraturan tentang hipotik.

Keberadaan lembaga jaminan fidusia semula tidak lahir dengan kesepakatan

bulan dari para ahli hukum, melainkan masih melalui pertentangan yang cukup tajam,

seperti adanya pendapat bahwa benda tetap tidak dapat dibebani dengan lembaga

jaminan fidusia. Di samping itu, banyak pula yang mengungkapkan beberapa

kelemahan yang terkandung di dalam lembaga tersebut, karena terlalu banyak mengandung resiko antara lain seorang pemberi fidusia masih ada kemungkinan untuk

main curang dengan menjual atau menggadaikan lagi benda jaminan yang sudah

difidusiakan itu.

Di samping hal tersebut berbeda dengan hipotik yang harus didaftarkan, maka

fidusia tidak didaftarkan dan tidak mempunyai akta (pada saat timbul pengusulan

semula) dari sertifikatnya, sehingga dari pihak ketiga akan mudah dengan begitu saja

berdalih bahwa ia tidak tahu menahu mengenai adanya fidusia terhadap barang yang

telah diserahkan kepadanya, oleh karena pihak ketiga yang beritikad baik yang telah

membeli barang tersebut adalah dilindungi oleh hukum sekalipun penjual telah

melakukannya dengan tipu muslihat dan penjual tersebut adalah untuk kedua kalinya.

Saat itu dipersoalkan, apakah fidusia sebagai lembaga jaminan perlu untuk diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan tersendiri. Sebab pada saat itu fidusia

masih belum ada undang-undangnya. Mengenai hal ini, di Belanda sedang dibahas

mengenai masalah fidusia guna dicari wadahnya yang paling tepat.

Bentuk pengaturan ini hanyalah dimaksudkan untuk mencari jalan keluar

melalui jalan yang melingkar, di mana atas dasar ketentuan udnang-undang yang ada

tidak diperkenankan. Bilamana pembentuk undang-undang menganggap perlu, dapat

mencapai maksud yang sama secara langsung dengan cara mengubah jalan melingkar

melalui fidusia ini.

Setelah dilakukan penelitian secara mendalam, maka tentang praktek

fidusia di negeri Belanda dengan mendasarkan pada nilai efektifitas lembaga fidusia

Page 146: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlvi

yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka telah terbukti untuk

memberikan wadah lembaga jaminan fidusia dalam suatu undang-undang.

Perkembangan selanjutnya dari lembaga fidusia dalam praktek peradilan di

negeri kita ternyata pula telah menetapkan bahwa penyerahan hak milik sebagai

jaminan fidusia hanya sah sepanjang mengenai barang-barang bergerak saja. Dari

perkembangan ini pulalah, kelahiran pembagian benda-benda terdaftar dan benda-benda tidak terdaftar menjadi semakin diperlukan, dengan maksud untuk memberikan

kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam proses kepemilikan benda terdaftar.

Adapun untuk memperoleh benda terdaftar, dalam praktek dapat diperoleh

dengan cara membeli (dalam transaksi jual beli), hibah, tukar menukar, hadiah ataupun

bentuk transaksi lainnya yang menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tidak

dilarang, baik secara obyektif maupun secara subyektif.

Dalam seminar hukum mengenai lembaga-lembaga jaminan di Yogyakarta

pada tanggal 9 Oktober 1984 sampai dengan 11 Oktober 1984 terdapat gagasan hukum

kendaraan bermotor yang terdapat gagasan bahwa kendaraan bermotor yang terdaftar

dapat digunakan lembaga jaminan hipotik (versi baru) atau bila tidak terdaftar lembaga

jaminannya adalah gadai (pand). Suatu benda tidak berwujud (misalnya hak untuk

menagih) ia dapat memakai lembaga gadai atau fidusia.75

Dengan mengetahui tentang arti pentingnya lahirnya suatu undang-undang

yang mengatur benda-benda bergerak terdatar, di mana semula lahir dari perkembangan

praktek penerapan lembaga jaminan fidusia. Maka pemberlakuan sanksi hukum dalam

transaksi jual beli kendaraan bermotor roda dua, menjadi semakin jelas keberadaannya

beserta aplikasinya.

Sebagaimana telah diketahui bersama hukum adalah merupakan suatu sistem,

hukum benda adalah merupakan suatu sub-sub sistem dari hukum perdata sebagai sub

sistemnya. Adapun yang dimaksud dengan sistem adalah antara sub sistem dengan sub-

sub sistem ataupun dengan sub sistem yang lain selalu berkait dan terikat dalam

pengaplikasiannya dan tidak dapat dilepas satu persatu dan dioperasionalisasikan satu

persatu dengan tanpa memfungsikan sistem atau sub sistem yang lain.

B. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik Nama

Terhadap penguasaan kendaraan bermotor yang tidak di balik nama atau

bukan pemilik dalam waktu yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan

dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk

memperoleh hak milik. Dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan

75Ibid.

Page 147: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlvii

bermotor, sudah berusaha untuk mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai

mana di atas.

Dengan demikian akibat hukum dalam transaksi sepeda motor atau kendaraan

bermotor roda dua adalah masalah sanksi hukum yang tidak dapat dilepaskan dari

kepastian hukum dan perlindungan hukum. Artinya ketika para pihak yang melakukan

traksaksi jual beli sepeda motor sesuai dengan undang-undang, artinya para pihak mendaftarkan terjadinya perobahan kepemilikan sepeda motor sesuai dengan pasal 176

ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993, maka pada saat itu pula telah tejadi

kepastian hukum yaitu bahwa pemilik kendaraan atau sepeda motor telah beralih pada

pembeli (baik secara nyata ataupun secara hukum) dus perlindungan hukum dapat

diperoleh, baik oleh pihak penjual maupun oleh pihak pembeli.

Bilamana dalam proses pendaftaran perobahan kepemilikan kendaraan itu,

pembeli tidak mau membayar bea balik nama, maka ia akan memperoleh sanksi hukum

yang dapat berupa denda. Sebaliknya, jika pembeli telah mendaftarkan perobahan status

kepemilikan kendaraan tersebut, maka secara otomatis pembeli mendapat perlindungan

hukum sebagai pemilik sepeda motor yang sah. Ia dapat dapat mempertahankan hak

miliknya terhadap siapapun atas dasar hak kebendaan.

Bagi pihak penjual perihal sanksi hukum, kepastian hukum dan perlindungan hukum juga dapat diberlakukan dan diperoleh, sepanjang pihak penjual juga mengikuti

aturan main transaksi jual beli yang telah ditentukan dalam undang-undang di atas. Kita

dapat membuktikan, bahwa perlindungan hukum bagi penjual kendaraan atau sepeda

motor dapat diperoleh ketika penjual benar-benar mengikuti prosedur perjanjian jual

beli sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Artinya penjual baru

berkewajiban melakukan pemenuhan prestasi pada saat pembeli memenuhi

kewajibannya melakukan kontra prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Hal

ini dikarenakan, walaupun antara penjual dan pembeli telah terjadi kesepakatan dalam

transaksi jual beli sepeda motor itu, namun perjanjian yang telah disepakati tersebut

masih dalam taraf “obligatoir” dan belum menyebabkan terjadinya perpindahan hak

kepemilikan.

Proses perpindahan hak milik dari penjual ke pembeli akan terjadi, bilamana

kedua belah pihak telah saling memenuhi “prestasi dan kontra prestasi”. Pada saat itulah

kepastian hukum lahir sebagai akibat terjadinya perjanjian jual beli tersebut, artinya

pada saat itu telah dapat ditentukan siapa yang berkedudukan sebagai pemilik atas

sepeda motor yang telah diperjual-belikan tersebut. Tahap berikutnya, pemilik tinggal

melakukan pendaftaran, dan bersamaan dengan proses pendaftaran dimaksud

“perlindungan hukum” muncul dengan sendirinya. Artinya, kedudukan pembeli yang

telah tercantum sebagai pemilik dalam Buku Pemilik Kendaraan Bermotor secara

yuridis adalah sah hukumnya sebagai pemilik.

Page 148: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlviii

B. Alasan-alasan Yang Memberatkan Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik

Nama

Ditinjau dari proses penyelesaian balik nama seperti telah diuraikan pada bab

sebelumnya, dapat diketahui tidak terlalu memberatkan atau menyulitkan. Mengingat

sistim administrasi manunggal dibawah satu atap dibentuk dengan tujuan untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang meliputi :

a. Menyederhanakan, mempercepat dan dapat dipertanggung jawabkan dalam

pelayanan penyelesaian balik nama kendaraan bermotor serta pajak lainnya.

b. Menyelenggarakan urusan surat-surat yang ada hubungannya dengan

kendaraan bermotor.76

Kemudian mengingat bahwa objek balik nama adalah transaksi, maka bea ini

tidak dipungut secara pereodik seperti pajak-pajak lain terhadap kendaraan bermotor.

Apabila bea pemilikan kendaraan bermotor (dalam balik nama) yang akan

digunakan/dimiliki sendiri untuk seterusnya, maka bea akan dibayar sekali yang

harusnya dibayar oleh pemilik. Sepanjang kendaraan bermotor itu tidak diserahkan

kepada pihak lain, tidak pernah timbul kewajiban balik nama. Akan tetapi sebaliknya

apabila kendaraan bermotor itu sering dilakukan penyerahan, maka sebanyak jumlah

penyerahan itu kewajiban balik nama harus dilakukan.

Walaupun prosedur dibuat sedemikian mudah, namun balik nama tetap saja

dapat dihindari. Seperti diketahui ketentuan yang khusus berupaya mencegah

penyimpangan ini terdapat pada peraturan daerah tentang Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor. Ketentuan ini bersifat menunggu, sampai adanya pemberi tahuan yang

mengakibatkan kewajiban balik nama. Sehingga walaupun ketentuan-ketentuan yang

diberikan bersifat kewajiban membayar pajak, tetapi kewajiban itu timbul setelah ada

perbuatan yang mengandung unsur perdata. Ketentuan yang terdapat dalam KUH

Perdata dapat berfungsi sebagai pelengkap (aanvullend recht) tetapi ketentuan balik

nama tidak dapat dikatakan sebagai pelengkap. Walaupun cara memperoleh hak milik

dapat berasal dari suatu perjanjian, akan tetapi dalam setiap perjanjian yang

mengakibatkan penyerahan hak milik benda-benda terdaftar harus diikuti dengan balik nama. Dengan catatan bahwa perjanjian pokok yang dibuat tidak boleh menyimpang

dari undang-undang. Maka berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian

dinyatakan tidak sah apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-

undang. Kenyataan dalam praktek, perjanjian ini yang banyak dibuat tidak sah menurut

undang-undang. Tidak lain dengan tujuan agar kewajiban berikutnya, berupa balik nama

dapat dihindari. Oleh karena hukum mudah disimpangi, maka dapat digunakan alasan

untuk tidak melaksanakan kewajiban balik nama.

Bagi pedagang kendaraan bermotor bekas, yang sering mengadakan

perjanjian jual beli pada umumnya menguasai sejumlah kendaraan bermotor. Sehingga

76Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan, 6 April 2011.

Page 149: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlix

untuk melaksanakan kewajiban tersebut diatas, mereka mempunyai pertimbangan antara

lain :

a. Benda-benda itu tidak untuk dimiliki sendiri, akan tetapi setiap saat akan dibeli

dan diserahkan kepada orang lain.

b. Menambah harga jual karena bea yang dikeluarkan untuk balik nama.

c. Menghendaki penjualan yang cepat dengan harga bersaing serta segera memperoleh keuntungan yang diharapkan.

d. Sebagai pedagang, apabila semua kendaraan bermotor yang dikuasainya harus

dibalik nama, akan memakan waktu, biaya dan tenaga, dan atas pertimbangan

ini mereka memilih untuk tidak melakukan balik nama kendaraan bermotor

yang menjadi barang dagangannya.77

Adanya pemilikan tanpa proses balik nama, terdapat pula unsur untuk

menghindari pengenaan bea. Dibanding dengan pajak lain, bea balik nama memang

lebih besar pengenaannya. Hal ini lebih menyangkut tentang kendaraan sebagai wajib

pajak serta usaha aparat yang berwenang dalam mengadakan pemungutan pajak.

KESIMPULAN

a. Setiap transaksi jual beli kendaraan bermotor pada dasarnya harus dilakukan, baik

secara nyata ataupun secara yuridis, namun bilamana ketentuan ini tidak diikuti

karena kebiasaan, maka kedudukan seorang pemegang sepeda motor yang sah

(dengan cara membeli) dan yang tidak sah (dengan cara pencurian, dan penadahan)

tidak dapat dibedakan. Apalagi ketentuan hukum dalam KUH Perdata khususnya

pasal 1977 ayat 1 hanya berlaku terhadap benda bergerak yang tidak terdaftar,

untuk itu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor menjadi wajib; b. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan nyata atas

sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus dilakukan

penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor dari

penjual kepada pembeli. Perobahan status kepemilikan sepeda motor yang

didaftarkan, akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam BPKB dan STNK

sepeda motor yang bersangkutan;

c. Adapun akibat hukum terhadap transaksi jual beli sepeda motor dengan tanpa balik

nama dengan maksud untuk menghindari pengenaan bea balik nama, adalah akan

melahirkan sanksi hukum, tidak ada perlindungan hukum dan tidak ada kepastian

hukum. Sanksi hukum akan timbul bilamana pihak pemilik yang terakhir

mendaftarkan melewati tenggang waktu jatuh tempo penagihan pajak kendaraan

bermotor. Dengan tidak dilakukannya perobahan status kepemilikan sepeda motor, maka bilamana kendaraan yang telah dibeli oleh pemegang terakhir “diakui atau

digugat” oleh orang lain, maka perlindungan hukum bagi pembeli tersebut tidak

77Penjelasan Pedagang Kendaraan Bermotor Roda Dua Bekas di Pamekasan, 9

April 2011.

Page 150: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cl

ada, artinya hukum akan tetap memberikan perlindungan hukum pada siapa yang

tertera namanya dalam BPKB ataupun STNK-nya.

SARAN

Dengan adanya fakta di atas, maka pihak pemerintah melalui institusi terkait untuk

segera melakukan tindakan-tindakan:

a. Penyuluhan hukum tentang arti penting perjanjian jual beli kendaraan bermotor

yang harus dilakukan secara yuridis;

b. Mewajibkan pembeli sepeda motor bekas untuk selalu mendaftarkan sepeda motor

yang telah dibelinya;

c. Memberikan sanksi berupa denda, kepada pembeli yang tidak mendaftarkan

transaksi jual beli bendaraan bermotor, dengan cara melakukan balik nama;

Page 151: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cli

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PASAL 174 PP NO. 44 TAHUN 1993

TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR

Oleh:

M..Amin Rachman, S.H.,MH.*

ABSTRAK

. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan

nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga

harus dilakukan penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan

kepemilikan sepeda motor dari penjual kepada pembeli. Perobahan status

kepemilikan sepeda motor yang didaftarkan, akan melahirkan perobahan

nama pemilik dalam BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan;

Kata Kunci: Tinjauan Yuridis – Bea Balik Nama – Kendaraan Bermotor.

LATAR BELAKANG

Setiap penyerahan benda-benda terdaftar menghendaki adanya balik nama atau

penyerahan secara yuridis yang memerlukan akta otentik. Benda-benda terdaftar pada

perkembangan zaman sekarang ini tidak saja meliputi benda-benda tidak bergerak tetapi

juga mencakup benda-benda bergerak.

Pendapat-pendapat modern cenderung untuk mengakui perbedaan benda pada

benda-benda atas nama dan tidak atas nama atau benda-benda terdaftar dan benda-

benda tidak terdaftar daripada perbedaan secara lama yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak.78 Yang dimaksud benda-benda terdaftar ialah benda-benda dimana

pemindahan dan pembebanannya disyaratkan harus didaftarkan dalam register. Tujuan

diadakan pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum.

Disamping itu juga harus diakui bahwa ketentuan melaksanakan pendaftaran juga

terdapat kepentingan fiskal.

Benda bergerak yang terdaftarpun dalam penyerahannya mendapat perlakuan

yang sama dengan benda-benda tidak bergerak, yaitu memerlukan adanya penyerahan

secara yuridis. Hanya dengan penyerahan nyata saja belum menimbulkan adanya

78A. Yuda Hernoko, Diktat Hukum Perjanjian Kredit dan Jaminan – Aspek

Hukum Jaminan dan Lembaga Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,

Surabaya, 2001, h.11

Page 152: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clii

pemilik baru. Dalam karya ilmiah ini, saya menunjuk pada peristiwa jual beli kendaran

bermotor bekas yang dijumpai dalam masyarakat. Sengaja dipilih kendaran bermotor

yang bekas karena penguasaan terhadap benda ini sering dilakukan tanpa balik nama.

Kendaraan bermotor adalah benda bergerak, benda bergerak pada umumnya

berlaku syarat penyerahan sekaligus, antara penyerahan nyata (feitelik levering) dan

penyerahan yuridis (yuridische levering) jatuh bersaman pada waktu benda diserahkan. Anggapan ini sangat berpengaruh dalam masyarakat, sehingga penyerahan secara

yuridis yang harus dilakukan terhadap benda bergerak terdaftar sering diabaikan. Di

lapangan praktek asal barang sudah ditangan maka ia menjadi pemilik.

Maksud ketentuan di atas, sebenarnya menghendaki agar setiap peralihan

kendaran bermotor diikuti dengan penyerahan kekuasaan melalui balik nama. Namun

dalam praktek, justru yang dinyatakan sebagai pemilik bukanlah orang yang tersebut

sebagai pemilik dalam STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) atau BPKB (Bukti

Pemilik Kendaraan Bermotor), melainkan secara faktual yang menguasai kendaraan

beserta surat-suratnya (dalam hal ini STNK dan BPKB). Ketentuan ini cenderung

memberikan perlindungan kepada para pemegang kendaraan bermotor.

Dalam sistem Eropa dikenal adanya lembaga bezitt. Pasal 1977 KUH Perdata

menyabutkan bahwa “terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang

menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.79 Dalam teori-teori tentang basit, baik

eigendoms theorie maupun legitimetie theorie, soal penyerahan tidak perlu dilakukan

oleh orang yang berwenang, sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 548 KUH

Perdata, tentang cara memperoleh hak milik.80

Sistem yang dibicarakan diatas sepanjang mengenai sistem yang dikenal dalam

KUH Perdata. Mengenai sistem-sistem yang lain yang terdapat dalam hukum adat,

maka ini menjadi pedoman dalam pembahasan karya ilmiah ini. Selaras dengan adanya

suatu prinsip law is a tool of social engineering guna merintis jalan yang lapang untuk

memungkinkan terlaksananya pembangunan ekonomi yang lancar, khususnya proses

transaksi kendaraan bermotor dalam tradisi (hukum) adat, dengan jalan mengaplikasikan nilai-nilai yang kerap dipraktekkan dalam transaksi jual beli kendaraan

bermotor melalui fungsi rechtsvinding (penemuan hukum).81

Alternatif lain tidak dilaksakannya penyerahan yuridis, adalah kemungkinan

menghindari pengenaan bea balik nama. Alternatif-alternatif ini menjadi latar belakang

permasalahan dalam karya ilmiah ini.

79Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Bab-bab Tentang

Hukum Benda, Cet.I, bina ilmu, Surabaya, 1984, h..63. 80Ibid., h..66. 81Soetandyo Wignjosoebroto, Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan

Hukum Di Indonesia pada Era Pascakolonial, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga

Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, PT. Eresco, Bandung, 1995, h. 419.

Page 153: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cliii

Padahal dalam sisi lain, menghendaki adanya kepastian hak dan kepastian hukum. Agar

tujuan ini tercapai pembuat undang-undang menghendaki adanya proses balik nama

untuk memperoleh hak milik berdasarkan suatu alas hak. Sedangkan pembuat undang-

undang berpendapat tidak ada pemilikan yang sah terhadap pemilikan kendaraan

bermotor tanpa dilakukan proses balik nama kepada pemilik yang terakhir sebagai

pemilik yang sebenarnya dan sah secara hukum. Sedangkan kenyataan yang terjadi, masyarakat sudah dapat menganggap menjadi pemilik dan merasa mendapat kepastian

walaupun penyerahan secara yuridis tidak dilaksanakan. Sejauh mana akibat hukum dari

pemilikan terhadap benda-benda ini, menjadi pokok bahasan dalam karya ilmiah ini.

Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik permasalahan konkrit dengan

rumusan sebagai berikut:

d. Bagaimana perlindungan hukum atas jual beli kendaraan bermotor ?

e. Bagaimana proses penyerahan yuridis atas benda-benda terdaftar dalam suatu

transaksi?

f. Bagaimana akibat hukum terhadap pemilikan kendaraan bermotor ?

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS JUAL BELI KENDARAAN BERMOTOR

A. Jual beli harus dilaksanakan oleh orang yang berhak

Sebagaimana diatur dalam pasal 584 KUH Perdata, salah satu cara

memperoleh hak milik harus dilaksanakan oleh orang yang berwenang. Orang yang

berwenang mempunyai kewenangan berhak (beschikkingsbevoegdheid) untuk

memindahkan milik ketangan lain.82 Hanya ada dua persoalan yang ingin saya

kemukakakan dari pasal ini, yaitu pertama pemindahan milik oleh orang berhak atas itu dan kedua titel (alas hak) yang menjadi alasan bagi pemindahan tadi.

Persyaratan untuk kewenangan berhak adalah tidak lain dari suatu penerapan

azas tiada seorang pun dapat memindahkan hak lebih dari pada apa yang ia miliki

sendiri (Nemo plus juris ad alium transfere potest quam ipse haberet) atau dengan kata

lain : “tidak seorangpun dapat menerima suatu hak dari tangan seseorang yang tidak

berhak.”83

Mengenai benda bergerak dalam hal ini harus diperhatikan pasal 1977 KUHP

Perdata yang berbunyi untuk benda bergerak yang tidak terdiri atas bunga atau piutang

yang pembayarannya dapat dilakukan kepada pemegangnya (toonder papieren), berlaku

ketentuan “bezit merupakan titel yang sempurna”84

82Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Loc.cit. 83Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed.II, Liberty,

Yogyakarta, 2000, h.122. 84Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Cet.I, PT.Pembimbing Masa, Jakarta,

1969, h.174.

Page 154: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cliv

Dalam teori kausal, alas hak menjadi alasan penting bagi pemindahan hak

milik itu. Suatu yang menyebabkan pemindahan tersebut sama sekali tidak dapat

dilepaskan dari titel tersebut. Jadi apabila perjanjian tersebut batal , maka pemindahan

atas hak milik akan batal.

Dalam jual beli kendaran bermotor bekas dari tangan ke tangan lain yang

sering terjadi, kurang memperhatikan siapa orang yang berwenang. Sesuai dengan ketentuan di atas, bila jual beli demikian dilakukan oleh orang yang tidak berwenang

seharusnya batal, karena sahnya perjanjian menjadi sumber pokok perpindahan milik.

Pendapat ini sesuai dengan kehendak para pembuat undang-undang. Mereka

memandang bahwa sahnya perjanjian jual beli harus dilakukan oleh orang yang

berwenang, artinya orang itu dapat menunjukkan akta / surat-surat tanda pemilikan atas

namanya. Agar pihak ketiga (pembeli barang) menjadi orang yang berwenang baru,

maka setiap perpindahan hak milik harus disertai balik nama. Inilah seharusnya

ketentuan yang berlaku terhadap benda-benda terdaftar. Antara orang yang berwenang,

atas hak yang sah dan penyerahan yuridis merupakan suatu proses pemindahan hak

milik. Jika salah satu diantaranya tidak sah, maka pemindahan milik itu batal demi

hukum.

Pada pokoknya, pemindahan benda-benda terdaftar menyerupai benda-benda tidak bergerak, seperti yang berlaku sebagai berikut: kesepakan kehendak saja

kebanyakan belumlah untuk melakukan perpindahan hak milik. Acapkali disyaratkan

bahwa persetujuan kebendaan (zakelijk overeenkomst) itu diikuti dengan formalitas-

formalitas tertentu. Demikian penyerahan pada benda-benda tidak bergerak adalah tidak

cukup, bila hanya ada kehendak dari pihak-pihak saja. Untuk itu, di samping diperlukan

pula adanya suatu akta notariil (617 KUH Perdata, yang dibalik nama dalm daftar

umum pasal 616KUH Perdata).

Penafsiran lain mengenai pasal 584 di atas dikenal dengan teori abstrak.

Menurut ajaran abstrak, penyerahan dan atas hak itu merupakan hal-hal yang terpisah

satu sama lain. Untuk sahnya penyerahan tidak tergantung pada alas hak nyata.

Sehingga menurut abstrak yang murni konsekuensinya bisa terjadi bahwa penyerahan itu akan sah juga sekalipun titelnya tidak sah, bahkan sekalipun tanpa titel.85

Ajaran ini berlawanan dengan yang diuraikan sebelumnya, pendapat di atas

cenderung mengatakan sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak

berwenang. Seperti dikatakannya dalam teori ini, bahwa alas hak dan penyerahan

merupankan hal yang terpisah. Dengan demikian transaksi jual beli dimaksud dianggap

sudah dapat menimbulkan penyerahan yang sah.

Disamping itu, terdapat cara-cara memperoleh hak milik diluar pasasl 584.

Apakah cara ini menjadi lembaga baru untuk mengatur benda-benda terdaftar dan tidak

terdaftar. Undang-undang mengatur tersendiri, walaupun pengaturannya tidak

berdasarkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam KUH Perdata. Namun lembaga

penyerahan mempunyai peranan penting dalam pengaturan benda-benda semacam ini.

85Soetojo Prawirohamidjojo R dan Marthalena Pohan, Op.cit., h..43.

Page 155: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clv

Apabila kita berfikir sederhana, seperti kebanyakan anggapan masyarakat,

orang yang berwenang terhadap benda-benda berupa kendaraan bermotor adalah

pemegang sendiri. Mereka merasa dapat bebas mengadakan jual beli tanpa harus terikat

kewajiban penyerahan secara yuridis, dan tanpa rasa khawatir jual beli akan dibatalkan.

B. Status Pemilikan

Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat, agar jangan

sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-penyimpangan, akan tetapi

masyarakat selalu berkembang dan berubah. Ketentuan yang semula diatur secara rinci

dan jelas ternyata pada akhirnya tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat.

Ditinjau dari segi yuridis, setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan, jelas

hukum tidak akan memberikan kepastian hak dan kepastian hukum.

Dalam hal kepastian hukum diberikan kepada mereka yang berhak atas milik.

Artinya yang dimaksud dengan hak, tidak hanya penguasaan pada suatu benda, akan

tetapi meliputi kepentingan hukum yang menyertainya. Terhadap penguasaan di sini

saya juga menggunakan istilah pemilikan, karena dipandang lebih sesuai dengan

keadaan dalam praktek.

Dalam jual beli kendaraan bermotor bekas, masyarakat cenderung melupakan

kepentingan hukumnya daripada pemilikannya, untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemilikan

dalam konteks ini dianggap lebih bermanfaat dari pada kepentingan hukumnya. Apakah

karena tidak mempunyai arti ekonomis, kepentingan hukum selalu dikorbankan? Kedua

aspek ini tidak harus dipertentangkan. Antara kebutuhan ekonomi dan kepentingan

hukum memang berbeda. Tetapi perbedaan ini bukan untuk saling mengorbankan. Jika

ekonomi berputar, maka hukumnya harus diterapkan. Peranan hukum yang sangat

penting adalah kemampuannya untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungan

antar manusia di dalam masyarakat.

Apabila kita berfikir yuridis antara kepentingan hukum dan pemilikan benda-

benda itu adalah melekat pada suatu “hak”. Timbulnya kepentingan hukum adalah

karena adanya penguasaan/pemilikan tehadap benda. Apabila pemilikan dipindahkan juga berarti kepentingan hukumnya juga harus dipindahkan. Dan pemilik pertama tidak

lagi mempunyai kepentingan hukum.

Benda-benda bergerak adalah pembagian yang sudah lama dikenal masyarakat,

dan jumlahnya jauh lebih besar dari pada benda-benda serupa yang terdaftar. Benda-

benda bergerak dalam lembaga-lembaga yang dikenal dalam hukum benda diperlakukan

sangat berbeda dengan benda-benda tidak bergerak, yang menyerupai benda-benda

terdaftar. Pergeseran kecenderungan dari pembagian benda-benda bergerak atau tidak

bergerak menjadi benda terdaftar atau tidak terdaftar, ternyata belum dapat

meninggalkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam mengatur benda-benda bergerak

atau tidak bergerak. Seperti dapat dilihat dalam pasal 1977 KUH Perdata. Hukum ini

menghapuskan persyaratan kewenangan berhak untuk memperoleh benda-benda bergerak yang berwujud, sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Page 156: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clvi

Dalam bezit, ada dua aspek penting yaitu aspek pembuktian dan aspek itikad

baik. Benda-benda terdaftar yang menjadi kreteria baru pembagian benda masih

berlindung pada ketentuan pasal 1977 KUH Perdata. Dalam praktek, pasal 1977 KUH

Perdata sering dihadapkan dengan pasal 584 KUH Perdata. Pasal 1977 merupakan

penyelesaian dan terobosan pertama terhadap pengesahan perolehan hak milik atas

benda bergerak yang terdaftar. Untuk selebihnya mengenai hal-hal yang tidak dapat ditampung oleh ketentuan ini, maka perlu dipancangkan pasal 584 KUH Perdata.

Di sini kembali kewenangan berhak menentukan sahnya penyerahan hak milik.

Penyerahan yuridis terhadap benda-benda bergerak terdaftar, tetap harus dilakukan.

Bilamana penyerahan yuridis atau balik nama tidak dilakukan, maka selama itu pula

kepemilikan atas benda bergerak terdaftar adalah milik si empunya yang lama atau

penjual.

Transport akta (akta peralihan) memerlukan adanya pendaftaran, di mana

dalam penyelenggaraan pendaftaran, dikenal adanya sistem negatif dan sistim positif.

Sistim ini lazim digunakan dalam pemberian surat-surat tanda bukti hak atas tanah.

Surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan untuk benda-benda bergerak terdaftar

dapat dikatakan menganut sistim positif.

Sistem positif menganggap bahwa apa yang tercantum dalam pendaftaran merupakan alat pembuktian yang mutlak. Bila sistim ini berlaku atas tanah, maka

bertujuan untuk kepentingan tentang bisa atau tidaknya di adakan pembuktian baru

dalam gugat yang diajukan.

Terhadap benda-benda bergerak yang terdaftar cenderung menganut sistim

positif. Di sini tidak bisa digunakan sistim negatif karena tidak menghendaki adanya

pembuktian baru. Dan sudah barang tentu apabila sistim ini digunakan tidak akan

berjalan efektif. Dalam ilmu hukum sistim-sistim ini tidak digunakan terhadap benda-

benda terdaftar. Hanya dapat dimengerti bahwa hak yang diberikan kepada pemilik

mengandung kewenangan-kewenangan yang bersifat publiekrechtelijk.

Semua hak-hak (subjectieve rechten), maksudnya kewenangan-kewenangan

yang diberikan oleh hukum, yang mempunyai sifat baik publiekrechtelijk itu maupun privatrechtelijk. Kewenangan-kewenangan publiekrechtelijk itu tidak dapat dipindahkan

(niet overdrangbear). Demikian misalnya, hak pilih tidak dapat dipindahkan.

Kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada pemilik benda-benda bergerak

terdaftar bersifat publiekrechtelijk, artinya hak itu tidak dapat dipisahkan dari bendanya

sebab berkenaan dengan pengenaan pajak.86 Pajak hanya dapat dikenakan kepada orang

yang langsung menikmati benda yang dalam penguasaannya. Hak wajib pajak ini tidak

dapat dipindahkan atau dikenakan pada orang lain yang tidak langsung menikmati

bendanya.

86Moch. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Cet.I, CV. Dharma

Muda, Surabaya, 1996, h.127.

Page 157: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clvii

C. Bentuk Penyimpangan Hukum

Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat setiap

ketentuannya, agar jangan sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-

penyimpangan. Walaupun tidak bersifat statis, namun peerkembangan masyarakat lebih

cepat dibandingkan dengan ketentuan hukum yang ada. Ketentuan yang dibuat

tertinggal dan tidak dapat menampang kenyataan yang ada. Selama undang-undang ini

belum dirubah atau diganti, maka ia akan tetap dipertahankan. Setiap perbuatan yang

menyimpang dari ketentuan itu, jelas hukum tidak akan memberikan perlindungan

yuridis berupa kepastian hak dan kepastian hukum. Sudah barang tentu pada waktu

undang-undang dibuat, akan selalu menganggap bahwa setiap orang dapat bertindak

jujur. Sebab undang-undang hanya dapat dilaksanakan dengan kejujuran serta membuat

pagar agar setiap orang jangan bertindak tidak jujur. Tentang kejujuran sering dibicarakan dalam hukum perjanjian dan sering disebut dengan tegoeder trouw (itikad

baik), yang dapat diartikan bahwa apa yang menjadi tujuan seseorang, bertindak akan

sesuai dengan apa yang direncanakan dalam hati sebelumnya.

Memperoleh hak kebendaan pada umumnya berasal dari suatu perjanjian, yaitu

perjanjian yang menimbulkan kewajiban pernyerahan hak milik. Penyerahan hak milik

benda-benda terdaftar dibebani proses balik nama dan dikenakan bea. Bea balik nama

kendaraan bermotor (BBNKB) merupakan bea langsung yang obyeknya adalah

transaksi. Jadi dasar pelaksanaan balik nama adalah suatu transaksi. Transaksi dapat

meliputi perhubungan hukum (titel), kewajiban dan penyerahan. Proses balik nama

adalah ketentuan yuridis, yang selama ini hanya dikenal dalam penyerahan atau

peralihan atau pemindahan hak milik. Di mana ketentuan ini seharusnya diletakkan, apabila hanya disebut transaksi, maka peristiwa jual beli kendaraan bermotor bekas

sudah melalui perjanjian, pelaksanaan kewajiban dan penyerahan. Andaikata yang

disebut transaksi ini lebih menitik-beratkan kepada titelnya, maka kemungkinan semua

penyerahan yuridis dengan kewajiban membayar bea balik nama. Penyerahan terhadap

benda-benda terdaftar semacam kendaraan bermotor bekas harus melalui pendaftaran,

yaitu mengganti nama pemilik semula ke pemilik yang baru dengan dinyatakan dalam

surat-surat otentik BPKB dan STNKB-nya. Kewajiban terhadap pendaftaran ini yang

biasanya enggan dilaksanakan. Agar hukum tidak menjatuhkan sanki yuridis kepada

pemilik kendaraan bermotor tanpa surat-surat yang dibalik nama, sering dijumpai para

pihak mengadakan persepakatan tersendiri untuk tidak menggunakan jalur hukum.

Misalnya tidak saling mengadakan tuntutan.

Walaupun hukum perdata menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan, namun hukum diselenggarakan oleh negara untuk kepentingan perorangan maupun

masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian campur tangan negara adalah demi

kepentingan negara. Agar kepentingan ini tidak dikorbankan, maka undang-undang

menetapkan aturan-aturan membayar pajak setiap transaksi peralihan kendaraan

bermotor agar dilaksanakan balik nama.

Page 158: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clviii

Dalam hukum benda, tidak dapat diciptakan hak-hak baru kecuali yang telah

ditentukan. Sedang dalam hukum perjanjian, karena sebagian besar merupakan regelen

(pelengkap saja) dapat menciptakan hal-hal baru diluar ketentuan yang ada.

Di sini ada dua sifat yang saling berhadapan, yaitu sifat tertutup pada hukum

benda disatu pihak dan sifat terbuka pada hukum perikatan. Apabila ketentuan dalam

hukum benda tidak dilaksanakan berarti masyarakat cenderung bergantung pada sifat dari ketentuan-ketentuan hukum perikatan. Dalam perjanjian dikenal adanya kebebasan

berkontrak Kebebasan ini dianggap “menyelamatkan” dari ketentuan-ketentuan yang

bersifat tertutup. Akan tetapi dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenal

adanya perbuatan untuk melaksanakan suatu ketentuan untuk tidak melaksanakan suatu

ketentuan yang lain. Dalam hukum perjanjian memang diakui bahwa setiap perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

(pasal 1338 KUH Perdata).87

Salah satu unsur syarat perjanjian yang sah adalah itikad baik, di sini peranan

kejujuran setiap orang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang. Apabila terjadi

persepakatan untuk menyimpangi suatu ketentuan yang lain dari undang-undang, maka

hukum memberi sanksi batal dan perjanjian tidak boleh dilaksanakan. Inilah pagar-

pagar yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang. Namun pagar-pagar ini merupakan benda mati. Sedang yang berubah adalah manusianya sebagai pelaksana dari

undang-undang, maka pagarpun tetap dapat diterobos.

Jika azas dari pasal 1338 KUH Perdata ini dipergunakan untuk memperkuat

pemilikan benda-benda terdaftar berupa kendaraan bermotor, ini berarti terhadap obyek,

pemilik hanya mempunyai hak perorangan saja. Benda-benda ini hanya dapat

dipertahankan kepada orang-orang tertentu atau pemilik sebelumnya. Ini hasil yang

diperoleh dari pemilikan tanpa melaksanakan ketentuan yang ada. Padahal pemilikan

atas benda-benda ini adalah untuk memperoleh hak-hak kebendaan, yaitu yang

memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap

tiap orang.88 Agar dapat dipertahankan undang-undang memerintahkan penyerahan

yuridis terhadap benda-benda terdaftar.

PROSES PENYERAHAN YURIDIS BENDA-BENDA TERDAFTAR

A. Dasar Hukum

Dasar hukum kewajiban melaksanakan balik nama kendaraan bermotor adalah

dikarenakan terdapat suatu kewajiban untuk selalu mendaftarkan, demikian pula

bilamana terjadi perobahan kepemilikan karena penjualanan kendaraan bermotor

87Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari

Perjanjian dan dari Undang-undang, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.66-67. 88Achmad Ichsan, Op.cit., h.154

Page 159: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clix

diwajibkan pula untuk melaporkan terjadinya perobahan kepemilikan atas kendaraan

bermotor tersebut. Hal ini mengacu pada:

- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992;

- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993;

- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993;

- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993.89 Kendaraan bermotor menurut pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 14 tahun

1992 adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada

kendaraan itu. Adapun kendaraan itu sendiri dalam angka 6 pasal yang sama

didefinisikan sebagai suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan

bermotor atau kendaraan tidak bermotor.

Setiap balik nama kendaran bermotor, diwajibkan membayar bea balik nama

yang disebut bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 pasal 174 ayat 2. Ketentuan dalam pasal ini adalah

bersifat imperatif, karena terimplementasikan dari kata “wajib”, namun dalam praktek

setiap pelanggaran atas pasal di atas pengenaan sanksinya menjadi kabur, seolah tidak

ada sanksi hukum terhadap pembeli kendaraan sepeda motor yang tidak melakukan

balik nama. Kemudian dijumpai pula ketentuan yang tertera di balik Surat Tanda Nomor

Kendaraan Bermotor (STNKB) bahwa STNK harus diadakan perubahan atau

penggantian STNK di daerah yang bersangkutan bilamana:

f. Identitas pemilik berobah;

g. Spesifikasi tehnis kendaraan berobah;

h. STNK hilang;

i. STNK rusak;

j. Dioperasikan 3 (tiga) bulan terus menerus di daerah lain;90

Memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, timbulnya kewajiban penyerahan

secara yuridis/balik nama hanya ditentukan oleh lima alasan di atas, selebihnya tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Bagi pejabat yang berwenang melakukan balik nama

kendaraan bermotor, dapat menentukan kapan terjadinya waktu atau saat timbulnya

kewajiban tersebut. Hal ini adalah tidak mungkin ditetapkan secara pasti dan matematis,

sehubungan terjadinya transaksi sepeda motor antar pedagang dengan konsumen atau

antar pedagang dengan pedagang “tidak pernah diberitahukan”. Sedang bagi kendaraan

bermotor bukan pemilik, masalah tersebut selalu dapat dibuat seakan-akan belum

menimbulkan kewajiban balik nama sesuai ketentuan-ketentuan diatas. Ketentuan-

ketentuan tentang jangka waktu yang berbeda-beda di atas, apabila kita hubungkan

89Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pelaksanaannya 1993, Cet.I, BP. Tri Rasaki,

Jakarta, 1993, h.3. 90Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 04 April 2011.

Page 160: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clx

dengan masa berlaku herregistrasi yang ditetapkan satu tahun, menjadi kurang efektif.

Karena pada saat herregistrasi, disamping membayar pajak kendaraan bermotor (PKB)

dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu-lintas (SWDKL), langsung dapat

dibayarkan /diselesaikan balik nama, apabila terjadi penyerahan hak milik. Sehingga

jarang orang memberikan keterangan tentang balik nama sebelum STNK lama habis

masa berlakunya. Mengingat STNK lama masih berlaku selama tidak dikeluarkan STNK lain/baru atau habis masa berlakunya.

Pejabat yang bertugas melakukan balik nama kendaraan bermotor, dilarang

untuk menyelenggarakan balik nama sesuatu kendaraan bermotor, atau memberi catatan

tentang adanya penyerahan kendaraan bermotor, sebelum kepadanya diserahkan bukti-

bukti bahwa bea balik nama kendaraan bermotor beserta dendanya kalau ada, telah

dilunasi atau diserahkan sesuatu surat keterangan bahwa penyerahan kendaraan

bermotor itu bebas balik nama kendaraan bermotor.

Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan balik nama adalah :

d. Penyerahan kendaraan bermotor kepada negara dan daerah otonomi;

e. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Organisasi Internasional;

f. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Diplomatik, konsuler dan wakil

lain dari negara asing.91 Dari uraian diatas, kewajiban balik nama merupakan kewajiban para pemegang

kendaraan bermotor dengan tidak mengurangi tanggung jawab terhadap pihak yang

menyerahkan kendaraan bermotor itu.

B. Proses Balik Nama Kendaraan Bermotor.

Pelaksanaan balik nama kendaraan bermotor dilakukan melalui Sistim

Administrasi Manunggal Di bawah satu Atap (SAMSAT) yang merupakan gabungan

dari instansi-instansi : POLRI, Dinas Pendapatan Daerah dan PERUM Asuransi

Kerugian Jasa Raharja.

Sistim ini melayani penyelesaian kewajiban yang berkaitan dengan kendaraan bermotor

yaitu : - Penyelesaian Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB)

- Penyelesaian pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

(BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta

- Penyelesaian Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu lintas (SWDKL)

Menyelesaikan pembayaran bea balik nama kendaraan bermotor berarti

melakukan penyerahan secara yuridis. Dalam penyerahan secara yuridis akan terjadi

mutasi terhadap pajak kendaraan bermotor. Sedang yang disebut mutasi kendaraan

bermotor adalah pemindahan bagi mereka yang menguasai kendaraan bermotor yang

dipindahkan dari wilayah lain baik atas nama tetap maupun yang dipindahkan tangan

atau ganti pemilik, karena jual beli atau hibah.

91Ibid.

Page 161: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxi

Adapun syarat-syarat bagi pemilik kendaraan bermotor bekas yang diperoleh

dari pembelian atau pemindahan dari wilayah lain untuk mengajukan permohonan

STNKB atas namanya antara lain :

- Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) asli dan satu (1) foto copy.

- STNK asli dan satu (1) foto copy

- Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli dan foto copy - Surat Keterangan Fiskal yaitu surat keterangan yang menyatakan bahwa

pajak kendaraan bermotor terakhir telah lunas.

- Gesekkan nomor mesin dan nomor rangka

- Jika ganti pemilik kwitansi jual beli

- Materai92

Persyaratan diatas hampir sama dengan persyaratan untuk mengadakan

herregitrasi STNK setiap tahun, kecuali kwitansi jual beli atau segala keterangan yang

harus diberikan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor.

Keterangan atau pemberi tahuan itu harus memuat :

- Nama dan alamat lengkap baik dari yang menyerahkan atau yang

menerima penyerahan kendaraan bermotor. - Tanggal penyerahan

- Jenis, merk dan tahun pembikinan kendaraan bermotor, nomor chasis

(landasan atau rangka) dan nomor mesin.

- Dasar atas nama penyerahan dilakukan

- Harga penjualan atau harga pembelian93

Karena kebesasan dalam jual beli kendaran bermotor bekas yang

menyebabkan pemindahan hak milik secara nyata, tidak dapat diketahaui oleh pejabat

yang berwenang melakukan balik nama kendaraan bermotor, apabila yang bersangkutan

tidak memberikan keterangan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Oleh

karena sifat yang demikian ini, maka sering terjadi penyimpangan. Seperti diketahui kendaraan bermotor harus didaftar ulang (herregistrasi) setiap tahun, dengan persyaratan

sebagaiman diatas, tetap dapat dilaksanakan walaupun telah ganti pemilik, dengan

upaya tetap menggunakan pemilik sesuai yang diberikan STNKB/BPKB.

Meskipun persyaratan itu mentetapkan kartu tanda penduduk pemilik yang

asli (sesuai nama dalam STNKB/BPKB), dalam kenyataannya persyaratan ini dapat

dilengkapi dengan cara meminjam kepada pemilik asli. Perjanjian ini adalah perbuatan

yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Sehingga pejabat yang

berwenang tetap dapat mengeluarkan STNKB baru setelah STNKB yang lama habis

masa berlakunya. Dapat juga dengan membuat kwitansi kosong, yang pengisiannya

dapat diatur sendiri oleh pemegang kendaran motor bekas, yang seakan-akan belum

92Ibid. 93Ibid.

Page 162: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxii

timbul kewajiban adanya penyerahan yaitu mewajibkan pemegang kendaraan bermotor

itu.

C. Peranan Pendaftaran Terhadap Kendaran Bermotor

Sebagaimana telah diuraikan di atas pada bab pertama, bahwa tujuan

pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum. Demi kepentingan itu, maka setiap pemilikan kendaraan bermotor perlu didukung dengan

pendaftaran dan diberikan STNK bagi pemiliknya. Dengan demikian STNK dapat

berfungsi sebagai bukti pendaftaran, juga berfungsi sebagai surat kuasa untuk menyetor

(SKUM) bea balik nama kendaran bermotor (BBNKB), SKP Pajak Kendaran Bermotor

(PKB) dan tanda lunas sumbangan wajib dana kecelakan lalu-lintas (SWDKL).

Sehingga setiap mengadakan pendaftaran harus membayar lunas pajak itu lebih dahulu

untuk jangka waktu satu tahun. Karena pajak berlaku untuk waktu satu tahun, maka

pendaftaran harus diulangi (herregitrasi) jika masa laku satu tahun telah habis dengan

membayar pajak untuk tahun berikutnya.

Kedua fungsi ini saling berkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Di

satu pihak untuk kepastian hak dan kepastian hukum dan di satu pihak untuk kepentingan pajak. Mengingat semua urusan yang berkaitan dengan kendaraan

diserahkan kepada Daerah Tingkat 1 serta penyerahan pajak-pajak negara kepada

daerah otonom, maka setiap kewajiban pendaftaran selalu dituangkan dalam peraturan-

peraturan yang melaksanakan pajak. Sehingga kepentingan pajak lebih mendominasi

dari pada sekedar melaksanakan pendaftaran.

Namun setiap pemilikan kendaran bermotor tanpa STNK yang sesuai dengan

pemilik, tetap akan merugikan pemerintah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya

transaksi jual beli yang tidak langsung diadakan balik nama. Pajak yang seharusnya

menjadi inkam (pendapatan) daerah tidak dapat dipungut karena peraturannya tidak

dilaksanakan. Padahal peraturan daerah diadakan dalam rangka mengadakan efisiensi di

dalam bidang pemajakan, mengingat penjualan kendaran bermotor pada dewasa ini

tidak rendah dari pada harga penjualan atau penjualan nilai benda tidak bergerak, sedangkan barang-barang yang berupa kendaran bermotor tersebut di dalam masyarakat

dijadikan suatu obyek spekulasi oleh para pedagang kendaran bermotor. Benda-benda

terdaftar berupa kendaran bermotor dalam penggunaannya selalu menyangkut

kepentingan umum di jalan raya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992, tentang Lalu-

lintas dan Angkutan Jalan Raya, mengatur kelancaran, keamanan dan ketertiban lalu-

lintas dan ketentuan-ketentuan pokok tentang politik pemerintah di bidang angkutan

jalan raya.

Agar undang-undang ini dapat terlaksana dengan baik, pemerintah daerah

harus mengadakan pengawasan, melaksanakan uji kendaran bermotor, memelihara

keamanan serta pemberian fasilitas di bidang angkutan umum serta pemakai jalan.

Semua ini memerlukan pengaturan dalam pemilikan. Pemberian STNK atas nama pemilik, sebagai bukti adanya pelaksanaan pendaftaran mempunyai peranan penting

Page 163: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxiii

bagi terselengaranya kepentingan-kepentingan di atas, di samping tanda lunas

membayar pajak.

Untuk itu ditetapkan bahwa peraturan membayar pajak dapat dilakukan

sekaligus melaksanakan pendaftaran. Antara lain dengan membayar bea balik nama

berarti telah melaksanakan peyerahan secara yuridis.

AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMILIKAN KENDARAN BERMOTOR

A. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Dibalik Nama

Akibat Hukum terhadap pemilikan kendaran bermotor yang tidak di balik nama

yang ditetapkan oleh peraturan-peraturan tentang bea balik nama kendaran bermotor adalah akibatnya berupa sanksi hukum tidak melaksanakan kewajiban membayar

pajak/bea balik nama kendaran bermotor, yang berupa denda.

Seperti telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang bea balik nama

kendaraan bermotor, bahwa dalam satu bulan dari saat penyerahan harus meminta surat

kuasa untuk menyetor (SKUM) bea balik nama kendaraan bermotor. Sedang

pembayaran bea balik nama ini harus dilakukan pada saat mengajukan SKUM

dimaksud. Akan tetapi apabila dalam hal seorang akan mengajukan SKUM bea balik

nama sebelum sampai pada batas waktu yang ditentukan dan belum dapat membayar

lunas bea balik nama, maka yang bersangkutan dapat menunda pengajuan permintaan

SKUM bea balik nama diatas selambat-lambatnya sampai pada batas waktu tersebut.94

Jika pada batas waktu itu, belum juga dilaksanakan pengajuan SKUM, dapat dikenakan denda sebesar 25 % ( dua puluh lima persen ) dari jumlah bea yang terutang.

Gubernur Kepala Daerah dapat memperpanjang waktu yang dimaksud dengan waktu

satu bulan, apabila untuk itu oleh yang berkepentingan diajukan permohonan pada

waktu sebelum batas waktu itu lampau dan menurut pertimbangan terdapat alasan untuk

dikabulkan. Atas permohonan tertulis dari yang berkepentingan Gubernur Kepala

Daerah berwenang mengurangi atau membebaskan dari kewajiban dimaksud bila

terdapat alasan untuk itu. Bila yang menerima penyerahan tidak setuju dengan jumlah

yang dipakai sebagai dasar pengenaan bea, ia dapat mengajukan permohonan supaya

nilai jual kendaraan bermotor ditetapkan oleh suatu komisi taksasi.95

Kewajiban balik nama merupakan beban bagi orang yang menerima

penyerahan. Apabila orang tersebut tidak mampu membayar, maka orang yang

menyerahkan kendaraan tersebut dapat pula dipertanggung jawabkan pembebanan pembayarannya.

94Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 4 April 2011. 95Ibid.

Page 164: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxiv

Berdasarkan ketentuan diatas, sebagai dasar pertama timbulnya kewajiban

membayar bea balik nama adalah saat penyerahan, yang kemudian dari saat penyerahan

pula terhitung batas waktu, yang apabila terlampaui akan dikenakan denda. Saat

penyerahan adalah perbuatan hukum antara pihak yang menyerahkan dan yang

menerima penyerahan dalam suatu perjanjian. Apabila pada saat penyerahan tidak

dibuat secara tertulis, maka sesuai ketentuan yang ada, yang digunakan sebagai syarat penyerahan adalah kwitansi jual beli antara pihak yang mengadakan penyerahan.

Walaupun sebenarnya tanggal yang tercantum dalam kwitansi adalah saat pembayaran,

sedang yang diperlukan adalah saat Penyerahan. Padahal seperti dijelaskan dalam bab

sebelumnya, yaitu sering kali terjadi jual beli dengan kwitansi kosong, sehingga tanggal

saat penyerahan dapat diatur seakan-akan belum menimbulkan balik nama.

Dengan demikian balik namapun dapat diatur dan beapun sulit dipungut.

Perihal yang sama adalah akibat jual beli kendaraan bermotor yang dilakukan secara

lisan. Para pihak dapat membuat sendiri suatu persepakatan yang mengatur penyerahan

apabila pada suatu saat diminta saat penyerahan secara tertulis. Dalam hal ini balik

nama masih dapat dilakukan.

Terhadap penguasaan kendaraan bermotor bukan pemilik dalam waktu

yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk memperoleh hak milik. Dalam

peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan bermotor, sudah berusaha untuk

mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai mana di atas.

Perjanjian pinjam meminjam untuk jangka waktu yang lama, ditetapkan

apabila lebih satu tahun dianggap sebagai penyerahan dalam hak milik. Menganggap

penyerahan hak milik dengan cara tersebut diatas, merupakan ketentuan yang bersifat

“pukul rata”. Sehingga akibat negatif berupa penguasaan kendaraan bermotor yang

berasal dari perbuatan hukum yang tidak sah kurang menjadi pertimbangan.

Mengenai bea balik nama ini Pemerintah Daerah mempunyai hak utama

terhadap semua barang penanggung pajak. Hak utama ini mendahului segala hak

lainnya kecuali terhadap piutang tersebut dalam pasal 1139 sub 1 dan 4 serta pasal 1149 sub 1 KUH Perdata demikian pula pasal 80 dan 81 KUH Dagang, terhadap ikatan panen

hak gadai dan hipotik yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata yang

diadakan sebelum saat pajak terutang atau dalam hal diadakannya setelah saat itu,

sepanjang untuk itu diberikan suatu surat keterangan sebagai berikut :

a. Sebelum dan sesudah diadakan hipotik (saat ini bernama Hak Tanggungan)

menurut KUH Perdata, maka pemberi hipotik dapat minta surat keterangan,

bahwa hipotik itu mendahului hak utama sebagai mana dimaksud.

b. Gubenur Kepala Daerah memberi surat keterangan tersebut jika tidak ada bea

balik nama yang mendahului hipotik atau menurut pendapatnya ada jaminan

bahwa bea balik nama terserbut akan dilunasi.

Page 165: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxv

c. Dalam surat keterangan itu disebutkan tahun-tahun yang bersangkutan, dan

dalam hal surat keterangan tidak diberikan, maka pemberi hipotik dapat

mengajukan keberatannya kepada Gubernur Kepala Daerah, jika menurut

pendapatnya ada alasan untuk itu, sedangkan terhadap ikatan kredit, diperlukan

juga ketentuan ini.

Terhadap tanah yang dimiliki menurut hukum adat, maka hak utama ini tidak mendahului ikatan kredit yang diadakan, sebelum saat wajib bayar bea balik nama

terjadi atau dalam hal diadakannya sesudah saat itu, sepanjang sat itu diberikan suatu

keterangan seperti dimaksud. Tanah atau barang yang digadaikan menurut hukum adat,

maka hak Pemerintah Daerah tidak mendahului hak pemegang gadai atas pembayaran

uang gadai. Hak utama akan hilang setelah dua tahun sejak tanggal surat kuasa untuk

menyetor atau jika dalam waktu itu diberitahukan surat paksa untuk membayar dua

tahun setelah diberitahukannya akta tuntutan yang terakhir. Dalam hal ini diberitahukan

penundaan pembayaran, maka waktu tersebut, karena hukum dapat diperpanjang

dengan waktu penundaan paling lama dua tahun.

Walaupun pemilikan kendaraan bermotor dengan cara menyelundupkan

hukum seperti dimaksud dalam uraian di atas, ketentuan yang ada tidak memberikan

sanksi mencabut hak (onteigenen) yang diberikan. Ketentuan yang ada hanya menetapkan tidak berlaku suatu hak yang diberikan berupa BPKB/STNKB. Apabila

ketentuan ini tidak ditaati, maka pemilikan itu tidak berdasarkan yuridis, sehingga tidak

terdapat kepastian hak dan kepastian hukum. Seperti diketahui pada lembaga

pencabutan hak hanya mungkin terjadi apabila terjadi penyalahgunaan.

Pencabutan itu dapat berupa :

d. Pengambilan suatu benda oleh pemerintah dan untuk kepentingan umum,

dengan penggantian kerugian dengan perantaraan hakim.

e. Penyitaan (inbeslagneming) dalam soal-soal kriminil yaitu : pengambilan atau

penahanan suatu benda yang dapat dijadikan bukti untuk menemukan

kebenaran, atau benda-benda yang disita yang dapat diperintahkan

pemusnahannya atau supaya tidak dapat dipakai lagi. f. Suatu nasionallisasi yaitu pengambilan suatu benda untuk dialihkan haknya

kepada nagara.96

Kriteria penyalahgunaan hak dapat berupa :

c. Penggunaan hak milik itu tidak masuk kepentingan umum.

d. Perbuatan itu dilakukan dengan maksud untuk merugikan orang lain.

Terhadap kendaraan bermotor dikenal adanya lembaga tilang. Benda-benda

tersebut dalam penggunaannya selalu menyangkut kepentingan umum di jalan raya.

Setiap pemakai jalan selalu diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 1992

96Muqodim, Perpajakan Buku Dua, Ed.II, UII Press, Yogyakarta, 1999, h. 82.

Page 166: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxvi

Tentang Lalu-lintas Jalan Raya. Penyalahgunaan terhadap surat nomor, surat uji coba

dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan tidak benar dalam permohonannya

maka surat nomor, surat uji kendaraan yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak

berlaku. Pemilik kendaran bermotor yang tidak menyerahkan secara yuridis kepada

pemilik baru, selalu dimintai pertanggungjawabannya apabila terjadi penyalahgunaan

hak pada kendaraan bermotor yang seharusnya menjadi wewenang/haknya.

Dilain pihak serung terjadi pembelian kendaraan bermotor yang masih

diangsur pelunasannya oleh pemilik pertama. Hal ini selalu menimbulkan masalah yang

rumit apbila ternyata pemilik pertama ini tidak melunasi harga pembeliannya yang telah

diperjanjikan dengan pemilik asal. Sehingga kendaraan bermotor dapat dituntut

pengembaliannya oleh pemilik asal kendaran bermotor.

Benda-benda bergerak berupa kendaran bermotor merupakan suatu obyek yang

dapat dijadikan suatu jaminan. Lembaga jaminan yang ada dalam pengaturannya,

membedakan jelas antara benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak.

Benda-benda tidak bergerak dapat dikenakan jaminan hipotik(saat ini diganti dengan

Hak Tanggungan), sedang benda-benda bergerak dapat dibebani sebagai jaminan gadai

(pand). Benda-benda bergerak terdaftar, sulit dimasukkan pada pembagian benda-benda

diatas. Karena ia berdiri diantara kedunya.

Pada perkembangan selanjutnya, dalam praktek muncul lembaga jaminan

fudusia. Kita mengetai pula bahwa lembaga fidusia mengenai benda bergerak, meskipun

diakui oleh yurisprudensi sangat mudah disalahgunakan oleh debitur pemberi fidusia

dengan menjual lagi barang yang telah difidusiakan itu. Perlindungan yang diberikan di

sini kepada pembeli yang beritikad baik berdasarkan pasal 1997 ayat 2 KUH Perdata,

justru akan merugikan pihak pemberi fidusia. Pengaturan tentang lembaga jaminan,

tidak dapat dilepaskan dari pengaturan benda itu sendiri.

Adanya lembaga jaminan, berdasarkan hak-hak atas benda yang ditetapkan

oleh undang-undang, seperti antara lain hak milik. Oleh karena itu tentang pemilikan

yang diatur oleh undang-undangtidak dapat digunakan sebagai barang jaminan, seperti

kendaran bermotor tanpa proses balik nama. Mengingat diadakannya tujuan pendaftaran terhadap benda-benda terdaftar, Memerintahkan agar dibuat suatu register umum

(openbear register) dan supaya tiap-tiap orang dapat mengetahui tentang adanya hak

milik.

Adapun fidusia sendiri lahirnya dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan

dalam praktek, yaitu:

e. barang bergerak sebagai jaminan hutang;

f. tidak semua hak atas tanah (dulu) dapat dihipotikkan;

g. barang obyek jaminan hutang yang bersifat khusus;

Page 167: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxvii

h. barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan.97

Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum kita, dan juga hukum di

kebanyakan negera-negara Eropa kontinental, bahwa jika yang menjadi obyek jaminan

hutang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal

ini, obyek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai

(kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi obyek jaminan hutang adalah benda bergerak, maka jaminan tersebut haruslah (dulu) berbentuk hipotik (sekarang ada hak

tanggungan). Dalam hal ini barang obyek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur,

tetapi tetap dalam kekuasaan debitur.

Akan tetapi, terdapat kasus-kasus di mana barang obyek jaminan hutang masih

tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas

barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan

bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu, dibutuhkan

adanya suatu bentuk jaminan hutang yang obyeknya masih tergolong benda bergerak

tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur.

Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru di mana obyek benda bergerak, tetapi

kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur. Inilah yang

disebut dengan jaminan fidusia. Sebaliknya, ada juga kasus-kasus di mana jaminan hutang diberikan atas benda tidak bergerak, tetapi ada kebutuhan atau para pihak

sepakat agar barang tidak bergerak tersebut dialihkan kekuasaannya kepada pihak

kreditur. Inilah yang mendorong munculnya gadai tanah yang banyak dipraktekkan

dalam sistem hukum adat.

Latar belakang lain yang memotivasi timbulnya atau berkembangnya praktek

fidusia adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotik atau

hak tanggungan. Misalnya, dahulu hak pakai atas tanah tidak dijaminkan dengan

hipotik, sehingga atas hak pakai tersebut diikat dengan jaminan fidusia.

Sedangkan obyek jaminan hutang yang bersifat khusus adalah ada barang-

barang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak, tetapi mempunyai sifat-sifat

seperti barang tidak bergerak. Sehingga pengikatannya dengan gadai dirasa tidak cukup memuaskan, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda

obyek jaminan hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan. Misalnya,

fidusia atas pesawat terbang dahulu sebelum berlakunya Undang-undang tentang

penerbangan nomor 15 Tahun 1992. Dengan undang-undang tersebut, hipotik dapat

diikatkan atas sebuah pesawat terbang. Atau terhadap hasil panen, yang juga tidak

mungkin diikatkan dengan hipotik.

Pekembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu juga tidak selamanya

dapat diikuti oleh perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak atas barang

97Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,

h.1-3.

Page 168: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxviii

yang sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik. Misalnya,

tidak dapat diikatkan dengan hipotik atas strata title atau atas rumah susun. Maka

Undang-undang Rumah Susun Nomor 16 Tahun 1985, memperkenalkan fidusia

terhadap hak atas satuan rumah susun tersebut. Akan tetapi, sekarang dengan

berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka atas strata

title dapat diikatkan hak tanggungan asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.

Barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan, artinya

adakalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar

diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang

dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada

pihak kreditur. Misalnya, saham perseroan yang belum dicetak sertifikatnya. Karena itu,

timbul fidusia saham atau fidusia atas benda bergerak, tetapi benda tersebut karena

sesuatu dan lain hal masih di tangan pihak ketiga, sehingga penyerahan barang tersebut

belum dapat dilakukan. Karena itu, gadai tidak dapat dilakukan.

Mahkamah Agung Negeri Belanda dapat dipandang sebagai lembaga

pengadilan yang memungkinkan dipergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan melalui

putusannya yang terkenal dengan nama Bierbrowery Arrest tanggal 25 Januari 1929,

sekalipun sebenarnya lembaga jaminan yang demikian ini sudah lama dikenal sejak Jaman Romawi.98

Ada sementara pihak yang beranggaapan bahwa Arrest tersebut menyalahi

ketentuan undang-undang mengenai gadai oleh karena ketentuan mengenai gadai sudah

menentukan secara tegas bahwa barang yang dijadikan jaminan harus diserahkan

kepada kreditur, akan tetapi dalam fidusia tetap dipegang oleh debitur, sedangkan

sebaliknya ada pula ahli hukum yang memberikan dukungan terhadap Arrest tersebut,

sehingga lembaga fidusia berkembang seperti sekarang ini.

Ada yang berpendapat bahwa hal yang demikian dapat dibenarkan atas dasar

tuntutan masyarakat karena membutuhkan adanya lembaga jaminan yang demikian,

sehingga undang-undang harus menyingkir atas dasar prinsip bahwa undang-undang

untuk manusia dan masyarakat, bukannya masyarakat untuk undang-undang. Sedangkan pendapat lain yang pro terhadap putusan Hoge Raad di atas, menyetujui

dikembangkannya lembaga fidusia ini didasarkan pada asumsi bahwa jika fidusia ini

diterima maka ketentuan pasal 1152 KUH Perdata yang mengharuskan adanya

penyerahan benda yang digadaikan harus dihapuskan terlebih dahulu dan ada pula

pendapat yang tidak mau mengkaitkannya dengan persoalan gadai serta menilai fidusia

ini sebagai suatu lembaga jaminan baru yang dibutuhkan dalam praktek.

98Abdurrahman dan Sasul Wahidin, Beberapa Catatan Tentang Hukum

Jaminan dan Hak-hak Jaminan atas Tanah, Cet.I, Alumni, Bandung, 1985, h.39.

Page 169: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxix

Adanya pandangan yang demikian sangat banyak pengaruhnya terhadap

perkembangan fidusia itu sendiri. Dan berbagai putusan pengadilan, baik di negeri

Belanda maupun di negeri kita sudah terlihat adanya suatu kecenderungan untuk tetap

mempertahankan dan mengembangkan lembaga ini sekalipun hanya dimungkinkan

terhadap benda bergerak saja.

Di kalangan para ahli hukum sudah ada yang melangkah lebih jauh untuk memungkinkan diadakannya fidusia terhadap benda tetap seperti untuk memberikan

jaminan kepada penagih dengan jalan penyerahan hak milik. Pemberian jaminan secara

demikian ini sebenarnya hanya merupakan “pengurangan kebebasan hak kepemilikan

atas suatu benda”. Oleh karena itu, bisa saja terjadi “juridische levering” artinya dengan

“zakelijk overeenkomst” pendaftaran pada kadaster dan adanya perjanjian bahwa

penyerahan itu hanya atas dasar kepercayaan saja. Akan tetapi hal yang demikian adalah

jarang terjadi disebabkan karena telah ada peraturan tentang hipotik.

Keberadaan lembaga jaminan fidusia semula tidak lahir dengan kesepakatan

bulan dari para ahli hukum, melainkan masih melalui pertentangan yang cukup tajam,

seperti adanya pendapat bahwa benda tetap tidak dapat dibebani dengan lembaga

jaminan fidusia. Di samping itu, banyak pula yang mengungkapkan beberapa

kelemahan yang terkandung di dalam lembaga tersebut, karena terlalu banyak mengandung resiko antara lain seorang pemberi fidusia masih ada kemungkinan untuk

main curang dengan menjual atau menggadaikan lagi benda jaminan yang sudah

difidusiakan itu.

Di samping hal tersebut berbeda dengan hipotik yang harus didaftarkan, maka

fidusia tidak didaftarkan dan tidak mempunyai akta (pada saat timbul pengusulan

semula) dari sertifikatnya, sehingga dari pihak ketiga akan mudah dengan begitu saja

berdalih bahwa ia tidak tahu menahu mengenai adanya fidusia terhadap barang yang

telah diserahkan kepadanya, oleh karena pihak ketiga yang beritikad baik yang telah

membeli barang tersebut adalah dilindungi oleh hukum sekalipun penjual telah

melakukannya dengan tipu muslihat dan penjual tersebut adalah untuk kedua kalinya.

Saat itu dipersoalkan, apakah fidusia sebagai lembaga jaminan perlu untuk diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan tersendiri. Sebab pada saat itu fidusia

masih belum ada undang-undangnya. Mengenai hal ini, di Belanda sedang dibahas

mengenai masalah fidusia guna dicari wadahnya yang paling tepat.

Bentuk pengaturan ini hanyalah dimaksudkan untuk mencari jalan keluar

melalui jalan yang melingkar, di mana atas dasar ketentuan udnang-undang yang ada

tidak diperkenankan. Bilamana pembentuk undang-undang menganggap perlu, dapat

mencapai maksud yang sama secara langsung dengan cara mengubah jalan melingkar

melalui fidusia ini.

Setelah dilakukan penelitian secara mendalam, maka tentang praktek

fidusia di negeri Belanda dengan mendasarkan pada nilai efektifitas lembaga fidusia

Page 170: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxx

yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka telah terbukti untuk

memberikan wadah lembaga jaminan fidusia dalam suatu undang-undang.

Perkembangan selanjutnya dari lembaga fidusia dalam praktek peradilan di

negeri kita ternyata pula telah menetapkan bahwa penyerahan hak milik sebagai

jaminan fidusia hanya sah sepanjang mengenai barang-barang bergerak saja. Dari

perkembangan ini pulalah, kelahiran pembagian benda-benda terdaftar dan benda-benda tidak terdaftar menjadi semakin diperlukan, dengan maksud untuk memberikan

kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam proses kepemilikan benda terdaftar.

Adapun untuk memperoleh benda terdaftar, dalam praktek dapat diperoleh

dengan cara membeli (dalam transaksi jual beli), hibah, tukar menukar, hadiah ataupun

bentuk transaksi lainnya yang menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tidak

dilarang, baik secara obyektif maupun secara subyektif.

Dalam seminar hukum mengenai lembaga-lembaga jaminan di Yogyakarta

pada tanggal 9 Oktober 1984 sampai dengan 11 Oktober 1984 terdapat gagasan hukum

kendaraan bermotor yang terdapat gagasan bahwa kendaraan bermotor yang terdaftar

dapat digunakan lembaga jaminan hipotik (versi baru) atau bila tidak terdaftar lembaga

jaminannya adalah gadai (pand). Suatu benda tidak berwujud (misalnya hak untuk

menagih) ia dapat memakai lembaga gadai atau fidusia.99

Dengan mengetahui tentang arti pentingnya lahirnya suatu undang-undang

yang mengatur benda-benda bergerak terdatar, di mana semula lahir dari perkembangan

praktek penerapan lembaga jaminan fidusia. Maka pemberlakuan sanksi hukum dalam

transaksi jual beli kendaraan bermotor roda dua, menjadi semakin jelas keberadaannya

beserta aplikasinya.

Sebagaimana telah diketahui bersama hukum adalah merupakan suatu sistem,

hukum benda adalah merupakan suatu sub-sub sistem dari hukum perdata sebagai sub

sistemnya. Adapun yang dimaksud dengan sistem adalah antara sub sistem dengan sub-

sub sistem ataupun dengan sub sistem yang lain selalu berkait dan terikat dalam

pengaplikasiannya dan tidak dapat dilepas satu persatu dan dioperasionalisasikan satu

persatu dengan tanpa memfungsikan sistem atau sub sistem yang lain.

B. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik Nama

Terhadap penguasaan kendaraan bermotor yang tidak di balik nama atau

bukan pemilik dalam waktu yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan

dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk

memperoleh hak milik. Dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan

99Ibid.

Page 171: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxi

bermotor, sudah berusaha untuk mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai

mana di atas.

Dengan demikian akibat hukum dalam transaksi sepeda motor atau kendaraan

bermotor roda dua adalah masalah sanksi hukum yang tidak dapat dilepaskan dari

kepastian hukum dan perlindungan hukum. Artinya ketika para pihak yang melakukan

traksaksi jual beli sepeda motor sesuai dengan undang-undang, artinya para pihak mendaftarkan terjadinya perobahan kepemilikan sepeda motor sesuai dengan pasal 176

ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993, maka pada saat itu pula telah tejadi

kepastian hukum yaitu bahwa pemilik kendaraan atau sepeda motor telah beralih pada

pembeli (baik secara nyata ataupun secara hukum) dus perlindungan hukum dapat

diperoleh, baik oleh pihak penjual maupun oleh pihak pembeli.

Bilamana dalam proses pendaftaran perobahan kepemilikan kendaraan itu,

pembeli tidak mau membayar bea balik nama, maka ia akan memperoleh sanksi hukum

yang dapat berupa denda. Sebaliknya, jika pembeli telah mendaftarkan perobahan status

kepemilikan kendaraan tersebut, maka secara otomatis pembeli mendapat perlindungan

hukum sebagai pemilik sepeda motor yang sah. Ia dapat dapat mempertahankan hak

miliknya terhadap siapapun atas dasar hak kebendaan.

Bagi pihak penjual perihal sanksi hukum, kepastian hukum dan perlindungan hukum juga dapat diberlakukan dan diperoleh, sepanjang pihak penjual juga mengikuti

aturan main transaksi jual beli yang telah ditentukan dalam undang-undang di atas. Kita

dapat membuktikan, bahwa perlindungan hukum bagi penjual kendaraan atau sepeda

motor dapat diperoleh ketika penjual benar-benar mengikuti prosedur perjanjian jual

beli sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Artinya penjual baru

berkewajiban melakukan pemenuhan prestasi pada saat pembeli memenuhi

kewajibannya melakukan kontra prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Hal

ini dikarenakan, walaupun antara penjual dan pembeli telah terjadi kesepakatan dalam

transaksi jual beli sepeda motor itu, namun perjanjian yang telah disepakati tersebut

masih dalam taraf “obligatoir” dan belum menyebabkan terjadinya perpindahan hak

kepemilikan.

Proses perpindahan hak milik dari penjual ke pembeli akan terjadi, bilamana

kedua belah pihak telah saling memenuhi “prestasi dan kontra prestasi”. Pada saat itulah

kepastian hukum lahir sebagai akibat terjadinya perjanjian jual beli tersebut, artinya

pada saat itu telah dapat ditentukan siapa yang berkedudukan sebagai pemilik atas

sepeda motor yang telah diperjual-belikan tersebut. Tahap berikutnya, pemilik tinggal

melakukan pendaftaran, dan bersamaan dengan proses pendaftaran dimaksud

“perlindungan hukum” muncul dengan sendirinya. Artinya, kedudukan pembeli yang

telah tercantum sebagai pemilik dalam Buku Pemilik Kendaraan Bermotor secara

yuridis adalah sah hukumnya sebagai pemilik.

Page 172: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxii

B. Alasan-alasan Yang Memberatkan Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik

Nama

Ditinjau dari proses penyelesaian balik nama seperti telah diuraikan pada bab

sebelumnya, dapat diketahui tidak terlalu memberatkan atau menyulitkan. Mengingat

sistim administrasi manunggal dibawah satu atap dibentuk dengan tujuan untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang meliputi :

c. Menyederhanakan, mempercepat dan dapat dipertanggung jawabkan dalam

pelayanan penyelesaian balik nama kendaraan bermotor serta pajak lainnya.

d. Menyelenggarakan urusan surat-surat yang ada hubungannya dengan

kendaraan bermotor.100

Kemudian mengingat bahwa objek balik nama adalah transaksi, maka bea ini

tidak dipungut secara pereodik seperti pajak-pajak lain terhadap kendaraan bermotor.

Apabila bea pemilikan kendaraan bermotor (dalam balik nama) yang akan

digunakan/dimiliki sendiri untuk seterusnya, maka bea akan dibayar sekali yang

harusnya dibayar oleh pemilik. Sepanjang kendaraan bermotor itu tidak diserahkan

kepada pihak lain, tidak pernah timbul kewajiban balik nama. Akan tetapi sebaliknya

apabila kendaraan bermotor itu sering dilakukan penyerahan, maka sebanyak jumlah

penyerahan itu kewajiban balik nama harus dilakukan.

Walaupun prosedur dibuat sedemikian mudah, namun balik nama tetap saja

dapat dihindari. Seperti diketahui ketentuan yang khusus berupaya mencegah

penyimpangan ini terdapat pada peraturan daerah tentang Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor. Ketentuan ini bersifat menunggu, sampai adanya pemberi tahuan yang

mengakibatkan kewajiban balik nama. Sehingga walaupun ketentuan-ketentuan yang

diberikan bersifat kewajiban membayar pajak, tetapi kewajiban itu timbul setelah ada

perbuatan yang mengandung unsur perdata. Ketentuan yang terdapat dalam KUH

Perdata dapat berfungsi sebagai pelengkap (aanvullend recht) tetapi ketentuan balik

nama tidak dapat dikatakan sebagai pelengkap. Walaupun cara memperoleh hak milik

dapat berasal dari suatu perjanjian, akan tetapi dalam setiap perjanjian yang

mengakibatkan penyerahan hak milik benda-benda terdaftar harus diikuti dengan balik nama. Dengan catatan bahwa perjanjian pokok yang dibuat tidak boleh menyimpang

dari undang-undang. Maka berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian

dinyatakan tidak sah apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-

undang. Kenyataan dalam praktek, perjanjian ini yang banyak dibuat tidak sah menurut

undang-undang. Tidak lain dengan tujuan agar kewajiban berikutnya, berupa balik nama

dapat dihindari. Oleh karena hukum mudah disimpangi, maka dapat digunakan alasan

untuk tidak melaksanakan kewajiban balik nama.

Bagi pedagang kendaraan bermotor bekas, yang sering mengadakan

perjanjian jual beli pada umumnya menguasai sejumlah kendaraan bermotor. Sehingga

100Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan, 6 April 2011.

Page 173: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxiii

untuk melaksanakan kewajiban tersebut diatas, mereka mempunyai pertimbangan antara

lain :

e. Benda-benda itu tidak untuk dimiliki sendiri, akan tetapi setiap saat akan dibeli

dan diserahkan kepada orang lain.

f. Menambah harga jual karena bea yang dikeluarkan untuk balik nama.

g. Menghendaki penjualan yang cepat dengan harga bersaing serta segera memperoleh keuntungan yang diharapkan.

h. Sebagai pedagang, apabila semua kendaraan bermotor yang dikuasainya harus

dibalik nama, akan memakan waktu, biaya dan tenaga, dan atas pertimbangan

ini mereka memilih untuk tidak melakukan balik nama kendaraan bermotor

yang menjadi barang dagangannya.101

Adanya pemilikan tanpa proses balik nama, terdapat pula unsur untuk

menghindari pengenaan bea. Dibanding dengan pajak lain, bea balik nama memang

lebih besar pengenaannya. Hal ini lebih menyangkut tentang kendaraan sebagai wajib

pajak serta usaha aparat yang berwenang dalam mengadakan pemungutan pajak.

KESIMPULAN

b. Setiap transaksi jual beli kendaraan bermotor pada dasarnya harus dilakukan, baik

secara nyata ataupun secara yuridis, namun bilamana ketentuan ini tidak diikuti

karena kebiasaan, maka kedudukan seorang pemegang sepeda motor yang sah

(dengan cara membeli) dan yang tidak sah (dengan cara pencurian, dan penadahan)

tidak dapat dibedakan. Apalagi ketentuan hukum dalam KUH Perdata khususnya

pasal 1977 ayat 1 hanya berlaku terhadap benda bergerak yang tidak terdaftar,

untuk itu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor menjadi wajib; b. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan nyata atas

sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus dilakukan

penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor dari

penjual kepada pembeli. Perobahan status kepemilikan sepeda motor yang

didaftarkan, akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam BPKB dan STNK

sepeda motor yang bersangkutan;

c. Adapun akibat hukum terhadap transaksi jual beli sepeda motor dengan tanpa balik

nama dengan maksud untuk menghindari pengenaan bea balik nama, adalah akan

melahirkan sanksi hukum, tidak ada perlindungan hukum dan tidak ada kepastian

hukum. Sanksi hukum akan timbul bilamana pihak pemilik yang terakhir

mendaftarkan melewati tenggang waktu jatuh tempo penagihan pajak kendaraan

bermotor. Dengan tidak dilakukannya perobahan status kepemilikan sepeda motor, maka bilamana kendaraan yang telah dibeli oleh pemegang terakhir “diakui atau

digugat” oleh orang lain, maka perlindungan hukum bagi pembeli tersebut tidak

101Penjelasan Pedagang Kendaraan Bermotor Roda Dua Bekas di Pamekasan, 9

April 2011.

Page 174: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxiv

ada, artinya hukum akan tetap memberikan perlindungan hukum pada siapa yang

tertera namanya dalam BPKB ataupun STNK-nya.

SARAN

Dengan adanya fakta di atas, maka pihak pemerintah melalui institusi terkait untuk

segera melakukan tindakan-tindakan:

d. Penyuluhan hukum tentang arti penting perjanjian jual beli kendaraan bermotor

yang harus dilakukan secara yuridis;

e. Mewajibkan pembeli sepeda motor bekas untuk selalu mendaftarkan sepeda motor

yang telah dibelinya;

f. Memberikan sanksi berupa denda, kepada pembeli yang tidak mendaftarkan

transaksi jual beli bendaraan bermotor, dengan cara melakukan balik nama;

Daftar Rujukan

Abdurrahman dan Sasul Wahidin. 1985. Beberapa Catatan Tentang Hukum Jaminan

dan Hak-hak Jaminan atas Tanah, Cet.I, Alumni. Bandung.

Fuady, Munir. 2000. Jaminan Fidusia, Cet.I. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hernoko, A. Yuda. 2001. Diktat Hukum Perjanjian Kredit dan Jaminan – Aspek Hukum

Jaminan dan Lembaga Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Surabaya.

Ichsan, Achmad. 1969. Hukum Perdata IA, Cet.I, PT. Pembimbing Masa. Jakarta.

Isnaeni, Moch. 1996. Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Cet.I, CV. Dharma Muda.

Surabaya. Mertokusumo, Sudikno. 2000. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed.II, Liberty.

Yogyakarta. 2000.

Muqodim. 1999. Perpajakan Buku Dua, Ed.II, UII Press. Yogyakarta.

Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari

Perjanjian dan dari Undang-undang, Cet.I, Mandar Maju. Bandung.

Prawirohamidjojo R. Soetojo dan Marthalena Pohan. 1984. Bab-bab Tentang Hukum

Benda, Cet.I, Bina Ilmu. Surabaya.

Wignjosoebroto, Soetandyo.1995. Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan

Hukum Di Indonesia pada Era Pascakolonial, Karya Ilmiah Para Pakar

Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, PT. Eresco.

Bandung.

Page 175: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxv

PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT SEBAGAI PENERIMA KUASA

Oleh:

Achmad Rifai, S.H.,M.Hum.*

ABSTRAK

Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian

bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru

dalam batas tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak

seorang advokat dalam rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban dan sanksi terhadap pihak lain untuk

menyerahkan bukti yang dibutuhkan

Kata Kunci: Perlindungan Hukum – Advokat – Penerima Kuasa.

LATAR BELAKANG

Satu hal yang menyebabkan proses penyelesaian krisis multi dimensi di negara kita menjadi berlarut-larut adalah terjadinya kekacauan hukum (judicial disarray).

Karena itu salah satu jalan keluar dari masalah krisis multi dimensi ini adalah perlu

dilakukan reformasi dalam bidang hukum.102 Yang dimaksud dengan reformasi hukum

adalah perubahan dan pembaharuan total terhadap seluruh sistem hukum (legal system)

dan penegakan hukum (law enforcement), terutama terhadap lembaga penegak hukum

kita seperti hakim, jaksa, polisi dan advokat. Hal ini harus dilakukan mengingat selama ini merekalah yang sebenarnya sumber dan turut menjadi bagian dari terjadinya

kekacauan hukum tersebut.

Bangsa Indonesia memiliki masalah tidak berimbangnya akses hukum antara

yang kaya dan miskin. Tidak semua warga masyarakat mempunyai kemampuan untuk menggunakan jasa advokat/penasehat hukum untuk membela kepentingan mereka

dalam memperoleh keadilan. Hal ini karena masih sangat banyak warga masyarakat

hidup di bawah garis kemiskinan dan kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum.

102Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya),

Cet.I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, h.22.

Page 176: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxvi

Kenyataan sehari-hari menunjukkan masih banyak warga masyarakat yang

tersisih dari pembangunan, baik di kota maupun di desa. Masih kita dengar terjadinya

tindakan semena-mena atas hak seseorang yang dapat dikategorikan melanggar hak

asasi manusia oleh pihak yang kuat kepada yang lemah. Masih dijumpai tersangka yang

diabaikan haknya dan diperlakukan tidak adil, bahkan mengalami penyiksaan dan

direndahkan martabatnya sebagai manusia.103

Bantuan hukum adalah hak asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh

negara dan bukan belas kasihan dari negara. Seringkali bantuan hukum diartikan

sebagai belas kasihan bagi yang tidak mampu. Selain membantu orang miskin bantuan

hukum juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh

karena itu, hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil oleh negara.

Salah satu ciri dari faham negara hukum adalah tiada seorangpun karena

ketidakmampuannya akan kehilangan haknya untuk memperoleh keadilan. Maka,

apabila seseorang tidak mampu untuk membiayai usahanya memperoleh keadilan dalam membela diri akan tetap berhak untuk mendapatkannya antara lain melalui usaha

bantuan hukum.

Ketentuan yang mengatur pendampingan advokat atau penasehat hukum antara

lain Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya Pasal 54 - 56. Pasal tersebut mengatur tentang tersangka atau terdakwa yang berhak mendapat bantuan

hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap

tingkat pemeriksaan.

Bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH sifatnya pro deo (demi Tuhan),104

tidak dipungut biaya karena disediakan terutama untuk warga masyarakat yang tidak

mampu. Pembiayaan operasional lembaga bantuan hukum diharapkan berasal dari

pemerintah dan warga masyarakat yang mampu. Dengan bekerjanya LBH yang

didukung oleh masyarakat, organisasi profesi hukum, dan pemerintah, dapat diharapkan

terjadi peningkatan jumlah pembela umum.

Lembaga bantuan hukum berperan dalam pemerataan keadilan sehingga baik

orang kaya maupun miskin dapat memperoleh bantuan hukum yang sama. Lembaga

bantuan hukum diharap mampu menjadi alternatif untuk meredam segala keresahan

103Poltak Hasiholan Hutadjulu, Bantuan Hukum pada Pemeriksaan

Pendahuluan oleh Penyidik Polri, Polisi dan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP

(Bunga Rampai), Cet.I, Sibaya, Bandung, 1999, h.23 104Simorangkir JCT et al., Kamus Hukum, Cet.VI, Sinar Grafika, Jakarta, 2000,

h.134

Page 177: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxvii

sosial yang berdampak buruk maupun gejolak sosial dengan memberikan pelayanan

hukum kepada warga tidak mampu.

Bantuan hukum tidak dapat dikatakan bersaing dengan advokat profesional

karena pangsa pasar dan klien yang dibela berlainan. LBH lebih mengkonsentrasikan

diri untuk membela orang miskin. Ketidakmampuan secara ekonomi orang miskin tidak

memungkinkan untuk memperoleh pembelaan dan pelayanan hukum dari advokat

profesional.

Kondisi demikian menuntut dukungan kuat dari advokat baik berupa tenaga

maupun dana untuk pelaksanaan bantuan hukum. Bantuan dana dikumpulkan melalui

organisasi profesi untuk kemudian disalurkan kepada lembaga-lembaga bantuan hukum

yang memang telah memenuhi syarat untuk mendapatkannya. Sumbangan ini menjadi

alternatif pembiayaan pelaksanaan bantuan hukum, tanpa harus tergantung pada negara

atau lembaga donor asing.

Selayaknya setiap organisasi profesi advokat yang ada di Indonesia

meningkatkan fungsi sosialnya di masyarakat dan turut berpartisipasi dalam

memikirkan persoalan hukum yang ada dalam masyarakat. Organisasi advokat akan

berwibawa bila mampu membela keadilan tanpa rasa takut atau memihak. Organisasi

advokat harus mampu membela kehormatan, wibawa dan kebebasan lembaga peradilan. Tugas lain yang tidak kalah penting adalah mendorong reformasi hukum dengan

memberi komentar atas isi, hakikat, penafsiran dan penerapan hukum yang berlaku dan

akan diberlakukan terus menerus.

Bantuan hukum bagi warga masyarakat yang miskin bukan semata-mata

kedermawanan tetapi adalah suatu hak yang dapat dituntut pemenuhannya. Warga yang

tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum sebagaimana orang kaya

mendapatkannya. Namun, disadari tidak setiap orang yang merupakan pemegang hak

dapat menuntut pemenuhan hak yang ada padanya karena adanya berbagai keterbatasan,

baik yang melekat pada dirinya sendiri, misalnya kebodohan, ketidakberanian, juga

faktor eksteren seperti sistem peradilan, dan tenaga pemberi bantuan.

Negara bertanggung jawab memberikan fasilitas baik infrastruktur maupun

dalam bentuk pembiayaan. Namun, harus dihindari bentuk-bentuk campur tangan

negara yang dapat mengurangi pelaksanaan bantuan hukum yang obyektif dan

transparan. Hal ini juga ditentukan oleh peran pihak lain di luar negara seperti advokat,

organisasi profesi dan peran masyarakat. Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat

yang tidak mampu oleh negara merupakan wujud perlindungan yang diberikan negara

bagi warga negaranya.

Page 178: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxviii

Pelaksanaan bantuan hukum tidak hanya melibatkan advokat melainkan juga

aparat penegak hukum yang ada di dalam seluruh proses peradilan, seperti hakim, polisi

dan jaksa. Masing-masing aparat penegak hukum memiliki peran sendiri-sendiri dalam

pelaksanaan bantuan hukum sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Selama ini,

pelaksanaan bantuan hukum terkesan terhambat karena tidak ada koordinasi antara para

pihak yang terkait.

Bantuan hukum agar dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat, pelaksanaanya

perlu dilakukan secara merata dengan penyaluran melalui berbagai institusi penegakan

hukum yang ada seperti pengadilan, kejaksaan, organisasi advokat maupun organisasi

masyarakat yang bergerak di bidang bantuan hukum.

Pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat atas pendampingan advokat dalam setiap proses

hukum melainkan lebih jauh dari hal tersebut yaitu bagaimana menjadikan masyarakat

untuk lebih mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum yang ada. Hal ini

dilaksanakan dengan memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat.

Oleh para ahli hukum Indonesia, bantuan hukum dibagi menjadi dua yaitu;

bantuan hukum individual dan bantuan hukum struktural. Bantuan hukum individual

merupakan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu dalam bentuk pendampingan oleh advokat/pengacara dalam proses penyelesaian sengketa yang

dihadapi dalam rangka menjamin pemerataan pelayanan hukum kepada seluruh lapisan

masyarakat.

Dalam bantuan hukum struktural segala aksi atau kegiatan yang dilakukan

tidak semata-mata ditujukan untuk membela kepentingan atau hak hukum masyarakat

yang tidak mampu dalam proses peradilan. Namun lebih luas lagi, bantuan hukum

struktural bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan pengertian masyarakat tentang

hukum. Tujuan bantuan hukum ini adalah pemberdayaan masyarakat untuk

memperjuangkan kepentingannya terhadap penguasa yang melanggar hak-hak warga.

Proses bantuan hukum struktural melalui pemberdayaan rakyat, penyadaran

dan pendidikan hukum kritis yang ditujukan untuk membawa perubahan pada pemikiran

dan motivasi rakyat agar mampu berjuang bagi hak-hak mereka. Konsep ini merupakan

suatu pilihan yang didasari oleh keyakinan bahwa supremasi hukum yang disyaratkan

dalam membangun Indonesia sebagai negara hukum, tidak mutlak dibenahi oleh kaum

elit dan mereka yang berada di dalam struktur kenegaraan. Supremasi hukum dapat

dibenahi melalui potensi yang ada di masyarakat.

Page 179: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxix

Tidak banyak orang yang tahu bahwa bantuan hukum adalah bagian dari tugas

seorang advokat. Profesi ini dikenal sebagai profesi yang mulia atau officium

nobile105karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar

belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosio-ekonomi, kaya/miskin, keyakinan

politik, gender maupun ideologi.

Tidak dapat dipungkiri terdakwa yang ditawari bantuan hukum ada yang

menyatakan keinginannya untuk menghadapi perkara hukumnya sendiri tanpa bantuan

advokat karena beberapa sebab, yaitu anggapan bila memakai jasa advokat

membutuhkan waktu lebih lama terhadap proses peradilan, misalnya advokat sering

mengajukan eksepsi atau mempermasalahkan surat dakwaan atau perbuatan terdakwa

sudah jelas sehingga tidak ragu lagi akan posisi hukumnya.

Namun di sisi lain, perlindungan terhadap advokat dalam rangka memberikan

perlindungan hukum guna menciptakan law enforcement dalam Undang-Undang

Advokat itu sendiri belum memadai. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak satupun yang mengatur tentang larangan mengintimidasi, mengintervensi

dan tindakan lain yang mengganggu proses bantuan hukum yang diberikan Advokat.

Ketiadaan ketentuan larangan mengintimidasi, mengintervensi dan tindakan

lain yang mengganggu proses bantuan hukum yang diberikan Advokat memberikan peluang bagi Advokat untuk bekerja sambil menyelamatkan dirinya. Ini memberikan

dampak penyimpangan terhadap proses penegakan hukum.

Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan untuk mengangkat beberapa permasalahan hukum dengan rumusan kalimat:

a. Apakah yang dimaksud dengan bantuan hukum?

b. Apakah hak dan kewajiban yang timbul dalam pemberian kuasa?

c. Bagaimanakah perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa

dalam pemberian bantuan hukum?

BANTUAN HUKUM

1. Bantuan Hukum dalam Penanganan Perkara

Istilah bantuan hukum boleh dikatakan masih merupakan hal yang baru bagi

bangsa Indonesia. Masyarakat baru mengenal dan mendengarnya di sekitar tahun tujuh

105Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1995, h.10

Page 180: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxx

puluhan.106 Aliran lembaga bantuan hukum yang berkembang di negara kita pada

hakikatnya tidak luput dari arus perkembangan bantuan hukum yang terdapat pada

negara-negara yang sudah maju. Di dunia Barat pada umumnya, pengertian, bantuan

hukum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda.

Legal aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang

yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma, bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang

tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin. Dengan demikian motivasi utama

dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan

dan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan buta hukum.107

Legal assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal aid.

Karena pada legal assistance, di samping mengandung makna dan tujuan memberi jasa

bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi advokat,

yang memberi bantuan baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi, maupun

pemberian bantuan kepada rakyat yang miskin secara cuma-Cuma.108

Bentuk ketiga adalah legal service, barangkali dalam bahasa Indonesia, legal

service dapat kita terjemahkan dengan perkataan "pelayanan hukum". Pada umumnya

kebanyakan orang lebih cenderung memberi pengertian yang lebih luas kepada konsep dan makna legal service dibandingkan dengan konsep dan tujuan legal aid atau legal

assistance. Karena pada konsep dan ide legal service terkandung makna dan tujuan

memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan

menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa

bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang

menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan.

Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang

memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak

hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap

anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin. Di samping untuk

menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal service di dalam operasionalnya, lebih cenderung untuk menyelesaikan

setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian.

Dalam tinjauan ini akan dicoba memperlihatkan masalah bantuan hukum

sesuai dengan apa yang dijumpai dalam kaidah hukum positif di Indonesia. Apakah

hukum positif kita telah mengenal bantuan hukum, khususnya bantuan hukum bagi

mereka yang sedang berhadapan dengan pemeriksaan perkara mulai dari taraf

penyidikan sampai ke tingkat proses pemeriksaan peradilan.

106Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia Citra, Idealisme dan

Kepribadian, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, h.10 107M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h.333 108Ibid.

Page 181: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxi

Bantuan hukum yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara, hukum positif

telah mengenal dua fase perkembangan di bidang bantuan hukum dalam perkara-

perkara pidana:

1. Bantuan Hukum yang Dirumuskan dalam Pasal 250 HIR, sesuai dengan

ketentuan Pasal 250 HIR, bantuan hukum yang diatur di dalam dapat dikatakan

sekalipun dasar bantuan hukum pada pokoknya hanya tercantum pada pasal 250, tidak berarti adanya pembatasan hak terdakwa mendapatkan bantuan hukum,

namun HIR hanya memperkenankan bantuan hukum kepada terdakwa dalam

proses pemeriksaan persidangan pengadilan. Sedang kepada tersangka pada

proses tingkat pemeriksaan penyidikan, HIR belum memberi hak untuk mendapat

bantuan hukum.

Demikian juga "kewajiban" bagi pejabat peradilan untuk menunjuk penunjuk

Penasihat Hukum, hanya terbatas pada tindak pidana yang diancam dengan

hukuman mati. Di luar tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, tidak

kewajiban bagi pengadilan untuk menunjuk Penasihat Hukum memberi bantuan

hukum kepada terdakwa.

2. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Undang-undang

Pokok Kekuasaan Kehakiman, diatur suatu ketentuan tentang bantuan hukum

yang jauh lebih luas dengan apa yang dijumpai dalam HIR. Pada Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 terdapat satu bab yang khusus memuat tentang bantuan

hukum, yang diatur dalam pasal 37 sampai dengan pasal 40.

Pada penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana

dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dapat

dibaca landasan pemikiran pembuat undang-undang tentang makna bantuan hukum, yang pada pokoknya menentukan bahwa seseorang yang terkena perkara

mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum. ini dianggap perlu karena ia

wajib diberi perlindungan sewajarnya. Perlu diingat ketentuan pasal 8, di mana

seorang tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai keputusan pengadilan

yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan yang tetap.

Karena, pentingnya, supaya diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan

hukum. Demikian bunyi penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 14 tahun

1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang

memberi gagasan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara, berhak

memperoleh bantuan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang

Page 182: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxii

Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, dapat disimpulkan telah menetapkan, hak bagi setiap

orang yang tersangkut urusan perkara untuk memperoleh bantuan hukum. Ketentuan ini

memperlihatkan, asas bantuan hukum telah diakui sebagai hal yang penting seperti yang

dijelaskan pada penjelasan Pasal 35. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 belum sampai kepada taraf yang meletakkan asas "wajib" memperoleh bantuan hukum. Masih bertaraf "hak"

mendapatkan bantuan hukum.

Namun sekalipun asas memperoleh bantuan hukum bagi orang yang tersangkut

perkara baru merupakan hak, tetapi hak memperoleh bantuan hukum dalam perkara

pidana. Kalau diperhatikan lebih lanjut ketentuan bantuan hukum yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 telah dibenarkan memperoleh bantuan hukum sejak saat dilakukan

penangkapan atau penahanan. Tetapi sifat hak memperoleh bantuan hukum pada taraf

penangkapan atau penahanan, baru bersifat "hak menghubungi dan meminta bantuan

Penasihat Hukum".

Bagaimana cara menghubungi dan cara meminta bantuan Penasihat Hukum Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 belum mengaturnya. Jika diperhatikan penjelasan Pasal 36, hanya berisi

pengaturan umum saja. Belum mengatur tata cara hubungan dan permintaan bantuan

Penasihat Hukum, seperti yang dapat dibaca "Sesuai dengan sila perikemanusiaan maka

seorang tertuduh harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia dan

selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah.109

Karena itu ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga dan

Penasihat Hukumnya, terutama sejak ia ditangkap/ditahan. Tetapi hubungan ini dengan

sendirinya tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan yang dimulai dengan

penyidikan. Untuk itu penyidik dan Penuntut Umum dapat melakukan pengawasan terhadap hubungan tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara

pidana". Dari penjelasan Pasal 36 di atas, terutama kalimat alinea terakhir, memang

menegaskan bahwa hubungan dan pengawasan antara tersangka/terdakwa dengan

Penasihat Hukum akan diatur lebih lanjut dalam Hukum Acara Pidana. Malah Pasal 38

sendiri telah mempertegas lagi tentang apa yang disebut pada penjelasan pasal 36.

Pasal 38 menentukan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 35, 36, dan 37

tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, ketentuan

bantuan hukum yang terdapat pada Bab VII Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970

sebagai dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan

dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, baru merupakan landasan dan

109Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam

Teori dan Praktek, Cet.I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h.3

Page 183: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxiii

asas umum, belum memuat aturan tata cara pelaksanaannya. Dan ketentuan umum ini

terkatung-katung selama lebih kurang sepuluh tahun. Sehingga dalam masa periode

yang tak menentu ini, sering terjadi saling pertentangan pendapat antara para pemberi

bantuan hukum (pengacara, advokat) pada satu pihak dengan para aparat penegak

hukum (Polri dan penuntut umum) pada pihak lain. Para Penasihat Hukum mendesak

kepada para instansi penegak hukum untuk memberi hak seperti yang ditegaskan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004, yakni dapat mengikuti jalannya pemeriksaan tersangka sejak

penyidikan. Pada pihak lain instansi penyidik bertahan tidak memperkenankan dengan

alasan peraturan pelaksanaan dan tata cara pemberian bantuan hukum yang dimaksud

Pasal 35 dan 36 belum diatur.

Akan tetapi dengan adanya aturan umum yang terdapat pada Undang-Undang

Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, telah

membawa rangsangan bagi anggota masyarakat, terutama dari kalangan profesi hukum

clan perguruan tinggi untuk menuntut dan mengembangkan lembaga-lembaga bantuan

hukum. Gerakan lembaga-lembaga bantuan hukum yang berkembang tadi, merupakan aliran yang lebih menitik-beratkan konsep dan program bantuan hukum ke arah

:pelayanan hukum bagi rakyat miskin yang tidak berpunya dengan jalan memberi

bantuan secara cuma-cuma, menyadarkan hak-hak asasi manusia yang buta hukum,

yang bertemakan penegakan hukum dan sekaligus penegakan hukum.

Ketentuan pasal-pasal bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP merupakan

pelaksana daripada aturan umum yang digariskan dalam Undang-Undang Pokok

Kekuasaan Kehakiman yang terdapat pada Bab VII, Pasal 35 sampai dengan Pasal 38.

Sebagai peraturan pelaksana, pasal-pasal KUHAP merupakan penjabaran dari ketentuan

pokok tersebut. Oleh karena itu, landasan dan orientasi pasal-pasal KUHAP tentang

bantuan bertitik tolak dari ketentuan pokok yang digariskan pada Undang-Undang

Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

Seperti halnya pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana

dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut

dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, KUHAP tidak begitu jelas memberi

definisi bantuan hukum. Tidak dijumpai penjelasan yang membedakan pengertian

bantuan hukum seperti apa yang dikembangkan pada negara-negara yang sudah maju.

Siapa yang dimaksud dengan Penasihat Hukum yang berhak memberi bantuan hukum

tersebut? Apakah hanya mereka yang tergolong pada kelompok Peradin atau pokrol?

kedua, apakah arti Penasihat Hukum yang dimaksud dalam ketentuan ini sama dengan

pengertian legal assistance atau legal service, atau legal aid.

Dengan demikian, KUHAP sendiri belum memadai dan belum dekat sekali

dengan rakyat yang memerlukan pelayanan bantuan hukum. Bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP, lebih dekat kepada mereka yang kaya dan mampu memberi

Page 184: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxiv

imbalan jasa kepada yang berprofesi sebagai advokat atau pengacara. Supaya bantuan

hukum akrab dengan rakyat kecil yang tidak mampu membayar imbalan jasa, harus

terdapat suatu ketentuan yang menegaskan adanya "kewajiban hukum" yang bersifat

imperatif memberi bantuan hukum kepada setiap anggota masyarakat tanpa kecuali.

Sedang yang diatur pada pasal 56 KUHAP hanya menegaskan hak tersangka atau

terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Sehingga bentuk bantuan hukum yang

diatur dalam KUHAP masih bersifat diskriminatif antara orang yang kaya dan yang

miskin.

Masalah lain dari pengertian bantuan hukum dalam rumusan KUHAP ialah:

Penasihat Hukum yang memberi bantuan hukum ialah seseorang yang telah memenuhi

syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

2. Pejabat yang Berwenang Memberikan Bantuan Hukum

Sejarah hukum di Indonesia merupakan peninggalan kolonial Belanda. Pada

waktu itu, peraturan dan perundang-undangan begitu banyak. Oleh karena itu, pada

akhirnya dibuatlah Peraturan umum mengenai Perundang-undangan. Untuk Indonesia (Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesia) Staatsblad 1847 Nomor 23 yang

diumumkan pada tanggal 30 April 1847.110 Inilah Dasar-dasar dan Pokok-pokok Hukum

di Indonesia yang menganut “Sistim Hukum Eropa Kontinental” yang pada akhir-akhir

ini masyarakat hukum kurang memperhatikannya, bahkan cenderung melupakannya.

Indonesia memperoleh kemerdekaan tahun 1945 dengan Undang-undang

Dasar yang bersifat singkat dan supel, yaitu hanya memuat 37 Pasal; sedangkan pasal-

pasal lainnya hanya memuat Peralihan dan Tambahan. Aturan Peralihan Undang-

undang Dasar 1945, Pasal II menyebutkan "Segala badan negara dan peraturan yang ada

masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang

Dasar ini.

Kita mengetahui bahwa keadilan yang hakiki sulit dicapai, kendati demikian

dalam. kehidupan sehari-hari kita harus selalu mencoba secara maksimal untuk mencapainya. Sebagai suatu negara hukum yang berdasarkan konstitusi kita tentunya

mendambakan bahwa segala aspek kehidupan di dalam masyarakat dapat diatur dengan

undang-undang dan persoalan-persoalan yang timbul dapat diselesaikan secara hukum

baik melalui pengadilan, arbitrase maupun melalui negosiasi dan mediasi atau yang

sekarang lebih dikenal dengan istilah "Alternative Dispute Resolution" sehingga semua

persoalan diharapkan dapat diselesaikan secara adil berdasarkan landasan hukum yang

menyertainya.

Untuk mencapai keadilan tersebut hanya dimungkinkan kalau saja para

penegak hukum telah siap mental dan dapat bersikap profesional untuk

melaksanakannya. Sebagaimana. kita ketahui bersama para penegak hukum kita belum

110Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII,

?Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.49

Page 185: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxv

semua dapat bersikap profesional sehingga mengakibatkan tersendat-sendatnya

penegakan hukum di negara kita.

Berbagai peristiwa telah menandai tersendat-sendatnya penegakan hukum

seperti kasus Gandhi Memorial School, kaburnya Edy Tansil dari Lembaga

Pemasyarakatan Cipinang, hakim dilempari sepatu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,

advokat dipukuli massa di Pengadilan Negeri Bekasi, pemeriksaan ulang perkara Marsinah di Pengadilan Negeri Surabaya, dan contoh-contoh peristiwa lain. Peran

undang-undang; badan peradilan,

Di sisi lain tidak semua persoalan harus diselesaikan melalui badan peradilan,

persoalan-persoalan dapat diselesaikan baik melalui pengadilan maupun diselesaikan di

luar pengadilan. Untuk itu, peran para penegak hukum sangatlah vital di dalam, konteks

suatu. negara hukum.

Sering anggota masyarakat yang mengalami masalah atau problem tidak sadar

bahwa untuk memecahkan masalah tersebut diperlukan jasa Seorang advokat dan

biasanya kalau dia menyadarinya persoalan itu sudah menjadi rumit. Jarang sekali

anggota masyarakat berkonsultasi kepada seorang advokat, terkecuali diketahuinya

secara pasti alasan mengapa dia harus datang kepada seorang advokat dan minta jasa

seorang advokat. Oleh karena itu, di dalam memenuhi kebutuhan akan jasa advokat dari masyarakat diperlukan beberapa kualifikasi yang memadai agar seorang advokat dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut.

Kebutuhan akan jasa hukum dari seorang advokat dapat berupa nasehat

hukum, konsultasi hukum, pendapat hukum, legal audit, pembelaan baik di luar maupun

di dalam pengadilan serta. pendampingan di dalam perkara-perkara pidana atau tidak

menutup kemungkinan dalam arbitrase perdagangan dan perburuhan.

Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam rangka memasuki era perdagangan

bebas, kebutuhan akan jasa advokat khusus advokat yang bergerak di bidang hukum

bisnis, investment law, cross-border acquisition dan merger sedemikian meningkat.

Sehingga dunia bisnis membutuhkan dan menuntut kualitas advokat yang lebih

profesional dan berwawasan internasional. Kita kenal advokat yang bergerak di bidang hukum bisnis sebagai apa. yang

menamakan dirinya konsultan hukum. Perkembangan akan kebutuhan konsultan hukum

bisnis adalah suatu kenyataan sebagai akibat dari perkembangan zaman. Persoalannya

sekarang adalah apakah konsultan hukum ini termasuk dalam profesi advokat ataukah

akan dipisahkan sebagai profesi tersendiri. Ada yang berpendapat bahwa konsultan

hukum. bukanlah suatu profesi yang notabene sebenarnya pekerjaan tersebut sudah

termasuk dalam profesi advokat sebagaimana dapat dilihat dari definisi "advocate"

menurut Black's Law Dictionary.111

111Ropaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, Cet.I, Gramedia, Jakarta, 2001,

h.11

Page 186: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxvi

Juga kenyataan di negara kita sudah lama berpraktik pengacara praktek yang

menamakan dirinya pada jaman kolonial sebagai procureur dan pertanyaannya sekarang

apakah pekerjaan procureur akan diatur sendiri dan diawasi oleh organisasi tersendiri.

Adapun advokat itu sendiri harus kualifikatif dan mempunyai karakter substantive,

yaitu dia harus merupakan seorang diplomat dan inovatif dan dapat dipercaya.

Tentunya, kualitas tersebut akan merupakan suatu yang sangat ampuh bagi seorang advokat dan dapat dikatakan bahwa seorang advokat dibentuk oleh kondisi dan

karakteristik yang demikian itu. Masyarakat tentunya sangat membutuhkan advokat

dengan kualitas dan hal ini dapat dijaga dan diawasi oleh suatu asosiasi advokat yang

berwibawa dan berani.

Suatu standar profesi hukum yang memenuhi karakteristik dan kualffikasi

seperti di atas, hal yang tidak kalah penting adalah terjaminnya independensi profesi

advokat. Karena. tanpa adanya independensi profesi, seorang advokat akan sulit

membela kliennya dengan baik. Pengawasan terhadap advokat itu paling ideal kalau ada

organisasi asosiasi advokat yang kuat dan berwibawa di mana semua pengawasan

anggota dan putusan serta sanksi terhadap anggota yang melanggar kode etik advokat

dapat mengikat anggotanya dan didengar oleh birokrasi.

Dalam pada itu, kedudukan hakim di dalam sistem hukum belum dijamin, demikian pula belum adanya kebebasan profesi advokat sebagai komplimen terhadap

independensi badan peradilan telah menyebabkan penegakan hukum (law enforcement)

di negara kita belum berjalan semestinya sehingga pencapaian rule of law menjadi

tersendat-sendat. Sementara cita-cita demokrasi: dan penegakan hak asasi manusia

barulah bisa dicapai kalau terdapat rule of law. Apa yang terjadi sekarang adalah

penyelesaian masalah acapkali dilakukan secara politis ataupun melalui jalur kekuasaan

ketimbang diselesaikan melalui pengadilan secara. hukum.

Selain karakteristik dan kualitas advokat, diperlukan oleh masyarakat juga

integritas seorang advokat diperlukan dalam menjalankan tugasnya. Termasuk di

dalamnya pengawasan terhadap dirinya (disciplinary supervision) khususnya tentang

perilaku dan hubungannya dengan kliennya karena tanpa adanya pengawasan asosiasi advokat maka di dalam tugasnya dapat terjadi perbuatan atau sikap, yang menyimpang

dari pada hakekat dari profesi advokat yang notabene sangat diperlukan masyarakat.

Pengawasan terhadap profesi advokat ini dan segala tingkah laku dan sikapnya

tidak cukup dilakukan oleh birokrasi tetapi sebaiknya diselenggarakan oleh organisasi

profesi yang menaungi dan mengawasi perilaku dan sikap advokat. Untuk itu,

diperlukan suatu perangkat peraturan atau etika profesi untuk mengatur perilaku dan

sikap, yang korektif dari seorang advokat sebagaimana halnya juga etika profesi

mengatur hubungan antara advokat dengan kliennya, hubungan dengan rekannya,

hubungan dengan pengadilan, martabat advokat, imunitas advokat, bagaimana seorang

advokat harus berpraktik, honor advokat, bagaimana menyelesaikan pelanggaran kode

etik dan kualifikasi serta syarat untuk menjadi advokat.

Ketentuan hukum yang berkaitan dengan kedudukan advokat dalam proses penyidikan hanyalah dijelaskan dalam pasal 50 hingga pasal 74 KUHAP. Di mana

Page 187: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxvii

dalam ketentuan tersebut memberikan hak kepada tersangka guna diperlakukan sama

dalam proses penegakan hukum. Hal ini bersesuaian dengan adanya asas equality

before the law, bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan.

Pasal 50 KUHAP berkenaan dengan hak tersangka atas hak tersangka guna

memperoleh pemeriksaan untuk diadili sesegera mungkin. Hal ini bersesuaian dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Hak tersangka sebagaimana tersebut dalam pasal 50 hingga pasal 74 KUHAP dimaksud

akan terselenggara dengan baik, bilamana dibantu oleh advokat selaku

Penasihat hukum.

Untuk itu kedudukan seorang advokat adalah salah satu pilar dari sisi hak-hak

tersangka dalam rangka proses law enforcement. Seorang advokat harus benar-benar

melakukan pembelaan sesuai dengan hak-hak tersangka sebagaimana diatur dalam

undang-undang. Sebab di sisi lain tersangka akan diserang semaksimal mungkin oleh

Jaksa Penuntut Umum guna dijerat sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan hasil

pemeriksaan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) penyidik.

Adapun hakim sebagai catur wangsa terakhir akan mengadili berdasar

pembuktian yang diajukan oleh Penuntut Umum dan pembelaan advokat selaku Penasihat Hukum. Sehingga proses peradilan tersebut sesungguhnya adalah benar-benar

berimbang, mengingat hak tersangka dalam proses penyidikan hingga persidangan

selalu memperoleh bantuan hukum dan advokat.

Sejak awal dari proses penyidikan, tersangka didampingi oleh Penasihat

Hukum. Pada saat tahap penuntutan, terdakwa juga mendapat bantuan hukum dari

Penasihat Hukum. Tahap terakhir dalam pemeriksaan persidanganpun terdakwa juga

mendapatkan bantuan hukum. Sehingga posisi hakim adalah mempertimbangkan

pembuktian Penuntut Umum dan pembelaan Penasihat Hukumnya.

Dengan demikian kedudukan advokat selaku Penasihat Hukum dalam proses

law enforcement tidak dibenarkan ambigu (mendua), ia hanya bertugas untuk

melakukan pembelaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pembelaan Penasihat Hukum terhadap terdakwa terlepas kepada terbukti tidaknya

kesalahan terdakwa.

Sehingga yang dimaksud dengan law enforcement dalam konteks pembelaan

tersangka/terdakwa, pada posisi advokat selaku Penasihat Hukum tidak dibenarkan

membantu penyidik ataupun Penuntut Umum. Artinya ketika hak-hak tersangka telah

diberikan secara penuh tidak terkecuali bantuan hukum dari advokat, maka hakim tidak

akan setengah hati untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan berat ringannya

kesalahan tersangka/terdakwa.

Menyimak dari pemahaman Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang di dalamnya

menegaskan hak dari Tersangka atau Terdakwa didampingi Penasihat Hukum apabila

tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan diancam dengan pidana mati atau

ancaman pidana 15 tahun atau lebih, atau bagi yang tidak mampu yang diancam pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasihat Hukum sendiri, di mana Pejabat

Page 188: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxviii

yang bersangkutan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi

mereka. Di mana ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dipandang dari pendekatan strict

law atau formalitas legal thinking mengandung beberapa aspek permasalahan hukum,

antara lain :

1. Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), di mana bagi setiap

Tersangka atau Terdakwa berhak didampingi Penasihat Hukum pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dan/atau

tidak boleh bertentangan dengan "deklarasi universal" yang menegaskan

hadirnya Penasihat Hukum untuk mendampingi Tersangka atau Terdakwa

merupakan sesuatu yang inherent pada diri manusia, dan konsekuensi logisnya

bagi Penegak Hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan

nilai HAM.

2. Pemenuhan hak ini oleh Penegak Hukum dalam proses peradilan pada semua

tingkat pemeriksaan menjadi kewajiban dari Pejabat yang bersangkutan apabila

tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan :

a. Diancam dengan pidana mati atau 15 ( limabelas ) tahun lebih, atau

b. Bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 ( lima ) tahun atau

lebih yang tidak mempunyai Penasihat Hukum sendiri. Jika kedua syarat di atas terpenuhi, maka Pejabat yang bersangkutan pada

semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat

Hukum bagi mereka. Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ini

tentu kehadiran dan keberadaan Penasihat Hukum mendampingi tersangka

bersifat imperatif, sehingga mengabaikannya mengakibatkan hasil pemeriksaan

atau hasil penyidikan tidak sah atau batal demi hukum.

3. Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat

menjadi salah satu patokan Miranda Rule atau Miranda Principle.112 Apabila

pemeriksaan/penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan perkara Tersangka/

Terdakwa di persidangan tidak didampingi Penasihat Hukum maka sesuai

dengan Miranda Rule, hasil penyidikan tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void).

Standar Miranda Rule inilah yang ditegakkan dalam putusan Mahkamah

Agung No. 1565 K/Pid/1991, tanggal 16 September 1993 yang menyatakan "apabila

syarat-syarat permintaan dan atau hak Tersangka/Terdakwa tidak terpenuhi seperti

halnya penyidik tidak menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka sejak awal

penyidikan, tuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima ".

Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dengan Miranda Rule seperti

dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dalam tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada

Tersangka/Terdakwa harus diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas)

tahun atau lebih atau yang tidak mampu diancam dengan pidana 5 ( lima )

112M. Yahya Harahap, Op.Cit., h.328

Page 189: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxix

tahun atau lebih yang tidak punya Penasihat Hukum sendiri, maka pada semua

tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan harus didampingi Penasihat

Hukum;

2. Apabila Tersangka/Terdakwa tidak mampu menyediakan Penasihat Hukum

sendiri, Pejabat yang bersangkutan pada setiap tingkat pemeriksaan dalam

proses peradilan dibebani kewajiban untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka/ Terdakwa tersebut. Pemeriksaan penyidikan yang tersangkanya

tidak didampingi Penasihat Hukum, sesuai dengan kerangka pasal 115

KUHAP, maka hasil pemeriksaan penyidikan tersebut adalah tidak sah atau

batal demi hukum, karena bertentangan dengan hukum acara (undue process);

Demikian gambaran sekilas penerapan yang harus ditegakkan dari sudut

formalistic legal thinking tentang Miranda Rule yang telah diadopsi ke dalam pasal 56

ayat (1) KUHAP. Perlu diketahui tujuan pokok yang ingin dicapai atas penegakan

Miranda Rule dalam proses peradilan seperti dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP

adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka/

Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat Hukum mendampingi Tersangka sejak dari

proses penyidikan di tingkat Kepolisian dimaksudkan dapat berperan melakukan

kontrol, sehingga pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman. Namun jika dipandang dari sudut pendekatan berdasarkan kepentingan umum

(public interest) tentu akan berbeda dan bahkan selamanya cenderung berbeda atau

cenderung pula berbenturan. Untuk mengatasi hal itu peran dan kemampuan Hakim saat

memutuskan perkara sangat penting dan menentukan dalam melihat perlunya,

keseimbangan dalam penegakan hukum yang menyangkut antara kepentingan hak asasi

manusia yang bersifat individual dengan kepentingan umum (public interest) yang

berorientasi pada perlunya ada, rasa aman dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat.

Sejalan dengan salah satu tujuan utama dari hukum pidana itu sendiri, dan kita

semua tahu bahwa hukum pidana merupakan hukum publik yang bersifat imperatif yang

mengatur perilaku individu dan masyarakat tentang perbuatan mana yang boleh

dilakukan dan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dengan disertai pemberian sanksi yang tegas bagi siapa yang melanggarnya. Dimana pelaksanaan hukum tersebut

dapat dipaksakan kepada semua subyek hukum dengan maksud agar tercipta suasana

yang kondusif dalam tata hubungan antar individu dalam masyarakat agar tercipta

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang teratur, tertib dan aman.

Pelanggaran Miranda Rule dalam praktik Peradilan dapat terjadi pada semua

tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan mulai dari tingkat Penyidikan oleh pihak

Kepolisian selaku Penyidik, proses Penuntutan di Kejaksaan selaku Penuntut Umum

dan oleh pihak Pengadilan selaku pemeriksa dan pemutus perkara yang bersangkutan.

Pasal 56 ayat (1) KUHAP telah mewajibkan kepada Pejabat yang bersangkutan untuk

menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka/Terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan

dalam proses peradilan.

Adapun pengertian "Pejabat Yang bersangkutan" dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah pejabat dalam lingkup pengertian dari The Criminal Justice System

Page 190: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxc

yang dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan perkara di sidang pengadilan terhadap diri Tersangka dan/atau Terdakwa,

jadi di sini yang dimaksud pejabat yang bersangkutan adalah :

a. Pejabat selaku Penyidik di Kepolisian;

b. Pejabat selaku Jaksa/Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri dalam hal ini adalah

Kepala Kejaksaan Negeri; dan c. Pejabat pengadilan di mana perkara terdakwa diperiksa dan diputuskan, dalam

hal ini adalah Ketua Pengadilan.

Dengan satu pengertian Penyidik wajib menunjuk Penasihat Hukum ketika

Tersangka ada dalam proses penyidikan dan demi hukum dan batas kewenangan yang

dimiliki Surat Penunjukan Penasihat Hukum tersebut dengan sendirinya berakhir jika

penyidikan tidak diperlukan lagi terhadap diri Tersangka, kemudian setelah perkaranya

dilimpahkan ke Kejaksaan (P.21) Jaksa/Penuntut Umum dalam hal ini Kepala

Kejaksaan Negeri wajib pula menunjuk Penasihat Hukum bagi tersangka/terdakwa, hal

ini dimaksudkan siapa tahu oleh pihak Jaksa/Penuntut Umum masih diperlukan

pemeriksaan tambahan terhadap diri Tersangka yang perlu didampingi Penasihat

Hukum, dan selanjutnya demi hukum dan batas kewenangan yang dimiliki Surat

Penunjukan Penasihat Hukum tersebut dengan sendirinya berakhir pula jika berkas perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan.

Kemudian pejabat pengadilan bersangkutan dalam hal ini Ketua Pengadilan

wajib pula menunjuk Penasihat Hukum bagi Terdakwa, begitu seterusnya jika

Terdakwa masih melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan negeri berupa

Banding dan Kasasi.

Kewajiban Pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum pada

suatu tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan tersebut tidak berlaku/gugur dalam,

hal-hal sebagai berikut:

1. Sebelum Pemeriksaan dimulai Tersangka / Terdakwa telah mempunyai

Penasihat Hukum sendiri yang telah ia tunjuk sendiri atau atas tunjukan dari

keluarga tersangka tersebut; 2. Tersangka atau Terdakwa tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari

5 (lima) tahun;

Sedangkan jika sudah terjadi Penunjukan Penasihat Hukum oleh Pejabat yang

bersangkutan, Surat Penunjukan tersebut dapat berakhir bila :

1. Pemeriksaan terhadap Tersangka/Terdakwa tersebut telah selesai, sehingga

dengan sendirinya Surat Penunjukan tersebut telah berakhir.

2. Setelah adanya Penunjukan Penasihat Hukum oleh Pejabat yang berwenang,

misalnya kepada. Penasihat Hukum A, namun Tersangka/Terdakwa dan/atau

keluarganya menunjuk sendiri Penasihat Hukum B untuk mendampingi

Tersangka/Terdakwa tersebut.

3. Ketika Penasihat Hukum melakukan pendampingan terhadap Tersangka yang

didasarkan Surat penunjukan dari Penyidik di sana telah terjadi hubungan hukum secara langsung antara Tersangka dengan Penasihat Hukum yaitu

Page 191: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxci

dalam bentuk telah ditandatanganinya Surat Kuasa Khusus dari Tersangka

kepada Penasihat Hukum bersangkutan sehingga pada saat Surat kuasa khusus

dari Tersangka diterima oleh Penasihat Hukum, maka Surat penunjukan yang

dimiliki Penasihat Hukum dari penyidik seketika itu berakhir selanjutnya

pejabat di Kejaksaan dan pejabat di Pengadilan . tidak wajib lagi menunjuk

Penasihat Hukum bagi Terdakwa; Ketika Penasihat Hukum akan melakukan pendampingan terhadap diri

Tersangka yang didasarkan Surat penunjukan dari Penyidik, ternyata Tersangka

menolak untuk didampingi Penasihat Hukum, maka Penyidik membuat berita acara

dan/atau membuat Surat pernyataan dari Tersangka yang bersangkutan yang isinya

Tersangka menolak adanya Penasihat Hukum dalam perkara yang dihadapinya dan surat

pernyataan penolakan dari Tersangka tersebut diketahui dan turut ditandatangani oleh

Penasihat Hukum yang bersangkutan.

Konsekuensinya keberadaan berita acara atau Surat pernyataan tersebut yang

dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan menghapuskan kewajiban pejabat

yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi Terdakwa, maka pejabat

Kejaksaan dan pejabat Pengadilan tidak perlu lagi menunjuk Penasihat Hukum bagi

Tersangka/Terdakwa bersangkutan kecuali jika yang bersangkutan memintanya.

HAK DAN KEWAJIBAN HUKUM PEMBERIAN KUASA

1. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa

Sehubungan dengan wewenang yang diberikan kepada pemegang kuasa untuk

melakukan suatu perbuatan hukum guna mengikatkan pihak pemberi kuasa dengan

pihak ketiga, maka diisyaratkan bahwa perlu adanya perincian masalah-masalah yang

akan dikuasakan. Dalam hubungan ini ada pendapat yang menyatakan, bahwa itu tidak

lain bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian di kemudian hari apabila

pemegang kuasa melakukan perbuatan-perbuatan hukum di luar batas-batas

wewenangnya.113

Pendapat lain juga menyebutkan, bahwa kewenangan pihak pemegang kuasa

harus disebutkan secara tegas dalam surat kuasa itu, misalnya kewajiban-kewajiban apa

saja yang harus dilakukan oleh pemegang kuasa, maka berlakunya surat kuasa itu batal

dan sebagainya. Sebenarnya hal ini untuk menghindari perbuatan surat kuasa secara

tidak benar atau untuk obyek yang menyimpang dari undang-undang.

Masih berkisar pada wewenang pemegang kuasa ini, ada pendapat lain yang

mengatakan, bahwa ada baiknya untuk menjamin kepastian hukum, maka harus

disebutkan secara tegas dan terperinci tentang wewenang yang akan diberikan, sebab ini

berhubungan dengan pertanggungan jawab pemegang kuasa kelak dikemudian

113Subekti I Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,

h.153.

Page 192: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcii

hari. Jadi perincian masalah-masalah yang akan dikuasakan itu (misalnya kuasa khusus)

adalah menyangkut hak dan kewajiban pemegang kuasa dalam menjalankan

kuasanya,114 sehingga tidak merugikannya.

Adanya alasan penting lainnya sehingga ditekankan bahwa perlu ada rumusan

yang jelas dan tegas pada waktu dilakukan pemberian kuasa. Apabila timbul

perselisihan di kemudian hari, diharapkan mampu ditarik garis pemisah tentang siapakah yang telah melakukan pelanggaran atas surat kuasa itu, sehingga akan dapat

dengan mudah untuk menentukan pihak mana yang telah melakukan kesalahan.

Sedangkan pendapat lain mensinyalir, bahwa supaya kepentingan pihak

pemberi kuasa dapat terjamin dari tindakan pemegang kuasa yang melanggar batas-

batas kewenangannya, juga dapat menghindari salah tafsir sehingga tidak menimbulkan

konflik didalam pemberian kuasa itu, jadi patut diperhatikan, bahwa wewenang pihak

pemegang kuasa adalah sejauh mana yang termuat dengan jelas dan terperinci dalam

surat kuasa. Ia tidak dibenarkan untuk bertindak yang melampaui wewenangnya,115 dan

ini terjadi resikonya ia harus mempertanggung jawabkan tindakannya itu.

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan tersebut berikut ini dibeberkan

rangkuman permasalahannya, yaitu :

- Bahwa pada prinsipnya wewenang pihak pemegang kuasa dikehendaki untuk dirumuskan dengan jelas dan tegas didalam suatu pemberian kuasa, dan ini

bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian akibat perbuatan-

perbuatan hukum pemegang kuasa diluar batas-batas kewenangannya.

- Perincian masalah-masalah yang dikuasakan dalam surat kuasa sebenarnya

mempertegas kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang

kuasa, disamping itu untuk mencegah pembuatan surat kuasa yang

menyimpang dari undang-undang.

- Perincian wewenang yang diberikan adalah berkaitan dengan pertanggungan

jawab pihak pemegang kuasa, sehingga dapat menghindari perselisihan

dikemudian hari, dan menjamin kepentingan pihak pemberi kuasa dari

tindakan pemegang kuasa yang melampaui batas kewenangannya. - Perincian wewenang dalam pemberian kuasa itu juga bertujuan untuk

mencegah pihak pemegang kuasa itu agar tidak dirugikan apabila ia

memberikan pertanggungan jawab.

2. Hak dan Kewajiban Penerima Kuasa

114Subekti I, Loc. Cit., 115Yahya Harahap, Loc. Cit.,

Page 193: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxciii

Dengan dilimpahkannya wewenang kepada pihak yang diberi kuasa untuk

melakukan perbuatan-perbuatan bagi kepentingan pihak pemberi kuasa,116 maka

pelimpahan wewenang ini juga didalamnya terkandung kewajiban-kewajiban yang

harus dilaksanakan atau dipenuhi, walaupun kewajiban-kewajiban ini tidak tersurat atau

disebutkan dengan jelas dalam pemberian kuasa.

Dalam hubungan ini, rumusan KUHPerdata mengisyaratkan ada beberapa kewajiban yang disebabkan kepada pihak pemegang kuasa didalam menyelenggarakan

urusan yang dikuasakan. Kewajiban-kewajiban ini adalah merupakan bagian penting

yang tidak dapat terelakan atau dikesampingkan begitu saja, tapi harus dipahami dan

diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme pemberi kuasa, terutama

pihak pemegang kuasa itu sendiri.

Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan antara lain : si kuasa

diwajibkan selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung

segala biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak

dilaksanakannya kuasa tersebut. Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan urusan yang

sudah mulai dikerjakannya pada waktu si pemberi kuasa meninggal, jika dengan

tidak segera menyelesaikannya dapat timbul suatu kerugian (pasal 1800).117

Masih dalam kaitan dengan kewajiban-kewajiban pihak pemegang kuasa, bahwa si kuasa juga bertanggung jawab atas kelalaian dalam menjalankan tugasnya,

yaitu apabila ia kurang waspada seperti yang dapat diharapkan dari padanya.

Pertanggungan jawab ini dapat diperlunak, apabila si kuasa tidak mendapat upah.118

Kewajiban untuk mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan yang

dilakukan dengan sengaja jelas tidak dapat dipungkiri, dan perbuatan lain yang berupa

kelalaian dalam menjalankan kuasanya, sehingga dengan demikian tercermin bahwa

kewajiban seorang pemegang kuasa dengan pertanggung jawabannya menjadi amat

penting dalam lalu lintas hubungan hukum.

Jadi antara pembuatan yang dilakukan dengan sengaja dan adanya kelalaian,

maka keduanya tidak luput dari jangkauan pasal tersebut diatas, kecuali dalam realitas

bahwa praktek pemberian kuasa itu dilakukan dengan cuma-cuma, tetapi dapat diamati bahwa praktek pemberian kuasa dewasa ini menunjukkan lebih banyak memberikan

upah.

Kewajiban lain bagi pemegang kuasa, adalah memberikan laporan,119 maksud

dari pada laporan ini menunjukkan bahwa ia telah menjalankan kuasanya sebagaimana

yang dikehendaki dan sebagai suatu bukti yang menandakan ia memenuhi kewajiban

yang dibebankan pada dirinya, tetapi semuanya ini terlepas dari apakah laporan itu

benar-benar merupakan laporan sebagai seorang yang bertindak dalam kedudukan

116Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 155. 117 Subekti I, Op.Cit., h.146 118 Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit. 119Subekti I, Op. Cit, h. 147.

Page 194: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxciv

mewakili pihak lain, atau laporan itu hanya bersifat fiktif, artinya laporan yang

diberikan tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya dihadapi.

Namun keseluruhan laporan akan diberikan pada waktu berakhirnya pemberian

kuasa, dengan memberikan perhitungan terhadap segala sesuatu yang telah diterimanya

berdasarkan kekuasaan yang dilimpahkan, semua yang menjadi urusan akan

dipertanggung jawabkan. Sesungguhnya laporan semacam ini memang sudah menjadi tanggung jawab seorang pemegang kuasa, dan ini secara tersurat telah dirumuskan

dalam pasal 1802 KUHPerdata, antara lain menyebutkan si kuasa diwajibkan

memberikan laporan tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberikan perhitungan

kepada si pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan

kuasanya, sekalipun yang diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi

kuasa.120

Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, SH, maksud dari ketentuan

tersebut yang belakangan ini, ialah bahwa si kuasa tidak boleh membayar

kembali uang itu melainkan harus menunggu perintah dari si pemberi kuasa,

dinyatakan tidak praktis, bahwa orang ketiga yang menuntut pembayaran

kembali uang yang terlanjur dibayarkan tetapi sebetulnya tidak diwajibkan,

tidak dapat menegur si kuasa melainkan hanya dapat menegur si pemberi kuasa, karena sudah dengan sendirinya dapat disimpulkan dari sifat

perwakilan, yang membentuk suatu perhubungan langsung antara si pemberi

kuasa dengan pihak ketiga.121

Bagian lain dari pemegang kuasa juga menyangkut tanggung jawabnya

terhadap penunjukan pihak lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya,

dinamakan “hak substitusi”, 122 yaitu si pemegang kuasa diperkenankan untuk

menunjuk orang lain untuk melakukan kuasanya, dan kalaun orang yang ditunjuk itu

ternyata tidak mampu melakukan tugasnya, maka si kuasa bertanggung jawab penuh

atas kesalahannya.123

Akibat dari hak substitusi ini ialah bahwa antara pemberian kuasa baru hanya dapat

dipersoalkan apakah ada perhubungan hukum langsung antara si pemberi kuasa semula dari orang yang ditunjuk itu.124 Tetapi dalam kaitan dengan persoalan di atas Prof.

Dr.R.Wirjono Projodikoro, SH, masih mempertanyakan apakah sebaliknya orang yang

ditunjuk itu, juga langsung menegur si pemberi kuasa,125 agaknya masalah ini masih

terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sarjana.

120Ibid., 121Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 156. 122Subekti I, Loc. Cit., 123Wirjono Projodikoro, Loc.Cit., 124Ibid, h. 157. 125Ibid.,

Page 195: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcv

Pendapat yang satu seperti Hofmann dan Vollmar mengatakan bahwa orang

yang ditunjuk langsung itu dapat menegur si pemberi kuasa,126 oleh karena adanya

perhubungan ini berakibatkan bahwa orang tersebut tidak hanya mempunyai kewajiban

saja terhadap si pemberi kuasa, melainkan juga memiliki hak, sedangkan pendapat yang

lain seperti Van Brakel dan Asser berpendirian orang yang ditunjuk langsung itu tidak

dapat menegur si pemberi kuasa, justru oleh karena tidak disebutkan dalam pasal tersebut, dan pendapat kedua ini menurut Wirjono Projodikoro adalah lebih memuaskan

karena pada pokoknya tidak ada perhubungan langsung antara si pemberi kuasa dan

orang yang ditunjuk oleh si kuasa.127

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan kalangan sarjana tersebut, dapat

diberi komentar bahwa ketentuan yuridis yang dipakai sebagai pegangan terutama

menyangkut persoalan di atas, maka jelas bahwa orang yang ditunjuk langsung itu tidak

dapat menegur pihak pemberi kuasa, karena pada dasarnya orang yang ditunjuk ini

dalam melaksanakan kuasa yang diberikan pihak pemegang kuasa berkedudukan

sebagai pengganti, ia lebih banyak berhubungan dengan pihak pemegang kuasa itu

sendiri, hubungan ini bersifat langsung sedangkan dengan si pemberi kuasa

menunjukkan tidak ada hubungan sama sekali, atau boleh disebut hubungan yang

bersifat tidak langsung.

Oleh karenanya, pendapat kalangan sarjana seperti yang dikemukakan di atas

yang membolehkan orang yang ditunjuk dapat menegur pihak pemberi kuasa tidak

dapat dibenarkan, mengingat bahwa didalam rumusan perundangan yang mengatur soal

yang diperbincangkan ini, tidak mengisyaratkan dengan jelas dan tegas atau dalam

pengertian bahwa tidak diatur sama sekali, sehingga lebih tepat kalau pendapat tersebut

dijadikan landasan dalam menyimak dan memecahkan persoalan yang bersangkutan,

dan memang pendapat tersebut setidak-tidaknya lebih memuaskan dan juga dalam

literatur tidak begitu mendapat bantahan.

Jadi dapat dikatakan bahwa rumusan pasal-pasal di atas lebih menitik beratkan

pertanggungan jawab secara individu atau perorangan, walaupun dalam pemberian

kuasa itu dikehendaki beberapa orang yang berkedudukan sebagai pemegang kuasa.

Kewajiban lain si pemegang kuasa menurut pasal 1805 KUHPerdata

menyebutkan ; si kuasa harus membayar bunga atas uang yang dipergunakan atau

dipakainya untuk kepentingan sendiri, terhitung mulai saat ia dihitung mulai ia memakai

uang itu dan mengenai uang yang harus diserahkannya pada penutupan perhitungan,

bunga itu dihitung mulai hari ia dinyatakan lalai.128

126Ibid., 127Ibid., 128Subekti I, Op. Cit, h. 148.

Page 196: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcvi

Kewajiban-kewajiban pemegang kuasa juga tercantum dalam pasal 1806

KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa penerima kuasa yang telah memberitahukan

kepada pihak ketiga dengan siapa ia mengadakan perjanjian dalam kedudukannya

sebagai kuasa, tidaklah bertanggung jawab tentang apa yang terjadi diluar batas kuasa

nya, kecuali jika ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk itu.129

Rumusan pasal tersebut di atas pada pokoknya menyinggung tanggung jawab seorang pemegang kuasa yang berkisar pada kewenangan yang dimilikinya. Ia tidak

bertanggung jawab terhadap masalah-masalah yang timbul diluar batas kuasanya,

kecuali dalam kenyataan menunjukkan bahwa ia memang secara langsung menjalankan

kuasanya diluar wewenang yang telah digariskan dalam pemberian kuasa, untuk hal ini

secara yuridis tetap bertanggung jawab sebagaimana lazimnya.

Dengan demikian pokok pembahasan tentang kewajiban-kewajiban pihak

pemegang kuasa, yang secara yuridis diatur dengan jelas dalam beberapa rumusan

pasal-pasal KUHPerdata sebagaimana telah dikemukakan di atas, sehingga setidak-

tidaknya memberikan gambaran ruang lingkup tentang kewajiban-kewajiban seorang

pemegang kuasa selama ia belum dibebaskan diri melaksanakan kuasanya.

Kewajiban yang dimulai dari menanggung segala biaya kelalaian-kelalaian

yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya, memberikan laporan, membayar bunga, mengganti kerugian dan kewajiban-kewajiban lainnya, semua yang menjadi tanggung

jawab seorang pemegang kuasa ini sudah dirumuskan dalam pasal 1801 sampai dengan

1806 KUHPerdata, dan dalam hal ini dipakai sebagai landasan yuridis, guna menyimak

persoalan yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban didalam suatu perjanjian

pemberian kuasa.

Pada prinsipnya pihak pemegang kuasa mempunyai tanggung jawab terhadap

pelimpahan wewenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mengikat

pihak pemberi kuasa dengan pihak ketiga,130 dalam kuasa umum maupun khusus

masalah pertanggung jawaban ini meliputi segala sesuatu yang dikuasakan, tetapi dalam

prakteknya agaknya kedua macam kuasa ini tidak dibedakan masalah tanggung

jawabnya, ini masih berkaitan dengan ketentuan yuridis yang dimuat dalam KUHPerdata, dan juga tidak membedakan dengan tugas masing-masing kuasa dengan

pertanggung jawabannya, perumusan KUHPerdata hanya secara umum dalam mengatur

soal ini.

Sejauh mana tanggung jawab pihak pemegang kuasa dalam menjalankan itu

pada prinsipnya pemegang kuasa bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dikuasakan,

129Suryodiningrat R.M., Perikatan – Perikatan Bersumber Perjanjian, Cet. II,

Tarsito, Bandung, 1991, h. 102. 130Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 151.

Page 197: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcvii

dan pemegang kuasa bertindak atas nama si pemberi kuasa,131 misalnya mencari

seorang patner dalam usaha bersama dan sebagainya, yang jelas pertanggungan jawab

itu dibatasi pada wewenang yang dilimpahkan.

Namun tindakan pemegang kuasa yang mewakili pihak pemberi kuasa itu,

sekiranya melebihi batas-batas kewenangan sebagaimana yang diberikan kepadanya,132

maka ia juga harus memberikan pertanggungan jawab terhadap pokok-pokok masalah yang dikuasakan sepanjang yang menjadi wewenangnya itu.

Sejalan dengan pendapat di atas kalangan lain juga mengatakan bahwa

pemegang kuasa bertanggung jawab penuh atas perbuatan-perbuatan itu yang dilakukan

dengan sengaja itu. Sedangkan pendapat lain mengatakan pemegang kuasa bertanggung

jawab sesuai dengan masalah-masalah yang dikuasakan. Ia tidak bertanggung jawab

terhadap akibat yang timbul dari hubungan hukum yang telah dilakukan,133 misalnya

adanya penipuan oleh pihak ketiga. Dan pertanggungan jawab seperti itu adalah atas

kehendak yuridis, juga merupakan pertanggungan jawab yang bersifat etis.

Dalam pemberian kuasa , diperkenankan juga untuk menunjuk beberapa orang

kuasa mewakili pihak yang memberikan kuasa.134 Untuk itu pihak-pihak yang mewakili

ini tidak dapat melepaskan diri dari beban pertanggung jawaban dalam konteks ini

masih mengandung beberapa alternatif, ini menurut pendapat yang berkembang dikalangan praktisi hukum.

Biasanya dalam pemberian kuasa, apalagi terdapat beberapa pihak yang

bertindak sebagai kuasa mewakili, maka sudah disebutkan masing-masing tanggung

jawab terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan, pertanggungan jawab ini tegasnya

lebih menekankan kepada individu, sebab ia yang bertindak dalam menyelenggarakan

kepentingan-kepentingan pemberi kuasa.135

Berbeda dengan jawaban yang diberikan kalangan praktisi hukum lainnya,

dalam hal ini ada yang berpendapat, bahwa pertanggungan jawab itu baik secara

individu maupun bersama-sama jadi harus dipisahkan dalam mempertanggung

jawabkan wewenang yang diberikan, dan dalam pernyataan dalam pemberian kuasa itu

telah ditegaskan bahwa masing-masing individu memiliki wewenang untuk mewakili, maka itu jelas bahwa ia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikuasakan,

begitu pula sebaliknya, pendapat lain mengatakan kasus seperti itu adalah

131Yahya Harahap, Op. Cit, h. 306. 132Ibid, h. 309

133Qirom Syamsudin Meliala, Pokok - pokok Hukum Perjanjian Beserta

Perkembangannya, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, 1985, h. 83. 134Subekti I, Loc. Cit, 135Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit, h. 82.

Page 198: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcviii

pertanggungan jawab secara perikatan tanggung menanggung,136 atau secara kolektif

bersama-sama.

Bahwa didalam pemberian kuasa dikenal juga adanya hak substitusi,137 maka

pertanggungan jawab itu harus ditentukan secara tegas.138 Baik itu individu maupun

bersama-sama, tapi pendapat ini lebih menekankan pertanggungan jawab yang bersifat

kolektif atau bersama-sama, kalangan praktisi hukum lain juga berpendapat, bahwa pertanggungan jawab pemegang kuasa yang terdiri dari beberapa pihak yang

berkedudukan sebagai kuasa yang mewakili adalah bersifat kolektif atau bersama-sama,

kecuali dalam surat kuasa itu ditegaskan bersifat individu.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban ini, maka atas kehendak pemberi kuasa

dapat saja pemberi kuasa menarik kembali kuasa yang telah dilimpahkan dan sementara

dilaksanakan pihak pemegang kuasa semula, dan dalam hal ini ketentuan yuridis

(KUHPerdata) juga memperkenankan pemberi kuasa untuk melaksanakan

pengangkatan seorang pemegang kuasa baru dalam menyelenggarakan kepentingan-

kepentingannya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.139

Terhadap masalah ini, maka pihak pemegang kuasa lama hanya mempunyai

kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan hukum yang telah dilakukan

sesuai dengan pelimpahan wewenang itu, dan dengan adanya pengangkatan kuasa baru, berarti pertanggung jawaban secara otomatis dilimpahkan kepada pemegang kuasa baru

tersebut.

Pemegang kuasa lama harus mempertanggungjawabkan kuasanya selama

dalam mengurus kepentingan-kepentingan pihak pemberi kuasa, meskipun ada

pengangkatan kuasa baru, ia bertanggung jawab sejauh wewenang yang diberikan dan

telah dilakukan sebelum ada pengangkatan kuasa baru tersebut. Dengan demikian ia

terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan pihak pemberi kuasa, apabila kuasa

baru belum menjalankan kuasanya itu, dengan pengangkatan baru, maka tanggung

jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada pemegang kuasa yang bersangkutan. Memang

penarikan kembali kuasa yang dibenarkan oleh ketentuan yuridis, tapi berlakunya surat

kuasa itu harus ditegaskan, dalam konteks ini, pemegang kuasa yang sudah menggunakan kuasa itu serta melakukan kewajiban-kewajiban, kemudian dicabut, ia

tetap bertanggung jawab dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan,140 ia juga tidak

dapat luput dari tanggung jawabnya, apabila ia tidak bertindak di luar batas-batas

kewenangannya.

136Suryodiningrat, Perikatan – Perikatan Bersumber Perjanjian, Cet. II,

Tarsito, Bandung, 1991, h. 102-103. 137Ibid, h. 101. 138Yahya Harahap, Op. Cit, h. 321. 139Subekti I, Loc. Cit, 140Yahya Harahap, Loc. Cit,.

Page 199: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcix

Masalah lain yang berhubungan erat adalah dengan meninggalnya pihak

pemegang kuasa, ada pendapat mengatakan, secara yuridis menunjukkan berakhirnya

pemberian kuasa 141 atau tepatnya hubungan hukum itu putus, dan dengan sendirinya

tidak ada beban pertanggungan jawab, tapi sebaliknya apabila ada kelalaian dan

kerugian yang timbul dalam pemberian kuasa itu, berarti ahli warisnya yang

mempertanggung jawabkan.

Sedangkan kalangan lain mengisyaratkan, bahwa sesuai dengan ketentuan

hukum perdata, ahli waris harus bertanggung jawab atas kelalaian dan kerugian yang

timbul dalam pemberian kuasa meninggal, pertanggung jawaban ini ditujukan kepada

ahli waris yang mengetahui maupun yang tidak mengetahui adanya pemberian kuasa

itu. Menurut hukum gugurnya pertanggungan jawab ini apabila pemegang kuasa

meninggal.142 Tapi masih dipertanyakan lagi apakah para ahli waris mengetahui adanya

pemberian kuasa itu, namun yang dijelaskan pendapat ini menekankan bahwa

pertanggungjawaban mesti harus dialihkan kepada segenap ahli warisnya, apabila

pemberi kuasa itu mengakibatkan timbulnya kerugian-kerugian bagi pihak pemberi

kuasa.143

PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT

1. Kewajiban Hukum Advokat

Tentang kewajiban dari seorang Advokat dalam menjalankan tugasnya tidak

terlepas dari ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat yaitu

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 serta undang-undang terkait yang mengatur

tentang tugas seorang Advokat, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kehakiman.

Pada pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 ditegaskan bahwa

Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang

menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada

kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini melahirkan

konsekuensi yuridis bahwa apapun pernyataan dan pendapat seorang Advokat dalam rangka membela klientnya tidak dapat dijadikan dasar bahwa seorang Advokat telah

melakukan tindak pidana ataupun perbuatan melawan hukum dalam perkara perdata.

Walaupun Pasal 17 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah mengatur

tentang hak advokat dalam memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik

dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut

yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Namun ketentuan ini tidak diikuti dengan kewajiban dari

pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut. Sehingga

141Subekti I, Op. Cit, h. 153. 142Yahya Harahap, Op. Cit, h. 314. 143Ibid,.

Page 200: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cc

ketentuan ini hanyalah merupakan isapan jembol belaka, dan tidak lebih hanya sekedar

hiburan untuk menyejukkan hati seorang advokat dalam menjalankan tugasnya.

Advokat dalam menjalankan profesinya berdasarkan pasal 18 Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2003 berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik

dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut

yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Klientnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sayangnya ketentuan ini tidak diatur secara imperatif, artinya bagi pihak

terkait yang dapat memberikan informasi, data dan dokumen tidak dibarengi dengan

pemberian sanksi hukum bilamana pihak terkait tersebut tidak memberikan informasi,

data ataupun dokumen. Seharusnya seorang Advokat dalam menjalankan tugasnya

dibekali dengan kekuasaan untuk melaporkan atau memanggil pihak kepolisian guna

melaporkan pihak terkait tersebut karena menghalang-halangi tugas-tugas Advokat.

Untuk itu, sesungguhnya kedudukan pasal 18 Undang-Undang Advokat

tersebut hanyalah sekedar lip service yang tidak menimbulkan akibat hukum apapun

bilamana pihak terkait yang dapat memberikan informasi, data ataupun dokumen tidak

melaksanakan kewajibannya.

Kewajiban lain dari seorang Advokat berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan

perlakuan terhadap Klient berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras,

atau latar belakang sosial dan budaya. Disamping itu Advokat tidak dapat diidentikkan

dengan Klientnya dalam membela perkara Klient oleh pihak yang berwenang dan/atau

masyarakat.

Dalam kedudukannya sebagai seorang Advokat, oleh karena ia banyak

mengetahui keadaan yang berhubungan dengan keberadaan klient, maka Advokat

berdasarkan pasal 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 wajib merahasiakan

segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Klientnya karena hubungan

profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. Untuk kepentingan tersebut,

maka Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klient, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan

perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.

Guna kemurnian penanganan perkara klient tersebut, maka Advokat

berdasarkan pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dilarang memegang

jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya. Di

samping itu Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian

sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan

kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. Untuk itu, Advokat yang menjadi

pejabat negara, tidak diperkenankan melaksanakan tugas profesi Advokat selama

memangku jabatan tersebut.

2. Perlindungan Hukum dalam Undang-Undang Advokat

Page 201: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cci

Sesungguhnya hal terpenting dalam penanganan perkara klient adalah

menyangkut pembuktian akan kebenaran perkara yang ditangani oleh seorang Advokat.

Ketika seorang Advokat dapat memenangkan perkara yang ditanganinya, maka tingkat

prestise ia akan semakin tinggi, sebaliknya bilamana perkara yang ditangani terlalu

sering kalah, maka masyarakat akan memberikan penilaian negatif terhadap kualitas

keadvokatannya, sehingga lambat laun prestisenya akan semakin menurun yang pada gilirannya tidak akan mendapat kepercayaan dari masyarakat dalam memberikan

konsultasi atau bantuan hukum.

Dalam rangka peningkatan kualitas advokat yang memberikan dampak positif

terhadap tingkat prestise seorang advokat, hal terpenting sebagaimana dikemukakan di

atas adalah kuantitas memenangkan perkara. Hal ini bergantung kepada kemampuan

advokat dalam menganalisa kasus-perkasus, yang ditunjukkan oleh kemampuannya

dalam melakukan legal audit dan legal opinion.

Kemampuan advokat dalam melakukan legal audit akan memungkinkan

advokat menemukan fakta hukum. Dari fakta hukum tersebut akan dapat ditentukan

kepastian hukum akan perkara yang ditanganinya, yaitu perkara tersebut dapat

ditentukan sebagai perkara hukum atau non hukum. Bilamana merupakan perkara

hukum ataupun perkara non hukum secara legal opinion dapat ditentukan secara pasti tentang tindakan hukum yang harus dilakukan oleh seorang advokat.

Fakta hukum dapat dihimpun dari bukti-bukti serta saksi dalam perkara

tersebut, karenanya seorang advokat akan dapat menentukan dan menilai keberadaan

perkara yang sedang ditanganinya tentang kemungkinan dapat dimenangkan atau tidak.

Namun adalah merupakan pekerjaan yang tidak mudah guna menghimpun bukti

ataupun saksi tersebut. Berbeda halnya jika bukti ataupun saksi tersebut berpihak pada

klient yang kita bantu.

Pekerjaan menghimpun bukti-bukti ataupun saksi-saksi akan menjadi sulit,

bilamana bukti-bukti ataupun saksi-saksi tersebut tidak berada dalam penguasaan atau

tidak berpihak pada klient yang ditangani oleh advokat dimaksud. Misalnya bukti-bukti

perkara tersebut berhubungan dengan pihak ketiga, baik pihak ketiga tersebut berupa perorangan ataupun institusi. Hal ini dikarenakan ketika bukti-bukti ataupun saksi-saksi

tersebut berada ataupun merupakan pihak ketiga, maka kita harus mengikuti prosedur

permohonan yang dikehendaki oleh pihak ketiga itu.

Kendati demikian kebebasan Advokat tersebut berdasarkan pasal 15 Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003 dibatasi yaitu bahwa kebebasan tersebut haruslah

dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Bilamana seorang Advokat telah melaksanakan kebebasan tersebut dengan berpegang

pada kode etik profesi, maka ia berdasarkan pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2003 tersebut dijamin dan diberikan perlindungan hukum yang cukup dalam bentuk

Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan

tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klient dalam sidang

pengadilan.

Page 202: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 ccii

Kesulitan lain dari seorang advokat dalam menghimpun bukti-bukti ataupun

saksi tersebut akan muncul bilamana upaya pengumpulan bukti dan saksi itu

menyangkut perkara rawan menimbulkan pertikaian, baik perdata maupun pidana.

Maka seorang advokat kerapkali mendapatkan ancaman untuk tidak memberikan jasa

ataupun bantuan hukum. Hal ini berbeda dengan keberadaan penyidik dalam rangka

pengumpulan bukti ataupun saksi, seorang penyidik lebih-lebih polisi telah dibekali dengan senjata api untuk melakukan perlawanan terhadap siapapun yang dianggap

merintangi proses penyidikan tersebut. Bahkan lebih bagus lagi fasilitas yang diberikan

kepada penyidik dalam rangka pengumpulan bukti tersebut ia dibekali dengan fasilitas

pemanggilan saksi yang bilamana seorang saksi yang dipanggil tidak memenuhi

panggilan itu, saksi tersebut diancam dengan pidana dalam pasal 216 KUHP.

Sehingga acapkali seorang advokat selalu dihadapkan kepada kesulitan dalam

mengumpulkan bukti-bukti yang membawa dampak kalahnya perkara yang ia tangani.

Oleh karenanya yang diperlukan advokat adalah perlindungan hukum atas pengumpulan

bukti dalam penanganan perkara, bilamana ini merupakan sebuah fasilitas, maka

kualitas penanganan perkara akan lebih baik.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik atas hasil pembahasan tulisan ini adalah sebagai

berikut, yaitu:

a. Bantuan hukum tiada lain adalah pemberian bantuan di bidang jasa dalam lingkup

hukum, bantuan hukum tersebut dapat berupa konsultasi, selaku konsultan hukum,

ataupun selaku Penasihat Hukum. Adapun bantuan hukum tersebut hanya dapat

diberikan oleh advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

tentang Advokat. Bantuan hukum tersebut diberikan dengan tanpa diskriminasi;

b. Hak dan kewajiban yang timbul dalam pemberian kuasa antara seorang advokat

dengan klientnya adalah muncul bilamana keduanya telah melakukan kesepakatan

di bidang pemberian jasa bantuan hukum. Bilamana kesepakatan tersebut telah

tercapai, maka klilent berhak mendapat jasa hukum dari seorang advokat dan seketika itu pula advokat berhak untuk menerima fee atau honorariumnya;

c. Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian bantuan

hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru dalam batas tidak

dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak seorang advokat dalam

rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban

dan sanksi terhadap pihak lain untuk menyerahkan bukti yang dibutuhkan.

Page 203: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-fh.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/JURNAL-VOL-11.pdfPerlindungan Hukum Terhadap Hak- ... publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan

Volume 11, No.1 Mei 2011 cciii