perkembangan teori sosiologi
TRANSCRIPT
Pembagian Kerja Dalam Masyarakat (1893)
Durkheim meneliti bagaimana tatanan social dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat.
Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam
masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat
tradisional bersifat ‘mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang
sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat
tradisional, kata Durkheim, kasadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual.
Norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas
'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial
menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi
dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Akibat dari pembagian kerja yang semakin
rumit ini, kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif -
seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari
suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis
hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan
terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan
itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam
masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk
menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang
kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja
menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak
pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial
yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie
muncullah segala bentuk perilaku menyimpang , dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Bunuh Diri (1897)
Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan
Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik
menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu
tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi
sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan
bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya
integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang
melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang
bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat
Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai
tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali
disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non
Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1921))
dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcell Maus. Kedua karya ini
meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia
dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat mekanis.
Sosiologi Politik (Micro Objective)
Dalam sosiologi politik, Durkheim berpendapat bahwa keterwakilan kolektif dalam mekanisme
politik sangat penting karena kuatnya peran ikatan representasi kolektif-milieu sosial dalam
proses dinamika sosial. Keterwakilan representasi individual merupakan representasi kolektif.
Masyarakat adalah suatu kebersamaan kekuatan tak tampak yang bertindak terhadap individu,
dan individu itu tanpa mengetahui sama sekali tidak mempunyai kesadaran terhadap tugas luar
biasa besar yang terjadi di sekelilingnya. Sementara individu adalah produk masyarakat. Otoritas
dari suatu aturan moral tidak terkait dengan karakter yang bisa diisolasi dan menjadi sifat
intrisiknya. Sebab otoritas tidak berada di dalam 'suatu hal', sehingga mustahil mengurungnya
dari semangat mereka yang meyakininya. Otoritas hanya representasi dan tidak memiliki
eksistensi lain kecuali keyakinan yang mendukungnya. Pada saat generasi tertua menerapkan
perwakilan otoritas yang diperlukan demi berfungsinya masyarakat kepada generasi berikutnya,
pengakuan terhadap otoritas ini meng-eksteriosasi-kan kepatuhan yang diperdalam pada masa
kanak-kanak generasi berikut dan dari situ memberikan kontribusi dalam mengabadikannya.
Aspek ekonomi, moral, hukum dan agama sejauh fungsinya sebagai organisme sosial dapat
menguat dengan lahirnya Undang-undang tentang peran-peran, kewajiban dan harapan para
pelakunya yang diwujudkan dalam bentuk negara. Akibat itu negara bukan lagi merupakan
konstruksi logis yang bisa diatur dan diganggu sekehendak hati. Sebab negara adalah sebuah
organ yang mengonsentrasikan dan mengekspresikan segenap kehidupan sosialnya. Hak
(hukum) dan moral bukan lagi merupakan kumpulan aturan dasar yang abstrak dan perintah yang
tak bisa diubah dan didiktekan lewat alasan yang impersonal, melainkan sesuatu yang hidup,
yang keluar dari hati nurani bangsa tersebut dan berbagi segala nasibnya yang sama. Bahkan
dalam perkembangannya, negara menggantikan fungsi agama. Dengan demikian, sosiologi
mencakup tiga ilmu khusus: (1) ilmu tentang negara; (2) ilmu tentang fungsi-fungsi pengaturan
negara (hukum, moral, agama); (3) ilmu tentang fungsi-fungsi ekonomi masyarakat.
Dalam kehidupan sosial yang kita lihat hanya ekspresi bersifat material dan kasat mata dari
sebuah tindakan internal dan mendalam, yang dianggap sepenuhnya ideal, yakni berupa otoritas
moral. Persoalan sosiologis ini mencari pelbagai bentuk pemaksaan yang berasal dari luar.
Secara khusus terutama bertujuan untuk menemukan dalam bentuk bagaimana jenis khusus
otoritas moral yang inheren dengan semua hal yang bersifat religius itu lahir dan darimana hal itu
terbentuk. Bukti-bukti kepemilikan pada sirkulasi, kekakuan dan pentutoran kepercayaan
kolektif, efek-efek sosial yang diinduksi lewat eksistensi sistem-sistem simbolik itu meluapi
segala bagian komunikasi sosial yang pada awalnya hanya terlihat sebagai agen-agen yang pasif.
Karena tidak puas dalam menghubungkan masyarakat dengan dirinya sendiri, maka agen-agen
pasif ini membuktikan kohesinya dan mempertahankan identitasnya. Dengan kata lain,
kontradiksi yang ada dalam sistem-sistem simbolik ini merupakan karakteristik paling esensial,
karena tidak ada yang dianggap lebih dari sekedar instrumen jika berada di tangan para pelaku
sosial, dan sebaliknya sistem ini merupakan kekuatan sebenarnya yang menghubungkannya.
Inilah awal mula dan fungsi ini menundukkan individu-individu dan menjadikan mereka sebagai
penjaga tatanan tanpa sepengetahuan mereka.
Masyarakat melalui permainan imajiner secara kolektif dan sederhana menciptakan orang-orang
besar, karena tidak berguna berharap bisa memahami kekuasaan yang diakui dari diri mereka
tanpa memutus bukti "keturunan" yang dimilikinya. Masyarakatlah yang menghiasi orang besar
mereka dengan kesakralan dan melebihkan jarak yang memisahkan mereka dengan sesama
manusia. Sehingga kharisma tidak memiliki realitas lain kecuali aspirasi-aspirasi yang digarap
oleh masyarakat dan orang-orang tersebut secara sosial berada dalam posisi sebagai juru
bicaranya.
Konstruksi Obyek
Yang disebut politik dalam pandangan Durkheim lebih pada hal-hal yang menyentuh totalitas
kehidupan sosial atau organisasi morfologis ataupun struktural dalam masyarakat. Konsep
tentang pelaku-pelaku politik tidak mengajarkan masalah lain kecuali apa yang diyakini oleh
orang-orang yang memerintah, karena bagi mereka tidak ada cara lain untukmenjelaskan
rancangan mereka kecuali melakukan justifikasi atasnya. Mereka yang terlibat dalam tindakan
ini paling buruk kedudukannya untuk memahami penyebab-penyebab yang membuat mereka
bertindak. Motif yang memberi inspirasi masa kini bukanlah motif yang secara prinsip
menentukan. Formalisasi yuridis tidak bisa dicampur-adukkan dengan penjelasan politik. Sebab
institusi-institusi tidak memulai eksistensinya tepat pada saat ketika undang-undang
ditetapkanoleh yang mendefinisikannya. Institusi adalah kepanjangan masa lalu. Penataan ulang
kehidupan sosial hanya terjemahan yang bisa dilihat. Karena seluruh masyarakat lahir dari
masyarakat lain tanpa solusi bagi keberlanjutannya, sehingga kita yakin bahwa sepanjang aliran
evolusi sosial tidak pernah ada satu kesempatan pun di mana individu benar-benar harus
mempertimbangkan apakah mereka masuk dalam kehidupan kolektif atau tidak. Seluruh
permasalahan hanya berupa cara mengetahui bagaimana masyarakat secara progresif menjadi
entitas politik, yakni sesuatu yang bersentuhan dengan sebuah proses historis yang mengantar
sekelompok suku bangsa ke dalam sebuah struktur polisegmenter yang kompleks.
Durkheim memandang politik sebagai bermuka dua. Di satu sisi, politik muncul dengan wajah
sebuah institusi. Ia disebut negara, yang merupakan sebuah aktivitas dengan kategori warga,
tokoh politik dan pegawai negeri yang berbeda-beda. Di sisi lain, aktivitas ini memiliki sifat
khusus menyangkut seluruh warganegara, membidik masyarakat global yang di tengah-
tengahnya tidak ada apa pun baik manusia, kelompok atau benda yang menjadi pelindung dari
keputusan sentra politik ini. Itu sebabnya, politik mencakup masyarakat dengan totalitasnya.
Spesifikasi politik ini cenderung menjadikan kekuasaan sebagai atribut manusia yang
diinversikan dari kualitas tunggalnya, dan menjadikan otoritas sebagai sifat intrinsik individu
yang dikaruniai superioritas personal. Spesifikasi juga mereduksi kekuasaan menjadi penampilan
fenomena turunan, dari yang superior ke inferior dan menjadikan hubungan antara komando-
ketaatan sebagai esensi dari otoritas.
Menurut Durkheim, kekuasaan dan otoritas bukan merupakan hubungan turunan yang
menciptakan ketergantungan antara mereka yang disubordinasikan dengan pimpinannya.
Otoritas bukan sebuah atribut atau kualitas personal orang yang lebih tinggi (superior).
Hubungan otoritas menunjuk kepada hal lain selain personnya sendiri, terutama pada sejarah
sosial yang dilalui dari posisi yang memberi keistimewaan kepada orang yang menempatinya.
Hubungan otoritas bukan hubungan antar individu melainkan sebuah hubungan sosial. Dengan
demikian, yang disebut kekuasaan penuh (maha kuasa) yang absolut sejatinya tidak ada. Suatu
pemerintah disebut maha-kuasa, hanya mungkin pada individu-individu. Untuk maha-kuasa
kepada situasi sosial atau organisasi masyarakat, pemerintah relatif tidak berdaya. Kekuasaan
dan otoritas selalu menunjukkan hubungan interaksi. Sebab kekuasaan bukan hanya sebuah
kecakapan bersifat manipulatif dan otoritas bukan pula hanya sebuah kualitas intrinsik dari
individu yang bisa dipisahkan, namun suatu visi dari pelaku, yang seluruhnya dijejali keinginan
rahasia untuk melakukan justifikasi diri. Kekuasaan dan otoritas lebih menunjukkan sebuah
kompleks interaksi, di mana di dalamnya komando dan ketaatan mengacu satu sama lain dan
secara timbal balik setiap saat, pada jaringan pertukaran di mana di dalamnya pegawai negeri
atau negarawan "menarik sentimen kolektif yang dijadikan obyeknya" sebagai kekuatannya
sendiri. Jika dipertimbangkan dari sudut pandang kelompok tempatnya terjadi, kekuasaan dan
otoritas tidak pernah dijalani secara pasif dan tidak pula pernah diterima secara sukarela. Otoritas
sepenuhnya berada di dalam pemikiran yang dimiliki manusia. Otoritas berurusan dengan opini.
Opini sendiri adalah benda kolektif. Opini adalah sentimen kelompok. Karena itu, jika meneliti
kekuasaan dan otoritas jangan pernah mengabaikan elemen primordial dalam kepercayaan atau
opini. Jangan pernah memperlakukan sebuah fenomena kekuasaan tanpa menghubungkannya
dengan sejarah masyarakat yang terkait dengannya.
Arsitektur Bangunan Teoretis
Sebuah masyarakat terbentuk melalui kelompok-kelompok sekunder dengan sifat yang berbeda-
beda, tanpa menjadi kelompok sekunder jika dikaitkan dengan masyarakat yang lebih luas, dan
ia membentuk sebuah entitas sosial dengan jenis yang berbeda. Masyarakat terbentuk oleh
bertemunya sejumlah kelompok sosial sekunder yang jumlahnya kurang lebih banyak, dan
tunduk pada satu otoritas yang sama, namun tidak masuk lagi dalam otoritas superior lain yang
terorganisasi secara teratur. Oleh karena kita harus membedakan masyarakat dan salah satu
organnya, maka kita sebut negara sebagai agen-agen otoritas pemerintah, dan masyarakat politik
adalah kelompok yang kompleks di mana negara menjadi organ utama.
Fenomena politik bisa jadi difahami sebagai sosialisme. Tapi sosialisme tidak perlu dipikirkan
dengan karakternya yang abstrak, di luar konteks ruang dan waktu, sebaliknya harus dikaitkan
dengan milieu-milieu sosial tempatnya lahir. Sosialisme harus dilihat sepenuhnya berorientasi
kepada masa depan, karena bagaimana pun sosialisme merupakan sebuah rencana rekonstruksi
masyarakat aktual, sebuah program kehidupan kolektif yang belum eksis atau yang eksis namun
tidak seperti yang diimpikan, dan ini diajukan kepada manusia sebagai hal yang patut menjadi
pilihan. Sosialisme politik sebagian terkait dengan tatanan representasi kolektif. Konstruksi
politik yang diajukan dalam ulasan tentang sosialisme secara retrospektif tampaknya terbatas,
namun pertemuannya dengan politik secara lateral adalah saat munculnya kepercayaan baru.
Kepercayaan-kepercayaan itu diusung dalam organisasi masyarakat untuk dijadikan politis.
Sebaliknya politik tidak tereduksi menjadi kepercayaan yang terkait organisasi sosial yang
ditemukan masyarakat sepanjang sejarah mereka. Politik mencakup negara beserta pegawai
negerinya, bentuk-bentuk pemerintahan, monarki, aristokrasi atau demokrasi, berbagai kelompok
dan kumpulan yang ikut memberi kontribusi terhadap fungsinya atau sebaliknya yang
bertentangan dengan penerapan atributnya.
Memikir negara memiliki pengertian pertukaran antara dua lingkup yang berbeda, yaitu negara
dan masyarakat. Kehidupan mental organ pemerintahan terorganisasi dan tersentralisasi.
Kehidupan psikis negara ditandai dengan kejelasan, "sadar" dan menjadi penguasa terhadap
dirinya sendiri. Sedang kehidupan psikis masyarakat bersifat ganda.di setiap unit sosial ada
mitos-mitos, dogma dan kepercayaan-kepercayaan yang tersebar dan diwariskan, juga tradisi-
tradisi historis dan moral yang membentuk representasi bersama ke seluruh anggota kesatuan
sosial, aliran-aliran sosial yang lahir, tersebar dan lenyap, yang segera diganti oleh yang lain.
Semua ini bersirkulasi di antara individu-individu yang membentuk kelompok politik, di antara
milieu-milieu yang membentuknya, dan di antara organ-organ yang membangunnya. Durkheim
mendesakkan pendapat bahwa semua representasi kolektif tanpa kecuali (berupa mitos, dogma-
dogma dan kepercayaan) sebagian terkait dengan politik - melalui mekanisme pertukaran - meski
semuanya seolah-olah masih merasa tidak mampu menentukan bagaimana bentuknya.
Representasi-representasi politik yang terbatas tidak memberi karakter apa pun yang sesuai
dengannya. Representasi memiliki pertalian dengan politik.
Lingkaran Kekuasaan atau Politik (Macro Objective)
Dari pelbagai kontak kesadaran lahirlah representasi-representasi baru yang menahan indvidu-
individu di bawah kekuasaannya. Representasi itu menjadi kekuatan-kekuatan yang mampu
untuk menggerakkan, menyeretnya, melepaskan rantai nafsu bahkan mencabut nafsu itu dari
dirinya sendiri. Hanya dengan memperhitungkan kekuasaan yang sesuai dengan representasi
kolektif saja yang memungkinkan kita untuk menjelaskan fenomena ganda kejahatan dan
hukumannya; yang ini tidaklain adalah tindakan "yang menghina situasi-situasi kesadaran
kolektif yang keras dan terbatas". Kesadaran kolektif ini "ada dalam reaksi yang timbul karena
nafsu, dengan intensitas yang bertingkat-tingkat, dan dialami masyarakat melalui perantaraan
sebuah kesatuan yang terdiri dari mereka di antara para anggotanya yang telah melanggar aturan-
aturan perilaku tertentu. Pada dasarnya masyarakat mengomunikasikan situasi-situasi jiwanya
dengan (permainan politik) dan membuat kodifikasi, karena mereka dapat menerjemahkan
situasi kebiasaan dengan situasi hukum, ini dianggapsebagai tafsiran tentang masyarakat. Karena
tidak puas dengan kodifikasi hukum, (peran ini) bertindak sebagai penghukum, pemenjara dan
pengeksekusi mati. Dengan demikian, negara bertanggungjawab melalui dua fungsinya, yang
dalam tipe sosial superior diberi karakter melalui kewajiban dan eksistensi organ-organ yang
ditujukan khusus untuk melanjutkan eksistensi organ tersebut, yakni sebagai instrumen represi
sosial.
Kekuasaan milik negara harus difahami sebagai hasil dari sebuah proses historis rangkap tiga
serta proses sosial organisasi, delegasi dan otomatisasi. Selama masing-masing segmen sosialnya
memiliki kehidupan sendiri yang intens, mereka akan mempunyai organ-organ pengatur yang
sedikit berbeda dari yang lain dalam masyarakat global. Kebutuhan akan sebuah organ sentral
pun menguat. Ketika masyarakat politik sampai pada derajat kompleksitas tertentu, mereka tidak
bisa lagi bertindak secara kolektif kecuali melalui intervensi negara. Perkembangan yang kurang
lebih menonjol dari organ regulator sentral ini hanya menyebabkan direfleksikannya
perkembangan kehidupan kolektif secara umum. Lahirnya negara diiringi munculnya
kekuasaannya sendiri, di mana fungsinya mengharuskan "dihormatinya kepercayaan-
kepercayaan, tradisi dan praktik-praktik kolektif, yang maksudnya membela kesadaran umum
dari semua musuh baik yang berasal dari dalam maupun dari luar", maka ia meminjam
kekuatannya sebagai energi yang dihabiskan masyarakat untuk mengurung anggota-anggotanya.
Karena mengekspresikan hal itu dan menjadikannya simbol seumur hidup, negara memiliki
atribut-atribut kekuasaan, meski secara simultan kekuasaan ini tidak berarti apa-apa, karena pada
prinsipnya kekuasaan itu hanya sebuah derivasi dari kekuasaan yang imanen atas kesadaran
umum (bersama).
Politik didefinisikan melalui elaborasi yang dijadikan obyek. Ia bukanlah sebuah kesatuan dari
genre yang sama dengan moral, ekonomi atau religius. Ia mengintegrasikan kontribusi mereka
untuk mempertahankan kohesi sosial, namun tetap berbeda karena secara eksklusif didefinisikan
dengan mempertahankan hal ini. Dalam upaya menjadi sesuatu yang tersendiri, politik
merupakan kondisi yang diperlukan bagi eksistensi sebuah peraturan moral, peraturan ekonomi
atau peraturan religius di dalam sebuah masyarakat terkait. Ia adalah sebuah fungsi eksistensi
peraturan, yang independen dalam kandungan konkret dan menjadi pembentuk dalam
kontribusinya terhadap integrasi kesatuan sosial. Politik adalah cara berfungsinya peraturan,
sejauh peraturan ini cenderung memuat kecenderungan-kecenderungan entropik segenap
masyarakat.
SEJARAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK
Kekuatan Sosial dalam Perkembangan Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus
menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri,
perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama,
serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya
terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di
antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-
dampak yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru.
Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang
terkait dengan perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami
dan menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk
masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik
(revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di Prancis.
Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-
pemikiran baru di bidang sosial.
Kekuatan Intelektual Lahirnya Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus
menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri,
perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama,
serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya
terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di
antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-
dampak yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru.
Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang
terkait dengan perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami
dan menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk
masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik
(revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di Prancis.
Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-
pemikiran baru di bidang sosial.
PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI ABAD KE-20
Teori Sosiologi Menjelang Abad Ke-20
Perkembangan teori sosiologi pada abad ke-20 terjadi cukup pesat di Amerika. Hal ini terdorong
oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah perubahan sosial masyarakat yang membutuhkan
pemecahan berdasarkan bidang ilmu tertentu secara cepat, dan didorong oleh perkembangan
ilmu terutama di bidang kemasyarakatan yang mampu mengkaji masyarakat secara ilmiah.
Perkembangan teori sosiologi di Amerika diawali oleh perkembangan keilmuan di dua
universitas, yaitu di Chicago University dan Harvard University. Namun demikian, dalam
perjalanan waktu, sejalan dengan persebaran para tokoh sosiologi ke beberapa universitas di
seluruh negeri, muncul pula universitas-universitas lain yang dianggap mampu melahirkan
beberapa teori penting dalam bidang sosiologi, seperti Columbia University dan University of
Michigan.
Di Chicago University dikenal adanya sekelompok pemikir sosial yang disebut kelompok
Chicago School. Tokoh-tokoh sosiologi yang penting dari tempat ini adalah W.I. Thomas,
Robert Park, Charles Horton Cooley, George Herbert Mead, dan Everett Hughess. Di Harvard
University, sosiologi berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Talcott Parsons, Robert K.
Merton, Kingsley Davis, dan George Homans. Di samping itu, perkembangan teori sosiologi di
Amerika juga sedikitnya terpengaruh oleh sebuah teori yang sering disebut-sebut sebagai teori di
luar mainstream sosiologi di Amerika, yaitu khasanah pemikiran dari kelompok teori Marxian.
Pengetahuan perkembangan teori di Amerika sangat penting mengingat teori-teori yang
berkembang di Amerika ini kemudian menjadi pusat perhatian dunia pada tahun 1960-an dan
1970-an. Sejalan dengan teori interaksionisme simbolik, bangkit pula teori pertukaran (exchange
theory) yang dikembangkan oleh George Homans berdasarkan pemikiran psychological
behaviorism dari B.F. Skinner.
Teori Sosiologi Setelah Pertengahan Abad 20
Perkembangan teori struktural-fungsional terlihat dari hasil karya para penerus Parsons yang
diakui telah menyumbang teori struktural fungsional, seperti karya Kingsley Davis dan Wilbert
Moore. Pandangannya menerangkan bahwa stratifikasi adalah suatu struktur yang secara
fungsional diperlukan bagi keberadaan masyarakat. Merton pun (1949) menjelaskan bahwa
struktural fungsional harus menangani fungsi positif dan konsekuensi yang negatif
(disfunctions).
Seperti teori umumnya, teori struktural fungsional pun mendapat kritikan dari beberapa ahli
lainnya. Bahkan menjelang tahun 1960, dominasi struktural fungsional dianggap telah
mengalami kemerosotan. Puncak dan kemerosotan dominasi struktural fungsional sejalan dengan
kedudukan (dominasi) masyarakat Amerika di dalam tatanan dunia.
Sejalan dengan perkembangan teori sturktural-fungsional, terdapat teori konflik sebagai karya
Peter Blau, yang dianggap menjadi cerminan dari teori struktural-fungsional. Padahal pada
awalnya Blau dapat dikatakan sebagai pengembang teori marxian. Hampir mirip dengan karya
Blau, dalam analisis marxian, adalah karya Mill mengenai sosiologi radikal.
Pada tahun 1950-an, Mills menulis sebuah buku yang mengkaji masalah revolusi komunis di
Kuba dan pada tahun 1962 menerbitkan buku berjudul The Marxists. Keradikalan Mills dalam
mengungkap fenomena sosial menjadikannya ia tersingkir dan menjadi ahli pinggiran dalam
kancah sosiologi Amerika. Bukunya yang terkenal adalah The Sociological Imagination (1959).
Isi buku tersebut diantaranya adalah upaya kritik Mills terhadap Talcott Parsons.
Perkembangan selanjutnya adalah teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan
berdasarkan pemikiran psychological behaviorism. Dalam suasana kemunduran teori
interaksionisme simbolik Goffman mampu menempatkan pemikirannya sebagai awal
kemunculan analisis dramaturgi yang dianggap sebagai varian dari interaksionisme simbolik.
Pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an muncul teori-teori sosiologi yang dikenal dengan
perspektif sosiologi kehidupan sehari-hari (sociology of everyday life), yang dikenal pula dengan
nama sosiologi fenomenologis dan etnometodologi. Sedangkan perkembangan teori sosiologi
pada dekade 1980-an dan 1990-an di antaranya adalah teori integrasi mikro-makro (micro-macro
integration), integrasi struktur-agensi (agency-structure integration), sintesis teoritis (theoritical
syntheses), dan metateori (metatheorizing).
MENGENAL DIRI DAN PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE (1798-1857)
Perjalanan Hidup dan Karya Comte serta Pandangannya tentang Ilmu Pemgetahuan. Auguste
Comte adalah seseorang yang untuk pertama kali memunculkan istilah “sosiologi” untuk
memberi nama pada satu kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau
kemasyarakatan. Saat ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami masyarakat
dan telah berkembang pesat sejalan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal itu, Auguste Comte
diakui sebagai “Bapak” dari sosiologi.
Auguste Comte pada dasarnya bukanlah orang akademisi yang hidup di dalam kampus.
Perjalanannya di dalam menimba ilmu tersendat-sendat dan putus di tengah jalan. Berkat
perkenalannya dengan Saint-Simon, sebagai sekretarisnya, pengetahuan Comte semakin terbuka,
bahkan mampu mengkritisi pandangan-pandangan dari Saint-Simon. Pada dasarnya Auguste
Comte adalah orang pintar, kritis, dan mampu hidup sederhana tetapi kehidupan sosial
ekonominya dianggap kurang berhasil.
Pemikirannya yang dikenang orang secara luas adalah filsafat positivisme, serta memberikan
gambaran mengenai metode ilmiah yang menekankan pada pentingnya pengamatan, eksperimen,
perbandingan, dan analisis sejarah.
Pemikiran Auguste Comte Tentang Individu, Masyarakat, dan Perubahan Sosial
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif
(positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk
memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Sosiologi adalah menyelidiki hukum-hukum tindakan dan reaksi terhadap bagian-bagian yang
berbeda dalam sistem sosial, yang selalu bergerak berubah secara bertahap. Hal ini merupakan
hubungan yang saling menguntungkan (mutual relations) di antara unsur-unsur dalam suatu
sistem sosial secara keseluruhan.
Penjelasan mengenai gejala sosial, menurut Comte dapat diperoleh melalui 1) kajian terhadap
struktur masyarakat berdasarnya konsep statika sosial, dan 2) kajian perubahan atau
perkembangan masyarakat berdasarkan konsep Comte yang disebut dinamika sosial (social
dynamics). Comte mendefinisikan statika sosial sebagai kajian terhadap kaidah-kaidah tindakan
(action) dan tanggapan terhadap bagian-bagaian yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Ritzer,
1996). Sedangkan dinamika sosial adalah studi yang berupaya mencari kaidah-kaidah tentang
gejala-gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda. Berbeda dengan itu, statika sosial
hanya mencari kaidah- kaidah gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya.
HERBERT SPENCER
Riwayat HIdup dan Awal Karir Herbert Spencer
Herbert Spencer adalah seorang filsuf, sosiolog pengikut aliran sosiologi organis, dan ilmuwan
pada era Victorian yang juga mempunyai kemampuan di bidang mesin. Pemuda Spencer pada
usia 17 tahun diterima kerja di bagian mesin untuk perusahaan kereta api London dan
Birmingham. Kariernya bagus sehingga dipercaya sebagai wakil kepala bagian mesin. Setelah
beberapa waktu lamanya bekerja di perusahaan kereta api, kemudian pindah pekerjaan menjadi
redaktur majalah The Economist yang saat itu terkenal.
Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang luar biasa dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut
serta mewarnai seluruh imajinasinya tentang biologi dan sosial di masa yang akan datang.
Spencer adalah seorang pembaca yang luar biasa, kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-
fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia
mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer
membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang menggunakan istilah Survival of the
fittest pertama kali dalam karyanya Social Static (1850) yang kemudian dipopulerkan oleh
Charles Darwin. Spencer selain menerbitkan buku lepas, juga menerbitkan buku dan artikel
berseri. Beberapa diantaranya adalah Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-
1896) yang meliputi biologi, psikologi, dan etika.
Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang akan menang’ (Survival of the fittest)
terhadap masyarakat. Pandangan Spencer ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan
banyak dianut oleh golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208).
Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert Spencer yang berisi pengembangan suatu
sistematika penelitian masyarakat telah menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan
berkembang pesat. Sosiologi berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan
Amerika
Pandangan Herbert Spencer tentang Sosiologi
Spencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang
konkret. Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar atau
tidak sadar.
Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi yaitu merekonsiliasi antara ilmu
pengetahuan dengan agama dalam bukunya First Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer
membedakan fenomena tersebut dalam 2 fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahui dan
fenomena yang tidak dapat diketahui. Di sini Spencer kemudian mencoba menjembatani antara
ilham dengan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran
universal, yaitu adanya materi yang tidak dapat dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan
adanya tenaga dan kekuatan yang terus menerus.
Di samping tiga kebenaran universal tersebut di atas, menurut Spencer ada 4 dalil yang berasal
dari kebenaran universal, yaitu kesatuan hukum dan kesinambungan, transformasi, bergerak
sepanjang garis, dan ada sesuatu irama dari gerakan.
Spencer lebih lanjut mengatakan bahwa harus ada hukum yang dapat menguasai kombinasi
antara faktor-faktor yang berbeda di dalam proses evolusioner. Sedang sistem evolusi umum
yang pokok menurut Spencer seperti yang dikutip Siahaan, ada 4 yaitu ketidakstabilan yang
homogen, berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris, kecenderungan
terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk
pengelompokan atau segregasi, dan adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu
keseimbangan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling
kompleks. Di dalam karyanya, Prinsip-prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan
sosiologinya menjadi 3 bagian yaitu faktor-faktor ekstrinsik asli, faktor intrinsik asli, faktor asal
muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum dan lembaga-
lembaga.
Giddings pada tahun 1890 meringkas ajaran sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer
sendiri adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat adalah organisme atau superorganis yang hidup berpencar-pencar.
2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga agar
kekuatannya seimbang.
3. Konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
4. Rasa takut mati dalam perjuangan menjadi pangkal kontrol terhadap agama.
5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama menjadi
militerisme.
6. Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial kecil menjadi kelompok sosial lebih
besar dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial.
7. Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta
organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia kawan.
Teori Herbert Spencer tenang Evolusi Masyarakat, Etika, dan Politik
Evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi
dengan sendirinya, dan memerlukan waktu lama. Sedang evolusi dalam masyarakat adalah
serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan
diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan
masyarakat. Perspektif evolusioner adalah perspektif teoretis paling awal dalam sosiologi.
Perspektif evolusioner pada umumnya berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan
Herbert Spencer (1820-1903).
Menurut Spencer, pribadi mempunyai kedudukan yang dominan terhadap masyarakat. Secara
generik perubahan alamiah di dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat sekitarnya.
Kumpulan pribadi dalam kelompok/masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses
kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.
Spencer menempatkan individu pada derajat otonomi tertentu dan masyarakat sebagai benda
material yang tunduk pada hukum umum/universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan
fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat.
Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), 9
tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Ia memandang evolusi sosial
sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh semua masyarakat yang bergerak dari
tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat
heterogen.
Semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh
semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen). Evolusi terjadi pada
tingkat organis, anorganis, dan superorganis.
Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna,
kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya. Pandangan-pandangan sosiologi
Spencer sangat dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan ilmu biologi, terutama beberapa ahli biologi
berikut ini dan pandangannya:
1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension) Lamarck (1909).
2. Teori seleksi dari Darwin (1859).
3. Teori tentang penemuan sel.
Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detil
pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada 3
kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme:
1. pertumbuhan dalam ukurannya,
2. meningkatnya kompleksitas struktur, dan
3. diferensiasi fungsi.
Teori tentang evolusi dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori yaitu:
1. Unilinear theories of evolution.
2. Universal theory of evolution.
3. Multilined theories of evolution.
Spencer telah menggabungkan secara konsisten tentang etika, moral dan pekerjaan, terutama
dalam bukunya The Principles of Ethics (1897/1898). Isu pokoknya adalah apakah etika dan
politik menguntungkan atau merugikan sosiologi. Idenya adalah untuk memperluas metodologi
individunya dan memfokuskan diri pada fernomena level makro berdasarkan pada fenomena
individu sebagai unit.
Karakteristik orang dalam asosiasi negara diperoleh dari yang melekat pada tubuh, hukum, dan
lingkungannya. Kedekatan individu adalah pada moral sosial dan yang lebih jauh adalah
ketuhanan. Oleh karena itu orang melihat moral sebagai jalan hidup kebenaran yang hebat.
KARL MARX
Marx, Kapitalisme, dan Komunisme
Karl Marx tidak semata-mata menjadi seorang komunis dengan begitu saja. Banyak tokoh yang
ikut andil dan berperan dalam menjadikan Marx seorang yang berpandangan komunisme, antara
lain Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. Keempatnya, terutama filsafatnya Hegel, Feuerbach
dan Engels, sangat kental mewarnai pemikiran Marx. Secara spesifik memang filsafatnya Hegel,
yaitu yang berkaitan dengan konsep dialektik, menjadi titik tolak pemikiran Marx meskipun
Marx mengkritisi filsafat itu karena dianggapnya sangat idealistik dan memiliki konsep yang
terbalik. Marx sendiri mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada
berbagai struktur sosial yang di dalamnya tercermin konflik sosial dan juga menggambarkan
upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses
produksi.
Marx, juga menyoroti perkembangan dan kebangkitan kapitalisme, di mana pandangan-
pandangannya dianggap identik dengan gerakan pembebasan kaum buruh yang miskin dan
tertindas oleh mereka yang memiliki berbagai sarana produksi, yaitu kaum borjuis. Konflik atau
pertentangan kelas serta upaya-upaya pembebasan inilah yang menjadi titik sentral ajarannya
Marx.
Dialektika dan Struktur Masyarakat Kapitalis
Perkembangan pemikiran Marx memang tidak lepas dari pengaruh filsuf-filsuf hebat seperti
Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. von Magnis membagi lima tahap perkembangan
pemikiran marx yang dibedakan ke dalam pemikiran ‘Marx muda’ (young Marx) dan ‘Marx tua’
(mature Marx). Gagasan dan pemikirannya terutama diawali dengan kajiannya terhadap kritik
Feuerbach atas konsep agamanya Hegel yang berkaitan dengan eksistensi atau keberadaan
Tuhan. Marx yang materialistik benar-benar menolak konsep Hegel yang dianggapnya terlalu
idealistik dan tidak menyentuh kehidupan keseharian.
Bagi Marx, agama hanya sekedar realisasi hakikat manusia dalam imajinasinya belaka, agama
hanyalah pelarian manusia dari penderitaan yang dialaminya. Agama inilah yang merupakan
simbol keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Marx mengadopsi sekaligus mengkritisi
dialektikanya Hegel yang dianggapnya tidak realistik itu. Marx juga menganggap filsafatnya
Hegel, yang idealistik itu, memiliki konsep yang terbalik.
Atas hal ini, Marx mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada
berbagai konsep struktur sosial. Dimana di dalamnya tercermin konflik sosial dengan yang
menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh
dalam semua proses produksi yang melibatkan dua kelas sosial yang berbeda, proletar dan
borjuis. Kelas sosial inilah yang nantinya harus tidak ada karena, menurut Marx, pada suatu saat
akan terwujud masyarakat komunisme; yaitu masyarakat sosialis karena runtuhnya kapitalisme,
di mana di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial dan tidak ada lagi hak kepemilikan pribadi.
Inilah masyarakat yang menjadi obsesi Marx. Untuk mewujudkan hal ini, menurutnya, perlulah
dilakukan analisis terhadap sistem ekonomi kapitalis.
EMILE DURKHEIM
Durkheim dan Fakta Sosial
Durkheim yang dikenal taat pada agama tetapi sekuler itu, dalam perjalanan ‘karirnya’
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat dan sosiologi, seperti Montesquieu, Rosseau, Comte,
Tocquueville, Spencer, dan Marx. Durkheim menyoroti solidaritas sosial sampai patologi sosial
yang juga mengkaji tentang kesadaran bersama, morfologi sosial, solodaritas mekanik dan
organik, perubahan sosial, fungsi-fungsi sosial, termasuk solidaritas dan patologi sosial.
Durkheim memang berangkat dari asumsi bahwa sosiologi itu merupakan studi mengenai
berbagai fakta sosial di mana di dalamnya ia menguraikan mengenai konsep sosiologinya serta
berbagai karakteristik dari fakta-fakta sosial dimaksud.
Ia juga menjelaskanmengenai cara-cara mengobservasi berbagai fakta sosial dengan melakukan
analisi sosiologis. Sedangkan mengenai fenomena moralitas yang menyangkut berbagai
keyakinan, nilai-nilai, dan dogma-dogma (yang membentuk realitas metafisik) ia dekati juga
dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan. Durkheim memang sepaham dengan pemikiran
Comte bahwa ilmu pengetahuan itu haruslah dapat membuat manusia hidup nyaman. Upayanya
untuk memahami berbagai fenomena bunuh diri melahirkan salah satu karya besarnya Suicide
(’Bunuh Diri’)
Bunuh Diri, Agama, dan Moralitas
Bagi Durkheim, bunuh diri, yang bermacam-macam bentuk (egoistic suicide, altruistic suicide,
anomic suicide, dan fatalistic suicide), itu memang merupakan penyimpangan perilaku
seseorang. Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, menurut Durkhiem,
disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua
kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri.
Di sinilah, begitu Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi seseorang untuk
menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. di mana unsur-unsur esensial
dari agama itu mencakup berbagai mitos, dogma, dan ritual, yang kesemuanya merupakan
fenomena religius yang dihadapi manusia. Dalam kaitan ini, ada hal-hal yang sifatnya ’suci’
(sacred) dan juga ada hal-hal yang sifatnya ‘tidak suci’ (profane) yang pemisahan antara
keduanya menunjukkan kepada pemikiran-pemikiran religius yang dilakukan manusia. Harus
diperhatikan bahwa di dalam agama, khususnya yang menyangkut ritual keagamaan, ada yang
dinamakan ritual negatif dan juga ritual positif. Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu
aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi).
Konsepnya mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan
rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi.
MAX WEBER
Riwayat Hidup dan Sosiologi Max Weber
Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi.
Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di
berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut
dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan
munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.
Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungkinan
adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih
merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori
Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian
ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa
segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian
sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin
Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku
ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme
modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab
hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang
mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini
sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme
modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di lapangan
kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat.
Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan
perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua
kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal
dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan
orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang
disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang
lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal
yang sudah mereka miliki.
Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan
perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme
mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat
dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk
kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut
agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha
tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti
itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.