perkembangan pendidikan islam di indonesia

50
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Disusun Untuk Memenuhi tugas Matakuliah IDI 1 Dosen : Ristianti Azharita S.Pd Disusun Oleh : Nur Aisyah Kusmayanti D PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA JAKARTA

Upload: aisyah-irham

Post on 30-May-2015

7.402 views

Category:

Education


1 download

TRANSCRIPT

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi tugas Matakuliah IDI 1

Dosen : Ristianti Azharita S.Pd

Disusun Oleh :

Nur Aisyah Kusmayanti D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA

2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

meilmpahkan rahmat serta hidayahnya kepada kita semua, sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia ini tepat

pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjunan kita Nabi

Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan kita semua sebagai umatnya.

Makalah ini di buat sebagai salahsatu syarat untuk memenuhi tugas

semester ganjil mata kuliah IDI 1, dan sebagai tambahan referensi mengenai

Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia.

Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa makalah ini

masih jauh dari sempurna maka penulis berharap masukan berupa kritik dan saran

yang bersifat membangun guna perbaikan makalah ini untuk kedepannya.

Besar harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada

khusunya dan bagi pembaca pada uumumnya.

Jakarta, November 2012

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah…........................................................ 1

B. Perumusan Masalah.................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan....................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pendidikan Islam Pra Kemerdekaan......................................... 3

1. Pendidikan Zaman Kerajaan Islam………………………. .. 3

2. Pendidikan Islam di Zaman penjajahan Belanda..………… 7

3. Pendidikan Islam di zaman penjajahan Jepang……………. 9

4. Pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia……………… 9

5. Tokoh-tokoh pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia... 12

B. Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan...................................... 15

1. Perkembangan Pesantren Modern di Indonesia…………… 15

2. Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Islam………….20

a. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional……20

b. Pendidikan Agama di Sekolah Umum………………….23

c. SKB 3 Menteri tahun 1975 tentang Madrasah………….24

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………….. . 27

B. Saran………………………………………………………...... 28

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah pendidikan islam dimulai sejak agama islam masuk ke

Indonesia, yaitu kira-kira pada abad ke-12 Masehi. Ahli sejarah umumnya

sependapat, bahwa agama islam mula-mula masuk ialah ke pulau Sumatera

bagian utara di daerah Aceh.

Umumnya ahli sejarah memastikan bahwa masuknya islam ke daerah

Aceh itu dengan perjalanan Marco Polo. Dalam perjalananya pulang dari

Tiongkok, ia singggah di Aceh pada tahun 1922 M. menurut keterangannya, di

Perlak telah di dapatnya rakyat yang beragama islam. Perlak adalah pelabuhan

besar di Aceh pada masa itu yang menghadap ke selat Malaka.

Dengan keterangan tersebut ahli sejarah menetapkan dengan pasti,

bahwa agama islam mulanya masuk dari daerah Aceh dan dari sanalah islam

memancarkan cahayanya ke Malaka dan Sumatera Barat (Minangkabau). Dari

Minangkabau islam berkembang ke Sulawesi,Ambon dan sampai ke Pilipina.

Kemudian islam tersiar ke Jawa Timur kemudia ke Jawa Tengah sampai ke

Banten, lalu ke Lampung dan Palembang hingga ke seluruh kepulauan

Indonesia. Bukan saja agama islam di anut dan di dukung oleh rakyat umum,

bahkan berdiri pula kerajaan-kerajaan islam di Indonesia.

Sesungguhnya mempelajari Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam

di Indonesia sangatlah penting, terutama bagi pelajar sebagai generasi penerus

bangsa. Dengan mempelajari sejarah perkembangan pendidikan islam kita

dapat mengetahui factor penyebab kemajuan islam juga factor penyebab

kemundurannya karena salah dalam cara didikannya ataupun sistemnya.

Dengan mempelajari sejarah perkembangan pendidikan islam kita dapat

mengetahui penyebab terang benderangnnya pendidikan islam juga gelap

gulitanya.

Apabila kita mengetahui dalam sejarah perkembangan pendidikan

islam penyebab kemajuan islam, tentu kita akan mengupayakan sebab-sebab

kemajuan itu lalu mengembangkannya. Dan apabila kita mengetahui penyebab

kemundurannya, disinilah peran kita di butuhkan untuk menemukan terobosan

baru guna memperbaiki kesalahan yang ada dan mengembalikan pendidikan

islam ke masa terang benderang.

Pendidikan islam dalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan

bertujuan akhlak yang mulia dengan tidak melupakan kemajuan dunia dan

ilmu pengetahuan yang berguna untuk perseorangan dan kemasyarakatan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah perkembangan pendidikan islam di Indonesia pada masa

pra kemerdekaan?

2. Bagaimanakah perkembangan pendidikan islam di Indonesia pada masa

pasca kemerdekaan?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan islam di Indonesia pada

masa pra kemerdekaan.

2. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan islam di Indonesia pada

masa pasca kemerdekaan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan Islam Pra Kemerdekaan

1. Pendidikan Zaman Kerajaan Islam

Samudera Pasai merupakan tempat studi Islam yang paling tua

yang dilakukan oleh sebuah kerajaan. Sementara itu, untuk di luar kerajaan

halaqah ajaran islam di duga sudah dilakukan di koloni-koloni tempat

pedagang islam berdatangan di pelabuhan-pelabuhan. Dari halaqah

semacam itu nanti berkembang menjadi lembaga pendidikan.

Setelah kerajaan Samudera Pasai mundur dalam bidang politik,

tradisi pendidikan agama islam terus berlanjut. Samudera Pasai terus

berfungsi sebagai pusat studi islam di Asia Tenggara. Lalu kemudian

muncul Kerajaan Malaka sebagai pusat politik yang juga berkembang

menjadi pusat pendidikan islam. Kerajaan Malaka giat melaksanakan

pengajian dan pendidikan Islam.

Selain sebagai tempat pemerintahan istana juga berfungsi sebagai

mudzakarah masalah-maslah ilmu pengetahuan dan sebagai perpustakaan

dan juga berfungsi sebagai pusat-pusat penerjemahan dan penyalinan

kitab-kitab terutama kitab-kitab keislaman. Mata pelajaran yang diberikan

di lembaga-lembaga pendidikan islam dibagi menjadi dua tingkatan :

a. Tingkat dasar terdiri atas pelajaran membaca, menulis bahasa arab,

pengajian Alquran, dan ibadah peraktis.

b. Tingkat yang lebih tinggi dengan materi-materi ilmu fiqih, tasawuf,

ilmu kalam dsb.

Banyak ulama mancanegara datang ke Malaka dari Afghanistan,

Malabar, Hindustan, terutama dari Arab untuk mengambil peran dalam

penyiaran pendidikan islam. Para penuntut ilmu berdatangan dari berbagai

Negara Asia Tenggara. Dari Jawa, Sunan Bonang dan Sunan Giri datang

ke Malaka untuk menuntut ilmu dan setelah mereka selesai menjalani

pendidikan agama, mereka mendirikan tempat pendidikan di tempat

masing-masing.

Di kerajaan Aceh Darussalam, Sulatan Iskandar Muda juga sangat

memperhatikan pengembangan agama dengan mendirikan mesjid-mesjid

seperti Mesjid Bait al-Rahman di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan

Islam yang di sebut dayah. Di Aceh terdapat ulama-ulama besar yang

ternama yang telah berjasa mengembangkan lembaga pendidikan seperti

dayah ini menjadi semacam perguruan tinggi. Nuruddin al-Raniri dan

Abd. Rauf Singkel adalah ulama-ulama yang mengajar di lembaga

pendidikan ini. Para penuntut ilmu yang datang dari luar Aceh belajar

mereka seperti Syekh Burhanuddin yang berasal dari ulakan-

Minangkabau. Setelah tamat ia pulang dan mendirikan lembaga

pendidikan islam yang di sebut surau. Kemajuan pesat lembaga

pendidikan islam di Aceh ini menyebabkan orang menjulukinya Serambi

Makkah. Murid dari kerajaan lain belajar kepada gurunya masing-masing,

kemudian meningkat belajar lebih tinggi di Aceh, kemudian setelah itu

belajar ke Mekkah.

Sistem pengajaran bagi umat islam sebagaimana di negeri-negeri

muslim, adalah pengajian Alquran. Pada tahap awal lapal bacaan bahasa

Arab (huruf-huruf hijaiyah), setelah itu menghapal surat-surat pendek (juz

‘Amma) beserta tajwidnya yang diperlukan untuk shalat. Pelajaran lebih

lanjut berkenaan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

hukum-hukum islam (fiqih) dan tasawuf (membersihkan hati dan anggota

badan dari dosa-dosa, kesalahan dan kehilapan). Yang memberi pelajaran

pada tahap awal di sebut alim, sedangkan untuk pelajaran lebih lanjut

diberikan oleh seorang ulama besar terutama yang pernah belajar ke

Makkah.

Pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat setelah para ulama

mengarang buku-buku pelajaran keislaman bebahasa Melayu, seperti

karya-karya Hamzah Fansuri, Nururddin al-Raniri, Abd. Rauf Singkel di

Aceh.

Di Minangkabau lembaga pendidikan disebut surau. Surau

sebelum islam datang merupakan tempat menginap anak-anak bujang, lalu

Syaikh Burhanuddin merubah fungsi surau menjadi tempat pendidikan

Islam. Suarau inilah cikal bakal lembaga pendidikan Islam yang lebih

teratur di masa berikutnya.

Lembaga Pendidikan Islam di Jawa dikenal dengan nama

pesantren. Menurut sumber lokal pesantren pertama di pulau Jawa adalah

Pesantren Giri dan Pesantren Gresik di Jawa Timur. Pesantren Gresik

didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim yang mendidik Mubaligh-mubaligh

yang nantinya menyiarkan agama islam ke seluruh Nusantara. sedangkan

Pesantren Giri didirikan oleh Sunan Giri.

Terdapat pula pendidikan agama di Ampel-Surabaya-Jawa Timur,

dibangun oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta). Berawal dari Giri

dan Ampel berikutnya semakin banyak pusat-pusat pendidikan islam di

Jawa seperti Tembayat, Prawoto (Demak), dan Gunung Jati Cirebon.

Di kerajaan islam Banjar Kalsel, Lembaga Pendidikan Islam

pertama dikenal dengan nama Langgar. Orang pertama yang mendirikan

Langgar adalah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Semua ilmu yang

diberikan di lembaga pendidikan islam di Nusantara ditulis dalam huruf

Arab Melayu atau Pegon.

Di Sulawesi adalah raja Gowa XIV, Sultan Alauddin yang pertama

mendirikan masjid di Bantaolo, Masjid ini berfungsi sebagai tempat shalat,

juga sebagai pusat pengajian, pendidikan dan pengajaran Islam. Yang

bertindak sebagai guru adalah Datu Ri Bandang seorang ulama dari

Minangkabau yang menuntut ilmu di Pesantren Giri. Selanjutnya masjid

berkembang menjadi pesantren. Dan di lembaga pendidikan inilah ulama

Makassar Syaikh Yusuf al-Makassari menuntut ilmu agama dasar sebelum

melanjutkan ke Aceh dan kemudian ke Makkah. Pelajaran yang diberikan

di pesantren Bantoalo adalah fiqih, tassawuf, tafsir, hadist, balaghah, dan

mantiq (logika).

Metode pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan itu adalah

sorogan dan bandungan. Sorogan adalah system pengajaran bersifat

individual, biasanya bagi murid pemula. metode ini digunakan yang

berlangsung di rumah-rumah, masjid-masjid dan langgar secara

perorangan. Sedangkan metode bandungan (weton atau halaqah) adalah

sekelompok santri mendengarkan seorang guru membaca,menerjemahkan,

menerangkan, mengulas buku-buku islam dalam bahsa Arab. Dalam

pesantren tidak ada kurikulum, tiap pesantren biasanya punya spesialisasi

sendiri sesuai dengan keahlian kiai besarnya.

Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak, pendidikan Islam

bertambah maju karena telah ada pemerintah yang menyelenggarakannya

dan pembesar-pembesar islam membelanya. Pada tahun 1476 di Bintoro

dibentuk organisasi Bayankare Islah (angkatan pelopor perbaikan) untuk

mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran islam. Dalam rencana

pekerjaannya disebutkan sebagai berikut :

a. Tanah Jawa-Madura dibagi atas beberapa bagian untuk lapangan

pendidikan/pengajaran. Pimpinan pekerjaan di tiap-tiap bagian

dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu (badal).

b. Supaya mudah dipahami dan diterima masyarakat, didikan dan ajaran

islam harus diberikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam

masyarakat, asal tidak menyalahi hukum syara.

c. Para wali/badal selain harus pandai ilmu agama sertab memelihara

budi pekerti supaya menjadi suri tauladan bagi masyarakat.

d. Di Bintoro segera didirikan mesjid agung untuk menjai sumber ilmu,

pusat kegiatan pendidikan dan pengajaran islam.

Berdasarkan rencana itu, di tempat sentral suatu daerah didirikan

mesjid, dipimpin oleh wali atau badal untuk menjadi sumber pendidikan

islam yang sampai sekarang di beberapa tempat masih ada.

2. Pendidikan Islam di Zaman Penjajahan Belanda

Awalnya pendidikan Islam dibiarkan saja tetap diajarkan, namun

lambat laun mereka mengubah ajaran sedikit demi sedikit. Belanda mulai

berusaha menghilangkan pengaruh islam, dimulai dari daerah yang

dikuasai yaitu Yogya dan Surakarta. Setelah itu mereka menyingkirkan

jabatan gubernur dan membinasakan organisasi-organisasi islam resmi.

Kemudian hadirlah sekolah-sekolah Belanda sebagai ganti

pendidikan baru, di setiap daerah keresidenan didirikan satu sekolah

agama Kristen.

Van Den Capellen tahun 1819 merencanakan berdirinya sekolah

dasar bagi pribumi agar dapat membantu pemerintahan Belanda karena

Belanda menganggapn pendidikan islam yang diselenggarakan di

pesantren-pesantren dianggap tidak membantu pemerintah Belanda. Para

santri dianggap buta huruf latin dan tingkatan pendidikannya rendah

sehingga dianggap tidak berguna. Oleh karena itu Belanda mendirikan

sekolah di desa-desa untuk menyaingi pesantren.

Kemunduran pendidikan Islam itu mencapai puncaknya sebelum

tahun 1900 M yang meliputi seluruh Indonesia. Bahkan pada tahun 1882

Belanda membuat badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan

beragama dan Pendidikan Islam. Tahun 1925 Belanda mengeluarkan

peraturan yang lebih ketat lagi bahwa tidak semua kiai boleh memberikan

pelajaran mengaji. Tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat

memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya

yang disebut Ordonansi sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan setelah

muncul gerakan nasionalisme-islamisme pada tahun 1928 berupa Sumpah

Pemuda. Untuk mencegah masuknya pelajaran agama islam di sekolah

umum pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut “Netral

Agama”.

Pada tahun 1901 Belanda melakukan politik etis, yaitu mendirikan

pendidikan rakyat sampai ke desa yang memberikan hak-hak pendidikan

pada pribumi dengan tujuan untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang

bekerja untuk Belanda juaga untuk menghambat pendidikan tradisional. Di

luar dugaan, berdirinya sekolah-sekolah rakyat di desa dimana orang

pribumi sekolah membuat mereka mengenal system pendidikan modern:

sistim kelas, pemakaian meja, metode belajar modern, dan pengetahuan

umum. Mereka juda menjadi mengenal surat kabar dan majalah untuk

mengikuti perkembangan zaman. Pandangan rasional ini menjadi

pendorong untuk melakukan pembaharuan.

Munculnya sekolah-sekolah Belanda menjadi perhatian besar para

Ulama dan santri karena pendidikan itu menjadi penetrasi kebudayaan

barat yang akan melahirkan intelektual pribumi secular dan menjadikan

umat islam jauh dari agamanya. Oleh sebab itu, lahirlah gerakan

pembaharuan pendidikan Islam yang nantinya akan membawa kemajuan

pendidikan Islam Indonesia ke taraf yang lebih baik. Sebenarnya

kesadaran ini juga akibatnya terpengaruh oleh ide-ide Pan islamisme dan

reformasi di Mesir ketika beberapa pelajar Indonesia menuntut ilmu agama

disana. Itulah sebabnya kenapa kemudian para pembaru islam mengadopsi

pendidikan colonial, padahal sebelumnya mengecam.

Dengan demikian pembaharuan pendidikan Indonesia sudah

dimulai sejak zaman koloial Belanda. Hal ini ditandai dengan berdirinya

organisasi-organisasi Islam yang mendirikan sekolah-sekolah Islam,

dimana system pengajarannya tidak lagi surau dengan system tradisional

melainkan sudah menggunakan system klasik dengan krikulum pengajaran

agama dan pngetahuan umum, walaupun kondisinya masih sederhana.

3. Pendidikan Islam di Zaman Penjajahan Jepang

Jepang menjajah Indonesia setelah mengalahkan Belanda dalam

Perang Dunia II pada tahun 1942 dengan semboyan Asia timur Raya atau

Asia untuk Asia.

Pada awalnya pemerintahan Jepang seolah-olah membela

kepentingan Islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk

menarik perhatian rakyat Indonesia, pemerintah Jepang membolehkan

didirikannya sekolah-sekolah agama dan pesantren-pesantren yang

terbebas dari pengawasan Jepang. Padahal semua itu dilakukan agar

kekuatan umat Islam dan nasionalis bisa diarahkan untuk kepentingan

memenangkan perang yang dipimpin Jepang. Namun pada kenyataannya

pada zaman ini pendidikan mengalami penurunan dibandingkan dengan

jajahan Hindia-belanda. Pada zaman penjajahan Jepang jumlah Sekolah

Dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500, sekolah lanjutan dari 850

menjadi 20, perguruan tinggi terdiri empat buah dan belum dapat

melakukan kegiatan. Jumlah murid merosot 30%, sekolah menengah

merosot 90%. Guru-guru SD berkurang 35%, guru sekolah menengah

tinggal 5%, angka buta huruf tinggi sekali.

Untuk memudahkan pengawasan dalam hal pendidikan pemerintah

jepang menetapkan bahwa sekolah dasar menajdi sekolah dasar enam

tahun, namun ternyata hal tersebut menjadi keuntungan bagi Indonesia

sendiri karena menghapuskan diskriminasi.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan di semua

sekolah dan menjadi mata pelajaran utama, dan bahasa Jepang menajadi

mata pelajaran wajib, selain itu para pelajar juga harus mempelajari adat

istiadat Jepang.

4. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Kira-kira pada abad 19 banyak orang islam Indonesia mulai

menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan

kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda,

penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia

apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional

dalam menegakan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-

perubahan.

Daerah Minangkabau memiliki peranan yang sangat penting dalam

penyebaran cita-cita pembaharuan ke daerah-daerah lain. Juga karena di

daerah inilah tanda-tanda pertama daripada pembaharuan itu dapat diamati

pada waktu daerah lain seakan-akan masih merasa puas dengan praktek-

praktek tradisional mereka. kemudian menyusul pembicaraan tentang

pergerakan tersebut di kalangan masyarakat Arab yang mendirikan

organisasi modern pertama di kalangan orang-orang islam di Indonesia.

Persyarikatan ulama yang pada umumnya terbatas pada daerah

Majalengka, merupakan suatu contoh dari gerakan pembaharuan yang

mempunyai sifat ganda. Mereka mengikuti Mazhab tetapi mengintrodusir

pembaharuan-pembaharuan dalam bidang-bidang kegiatan yang bersifat

praktis. Kemudian kita bicarakan Muhammadiyah yang mempunyai

daerah operasi yang jauh lebih luas dibandingkan dengan organisasi

manapun juga di Indonesia, dan akhirnya Persatuan Islam suatu organisasi

yang relative kecil tetapi memiliki pengaruh yang luas disebabkan oleh

publikasi-publikasi yang mereka keluarkan serta tulisan-tulisan dari

pemimpin-pemimpin organisasi ini.

Pembaharu-pembaharu mengakui betapa pentingnya pendidikan

untuk membina dan membangun generasi yang lebih muda. Perubahan

dalam pemikiran dan ide-ide tentu akan mempunyai arti yang besar dan

akan lama bertahan apabila perubahan-perubahan ini mendapat tempat

dalam kalangan generasi muda. Kenyataan bahwa permintaan atau

kebutuhan masyarakat akan sekolah dengan jumlah yang lenih banyak lagi

tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, dan juga tidak dapat dipenuhi oleh

golongan tradisi, memnyebabkan golongan pembaharu pun memerlukan

bergerak di bidang pendidikan.

Lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun oleh para pembaharu

diantaranya adalah sekolah Adabiyah di Padang (1909), Surau Jembatan

Besi yang nantinya memplopori sekolah Thawalib di Minangkabau. Lalu

ikatan alumni yang sudah tidak lagi belajar di sekolah Thawalib

mendirikan sebuah organisasi yang bernama PERMI (Persatuan Muslimin

Indonesia).

Pendidikan putera-puteri dalam rangka pembaharuan di sekolah

Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad telah menjadikan

inisiatif bagi Zainudin Labai untuk mendirikan sekolah Diniyah pada

tahun 1915 yang sebagian merupakan perkembangan dari Surau Jembatan

Besi, dengan menggunakan system ko-edukasi yang dicontoh dari

kebiasaan yang berlaku di sekolah-sekolah pemerintah.

Gerakan pembaharuan di Majalengka Jawa Barat yang di pimpin

oleh KH. Abdul Halim dimulai dengan mendirikan organisasi yang

bernama Hayatul Qulub yang kemudian berkembang menjadi

Persyarikatan Ulama dan diakui secara hukum oleh pemerintah pada tahun

1917 dengan bantuan HOS Tjokroaminoto, Presiden Syarekat Islam.

Gerakan pembaharuan selanjutnya adalah organisasi

Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, dalam tahun

1909 Dahlan masuk Budi Oetomo dengan maksud memberikan pelajaran

agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap akan

dapat memberikan pengajaran di sekolah-sekolah pemerintah karena

anggotanya yang kebanyakan bekerja di sekolah-sekolah pemerintah dan

juga kantor-kantor pemerintah. Pemikirannya inipun berhasil dan ia pun

mendirikan sebuah sekolah sendiri yang diatur dengan rapid an di dukung

oleh organisasi yang bersifat permanen untuk menghindarkan nasib seperti

pesantren-pesantren tradisional yang terpaksa di tutup,maka didirikan lah

Muhammadiyah.

Organisai pembaharuan yang terakhir adalah Persatuan Islam

(PERSIS) yang didirikan di Bandung. Perhatian utama Persis adalah

bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya, ini dilakukan dengan

mengadakan pertemuan umum, tabligh, khutbah-khutbah, kelompok-

kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan pamphlet-

pamflet, majalah-majalah serta kitab.

5. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan di Indonesia

a. KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah

Setelah kembalinya dari tanah suci Makkah cita-cita

pembaharuan keagamaannya makin mantap. Yang mula-mula

dilakukan Dahlan adalah dengan merubah arah kiblat. Untuk

memperluas jangkauan penyiaran ide-ide pembaruannya, Dahlan

masuk Budi Utomo pada tahun 1909 di organisasi ini Dahlan

mengajarkan agama islam.

Ide-ide pembaruannya tertuang dalam gerakan Muhammadiyah

yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 M. titik tekan

perjuangannya adalah pemurnian ajaran islam dan bidang pendidikan.

Muhammadiyah memiliki pengaruh yang berakar dalam upaya

pemberantasan bid’ah, khurafat dan tahayul.

Gambaran dalam bidang pendidikan, diketahui bahwa dunia

keilmuan di Indonesia secara tradisional di emban dan dimiliki oleh

pesantren, namun secara pelebaran atau penguasaan ilmu pesantren

lebih mengembangkan ilmu agama ketimbang ilmu umum, bahkan,

penguasaan ilmu agama lebih bersifat tradisional. Pengembangan ilmu

pengetahuan umum secara melebar dengan cara mendirikan sekolah-

sekolah modern yang bersifat memiliki kelas, sarana belajar yang lebih

baik dan terpenting masuknya kurikulum umum dalam madrasah-

madrasah yang dikelola oleh Muhammadiyah. Para siswa dapat

bersama-sama bersekolah tanpa terikat jenis kelamin, artinya siswa dan

siswi belajar dalam satu ruang walaupun tempat duduknya terpisah.

Madrasah dan sekolah Muhammadiyah juga sangat berperan dalam

menebarkan gagasan dan garis-garis pendiriannya.

b. K.H. Hasyim Asy’ari dan NU

KH. Hasyim Asy’ari lahir tanggal 14 Februari 1871, Ia adalah

seorang yang memiliki predikat kekiaian yang kental.

Dalam sejarah pendidikan islam tradisional, khususnya di

Jawa, ia digelari Hadrat Asy’Syaikh (Guru besar di lingkungan

pesantren), karena peranannya sangat besar dalam pembentukan kader-

kader ulama pimpinan pesantren, misalnya psantren Asem Bagus di

Situbondo Jawa Timur, pesantren Lirboyo Kediri dan lain-lain.

Nahdatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada tanggal 31

Januari 1926, yang mulanya hanya sebuah kepanitiaan yang disebut

Komite Merembuk Hijaz. Organisasi NU menganut pada salahsatu

mazhab dari empat mazhab yaitu Mazhab Syafi’i. NU banyak

mengadakan kegiatan keislaman yang bermanfaat bagi anggotanya,

seperti memperluas lapangan pendidikan dan mendirikan sekolah-

sekolah serta pemeliharaan anak yatim.

c. Nurcholis Madjid

Nurcholis Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang Jawa Timur

pada 17 Maret 1939. Cak Nur merumuskan modernisasi sebagai

rasionalitas. Pengertian yang mudah tentang modernisasi adalah

pengertian yang idientik dengan pengertian rasionalitas. Hal tersebut

berarti proses perombakan pola piker dan tata kerja baru yang akliah,

kegunaannya untuk memperoleh daya guna efisiensi yang maksimal.

Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia

di bidang ilmu pengetahuan.

Nurcholish Madjid mengungkap dalam bukunya

Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, bahwa

modernisasi adalah suatu keharusan, bahkan suatu

kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan

perintah dan ajaran Allah. Hal ini didukung oleh

Argumen berikut: Pertama, Allah menciptakan seluruh

alam ini dengan benar bukan palsu. Kedua, Dia

mengatur dengan peraturan Ilahi/sunatullah yang

menguasai dan pasti. Ketiga, sebagai buatan Tuhan

Maha Pencipta, alam ini adalah baik,

menyenangkan(mendatangkan kebahagiaan duniawi)

dan harmonis. Keempat, manusia diperintah oleh Allah

untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang

ada dalam ciptaan-Nya. Kelima, Allah menciptakan

seluruh alam raya untuk kepentingan manusia,

kesejahteraan hidup dan kebahagiaannya, sebagai

rahmat dari-Nya. Keenam, karena adanya perintah

untuk mempergunakan akal pikiran/rasio itu, maka Allah

melarang segala sesuatu yang menghambat

perkembangan pemikiran, terutama pewarisan

membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan

cara berfikir dan kerja generasi sebelumnya.

d. Muhammad Amien Rais

Amien Rais lahir di Solo Jawa Tengah pada tanggal

26 April 1944. Pemikiran utamanya adalah mengenai

pemurnian akidah islam. Sedangkan kontribusinya

dalam bidang pendidikan dapat dilihat dari karya-

karyanya yang cukup banyak. Umumnya karya tulisnya

dituangkan dalam bentuk artikel, sebagai editor, dan

kata pengantar di berbagai buku. Ia menyatakan

pembaruan dalam bidang pendidikan suatu masalah

yang sangat penting dalam kaitannya dalam masalah

pembaharuan Islam.

Pemikiran Amin Rais yang perlu menjadi renungan

adalah harus menepati keyakinan, kebenaran, dan

kemurnian akidah islam, dengan tidak lagi

mencampuradukan akidah dan penyakit syirik, dengan

memurnikan akidah, maka akan tertanam pada jiwa

umat islam iman yang sebenarnya pada Allah sehingga

akan memancarkan aktivitas kehidupan yang dinamis.

B. Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan

Setelah merdeka, pendidikan islam mulai mendapat kedudukan yang

sangat penting dalam system pendidikan nasional. Di Sumatera, Mahmud

Yunus sebagai pemeriksa agama pada kantor pengajaran mengusulkan kepada

kepala pengajaran agar pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah

ditetapkan dengan resmi dan guru-gurunya di gaji seperti guru-guru umum

dan usulnya pun diterima. Selain itu pendidikan agama di sekolah juga

mendapat tempat yang teratur, seksama dan penuh perhatian. Madrasah dan

pesantren juga mendapat perhatian. Untuk itu di bentuk Departemen Agama

pada tanggal 3 Desember 1946 yang bertugas mengurusi penyelenggaraan

pendidikan agama di sekolah umum dan madrasah serta pesantren.

Sekolah agama, termasuk madrasah, ditetapkan sebagai model dan

sumber pendidikan Nasional yang berdasarkan UUD 1945. Eksistensi

pendidikan Agama sebagai komponen pendidikan Nasional dituangkan dalam

Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No 4 tahun 1950, bahwa

belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari

Menteri Agama di anggap telah memenuhi kewajiban belajar.

1. Perkembangan Pesantren Modern di Indonesia

Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem

Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai

pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok

pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid,

rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel

kerja keterampilan.

Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Pondok pesantren"

yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2)

Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada

agama, masyarakat, dan negara. Merujuk pada Undang-undang Nomor 20

tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan

pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan

ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran

Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia

perkembangan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam

sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan

pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut: Dalam Pasal 3

UU RI Nomor 20 tahun 2003 Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di

pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk

watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang

berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak

mulia. Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan

Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan

diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai

keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan

diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem

terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu

proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung

sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi

keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas

peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan

dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi

segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan

memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam

penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat

ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren

sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan

pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional. Tidak hanya itu,

keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas

peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-

undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat

pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat

berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan

pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistensi dan keberadaan

pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat

dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi

oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis

pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,

vokasi, keagamaan, dan khusus.

Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di

bidang keagamaan. Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan

keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang

menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah

dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi

mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang

memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau

menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat

diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan

bentuk lain yang sejenis.

Lebih jauh lagi, saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai

sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya

ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan

nonformal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk memiliki

skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para

santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat

dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal

diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan

pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau

pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan

sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan

potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan

keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian

profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan

hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan

pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan

keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, pendidikan

kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan

kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas

lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan

belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang

sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang

memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap

untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha

mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6)

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program

pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh

lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan

mengacu pada standar nasional pendidikan.

Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat

dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54

menjelaskan: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran

serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha,

dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian

mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai

sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis

Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh

pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1)

Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat

pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,

lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2)

Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan

melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan

pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana

penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari

penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau

sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat

dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain

secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Demikianlah, ternyata posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional

memilki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya

jika kalangan pesantren terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan

meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan di pesantren. Pemerintah

telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 - 2009 dengan tiga

sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1)

meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya

mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan

(governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.

Dengan adanya dukungan dari pemerintah dan juga adanya

keinginan yang kuat dari sekelompok orang yang menginginkan

pendidikan yang lebih baik yang intensif dan representative maka lahirlah

pesantren-pesantren modern yang memiliki system pendidikan yang

bermutu dengan fasilitas-fasilitas modern seperti Pesantren modern

Darussalam Gontor di Ponorogo Jawa Timur, Pesantren Assalam di

Sukoharjo Jawa Tengah, Pesantren Al Zaytun di Indramayu Jawa Barat

dan masih banyak lagi pesantren-pesantren modern lainnya di berbagai

daerah di Indonesia.

2. Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Islam

a. Posisi Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional

Pada era Orde Lama pengaturan dua system pendidikan

berusaha dihapuskan oleh pemerintah. Hal ini dapat dipahami dari

usaha pemerintah Orde Lama sebagai berikut, pertama, memasukkan

Pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah

negeri maupun swasta melalui pelajaran agama. Kedua, memasukkan

ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di madrasah.

Ketiga, mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk

menyiapkan guru agama untuk sekolah umum maupun madrasah. Pada

pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI),

dengan murid 1.927.777 siswa. Tingkat Madrasaah Tsanawiyah (MTS)

terdapat 776 madrasah dengan murid 87.932 siswa. Sedangkan untuk

tingkat Madrasah Aliyah(MA) terdapat 16 madrasah dengan jumlah

murid 1.881 siswa.

Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007

tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan

dapat membawa perubahan pada sisi menagerial dan proses pendidikan

Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya

pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk

menyebut pendidikan Islam), dan keagamaan lainnya diselenggarakan.

Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan, ”Pendidikan keagamaan meliputi

pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan

Khonghucu”. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan

ruang lingkup pendidikan keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal

yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola

pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal

tersebut, yaitu Menteri Agama.

Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan

dan pengembangan pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam

menjadi tanggungjawab menteri agama. Tentunya mengingat posisi

menteri agama bukan hanya untuk kalangan Islam saja, maka beban

menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan agama

lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan

ruang lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk

seluruh agama-agama yang diakui di Indonesia.

Selain itu seandainya terjadi penyimpangan dalam

penyelenggaraan pendidikan keaagamaan, maka jika untuk pendidikan

tinggi maka posisi menteri agama sebagaimana pasal 7 ayat (1) a

hanya sebagai pemberi pertimbangan dan bukan pengambil keputusan.

Adapun pengambil keputusan untuk jenjang pendidikan dasar dan

menengah dilakukan oleh bupati/walikota, dan masukan pertimbangan

diberikan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.

Sekali lagi hal ini menunjukkan betapa Depag beserta jajarannya

hingga yang paling bawah, tidak memiliki kekuasaan dalam proses

penyelenggaraan pendidikan keagamaan sekalipun.

Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah lembaga

penyelenggara pendidikan keagamaan Islam adalah MI, M.Ts dan

MA/MAK. Meski sebenarnya penyebutan lembaga-lembaga tersebut

tidak secara ekplisit, namun sebagai penjelasan tentang kemungkinan

perpindahan peserta didik dalam jenjang pendidikan yang setara (Pasal

11). Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) juga

memang disebutkan untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu MI, M.Ts.,

dan Pasal 18 ayat (3) jenjang pendidikan menengah bagi pendidikan

Islam adalah MA dan MAK. Hanya saja khusus untuk pendidikan

keagamaan baik dalam UU Sisdiknas Pasal 30 ayat (4) ataupun PP No.

55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pendidikan diniyah, dan pesantren. Ayat

(2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model pendidikan tersebut

dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.

Dalam pasal 18 PP No. 55 tahun 2007 disebutkan untuk

pendidikan diniyah formal pada ayat (1) Kurikulum pendidikan

diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan

kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu

pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.

Begitu juga untuk pendidikan diniyah menengah formal Kurikulum

pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan

pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu

pengetahuan alam, serta seni dan budaya.

Sementara itu untuk pendidikan diniyah non-formal disebutkan

dalam pasal 21 ayat (1) yaitu, Pendidikan diniyah nonformal

diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim,

Pendidikan Al Qur'an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang

sejenis. Adapun untuk proses penyelenggaraannya tertuang dalam

pasal yang sama ayat (5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat

dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,

SMK/MAK atau pendidikan tinggi.

Orientasi pendidikan agama islam ialah pendidikan ini secara

tidak langsung mengharuskan kita untuk menyelenggarakan proses

pendidikan nasional yang konsisten dan secara integralistik menuju

kearah pencapaian tujuan akhir. Terbentuknya manusia Indonesia

seutuhnya yang berkualitas unggul yang berkembang dan tumbuh di

atas pola kehidupan yang seimbang antara lahiriah dan batiniah, antara

jasmania dan rohaniah atau antara kehidupan mental spiritual dan fisik

material. Dalam bahasa islam, membentuk insan kamil yang secara

homeostatic dapat mengembangkan dirinya dalam pola kehidupan

yang kahasanah fiddunnya dan khasanah fil akhirat terhindar dari

siksaan api neraka, secara simultan tidak terpisah-pisah antara kedua

unsurnya.

Jalan menuju ketujuan itu, tidak lain adalah melalui proses

pendidikan yang berorientasi kepada hubungan tiga arah yaitu

hubungan anak didik dengan Tuhannya, dengan masyarakat dan

dengan alam sekitarnya.

b. Pendidikan Agama di Sekolah Umum

Pendidikan secara kultural pada umumnya berada dalam

lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup

dalam upaya yang bernaksud mengangkat dan menegakkan martabat

manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk

transfer of knowledge dan transfer of values.

Dalam konteks ini secara jelas juga menjadi sasaran jangkauan

pendidikan islam, merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional,

sekalipun dalam kehidupan bangsa Indonesia tampak sekali

eksistensinya secara kultural. Tapi secara kuat ia telah berusaha untuk

mengambil peran yang kompetitif dalam setting sosiologis bangsa,

walaupun tetap saja tidak mampu menyamai pendidikan umum yang

ada dengan otonomi dan dukungan yang lebih luas, dalam

mewujudkan tujuan pendidikan secara nyata.

Sebagai pendidikan yang berlebel agama, maka pendidikan

islam memiliki transmisi spritual yang lebih nyata dalam proses

pengajarannya dibanding dengan pendidikan umum, sekalipun

lembaga ini juga memiliki muatan serupa. Kejelasannya terletak pada

keinginan pendidikan islam untuk mengembangkan keseluruhan aspek

dalam diri anak didik secara berimbang, baik aspek intelektual,

imajinasi dan keilmiahan, kultural serta kepribadian. Karena itulah

pendidikan islam memiliki beban yang multi paradigma, sebab

berusaha memadukan unsur profane dan imanen, dimana dengan

pemaduan ini, akan membuka kemungkinan terwujudnya tujuan inti

pendidikan islam yaitu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan

berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang.

Antara ilmu pengetahuan dan pendidikan islam tidak dapat

dipisahkan, karena perkembangan masyarakat islam, serta tuntutannya

dalam membangun manusia seutuhnya (jasmani dan rohani) sangat

ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan yang dicerna

melalui proses pendidikan. Proses pendidikan tidak hanya menggali

dan mengembangkan sains, tetapi juga, lebih penting lagi yaitu dapat

menemukan konsepsi baru ilmu pengetahuan yang utuh, sehingga

dapat membangun masyarakat islam sesuai dengan keinginan dan

kebutuhan yang diperlukan.

c. SKB 3 Menteri tahun 1975 tentang Madrasah

SKB 3 Menteri tahun 1975 (Menteri Agama, Menteri

Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri) bertujuan untuk meningkatkan

mutu pendidikan madrasah agar tingkat mata pelajaran umum di

madrasah sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah

umum. SKB itu menetapkan tiga hal penting; (1) Ijazah madrasah

mempunyai nilai yang sama dengan ijazah dari sekolah umum

setingkat, (2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang sekolah

umum jenjang atasnya, dan (3) siswa madrasah dapat berpindah ke

sekolah umum.

Untuk mencapai tingkat standar mata pelajaran umum seperti

yang ada di sekolah umum, pelajaran umum di madrasah disamakan

dengan yang diajarkan di sekolah umum. Proporsi pelajaran di

madrasah dirubah menjadi 70% untuk pelajaran umum dan 30% untuk

mata pelajaran agama. Sebagai implementasi dari SKB 3 Menteri

tahun 1975 tersebut, pemerintah kemudian memberlakukan kurikulum

madrasah tahun 1976 dan juga mendirikan Madrasah Negeri di

berbagai tempat.

Terhadap perubahan ini, tidak semua masyarakat Muslim,

khususnya dari kalangan Muslim tradisionalis, menyambut dengan

gembira. Kalangan Muslim tradisionalis, pada waktu itu masih

memandang madrasah semata-mata sebagai lembaga pendidikan

tempat mencari ilmu agama.

Zakiyah Daradjat dalam kata pengantarnya di buku Maksum

(1999: xi) mencatat, ada dua pendapat menanggapi perkembangan

madrasah saat itu. Pertama, kalangan yang menilainya sebagi tonggak

penting integrasi madrasah ke dalam pendidikan nasional. Kedua,

kalangan yang memandang perubahan itu sebagai sikap akomodatif

yang berlebihan terhadap kecenderungan pendidikan modern yang

sekuler, yang dikhawatirkan akan mencabut madrasah dari nilai-nilai

keislaman dan melunturkan nilai-nilai keberagamaan siswa. Porsi

pengetahuan umum yang semakin besar itu, dikhawatirkan akan

menggeser pengetahuan agama yang menjadi spesialisasi madrasah

sejak lama.

Oleh karenanya, madrasah-madrasah swasta waktu itu tidak

serta merta mengikuti ketentuan pemerintah. Ada tarik-menarik yang

terjadi di dunia madrasah antara menjadi lembaga pendidikan modern

di satu sisi, dan mempertahankan perannya sebagai lembaga

pendidikan keagamaan sebagaimana dilakukannya di masa lalu. Tarik-

menarik itu kemudian memunculkan pergeseran dan penyesuaian yang

dinamis.

Tarik menarik yang cukup hebat terjadi pada madrasah yang

berasosiasi dengan pesantren atau, lebih singkatnya disebut Madrasah

Pesantren. Madrasah ini didirikan dan dikelola oleh suatu pesantren

sebagai ekstensi dari sistem pendidikan pesantren. Munculnya

madrasah semacam ini, menurut Manfred Ziemek (1986: 104-108)

merupakan bagian dari perkembangan pesantren yang berawal dari

pengajian sederhana di masjid. Lalu karena ada santri yang berasal dari

jauh, dibangunlah pondokan. Perkembangan selanjutnya, didirikanlah

madrasah. Pesantren-pesantren tertentu kemudian ada yang sampai

mendirikan universitas.

Karel A. Steenbrink (1994: 220) mencatat, berdirinya madrasah

di lingkungan pesantren, tidak serta merta menghapus tradisi

pesantren. Justru tradisi-tradisi keilmuan, keagamaan dan

kepemimpinanannya mengadopsi pola  pesantren. Dalam tradisi

keilmuan, sebagai contoh, Madrasah Pesantren mengajarkan kitab

kuning dengan berbagai metode khas pesantrennya. Sehingga

madrasah pesantren ini sebenarnya merupakan klassikalisasi dari

pesantren.  Orientasi awal dari madrasah ini adalah sebagai lembaga

pendidikan keagamaan. Maka wajar saja jika mata pelajarannya adalah

mata pelajaran agama sebagaimana pesantren.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terjadinya pembaharuan pendidikan di dunia Islam yang muncul dari

pemikir-pemikir Islam sendiri yang dengan krisis menyikapi kondisi soasial

kemasyarakatan dan sikap keberagamaan umat Islam saat itu.

Persinggungan antara dunia Islam dan Barat kembali menyadarkan

para pemikir Islam betapa umat Islam jauh tertinggal dari bangsa-bangsa

Eropa. Keadaan tersebut segera mendapatkan respon yang beragam dari para

cendekiawan muslim dengan tujuan yang sama yaitu kembalinya umat Islam

dalam pentas percaturan dunia seperti pada masa kejayaan Islam masa lampau,

hal itu disepakati dapat dicapai melalui pembaharuan Pendidikan.

Pembaharuan Pendidikan pada dasarnya adalah pembaharuan pemikiran dan

prespektif intelektual yang dapat membentuk pola pemikiran yang beragam,

yaitu pemikiran yang secara murni ingin kembali pada ajaran Islam yang

benar dan menolak segala apa yang datang dari Barat. Mereka adalah

golongan tradisionalis, golongan yang mengadopsi secara besar-besaran

termasuk dalam pendidikan yang pada akhirnya melahirkan dualisme system

pendidikan dalam Islam seperti yang terjadi di Mesir dan Turki dan kelompok

yang pemikirannya berangkat dari perasaan nasionalismenya. Dalam

pergumulannya masing- masing memiliki peranan untuk menghasilkan

perubahan hingga mencapai kemajuan umat.

Pengaruh pembaharuan di Timur Tengah cukup besar terhadap

pembaharuan pendidikan di Indonesia, pembaharuan pendidikan di Indonesia

dari system pesantren yang hanya mengajarkan ilmu keislaman, kemudian

diadakan pembaharuan antara lain oleh KHA Dahlan (1912) dengan

mendirkkan organisasi Muhammadiyah, yang kemudian mendirikan

madrasah-madrasah yang di dalamnya diajarkan ilmu keislaman sekaligus

ilmu pengetahuan umum. Pembaharuan lainnya adalah organisasi NU oleh

Hasyim Asy’ari dan organisasi serta tokoh-tokoh lainnya.

B. Saran

Pendidikan agama memiliki peran yang sangat penting dalam

pembangunan karakter suatu bangsa karena dalam pendidikan agama manusia

diajarkan mengenai hal yang baik dan buruk maka sudah sepantasnya

pendidikan agama menjadi pendidikan yang wajib ada di semua jenjang

pendidikan baik itu SD, SMP, SMA dan juga Perguruan Tinggi. Sebaiknya

dalam setiap mata pembelajaran di sekolah umum para pengajar selalu

mengaitkan materi pembelajaran dengan nilai-nilai agama sehingga siswa

dapat lebih memahami fungsi dari mempelajari agama dan korelasinya

terhadap kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Yunus, Mahmud. 1957. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya

Noer, deliar. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES

Taufik, Ahmad dkk. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

http// Makhmud Syafe‟i

http//docstoc.com