perkembangan kota jakarta

25
KATA PENGANTAR Buku berjudul “PERKEMBANGAN KOTA JAKARTA” yang ada di hadapan saudara ini adalah hasil tulisan DR Abdurracman Surjomihardjo Staf Peneliti Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN) Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) bekerja sama dengan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta yang kini menjadi Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Mengingat pentingnya buku tersebut dan kecenderungan bertumbuhnya minat masyarakat terhadap pengetahuan tentang sejarah, serta persediaan buku pada instalasi kami telah habis maka dipandang perlu untuk mencetak ulang dengan melakukan beberapa perubahan. Buku yang diterbitkan tahun 1973 ini, sampai dengan tahun 2000 telah mengalami 4 kali naik cetak ulang yakni, cetak pertama tahun 1973, cetak ulang kedua tahun 1977, cetak ulang ketiga tahun 1993 dan sekarang tahun 2000. Mudah mudahan buku ini dapat bermanfaat sebagai buku kajian serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khusus tentang Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. PENDAHULUAN Diantara perubahan perubahan dan perkembangan yang terjadi di Ibukota Jakarta, maka satu diantaranya ialah makin meluasnya wilayah Kota ini. Terutama di dalam periode dua puluh tahun terakhir ini yaitu setelah kembalinya Jakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia. Jalan jalan baru dibangun mendahului pembukaan tanah tanah baru, bagi perkampungan baru, bagi daerah Industri maupun bagi tempat tempat rekreasi. Kompleksnya perubahan maupun perkembangan hampir tak dapat diikuti oleh penduduk Jakarta sendiri, yang tiap harinya makin bertambah, tidak saja dalam jumlah tetapi juga dalam kesibukannya dan kegiatan kegiatan lainnya. Penduduk Jakarta dari abad ke abad mulai sebagi pendatang dan kemudian sebagai penghuni kota, berasal dari berbagai penjuru tanah air kita dan juga dari berbagai sudut benua. Dengan caranya sendiri mereka membangun wilayah kotanya dibawah pimpinan yang diakui masyarakat sejak jaman Tarumanegara, Sunda Kelapa, Batavia dan Jakarta dewasa ini. Sudah barang tentu selera dan gaya, bentuk dan rupa serta cara membangun kota berbeda menurut jaman dan tujuan. Tetapi semuanya menunjukkan betapa penduduk Kota ini, baik di masa lampau maupun di masa sekarang dan mendatang, bertujuan agar kotanya dapat merupakan kota dimana ia bisa hidup dengan usaha usahanya, cita citanya di dalam suasana ketentraman dan kegembiraan. Adalah jasa para pendatang dan penghuni dimasa- masa yang lampau yang bisa dan sempat menuliskan kesan kesannya pengalaman - pengalamannya, usaha usahanya, dan tidak jarang meninggalkan bekas bekasnya berupa gedung gedung, skets skets lukisan, photo photo, peta peta dan sebagainya. Karangan ini disusun berdasarkan karya karya mereka itu terutama yang disamping karya tulisnya menyertakan sketsa dan ikhtisar perkembangan kota dalam bentuk peta peta. Mula mula kelihatan sebagai hasil minat kepada lingkungan alam

Upload: m-shobrie-hw-se-cfa-cla-cphr-cptr

Post on 28-Nov-2014

3.194 views

Category:

News & Politics


6 download

DESCRIPTION

Sebelum Anda "Download" Silahkan "Follow" atau Beri "Like" terlebih dahulu. Thx. Bagi yang membutuhkan INHOUSE TRAINING, Silahkan Hubungi : 0878-7063-5053 (Fast Response). TARIF PELATIHAN SANGAT MURAH !!!

TRANSCRIPT

Page 1: Perkembangan Kota Jakarta

KATA PENGANTAR

Buku berjudul “PERKEMBANGAN KOTA JAKARTA” yang ada di hadapan

saudara ini adalah hasil tulisan DR Abdurracman Surjomihardjo Staf Peneliti Lembaga

Research Kebudayaan Nasional (LRKN) Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) bekerja

sama dengan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta yang kini menjadi Dinas

Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Mengingat pentingnya buku tersebut dan kecenderungan bertumbuhnya minat

masyarakat terhadap pengetahuan tentang sejarah, serta persediaan buku pada instalasi

kami telah habis maka dipandang perlu untuk mencetak ulang dengan melakukan

beberapa perubahan.

Buku yang diterbitkan tahun 1973 ini, sampai dengan tahun 2000 telah

mengalami 4 kali naik cetak ulang yakni, cetak pertama tahun 1973, cetak ulang kedua

tahun 1977, cetak ulang ketiga tahun 1993 dan sekarang tahun 2000.

Mudah – mudahan buku ini dapat bermanfaat sebagai buku kajian serta

memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khusus tentang Sejarah Perkembangan Kota

Jakarta.

PENDAHULUAN

Diantara perubahan – perubahan dan perkembangan yang terjadi di Ibukota

Jakarta, maka satu diantaranya ialah makin meluasnya wilayah Kota ini. Terutama di

dalam periode dua puluh tahun terakhir ini yaitu setelah kembalinya Jakarta menjadi

Ibukota Republik Indonesia.

Jalan – jalan baru dibangun mendahului pembukaan tanah – tanah baru, bagi

perkampungan baru, bagi daerah Industri maupun bagi tempat – tempat rekreasi.

Kompleksnya perubahan maupun perkembangan hampir tak dapat diikuti oleh penduduk

Jakarta sendiri, yang tiap harinya makin bertambah, tidak saja dalam jumlah tetapi juga

dalam kesibukannya dan kegiatan – kegiatan lainnya.

Penduduk Jakarta dari abad – ke abad mulai sebagi pendatang dan kemudian

sebagai penghuni kota, berasal dari berbagai penjuru tanah air kita dan juga dari berbagai

sudut benua. Dengan caranya sendiri mereka membangun wilayah kotanya dibawah

pimpinan yang diakui masyarakat sejak jaman Tarumanegara, Sunda Kelapa, Batavia dan

Jakarta dewasa ini.

Sudah barang tentu selera dan gaya, bentuk dan rupa serta cara membangun kota

berbeda menurut jaman dan tujuan. Tetapi semuanya menunjukkan betapa penduduk

Kota ini, baik di masa lampau maupun di masa sekarang dan mendatang, bertujuan agar

kotanya dapat merupakan kota dimana ia bisa hidup dengan usaha – usahanya, cita –

citanya di dalam suasana ketentraman dan kegembiraan.

Adalah jasa para pendatang dan penghuni dimasa- masa yang lampau yang bisa

dan sempat menuliskan kesan – kesannya pengalaman - pengalamannya, usaha –

usahanya, dan tidak jarang meninggalkan bekas – bekasnya berupa gedung – gedung,

skets – skets lukisan, photo – photo, peta – peta dan sebagainya.

Karangan ini disusun berdasarkan karya – karya mereka itu terutama yang

disamping karya tulisnya menyertakan sketsa dan ikhtisar perkembangan kota dalam

bentuk peta – peta. Mula – mula kelihatan sebagai hasil minat kepada lingkungan alam

Page 2: Perkembangan Kota Jakarta

dan penghuninya, tetapi kemudian sebagai bagian kegiatan di dalam membuat rencana –

rencana perkembangan bagian kota maupun kota itu sendiri secara keseluruhan.

Sudah barang tentu tidak semua peta atau sketsa situasi yang pernah dibuat dan

diterbitkan terdapat di dalam buku kecil ini. Untuk itu dapat disusun sebuah buku yang

beratus halaman banyaknya dan akan merupakan buku yang lain maksud serta tujuannya

dengan penyusunan buku kecil sekarang ini.

Adapun maksud dan tujuan buku ini ialah:

Pertama, untuk memberi gambaran secara garis besar perkembangan

horizontal kota Jakarta dari sejarah sampai sekarang ini.

Kedua, dalam kerangka perkembangan itu dan dengan bantuan peta – peta

sejarah memberikan pengetahuan kepada pembaca untuk mendapat memploting tempat –

tempat, gedung – gedung, jalan – jalan, terusan – terusan, dan peninggalan lain dari

jaman kuno yang tersebar di Jakarta dewasa ini.

Ketiga untuk membuka kemungkinan bagi peminat – peminat sejarah,

pembaca – pembaca yang teliti dan pengamat – pengamat perubahan memahami latar

belakang sejarah perubahan – perubahan dan kontinuitas yang telah dan akan terjadi.

Di tengah – tengah perubahan dan pembangunan, bekas – bekas jaman kuno

masih tetap dapat kita lihat. Menghapuskan peninggalan sejarah ternyata tidak semudah

seperti membongkar sebuah gedung. Bahkan akhir – akhir ini justru karena adanya

perombakan - perombakan itu nampak adanya kegiatan – kegiatan kesejarahan. Orang

mulai mencari jejak sejarah kota ini dan ada pula yang ingin merekonstruksi keadaan

salah satu bagian kota seperti pada jaman lampau. Bolehlah dikatakan timbulnya rasa

hayati kesejarahan pada warga kota maupun pada pejabat – pejabat pemerintahan.

Untuk mencapai maksud dan tujuan buku kecil ini, maka pada akhir bab

diberikan kepustakaan yang dipakai, sekedar sebagai petunjuk bagi peminat dan pembaca

yang serius untuk pada waktunya ikut juga menggali jejak sejarah yang telah terjadi di

Ibukota kita.

Kepustakaan yang lengkap sedang disusun dan akan terbit pada kesempatan

yang lain.”

TERJADINYA DATARAN RENDAH JAKARTA

DAN SEKITARNYA.

Dataran rendah tempat bertumpunya kota Jakarta sekarang ini menurut taksiran

telah berusia 5000 tahun. Taksiran itu berdasarkan hasil penelitian geomortologis atau

lapisan bumi.

Berdasarkan penelitian dataran rendah ini, maka ternyatalah bahwa bentuk

permukaan bumi seperti keadaannya sekarang ini dipengaruhi olek tektonik, vulkanisme,

perbedaan iklim dan gerakan – gerakan perubahan pada permukaan air laut. Perhatikan

peta ikhtisar untuk meninjau tanah datar sepanjang pantai dan daerah belakangnya

(Peta1).

Titik – titik pada peta itu menunjukkan puing yang mengendap, yang berasal dari

gunung – gunung api Pangrango, Gedeh dan Salak, endapan puing itu laksana kipas yang

mengarah ke Utara dan membentuk penyaluran - penyaluran air yang berarah memencar.

Sungai Cisadane mengalir ke Barat, sedangkan sungai Bekasi mengalir kea rah Timur.

Page 3: Perkembangan Kota Jakarta

Sungai – sungai itu membawa lumpur yang berangsur – angsur dibawa air sampai

ke muka “endapan puing berkipas” itu lambat – laun terbentuklah Teluk Jakarta, di mana

kemudian muncul pulau – pulau karang.

Berdasarkan penelitian melalui pemotretan udara, maka dapat terlihatperubahan –

perubahan arah arus sungai – sungai yang sering berpindah tempat. Demikian juga

dengan beting – beting pantai. Perhatikan sungai – sungai Cisadane, Angke, Ciliwung,

Bekasi dan Citarum yang ada pada dataran rendah itu. Muara – muara sungai itu

kelihatan banyak yang membelok kesebelah Barat, sedangkan beting –beting pantai

terutama terjadi disebelah Timur muara – muara.

Hal itu disebabkan oleh arus laut yang terus menerus mengalir ke arah timur

selama musim hujan. Pada musim tersebut sungai – sungai mengangkut 80 sampai 90%

dari jumlah banyaknya lumpur selama setahun. Selama angin musim Timur, maka arus

laut mengalir ke arah Barat dan selama itu sungai – sungai membawa sedikit lumpur ke

laut.

Sebagai orientasi perhatikan letak kota Tangerang, Bekasi dan Karawang yang

berdekatan dengan pinggiran endapan puing berkipas itu. Batas endapan itu pula melintas

Jakarta pada bagian Selatannya.

Sehubungan dengan terjadinya dataran rendah Jakarta serta adanya sungai - sungai

itu menyebabkan daerah ini peka untuk bahaya banjir di musim hujan hingga dewasa ini.

TARUMA NEGARA KERAJAAN PERTAMA

DI ATAS ENDAPAN PUING BERKIPAS

Keterangan pada peta

Peta ini merupakan lokasi data – data peradaban Indonesia kuno yang diketahui

oleh ilmu prehistori dan arkeologi. Rekontruksi yang dibuat sudah barang tentu masih

kurang tepat mengingat kurangnya peninggalan dan pengetahuan yang harus dibina oleh

penyelidik – penyelidik yang akan datang.

Ikhtisar peta ini sekedar dibuat untuk orientasi pembaca mengenai letak dan

luasnya Tarumanegara sesuai dengan penemuan – penemuan prehistoris, prasasti atau

batu – batu bertulis. Adalah jasa Dr. J. Ph. Vogel dengan publikasinya pada tahun 1925

tentang prasasti - prasasti Tarumanegara yang membuka tabir sejarah yang masih gelap

tentang negara itu.

Penelitian Vogel diteruskan antara lain Prof. Poerbatjaraka yang membaca

kembali prasasti – prasasti Ciaruteun dan Tugu, kemudian ditebitkan dalam bukunya

(Poebatjaraka, 1952) Bandingkan Peta ini dengan Peta 1 dan 3.

Masyarakat pertama yang teratur dan bertempat tinggal tetap diwilayah Jakarta

sekarang ini mungkin sekali ialah penduduk Kerajaan Tarumanegara. Dalam kerajaan ini

disebut pada sebuah batu tulis yang disebut ialah Purnawarman.

Nama Purnawarman juga disebut di dalam batu – tulis yang diketemukan di Tugu,

dekat Tanjung Priuk. Apabila batu –tulis Ciaruteun berisi berita memuliakan tapak kaki

raja sebagai kaki Dewa Wisnu, maka batu tulis Tugu memuat berita tentang penggalian

sebuah “kali yang permai dan berair jernih”. Pekerjaan penggalian itu diadakan dalam

waktu 21 hari dan dilakukan oleh para Brahmana, yang dalam peristiwa itu di beri hadiah

dengan 1000 ekor sapi.

Page 4: Perkembangan Kota Jakarta

Pekerjaan itu diadakan pada tahun ke – 22 fakta. Raja Purnawarman. Jadi raja

dan penduduknya telah lebih lama menetap di daerah itu. Penggalian sungai itu tentu

bermaksud untuk mengairi sawah – sawah dan juga menahan banjir, sebuah usaha yang

ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan umum.

Peristiwa ini merupakan bukti peradaban yang agak tinggi yang terdapat didaerah

itu. Bukti lain ialah tulisan yang dipergunakan dalam kedua batu – tulis itu. Menilik

bentuk hurufnya yang “bagus dan elok sekali” serta bahasa Sansekertanya yang “tulen”

(menurut Prof Poerbatjaraka), maka dapat ditentukan bahwa Sang Raja mempunyai

pegawai bangsa Hindu yang cakap.

Dari bentuk huruf dan bahasa yang terdapat dalam batu – tulis tersebut, dapatlah

ditentukan, bahwa masyarakat Tarumanegara telah ada pada abad ke – 5 Masehi atau kira

– kira 4000 tahun setelah terjadinya dataran endapan puing berkipas itu.

Hal itu cocok benar dengan berita musafir Cina, Fa Hsien, seorang yang

beragama Budha dan telah melakukan perjalanan ke India mengunjungi tempat tempat

suci disitu Dalam perjalanan pulang ke negeri Cina, yaitu pada tahun 414 Masehi dari

Sailan, kapalnya diserang oleh angin taufan lalu terdampar ke tanah (Jawa Barat).

Dikatakan negeri yang didatangi itu banyak kaum brahmana yang melakukan agama

yang kurang baik. (Fa Hsein seorang penganut Buddha).

Dalam berita Cina lainnya, maka disebut negara To-lo-mo, yang dalam tahun

528,525,666,dan 669 menyuruh utusan ke negeri Cina, To – lo – mo disamakan dengan

ucapan bahasa Cina untuk Tarumanegara”

Melihat keadaan daerahnya pada waktu ini, maka letak kerajaan Tarumanegara

dibatasi oleh sungai Citarum disebelah Timur Sungai Cisadane di sebelah Barat, di

sebelah Selatan daerahnya sampai sungai Ciaruteun.

Di daerah itulah mengalir sungai – sungai lainnya yang penting seperti sungai

Ciliwung dan Bekasi. Nama Bekasi berasal dari nama tempat di jaman kuno, sebagai

peninggalan jaman kerajaan Purnawarman. Sekarang ini menjadi nama Ibukota

Kabupaten Bekasi 30 km sebelah Timur Jakarta, Kota – kota yang hidup didaerah bekas

Tarumanegara itu sekarang ini ialah Jakarta, Bogor dan Karawang (periksa peta 2).

Berita – berita tentang adanya masyarakat yang menetap di daerah Jakarta

sekarang ini sayang sekali tidak banyak jumlahnya. Baru pada awal abad ke- 16 terdapat

lagi berita – berita mengenai bekas daerah Purnawarman itu. Di daerah itu muncul

pelabuhan yang dikenal sebagai Sunda Kelapa yang merupakan salah satu pelabuhan di

antara Banten, Pontang, Tanggerang dan Cimanuk.

Pelabuhan – pelabuhan itu berada dalam pengawasan kerajaan Hindu di

pedalaman yang Ibukotanya bernama Pajajaran”.

Catatan:

1. Periksa batu tulis yang berisikan berita tentang Tarumanegara dalam buku

Porbatjaraka (1962); 12 – 13.

2. Sumber – sumber Cina tentang sejarah Asia Tenggara sangat banyak jumlahnya

dan dianggap teliti penguraiannya. Periksa yang berhubungan dengan Indonesia

dan Malaya karangan W.P Groeneveld, (1960). Karangan Groeneveld ini untuk

pertama kali terbit pada tahun 1880 sebagai Verhendilingen van het Bataviaacsh

Genootschap van Kursten en Wetenschappen, jilid XXXIX.

Bandingkan dengan karangan Tjan Tjoe Som.

Page 5: Perkembangan Kota Jakarta

Jl. Moens 315 – 329.

Poebatjaraka, (1952); 15

Tentang Pajajaran, periksa karangan H.ten Dam (1957); 190 – 310.

KOTA PELABUHAN SUNDA KELAPA

Keterangan Peta3.

Sunda Kelapa merupakan pelabuhan di pantai utara, pada muara sungai

Ciliwung.

Sama halnya dengan Tarumanegara, mengenai Sunda Kelapa ini sangat sedikit

terdapat sumber – sumber asli, Tetapi sumber – sumber Portugis banyak memberitahukan

tentang keadaan Sunda Kelapa, sehingga pengetahuan kita tentang kota pelabuhan itu

agak lengkap.

Bahasa Portugis merupakan bahasa yang perlu dikuasai peneliti sejarah Indonesia

periode abad 16 dan 17.

Kedudukan Sunda Kelapa sebagai kota pelabuhan kerajaan yang berpusat di

Pajajaran dapat difahamkan pentingnya, bila kita perhatikan peta ikhtisar “kerajaan’

Pajajaran”. Sunda Kelapa langsung berhubungan dengan Pajajaran melalui sungai

Ciliwung (periksa Peta 3).

Daerah Pajajaran yang menurut sumber – sumber Portugis disebut sebagai

daerah “Qumda” itu terbentang antara ujung jawa Barat di pantai Barat sampai sungai

Cimanuk di sebelah Timur. Di dalam daerah itu terdapat suatu jaringan jalan darat, yang

merupakan urat nadi perdagangan kerajaan tersebut.

Jaringan jalan itu berpusat di Pajajaran. Menuju ke arah Timur, jalan itu melalui

Cileungsi dan Cibarusa membelok ke Utara dan berakhir di Krawang, di tepi sungai

Citarum. Dari Karawang menuju ke arah Selatan, dan melalui Purwakarta terus menuju

ke Karangsambung di sungai Cimanuk.

Menuju kearah Barat, jalan itu melalui Ciampea dan Jasinga menuju ke

Rangkasbitung, Serang sampai ke Banten Girang.

Di samping jalan darat terdapat juga jalan sungai, yang terutama

menghubungkan pelabuhan terpenting. Sunda Kelapa melalui Ciliwung.Sungai – sungai

lainnya seperti Cimanuk, Citarum. Sungai Bekasi dan Cisadane merupakan jalan – jalan

penting pula.

Menurut catatan Tome Pires, seorang musafir Portugis yang tinggal di Malaka,

Sunda Kelapa menghasilkan 1000 bahar lada. Selain itu dapat memuat beras “sepuluh

Jung setiap tahunnya” Pires juga mencatat, bahwa dari pelabuhan itu dihasilkan banyak

“tamarinde” atau asem. Emas, sayuran, sapi, babi. Kambing, lembu, pelbagai buah –

buahan serta semacam anggur diekspor dari Sunda Kelapa menuju Malaka

Mengenai jumlah pendudukannya seorang Portugis lainnya Barros, menyebutkan

bahwa diseluruh kerajaan terdapat 100.000. Orang penduduk. Di Pajajaran sendiri

terdapat 50.000 penduduk, dan setiap pelabuhan terdapat 10.000 penduduk.

Bila kita terima prasasti atau batu – tulis, yang kini masih terdapat di desa Batu

Tulis Kota Bogor sebagai bukti tertua kerajaan itu, Maka kerajaan yang berpusat di

pajajaran itu mulai ada pada tahun 1133 sesuai dengan angka tahun yang terdapat pada

prasasti Batu Tulis itu. Berita – berita portugis itu berasal dari awal abad ke – 16,

sehingga dapat diperkirakan kerajaan itu telah ada kurang lebih empat abad.

Page 6: Perkembangan Kota Jakarta

Di Kota pelabuhan Sunda Kelapa terdapat pejabat yang berpengaruh, yang disebut

oleh orang Portugis Tumenggung Sangadipati. Kekuasaannya besar dan disegani

penduduk setempat, demikian Torne Peris, Para pembesar Kota itu adalah pemburu –

pemburu yang ulung. Sebagian dari waktu mereka dipergunakan untuk bersenang –

senang. Mereka memiliki kuda- kuda yang terpelihara dengan baik.

Di samping Tumenggung itu terdapat pejabat syahbandar dari “Fabyam”

(Pabean). Yang mengatur cukai masuk dan keluar barang – barang perdagangan serta

mengadakan perhubungan dengan dunia luar

Dari luar berdatangan pedagang – pedagang dari Sumatera Palembang, Lawe,

Tanjungpura, Malaka, Makasar, Madura dan dari pelabuhan – pelabuhan lain dipantai

Utara pulau Jawa. Juga terdapat kapal – kapal lainnya dari daratan Asia.

Setelah Malaka direbut Portugis pada tahun 1511, maka pada tahun 1522

gubernur d’Albuquerque, yang berkedudukan di Malaka, mengutus Henrique Lerne

untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan Pajajaran guna mendapatkan izin

mendirikan benteng di Sunda Kelapa.

Maksud Portugis itu mendapatkan sambutan baik Pajajaran karena kecuali

alasan perdagangan, juga Raja Pejajaran mengharapkan bantuan Portugis untuk melawan

orang – orang Muslim, yang makin banyak jumlahnya di Banten dan Cirebon. Sedangkan

kerajaan Demak telah menjadi pusat kekuatan politik Islam.

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu “Perjanjian di mana orang – orang

Portugis akan membuat benteng di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan

menerima barang – barang yang diperlukan. Raja Pajajaran akan memberikan kepada

Portugis 1000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Suatu batu peringatan atau

padro (baca Padrong) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Ketika pada tahun 1918

orang mulai mendirikan sebuah gudang di sudut Prinsen Straat dan Groene Straat di

Jakarta Kota, maka padro itu ketemukan dan kini disimpan di Museum Pusat. Jalan –

jalan itu sekarang bernama Jalan Cengkeh dan Jalan Nelayan Timur.

Sebelum orang – orang Portugis sempat mendirikan benteng maka pada tahun

1527, Sunda Kelapa direbut orang – orang Muslim di bawah pimpinan Fatahillah,

menantu Sultan Demak Pangeran Trenggana. Angkatan Laut portugis dihancurkan di

Teluk Jakarta. Sejak itu Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta Menurut

perhitungan dan perkiraan Prof. Sukanto itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, yang kini

dirayakan setiap tahun sebagai hari jadi Kota Jakarta. Menurut penelitian Prof. Husein

Djajadiningrat,” maka sebagai seorang pimpinan Muslim Fatahillah tentu teringat kepada

Surah Al- Fath ayat 1 yang berbunyi Inna fatahna laka fatham mubinan. Artinya

“Sesungguhnya kami telah memberi kemenangan yang tegas atas Jayakarta. Di samping

itu sering dipakai kata Surakarta, yang berarti karya yang berani dan sakti. Tetapi nama

Jayakarta lebih terpakai, bahkan peta – peta dunia sejak tahun 1527 selalu memakai nama

Jacatra, yaitu ditempat yang sebelum itu bernama Sunda Kelapa.

Catatan:

1). H.ten. Dam (1951).

2) Sukanto (1954) ; (1956).

3) Djajadiningrat, Hoesein (1913); (1956)

JAYAKARTA 1618

Page 7: Perkembangan Kota Jakarta

Keterangan peta 4.

Seperti telah diterangkan di dalam teks buku ini, peta ini merupakan

rekonstruksi perkiraan keadaan pada tahun 1618 (IJZERMAN 1917)

Di dalam garis – garis putus pada tepi kanan sungai (A) kelak akan terletak bagian

kota Batavia lama; di tepi kiri (B) letak loji Inggris.

Perhatikan pula letak pertahanan Inggris itu, yang pada saat – saat perselisihan

akan menghalang – halangi jalan ke keluar Jayakarta.

Demikian juga lokasi Paep Jan’s batterij dan perkampungan Cina di bawah

pimpinan “watting”.

Adalah jasa Dr. J.W. Ijzerman yang pada tahun 1917 membuat rekonstruksi peta

Jayakarta di dalam karangannya tentang penyerbuan benteng Jacarta “Peta itu dibuat

berdasarkan bahan – bahan keterangan yang terdapat dalam sumber – sumber Portugis

dan VOC (Vereenigde Oost Indesche Compagnie = Persatuan Kompeni Hindia Timur).

(Peta 4).

Kota Jayakarta terbentang diantara dua anak sungai di sebelah Utara dan Selatan,

sebuah anak sungai disebelah Barat dan sungai Ciliwung di sebelah Timur. Tatkla itu

kota dilingkungi oleh pagar bambu dan kemudian sebagian dibuat dari tembok berhubung

adanya ancaman dari pihak Inggris dan Belanda.

Dalam peta itu tampak juga tata – kota “keraton” Jakarta, dimana dalem atau

tempat kediaman Pangeran Jayakarta, alun – alun dan mesjid merupakan pusat kota. Di

sebelah Timur terdapat wilayah Kyai Arya, patih Jayakarta. Di sebelah Utara tercantum

Watting’s Huis atau rumah seorang Cina (Hoat Teng?).

Di sekitar alun – alun terdapat perumahan orang –orang terkemuka. Semua rumah

– rumah itu mungkin sekali terbuat dari bambu dan atap rumbia. Pembagian Kota

menurut rekonstruksi itu sesuai benar dengan Kota- Kota pelabuhan dan kabupaten di

Jawa. Di sebelah Timur wilayah Kyai Arya terdapat tempat perburuan bagi para

bangsawan di Jayakarta, di mana pada waktu itu terdapat binatang – binatang buas seperti

badak, banteng, macan dan babi hutan.

Tempat yang penting yang terdapat pada peta itu ialah di mana terdapat Paep

Jan’s Batterij. Paep Jan ialah ucapan orang Belanda bagi kata pabean. Di tempat itulah

letak Kantor Syahbandar yang mengatur keluar masuknya perahu – perahu dari dank e

Ciliwung. Di muara sungai itu dibentangkan sebuah batang pohon sebagai penghalang.

Tempat itu dapat diploting di Pasar Ikan dewasa ini, Ingatlah pembaca kepada Kampung

Luar Batang di sebelah Barat Pasar ikan?

Sungguhpun J.P. Coen menyebut Pangeran Jayakarta dengan “Koning van

Jacarta” tetapi kedudukan kota itu tidak semegah Sunda Kelapa dahulu. Tatkala itu

pelabuhan Bantenlah yang lebih ramai dan penting. Meskipun demikian orang – orang

Belanda merasa untuk lebih baik mengadakan hubungan dagang dengan Pangeran

Jayakarta. Sejak kedatangan mereka untuk pertama kalinya pada tahun 1596 barulah pada

tahun 1617 orang – orang Belanda diperbolehkan berdagang di Jayakarta. Mereka

mendapat sebidang tanah diperkampungan orang – orang Cina yang terletak disebelah

Timur Sungai. Sejak itu dimulailah pembangunan gudang – gudang yang disebut Nassau

dan Mauritius. Luas Nassau 50 x 18 langkah atau kurang lebih 40 m x 14,4 m atau sama

Page 8: Perkembangan Kota Jakarta

dengan 556 m2 luasnya. Bangunan itu, yang kemudian diperkuat pinggirannya disebut

Het Front van Jacarta (benteng Jacatra).

Pada tahun 1618 orang – orang Belanda mendapat gangguan dari orang – orang

Jayakarta, banten dan Inggris. Mereka tidak menghendaki didirikannya benteng Belanda.

Pada tahun 1619 pecahlah pertempuran dengan orang – orang Inggris, sehingga memaksa

Coen untuk mencari bantuan dari pos Belanda di Maluku.

Kedatangan kembali disusul dengan penyerbuan, perebutan dan penghancuran

Kota Jayakarta. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 30 Mei 1619. Dari saat itulah dimulai

pembinaan kota Batavia, yang akan menjadi pusat kekuasaan Belanda. Kota itu dibangun

dengan semangat perjuangan semboyan J.P Coen “ende despereet nief” pantang mundur

jangan putus asa.

Pangeran Jayakarta dengan penduduknya menguasai daerah keliling Batavia dan

melakukan perlawanan – perlawanan. Letak makam Pangeran Jayakarta di Pulo Gadung

dan Pangeran Wijayakusuma (sesepuh Pangeran Jayakarta) di Kampung Gusti di daerah

Angke menunjukkan tempat dan Medan perjuangan mereka tatkala itu.

Catatan:

1). J.W Ijzerman (1917); 558 – 679

F. De Haan (1935); 17 – 27.

BATAVIA 1619 DAN 1627.

Sesudah meninjau sekilas keadaan peta Jayakarta pada tahun 1618 marilah kita

sekarang memperhatikan peta tahun 1619 dan 1627 ini berarti memperbandingkan

keadaan kota dalam jangka waktu delapan tahun” (peta 5 dan Peta 6).

Dalam masa itu benteng jacatra semakin mekar, sehingga luasnya tiga kali lipat

luas semula. Namanyapun diganti menjadi Kasteel Batavia. Namun demikian bentuk

Kasteel baru itu tidaklah banyak bedanya dengan benteng kuno, yaitu persegi empat

dengan bastion – bastion yang menonjol. Masing – masing disebut Parel, Diamant,

Saphir dan Robijn. Itulah sebabnya kita mengenal penamaan “Kota Inten” bagi kota

Batavia Kuno.

Tembok di antara bastion itu disebut Courtine atau gordjin, di tengah – tengah

gordjin. Selatan dibuat pintu landpoort (pintu gerbang darat) dan disebelah Utara

waterpoort (Pintu Gerbang Laut) Di.sebelah Kasteel kemudian dibuat grachten atau parit

– parit sesuai dengan suasana kota Belanda, terutama sesuai dengan keadaan kota

Amsterdam.

Di sebelah Barat, parit itu bermuara di kali Besar (Nama lain bagi Ci (ha)

liwung. Di sebelah Utara pintu gerbang laut dan di sebelah Selatan pintu – gerbang darat

dibuat jembatan.

Keterangan Peta 6.

1. Kasteel

2. Diamant

3. Robijn

4. parel

5. Saphier

Page 9: Perkembangan Kota Jakarta

6. Ambtswoning gouverneur – general]

7. Kasteelgracht

8. fort Jacarta

9. Kasteel Plein

10. Herestreat.

11. Prinsenstreat

12. Tijgersgracht

13. Oudermarktgracht

14. Oudekerkgrach

15. DerdeDwarsgracht

16. VierdeDwarsgracht

17. Nieuwe Markt

18. Stadhuis

19. Kerk

20. Tayolingract

21. Koestraat

22. kalverstraat

23. Compagnieshospitaal

24. Gelderland

25. Hollandia

26. Landpoort

27. Resten Jayakarta

28. Koningsstraat

29. Gravenstraat

30. Engelse Loge

31. Zeelandia

32. Voormalig engelse kerkhoft

33. kalkovens

34. Schuitenhuis

35. Tolhuis

36. Boom

37. Timmerwerf vrijburgers

38. Ciliwung

39. School

40. Vrouwenholfje

41. Huis kapiten – Chinees.

Keadaan demikian dapat kita ikuti di dalam peta dari tahun 1627.

Nyata terlihat di situ, bahwa untuk penduduk Belanda direncanakan

pembangunan kota di sebelah Selatan Kasteel. Menurut rencana itu akan digalilah sebuah

parit ke selatan menuju Ciliwung. Dengan demikian kota itu akan dibatasi dengan

Kasteel di sebelah Utara, di sebelah Timur oleh tembok pertahanan dan di sebelah

Selatan dan Barat oleh sungai. Tembok sebelah Timur diperkuat dengan bastion dan

gardu “Holland” di ujung Selatannya, sedangkan pintu gerbang dan jembatan – jembatan

dibuat untuk menghubungkan kota dengan daerah luarnya.

Page 10: Perkembangan Kota Jakarta

Kota yang dibangun itu dipikirkan dan dilaksankan sesuai dengan kebiasaan

Belanda dengan jalan – jalan lurus dan parit-parit. De Tijgershgracht membujur panjang

dari Utara ke Selatan dan dipotong berturut – turut (arah Selatan) oleh parit – parit yang

menghubungkan Tigersrcht (sekarang bernama Jalan Pos di Jakarta Kota) dengan kali

Besar.

Apabila pada waktu itu orang meninggalkan Kasteel melalui Lanpoort, maka

setelah menyeberangi jembatan sampailan orang pada lapangan depan Kasteel. Dengan

menyeberangi lapangan itu sampailah orang pada prinsenstraat yang menuju ke Selatan

dan sampai lapangan Stadhuis (Balai Kota). Dewasa ini gedung bekas Balai kota itu

dipakai sebagai Markas Komando Distrik Militer 0503 (sekarang Museum Sejarah

Jakarta).

Keadaan pada timgkatan perkembangan pertama yang demikian itu dapat kita

lihat sebuah lukisan cat minyak, yang melukiskan kota itu pada tahun 1627. (Bila masih

ada sebuah copy lukisan itu semestinya ada pada Museum Pusat)

Dalam peta tahun 1927 dapat pula terlihat disudut sebelah Barat laut proyeksi

sebuah parit yang sebagian telah digali. Parit tersebut dimaksudkan sebagai awal

perluasan kota ke sebelah Barat, jadi di sebelah kiri Kali Besar.

Catatan:

1. Periksa F.DE Haan (1935); 36 – 40.

2. H.A Breuning (1954) : 22- 30

Keterangan Peta 8:

Dalam peta ini nampak bahwa Batavia lama mulai melebar ke sebelah Barat Ciliwung, di

mana tadinya masih merupakan rawa- rawa. Kita lihat pada bagian Barat Kota:

1Bureun; 2. Vierkant; 3. Ciliwung; 4.Zeeburg; 5.Groningen; 6. Overrijsset; 7.Friesland;

8.Oud Utrecht; 9.Zeelandia;10.Nassau; 11.Diest (poort); 12.Timmerwerf van de

Compagnie; 13 Chinese timmerwerf, akenwerf; 14Vismark; 15 kasteel; 16 waterpoort; 17

Amsterdam; 18 Middleburg; 19.Rotterdam; 20.Enkhuizen;21.Gelderland;22.Oranje; 23

Nieupoort;24Hollandia;25 Grimbergen; 26Brugstreet; 27Kruiskerk; 28. Stadhuis; 29.

Gerchtsplaats; 30.Amsterdam Gracht; 31.GroeneGarcht; 32. Leeuwinnegracht;

33.Tijgersgratch; 34Kaymansgracth; 35 Mallabarse Gracht; 36. Prinsestraat;

37.Heerestraat; 38.Bandaneese kwartier; 39 Malabaars kwartier; 40. koestraat;

41.kalverstraat, 42.Oud gelderland.

Untuk jelasnya kita sandingkan dengan peta dari tahun 1635. Perubahan –

perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut;

1.Kali Besar tidak lagi berliku – liku, tetapi digambarkan sebagai parit yang terurus dan

lurus menerobos kota.

2. Kota lama di sebelah Timur makin melebar, tetapi nampaknya pendek.

Tembok hasil perencanaan Coen yang semula miring letaknya menuju ke

Selatan dari Kasteel, kini dimulai dari sebelah Timur Kasteel. Dengan dihubungkan oleh

bagian yang agak miring tembok ini melurus ke Selatan.

Page 11: Perkembangan Kota Jakarta

Bagian kota sebelah Timur, dengan demikian berbentuklah segi empat yang

beraturan. Melalui sisi – sisi Timur dan Selatan dari segi empat itu dapat kita lihat

tembok kota yang diperlengkapi dengan bastion – bastion. Sekeliling tembok itu mengalir

de stadsbuitengracht (parit di luar kota) yang berhubungan di sebelah Utara dengan

Kasteelgracht dan disebelah Barat laut dengan Kali Besar. Di dalam lingkungan tembok

itu mengalirlah de stadsbinnenggracht (parit dalam Kota).

3. Di sisi sebelah Barat Kota di mana ada terusan Kali Besar terdapat proyeksi

bagian kota sebelah Barat dalam bentuk segi empat yang lebih kecil. Bagian ini juga

dilingkupi sebuah parit tembok yang diperkuat Di dalam bagian ini belum ada gedung-

gedung, tetapi hanya kebun – kebun. Bagian ini kemudian diselesaikan oleh Gubernur

Jenderal Antonie van Diemen (1636 – 1645).

Catatan:

1. F. De Haan (1935); 72 - 78

H.A Breuning. (1954): 32 – 34; 36 – 37.

BATAVIA 1632 DAN 1635

Keterangan Peta7:

Peta dasar sebagai hasil reproduksi dari muka sebuah medali emas yang kini

masih tersimpan di Teylersmuseum di Haarlem, Nederland

Di balik muka ini terukir peta dasar dari periode peralihan antara penyerbuan –

penyerbuan Sultan Agung Mataram pada tahun 1629 dan 1629.

Perlu disadari bahwa bagian Selatan terletak pada bagian atas uliran ini Peta –

peta pada jaman dulu selaludigambar dari arah datangnya orang – orang asing, yaitu dari

laut. Dengan demikian bagian Utara berada di bagian bawah.

Perjuangan untuk merebut kembali Jayakarta – Batavia dilaksanakan oleh Sultan

Agung Mataram. Pada tahun 1627 dan 1629 Kota Batavia dikurung oleh tentara

Mataram. Usaha Mataram itu gagal, Sehingga tidak mempengaruhi pemekaran kota.

Setelah J.P.Coen meninggal pada tahun 1629, maka ia diganti oleh Jacques

Specx, yang di masa pemerintahanya telah menyelesaikan perluasan kota selanjutnya”.

Menjelang masa akhir jabatannya, masyarakat Cina di Batavia memberi hadiah

berupa sebuah medali emas. Pada sisi yang satu terlukis sebuah peta dasar kota yang

sangat jelas nampaknya. Mungkin sekali peta dasar itu mendahului rencana Jacques

Specx yang belum selesai tetapi secara keseluruhan peta – dasar itu memberi gambaran

kota dengan sangat baik. (Peta 7 dan Peta 8).

Pada sisi sebaiknya, kecuali terdapat kisah dalam huruf – huruf Cina yang tidak

dapat dibaca (ini menunjukkan, bahwa pembuat medali itu bukan orang – orang Cina itu

sendiri) terukir kalimat – kalimat berbahasa Latin yang berbunyi “In perpetuam

grattitudinis memoriam hoc munusculum nosives Chinensis Bataviae L (ubenter) M

(erito) q (ue abtulimus insigni heroi jacobo Spexio Indiarum orientalium Generali

Patrono nostro observando Anno 1632 Adji 25 November Batavia”.

Makna iskripsi itu di dalam Bahasa Indonesia kurang lebih adalah sebagai berikut

“Sebagai tanda terima kasih dan peringatan selalu. Kami warga Cina Batavia membuat

Page 12: Perkembangan Kota Jakarta

medali untuk J. Specx, Gubernur Jenderal di Hindia Timur, tokoh terkemuka dan

pelindung kami”.

BATAVIA 1650

Bagaimana perkembangan kota melalui pola tersebut dapat kita ikuti dalam peta ,

No.9 yang dibuat oleh Clemendt de longhe di Amsterdam pada tahun 1650 Sungguhpun

diragukan akan kebenaran peta ini dalam berbagai hal, namun bagi ikhtisar umum

perkembangan kota cukuplah kiranya peta ini.

Dengan jelas dapat dibedakan pembagian kota menjadi empat bagian, yaitu

Kasteel, kota bagian Timur, kota bagian Barat dan akhirnya bagian depan kota

(voorstad), yang terletak di sebelah Selatan kota bagian Timur. De voorstad ini terletak di

luar tembok kota dan parit.

Dengan sekali lagi dapat kita lihat bagaimana orang – orang Belanda di sini

menyelesaikan cita – cita mereka untuk membangun kota persis seperti Kota Belanda di

tanah tropis dengan banyak sekali parit – parit yang saling memotong dan membentuk

segi empat, dengan jembatan – jembatan yang teratur letaknya.

Sebagaimana perbandingan dapatlah kita lihat peta dari tahun 1672, jadi 20 tahun

setelah peta de longhe, dimana gambaran keadaan kelihatan makin kompleks.

Satu peristiwa yang penting menjelang dibuatnya peta Clemendt de longhe ialah

penggalian terusan yang kemudian bernama Molenvield (molen = kincir, vliet=aliran).

Kapten cina waktu itu, Phoa Bingam, meminta izin untuk menggali sebuah terusan

dipecah ke arah Timur dan Barat.Yang keTimur akan sampai di Kali Ciliwung dan yang

ke Barat sampai di Kali Krukut. Tempat di dekat akan hutan itu sekarang ini ialah

lapangan yang terletak antara Jaga Monyet dan Harmoni.

Molenvliet itu digali mulai ujung Selatan De voortaad tetapi setelah sampai

ditempat “di dekat hutan” diteruskan kearah Tenggara, melalui samping Timur

Rijswijkstraat (Jalan Majapahit) Jalan Tanah Abang dan terus sampai sungai krukut.

Perpanjangan ke arah Timur dan Barat tidak jadi digalinya. Baru kemudianlah terusan ke

arah Timur dilanjutnya penggaliannya.

Terusan yang digali Bingam itu memperlancar kearah Selatan, bahkan hingga

dewasa ini jalan – jalan di kanan kiri terusan itu merupakan urat nadi yang

menghubungkan Lapangan Banteng, Medan Merdeka, Tanah Abang dengan Jakarta

Kota.

Bandingkanlah kisah singkat usaha Bingam itu dengan memperhatikan peta

Batavia dan sekitarnya pada tahun 1740. Jelas kelihatan fungsi Molenvliet tatkala itu

yang menghubungkan kota Batavia kuno dengan daerah belakangnya.

Catatan:

1. F De Haan (1935): 72 – 74; 753 – 755.

H.A. Breuning, (1954) : 34 – 35.

2. F.DE Haan, (1935) : 105 – 107.

Di dalam sebuah buku yang terbit pada tahun 1799 di Amsterdam terdapat pula

situasi yang hampir sama. Tahun penunjukkan ialah tahun 1760 dan dengan keterangan

Page 13: Perkembangan Kota Jakarta

di dalam bahasa Perancis.Peta itu yang lebih sempurna pembuatannya. Didalam peta itu

benteng Jacarta lebih dekat letaknya dengan sungai Ciliwung.

Dalam paro kedua abad -17 dan paro pertama abad 18- kemakmuran, kemewahan

dan keamanan makin bertambah baik. Seperti halnya di lain – lain kota yang sedang

berkembang, tatkala itu terjadi kecenderungan pada penduduk untuk pindah ke daerah –

daerah luar kota. Gubernur Jenderal Pegawai – pegawai tinggi Komponen dan warga kota

yang berada merasa perlu untuk bermukim didaerah luar kota.

Mereka keluar dari bagian kota yang pengap itu dan membeli kebun – kebun.Di

situ mereka berweekend di rumah – rumah mereka yang baru didirikan. Mula – mula itu

berbentuk kecil, terbuat dari bamboo dan kayu dan lambat laun bentuknya bertambah

besar dan terbuat dari batu.

Kemudian mereka tinggal sebagai penghuni tetap dan dengan demikian timbul

gedung – gedung besar yang megah dan bagus menurut model Belanda. Gedung –

gedung itu terutama muncul sepanjang jacatraweg (sekarang jalan pangeran Jayakarta)

dan kiri kanan Molenvliet (sekarang Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Jacatra-weg

merentang dari ujung Tenggara Kota kearah Timur.

Pemberian nama itu tidak karena adanya kota lama jacatra, tetapi jarena adanya

sebuah benteng kecil, yang didirikan di ujung Timur jalan itu. Benteng tersebut bernama

Jacatra. Sekarang letaknya kira – kira pada tempat pemotongan hewan Pemerintah DKI

Tidak seberapa jauh dari jalan itu mengalir sungai Ciliwung berliku – liku. Di

antara liku jalan dan sungai itulah dibangun gedung – gedung bergaya Belanda.

Berbatasan dengan jalan dibuat pagar – pagar yang monumental dalam gaya

barok. Di belakang gedung terdapat kebun – kebun yang terpelihara indah yang

berbatasan dengan sungai, di mana dibuatkan tempat – tempat pemandian dan pangkalan

perahu.

Para penghuninya, mempunyai kebiasaan untuk saling mengunjungi dengan

orembaai, yaitu perahu – perahu kecil yang di dayung oleh budak – belian.

Dari gedung – gedung sepanjang Molenvliet masih terdapat beberapa sisanya,

tetapi yang terdapat di sepanjang jalan. Jacatra telah musnah semuanya. Demikian juga

gedung – gedung di tepi pantai sebelah Timur kota yang dahulu disebut Slingerland atau

daerah Ancol.

Perkembangan kota yang pesat dan perubahan – perubahannya dalam abad 18

dapat kita ikuti dengan jelas dalam “peta Van der Parra”. Peta itu dibuat atas perintah

Gubernur Jenderal Petrus Albertus Van der Parra (1761 – 1775). Reproduksinya dimuat

dalam buku standard tentang kota lama Batavia dari Dr.F. De Haan.

Bagi kita peta ini sangat berguna oleh karena keadaan yang tertera di atasnya

sebagian besar masih terdapat pada dasar – dasar kota dewasa ini. Siapa yang ingin

mempelajari Batavia lama dengan lebih mendalam seyogyanya membawa peta itu dan

peta dasar kota yang baru.

Pada akhir abad -18 sempurnalah proses perkembangan kota dan menjelang

peralihan abad itu terjadilah perpindahan besar – besaran kearah daerah yang lebih tinggi

dan sehat. Yaitu Weltevreden.

Catatan

1. F.De.Haan, (1935); 756-757

Page 14: Perkembangan Kota Jakarta

WELTEVREDEN ABAD 17 – 18

Wilayah ini mempunyai riwayat yang panjang. Semula menjadi milik seseorang

yang bernama Anthony Paviljoen yang pada tahun 1648 masih merupakan daerah hutan

rawa dan sebagian merupakan padang rumput. Kemudian wilayah itu disewakan kepada

orang Cina untuk ditanami tebu dan untuk kebun sayuran. Setelah itu dipakai juga untuk

bersawah.

Pada tahun 1697 tercatat pendirian sebuah rumah oleh pemiliknya yang baru,

Cornelis Chasthelein. Lain dari pada itu terdapat dua buah kincir penggilingan tebu.

Diduga nama Weltevreden itu diberikan oleh Chastelein, yang kemudian memperluas

tanah miliknya.

Pada tahun 1733 tanah itu dijual kepada Justinius Vinck yang harga 39. 000

ringgit. Di wilayah itu pada tahun 1735 diijinkan untuk membangun pasar – pasar, satu di

Tanah Abang dan satu di Weltevreden. Pasar – pasar itu dihubungkan oleh sebuah jalan

melalui Kampung Lima – Prapatan sampai Kramat – Pasar Senen. Jalan Gunung Sarie –

Pasar Senen – Kramat dahulu bernama de Grote Zuiderweg (Jalan Raya Selatan).

Sesuai dengan pemiliknya maka Pasar Senen juga dinamakan Vinck – Passer.

Sepeninggal J. Vinck, maka tanah itu menjadi milik Gubernur Jenderal Jacob Mossel

yang membelinya dengan 28.000 ringgit. Sebuah parit digali oleh pemilik baru itu, yang

menghubungkan Ciliwung dengan parit yang memanjang sejajar dengan de Grote

Zuiderweg itu. Namanya masih ada sekarang yaitu Kali Lio. (Lio adalah tempat

pembakaran genteng).

Dengan demikian terdapat sebuah “semenanjung buatan “ di sebelah Selatan Kali

Lio itu, di atas mana Jacob Mossel mendirikan sebuah gedung besar dan dikenal sebagai

het Landhuis Weltevreden Jalan lurus yang menuju gedung itu, di mana dahulu terdapat

pohon – pohon rindang teratur rapi di kanan – kiri, ialah yang sekarang dikenal sebagai

Gang Kenanga. Perhatikan peta dasar kebun dan rumah di Weltevreden dari 1780.

Sejak tahun 1767 Weltevreden menjadi milik Gubernur Jenderal Van der Parra.

Bata wilayah Weltevreden tatkala itu ialah :di sebelah Utara Post dan Schoolweg

(sekarang Jalan Pos dan Jalan Dr. Sutomo); di sebelah Timur de Grote Zuiderweg

(Sekarang Jalan Gunung Sarie – Pasar Senen – Kramat) ; disebelah Selatan dari Kramat

(jembatan) sampai jembatan Prapatan ; di sebelah Barat sampai Ciliwung.

Batas – batas itu menunjukkan bahwa Waterlooplein (Lapangan Banteng) dan

Hertogspark (Taman depan Departemen Luar Negeri sekarang) berada di dalam batas –

batas Weltevreden itu.

Pada tahun 1797 Weltevreden dan sebidang tanah sebelah Selatannya, daerah

Kwitang, dibeli oleh Van Overstraten dengan harga yang lebih tinggi lagi, yaitu 137.803

ringgit. Kenaikan harga tanah itu mungkin ada hubungannya dengan kenaikan hasil pajak

pasar, yang diadakan tiap hari Senen. Itulah sebabnya disebut Pasar Senen, yang aslinya

terletak di ujung Utara sebelah Timur simpang tiga Gang Kenanga – Jalan Senen

sekarang ini. Kompleks Proyek Senen sekarang terletak lebih Selatan, sebelah jembatan

Kramat dahulu.

Catatan:

F.De Haan, (1935); 311 319

H.A Breuning, (1954); 106 – 108.

Page 15: Perkembangan Kota Jakarta

BATAVIA ABAD 19

Hampir semua orang yang mempelajari sejarah mengenal nama Mr. Herman

Willem Daendels. IA diangkat sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1807 dengan

instruksi untuk mengorganisasi pertahanan pemerintahan colonial sesuai dengan

pandangan – pandangan baru.

Di samping itu ia juga mendapat tugas untuk memperbaiki keadaan kesehatan

dalam Kota Batavia. Bila hal itu tak dapat tercapai maka ia diwajibkan untuk membuat

usul – usul tentang kemungkinan – kemungkinan pemindahan ibukota “Koloni milik

Belanda di Asia” itu di mana saja di bagian pulau Jawa yang cocok untuk keperluan itu.

Berdasarkan instruksi itu Daendels membuat rencana besar untuk mengubah

Weltevreden menjadi obu kota baru, sungguhpun keadaan keuangan pada waktu itu

buruk.

Mula – mula ia membuat sebuah istana baru di dekat tempat parade (kemudian

bernama Waterlooplein, sekarang Lapangan Banteng). Bahan – bahan bangunannya

diambil dari bekas kasteel Batavia dari bangunan lain dari kota lama. Berhubung keadaan

perang istananya baru setengahnya selesai. Penggantinya Jansen sempat menutupi istana

itu dengan atap, 15 tahun kemudian.

Dengan uang yang berasal dari Weeskamer (Balai Harta Peninggalan) ia

membangun gedung Societiet de Harmonie (Dibongkar tahun 1983)

Tindakan Daendels yang akan mempengaruhi perkembangan tatakota di kemudian

hari ialah pembukaan lapangan latihan, yaitu di tempat yang kemudian berturut – turut

bernama Koningsplein (1818) tanah lapangan Gambir, dan sekarang ini Medan Merdeka.

Pusat pertahanannya dibangun di Mesteer Cornelis (Jatinegara) dimana disitu

dibangun sekolah artileri. Daerah Mesteer Cornelis sebenarnya berasal dari nama seorang

anak orang kaya terkemuka Telamon dari Lontor (salah satu pulau di kepulauan Banda),

bernama Cornelis Senen. Ia datang di Batavia pada tahun1621, dan sebagai guru dikenal

dengan nama Mesteer Cornelis. Pada tahun 1656 ia membeli “kebun” di tepi Ciliwung

dan daerah selanjutnya disebut Westeer Cornelis.

Penduduk Jakarta yang menetap di sini masih tetap akan menyebut Mester dari

pada Jatinegara, namanya sekarang.

Raffles dan pemerintahnya tak banyak mengubah wajah Batavia – weltevreden.

Kesulitan – kesulitan di bidang keuangan membuatnya tidak berdaya. Jasa yang besar

dari pada Raffles ialah kesukaannya terhadap ilmu pengetahuan dan minatnya yang besar

kebudayaannya. Bukunya yang terkenal ialah History of Java, yang merupakan sebuah

uraian ilmiah tentang sejarah budaya pulau tersebut.

Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kesenian

dan Pengetahuan Batavia), yang didirikan sejak tahun 1776 mendapat dorongan baru dari

Raffles. IA mendirikan museum dan perpustakaan di gedung yang telah dibangun

Daendels yaitu gedung Harmonie.

Dalam masa pemerintahan Inggris itu tumbuh satu perkumpulan sandiwara, yang

anggota – anggotanya terdiri dari opsir – opsir tentara Inggris. Mereka mengadakan

pertunjukan di dalam bangunan yang terbuat dari bambu Baru pada tanggal 7 Desember

1821 diresmikan pembukaan gedung baru Schouwburg, yaitu Gedung Kesenian di Pasar

Baru.

Page 16: Perkembangan Kota Jakarta

Setelah pemerintahan Inggris dapat dicatat perubahan – perubahan di Weltevreden

sebagai berikut: Pada tahun 1826 istana Waterlooplein selesai. Di belakangnya dibangun

sebuah pertamanan Dus Bus yang ternyata tidak memenuhi fungsinya. Kemudian di

tempat itu dibangun gedung – gedung perumahan para perwira (1853) (komplek

Siliwangi sekarang).

Gereja Katolik di sudut Lapangan Bateng dibangun pada tahun 1826 yang

kemudian runtuh pada tahun 1890. Gereja Katedral yang sekarang ini ialah gedung baru

yang dibangun pada masa menjelang abad 20. Sebuah Balai Pertemuan perwira di

bangun disebelah Selatan istana Waterlooplein, yaitu di tempat di mana dulu terdapat

gedung Dewan Perwakilan Rakyat, yang kemudian dibongkar.

Gedung Hooggerechtshof (gedung Mahkamah Agung sekarang ini) berasal dari

tahun 1848 yang sejak dibangunnya hingga sekarang memang dipakai sebagai tempat

peradilan yang tertinggi di Indonesia.

Kembali kita ke Hertogspark atau Taman Hertog. Di ujung sebelah yang

berbatasan dengan Medan Merdeka sekarang pada paro pertama abad 19- telah dibangun

Gereja Protestan Willemskerk (sekarang Gereja Emmanuel di depan stasiun Gambir),

yang telah selesai dibangun pada tahun 1839.

Di jaman Gubernur Jenderal Van den Bosch berdirilah benteng Prins Frederik

Hendrik dan dimaksudkan sebagai pusat pertahanan dalam rencana khayal Gubernur

Jenderal Van den Bosch itu untuk membuat weltevreden sebuah daerah pertahanan. Di

tempat itu sekarang berdiri Mesjid Istiqlal.

Sebuah garis pertahanan yang dikenal dengan Defensie – lijn Van den Bosch, yang

dahulunya merupakan parit bertanggul rendah menjulur dari titik di mana sekarang ini

terdapat stasiun kereta api Senen. Dari situ menuju Bungur Besar, kemudian membelok

ke Barat melalui Krekot – Sawah Besar – Gang Ketapang. Lalu menuju ke Selatan

melalui Petojo sampai disebelah Barat Medan Merdeka. Kemudian Tanah Abang melalui

Kebon Sirih, Jembatan Prapatan terus ke Jembatan Kramat (Kramat Bunder sekarang).

Garis pertahanan Van den Bosch itu kini telah menjadi jalan biasa seperti halnya dengan

grachten di Batavia kuno yang dewasa ini juga telah menjadi jalan – jalan biasa.

Kita telah mendahului waktu beberapa tahun ke muka. Kini kita kembali ke

sebuah jalan yang dahulu disebut Rijswijk, yang kini bernama jalan Veteran. Pada Jaman

pemerintah Inggris Rijswijk merupakan bagian kota Batavia yang bergaya dan

“terhormat”. Untuk ,membuat bagian ini khusus untuk orang- orang Eropa, maka pada

tahun 1814 semua tempat tinggal orang - orang Indonesia dan toko – toko Cina harus

meniggalkan tempat ini.

Bangunan yang tertua bergaya Eropa ialah milik seorang bernama Pieter Tency

dari tahun 1794. Gedung itu menjadi Hotel der Nederlanden, kemudian menjadi Hotel

Dharma Nirmala, kini setelah dibongkar dibangun gedung Bina Braha. Pada jaman

Rafles juga dinamakan Raffles House. Setelah pemerintahan Inggris, maka Raffles House

dengan kebunnya yang luas hingga sampai berbatasan dengan Koningsplein dibeli oleh

pemerintah Hindia Belanda. Di belakang gedung itu ada sebuah paviliun yang

menghadap ke koningsplein milik seorang van Braam. Paviliun itu kemudian dibeli oleh

pemerintah yang kemudian sering dipakai oleh Gubernur Jenderal untuk bermalam,

karena istana Waterlooplein belum juga selesai.

Setelah diputuskan bahwa istana waterlooplein itu akan dipakai untuk kantor –

kantor; maka paviliun di Rijswijk itu diubah menjadi tempat kediaman Gubernur

Page 17: Perkembangan Kota Jakarta

Jenderal. Pada tahun 1848 tingkat kedua gedung itu runtuh dan diadakan perbaikan -

perbaikan pada bagian depannya. Meskipun tidak dapat dikatakan sebagai gedung yang

indah istana itu merupakan gedung yang mengesankan.

Berhubung dengan kegiatan – kegiatan Gubernur Jenderal di istana itu semakin

banyak, maka dirasakan perlunya dibuat istana lagi yang menghadap koningsplein.

Sejak itu terdapat dua bangunan istana, yang kini disebut sebagai Istana Merdeka

(yang menghadap Medan Merdeka) dan Istana Negara (yang menghadap Jalan Veteran)

Catatan:

1. H.A. Breuning (1954): 111 – 123

2. F. De Haan (1935):329 – 331, menguraikan riwayat daerah itu.

PELABUHAN TANJUNG PRIUK

Pada tahun 1869 dibukalah terusan Suez yang berarti hubungan melalui laut

antara benua Eropa dan Asia makin pendek jaranya. Kecuali itu terjadi lalu – lintas

perdagangan yang semakin ramai dan kebutuhan – kebutuhan bongkar – muat barang –

barang yang memerlukan waktu lebih singkat. Pelabuhan lama di Pasar Ikan makin lama

tidak sesuai dengan perkembangan itu.yang jauh jaraknya dari pantai pelabuhan,

merupakan sebab utama, mengapa dunia perdagangan Batavia memerlukan pelabuhan

baru yang memenuhi syarat – syarat modern, di mana pembongkaran dan pemuatan –

pemuatan barang - barang dilaksanakan secara langsung.

Setelah malalui beberapa pertimbangan, maka dipilihlah daerah Tanjung priuk

yang terletak kurang lebih 8 Km dari pelabuhan lama, di mana dalam jangka waktu enam

tahun dapat dibangun pelabuhan baru (1877 – 1883).

Pelabuhan dalam yang pertama digali antara tahun 1879 – 1883 dan diresmikan

pada tahun 1886. Luas permukaan airnya adalah 20 Ha. Dan panjangnya 1200 m.

Pelabuhan dalam itu ternyata tidak cukup besar sehingga diperukan pelebaran Antara

tahun 1910 – 1917 mulailah penggalian pelabuhan dalam kedua.

Kedua pelabuhan dalam itu mempunyai tugasnya sendiri – sendir. Yang pertama,

yang terletak paling sebelah Barat berdekatan dengan stasiun KA. Terutama

dipergunakan oleh kapal – kapal dari Koninklijke Paketvaart Mastschappij dan Burns

Philip Line. Juga kapal – kapal lain yang berukuran sedang, karena pelabuhan itu cocok

untuk kapal – kapal yang bagian badannya tenggelam maksimum 7 meter. Pelabuhan

yang kedua terutama bagi kapal – kapal pengangkut penumpang dari maskapai –

maskapai Nederland, Rotterdamsche Lioyd dan Ocean.

Sejalan dengan pembukaan pelabuhan modern itu berkembang pula lalu – lintas di

darat. Pemasangan jaringan Jalan Kereta Api di mulai pada tahun 1873 antara Batavia

dan Buitenzorg atau Bogor sekarang. Berturut – turut jaringan jalan kereta api itu mulai

bertambah baik di dalam maupun di sekitar Batavia. Trem uap dipergunakan di dalam

kota mulai tahun 1881 dan enam belas tahun kemudian dipergunakan trem Listrik.

Setelah peleburan maskapai – maskapai maka sejak tahun 1930 seluruh lalu lintas trem

mempergunakan tenaga listrik. Tetapi alat pengangkut ini tidaklah begitu berhasil di

dalam kota juga menggangu pemandangan kota.

Dengan itu pula berkembanglah lalu –lintas pos, telegrap dan telpon. Secara

keseluruhan mulailah perkembangan ekonomi dan muncullah pabrik – pabrik yang

Page 18: Perkembangan Kota Jakarta

pertama. Perkembangan ini akan membawa akibat di kemudian hari. Masalah –masalah

pembangunan kota, terutama kebutuhan akan perumahan- perumahan bagi penduduk

yang datang dari desa - desa, mulai terasa. Tetapi untuk sementara prioritas masih akan

tetap bagi penduduk Eropa, bagi bangsa Indonesia sendiri kampung – kampung akan

merupakan tempat tinggal untuk beberapa waktu lamanya.

Baru sesudah pengakuan kedaulatan pemerintah RI dan Jakarta menjadi ibukota,

maka terjadilah perkembangan horizontal dan vertical. Perkembangan dan kemajuan

Jakarta menjadi tanggung jawab bangsa Indonesia sendiri.

Catatan:

1. Riwayat awal dari pelabuhan Tanjung Priuk dapat dibaca pada J.J. De Vries

(1927); 501 – 512.

WELTEVREDEN AWAL ABAD 20.

Rencana perluasan Gemeente Batavia pada dasarnya telah ditetapkan pada

tahun 1917 – 1918 dan sejalan dengan perkembangan kota. Sebelum itu pada tahun 1909

ditetapkan peraturan mengenai pengawasan pembangunan perumahan.

Pada tahun 1912 Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) telah menyetujui rencana –

rencana dari maskapai pembangunan dan perkebunan” Gondangdia” untuk melaksanakan

pembangunan prasarana yang diperlukan untuk pembangunan perumahan yaitu dalam

membuat jalan – jalan, taman – taman dan saluran – saluran air buangan.

Berturut – turut telah dibeli oleh Kotapraja tanah – tanah partikelir Menteng,

Sentiong, sebelah terusan Krukut, Jati Wetan, Petojo, agar tersedia tanah bangunan.

Dengan pembelian tanah Gondangdia, karet Duku, Bendungan Udik, Kramat

Lontar I dan Jatibaru pada tahun 1920, maka kotapraja telah memiliki tanah seluas 8 juta

m2. Jumlah tanah Kotapraja pada tanggal 1 Januari 1930 telah menjadi 6 Juta golden

(Mata uang Belanda).

Salah satu segi yang menjadi perhatian kotapraja ialah ditetapkannya peraturan

untuk membuat taman – taman yang tatkala itu banyak jumlahnya di Batavia. Juga

penghijauan di sepanjang jalan – jalan yang pada umumnya telah mulai diperbaiki, di

perlebar dan diaspal.

Dengan pemeliharaan yang sungguh – sungguh maka pada tahun – tahun itu

wajah dan pemandangan Batavia dan Weltevreden menyedapkan untuk dipandang.

Tempat – tempat seperti Wilhelminapark (kompleks Mesjid Istiqlal sekarang),

Frombergspark (depanMarkas Besar Angkatan Darat sekarang). Decapark (di depan

Istana Merdeka) dan Burgemeester Bisschopplein (Taman Suropati sekarang) merupakan

tempat rekreasi yang digemari penduduk kota.

Pembentukan badan yang disebut Bouwploeg (ingat sebutan Pasar Boplo di

Gondangdia) membuka kemungkinan membangun Gondangdia baru dan Menteng Baru.

Usaha – usaha untuk mengendalikan banjir, satu masalah yang telah ada sejak

Tarumanegara, mulai dikerjakan dengan membuat saluran banjir atau banjir Kanaal.

Dengan demikian Ciliwungdan sungai Krukut dapat dikendalikan. Pengendalian banjir

itu direncanakan oleh Prof. Ir van Breen.

Pengendalian banjir yang berasil berarti pula membebaskan airkan daerah –

daerah perkampungan dan sejak tahun 1925 dimulailah usaha – usaha perbaikan

Page 19: Perkembangan Kota Jakarta

kampung. Dengan subsidi pemerintah sampai menjelang perang Duni II. Sejak tahun

1969 di bawah Pemerintah DKI Jakarta sekarang dimulai lagi perbaikan – perbaikan

kampung.

Betapa luas daerah banjir di Batavia dapat kita ikuti peta daerah banjir yang

terdapat di dalam karangan van Breen. Perhatikan pula peta situasi penambahan dan

pembukaan daerah bangunan baru. Perhatikan bulatan – bulatan hitam yang merupakan

tempat – tempat yng menarik bagi penduduk tatkal itu.

Catatan:

1. Berbagai segi perkembangan kota Jakarta pada awal abad 20 diuraikan di dalam buku

peringatan J.J. De Vries tersebut diatas. Lebih singkat ialah buku E.J.Enggink.

KONINGSPLEIN 1937

Seperti telah dikisahkan di atas bahwa pada tahun 1818 H.W. Daendels membuka

sebidang tanah yang diberinama Koningsplein dengan luas tanahnya 1x 0,85 Km.

Pembukaan tanah itu ternyata sangat penting dikemudian hari bagi perkembangan tata

kota, karena letaknya cocok dengan arah pemekaran kota kearah Selatan.

Tanah lapang itu, yang dewasa ini kita kenal sebagai Medan Merdeka atau

Lapangan Monas (Monumen Nasional) di kelilingi oleh empat jalan, di kanan – kirinya

tumbuh pohon – pohon yang mengesankan.Di sekitar tanah lapang itu segera dibangun

gedung- gedung baru. Bolehlah dikatakan bahwa menurut ukurannya tanah lapang itu

merupakan “Lubang” atau “paru – paru “di tengah -tengah kota.

Andaikan saja pohon – pohon yang ditanam di sekelilingnya terdiri dari pohon –

pohon beringin, maka asosiasi pikiran kita segera akan berkait dengan sebuah alun – alun

yang telah berabad –abad merupakan jantungnya kota – kota di Jawa.

Tetapi lambat laun terjadilah perubahan – perubahan yang tidak teratur dan

mengganggu keindahan tanah lapang itu. Mula –mula dipasang jalur rel KA dengan

emplassemen dan stasiun di bagian Timur. Kemudian di sudut Barat – Laut, di depan

Istana Merdeka sekarang, pada tahun 1909 dibangun kantor telepon, yang berkali – kali

ditambah dan diperluas hingga tahun 1928. Letak kantor telepon itu bolehlah dikatakan

acak – acakan. Di sebelah Timurnya pada tahun 1913 dibuat sebuah taman Decapark

dengan gedung bioskop dan lainnya. Di antara taman itu dan jalan kereta api kemudian

terdapat Taman Fromberg dalam bentuk segi tiga yang jelek.

Di sebelah Selatan Istana maskapai Kereta Api S.S mendirikan sebuah hotel

semipermanen dari kayu, karena kebutuhan fasilitas penginapan yang terasa mendesak

sejak tahun 1921. Disebelah Selatan hotel kemudian dibangun sebuah air mancur dan

ditanami pohon – pohon. Bagian lapangan itu dipergunakan untuk pasar tahunan atau

jaarmarkt yang disebut Pasar Gambir. Jadi bolehlah dikatakan semacam Jakarta Fair yang

diadakan sejak tahun 1968 yang lalu. Tetapi berbeda dengan sekarang gaya bangunan

yang didirikan di situ bergaya Indonesia berwarna – warni, dibuat dengan bambu dan

kayu dengan atap dari daun kelapa.

Bagian Timur lapangan ini sebelah Selatan Taman Fromberg diisi dengan

lapangan – lapangan olah raga dari BSC (Bataviaasche Sport Club), lapangan pacuan

kuda dari BBWS (Batavia Buitenzorg Wedloop Societeit, 1905) dan lapangan untuk

Page 20: Perkembangan Kota Jakarta

lomba sepeda (1936). Secara keseluruhan pemandangan di dalam maupun di luar

lapangan itu kacau dan tidak teratur.

Juga gedung – gedung di sekitar lapangan itu mengalami perubahan, rumah –

rumah lama yang megah dan luas tak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Karena

besarnya, maka banyak meminta ongkos pemeliharaan. Dari rumah tempat tinggal,

fungsinya berubah menjadi gedung perusahaan dan gedung pemerintahan.

Di Medan Merdeka Barat, sebelah Selatan Gedung Museum pada tahun 1928

dibangun gedung Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).Sekarang dipakai oleh

Departemen Pertahanan dan Keamanan. Di sebelah Utaranya dibangun gedung untuk

kantor – kantor maskapai.pelayaran Nederland dan Rotterdamche Liyod. Juga gedung

untuk siaran radio NIROM, kini masih tetap gedung RRI, yang dibuat oleh arsitek

Blankenberg.

Di Medan Merdeka Selatan, rumah – rumah kuno dipergunakan untuk Gubernur

Jawa Barat dahulu, Dewan Rakyat Gemeente Batavia dan rumah dinas dari Direktur

Javaasche Bank. Pada tahun 1937 di ujung sebelah Barat Medan Merdeka Selatan berdiri

gedung Kolonial Petroleum Verkoop Maatschappij, yang dilihat dari bentuk gedung

maupun letaknya kurang tepat.

diMedan Merdeka Timur, kecuali Willemskerk (Gereja Immanuel sekarang )

terdapat gedung KPM, dibangun pada tahun 1916 dan menurut gaya bangunannya

bolehlah disebut bercorak dekoratif. Gedung baru BPM (Bataafche Petroleum

Maatschappij) dengan menaranya dibangun pada tahun 1938.

Perhatikan peta dasar rencana itu. Ditengah – tengah Medan Merdeka akan

dibangun Gedung Dewan Kota, yang akan terletak pada persilangan perpanjangan Jalan

Museum dan Jalan Secretarie (Jalan Veteran V). Pertimbangannya ialah untuk

menjadikan Jalan Museum sebagai Jalan utama yang dihubungkan lapangan itu dengan

daerah Petojo, yang sejak tahun 1918 menjadi pangkal perkembangan kota kearah Barat.

Letak gerbang Dewan Kota yang menghadap ke Utara dan disambungkan

dengan Jalan Sekretarie dimaksudkan untuk mengimbangi kantor telepon, yang tidak

mungkin lagi dibuang begitu saja, dengan sebuah jalan lebar dan di seberang Timurnya

akan dibangun kelompok gedung – gedung untuk kepentingan umum. Disebelah selatan

itu dibuatlah jalan silang yang mengarah dari Timur ke Barat.

Pada bagian Selatan Dewan Kota itu dibuat sebuah alun – alun berukuran 500 x

500 m, yang dikelilingi dengan pohon – pohon beringin.

Catatan:

1. Tentang rencana ini periksa karangan – karangan di dalam Locale Techniek.

(1937), juga Karsten, (1937)

H.A. Breuning (1954): 139 – 147.

KEBAYORAN 1949

Pecahnya Perang Dunia II tidak memungkinkan rencana penggunaan

Koningsplein (Lapangan Merdeka) dari tahun 1937 itu terlaksana, tetapi adanya rencana

itu sendiri dalam rangkaian peristiwa pemekaran kota penting artinya, terutama karena

timbulnya pemikiran membangun kota, dengan berencana. Memang sejak semula

Page 21: Perkembangan Kota Jakarta

berdirinya Batavia, kota lama itu merupakan kota yang dibangun bukan sebagai kota

yang tumbuh dengan sendirinya.

Tetapi sejak abad – 18 seperti telah diuraikan melalui peta tahun 1940 di atas,

kota ini tumbuh dan berkembang tidak dengan teratur. Hanya karena adanya Molenvliet

(terusan ditengah – tengah Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk sekarang) dan

pemindahan kota kearah Selatan oleh H.W. Daendels pemekaran kota mengikuti

perubahan itu. Penting artinya ialah dibuatnya Waterlooplein (Lapangan Banteng) dan

koningsplein (Lapangan Merdeka) karena secara kebetulan sekali “paru – paru kota” itu

dewasa ini menjadi pusat – pusat kegiatan kota. Sebagai orientasi bagi pembaca cobalah

dibayangkan gedung – gedung dan bangunan- bangunan apakah dewasa ini berada

disekitar kedua lapangan itu dan fungsinya bagi masyarakat kota Jakarta.

Kecuali faktor – faktor yang kebetulan timbulnya itu ada juga faktor – faktor

lain yang mempengaruhi pemekaran kota yaitu karena pertumbuhan ekonomi yang pesat

sejak akhir abad – 19. Perusahaan – perusahaan perkebunan asing yang besar, bank ,

perusahaan pertambangan dan pelayanan dan usaha – usaha dagang lainnya memerlukan

bangunan – bangunan, baik untuk kediaman maupun untuk kantor – kantornya.

Pertimbangan – pertimbangan itulah yang menyebabkan timbulnya gagasan –

gagasan pembukaan tanah di sebelah Selatan kira – kira 8 Km dari lapangan Merdeka.

Wilayah itu sebelumnya telah disurvey dengan maksud untuk membuat lapangan terbang

Internasional yang baru untuk menggantikan lapangan terbang Kemayoran (didirikan

menjelang perang Dunia II) yang ternyata sebagai penghalang pemekaran kota ke arah

Timur. Wilayah yang dimaksud ialah tanah Kebayoran seluas 730 Ha, yang dapat

dihubungkan dengan Jalan raya bagi kendaraan bermotor. Daerah yang diroyeksi bagi

perumahan itu bersinggungan tepinya dengan jalan Kereta Api Tanah Abang Serpong,

yang dapat mempermudah pengangkutan bahan – bahan bangunan. Daerah itu tenyata

tidak padat penduduknya, sebagian besar ditanami pohon buah – buahan.Kemungkinan –

kemungkinan bagi penyediaan air minum, aliran listrik dan saluran – saluran air buangan

dipenuhi wilayah itu sehingga memenuhi syarat – syarat bagi pembentukan kota baru.

Rencana pertama pembangunan kota itu diserahkan kepada M. Soesilo seorang

Insinyur praktek pada Centraal Planologisch Bureau (Biro Pusat Planologi) yang berhasil

membuat kerangka rencana penggunaan Kebayoran. Sejak itu timbul istilah Kota Satelit

Kebayoran, yang sesungguhnya kurang tepat. Menurut tata – kota sebuah kota satelit

seharusnya terpisah 15 KM dari kota induknya, dan direncanakan dapat lepas sebagai

kesatuan yang dapat berdiri sendiri. Keadaan keperluan yang mendesak agaknya

membuat perencanaan kota Kebayoran dengan perkembangan penduduknya menjadi

“beban” kota induknya. Salah satu hal yang kelihatan setiap hari ialah tumpahnya

penduduk Kebayoran dengan bermacam kendaraan pagi hari yang menuju lapangan

Merdeka dan sebaliknya di siang maupun disore hari menuju Kebayoran kembali.

Perhatikan juga rencana jaringan jalan – jalan seperti nampak pada peta rencana

kota itu. Jalan – jalan yang direncanakan itu melingkar seperti jaringan – jaringan otak

nampaknya. Dapatkah Saudara pembaca di Kebayoran menentukan titik rumah tempat

tinggalnya pada peta itu dan menghadap kemanakah rumah Saudara?.

Sedikit data – data mengenai hal – hal yang dikerjakan sebelum wilayah itu

menjadi kota baru dapatlah dikemukakan di sini. Pada tanggal 19 Juli 1948 rencana

pembangunan kota baru dibicarakan dalam rapat Panitia Perumahan Pusat. Tanggal 5

Agustus 1948 rencana itu pada tanggal 21 September 1948. 1 Desember 1948 dapat

Page 22: Perkembangan Kota Jakarta

dimulai pembayaran ganti rugi kepada penduduk 700.000 terdiri dari 26 macam pohon

buah – buahan harus diganti. 1688 bangunan rumah, kios dan kandang – kandang ternak

harus disingkirkan. Bulan Januari 1949 diganti rugi kepada penduduk telah selesai

dibayarkan, semuanya berjumlah 15 juta gulden.

Pada bulan Februari 1949 rencana kota Kebayoran selesai Pembuatan jalan –

jalan dan persiapan tanah – tanah perumahan mulai berjalan dengan sistematis. Pada

tanggal 18 Maret 1949 dimulailah peletakan batu pertama. Setahun kemudian terjadilah

perubahan sebagai berikut:

150 Ha. Tanah untuk perumahan telah dibuka;

1.000.000 m2 jalur jalan tanah telah disiapkan;

42 Km luas jalan telah dikeraskan dengan aspal;

17Km saluran pipa – pipa air minum telah dipasang;

7. titik sumur bor dibuat;

2.050 unit perumahan telah selesai dibangun dari rencana sebanyak 2.700 unit rumah

kediaman. Tanah seluas 730 Ha itu, dibagi untuk keperluan perumahan rakyat. (152 Ha),

perumahan sedang (69,8 Ha) Villa (55,1 Ha) bangunan – bangunan istimewa (75,2 Ha),

Flat (6,6 Ha) Toko – toko dan kios(17 Ha), Industri (20,9 Ha) Taman – taman(118,4 Ha)

jalan – jalan (181,5 Ha) dan sawah – sawah pinggiran (33Ha) Semua itu dimaksudkan

untuk memberi tempat kediaman bagi 100.000 penduduk satu jumlah yang tidak sesuai

dengan pertambahan penduduk Jakarta di kemudian hari.

Catatan:

Kepustakaan tentang pembangunan kota baru Kebayoran ialah Kebayoran (1950) yang

berisi karangan – karangan dari Ir.E.W.H Clason tentang asal mula dan perkembangan

kota itu ; Prof. Ir Jac P.Thijase tentang tatakota; Ir van Romondt mengenai kemungkinan

membuat kotabaru Kebayoran sebagai Kota Jawa yang akan datang.

M. Soesilo menanggapi gagasan Ir.V.R. van Romondt tersebut. Publikasi bahasa

Indonesia diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga (1953) Gagasan

mengenai bentuk dan sifat pemerintahannya, yang ternyata tak dapat terlaksana,

diuraikan oleh Jac.Zwier (1951).

JAKARTA 1951 – 1971

Kembalinya pemerintahan Republik Indonesia ke Jakarta dan kedudukan

Jakarta sebagai Ibukota, mengakibatkan makin meningkatnya kebutuhan akan kantor –

kantor dan perumahan pegawai. Selain itu jumlah penduduknyapun makin bertambah

cepat dengan adanya proses urbanisasi, karena kecuali sebagai pusat pemerintahan

Jakarta berkembang sebagai kota Industri dan perdagangan. Keadaan itu memberi

harapan pada penduduk yang berdatangan dari desa – desa untuk mencari lapangan

pekerjaan baru.

Sebagai akibatnya maka pada awal tahun 1952 tercatat adanya pembukaan

taksiran waktu itu saja terdapat kurang lebih 30.000 gubuk liar yang tersebar si seluruh

Jakarta. Mereka itu kemudian dikenal sebagai masyarakat gelandangan.

Berhubung dengan itu maka suatu perencanaan perkembangan kota yang dapat

dilaksanakan dengan cepat, tepat dan teratur dirasakan keperluannya. Pemerintah

Page 23: Perkembangan Kota Jakarta

kotapraja melihat bahwa persoalan dan penanggulangan masalahnya jelas tidak dapat

diselesaikan sendiri, sehingga Walikota Jakarta Raya tatkala Itu mengeluarkan ajakannya

kepada penduduk agar bekerja bahu – membahu. Untuk membangun Ibukota ini supaya

benar - benar dapat menjadi suatu medan hidup yang aman dan tentram bagi semua

lapisan masyarakat. Di katakannya pula, bahwa “kelainan bangsa dan kebangsaan,

berbeda logat dan bahasa menjadi penghalang untuk tujuan itu.”

Ajakan Walikota memang beralasan, karena pada waktu itu terdapat 46 macam

bangsa asing yang berdiam di Jakarta, belum terhitung suku bangsa Indonesia sendiri.

Berapakah jumlah pendatang – pendatang baru di Jakarta? Menurut catatan pada masa

1948 – 1951 terdapat surplus migrasi rata – rata 118.586 setiap tahunnya. Rencana Induk

DKI Jakarta 1965 – 1985 menghitung, rata – rata pertambahan penduduk Jakarta setiap

tahunnya ialah 124 000 jiwa, separo ialah para pendatang baru.

Pada tahun 1948 jumlah penduduk Jakarta ialah 1.174.252, tahun 1953 menjadi

1.845.592, sepuluh tahun kemudian 1963 menjadi 3.100.000 lebih dan tahun 1970 sudah

4.200.000 penduduknya.

Untuk menanggulangi itu, maka kita dapat memahamkan peta dari tahun 1951

(diman dicantumkan luas lingkungan bangunan menjadi 5120 Ha. Yang berarti dalam

waktu kurang lebih tiga abad telah mengalami perlipatan 53 kali, sedangkan

penduduknya mengalami perlipatan hampir 61 kali (pada akhir abad -17 jumlah

penduduk Jakarta hanya 32.000 jiwa).

Pada peta itu nampak di sudut Selatan bergantung seperti sebuah jantung

wilayah Kebayoran Baru, yang masih terus membangun. Sejalan dengan pembukaan

tanah Kebayoran itu, di lain bagian kota mulai dibangun lingkungan bangunan di daerah

Sentiong Besar Wetan, Petojo Centrum, Kompleks Tanjung Karang. Kemudian muncul

daerah Slipi Selatan, Jembatan Duren, Sentiong B, dan kompleks gedung – gedung negeri

di Kebon Sereh Jatinegara.

Syarat utama untuk mendirikan gedung –gedung di wilayah yang direncanakan

itu ialah tersedianya tanah. Tanah – tanah di Batavia dulu menjadi milik tuan – tuan tanah

dan perlu diadakan pembebasan dengan jalan dibeli oleh pemerintah Kota Praja. Enam

belas bekas tanah partikelir, dan Klender sampai Muara Angke, seluas 17537 Ha. Harus

dibeli dulu. Di samping itu ada tanah – tanah yang berstatus lain seluas 18475 Ha.

Menurut faham tata – kota modern tentang luas lingkungan kediaman di dalam

kota, maka untuk tiap – tiap 100 orang penduduk diperlukan 1 Ha.tanah, sehingga untuk

jumlah penduduk pada tahun 1951 dengan demikian harus diperluas dengan 400% agar

sesuai dengan jumlah penduduk kota.

Sebuah gagasan pada tahun 1953memproyeksi luas lingkungan bangunan di

Jakarta yang akan datang menjadi 16.200 Ha. Dan yang akan dibatasi oleh suatu

lingkaran jalan. Lingkaran jalan itu dimaksudkan sebagai perluasan kota.

Dari gagasan itu yang penting ialah realisasi lingkaran jalan yang kini dikenal

sebagai Jakarta by- Pass. Bila diperhatikan peta 22 maka batas lingkaran jalan itu berbeda

dengan keadaannya sekarang, yaitu pada bagian sebelah Timur.

Sejak tahun 1959 perkembangan Ibukota menjadi bagian politik mercu suar yang

bertujuan membuat RI sebagai inti dari The New Emerging Forces (Kekuatan – kekuatan

Baru yang sedang tumbuh) di dunia. Sukses – sukses sejak Komprensi Asia Afrika di

Bandung (1955) menjadikan Jakarta sebagai pusat penyelenggaraan Asian Games IV

Page 24: Perkembangan Kota Jakarta

(Pesta Olah Raga Se Asia) pada tahun 1962, kemudian menyusul Games Of The New

Emerging Forces (GANEFO) pada tahun 1963.

Semua itu disertai oleh pembangunan jalan – jalan besar, hotel – hotel mewah,

Toko – toko serba ada, Jembatan Semanggi dan kompleks Asian Games di Senayan yang

memang patut mendapat pujian dari sudut arsitektur dan prestasi kerja. Tugu Nasional di

tengah – tengah Medan Merdeka, di mana bagian bawahnya akan dipergunakan sebagai

Museum Sejarah Tugu Nasional menjulang tinggi mendahului cita – cita yang ingin

meninggi pula.

Gedung CONEFO (Coference of the New Emerging Forces) yang megah dan

congkak direncanakan juga disebelah Barat Kompleks Asian Games dan kini

dipergunakan bagi sidang – sidang DPR – GR dan MPR, meskipun belum seluruh

rencana gedung itu selesai.

Pecahnya G.30.S/PKI pada tahun 1965 hanya mampu menghentikan untuk

sementara gerak perkembangan kota Jakarta yang harus melebar itu. Ditengah – tengah

kesulitan ekonomi – keuangan dan sosial politik disahkkan suatu rencana Induk (Master –

Plan) daerah Khusus Ibukota 1965 – 1985, pada tanggal 3 Mei 1967 oleh DPR – GR DKI

Jakarta.

Mengenai bentuk dan arah perkembangan kota Jakarta Rencana Induk itu

menentukan agar terjadi pemekaran kota yang seimbang ke segala arah. Titik – pancar

perkembangan wilayah kota ialah Tugu Nasional di tengah – tengah Medan Merdeka

yang bersejarah itu. (Periksa uraian mengenai Koningsplein- plan di muka ). Radius

pancar perkembangan wilayah kota yang merata ini terhadap titik pancarnya Induk juga

memuat kekurangan – kekurangan yang terdapat di Jakarta di segala bidang, dari mulai

kurangnya bangunan perumahan jalan – jalan yang dalam keadaan rusak, kurangnya air

bersih, bahaya banjir, macetnya transport, telepon dan prasarana lainnya. Untuk tiga

tahun mendatang ditentukan pola rehabilitasi pembangunan 3 tahun DKI Jakarta (1967 –

1969) di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin dan DPR- GR.

Bila diperbandingkan dengan kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah DKI

dalam periode kebijaksanaan Mercu Suar (1959 – 1965) dan periode kebijaksanaan

berdasarkan Rencana Induk, maka nampak perbedaan sasaran – sasaran pembangunan.

Terdorong oleh perhitungan – perhitungan politik mercusuar maka sasaran

pembangunan berat sebelah di dalam pelaksanaannya. Hanya meliputi jalan – jalan

protokol dan gedung – gedung mewah tanpa. Perencanaan kota secara menyeluruh.

Kurang diperhatikan kebutuhan rakyat kecil dan usaha mengajak mereka menyokong

pembangunan. Pada tahun 1961 seorang pejabat tinggi DKI mencatat dalam buku

disertasinya, bahwa orang –orang di Jakarta “lebih suka mementingkan revolusi dari pada

berkota secara teratur”.

Rencana Induk DKI dan Pola Rehabilitasi pembangunan 3 Tahun DKI

menyebutnya “filsafat” pembangunan kota, yaitu melindungi serta menampung kegiatan

manusia sebagai akibat dari tuntutan peradabannya. Perencanaan haruslah bernafaskan

suatu keseimbangan harmonis antara kehidupan sosial dan ekonomi dengan bentuk fisik

kota.

Dalam periode ini sekarang baru berjalan empat tahun sungguh banyak yang

telah berubah di Jakarta “Wajah Jakarta berubah tiap tiga bulan sekali” kata seorang di

jalan. Ketertiban, pengaturan bimbingan dan pimpinan Pemerintah DKI terasa sekali,

Page 25: Perkembangan Kota Jakarta

yang tidak lepas dari tujuan kesejahteraan masyarakat itu sendiri, yang dirumuskan

sebagai berikut:

a. Hidup tenang dan tentram ( Perlindungan moril dan materil)

b. Keleluasaan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa.

c. Terjamin tempat kediaman yang aman dan sehat.

d. Terjamin lapangan kerja atau mata pencaharian.

e. Terdapat tempat pengembangan budaya dan peradaban.

f. Tersedia tempat pelepas ketenangan (Rekreasi).

g. Adanya pencegahan terhadap gangguan bencana.

Itulah dasar – dasar yang menyertai pola perkembangan kota Jakarta sampai tahun 1985.

Kepustakaan tentang Jakarta setelah kembali menjadi Ibukota Republik Indonesia a.I

Kementerian Penerangan. (1952).

Kotapradja Djakarta Raya. (1953).

Khusus berhubungan dengan perubahan – perubahan pemerintahan serta nama wilayah

pemerintahan periksa karangan The Liang Gie (1958, 1967 – 1968).

Profil suku – bangsa di Jakarta berdasarkan perhitungan jumlah pendatang - pendatang

baru dapat kita baca pada hasil penelitian H.J. Heeren (1955); perbandingan hasil Sensus

1930 dan 1961 terlihat dalam studi yang mendalam dari Lance Castles (1967). Tentang

Rencana Induk (Master – Plan) DKI Jakarta 1965 – 1985 lihat penerbitan. Lembaran

Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 38 Tahun 1967. Mengenai Penerimaan Progress –

Report dan Pola Rehabilitasi pembangunan 3 Tahun DKI Jakarta (1967 – 1969) lihat

Lembaga Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 12 Tahun 1967.