perkembangan kinerja perbankan di indonesia pada tahun 2004.docx

Upload: nurul-hidayah

Post on 10-Oct-2015

121 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Rekapitulasi Perkembangan Kinerja Perbankan di Indonesia pada masa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) 1 dan 2 Tahun 2004-2014

Perkembangan Perbankan Tahun1990-2010Krisis moneter yang melanda Indonesia awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung hamper dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi- tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relative rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge.Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini.Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa. Daya saing negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan.Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bias ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/ kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sector riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.Krisis pecah karena terdapat ketidakseimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik.Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999.Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:1. Penyehatan sektor keuangan;2. Kebijakan fiskal;3. Kebijakan moneter;4. Penyesuaian struktural.Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$ 11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bias dimanfaatkan. (IMF, 1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negaranegara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih 10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 kurang US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-program yang diprasyaratkan IMF.Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesiadirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saransaran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:A. Kebijakan makro-ekonomia. Kebijakan fiskalb. Kebijakan moneter dan nilai tukarB. Restrukturisasi sektor keuangana. Program restrukturisasi bankb. Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankanC. Reformasi strukturala. Perdagangan luar negeri dan investasib. Deregulasi dan swastanisasic. Social safety netd. Lingkungan hidup.Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi yang akan dilaksanakanadalah:1. menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;2. memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;3. memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing;4. menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;5. kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bias bangkit kembali.Ke tujuh appendix adalah masing-masing:1. Kebijakan moneter dan suku bunga2. Pembangunan sektor perbankan3. Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah4. Reformasi BUMN dan swastanisasi5. Reformasi struktural6. Restrukturisasi utang swasta7. Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.

Tahun 20041. PERKEMBANGAN KINERJA BANK UMUMKondisi UmumKondisi industri perbankan cukup baik dan terus meningkat. Kepercayaan terhadap perbankan juga tetap terjaga yang tercermin dari tidak adanya gejolak yang membahayakan stabilitas sistem perbankan. Selama tahun 2004, dana pihak ketiga meningkat Rp74,5 triliun atau sebesar 8,4% (y-o-y)1 . Sementara itu, kredit yang diberikan (termasuk chanelling) meningkat Rp117,9 triliun atau sebesar 24,7% (y-o-y). Sumber pembiayaan kredit terutama berasal dari peningkatan dana pihak ketiga dan pengalihan dari portofolio surat-surat berharga Ekspansi kredit yang cukup besar tersebut telah mendorong perbaikan profitabilitas perbankan yang ditunjukkan dengan peningkatan ROA, pendapatan bunganeto (NII) dan efisiensi. Peningkatan kredit tersebut telah menyebabkan peningkatan ATMR, namun rasio permodalan (CAR) perbankan masih memadai meskipun cenderung sedikit menurunLikuiditas dan Fungsi Intermediasi PerbankanKebijakan peningkatan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan, yang mulai diterapkan per Juli 2004 telah berhasil menyerap Rp17,4 triliun ekses likuiditas perbankan. Namun demikian, perbankan masih mengalami ekses likuiditas karena masih terdapat kendala dalam penyaluran kredit terutama karena kapasitas sector riil yang belum sepenuhnya pulih.Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR) perbankan yang sangat rendah paska krisis sering diterjemahkan sebagai tidak berjalannya intermediasi perbankan. Namun rendahnya LDR tersebut disebabkan adanya pemindahan kredit macet bank-bank bermasalah. rekap dalam jumlah relatif besar kepada BPPN. Karena itu, penggunaan LDR sebagai indikator intermediasi menjadi misleading. Pertumbuhan kredit paska krisis memang lebih rendah dari sebelum krisis yakni rata-rata bulanan sebesar 1,51% dibandingkan dengan 1,29% (2000-04). Namun, fenomena credit crunch ini juga dialami oleh semua Negara yang mengalami krisis keuangan. Studi empiris menunjukkan di negera-negara tersebut terjadi penurunan dan perlambatan pertumbuhan kredit dalam tiga sampai lima tahun paska krisis. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan indikator lain sebagai ukuran intermediasi yang lebih tepat seperti tingkat pertumbuhan kredit dan LDR incremental.Kualitas Kredit dan Kecukupan ModalMeskipun sedikit menurun akibat peningkatan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR), permodalan perbankan yang diukur dengan rasio kecukupan modal (CAR) tetap memadai yakni sebesar 19,36%. Untuk memperbaiki kinerjanya, perbankan khususnya bank-bank rekap, perlu meningkatkan efisiensi usaha dan portofolio kreditnya tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian. Perbankan juga perlu lebih meningkatkan efektivitas pengendalian internal dan manajemen risiko serta membenahi corporate governancennya Beberapa permasalahan yang masih dihadapi oleh perbankan adalah relatif tingginya kredit bermasalah (NPL). NPL bruto perbankan pada Desember 2004 tercatat sebesar 5,75% yang menurun dari 8,21% pada akhir tahun sebelumnya. Namun demikian, perbankan telah membentuk cadangan kerugian atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang sangat memadai yakni sebesar 178% dari PPAP yang wajib dibentuk. Oleh karena itu NPL neto2 perbankan cukup rendah yakni sebesar 1,72% atau turun signifikan dibanding posisi tahun lalu sebesar 3,04%.

Tahun 2005BANK UMUMBank umum tetap menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan meskipun mendapat tekanan risiko di tengah kondisi perekonomian yang kurang menguntungkan terutama selama paruh kedua tahun 2005. Jumlah total aset, pemberian kredit, dan DPK terus meningkat, didukung dengan permodalan yang cukup memadai. Profitabilitas sedikit menurun akibat meningkatnya beban operasional terutama setelah peningkatan suku bunga pada triwulan III tahun 2005.

Selama tahun 2005, jumlah total aset meningk Rp. 197,5 triliun yang diikuti oleh meningkatnya jumlah kredit sebesar Rp135,1 triliun atau sekitar 22,7%. Meningkatnya jumlah kredit tersebut berhasil melampaui target pertumbuhan kredit tahun 2005 sebesar 22%. Jumlah dana pihak ketiga juga meningkat cukup signifikan, yaitu tumbuh sebesar Rp164,8 triliun atau 17,1%. Ini berarti sekitar 82% dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan berhasil disalurkan kembali dalam bentuk kredit tercermin dari meningkatnya LDR dari 61,8% (Desember 2004) menjadi 64,7% (Desember 2005). Hal ini menunjukkan bahwa fungsi intermediasi di sektor perbankan terus mengalami perkembangan yang kian membaik.

Meskipun dapat dilalui dengan baik, tahun 2005 merupakan periode yang penuh tantangan bagi perbankan Indonesia. Pertama, tekanan risiko kredit yang dihadapi bank terutama pada paruh kedua meningkat cukup signifikan. Peningkatan risiko kredit dimaksud antara lain ditunjukkan oleh menurunnya kualitas kredit perbankan. Rasio kredit bermasalah (NPL) secara gross naik dari 5,8% (Desember 2004) menjadi 8,3% (Desember 2005). Demikian pula rasio NPL yang telah dikurangi cadangan penyisihan (NPL netto) meningkat dari 1,7% menjadi 4,8%

Penyebab memburuknya kredit perbankan antara lain diakibatkan oleh memburuknya kualitas kredit korporasi, program restrukturisasi kredit yang belum berhasil sepenuhnya, serta memburuknya iklim usaha dan investasi. Kedua, meskipun masih positif, profitabilitas bank umum mengalami tekanan akibat meningkatnya beban bunga operasional seiring dengan peningkatan suku bunga DPK. Namun demikian, peningkatan suku bunga dimaksud masih tetap dapat diatasi oleh bank sehingga pencapaian ROA masih cukup memadai.

Terlepas dari adanya tekanan profitabilitas, CAR perbankan selama tahun 2005 relatif stabil dengan kecenderungan meningkat jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2004 dari 19,4% (Desember 2004) menjadi 19,5%(Desember 2005). Masih positifnya kinerja bank umummendorong adanya tambahan laba sehingga CAR tetap stabil. Selain itu, peningkatan CAR juga bersumber dari right issue serta penerbitan instrumen pinjaman subordinasi terutama pada kelompok bank besar.

Fungsi Intermediasi MembaikFungsi intermediasi perbankan terus mengalami peningkatan di tengah beratnya kondisi perkonomian terutama pada paruh kedua tahun 2005. Hal ini tercermin dari tumbuhnya kredit sebesar Rp135,1 triliun (22,7%) yang berarti melampaui target pertumbuhan kredit tahun2005 sebesar 22,0%. Kenaikan kredit tersebut telah meningkatkan pangsa kredit dalam total aktiva produktifperbankan dari 51,9% menjadi 56,2%. Dilihat darijenisnya, pertumbuhan tertinggi tercatat pada KreditKonsumsi (KK) yang mencapai 36,8%. Sementara itu, Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI) masingmasingtumbuh sebesar 22,4% dan 13,2%. Perlu dicatatbahwa meski tetap tumbuh, KI memiliki tingkat pertumbuhan yang cenderung melambat dibandingkandengan jenis kredit lainnya. Perkembangan kredit kepada Mikro Kecil danMenengah (MKM) secara umum relatif lebih baik, baikditinjau dari tingkat pertumbuhan maupun kinerja. Kredit kepada MKM sampai dengan Desember 2005tumbuh sebesar 30,9% (y-o-y). Sejak tahun 2001, kreditMKM senantiasa menunjukkan peningkatan , yang terlihatdari peningkatan pangsanya terhadap total kredit perbankan. Di tengah meningkatnya suku bunga domestik, kredit untuk sektor ini masih tetap tumbuhmeskipun agak tertahan pada triwulan III. Perkembangan yang cukup menggembirakan dari kredit MKM jugaditunjukkan oleh kualitasnya yang jauh lebih baik darikualitas kredit perbankan secara umum. Rasio NPL grosskredit MKM sebesar 3,7% (Rp13,1 triliun). Relatif baiknya pertumbuhan kredit perbankan tahun 2005, didukung oleh pertumbuhan kredit kelompok bank besar, bank asing dan bank campuran Sesuai dengan pangsa pasarnya, secara nominal kenaikan kredit terbesar tahun 2005 tercatat dari kelompok bank besar, yang mengalami pertumbuhan sebesar 21,2%. Di sisi lain, kredit yang diberikan oleh kelompok bank asing dan campuran masing-masingtumbuh sebesar 40,2% dan 44,5% atau di atas ratarata industri perbankan. Dengan adanya pertumbuhan yang cukup mengesankan, pangsa kredit kedua kelompok bank ini mencapai 23,7% dari jumlah kenaikan kredit perbankan pada tahun 2005. Kredit untuk membiayai sektor industri tetap tumbuh, tetapi lebih banyak diperuntukkan bagi pembiayaan modal kerja. Kredit untuk membiayai produksi tetap tumbuh sebesar 18,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun demikian, pertumbuhan tersebut lebih banyak dipergunakan untuk membiayai modal kerja untuk mendukung operasi debitur yang telah ada. Ditinjau dari sektor ekonomi, kredit kepada sektor konstruksi tumbuh cukup signifikan. Pertumbuhan kredit sektor konstruksi mencapai 35,3 %, tertinggi dibanding kredit untuk sector ekonomi lainnya. Cukup tingginya pertumbuhan jenis kredit ini masih dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada tahun 2005 meskipun terjadi gejolak perekonomian yang kurang menguntungkan akibat tingginya harga BBM terutama setelah triwulan III. Tingginya pertumbuhan kredit untuk sektor konstruksi seiring dengan besarnya pertumbuhan kredit konsumsi yang sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan perumahan. Meskipun fungsi intermediasi berjalan baik, bank tetap memiliki permodalan yang cukup untuk mengatasi kerugian yang tidak terduga (unexpected losses) dan kualitas kredit perbankan yang cenderung mengalami penurunan. Rasio NPL gross perbankan naik dari 5,8% pada Desember 2004 menjadi 8,3% karena naiknya kredit kategori NPL sebesar Rp26,4 triliun. Kondisi yang sama juga ditunjukkan oleh NPL net yang naik dari 1,7% menjadi 4,8%. Ditinjau dari sisi kualitas, semua jenis kredit mengalami penurunan. NPL Kredit Investasi meningkat sebesar Rp12,6 triliun sehingga rasio NPL gross-nya tercatat paling tinggi yaitu sebesar 15,2% (Desember 2004 tercatat 6,6%). Hal ini merupakan cermin kondisi iklim investasi di Indonesia serta prospek perkembangan jenis kredit ini ke depan. Sementara itu, kualitas KMK dan Kredit Konsumsi juga menurun yang ditandai oleh naiknya NPL masing-masing sebesar Rp12,1 triliun dan Rp1,7 triliun dari akhir tahun 2004. Dengan demikian, rasio NPL gross KMK dan Kredit Konsumsi mengalami peningkatan masing-masing menjadi sebesar 7,8% (dari 5,0%) dan 2,2% (dari 1,9%). Terlepas dari adanya peningkatan NPL, bank telah membentuk pencadangan yang sangat memadai. Seiring dengan meningkatnya kredit bermasalah, jumlah penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) juga meningkat sebesar Rp3,8 triliun sehingga ketahanan sektor perbankan terhadap adanya peningkatan potensi krisis sistemik cukup memadai. Besarnya PPAP dinilai relatif memadai sehingga NPL net perbankan secara umum belum melampaui 5%, yang merupakan batas indikatif untuk bank yang belum digolongkan dalam pengawasan intensif.Kondisi Likuiditas Cukup MemadaiKondisi likuiditas bank cukup memadai tercermindari stabilnya indikator likuiditas perbankan sepanjangtahun 2005. Rasio alat likuid terhadap DPK yang akanjatuh tempo segera dapat terpelihara di atas 100% yangmencerminkan bahwa perbankan memiliki likuiditasyang cukup baik. Di samping itu, antisipasi yang cukupbaik oleh bank-bank terhadap kebijakan peningkatanGiro Wajib Minimum (GWM) sejak 8 September 2005,serta relatif stabilnya kondisi Pasar Uang Antarbank(PUAB) setelah dikeluarkannya transaksi antarbank dariskim penjaminan sejak 22 September 2005, jugamerupakan faktor yang ikut menunjang terpeliharanyakondisi likuiditas perbankan pada tahun 2005.Sepanjang tahun 2005, alat likuid perbankan hanyamengalami peningkatan 2,1%. Sementara Non CoreDeposit (NCD) meningkat 10,1%, sehingga rasio alatlikuid perbankan pada akhir tahun 2005 mengalamisedikit penurunan dari 114% menjadi 105,7%.Peningkatan alat likuid yang hanya 2,1% sepanjangtahun 2005 antara lain dipengaruhi oleh penurunan salah 2005 relatif stabil dengan kecenderungan meningkat jikadibandingkan dengan posisi akhir tahun 2004 dari 19,4%(Desember 2004) menjadi 19,5% (Desember 2005). Hal inidikarenakan adanya tambahan modal pada satu bank besaryang berhasil melakukan right issue dan mendapatkansubordination debt.Perkembangan Bank Pembangunan Daerah (BPD)Sampai dengan tahun 2005, secara umum kinerjaBPD cukup menggembirakan dan memberikan peran yangcukup besar bagi perbankan nasional. Hal tersebuttercermin dari meningkatnya total aset, penyaluran kreditdan penghimpunan dana masyarakat dalam periodeDesember 2005.Perkembangan aset BPD dalam 12 bulan terakhircukup pesat. Komponen utama yang mengalamiperkembangan pesat adalah pertumbuhan kredit yangditopang oleh peningkatan DPK. Hal ini dimungkinkanmengingat adanya skim pemberian kredit yangmewajibkan debitur untuk menyetorkan dana yang belumdigunakan dalam rekening DPK.Walaupun menghadapi tantangan persaingan daribank non BPD dan tidak ada kewajiban bagi PEMDA untukmenyimpan dananya di BPD, namun trend DPK masihcenderung meningkat. Dana PEMDA masih cukupsignifikan terhadap total DPK. Pada 9 bulan pertama danatersebut cenderung menurun, namun 3 bulan terakhirtampak kembali meningkat. Hal ini mengingat danaPEMDA yang mengendap tersebut dalam bentuk DAUyang cenderung fluktuatif.Jumlah kredit terus mengalami peningkatan denganlaju pertumbuhan 12 bulan sekitar 25%. Kredit didominasioleh kredit Rupiah sedangkan kredit dalam mata uang valasmasih sangat kecil.Kinerja permodalan yang diukur dengan CARmenunjukkan kinerja yang sangat baik. CAR konsolidasiBPD tercatat 19,2% (hampir sama dengan CAR perbankannasional 19,4%).Total aset produktif BPD tercatat sebesar Rp61,7triliun atau 3% dari total aset seluruh bank di Indonesia.Komposisi aktiva produktif BPD adalah 60% pada kredit,25% pada antarbank aktiva, 13% pada SBI, dan selebihnyapada surat berharga.BPD memiliki rasio KAP lebih buruk daripada BankUmum. Namun untuk rasio NPL, BPD memiliki rasio yanglebih baik dibandingkan bank umum. Hal ini disebabkankomponen aktiva produktif kredit di BPD seluruhnyaLancar. Komposisi kolektibilitas kredit BPD didominasi olehkredit lancar, dengan cadangan penghapusan aktivaproduktif di atas 100%.Rasio ROA BPD lebih baik dibandingkan dengankeseluruhan Bank Umum. Apabila dikaitkan dengan rasioBeban Operasional terhadap Pendapatan Operasional(BOPO), tampaknya rasio ROA yang baik disebabkan olehtingkat efisiensi BPD lebih baik dibandingkan Bank Umum.BPD memiliki rasio LDR yang lebih besardibandingkan dengan keseluruhan bank umum. ApabilaLDR ini digunakan sebagai indikator intermediasi, makatampaknya fungsi intermediasi BPD berjalan dengan cukupbaik walaupun masih tetap perlu ditingkatkan.

Tahun 2006Tahun 2006 merupakan tahun yang penuh dinamika bagi industri perbankan nasional. Ditengahberatnya tantangan yang dihadapi pada tahun 2006, bank pada umumnya mampu mempertahankankinerja yang positif. Profitabilitas, likuiditas dan solvabilitas bank stabil pada tingkat yang memadai.Namun demikian, fungsi intermediasi masih terkendala akibat perubahan kondisi perekonomianyang kurang menguntungkan terutama pada paruh pertama tahun 2006. Kondisi ini mendorongbank lebih berhati-hati dalam mengelola risiko portofolionya dan cenderung menempatkan dananyapada aktiva produktif yang berisiko rendah, antara lain SBI.Menyikapi hal ini, Bank Indonesia menetapkan kebijakan untuk lebih mendorong pertumbuhanintermediasi perbankan melalui Paket Kebijakan Perbankan (Pakjan) 2006 dan Paket KebijakanPerbankan Oktober (Pakto) 2006, serta dengan penurunan BI rate secara hati-hati dan terukur(cautious easing). Disisi lain, upaya penguatan fondasi sektor perbankan Indonesia terus ditingkatkanmelalui payung Arsitektur Perbankan Indonesia (API).Membaiknya kondisi perekonomian yang didukung oleh rangkaian kebijakan serta upayapengelolaan risiko oleh bank berdampak positif. Pada paruh kedua tahun 2006 kinerja perbankanmembaik. Berjalannya restrukturisasi kredit beberapa korporasi besar menurunkan rasio NPL grossperbankan. Pembiayaan perbankan mulai bergerak sehingga pada akhir tahun perbankan mampumenghasilkan kinerja yang cukup menggembirakan. Berpijak dari berbagai kondisi tersebut, padatahun 2007 diprakirakan kinerja perbankan Indonesia semakin meningkat didukung oleh terjaganyakestabilan makroekonomi serta ketentuan yang menstimulasi fungsi intermediasi perbankan dalamkoridor kehati-hatian.Tahun 2006 Perbankan Indonesia dihadapkan padatantangan eksternal yang berat. Memasuki paruh pertamatahun 2006, kondisi perekonomian masih diwarnaidampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dankenaikan tingkat sukubunga yang terjadi pada triwulankeempat tahun 2005. Di satu sisi, konsumsi yangmelambat akibat menurunnya daya beli turut menyurutkanpermintaan terhadap pembiayaan perbankan. Sementarakondisi dunia usaha yang dibebani oleh ekskalasi hargamenyebabkan kenaikan ongkos produksi. Pada akhirnya,perbankan memandang kemampuan membayar kembali(repayment capacity) debitur dan calon debitur cenderungmelemah. Disisi lain, berbagai hambatan teknis di perbankan maupun upaya perbaikan iklim investasi daninfrastruktur masih terkendala, sehingga penyaluran kreditberskala besar tertahan. Kondisi ini mengakibatkan bankpada umumnya melakukan penyesuaian strategiportofolionya dan cenderung lebih berhati-hati.Bank cenderung menyalurkan dana pada jenis kreditberisiko rendah. Perbankan melakukan penyesuaianstrategi pemberian kredit dengan lebih memfokuskankepada sektor usaha yang memiliki risiko terkendali, antaralain yang bersifat jangka pendek dengan plafon yang tidakterlalu besar. Kredit kepada sektor perdagangan tumbuhcukup tinggi terutama didukung oleh tingginya permintaankredit subsektor perdagangan eceran. Disisi lain, bank pada umumnya masih cenderung behati-hati menyalurkan kreditkepada sektor industri pengolahan, sehingga pertumbuhannyaturun dibandingkan tahun sebelumnya.Pertumbuhan kredit melambat, sementara simpananmasyarakat meningkat. Pertumbuhan kredit tahun 2006sebesar Rp 102,7 triliun (14,1%) lebih rendahdibandingkan pertumbuhan tahun 2005 sebesar Rp135,1triliun (22,7%). Rendahnya realisasi kredit mendorongbank melakukan revisi sasaran pertumbuhan kredit dalambusiness plan tahun 2006. Sementara pertumbuhansimpanan masyarakat ke bank lebih besar dibandingkanpertumbuhan kedit, yaitu Rp 159,1 triliun (14,1%). Halini mengakibatkan rasio loan to deposit ratio hanyamencapai 64,7% atau mencerminkan adanya likuiditasyang tinggi di perbankan.Momentum pertumbuhan ekonomi kembali tercapaididukung oleh respon kebijakan yang proaktif. Dengankebijakan moneter yang konsisten diarahkan untukmencapai sasaran inflasi, tekanan inflasi semakin menurundari 17,03% pada awal tahun menjadi 6,60% pada akhirtahun. Hal ini didukung oleh stimulus fiskal antara lainberupa bantuan langsung tunai (BLT) kepada rumah tanggamiskin, peningkatan penghasilan tidak kena pajak, sertapercepatan realisasi anggaran Pemerintah. Disisi lain,meskipun investasi masih tumbuh melambat, indikatorinvestasi swasta menunjukkan peningkatan. PenurunanBI rate secara hati-hati dan terukur (cautious easing), yangsecara kumulatif mencapai 300 basis poin sehingga padaakhir tahun berada di level 9.75%, memberikan stimuluspenurunan sukubunga domestik. Perekonomian tumbuhmembaik sehingga akhirnya mencapai 5.5%. Sementaraitu, nilai tukar tetap stabil dan juga diarahkan untuk tetapfleksibel, sehingga sektor perbankan mampu melakukanpengelolaan risiko pasarnya secara proaktif.Di bidang perbankan, respons kebijakan BankIndonesia tetap diletakkan dalam kerangka API, sertaditujukan untuk memperkuat dukungan perbankan bagipertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya kebijakan yangditempuh pada tahun 2006 merupakan kelanjutan darikebijakan yang telah tercantum pada API, dan responterhadap situasi yang sedang berkembang, terutamamasalah intermediasi dan konsolidasi perbankan. Seluruhlangkah kebijakan sebagai upaya untuk mendorong fungsiintermediasi perbankan dengan tetap memperhatikanprinsip kehati-hatian, terangkum dalam suatu kerangkayang utuh dan sistematis melalui Paket KebijakanPerbankan Januari (Pakjan) 2006 dan Paket KebijakanPerbankan Oktober (Pakto) 2006. Sementara kebijakankebijakanuntuk mengkonsolidasikan industri perbankanmeliputi kebijakan kepemilikan tunggal, pemberian insentifkepada bank-bank yang melakukan merger, danpenyempurnaan ketentuan Good Corporate Governance.Di bidang perbankan syariah, Bank Indonesia mengimplementasikanberbagai program kebijakan gunamemperkuat industri perbankan syariah. Adapun kebijakandi bidang BPR dimaksudkan untuk mewujudkan industriBPR yang sehat, kuat produktif, dan dipercaya untukmelayani UMK dan masyarakat, khususnya di pedesaanguna mendukung pertumbuhan perekonomian daerah.Resultan dari perbaikan kondisi makroekonomi sertaberbagai kebijakan perbankan membuahkan hasil positif.Sebagai hasil dari strategi yang ditempuh bank dalammemitigasi risiko, kinerja keuangan perbankan secaraumum cukup menggembirakan. Total asset bank umumtermasuk perbankan syariah meningkat sebesar 15,2%menjadi Rp1.694 triliun. CAR mencapai 20,5% atau naiksedikit dari posisi akhir tahun 2005. Kualitas aktivaproduktif, terutama yang berbentuk kredit, cenderungmembaik yang tercermin pada penurunan NPL. Apabilapada akhir tahun 2005 NPL gross dan netto masing-masingtercatat sebesar 8,3% dan 4,8%, maka pada akhir tahun2006 menurun menjadi masing-masing sebesar 7,0% dan3,6%. Likuiditas bank terus membaik, ditandai denganpeningkatan rasio alat likuid terhadap non-core deposit yang cukup tinggi menjadi sebesar 147,3%. Profitabilitasmembaik, dengan ROA relatif stabil sebesar 2,6%, danefisiensi yang sedikit membaik. Rasio BOPO turun menjadisebesar 86,4%. NII meningkat dari Rp6,2 triliun menjadiRp7,7 triliun, atau dengan kata lain perolehan laba bersihperbankan naik dari rata-rata Rp2,1 triliun per bulan (2005)menjadi Rp2,4 triliun per bulan (2006). Kenaikanprofitabilitas ini menimbulkan adanya internal growthmodal perbankan sehingga CAR naik 19,5% menjadi20,5%. Namun demikian fungsi intermediasi perbankanrelatif rendah, sehingga meningkatkan likuiditas perbankan Kinerja perbankan terefleksikan pada predikattingkat kesehatan bank. Selama tahun 2006 sebagianbesar bank menunjukkan memiliki predikat baik dan cukupbaik. Hal tersebut merupakan refleksi peningkatanefektivitas manajemen risiko bank. Demikian pula, strategipenyaluran dana yang lebih berhati-hati didukung olehupaya peningkatan tata kelola yang baik oleh bankmembuahkan hasil yang positif.Fungsi pengawasan Bank Indonesia terusdisempurnakan. Untuk mendukung sistem pengawasanberbasis risiko (risk based supervision), telah dilakukanreorganisasi satuan kerja pengawasan dan pemeriksaan,sehingga pelaksanaan fungsi pengawasan dilakukandengan pola dedicated team. Melalui pola dedicated team,pengawas dapat mengetahui secara komprehensif profilrisiko, dan menetapkan strategi pengawasan terhadapbank yang diawasinya dalam waktu yang relatif lebihsingkat. Selain itu, penyempurnaan pedoman pengawasanberbasis risiko terus diupayakan, yang disertaipenyelenggaraan Program Sertifikasi Pengawas secaraberkesinambungan untuk meningkatkan kualitaspengawasan.Uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)dimaksudkan untuk mendorong terciptanya sistemperbankan yang sehat. Hal ini diimplementasikan melaluipengelolaan dan pengendalian oleh pihak-pihak yangmemiliki integritas dan kompetensi yang tinggi. Fit andproper test terhadap calon pengurus dan pemegang sahampengendali merupakan saringan awal berupa prosesevaluasi atas integritas, kompetensi, dan atau kalayakan/reputasi calon pengurus/pemegang saham pengendali.Upaya penegakan hukum terhadap praktekpenyimpangan di bidang perbankan antara lain dilakukanmelalui peningkatan kerja sama. Bank Indonesiamelakukan pemeriksaan khusus investigasi atau forensikterhadap dugaan tindak pidana perbankan tanpakewenangan melakukan penyidikan terhadap kasusdugaan penyimpangan di bidang perbankan. Untuk itudilakukan kerja sama penanganan tindak pidana di bidangperbankan dengan otoritas lain, yaitu Jaksa Agung RI,Kepala Kepolisian RI, Pusat Pelaporan dan AnalisisTransakis Keuangan (PPATK) dan Komisi PemberantasanKorupsi (KPK).Prospek usaha dan kinerja perbankan pada tahun2007 diprakirakan semakin membaik. Dengan didukungoleh terjaganya kestabilan makroekonomi serta ketentuanprudensial yang menstimulasi lebih aktifnya pembiayaanperbankan dalam koridor kehati-hatian, ekspansi kreditperbankan diperkirakan meningkat rata-rata 20%bersumber dari pertumbuhan dana pihak ketiga rata-ratasebesar 10%. Faktor lain yang mendukung hal ini antaralain kecenderungan suku bunga yang rendah, nilai tukaryang stabil, dan permintaan domestik maupun global yangmulai kembali meningkat.Upaya mengoptimalkan fungsi intermediasiperbankan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatiantetap merupakan langkah kebijakan Bank Indonesia tahun2007. Peningkatan peran perbankan dalam pembiayaanakan sangat menentukan tercapainya pertumbuhanekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas. Untukmeningkatkan peran perbankan sebagai lembagaintermediasi terbesar dalam mendorong sektor formaltermasuk UMKM ke lintasan pertumbuhan yang lebihtinggi ditengah risiko mikro-struktural, perlu diupayakanadanya peningkatan pemberian kredit perbankan kepadasektor riil (UMKM dan Non UMKM) serta ketersediaanpembiayaan jangka panjang. Untuk itu, Bank Indonesiaakan : (1) lebih aktif berperan sebagai mediumpenyambung (katalisator) dalam mendorong prosesintermediasi perbankan; (2) berupaya meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan Pemerintah untuk menatakembali industri perbankan, khususnya melalui revitalisasi peran bank-bank BUMN; (3) berupaya memfasilitasi prosesmerger, memfasilitasi kelancaran pelaksanaan fungsiintermediasi perbankan; (4) mengeluarkan panduan yangakan memandu bank milik asing untuk berperan lebihoptimal dalam proses intermediasi dan mengeluarkankebijakan khusus pembatasan tenaga kerja asing di levelmiddle management serta kewajiban melaksanakantransfer of knowledge; (6) mengambil peran dalampengembangan pasar dan instrumen keuangan (financialmarket deepening); (7) menerapkan program akselerasiperbankan syariah Indonesia; (8) mengkaji ulangpengaturan pengembangan BPR dalam rangkapeningkatan dan perluasan peran dan kontribusinya kesektor UMKM di seluruh pelosok tanah air.

tahun 2008Secara keseluruhan, kinerja perbankan sepanjang 2008 masih relatif stabil, meski menghadapitekanan akibat krisis keuangan global yang dampaknya semakin meluas. Meningkatnya fungsipengawasan dan kerjasama dengan otoritas terkait yang disertai penerbitan beberapa peraturanoleh Bank Indonesia dan Pemerintah cukup efektif menjaga ketahanan perbankan dari dampaknegatif gejolak pasar keuangan tersebut. Perbankan berhasil meningkatkan fungsi intermediasinyadan melaksanakan proses konsolidasi perbankan dengan hasil yang positif.Permodalan semakin kuat dan jumlah jaringankantor terus meningkat. Selama tahun 2008 secarakeseluruhan, modal inti minimum bank umum sebesarRp80 miliar telah terpenuhi dan Bank Indonesia terusmengupayakan pencapaian pemenuhan modal intiminimum sebesar Rp100 milyar. Jumlah jaringan kantorperbankan terus meningkat dari 9.626 kantor menjadi10.752 kantor, meskipun jumlah bank berkurang dari128 bank menjadi 124 bank. Hal ini antara lain karenasebanyak 7 bank telah melakukan merger terkait denganimplementasi kebijakan kepemilikan tunggal diperbankanIndonesia. Sementara perbankan syariah mengalamipertambahan sebanyak 3 unit usaha syariah (UUS), danmelalui konversi 2 UUS menambah jumlah bank umumsyariah (BUS) dari 3 menjadi 5 BUS. Selain itu, jumlahbank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) meningkat dari114 BPRS menjadi 131 BPRS.Peta kepemilikan bank umum berubah seiringimplementasi kebijakan kepemilikan tunggal.Terkait dengan implementasi kebijakan kepemilikantunggal diperbankan Indonesia, jumlah bank yangdimiliki Pemerintah dan nasional sebanyak 75 bankmasih lebih banyak dari jumlah bank yang dimiliki pihakasing, yakni 49 bank, meskipun berdasarkan total asetpangsa bank yang dimiliki pihak asing meningkat dari42% menjadi 48%. Kinerja perbankan stabil tercermin dariindikator utama perbankan yang tetap tumbuh.Meski mendapat tekanan dampak krisis global, peranperbankan dalam mendorong pertumbuhan ekonomimasih positif. Dengan profitabilias dan permodalanperbankan yang tetap terjaga di level yang cukup tinggimeski sedikit menurun, yakni masing-masing 2,3%Return on Asset (ROA) dan 16,2% Capital AdequacyRatio (CAR), industri perbankan cenderung melakukanpenyaluran kredit yang lebih tinggi dari penghimpunanDana Pihak Ketiga (DPK). Bank umum mencatatpertumbuhan kredit sebesar Rp308,0 triliun (29,5%)sementara DPK tumbuh sebesar Rp242,6 triliun (16,1%),sehingga total aset meningkat sebesar Rp324.1 triliun(16,3%). Sementara itu, perbankan syariah mencatatpertumbuhan total aset, pembiayaan dan DPK yangrelatif pesat, yakni masing-masing sebesar Rp13,0 triliun(35,6%) triliun, Rp11,3 triliun (42,1%) dan Rp8,8 triliun(31,6%). Demikian pula industri BPR, tetap mampumendukung pembiayaan kegiatan ekonomi, khususnyadalam skala Mikro Kecil dan Menengah (MKM). Denganprofitabilitas dan permodalan industri BPR selama tahun2008 yang cukup baik, yakni 2,6% (ROA) dan 23,3%(CAR), jumlah Kredit yang meningkat sebesar Rp4,9triliun (24,0%), sementara DPK meningkat Rp2,6 triliun(14,0%). Kredit MKM pada posisi Desember 2008tumbuh lebih tinggi dari tahun lalu. Sejalan denganlangkah kebijakan mengoptimalkan fungsi intermediasikhususnya peningkatan penyaluran kredit kepadaUMKM, jumlah kredit MKM tumbuh sebesar Rp136.6triliun, atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ditahun 2007 sebesar Rp96.2 triliun. Dilihat pangsanya,pada tahun 2008 pangsa kredit MKM mencapai 49,5%dari total kredit perbankan lebih kecil dibandingkanpangsa kredit MKM pada tahun 2007 sebesar 51,2%.Di sisi lain NPL gross kredit MKM menurun dari 3,7%pada 2007 menjadi 3.2%, NPL gross kredit MKM tahun2008 ini lebih rendah apabila dibandingkan NPL grosstotal kredit perbankan yang sebesar 3,8%.Perkembangan kinerja industri perbankan yangpositif selama tahun 2008 merupakan daya dukungpencapaian langkah kebijakan Bank Indonesiaselanjutnya. Masih positifnya kinerja perbankanmencerminkan langkah kebijakan Bank Indonesia dibidang perbankan tahun 2008 yang tetap difokuskan padalangkah untuk lebih mengoptimalkan fungsi intermediasidalam rangka meningkatkan peran perbankan dalamperekonomian, sembari terus memantapkan proseskonsolidasi perbankan berjalan cukup baik. Denganpencapaian kinerja perbankan tersebut, langkah kebijakandalam periode waktu 5 tahun yang telah ditetapkanBank Indonesia pada tahun 2008 dengan fokus pada3 hal, yaitu: (1) melanjutkan proses konsolidasi danpenataan kembali struktur industri perbankan nasional,(2) menetapkan arah pengembangan industri BPR kedepan, dan (3) menetapkan langkah-langkah dalamupaya mempercepat pertumbuhan perbankan syariah,diharapkan dapat dicapai dengan baik.Berbagai langkah kebijakan antisipatifmenghadapi krisis global cukup efektif. Berbagailangkah antisipasi kondisi perekonomian global yang sedangdilanda krisis telah dilakukan. Likuiditas yang semakin ketatdan semakin tertekannya nilai tukar rupiah menunjukkandampak krisis global yang semakin meluas sejak paruhkedua tahun 2008. Hal ini berpotensi membahayakanstabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.Untuk meningkatkan peran Bank Indonesia sebagailender of the last resort , maka dilakukan langkah-langkahpenyempurnaan ketentuan yang terkait dengan pemberianfasilitas likuiditas bagi bank umum, yaitu Fasilitas LikuiditasIntrahari Bagi bank umum (FLI), Fasilitas Pendanaan JangkaPendek Bagi bank umum (FPJP), dan Fasilitas PembiayaanDarurat Bagi bank umum (FPD). Terbitnya peraturantersebut juga melengkapi mekanisme Jaring PengamanSistem Keuangan (JPSK) sebagaimana diamanatkandalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perppu) No.4 Tahun 2008 tentang JPSK. Penerbitanbeberapa peraturan tersebut merupakan bagian darijaring pengaman keuangan (financial safety net) yangdiperlukan dalam rangka memelihara stabilitas sistemkeuangan. Sementara itu Pemerintah juga mendukungpenanganan antisipasi krisis melalui langkah-langkah:(1) menunda pelaksanaan mark to market, (2) meninjauaturan pembelian kembali (buy back) saham perusahaanpublik, (3) membeli kembali saham-saham BUMN, (4)meningkatkan likuiditas APBN melalui pencairan anggarankementerian dan lembaga, serta (5) mengupayakanpenegakan hukum pasar modal.Secara umum implementasi ArsitekturPerbankan Indonesia (API) pada tahun 2008 telahberjalan sesuai dengan arah yang ditetapkan. Denganpenekanan pada upaya penguatan struktur perbankannasional, peningkatan akses kredit, dan pemberdayaannasabah melalui edukasi masyarakat di bidang perbankanpencapaian program API menggembirakan.Sistem pengawasan perbankan menjadilebih baik. Dalam era globalisasi, Bank Indonesia telahmenerapkan sistem pengawasan yang berlaku secarainternasional dengan mengacu kepada Basel CorePrinciples, yakni sistem pengawasan berbasis risiko (RiskBased Supervison) dan sistem pengawasan terkonsolidasi(Consolidated Supervison). Dengan demikian industriperbankan di Indonesia dapat disejajarkan dengan sistem yang berlaku di negara-negara lain, sehinggadapat meningkatkan ketahanan dan daya saing industriperbankan nasional.Secara umum perbankan mampu menanganirisiko dengan baik. Hal ini antara lain ditunjukkan olehhasil penilaian terhadap profil risiko bank umum yangcenderung tergolong Moderat yakni 86,6%, atau lebihbaik dibandingkan tahun lalu sebesar 79,5%. Sementarauntuk profil bank umum syariah menunjukkan sebanyak66,7% yang tergolong Moderat dan sisanya sebesar33,3% yang tergolong Tinggi. Hal ini terkait adanyapenambahan dua bank umum syariah baru. Selanjutnya,hasil penilaian risiko BPR berdasarkan indikator kualitasaktiva produktif menunjukkan BPR relatif dapat mengelolarisiko dengan baik yang tercermin dari persentase kualitasaktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap totalaktiva produktif yang cukup rendah yakni sebesar 6,4%,atau jauh di bawah ambang batas kategori BPR dengankualifikasi buruk (> 12,6%).Penerapan Good Corporate Governance (GCG)perbankan semakin membaik. Dibandingkan tahunlalu hasil penilaian penerapan GCG lebih baik, antaralain ditunjukkan dengan meningkarnya jumlah bankyang tergolong Baik, yaitu dari 38,8% menjadi 44,6%,sedangkan yang tergolong Tidak Baik turun dari 4,3%menjadi 0,8%.Pelaksanaan prinsip Know Your Customer(KYC)/Anti Money Laundering (AML) bank umumcukup baik. Meskipun masih terdapat beberapa hal yangperlu ditingkatkan, hasil penilaian implementasi prinsipKYC/AML dibandingkan tahun lalu relatif membaik.Hal ini antara lain ditunjukkan dengan meningkatnyapersentase jumlah bank yang tergolong Baik dari 9,8%menjadi 14,3%. Sementara pada bank umum syariahmenunjukkan seluruhnya Cukup Baik 100%. Selanjutnyasecara umum penerapan prinsip KYC/AML BPR CukupBaik, antara lain ditunjukkan oleh persentase jumlahBPR yang tergolong Cukup Baik meningkat dari 55,9%menjadi 61,4%.Berdasarkan hasil pengawasan menunjukkankondisi perbankan relatif lebih baik. Dibandingkandengan posisi sebelumnya, maka persentase jumlah bankumum dengan status pengawasan Normal meningkat dari77,2% menjadi 82,4%. Demikian pula tingkat kesehatanbank umum relatif menjadi lebih baik dibandingkantahun lalu. Persentase jumlah bank mayoritas tergolongBaik (58,8%), dengan persentase jumlah bank umumyang tergolong Cukup Baik meningkat dari 32,3%menjadi 38,7%, dan yang tergolong Kurang Baikturun dari 6,3% menjadi 0,8%. Sedangkan tingkatkesehatan bank umum syariah, kondisinya sama dengantahun sebelumnya yakni 66,7% tergolong Baik dan33,3% Cukup Baik. Sementara Industri BPR mengalamipeningkatan kualitas tingkat kesehatan. Jumlah BPR yangtergolong Sehat meningkat dari sebesar 73,8% menjadi78,5% yang disertai penurunan pada BPR yang tergolongKurang Sehat dan Tidak Sehat.Penyempurnaan kerangka kerja sistempengawasan terus dilakukan. Dalam rangkameningkatkan efektifitas fungsi pengawasan, upayapenyempurnaan pengawasan dilakukan secarakomprehensif dengan cara bertahap, disertai denganpenyempurnaan organisasi, peningkatan kompetensi SDMdan penyempurnaan peraturan yang dilengkapi petunjukpelaksanaannya. Selain itu, untuk memastikan bahwaindustri perbankan di Indonesia dapat tumbuh secarasehat dan kuat, Bank Indonesia terus mengupayakanpelaksanaan fungsi pengawasan secara sistematis danberkesinambungan yang disertai peningkatan kompetensiSDM pengawas bank khususnya dalam rangka persiapanimplementasi Basel II, Pernyataan Standar AkuntansiKeuangan (PSAK) 55 dan PSAK 50.Fungs i pengawasan Bank Indones i aditingkatkan seiring kondisi krisis global. BankIndonesia melakukan beberapa langkah antisipatif yangdifokuskan pada aspek pemantauan likuiditas baiksecara harian, mingguan, maupun bulanan. Pemantauanintensif dilakukan terhadap perkembangan pos-pos tertentu neraca, dan melakukan analisa tentang sumberdan penggunaan dana, termasuk pula analisa terhadaptransaksi PUAB dan pemantauan Secondary Reserve vsDPK. Selain itu, pengawas juga melakukan pengawasansecara langsung dalam bentuk pemeriksaan khusus(special on-site examination) atas transaksi valuta asingyang dilakukan bank-bank yang memiliki eksposur yangcukup besar. Hal ini disertai langkah pembinaan kepadabank untuk segera melakukan langkah-langkah strategisuntuk mencegah menurunnya tingkat likuiditas.Prospek perbankan 2009 masih akan tetappositif. Masih dominannya posisi perbankan sebagaisalah satu katalisator pertumbuhan ekonomi melaluipembiayaan terhadap sektor riil membuat kinerjaperbankan diperkirakan masih akan tetap positif padatahun 2009 ini. Namun dibalik optimisme tersebut, perludiwaspadai potensi tren peningkatan terhadap NonPerforming Loan (NPL) perbankan yang pada akhirnyadapat menggerus modal bank. Menyikapi hal tersebut,Bank Indonesia akan segera melakukan beberapalangkah proaktif, baik dalam upaya untuk tetap menjagakemampuan bank dalam menyalurkan kreditnya maupundalam upaya untuk memitigasi potensi risiko yang akanberdampak terhadap perbankan nasional. Disampingitu, Bank Indonesia juga berkomitmen untuk tetapmelanjutkan dan mensukseskan program konsolidasiuntuk mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dankompetitif.Kedepan, arah kebijakan perbankan akantetap difokuskan pada penguatan sistem perbankannasional. Di tengah kondisi krisis global yang masihberlangsung, Bank Indonesia akan menempuhlangkah kebijakan dalam rangka : (a) memperkuatketahanan bank dalam menghadapi risiko operasionaldengan memasukkan aspek risiko operasional dalamperhitungan kecukupan modal dalam rangka Basel II, (b)meningkatkan transparansi kondisi keuangan bank danlaporan keuangan bank, (c) memperkuat manajemenrisiko bank, dan (d) mempertajam proses konsolidasiperbankan nasional

tahun 2009Krisis keuangan global yang terjadi pada triwulan tahun 2008 cukup memberikan dampaknegatif terhadap sektor perbankan. Namun demikian, secara umum Industri perbankan tetapdapat tumbuh dengan kinerja yang positif. Hal ini tidak terlepas dari berbagai langkah kebijakanyang ditempuh oleh Pemerintah dan Bank Indonesia yang cukup efektif untuk mengatasi dampakkrisis dan mengantisipasi tantangan pemulihan perekonomian domestik. Selain itu, ketahananindustri perbankan yang tetap terjaga dan dapat tumbuh secara sehat, menunjukkan fungsipengawasan bank yang telah berjalan secara efektif.Memperkuat Sistem Perbankan, MendukungPertumbuhan EkonomiDalam periode laporan, di tengah kondisiperekonomian dunia yang sedang turun akibat krisis,Bank Indonesia menetapkan langkah kebijakan dibidang perbankan yang diharapkan dapat menjadistimulus pertumbuhan ekonomi, sekaligus memperkuatketahanan perbankan. Dalam hal ini, langkah kebijakanadalah terutama untuk tetap menjaga peran banksebagai agent of development, meningkatkan ketahanansistem perbankan dan memperkuat sistem pengawasanberdasarkan risiko (risk based supervision).Langkah untuk meningkatkan ketahanan sistemperbankan dan memperkuat sistem pengawasanberdasarkan risiko, ditempuh berdasarkan pemahamanbahwa industri perbankan yang mampu bertahan dalamkondisi krisis sangat ditentukan oleh terwujudnya goodgovernance dan good supervision. Good governancedalam pengelolaan bank diperlukan karena faktorintegritas dan karakter dari manajemen bank memegangperan utama dalam menciptakan bank yang sehat.Sementara terciptanya good supervision sangat berperandalam mewujudkan sistem perbankan yang sehat.Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangkamenciptakan good governance, Bank Indonesiamemperkuat screening berdasarkan karakter danintegritas manajemen bank, serta memperkuat sanksidalam batas-batas ketentuan perundangan yangberlaku. Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan goodsupervision, dilakukan penguatan sistem pengawasanberdasarkan risiko. Hal ini tidak terlepas dari langkahantisipasi terhadap perkembangan yang sangat pesat diindustri perbankan dalam era globalisasi, yang ditandaidengan meningkatnya kompleksitas operasional dankompetisi yang ketat.Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalamtahun 2009 dalam rangka penguatan sistem pengawasanberdasarkan risiko, mencakup :- meningkatkan fungsi check and balance dan qualityassurance hasil pengawasan berdasarkan risiko;- meningkatkan sistem informasi;- meningkatkan kompetensi pengawas;- menyempurnakan beberapa pedoman pengawasanberdasarkan risiko;- meningkatkan kualitas penerapan manajemenrisiko bank, khususnya terkait dengan pengelolaanlikuiditas serta pengawasan terhadap produk barudan atau aktivitas baru yang dilakukan bank;- menyempurnakan fungsi dan organisasi pengawasanbaik di Kantor Pusat maupun di seluruh KantorkantorBank Indonesia.Sementara itu, untuk menciptakan lembagaperbankan dan stabilitas sistem keuangan yang sehat,Bank Indonesia terus meningkatkan kerjasama denganInstitusi/ Lembaga otoritas lain secara nasional sepertiKejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Koprupsi(KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan(PPATK), dan Badan Pengawas Pasar Modal danLembaga Keuangan (Bapepam - LK). Selain itu untukmendukung penerapan sistem pengawasan secaraterkonsolidasi (consolidated supervision), Bank Indonesiajuga meningkatkan kerjasama dengan Institusi/Lembagaotoritas lain secara internasional.Terkait dengan implementasi Arsitektur PerbankanIndonesia (API), program-program yang telah ditetapkanterus dilaksanakan dengan pencapaian yang sesuaidengan target. Program API yang terutama diarahkanuntuk memperkuat ketahanan sistem perbankan agarlebih memberikan kontribusi kepada perekonomianIndonesia, khusus untuk implementasi pada tahun2009, lebih ditekankan pada penajaman arah kebijakanperbankan ke depan, peningkatan akses kredit, danpemberdayaan nasabah melalui edukasi masyarakat dibidang perbankan.Untuk mendukung seluruh pencapaian sasarankebijakan tersebut di atas, dalam tahun laporan BankIndonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)sebanyak 7 PBI khusus untuk bank umum konvensional,7 PBI khusus untuk perbankan syariah, dan 2 PBI khususuntuk BPR. Selain itu, sebagai petunjuk pelaksanaannyatelah diterbitkan pula beberapa surat edaran (SE) danpenyempurnaan pedoman pengawasan bank berdasarkanrisiko. Selanjutnya, dibentuk pula Unit AsistensiPengawasan Bank Umum dalam rangka mempercepatpenyelesaian bank-bank yang bermasalah.Terkait dengan keanggotaan Indonesia dalamKelompok G-20, maka Indonesia telah mendapat tempatyang sangat strategis dalam menentukan arah kebijakanperekonomian global. Secara organisasi, Kelompok G-20lebih memiliki keterwakilan antara negara maju dannegara berkembang dibandingkan dengan Kelompok G8yang lebih mewakili negara-negara maju. Oleh karena ituperan Kelompok G-20 diharapkan akan lebih besar dalammendorong pertumbuhan ekonomi global, serta dapatmewakili kepentingan negara-negara berkembang.Sebagai respon kebijakan terhadap krisis keuanganglobal, Kelompok G-20 telah menghasilkan WashingtonAction Plans (WAP) yang berisi 50 langkah penyelamatanperekonomian dunia dari krisis. Beberapa dari rencanatindak tersebut menjadi mandat yang akan ditindaklanjutioleh Financial Stability Board (FSB) dan Basel Committeeon Banking Supervision (BCBS). Selain itu, dalam rangkapenguatan sistem keuangan, forum ini menyepakatiperlunya dukungan dari Financial Stability Board (FSB)untuk menjaga momentum program-program reformasidan menjamin implementasi secara penuh, tepat waktu,konsisten serta menciptakan level playing field di sektorkeuangan global.Terkait dengan perkembangan tersebut di atas,Bank Indonesia sejak bulan Maret 2009 telah ditetapkansebagai salah satu anggota FSB. Selanjutnya, padabulan Juni 2009, Bank Indonesia ditetapkan sebagaisalah satu anggota BCBS, yang merupakan forum kerjasama antar otoritas pengawas perbankan. Tujuan dariforum ini adalah untuk memperkuat pemahaman atasisu-isu perbankan terkini dan meningkatkan kualitaspengawasan bank dengan cara berbagi informasimengenai pendekatan dan teknik yang digunakan olehmasing-masing pengawas bank. Dengan keanggotaanBank Indonesia pada FSB dan BCBS tersebut, makadiharapkan Indonesia dapat lebih berperan dalampengembangan pedoman dan standar pengawasanperbankan.Selanjutnya, dengan memperhatikan bahwakrisis keuangan bisa terjadi kapan saja dan dari sumbermanapun, maka dimilikinya suatu kerangka sistem untukmengantisipasi berbagai kemungkinan yang timbuldalam menghadapi krisis merupakan hal yang sangatdiperlukan. Kerangka tersebut terutama berfungsi baikdalam rangka pencegahan krisis maupun penanganankrisis dan pemulihan dampaknya apabila krisis benarbenarterjadi.Financial Sector Assesment Program (FSAP),merupakan progam yang mencakup rangkaian kegiatanuntuk mendiagnostik simpul-simpul rawan dalamsektor keuangan nasional, kompatibilitas terhadapstandar baku internasional termasuk aspek hukum, jugaaspek pengembangan dari beberapa sub sektor dalamsistem keuangan. Cakupan FSAP adalah hal-hal yangsaling memiliki korelasi dalam sistem keuangan, yakni:Perbankan, Pasar Modal, Asuransi, termasuk sistempembayaran, dan kebijakan moneter.Mengingat pentingnya FSAP, maka Kelompok G-20telah menyatakan wajib bagi seluruh negara anggotanyauntuk melaksanakan FSAP dan semaksimal mungkinmengambil manfaat untuk menyempurnakan sistemkeuangan nasionalnya. Selanjutnya, implementasi darirekomendasi FSAP tersebut diharapkan akan secarabertahap memberikan kontribusi dalam upaya perbaikanterhadap struktur dan berbagai kebijakan dalamarsitektur sistem keuangan global.Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesiasebagai salah satu anggota Kelompok G-20, telahmenetapkan FSAP sebagai agenda nasional dengancakupan yang sangat luas dan komprehensif. TahapI dari FSAP telah dilaksanakan dalam bulan Oktober2009, yakni berupa assesment terhadap SektorPerbankan (Basel Core Principle for Effective BankingSupervision/BCP, Stress testing, Governance), SektorSistem Pembayaran, Kebijakan Moneter, Pasar Modaldan Asuransi termasuk infrastrukturnya. Selanjutnya,hasil assessment akan diperdalam pada fase II yang akandilaksanakan pada bulan Februari/Maret 2010. Fase IIakan mempertimbangkan masukan awal pada fase Iyang telah ditanggapi oleh Indonesia yang kemudianakan diperdalam pada rangkaian assesment berikutnyauntuk dijadikan dasar penyusunan Technical Note danAide Memoire oleh para assessor. Hasil FSAP diperkirakanakan dipublikasikan pada bulan Agustus 2010.Selanjutnya, dengan masih terjaganya kepercayaanmasyarakat terhadap perbankan dan perekonomian yangmasih tumbuh positif mencapai 4,3%, menunjukkanbahwa langkah kebijakan dan upaya yang ditempuhuntuk memperkuat sistem perbankan dan sekaligusmendorong pertumbuhan ekonomi menunjukkanhasil yang cukup menggembirakan. Pencapaian initidak terlepas dari cukup efektifnya sejumlah langkahkebijakan di bidang perbankan, yakni yang ditempuhuntuk mengatasi dampak krisis global yang terjadi padatriwulan terakhir 2008, dan dilanjutkan dengan langkahkebijakan untuk mengantisipasi tantangan pemulihan ditahun 2009.Industri Perbankan Tumbuh Positif denganKetahanan yang TerjagaModal inti minimum bank umum yang terusmeningkat, memperkuat struktur permodalan bank.Sampai dengan akhir Desember 2009, atau mendekatibatas akhir pemenuhan kebijakan modal inti minimumRp 100 miliar pada tanggal 31 Desember 2010, makamayoritas bank atau 90,9% telah dapat memenuhinya.Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnyasebesar 81,5%. Sumber peningkatan pemenuhan modalminimum tersebut terutama dari penambahan modal daripemegang saham lama dan akuisisi oleh investor baru.Dengan jumlah jaringan kantor bank yang terusmeningkat meskipun jumlah bank berkurang, diharapkanperan bank sebagai agen of development tercapai. Selamatahun 2009, jumlah jaringan kantor bank meningkatsebanyak 965 kantor, meskipun jumlah bank berkurangakibat pencabutan izin usaha sebanyak 3 bank. Terusmeningkatnya jumlah dan jaringan kantor bank jugaterjadi di perbankan syariah. Jumlah bank umum syariahbertambah, dengan dikonversikannya 1 bank umumkonvensional menjadi bank umum syariah, dan terdapatpendirian baru sebanyak 8 BPRS. Sementara itu, di BPR,meskipun secara keseluruhan terjadi penurunan sebanyak39 BPR akibat merger dan konsolidasi, namun jumlahjaringan kantor BPR masih terus meningkat sebanyak115 kantor, dan masih terdapat pendirian sebanyak 19BPR baru.Sampai akhir tahun 2009, jumlah dan pangsa bankmilik pihak nasional masih lebih tinggi dibandingkanmilik pihak asing. Pemerintah dan pihak nasional masingmasingmemiliki sebanyak 74 dan 47 bank umum daritotal sebanyak 121 bank. Demikian pula dengan pangsaaset bank milik pihak Pemerintah dan nasional secarakeseluruhan cenderung meningkat dari 52,0% menjadi54,2%. Namun demikian, dalam kelompok bank yangdimiliki oleh pihak asing, bank akuisisi asing mendominasijumlah bank dan pangsa total aset sebesar Rp. 10 triliunke atas.DPK yang tetap tumbuh sebesar 12,5%, sementarauntuk mendorong perekonomian, perbankan tetapmampu meningkatkan kredit rupiahnya sebesar 16,5%,menunjukkan secara umum industri perbankan tumbuhsecara positif. Namun turunnya kredit valas sebesar17,4%, mengakibatkan secara total kredit tumbuhmelambat hanya sebesar 10% atau dibawah targetsebesar 15%. Selain itu, apresiasi nilai tukar rupiahikut mendorong turunnya kredit valas. Pelambatankredit pada tahun 2009 telah diperkirakan sebelumnya,terutama terimbas krisis global yang menekan ekspordan impor. Meskipun kredit tumbuh melambat namunkualitas kredit tetap terjaga dengan rasio NPL grossperbankan yang relatif tetap sebesar 3,8%. Sementara,NPL net turun dar1,5% menjadi 0,9% sebagai dampaktingginya Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif(PPAP) yang dibentuk bank.Tetap tumbuhnya kredit yang disertai denganlikuiditas yang cukup, mengakibatkan industri perbankantetap mampu menghasilkan profit yang cukup tinggiyakni dengan ROA yang meningkat dari 2,3% menjadi2,6%. Peningkatan ROA juga disertai peningkatanefisiensi perbankan, yang ditunjukkan menurunnya rasioBOPO dari 84,1% menjadi 81,6%.Dengan meningkatnya jumlah bank yang memenuhimodal inti minimum sebesar Rp 100 milyar, didukungoleh profit yang cukup tinggi, sementara kredit masihtumbuh melambat, menyebabkan tingkat permodalanbank terjaga pada level yang cukup tinggi bahkanmeningkat. Rasio kecukupan modal (CAR) dalam tahunlaporan meningkat dari 16,2% menjadi 17,4%. Masihtingginya permodalan bank tersebut dapat digunakansebagai buffer dalam menghadapi risiko-risiko yangmungkin terjadi ke depan.Selanjutnya, berdasarkan hasil penilaian pengawasanterhadap profil risiko bank dapat disimpulkan bahwasebagian besar bank mampu menangani risiko denganbaik. Profil risiko bank adalah terutama pada levelModerat yang mencapai sebesar 74,8% untuk bankumum konvensional, dan sebesar 100% untukBank Umum Syariah. Sementara kemampuan BPRdalam menangani risiko juga relatif cukup baik, yangditunjukkan oleh indikator rasio kualitas aktiva produktifBPR yang cukup rendah sebesar 4,8%.Bank umum mengimplementasikan Good CorporateGovernance (GCG) dengan hasil yang cukup baik. Hasilpenilaian pengawasan terhadap implementasi GCG bankumum menunjukkan bank telah menerapkan prinsipprinsipGCG dengan baik, yakni 37,4% tergolong Baik,dan 55,7% Cukup Baik dan 2,6% Sangat Baik.Demikian pula implementasi KYC/AML di perbankanmencapai hasil yang cukup baik. Penilaian pelaksanaanKYC dilakukan atas dasar pada lima faktor KYC dansesuai Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang(TPPU). Hasil penilaian menunjukkan bahwa sebagianbesar bank tergolong Cukup Baik, yakni pada bankumum konvensional sebesar 73,0% pada bank umumsyariah sebesar 100%, dan pada BPR sebesar 65,8%.Persentase jumlah bank umum konvensional yangtingkat kesehatannya tergolong Baik yang meningkatdibandingkan tahun 2008 dari sebesar 58,8% menjadisebesar 63,5%, menunjukkan industri perbankan dapatterus tumbuh secara sehat. Membaiknya kesehatan bankumum, terutama karena tingkat kesehatan beberapabank umum konvensional meningkat dari Cukup Baikmenjadi Baik, dan dari Tidak Baik menjadi Cukup Baik.Pada bank umum syariah, tingkat kesehatan terdistribusipada peringkat Baik sebesar 50%, dan Cukup Baiksebesar 50%. Sementara itu, tingkat kesehatan BPRkonvensional semakin baik dengan peningkatan jumlahBPR yang tergolong Sehat dari 78,9% menjadi 80.6%,Demikian pula Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)cenderung semakin baik, yang ditunjukkan denganmeningkatnya jumlah BPRS yang tergolong Baik dari38,6% menjadi 39,4%, dan Cukup Baik dari 11,0%menjadi 16,0%.Ketahanan industri perbankan relatif terjaga.Mayoritas bank umum yang berada dalam statuspengawasan normal mencapai 93,0% serta tidakterdapat bank yang berada dalam status pengawasankhusus. Sementara itu, bank yang berada dalam statuspengawasan intensif naik dari 3,4% menjadi 7%,akibat adanya bank yang kinerjanya memburuk masihdalam proses penyelesaian action plan oleh pengurus/pemilik. Tahun 2010 Mendukung Pertumbuhan Ekonomiyang BerkualitasPada tahun 2010, diperkirakan tekanan dampakkrisis global semakin mereda, pertumbuhan ekonomimasih berada pada jalur positif, dan kondisi likuiditaspasar uang telah berangsur normal. Dengan demikiandiharapkan memberikan ruang yang lebih luas bagiperbankan untuk melakukan ekspansi bisnisnya. Selainitu, kinerja dan ketahanan perbankan yang cukup baiksampai dengan akhir 2009, merupakan peluang untukmemanfaatkan momentum pemulihan krisis global.Namun demikian, mengingat daya serap kredit yangbelum terlampau besar, maka pertumbuhan kreditpada 2010 masih diproyeksikan belum setinggi periodesebelum krisis global melanda dunia. Sementara, rasiopermodalan perbankan diproyeksikan masih berada padalevel yang cukup tinggi.Sebagai bagian pembelajaran dari krisis global,dalam kerangka penerapan manajemen risiko banksecara keseluruhan, maka pengelolaan risiko danpotensi risiko ke depan masih tetap menjadi hal krusialdan prioritas untuk diperhatikan. Untuk itu diharapkanrasio NPL akan tetap terjaga pada level dibawah 5% dankinerja perbankan secara keseluruhan dapat tumbuhpositif dan terjaga dengan baik.Selanjutnya, guna mendukung momentumpemulihan krisis global, maka pengalaman menghadapikrisis telah memberikan pelajaran berharga yangpenting dalam melakukan penyempurnaan peraturandan sistem pengawasan. Sehubungan dengan itu,kebijakan perbankan tahun 2010 diarahkan untuksemakin meningkatkan peran industri perbankan dalammendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.dan disertai dengan penyempurnaan pengawasan danketentuan yang didasarkan atas pengalaman krisisglobal.Ke depan, kebijakan Bank Indonesia di sektorperbankan, secara garis besar terdiri atas 4 kebijakanutama berbasis insentif dan disinsentif, yakni : (1)peningkatan ketahanan sistem perbankan nasional;(2) peningkatan intermediasi perbankan melaluipenyempurnaan peraturan dan penyediaan infrastrukturyang mendukung intermediasi; (3) peningkatan peranperbankan syariah terhadap perekonomian nasional danpenguatan ketahanannya; dan (4) peningkatan peranBank Perkreditan Rakyat dalam pembiayaan mikro danpeningkatan ketahanannya.

tahun 2010Bank Umum1)Sampai akhir 2010, bank umum menunjukkan perkembangan yangmenggembirakan. Selain tercermin dari jumlah bank dan jaringan yangterus meningkat, merger dalam rangka penguatan struktur perbankandapat dilaksanakan dengan baik.Jumlah bank umum konvensional menjadi 111 bank yang disebabkanterjadinya merger bank dan pendirian bank umum syariah baru, sebagaiberikut:1. Merger antara PT Bank UOB Buana dan PT Bank UOB Indonesia,menjadi PT Bank UOB Buana, dengan pertimbangan sebagai berikut:a. memperkuat struktur permodalan yang diperlukan untukpengembangan bisnis di masa yang akan datang;b. menciptakan sinergi usaha yang kuat dengan meningkatnyapenetrasi pasar; danc. memperluas pangsa pasar di industri perbankan nasional.2. Merger antara PT Bank OCBC NISP Tbk dan PT Bank OCBC Indonesia,menjadi PT Bank OCBC NISP Tbk, bertujuan untuk meningkatkan dayasaing dengan peningkatan di aset, modal dan kekuatan keuangan.3. Pendirian Bank Jabar Banten Syariah dan Bank BNI Syariah.4. Konversi dari bank umum konvensional menjadi bank umum syariah,yaitu:a. PT Bank Swaguna menjadi PT Bank Victoria Syariah;b. PT Maybank Indocorp menjadi Bank Maybank Syariah, danc. PT Bank UIB menjadi PT Bank BCA Syariah.Sesuai dengan batas akhir pemenuhan kebijakan modal inti minimumsebesar Rp 100 miliar, pada 31 Desember 2010, seluruh bank umummampu memenuhi ketentuan tersebut. Sebagian besar bank kecil danmenengah telah berada pada kisaran modal inti sebesar Rp 100 miliarsampai dengan Rp 1 triliun. Sementara bank dengan modal inti di atas Rp10 triliun masih sama dengan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 8 bank.Pemenuhan peningkatan modal minimum ini, bagi sebagian besar bankadalah melalui pertumbuhan organik, yakni dari perolehan laba dan ataupenambahan modal disetor dari pemilik. Selain itu terdapat dua bank yangmelakukannya melalui akuisisi oleh investor baru. Berdasarkan kelompok usahanya, bank umum di Indonesia terdiriatas Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional Devisa (BUSN Devisa) danNon Devisa (BUSN Non Devisa), Bank Pembangunan Daerah (BPD), BankCampuran, serta Bank Asing. Di akhir 2010, jumlah bank umum terbanyakterdapat pada kelompok BUSN Devisa yaitu sebesar 30%. Sementara itudari sisi peningkatan jumlah bank, BUSN Devisa mengalami peningkatantertinggi dalam kurun tiga tahun terakhir. Kondisi Perekonomian dan perbankan yang membaik mendoronginvestor asing untuk mengakuisisi bank-bank yang dinilai cukup baikkinerjanya.Dalam rangka menciptakan struktur industri perbankan yang sehat,Bank Indonesia melakukan monitoring terhadap merger dan akuisisi bankoleh pihak asing. Komposisi kepemilikan asing dan domestik ini tidakbanyak berubah dari tahun sebelumnya. Secara umum, bank domestik(pemerintah dan lokal) masih memiliki pangsa pasar yang lebih besardibandingkan bank yang dimiliki asing. Hal ini dapat dilihat dari besarnyatotal aset maupun jumlah bank.Perkembangan Kinerja PerbankanTahun 2010, perkembangan kinerja perbankan menunjukkan hasilyang menggembirakan. Dampak krisis ekonomi global yang mengemukasejak akhir 2008 dan sempat mengganggu kinerja perbankan pada 2009,khususnya terkait penyaluran kredit, berhasil diatasi dengan cukup baik.Hal ini tercermin dari berbagai pencapaian positif yang berhasil diraihperbankan sepanjang 2010. DPK perbankan juga tumbuh tinggi, sangatmemadai untuk mendukung pertumbuhan kredit. Sementara ekspansikredit tetap dilakukan dengan memperhatikan koridor prudential yangberlaku sehingga rasio kredit bermasalah terkendali pada level yang relatifrendah. Begitu pula dengan permodalan bank juga cukup tinggi dengankualitas yang baik karena didukung oleh profitabilitas yang tinggi danefisiensi yang relatif membaikBank UmumSepanjang 2010, fungsi intermediasi bank umum semakin meningkatyang ditunjukkan oleh meningkatnya penyaluran kredit dan DPK.Pada 2010, pertumbuhan kredit mengalami perbaikan, setelah di tahunsebelumnya sempat tersendat sehingga hanya tumbuh 10%. Kini, denganpertumbuhan sampai 22,8%, kredit perbankan mencapai Rp 1.765,8 triliun.Membaiknya kondisi perekonomian mendorong meningkatnya permintaanterhadap kredit. Begitu pula sisi penawaran kredit dari perbankan jugameningkat sejalan dengan membaiknya kinerja perekonomian.Meskipun pertumbuhan kredit meningkat cukup tinggi, namun masihmemiliki ruang yang cukup untuk terus ditingkatkan. Hal ini tercermindari LDR pada akhir 2010 yang masih berada di kisaran 75,5% dan angkaundisbursed loans yang bersifat committed dan uncommitted masingmasingsebesar Rp 196 triliun dan Rp 365,2 triliun. Di samping itu, kontribusipenyaluran kredit perbankan yang baru mencapai 27,5% PDB relatif kecildibandingkan dengan negara lain. Pertumbuhan kredit didominasi oleh kredit produktif (KMK dan KI).Pertumbuhan KMK meningkat signifikan, dari hanya 2,7% pada 2009menjadi 25,2% pada 2010. Pertumbuhan KMK tersebut tidak terlepasdari pulihnya kondisi perekonomian yang berdampak pada meningkatnyaaktivitas dunia usaha. Cerminan kepercayaan terhadap membaiknyakondisi perekonomian juga terlihat dari pertumbuhan KI yang lebih tinggidibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, kredit konsumsitetap tumbuh stabil diatas 20%, antara lain ditujukan untuk kreditkepemilikan rumah (KPR), kendaraan bermotor, kartu kredit dan kreditmultiguna. Hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan kredit yangpositif pada 2010, kecuali sektor Konstruksi. Seperti juga pada 2009,secara nominal sumbangan peningkatan kredit terbesar pada 2010 berasaldari sektor Lain-Lain dan sektor Perdagangan. Meskipun demikian, terjadiperbaikan pertumbuhan kredit dibandingkan tahun 2009 untuk sektorsektorproduktif seperti sektor Industri Pengolahan, Pertambangan,Pertanian, Listrik Air dan Gas, serta sektor Jasa Dunia Usaha. Selama 2010, dominasi kredit dalam aktiva produktif perbankansemakin besar hingga pangsanya mencapai 64,2%. Aktiva produktif yangjuga cenderung meningkat adalah penempatan pada Bank Indonesia.Sementara, penempatan pada surat-surat berharga (termasuk SUN)cenderung menurun. Peningkatan juga terjadi pada Dana Pihak Ketiga (DPK). PeningkatanDPK tersebut terjadi pada semua komponen, (giro, tabungan dan deposito).Selama 2010, DPK tumbuh sebesar 18,5% sehingga menjadi Rp 2.338,8triliun. Pada 2009, deposito hanya tumbuh 9,3%. Namun pada 2010tumbuh mencapai 18,6%, meskipun belum setinggi pertumbuhan pada2008. Kondisi ini diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi pada tabungan,yakni diatas 21% selama dua tahun berturut-turut. Meskipun dibandingkandengan komponen yang lain, pertumbuhan giro relatif terendah, namunpertumbuhan giro tahun 2010 adalah yang tertinggi dibandingkandengan pertumbuhan dua tahun sebelumnya. Dengan demikian, secarakeseluruhan deposito masih mendominasi DPK perbankan dengan pangsa46%, sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar45%. Peningkatan DPK sejalan dengan peningkatan aktivitas dunia usahadan masih relatif tingginya kepercayaan dan minat masyarakat untukmenempatkan dananya di bank.Kredit bermasalah cenderung menurun, meskipun sempat meningkatdi kuartal ketiga 2010, jumlahnya turun signifikan pada kuartal terakhir.Hal ini terjadi akibat perbankan melakukan upaya restrukturisasi dan hapusbuku. Pada akhir 2010, rasio NPL gross perbankan mencapai titik terendahdalam sepuluh tahun terakhir, yakni 2,6%. Hal ini disebabkan upayaperbaikan kualitas kredit yang diikuti dengan pesatnya pertumbuhan kreditperbankan. Permodalan bank cukup memadai. Meskipun CAR perbankanmengalami penurunan dari 17,4% pada Desember 2009 menjadi 17,0%pada akhir 2010, tetapi masih jauh di atas ketentuan minimum 8%.Penurunan CAR ini diakibatkan oleh peningkatan ATMR yang cukup besarsejalan dengan tingginya pertumbuhan kredit dan penerapan perhitunganrisiko operasional.Profitabilitas bank yang tinggi membantu meningkatkan modalperbankan sebesar 19% selama 2010 sehingga menjadi Rp 330 triliun.Selain meningkat cukup tinggi, permodalan perbankan juga didominasi olehkualitas yang baik dan tercermin dari pangsa modal inti (tier 1) mencapai89% terhadap total modal perbankan. Dengan dukungan permodalan yang cukup, dapat menjadi buffer bagi perbankan dalam menghadapirisiko-risiko yang mungkin terjadi kedepan.Positifnya kinerja perbankan selama 2010 diikuti dengan pencapaianlaba yang membaik. Selama 2010 perbankan mencatatkan laba bersihsebesar Rp 57,3 triliun atau 26,7% lebih tinggi dibandingkan denganpencapaian tahun sebelumnya. Sumber utama laba perbankan masihberasal dari pendapatan bunga. Tercermin dari peningkatan Net InterestIncome (NII). Secara rata-rata, NII selama 2010 mencapai Rp 12,5 triliun perbulan, jauh melampaui angka rata-rata NII tahun 2009 yang hanya Rp 10,8triliun per bulan. Relatif tingginya profitabilitas perbankan juga tercermindari meningkatnya ROA dari 2,6% (Desember 2009) menjadi 2,7%(Desember 2010). Peningkatan profitabilitas ini diikuti dengan perbaikanefisiensi perbankan, yang ditunjukkan oleh penurunan rasio BOPO dari81,6% pada akhir 2009 menjadi 80,0% pada akhir 2010.

Tahun 2011Seiring dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,5% pada tahun 2011, perbankanIndonesia juga terus memperkuat posisinya sebagai salah satu elemen penting sistem keuangan Indonesiadengan melakukan ekspansi usaha melalui pembukaan kantor di berbagai pelosok Indonesia. Tercatat hampir1000 unit kantor baru meliputi Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Kas bertumbuh di tahun2011 yang terutama didominasi oleh Bank Umum Swasta Nasional Devisa sebagai salah satu kelompok bankyang cukup agresif dalam melakukan pengembangan jaringannya.Jumlah bank umum konvensional sampai dengan akhir tahun 2011 sebanyak 109 bank dari sebelumnya 111bank (2010). Hal ini disebabkan adanya merger dan pencabutan izin usaha bank sebagai berikut:1. Merger antara PT. Bank OCBC NISP dan PT. Bank OCBC Indonesia, menjadi PT. Bank OCBC NISP Tbk. Izin merger sesuai Surat keputusan Gubernur Bank Indonesia No.12/86/KEP.GBI/2010 pada tanggal 22 Desember2010, sedangkan pelaksanaan merger dilakukan pada tahun 2011.2. Pencabutan Izin Usaha PT. Bank Barclays Indonesia melalui Surat Keputusan Gubernur Bank IndonesiaNo.13/48/KEP.GBI/2011 tanggal 7 Juli 2011.Selain itu, terdapat beberapa perubahan nama bank sepanjang tahun 2011 sebagai berikut:1. Perubahan penggunaan izin usaha atas nama kantor cabang ABN Amro Bank N.V. menjadi izin usaha atasnama kantor cabang The Royal Bank of Scotland N.V. melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia No.13/15/KEP.GBI/2011 tanggal 22 Februari 2011.2. Perubahan penggunaan izin usaha atas nama PT. Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan menjadi izinusaha atas nama PT. Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat melalui KeputusanGubernur Bank Indonesia No.13/32/KEP.GBI/2011 tanggal 10 Mei 2011.3. Perubahan penggunaan izin usaha atas nama PT. Bank UOB Buana menjadi izin usaha atas nama PT. BankUOB Indonesia melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia No.13/34/KEP.GBI/2011 tanggal 19 Mei 2011.4. Perubahan penggunaan izin usaha atas nama PT. Bank Swadesi, Tbk. menjadi izin usaha atas nama PT. Bankof India Indonesia, Tbk. melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia No.13/91A/KEP.GBI/2011 tanggal 17November 2011.5. Perubahan penggunaan izin usaha atas nama PT. Bank Kesawan menjadi izin usaha atas nama PT. BankQNB Kesawan melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia No.13/102/KEP.GBI/2011 tanggal 12 Desember2011.6. Perubahan penggunaan izin usaha atas nama PT. ANZ Panin Bank menjadi izin usaha atas nama PT. BankANZ Indonesia melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia No.13/108/KEP.GBI/2011 tanggal 29 Desember2011.Pada akhir tahun 2011 terdapat peningkatan jumlah bank untuk kisaran modal inti Rp1 Triliun s.d. Rp10Triliun yakni sebanyak 4 bank dan 1 bank yang naik ke peringkat atas dengan posisi modal inti > Rp10 Triliun.Penambahan modal inti ini dilaksanakan melalui penambahan setoran modal dari pemilik bank maupun melaluiakuisisi oleh investor baru.Dari sisi jumlah bank berdasarkan kelompok, perbankan nasional tidak mengalami banyak perubahandibandingkan tahun 2010 karena tidak banyak proses merger maupun perubahan status devisa dan pencabutanizin selama tahun 2011. Hanya terdapat 1 pencabutan izin usaha bank yang menyebabkan penurunan jumlahbank pada kelompok BUSN Devisa. Komposisi terbesar masih didominasi oleh BUSN Devisa yakni 30%, diikutioleh BUSN Non Devisa sebesar 25%. Jika dilihat dari sisi komposisi aset perbankan nasional, total aset terbesar masih dikuasai oleh kelompokBUSN Devisa, disusul oleh kelompok Bank Persero yang walaupun hanya berjumlah 4 bank namun pangsanyamencapai 36,37% dari total aset perbankan. Secara umum seluruh kelompok bank mengalami kenaikan totalaset dari tahun 2009 sampai dengan akhir tahun 2011.Tahun 2011, kinerja perbankan menunjukkan perkembangan yang positif. Kondisi keuangan global yangmasih melemah seiring berlarutnya krisis utang di Eropa dan melemahnya perekonomian AS terlihat belummemberikan dampak yang signifikan bagi perbankan Indonesia. Stabilitas sistem keuangan juga masih tetapterkendali tercermin dari berbagai pencapaian positif yang berhasil diraih perbankan sepanjang tahun 2011. DPKperbankan tumbuh cukup tinggi dan sebagian besar digunakan untuk membiayai pertumbuhan kredit. Ekspansikredit tetap dilakukan dengan memperhatikan koridor prudential yang berlaku sehingga rasio kredit bermasalahterkendali pada level yang rendah. Kondisi permodalan bank juga tetap terjaga pada level yang cukup tinggikarena didukung profitabilitas yang cukup tinggi. Fungsi intermediasi Bank Umum semakin membaik yang ditunjukkan oleh meningkatnya penyalurankredit dan penghimpunan DPK pada tahun 2011. Kredit perbankan tumbuh 24,59% menjadi Rp2.200,09 Triliunatau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun 2010 sebesar 22,80%. Membaiknya kondisi perekonomianmendorong meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat dan penawaran kredit dari perbankan.Pertumbuhan kredit yang cukup tinggi tersebut masih memiliki ruang yang cukup untuk terus ditingkatkanlagi di masa depan. Hal ini tercermin dari LDR tahun 2011 yang masih berada pada kisaran 79,00% dan angkaundisbursed loans yang bersifat committed dan uncommitted masing-masing sebesar Rp263,26 Triliun danRp422,48 Triliun. Disamping itu, kontribusi penyaluran kredit perbankan yang baru mencapai 30% terhadap PDBrelatif kecil dibandingkan dengan negara ASEAN lain walaupun secara nominal menunjukan tren yang meningkatdalam beberapa tahun terakhir Pertumbuhan kredit tetap didominasi oleh kredit produktif yakni Kredit Modal Kerja (KMK) dan KreditInvestasi (KI). Kredit investasi tumbuh signifikan sebesar 33,21% dibandingkan pertumbuhan tahun 2009 dan2010 yang hanya tumbuh masing-masing sebesar 16,43% dan 16,98%. Pertumbuhan KI tersebut tidak terlepasdari membaiknya kondisi perekonomian nasional dan ekspektasi positif dari para investor terkait investmentgrade yang diberikan oleh lembaga pemeringkat Fitch Rating kepada Indonesia pada bulan Desember 2011.Membaiknya perekonomian Indonesia juga berdampak pada peningkatan aktifitas dunia usaha sehingga KMKyang memiliki pangsa terbesar dalam portofolio kredit nasional tumbuh 21,41%. Sementara itu, untuk kreditkonsumsi tumbuh 24,21% yang antara lain ditujukan untuk kredit kepemilikan rumah (KPR), kendaraan bermotor,kartu kredit dan kredit multiguna.Berdasarkan sektor ekonomi, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan kredit yang positif padatahun 2011. Pertumbuhan tertinggi terdapat pada sektor Pertambangan (43,04%), Listrik (34,37%), dan JasaSosial (31,08%). Sementara secara nominal, peningkatan kredit terbesar berasal dari sektor Lain-Lain, sektorIndustri, dan sektor Perdagangan. Selain itu terjadi juga peningkatan pertumbuhan kredit dibandingkan tahun2010 untuk sektor-sektor produktif seperti sektor Industri Pengolahan, Pertambangan, Pertanian, Listrik Air danGas, Konstruksi serta sektor Jasa Dunia Usaha. Dari sisi permodalan, CAR perbankan turun dari 17,18% pada Desember 2010 menjadi 16,05% pada akhir2011, namun masih jauh di atas ketentuan rasio kecukupan modal minimum sebesar 8%. Penurunan CARtersebut disebabkan oleh meningkatnya Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) yang cukup besar akibatekspansi kredit perbankan dan penerapan perhitungan risiko operasional. Profitabilitas perbankan yang cukuptinggi membantu meningkatkan modal perbankan sebesar 25,51% menjadi Rp412,19 Triliun. Permodalantersebut didominasi oleh permodalan dengan kualitas baik tercermin dari pangsa tier 1 capital (modal inti) yangmencapai sekitar 89,56% dari total modal perbankan. Dukungan permodalan yang cukup dapat menjadi bufferbagi perbankan dalam menghadapi risiko-risiko yang mungkin terjadi kedepan.Membaiknya kinerja perbankan selama tahun 2011 mendorong peningkatan pencapaian laba. Selama tahun2011, perbankan mencatatkan laba bersih sebesar Rp75,02 Triliun atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2010yang hanya mencapai Rp57,31 Triliun. Sumber utama laba perbankan tersebut berasal dari pendapatan bunga,tercermin dari peningkatan Net Interest Income (NII). Secara rata-rata, NII selama 2011 mencapai Rp14,89 Triliunper bulan, lebih tinggi dari rata-rata NII tahun 2009 dan 2010 yang hanya sebesar Rp10,77 Triliun dan Rp12,48Triliun per bulan. Relatif tingginya profitabilitas perbankan tercermin juga dari meningkatnya Return on Asset(ROA) dari 2,86% (2010) menjadi 3,03% (2011). Sementara itu dari sisi efisiensi, rasio BOPO perbankan beradapada level 85,42%.Perkembangan rata-rata suku bunga deposito dan kredit rupiah menunjukkan kecenderungan menurun. Halini dapat mencerminkan respon perbankan terhadap berbagai kebijakan dan himbauan Bank Indonesia dalamrangka penurunan suku bunga perbankan. Rata-rata suku bunga deposito rupiah 1 bulan turun sebesar24 bpsmenjadi 6,40%. Sejalan dengan hal tersebut, rata-rata suku bunga kredit rupiah juga mengalami penurunan padaseluruh jenis kredit. Suku bunga KMK turun 41 bps menjadi 11,98%, KI turun 17 bps menjadi 11,69% dan KKturun 41 bps menjadi 13,38%.

Tahun 2007Meski sempat dicemaskan oleh adanya gejolak eksternal dari kenaikan harga minyak dankrisis subprime mortgage di Amerika Serikat, perekonomian Indonesia selama tahun 2007 tetapdalam kondisi yang kondusif. Memanfaatkan iklim tersebut, kinerja perkreditan perbankan tumbuhsecara memuaskan dengan kondisi kesehatan dan profitabilitas yang tetap terjaga. Pencapaianini tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan Bank Indonesia yang umumnya bersifat relaksasi yangterukur.Industri perbankan Syariah juga terus berkembang dengan memuaskan. Dengan layanan yangsemakin meluas, industri Syariah saat ini mampu menjadi alternatif pembiayaan yang menjanjikan.Demikian halnya industri perbankan mikro melalui Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan dukunganberbagai skim kebijakan yang memperbesar akses masyarakat pada kredit Mikro, Kecil dan Menengah(MKM), industri BPR semakin memantapkan diri menjadi ujung tombak peningkatan harkat hidupmasyarakat kecil melalui penyaluran kredit MKM.Sejalan dengan pencapaian tersebut, Bank Indonesia terus menyempurnakan sistempengawasan, infrastruktur, peningkatan transparansi, tata kelola, perlindungan dan edukasi nasabah.Selain itu, secara aktif Bank Indonesia juga terus mengambil langkah guna menselaraskan sistemperbankan Indonesia dengan dunia Internasional dan berupaya menciptakan struktur perbankanyang lebih kuat dan efisien.Kinerja perbankan terus membaik. Selama tahun2007, jumlah aktiva produktif perbankan meningkatRp235,8 triliun (15,2%) yang terutama bersumber darikenaikan kredit Rp212,8 triliun (25,5%). Angka kenaikankredit ini melampaui target Rencana Bisnis Bank tahun2007 sebesar 22%, yang menunjukkan kondusifnyakondisi perekonomian. Kenaikan kredit tersebut terutamabersumber dari kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesarRp223,8 triliun (17,4%). Pada sisi profitabilitas,peningkatan kredit tersebut telah mendorong naiknya NIIdari Rp7,7 triliun/bulan menjadi Rp8,9 triliun/bulansementara ROA naik dari 2,6% menjadi 2,8%. Namunsebagai dampak kenaikan kredit, CAR sedikit turun meskitetap pada level yang cukup tinggi yakni dari 20,5%menjadi 19,3% Peningkatan kinerja tersebut juga didukung olehperluasan jaringan layanan perbankan yang cukupekspansif. Meskipun jumlah bank umum berkurangsebanyak 2 bank dalam rangka merger terkait denganpelaksanaan kebijakan konsolidasi perbankan, namununtuk lebih meningkatkan jangkauan pelayanan kepadamasyarakat, selama tahun 2007 jumlah kantor bank umumterus meningkat sebanyak 516 kantor, sehingga menjadi9.626 kantor.Ketahanan perbankan meningkat, didukung responskebijakan yang tepat dan fungsi pengawasan yang efektif.Perbankan terbukti mampu mengatasi berbagai gejolakyang terjadi dalam perekonomian, seperti kenaikan hargaminyak dan dampak penurunan nilai tukar, inflasi dan sukubunga, serta dampak krisis sub-prime di AS. Keberhasilan ini tidak terlepas dari efektifitas manajemen risiko, sistempengawasan serta sistem perbankan Indonesia yangcukup konservatif. Di tengah kekhawatiran tersebut, NPLgross perbankan mengalami perbaikan dan untukpertama kalinya sejak krisis berada di bawah angka 5%.Rasio kecukupan permodalan (CAR) perbankan jugaterjaga pada level yang cukup tinggi, yaitu sebesar19,3%. Stabilitas industri perbankan juga ditunjukkanoleh data bahwa 94% perbankan berada pada levelTingkat Kesehatan yang Baik dan Cukup Baik. Inimembuktikan peningkatan efektifitas fungsi pengawasanbank.Pembiayaan perbankan kepada Usaha Mikro Kecildan Menengah (UMKM) terus meningkat. Melaluipeningkatan pelaksanaan program Linkage, danpembentukan skim penjaminan kredit, hingga saat ini telahlebih dari 1.000 BPR yang menerima kredit dari sekitar 32Bank Umum untuk disalurkan kepada UMKM dengan totalplafon kredit sebesar Rp3,3 triliun. Perjanjian kerjasamaantara Bank Umum dengan Koperasi, dan denganKementrian Negara Koperasi dan UKM juga telahditandatangani dalam rangka penyaluran kredit antara 11Bank Umum dengan 57 Koperasi dengan total plafonkredit Rp576 miliar. Terkait upaya pembentukan skimpenjaminan kredit, pada September 2007 telahditandatangani Nota Kesepahaman Bersama (MoU) antaraPemerintah Daerah di 19 Propinsi dengan BPD dan PT.Askrindo Selanjutnya, 20 pemerintah daerah baik pemerintahpropinsi, kabupaten maupun kotamadya di 19 propinsitersebut, telah menyisihkan sejumlah dana untukpenjaminan kredit dengan total dana sebesar Rp47,4 miliar.Saat ini 7 daerah telah melakukan penjaminan terhadapRp40 miliar kredit yang disalurkan oleh BPD Upaya konsolidasi perbankan berjalan sesuai target.Meskipun respon sebagian kalangan perbankan terhadapkebijakan konsolidasi perbankan masih terbatas padaupaya penambahan modal, baik dari para pemegangsaham maupun ekspektasi pertumbuhan dari hasilkegiatan usaha, namun pada tahun 2007 paling tidak telahterdapat 6 bank yang telah mendapat persetujuan izinmerger (diantaranya ada yang melalui proses akuisisi).Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia berkeyakinanbahwa implementasi Merger, Konsolidasi, dan atau Akuisisi(MKA) untuk mencapai modal inti minimum adalah suatukeniscayaan dalam mencapai strata bank sesuai API, yaituterwujudnya bank-bank yang merupakan bankinternasional/regional championship, bank nasional, danbank focus.Meningkatkan transparansi perbankan melaluiimplementasi Good Corporate Governance (GCG). Padatahun 2007 untuk pertama kalinya seluruh bank dimintauntuk menyampaikan laporan pelaksanaan GoodCorporate Governance (GCG) yang berisi self assessmentpelaksanaan GCG serta aspek-aspek pelaksanaan GCGlainnya. Dengan informasi tersebut, diharapkanmasyarakat dapat melakukan pengawasan melaluimekanisme pasar. Masyarakat dapat mengetahui kinerjabank serta pelaksanaan GCG bank sehingga membantumasyarakat menentukan pilihan kepada bank manamereka akan mempercayakan penyimpanan danpengelolaan dananya. Laporan GCG tersebut palinglambat disampaikan oleh bank 5 bulan setelah tahun bukuberakhir, dengan demikian, mulai awal bulan Juni 2008masyarakat diharapkan telah dapat melihat laporan GCGbank pada website bank yang bersangkutan.Persiapan implementasi Basel II terus diupayakansesuai road map. Strategic policy implementasi Basel