perkembangan kereta api di indonesia
DESCRIPTION
Perkembangan Kereta ApiTRANSCRIPT
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
PERKEMBANGAN KERETA API DI INDONESIA
DIVISI REGIONAL SUMATERA SELATAN
BAB. I
LATAR BELAKANG
Perkembangan Kereta Api di Indonesia
Pembangunan Rel Kereta Api Indonesia Zaman
Penjajahan
Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, kereta api di Indonesia
mucul pada abad ke 19, dalam bentuk kereta yang ditarik oleh lokomotif
uap. Kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan pencangkulan
pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen hari Jumat
tanggal 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Mr.
L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh
Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij
(NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa
Tanggung yang jaraknya kurang lebih 26 kilometer. Ruas jalan ini dibuka
untuk angkutan umum pada Hari Sabtu, 10 Agustus 1867.
1
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
KONDISI UMUM
LETAK DAN LUAS WILAYAH
Daerah Tingkat I Sumatera Selatan terletak antara 1° sampai
4° Lintang Selatan dan 102° sampai 108° Bujur Timur dengan luas
daerah 109.254 Km2 atau 10.925.400 Ha. Daerah Sumatera Selatan
berbatasan dengan:
o Di sebelah Utara dengan Daerah Tingkat Jambi
o Di sebelah Selatan dengan Daerah Tingkat I Lampung
o Di sebelah Timur dengan Selat Karimata dan Laut Jawa
o Di sebelah Barat dengan Daerah Tingkat I Bengkulu
SEJARAH KERETA API DI SUMATERA SELATAN
SEKITAR tahun 1911, setelah ribuan transmigran yang didatangkan
Pemerintah Hindia Belanda dari berbagai daerah di Pulau Jawa ke
Lampung pada 1905 berhasil membangun perkebunan kaitsyuk,
tembakau, kopi, karet, kelapa dalam, dan kelapa sawit, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda di Batavia menganggap sarana angkutan hasil-hasil bumi
dari Sumatera Selatan ke Pulau Jawa yang sangat mengandalkan
pelayaran laut terlalu banyak memakan biaya dan waktu.
Persoalan makin bertambah ketika kapal-kapal besar untuk
mengangkut hasil-hasil bumi sulit masuk pelabuhan perdagangan di
Palembang, Krui, dan Menggala, di samping muatannya pun sangat
terbatas. Maka, diputuskan mengurangi biaya transportasi dan
mempercepat waktu dengan membangun rel kereta api (KA) dari
Palembang ke Tanjungkarang.
Sebetulnya gagasan membangun rel KA ini muncul pada dekade
1870-an, setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J. Baron Sloet
van den Beele meresmikan pencangkulan pertama pembangunan jalan KA
di Desa Kemijen pada 17 Juni 1864. Sebelum jaringan KA pertama yang
2
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
dibangun Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij (NV NISM), cikal bakal PT Kereta Api (PT KA), ini selesai, para
ahli kereta api yang didatangkan dari Belanda disebar untuk meneliti di
Pulau Sumatera guna melihat kemungkinan membangun jalan KA.
Setelah penelitian itu, ditambah sukses pengoperasian perdana
jalan KA antara Kemijen dan Tanggung, yang kemudian pada 10 Februari
1870 dapat menghubungkan Kota Semarang--Surakarta (110 km),
akhirnya mendorong minat investor membangun jalan KA didaerah
lainnya. Rel KA pertama di Pulau Sumatera dibangun di Aceh (1874),
Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), kemudian Sumatera
Selatan (1911).
Tahun 1911, pembangunan rel KA dimulai Pemerintah Hindia
Belanda dengan mengerahkan ribuan orang serentak di Palembang dan di
Tanjungkarang. Mereka membabat hutan-hutan dan meratakan tanah
untuk dudukan rel KA, melintasi kawasan yang bukan permukiman
penduduk. Semua dilakukan di bawah pengawasan ketat kolonialisme
Belanda yang kejam.
Tragedi kemanusiaan yang merenggut ribuan nyawa saat
pembangunan jaringan rel KA antara Kemijen dan Tanggung di Pulau
Jawa, terulang di Pulau Sumatera. Semua pekerja bekerja di bawah
tekanan dan tidak bisa melakukan perlawanan. Tenaga manusia dipaksa
memasang batang-batang rel KA selebar 1.435 mm dan bantalan dari
kayu dengan panjang sekitar 411 km.
Rel KA antara Tanjungkarang dan Palembang, melintasi hutan,
perkebunan karet, perkebunan sawit, dan rawa-rawa. Jalur KA ini berbeda
dengan yang ada di Pulau Jawa, di mana rel KA dibangun melintasi
perkampungan-perkampungan. Penyebabnya, rel KA di Pulau Jawa
disiapkan untuk angkutan manusia, sedangkan rel KA Tanjungkarang--
Palembang disiapkan Belanda untuk mengangkut hasil bumi, hasil hutan,
dan perkebunan dari negeri jajahan di Sumatera.
Pembangunan KA di Sumatera pertama kalinya ditujukan untuk
angkutan barang, terutama hasil tambang dan hasil hutan. Seperti
disebutkan dalam buku Sejarah Perkeretaapian di Indonesia, penelitian
3
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
dan persiapan pembangunan kereta api di Sumatera sudah dimulai sejak
1875.
Pengadaan kereta api di jalur Sumatera waktu itu adalah untuk
mengangkut hasil tambang di batu bara di Ombilin, Sawahlunto, ke
pelabuhan di Teluk Bayur, Sumatera Barat. Pembangunan dari
Sawahlunto ke Teluk Bayur selesai pada 1984 dan sejak itu pula kereta
api dibuka untuk umum. Perlahan-lahan, pembangunan jaringan kereta di
Sumatera meluas. Hanya, tidak seperti di Jawa yang setiap rel lintasan
terhubung menjadi satu, di Sumatera terputus-putus. Jalur kereta di Aceh
berdiri sendiri, Sumatera Barat berdiri sendiri, demikian juga dengan
lintasan di Sumatera Selatan dan Lampung.
Lintasan kereta di Sumatera Selatan pertama kali dibangun
sepanjang 12 kilometer dari Panjang menuju Tanjungkarang, Lampung.
Jalur rel ini mulai dilalui kereta, 3 Agustus 1914. Pada waktu bersamaan
dilaksanakan juga pemasangan dan pembangunan lintasan rel dari
Kertapati, menuju Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Sampai 1914, jalur
rel lintas Kertapati hingga Prabumulih mencapai jarak 78 kilometer.
Perlahan, jalur rel kemudian dikembangkan untuk pengangkutan
batu bara dari tempat penambangannya di Tanjung Enim. Kemudian
dikembangkan juga jalur ke Lahat. Di Kota Lahat ada sebuah bengkel
besar kereta (sekarang dinamakan Balai Yasa Lahat) yang berfungsi untuk
perbaikan dan perawatan kereta api. Jalur-jalur yang terputus di Sumatera
Selatan ini perlahan akhirnya bertemu.
Kini, panjang seluruh jalur rel yang dikelola PT Kereta Api Divisi
Regional III Sumsel mencapai lebih dari 600 kilometer dengan 224
jembatan. Data di PT KA Divre III, jalur antara Tanjung Enim dan Tarahan
panjangnya 411 kilometer. Kecepatan maksimum kereta untuk jalur ini
adalah 90 kilometer per jam meskipun dengan kondisi rel dan kereta tidak
memungkinkan mencapai kecepatan maksimal.
Sementara jalur Kertapati--Prabumulih mempunyai panjang 77,8
kilometer, Muaraenim--Lahat sepanjang 38,3 kilometer, dan Lahat-Lubuk
Linggau sepanjang 117 kilometer. Sebagian besar masih memakai rel
4
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
kecil tipe R25 dan R33, sedangkan 20 kilometer sudah menggunakan rel
R41. Panjang rel dengan tipe R25 sekitar 70 kilometer.
BAB II
PEMBAHASAN
Di beberapa bagian pulau Sumatera, kereta api merupakan sarana
transportasi alternatif. Di bagian selatan, jalur kereta api bermula dari
pelabuhan Panjang (Lampung) hingga Lubuk Linggau dan Palembang
(Sumatera Selatan).
Perhubungan Darat di Sumatera Selatan melalui jalan raya dan jalan
(reil) Kereta Api. Panjang jalan di Sumatera Selatan sampai dengan tahun
1993 keseluruhan berjumlah 11.398,60 Km yang terdiri dari Jalan Negara
928,49 Km, Jalan Propinsi 2.716,58 Km, Jalan Kabupaten 7.753.73 Km,
sedangkan jalan Kereta Api ada dua jalan utama yakni Kertapati – Bandar
Lampung dan Kertapati – Lubuk Linggau yang sangat memberikan
sumbangan terhadap angkutan barang dan penumpang. Dalam kegiatan
angkutan Penumpang dan Barang tahun 1995 terdapat 44.690 kendaraan
terdiri dari 4.883 bus dan 30.698 mobil barang dan 6.118 jenis lainnya.
Lintasan kereta di Sumatera Selatan pertama kali dibangun
sepanjang 12 kilometer dari Panjang menuju Tanjung Karang, Lampung.
Jalur rel ini mulai dilalui kereta pada tanggal 3 Agustus 1914. Pada waktu
yang bersamaan dilaksanakan juga pemasangan dan pembangunan
lintasan rel dari Kertapati, menuju Kota Prabumulih, Sumatera Selatan.
Sampai dengan tahun 1914, jalur rel lintas Kertapati hingga Prabumulih
sudah mencapai jarak 78 kilometer. Perlahan, jalur rel kemudian
dikembangkan untuk pengangkutan batu bara dari tempat
penambangannya di Tanjung Enim. Kemudian dikembangkan juga jalur ke
Lahat. Di Kota Lahat ini ada sebuah bengkel besar kereta (sekarang
dinamakan Balai Yasa Lahat) yang berfungsi untuk perbaikan dan
perawatan kereta api. Jalur-jalur yang terputus di Sumatera Selatan ini
perlahan akhirnya bertemu.
5
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
Saat ini, panjang seluruh jalur rel yang ada dikelola PT Kereta Api
Indonesia Divisi Regional III Sumsel mencapai lebih dari 600 kilometer
dengan 224 jembatan. Data di PT KAI Divre III, jalur antara Tanjung Enim
dan Tarahan panjangnya 411 kilometer. Kecepatan maksimum kereta
untuk jalur ini adalah 90 kilometer per jam meskipun dengan kondisi rel
dan kereta tidak memungkinkan untuk mencapai kecepatan maksimal.
Sementara jalur Kertapati-Prabumulih mempunyai panjang 77,8 kilometer,
Muaraenim-Lahat sepanjang 38,3 kilometer, dan Lahat-Lubuk Linggau
sepanjang 117 kilometer. Sebagian besar masih memakai rel kecil tipe
R25 dan R33, sedangkan sekitar 20 kilometer sudah menggunakan rel
R42. Panjang rel dengan tipe R25 sekitar 70 kilometer.
Kereta api jalur Sumatera bagian selatan masih sangat potensial
untuk dikembangkan sebagai angkutan barang. Selain batu bara,
komoditas lain adalah hasil perkebunan, minyak bumi, semen, dan
berbagai barang lainnya. Dengan banyaknya daerah pertambangan dan
perkebunan, selain untuk angkutan massal manusia, kereta api masih
bisa dikembangkan untuk angkutan barang. Potensi itu akan semakin
nyata jika wacana tentang pembangunan rel kereta lintas Sumatera dari
Aceh hingga Lampung bisa terwujud.
Kondisi jalan lintas Sumatera yang hancur dan angkutan sungai di
Sumatera Selatan, terutama Sungai Musi, yang mulai terhambat dengan
pendangkalan membuat angkutan kereta api menjadi sarana transportasi
yang dapat diandalkan dan menjadi alternatif utama.
6
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
Setiap hari frekuensi rata-rata Kereta Babaranjang adalah 21 kali
pergi-pulang. Setiap satu rangkaian Kereta Babaranjang ini memerlukan
dua lokomotif dikarenakan panjang dan beratnya. Kekuatan masing-
masing lokomotif sekitar 2.100 tenaga kuda untuk menarik 46 gerbong
yang membawa keseluruhan 2.300 ton batu bara.
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi PT (Persero) Kereta
Api Indonesia Divisi Regional (Divre) III Sumatera Selatan (Sumsel)
dewasa ini adalah makin panjangnya rel yang aus. Hingga bulan Juni 2002
ini saja bentangan rel kereta api yang sudah aus tersebut mencapai 50
kilometer. Ausnya rel ini berkaitan dengan beban jalan rel sendiri dan
yang lebih penting adalah banyaknya lengkung dengan radius lengkung
yang kurang dari 400 meter. Ada sekitar 59 lengkung di lintas Muara
Enim sampai Tanjung Karang yang memiliki radius seperti ini.
Hal ini berdampak terhadap jadwal perjalanan kereta api, dan juga
mengancam keselamatan perjalanan kereta api. Rel-rel kereta api yang
aus terdapat secara menyebar di berbagai lokasi mulai dari Tanjung Enim
Baru (Sumsel) sampai Tarahan (Lampung). Lintasan rel kereta api di sini
tergolong padat frekuensinya, karena selain kereta penumpang, yang
paling banyak melintas adalah kereta api batubara rangkaian panjang
(Babaranjang). Dengan kondisi seperti sekarang jelas berpengaruh
terhadap kapasitas angkut batubara dari Tanjung Enim ke Tarahan. Jika
lalu lintas Babaranjang terganggu, pasti pengaruhnya akan berimbas
terhadap pasokan batubara PLTU Suralaya.
Dalam waktu empat tahun terakhir realisasi angkutan batubara dari
Tanjung Enim ke Tarahan oleh kereta api hampir tidak pernah mencapai
target. Tahun 1999 misalnya, dari rencana 8,6 juta ton yang terangkut
kereta api hanya 7,3 juta ton (85 persen). Begitu pula tahun 2000 dari
kontrak 8,5 juta ton realisasinya cuma 7,1 juta ton (84 persen), tahun
2001 dari target 7,3 juta ton hanya bisa diangkut 7,1 juta ton (97 persen).
Sedangkan 2002 sampai April baru terangkut 2,1 juta ton dari rencana 7,8
juta ton.
7
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
STASIUN – STASIUN DI SUMATERA SELATAN
Jalur KA antara Bandar Lampung – Palembang merupakan bagian
dari jaringan jalur kereta api di Sumatera Bagian Selatan yang
dioperasikan oleh PT. Kereta Api (Persero) Divre III Sumatera Selatan yang
berkedudukan di Palembang. Jalur kereta api Bandar Lampung –
Palembang dengan 40 stasiun di sepanjang 387,872 KM terbentang
antara stasiun Tanjung Karang (+96) di Bandar Lampung sampai stasiun
Kertapati (+2) di Palembang. Stasiun-stasiun itu adalah :
9
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
1. Stasiun Kertapati (KPT)
Adalah stasiun kereta api yang terletak di Kecamatan Kertapati,
Palembang. Stasiun yang terletak pada ketinggian +2 m dpl ini adalah
ibukota Divisi Regional 3.1 Sumatera Selatan. Stasiun Kertapati berada di
atas pertemuan Sungai Ogan dan Musi, dan merupakan salah satu dari 2
stasiun ujung di Sumatera Selatan. Jalur kereta api dari stasiun ini
seluruhnya merupakan rel berukuran 1.067 mm yang termasuk sempit.
2. Stasiun Lubuk Linggau (LLG)
Adalah stasiun kereta api
yang terletak di Lubuklinggau Barat
II, Lubuklinggau. Stasiun yang
terletak pada ketinggian +129 m
dpl ini berada di Divisi Regional 3.1
Sumatera Selatan. Stasiun Lubuk
Linggau merupakan stasiun KA
paling barat dan ujung di lintas
Muara Enim-Lubuklinggau.
Meskipun memiliki dipo lokomotif, Stasiun Lubuk Linggau tidak
memiliki lokomotif sendiri, karena dipo tersebut berstatus sub-dipo dari
Dipo Kertapati, Palembang.
3. Stasiun Prabumulih
10
Perkembangan Kereta Api di Sumatera Selatan
Stasiun Prabumulih adalah stasiun
kereta api yang terletak di
Prabumulih, Sumatera Selatan.
Stasiun ini terletak pada jalur
pertemuan kereta dari arah
Tanjung Karang, Lampung, dan
Lubuk Linggau-Stasiun Kertapati di
Palembang. Sebelum tahun 1985, terdapat 9 rel yang dioperasikan di
kereta ini, namun pada tahun 2010 hanya tinggal tiga rel. Pada tahun
2010, stasiun ini hanya dilalui oleh empat kereta penumpang, yaitu KA
Limex Sriwijaya, KA Ekspres Rajabasa (Kertapati-Tanjung Karang), serta
KA Sindang Marga dan KA Serelo (Kertapati-Lubuk Linggau).[1]
Sejarah
Sejarah stasiun ini tertulis pada buku De Stoomtractie Op Java en
Sumatera karangan JJG Oegema. Berdasarkan buku tersebut, Stasiun
Prabumulih mulai dikenal pada tahun 1915, ketika Hindia Belanda
membangun jalur kereta Kertapati-Prabumulih sepanjang 78 km dan jalur
Prabumulih-Muara Enim sejauh 73 km pada tahun 1917. Pada tahun 1927,
jalur Prabumulih-Tanjung Karang sepanjang 311 km juga dibangun.
Di masa itu, usaha kereta di Sumatera Selatan dikelola oleh
perusahaan Zuid Sumatera Spoorwegen. Dulunya terdapat enam jenis
lokomotif uap di lintasan Stasiun Prabumulih, yaitu model B51, C11, C30,
C50, D50, dan D52. Untuk pengisian bahan bakar berupa air bagi kereta
tersebut, digunakan cerek dan tangki pengisian air. Sekitar tahun 1982,
dilakukan perombakan bangunan pada stasiun ini.[1]
11
1. ^ a b Harry Susilo, Didit Putra, Erlangga Raharjo. "Senja Kala Stasiun Prabumulih", (Kompas), 14 September 2010, hlm. 2.