perkembangan candi borobudur terhadap kepercayaan hindu budha di indonesia

26
BAB II ISI 2.1 Perkembangan Candi Borobudur 2.1.1 Sejarah Singkat Candi Borobudur Sampai saat ini, secara pasti belum diketahui kapan candi Borobudur didirikan, demikian juga pendirinya. Menurut Prof. Dr. Soekmono dalam bukunya “Candi Borobudur a Monument of Mainkind (UNESCO, 1976)”, menyebutkan bahwa tulisan singkat yang dipahatkan di atas piguran-piguran relief kaki candi (Karmawibangga) mewujudkan suatu garis huruf yang bisa diketemukan pada berbagai prasasti dari akhir abad VIII sampai awal abad IX. Dimana pada abad itu di Jawa Tengah berkuasa raja-raja dari Wangsa Dinasti Syailendra yang menganut agama Budha Mahayana. Sebuah prasasti yang berasal dari abad IX yang diteliti oleh Prof. Dr. J.G. Caspris, mengungkapkan silsilah tiga Wangsa Syailendra yang berturut-turut memegang pemerintahan yaitu raja Indra, putranya 5

Upload: mandiri4ever

Post on 05-Aug-2015

948 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

BAB II

ISI

2.1 Perkembangan Candi Borobudur

2.1.1 Sejarah Singkat Candi Borobudur

Sampai saat ini, secara pasti belum diketahui kapan candi Borobudur

didirikan, demikian juga pendirinya. Menurut Prof. Dr. Soekmono dalam bukunya

“Candi Borobudur a Monument of Mainkind (UNESCO, 1976)”, menyebutkan

bahwa tulisan singkat yang dipahatkan di atas piguran-piguran relief kaki candi

(Karmawibangga) mewujudkan suatu garis huruf yang bisa diketemukan pada

berbagai prasasti dari akhir abad VIII sampai awal abad IX. Dimana pada abad itu

di Jawa Tengah berkuasa raja-raja dari Wangsa Dinasti Syailendra yang menganut

agama Budha Mahayana.

Sebuah prasasti yang berasal dari abad IX yang diteliti oleh Prof. Dr. J.G.

Caspris, mengungkapkan silsilah tiga Wangsa Syailendra yang berturut-turut

memegang pemerintahan yaitu raja Indra, putranya Samaratungga, kemudian putri

Samaratungga Pramoda Wardani. Pada waktu raja Samaratungga berkuasa

mulailah dibangun candi yang bernama Bhumu Sam Bhara Budhara, yang dapat

ditapsirkan sebagai bukti peningkatan kebajikan, setelah melampaui sepuluh

tingkat Bodhisatwa. Kerena penyesuaian pada Bahasa Jawa, akhirnya Bhara

Budhara diganti menjadi Borobudur.

Dari tokoh Jacques Dumarcay seorang arsitek Perancis memperkirakan

bahwa candi Borobudur berdiri pada zaman keemasan Dinasti Syailendra yaitu

5

Page 2: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

6

pada tahun 750-850 M. Keberhasilan yang luar biasa disamping pendirian candi

Borobudur, juga berhasil menjalankan kekaisaran Khmer di Kamboja yang pada

saat itu merupakan kerajaan yang besar. Setelah menjalankan kerajaan Khmer,

putra mahkota dibawa ke Indonesia dan setelah cukup dewasa dikembalikan ke

Kamboja, dan kemudian menjadi raja bergelar Jayawarman II pada tahun 802 M.

Para pedagang Arab berpendapat bahwa keberhasilan itu luar biasa mengingat ibu

kota kekaisaran Khmer berada di daratan yang jauh dari garis pantai, sehingga

untuk menaklukannya harus melalui sungai dan danau Tonle Sap sepanjang 500

km (A Guide to, Angkar, Down F. Rooney, 1994:25).

Lebih lanjut Dumarcay merincikan bahwa candi Borobudur dibangun

dalam 4 tahap dengan perkiraan sebagai berikut:

1) tahap I sekitar tahun 775;

2) tahap II sekitar tahun 790 (bersamaan dengan Kalasaan II, Lumbung I,

Sojiwan I);

3) tahap III sekitar tahun 810 (bersamaan dengan Kalasan III, Sewa III,

Lumbung III, Sojiwan II);

4) tahap IV sekitar tahun 835 (bersamaan dengan Gedong Songo grup I, Sambi

Sari, Badut I, Kuning, Banon, Sari dan Plaosan).

Setelah selesai dibangun, selama seratus lima puluh tahun, Borobudur

merupakan pusat ziarah megah bagi penganut Budha. Tetapi dengan runtuhnya

Kerajaan Mataram sekitar tahun 930 M, pusat kekuasaan dan kebudayaan pindah

ke Jawa Timur dan Borobudur pun hilang terlupakan.

Page 3: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

7

Karena gempa dan letusan Gunung Merapi, candi itu melesat

mempercepat keruntuhannya. Sedangkan semak belukar trofis tumbuh menutupi

Borobudur dan pada abad-abad selanjutnya lenyap ditelan sejarah.

2.1.2 Relief Candi Borobudur

Candi Borobudur tidak saja menunjukan kemegahan arsitekturnya tetapi

juga mempunyai relief (pahatan atau ukiran) yang sangat menarik. Relief cerita

yang dipahatkan pada candi itu sangat lengkap dan panjang yang tidak pernah

ditemui di tempat lain di dunia bahkan di India sekalipun.

Bidang relief seluruhnya ada 1460 panel yang jika diukur memanjang

mencapai 2.500 m. Sedangkan jenis reliefnya ada 2 macam, yaitu:

1) relief cerita, yang menggambarkan cerita dari suatu teks dan naskah;

2) relief hiasan, yang hanya merupakan hiasan pengisi bidang.

Agar bisa menyimak cerita dalam relief secara berurutan dianjurkan

memasuki candi melalui pintu sebelah timur dan pada tiap lingkaran berputar ke

kiri dan meninggalkan candi di sebelah kanan.

Relief cerita pada candi Borobudur menggambarkan beberapa cerita,

yaitu:

1) Karmawibangga, terdiri dari 160 panel, dipahatkan pada kaki tertutup;

2) Lalitawistara, terdiri dari 120 panel, dipahatkan pada dinding lorong I bagian

atas;

3) Jataka dan Awadana, terdiri dari 720 panel, dipahatkan pada lorong I bagian

bawah, balustrade lorong I atas dan bawah, dan balustrade II;

Page 4: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

8

4) Gandawyuda, terdiri dari 460 panel, dipahatkan pada dinding lorong II dan III,

balustrade III dan IV serta Bhadraceri dinding lorong IV.

2.1.3 Stupa Candi Borobudur

Stupa adalah salah satu bangunan yang ada di candi Borobudur, stupa

memiliki nilai yang sangat tinggi, di dalam stupa terdapat patung-patung budha

yang memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Stupa candi Borobudur dibagi

menjadi 3 macam, yaitu.

1) Stupa Induk

Stupa induk berukuran lebih besar dari stupa-stupa yang lain dan terletak

di puncak sebagai mahkota dari seluruh monumen bangunan candi Borobudur.

Stupa induk ini mempunyai garis tengah 9,90 m dan tinggi stupa sampai bagian

bawah pinakel 7 meter. Di atas puncak dahulunya diberi payung (charta)

bertingkat tiga (sekarang tidak terdapat lagi). Stupa induk ini tertutup rapat,

sehingga orang tidak bisa melihat bagian dalamnya. Di dalamnya terdapat

ruangan yang sekarang tidak berisi.

2) Stupa Berlubang

Stupa berlubang atau terawang adalah stupa yang terdapat pada teras

bundar I, II, dan III dimana didalamnya terdapat 72 buah yang terinci menjadi:

1) teras bundar pertama terdapat : 32 stupa berlubang;

2) teras bundar kedua terdapat : 24 stupa berlubang;

3) teras bundar ketiga terdapat : 16 stupa berlubang;

jumlahnya : 72 stupa berlubang.

Page 5: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

9

3) Stupa Kecil

Stupa kecil bentuknya hampir sama dengan stupa lainnya, hanya saja

perbedaan yang menonjol adalah dalam ukurannya yang lebih kecil dari stupa

yang lainnya. Stupa ini seolah menjadi hiasan dari seluruh bangunan candi.

Keberadaan stupa ini menempati puncak dari relung-relung pada langkan II

sampai langkan V, sedangkan pada langkan I sebagian berupa keben dan sebagian

berupa stupa kecil, jumlah stupa kecil ada 1472 buah stupa.

2.1.4 Patung Budha Candi Borobudur

Candi Borobudur tidak hanya diperindah dengan relief cerita dan relief

hias saja, tetapi juga dengan patung-patung yang sangat tinggi nilainya. Namun

tidak semua patung dalam keadaan utuh, banyak patung yang tanpa kepala atau

tangan (300 buah) dan 43 hilang. Hal ini disebabkan oleh bencana alam dan

tangan jahil atau pencurian sebelum candi Borobudur diadakan renovasi (sebelum

tahun 1973).

Patung-patung tersebut menggambarkan Dhyani Budha yang terdapat pada

bagian Rupadhatu dan Arupadhatu. Patung Budha di candi Borobudur berjumlah

504 yang ditempatkan di relung-relung yang tersusun berjajar pada sisi pagar

langkan dan pada teras bundar (Arupadhatu).

Patung Budha pada tingkat rupadhatu di tempatkan dalam relief yang

tersusun berjajar pada sisi luar pagar langkan. Sedangkan patung-patung di tingkat

arupadhatu di tempatkan dalam stupa-stupa berlubang di tiga susunan lingkaran

pusat. Susunan patung selengkapnya adalah.

Page 6: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

10

1) Tingkat Rupadhatu

(1) langkan pertama : 104 patung Budha

(2) langkan kedua : 10 patung Budha

(3) langkan ketiga : 88 patung Budha

(4) langkan keempat : 72 patung Budha

(5) langkan kelima : 64 patung Budha

jumlah seluruhnya : 432 patung Budha

2) Tingkat Arupadhatu

(1) teras bundar pertama : 32 patung Budha

(2) teras bundar kedua : 24 patung Budha

(3) teras bundar ketiga : 16 patung Budha

jumlah seluruhnya : 72 patung Budha

Apabila kita melihat sekilas patung Budha itu nampak serupa semuanya,

tetapi sesungguhnya ada juga perbedaan-perbedaannya. Perbedaan yang sangat

jelas adalah sikap tangan atau yang disebut Mudra yang merupakan khas untuk

setiap patung.

Sikap kedua belah tangan Budha atau Mudra dalam Bahasa Sanksekerta,

memiliki arti perlambangan yang khas. Ada enam jenis yang bermakna sedalam-

dalamnya. Namun demikian karena macam mudra yang dimiliki oleh patung-

patung yang menghadap semua arah bagian rupadhatu (lingkaran V) maupun di

bagian arupadhatu pada umumnya menggambarkan maksud yang sama. Maka

jumlah mudra yang pokok ada lima.

Page 7: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

11

2.1.5 Perkembangan Candi Borobudur

Kawasan Borobudur berkembang dengan bertitik tolak pada keberadaan

candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 M, hingga ditemukannya

kembali, ditetapkan sebagai Pusaka Budaya Dunia oleh UNESCO pada tahun

1991, dan mewujud sebagai tujuan wisata hingga kini.

Penelitian perubahan struktur ruang di kawasan pusaka budaya Borobudur

oleh Winarni (2006) menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pasca

pemugaran selama dekade 1970-an cenderung intensif. Ada banyak pusat

pertumbuhan baru yang membentuk pusat pariwisata, pemerintahan, dan

perdagangan.

Kenyataan ini berbeda dengan pusat pertumbuhan awal di Borobudur yang

mengikuti keberadaan sungai dan sumber air. Pengelolaan kawasan tersebut

hingga kini masih mengikuti prinsip yang diatur dalam masterplan JICA (1979)

dan diperkuat oleh Keppres No. 1/1992 yang membagi kewenangan pengelolaan

sesuai dengan zonanya.

Situs candi Borobudur (Zona I) dikelola oleh Balai Konservasi candi

Borobudur di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kompleks

Taman Wisata candi Borobudur (Zona II) dikelola oleh PT Taman Wisata candi

Borobudur yang berada di bawah naungan Kementerian Badan Usaha Milik

Negara (BUMN). Wilayah di luar kedua zona itu dikelola oleh pemerintah daerah.

Jadi, praktis, Pemerintah Desa Borobudur memiliki satu “kantong” di dalam

wilayah administratifnya yang tidak boleh dicampuri.

Page 8: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

12

Selain telah menggusur beberapa dusun dan membelah desa menjadi dua

bagian, keberadaan Taman Wisata candi Borobudur dan beragam kegiatannya

telah memberikan dampak yang intensif terhadap wilayah dan masyarakat Desa

Borobudur.

Dalam perkembangannya, keadaan pengelolaan kawasan pusaka

Borobudur pun telah disadari harus diperbarui agar sesuai dengan yang ada saat

ini. Sejak tahun 2008, langkah-langkah menyusun masterplan kawasan pusaka

Borobudur telah digiatkan dan dalam berbagai kesempatan melibatkan pula wakil

masyarakat setempat. Dengan sebuah tujuan menjadikan kawasan ini sebagai

Kawasan Strategis Nasional, masyarakat pedesaan di Borobudur merasa harus

lebih tahu apa yang mereka punya dan apa yang ingin mereka kembangkan di

wilayahnya.

2.2 Kepercayaan Hindu Budha di Indonesia

2.2.1 Masuknya Agama Hindu ke Indonesia

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini

dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada

abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peninggalan kerajaan

Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan

mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa "Yupa

itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan Yadnya oleh Mulawarman".

Keterangan yang lain menyebutkan bahwa Raja Mulawarman melakukan Yadnya

Page 9: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

13

pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan

Vaprakeswara.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang

besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi

kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan

kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu

wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang

di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni

prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan

Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prasasti-prasasti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa

"Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah

raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki

Dewa Wisnu".

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di

Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa

Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja

Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai

manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang

pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung

Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe

lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut

Page 10: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

14

Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,

diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

2.2.2 Masuknya Agama Budha ke Indonesia

Awal abad Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat tetapi

beralih ke jalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan

India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam

perdagangan tersebut.

Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara

Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi

salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia.

Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Budha ke

Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para ahli

memberikan pendapat tentang proses masuknya agama Budha ke Indonesia.

Sebagaimana dikemukakan oleh FD. K. Bosh hal ini menekankan peranan bangsa

Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Budha di Indonesia. Menurutnya

penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan atau

golongan terdidik terutama oleh golongan pendeta Budha atau para biksu, yang

menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang,

sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang

Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha belajar agama Budha di India.

Setelah kembali dari India mereka membawa kitab suci, bahasa sansekerta,

kemampuan menulis serta kesan-kesan mengenai kebudayaan India. Dengan

demikian peran aktif penyebaran budaya India, tidak hanya orang India tetapi juga

Page 11: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

15

orang-orang Indonesia yaitu para biksu Indonesia tersebut. Hal ini dibuktikan

melalui karya seni Indonesia yang sudah mendapat pengaruh India masih

menunjukan ciri-ciri Indonesia.

Jadi hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya

Agama Budha ke Indonesia. Hal tersebut menunjukan bahwa masuknya Agama

Budha merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap didukung oleh

proses perdagangan.

Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang

disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha

masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha

yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga

(Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat ciri-cirinya, arca

tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi.

Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam Gandhara (India

Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).

2.2.3 Akulturasi Kebudayaan Hindu Budha di Masyarakat Indonesia

Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-

kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan

mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus yang kemudian

menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu

kelompok atau kedua-duanya.

Adanya kontak dagang antara Indonesia dengan India, maka

mengakibatkan adanya kontak budaya atau akulturasi yang menghasilkan bentuk-

Page 12: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

16

bentuk kebudayaan baru tetapi tidak melenyapkan kepribadian kebudayaan

sendiri. Harus Anda pahami masuknya pengaruh Hindu dan Budha merupakan

satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap didukung oleh proses

perdagangan.

Salah satu wujud akulturasi kebudayaan Hindu Budha di Indonesia yaitu

dari bidang kesenian meliputi seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan. Dalam

seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari relief dinding candi

(gambar timbul), gambar timbul pada candi tersebut banyak menggambarkan

suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha.

Relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang digoda

oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang. Relief ini mengisahkan riwayat

hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula

halnya dengan candi-candi Hindu. Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah

yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang

digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran.

Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia

juga mengambil kisah asli cerita tersebut, tetapi suasana kehidupan yang

digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam

ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak

menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan

keadaan dan suasana di Indonesia.

Untuk wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya

suatu cerita/kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab

Page 13: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

17

Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh

Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi

setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti aslinya dari India

karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa

Jawa kuno. Dan,tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan

hadirnya tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan

dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan

perang antar Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan

Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.

Di samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai

suatu cerita dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan

Wayang. Seni pertunjukan Wayang merupakan salah satu kebudayaan asli

Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan Wayang tersebut sangat

digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud akulturasi dalam pertunjukan

Wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon cerita dari kisah Ramayana

maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis

dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara

lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh cerita misalnya dalam kisah

Mahabarata keberadaan tokoh Dorna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang

maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di

Indonesia Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.

Page 14: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

18

2.3 Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha

di Indonesia

Bangunan candi Borobudur tercerminkan sebagai wujud percampuran

antara Budaya asli bangsa Indonesia dengan Budaya Hindu Budha. Candi

Borobudur merupakan bentuk perwujudan akulturasi budaya bangsa Indonesia

dengan Hindu Budha. Candi Borobudur merupakan hasil bangunan zaman

megalitikum yaitu bangunan punden berundak-undak yang mendapat pengaruh

Hindu Budha.

Akibat diterimanya agama Hindu Budha oleh penduduk kepulauan

Indonesia terutama Jawa, maka banyak aspek kebudayaan yang dihubungkan

dengan kedua agama itu menjadi turut berkembang pula. Hal yang dapat diamati

secara nyata terjadi dalam bidang seni arca dan seni bangun (arsitektur).

Relief yang dipahatkan pada candi Borobudur bukan hanya

menggambarkan riwayat sang budha tetapi juga terdapat relief yang

menggambarkan lingkungan alam Indonesia. Terdapat pula relief yang

menggambarkan bentuk perahu bercadik yang menggambarkan kegiatan nenek

moyang bangsa Indonesia pada masa itu.

Bentuk kesenian lain yang turut terpacu sehubungan dengan pesatnya

kehidupan agama Hindu Budha dalam masyarakat adalah seni budaya Hindu

Budha. Banyak karya sastra dan susastra yang diubah dalam masa Hindu Budha

selalu dilandasi dengan kebudayaan Hindu atau Budha. Juga diuraikan perihal

ajaran agama yang dianyam dengan cerita-cerita yang melibatkan para kesatria

dan kerajaan-kerajaan atau kehidupan pertapaan.

Page 15: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

19

Pada candi Borobudur disertai pula berbagai macam benda yang ikut

dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi Borobudur juga berfungsi

sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa.

2.3.1 Candi Borobudur Sebagai Pusat Perayaan Hari Keagamaan

Setiap tahun pada bulan purnama penuh pada bulan Mei atau bulan Juni

pada tahun kabisat, umat Budha di Indonesia memperingati hari raya Waisak di

candi Borobudur. Hari raya Waisak diperingati sebagai hari kelahiran, kematian

dan saat ketika Sidharta Gautama memperoleh kebijaksanaan tertinggi dengan

menjadi Budha Shakyamuni. Ketiga peristiwa ini disebut sebagai Trisuci Waisak.

Upacara Waisak dipusatkan pada tiga buah candi Budha dengan berjalan dari

candi Mendut ke candi Pawon dan berakhir di candi Borobudur.

Perayaan hari raya Waisak di candi Borobudur tidak hanya dilakukan oleh

umat Budha yang ada di Indonesia saja, wisatawan asing pun sering

melaksanakan hari raya tersebut di candi Borobudur. Selain dari perayaan hari

raya Waisak, candi Borobudur juga sering digunakan sebagai tempat

dilaksanakannya hari raya keagamaan lainnya. Dengan demikian candi Borobudur

memiliki perkembangan dalam bidang budaya terutama dalam bidang keagamaan

atau kepercayaan.

2.3.2 Candi Borobudur Sebagai Tempat Wisata Ziarah

Disamping sebagai pusat wisata budaya seperti selama ini kita kenal, candi

Borobudur juga sangat potensial sebagai pusat wisata ziarah. Wisata ziarah

merupakan salah satu preferensi calon konsumen (wisatawan) terhadap atribut

Page 16: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

20

keagamaan Budha dari keberadaan candi Borobudur. Terjadi proses nilai tambah

dari wisata ziarah dibandingkan dengan sebelumnya.

Enam dari sepuluh negara anggota ASEAN adalah negara yang

penduduknya banyak beragama Budha, yaitu Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja,

Myanmar, Singapura. Umat Budha di negara-negara tersebut merupakan calon

wisatawan mancanegara yang potensial ke Indonesia, terutama ke candi

Borobudur.

Terlebih lagi umat Budha di negara-negara Asia lainnya yaitu RRC,

Korea, Taiwan, Jepang, Hongkong, Sri Langka, Nepal, dan lain lain. Serta perlu

dipertimbangkan pula Umat Budha di Amerika, Eropah, Australia dan seterusnya,

merupakan potensi wisata ziarah bagi candi agung Borobudur.

Wisata ziarah Budha sudah lazim dilakukan di candi Borobudur. Hal ini dapat

menjadi bukti bahwa candi Borobudur merupakan wisata ziarah andalan bagi

umat Budha.

2.3.3 Candi Borobudur sebagai Warisan Luhur Bangsa Indonesia

Candi Borobudur adalah sebuah candi raksasa yang megah dan kokoh.

Candi Borobudur merupakan peninggalan dari kebudayaan Budha yang pernah

ada di Indonesia. Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria,

Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata

budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan

dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia

membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan

Page 17: Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia

21

piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil seperti bangunan candi

Borobudur.

Bentuk bangunan candi Borobudur merupakan perpaduan antara

kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Penyebaran kebudayaan di

candi Borobudur menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi

adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa

menghilangkan unsur kebudayaan asli. Asimilasi adalah bercampurnya dua

kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah

bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah

kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.

Nilai kebudayaan yang terkandung di candi Borobudur mengingatkan kita

kepada nenek moyang kita yang kaya akan kebudayaan. Salah satu bentuk dari

buah karya nenek moyang kita yaitu candi Borobudur, sehingga kita harus

mengakui bahwa candi Borobudur merupakan warisan luhur bangsa kita

Indonesia.