perkawinan di indonesia : aktualisasi pemikiran …

21
Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 63 PERKAWINAN DI INDONESIA: AKTUALISASI PEMIKIRAN MUSDAH MULIA Nurul Ma’rifah Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon Email: [email protected] Abstrak Perbedaan gender dalam perkawinan bagi Musdah Mulia menyebabkan adanya hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Sebuah pepatah Jawa membenarkan kenyataan tersebut, yakni nasib isteri adalah swargo nunut, neroko katut. Artinya, ke surga ikut, ke neraka turut. Isteri harus menunjukkan pengabdiannya pada suami, yang ditunjukkan dengan sikap nrimo (menerima), tidak protes, tanpa peduli apakah tindakan dan perintah suaminya benar atau tidak. Para isteri biasanya berkeyakinan bahwa jika dirinya bersikap nrimo, akan ada balasan yang lebih baik. Isteri yang tidak nurut dan suka protes akan menerima walat, yakni menemui kesulitan hidup di kemudian hari. Tampak bahwa disini ada hubungan kekuasaan. Padahal jelas dalam sebuah ayat menegaskan posisi yang setara dan sederajat bagi suami-isteri. Suami adalah pakaian bagi isteri dan demikian pula sebaliknya. Pakaian bagi manusia berfungsi sebagai pelindung dan fungsi itulah yang diharapkan dari suami isteri dalam kehidupan berkeluarga. Sebagai makhluk, laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Tidak ada orang yang sempurna dan hebat dalam semua hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba kekurangan. Karena itu, dalam kehidupan suami isteri, manusia pasti saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh. Kata Kunci: Perkawinan, Indonesia, Musdah Mulia Abstract Gender differences in marriage for Musdah Mulia cause unequal relationship between men and women. A Javanese proverb justify this fact, the fate of the wives is swargo Nunut, neroko Katut. That is, to heaven go, to hell also. The wife should show devotion to her husband, as indicated by the attitude nrimo (receive), no protest, no matter whether her husband's actions and commands correct or not. The wives usually believe that if they receive everything, there will be a better reply. The disobedient wifes who like to protest will receive damn, namely the difficulty of life in the future. It appears that here there is a relationship of power. And clearly in a verse confirms equal position and equal for husband and wife. The husband is clothing for their wives and vice versa. Clothing for men serves as a protective and function that is expected of a husband and wife in family life. As creatures, male and female, each has disadvantages and advantages. No one is perfect and great in all respects, otherwise some are deprived. Therefore, in the life of husband and wife, man would need each other. Each one must be able to function meet the needs of partners, like clothing covering the body. Keywords: Marriage, Indonesia, Musdah Mulia

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 63

PERKAWINAN DI INDONESIA:AKTUALISASI PEMIKIRAN MUSDAH MULIA

Nurul Ma’rifahFakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam

IAIN Syekh Nurjati CirebonJl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon

Email: [email protected]

Abstrak

Perbedaan gender dalam perkawinan bagi Musdah Mulia menyebabkan adanya hubunganyang timpang antara laki-laki dan perempuan. Sebuah pepatah Jawa membenarkankenyataan tersebut, yakni nasib isteri adalah swargo nunut, neroko katut. Artinya, ke surgaikut, ke neraka turut. Isteri harus menunjukkan pengabdiannya pada suami, yang ditunjukkandengan sikap nrimo (menerima), tidak protes, tanpa peduli apakah tindakan dan perintahsuaminya benar atau tidak. Para isteri biasanya berkeyakinan bahwa jika dirinya bersikapnrimo, akan ada balasan yang lebih baik. Isteri yang tidak nurut dan suka protes akanmenerima walat, yakni menemui kesulitan hidup di kemudian hari. Tampak bahwa disini adahubungan kekuasaan. Padahal jelas dalam sebuah ayat menegaskan posisi yang setara dansederajat bagi suami-isteri. Suami adalah pakaian bagi isteri dan demikian pula sebaliknya.Pakaian bagi manusia berfungsi sebagai pelindung dan fungsi itulah yang diharapkan darisuami isteri dalam kehidupan berkeluarga. Sebagai makhluk, laki-laki dan perempuan,masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Tidak ada orang yang sempurna danhebat dalam semua hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba kekurangan. Karena itu, dalamkehidupan suami isteri, manusia pasti saling membutuhkan. Masing-masing harus dapatberfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh.

Kata Kunci: Perkawinan, Indonesia, Musdah Mulia

Abstract

Gender differences in marriage for Musdah Mulia cause unequal relationship between menand women. A Javanese proverb justify this fact, the fate of the wives is swargo Nunut, nerokoKatut. That is, to heaven go, to hell also. The wife should show devotion to her husband, asindicated by the attitude nrimo (receive), no protest, no matter whether her husband's actionsand commands correct or not. The wives usually believe that if they receive everything, therewill be a better reply. The disobedient wifes who like to protest will receive damn, namely thedifficulty of life in the future. It appears that here there is a relationship of power. And clearlyin a verse confirms equal position and equal for husband and wife. The husband is clothingfor their wives and vice versa. Clothing for men serves as a protective and function that isexpected of a husband and wife in family life. As creatures, male and female, each hasdisadvantages and advantages. No one is perfect and great in all respects, otherwise someare deprived. Therefore, in the life of husband and wife, man would need each other. Eachone must be able to function meet the needs of partners, like clothing covering the body.

Keywords: Marriage, Indonesia, Musdah Mulia

Page 2: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 64

PendahuluanPerkawinan di Indonesia mendapat

perhatian besar dari salah satu pemikirMuslim kontemporer Indonesia yaitu SitiMusdah Mulia. Salah seorang tokoh yangdianggap liberal dalam pemikirannya. BagiMusdah, gambaran posisi dan kedudukanperempuan dalam perkawinan di Indonesiasangat lemah. Perempuan tidak memilikibargaining position (kemampuan tawar)dalam perkawinan karena sangat tergantungkepada suami, secara psychics dan finansial;tidak banyak berkiprah di dunia publik,terutama di bidang politik. Akibatnya,perempuan hanya menjadi obyek dan bukansubyek dalam semua programpembangunan. Tidak heran jika merekasangat rentan akan perlakuan eksploitasi dankekerasan.1 Hal ini menurut Musdahdikarenakan relasi antara laki-laki danperempuan tidak terimplementasi denganbaik. Apalagi praktek umat Islam berkaitandengan posisi perempuan, khususnyamenyangkut relasi gender pada umumnyasangat distortif dan bias.

Mengenai hal tersebut Musdahmenyuarakan ide penafsiran kembali atasayat-ayat al-Qur’ān dan Sunnah Nabi yangditafsirkan dari perspektif pengalaman danvisi kaum laki-laki dan berimplikasi luasterhadap kedudukan kaum perempuan.2 Satulangkah penting Musdah adalah denganmengambil ajaran universal Islam. Ajarantauhid menjadi penekanan Musdah Muliadalam hubungan kesetaraan antaraperempuan dan laki-laki. Karena menurutMusdah, tauhid menghapuskan semua sekat-sekat dikriminasi dan subordinasi. Manusia,

1Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar(ed.), Keadilan dan Kesetaraan Jender: PerspektifIslam, cet. ke-1 (Jakarta: Tim PemberdayaanPerempuan Bidang Agama Departemen Agama RI,2001), 17.

2Pemikiran Musdah Mulia tidak bisadikatakan terlepas dari pemikiran feminis yang lain.Sebutlah Amina Wadud, tokoh wanita yang gigihmemperjuangkan kesetaraan gender danmembebaskan diri dan kaumnya. Lihat, MarwanSaridjo, Cak Nur Diantara Sarung dan Dasi danMusdah Mulia Tetap Berjilbab: Catatan PinggirSekitar Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: NgaliAksara dan Penamadani, 2005), 73.

baik laki-laki maupun perempuan,mengemban tugas ketauhidan yang sama,yakni menyembah hanya kepada Allah swt.3

Sehingga menurut Musdah, tidak adaperbedaan antara laki-laki maupunperempuan. Dalam kondisi tersebut Musdahberkesimpulan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawabsosial yang sama.

Semangat Musdah Mulia untukselalu menyuarakan isu perempuan jugadilakukannya dengan menekuni berbagaiperumusan maupun pembaruan perundang-undangan di Indonesia yang dipandangbermasalah bagi upaya membangunmasyarakat madani. Salah satu hasilkajiannya yang meramaikan diskusikeagamaan di Indonesia adalah “CounterLegal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI)”,4 CLD-KHI ini menawarkanterobosan baru terhadap isi KHI danmelakukan klarifikasi beberapa kesalahantafsir terhadap isu yang termuat dalam KHI,terutama tertuju pada sisi-sisi bangunanperkawinan yang telah dianggap mapanselama ini.

3Siti Musdah Mulia, Islam dan InspirasiKesetaraan Gender, cet. 2 (Yogyakarta: Kibar Press,2007), 10.

4Siti Musdah Mulia merupakan koordinatordalam tim ini dan bekerja bersama 11 pakar lainnyadalam tim tersebut. Kesebelas orang pakar ini terdiridari ahli-ahli di berbagai bidang, seperti ilmu tafsir,hadis, kitab-kitab klasik dan juga perundangan.Beberapa materi yang termuat dalam CLD-KHIadalah: wali bukan rukun nikah, mahar tidak sajadiberikan kepada calon isteri tetapi juga kepada calonsuami, hak cerai dan rujuk suami dan isteri sama-sama punya hak untuk menceraikan dan merujuk,‘Iddāh berlaku untuk isteri dan suami, suami jugabisa divonis nūsyūz, sehingga isteri terbebas darikewajibannya terhadap suami, kawin kontrak ataukawin mut’ah hukumnya boleh, Ihdād (masaberkabung setelah pasangan meninggal) berlaku padaisteri dan suami, kawin beda agama: beda agamabukan penghalang dalam proses perkawinan, anak diluar perkawinan bila ayah biologisnya diketahui anaktetap memiliki hak waris dari ayah biologis itu,pembagian waris hak untuk anak laki-laki samabanyaknya dengan anak perempuan dan orangberbeda agama boleh saling memberi dan menerimawakaf. Lihat, Marwan Saridjo, Cak Nur DiantaraSarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab,98-99.

Page 3: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 65

Apa yang dilakukan Musdahmerupakan modal awal bagi bangkitnya satubentuk solidaritas menghadapi tantanganbersama. Sebuah tantangan dimana identitasagama, gender, dan kekuasaan negara salingbertautan, di mana yang satu memanfaatkanyang lainnya, dengan perempuan sebagaikorbannya. Tantangan semacam ini sudahtentu membutuhkan respons serupa dariperspektif agama, gender, dan demokrasiselain juga diperlukan adanya duapendekatan, yaitu pendekatan fungsionalmaupun struktural.5 Tentu sangat diperlukanorang-orang yang bisa menguasai ketigawilayah dan pendekatan tersebut, serta

5Dalam lingkup kegiatan pengembanganmasyarakat lazim dikenal adanya dua pendekatanutama, yaitu fungsional dan struktural. Pendekatanfungsional mengasumsikan bahwa satu masyarakatditata melalui fungsi-fungsi yang sudah baku dantidak perlu dipertanyakan lagi. Apa yang dilakukanadalah mengoptimalkan peran fungsi-fungsi tersebut.Dalam kaitannya dengan program pengembanganmasyarakat untuk perempuan, pendekatan inibertujuan menjadikan perempuan lebih mampu danoptimal dalam melaksanakan fungsi-fungsitradisionalnya yang pada umumnya didasarkan padaideologi gender dalam masyarakat bersistempatriarkhi. Kelemahan pendekatan ini adalah ia tidakmenggugat status quo, karena itu pada umumnyaperubahan yang dihasilkannya cenderung tidaksubstansial dan memberikan keuntungan parsialhanya pada mereka yang memang sudah sejak awalmempunyai berbagai kelebihan baik secara ekonomimaupun sosial, yaitu para perempuan dari kelasmenengah dan atas. Pendekatan struktural,sebaliknya, mengasumsikan bahwa masyarakatterdiri atas berbagai kepentingan yang tarik-menarik,dimana pihak yang lebih kuat akhirnya akanmemegang kekuasaan dan mendominasipengambilan keputusan, sementara pihak yang lemahakan kalah dan menjadi marginal. Pendekatan inibertujuan mengontrol perimbangan kekuatan dengancara memperkuat (empower) pihak-pihak yang lemahdan marginal. Karenanya, bentuk kegiatan daripendekatan ini pada umumnya berupa pembongkarankesadaran yang dibarengi dengan kegiatan ekonomiuntuk memperkuat akses ekonomi dan politikperempuan agar mereka bisa mempunyai otonomisehingga kondisi asimetri antara lelaki danperempuan bisa dihilangkan, paling tidak dikurangi.Lihat, Wardah Hafidz, “Organisasi Wanita Islam danArah Pengembangannya”, dalam Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman (ed.), WanitaIslam Indonesia dalam Kajian Tekstual danKontekstual (Jakarta: INIS, 1993), 137-138.

sekaligus bisa bermain dan berperan didalamnya. Inilah keunikan Musdah Mulia.

Biografi Musdah MuliaSiti Musdah Mulia dilahirkan pada 3

Maret 1958 di kabupaten Bone propinsiSulawesi Selatan. Sebuah propinsi yangterletak di Indonesia bagian tengah. Tahunkelahiran Musdah bersamaan dengan tahunkelahiran Bahtiar Effendy yang kemudianbersama-sama dengan Musdah menjadisalah satu pengajar di program PascaSarjana Universitas Islam Indonesia danjuga sama-sama dimasukkan oleh BudiHandrianto sebagai bagian dari 50 tokohIslam Liberal di Indonesia.6 Ketika ituIndonesia diperintah oleh Soekarno yangditempatkan sebagai presiden setelahpembacaan proklamasi kemerdekaan pada17 Agustus 1945. Musdah merupakan anakpertama dari 6 bersaudara pasanganMustamin Abdul Fatah dan BuaidahAchmad.7 Musdah lahir dan dibesarkan darilingkungan dengan tradisi Islam yang taatdan ketat. Ia adalah cucu seorang ulama darikalangan NU. Ketika menggambarkan masakanak-kanaknya, ia bercerita bahwa ia tidakboleh tertawa terbahak-bahak. Orang tuanyatidak mengijinkannya bersahabat dengannon-Muslim. Kalau ia tetap melakukannya,mereka memerintahkan ia untuk segeramandi. Namun setelah dewasa, ia pernahmelancong ke negara-negara Muslimlainnya dan menyadari bahwa Islammemiliki banyak wajah. Kemudian iaberkata: “Ini membuka mata saya. Sebagianyang diajarkan kakek dan ulama memangbenar tetapi lainnya adalah mitologi.8

6Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam LiberalIndonesia: Pengusung Ide, Sekularisme, Pluralismedan Liberalisme Agama, cet. 1 (Jakarta: Hujjah press,2007), 189-190.

7Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: MizanMedia Utama, 2005), xii.

8Robert Spencer, “Musdah Mulia, MuslimahFeminis?” http://www.Indonesia.faithfreedom.Org/forum/viewtopic.php?p=1995&sid=(faeb)f1678825246e67a6b23ocf2370 (diakses 5 Maret2009).

Page 4: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 66

Musdah juga menceritakan bahwasebagai perempuan, sejak kecil iadiperkenalkan bahwa aurat perempuan itubukan hanya tubuh dan rambutnya,melainkan juga suaranya. Karena itu, sejakremaja Musdah sudah memakai pakaiantertutup dan berkerudung.9 Ruang geraknyasering diawasi oleh keluarga baik olehkakek maupun paman. Misalnya, ia tidakboleh kos (kontrak rumah atau kamar) saatmahasiswa karena khawatir bebas denganlaki-laki. Ia dibelikan rumah yang dekatdengan pamannya supaya setiap saat bisadiawasi.10

Pendidikan formal dimulai dari SDdi Surabaya. Kemudian setelah tamat SD1969 dia masuk Madrasah Tsanawiyah diPondok As’adiyah Sengkang, ibukotaKabupaten Wojo. Pondok As’adiyahSengkang termasuk salah satu pondok

9Tentu sangat aneh sekali ketika dalamKongres umat Islam yang lalu (April 2005) adaseorang ibu yang mengatakan “Orang-orang sepertiIbu Musdah jangan tanggung-tanggung menjadiwanita modern dan sekuler. Tanggalkan busanamuslim dan jilbabnya, ganti dengan pakaian orangBarat yang mempertontonkan aurat” padahal bagiMusdah memakai kerudung atau jilbab itu sudahmenjadi darah dagingnya. Keteguhan Musdah untuktetap berkerudung juga berlanjut sampai SMA.Walaupun diantara teman-temannya di Datumusengada yang tidak berkerudung, dia tidak terpengaruh.Hasil didikan dan tradisi di pesantren telahmembentuk kepribadiannya. Musdah tidak bisameninggalkan kerudung atau jilbab. Lihat, MarwanSaridjo, Cak Nur Diantara Sarung dan Dasi danMusdah Mulia Tetap Berjilbab: Catatan PinggirSekitar Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: NgaliAksara dan Penamadani, 2005), 68-69.

10Berkaitan dengan aurat perempuan ini,Musdah juga menceritakan pengalamannya ketikaterbang dari Madinah ke Kairo dimana saat ituMusdah sedang menulis disertasi di mesir. Termasukpengalamannya dengan jilbab ketika tahun 1994terbang dari Madinah ke Kairo. Di pesawat semuaperempuan asli Madinah menutup rapat tubuhnyadengan burka.”Waktu kami berhenti di Jeddah,sebagian dari burka dibuka. Begitu sampai Kairosemua penutup dibuka. Cara mereka berpakaian lebihdari orang Barat. Waktu saya tanya, mereka bilang,burka adalah bagian dari budaya yang tidakdiperlukan di Kairo.” Lihat,http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/21/01272612/musdah.mulia.saya.tidak.ingin.apa-apa (diakses5 maret 2009).

pesantren terkemuka di Sulawesi Selatansejak sebelum kemerdekaan. Sebagailazimnya di lingkungan pesantren semuapelajar putri wajib memakai kerudung(waktu itu istilah jilbab belum populerseperti halnya dewasa ini).11

Setelah tamat dari PesantrenSengkang pada tahun 1973 Musdah Muliamelanjutkan ke SMA Perguruan IslamDatumuseng Makassar. Di bangku SMAinilah tampaknya Musdah mulai aktifberkiprah. Salah satunya di organisasi PII,12

ia dikenal sebagai seorang pelajar puteriSMA Datumuseng yang berkerudung putihdan pintar berbicara dalam rapat-rapatorganisasi tanpa meninggalkan citrafeminimnya. Pernah dalam suatu acaratraining, Musdah dengan suara lantangmengusulkan agar pelajar puteri yangmenjadi anggota PII mengenakan rokpanjang, baju lengan panjang danberkerudung tertutup, “Sebagai pelajarIslam kita wajib menampakkan identitas dankepribadian yang Islami” serunya.13

11Marwan Saridjo, Cak Nur DiantaraSarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab:Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam diIndonesia, 69.

12PII (Partai Islam Indonesia) adalah salahsatu partai politik Islam yang tumbuh karenaterinspirasi organisasi politik nasional pertama danmenyebar ke berbagai wilayah di Jawa, Sumatera,dan Sulawesi yaitu Sarekat Islam. Sarekat Islam inibertujuan untuk membebaskan bumiputra darikemelaratan dan kebodohan.Lihat, Dewan RedaksiEnsiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet. 4 (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), II: 183.

13Hal ini dikarenakan situasi pada waktu ituagak mencekam. Setelah Presiden Soekarnomembubarkan Masyumi, (17 agustus 1960), PII yangdijuluki oleh PKI sebagai “Masyumi bercelanapendek”, ikut kena imbas, baik dipusat maupundidaerah-daerah. Sebuah surat kabar yang terbit dikota Makassar, yang cenderung membawakan opiniPNI Asu (Ali – Surachman) dan PKI dalam tajuk danberita-beritanya sering melancarkan “insinuasi”terhadap organisasi-organisasi Islam, termasuk PII.Informasi dari nara sumber training, yang terdiri daritokoh-tokoh Masyumi dan Gak (Gerakan antiKomunis) seperti A. Wahhab Radjab, Darul Aqsha,Aminulla Lewa,dll, sekitar usaha pengrusakan moralgenerasi muda, seperti maraknya acara “danca-danci”di setiap sudut kota, dan pameran busana seronok,yang waktu itu terkenal dengan istilah “you can see”

Page 5: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 67

Tidak hanya berhenti di bangkuSMA, Musdah kemudian melanjutkankuliah di IAIN Alauddin Makassar JurusanBahasa dan Sastra Arab. Dan sebelumnyaprogram sarjana Muda di FakultasUshuludin Jurusan Dakwah, UniversitasMuslim Indonesia (UMI) Makassar telahdiselesaikannya di tahun 1980. Dikenalsebagai aktivis sejak mahasiswa hinggasekarang. Tentu sebagai keluarga Nahdliyin,Musdah ikut aktif di organisasi IPPNU danPMII.14 Karena ini bisa jelas terlihat daripengalaman organisasinya. Musdah pernahmenjadi ketua wilayah IPPNU SulawesiSelatan dari tahun 1978 sampai 1982.Kemudian pendidikan S1 di Fakultas AdabIAIN Alauddin Makassar diselesaikan padatahun 1982. Kemudian di tahun 1984Musdah menikah dengan seorang laki-lakiasal Bima bernama Ahmad Thib Raya.Yang sekarang menjadi salah satu gurubesar Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah,Jakarta. Dan juga sekarang dikaruniai duaputra yaitu Albar (19) dan Ilham (17).

Pada tahun 1985 Musdah mulaibekerja sebagai Dosen Luar Biasa di IAINAlauddin dan Universitas Muslim IndonesiaMakassar di samping menjadi peneliti padaBalai Penelitian lektur Agama, Makassar.Sejak tahun 1990 Musdah pindah ke Jakartamenjadi peneliti pada Balitbang DepartemenAgama Pusat.

Di Jakarta inilah Musdah kemudianmelanjutkan dan menyelesaikan S2 di tahun1992 Bidang Sejarah Pemikiran Islam danS3 di tahun 1997 Bidang Pemikiran PolitikIslam pada Program Pasca Sarjana IAINSyarif Hidayatullah Jakarta. Musdah adalah

(mode pertama menjamur sejak medio tahun 50-an)semakin memperkokoh pendirian pelajar puteripertama dari SMA Datumuseng tadi untukmengkampanyekan akan pentingnya kaum muslimahdan para pelajar puteri Islam mengenakan kerudungdan busana muslim. Lihat, Marwan Saridjo, Cak NurDiantara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia TetapBerjilbab: Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islamdi Indonesia, 70-71.

14Marwan Saridjo, Cak Nur DiantaraSarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab:Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam diIndonesia, 72.

perempuan pertama yang meraih gelarDoktor dalam bidang pemikiran politikIslam dan sekaligus perempuan pertamasebagai Doktor terbaik IAIN SyarifHidayatullah Jakarta dengan disertasiberjudul “Negara Islam: Pemikiran PolitikHusein Haikal”, dan telah diterbitkan olehParamadina pada 2001.15 Musdah jugamerupakan perempuan pertama yangdikukuhkan LIPI sebagai APU (AhliPeneliti Utama) di lingkungan DepartemenAgama di tahun 1999 dengan pidatopengukuhan “Potret Perempuan DalamLektur Agama: Rekontruksi PemikiranIslam Menuju Masyarakat Egaliter danDemokratis.”

Selain itu, Musdah mengikutisejumlah pendidikan nonformal, sepertiKursus Singkat Islam dan Civil Society diMelbourne, Australia (1998); KursusSingkat Pendidikan HAM di UniversitasChulalangkorn, Thailand (2000); KursusSingkat Advokasi Penegakan HAM danDemokrasi (International Visitor Program)di Amerika serikat (2000); Kursus SingkatManajemen Pendidikan dan Kepemimpinandi Universitas George Mason, Virginia,Amerika Serikat (2001); Kursus singkatmengenai Pelatih HAM di Universitas Lund,Swedia (2001); Manajemen KepemimpinanPerempuan di Bangladesh Institute ofAdministration and Management (BIAM),Dhaka, Bangladesh (2002).16 ”visitingprofessor” di EHESS Paris, Perancis (2006).

Meskipun kemudian berkarier diinstitusi pemerintah (sebagai peneliti dandosen di lingkungan Departemen Agama),Di pemerintahan, selain jabatan

15Untuk merampungkan karya disertasitentang Negara Islam: Pemikiran Politik HusainHaikal yang kemudian diterbitkan menjadi buku iniMusdah bukan hanya melakukan studi library, tetapilangsung mendatangi keluarga Haikal di Mesir dimana ia memperoleh data dan bahan-bahan yangdibutuhkan. Karena Haikal sendiri telah wafat tahun1956. Lihat, Musdah Mulia, Negara Islam:Pemikiran Politik Husain Haikal, cet. 1 (Jakarta:Paramadina, 2001), 227.

16Siti Musdah Mulia, Islam dan InspirasiKesetaraan Gender, cet. 2 (Yogyakarta: Kibar Press,2007), 255-256.

Page 6: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 68

fungsionalnya sebagai peneliti denganpangkat Ahli Peneliti Utama (APU),Musdah pernah menjabat sebagai KepalaBalai Penelitian Agama danKemasyarakatan Departemen Agama (1999-2000); Staf Ahli Menteri Negara UrusanHak Asasi Manusia, Bidang PencegahanDiskriminasi dan Perlindungan Minoritas(2000-2001); Anggota Tim Ahli MenteriTenaga Kerja RI (2000-2001); dan sekarangStaf Ahli Menteri Agama, BidangPembinaan Hubungan OrganisasiKeagamaan Internasional. Musdah jugamenjadi dosen di beberapa tempat, sepertiDosen Fakultas Adab IAIN Syahid, Jakarta(1992-1997), Dosen Institut Ilmu-Ilmu Al-Qur’ān Jakarta (1997-1999), DirekturPerguruan al-Wathoniyah Pusat, Jakarta(1995-sekarang); Dosen Pascasarjana UINSyarif Hidayatullah, Jakarta untuk matakuliah Perkembangan Modern Islam (1997-sekarang); Hal itu tidak menghalanginyaaktif di berbagai ormas perempuan,diantaranya adalah sebagai berikut:1. Ketua Wilayah IPPNU sul-Sel (1978-

1982);2. Ketua Wilayah Fatayat NU Sul-Sel

(1982-1989);3. Pengurus KNPI Wilayah Sulsel (1985-

1990);4. Sekjen PP. Fatayat NU (1990-1994);5. Wakil Ketua WPI (1996-2001);6. Wakil Sekjen PP. Muslimat NU (2000-

2004);7. Anggota Dewan Ahli Koalisi Perempuan

Indonesia (1999-2003);8. Ketua Forum Dialog Pemuka Agama

Mengenai Kekerasan TerhadapPerempuan (1998-2001);

9. Ketua Dewan Pakar KP-MDI (1996-2001);

10. Ketua 1 (MAAI) Al-Majelis Al-AlamiLil-Alimat Al-Muslimat Indonesia(2001-2003);

11. Anggota Forum Komunikasi UmatBeragama (FKUB) DKI, Jakarta (2000-sekarang);

12. Ketua Ikatan Dewan Gender dan RemajaPerhimpunan Keluarga Indonesia 2000,

13. Ketua Komunitas Agama IslamIndonesia.

14. Ketua Komisi Pengkajian Majelis UlamaIndonesia Pusat (2000-2005); 17

Sebelum dan sesudah Musdah belumada lagi perempuan yang mendudukiposisi tersebut.18

15. Ketua Panah Gender dan RemajaPerhimpunan Keluarga Indonesia (2000-sekarang);

16. Ketua Dewan Pakar KPMDI: KorpsPerempuan Majelis Dakwah Islamiyah(1997-sekarang);

17. Dewan ahli Koalisi PerempuanIndonesia (2001-2004),

18. Sekjen ICRP: Indonesian Conference onReligion and Peace (1998-sekarang).19

19. Pendiri dan Direktur LKAJ: LembagaKajian Agama dan Jender (1998-2005).20

17Di MUI, beliau dengan fasihnya mewakilisuara perempuan dalam pembahasan isu-isukontemporer. Lihat Ahmad Baso “Pengantar Editor”,dalam Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, xxv.

18“Musdah Mulia: Saya Tidak Ingin Apa-apa”,http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/21/01272612/musdah.mulia.saya.tidak.ingin.apa-apa, (diakses5 maret 2009).

19Bersama sejumlah tokoh agamamendirikan lembaga interfaith ICRP (IndonesianConference on Religion and Peace). Dari lembagayang disebut terakhir ini, Musdah Mulia bersama-sama dengan perempuan pemuka agama lainnyamengidentikkan diri sebagai “women of faith”. Danperan mereka lebih mengarah kepada upayamembangun kesadaran moralitas dan tanggungjawabkemanusiaan semua pihak. Oleh beliau, kesadaranmoralitas itu dibangun atas dasar pijakan teks-teksagama yang ditafsir ulang dan direformasi, dan jugapada tradisi fiqih yang direkontekstualisasi. Dari sini,sebutan “ulama”, yang selama ini dimonopoli laki-laki, pantas dilekatkan ke dalam dirinya. di ICRPbeliau menggerakkan potensi di kalangan agamawanuntuk peduli terhadap hak-hak asasi manusia,terutama hak-hak perempuan, mengajak kalanganperempuan pemuka agama untuk tampil sebagaipromotor perdamaian dan rekonsiliasi, sertamendampingi kalangan komunitas agama dankepercayaan korban diskriminasi negara untukmenuntut hak-haknya. Lihat Ahmad Baso “PengantarEditor”, xxv.

20Di LKAJ, dia mempromosikan hak-hakperempuan melalui publikasi, pelatihan, dan

Page 7: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 69

Dari semua posisi tersebut inilahMusdah Mulia lebih leluasa menampilkansuara perempuan dalam berbagai isu dankasus. Di Departemen Agama beliaumenyuarakan hak-hak perempuan dalamkebijakan negara tentang perkawinan dansejumlah kebijakan yang berkaitan denganperempuan. Dan belakangan ini, beliaubersama kelompok-kelompok pro demokrasidan civil society menekuni perumusan RUUCatatan Sipil, RUU Anti-KDRT (KekerasanDalam Rumah Tangga); Revisi UUKesehatan, UU Kewarganegaraan, UUKetenagakerjaan, dan lain-lain yangdipandang bermasalah bagi upayamembangun masyarakat madani. Menarikkarena dia melakukan itu semua dariposisinya sebagai Muslimah, sebagaimujadiddah (pembaru), dan sebagai ulama.21

Sampai sekarang Musdah punpernah malang melintang menghadiri danjuga aktif menjadi trainer (instruktur) diberbagai pelatihan, pertemuan, seminar dankonferensi internasional di sejumlahmancanegara seperti Amerika, Asia, Afrikadan lain-lain dalam berbagai programadvokasi, pelatihan, penelitian, dankonsultasi untuk pemberdayaan masyarakat,khususnya yang bertemakan demokrasi,pluralisme, HAM, kesetaraan jender dankeadilan demi membangun masyarakat yangmenjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dannilai-nilai kemanusiaan tentang perempuan.Satu hal yang menggembirakan, walaupundengan kesibukan yang cukup banyakMusdah tetap menulis.

Dengan demikian tentunya suatu halyang wajar ketika Saparinah Sadlimenganggap Musdah sebagai pioner dalampemikiran dan tindakan tentang bagaimanamelepaskan perempuan dari belenggupemahaman Islam yang bertentangandengan nilai-nilai dasar agama Islam, sepertikeadilan bagi perempuan dan laki-laki; danajaran Islam yang bertujuan memberi

sejumlah program diseminasi hak-hak perempuan dilingkungan komunitas agama. Perkumpulan KeluargaBerencana Indonesia. Lihat Ahmad Baso “PengantarEditor”, xxvi.

21Ahmad Baso “Pengantar Editor”, xxvi.

kemaslahatan bagi manusia.22 Begitu puladengan Marwan Saridjo yang menganggapMusdah sebagai cendekiawan dan pemikirdi bidang keagamaan, dan tokoh gerakanfeminis, pada suatu waktu boleh jadi akandijuluki pula sebagai “Mutiara dari Selatan”atau “Bintang dari Timur”, atau laqablainnya.23

Perempuan dan PerkawinanMenurut Musdah perbedaan gender

dalam perkawinan bisa juga menyebabkanadanya hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Sebuah pepatah Jawamembenarkan kenyataan tersebut, yakninasib isteri adalah swargo nunut, nerokokatut. Artinya, ke surga ikut, ke nerakaturut. Dengan demikian, nasib seorangperempuan harus benar-benar menaatiaturan yang diterapkan oleh suami, jika iaingin selamat. Isteri harus menunjukkanpengabdiannya pada suami, yangditunjukkan dengan sikap nrimo(menerima), tidak protes, tanpa peduliapakah tindakan dan perintah suaminyabenar atau tidak. Para isteri bisaanyaberkeyakinan bahwa jika dirinya bersikapnrimo, akan ada balasan yang lebih baik.Isteri yang tidak nurut dan suka protes akanmenerima walat, yakni menemui kesulitanhidup di kemudian hari. Tampak bahwadisini ada hubungan kekuasaan.24

Bagi Musdah kekuasaan yangberlebihan (dominant) pada suami bisa jadikarena ia dianggap sebagai satu-satunyaanggota rumah tangga yang memilikikesempatan bekerja yang dapatmenghasilkan uang sehingga kedudukanisteri sangat tergantung secara ekonomi.Ketergantungan ini bisa menyebabkan posisiisteri menjadi semakin lemah di hadapan

22Saparinah Sadli, “Kata Pengantar” dalamSiti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: PerempuanPembaru Keagamaan, xxxv.

23Marwan Saridjo, Cak Nur DiantaraSarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab:Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam diIndonesia, 68.

24Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar(ed.), Keadilan dan Kesetaraan Gender: PerspektifIslam, 64.

Page 8: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 70

suami. Isteri ketakutan bila harus berceraihanya karena ia dinilai tidak patuh,sementara biaya hidup seluruhnyatergantung pada suaminya. Untuk kelanjutankehidupannya ia didera ketakutan, siapayang akan menanggungnya.25

Musdah menyebutkan bahwa dalambeberapa kasus, meskipun isteri juga mampu“menghasilkan uang”, tetapi tidak menjaministeri memiliki kedudukan yang setaradengan suaminya. Hanya karena alasansuami memiliki penampilan fisik lebih kuat,posisi isteri (perempuan) menjadi lemah.Oleh karena itu, Musdah menekankanbahwa perbedaan jender telah melahirkanperbedaan peran sosial. Kadangkala peransosial tersebut dibakukan oleh masyarakat,sehingga tidak ada kesempatan bagiperempuan atau laki-laki untuk bergantiperanan. Dalam tradisi Jawa, pembakuanperan ini diungkapkan dalam banyakpepatah, misalnya, perempuan adalah koncowingking dari laki-laki yang menjadisuaminya. Ia adalah teman hidup yangperannya selalu di belakang. Pepatahtersebut sekaligus mengisyaratkan bahwatugas-tugas perempuan adalah di belakang.Dalam budaya Jawa, istilah belakang tidaksaja menunjuk arah tetapi bisa berartisebuah ruangan, yakni dapur, yang letaknyabisaanya memang di belakang dan terkesantersembunyi dan disembunyikan (tidakkelihatan).26

Dari apa yang dijelaskan di atas,Musdah menerangkan bahwa kita bisamelihat dalam tradisi masyarakat sudah adapembatasan peran bagi perempuan.Perempuan dibatasi oleh dinding tebalrumah, dan lebih khusus lagi, dapur. Olehkarena itu, sangat mudah bagi kitamengetahui sebab musabab mengapabanyak perempuan yang hanya tinggaldirumah, tidak bekerja, dan merekamengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk

25Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar(ed.), Keadilan dan Kesetaraan Gender: PerspektifIslam, 64.

26Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar(ed.), Keadilan dan Kesetaraan Gender: PerspektifIslam, 58.

suami dan anak-anaknya. Hari-hariperempuan banyak dihabiskan untuk urusandapur, mulai dari mengatur menu,berbelanja, memasak, menghidangkannya dimeja makan, hingga membenahi kembaliperalatan dapur (mencuci, membersihkandan menyimpannya kembali). 27

Lebih lanjut Musdah mengatakanbila ada perempuan yang mampu menembusdinding tebal tersebut, misalnya menjadi“pekerja”, sering perannya tidak dihargai.Penghasilan yang diperolehnya dari bekerjahanya dianggap sebagai penghasilansampingan, walaupun mungkin jumahnyalebih besar daripada suami. Dalamkenyataan di masyarakat kita seringkalimendapati seorang isteri yang malu-maluuntuk menyebut besarnya gaji yang iaterima. Tidak sedikit perempuan yangmasuk dalam kelompok ini sering merasabersalah jika tugas-tugas rumah tangga tidakterselesaikan akibat kesibukannya di luarrumah walaupun kesibukannya itu justru

27Seperti yang bisa kita lihat, daripandangan berikut: bahwa hubungan antara laki-lakidan wanita berlandaskan pembagian kerja dan kerjasama yang timbal balik. Jenis hubungan seperti inimenuntut kepatuhan wanita kepada laki-laki di dalamkeluarga itu, dan menjadikan laki-laki kepala rumahtangga. Kepatuhan ini tidak didasarkan superioritaslaki-laki atau inferioritas wanita, melainkanberdasarkan pembagian kerja; laki-laki untukpekerjaan di luar rumah dan wanita untuk pekerjaandi dalam rumah. Masing-masing sepenuhnyabertanggung jawab dan mandiri dalam dunianya.Pembagian ini berdasarkan perbedaan-perbedaankodrat, fisik, dan psikologis antara laki-laki danwanita. Lihat, Hassan Hanafi, Dialog Agama DanRevolusi, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus,cet.2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 90-91. Sepertijuga pendapat lain menyatakan bahwa pembagianlingkungan kerja ini juga sama dengan pendapatWahiduddin Khan bahwa lingkungan perempuan danlaki-laki, pada umumnya, tidak sama. Lingkunganlaki-laki pada dasarnya ada di luar rumah danperempuan di dalamnya. Apabila keduanyamengganti lingkungan aktivitasnya, keduanya akankehilangan identitas masing-masing dan kehilangankebermaknaan puncak dalam masyarakat. Masing-masing pihak, yang menggantikan tempat masing-masing, akan merasakan kehilangan arah. Lihat,Wahiduddin Khan, Antara Islam Dan Barat…..hlm.101.

Page 9: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 71

untuk mecari nafkah memenuhi kebutuhankeluarganya.28

Kemudian Musdah mengemukakanbahwa prinsip saling melengkapi danmelindungi dalam pernikahan. Prinsip iniditemukan, antara lain pada:QS al-Baqarah (2):187:Artinya:

“…isteri-isteri kamu (para suami)adalah pakaian untuk kamu, dankamu adalah pakaian untukmereka”.

Bagi Musdah ayat tersebutmenegaskan posisi yang setara dan sederajatbagi suami-isteri. Suami adalah pakaian bagiisteri dan demikian pula sebaliknya. Pakaianbagi manusia berfungsi sebagai pelindungdan fungsi itulah yang diharapkan darisuami isteri dalam kehidupan berkeluarga.Sebagai makhluk, laki-laki dan perempuan,masing-masing memiliki kelemahan dankeunggulan. Tidak ada orang yangsempurna dan hebat dalam semua hal,sebaliknya tidak ada pula yang serbakekurangan. Karena itu, dalam kehidupansuami isteri, manusia pasti salingmembutuhkan. Masing-masing harus dapatberfungsi memenuhi kebutuhanpasangannya, ibarat pakaian menutupitubuh.29

Kemudian lebih lanjut, Musdahmenyatakan dalam pernikahan juga adaprinsip Mu’asyarah bil Ma’ruf(memperlakukan isteri dengan sopan).Prinsip ini jelas sekali dinyatakan pada:QS al-Nisa’ (4):19:Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, tidakhalal bagi kamu mempusakai wanitadengan jalan paksa dan janganlah kamumenyusahkan mereka karena hendakmengambil kembali sebagian dari apayang telah kamu berikan kepadanya,terkecuali bila mereka melakukanpekerjaan keji yang nyata. Dan

28Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar(ed.), Keadilan dan Kesetaraan Gender: PerspektifIslam, 58-59.

29Siti Musdah Mulia, Islam MenggugatPoligami, 26-27.

bergaullah dengan mereka secara patut.Kemudian bila kamu tidak menyukaimereka, (maka bersabarlah) karenamungkin kamu tidak menyukai sesuatu,padahal Allah menjadikan padanyakebaikan yang banyak.”

Musdah mengatakan Tidak hanyaditemukan sejumlah tuntunan dalam al-Qur’an dan hadis agar suamimemperlakukan isterinya secara sopan dansantun, di antaranya yang termasyhur adalahhadis nabi yang diucapkan ketika hajiwada’:

“Bertakwalah kamu kepada Allahberkaitan dengan urusan perempuan,kamu telah mengambil mereka sebagaiamanat Allah dan kamu telah memperoleh(dari Tuhan-mu) kehalalan ataskehormatan mereka bi kalimatillah(dengan kalimat Allah…).”

Musdah menguatkan kembalibegitulah hadis yang diucapkan Nabi Saw dihari-hari akhir kehidupannya karena tidaklama berselang setelah haji wada’ tersebutNabi pun kembali ke rahmatullah. Begitukuatnya perhatian dan pemihakan Nabikepada kaum perempuan yang senantiasamendapatkan perlakuan tidak senonoh dimasyarakat terlihat jelas dalam hadistersebut. Sampai-sampai pada masa-masaakhir hidupnya pun, Nabi masihmenyempatkan diri untuk menyampaikanperingatan kepada pengikutnya agar berlakuarif dan bijak kepada perempuan, khususnyaterhadap isteri. Isteri sesungguhnyamerupakan amanat Allah yang dititipkankepada suami. Para suami hendaklahmemperlakukan mereka sesuai dengantuntunan Allah. Nabi dalam hal ini bukanhanya sekadar mengingatkan, tetapimemberikan contoh teladan yang sangatkonkret. Nabi tidak pernah memperlihatkanperilaku yang kasar kepada isteri-isterinya,malah Nabi selalu bersikap lembut, sopandan santun kepada mereka. Bahkan, nabitidak segan-segan mengambil alih tugas-tugas mereka di rumah tangga. Dalam salahsatu sabdanya yang diriwayatkan al-Turmudzi, Nabi mengatakan: “Sebaik-baikkamu adalah yang paling baik terhadap

Page 10: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 72

keluarganya. Dalam redaksi lain dikatakan:“sebaik-baik kalian adalah yang paling baikterhadap isterinya.”30

Dalam rangka menegakkankesetaraan dan keadilan jender inilahperlunya digiatkan upaya-upayapemberdayaan perempuan, terutama agarmereka mengerti akan hak-hak merekasehingga memiliki posisi tawar yang tinggidalam kehidupan rumah tangga. Oleh karenaitu Musdah memberikan masukan beberapahal yang dalam konteks ini perlu dilakukan.Pertama, dan utama adalah meningkatkankualitas diri perempuan melalui pendidikan,baik formal maupun non formal, sehinggamemiliki wawasan yang luas, skill(keterampilan) yang memadai dankemampuan intelektual yang cukup untukmemahami dan memperjuangkan hak-hakasasinya. Kedua, membuat perempuanmandiri secara ekonomi sehingga tidaksepenuhnya tergantung pada penghasilanorang tua atau suami. Ketiga, meningkatkanmoralitas dan religiusitas perempuansehingga tidak mudah terjebak dalampengaruh kehidupan yang hedonistik,materialistik dan konsumeristik. Perempuanmuslimah yang kita dambakan adalahperempuan yang berpendidikan danberwawasan luas, aktif dan dinamis, mandirisecara ekonomi, bebas dalam mengambilkeputusan, sangat peduli pada persoalankemanusiaan dan kemasyarakatan,bertanggung jawab, dan tetap berakhlakkarimah.31

Musdah menggambarkan kaumperempuan khususnya dalam posisi sebagaiisteri, seringkali diabaikan hak-haknya,padahal dalam kenyataan sehari-hari merekasenantiasa dituntut agar dapat melaksanakankewajiban-kewajibannya. Lebihmemprihatinkan lagi, bahwa kewajibanyang dipikulkan ke pundak mereka selakuisteri seringkali lebih berat dari apa yang dibayangkan, dan itu merupakan hasilrekayasa manusia, bukan berdasarkan

30Siti Musdah Mulia, Islam MenggugatPoligami, 28-29.

31Siti Musdah Mulia, Islam MenggugatPoligami, 67-68.

kepada ajaran agama yang benar. Sedikitsaja mereka lengah dalam menunaikankewajiban itu mereka lalu dicerca dandipojokkan. Sebaliknya, jika mereka telahmelaksanakan kewajibannya dengan baiktidak banyak yang memujinya, termasuksuami mereka sendiri. Karena hal itudianggap sebagai kodratnya. Demikian puladengan anak-anak yatim. Realitas yang adamenunjukkan bahwa hak-hak merela lebihbanyak diabaikan.32

Padahal seperti ayat yang diambilMusdah, bahwa terhadap para isteri yangdiabaikan hak-haknya, Allah menjelaskandalam QS al-Nisa’ (4):128:Artinya

“Jika seorang perempuan khawatir akannusyuz atau sikap acuh dari suaminya,maka keduanya hendaklah berusahasungguh-sungguh melakukan upaya-upayadamai karena berdamai itu jauh lebihbaik, walaupun disadari bahwa manusiaitu pada dasarnya cenderung arogan (sulitmemaafkan). Sesungguhnya jika kalianpara suami bergaul dengan isterimusecara baik dan menjaga diri, maka AllahMaha mengetahui apa yang kaliankerjakan.”

Mengenai aturan perkawinan, diIndonesia diatur dalam UU Perkawinan.Akan tetapi ada beberapa pasal yang kurangrelevan dengan maksud dari undang-undangsendiri, dan Musdah mengkritisinya.Seperti:

Definisi PerkawinanMenurut Musdah dalam UU

Perkawinan, perkawinan didefinisikansebagai “ikatan lahir batin antara seorangpria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekalberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Definisi ini terkesan sangat ideal, danbahkan lebih bernuansa sebagai rumusanajaran agama ketimbang rumusan yuridis(hukum). Sebab, dalam hukum tidak lazimdicantumkan istilah “lahir batin” dan

32Siti Musdah Mulia, Islam MenggugatPoligami, 108.

Page 11: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 73

“kebahagiaan yang kekal” karena hukumhanya menjangkau persoalan yang tampaksecara lahiriah, dan tidak menjangkau hal-hal yang bersifat batiniah. Lagi pula, tidakada undang-undang yang dapat menjaminkebahagiaan dan kekekalan perkawinan.Ketentuan mengenai bahagia atau kekalsangat relatif dan tidak dapat didefinisikanoleh hukum. Jadi, dari perspektif hukum,perkawinan hanyalah suatu perjanjianhukum (legal agreement) antara seoranglaki-laki dan perempuan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan yuridisformal.33

Bagi Musdah perkawinan dalamIslam sebenarnya lebih merupakan suatuakad atau kontrak. Kontrak itu terlihat dariadanya unsur ijab (tawaran) dan qabul(penerimaan). Untuk memperkuat posisiperempuan dalam perkawinan, kitamengusulkan agar dalam pasal definisi, ataupaling tidak dalam bagian penjelasannya,harus dipertegas bahwa perkawinan adalahsebuah akad atau kontrak yang mengikatdua pihak yang setara, yaitu laki-laki danperempuan yang masing-masing telahmemenuhi persyaratan berdasarkan hukumyang berlaku atas dasar kerelaan dankesukaan kedua belah pihak untukmembentuk keluarga.34

Usia KawinBagi Musdah salah satu faktor yang

melatar belakangi kemunculan UUPekawinan adalah maraknya praktikperkawinan anak-anak atau perkawinan dibawah umur. Selain juga karena maraknyapoligami dan tingginya angka perceraianyang semena-mena yang membawa kepadabanyaknya istri (atau mantan istri) dan anak-anak yang telantar. Dalam UUP, batasminimal usia nikah sebagaimana dinyatakandalam Pasal 7 ayat (1) adalah 19 (sembilanbelas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enambelas) tahun bagi perempuan. Penetapanbatas usia ini perlu dikoreksi. Batas usia

33Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 362.

34Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 362-363.

bagi perempuan yang dibuat lebih rendahdari usia laki-laki pada dasarnyamempertegas subordinasi perempuan (istri)terhadap laki-laki (suami). Mengapa perluada batas minimal usia yang berbeda?.35

Menurut Musdah selain itu,mematok batas usia minimal pada umur 16tahun bagi perempuan sesungguhnyabertentangan dengan isi UU No.4 tahun1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 1ayat (2) dari UU ini menjelaskan: “Anakadalah seseorang yang belum mencapaiumur 21 tahun dan belum pernah kawin”.Penetapan dalam UUP ini juga bertentangandengan isi Konvensi Internasional mengenaiHak Anak yang telah diratifikasi Indonesiapada tahun 1990. konvensi tersebutmenegaskan batas usia anak adalah 18tahun. Melegalkan perkawinan bagiperempuan umur 16 tahun berartipemerintah melegitimasi perkawinan anak-anak.36

Musdah menunjukkan bahwa hasilpenelitian Pusat Studi wanita UniversitasIslam Negeri (PSW UIN) Jakarta pada tahun2000 mengungkapkan temuan menarik.Yakni bahwa rata-rata usia ideal perempuanuntuk menikah berkisar 19,9 tahun dan usialaki-laki 23,4 tahun. Yang penting dicatatbahwa kematangan usia tersebut idealnyaberupa hasil akumulasi kesiapan fisik,ekonomi, sosial, mental, dan kejiwaan,agama dan budaya. Perkawinanmembutuhkan kematangan yang bukanhanya bersifat biologis, melainkan jugakematangan psikologis dan sosial. Batasminimal usia nikah bagi laki-laki danperempuan sebaiknya 20 tahun, kira-kirasetelah lulus SLTA. Tidak perlu adaperbedaan batas usia minimal antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini.Perkawinan pada usia dini bagi perempuanmenimbulkan berbagai resiko, baik bersifatbiologis seperti kerusakan organ-organreproduksi, kehamilan muda, maupun risikopsikologis berupa ketidakmampuan

35Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 369.

36Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 369-370.

Page 12: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 74

mengemban fungsi-fungsi reproduksidengan baik. Kehidupan keluarga menuntutadanya peran dan tanggung jawab yangbesar bagi laki-laki dan perempuan.37

Pencatatan Perkawinan dan Soal Sahnyaperkawinan

Kemudian mengenai pencatatanperkawinan, Musdah berkomentar bahwamasalah ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1)dan (2). Ayat (1) menyebutkan,“Perkawinan adalah sah apabila dilakukanmenurut hukum masing-masing agama dankepercayaannya itu”. Sementara ayat (2)menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatatmenurut peraturan perundang-undanganyang berlaku”. Pada hakikatnya kedua ayatdalam pasal tersebut bermakna satu, yaknisahnya perkawinan adalah dicatatkan.Artinya, perkawinan yang tidak dicatatkantidak sah menurut negara. Pengertian iniyang menjadi pegangan dikalangan parahakim di pengadilan.38

Dari pernyataan tersebut memangterlihat jelas. Akan tetapi, Musdah melihatmasyarakat umumnya memahamiperkawinan adalah sah kalau sudahdilakukan berdasarkan hukum agamameskipun tidak dicatatkan. Komunitas Islamyang mayoritas menganut mazhab Syafi’i,misalnya, meyakini syarat sahnyaperkawinan apabila tersedia lima unsur,yaitu adanya kedua mempelai, ijab qabul,saksi, wali, dan mahar. Pencatatan bukanmerupakan syarat sahnya perkawinan.Karena itu, di masyarakat banyak dijumpaiperkawinan yang tidak tercatatkan, seperti“kawin siri” atau “kawin bawah tangan”.Sehingga agar tidak rancu Musdahmengusulkan agar kedua ayat dalam pasaltersebut hendaknya digabung menjadi satusehingga berbunyi sebagai berikut :Perkawinan adalah sah apabila dilakukanmenurut hukum masing-masing agama dankepercayaannya itu dan wajib dicatatmenurut peraturan perundang-undangan

37Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 370.

38Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 363.

yang berlaku. Selanjutnya disertakan sanksiyang ketat bagi yang melanggar dan sanksiitu betul-betul dilaksanakan sehingga efektifmenghalangi munculnya kasus-kasusperkawinan bawah tangan (yang jelas-jelasmerugikan perempuan).39

Kemudian Musdah mengusulkanalternatif lain yang dapat ditawarkan adalahdengan memasukkan pencatatan perkawinansebagai salah satu syarat sahnya perkawinandan negara berkewajiban mencatatkansemua perkawinan yang terjadi. Ini sesuaianalogi atas ayat al-Qur’ān yangmenyatakan bahwa dalam melaksanakantransaksi penting seperti utang-piutanghendaknya selalu dicatatkan. Perkawinansejatinya merupakan transaksi yang penting,bahkan jauh lebih penting daripada transaksilainnya dalam kehidupan manusia. Kalausuatu transaksi harus dicatat, bukankahtransaksi perkawinan merupakan hal yanglebih krusial untuk dicatatkan.40

Bagi Musdah pencatatan inimerupakan suatu keharusan. Meski secaraagama atau adat-istiadat, perkawinan yangtidak tercatat adalah sah, di mata hukum iatidak memiliki kekuatan hukum.Perkawinan yang tidak tercatatkanberdampak sangat merugikan bagi istri danperempuan pada umumnya. Bagi istri,dampaknya secara hukum adalah dia tidakakan dianggap sebagai istri yang sah karenatidak memiliki “akta nikah” atau “bukunikah” sebagai bukti hukum yang autentik.Akibat lanjutannya, istri tidak berhak atasnafkah dan warisan suami yang meninggaldunia. Juga, istri tidak berhak atas hartagono-gini jika terjadi perceraian karenasecara hukum perkawinan tersebut dianggaptidak pernah terjadi. Dampaknya terhadapanak juga tidak kalah beratnya. Status anakyang dilahirkan pun akan dianggap sebagaianak tidak sah. Akta kelahirannya hanyaberupa akta pengakuan, misalnyadicantumkan “anak luar nikah” atau “anak

39Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 363-364.

40Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 364.

Page 13: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 75

yang lahir dari ibu dan diakui oleh seorangbapak”.41

Menurut Musdah konsekuensi dalamperkawinan yang tidak dicatatkan ini, anakhanya memiliki hubungan perdata denganibu dan keluarga ibunya, dan tidakmempunyai hubungan hukum denganayahnya (seperti dalam ketentuan Pasal 42dan 43 UUP). Tentu saja pencantuman anakluar nikah akan berdampak buruk secarasosial dan psikologis bagi si anak danibunya. Tambahan lagi, ketidakjelasan statusanak di muka hukum mengakibatkan anaktidak berhak atas nafkah, warisan, biayakehidupan, dan pendidikan dari ayahnya.Selain berdampak hukum, perkawinanbawah tangan juga membawa dampak sosialbagi perempuan. Perempuan yangmelakukannya akan sulit bersosialisasi dimasyarakat karena mereka sering dianggapsebagai istri simpanan atau melakukankumpul kebo, yakni tinggal serumah tanpamenikah.42

Lebih lanjut menurut Musdah, Pasal2 ayat (1) juga perlu dikoreksi, yakniberkaitan dengan ketentuan sahnyaperkawinan “apabila dilakukan menuruthukum masing-masing agama dankepercayaannya itu”. Tentu saja ketentuanini hanya dapat dipenuhi manakala keduamempelai memiliki agama yang sama.Namun, jika keduanya memiliki agama yangberbeda, dalam praktiknya salah satu calonmempelai terpaksa atau bisa juga pura-puramengikuti agama calon pasangannya.Sayangnya, hal ini seringkali dilakukanhanya sekadar pura-pura. Setelahperkawinan usai, yang pindah agama itukembali ke agama semula. Jadi, ketentuanini secara normatif tidak mengakomodasiadanya perkawinan dari dua penganutagama yang berbeda.43

41Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 364.

42Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 364-365.

43Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 365.

Kedudukan Suami-IstriMusdah menjelaskan dalam UU

perkawinan, masalah kedudukan suami-istridiatur dalam pasal 31: (1) Hak dankedudukan suami dalam kehidupan rumahtangga dan pergaulan hidup bersama dalammasyarakat; (2) Masing-masing pihakberhak untuk melakukan perbuatan hukum;(3) Suami adalah kepala keluarga dan istriadalah ibu rumah tangga. Kandungan isiketiga ayat dalam pasal tersebut tanpainkonsistensi, saling bertentangan satu samalain.44

Lebih lanjut Musdah menerangkanbahwa dalam dua ayat pertama dinyatakankedudukan suami-istri seimbang, baik dalamkehidupan rumah tangga maupun dalammasyarakat. Tetapi bagaimana mungkindikatakan seimbang kalau pada ayatberikutnya kedududkan suami sudah dipatoksebagai kepala keluarga?! Penggunaan kata“kepala” dalam menjelaskan kedudukansuami mengandung konotasi kekuasaan dansangat terkesan otoriter sehingga tidak salahkalau masyarakat awam memandang suamiidentik dengan penguasa dalam ruanglingkup keluarga. Implikasi pehamamanseperti ini di masyarakat, antara lain suamisah-sah saja berkuasa secara otoriter dirumah tangga, termasuk mewajibkan sangistri melakukan seluruh tugas di rumahtangga dan melayani seluruh keperluan dankebutuhan dirinya lahir batin.45

Berdasarkan keterangan di atasMusdah memberikan pernyataan kembalibahwa umumnya pandangan stereotip suamisebagai kepala keluarga didasarkan padadominasi ajaran islam tentang posisi laki-laki sebagai qawwam terhadap perempuan.Dalam firman Allah Swt. Dalam Surah Al-Nisa’ (4):34 yang berbunyi “al-rijalqawwamun ‘ala al-nisa’” yangditerjemahkan (seperti dalam VersiDepartemen Agama) ‘laki-laki adalahpemimpin bagi wanita’. Harus dijelaskanterlebih dahulu pengertian qawwam.

44Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 371.

45Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 371.

Page 14: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 76

Kalaupun itu dimaknai sebagai ‘pemimpin’,maka pemimpin yang dikehendaki dalamIslam adalah pemimpin yang demokratis,penuh kasih sayang dan pengertian, bukanpemimpin yang otoriter, memaksa, dansewenang-wenang. Kemudian, harusdipahami bahwa posisi qawwam bagi suamitidaklah otomatis, melainkan sangatbergantung pada dua syarat yang diterakanpada penghujung ayat, yakni memilikikualitas yang lebih tinggi dari istrinya, dankualitas dimaksud bisa bermakna kualitasfisik, moral, intelektual, dan finansial; sertasyarat bisa menunaikan kewajiban memberinafkah kepada keluarga. Itulah sebabnyadalam ayat itu kata al-rijal menggunakanalif lam yang dalam kaidah bahasa Arabberarti sesuatu yang definitif atau tertentu.Artinya, tidak menunjuk kepada semua dansegenap kalangan suami, melainkan hanyasuami tertentu saja yang memiliki duakualifikasi tersebut.46

Menurut Musdah, sebagaikesimpulan, kita mengusulkan agarpenyebutan “kepala keluarga” dalam ayat(3) dalam Pasal 31 di atas lebih baikditiadakan saja. Soalnya, menegaskan statussuami sebagai kepala keluarga bertentangandengan realitas yang ada di masyarakat.Data Biro Pusat Statistik pada tahun 2001menunjukan bahwa satu dari 9 (sembilan)kepala keluarga di Indonesia adalahperempuan. Karena itu, tidak perlu adaaturan yang mengukuhkan posisi superiorsuami dan posisi inferior istri. Bukankahperkawinan adalah sebuah kontrak, dansebagaimana layaknya suatu kontrak, ia

46Fazlurrahman misalnya mengatakanbahwa keunggulan laki-laki atas perempuan yangditunjukkan oleh ayat di atas adalah keunggulansecara fungsional, bukan secara hakiki, karena iaharus mencari nafkah dan menafkahi perempuan.Akan tetapi, jika seorang isteri di bidang ekonomidapat berdiri sendiri, baik karena menerima warisanmaupun karena usahanya sendiri, dan memberikansumbangan untuk kepentingan rumah tangganya,maka keunggulan suami akan berkurang karenasebagai seorang manusia ia tidak memilikikeunggulan dibandingkan dengan isterinya. Lihat,Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. AnasMahyudin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), 72.

selalu melibatkan dua pihak yang setara(equal) secara hukum?

Musdah berpendapat sebenarnya adadua hal yang perlu digarisbawahi dalamUUP. Pertama, hubungan suami-istrihendaknya dibangun di atas landasankesetaraan sesuai dengan tuntunan Al-Quran: “Hunna libasun lakum wa antumlibasun lahunna” (istri merupakanpelindung bagi suami dan sebaliknya, suamipelindung bagi istri) QS Al-Baqarah (2):187. Kedua, hubungan suami-istrihendaknya didasarkan pada nilai-nilaiakhlak yang mulia, sesuai firman Allah Swt.Dalam QS Al-Nisa’ (4): 19:“Wa’asyiruhunna bil-ma’ruf” (pergaulilahistrimu dengan cara yang patut).47

Hak dan Kewajiban Suami-IstriKemudian Musdah berpendapat

ketentuan mengenai hak-hak dan kewajibandalam relasi suami-istri diatur secara tegasdalam pasal 34: (1) Suami wajib melindungiistrinya dan memberikan segala sesuatukeperluan hidup berumah tangga sesuaidengan kemampuannya; (2) Istri wajibmengatur urusan rumah sebaik-baiknya; (3)Jika suami atau istri melailaikan kewajiban,masing-masing dapat mengajukan gugatankepada pengadilan. Pasal ini sangat jelasmengindikasikan adanya pengukuhanpembagian dan pembakuan peranperempuan berdasarkan jenis kelamin dansekaligus mengukuhkan domestikasiperempuan. Domestikasi ini mengarahkepada upaya penjinakan, segregasi ruang,dan depolitisasi perempuan.48

47Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 372.

48Jelaslah bahwa UU Perkawinan menganutsistem pembagian tugas atau pemilahan peranberdasrkan jenis kelamin, bukan berdasarkan potensiatau kemampuan. Suami dimapankan kedudukannyasebagai pemimpin rumah tangga yang ruanggeraknya diperluas untuk menangani masalahekonomi keluarga yang berarti pula erat kaitannyadengan dunia public, sedangkan isteri menjadi iburumah tangga yang wajib menangani seluruh urusanrumah tangga (pekerja domestic) dengan sebaik-baiknya. UU Perkawianan tersebut sama sekali tidakmemberikan alternative akan adanya kemungkinanpengambilalihan (pertukaran) tugas atau peran pihak

Page 15: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 77

Musdah menjelaskan secara umumdipahami bahwa sudah merupakankewajiban istri untuk berbakti kepada suamiseolah tanpa batas. Sehingga munculungkapan klise: “kewajiban istri adalahmelayani suami sejak mata suami terbitsampai mata suami terbenam.” Ketentuanbahwa istri wajib mengatur urusan rumahsebaik-baiknya membenarkan anggapanstereotip masyarakat bahwa tempatperempuan yang layak hanyalah di rumah,yakni hanya sebatas kasur, sumur, dandapur. Bahwa hanya istrilah yang memikulkewajiban menyelesaikan semua tugas dirumah tangga, sebaliknya suami bebas darikewajiban demekian. Kalau istri keluarrumah, maka dipandang tidak terhormatkarena telah melalaikan kewajibannya.49

Musdah menyatakan implikasipernyataan di atas bisa kita temukan dalamUndang-Undang tentang Ketenagakerjaan.Kalau istri bekerja mencari nafkah di luarrumah, pekerjaannya itu hanya dinilaisebagai pekerjaan tambahan, dan karenanyadibayar sebagai pencari nafkah tambahan,bukan pencari nafkah utama. Akibatnya,

suami oleh isteri atau peran isteri oleh suami(sepanjang tidak berhubungan dengan fungsireproduksi: mengandung, melahirkan, dan menyusuianak), sehingga perceraian mejadi solusi yang lebihbaik daripada mengubah peran suami isteri tersebutdalam kondisi tertentu.

Kebijakan pemerintah dalam UUPerkawinan tersebut, semakin memperkuat danmelestarikan ideologi gender yang terlanjur tertanamdalam sistem sosial budaya masyarakat dan terbentukoleh pemahaman agama yang tidak disesuaikandengan konteksnya. Pelestarian ideologi genderdalam kebijakan negara tersebut menjadi justifikasibagi penindasan dan eksploitasi hak-hak wanita baikdalam bidang ekonomi, sosial, budaya maupunpolitik, dan ini merupakan ‘permainan’ kelompok-kelompok tertentu yang merasa dominant dalammasyarakat untuk kepentingan mereka sendiri. Padatingkat inilah, menurut Nursyahbani Katjasungkana,kebijakan negara yang mengoperasionalkan nilai-nilai patriarkhat melalui berbagai jalur kelembagaanpatut dipertanyakan pertanggungjawabannya. Lihat,Nursyahbani Katjasungkana, “Perempuan dalam PetaHukum Negara di Indonesia”, dalam Syafiq Hasyim(ed.), Menakar Harga Perempuan (Bandung: Mizan,1999), 81.

49Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 373.

pekerja perempuan selalu digolongkandalam status pekerja lajang, meskipunsecara riil memiliki suami dan anak. Istritidak menerima tunjangan untuk suami dananak-anak sebagaimana yang diterima olehrekan kerjanya yang laki-laki. Padahal,sejumlah penelitian menjelaskan bahwatidak sedikit dari perempuan yang bekerjaitu justru merupakan pencari nafkah utamadi dalam keluarga, dan di pundak merekalahseluruh anggota keluarga, termasuk suami,menggantungkan hidupnya.50

Menurut Musdah harus diakui bahwapandangan fiqih banyak mewarnaipenyusunan pasal-pasal dalam UUDPerkawinan. Pandangan fiqih dimaksudpada umumnya berasal dari kitab-kitab fiqihklasik sehingga tidak heran kandungannyamemuat pandangan fiqih yang konservatif.51

50Sekadar contoh adalah aturan mengenaitunjangan. Meskipun kita telah maratifikasikankonvensi ILO No. 100 tentang upah yang sama bagilaki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang samanilainya lewat UU No. 80/1957 dan meratifikasikonvensi PBB tentang penghapusan segala bentukdiskriminasi terhadap perempuan, dalam prakteknyaperlakuan diskriminatif terhadap perempuan tetapberlangsung. Tidak saja dalam pelaksanaannya tetapijuga ditingkat peraturannya. Misalnya dapat dilihatdalam lampiran Peraturan Menteri Pertambangan No.02/P/M/Pertambangan/1971 dan surat EdaranMenteri Tenaga Kerja RI No. 25-04/Men/88 tentangpelaksanaan larangan diskriminasi pekerjaan wanita.Pada pokoknya kedua peraturan tersebut menetapkanbahwa pegawai perempuan tetap dianggap lajangkecuali dia berstatus janda atau memiliki suami yangtidak dapat berfungsi sebagai pencari nafkah karenasakit atau cacat atau suaminya tidak mendapattunjangan keluarga di tempat kerjanya, yang harusdibuktikan dengan surat keterangan resmi. Dapatdipastikan bahwa peraturan-peraturan tersebutdilatarbelakangi oleh asumsi bahwa suamilah pencarinafkah utama. Peraturan-peraturan ini jelas sangatmerugikan perempuan karena sering kali perempuanpada kenyataannya tidak saja membelanjakanpenghasilannya untuk dirinya sendiri tetapi jugauntuk keluarganya baik ia telah menikah ataupunbelum. Lihat, Nursyahbani Katjasungkana,“Kedudukan Wanita Dalam Perspektif Islam”, dalamLies M. Marcoes-Natsir dan Johan HendrikMeuleman (ed.), Wanita Islam Indonesia dalamKajian Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: INIS,1993), 66.

51Sebagaimana kita ketahui bersama bahwafikih hanyalah salah satu dari beberapa bentuk

Page 16: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 78

Pembahasan perkawinan dalam kitab-kitabfiqih klasik menunjukan secara mencolokperbedaan laki-laki dan perempuan.Misalnya, laki-laki boleh berpoligami,sedangkan perempuan mutlak hanya bolehmonogami. Bahkan, sejak proses memilihjodoh,perempuan dinyatakan tidak punyahak menentukan soal calon pendampinghidupnya. Yang menentukan adalah ayahatau walinya. Dalam fiqih, hal ini disebuthaqq ijbar (hak memaksa anak perempuanuntuk menikah). Selanjutnya, bagi laki-lakiada hak untuk “melihat-lihat” calon istriyang akan dinikahi, sedang bagi perempuantidak ada sama sekali.52

Musdah menjelaskan bahwareaktualisasi dan pembaruan dalampenafsiran agama, kitab-kitab fiqihsesungguhnya adalah kitab-kitab yangkandungannya memuat interpretasi ataupenafsiran secara kultural terhadap ayat-ayatAl-Quran. Dalam sejarah, syariat dibedakandengan fiqih. Yang pertama adalah ajaran

produk pemikiran hukum Islam. Dan karena sifatnyasebagai produk pemikiran maka fikih tidak bolehresisten terhadap pemikiran baru yang munculkemudian. Lihat, Atho Mudzhar, “Hukum Keluargadi Dunia Modern: Suatu Studi Perbandingan” dalamAktualisasi Hukum Islam Tahun V. No. XII (Jakarta:al-hikmah&DITBINPERA, 1994). Disamping itusejarah menunjukkan bahwa pada periodeformulatifnya, fikih merupakan suatu kekuatan yangdinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembangsebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsipyang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sesuaidengan struktur dan konteks perkembanganmasyarakat waktu itu. Fikih juga merupakan refleksilogis dari situasi dan kondisi dimana ia tumbuh danberkembang. Lihat, Farouq Abu Zaid, Hukum IslamAntara Tradisionalis dan Modernis, terj. HuseinMuhammad (Jakarta: P3M, 1986), 6. Kondisi yangdemikian ini ditandai dengan munculnya mazhabyang mempunyai corak sendiri-sendiri. Lihat,Mazhab Hanafi bercorak rasional, Mazhab Syafi’imoderat, Mazhab Maliki cenderung tradisional danmazhab Hanbali yang fundamental. Lihat, Mun’imA. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar(Surabaya: Pustaka Pelajar, 1995), 63. Berdasarkenyataan inilah ulama’-ulama’terdahulumenetapkan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwaberubahnya hukum karena perubahan waktu. Lihat,As-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair (Indonesia: Daral-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.), 63.

52Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 374.

dasar, bersifat universal, dan permanen,sedangkan yang kedua adalah ajaransekunder, nondasar, bersifat lokal, elastis,dan permanen. Kitab-kitab fiqih padaumumnya memuat kumpulan fatwa seorangatau sejumlah fuqaha yang ditulis secaraberkala. Fiqih adalah penafsiran kulturalterhadap syariat yang dikembangkan olehulama-ulama fiqih semenjak abad keduahijriah. Kitab-kitab fiqih amat dipengaruhioleh situasi dan kondisi lingkunganpenulisnya. Penulis yang hidup dalamsituasi dan kondisi masyarakat yangkekuasaan kaum laki-lakinya dominan(male-dominated society), seperti dikawasan Timur Tengah, tentu akan menuliskitab fiqih yang bercorak patriaki.53

Bagi Musdah dalam kaitan denganpembahasan perkawinan, tampaknya kitabfiqih yang banyak dijadikan rujukan adalah‘Uqud Al-Lujjain fi Bayani Huquq Al-Zaujain. Kitab ini dikarang oleh imamNawawi Al-Bantani, seorang ulama dariBnaten abad ke-19, kemudian menikahdengan perempuan Arab dan menetap diMakkah. Pandangan-pandangan dalam kitabini sangat bisa gender dan nilai-nilaipatriarki. Beberapa cuplikan dari isi kitabtersebut dapat dikemukakan seperti berikut:

Kewajiban istri terhadap suamiadalah taat kepadanya, tidak durhaka,tidak keluar dari rumah sebelummendapat izin dari suami, tidakmelakukan puasa sunnah tanpa izinsuami, dan tidak pula menolakpermintaan suami untuk berhubunganseksual kendati sedang ada dipunggung unta.

Kata Musdah disebutkan berulangkali dalam kitab tersebut, “Seorang istriyang keluar rumah tanpa izin suami akandikutuk oleh sejumlah malaikat, diantaranya malaikat pembawa rahmat,malaikat penjaga langit, malaikat bumi,sampai ia kembali lagi ke rumah.” Dalamkitab itu sering kali disebutkan betapamurka para malaikat terhadap istri yangtidak taat dan patuh pada suami. Ada lagi

53Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 374.

Page 17: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 79

yang dijumpai, malah lebih ekstrim: “Istritidak boleh mengambil harta milik suamitanpa izin karena dosanya lebih berat darimencuri mili orang lain. Mencuri miliksuami sendiri akan mendapat siksaan setaradengan 70 pencuri, sedangkan mencurimilik orang lain hanya diancam dengansiksaan setara satu pencuri.” Logikanya,kalau mau mencuri, lebih baik mencurimilik orang lain daripada milik suami sebablebih ringan hukumannya! Pernyataantersebut membenarkan pandangan stereotipistri sebagai individu yang tidak memilikiharta sendiri dan selalu bergantung padaharta suaminya. Kesimpulannya, perempuandalam kitab-kitab fiqih selalu digambarkansebagai objek seksual, diposisisikan sebagaimakhluk inferior. Kedudukannya pun dalamkeluarga hanyalah subordinat, pelengkapbelaka.54

Padahal sebenarnya, menurutMusdah para penulis kitab fiqih, terutamapara imam mazhab yang besar, tidak adayang menyebutkan apalagi mewajibkan agarpandangan fiqihnya dijadikan rujukan atauacuan dalam pengambilan hukum. Bahkan,hampir semua penulis kitab fiqih denganrendah hati menyatakan, jika pendapat yangditulis dalam kitab-kitab fiqih itu benar,pendapat itu diakui dating dari Allah; tetapijika keliru, pendapat itu datang dari diriyasendiri sebagai manusia. Bahkan, sering kaliditemukan pada akhir setiap pokok bahasandalm kitab-kitab fiqih, para penulisnyamenulis berikut: “wallahu a’lam” (hanyaAllah Yang Mahatahu). Maksudnya, jikapendapatku ini benar, ambillah, tetapi jikasalah, tinggalkan. Dengan kata lain, parapenulis kitab fiqih itu sendiri tetapmemberikan ruang bagi kemungkinanadanya koreksi dan revisi terhadappandangannya. Lalu, mengapa generasisesudahnya cenderung menjadikanpandangan dalam kitab fiqih itu sebagaisesuatu yang final dan tidak dapat diubah.Dalam ungkapan lain, pandangan-pandangan dalam kitab-kitab fiqih itu telahdisakralkan sebagai wahyu yang datang dari

54Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 375.

Tuhan. Dan, ini sungguh-sungguh sangattidak proporsional. Islam diyakini sebagaiagama yang membawa rahmat bagi alamsemesta (rahmatan lil-‘alamin), danmenjanjikan pembebasan bagi kaummustadh’afin (kaum yang diperlemah),termasuk kaum perempuan. Karena itu,ajaran-ajarannya sangat sarat dengan nilai-nilai persamaan (al-musawah), persaudaraan(al-ikha), dan kebebasan (al-hurriyyah).Sayangnya, ajaran dari langit yang memuatnilai-nilai luhur dan ideal tersebut tatkaladibawa ke bumi dan berinteraksi denganbudaya manusia mengalami banyak distorsi, seperti terbaca dalam kitab-kitab fiqih yangmembahas soal perkawinan di atas.55

Sepanjang pengamatan Musdah,Islam menawarkan banyak hal dalam rangkamembangun masyarakat yang adil, egaliter,dan demokratis. Di antaranya yangmenyangkut ajaran kesetaraan laki-laki danperempuan, termasuk dalam hubunganperkawinan. Posisi suami-istri dalamperkawinan selaras dengan tanggung jawabyang mereka pikul. Jika laki-laki memikultanggung jawab penuh dalam keluarga danrumah tangga, dia dipercaya menjadiqawwam (pelindung dan pengayom) dalamkeluarga. Tetapi ini tentu dengan cara yangsantun, arif, dan bijaksana, bukan dengancara yang sewenang-wenang, apalagiotoriter. Namun, jika karena suatu alasanistri yang memikul tanggung jawab penuhdalam keluarga, konsekuensinya posisiqawwam pun boleh ditawarkan kepadanya.Yang pasti, tujuan perkawinan dalam Islamadalah agar manusia dapat hidup dengansesamanya dalam suasana yang penuhdiliputi mawaddah wa rahmah (cinta kasih),tentram, damai, dan bahagia menuju kepadakeridhaan Alloh Swt. Bertolak dari tujuaninilah hendaknya kita melakukan ijtihad,revisi, dan koreksi terhadap Undang-Undang Perkawinan.56

Penjelasan tersebut membawaMusdah memberikan masukan bahwa revisi

55Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 376.

56Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 376-377.

Page 18: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 80

dan ijtihad dimaksud hendaknyamemerhatikan prinsip-prinsip berikut.Pertama, prinsip kemaslahatan (al-masalahah). Sesungguhnya syariat (hukum)Islam tidak memiliki tujuan lain kecualiuntuk mewujudkan kemaslahatankemanusiaan universal dan menolak segalabentuk kerusakan, kerugian, ataukemasfadatan, dalam kaidah fiqihnyadisebutkan: dar’ al-mafasid muqaddam ‘alajalb al-mashalih. Kedua, prinsip nasionalitas(al-mawathanah). Maklum, sebagai sebuahnegara, Indonesia dibangun bukan oleh satukomunitas agama saja. Indonesia merekrutanggotanya bukan didasarkan pada kriteriakeagamaan, tetapi pada asas nasionalitasatau kebangsaan. Ketiga, prinsipmenjunjung tinggi hak asasi manusia(HAM) dan demokrasi yang melandaskandiri pada asas kebebasan, kesetaraan, dankesulitan manusia. Keempat, prinsipkeadilan dan kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyyah). Kelima, prinsippluralisme (al-ta’addudiyah). Takterbantahkan bahwa Indonesia adalah negarayang sangat plural. Pluralitas ini terjadibukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya,dan bahasa, melainkan juga agama. In uridualla al-ishlah mastatha’tu, wa ma taufiqialla billah.57

Masalah Poligami atau beristri Lebihdari Satu Orang

Persoalan poligami diatur dalamPasal 3, 4, dan 5 UUP. Kalau kedua ayatdalam Pasal 3 disimak dengan teliti, tampakadanya inkonsistensi. Ayat (1) menegaskanasas monogami, sedangkan pada ayat (2)memberikan kelonggaran kepada suamiuntuk berpoligami hingga sebatas 4 orangistri. Yang menarik, salah satu syarat yangharus dipenuhi suami yang akanmengajukan permohonan poligami adalahpersetujuan istri.58

Namun, ironisnya, KHImempermulus jalan poligami dalam UUP

57Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 377.

58Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 365.

ini. Dalam Pasal 59 KHI dinyatakan :“Dalam hal istri tidak mau memberikanpersetujuan, dan permohonan izin untukberistri lebih dari satu orang berdasarkansalah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55ayat (2) dan Pasal 57, Pengadilan Agamadapat menetapkan tentang pemberian izinsetelah memeriksa dan mendengar istri yangbersangkutan di persidangan PengadilanAgama, dan terhadap penetapan ini istri atausuami dapat mengajukan banding ataukasasi.”59

Pasal-pasal ini, baik dalam UUPmaupun dalam KHI, jelas sekalimenunjukkan betapa lemahnya posisi istri.Sebab, seandainya istri menolakmemberikan persetujuannya, PengadilanAgama dengan serta merta dapat mengambilalih kedudukannya sebagai pemberi izinmeski di akhir pasal ada klausul yangmemberi kesempatan pada istri untukmengajukan banding. Dalam realitas,umumnya para istri merasa malu dan berathati mengajukan banding terhadapkeputusan pengadilan menyangkut perkarapoligami.

Ada sejumlah alasan yang diberikanoleh UUP yang kemudian dipakai olehPengadilan untuk memberikan izin kepadasuami berpoligami. Sebagaimana tertuangdalam pasal 5 ayat (1), alasan tersebutmeliputi : 1) istri tidak dapat menjalankankewajiban sebagai istri; 2) istri mendapatcacat badan atau penyakit yang tidak dapatdisembuhkan; dan 3) istri tidak dapatmelahirkan keturunan.

Jelas, ketiga alasan dalam UUP inisama sekali tidak mewadahi tuntunan Allahswt. Dalam QS. An-Nisa’ (4): 19:

Hai orang-orang yang beriman, tidakhalal bagi kamu mempusakai wanitadengan jalan paksa dan janganlahkamu menyusahkan mereka karenahendak mengambil kembali sebagiandari apa yang telah kamu berikankepadanya, terkecuali bila merekamelakukan pekerjaan keji yang nyata.Dan bergaullah dengan mereka

59Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 365.

Page 19: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 81

secara patut. Kemudian bila kamutidak menyukai mereka, (makabersabarlah) karena mungkin kamutidak menyukai sesuatu, padahal Allahmenjadikan padanya kebaikan yangbanyak.

Realitas sosiologis di masyarakatmenunjukkan bahwa hampir semuapoligami yang dilakukan di kalanganmasyarakat tidak berangkat dari ketigaalasan yang disebutkan itu. Perludipertanyakan, berapa persen laki-laki yangberpoligami karena alasan istri tidakmenjalankan kewajibannya, atau karena istrimendapat cacat badan, atau karena istrimandul? Meskipun belum ada data yangakurat mengenai itu, secara kasatmata dapatdilihat pada umumnya poligami yang terjadiadalah semata-mata untuk pemuasan nafsubiologis laki-laki, dan bukan karena alasan-alasan sebagaimana tercantum dalamUUP.60 Perspektif kepentingan suami, dansama sekali tidak mempertimbangkanperspektif kepentingan perempuan. Tidakpernah dipertimbangkan, misalnya, soalandaikata suami tidak mampu menjalankankewajibannya sebagai suami, atau suamimendapat cacat atau penyakit, atau suamimandul, apakah pengadilan (atau PengadilanAgama) juga akan memberikan izin kepadaistri untuk menikah lagi? Ketentuan UUPtentang poligami ini jelas menunjukkanposisi subordinat perempuan di hadapanlaki-laki.

Satu-satunya ayat yang selaludijadikan landasan bagi kebolehanberpoligami adalah QS.An-Nisa’ (4): 3 yangberbunyi :

Dan jika kamu takut tidak akan dapatberlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yatim (bilamana kamumengawininya), maka kawinilahwanita-wanita (lain) yang kamusenangi: dua, tiga, atau empat.Kemudian jika kamu takut tidak akandapat berlaku adil, maka (kawinilah)seorang saja, atau budak-budak yangkamu miliki. Yang demikian itu adalah

60Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 366-367.

lebih dekat kepada tidak berbuataniaya.

Padahal, kalau ditelusuri sebab-sebab turunnya (atau asbab nuzulnya), ayatini jelas tidak sedang berbicara dalamkonteks perkawinan, melainkan dalamkonteks pembicaraan anak yatim. Islamadalah agama yang membawa misipembebasan. Pembebasan tersebut terutamaditujukan kepada tiga kelompok masyarakat,yakni para budak, anak yatim, danperempuan, yang selama ini seringdiperlakukan tidak adil dan karenanyamereka disebut sebagai kaum dhu’afa(kaum lemah) atau mustadh’afin (yangtertindas). Anak yatim mendapat perhatianyang tidak kalah pentingnya dari kalanganbudak dan perempuan karena mereka seringkali menjadi obyek penindasan berupaperampasan harta disebabkan tidakterlindung oleh walinya. Ketika itu,perkawinan yang dilakukan dengan anakyatim seringkali dimaksudkan hanya sebagaikedok untuk menguasai hartanya. Untukmenghindari perlakuan tidak adil pada anak-anak yatim, Allah Swt memberi solusi agarmengawini perempuan lain yang disukainyasebanyak dua,tiga, atau empat. Itu pun jikasanggup berbuat adil, kalau tidak, cukupsatu saja.61

Dari sini dapat disimpulkan bahwaprinsip perkawinan dalam Islam adalahmonogami, bukan poligami. Berbicaratentang poligami berarti berbicara tentangperkawinan. Dan pembicaraan tentangperkawinan dalam Islam sudah dijabarkandalam sejumlah ayat. Jadi semestinya tidakmengacu hanya kepada satu ayat saja. Dan,ayat yang dirujuk itu pun sesungguhnyaberbicara dalam konteks perlindungan anakyatim, dan bukan anjuran apalagi perintahpoligami. Oleh karena itu, perlu di usulkanpelarangan poligami secara mutlak karenapoligami dipandang sebagai kejahatanterhadap kemanusiaan (crime againsthumanity), seperti yang diberikan Tunisia.

Untuk konteks Indonesia, alasanyang dapat dipakai untuk melarang poligami

61Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 367-368.

Page 20: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 82

secara mutlak adalah alasan sosiologis.Karena begitu banyak problem sosial yangmuncul akibat poligami. Diantaranya,poligami melegitimasi perkawinan di bawahtangan, tingginya kasus perkawinan anak-anak, serta tingginya kasus domesticviolence (kekerasan di rumah tangga) akibatpoligami, dan terlantarnya para istri dananak-anak, terutama secara psikologis danekonomi. Kemudian ditarik suatukesimpulan yang berdasar pada argumenagama, yakni pada asas menghindarimudarat dan hal-hal yang merugikan.Dengan kata lain, kesimpulannyamenyatakan bahwa poligami lebih banyakmudaratnya ketimbang maslahatnya.62

PenutupTidak ada perbedaan antara manusia

yang laki-laki maupun perempuan dalamIslam menurut Musdah. Bagi Musdah,kalaupun terdapat perbedaan, itu hanyamerupakan sunnatullah yang sengajadiciptakan Allah swt demi kelangsunganhidup generasi manusia dalam mengembantugas kekhalifahan di bumi ini. Karenakeduanya berpotensi untuk menjadi hambaideal.

Posisi perempuan sebagai isteri bagiMusdah sangat terhormat karena Islammenjamin kesetaraan dengan pasangannya,para suami. Mereka sebagai pakaian satuuntuk lainnya, suami dan isteri memerlukansikap saling membantu, saling mendukung,dan saling melindungi. Suami dan isteriberkewajiban saling menjaga nama,kehormatan dan hak-hak pribadinya.

Daftar Pustaka

As-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair,Indonesia: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.

Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga di DuniaModern: Suatu Studi Perbandingan”dalam Aktualisasi Hukum IslamTahun V. No. XII, Jakarta: al-hikmah&DITBINPERA, 1994.

62Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan, 369.

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam LiberalIndonesia: Pengusung Ide,Sekularisme, Pluralisme danLiberalisme Agama, cet. 1, Jakarta:Hujjah press, 2007.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,Ensiklopedi Islam, jilid 2, cet. 4,Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997.

Farouq Abu Zaid, Hukum Islam AntaraTradisionalis dan Modernis, terj.Husein Muhammad, Jakarta: P3M,1986.

Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj.Anas Mahyudin, Bandung: PenerbitPustaka, 1996.

Hassan Hanafi, Dialog Agama DanRevolusi, terj. Tim PenerjemahPustaka Firdaus, cet. 2, Jakarta:Pustaka Firdaus, 1994.

Marwan Saridjo, Cak Nur Diantara Sarungdan Dasi dan Musdah Mulia TetapBerjilbab: Catatan Pinggir SekitarPemikiran Islam di Indonesia,Jakarta: Ngali Aksara danPenamadani, 2005.

Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah Pengantar, Surabaya:Pustaka Pelajar, 1995.

Nursyahbani Katjasungkana, “KedudukanWanita Dalam Perspektif Islam”,dalam Lies M. Marcoes-Natsir danJohan Hendrik Meuleman (ed.),Wanita Islam Indonesia dalamKajian Tekstual dan Kontekstual,Jakarta: INIS, 1993.

Nursyahbani Katjasungkana, “Perempuandalam Peta Hukum Negara diIndonesia,” dalam Syafiq Hasyim(ed.), Menakar Harga Perempuan,Bandung: Mizan, 1999.

Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar(ed.), Keadilan dan KesetaraanJender: Perspektif Islam, cet. 1,Jakarta: Tim PemberdayaanPerempuan Bidang AgamaDepartemen Agama RI, 2001.

Siti Musdah Mulia, Islam dan InspirasiKesetaraan Gender, cet. 2(Yogyakarta: Kibar Press, 2007.

Page 21: PERKAWINAN DI INDONESIA : AKTUALISASI PEMIKIRAN …

Nurul Ma’rifah Perkawinan di Indonesia

Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015 83

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis:Perempuan Pembaru Keagamaan,Bandung: Mizan Media Utama,2005.

Siti Musdah Mulia, Negara Islam:Pemikiran Politik Husain Haikal,cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 2001.

Wardah Hafidz, “Organisasi Wanita Islamdan Arah Pengembangannya”, dalamLies M. Marcoes-Natsir dan JohanHendrik Meuleman (ed.), WanitaIslam Indonesia dalam KajianTekstual dan Kontekstual. Jakarta:INIS, 1993.