perjuangan meraih kebebasan pers pada era …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368922-mk-dara...

Download PERJUANGAN MERAIH KEBEBASAN PERS PADA ERA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368922-MK-Dara Rahmania.pdf · Dampak lainnya, keluar ... perkembangan bidang ekonomi dan teknologi yang

If you can't read please download the document

Upload: tranxuyen

Post on 23-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • PERJUANGAN MERAIH KEBEBASAN PERS

    PADA ERA KOLONIAL

    Makalah Non Seminar

    Dara Rahmania

    1006710546

    Departemen Ilmu Komunikasi

    Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Indonesia

    2014

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • ABSTRAK Pers Indonesia yang berdiri di tengah masa penjajahan Belanda dikekang oleh sejumlah peraturan. Peraturan ini mengancam media dan para jurnalis yang berseberangan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Haatzaai Artikelen, Persbreidel Ordonnantie, UU 1856, dan UU 1906 menjadi senjata Pemerintah Hindia Belanda untuk membredel dan menahan penentangnya. Namun, di tengah kekangan tersebut masih ada celah untuk menyampaikan aspirasi masyarakat yang berseberangan dengan Pemerintah. Salah satu pelopor pejuang cikal bakal kebebasan pers di Indonesia adalah Ernest Franois Eugene Douwes Dekker. Kata kunci: Bredel; EFE Douwes Dekker;Kebebasan Pers; Kolonial; Pers Indonesia. ABSTRACT Indonesian press, which was established in the middle of Dutch's colonialism era, was restrained by some rules. These rules threatened media and journalists that were opposite to the Hindian-Dutch Government. Haatzaai Artikelen, Persbreidel Ordonnantie, act 1856, and act 1906 were used by the government to ban and restrain its opposition. In spite of those restrictions, there was still a chance to deliver the people aspirations who opposed to the government. One of the pioneer of Indonesian press independence was Ernest Francois Douwes Dekker. Keywords: Banning; Colonial; EFE Douwes Dekker; Indonesian Press; Press Independence.

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • PENDAHULUAN Perkembangan pers di masa kolonial Belanda mengalami banyak rintangan.

    Sebagai daerah jajahan, yang diutamakan adalah kepentingan penduduk Belanda.

    Sifat pemerintah kompeni Belanda yang otoriter dan mempertahankan sistem kasta,

    membuat media massa tidak diizinkan untuk terbit..

    Orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda sampai akhir masa kolonial

    tidak lebih dari 300.000 orang. Mereka dilayani oleh surat kabar demi kepentingan

    ekonominya. Pada masa kolonial, terdapat 19 Surat Kabar dengan total tiras 60.000

    eksemplar (Surjomihardjo, 2002: 37).

    Tempat terbit dan penyebaran media massa terbatas pada kota-kota besar,

    yang penting bagi administrasi atau pun sebagai pusat perdagangan perusahaan-

    perusahaan Belanda. Pada awal abad ke-20, beberapa pers Belanda mewakili

    orientasi politik tertentu, yang walaupun ada perbedaan, namun bercorak

    mempertahankan hubungan kolonial di Indonesia.

    Sejarah mencatat, surat kabar Bataviase Nouvelles lahir pada 1745, saat masa

    kepemimpinan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Menurut Hill (1994: 25) surat kabar

    ini menjadi surat kabar modern pertama di Indonesia, atau 136 tahun setelah surat

    kabar tertua di dunia, yaitu Avisa Relation oder Zeitung di Strassbourg pada 1609.

    Bataviase Nouvelles hanya bertahan 2 tahun karena Vereenigde Oostindische

    Compagnie (VOC) melarangnya terbit. VOC khawatir saingannya akan mendapat

    keuntungan dari iklan yang dimuat di surat kabar ini.

    Pria asal Rotterdam yang membawa alat percetakan pertama ke Indonesia, W.

    Bruining, menjadi ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Bruining ditawari

    sejumlah uang untuk segera kembali ke Nederland. Ia dilarang menggunakan alat

    cetak tersebut. Namun, Bruining menolak tawaran itu. Ia pun menerbitkan surat

    kabar mingguan Het Bataviasch Advertentie Blad. Mingguan ini hanya berisi iklan

    dan berita umum lain yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland

    (Staatscourant) dan untuk berita di daerah jajahan dari Javasche Courant

    (Surjomihardjo, 2002: 26).

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Contoh tindakan penekanan pemerintah yang lain adalah pada Javasche

    Courant. Redaktur penerbit, Dr. H. van der Chis, mengusahakan agar berita dari

    Nederland langsung dikirmkan kepadanya melalui pos. Sehingga seringkali para

    pembaca di Betawi lebih dulu tahu dari pada Gubernur Jenderal di Bogor. Hal ini

    membuat van der Chijs mendapat peringatan keras dari Gubernur Jenderal. Dampak

    lainnya, keluar peraturan agar surat-surat pos dari Nederland harus dikirim dulu ke

    Bogor untuk dipilih berita yang cocok dimuat di Javasche Courant (Surjomihardjo,

    2002: 27).

    Dalam bukunya, Surjomihardjo (2002: 27) menulis bahwa pada 1852 muncul

    Java Bode di Betawi sebagai pengganti Het Advertentie Blad yang terbit dwi

    mingguan. Pendirinya adalah W. Bruining, pria yang membawa alat percetakan

    pertama ke Indonesia. Ia dibantu HM van Dorp, WJ van Haren Norman dan G.

    Kolff. Sayangnya, 5 tahun kemudian HM van Dorp mengambil alih seluruh

    perusahaan. Tahun 1869, ia mengubahnya menjadi surat kabar harian. Isi Java Bode

    pun berada di bawah sensor pemerintah. Residen Betawi bertugas mengawasi

    perkembangannya.

    Redaktur pertama Java Bode adalah WL Ritter (sastrawan) dan seorang

    sarjana hukum LJA Tollens. Keduanya adalah redaktur majalah Warnasarie,

    Biang lala, dan Nederlandsh Indische Muzenalmanak. Dengan semboyan Nieuws-

    Handelen Advertentie-Blad voor Nederlandsch-Indie" (Koran berita, perdagangan

    dan iklan untuk Hindia Belanda), Java Bode sering digunakan untuk memasang

    berbagai macam iklan (Surjomihardjo, 2002: 27).

    Java Bode merupakan surat kabar resmi. Surat kabar yang berada di Jakarta

    ini selalu membela kebijaksanaan pemerintah. Untuk menunjang hal ini, Java Bode

    selalu mendapatkan berita-berita pemerintah secara khusus. Isinya adalah apa saja

    yang terjadi di kalangan pemerintah, seperti pengangkatan dan pemindahan pegawai,

    serta rencana-rencana peraturan pemerintah (Surjomihardjo, 2002: 33).

    Seiring berjalannya waktu, semakin banyak surat kabar yang bermunculan di

    kota lain. Seperti di Surabaya, Surakarta, Bandung, Semarang, Cirebon, Betawi,

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Yogyakarta, Padang, Palembang, Makassar, Kalimantan Selatan dan Kalimantan

    Timur. Tampak sekali bahwa penyebaran pers di Indonesia masih terbatas pada kota-

    kota besar, yang penting bagi administrasi maupun perusahaan Belanda.

    Dalam bukunya, Surjomihardjo (2002: 29) menulis bahwa majalah-majalah

    bercorak teknis, yang terbit untuk kepentingan dan sumber keterangan tentang jalan

    trem dan kereta api, kegiatan ekspor-impor, perdagangan, pendidikan, industri,

    pertanian, kedokteran, dan olahraga mulai bermunculan. Hal ini disebabkan oleh

    perkembangan bidang ekonomi dan teknologi yang mulai masuk ke dalam

    masyarakat Indonesia yang bercorak pertanian di bawah kerajaan-kerajaan. Sehingga,

    semua penerbitan tersebut awalnya merupakan usaha masyarakat kolonial dalam

    beradaptasi dengan perkembangan dunia modern.

    Awalnya, pers hanya bagian dari usaha orang Belanda, namun kemudian

    menjadi pembawa kepentingan perusahaan perkebunan dan industri minyak.

    Masalah politik tidak diberitakan, karena diatur pemerintah Hindia Belanda.

    Walaupun begitu, masih ada pers yang tidak mengikuti aturan pemerintah

    (Surjomihardjo, 2002: 30).

    Awal abad ke-19, Daendels memberlakukan peraturan khusus yang berisi 19

    pasal untuk menarik pajak dan mewajibkan redaktur Bataviaasche Nouvelles untuk

    menempatkan kepentingan pemerintah dalam surat kabarnya. Di salah satu pasal,

    Daendels mengubah nama Bataviaasche Nouvelles menjadi Bataviaasche Koloniale

    Courant. Pada masa pemerintahan Inggris, namanya berubah menjadi Java

    Government Gazette. Kemudian berubah kembali pada masa pemerintahan

    Belanda menjadi Javasche Courant yang tetap membawa suara pemerintah Hindia

    Belanda.

    Pada zaman Hindia Belanda, peraturan pertama mengenai pers dituangkan

    dalam Undang-Undang tahun 1856 dalam Reglement op de Drukwerken in

    Nederlandsch-Indie, mengenai Barang-Barang Cetak. Isi RR 1856 (KB 8 April 1856

    Ind.Stn.no.74) antara lain: Semua karya cetak sebelum diterbitkan, satu eksemplar

    harus dikirimkan dulu kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi dam

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Algemene Secretarie. Pengiriman ini harus dilakukan oleh pihak pecetak atau

    penerbitnya dengan ditandatangani (Surjomihardjo, 2002: 171-172).

    Jika peraturan tersebut tidak dipatuhi oleh media, maka karya cetak tersebut

    akan disita. Tindakan ini bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat

    penyimpanan barang-barang cetakan itu (Surjomihardjo, 2002: 172).

    Peraturan ini kemudian diperbarui tahun 1906 karena disesuaikan dengan

    tuntutan keadaan. Antara lain akibat tekanan dari unsur-unsur demokratis dan

    karena memang dirasa repotnya sistem sensor reprentif. Perbedaannya adalah UU

    1856 bersifat pengawasan preventif, sedangkan UU 1906 bersifat pengawasan

    represif (Surjomihardjo, 2002: 12-13).

    Menurut Sujomihardjo (2002: 172), dalam perubahan yang dilakukan tahun

    1906 (KB 19 Maret 106 Ind.Stb No. 270), ketentuan yang bersifat preventif

    dihapuskan. Sehingga penyerahan eksemplar kepada pejabat-pejabat tersebut

    dilakukan dalam waktu 24 jam setelah barang cetakan itu.

    Ketentuan bahwa pada karya cetak tersebut harus dicantumkan nama dan

    tempat tinggal si pencetak dan penerbitnya masih tetap berlaku. Namun, pelanggaran

    terhadap ketentuan itu tidak akan mengakibatkan penyitaan, melainkan denda antara

    f10-f100 (Surjomihardjo, 2002: 172).

    Dalam bukunya, Atmakusumah (1981: viii) mengungkapkan bahwa selama

    zaman kolonial, pers Indonesia senantiasa menghadapi undang-undang yang populer

    disebut sebagai ranjau-ranjau pers. Tindakan terhadap pers berdasarkan Haatzaai

    Artikelen, yaitu pasal-pasal 154 - 157 Wetboek van Strafrecht dapat dengan ampuh

    digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk memberangus pers. Haatzaai Artikelen

    berlaku pada 1918.

    Haatzaai Artikelen berisi ancaman hukuman terhadap siapa pun yang

    menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap

    pemerintah Nederland atau Hindia Belanda (pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu

    atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (pasal 156 dan 157).

    Dimaksudkan dengan kelompok-kelompok penduduk adalah perbedaan penduduk

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keturunan, dan suku (Surjomihardjo, 2002:

    173).

    Haatzaai Artikelen dikenal sebagai pasal-pasal karet (yang dapat ditafsir

    menurut keperluan penguasa kolonial). Ada dua kelompok dalam pasal Haatzaai

    Artikelen, yaitu pasal-pasal yang berhubungan dengan tuduhan melakukan

    Kejahatan Melanggar Ketertiban Umum, dan tindakan melakukan Kejahatan

    Melanggar Kekuasaan Umum (Surjomihardjo, 2002: 173).

    Surjomihardjo (2002: 172-173) juga mengungkapkan bahwa selain Haatzaai

    Artikelen, pemerintah kolonial juga menetapkan undang-undang yang dikenal

    sebagai Persbreidel Ordonnantie (7 September 1931). Isinya, Gubernur Jenderal

    berhak melarang penerbitan tertentu yang dinilainya bisa mengganggu ketertiban

    umum paling lama 8 hari. Jika setelah terbit, surat kabar tersebut dinilai

    mengganggu lagi, maka larangan terbit bisa menjadi lebih lama. Meskipun tidak

    lebih dari 30 hari berturut-turut (pasal 2). Jika tulisan-tulisan itu dianggap melunak,

    penunjukan tersebut bisa dicabut. Jika pencabutan penunjukan tidak dilakukan,

    artinya penunjukan ini berlaku untuk 1 tahun (pasal 1).

    Salah satu corong Pemerintah Hindia Belanda adalah Kantor Berita ANETA.

    Di tengah-tengah situasi Perang Dunia I, Kantor Berita ANETA (Algemeen Nieuws

    En Telegraaf Agentschap = Keagenan Berita Umum dan Telegrap) berdiri.

    Pendirinya adalah mantan pegawai kantor telegrap yang pernah bekerja untuk

    Bataviaasch Nieuwsblad dan Java Bode, D.W. Beretty.

    Seperti yang ditulis oleh Surjomihardjo (2002: 38) dalam bukunya, ANETA

    mengabarkan berita-berita penting dari medan pertempuran dalam waktu 24 jam

    setelah kejadian berlangsung. Namun kemudian dilakukan blokade terhadap berita

    perang. Dalam waktu singkat, ANETA berkembang pesat menjadi kantor berita yang

    besar. ANETA menjadi pusat pengirim dan penerima berita dari berbagai penjuru

    dunia.

    ANETA mendukung kepentian kaum pengusaha serta pemerintah Belanda.

    Hal ini karena saham ANETA dimiliki oleh perusahaan Belanda seperti KPM,

    perusahaan perkebunan, dan lainnya. Karena ANETA menguasai pasar, kantor berita

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • ini menjadi pemegang monopoli dalam penyebaran dan pembagian berita

    (Surjomihardjo, 2002: 39).

    Selain itu, ANETA juga merambah bidang periklanan. ANETA menyerang

    lawan-lawannya melalui mingguan yang diterbitkannya. Isinya tidak sopan karena

    berita tersebut bertujuan menghancurkan lawan-lawannya (Surjomihardjo, 2002: 40).

    Permasalahan

    Sebagai pers yang berada di daerah jajahan, pers di Indonesia tentu sangat

    dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menyadari

    bahwa pers dapat memberikan informasi dan membuka mata masyarakat. Hal itu

    dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda.

    Hal ini membuat Pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan yang

    membatasi kebebasan pers. Muncul lah Haatzaai Artikelen dan Persbreidel

    Ordonnantie. Kedua peraturan ini membuat Pemerintah Hindia Belanda dapat

    bertindak sewenang-wenang terhadap pers, terutama yang berseberangan dengan

    pemerintah.

    Di tengah-tengah pemerintah kolonial yang otoriter, masih adakah media

    yang dapat menyuarakan aspirasi di luar kepentingan kolonial? Apakah ada media

    yang berbeda pendapat dengan pemerintah kolonial dan pro terhadap bumi putera?

    Tujuan Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami perjuangan

    media pers di masa kolonial yang berbeda pendapat dengan pemerintah kolonial dan

    menyuarakan aspirasi masyarakat. Terutama perjuangan Ernest

    Franois Eugene Douwes Dekker atau Danudirdja Setia Budi. Metode Penelitian

    Data yang digunakan untuk menyusun tulisan ini diperoleh melalui studi

    dokumen. Studi dokumen atau biasa disebut kajian dokumen merupakan teknik

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian dalam

    rangka memperoleh informasi terkait objek penelitian. Dalam studi dokumentasi,

    peneliti biasanya melakukan penelusuran data historis objek penelitian. Dalam hal ini,

    penulis berpedoman pada buku-buku dan penelitian sebelumnya mengenai kebebasan

    pers di zaman kolonial Belanda.

    Penulis melakukan studi dokumentasi terhadap buku-buku mengenai kondisi

    pers dan perjuangan meraih kebebasan pers di zaman kolonial Belanda. Buku-buku

    tersebut ditulis berdasarkan pengamatan, wawancara, studi dokumentasi, dan

    pengalaman penulis buku tersebut pada masa perjuangan kebebasan pers. Objek yang

    menjadi pengamatan penulis adalah media yang berseberangan dengan kepentingan

    Pemerintah Hindia Belanda dan gerakan yang dilakukan Douwes Dekker pada

    periode tahun 1800 sampai tahun 1938.

    LANDASAN TEORI When it is left to me to decide whether we should have a government

    without newspapers, or newspapers without government, I should not hesitate to

    prefer the latter, kata negarawan terkenal Amerika, Thomas Jefferson, pada 1787.

    Pernyataan mantan Presiden Amerika ini menjadi semacam acuan klasik bila

    masyarakat dunia membicarakan mengenai kebebasan pers (Armada, 1993: 37).

    Pemikiran tentang kebebasan pers pertama kali muncul di Eropa Barat sekitar

    abad ke-18. Pemikiran ini muncul ketika masyarakat sedang dalam masa transisi dari

    masyarakat feodal, masyarakat yang ditandai oleh kekuasaan mutlak para raja,

    beralih ke masyarakat demokrasi (Mustoffa, 1978: 17).

    Kebebasan pers, menurut tokoh pusat persuratkabaran Fleet Street di

    London, Robert Sinclair dalam buku Atmakusumah (1981: 148), bukanlah semacam

    kebebasan mengobrol, bernyanyi, dan menulis. Tetapi lebih menyerupai kebebasan

    membangun satu pabrik, atau daerah perumahan, atau menjalankan kereta api, atau

    membuat jalan by-pass. Bukan satu hak pribadi, melainkan privilese sosial yang

    dimungkinkan oleh peradaban. Semacam hak berkumpul atau berserikat yang

    sebetulnya dimiliki oleh warga negara mana pun juga.

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Hubungan antara kebebasan pers dan perlindungan atas hak-hak dasar warga

    negara dirumuskan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat ketika mengadili

    perkara Curtis Publishing Co melawan Butts dan Associated Press melawan Walker:

    Kenyataan bahwa penyebarluasan informasi dan pendapat tentang masalah yang menyangkut kepentingan umum merupakan kegiatan yang dilindungi oleh hukum bukan berarti kegiatan itu dapat dilakukan bebas dari sanksi hukum yang dibuat untuk melindungi kepentingan sah pihak lain. Sebagai suatu bisnis, pers tidak memiliki imunitas hukum semata-mata karena ia adalah pers. Penerbitan pers tidak memiliki hak istimewa berupa kekebalan terhadap penerapan hukum yang berlaku. Pers pun tidak memiliki hak istimewa untuk mencampuri hak-hak dan kebebasan orang lain (Lesmana, 2005: 199). Di Indonesia, ide pemikiran kebebasan pers datang dari Eropa Barat bersama

    dengan ilmu dan teknologi modern hasil revolusi Perancis tahun 1789. Saat itu,

    unsur-unsur bangsa Indonesia yang masih terpisah berusaha memerdekakan dirinya

    dan mengusir penjajah. Para pejuang bangsa Indonesia kala itu melihat kemungkinan

    menggunakan pers sebagai sarana yang ampuh untuk mempersatukan dan

    menggerakkan bangsa Indonesia agar berjuang bersama (Mustoffa, 1978: 17).

    Kebebasan pers dapat diukur dari dua faktor. Pertama, jika tidak ada tekanan

    terhadap pers. Kedua, jika tidak ada tekanan terhadap jurnalis. Kebebasan pers yang

    berlaku di Indonesia bukanlah kebebasan pers yang mutlak dari aliran liberalisme,

    tidak pula kebebasan pers aliran komunis yang membawah-perintahkan pers kepada

    garis partai komunis (Mustoffa, 1978: 28).

    Menurut Mustoffa (1978: 31) dalam buku Kebebasan Pers Fungsional, tidak

    ada kebebasan pers yang mutlak di dunia ini. Artinya tidak ada kebebasan pers yang

    berlaku untuk sembarang waktu, segala masyarakat, segala tempat atau negeri.

    Kebebasan pers pun tunduk pada hukum lingkungan. Dan yang ada ialah kebebasan

    pers untuk suatu masyarakat tertentu pada masa tertentu. Untuk Indonesia,

    kebebasan pers yang berlaku ialah kebebasan pers yang memenuhi kebutuhan

    pergaulan masyarakat Indonesia pada waktu ini.

    Pada masa kolonial Belanda, pers dan kebebasan pers Indonesia bersifat

    destruktif, menghancurkan kekuatan kolonial Belanda. Namun di sisi lain ia bersifat

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • positif dan konstruktif jika dilihat dari sudut kepentingan perjuangan bangsa

    Indonesia. Berita pers nasional kala itu tidak hanya bersifat obyektif, tidak

    memihak, melainkan secara aktif membantu perjuangan bangsa Indonesia

    (Mustoffa, 1978: 31).

    Sumono Mustoffa (1978) menulis bahwa untuk memungkinkan pers

    memainkan perannya sebagai pers pejuang maka wartawan hendaknya bebas dari

    ketakutan kemungkinan kesewenang-wenangan tiap badan administratif, dan

    bertanggungjawab pada hukum yang berlaku dan idealisme tertinggi bangsa (hlm.

    33).

    Pada masa penjajahan Belanda, jelas dari sudut dasar peraturannya sendiri, di

    Indonesia memang sudah tidak ada kebebasan bagi pers Indonesia. tahun 1856

    pemerintah penjajah Belanda mengeluarkan Undang Undang yang dijuluki ciptaan

    kegelapan (Drukpersreglement) di Belanda, tetapi karena saat itu asas hukum

    Indonesia yang mengikuti Belanda (konkordansi), UU itu juga berlaku di Indonesia.

    sisinya adalah pembatasan terhadap ruang gerak pers yang sangat ketat. Undang

    Undang itu sempat diubah dalam tahun 1906, sebelum diubah lagi pada tahun 1932

    dengan Persbreidel Ordonantie. Lalu tahun 1938 lahirlah Undang Undang Pers

    Bredel di tanah jajahan Belanda. Semua aturan itu merupakan tekanan dan

    pengekangan terhadap kebebasan pers. Sanksinya cukup berat, selain pencabutan

    penerbitan pers itu, juga ganjaran penjara bagi pelakunya (Armada, 1993:51).

    Analisis Menurut Surjomihardjo (2002: 30), secara keseluruhan, isi majalah dan surat

    kabar Hindia Belanda menganut politik netral. Sejak akhir abad 19, muncul

    mingguan yang bercorak program politik. Lalu, tulisan-tulisan di surat kabar mulai

    bersikap kritis terhadap politik kolonial Belanda di Indonesia. Contohnya,

    Bondsblad (1897) yang terbit sebagai pembawa suara perkumpulan Indo-Belanda

    yang memperjuangkan Hindia Belanda sebagai tanah airnya dan menginginkan

    perlakuan politik yang sama bagi mereka. Ada pula Java Post (1902), surat kabar

    mingguan Katolik yang terbit di Bogor. Sementara penganut Kristen Protestan

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • menerbitkan De Banier (1909). Pada awal abad ke-20, sebuah surat kabar

    berbahasa Inggris, Java Times, terbit di Hindia Belanda (Surjomihardjo, 2002: 30-

    31).

    Hingga abad ke-19, pers terus berjuang untuk mendapat kebebasan pers.

    Pada saat itu, banyak jurnalis yang dituntut pengadilan, menerima hukuman badan,

    dan mendapat ancaman pembuangan hanya karena para jurnalis itu menuliskan isi

    pikirannya (Surjomihardjo, 2002: 31). Salah satu tokoh yang berjuang melawan otoritas Belanda dalam

    pengekangan kebebasan pers adalah Ernest Franois Eugene Douwes Dekker atau

    Danudirdja Setia Budi.

    Dalam buku pelajaran sejarah di pendidikan Indonesia, Douwes Dekker sering

    rancu dalam penyebutannya. Ia sering disamakan dengan saudara kakeknya, Eduard

    Douwes Dekker. Meski sama-sama berasal dari klan Douwes dan Dekker, keduanya

    berbeda. Eduard Douwes Dekker adalah penulis buku yang menceritakan penderitaan

    rakyat Indonesia selama penjajahan, berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker

    dikenal dengan nama pena Multatuli. Sedangkan yang akan dibahas

    adalah Ernest Douwes Dekker, peletak dasar nasionalisme Indonesia, pendiri

    Indische Partij, yang kemudian dikenal dengan nama Danudirdja Setiabudi.

    Pria kelahiran Pasuruan, 8 Oktober 1879 ini adalah orang yang menentang

    kebijakan Pemerintah Belanda. Di masa perjuangan, ia dikenal sebagai orang yang

    pertama kali mencanangkan semboyan 'Indie Los Van Holland' (Indonesia lepas dari

    Negeri Belanda). Dekker membantu menghindari kaum lemah dari penindasan

    golongan penguasa dengan cara terjun ke dunia jurnalistik dan menggunakan media

    untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.

    Tahun 1907, Douwes Dekker menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad.

    Pengalamannya dalam dunia pers didapat selama ia bekerja di Locomotief.

    Kemudian, ia juga bekerja di Soerabajaasch Handelsblad. Douwes Dekker adalah

    seorang wartawan berbakat, memiliki pikiran yang lincah, berbakat untuk

    menangkap sesuatu dengan cepat, dan dapat mengolah kesan-kesan dengan segera

    (Surjomihardjo, 2002: 33).

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Douwes Dekker juga menyimpan sakit hati pada Belanda. Pengalamannya

    menjadi wartawan di Locomotief memperdalam pengetahuannya. Akhirnya, ia

    menyimpulkan bahwa penyebab kemelaratan kaum Indo adalah tata susunan

    eksploitasi modal kolonial. Oleh karena itu, menurutnya hubungan kolonial harus

    dihancurkan.

    Dalam bukunya, Surjomihardjo (2002: 40) menulis bahwa pada masa Perang

    Dunia I, terdapat sebuah kantor berita ANETA yang berkuasa dan menjadi corong

    Pemerintah Hindia Belanda. Meskipun ANETA sangat berkuasa, ada pula yang

    dapat melepaskan diri dari jeratan kantor berita tersebut. Di antaranya adalah

    Locomotief (Semarang) dan Indische Courant (Surabaya).

    Bataviaasch Nieuwsblad (1885-1935) merupakan salah satu surat kabar

    dengan tiras terbesar pada masa kolonial, yakni antara 6.000 hingga 9.000 eksemplar

    (Surjomihardjo, 2002: 37). Menurut Surjomihardjo (2002), pemimpin redaksinya

    ialah F.K.H. Zaalberg, seorang Indo-Belanda yang dapat menanjak dengan kekuatan

    sendiri dari pembantu korektor sampai menjadi pemimpin redaksi. Ia pandai menulis,

    terutama dalam mencerminkan perasaan kaum Indo. Tulisan Zaalberg tersebut

    membuat Bataviaasch Nieuwsblad berwatak (hlm. 33).

    Ketika Douwes Dekker menjadi redaktur di Bataviaasch Nieuwsblad, tulisan-

    tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam

    dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar

    Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di

    koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch

    Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda"), kemudian pindah

    di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus), seri

    tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het

    spoedigst zijn kolonin verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera

    kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer

    Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini

    membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Tahun 1910 Douwes Dekker menerbitkan majalah Het Tajdeschrift

    di Bandung yang menjelaskan cita-cita politiknya. Majalah ini mendapat sambutan

    cukup luas. Tanggal 1 Maret 1912 ia menerbitkan De Express yang terkenal bernada

    tajam dan tidak jemu-jemu menyerang dan menentang politik penjajahan Belanda.

    Harian itu menjadi sarana bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk mengemukakan

    buah pikiran mereka mengenai perjuangan membebaskan bangsa dan penjajahan.

    Douwes Dekker menulis laporan tentang pemberontakan petani Tangerang.

    Para petani memberontak karena mereka merasa ditindas dan diperlakukan secara

    tidak adil di tanah partikelir (tanah yang dimiliki orang-orang swasta Belanda dan

    orang-orang pribumi yang mendapat hadiah tanah karena dianggap berjasa kepada

    Belanda). Sejak abad ke-18, Gubernur Jenderal van Imhoff menjual tanah partikelir

    tersebut kepada para pihak partikelir. Hal ini membuat para tuan tanah merasa dapat

    memperlakukan penduduk semena-mena (Surjomihardjo, 2002: 34).

    Douwes Dekker ditangkap dan ditahan Pemerintah Hindia Belanda karena

    menulis karangan yang isinya menyanjung Tjipto Mangunkusumo. Kala itu, Tjipto

    Mangunkusumo sudah dipenjarakan karena tulisannya dalam De Express yang

    berjudul "Kracht of Vress" (Kekuatan dan Ketakutan) membuat Pemerintah Belanda

    gempar. Kemudian, Tjipto dan Douwes Dekker dijatuhi hukuman buang di alam

    negeri dan berdasarkan permintaan mereka diubah dibuang ke negeri Belanda.

    Surjomihardjo (2002: 31) mengungkapkan, dalam abad ke-19, tercatat nama-

    nama wartawan Belanda yang telah dibuang: Bisschop Grooff (1845), L. van Vliet

    (1846), H.J. Lion (1851), S.E.W. Roorda van Eisinga (1864), J.J Nosse (1864),

    dan Dr.I.C.P.K. Winckel (1873).

    Muncul lah sebuah ungkapan yang terkenal, Seorang redaktur surat kabar di

    daerah jajahan ini selalu bekerja dengan satu kakinya di penjara,. Maksudnya,

    redaktur sebuah surat kabar harus siap jika tiba-tiba dijebloskan ke penjara karena

    tulisan di surat kabarnya (Surjomihardjo, 2002: 31).

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Jika kita lihat dalam konteks ini, hal-hal yang dilakukan Douwes Dekker

    sudah termasuk cikal-bakal tindakan memperjuangkan kebebasan pers. Tindakan ini

    termasuk upaya meraih kebebasan pers, karena gerakan Douwes Dekker ini adalah

    gerakan untuk meraih kebebasan seperti kebebasan berkumpul, berserikat, dan

    berpendapat. Bukan satu hak pribadi, melainkan privilese sosial yang dimungkinkan

    oleh peradaban. Semacam hak berkumpul atau berserikat yang sebetulnya dimiliki

    oleh warga negara mana pun juga.

    Walaupun begitu, ini belum cukup disebut sebagai kebebasan pers. Hal ini

    karena kebebasan pers dapat diukur dari dua faktor. Pertama, jika tidak ada tekanan

    terhadap pers. Kedua, jika tidak ada tekanan terhadap jurnalis. Sementara, pada masa

    itu Douwes Dekker dan pers lainnya masih mendapat tekanan dan ancaman

    pembredelan dan penahanan.

    Pada masa kolonial Belanda, pers dan kebebasan pers Indonesia bersifat

    destruktif, menghancurkan kekuatan kolonial Belanda. Namun di sisi lain ia bersifat

    positif dan konstruktif jika dilihat dari sudut kepentingan perjuangan bangsa

    Indonesia. Berita pers nasional kala itu tidak hanya bersifat obyektif, tidak

    memihak, melainkan secara aktif membantu perjuangan bangsa Indonesia

    (Mustoffa, 1978: 31).

    Gerakan Douwes Dekker melalui media pers ini menginspirasi pergerakan

    nasional. Buktinya, bersama dengan Dr.Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi

    Suryaningrat, mereka mendirikan Indische Partij pada 25 Desember 1912.

    Tujuannya ialah mempersatukan bangsa dan mencapai kemerdekaan. Dekker

    merumuskan program kerja sama penduduk bumiputra dengan kaum Indo dan

    golongan lain untuk membina Bangsa Hindia (Indiers).

    Di Jakarta, rumah Douwes Dekker menjadi menjadi tempat pertemuan para

    pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia). Salah satu pelajar

    Stovia adalah Soetomo, salah seorang pendiri Budi Utomo. Semarang juga menjadi

    kota perjuangan pers masa kolonial Belanda. Di kota ini, Indische Partij dan Sarekat

    Islam memiliki banyak pengikut (Surjomihardjo, 2002: 33).

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Kemudian, berdirilah Budi Utomo pada 28 Oktober 1928 dan Sarekat Islam.

    Ketiganya menerbitkan media persnya sendiri. Hubungan perkembangan pers

    Indonesia dengan pergerakan nasional semakin nyata. Pemerintah Hindia Belanda

    menyadari ancaman yang disebabkan oleh pergerakan pers Indonesia.

    Sejarah membuktikan, walaupun dipimpin oleh pemerintah yang otoriter,

    masih ada celah yang dibuat oleh media untuk masyarakat yang berseberangan

    dengan kepentingan/kebijakan pemerintah. Seketat-ketatnya pemerintah otoriter, jika

    masyarakat ingin bersuara, akan tetap ada saja celah walau sempit. Dalam hal ini,

    pada akhirnya aspirasi masyarakat tadi akan berujung pada pergerakan nasional.

    PENUTUP Kesimpulan Meskipun pemerintah kolonial Belanda sangat membatasi pergerakan pers di

    Indonesia, masyarakat dan pers tidak tinggal diam. Bangsa Indonesia yang saat itu

    masih terpisah-pisah dan belum mendapatkan informasi yang terbuka sangat

    memerlukan media pers untuk pencerahan.

    Para tokoh nasional Indonesia menyadari bahwa pers dapat memberikan

    pencerahan bagi bangsa Indonesia. Pers dapat menjadi alat untuk menyatukan

    bangsa Indonesia dengan menyuarakan kebenaran tanpa melalui filter Pemerintah

    Hindia Belanda.

    Walaupun Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan berbagai peraturan

    yang mengungkung kebebasan pers seperti Haatzaai Artikelen dan Persbreidel

    Ordonnantie, para awak pers tidak gentar. Mereka tetap menulis berita yang tajam

    dan membuat panas telinga Pemerintah Hindia Belanda.

    Meskipun kebebasan pers tidak ada, namun masih ada celah. Celah itu bisa

    terbuka jika ada pelopor. Salah satu pelopornya adalah Ernest

    Franois Eugene Douwes Dekker atau Danudirdja Setia Budi. Tindakan Douwes

    Dekker ini dapat dikatakan sebagai cikal bakal perjuangan meraih kebebasan pers.

    Walaupun pada masa itu kebebasan pers belum dapat diperoleh karena masih pers

    masih mendapat tekanan.

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014

  • Daftar Pustaka Armada, Wina. 1993. Menggugat Kebebasan Pers. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Assegaff, Djafar. 2002. Perlawanan dalam Kungkungan. Jakarta: Spora Pustaka. Atmakusumah. 1981. Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan. Budyatna, Mochamad. 1994. Analisa dan Evaluasi Hukum Tertulis Tentang Asas Kebebasan Pers yang Bertanggung Jawab. Jakarta: Departemen Kehakiman. Hill, David. 2007. The Press In New Order Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing. Lesmana, Tjipta. 2005. Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers. Jakarta: Metro Offset. Mustoffa, Sumono, 1978, Kebebasan Pers Fungsional, Jakarta:Yayasan Idayu. Sen, Khrisna dan Hill, David T. Media, Culture, and Politics in Indonesia, 2006. Jakarta: Equinox Publishing. Sukarno, 1986. Pers Bebas Bertanggung Jawab, Jakarta: Departemen Penerangan RI.

    Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014