perizinan terhadap adaptasi bangunan warisan …

48
Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No. 4 (2020): 1049-1095 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2869 PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN BUDAYA TJAN BIAN THIONG DI KOTA YOGYAKARTA M.G. Endang Sumiarni*, Y. Sri Pudyatmoko**, Yustina Niken Sharaningtyas*** *,**,*** Dosen Bagian Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Korespondensi: [email protected]; [email protected]; [email protected] Naskah dikirim: 28 Januari 2020 Naskah diterima untuk diterbitkan: 27 April 2020 Abstract This study aims to find out and examine licensing for the adaptation of the Bian Thiong Tjan Cultural Heritage Building in the city of Yogyakarta as well as to assess the background of permits granted even though the adaptation of buildings is contrary to the basic principles of preservation of Cultural Heritage Buildings. The results of the study were permits for the adaptation of the Bian Thiong Tjan Cultural Heritage Building in the city of Yogyakarta, not a permit to adapt but to apply for a building permit to establish a new building in the form of a hotel. Keywords: Licensing, Adaptation, Cultural Heritage Building Tjan Bian Thiong. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji perizinan terhadap adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong di kota Yogyakarta serta untuk mengkaji latar belakang izin diberikan meskipun adaptasi bangunan bertentangan dengan prinsip dasar pelestarian Bangunan Warisan Budaya. Hasil penelitian adalah perizinan terhadap adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong di Kota Yogyakarta, bukan merupakan izin untuk melakukan adaptasi namun mengajukan Izin Mendirikan Bangunan untuk mendirikan bangunan baru yang berupa hotel. Kata Kunci: Perizinan, Adaptasi, Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong.

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No. 4 (2020): 1049-1095

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2869

PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN BUDAYA

TJAN BIAN THIONG DI KOTA YOGYAKARTA

M.G. Endang Sumiarni*, Y. Sri Pudyatmoko**, Yustina Niken Sharaningtyas***

*,**,*** Dosen Bagian Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Korespondensi: [email protected]; [email protected]; [email protected]

Naskah dikirim: 28 Januari 2020

Naskah diterima untuk diterbitkan: 27 April 2020

Abstract

This study aims to find out and examine licensing for the adaptation of the Bian

Thiong Tjan Cultural Heritage Building in the city of Yogyakarta as well as to assess

the background of permits granted even though the adaptation of buildings is contrary

to the basic principles of preservation of Cultural Heritage Buildings. The results of

the study were permits for the adaptation of the Bian Thiong Tjan Cultural Heritage

Building in the city of Yogyakarta, not a permit to adapt but to apply for a building

permit to establish a new building in the form of a hotel. Keywords: Licensing, Adaptation, Cultural Heritage Building Tjan Bian Thiong.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji perizinan terhadap adaptasi

Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong di kota Yogyakarta serta untuk

mengkaji latar belakang izin diberikan meskipun adaptasi bangunan bertentangan

dengan prinsip dasar pelestarian Bangunan Warisan Budaya. Hasil penelitian adalah

perizinan terhadap adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong di Kota

Yogyakarta, bukan merupakan izin untuk melakukan adaptasi namun mengajukan Izin

Mendirikan Bangunan untuk mendirikan bangunan baru yang berupa hotel. Kata Kunci: Perizinan, Adaptasi, Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong.

Page 2: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1049

I. PENDAHULUAN

Negara Republik Indonesia mempunyai tujuan negara, seperti yang tercantum

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 berisi empat tujuan negara,

yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu

Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.”1

Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 32 ayat (1) mengamanatkan bahwa

“negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan

menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai

budayanya” sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh seluruh warga negara.

Kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan

guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta

memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada

masa depan. Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan

guna memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat

kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa.2

Kebudayaan Indonesia diperlukan untuk kemajuan bangsa Indonesia, sebagai jati

diri bangsa. Warisan budaya berupa kebendaan dan bukan kebendaan, sehingga khusus

warisan budaya kebendaan telah diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010

tentang Cagar Budaya. Cagar Budaya terdiri atas Benda Cagar Budaya, Struktur cagar

Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan. Cagar Budaya

wajib diutamakan pelestarian dengan cara pelindungan, pengembangan dan

pemanfaatan. 3 Tidak semua warisan budaya kebendaan merupakan cagar budaya,

namun ada yang masih diduga cagar budaya. Pengembangan dan pemanfaatan

Bangunan Cagar Budaya, termasuk Bangunan Warisan Budaya dapat dilakukan dengan

persyaratan tertentu. Salah satu persyaratan adalah harus memperoleh izin dari pejabat

yang berwenang memberikan izin. Dalam rangka pengembangan Bangunan Cagar

Budaya atau Bangunan Warisan Budaya dengan cara adaptasi, melibatkan pejabat yang

berwenang memberikan izin, baik pejabat yang berwenang dari instansi pemerintah

maupun pemerintah daerah.

Dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya terdapat konsep adaptasi. “Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya

untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan

perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau

kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.” Antara pemugaran dan adaptasi

merupakan dua hal yang berbeda, karena pemugaran lebih untuk menyelamatkan Cagar

Budayanya itu sendiri, sementara adaptasi lebih berorientasi kepada kebutuhan masa

1 Zaki (ed.), UUD 1945 dan Amandemennya, Plus Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia,

(Yogyakarta, Penerbit Second Hope, 2014), hal. 11. 2 Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11

Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, (Jakarta, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman,

2010), hal.75. 3 Fajar Winarni, Aspek Hukum Peran serta Masyarakat dalam Pelestarian Cagar Budaya,

“Mimbar Hukum”, Vol.30, No.1, Februari 2018, hal. 96.

Page 3: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1050 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

kini dengan tanpa mengesampingkan pelestarian Cagar Budayanya sendiri. Dalam hal

ini berkenaan dengan Bangunan Cagar Budaya atau Bangunan Warisan Budaya.

Berbagai peraturan telah disahkan untuk melestarikan cagar budaya, khususnya

Bangunan Cagar Budaya atau Bangunan watisan Budaya. Bentuk hukum ada yang

berupa Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Peraturan Daerah Kota

Yogyakarta, maupun Peraturan Gubernur Daerah istimewa Yogyakarta. Berbagai

peraturan tersebut berorientasi pada pelestarian.

Faktanya ada beberapa Bangunan Cagar Budaya dan Bangunan Warisan Budaya

di kota Yogyakarta telah dilakukan pengembangan dengan cara adaptasi, pihak yang

berkepentingan tidak melakukan adaptasi, namun melakukan pembongkaran Bangunan

Warisan Budaya dan mendirikan bangunan baru. Seperti halnya Bangunan Warisan

Budaya Tjan Bian Thiong yang telah ditetapkan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta

Nomor BWB 798/KEP/2009 yang telah menjadi Hotel Amaris Yogyakarta. Contoh lain

bangunan cagar budaya Hotel Toegoe yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya

dengan nomor NRCB 20140115.02000013 berdasarkan Penerapan SK Menteri Nomor

013/M/2014 dan SK Menteri Nomor PM .25/PW.007/MKP/2007 berstatus peringkat

nasional.

Berdasarkan informasi, pihak yang berkepentingan ingin mendirikan bangunan

hotel dengan melakukan pembongkaran Bangunan Warisan Budaya tersebut, dengan

cara pengrusakan dengan dalih melakukan adaptasi dan telah memperoleh izin dari

pejabat yang berwenang, yang kemudian menjadi bangunan baru. Berdasarkan

persoalan hukum tersebut, maka penelitian ini berkaitan dengan perizinan terhadap

adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong Pajeksan di Kota Yogyakarta.4

Konsep pengembangan warisan budaya mempunyai interpretasi dan kepentingan

yang berbeda. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Monika Murzyn Kupisz &

Jaroslaw Dzialek, bahwa kepentingan pembangunan warisan budaya itu dapat

dipergunakan untuk modal sosial. Di satu sisi pengembangan warisan budaya dalam

rangka mengembangkan nilai dari warisan budaya tersebut sehingga berorienasi pada

pelestarian, meskipun juga dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Di sisi lain

modal sosial ada yang mengartikan untuk kepentingan ekonomi bagi pemilik modal

atau capital semata, sehingga tidak beroreintasi pelestarian.5

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah perizinan terhadap

adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong Pajeksan yang Sudah

Ditetapkan di Kota Yogyakarta? dan mengapa izin diberikan meskipun adaptasi

bangunan bertentangan dengan prinsip dasar pelestarian Bangunan Warisan Budaya

yang sudah ditetapkan?

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dengan penelitian hukum normatif. Titik fokusnya adalah

peraturan perundang-undangan dan kebijakan,6 yang menurut Whitney dalam Moh

4 Sebagai perbandingan pengrusakan terhadap Bangunan di Kawasan Cagar Budaya telah ditulis

Volare Amanda Wirastari dan Rimadewi Suprihardjo, Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Berbasis

Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus: Kawasan Cagar Budaya Bubudan Surabaya), “Jurnal Teknik

ITS”, Vol.1, No.1, September 2017, hal. 64. 5 Monika Murzyn Kupisz dan Jaroslaw Dzialek, Cultural Heritage in Building and Enhancing

Social Capital, “Journal of Cultural Heritage Management and Sustainable Development”, Vol.3,

Issue: i, hal. 35-54, https://doi.org/10.1108/20441261311317392. 6 Phillipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam “Yuridika Majalah

Fakultas Hukum Unair”, Nomor 6, Tahun IX November-Desember 1994, hal. 2. Lihat juga Johnny

Page 4: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1051

Nazir bahwa hal tersebut berkaitan dengan pencarian fakta dengan interpretasi yang

tepat. 7 Berdasarkan sifatnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. 8

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pada lapisan teori hukum dipakai

pendekatan: 9 sosiologi hukum, bertujuan unyuk memberikan penjelasan terhadap

praktek-praktek hukum, mengapa praktek hukum demikian terjadi, faktor-faktor apa

yang mempengaruhinya, dan latarbelakangnya. 10 Max Weber menamakan cara

pendekatan seperti itu sebagai suatu interpretative understanding.11 Pendekatan politik

hukum, merupakan penentuan pilihan tentang substansi hukum yang akan

diberlakukan dan ke arah mana hukum akan dikembangkan, 12 secara preskiptif

merumuskan ius constituendem. Pada lapisan teori hukum ini dilakukan eksplanasi

hukum, dengan melakukan analisis terhadap konsep hukum, norma hukum, sistem

hukum, lembaga figur hukum dan fungsi hukum. Pada lapisan filsafat hukum menguji

prinsip pelestarian.

Penelitian hukum normatif memerlukan data sekunder yang terdiri atas bahan

hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder.

berupa pendapat hukum maupun nonhukum dari bahan kepustakaan, para narasumber

dan dokumen.

Analisis bahan hukum primer berupa deskripsi, sistematisasi, analisis,

interpretasi 13 dan menilai peraturan perundang-undangan. Sistematisasi yang

dilakukan adalah secara vertikal untuk mengetahui ada tidaknya siskronisasi, terdapat

antinomi atau tidak. Selain itu dilakukan sistematisasi secara horizontal terhadap

bentuk hukum yang setara untuk dikaji terdapat harmonisasi atau tidak, terdapat

antinomi atau tidak. 14 Interpretasi secara gramatikal, teleologis, dan antisipasi

interpretasi.15 Proses berpikir dilakukan secara deduktif.

III. HASIL PENELITIAN

3.1. Pengertian Perizinan

Menurut Mr.N.M.Spelt dan Prof.Mr.J.B.J.M.ten Berge menyatakan bahwa izin

merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang atau

peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan

larangan perundang-undangan (izin dlm arti sempit).16 Izin merupakan keputusan yang

Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayu Media Publishing, 2006).

Juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, 2005; dan Peter Mahmud Marzuki,

Penelitian Hukum, “Yuridika”, Vol 16, Nomor 1 Mar – Apr 2001, FH Unair. 7 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta, PT.Ghalia Indonesia, 2003), hal. 16. 8 F.Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, (Yogyakarta, CV.Ganda, 2007), hal. 9. 9 Lihat Phillipus M. Hadjon, Loc.Cit. 10 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014), hal. 372. 11 Max Weber, On Law in Economy and Society, (New York, A Clarion Book, 1954), hal. 1. 12 Sundari dan Endang Sumiarni, Politik Hukum & Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta, Cahaya

Atma Pustaka, 2005), hal. 7. 13 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (General Theory of Law and State),

Terjemahan Raisul Muttaqien disunting Nurainun Mangunsong,SH.M.Hum, (Ujung Berung-Bandung,

Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 179. 14 Ibid. 15 H. Frunken, InLeiden tot de rechtswetenschap, 2 druk, (Arnhem, Gouda Quint, 1983), hal.

139; lihat juga J. Gijssels dan van Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?, (Zwolle, Tjeenk Willink,

1982), hal. 168. 16 Mr.N.M.Spelt dan Prof.Mr.J.B.J.M ten Berge, disunting Philipus M Hadjon, SH. Pengantar

Hukum Perizinan, (Surabaya, Penerbit Yuridika, 1993), hal. 2-3.

Page 5: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1052 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh

pembuat peraturan.17 Menurut Prajudi Atmosudirdjo, Izin (vergunning) adalah suatu

penetapan yang merupakan dispensasi daripada suatu larangan oleh undang-undang.

Pada umumnya pasal undang-undang yang bersangkutan berbunyi ”Dilarang tanpa

izin...(melakukan)... dan seterusnya.” Larangan tersebut diikuti dengan perincian dari

pada syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk

memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan

juklak (petunjuk pelaksanaan) kepada pejabat-pejabat Administrasi Negara yang

bersangkutan.18 Suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diizinkan.19

Lain halnya dengan Utrecht yang memberikan pengertian vergunning (Izin)

yaitu bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi

masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk

masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang

memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin.20

Pengertian izin yang dimuat di dalam peraturan yang berlaku. Sebagai contoh

misalnya termuat di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008

tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu Di

Daerah. Dalam ketentuan tersebut Izin diberikan pengertian sebagai dokumen yang

dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan

lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya

seseorang atau Badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Pengertian izin

seperti tersebut menunjukkan adanya penekanan pada izin yang tertulis, yakni

berbentuk dokumen, sehingga yang disebut sebagai izin tidak termasuk yang diberikan

secara lisan.

Menurut Spelt dan ten Berge motif-motif untuk menggunakan sistem izin dapat

berupa: keinginan mengarahkan (mengendalikan-“sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu,

mencegah bahaya bagi lingkungan, keinginan melindungi obyek-obyek tertentu,

hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan pengarahan dengan menyeleksi

orang-orang dan aktivitas-aktivitas.21

Sebagai sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat pemerintah, izin

mempunyai urgensi tertentu sebagai berikut.22

a. Sebagai landasan hukum (legal base);

b. Sebagai instrumen untuk menjamin kepastian hukum;

c. Sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan;

d. Sebagai alat bukti dalam hal ada klaim.

3.2. Bangunan Cagar Budaya

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,23 Cagar Budaya diartikan sebagai

daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan perikehidupannya dilindungi oleh

17 Van der Pot dalam Utrecht dan Moh Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara

Indonesia, Cetakan kedelapan, (Jakarta, Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, 1985), hal. 143. 18 Prof.Dr.Mr.S Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, Ghalia Indonesia,

1983), hal. 94. 19 Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, (Jakarta, Penerbit Grasindo,

2009), hal. 7. 20 Utrecht dalam Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta,

Penerbit Sinar Grafika, 2015), hal. 167. 21 Mr.N.M.Spelt dan Prof.Mr.J.B.J.M ten Berge, disunting oleh Philipus Hadjon, SH.,1993,

loc.cit. 22Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit., hal. 22-24.

Page 6: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1053

Undang-Undang dari bahaya kepunahan. Adapun kata Cagar Budaya adalah daerah

pelindungan untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan sebgainya. Dalam

perspektif ilmu, Cagar Budaya pada hakekatnya adalah sumber daya budaya yang

memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan dan merupakan sumber sejarah,

sehingga perlu dilestarikan.24

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya, Cagar Budaya diberi pengertian sebagai “warisan budaya bersifat

kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar

Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang

perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”.

Berdasarkan pengertian Cagar Budaya tersebut, maka terdapat jenis cagar Budaya

sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya, sebagai berikut.

a. Benda Cagar Budaya adalah “benda alam dan/atau benda buatan manusia,

baik bergerak dan tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau

bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan

kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia”.

b. Bangunan Cagar Budaya adalah “susunan binaan yang terbuat dari benda

alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang

berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap”.

c. Struktur Cagar Budaya adalah “susunan binaan yang terbuat dari benda alam

dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan

yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung

kebutuhan manusia”.

d. Situs Cagar Budaya adalah “lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang

mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau

Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian

pada masa lalu”.

e. Kawasan Cagar Budaya adalah “satuan ruang geografis yang memiliki dua

Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau

memperlihatkan ciri tata ruang yang khas”.

Cagar Budaya termasuk di antaranya merupakan Bangunan cagar budaya, bukan

ditujukan bagi objek-objek yang bersifat non-bendawi (intangible), melainkan yang

bisa diamati atau dirasakan kehadirannya dengan menggunakan panca indera, seperti

bisa dilihat, dipegang, dirasakan, diukur, dan diamati bentuknya. Berdasarkan

pengertian Cagar Budaya tersebut, maka mempunyai nilai penting yaitu kandungan

informasi dan makna-makna yang melekat dengan objek turut diperhatikan

pelindungannya. Pelestarian Cagar Budaya di antaranya berupa Bangunan cagar

Budaya, adalah berkaitan dengan mempertahankan informasi yang terkandung untuk

memahami hal-hal yang terhubung dengan perannya dalam masyarakat (sosial), latar

belakang kepercayaan (ideologi), dan kemampuan untuk membuatnya.25

23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua,

(Jakarta, Balai Pustaka, 1995), hal. 165. 24 Yadi Mulyadi, Museum Komunitas Alternatif Pelestarian Cagar Budaya Berbasis

Masyarakat, ”Jurnal Museografi”, Vol. VI, Nomor 1, Desember 2012, hal. 3. 25 Junus Satrio Atmodjo, Pemeringkatan Cagar Budaya, Prinsip, Metode, dan Manfaatnya,

(Makalah Lepas, tanpa tahun), hal. 1.

Page 7: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1054 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Benda budaya bersifat materi (tangible) mencakup kebudayaan lama dan asli

yang di dalamnya termasuk Bangunan Cagar Budaya sebagai peninggalan masa lalu.26

Cagar Budaya di darat dan/atau di air perlu dilestarikan keberadaannya karena

memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan melalui proses penetapan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 11, Bab III Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, mengatur secara khusus tentang kriteria

Cagar Budaya, sebagai berikut.27

a. Kriteria Cagar Budaya:

“Pasal 5:

Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya,

Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi

kriteria:

a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

agama, dan/atau kebudayaan; dan

d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.”

b. Benda Cagar Budaya, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dapat:

“a. berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan

oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan

kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah

manusia;

b. bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan

c. merupakan kesatuan atau kelompok”

c. Bangunan Cagar Budaya sesuai dengan ketentuan Pasal 7 dapat:28

“a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau

b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam”.

d. Struktur Cagar Budaya (sesuai dengan ketentuan Pasal 8) dapat:

“a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau

b. sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam”.

e. Lokasi sesuai dengan ketentuan Pasal 9, dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar

Budaya apabila:

“a. mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau

Struktur Cagar Budaya; dan

b. menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu”.

f. Satuan ruang geografis sesuai ketentuan Pasal 10 dapat ditetapkan sebagai

Kawasan Cagar Budaya apabila:

26 Endang Sumiarni dan Y. Sri Pudyatmoko, Arti Penting Kawasan Cagar Budaya Bagi Jati Diri

Bangsa Menurut Pertimbangan Hakim, Studi Kasus Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Nomor 29/6/2014/PTUN.JKT, (Yogyakarta, Laporan Penelitian Internal Kelompok Monodisiplin,

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2015), hal. 26. 27 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya, (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, 2011),

hal. 16-19.. Lihat juga Agus Budi Wibowo, Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis

Masyarakat Kasus Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Gampong Pande Kecamatan Kutaraja

Banda Aceh Provinsi Aceh, “Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur”, Vol.8, No.1, Juni 2014, hal.

59. 28 Endang Sumiarni dan Veronica Handayani, Penilaian cagar Budaya sebagai Aset Negara,

(Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2016), hal. 18.

Page 8: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1055

“a. mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya

berdekatan;

b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50

(lima puluh) tahun;

c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia

paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;

d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses Pemanfaatan

ruang berskala luas;

e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan

f. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia

atau endapan fosil”.

Benda, struktur, bangunan, lokasi, dan satuan ruang geografis, meskipun tidak

memenuhi criteria sebagai Cagar Budaya, dapat ditetapkan sebagai cagar budaya. Hal

tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 11 bahwa benda, bangunan, struktur, lokasi, atau

satuan ruang geografis yang atas dasar penelitian memiliki arti khusus bagi

masyarakat atau bangsa Indonesia, tetapi tidak memenuhi kriteria Cagar Budaya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 dapat diusulkan sebagai

Cagar Budaya, termasuk Bangunan Cagar Budaya.

Berdasarkan pengertian Cagar Budaya tersebut maka yang dimaksud

mempunyai nilai penting yaitu kandungan informasi dan makna-makna yang melekat

dengan objek turut diperhatikan pelindungannya. Pelestarian Cagar Budaya adalah

berkaitan dengan mempertahankan informasi yang terkandung untuk memahami hal-

hal yang terhubung dengan perannya dalam masyarakat (sosial), latar belakang

kepercayaan (ideologi), dan kemampuan untuk membuatnya.29

Pelestarian tidak diartikan sempit hanya sebagai upaya pelindungan, kini

diperluas tidak saja untuk maksud tersebut tetapi terkait juga dengan upaya

pengembangan dan pemanfaatan.30 Pengembangan Cagar Budaya termasuk Bangunan

Cagar Budaya, dapat dilakukan dengan cara Penelitian, Revitalisasi dan Adaptasi.

Adaptasi sesuai dengan ketentua Pasal 1 angka 32, diartikan sebagai upaya

pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan

masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan

kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai

penting.

Secara tegas Adaptasi diatur dalam

“Pasal 83:

(1) Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan

adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap

mempertahankan:

a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar

Budaya; dan/atau

b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya

atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.

(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;

29 Junus Satrio Atmodjo, Loc.Cit. 30 Sriayu Aritha Panggabean, Perubahan Fungsi dan Struktur Bangunan Cagar Budaya Kota

Semarang Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, “Unnes Law Journal”,

Vol.3., No.2, Tahun 2014, hal. 26.

Page 9: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1056 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;

c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau

d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan

estetika lingkungan di sekitarnya.”

Pengembangan dengan adaptasi tetap mempertahankan gaya arsitektur,

konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya. Bangunan Cagar

Budaya mempunyai peringkat, berkenaan dengan perizinan adaptasi, maka jika ada

pelanggaran yang bertentangan dengan pelestarian cagar Vudaya, maka bagi pejabat

yang memberikan izin dikenakan ketentuan Pasal 114, bahwa “bilamana pejabat

karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari

jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan,

kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya terkait dengan

Pelestarian Cagar Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga).”

3.3. Bangunan Warisan Budaya

A. L Kroeber dan C Kluckhohn, pernah mengumpulkan sebanyak 160 definisi

tentang kebudayaan.31 Keragaman pengertian tentang budaya tidak lepas dari kerangka

pikir filosofis dari mereka yang menggunakannya. Menurut P.J.Zoetmulder, kata

“kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yaitu bentuk jamak dari

“buddhi”, yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian “kebudayaan” dapat

diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sarjana lain yang mengupas kata

“budaya” sebagai suatu perkembangan dari majemuk “budi daya” yang berarti “daya

dari budi”.32 Dengan demikian terdapat perbedaan “budaya” dengan “kebudayaan”.

“Budaya” adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan

“kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. 33 Dalam bahasa Inggris

“budaya” disamakan dengan “culture”. Di sisi lain, culture berasal dari kata ‘colere’

(Latin) yang berarti mengolah atau mengerjakan (alam).34

Kebudayaan merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan

diri secara aktif terhadap lingkungannya. Hakekat kebudayaan merupakan perilaku

nyata dan yang tidak nyata (tangible dan intangible) yang diperoleh dan diwariskan

melalui proses belajar melalui simbol-simbol. Pengertian kebudayaan meliputi

peralatan sebagai aspek kebendaan, sedangkan intinya terdiri dari ide-ide serta nilai-

nilai budaya yang merupakan hasil abstraksi pengalaman para pendukungnya yang

berikutnya menguasai sikap dan tingkah laku para pendukungnya. Benda budaya

sebagai unsur kebudayaan yang bersifat materi (tangible) mencakup kebudayaan lama

dan asli yang di dalamnya termasuk Cagar Budaya sebagai peninggalan masa lalu.35

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6

Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya, bagian

konsideran menimbang

“a. bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki entitas atau tata pemerintahan

berbasis kultural, sekaligus identitas lokal berupa nilai religi, nilai spiritual,

31 A.L Kroeber dan C Kluckhohn, Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions,

Cambridge, 1952. Lihat dalam Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru,

1979), hal. 194-195. 32 P.J.Zoetmulder, Cultuur, Oost en West, (Amsterdam, CPJ.van der Peet, 1951),hal. 10. 33 M.M.Djojodigoeno, Azas-Azas Sosiologi, (Jogjakarta, Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada,

1965), hal. 24-27. 34 Koentjaraningrat, Op.Cit., hal. 195. 35 Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, , Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

tentang Cagar Budaya, (Jakarta, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, 2009), hal. 11-12.

Page 10: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1057

nilai filosofis, nilai estetika, nilai perjuangan, nilai kesejarahan, dan nilai

budaya yang menggambarkan segi keistimewaan Yogyakarta sehingga harus

dijaga kelestariannya;

b. bahwa keberadaan Warisan Budaya dan Cagar Budaya di wilayah Daerah

Istimewa Yogyakarta, merupakan kekayaan kultural yang mengandung nilai-

nilai kearifan budaya lokal yang penting sebagai dasar pembangunan

kepribadian, pembentukan jati diri, serta benteng ketahanan sosial budaya

masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga upaya untuk menjaga

kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama semua pihak;

c. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya, ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Dan Benda Cagar Budaya tidak

sesuai lagi baik dengan Undang-Undang maupun tuntutan kebutuhan

Pelestarian sehingga perlu diganti;

Dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 1, terdapat konsep Warisan

Budaya adalah benda warisan budaya, bangunan warisan budaya, struktur warisan

budaya, situs warisan budaya, kawasan warisan budaya di darat dan atau di air yang

perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan dan telah tercatat di Daftar

Warisan Budaya Daerah.

Warisan Budaya dapat dilakukan pengembangan, sesuai dengan ketentuan Pasal

45 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012

tentang Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya, bahwa:

(1) Pengembangan Warisan Budaya dan Cagar Budaya dilakukan berdasarkan

jenisnya.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk benda Warisan

Budaya atau Benda Cagar Budaya dilakukan dengan cara perbanyakan

(3) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk bangunan

dan/atau struktur Warisan Budaya atau Cagar Budaya dilakukan dengan

cara adaptasi.

(4) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk situs dan/atau

kawasan Warisan Budaya atau situs dan/atau Kawasan Cagar Budaya

dilakukan dengan cara revitalisasi”.

Selanjutnya Pasal 46 berisi ketentuan bahwa;

(1) Pengembangan Warisan Budaya dan/atau Cagar Budaya yang berbentuk

bangunan atau struktur dilakukan dengan tetap mempertahankan:

a. ciri asli muka dan/atau fasad bangunan atau struktur; dan

b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah situs cagar budaya

atau Kawasan Cagar Budaya tempat bangunan atau struktur berada.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

berpedoman pada:

a. nilai-nilai penting yang melekat pada Warisan Budaya dan Cagar

Budaya;

b. penambahan fasilitas sarana dan prasarana secara terbatas sesuai dengan

kebutuhan;

c. pengubahan susunan ruang secara terbatas; dan

d. gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di

sekitarnya.

Page 11: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1058 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

(3) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat

rekomendasi dari Dewan Warisan Budaya.

Manajemen warisan budaya diperlukan termasuk pengaturannya dalam

kebijakan negara. Hal ini berkaitan dengan peraturan perundang-undangan

maupun teori hukum yang terkait agar dapat dipergunakan untuk

kepentingan praktek konservasi warisan budaya. 36

3.4. Bangunan Warisan Cagar Budaya Tjan Bian Thiong

Bangunan rumah tinggal Tjan Bian Thiong secara administrasi berada di Jalan

Pajeksan No 10, 12, 14, 16 Kelurahan Sosromenduran Kecamatan Gedongtengen

Kotamadya Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bangunan tersebut

secara astronomis berada pada 49M, X:0429951 Y:9138178. Bangunan Tjan Bian

Thiong di jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16 ini mempunyai panjang dan luas

yang sama. Sisi timur bangunan berbatasan dengan ruko, sisi selatan berbatasan

dengan Jalan Pajeksan, sisi barat berbatasan dengan SMP N 13 Yogyakarta dan sisi

utara merupakan bagian belakang bangunan ini yang berupa lahan kosong.

Gambar 1: Lokasi kampung Pajeksan Gambar Gambar 2: Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian

Thiong.37

(Sumber:googleearth)38

Gambar 3: Bangunan Warisan Budaya

Tjan Bian Thiong setelah dihancurkan39 Gambar 4: Tipe atap Ngangshan40

36 Velpaus, Loes, Heritage Management and Sustainable Development in Perspective: Theory,

Law, and Practice, “Journal of Cultural Heritage Management and Sustainable Development”, Vol.5,

Issue 3, 2013., hal. 1, http://dx.doi.org./10.1108/JCHMSD-09-2015-0033. 37 https://www.google.com/search?q=bangunan+Tjan+Bian+Thiong+jalan.pajeksan&safe=strict

&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiNtr7vyL7jAhVbYysKHTLkAZ8Q_AUIESgB&biw

=1366&bih=657#imgrc=qEoy8Az56IR_xM, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 38 https://www.google.com/maps/place/Jalan.+Kp.+Pajeksan,+Kota+Yogyakarta,+Daerah+Istime

wa+Yogyakarta/@-

7.7954033,110.3618264,719m/data=!3m1!1e3!4m5!3m4!1s0x2e7a57882a466277:0x92d240944b87319

c!8m2!3d-7.7954033!4d110.3640151, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

Page 12: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1059

a. Deskripsi objek

Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong yang terletak di Jalan

Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16 mempunyai gaya arsitektur Cina yang

merupakan ciri dari bangunan tersebut. Arah hadap bangunan ke selatan, bangunan

berdenah segi empat dan memanjang ke belakang. Masing-masing bangunan pada

rumah di jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16 mempunyai panjang dan luas

yang sama. Bangunan Warisan Budaya terdiri atas dua lantai yang merupakan

bangunan yang difungsikan ruko (rumah toko). Arsitek atap bangunan berbentuk

pelana yang disebut “Ngangshan”. Bangunan Warisan Budaya tersebut bagian

lantai kedua mempunyai ciri yang unik, sedangkan lantai pertama tidak mempunyai

keunikan seperti halnya lantai ke-2.

Beberapa tiang berbentuk persegi menopang atap bangunan, yang terbuat

dari pasangan bata berplester. Pada bangunan tersebut terdapat selasar yang dibatasi

oleh pagar langkan dari kayu yang selain berfungsi sebagai pengaman sekaligus

menambah estetika bangunan. Deretan lubang angin berbentuk persegi yang terletak

pada bawah pagar langkan, yang secara tegas memberikan batas antara bangunan

lantai kedua dengan bangunan lantai pertama. Pintu berbentuk lengkung di bagian

lantai kedua pada bangunan tersebut menambah ciri khas dari bangunan ini. Atap

banguan berupa genteng yang terbuat dari tanah liat. Langit-langit pada bagian

lantai kedua ditutup dengan plafon, yang beberapa bagiannya masih tersisa.

Bangunan lantai kedua merupakan satu kesatuan ruang tanpa sekat. Pintu

dan jendela berupa panil kayu dan kaca. Beberapa pintu merupakan pintu ganda,

yakni bagian dalam berupa panil kaca dan bagian luar berupa panil kayu dengan

bukaan pintu/jendela keluar. Motif flora menghiasi lubang angin yang terdapat di

atas pintu. Pada bagian lantai bangunan dilapisi ubin berwarna abu-abu.41

b. Sejarah Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong

Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong yang terletak di Jalan

Pajeksan ini berada di tengah-tengah lingkungan Pecinan Yogyakarta. Sejak masa

awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta, etnis Cina telah ada di Yogyakarta.

Adanya seorang kapiten Cina yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda di

Yogyakarta menjadi bukti keberadaan etnis Cina tersebut. Di kalangan masyarakat

Cina kapiten tersebut disebut “Kongkoan”. Kapiten Cina yang pertama di

Yogyakarta bernama To In (1755-1764). Pejabat selanjutnya adalah Gan Kek

Ko,Tan Lek Ko, Gue Jin Sing, Tan Sing, Go wing Kong, dan yang tetrakhir Que

Ping Sing. Sumber lain mengatakan bahwa etnis Cina telah ada di Yogyakarta sejak

39 https://gudeg.net/read/8515/saat-tjan-bian-tiong-tinggal-cerita.html, diunduh pada tanggal 26

Juli 2019. 40 https://www.google.com/search?q=Tipe+atap+ngangshan&safe=strict&tbm=isch&source=iu&

ictx=1&fir=e6lKeUYCsJbGRM%253A%252CHcEtvOke2twCvM%252C_&vet=1&usg=AI4_-

kQS40j6xsPZr_4T_oLi1spo0-

yH7A&sa=X&ved=2ahUKEwik34H5y77jAhUBH48KHclgACkQ9QEwAnoECAYQCA#imgrc=e6lKe

UYCsJbGRM, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 41 A’ang Pambudi Nugroho, dkk., Perusakan Bangunan Cagar Budaya Dan Warisan Budaya Di

Kota Yogyakarta: Kasus Rumah Tinggal Tjan Bian Thiong Di Jalan Pajeksan, Makalah, Program Studi

Arkeologi Pascasarjana, Fakultas Budaya, Universitas Gajah Mada, 2018, hal. 1.

Page 13: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1060 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

tahun 1756. Hal ini berarti sejak mana pemerintah Sultan Hamengku Buwono I,

etnis Cina telah ada di Yogyakarta.42

Pendapat berbeda mengatakan bahwa sejak tahun 1756, orang Tionghoa

telah berada di Yogyakarta. Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pada saat Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) mendirikan

kota Yogyakarta, komunitas Tionghoa peranakan telah ada dan terbilang cukup

mapan Sementara menurut sumber lain, etnis Tionghoa khususnya suku Hokkian,

diperkirakan sudah ada yang tinggal di Yogyakarta pada abad XVI. Pada awalnya

orang Tionghoa yang datang berasal dari “kaum Adam”, karena pada masa itu

transportasi masih sangat sulit. Oleh karena itu, banyak diantara orang Tionghoa

yang menikah dengan wanita Jawa (pribumi). Hasil keturunan Tiongkok-Jawa

inilah yang kemudian disebut dengan orang Tionghoa peranakan.43

Di wilayah Pajeksan dan Ketandan ini merupakan hadiah dari Sultan

Hamengku Buwana I kepada masyarakat Cina di Yogyakarta. Tanda terima kasih

masyarakat Cina kepada Sultan Yogyakarta diungkapkan dalam prasasti Jawa Cina

yang dibuat sekitar 1940-an. Prasasti ini didatangkan dari Cina dan berisi ungkapan

terima kasih warga Cina kepada keluarga Keraton Yogyakarta yang telah

memberikan pelindungan kepada mereka. Prasasti tersebut diserahkan kepada pihak

keraton Yogyakarta pada saat penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana IX yang ke-

12 pada tahun 1952).

Gambar 5:

Prasasti Jawa Cina tanda terima masyarakat Cina

kepada Sultan Yogyakarta44

Gambar 6: Kondisi Hotel Amaris Malioboro

Yogyakarta eks Bangunan Warisan Budaya Tjan

Bian Thiong terkini 45

Orang Cina di Yogyakarta merupakan minoritas. Pada masa akhir

pemerintah Hindia Belanda etnis Cina hanya sekitar 10.000 orang dan menempati

kawasan Pecinan di Yogyakarta dan tersebar di sepanjang jalan-jalan utama sebagai

pemilik toko eceran atau kelontong. Hal ini tidak lepas dari intervensi Pemerintah

Hindia-Belanda yang menentukan dan menempatkan orang Cina di suatu wilayah

yang terkonsentrasi. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan pengawasan masyarakat

42 Yudi Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa Di Yogyakarta 1900-1942, Program Studi

Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo, hal. 2. dalam https://stkippgri-

sidoarjo.academia.edu/yudiprasetyo, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 43 Ibid. 44 https://www.google.com/search?q=prasasti+jawa+cina+tanda+terima+kasih&safe, diunduh

pada tanggal 26 Juli 2019. 45 https://www.tripadvisor.ca/LocationPhotoDirectLink-g294230-d10006503-i220348362-

Amaris_Hotel_Malioboro_Jogja-Yogyakarta_Region_Java.html, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019

Page 14: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1061

etnis Cina di Yogyakarta oleh pihak pemerintah Hindia Belanda. Konsentrasi

pemukiman ini dikenal dengan sebutan Pecinan.46

Seiring perkembangan Kota Yogyakarta yang dimulai pada abad XVIII

Masehi, yaitu pada saat keraton dalam proses pembangunan, orang Cina diberikan

tempat tersendiri untuk tempat tinggal yakni sebelah utara keraton tepatnya di ujung

Jalan Malioboro atau kawasan Ketandan-Pajeksan.47 Adanya perluasan fungsi poros

Keraton-Tugu dari kultural magis ke ekonomis menyebabkan pemukinan Cina

tumbuh di kedua tepi poros tersebut yaitu kawasan Ketandan, sepanjang Malioboro,

Beskalan, Pajeksan, dan Kranggan. Dengan terpusatnya pemukiman Cina ini pihak

Keraton Yogyakarta lebih mudah untuk melindungi sekaligus mengawasi keberadaan

orang-orang Cina agar tidak terjadi pemberontakan seperti yang terjadi pada

peristiwa Geger Pecinan pada masa Kartasura. Di samping itu pada tahun 1900,

Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan yang mengharuskan orang-

orang Cina bermukim pada daerah-daerah tertentu di kawasan kota. Sistem distrik

khusus ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan terhadap mereka.

Kegiatan ekonomi di Jalan Malioboro mulai tumbuh sebagai Pecinan dan mulai

berkembang di kawasan tersebut.48 Pada masa ini ada kebijakan yang membatasi

tempat tinggal dan diberlakukan aturan surat jalan (paasenstelsel) namun tetap ada

orang Cina yang bisa bebas bergerak seperti misalnya mereka memperoleh jabatan

sebagai pemegang sewa pajak hasil bumi pemerintah. Orang-orang Cina ini diberi

hak istimewa oleh pejabat Belanda yang bekuasa pada daerah setempat.

Berkaitan sejarah bangunannya, berdasarkan keterangan dari narasumber

kemungkinan besar bangunan rumah tersebut adalah milik Tjan Bian Thiong yang

merupakan warga Cina yang dipercaya pemerintah saat itu sebagai penagih pajak.

Bangunan tersebut kemudian dibagi menjadi 4 persil dengan masing-masing

mempunyai sertifikat tanah dan bangunan. Berdasarkan hasil wawancara dengan

warga sekitar dijelaskan bahwa kemungkinan bangunan tersebut telah dibagi waris

sehingga pada saat sebelum dijual kepada Eko Bimantoro selaku pemiliki Hotel

Amaris Malioboro, telah ada sekitar 80 ahli waris pemilik bangunan tersebut. Hal ini

diperkuat dengan posisi atap yang merupakan satu kesatuan. Bangunan inipun sudah

lebih dari 18 tahun ditinggalkan oleh pemiliknya. Terakhir sebelum menjual rumah

ini kepada Eko Bimantoro, pemilik bangunan Jalan Pajekasan Nomor 16 tersebut

beralamat di Jalan Magelang. Pemilik bangunan sempat menyatakan bahwa dia tidak

tahu apa-apa bahkan dia tidak tahu kalau bangunannya ini ditetapkan sebagai

bangunan warisan budaya tingkat kota berdasarkan SK Walikota Yogyakarta dengan

nomor 798/KEP/2009 tentang Penetapan Bangunan Warisan Budaya di Kota

Yogyakarta. Ketidaktahuan jika bangunan di Jalan Pajeksan Nomor16 tersebut

termasuk bangunan warisan budaya yang dilindungi undang-undang karena pada

bangunan tersebut tidak ada penanda yang menyatakan bahwa bangunan tersebut

merupakan warisan budaya, sehingga pembeli dan warga sekitar juga tidak

mengetahuinya.

c. Kronologi adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong

46 A’ang Pambudi Nugroho, dkk., Op.Cit., hal. 1. 47Yudi Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa di Yogyakarta, “Jurnal Edukasi “, 2015, hal. 23. 48 Ibid., Lihat juga Harian Yogya, 2015; Enny Sukasih. “Penanganan Hukum Kasus Perusakan

Bangunan Cagar Budaya dan Warisan Budaya di Kota Yogyakarta”, Tesis, Yogyakarta: Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2016. Lihat juga A’ang Pambudi, dkk., Loc. Cit.

Page 15: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1062 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Kronologi terkait pengrusakan Bangunan Warisan Budaya Rumah Tempat

Tinggal Tjan Bian Thiong adalah: 49

Agustus 2013 Bangunan Pajeksan dibeli oleh Eko Bimantoro dengan 4

Persil Bangunan 10, 12, 14, 16.

9 Desember 2013 Penggambungan 4 persil atas nama Linda Ludhiana

digabung dengan nomor 10.

27 Desember 2013 Mengajukan IMB pendirian hotel dengan sertifikat

gabungan nomor 10 ke Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.

16 Desember 2013 Terjadi pembongkaran bangunan

14 Desember 2013 Eko Bimantoro melakukan sosialisasi akan mendirikan

hotel.

16 Desember 2013 Dilakukan selamatan dan merobohkan bangunan

27 Februari 2014 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan

Eko Bimantoro membuat surat keterangan klarifikasi

nomor rumah dan rekomendasi bentuk arsitektur bangunan

yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Kota Yogyakarta.

5 Maret 2014 Dinas Perizinan Kota Yogyakarta melakukan peninjauan ke

lapangan. Hasil penjauan tersebut berupa sisa lahan kosong

dan puing-puing bangunan.

27 Maret 2014 Dinas Perizinan Kota Yogyakarta mengeluarkan IMBB

pendirian Hotel Amaris Malioboro di Jalan Pajeksan

Nomor 10

Keluar surat pernyataan dari Eko Bimantoro yang berisi

saat membeli tanah tersebut terdiri dari 4 persil dengan

irisan melintang utara-selatan dan memiliki luas yang

hampir sama karena terkena dampak gempa bumi 2006

sehingga kondisinya membahayakan dan hampir roboh

maka pada Bulan November 2013 atas keputusan warga

bangunan tersebut dirobohkan dan kesanggupan Eko

Bimantoro untuk mengembalikan bangunan dengan pasat

depan seperti semula dengan ukuran 22 x 7 meter beralamat

Jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16 dan akan berpisah

dengan bangunan belakangnya.

19 Desember 2014 Dilakukan kajian bangunan cagar budaya dan bangunan

warisan budaya oleh Disparbud Kota Yogyakarta.

5 Februari 2015 Elanto Wijoyono melapor ke lembaga Ombudsman DIY isi

laporan berupa pengrusakan bangunan warisan budaya

yang telah di SK Walikota di Jalan Pajeksan Nomor 16.

26 Maret 2015 Keluar rekomendasi dari TP2WB berkaitan dengan

bangunan warisan budaya Jalan Pajeksan Nomor 16

sebagai berikut:

49Enny Sukasih, juga A’ang Pambudi, dkk., Loc. Cit. lihat juga William Logan, Heritage Rights

Avoidance and Reinforcement, “Heritage & Society Journal”, Vol.7, No.2, November 2014. hal. 165.

William Logan secara tegas berpendapat jika terdapat pengrusakan terhadap warisan budaya yang

faktanya terdapat di sejumlah negara, maka Unesco mesti turun tangan dengan membuat sistem

kebijakan, hal itu dikarenakan warisan budaya merupakan hak asasi manusia masyarakat dunia.

Page 16: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1063

1. Bangunan yang akan dibangun di lokasi tersebut berada di

Kawasan Budaya Malioboro dan berada di kawaan garis

sumbu filosofis Keraton-Malioboro-Tugu sehingga

arsitektur bangunan baru harus menyesuaikan dengan

arsitektur bangunan di kawasan tersebut.

2. Bangunan warisan budaya di Jalan Pajkesan Nomor 16

harus dikembalikan secara utuh dan sesuai aslinya baik

pada lantai 1 dan lantai 2, Bangunan-bangunan yang satu

atap dengan bangunan warisan budaya tersebut yaitu

bagunan di Jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14 harus

dikembalikan secara utuh karena merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dengan bangunan warisan budaya di

Jalan Pajeksan No 16. Untuk lantai 2 dikembalikan secara

utuh dan sesuai aslinya sedangkan untuk lantai 1 dapat

menyesuaikan dengan kebutuhan fungsi ruang.

3. Lokasi bangunan warisan budaya di Jalan Pajeksan Nomor

16 beserta bangunan - bangunan warisan budaya tersebut

yaitu bangunan di Jalan Pajeksan No, 10, 12, 14 tidak boleh

dipindahkan (dimundurkan atau dimajukan atau digeser ke

atau ke kiri).

4. Skyline bangunan di luar bangunan warisan budaya dan

bangunan yang satu atap dengan bangunan warisan budaya

ini menyesuaikan dengan advise planning.

5. Berkas-berkas catatan dan gambar arahan dari Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta bersama

TP2WB ini menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari

rekomendasi.

6. Pemugaran BWB (Bangunan Warisan Budaya) harus

mendapatkan izin dari Walikota Yogyakarta sebagai syarat

diterbitkan IMBB.

6 April 2015 Eko Bimantoro mengirimkan surat permohonan izin

rekomendasi bangunan warisan budaya di Jalan Pajeksan

Nomor 10, 12, 14, dan 16 kepada Walikota Yogyakarta.

Tanggal 10 April 2015 keluar surat izin dari Walikota

Yogyakarta dan TP2WB (Surat Terlampir). Surat

rekomendasi ini dipahami oleh pihak Eko Bimantoro

sebagai surat izin pembongkaran bangunan warisan budaya.

Berikut ini penyataan pihak Eko Bimantoro dalam

kronologi pembangunan hotel Amaris Nomor10.

Yogyakarta, “Selanjutnya kami membuat surat kepada

Walikota Yogyakarta untuk permohonan izin

pembongkaran maka terbitlah Surat Keputuan Walikota

Yogyakarta tanggal 10 April 2015 nomor 430/1126 tentang

Pemberian Izin Pembongkaran”.

2 Juni 2015 Lembaga Ombudsman DIY melakukan gelar kasus

perusakan bangunan warisan budaya Jalan Pajeksan Nomor

16 kemudian pihak Ombudsman memohon kepada

walikota agar pembangunan hotel tersebut dihentikan

sementara sampai kasus tersebut selesai. Permohonan

Page 17: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1064 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

tersebut tidak diindahkan dan pembangunan hotel tersebut

berjalan sampai sekarang. Pada saat penulisan melakukan

observasi ke lokasi awal September 2015, pihak Eko

Bimantoro sedang melakukan proses pembangunan hotel

dan pembangunan kembali bangunan warisan budaya

seperti bentuk semula.

d. Arsitektur Bangunan Warisan Budaya Tjan Biang Thiong

Gaya arsitektur Cina yaitu pada rumah tinggal Tjan Bian Thiong memiliki

keunikan secara fisik berupa rumah tinggal dengan ragam hias dan tata ruang

bangunannya serta fasilitas pemujaan leluhur (altar). Pemukiman di Kawasan

Pecinan kebanyakan dibangun memanjang ke belakang. Biasanya bangunan di

Pecinan bertingkat yang disebut rumah toko atau ruko. Bagian bawah digunakan

untuk toko dan bagian atas digunakan untuk rumah tinggal. Corak arsitektur

bangunan di Kawasan Pecinan ini merupakan campuran arsitektur Cina, India, dan

Tradisional Jawa. Corak arsitektur Cina dapat dilihat dari model hubungannya yang

disebut “Ngangshan” dipadukan dengan model atap pelana. Bangunan rumah

Pecinan dihiasi dengan stiliran berupa bentuk-bentuk binatang, bunga, motif

geometris, dan huruf-huruf tulisan Cina, pengaruh India dapat dilihat dari adanya

pilar-pilar bergaya Eropa, berdinding tebal, dan langit-langit tinggi.50

e. Kondisi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong saat ini

Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong yang berada di Jalan Pajeksan

pada saat ini berfungsi sebagai sebuah bangunan hotel yaitu Hotel Amaris

Malioboro Yogyakarta. Sebelum menjadi bangunan Hotel Amaris Malioboro,

halaman depan bangunan dijadikan sebagai lokasi parkir kendaraan mobil.

Bangunan Warisan Budaya tersebut sudah berganti menjadi bangunan dengan

arsitektur dan material yang baru, yang menghilangkan ciri asli atau fasad dari

bangunan semula, bahkan bahan atau material yang dipergunakan tidak mendekati

bahan asli.

Hotel Amaris Malioboro Yogyakarta diresmikan pada tanggal 24 Februari

2016. Hotel berbintang 2 ini mengedepankan bed and breakfast. Bangunan bergaya

minimalis modern setinggi 9 lantai dengan jumlah kamar 110 smart room, dengan 3

ruang meeting dengan kapasitas 80-90 orang. Hotel ini dilengkapi dengan area

parkir yang dapat menampung 20 mobil. Hotel ini juga dilengkapi dengan kolam

renang dan teras berjemur untuk tamu hotel.

3.5. Perizinan Terhadap Adaptasi Bangunan Warisan Budaya

a. Duduk Perkara Peristiwa Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong.

Pada tanggal 2 Februari 2015 Elanto Wijoyono, melaporkan/mengadukan

sebuah kasus pembongkaran benda/bangunan warisan budaya di Jalan Pajeksan

Nomor 16 Yogyakarta kepada Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lahan bekas lokasi bangunan Cina Tjan Bian Thiong yang telah ditetapkan sebagai

Bangunan Warisan Budaya Kota Yogyakarta pada tahun 2009 itu segera berubah

menjadi gedung Hotel Amaris Malioboro setinggi 8 lantai. Proses Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) Hotel Amaris Malioboro pada tanggal 27 Desember 2013, tepat 4

50 Enny Sukasih, Loc. Cit.

Page 18: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1065

hari sebelum moratorium pengajuan izin pembangunan hotel di Yogyakarta

diberlakukan per 31 Desember 2013. Hanya butuh tiga bulan, pada tanggal 27 Maret

2014, IMB Hotel Amaris Malioboro telah terbit dengan Nomor 0226/GT/2014-

1867/01.

Sebuah lahan/tanah dengan alamat Jalan Pajeksan Nomor 10 yang di atasnya

akan dibangun Hotel Amaris Malioboro. Sebelumnya, di lokasi tersebut terdapat

bangunan yang saat ini sudah dirobohkan. Di dekat lahan/tanah tersebut, dahulu

terdapat sebuah bangunan Cina Tjan Bian Thiong beralamat di Jalan. Pajeksan Nomor

16 Yogyakarta yang telah ditetapkan sebagai Bangunan Warisan Budaya Kota

Yogyakarta dengan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor BWB

789/KEP/2009 yang turut dirobohkan tanpa tersisa. Izin yang diajukan kepada

Pemerintah Kota Yogyakarta hanya untuk persil tanah di Jalan. Pajeksan Nomor 10,

tetapi perobohan bangunan dilakukan sampai pada persil tanah di Jalan. Pajeksan

Nomor 16 yang merupakan Bangunan Warisan Budaya.

Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta kemudian telah

menanggapi laporan tersebut dengan menyelenggarakan dua sesi forum klarifikasi

pada hari Kamis, 28 Mei 2015. Tiga pihak, meliputi Lurah Kelurahan Sosromenduran,

Gedongtengen, Yogyakarta; Camat Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta; dan

Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta diundang hadir dalam

forum klarifikasi sesi pagi pukul 09.30-selesai. Sesi siang, forum klarifikasi di

Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta itu dilanjutkan dengan

mengundang Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Yogyakarta. Hasil dari forum

klarifikasi ini akan dijadikan salah satu rujukan dalam proses gelar kasus yang akan

segera dilakukan atas kasus ini.51

Peristiwa tersebut memunculkan adanya petisi berjudul “Usut Tuntas

Kasus Penghancuran Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong untuk Hotel

Amaris Malioboro akibat Maladministrasi Pemerintah Kota Yogyakarta” itu

ditujukan kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku

Buwono X dan Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta.

Hingga Jumat tanggal 23 Oktober 2015, pukul 15.30 WIB, petisi tersebut telah

didukung oleh lebih dari 4400 tandatangan warga. Elanto berpendapat bahwa

bangunan berarsitektur Tionghoa Tjan Bian Thiong yang beralamat di Jalan

Pajeksan Nomor 16 Yogyakarta telah dirobohkan tanpa sisa. Padahal, bangunan

ini telah ditetapkan sebagai Bangunan Warisan Budaya Kota Yogyakarta dengan

Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor BWB 798/KEP/2009. Di atas

lahan tersebut didirikan bangunan gedung Hotel Amaris Malioboro.

Penghancuran dan perobohan Bangunan Warisan Budaya (BWB) Tjan Bian

Thiong di Jalan. Pajeksan Nomor 16 Yogyakarta merupakan bentuk perusakan,

sesuai yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Menurut Elanto fakta

perusakan ini telah diadukan kepada Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa

Yogyakarta pada tanggal 2 Februari 2015. Menurut Erlanto, Lembaga

Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta dalam tindak lanjut atas laporan ini

kemudian menemukan bukti terjadinya maladministrasi yang dilakukan oleh

Pemerintah Kota Yogyakarta, sehingga berdampak hancurnya Bangunan

Warisan Budaya di Jalan. Pajeksan Nomor 16 Yogyakarta. Warga Yogyakarta

51 Klarifikasi para pihak oleh Lembaga Ombudsman D.I. Yogyakarta.

https://www.google.com/amp/s/elantowow.wordpress.com/2015/06/04/kasus-pembongkaran-cagar-

budaya-untuk-hotel-di-yogyakarta-segera-diungkap/amp/, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

Page 19: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1066 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

pada khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, mengalami kerugian

tidak ternilai atas hilangnya aset sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan

dari Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong. Kasus ini merupakan bentuk

ketidaktelitian Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan pendataan

maupun memahami landasan hukum perlindungan cagar budaya. 52

Kasus pembangunan hotel Amaris di kawasan Jalan Pajeksan Nomor 10-16

Yogyakarta yang telah menggusur Bangunan Warisan Budaya (BWB) berupa rumah

pecinan, Tjan Bian Thiong berbuntut panjang. Usai Gelar Kasus Pembangunan Hotel

Amaris di kantor Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta, pada hari Rabu

tanggal 8 Juli 2015, adanya dugaan maladministrasi dalam perizinan hotel. Elanto

Wijoyono menyatakan, pemulihan Bangunan Warisan Budaya (BWB) saja tidak

cukup untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Menurutnya, tindak lanjut

termasuk kemungkinan adanya pelanggaran, baik yang dilakukan oleh Pemerintah

Kota Yogyakarta terkait dugaan ketidakberesan dalam pemberian izin pembangunan

hotel, maupun pengembang yang telah membongkar Bangunan Warisan Budaya

tersebut penting, sehingga kasus serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.

Saat gelar kasus pembangunan hotel, di Kantor Lembaga Ombudsman Daerah

Istimewa Yogyakarta, Pihak Dinas Perizinan maupun Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kota Yogyakarta yang bertanggung-jawab atas keluarnya izin

pembangunan hotel berdalih, telah melaksanakan proses pemberian izin sesuai dengan

prosedur yang berlaku. Menurut Setyono selaku Kepala Dinas Perizinan Kota

Yogyakarta, mengatakan bahwa pada tanggal 24 Maret 2015 lalu, Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) rencana pembangunan hotel Amaris diterbitkan. Izin itu sudah

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,

Badan Lingkungan Hidup, dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.

Pemilik hotel Amaris, Eko Bimantoro mengaku tidak tahu-menahu tentang

status bangunan pecinan Tjan Bian Thiong yang ternyata masuk dalam daftar

Bangunan Warisan Budaya, sehingga saat transaksi jual-beli tanah maupun

pembongkaran bangunan tidak melalui proses perizinan. Menurutnya jika tahu sejak

awal, pasti diurus perizinan jual beli dan pembongkaran. Pemilik juga tidak

mengetahui bahwa dasar hukum yang mengatur tentang cagar budaya itu tertuang

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ketika

peraturan hukum telah diundangkan, maka setiap orang dianggap tahu hukumnya.

Bangunan pecinan tersebut telah memiliki SK Walikota yang menegaskan itu bagian

dari Bangunan Warisan Budaya. Selama belum ada pencabutan SK, maka itu tetap

berlaku.53

Pemerintah Kota Yogyakarta diduga telah melakukan maladministrasi dalam

proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hotel di bekas Bangunan Warisan

Budaya (BWB) Tjan Bian Thong di Jalan Pajeksan Nomor 16, Yogya. IMB yang

dikeluarkan tidak menyertakan izin rekonstruksi Bangunan Warisan Budaya. Dari

hasil temuan Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta, pelanggaran

administrasi yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam hal ini adalah Dinas

52 Suara.com - Sikap elanto pun menuai banyak

dukungan. https://www.google.com/amp/s/amp.suara.com/lifestyle/2015/10/23/180500/netizen-gugat-

penghancuran-bangunan-tjan-bian-thiong-di-yogya, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 53 Sutriyati, 2015, Pelapor: Pemulihan Bangunan Pecinan di Pajeksan saja tak Cukup, http://lo-

diy.or.id/pelapor-pemulihan-bangunan-pecinan-di-pajeksan-saja-tak-cukup/, diunduh pada tanggal 26

Juli 2019.

Page 20: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1067

Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, adalah memberikan rekomendasi terkait

IMB pendirian hotel dengan tidak melalui proses rekomendasi dari Tim Pertimbangan

dan Pelestarian Warisan Budaya (TP2WB). Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan

(IMB) bernomor 0226/GT/2014 pada tahun 2014 tidak menyertakan Izin rekonstruksi

Bangunan Warisan Budaya (BWB). Faktanya bangunan telah dibongkar, bahkan

sebelum izin rekonstruksi terbit. Pemberian izin rekonstruksi Bangunan Warisan

Budaya (BWB) oleh Walikota Yogyakarta terbit terlambat dan baru dikeluarkan pada

tanggal 10 April 2015, sedangkan IMB sudah dikeluarkan terlebih dahulu pada tahun

2014.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Bangunan Gedung, ditentukan, bahwa IMB baru dapat diterbitkan setelah melalui

administrasi dan persyaratan teknis, terutama pada bangunan cagar budaya

memerlukan rekomendasi/surat keterangan dari instansi berwenang. Sutrisnowati

menilai pembongkaran terhadap Bangunan Warisan Budaya merupakan bentuk

perusakan. Merujuk kepada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya, tindakan merobohkan bangunan tersebut sebagai Bangunan Warisan Budaya

seperti yang telah ditetapkan dengan keputusan Walikota Yogyakarta Nomor

798/KEP/2009 merupakan tindakan pelanggaran Undang Undang Nomor 11 Tahun

2010 tentang Cagar Budaya.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar

Budaya menyebutkan bahwa “Warisan Budaya yang telah tercatat dalam Daftar

Warisan Budaya Daerah selanjutnya diperlakukan sama dengan Cagar Budaya.”

Dengan telah ditetapkan Bangunan Cina Tjan Bian Thiong sebagai Bangunan Warisan

Budaya, maka keberadaan bangunan tersebut harus diperlakukan sama dengan

Bangunan Cagar Budaya yang tidak bisa dilakukan perusakan baik seluruhnya

maupun sebagian sesuai ketentuan Pasal 66 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010

tentang Cagar Budaya. Hal tersebut diperkuat dengan argumentasi mendasarkan Pasal

1 angka 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya bahwa

“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar

Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan

Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang prlu dilestarikan keberadaannya

karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Rumusan Pasal 1 tersebut secara tegas

merumuskan bahwa Cagar Budaya salah satu unsurnya melalui proses penetapan

”Pengertian proses berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai

runtutan perubahan/peristiwa dalam perkembangan sesuatu, rangkaian tindakan,

pembuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk. Dalam hal ini berkenan

dengan sejak ada dugaan adanya bangunan yang memenuhi unsur dan kriteria sebagai

bangunan cagar budaya, berakhir pada adanya penetapan sebagai bangunan cagar

budaya atau tidak memenuhi unsur dan kriteria sebagai bangunan cagar budaya. 54

54 Endang Sumiarni, Struktur dan Isi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya, Disampaikan dalam Sosialisasi Bagi Para Jaksa, yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian

Cagar Budaya dan Permuseuman Jawa Tengah, di Surakarta, pada hari Kamis, tanggal 31 Maret 2016

.

Page 21: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1068 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Pembongkaran terhadap Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong di Jalan

Pajeksan Nomor 16 Yogyakarta merupakan bentuk perusakan. Dalam Pasal 66 ayat

(1) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya diatur bahwa,

“Setiap orang dilarang merusak cagar budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya,

dari kesatuan, kelompok dan/atau dari letak asal.” Tindakan

merobohkan/menghilangkan Bangunan Cina Tjan Bian Thiong sebagai Bangunan

Warisan Budaya yang telah ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota Yogyakarta

nomor 798/KEP/2009 merupakan tindakan yang dilarang oleh Undang Undang Nomor

11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pembongkaran atas Bangunan Warisan Budaya

sebagaimana dimaksud tidak memiliki izin pembongkaran dari instansi yang

berwenang, sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 50 junctis Pasal 51 Undang

Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya; Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan

ayat (3), Pasal 29 ayat (1), ayat (5), ayat (6), ayat (7) Peraturan Gubernur Daerah

Istimewa Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan

Cagar Budaya.

Dalam Pasal 58 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun

2012 tentang Bangunan Gedung diatur bahwa “IMB diterbitkan apabila telah

memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis,” ayat (3) “Persyaratan

teknis sebagaimana ayat (1) terdiri dari: huruf d. “Terhadap bangunan cagar budaya,

bangunan yang berada dikawasan cagar budaya dan bangunan yang berada pada garis

sempadan sungai memerlukan rekomendasi/surat keterangan dari instansi teknis yang

berwenang.” Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam memberikan

rekomendasi/surat keterangan terkait IMB pendirian Hotel Amaris Malioboro Jalan

Pajeksan Nomor 16 hanya merekomendasi arsitektur bangunan, rekomendasi tidak

terkait dengan adanya bangunan Cina Tjan Bian Thiong sebagai salah satu Bangunan

Warisan Budaya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Terkait hal

tersebut untuk penerbitan IMB dalam proses rekomendasi dari Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kota Yogyakarta tidak melibatkan TP2WB Kota Yogyakarta.

Menurut Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta berkesimpulan

adanya maladministrasi yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam

menerbitkan IMB Hotel Amaris Malioboro di Jalan Pajeksan Nomor 10 Kota

Yogyakarta yang berada di Persil Hak Guna Bangunan Nomor 439 yang berasal dari 4

persil dengan Nomor 148, 149, 150 dan 170. Empat persil itu semula berada pada

Jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16. Hal itu disebabkan penerbitan IMB Hotel

Amaris Nomor 0226/GT/2014 pada tahun 2014 tersebut tidak menyertakan pemberian

Izin Rekonstruksi Bangunan Warisan Budaya (BWB) di Jalan Pajeksan Nomor 10,

12,14, dan 16 Kota Yogyakarta. Penerbitan Pemberian Izin Rekonstruksi oleh Wali

Kota Yogyakarta Nomor 430/1126 perihal Pemberian Izin Rekonstruksi Bangunan

Warisan Budaya (BWB) di Jalan Pajeksan Nomor 16, 14, 12, dan 10 Kota Yogyakarta

terbit pada tanggal 10 April 2015 yang lebih dahulu terbit IMB Hotel Amaris Nomor

0226/GT/2014 pada tahun 2014, bangunan BWB Tjan Bian Thiong telah di

robohkan/sudah tidak ada Bangunan Warisan Budaya. Semestinya, Izin Rekonstruksi

oleh Walikota Yogyakarta dikeluarkan sebelum diterbitkan IMB Hotel Amaris

Malioboro. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam melakukan

kajian teknis dalam rangka penerbitan rekomendasi seharusnya sejak awal melibatkan

Tim Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya (TP2WB) Kota Yogyakarta. Faktanya

dalam kajian rekomendasi persyaratan perizinan IMB Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan tidak melibatkan TP2WB sebagai bagian unsur penting.

Page 22: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1069

Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan bukti

terjadinya maladministrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, sebagai

berikut.55

a. Pemerintah Kota Yogyakarta menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

Hotel Amaris Malioboro dengan alamat Jalan Pajeksan Nomor 10 yang berada

di Persil Hak Guna Bangunan Nomor 439 yang berasal dari 4 persil dengan

Nomor 148, 149, 150, dan 170. Empat persil itu semula berada pada Jalan

Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16. Padahal, di Jalan. Pajeksan Nomor 16

berdiri BWB Tjan Bian Thiong. Pada saat IMB Hotel Amaris Malioboro terbit

pada tahun 24 Maret 2014 dengan Nomor 0226/GT/2014, wujud fisik BWB

Tjan Bian Thiong tidak ada lagi di lokasi tersebut. IMB Hotel Amaris Malioboro

tidak menyertakan pemberian Izin Rekonstruksi BWB di Jalan Pajeksan Nomor

10, 12, 14, dan 16 Kota Yogyakarta.

b. Penerbitan Pemberian Izin Rekonstruksi oleh Walikota Yogyakarta Nomor

430/1126 perihal Pemberian Izin Rekonstruksi BWB di Jalan Pajeksan Nomor

16, 14, 12, dan 10 Kota Yogyakarta baru terbit pada tanggal 10 April 2015.

Seharusnya, izin rekonstruksi oleh Walikota Yogyakarta dikeluarkan sebelum

IMB Hotel Amaris Malioboro diterbitkan.

c. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam melakukan kajian

teknis dalam rangka penerbitan rekomendasi sebagai prasyarat IMB, seharusnya

sejak awal wajib melibatkan peran Tim Pertimbangan Pelestarian Warisan

Budaya (TP2WB) Kota Yogyakarta. Faktanya, dalam kajian rekomendasi

persyaratan IMB Hotel Amaris Malioboro, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Kota Yogyakarta tidak melibatkan TP2WB sebagai bagian unsur penting.

Akibatnya, pemrakarsa pembangunan Hotel Amaris Malioboro menganggap

tidak ada larangan perobohan bangunan tersebut. Dalam penerbitan rekomendasi

ditemukan beberapa surat rekomendasi yang secara substansi dan struktur

berbeda dengan nomor yang sama dalam penerbitan Rekomendasi IMB sebagai

persyaratan pembangunan Hotel Amaris Malioboro.

d. Dalam penerbitan Rekomendasi dan Surat Keputusan oleh instansi teknis,

ditemukan adanya subjek hukum yang berbeda, meliputi:

1) Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menerbitkan

Rekomendasi dan Surat Keputusan Kepala BLH tentang Izin Lingkungan

memuat dua subjek hukum yang berbeda. Surat Rekomendasi Nomor

660/2119 atas nama PT Bumirejo Mulyo Lestari. Surat Keputusan Kepala

BLH Kota Yogyakarta Nomor 188/2120/KEP/2013 tentang Izin Lingkungan

untuk Usaha dan/atau Kegiatan Hotel Amaris Malioboro di Kelurahan

Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta atas nama

Perusahaan Hotel Amaris Malioboro.

2) Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta menerbitkan surat Nomor 551/572

perihal Analisis Dampak Lalulintas tertanggal 28 Februari 2014 ditujukan

kepada Eko Bimantoro selaku pihak dari PT. Bumirejo Mulyo Lestari.

55 Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong untuk Hotel Amaris Malioboro akibat Mal-

Administrasi Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam https://www.change.org/p/gubernur-diy-kepala-bpcb-

yogya-usut-tuntas-kasus-penghancuran-bangunan-warisan-budaya-tjan-bian-thiong-untuk-hotel-amaris-

malioboro?recruiter=362088168, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

Page 23: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1070 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

3) Penerbitan Surat Rekomendasi Instalasi Proteksi Kebakaran pada Bangunan

Nomor 364/022/II/2014 tertanggal 28 Februari 2014 atas nama Eko

Bimantoro yang didasarkan pada Surat Permohonan Rekomendasi Instalasi

Proteksi Kebakaran tertanggal 28 Februari 2014.

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menyatakan secara tegas

bahwa keberadaan Warisan Budaya dan Cagar Budaya di wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta merupakan kekayaan kultural yang mengandung nilai-nilai kearifan

budaya lokal. Hal ini penting sebagai dasar pembangunan kepribadian, pembentukan

jati diri, serta benteng ketahanan sosial budaya masyarakat Daerah Istimewa

Yogyakarta. Saat ini, kondisi cagar budaya dan warisan budaya yang ada di Daerah

Istimewa Yogyakarta sangat memprihatinkan, disebabkan antara lain karena tuntutan

perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Banyak bangunan cagar budaya yang

diubah, tidak menampakkan lagi bentuk bangunan aslinya.

Kelalaian Pemerintah Kota Yogyakarta dengan terjadinya maladministrasi dalam

proses penerbitan IMB Hotel Amaris Malioboro harus dibayar mahal dengan

hancurnya Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong. Padahal, seharusnya

Pemerintah Kota Yogyakarta bertanggung jawab dalam mengatur perlindungan,

pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya yang telah ditetapkan di wilayahnya,

sesuai yang telah diarahkan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Apalagi, Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong ini menjadi bagian dari

Kawasan Cagar Budaya Malioboro yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Sumbu

Filosofi Yogyakarta yang harus dilestarikan. Pemerintah Kota Yogyakarta diwajibkan

untuk menjamin kelestarian cagar budaya yang telah lebih dulu ada melalui

pengaturan arsitektur dan tata ruang kota.

Sebagai tindak lanjut, maka dalam penerbitan Rekomendasi dan Surat

Keputusan oleh instansi teknis ditemukan adanya tiga subyek hukum yang berbeda,

yaitu PT. Bumirejo Mulyo Lestari, Perusahaan Hotel Amaris Malioboro, dan Bapak

Eko Bimantoro selaku perorangan. Untuk itu, Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa

Yogyakarta memberikan rekomendasi kepada Walikota Yogyakarta:56

1) Untuk membangun kembali Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong sesuai

dengan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Peraturan

Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 tahun 2012 tentang

Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Peraturan Gubernur DIY Nomor

62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya, Peraturan Daerah Kota

Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung sebagai bentuk

pelestarian khazanah budaya dan pendidikan;

2) Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mensosialisasikan keberadaan Bangunan

Warisan Budaya dan/atau Bangunan Cagar Budaya di wilayah Kota Yogyakarta

sampai tingkat RT/RW serta memberi tanda pada bangunan tersebut;

3) Persyaratan rekomendasi dari instansi teknis dalam hal ini Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan terkait Izin Mendirikan Bangunan di kawasan cagar budaya harus

dilakukan pencermatan dan kajian yang mendalam dengan melibatkan TP2WB,

dan stakeholder terutama kaitan dengan Bangunan Warisan Budaya/Bangunan

Cagar Budaya, Arsitektur Bangunan, dan Tata Ruang.

Memohon kepada Sri Sultan Hamengkubowono X selaku Gubernur Daerah

Istimewa Yogyakarta untuk mengambil langkah-langkah dan tindakan atas

56 Sutrinowati, S.H., Ketua Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta. Lihat Ibid.

Page 24: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1071

maladministrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta sesuai dengan

kewenangan dan peraturan perundang-undangan.

b. Kewenangan Perizinan Bangunan Warisan Budaya

Bedasarkan data yang diperoleh, terdapat gambaran di Kota Yogyakarta ada 100

lebih Cagar Budaya yang sudah ditetapkan. Tahun 2016 ada 59 bangunan yang baru

diusulkan ke Walikota. Apabila masih dalam proses kajian, maka belum dapat

dikatakan sebagai Cagar Budaya. Anggaran yang tersedia mempengaruhi kuantitas

proses kajian. 57 Bangunan yang diduga sebagai cagar budaya termasuk Bangunan

Warisan Budaya. Bangunan Warisan Budaya selama proses penetapan, sejak

pendaftaran, pengolahan data dan kajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya Kota

Yogyakarta, perlindungan hukumnya sama dengan Bangunan Cagar Budaya.

Masyarakat keberatan terhadap penetapan bangunan yang diduga sebagai cagar

budaya, atau bangunan warisan budaya menjadi bangunan cagar budaya, dengan

alasan harga bangunan menjadi turun, mengalami kesulitan untuk menjual dan

membangun, biaya perawatan tinggi, serta persoalan pembagian bangunan sebagai

harta warisan kepada para ahli waris. Selain itu pemerintah melarang tetapi tidak

memberikan saluran-saluran, serta keberatan membayar Pajak Bumi dan Bangunan.58

Pengajuan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan seharusnya memperoleh

100%, namun ketika diajukan hanya ada yang memperoleh 25%. Pemilik/dan atau

yang menguasai Bangunan Cagar Budaya atau Bangunan Warisan Budaya, akan

mengfungsikan lain agar dari keuntungannya bisa membayar Pajak Bumi dan

Bangunan. Mereka memfungsikan sebagai tempat usaha, namun usahanya belum

berhasil, tetapi sudah harus membayar pajak penghasilan. Dengan demikian yang

bersangkutan membayar pajak ganda. 59 Insentif diberikan kepada pemilik Cagar

Budaya sebesar 25% berupa keringanan pajak, yang harus diajukan sendiri oleh

pemilik cagar Budaya.60

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari narasumber, Dian Laksmi

Pratiwi, S.S.MArk. selaku Kabid Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan Budaya

mengatakan bahwa:

a. Izin pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya, termasuk Bangunan

Warisan Budaya tidak diperlukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), melainkan

melalui perizinan yang dilayani oleh Sistem Pelayanan Satu Atap pada Badan

Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,

sekarang bernama Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta. Pelayanan perizinan tersebut meliputi izin pemugaran,

izin adaptasi, izin pengembangan di dalamnya ada izin revitalisasi dan izin

pemanfaatan. Pengurusan secara administrasinya di BKPM Pelayanan

Perizinan Terpadu, tetapi secara teknis ada pada Dinas Kebudayaan kota

Yogyakarta.

b. Izin terhadap adaptasi ada dua macam yaitu Izin Mendirikan Bangunan dan

Izin Pemugaran.

1) Izin Mendirikan Bangunan diajukan ke Dinas Penanaman Modal dan

Pelayanan Perizinan Kota, karena Izin Mendirikan Bangunan menjadi

57 Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Eko Suryo Maharsono, Kepala Dinas Kebudayaan Kota

Yogyakarta, pada tanggal 27 Maret 2019. 58 Ibid. 59 Ibid. 60 Ibid.

Page 25: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1072 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

kewenangan Pemerintah Kota. Dalam hal ini diperlukan rekomendasi dari

Dinas Kebudayaan Kota dan Provinsi, karena yang mengetahui secara teknis

mengenai hal itu adalah Dinas Kebudayaan Provinsi. Khusus di Pemerintah

Kota Yogyakarta Izin Mendirikan Bangunan melalui dua tingkat. Pertama

melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kota, kedua

dimintakan rekomendasi dari Dinas Kebudayaan Provinsi. Pemohon tidak

berhubungan dengan Dinas Kebudayaan, karena yang diserahkan ke Dinas

Kebudayaan hanya berkasnya saja. Apabila ada persoalan maka Dinas

Kebudayaan dapat meminta kepada pemohon untuk memperbaiki

permohonannya. Dalam hal ini Dinas Kebudayaan Kota dan Provinsi

mengkaji secara teknis desain dan Dinas Pekerjaan Umum mengkaji dari

aspek umum termasuk bahan dan konstruksi.

2) Apabila hanya murni pemugaran Bangunan Cagar Budaya termasuk

Bangunan Warisan Budaya, seperti bangunan Kraton, Bangunan Puro

Pakualaman, maka tidak diperlukan izin dari Dinas Perizinan Kota.

Bangunan-bangunan tersebut diperlukan perizinan sesuai dengan Peraturan

Gubernur Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya. Khusus

Bangunan Cagar Budaya Pizza Hut yang dikembangkan untuk usaha, maka

ada dua izin di dalamnya, yaitu Izin Mendirikan Bangunan untuk bangunan

baru, dan Izin adaptasi untuk Bangunan Cagar Budaya. 61 Joko Budi

Prasetyo, S.T.,M.M. Kepala Bidang Bangunan Gedung pada Dinas

Pekerjaan Umum dan Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPUPKP)

Kota Yogyakarta, mengatakan bahwa dalam hal Bangunan Cagar Budaya

termasuk Bangunan Warisan Budaya yang akan dipugar atau ada perubahan

desain arsitekturnya, perizinan termasuk dalam Izin Mendirikan Bangunan,

diajukan ke Dinas Perizinan Kota terlebih dulu, tidak memperhatikan

Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya atau

Kawasan Cagar Budaya.

Permohonan Izin Mendirikan Bangunan diajukan dengan Surat Keterangan

Rencana Kota (SKRK/Advice Planning), yang sudah menunjukkan seperti apa yang

akan direncanakan itu, apabila dikaitkan dengan tata ruang termasuk kategori Kawasan

Cagar Budaya. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 6 Kawasan Cagar

Budaya. Kawasan ini adalah Kawasan Cagar Budaya Malioboro, Kawasan Cagar

Budaya Keraton, Kawasan Cagar Budaya Pakualaman, Kawasan Cagar Budaya

Kotabaru, Kawasan Cagar Budaya Kotagede, dan Kawasan Cagar Budaya Imogiri.

Enam Kawasan Cagar Budaya yang berada di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, sebanyak lima Kawasan Cagar Budaya berada di kota Yogyakarta.

Kawasan Cagar Budaya yang berada di luar Kota Yogyakarta hanya satu yaitu

Kawasan Cagar Budaya Imogiri. Dengan demikian sebanyak 80% Kota Yogyakarta

merupakan Kawasan Cagar Budaya.

Menurut narasumber Gatot Sudarmono, S.H.,62 dari Dinas Penanaman Modal

dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Kota Yogyakarta, mengatakan bahwa penetapan

Cagar Budaya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ada yang dengan Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Keputusan Gubernur, atau Keputusan Walikota.

Kota Yogyakarta melalui Walikota Kota Yogyakarta juga menerbitkan Surat

61 Dian Laksmi Pratiwi, S.S.MArk. (Kabid Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan Budaya

Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), wawancara pribadi tanggal 8 April 2019. 62 Gatot Sudarmono, S.H. (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota

Yogyakarta), wawancara pribadi tanggal 2 April 2019.

Page 26: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1073

Keputusan tentang objek sebagai Warisan Budaya untuk yang diduga Cagar Budaya.

Warisan Budaya ini sebagai cikal bakal diusulkan kepada Dinas Pariwisata sebagai

Benda Cagar Budaya.

Dalam hal penanganan pekerjaan ada pembagian kewenangan. Yang menjadi

kewenangan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan dan Kawasan Pemukiman

(DPUPKP) Kota Yogyakarta adalah hanya untuk Bangunan Warisan Budaya atau

Cagar Budaya milik pemerintah, seperti SMP 5 atau SMP 1. Untuk Bangunan Warisan

Budaya atau Cagar Budaya yang milik masyarakat itu menjadi kewenangan dari Dinas

Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Data yang diperoleh dari narasumber Joko Budi Prasetyo, S.T., M.M. selaku

Kepala Bidang Bangunan Gedung pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan dan

Kawasan Pemukiman (DPUPKP) Kota Yogyakarta, bahwa untuk penanganan

permohonan Izin Mendirikan Bangunan terhadap Bangunan Warisan Budaya atau

Cagar Budaya maka posisi DPUPKP dapat menangani soal rekomendasi teknis. Yang

dikerjakan oleh DPUPKP adalah memberi rekomendasi yang berkaitan dengan

konstruksi, Garis Sempadan Bangunan (GSB) struktur bangunan dan sebagainya.

Yang berkaitan dengan desain arsitektural, fasad bangunan lama, itu dari Dinas

Kebudayaan. Dinas Pekerjaan Umum juga melakukan koordinasi terhadap bangunan

Cagar Budaya atau Warisan Budaya yang dikerjakan oleh instansi biasanya ada

koordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum, khusus untuk tetap mempertahankan

Bangunan Cagar Budaya tersebut dan dan tidak jauh beda bentuknya.63

Menurut narasumber Pratiwi mengatakan bahwa kewenangan di bidang

pelestarian cagar budaya termasuk warisan budaya, ada di tangan berbagai instansi.

Sampai sekarang tidak ada batas kewenangan. Balai Pelestarian Cagar Budaya juga

berwenang melakukan kajian terhadap Bangunan Cagar Budaya peringkat provinsi

maupun kota. Dalam praktek jika terjadi pelanggaran terhadap cagar budaya maka

Balai Pelestarian Cagar Budaya mengatakan bahwa kewenangan ada di Dinas

Kebudayaan kota Yogyakarta.

Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, seperti untuk

pertunjukkan kesenian, untuk wisata kuliner khas Yogyakarta, dapat makan bersama

pangeran, dapat berfoto menggunakan baju tradisional Yogyakarta, foto dengan

suasana tempo dulu, ikut bermain musik gamelan. Semua kegiatan tersebut dapat

meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, tanpa harus merusak atau mengubah

arsitektur Bangunan Cagar Budaya. Faktanya berbagai ide dari Dinas Kebudayaan

Kota Yogyakarta tidak disetujui oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DI

Yogyakarta.64

c. Izin diberikan meskipun adaptasi bangunan bertentangan dengan prinsip

dasar pelestarian bangunan warisan budaya yang sudah ditetapkan

Toleransi mengenai perubahan desain arsitektural telah diatur dalam Peraturan

Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian

Warisan Budaya dan Cagar Budaya. Dalam hal ini kondisi eksisting menjadi hal yang

dipertimbangkan. Sebelum dilakukan kegiatan pemugaran harus ada studi kelayakan

dan studi teknis. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana perubahan

63 Joko Budi Prasetyo,ST.MM. Kepala Bidang Bangunan Gedung pada Dinas Pekerjaan Umum

dan Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPUPKP) Kota Yogyakarta, wawancara pribadi tanggal 29

April 2019. 64 Ibid.

Page 27: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1074 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

tersebut dapat dan boleh dilakukan: “dengan cara apa, metodenya apa, dan seberapa

jauh, untuk mempertahankan seratus persen ataukah ada perubahan? Di institusi ini

ada 3 kategori pemugaran, ada bangunan tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. Tipe 1 itu sangat

ketat, tipe 2 itu boleh ada adaptasi sampai sekian presen, dan tipe tiga ini yang boleh

ada perubahan. Hal itu juga tergantung kondisi eksisting. Kalau kondisi eksisting

sudah banyak yang berubah maka dibolehkan untuk ada perubahan, tetapi kalau masih

sangat utuh dan baik akan bertahan di pelestarian. Yang biasanya sebagai pegangan

tidak boleh diubah adalah fasad (muka) bangunan. Untuk kriteria itu ada kaitannya

dengan tolok ukur tertentu yang sudah ada di format rekomendasi.”

Kriteria itu digunakan untuk memverifikasikan Bangunan Cagar Budaya yang

sudah ditetapkan oleh Menteri pada saat itu, termasuk Bangunan Warisan Budaya. Hal

tersebut terjadi karena pada waktu penetapan oleh Menteri tidak semuanya dilakukan

secara tepat. Misal soal deliniasi, ada sejumlah bangunan yang deliniasinya sangat

jauh. Kalau digunakan apa yang ditetapkan oleh Menteri maka akan jatuh pada tempat

yang berbeda. Pada waktu dicek akan dicermati apakah betul usianya sudah lebih dari

50 tahun, porsi, posisi, gaya, elemen mana yang menunjukkan bahwa bangunan ini

sudah berusia lebih dari 50 tahun, bagian mana yang mempunyai nilai penting itu.

Ternyata 85% asli, sehingga dikelompokkan menjadi bangunan tipe 1. Kalau

bangunan tipe 1 maka yang dapat dirubah hanya sebesar 20%. Bagian mana saja yang

dapat dirubah? Tetapi kalau eksisting ternyata sudah banyak yang berubah, maka yang

dapat diubah ya bisa banyak.65

Untuk permohonan Izin Mendirikan Bangunan perlu rekomendasi dari Dinas

Kebudayaan yang dibedakan menjadi 2:

“Khusus yang berada di jalur Imaginer dan sumbu filosofis, Panggung Krapyak,

Kraton, Tugu, sampai perbatasan Jetis rekomendasi dikeluarkan oleh Dinas

Kebudayaan Provinsi. Rekomendasi ini keluarnya bentuknya 1 haknya apa, kemudian

desainnya apa, mengikuti yang ada di 5 kawasan ini. Jadi kalau Kawasan Kotabaru

dan sekitar tugu ke timur ini adalah kawasan Indishe, menurut orang kebudayaan

disebut indishe klasik karakternya. Dinas perizinan tidak tahu menahu soal ini, maka

pemohon harus punya rekomendasi terlebih dahulu. Setelah rekomendasi dibuat, itu

dilampirkan sebagai dasar pembuatan gambar teknis yang akan diajukan dalam proses

Izin Mendirikan Bangunan. Hanya biasanya jika sudah ditetapkan sebagai Cagar

Budaya, tidak boleh diuthek-uthek atau diubah-ubah.”66

Sebagai contoh adalah bangunan di Rumah Sakit Bethesda, sekitar 3 bangunan

yang tidak boleh dibongkar ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya, termasuk Unit

Gawat Darurat Rumah Sakit, pada waktu dulu bangunan yang berada di bagian tengah

tidak boleh dibongkar, tetapi yang lainnya boleh dikembangkan, sehingga Dinas

Perizinan hanya mengikuti dari rekomendasi teknis. Hal ini menyebabkan Dinas

Perizinan sering dimarahi atau mendapat protes dari pemohon, karena Dinas Perizinan

yang menerima permohonan, kemudian Dinas Perizinan yang mengirimkan

rekomendasi ke Dinas Kebudayaan, dan jika Dinas Kebudayaan menolak memberi

rekomendasi maka Dinas Perizinan mendapat protes dari pemohon.

Dalam praktek ada beberapa alasan, diberikannya izin pengubahan/adaptasi

terhadap Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya, dalam hal:

a. Dinas Perizinan akan mengalami kebingungan jika ada intervensi dari Balai

Pelestarian Cagar Budaya, saat suatu benda tidak ditetapkan sebagai cagar

65Dian Laksmi Pratiwi, S.S.MArk. (Kabid Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan Budaya),

wawancara pribadi tanggal 8 April 2019. 66 Gatot Sudarmono, S.H., Op.Cit.

Page 28: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1075

budaya baik itu daftar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta maupun daftar di

Kota Yogyakarta, tetapi menurut Balai Pelestarian Cagar Budaya ini potensi

masuk sebagai cagar budaya. Di sisi lain Dinas Perizinan sudah mengeluarkan

Izin Mendirikan Bangunan, Contoh bangunannya adalah bangunan di daerah

Jalan Suroto.67

b. Dinas Pekerjaan Umum tidak memberi rekomendasi mengenai bentuk dan

desain fisik bangunan, karena yang seperti itu selama ini diberikan oleh Dinas

Kebudayaan. Dinas Pekerjaan Umum hanya memberikan rekomendasi

konstruksi dan teknis, misal kalau bentangnya sekian meter, maka tidak kuat

kalau memakai bahan seperti ini dengan ketebalan seperti ini, maka mesti

memerlukan isian di dalamnya dengan penambahan bahan apa, bukan soal

tampilan dan visual. Seperti bangunan di Kotabaru, maka mesti bentuk dan

desainnya tidak mungkin berubah, karena nanti kalau sampai berubah tidak

dapat dikerjakan sama sekali, artinya harus dihentikan, misalnya yang di Jalan

Suroto itu dihentikan karena tidak mengikuti desain yang seharusnya. Yang

dikerjakan selain misalnya bangunan di Jalan Suroto Kotabaru, juga ada

bangunan milik pemerintah, kami hanya bisa menghaluskan kembali yang sudah

mengelupas, dengan bahan dan komposisi mendekati bangunan aslinya. Untuk

bangunan yang cagar budaya yang diadaptasi atau diperbaiki tidak ada toleransi

bentuk, tetapi bahan disesuaikan dengan aslinya dengan kemungkinan

penambahan seperti tulangan di dalamnya.

c. Pengubahan Bangunan Cagar Budaya termasuk Warisan Cagar Budaya,

bahan/material bangunan dikonsultasikan dengan Dinas Kebudayaan, misal

kalau kulitnya sudah menjamur dan mengelupas rontok, apakah boleh kita cecek

dan diganti dengan material yang baru dengan tampilan seperti aslinya. Khusus

bangunan-bangunan di lingkungan kraton sudah ditentukan harus memakai

komposisi dan bahan seperti aslinya, seperti bligon, batu bata gepuk, gamping,

pasir dan sebagainya. Kita untuk komposisi menggunakan Burgelijke Ovenbare

Werken (BOW) tahun 1920 yang lama. Bata gepuk itu digunakan bata gepuk

yang dikerjakan secara manual.68

d. Faktor regulasi juga menjadi kendala di dalam kegiatan pemugaran. Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta meskipun mempunyai anggaran dana

keistimewaan yang di antaranya dipergunakan untuk pelestarian Cagar Budaya

termasuk Warisan Budaya, namun karena ada ketidakjelasan dalam aturannya

khususnya mengenai peruntukkan dana hibah. Ketentuan hibah itu tidak boleh

untuk perseorangan, namun harus instansi yang berbadan hukum, dan minimal 3

tahun sudah terdaftar di dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,

mempunyai akta Notaris saja tidak bisa menerima hibah. Akta Notaris harus

dilegalisir di Pengadilan Negeri. Persoalannya untuk bangunan cagar budaya

termasuk bangunan warisan budaya sebagian besar tidak berbadan hukum.

Wewenang pengaturan hibah ini ada di tangan Pemerintah.

e. Pertanggungjawaban keuangan dasarnya adalah peraturan Menteri keuangan,

sehingga jika ada penggunaan dana untuk pelestarian dapat merupakan

pelanggaran, meskipun hal tersebut diperbolehkan menurut Undang Undang

Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pelstarian cagar budaya belum ada harmonisasi dan

sinkronisasi. Dampaknya adalah bagi pemilik Bangunan Cagar Budaya yang

67 Ibid. 68 Ibid.

Page 29: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1076 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

semula pro pelestarian, menjadi kecewa karena hanya memperoleh keringan

pajak bumi dan bangunan sebsesar 25%.69 Ada pemilik Bangunan Cagar Budaya

yang setiap tahunnya harus membayar Pajak Bumi dan bangunan sebesar

Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), dikurangi 25%, sehingga masih

harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp.50.000.000,00 (lima

puluh juta rupiah) pertahunnya.70

IV. PEMBAHASAN

Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan

Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Pasal 7, ditentukan bahwa “Kewenangan

DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan

Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan

daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Kewenangan dalam urusan Keistimewaan meliputi:

a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan

Wakil Gubernur;

b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;

c. kebudayaan;

d. pertanahan; dan

e. tata ruang.

Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan didasarkan

pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Ketentuan lebih

lanjut mengenai kewenangan dalam urusan Keistimewaan diatur dengan

Perdais. Dalam Pasal 31 ditentukan bahwa: “Kewenangan kebudayaan

diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa,

karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat,

benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.

Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan kebudayaan diatur dalam

Perdais.

Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Daerah Istimewa

Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013

tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa

Yogyakarta, khususnya Pasal 34, dtentukan bahwa:

(1) Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan dalam urusan Kebudayaan.

(2) Kewenangan dalam urusan Kebudayaan diselenggarakan untuk memelihara

dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa dan karya yang berupa nilai-nilai,

pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang

mengakar dalam masyarakat DIY.

(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan dalam urusan kebudayaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan melalui kebijakan

pelindungan, pengembangan dan pemanfatan kebudayaan.

(4) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Kebudayaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah dapat berkoordinasi dengan Unit

Pelaksana Teknis (UPT) Pemerintah di bidang Kebudayaan, Kasultanan dan

69 Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Eko Suryo Maharsono, Loc.Cit. 70Ibid.

Page 30: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1077

Kadipaten, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa/Kelurahan, dan

masyarakat.

Berdasarkan konsideran menimbang Peraturan Daerah Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan

Cagar Budaya bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki entitas atau tata

pemerintahan berbasis kultural, sekaligus identitas lokal berupa nilai religi, nilai

spiritual, nilai filosofis, nilai estetika, nilai perjuangan, nilai kesejarahan, dan nilai

budaya yang menggambarkan segi keistimewaan Yogyakarta sehingga harus dijaga

kelestariannya; bahwa keberadaan Warisan Budaya dan Cagar Budaya di wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan kekayaan kultural yang mengandung nilai-

nilai kearifan budaya lokal yang penting sebagai dasar pembangunan kepribadian,

pembentukan jati diri, serta benteng ketahanan sosial budaya masyarakat Daerah

Istimewa Yogyakarta, sehingga upaya untuk menjaga kelestariannya menjadi

tanggung jawab bersama semua pihak.

Menurut hemat peneliti, berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor

11 Tahun 2010 bahwa Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat

dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang

berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Jika dikaitkan dengan Bangunan

Warisan Budaya Tjan Bian Thiong maka bangunan tersebut juga memiliki unsur

sebagai bangunan cagar budaya. Apabila mendasarkan pada Pasal 1 angka 1

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012

tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, terdapat pengertian warisan

budaya yaitu benda warisan budaya, bangunan warisan budaya, struktur warisan

budaya, situs warisan budaya, kawasan warisan budaya di darat dan atau di air

yang perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah,

ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan dan telah tercatat di

Daftar Warisan Budaya Daerah. Dengan demikian Bangunan Warisan Budaya Tjan

Bian Thiong jika mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya termasuk Bangunan yang diduga Cagar Budaya, yang tetap harus

dilindungi dan dilestarikan. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Daerah Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan

Budaya dan Cagar Budaya, Bangunan Tjan Bian Thiong termasuk Bangunan Warisan

Budaya. Dasarnya adalah penegasan dalam Surat Keputusan Walikota Yogyakarta

Nomor BWB 789/KEP/2009.

Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5, Bangunan Warisan Budaya Tjan

Bian Thiong tersebut memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya, yaitu berusia 50

(lima puluh) tahun atau lebih; mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima

puluh) tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

agama, dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian

bangsa.

Lebih lanjut Warisan Budaya dapat dilakukan pengembangan, sesuai dengan

ketentuan Pasal 45 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6

Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya, bahwa:

“(1) Pengembangan Warisan Budaya dan Cagar Budaya dilakukan berdasarkan

jenisnya.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk benda Warisan

Budaya atau Benda Cagar Budaya dilakukan dengan cara perbanyakan

Page 31: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1078 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

(3) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk bangunan

dan/atau struktur Warisan Budaya atau Cagar Budaya dilakukan dengan

cara adaptasi.

(4) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk situs dan/atau

kawasan Warisan Budaya atau situs dan/atau Kawasan Cagar Budaya

dilakukan dengan cara revitalisasi”.

Selanjutnya Pasal 46 berisi ketentuan bahwa

“(1) Pengembangan Warisan Budaya dan/atau Cagar Budaya yang berbentuk

bangunan atau struktur dilakukan dengan tetap mempertahankan:

a. ciri asli muka dan/atau fasad bangunan atau struktur; dan

b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah situs cagar budaya

atau Kawasan Cagar Budaya tempat bangunan atau struktur berada.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

berpedoman pada:

a. nilai-nilai penting yang melekat pada Warisan Budaya dan Cagar

Budaya;

b. penambahan fasilitas sarana dan prasarana secara terbatas sesuai dengan

kebutuhan;

c. pengubahan susunan ruang secara terbatas; dan

d. gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di

sekitarnya.

(3) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat

rekomendasi dari Dewan Warisan Budaya.

Apabila dibandingkan dengan ketentuan adaptasi pada Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, khususnya Pasal 83 maka Bangunan Cagar

Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi

kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan ciri asli dan/atau muka Bangunan

Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dan/atau ciri asli lanskap budaya dan/atau

permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan

adaptasi. Adaptasi tersebut dilakukan dengan mempertahankan nilai-nilai yang

melekat pada Cagar Budaya, menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan, mengubah

susunan ruang secara terbatas, dan/atau mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi

asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.”

Berdasarkan data yang diperoleh di lokasi penelitian ada berbagai perbedaan

pendapat tentang perizinan adaptasi terhadap bangunan cagar budaya termasuk

warisan cagar budaya. Ada narasumber yang mengatakan bahwa bukan menggunakan

istilah adaptasi, tetapi menggunakan istilah pemugaran. Pemugaran terhadap

Bangunan Warisan Budaya tidak melalui Izin Mendirikan Bangunan melainkan

melalui Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Izin tersebut meliputi izin pemugaran, izin adaptasi, izin pengembangan khususnya

revitalisasi dan pemanfaatan. Di sisi lain, izin secara teknis ada pada Dinas

Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Izin adaptasi melalui 2 jenis perizinan yaitu Izin Mendirikan Bangunan dan

pemugaran. Izin Mendirikan Bangunan melalui Dinas Penanaman Modal dan

Pelayanan Perizinan Kota Yogyakarta, dengan rekomendasi dari Dinas Kebudayaan

Kota, Dinas Kebudayaan Provinsi, dan Dinas Pekerjaan Umum. Dinas Kebudayaan

Kota dan Dinas Kebudayaan Provinsi mengkaji dari aspek desain dan arsitekturalnya,

sementara Dinas Pekerjaan Umum mengkaji dari aspek umum termasuk terkait dengan

bahan dan konstruksi. Izin pemugaran bangunan cagar budaya menjadi kewenangan

Page 32: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1079

Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pengajuan permohonan ke Dinas Perizinan Kota tidak membedakan antara bangunan

biasa dengan Bangunan Cagar Budaya maupun Bangunan Warisan Budaya. Untuk

Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya, Dalam pemberian Izin

Mendirikan Bangunan Dinas perizinan melibatkan Dinas kebudayaan Kota dan Dinas

Kebudayaan Provinsi untuk memberikan rekomendasi.

Menurut hemat penulis, narasumber masih ada yang belum memahami tentang

pengertian cagar budaya, kriterianya, serta jenis-jenisnya, sehingga berdasarkan data

yang diperoleh ada yang mengatakan adalah Bangunan Cagar Budaya adalah sebagai

Benda Cagar Budaya. Hal tersebut menjadi benar jika dasar hukumnya masih

menggunakan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Dengan demikian seyogyanya, ketika menyebutkan jenis cagar budaya, harus disertai

dengan dasara hukumnya.

Berdasarkan data yang diperoleh maka menurut hemat penulis, belum terdapat

satu kesatuan tentang perizinan terhadap adaptasi Bangunan Cagar Budaya. Hal itu

berdasarkan data yang diperoleh dari para narasumber dari berbagai instansi, mereka

masih berpijak pada perizinan mendirikan bangunan ataupun merubah bangunan

secara umum, sehingga terdapat kerancuan atau ketidakjelasan sistem operasional

prosedur terhadap adapatasi Bangunan Cagar Budaya, Bangunan Warisan Budaya dan

yang bukan cagar budaya. Selain itu sistem perizinan terlihat bahwa para pihak terkait

yang berwenang memberikan perizinan belum mengacu kepada kewenangan perizinan

terhadap adaptasi Bangunan Cagar Budaya dengan mendasarkan pada peringkat

Bangunan Cagar Budaya tersebut termasuk Bangunan Warisan Budaya. Berdasarkan

ketentuan Pasal 41-Pasal 49 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya, segala sesuatu yang berkaitan dengan perizinan khususnya adaptasi terhadap

Bangunan Cagar Budaya, pihak yang berwenang adalah, bupati/walikota, jika

peringkat cagara budaya tersebut merupakan peringkat kabupaten/kota, gubernur jika

peringkat cagara budaya tersebut merupakan peringkat provinsi, dan menteri jika

peringkat cagar budaya tersebut merupakan peringkat nasional. Dengan demikian,

maka masing-masing instansi yang memiliki kewenangan di bidang perizinan juga

harus menyesuaikan diri. Dalam hal ini perizinan berada pada instansi yang

berwenang memberikan perizinan, namun rekomendasi wajib diperoleh dari dinas

kebudayaan sesuai peringkat Bangunan Cagar Budaya. Khusus untuk Bangunan

Warisan Budaya yang tidak ada pemeringkatannya maka perizinan terhadap adaptasi

menjadi kewenangan Bupati/Walikota.

Berbagai pendapat juga rancu perihal kewenangan Balai Pelestarian Cagar

Budaya, khususnya Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Iistimewa

Yogyakarta, yang merupakan instasi pemerintah yang ditempatkan di daerah, sehingga

kewenangannya adalah memberikan rekomendasi jika Bangunan Cagar Budaya yang

akan diadaptasi merupakan peringkat nasional. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan

Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dikarenakan

tidak adanya kejelasan kewenangan, maka Balai Pelestarian Cagar Budaya menjadi

suatu badan yang ikut serta berwenang terhadap Bangunan Cagar Budaya peringkat

provinsi dan kota. Apabila mengacu kepada kewenangan tersebut maka Balai

Pelestarisan Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mempunyai

kewenangan dalam memberikan rekomendasi terhadap adaptasi bangunan Warisan

Budaya yang berada di Kota Yogyakarta. Dengan demikian terjadi kerancuan

menginterpretasikan dalam memberikan perlakuan terhadap cagar budaya dan warisan

Page 33: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1080 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

budaya serta dalam memberikan perizinan terhadap adaptasi, juga dalam memberikan

rekomendasi terhadap adaptasi.

Adaptasi warisan budaya berdasarkan peraturan perundang-undangan

berorientasi pada pelestarian. Sebagai pembanding pelestarian warisan budaya

termasuk pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang dikemukan

oleh Mari Kusbianto, bahwa pelestarian mencakup kegiatan inventarisasi, identifikasi,

dokumentasi, penelitian, revitalisasi, dan promosi. Selain kewajiban untuk

melestarikan pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk melindungi ekspresi

budaya tradisional dan langkah-langkahnya meliputi pengawasan, pembinaan, gugatan

perdata, pencabutan izin, atau penuntutan pidana.71 Menurut hemat penulis, tidak ada

perbedaan konsep pelestarian baik yang intangible maupun yang tangible dalam hal ini

warisan budaya yang berupa bangunan. Keduanya harus dilestarikan oleh pemerintah

dan masyarakat.

Berdasarkan data yang diperoleh, maka secara kuantitatif pada tahun 2016

sebanyak 59 bangunan yang dikaji untuk memperoleh penetapan bangunan cagar

budaya dari walikota, faktanya hanya 6 bangunan yang berhasil dikaji, dengan rincian

3 sudah ditetapkan dan yang 3 lain menunggu penetapan. Peneliti berpendapat bahwa

instansi yang berwenang di bidang pelestarian cagar budaya belum memahami

sepenuhnya dan belum memiliki komitmen sepenuhnya terhadap pelestarian cagar

budaya termasuk warisan budaya. Hal itu disebabkan dalam melakukan proses kajian

tergantung pada kemauan pemilik dan/atau yang menguasainya. Menurut peneliti,

argumentasi seperti itu tidak ada landasan hukumnya, bahkan justru bertentangan

dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya bahwa

setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau

menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya juncto Pasal 104 bahwa setiap orang

yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya

Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit

Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima

ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 114 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

ditentukan jika pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu

kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana

memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena

jabatannya terkait dengan Pelestarian Cagar Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3

(sepertiga).

Izin diberikan meskipun pengubahan bentuk bangunan bertentangan dengan hak

moral pencipta dan bertentangan dengan prinsip dasar pelestarian bangunan cagar

budaya yang sudah ditetapkan, termasuk bangunan warisan budaya. Pemugaran

terhadap Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya kadang kala

diperlukan adanya perubahan tertentu. Pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya

termasuk Bangunan Warisan Budaya di Kota Yogyakarta mendasarkan Pada Peraturan

Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang

Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya dan Peraturan Gubernur Daerah

Istimewa Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya.

Menurut ketentuan Pasal 23 Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor

71 Mari Kusbiyanto, Upaya Mencegah Hilangnya Wayang Kulit Sebagai Ekspresi Budaya

Warisan Budaya Bangsa, “Jurnal Hukum Dan Pembangunan”, Vol.45, No.4, Tahun 2015, hal. 603.

Page 34: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1081

62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya, pemugaran Bangunan Cagar

Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan oleh pemilik dan/atau yang

menguasai setelah mendapatkan izin pemugaran. Izin pemugaran tersebut diberikan

oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan

kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Warisan Budaya. Untuk

itu peran rekomendasi Dewan Warisan Budaya dalam izin tersebut sangat penting.

Dalam memberikan rekomendasi, Dewan Warisan Budaya memberikan toleransi

terhadap perubahan desain arsitektural yang diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan

Budaya dan Cagar Budaya. Dalam hal ini kondisi eksisting menjadi hal yang

dipertimbangkan. Sebelum dilakukan pemugaran mesti ada studi kelayakan dan studi

teknis. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana perubahan tersebut

dapat dan boleh dilakukan. Dengan cara apa, metodenya apa, dan seberapa jauh

perubahannya. Dalam Pasal 40 ayat (3) sampai dengan ayat (6) dari Peraturan Daerah

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian

Warisan Budaya dan Cagar Budaya ditentukan mengenai penggolongan Bangunan dan

Struktur Cagar Budaya menjadi golongan I adalah bangunan dan struktur yang dipugar

dengan sangat ketat dan sangat terbatas yang memiliki tingkat keaslian paling

sedikit 80 % (delapan puluh persen), golongan II adalah bangunan dan struktur yang

dipugar dengan ketat dan dimungkinkan perubahan tata ruang terbatas yang memiliki

tingkat keaslian paling sedikit 50 % (lima puluh persen), dan golongan III adalah

bangunan dan struktur yang dipugar dengan cukup ketat dan dimungkinkan

perubahan elemen bangunan dan tata ruang memiliki tingkat keaslian paling banyak

50 % (lima puluh persen).

Untuk mempertahankan seratus persen atau ada tidaknya perubahan, Dinas

Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dewan Warisan Budaya

menggunakan acuan tersebut, tetapi ini juga tergantung kondisi eksisting. Kalau

kondisi eksisting sudah banyak yang berubah, maka boleh untuk ada perubahan, tetapi

kalau masih sangat utuh dan baik akan bertahan di pelestarian. Yang biasanya sebagai

pegangan tidak boleh diubah adalah fasad (muka) bangunan. Untuk kriteria itu ada

kaitannya dengan tolak ukur tertentu yang sudah ada di format rekomendasi.

Sepanjang Dewan Warisan Budaya telah memberikan rekomendasi, maka Instansi

yang berwenang memberikan izin akan mengeluarkan izin yang dimohon untuk

kegiatan pemugaran tersebut.

Dari sekian banyak Bangunan Cagar Budaya dan Bangunan Warisan Budaya

yang ada di kota Yogyakarta, berdasarkan data yang diperoleh terdapat adaptasi

bahkan merubah total karya arsitektur dari perancang Bangunan Cagar Budaya dan

Bangunan Warisan Budaya dengan cara merobohkan bangunan asli. Hal itu

menunjukkan bahwa begitu mudahnya perizinan yang diberikan oleh instansi terkait,

untuk membuat bangunan baru dengan cara merobohkan atau memusnahkan, atau

merusak, atau menghilangkan desain asli dari si arsitek. Apabila dikaji lebih jauh,

maka menunjukkan bahwa belum terdapat satu kesatuan sistem serta sistem

operasional prosedurnya. Selain itu para pihak juga instansi yang terkait

menginterpretasikan persoalan perizinan masih berbeda-beda dalam memberikan

penafsiran terkait toleransi perubahannya. Hal tersebut tidak lepas dari ketentuan Pasal

40 Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian

Warisan Budaya dan Cagar Budaya.

Page 35: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1082 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung ditentukan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi

persyaratan administratif yang meliputi:

a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

b. status kepemilikan bangunan gedung; dan

c. izin mendirikan bangunan gedung;

Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan

pendataan bangunan gedung tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 ditentukan

bahwa setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki izin

mendirikan bangunan gedung. Izin mendirikan bangunan gedung diberikan oleh

pemerintah daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, tidak

melalui proses permohonan izin mendirikan bangunan gedung. Pemerintah daerah

wajib memberikan surat keterangan rencana kabupaten/kota untuk lokasi yang

bersangkutan kepada setiap orang yang akan mengajukan permohonan izin mendirikan

bangunan gedung. Surat keterangan rencana kabupaten/kota merupakan ketentuan

yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:

a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;

b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;

c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB

yang diizinkan;

d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan;

b. KDB maksimum yang diizinkan;

c. KLB maksimum yang diizinkan;

d. KDH minimum yang diwajibkan;

e. KTB maksimum yang diizinkan; dan

f. jaringan utilitas kota.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga diatur bahwa setiap orang dalam

mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan Gedung wajib melengkapi

dengan:

a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian

pemanfaatan tanah;

b. data pemilik bangunan gedung;

c. rencana teknis bangunan gedung; dan

d. hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang

menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

Untuk proses pemberian perizinan bagi bangunan gedung yang menimbulkan

dampak penting terhadap lingkungan, harus mendapat pertimbangan teknis dari tim

ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik.

Kewenangan untuk pemberian izin tersebut sesuai dengan lampiran Huruf C dari

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengenai

Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang

angka 7 tentang bangunan gedung. Dalam lampiran tersebut ditentukan bahwa

Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan penetapan bangunan

gedung untuk kepentingan strategis nasional dan penyelenggaraan bangunan gedung

untuk kepentingan strategis nasional dan penyelenggaraan bangunan gedung fungsi

khusus. Pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk penetapan bangunan

Page 36: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1083

gedung untuk kepentingan strategis daerah provinsi dan penyelenggaraan bangunan

gedung untuk kepentingan strategis daerah provinsi. Pemerintah Kabupaten/kota

memiliki kewenangan untuk penyelenggaraan bangunan gedung di wilayah

kabupaten/kota, termasuk pemberian izin mendirikan bangunan dan penerbitan

sertifikat laik fungsi bangunan gedung. Dari ketentuan ini maka kewenangan untuk

menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan ada pada pemerintah Kabupaten/Kota.

Sebagaimana berlaku pada Kabupaten/Kota, kegiatan pembangunan, renovasi,

maupun pembongkaran bangunan di wilayah Kota Yogyakarta juga wajib dilakukan

dengan mendasarkan pada perizinan tertentu. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan

Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung. Dalam

Pasal 1 angka 18 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tersebut

ditentukan bahwa Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat IMB

adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan

gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau

merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan

teknis yang berlaku.

Selain Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012, perizinan untuk

kegiatan pendirian bangunan di kota Yogyakarta juga didasarkan pada Peraturan

Daerah Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu.

Dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tersebut ditentukan:

“Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan

yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemohon untuk membangun baru,

rehabilitasi/renovasi, dan/atau memugar dalam rangka melestarikan bangunan sesuai

dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.” Berdasarkan

rumusan Pasal 1 angka 18 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012

dan Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tersebut

terlihat bahwa Izin Mendirikan Bangunan bukan hanya diperuntukkan bagi kegiatan

mendirikan bangunan baru, tetapi juga dalam rangka rehabilitasi/renovasi dan/atau

pemugaran dalam rangka melestarikan bangunan.

Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Bangunan Gedung, ditentukan bahwa: “Setiap orang atau Badan yang akan

membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan merawat bangunan

gedung wajib terlebih dahulu memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari

Walikota atau pejabat yang ditunjuk. IMB ditetapkan oleh Walikota atau Pejabat yang

ditunjuk. “untuk memperoleh IMB tersebut pemohon harus memenuhi persyaratan

tertentu. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis.

Persyaratan administrasi tersebut terdiri atas:

a. Formulir permohonan IMB yang diisi lengkap dan mencantumkan tanda

tangan pemohon,

b. diketahui oleh tetangga, Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Lurah dan

Camat;

c. Fotocopy KTP pemohon dan atau pemilik bangunan yang masih berlaku;

d. Fotocopy sertifikat hak atas tanah atau surat bukti kepemilikan tanah lainnya

yang sah.

e. Surat pernyataan bermaterai cukup bahwa tanah yang dimohonkan tidak dalam

sengketa

f. yang ditandatangani oleh pemohon, pemilik tanah dan calon pemilik bangunan.

Persyaratan teknis terdiri atas:

a. Advice planning;

Page 37: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1084 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

b. Gambar rencana arsitektur atau teknis meliputi:

1) Gambar Tapak Bangunan (site plan) yang meliputi: letak bangunan,

akses jalan, parkir,

2) Penghijauan/RTH dan lain-lain;

3) Denah, Tampak Depan dan Tampak Samping;

4) Rencana Pondasi;

5) Rencana Atap;

6) Gambar Potongan;

7) Gambar Instalasi dan sanitasi;

8) Gambar Struktur meliputi gambar pondasi, kolom, balok, tangga, Plat

lantai, rangka atap

9) Baja;

10) Tanda tangan penanggung jawab gambar;

11) letak sistem deteksi dan proteksi kebakaran yang disahkan oleh instansi

teknis;

12) Kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana.

c. Terhadap bangunan yang ketinggiannya melebihi ketentuan dalam dokumen

Perencanaan Kota pada kawasan intensitas tinggi harus mendapatkan

rekomendasi ketinggian bangunan;

d. Terhadap bangunan cagar budaya, bangunan yang berada di kawasan cagar

budaya dan bangunan yang berada pada garis sempadan sungai memerlukan

rekomendasi/surat keterangan dari instansi teknis yang berwenang.

e. Kajian Lingkungan Hidup sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

f. Terhadap permohonan IMB menara telekomunikasi harus dilengkapi:

1) Berita Acara hasil sosialisasi dan daftar hadir dari warga sekurang-kurangnya

dalam radius satu setengah tinggi menara dan diketahui Lurah dan Camat

setempat.

2) asuransi keselamatan bagi warga sekitar dalam radius tersebut.

Untuk bangunan gedung lebih dari 2 (dua) lantai, bangunan 2 (dua) lantai yang

menggunakan bentang struktur lebih dari 6 (enam) meter, bangunan basement juga

dilengkapi dengan:

a. Perhitungan struktur meliputi : perhitungan pondasi, kolom, balok, tangga,

Plat lantai, rangka

b. baja, dan rangka atap baja kecuali baja ringan;

c. Hasil penyelidikan tanah,

d. Tanda tangan penanggung jawab penghitungan struktur.

Syarat teknis bangunan gedung direncanakan dan dilaksanakan oleh orang atau

badan yang mempunyai kualifikasi di bidangnya. Advice planning diperoleh dari

SKPD yang berwenang menerbitkan IMB. Advice planning merupakan ketentuan yang

digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan, paling sedikit memuat:

a. Fungsi bangunan;

b. Ketinggian maksimum bangunan;

c. Garis sempadan bangunan;

d. Koefisien dasar bangunan;

e. Koefisien lantai bangunan; dan

f. Ruang terbuka hijau.

Advice planning dapat juga memuat ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk

lokasi rencana kegiatan.

Page 38: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1085

Dari persyaratan tersebut dapat diketahui bahwa terhadap Bangunan Cagar

Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya yang berada di Kawasan Cagar Budaya

dan bangunan yang berada pada garis sempadan sungai memerlukan

rekomendasi/surat keterangan dari instansi teknis yang berwenang. Instansi yang

berwenang tersebut untuk bangunan cagar budaya peringkat nasional memerlukan

rekomendasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya, untuk bangunan cagar budaya

provinsi harus mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, dan untuk cagar budaya peringkat kota mendapatkan

rekomendasi dari Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Rekomendasi untuk Bangunan

Warisan Budaya diperoleh dari Dewan Warisan Budaya tersebut menyangkut

mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pelestarian bangunan cagar budaya

termasuk bangunan warisan budaya, seperti mengenai desain arsitekturalnya, bentuk

bangunannya, langgam/gaya bangunannya, fungsi bangunan dan sebagainya. Selain

dari Dinas Kebudayaan juga diperlukan rekomendasi dari Dinas Pekerjaan Umum,

Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang memberikan rekomendasi mengenai

sempadan, koefisien luas bangunan, koefisien ruang terbuka hijau, konstruksi, bahan,

dan sebagainya. Hal tersebut berlaku bukan hanya untuk bangunan cagar budaya,

melainkan berlaku juga untuk bangunan yang diduga cagar budaya, termasuk

bangunan warisan budaya serta bangunan lainnya yang dimintakan Izin Mendirikan

Bangunan. Bahkan bukan hanya itu tetapi termasuk juga untuk bangunan yang

didirikan di kawasan cagar budaya. Perlu diketahui bahwa yang namanya kawasan

cagar budaya dibagi ke dalam cluster-cluster melalui sistem zonasi. Seperti misalnya

kawasan cagar budaya Malioboro, di dalamnya ada zona inti yang telah ditentukan

dengan bentangan 60M dari as jalan Malioboro. Di luar zona inti terdapat zona

penyangga yang ditentukan untuk ke timur sampai sungai Code, dan ke barat sampai

sungai Winongo. Terhadap pendirian bangunan di Kawasan Cagar Budaya baik

pendirian bangunan baru maupun renovasi atau pemugaran bangunan lama mesti

mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi yang berwenang dan mendapat

rekomendasi dari Dinas Kebudayaan.

Secara umum terdapat perbedaan kewenangan dari masing-masing Instansi.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2016 tentang

Pembentukan Dan Susunan Perangkat Daerah Kota Yogyakarta, Dinas Penanaman

Modal dan Perizinan Tipe A yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang

penanaman modal dan pelayanan perizinan terpadu satu pintu. Dinas Kebudayaan Tipe

A yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kebudayaan. Peraturan Daerah

tersebut mencabut Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pembentukan, Susunan, Kedudukan Dan Tugas Pokok Dinas Daerah.

Dalam Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun

2015 tentang Kelembagaan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta

ditentukan bahwa Dinas Kebudayaan mempunyai tugas melaksanakan urusan

Pemerintah Daerah di bidang kebudayaan, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang

diberikan oleh Pemerintah dalam melindungi, memelihara, mengembangkan, dan

memanfaatkan kebudayaan Yogyakarta untuk memperkuat karakter dan identitas

sebagai jatidiri masyarakat DIY. Untuk melaksanakan tugas tersebut Dinas

Kebudayaan mempunyai fungsi:

a. penyusunan program kerja;

b. perumusan kebijakan teknis urusan kebudayaan;

c. pelindungan, pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya

penanda keistimewaan Yogyakarta;

Page 39: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1086 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

d. pelindungan, pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan sistem budaya

sesuai filsafat Kasultanan dan Kadipaten maupun di luar Kasultanan dan

Kadipaten;

e. pelindungan, pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan sistem sosial

yang hidup di masyarakat DIY;

f. pengembangan, pengelolaan adat dan tradisi, bahasa dan sastra, perfilman,

kesenian, permuseuman, sejarah, dan kepurbakalaan, dan rekayasa budaya;

g. pemberian fasilitasi penyelenggaraan urusan kebudayaan Kabupaten/Kota;

h. pemberdayaan sumberdaya dan mitra kerja urusan kebudayaan;

i. pelaksanaan kegiatan ketatausahaan;

j. penyusunan laporan pelaksanaan tugas Dinas; dan

k. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan

fungsinya.

Sejalan dengan fungsi Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

sebagaimana diatur dalam huruf f, maka Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta mempunyai peran yang penting dalam pelestarian Cagar Budaya. Dalam

tugas pemugaran dan pelestarian Cagar Budaya termasuk Warisan Budaya, Dinas

Kebudayaan tersebut mempunyai DP2WB dan Tim Ahli Cagar Budaya yang

memberikan rekomendasi terhadap perizinan yang ada. Posisi dari Dinas Kebudayaan

Provinsi adalah sebagai institusi yang memberikan pendapat hukum/rekomendasi

dalam rangka pemugaran dan pelestarian Cagar Budaya termasuk Warisan Budaya.

Menurut hemat penulis, peran dari lembaga yang memberikan rekomendasi

mempunyai arti yang penting untuk pelestarian cagar budaya termasuk warisan

budaya. Legalitas mereka tidak terlepas dari nomenklatur sesuai dasar hukum yang

melandasinya. Hal ini ditunjukkan berdasarkan data yang diperoleh nomenklatur dari

lembaga yang terkait adalah Dewan Warisan Budaya, namun dari data yang diperoleh

lembaga yang terkait disebut Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya

(DP2WB).

Selain Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kota Yogyakarta,

Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, dan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, ada juga Balai Pelestarian Cagar Budaya yang mempunyai

kewenangan di bidang Pelestarian Cagar Budaya. Menurut Peraturan Menteri

Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 52 Tahun 2012 tentang Organisasi Dan Tata

Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya, Balai Pelestarian Cagar Budaya mempunyai

tugas melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan serta fasilitasi

pelestarian cagar budaya di wilayah kerjanya. Balai Pelestarian Cagar Budaya

menyelenggarakan fungsi:

a. pelaksanaan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya;

b. pelaksanaan zonasi cagar budaya;

c. pelaksanaan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya;

d. pelaksanaan pengembangan cagar budaya;

e. pelaksanaan pemanfaatan cagar budaya;

f. pelaksanaan dokumentasi dan publikasi cagar budaya;

g. pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya;

h. fasilitasi pelaksanaan pelestarian dan pengembangan tenaga teknis di bidang

pelestarian cagar budaya; dan

i. pelaksanaan urusan ketatausahaan BPCB.

Di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2013 tentang Rincian Tugas Balai Pelestarian Cagar Budaya

Page 40: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1087

ditentukan bahwa rincian Tugas Balai Pelestarian Cagar Budaya adalah sebagai

berikut.

a. melaksanakan penyusunan program kerja Balai;

b. melaksanakan kajian pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar

budaya;

c. melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya;

d. melaksanakan zonasi cagar budaya;

e. melaksanakan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya;

f. melaksanakan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya;

g. melaksanakan adaptasi dan revitalisasi pengembangan cagar budaya;

h. melaksanakan pelayanan perijinan dan pengendalian pemanfaatan cagar

budaya;

i. melaksanakan dokumentasi dan publikasi cagar budaya;

j. melaksanakan sosialisasi pelestarian cagar budaya;

k. melaksanakan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya;

l. melaksanakan pemberian bantuan teknis pelaksanaan pelestarian cagar

budaya;

m. melaksanakan pemberian bantuan teknis pengembangan tenaga teknis di

bidang pelestarian cagar budaya;

n. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program pelestarian

cagar budaya;

o. melaksanakan penyajian koleksi cagar budaya;

p. melaksanakan urusan perencanaan, keuangan, kepegawaian, ketatalaksanaan,

persuratan dan kearsipan, barang milik negara, dan kerumahtanggaan Balai;

q. melaksanakan pengelolaan perpustakaan Balai;

r. melaksanakan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen Balai; dan

s. melaksanakan penyusunan laporan Balai.

Tugas dan wewenang Balai Pelestarian Cagar Budaya banyak dan semuanya

berkaitan dengan Cagar Budaya. Pelaksanaan di lapangan kadang kala terjadi

perbedaan pemahaman mengenai kewenangan Balai Pelestarian Cagar Budaya ini.

Instansi pemerintah daerah memahami bahwa Balai Pelestarian Cagar Budaya

merupakan instansi Pemerintah (pusat) yang mempunyai kewenangan terhadap

penanganan Cagar Budaya peringkat nasional. Pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya

mempunyai pemahaman yang berbeda. Mereka berpandangan mempunyai

kewenangan yang menyangkut Cagar Budaya tidak hanya terbatas peringkat nasional,

namun juga peringkat provinsi maupun kabupaten/kota, bahkan termasuk yang diduga

sebagai Cagar Budaya, demikian juga terhadap warisan budaya. Fenomena seperti itu

dapat menimbulkan persoalan sendiri mengenai batas kewenangan yang berdampak

pada persoalan praktis. Beberapa kasus yang terjadi misalnya instansi pemerintah

daerah telah mengeluarkan izin sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan yang

berlaku, tetapi kemudian ada pendapat dan tindakan dari Balai Pelestarian Cagar

Budaya, sehingga izin tersebut tidak dapat digunakan dan kegiatan yang diizinkan

tidak jadi dilaksanakan. Masyarakat tentu melihat ini sebagai persoalan yang serius.

Kewenangan dari satu instansi mestinya harus jelas batasnya dan penggunaannya.

Ketika hal itu berkaitan dengan kewenangan dari instansi lain, maka tentu

keterkaitannya juga harus jelas. Demikian pula penyelesaian kalau terjadi perbedaan

penafsiran ketentuan oleh instansi yang berbeda-beda, mestinya ada kejelasan

mengenai penyelesaiannya. Instansi yang mengeluarkan izin tentu tidak dapat

dipangkas begitu saja produknya dengan intervensi dari instansi lain. Semua sudah ada

Page 41: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1088 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

perannya sendiri-sendiri misalnya melalui rekomendasi, melalui rapat koordinasi, atau

melalui pengesahan.

Keberesan di bidang pemberian bermacam-rnacam izin (vergunning, permit),

lisensi (licentie, licence) dan konsesi (concessie, concession, grant, charter, claim,

franchise) ini merupakan batu ujian terberat bagi suatu governance publik yang baik

di negara mana pun. Bagi Indonesia golongan keputusan administratif ini merupakan

sumber Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang terbesar, dan oleh karena itu harus

dicarikan jalan keluar yang baik, suatu solusi saling menguntungkan bagi semua

pihak, dengan belajar dari negara-negara lain yang sudah terkenal bersih dari Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme.72

Menurut Prajudi Atmosudirdjo itulah salah satu sebabnya di Indonesia di zaman

sebelum tahun 1942 pada umumnya hanya pejabat-pejabat bangsa Belanda yang diberi

wewenang menerbitkan izin penting, lisensi dan konsesi, oleh karena bagaimana pun

pemberian izin itu mengandung aspek strategi pemerintahan dan politik ekonomi.

Ekonomi negara bisa hancur dari banyaknya Korupsi Kolusi Nepotisme dan

pemberian izin yang tidak terkendali dengan baik.

Dalam bidang Hukum Administrasi, uraian tersebut erat kaitannya dengan soal

kewenangan. Kewenangan seringkali disamakan dengan wewenang. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang

diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan,

memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.73

H. D Stout sebagaimana dikutip Ridwan HR berpendapat bahwa wewenang

adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat

dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik dalam

hubungan hukum publik.74 Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip Nurmayani,

wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya

menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus berarti hak

dan kewajiban.75

Secara normatif dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasai Pemerintahan ditentukan bahwa wewenang adalah hak yang

dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya

untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah ditentukan bahwa Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut

Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau

penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.

Izin Mendirikan Bangunan merupakan sebuah keputusan pemerintah (Keputusan

Tata Usaha Negara). Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

ditentukan bahwa :

“Pasal 52 :

(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:

a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;

72 Rukiah Handoko, Prinsip-prinsip Hukum Governance Publik Yang Baik,

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1334, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 73 https://kbbi.web.id/wenang 74 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 71. 75 Nurmayani S.H.,M.H., Hukum Administrasi Daerah, (Bandarlampung, Universitas Lampung,

2009), hal. 26.

Page 42: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1089

b. dibuat sesuai prosedur; dan

c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada

ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.”

Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui bahwa syarat yang pertama dari

keabsahan sebuah keputusan pemerintah adalah soal kewenangan. Oleh karena itu

organ pemerintah yang dapat mengeluarkan izin adalah organ pemerintah yang

memang mempunyai kewenangan untuk itu. Posisi Dinas Penanaman Modal dan

Pelayanan Perizinan Kota Yogyakarta adalah sebagai instansi yang menerbitkan izin.

Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, dan Balai Pelestarian Ccagar Budaya mempunyai posisi sebagai institusi

yang memberikan rekomendasi. Demikian pula dengan Dinas Pekerjaan Umum,

Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta, dalam soal penerbitan Izin

Mendirikan Bangunan juga posisinya sebagai pemberi rekomendasi. Peran mereka

tentu lebih mengarah kepada pemenuhan prosedur penerbitan izin. Sebagaimana

ditentukan dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Bangunan Gedung itu mempersyaratkan adanya rekomendasi dari beberaa instansi

tersebut. Dari sisi Izin Mendirikan Bangunan posisi mereka itu sebagai pemberi

rekomendasi (pendapat hukum).

Prosedur Penerbitan IMB

Pada Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta76

Masyarakat yang akan melakukan pemugaran Bangunan Cagar Budaya

termasuk Bangunan Warisan Budaya, kepadanya juga diwajibkan untuk mengurus

izinya terlebih dahulu. Izin pemugaran tersebut diatur dalam Pasal 65 Peraturan

Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian

Warisan Budaya dan Cagar Budaya yang menentukan sebagai berikut. Setiap orang

yang melakukan pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan struktur Cagar Budaya

wajib memperoleh izin Pemerintah Daerah atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai

dengan kewenangannya. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan

76 Diolah dari beberapa sumber.

Pemohon

Dinas Penanaman

Modal dan Perizinan

Rekomendasi

Dinas kebudayaan

Rekomendasi Dinas Pekerjaan Umum

Berkas permohonan

sesuai persyaratan

Rekomendasi

Organisasi Perangkat Daerah terkait

Surat

Keputusan Retribusi

Daerah

Pembayaran Rettribusi

Keputusan IMB

Page 43: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1090 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelestarian

Warisan Budaya dan Cagar Budaya.

Dalam Pasal 23 Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 62

Tahun 2013 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya ditentukan bahwa

pemugaran Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan

oleh pemilik dan/atau yang menguasai setelah mendapatkan izin pemugaran. Izin

pemugaran diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/

Kota sesuai dengan kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Dewan

Warisan Budaya. Izin pemugaran disesuaikan dengan peringkat Bangunan Cagar

Budaya atau Struktur Cagar Budaya:

a. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya peringkat

Dunia atau Nasional harus mendapatkan izin Menteri;

b. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya peringkat

Provinsi harus mendapatkan izin Gubernur;

c. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya peringkat

Kabupaten/ Kota harus mendapatkan izin Bupati/Walikota.

Pemberian izin pemugaran didasarkan pada hasil studi kelayakan yang

dilakukan oleh pemrakarsa. Berdasarkan hasil studi kelayakan tersebut harus

merekomendasikan tindakan pemugaran berupa rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi,

atau restorasi. Pelaksana pemugaran wajib melaporkan secara berkala perkembangan

proses pemugaran kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan.

Berdasarkan ketentuan tersebut untuk pemugaran Bangunan Cagar Budaya

peringkat Provinsi harus mendapatkan izin dari Gubernur. Dalam hal ini dilakukan

oleh Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Untuk pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya peringkat Kabupaten/Kota, harus

mendapatkan izin pemugaran dari Bupati/Walikota oleh Dinas Penanaman Modal dan

Perizinan Kabupaten/Kota bersangkutan.

Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sudah ditetapkan adanya 6 Kawasan

Cagar Budaya oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Keenam kawasan itu

meliputi Kawasan Cagar Budaya Kraton, Kawasan Cagar Budaya Pakualaman,

Kawasan Cagar Budaya Kotabaru, Kawasan Cagar Budaya Kotagede, Kawasan Cagar

Budaya Malioboro dan Kawasan Cagar Budaya Imogiri. Berdasarkan kajian, ternyata

Kawasan Cagar Budaya Kraton dan Kawasan Cagar Budaya Malioboro merupakan

satu kesatuan, oleh karena itu ditetapkan menjadi satu kesatuan Kawasan Cagar

Budaya dan menyebabkan berkurangnya jumlah Kawasan Cagar Budaya di Daerah

Istimewa Yogyakarta menjadi 5 kawasan. Pemugaran bangunan di 5 Kawasan Cagar

Budaya tersebut dilakukan dengan menggunakan izin pemugaran dari Gubernur

Daerah Istimewa Yogyakarta karena masuk peringkat Provinsi.

Sehubungan dengan definisi Cagar Budaya sebagaimana diatur dalam Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Cagar Budaya

melalui proses penetapan, bukan melalui penetapan. Dengan demikian apabila

mendasarkan pada ketentuan tersebut dalam hal ini perlakuan terhadap Cagar Budaya

sama dengan perlakuan terhadap yang diduga Cagar Budaya, termasuk Warisan

Budaya.

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disimpulkan:

Page 44: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1091

1. Perizinan terhadap adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong

Pajeksan yang Sudah Ditetapkan di Kota Yogyakarta, bukan merupakan izin

untuk melakukan adaptasi namun mengajukan Izin Mendirikan Bangunan untuk

mendirikan bangunan baru yang berupa hotel. Dalam peraturan perundang-

undangan sudah terdapat sinkronisasi maupun harmonisasi untuk melestarikan

Bangunan Warisan Budaya, namun dalam praktek belum dipergunakan

sepenuhnya sebagai dasar hukum oleh berbagai pihak terkait. Hal itu disebabkan

adanya interpretasi yang berbeda-beda perihal kewenangan, rekomendasi, dan

koordinasi.

2. Izin diberikan meskipun adaptasi bangunan bertentangan dengan prinsip dasar

pelestarian Bangunan Warisan Budaya yang sudah ditetapkan, karena Izin

Mendirikan Bangunan yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan

Perizinan Kota Yogyakarta sudah dilengkapi rekomendasi Dinas Kebudayaan

Kota Yogyakarta yang memperkenankan dilakukannya pembangunan hotel,

meskipun tidak disertai dengan izin rekonstruksi maupun proses rekomendasi

dari Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta.

5.2. Saran

1. Seyogyanya berbagai instansi pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan

pelestarian Cagar Budaya duduk bersama menyamakan persepsi berdasarkan

peraturan perundang-undangan terkait.

2. Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta maupun Dinas Kebudayaan Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta selalu melakukan pembaruan daftar Cagar Budaya

maupun Warisan Budaya dan diberikan kepada berbagai instansi yang terkait

dalam memberikan perizinan khususnya adaptasi.

Seyogyanya berbagai pihak baik pemerintah daerah maupun masyarakat

mempunyai komitmen yang tinggi untuk melestarikan Warisan Budaya maupun Cagar

Budaya agar tidak kehilangan jati diri bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

A.L Kroeber dan C Kluckhohn, Culture, A Critical Review of Concepts and

Definitions, Cambridge, 1952.

A’ang Pambudi Nugroho, dkk., Perusakan Bangunan Cagar Budaya Dan Warisan

Budaya Di Kota Yogyakarta: Kasus Rumah Tinggal Tjan Bian Thiong Di Jalan

Pajeksan, Makalah, Program Studi Arkeologi Pascasarjana, Fakultas Budaya,

Universitas Gajah Mada, 2018.

Agus Budi Wibowo, Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis

Masyarakat Kasus Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Gampong Pande

Kecamatan Kutaraja Banda Aceh Provinsi Aceh, Jurnal Konservasi Cagar

Budaya Borobudur, Vol.8, No.1, Juni 2014,

Anonim, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah

dan Purbakala, 2011.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala,

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Cagar Budaya, 2009.

Page 45: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1092 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi

kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Endang Sumiarni dan Veronica Handayani, Penilaian Cagar Budaya sebagai Aset

Negara, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.

Endang Sumiarni dan Y. Sri Pudyatmoko, Arti Penting Kawasan Cagar Budaya Bagi

Jati Diri Bangsa Menurut Pertimbangan Hakim, Studi Kasus Putusan Pengadilan

Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 29/6/2014/PTUN.JKT, Yogyakarta, Laporan

Penelitian Internal Kelompok Monodisiplin, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,

2015.

Endang Sumiarni, Struktur dan Isi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya, Disampaikan dalam Sosialisasi Bagi Para Jaksa, yang

diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Jawa

Tengah, di Surakarta, pada hari Kamis, tanggal 31 Maret 2016.

Enny Sukasih. “Penanganan Hukum Kasus Perusakan Bangunan Cagar Budaya dan

Warisan Budaya di Kota Yogyakarta”, Tesis, Yogyakarta: Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2016.

Fajar Winarni, Aspek Hukum Peran serta Masyarakat dalam Pelestarian Cagar

Budaya, Mimbar Hukum, Vol.30. No.1. Februari 2018, hlm. 94-109.

F.Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, Yogyakarta: CV.Ganda, 2007.

H. Frunken, InLeiden tot de rechtswetenschap, 2 druk, Arnhem: Gouda Quint, 1983.

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (General Theory of Law and

State), Terjemahan Raisul Muttaqien disunting Nurainun Mangunsong,

SH.M.Hum, Ujung Berung-Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa,

2006.

Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu

Media Publishing, 2006.

J. Gijssels dan van Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?, Zwolle: Tjeenk Willink,

1982.

Junus Satrio Atmodjo, Pemeringkatan Cagar Budaya, Prinsip, Metode, dan

Manfaatnya, Makalah Lepas, tanpa tahun.

Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, Undang Undang Republik Indonesia Nomor

11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Jakarta, Direktorat Pelestarian Cagar

Budaya dan Permuseuman, 2010.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1979.

Kupisz, Monika Murzyn & Jaroslaw Dzialek, Cultural Heritage in Building and

Enhancing Social Capital, Journal of Cultural Heritage Management and

Sustainable Development, Vol.3 Issue: i, hlm.35-54.

https://doi.org/10.1108/20441261311317392.

Logan, William, Heritage Rights Avoidance and Reinforcement, Heritage & Society

Journal, Vol.7 No.2. November, 2014. hlm.156-169.

Mari Kusbiyanto, Upaya Mencegah Hilangnya Wayang Kulit Sebagai Ekspresi

Budaya Warisan Budaya Bangsa, Jurnal Hukum Dan Pembangunan,

Vol.45.No.4 Tahun 2015, hlm.589-606.

M.M.Djojodigoeno, Azas-Azas Sosiologi, Jogjakarta: Jajasan Badan Penerbit Gadjah

Mada, 1965.

Marzuki Piter Mahmud, Penelitian Hukum, Yuridika Vol 16 Nomor 1 Mar-Apr 2001,

FH Unair.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, 2005.

Max Weber, On Law in Economy and Society, New York, A Clarion Book, 1954.

Page 46: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1093

Moh Nazir Ph.D, Metode Penelitian, Jakarta: PT.Ghalia Indonesia, 2003.

Mr.N.M.Spelt dan Prof.Mr.J.B.J.M ten Berge, disunting Philipus M Hadjon, SH.

Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: Penerbit Yuridika, 1993.

Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, Bandarlampung: Universitas Lampung,

2009.

P.J.Zoetmulder, Cultuur, Oost en West, Amsterdam: CPJ.van der Peet, 1951.

Phillipus M. Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”, dalam

Yuridika, majalah Fakultas Hukum Unair, Nomor 6 Tahun IX November-

Desember 1994.

Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014.

S. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1983.

Sriayu Aritha Panggabean, Perubahan Fungsi dan Struktur Bangunan Cagar Budaya

Kota Semarang Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010,

Unnes Law Journal, Vol.3. No.2 Tahun 2014, hlm.24-34.

Sundari, E., dan Endang Sumiarni, Politik Hukum & Tata Hukum Indonesia,

Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2005.

Utrecht dalam Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik,

Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2015.

Van der Pot dalam Utrecht dan Moh Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi

Negara Indonesia, Cetakan kedelapan, Jakarta: Penerbit dan Balai Buku Ichtiar,

1985.

Velpaus, Loes, Heritage Management and Sustainable Development in Perspective:

Theory, Law, and Practice, Journal of Cultural Heritage Management and

Sustainable Development Vol.5 Issue 3. 2013.

Volare Amanda Wirastari dan Rimadewi Suprihardjo, Pelestarian Kawasan Cagar

Budaya Berbasis Partisipasi Msyarakat (Studi Kasus: Kawasan Cagar Budaya

Bubudan Surabaya), Jurnal Teknik ITS, Vol.1. No.1, September 2017.

Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta: Penerbit

Grasindo, 2009.

Yadi Mulyadi, Museum Komunitas Alternatif Pelestarian Cagar Budaya Berbasis

Masyarakat, Jurnal Museografi Vol. VI, Nomor 1 Desember 2012.

Yudi Prasetyo, “Sejarah Komunitas Tionghoa di Yogyakarta”, Jurnal Edukasi 1, 2015.

Zaki (ed.), UUD 1945 dan Amandemennya, Plus Sejarah Kemerdekaan Republik

Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Second Hope, 2014.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 21, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002, Nomor 4183.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 5168.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang

Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya.Lembaran Daerah Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran

Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 Nomor 6.

Page 47: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

1094 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Peraturan Gubernur DIY Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya,

Berita Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013 Nomor 62.

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung,

Lembaran Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2012 Nomor 2.

Internet

Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong untuk Hotel Amaris Malioboro akibat

Mal-Administrasi Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam

https://www.change.org/p/gubernur-diy-kepala-bpcb-yogya-usut-tuntas-kasus-

penghancuran-bangunan-warisan-budaya-tjan-bian-thiong-untuk-hotel-amaris-

malioboro?recruiter=362088168, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

https://gudeg.net/read/8515/saat-tjan-bian-tiong-tinggal-cerita.html, diunduh pada

tanggal 26 Juli 2019.

https://kbbi.web.id/wenang, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

https://www.google.com/maps/place/Jalan.+Kp.+Pajeksan,+Kota+Yogyakarta,+Daera

h+Istimewa+Yogyakarta/@-

7.7954033,110.3618264,719m/data=!3m1!1e3!4m5!3m4!1s0x2e7a57882a46627

7:0x92d240944b87319c!8m2!3d-7.7954033!4d110.3640151, diunduh pada

tanggal 26 Juli 2019.

https://www.google.com/search?q=bangunan+Tjan+Bian+Thiong+jalan.pajeksan&saf

e=strict&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiNtr7vyL7jAhVbYys

KHTLkAZ8Q_AUIESgB&biw=1366&bih=657#imgrc=qEoy8Az56IR_xM,

diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

https://www.google.com/search?q=prasasti+jawa+cina+tanda+terima+kasih&safe,

diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

https://www.google.com/search?q=Tipe+atap+ngangshan&safe=strict&tbm=isch&sou

rce=iu&ictx=1&fir=e6lKeUYCsJbGRM%253A%252CHcEtvOke2twCvM%252

C_&vet=1&usg=AI4_-kQS40j6xsPZr_4T_oLi1spo0-

yH7A&sa=X&ved=2ahUKEwik34H5y77jAhUBH48KHclgACkQ9QEwAnoEC

AYQCA#imgrc=e6lKeUYCsJbGRM, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

https://www.tripadvisor.ca/LocationPhotoDirectLink-g294230-d10006503-

i220348362-Amaris_Hotel_Malioboro_Jogja-Yogyakarta_Region_Java.html,

diunduh pada tanggal 26 Juli 2019

Klarifikasi para pihak oleh Lembaga Ombudsman D.I. Yogyakarta.

https://www.google.com/amp/s/elantowow.wordpress.com/2015/06/04/kasus-

pembongkaran-cagar-budaya-untuk-hotel-di-yogyakarta-segera-diungkap/amp/,

diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

Rukiah Handoko, Prinsip-prinsip Hukum Governance Publik Yang Baik,

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1334, diunduh pada tanggal 26

Juli 2019.

Suara.com- Sikap elanto pun menuai banyak

dukungan. https://www.google.com/amp/s/amp.suara.com/lifestyle/2015/10/23/

180500/netizen-gugat-penghancuran-bangunan-tjan-bian-thiong-di-yogya,

diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

Sutriyati, 2015, Pelapor: Pemulihan Bangunan Pecinan di Pajeksan saja tak Cukup,

http://lo-diy.or.id/pelapor-pemulihan-bangunan-pecinan-di-pajeksan-saja-tak-

cukup/, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.

Page 48: PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN …

Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1095

Yudi Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa Di Yogyakarta 1900-1942, Program

Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo, dalam https://stkippgri-

sidoarjo.academia.edu/yudiprasetyo, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.