perizinan terhadap adaptasi bangunan warisan …
TRANSCRIPT
Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No. 4 (2020): 1049-1095
ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2869
PERIZINAN TERHADAP ADAPTASI BANGUNAN WARISAN BUDAYA
TJAN BIAN THIONG DI KOTA YOGYAKARTA
M.G. Endang Sumiarni*, Y. Sri Pudyatmoko**, Yustina Niken Sharaningtyas***
*,**,*** Dosen Bagian Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Korespondensi: [email protected]; [email protected]; [email protected]
Naskah dikirim: 28 Januari 2020
Naskah diterima untuk diterbitkan: 27 April 2020
Abstract
This study aims to find out and examine licensing for the adaptation of the Bian
Thiong Tjan Cultural Heritage Building in the city of Yogyakarta as well as to assess
the background of permits granted even though the adaptation of buildings is contrary
to the basic principles of preservation of Cultural Heritage Buildings. The results of
the study were permits for the adaptation of the Bian Thiong Tjan Cultural Heritage
Building in the city of Yogyakarta, not a permit to adapt but to apply for a building
permit to establish a new building in the form of a hotel. Keywords: Licensing, Adaptation, Cultural Heritage Building Tjan Bian Thiong.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji perizinan terhadap adaptasi
Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong di kota Yogyakarta serta untuk
mengkaji latar belakang izin diberikan meskipun adaptasi bangunan bertentangan
dengan prinsip dasar pelestarian Bangunan Warisan Budaya. Hasil penelitian adalah
perizinan terhadap adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong di Kota
Yogyakarta, bukan merupakan izin untuk melakukan adaptasi namun mengajukan Izin
Mendirikan Bangunan untuk mendirikan bangunan baru yang berupa hotel. Kata Kunci: Perizinan, Adaptasi, Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1049
I. PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia mempunyai tujuan negara, seperti yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 berisi empat tujuan negara,
yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.”1
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 32 ayat (1) mengamanatkan bahwa
“negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya” sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh seluruh warga negara.
Kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan
guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta
memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada
masa depan. Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan
guna memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat
kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa.2
Kebudayaan Indonesia diperlukan untuk kemajuan bangsa Indonesia, sebagai jati
diri bangsa. Warisan budaya berupa kebendaan dan bukan kebendaan, sehingga khusus
warisan budaya kebendaan telah diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya. Cagar Budaya terdiri atas Benda Cagar Budaya, Struktur cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan. Cagar Budaya
wajib diutamakan pelestarian dengan cara pelindungan, pengembangan dan
pemanfaatan. 3 Tidak semua warisan budaya kebendaan merupakan cagar budaya,
namun ada yang masih diduga cagar budaya. Pengembangan dan pemanfaatan
Bangunan Cagar Budaya, termasuk Bangunan Warisan Budaya dapat dilakukan dengan
persyaratan tertentu. Salah satu persyaratan adalah harus memperoleh izin dari pejabat
yang berwenang memberikan izin. Dalam rangka pengembangan Bangunan Cagar
Budaya atau Bangunan Warisan Budaya dengan cara adaptasi, melibatkan pejabat yang
berwenang memberikan izin, baik pejabat yang berwenang dari instansi pemerintah
maupun pemerintah daerah.
Dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya terdapat konsep adaptasi. “Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya
untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan
perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau
kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.” Antara pemugaran dan adaptasi
merupakan dua hal yang berbeda, karena pemugaran lebih untuk menyelamatkan Cagar
Budayanya itu sendiri, sementara adaptasi lebih berorientasi kepada kebutuhan masa
1 Zaki (ed.), UUD 1945 dan Amandemennya, Plus Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia,
(Yogyakarta, Penerbit Second Hope, 2014), hal. 11. 2 Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, (Jakarta, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman,
2010), hal.75. 3 Fajar Winarni, Aspek Hukum Peran serta Masyarakat dalam Pelestarian Cagar Budaya,
“Mimbar Hukum”, Vol.30, No.1, Februari 2018, hal. 96.
1050 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
kini dengan tanpa mengesampingkan pelestarian Cagar Budayanya sendiri. Dalam hal
ini berkenaan dengan Bangunan Cagar Budaya atau Bangunan Warisan Budaya.
Berbagai peraturan telah disahkan untuk melestarikan cagar budaya, khususnya
Bangunan Cagar Budaya atau Bangunan watisan Budaya. Bentuk hukum ada yang
berupa Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta, maupun Peraturan Gubernur Daerah istimewa Yogyakarta. Berbagai
peraturan tersebut berorientasi pada pelestarian.
Faktanya ada beberapa Bangunan Cagar Budaya dan Bangunan Warisan Budaya
di kota Yogyakarta telah dilakukan pengembangan dengan cara adaptasi, pihak yang
berkepentingan tidak melakukan adaptasi, namun melakukan pembongkaran Bangunan
Warisan Budaya dan mendirikan bangunan baru. Seperti halnya Bangunan Warisan
Budaya Tjan Bian Thiong yang telah ditetapkan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor BWB 798/KEP/2009 yang telah menjadi Hotel Amaris Yogyakarta. Contoh lain
bangunan cagar budaya Hotel Toegoe yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya
dengan nomor NRCB 20140115.02000013 berdasarkan Penerapan SK Menteri Nomor
013/M/2014 dan SK Menteri Nomor PM .25/PW.007/MKP/2007 berstatus peringkat
nasional.
Berdasarkan informasi, pihak yang berkepentingan ingin mendirikan bangunan
hotel dengan melakukan pembongkaran Bangunan Warisan Budaya tersebut, dengan
cara pengrusakan dengan dalih melakukan adaptasi dan telah memperoleh izin dari
pejabat yang berwenang, yang kemudian menjadi bangunan baru. Berdasarkan
persoalan hukum tersebut, maka penelitian ini berkaitan dengan perizinan terhadap
adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong Pajeksan di Kota Yogyakarta.4
Konsep pengembangan warisan budaya mempunyai interpretasi dan kepentingan
yang berbeda. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Monika Murzyn Kupisz &
Jaroslaw Dzialek, bahwa kepentingan pembangunan warisan budaya itu dapat
dipergunakan untuk modal sosial. Di satu sisi pengembangan warisan budaya dalam
rangka mengembangkan nilai dari warisan budaya tersebut sehingga berorienasi pada
pelestarian, meskipun juga dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Di sisi lain
modal sosial ada yang mengartikan untuk kepentingan ekonomi bagi pemilik modal
atau capital semata, sehingga tidak beroreintasi pelestarian.5
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah perizinan terhadap
adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong Pajeksan yang Sudah
Ditetapkan di Kota Yogyakarta? dan mengapa izin diberikan meskipun adaptasi
bangunan bertentangan dengan prinsip dasar pelestarian Bangunan Warisan Budaya
yang sudah ditetapkan?
II. METODE PENELITIAN
Metode penelitian dengan penelitian hukum normatif. Titik fokusnya adalah
peraturan perundang-undangan dan kebijakan,6 yang menurut Whitney dalam Moh
4 Sebagai perbandingan pengrusakan terhadap Bangunan di Kawasan Cagar Budaya telah ditulis
Volare Amanda Wirastari dan Rimadewi Suprihardjo, Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Berbasis
Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus: Kawasan Cagar Budaya Bubudan Surabaya), “Jurnal Teknik
ITS”, Vol.1, No.1, September 2017, hal. 64. 5 Monika Murzyn Kupisz dan Jaroslaw Dzialek, Cultural Heritage in Building and Enhancing
Social Capital, “Journal of Cultural Heritage Management and Sustainable Development”, Vol.3,
Issue: i, hal. 35-54, https://doi.org/10.1108/20441261311317392. 6 Phillipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam “Yuridika Majalah
Fakultas Hukum Unair”, Nomor 6, Tahun IX November-Desember 1994, hal. 2. Lihat juga Johnny
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1051
Nazir bahwa hal tersebut berkaitan dengan pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat. 7 Berdasarkan sifatnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. 8
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pada lapisan teori hukum dipakai
pendekatan: 9 sosiologi hukum, bertujuan unyuk memberikan penjelasan terhadap
praktek-praktek hukum, mengapa praktek hukum demikian terjadi, faktor-faktor apa
yang mempengaruhinya, dan latarbelakangnya. 10 Max Weber menamakan cara
pendekatan seperti itu sebagai suatu interpretative understanding.11 Pendekatan politik
hukum, merupakan penentuan pilihan tentang substansi hukum yang akan
diberlakukan dan ke arah mana hukum akan dikembangkan, 12 secara preskiptif
merumuskan ius constituendem. Pada lapisan teori hukum ini dilakukan eksplanasi
hukum, dengan melakukan analisis terhadap konsep hukum, norma hukum, sistem
hukum, lembaga figur hukum dan fungsi hukum. Pada lapisan filsafat hukum menguji
prinsip pelestarian.
Penelitian hukum normatif memerlukan data sekunder yang terdiri atas bahan
hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder.
berupa pendapat hukum maupun nonhukum dari bahan kepustakaan, para narasumber
dan dokumen.
Analisis bahan hukum primer berupa deskripsi, sistematisasi, analisis,
interpretasi 13 dan menilai peraturan perundang-undangan. Sistematisasi yang
dilakukan adalah secara vertikal untuk mengetahui ada tidaknya siskronisasi, terdapat
antinomi atau tidak. Selain itu dilakukan sistematisasi secara horizontal terhadap
bentuk hukum yang setara untuk dikaji terdapat harmonisasi atau tidak, terdapat
antinomi atau tidak. 14 Interpretasi secara gramatikal, teleologis, dan antisipasi
interpretasi.15 Proses berpikir dilakukan secara deduktif.
III. HASIL PENELITIAN
3.1. Pengertian Perizinan
Menurut Mr.N.M.Spelt dan Prof.Mr.J.B.J.M.ten Berge menyatakan bahwa izin
merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang atau
peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan
larangan perundang-undangan (izin dlm arti sempit).16 Izin merupakan keputusan yang
Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayu Media Publishing, 2006).
Juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, 2005; dan Peter Mahmud Marzuki,
Penelitian Hukum, “Yuridika”, Vol 16, Nomor 1 Mar – Apr 2001, FH Unair. 7 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta, PT.Ghalia Indonesia, 2003), hal. 16. 8 F.Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, (Yogyakarta, CV.Ganda, 2007), hal. 9. 9 Lihat Phillipus M. Hadjon, Loc.Cit. 10 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014), hal. 372. 11 Max Weber, On Law in Economy and Society, (New York, A Clarion Book, 1954), hal. 1. 12 Sundari dan Endang Sumiarni, Politik Hukum & Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta, Cahaya
Atma Pustaka, 2005), hal. 7. 13 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (General Theory of Law and State),
Terjemahan Raisul Muttaqien disunting Nurainun Mangunsong,SH.M.Hum, (Ujung Berung-Bandung,
Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 179. 14 Ibid. 15 H. Frunken, InLeiden tot de rechtswetenschap, 2 druk, (Arnhem, Gouda Quint, 1983), hal.
139; lihat juga J. Gijssels dan van Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?, (Zwolle, Tjeenk Willink,
1982), hal. 168. 16 Mr.N.M.Spelt dan Prof.Mr.J.B.J.M ten Berge, disunting Philipus M Hadjon, SH. Pengantar
Hukum Perizinan, (Surabaya, Penerbit Yuridika, 1993), hal. 2-3.
1052 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh
pembuat peraturan.17 Menurut Prajudi Atmosudirdjo, Izin (vergunning) adalah suatu
penetapan yang merupakan dispensasi daripada suatu larangan oleh undang-undang.
Pada umumnya pasal undang-undang yang bersangkutan berbunyi ”Dilarang tanpa
izin...(melakukan)... dan seterusnya.” Larangan tersebut diikuti dengan perincian dari
pada syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk
memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan
juklak (petunjuk pelaksanaan) kepada pejabat-pejabat Administrasi Negara yang
bersangkutan.18 Suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diizinkan.19
Lain halnya dengan Utrecht yang memberikan pengertian vergunning (Izin)
yaitu bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi
masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk
masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang
memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin.20
Pengertian izin yang dimuat di dalam peraturan yang berlaku. Sebagai contoh
misalnya termuat di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008
tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu Di
Daerah. Dalam ketentuan tersebut Izin diberikan pengertian sebagai dokumen yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan
lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya
seseorang atau Badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Pengertian izin
seperti tersebut menunjukkan adanya penekanan pada izin yang tertulis, yakni
berbentuk dokumen, sehingga yang disebut sebagai izin tidak termasuk yang diberikan
secara lisan.
Menurut Spelt dan ten Berge motif-motif untuk menggunakan sistem izin dapat
berupa: keinginan mengarahkan (mengendalikan-“sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu,
mencegah bahaya bagi lingkungan, keinginan melindungi obyek-obyek tertentu,
hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan pengarahan dengan menyeleksi
orang-orang dan aktivitas-aktivitas.21
Sebagai sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat pemerintah, izin
mempunyai urgensi tertentu sebagai berikut.22
a. Sebagai landasan hukum (legal base);
b. Sebagai instrumen untuk menjamin kepastian hukum;
c. Sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan;
d. Sebagai alat bukti dalam hal ada klaim.
3.2. Bangunan Cagar Budaya
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,23 Cagar Budaya diartikan sebagai
daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan perikehidupannya dilindungi oleh
17 Van der Pot dalam Utrecht dan Moh Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Cetakan kedelapan, (Jakarta, Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, 1985), hal. 143. 18 Prof.Dr.Mr.S Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, Ghalia Indonesia,
1983), hal. 94. 19 Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, (Jakarta, Penerbit Grasindo,
2009), hal. 7. 20 Utrecht dalam Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta,
Penerbit Sinar Grafika, 2015), hal. 167. 21 Mr.N.M.Spelt dan Prof.Mr.J.B.J.M ten Berge, disunting oleh Philipus Hadjon, SH.,1993,
loc.cit. 22Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit., hal. 22-24.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1053
Undang-Undang dari bahaya kepunahan. Adapun kata Cagar Budaya adalah daerah
pelindungan untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan sebgainya. Dalam
perspektif ilmu, Cagar Budaya pada hakekatnya adalah sumber daya budaya yang
memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan dan merupakan sumber sejarah,
sehingga perlu dilestarikan.24
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya, Cagar Budaya diberi pengertian sebagai “warisan budaya bersifat
kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”.
Berdasarkan pengertian Cagar Budaya tersebut, maka terdapat jenis cagar Budaya
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya, sebagai berikut.
a. Benda Cagar Budaya adalah “benda alam dan/atau benda buatan manusia,
baik bergerak dan tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau
bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia”.
b. Bangunan Cagar Budaya adalah “susunan binaan yang terbuat dari benda
alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap”.
c. Struktur Cagar Budaya adalah “susunan binaan yang terbuat dari benda alam
dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan
yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung
kebutuhan manusia”.
d. Situs Cagar Budaya adalah “lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang
mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau
Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian
pada masa lalu”.
e. Kawasan Cagar Budaya adalah “satuan ruang geografis yang memiliki dua
Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau
memperlihatkan ciri tata ruang yang khas”.
Cagar Budaya termasuk di antaranya merupakan Bangunan cagar budaya, bukan
ditujukan bagi objek-objek yang bersifat non-bendawi (intangible), melainkan yang
bisa diamati atau dirasakan kehadirannya dengan menggunakan panca indera, seperti
bisa dilihat, dipegang, dirasakan, diukur, dan diamati bentuknya. Berdasarkan
pengertian Cagar Budaya tersebut, maka mempunyai nilai penting yaitu kandungan
informasi dan makna-makna yang melekat dengan objek turut diperhatikan
pelindungannya. Pelestarian Cagar Budaya di antaranya berupa Bangunan cagar
Budaya, adalah berkaitan dengan mempertahankan informasi yang terkandung untuk
memahami hal-hal yang terhubung dengan perannya dalam masyarakat (sosial), latar
belakang kepercayaan (ideologi), dan kemampuan untuk membuatnya.25
23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua,
(Jakarta, Balai Pustaka, 1995), hal. 165. 24 Yadi Mulyadi, Museum Komunitas Alternatif Pelestarian Cagar Budaya Berbasis
Masyarakat, ”Jurnal Museografi”, Vol. VI, Nomor 1, Desember 2012, hal. 3. 25 Junus Satrio Atmodjo, Pemeringkatan Cagar Budaya, Prinsip, Metode, dan Manfaatnya,
(Makalah Lepas, tanpa tahun), hal. 1.
1054 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Benda budaya bersifat materi (tangible) mencakup kebudayaan lama dan asli
yang di dalamnya termasuk Bangunan Cagar Budaya sebagai peninggalan masa lalu.26
Cagar Budaya di darat dan/atau di air perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 11, Bab III Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, mengatur secara khusus tentang kriteria
Cagar Budaya, sebagai berikut.27
a. Kriteria Cagar Budaya:
“Pasal 5:
Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi
kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan/atau kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.”
b. Benda Cagar Budaya, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dapat:
“a. berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan
oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan
kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah
manusia;
b. bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan
c. merupakan kesatuan atau kelompok”
c. Bangunan Cagar Budaya sesuai dengan ketentuan Pasal 7 dapat:28
“a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam”.
d. Struktur Cagar Budaya (sesuai dengan ketentuan Pasal 8) dapat:
“a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b. sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam”.
e. Lokasi sesuai dengan ketentuan Pasal 9, dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar
Budaya apabila:
“a. mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau
Struktur Cagar Budaya; dan
b. menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu”.
f. Satuan ruang geografis sesuai ketentuan Pasal 10 dapat ditetapkan sebagai
Kawasan Cagar Budaya apabila:
26 Endang Sumiarni dan Y. Sri Pudyatmoko, Arti Penting Kawasan Cagar Budaya Bagi Jati Diri
Bangsa Menurut Pertimbangan Hakim, Studi Kasus Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Nomor 29/6/2014/PTUN.JKT, (Yogyakarta, Laporan Penelitian Internal Kelompok Monodisiplin,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2015), hal. 26. 27 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, 2011),
hal. 16-19.. Lihat juga Agus Budi Wibowo, Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis
Masyarakat Kasus Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Gampong Pande Kecamatan Kutaraja
Banda Aceh Provinsi Aceh, “Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur”, Vol.8, No.1, Juni 2014, hal.
59. 28 Endang Sumiarni dan Veronica Handayani, Penilaian cagar Budaya sebagai Aset Negara,
(Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2016), hal. 18.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1055
“a. mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan;
b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50
(lima puluh) tahun;
c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia
paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses Pemanfaatan
ruang berskala luas;
e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan
f. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia
atau endapan fosil”.
Benda, struktur, bangunan, lokasi, dan satuan ruang geografis, meskipun tidak
memenuhi criteria sebagai Cagar Budaya, dapat ditetapkan sebagai cagar budaya. Hal
tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 11 bahwa benda, bangunan, struktur, lokasi, atau
satuan ruang geografis yang atas dasar penelitian memiliki arti khusus bagi
masyarakat atau bangsa Indonesia, tetapi tidak memenuhi kriteria Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 dapat diusulkan sebagai
Cagar Budaya, termasuk Bangunan Cagar Budaya.
Berdasarkan pengertian Cagar Budaya tersebut maka yang dimaksud
mempunyai nilai penting yaitu kandungan informasi dan makna-makna yang melekat
dengan objek turut diperhatikan pelindungannya. Pelestarian Cagar Budaya adalah
berkaitan dengan mempertahankan informasi yang terkandung untuk memahami hal-
hal yang terhubung dengan perannya dalam masyarakat (sosial), latar belakang
kepercayaan (ideologi), dan kemampuan untuk membuatnya.29
Pelestarian tidak diartikan sempit hanya sebagai upaya pelindungan, kini
diperluas tidak saja untuk maksud tersebut tetapi terkait juga dengan upaya
pengembangan dan pemanfaatan.30 Pengembangan Cagar Budaya termasuk Bangunan
Cagar Budaya, dapat dilakukan dengan cara Penelitian, Revitalisasi dan Adaptasi.
Adaptasi sesuai dengan ketentua Pasal 1 angka 32, diartikan sebagai upaya
pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan
masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan
kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai
penting.
Secara tegas Adaptasi diatur dalam
“Pasal 83:
(1) Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan
adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap
mempertahankan:
a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar
Budaya; dan/atau
b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya
atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
29 Junus Satrio Atmodjo, Loc.Cit. 30 Sriayu Aritha Panggabean, Perubahan Fungsi dan Struktur Bangunan Cagar Budaya Kota
Semarang Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, “Unnes Law Journal”,
Vol.3., No.2, Tahun 2014, hal. 26.
1056 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan
estetika lingkungan di sekitarnya.”
Pengembangan dengan adaptasi tetap mempertahankan gaya arsitektur,
konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya. Bangunan Cagar
Budaya mempunyai peringkat, berkenaan dengan perizinan adaptasi, maka jika ada
pelanggaran yang bertentangan dengan pelestarian cagar Vudaya, maka bagi pejabat
yang memberikan izin dikenakan ketentuan Pasal 114, bahwa “bilamana pejabat
karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari
jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan,
kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya terkait dengan
Pelestarian Cagar Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga).”
3.3. Bangunan Warisan Budaya
A. L Kroeber dan C Kluckhohn, pernah mengumpulkan sebanyak 160 definisi
tentang kebudayaan.31 Keragaman pengertian tentang budaya tidak lepas dari kerangka
pikir filosofis dari mereka yang menggunakannya. Menurut P.J.Zoetmulder, kata
“kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yaitu bentuk jamak dari
“buddhi”, yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian “kebudayaan” dapat
diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sarjana lain yang mengupas kata
“budaya” sebagai suatu perkembangan dari majemuk “budi daya” yang berarti “daya
dari budi”.32 Dengan demikian terdapat perbedaan “budaya” dengan “kebudayaan”.
“Budaya” adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan
“kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. 33 Dalam bahasa Inggris
“budaya” disamakan dengan “culture”. Di sisi lain, culture berasal dari kata ‘colere’
(Latin) yang berarti mengolah atau mengerjakan (alam).34
Kebudayaan merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan
diri secara aktif terhadap lingkungannya. Hakekat kebudayaan merupakan perilaku
nyata dan yang tidak nyata (tangible dan intangible) yang diperoleh dan diwariskan
melalui proses belajar melalui simbol-simbol. Pengertian kebudayaan meliputi
peralatan sebagai aspek kebendaan, sedangkan intinya terdiri dari ide-ide serta nilai-
nilai budaya yang merupakan hasil abstraksi pengalaman para pendukungnya yang
berikutnya menguasai sikap dan tingkah laku para pendukungnya. Benda budaya
sebagai unsur kebudayaan yang bersifat materi (tangible) mencakup kebudayaan lama
dan asli yang di dalamnya termasuk Cagar Budaya sebagai peninggalan masa lalu.35
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6
Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya, bagian
konsideran menimbang
“a. bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki entitas atau tata pemerintahan
berbasis kultural, sekaligus identitas lokal berupa nilai religi, nilai spiritual,
31 A.L Kroeber dan C Kluckhohn, Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions,
Cambridge, 1952. Lihat dalam Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru,
1979), hal. 194-195. 32 P.J.Zoetmulder, Cultuur, Oost en West, (Amsterdam, CPJ.van der Peet, 1951),hal. 10. 33 M.M.Djojodigoeno, Azas-Azas Sosiologi, (Jogjakarta, Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada,
1965), hal. 24-27. 34 Koentjaraningrat, Op.Cit., hal. 195. 35 Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, , Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Cagar Budaya, (Jakarta, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, 2009), hal. 11-12.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1057
nilai filosofis, nilai estetika, nilai perjuangan, nilai kesejarahan, dan nilai
budaya yang menggambarkan segi keistimewaan Yogyakarta sehingga harus
dijaga kelestariannya;
b. bahwa keberadaan Warisan Budaya dan Cagar Budaya di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta, merupakan kekayaan kultural yang mengandung nilai-
nilai kearifan budaya lokal yang penting sebagai dasar pembangunan
kepribadian, pembentukan jati diri, serta benteng ketahanan sosial budaya
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga upaya untuk menjaga
kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama semua pihak;
c. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya, ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Dan Benda Cagar Budaya tidak
sesuai lagi baik dengan Undang-Undang maupun tuntutan kebutuhan
Pelestarian sehingga perlu diganti;
Dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 1, terdapat konsep Warisan
Budaya adalah benda warisan budaya, bangunan warisan budaya, struktur warisan
budaya, situs warisan budaya, kawasan warisan budaya di darat dan atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan dan telah tercatat di Daftar
Warisan Budaya Daerah.
Warisan Budaya dapat dilakukan pengembangan, sesuai dengan ketentuan Pasal
45 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012
tentang Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya, bahwa:
(1) Pengembangan Warisan Budaya dan Cagar Budaya dilakukan berdasarkan
jenisnya.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk benda Warisan
Budaya atau Benda Cagar Budaya dilakukan dengan cara perbanyakan
(3) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk bangunan
dan/atau struktur Warisan Budaya atau Cagar Budaya dilakukan dengan
cara adaptasi.
(4) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk situs dan/atau
kawasan Warisan Budaya atau situs dan/atau Kawasan Cagar Budaya
dilakukan dengan cara revitalisasi”.
Selanjutnya Pasal 46 berisi ketentuan bahwa;
(1) Pengembangan Warisan Budaya dan/atau Cagar Budaya yang berbentuk
bangunan atau struktur dilakukan dengan tetap mempertahankan:
a. ciri asli muka dan/atau fasad bangunan atau struktur; dan
b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah situs cagar budaya
atau Kawasan Cagar Budaya tempat bangunan atau struktur berada.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
berpedoman pada:
a. nilai-nilai penting yang melekat pada Warisan Budaya dan Cagar
Budaya;
b. penambahan fasilitas sarana dan prasarana secara terbatas sesuai dengan
kebutuhan;
c. pengubahan susunan ruang secara terbatas; dan
d. gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di
sekitarnya.
1058 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
(3) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat
rekomendasi dari Dewan Warisan Budaya.
Manajemen warisan budaya diperlukan termasuk pengaturannya dalam
kebijakan negara. Hal ini berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
maupun teori hukum yang terkait agar dapat dipergunakan untuk
kepentingan praktek konservasi warisan budaya. 36
3.4. Bangunan Warisan Cagar Budaya Tjan Bian Thiong
Bangunan rumah tinggal Tjan Bian Thiong secara administrasi berada di Jalan
Pajeksan No 10, 12, 14, 16 Kelurahan Sosromenduran Kecamatan Gedongtengen
Kotamadya Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bangunan tersebut
secara astronomis berada pada 49M, X:0429951 Y:9138178. Bangunan Tjan Bian
Thiong di jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16 ini mempunyai panjang dan luas
yang sama. Sisi timur bangunan berbatasan dengan ruko, sisi selatan berbatasan
dengan Jalan Pajeksan, sisi barat berbatasan dengan SMP N 13 Yogyakarta dan sisi
utara merupakan bagian belakang bangunan ini yang berupa lahan kosong.
Gambar 1: Lokasi kampung Pajeksan Gambar Gambar 2: Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian
Thiong.37
(Sumber:googleearth)38
Gambar 3: Bangunan Warisan Budaya
Tjan Bian Thiong setelah dihancurkan39 Gambar 4: Tipe atap Ngangshan40
36 Velpaus, Loes, Heritage Management and Sustainable Development in Perspective: Theory,
Law, and Practice, “Journal of Cultural Heritage Management and Sustainable Development”, Vol.5,
Issue 3, 2013., hal. 1, http://dx.doi.org./10.1108/JCHMSD-09-2015-0033. 37 https://www.google.com/search?q=bangunan+Tjan+Bian+Thiong+jalan.pajeksan&safe=strict
&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiNtr7vyL7jAhVbYysKHTLkAZ8Q_AUIESgB&biw
=1366&bih=657#imgrc=qEoy8Az56IR_xM, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 38 https://www.google.com/maps/place/Jalan.+Kp.+Pajeksan,+Kota+Yogyakarta,+Daerah+Istime
wa+Yogyakarta/@-
7.7954033,110.3618264,719m/data=!3m1!1e3!4m5!3m4!1s0x2e7a57882a466277:0x92d240944b87319
c!8m2!3d-7.7954033!4d110.3640151, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1059
a. Deskripsi objek
Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong yang terletak di Jalan
Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16 mempunyai gaya arsitektur Cina yang
merupakan ciri dari bangunan tersebut. Arah hadap bangunan ke selatan, bangunan
berdenah segi empat dan memanjang ke belakang. Masing-masing bangunan pada
rumah di jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16 mempunyai panjang dan luas
yang sama. Bangunan Warisan Budaya terdiri atas dua lantai yang merupakan
bangunan yang difungsikan ruko (rumah toko). Arsitek atap bangunan berbentuk
pelana yang disebut “Ngangshan”. Bangunan Warisan Budaya tersebut bagian
lantai kedua mempunyai ciri yang unik, sedangkan lantai pertama tidak mempunyai
keunikan seperti halnya lantai ke-2.
Beberapa tiang berbentuk persegi menopang atap bangunan, yang terbuat
dari pasangan bata berplester. Pada bangunan tersebut terdapat selasar yang dibatasi
oleh pagar langkan dari kayu yang selain berfungsi sebagai pengaman sekaligus
menambah estetika bangunan. Deretan lubang angin berbentuk persegi yang terletak
pada bawah pagar langkan, yang secara tegas memberikan batas antara bangunan
lantai kedua dengan bangunan lantai pertama. Pintu berbentuk lengkung di bagian
lantai kedua pada bangunan tersebut menambah ciri khas dari bangunan ini. Atap
banguan berupa genteng yang terbuat dari tanah liat. Langit-langit pada bagian
lantai kedua ditutup dengan plafon, yang beberapa bagiannya masih tersisa.
Bangunan lantai kedua merupakan satu kesatuan ruang tanpa sekat. Pintu
dan jendela berupa panil kayu dan kaca. Beberapa pintu merupakan pintu ganda,
yakni bagian dalam berupa panil kaca dan bagian luar berupa panil kayu dengan
bukaan pintu/jendela keluar. Motif flora menghiasi lubang angin yang terdapat di
atas pintu. Pada bagian lantai bangunan dilapisi ubin berwarna abu-abu.41
b. Sejarah Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong
Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong yang terletak di Jalan
Pajeksan ini berada di tengah-tengah lingkungan Pecinan Yogyakarta. Sejak masa
awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta, etnis Cina telah ada di Yogyakarta.
Adanya seorang kapiten Cina yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda di
Yogyakarta menjadi bukti keberadaan etnis Cina tersebut. Di kalangan masyarakat
Cina kapiten tersebut disebut “Kongkoan”. Kapiten Cina yang pertama di
Yogyakarta bernama To In (1755-1764). Pejabat selanjutnya adalah Gan Kek
Ko,Tan Lek Ko, Gue Jin Sing, Tan Sing, Go wing Kong, dan yang tetrakhir Que
Ping Sing. Sumber lain mengatakan bahwa etnis Cina telah ada di Yogyakarta sejak
39 https://gudeg.net/read/8515/saat-tjan-bian-tiong-tinggal-cerita.html, diunduh pada tanggal 26
Juli 2019. 40 https://www.google.com/search?q=Tipe+atap+ngangshan&safe=strict&tbm=isch&source=iu&
ictx=1&fir=e6lKeUYCsJbGRM%253A%252CHcEtvOke2twCvM%252C_&vet=1&usg=AI4_-
kQS40j6xsPZr_4T_oLi1spo0-
yH7A&sa=X&ved=2ahUKEwik34H5y77jAhUBH48KHclgACkQ9QEwAnoECAYQCA#imgrc=e6lKe
UYCsJbGRM, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 41 A’ang Pambudi Nugroho, dkk., Perusakan Bangunan Cagar Budaya Dan Warisan Budaya Di
Kota Yogyakarta: Kasus Rumah Tinggal Tjan Bian Thiong Di Jalan Pajeksan, Makalah, Program Studi
Arkeologi Pascasarjana, Fakultas Budaya, Universitas Gajah Mada, 2018, hal. 1.
1060 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
tahun 1756. Hal ini berarti sejak mana pemerintah Sultan Hamengku Buwono I,
etnis Cina telah ada di Yogyakarta.42
Pendapat berbeda mengatakan bahwa sejak tahun 1756, orang Tionghoa
telah berada di Yogyakarta. Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pada saat Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) mendirikan
kota Yogyakarta, komunitas Tionghoa peranakan telah ada dan terbilang cukup
mapan Sementara menurut sumber lain, etnis Tionghoa khususnya suku Hokkian,
diperkirakan sudah ada yang tinggal di Yogyakarta pada abad XVI. Pada awalnya
orang Tionghoa yang datang berasal dari “kaum Adam”, karena pada masa itu
transportasi masih sangat sulit. Oleh karena itu, banyak diantara orang Tionghoa
yang menikah dengan wanita Jawa (pribumi). Hasil keturunan Tiongkok-Jawa
inilah yang kemudian disebut dengan orang Tionghoa peranakan.43
Di wilayah Pajeksan dan Ketandan ini merupakan hadiah dari Sultan
Hamengku Buwana I kepada masyarakat Cina di Yogyakarta. Tanda terima kasih
masyarakat Cina kepada Sultan Yogyakarta diungkapkan dalam prasasti Jawa Cina
yang dibuat sekitar 1940-an. Prasasti ini didatangkan dari Cina dan berisi ungkapan
terima kasih warga Cina kepada keluarga Keraton Yogyakarta yang telah
memberikan pelindungan kepada mereka. Prasasti tersebut diserahkan kepada pihak
keraton Yogyakarta pada saat penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana IX yang ke-
12 pada tahun 1952).
Gambar 5:
Prasasti Jawa Cina tanda terima masyarakat Cina
kepada Sultan Yogyakarta44
Gambar 6: Kondisi Hotel Amaris Malioboro
Yogyakarta eks Bangunan Warisan Budaya Tjan
Bian Thiong terkini 45
Orang Cina di Yogyakarta merupakan minoritas. Pada masa akhir
pemerintah Hindia Belanda etnis Cina hanya sekitar 10.000 orang dan menempati
kawasan Pecinan di Yogyakarta dan tersebar di sepanjang jalan-jalan utama sebagai
pemilik toko eceran atau kelontong. Hal ini tidak lepas dari intervensi Pemerintah
Hindia-Belanda yang menentukan dan menempatkan orang Cina di suatu wilayah
yang terkonsentrasi. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan pengawasan masyarakat
42 Yudi Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa Di Yogyakarta 1900-1942, Program Studi
Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo, hal. 2. dalam https://stkippgri-
sidoarjo.academia.edu/yudiprasetyo, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 43 Ibid. 44 https://www.google.com/search?q=prasasti+jawa+cina+tanda+terima+kasih&safe, diunduh
pada tanggal 26 Juli 2019. 45 https://www.tripadvisor.ca/LocationPhotoDirectLink-g294230-d10006503-i220348362-
Amaris_Hotel_Malioboro_Jogja-Yogyakarta_Region_Java.html, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1061
etnis Cina di Yogyakarta oleh pihak pemerintah Hindia Belanda. Konsentrasi
pemukiman ini dikenal dengan sebutan Pecinan.46
Seiring perkembangan Kota Yogyakarta yang dimulai pada abad XVIII
Masehi, yaitu pada saat keraton dalam proses pembangunan, orang Cina diberikan
tempat tersendiri untuk tempat tinggal yakni sebelah utara keraton tepatnya di ujung
Jalan Malioboro atau kawasan Ketandan-Pajeksan.47 Adanya perluasan fungsi poros
Keraton-Tugu dari kultural magis ke ekonomis menyebabkan pemukinan Cina
tumbuh di kedua tepi poros tersebut yaitu kawasan Ketandan, sepanjang Malioboro,
Beskalan, Pajeksan, dan Kranggan. Dengan terpusatnya pemukiman Cina ini pihak
Keraton Yogyakarta lebih mudah untuk melindungi sekaligus mengawasi keberadaan
orang-orang Cina agar tidak terjadi pemberontakan seperti yang terjadi pada
peristiwa Geger Pecinan pada masa Kartasura. Di samping itu pada tahun 1900,
Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan yang mengharuskan orang-
orang Cina bermukim pada daerah-daerah tertentu di kawasan kota. Sistem distrik
khusus ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan terhadap mereka.
Kegiatan ekonomi di Jalan Malioboro mulai tumbuh sebagai Pecinan dan mulai
berkembang di kawasan tersebut.48 Pada masa ini ada kebijakan yang membatasi
tempat tinggal dan diberlakukan aturan surat jalan (paasenstelsel) namun tetap ada
orang Cina yang bisa bebas bergerak seperti misalnya mereka memperoleh jabatan
sebagai pemegang sewa pajak hasil bumi pemerintah. Orang-orang Cina ini diberi
hak istimewa oleh pejabat Belanda yang bekuasa pada daerah setempat.
Berkaitan sejarah bangunannya, berdasarkan keterangan dari narasumber
kemungkinan besar bangunan rumah tersebut adalah milik Tjan Bian Thiong yang
merupakan warga Cina yang dipercaya pemerintah saat itu sebagai penagih pajak.
Bangunan tersebut kemudian dibagi menjadi 4 persil dengan masing-masing
mempunyai sertifikat tanah dan bangunan. Berdasarkan hasil wawancara dengan
warga sekitar dijelaskan bahwa kemungkinan bangunan tersebut telah dibagi waris
sehingga pada saat sebelum dijual kepada Eko Bimantoro selaku pemiliki Hotel
Amaris Malioboro, telah ada sekitar 80 ahli waris pemilik bangunan tersebut. Hal ini
diperkuat dengan posisi atap yang merupakan satu kesatuan. Bangunan inipun sudah
lebih dari 18 tahun ditinggalkan oleh pemiliknya. Terakhir sebelum menjual rumah
ini kepada Eko Bimantoro, pemilik bangunan Jalan Pajekasan Nomor 16 tersebut
beralamat di Jalan Magelang. Pemilik bangunan sempat menyatakan bahwa dia tidak
tahu apa-apa bahkan dia tidak tahu kalau bangunannya ini ditetapkan sebagai
bangunan warisan budaya tingkat kota berdasarkan SK Walikota Yogyakarta dengan
nomor 798/KEP/2009 tentang Penetapan Bangunan Warisan Budaya di Kota
Yogyakarta. Ketidaktahuan jika bangunan di Jalan Pajeksan Nomor16 tersebut
termasuk bangunan warisan budaya yang dilindungi undang-undang karena pada
bangunan tersebut tidak ada penanda yang menyatakan bahwa bangunan tersebut
merupakan warisan budaya, sehingga pembeli dan warga sekitar juga tidak
mengetahuinya.
c. Kronologi adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong
46 A’ang Pambudi Nugroho, dkk., Op.Cit., hal. 1. 47Yudi Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa di Yogyakarta, “Jurnal Edukasi “, 2015, hal. 23. 48 Ibid., Lihat juga Harian Yogya, 2015; Enny Sukasih. “Penanganan Hukum Kasus Perusakan
Bangunan Cagar Budaya dan Warisan Budaya di Kota Yogyakarta”, Tesis, Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2016. Lihat juga A’ang Pambudi, dkk., Loc. Cit.
1062 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Kronologi terkait pengrusakan Bangunan Warisan Budaya Rumah Tempat
Tinggal Tjan Bian Thiong adalah: 49
Agustus 2013 Bangunan Pajeksan dibeli oleh Eko Bimantoro dengan 4
Persil Bangunan 10, 12, 14, 16.
9 Desember 2013 Penggambungan 4 persil atas nama Linda Ludhiana
digabung dengan nomor 10.
27 Desember 2013 Mengajukan IMB pendirian hotel dengan sertifikat
gabungan nomor 10 ke Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
16 Desember 2013 Terjadi pembongkaran bangunan
14 Desember 2013 Eko Bimantoro melakukan sosialisasi akan mendirikan
hotel.
16 Desember 2013 Dilakukan selamatan dan merobohkan bangunan
27 Februari 2014 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan
Eko Bimantoro membuat surat keterangan klarifikasi
nomor rumah dan rekomendasi bentuk arsitektur bangunan
yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Yogyakarta.
5 Maret 2014 Dinas Perizinan Kota Yogyakarta melakukan peninjauan ke
lapangan. Hasil penjauan tersebut berupa sisa lahan kosong
dan puing-puing bangunan.
27 Maret 2014 Dinas Perizinan Kota Yogyakarta mengeluarkan IMBB
pendirian Hotel Amaris Malioboro di Jalan Pajeksan
Nomor 10
Keluar surat pernyataan dari Eko Bimantoro yang berisi
saat membeli tanah tersebut terdiri dari 4 persil dengan
irisan melintang utara-selatan dan memiliki luas yang
hampir sama karena terkena dampak gempa bumi 2006
sehingga kondisinya membahayakan dan hampir roboh
maka pada Bulan November 2013 atas keputusan warga
bangunan tersebut dirobohkan dan kesanggupan Eko
Bimantoro untuk mengembalikan bangunan dengan pasat
depan seperti semula dengan ukuran 22 x 7 meter beralamat
Jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16 dan akan berpisah
dengan bangunan belakangnya.
19 Desember 2014 Dilakukan kajian bangunan cagar budaya dan bangunan
warisan budaya oleh Disparbud Kota Yogyakarta.
5 Februari 2015 Elanto Wijoyono melapor ke lembaga Ombudsman DIY isi
laporan berupa pengrusakan bangunan warisan budaya
yang telah di SK Walikota di Jalan Pajeksan Nomor 16.
26 Maret 2015 Keluar rekomendasi dari TP2WB berkaitan dengan
bangunan warisan budaya Jalan Pajeksan Nomor 16
sebagai berikut:
49Enny Sukasih, juga A’ang Pambudi, dkk., Loc. Cit. lihat juga William Logan, Heritage Rights
Avoidance and Reinforcement, “Heritage & Society Journal”, Vol.7, No.2, November 2014. hal. 165.
William Logan secara tegas berpendapat jika terdapat pengrusakan terhadap warisan budaya yang
faktanya terdapat di sejumlah negara, maka Unesco mesti turun tangan dengan membuat sistem
kebijakan, hal itu dikarenakan warisan budaya merupakan hak asasi manusia masyarakat dunia.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1063
1. Bangunan yang akan dibangun di lokasi tersebut berada di
Kawasan Budaya Malioboro dan berada di kawaan garis
sumbu filosofis Keraton-Malioboro-Tugu sehingga
arsitektur bangunan baru harus menyesuaikan dengan
arsitektur bangunan di kawasan tersebut.
2. Bangunan warisan budaya di Jalan Pajkesan Nomor 16
harus dikembalikan secara utuh dan sesuai aslinya baik
pada lantai 1 dan lantai 2, Bangunan-bangunan yang satu
atap dengan bangunan warisan budaya tersebut yaitu
bagunan di Jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14 harus
dikembalikan secara utuh karena merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan bangunan warisan budaya di
Jalan Pajeksan No 16. Untuk lantai 2 dikembalikan secara
utuh dan sesuai aslinya sedangkan untuk lantai 1 dapat
menyesuaikan dengan kebutuhan fungsi ruang.
3. Lokasi bangunan warisan budaya di Jalan Pajeksan Nomor
16 beserta bangunan - bangunan warisan budaya tersebut
yaitu bangunan di Jalan Pajeksan No, 10, 12, 14 tidak boleh
dipindahkan (dimundurkan atau dimajukan atau digeser ke
atau ke kiri).
4. Skyline bangunan di luar bangunan warisan budaya dan
bangunan yang satu atap dengan bangunan warisan budaya
ini menyesuaikan dengan advise planning.
5. Berkas-berkas catatan dan gambar arahan dari Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta bersama
TP2WB ini menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari
rekomendasi.
6. Pemugaran BWB (Bangunan Warisan Budaya) harus
mendapatkan izin dari Walikota Yogyakarta sebagai syarat
diterbitkan IMBB.
6 April 2015 Eko Bimantoro mengirimkan surat permohonan izin
rekomendasi bangunan warisan budaya di Jalan Pajeksan
Nomor 10, 12, 14, dan 16 kepada Walikota Yogyakarta.
Tanggal 10 April 2015 keluar surat izin dari Walikota
Yogyakarta dan TP2WB (Surat Terlampir). Surat
rekomendasi ini dipahami oleh pihak Eko Bimantoro
sebagai surat izin pembongkaran bangunan warisan budaya.
Berikut ini penyataan pihak Eko Bimantoro dalam
kronologi pembangunan hotel Amaris Nomor10.
Yogyakarta, “Selanjutnya kami membuat surat kepada
Walikota Yogyakarta untuk permohonan izin
pembongkaran maka terbitlah Surat Keputuan Walikota
Yogyakarta tanggal 10 April 2015 nomor 430/1126 tentang
Pemberian Izin Pembongkaran”.
2 Juni 2015 Lembaga Ombudsman DIY melakukan gelar kasus
perusakan bangunan warisan budaya Jalan Pajeksan Nomor
16 kemudian pihak Ombudsman memohon kepada
walikota agar pembangunan hotel tersebut dihentikan
sementara sampai kasus tersebut selesai. Permohonan
1064 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
tersebut tidak diindahkan dan pembangunan hotel tersebut
berjalan sampai sekarang. Pada saat penulisan melakukan
observasi ke lokasi awal September 2015, pihak Eko
Bimantoro sedang melakukan proses pembangunan hotel
dan pembangunan kembali bangunan warisan budaya
seperti bentuk semula.
d. Arsitektur Bangunan Warisan Budaya Tjan Biang Thiong
Gaya arsitektur Cina yaitu pada rumah tinggal Tjan Bian Thiong memiliki
keunikan secara fisik berupa rumah tinggal dengan ragam hias dan tata ruang
bangunannya serta fasilitas pemujaan leluhur (altar). Pemukiman di Kawasan
Pecinan kebanyakan dibangun memanjang ke belakang. Biasanya bangunan di
Pecinan bertingkat yang disebut rumah toko atau ruko. Bagian bawah digunakan
untuk toko dan bagian atas digunakan untuk rumah tinggal. Corak arsitektur
bangunan di Kawasan Pecinan ini merupakan campuran arsitektur Cina, India, dan
Tradisional Jawa. Corak arsitektur Cina dapat dilihat dari model hubungannya yang
disebut “Ngangshan” dipadukan dengan model atap pelana. Bangunan rumah
Pecinan dihiasi dengan stiliran berupa bentuk-bentuk binatang, bunga, motif
geometris, dan huruf-huruf tulisan Cina, pengaruh India dapat dilihat dari adanya
pilar-pilar bergaya Eropa, berdinding tebal, dan langit-langit tinggi.50
e. Kondisi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong saat ini
Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong yang berada di Jalan Pajeksan
pada saat ini berfungsi sebagai sebuah bangunan hotel yaitu Hotel Amaris
Malioboro Yogyakarta. Sebelum menjadi bangunan Hotel Amaris Malioboro,
halaman depan bangunan dijadikan sebagai lokasi parkir kendaraan mobil.
Bangunan Warisan Budaya tersebut sudah berganti menjadi bangunan dengan
arsitektur dan material yang baru, yang menghilangkan ciri asli atau fasad dari
bangunan semula, bahkan bahan atau material yang dipergunakan tidak mendekati
bahan asli.
Hotel Amaris Malioboro Yogyakarta diresmikan pada tanggal 24 Februari
2016. Hotel berbintang 2 ini mengedepankan bed and breakfast. Bangunan bergaya
minimalis modern setinggi 9 lantai dengan jumlah kamar 110 smart room, dengan 3
ruang meeting dengan kapasitas 80-90 orang. Hotel ini dilengkapi dengan area
parkir yang dapat menampung 20 mobil. Hotel ini juga dilengkapi dengan kolam
renang dan teras berjemur untuk tamu hotel.
3.5. Perizinan Terhadap Adaptasi Bangunan Warisan Budaya
a. Duduk Perkara Peristiwa Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong.
Pada tanggal 2 Februari 2015 Elanto Wijoyono, melaporkan/mengadukan
sebuah kasus pembongkaran benda/bangunan warisan budaya di Jalan Pajeksan
Nomor 16 Yogyakarta kepada Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lahan bekas lokasi bangunan Cina Tjan Bian Thiong yang telah ditetapkan sebagai
Bangunan Warisan Budaya Kota Yogyakarta pada tahun 2009 itu segera berubah
menjadi gedung Hotel Amaris Malioboro setinggi 8 lantai. Proses Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) Hotel Amaris Malioboro pada tanggal 27 Desember 2013, tepat 4
50 Enny Sukasih, Loc. Cit.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1065
hari sebelum moratorium pengajuan izin pembangunan hotel di Yogyakarta
diberlakukan per 31 Desember 2013. Hanya butuh tiga bulan, pada tanggal 27 Maret
2014, IMB Hotel Amaris Malioboro telah terbit dengan Nomor 0226/GT/2014-
1867/01.
Sebuah lahan/tanah dengan alamat Jalan Pajeksan Nomor 10 yang di atasnya
akan dibangun Hotel Amaris Malioboro. Sebelumnya, di lokasi tersebut terdapat
bangunan yang saat ini sudah dirobohkan. Di dekat lahan/tanah tersebut, dahulu
terdapat sebuah bangunan Cina Tjan Bian Thiong beralamat di Jalan. Pajeksan Nomor
16 Yogyakarta yang telah ditetapkan sebagai Bangunan Warisan Budaya Kota
Yogyakarta dengan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor BWB
789/KEP/2009 yang turut dirobohkan tanpa tersisa. Izin yang diajukan kepada
Pemerintah Kota Yogyakarta hanya untuk persil tanah di Jalan. Pajeksan Nomor 10,
tetapi perobohan bangunan dilakukan sampai pada persil tanah di Jalan. Pajeksan
Nomor 16 yang merupakan Bangunan Warisan Budaya.
Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta kemudian telah
menanggapi laporan tersebut dengan menyelenggarakan dua sesi forum klarifikasi
pada hari Kamis, 28 Mei 2015. Tiga pihak, meliputi Lurah Kelurahan Sosromenduran,
Gedongtengen, Yogyakarta; Camat Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta; dan
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta diundang hadir dalam
forum klarifikasi sesi pagi pukul 09.30-selesai. Sesi siang, forum klarifikasi di
Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta itu dilanjutkan dengan
mengundang Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Yogyakarta. Hasil dari forum
klarifikasi ini akan dijadikan salah satu rujukan dalam proses gelar kasus yang akan
segera dilakukan atas kasus ini.51
Peristiwa tersebut memunculkan adanya petisi berjudul “Usut Tuntas
Kasus Penghancuran Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong untuk Hotel
Amaris Malioboro akibat Maladministrasi Pemerintah Kota Yogyakarta” itu
ditujukan kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku
Buwono X dan Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta.
Hingga Jumat tanggal 23 Oktober 2015, pukul 15.30 WIB, petisi tersebut telah
didukung oleh lebih dari 4400 tandatangan warga. Elanto berpendapat bahwa
bangunan berarsitektur Tionghoa Tjan Bian Thiong yang beralamat di Jalan
Pajeksan Nomor 16 Yogyakarta telah dirobohkan tanpa sisa. Padahal, bangunan
ini telah ditetapkan sebagai Bangunan Warisan Budaya Kota Yogyakarta dengan
Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor BWB 798/KEP/2009. Di atas
lahan tersebut didirikan bangunan gedung Hotel Amaris Malioboro.
Penghancuran dan perobohan Bangunan Warisan Budaya (BWB) Tjan Bian
Thiong di Jalan. Pajeksan Nomor 16 Yogyakarta merupakan bentuk perusakan,
sesuai yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Menurut Elanto fakta
perusakan ini telah diadukan kepada Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa
Yogyakarta pada tanggal 2 Februari 2015. Menurut Erlanto, Lembaga
Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta dalam tindak lanjut atas laporan ini
kemudian menemukan bukti terjadinya maladministrasi yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Yogyakarta, sehingga berdampak hancurnya Bangunan
Warisan Budaya di Jalan. Pajeksan Nomor 16 Yogyakarta. Warga Yogyakarta
51 Klarifikasi para pihak oleh Lembaga Ombudsman D.I. Yogyakarta.
https://www.google.com/amp/s/elantowow.wordpress.com/2015/06/04/kasus-pembongkaran-cagar-
budaya-untuk-hotel-di-yogyakarta-segera-diungkap/amp/, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
1066 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
pada khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, mengalami kerugian
tidak ternilai atas hilangnya aset sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
dari Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong. Kasus ini merupakan bentuk
ketidaktelitian Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan pendataan
maupun memahami landasan hukum perlindungan cagar budaya. 52
Kasus pembangunan hotel Amaris di kawasan Jalan Pajeksan Nomor 10-16
Yogyakarta yang telah menggusur Bangunan Warisan Budaya (BWB) berupa rumah
pecinan, Tjan Bian Thiong berbuntut panjang. Usai Gelar Kasus Pembangunan Hotel
Amaris di kantor Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta, pada hari Rabu
tanggal 8 Juli 2015, adanya dugaan maladministrasi dalam perizinan hotel. Elanto
Wijoyono menyatakan, pemulihan Bangunan Warisan Budaya (BWB) saja tidak
cukup untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Menurutnya, tindak lanjut
termasuk kemungkinan adanya pelanggaran, baik yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Yogyakarta terkait dugaan ketidakberesan dalam pemberian izin pembangunan
hotel, maupun pengembang yang telah membongkar Bangunan Warisan Budaya
tersebut penting, sehingga kasus serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.
Saat gelar kasus pembangunan hotel, di Kantor Lembaga Ombudsman Daerah
Istimewa Yogyakarta, Pihak Dinas Perizinan maupun Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Yogyakarta yang bertanggung-jawab atas keluarnya izin
pembangunan hotel berdalih, telah melaksanakan proses pemberian izin sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Menurut Setyono selaku Kepala Dinas Perizinan Kota
Yogyakarta, mengatakan bahwa pada tanggal 24 Maret 2015 lalu, Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) rencana pembangunan hotel Amaris diterbitkan. Izin itu sudah
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
Badan Lingkungan Hidup, dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
Pemilik hotel Amaris, Eko Bimantoro mengaku tidak tahu-menahu tentang
status bangunan pecinan Tjan Bian Thiong yang ternyata masuk dalam daftar
Bangunan Warisan Budaya, sehingga saat transaksi jual-beli tanah maupun
pembongkaran bangunan tidak melalui proses perizinan. Menurutnya jika tahu sejak
awal, pasti diurus perizinan jual beli dan pembongkaran. Pemilik juga tidak
mengetahui bahwa dasar hukum yang mengatur tentang cagar budaya itu tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ketika
peraturan hukum telah diundangkan, maka setiap orang dianggap tahu hukumnya.
Bangunan pecinan tersebut telah memiliki SK Walikota yang menegaskan itu bagian
dari Bangunan Warisan Budaya. Selama belum ada pencabutan SK, maka itu tetap
berlaku.53
Pemerintah Kota Yogyakarta diduga telah melakukan maladministrasi dalam
proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hotel di bekas Bangunan Warisan
Budaya (BWB) Tjan Bian Thong di Jalan Pajeksan Nomor 16, Yogya. IMB yang
dikeluarkan tidak menyertakan izin rekonstruksi Bangunan Warisan Budaya. Dari
hasil temuan Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta, pelanggaran
administrasi yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam hal ini adalah Dinas
52 Suara.com - Sikap elanto pun menuai banyak
dukungan. https://www.google.com/amp/s/amp.suara.com/lifestyle/2015/10/23/180500/netizen-gugat-
penghancuran-bangunan-tjan-bian-thiong-di-yogya, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 53 Sutriyati, 2015, Pelapor: Pemulihan Bangunan Pecinan di Pajeksan saja tak Cukup, http://lo-
diy.or.id/pelapor-pemulihan-bangunan-pecinan-di-pajeksan-saja-tak-cukup/, diunduh pada tanggal 26
Juli 2019.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1067
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, adalah memberikan rekomendasi terkait
IMB pendirian hotel dengan tidak melalui proses rekomendasi dari Tim Pertimbangan
dan Pelestarian Warisan Budaya (TP2WB). Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) bernomor 0226/GT/2014 pada tahun 2014 tidak menyertakan Izin rekonstruksi
Bangunan Warisan Budaya (BWB). Faktanya bangunan telah dibongkar, bahkan
sebelum izin rekonstruksi terbit. Pemberian izin rekonstruksi Bangunan Warisan
Budaya (BWB) oleh Walikota Yogyakarta terbit terlambat dan baru dikeluarkan pada
tanggal 10 April 2015, sedangkan IMB sudah dikeluarkan terlebih dahulu pada tahun
2014.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Bangunan Gedung, ditentukan, bahwa IMB baru dapat diterbitkan setelah melalui
administrasi dan persyaratan teknis, terutama pada bangunan cagar budaya
memerlukan rekomendasi/surat keterangan dari instansi berwenang. Sutrisnowati
menilai pembongkaran terhadap Bangunan Warisan Budaya merupakan bentuk
perusakan. Merujuk kepada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, tindakan merobohkan bangunan tersebut sebagai Bangunan Warisan Budaya
seperti yang telah ditetapkan dengan keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
798/KEP/2009 merupakan tindakan pelanggaran Undang Undang Nomor 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar
Budaya menyebutkan bahwa “Warisan Budaya yang telah tercatat dalam Daftar
Warisan Budaya Daerah selanjutnya diperlakukan sama dengan Cagar Budaya.”
Dengan telah ditetapkan Bangunan Cina Tjan Bian Thiong sebagai Bangunan Warisan
Budaya, maka keberadaan bangunan tersebut harus diperlakukan sama dengan
Bangunan Cagar Budaya yang tidak bisa dilakukan perusakan baik seluruhnya
maupun sebagian sesuai ketentuan Pasal 66 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya. Hal tersebut diperkuat dengan argumentasi mendasarkan Pasal
1 angka 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya bahwa
“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan
Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang prlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Rumusan Pasal 1 tersebut secara tegas
merumuskan bahwa Cagar Budaya salah satu unsurnya melalui proses penetapan
”Pengertian proses berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai
runtutan perubahan/peristiwa dalam perkembangan sesuatu, rangkaian tindakan,
pembuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk. Dalam hal ini berkenan
dengan sejak ada dugaan adanya bangunan yang memenuhi unsur dan kriteria sebagai
bangunan cagar budaya, berakhir pada adanya penetapan sebagai bangunan cagar
budaya atau tidak memenuhi unsur dan kriteria sebagai bangunan cagar budaya. 54
54 Endang Sumiarni, Struktur dan Isi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, Disampaikan dalam Sosialisasi Bagi Para Jaksa, yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian
Cagar Budaya dan Permuseuman Jawa Tengah, di Surakarta, pada hari Kamis, tanggal 31 Maret 2016
.
1068 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Pembongkaran terhadap Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong di Jalan
Pajeksan Nomor 16 Yogyakarta merupakan bentuk perusakan. Dalam Pasal 66 ayat
(1) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya diatur bahwa,
“Setiap orang dilarang merusak cagar budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya,
dari kesatuan, kelompok dan/atau dari letak asal.” Tindakan
merobohkan/menghilangkan Bangunan Cina Tjan Bian Thiong sebagai Bangunan
Warisan Budaya yang telah ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota Yogyakarta
nomor 798/KEP/2009 merupakan tindakan yang dilarang oleh Undang Undang Nomor
11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pembongkaran atas Bangunan Warisan Budaya
sebagaimana dimaksud tidak memiliki izin pembongkaran dari instansi yang
berwenang, sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 50 junctis Pasal 51 Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya; Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 29 ayat (1), ayat (5), ayat (6), ayat (7) Peraturan Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan
Cagar Budaya.
Dalam Pasal 58 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun
2012 tentang Bangunan Gedung diatur bahwa “IMB diterbitkan apabila telah
memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis,” ayat (3) “Persyaratan
teknis sebagaimana ayat (1) terdiri dari: huruf d. “Terhadap bangunan cagar budaya,
bangunan yang berada dikawasan cagar budaya dan bangunan yang berada pada garis
sempadan sungai memerlukan rekomendasi/surat keterangan dari instansi teknis yang
berwenang.” Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam memberikan
rekomendasi/surat keterangan terkait IMB pendirian Hotel Amaris Malioboro Jalan
Pajeksan Nomor 16 hanya merekomendasi arsitektur bangunan, rekomendasi tidak
terkait dengan adanya bangunan Cina Tjan Bian Thiong sebagai salah satu Bangunan
Warisan Budaya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Terkait hal
tersebut untuk penerbitan IMB dalam proses rekomendasi dari Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota Yogyakarta tidak melibatkan TP2WB Kota Yogyakarta.
Menurut Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta berkesimpulan
adanya maladministrasi yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam
menerbitkan IMB Hotel Amaris Malioboro di Jalan Pajeksan Nomor 10 Kota
Yogyakarta yang berada di Persil Hak Guna Bangunan Nomor 439 yang berasal dari 4
persil dengan Nomor 148, 149, 150 dan 170. Empat persil itu semula berada pada
Jalan Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16. Hal itu disebabkan penerbitan IMB Hotel
Amaris Nomor 0226/GT/2014 pada tahun 2014 tersebut tidak menyertakan pemberian
Izin Rekonstruksi Bangunan Warisan Budaya (BWB) di Jalan Pajeksan Nomor 10,
12,14, dan 16 Kota Yogyakarta. Penerbitan Pemberian Izin Rekonstruksi oleh Wali
Kota Yogyakarta Nomor 430/1126 perihal Pemberian Izin Rekonstruksi Bangunan
Warisan Budaya (BWB) di Jalan Pajeksan Nomor 16, 14, 12, dan 10 Kota Yogyakarta
terbit pada tanggal 10 April 2015 yang lebih dahulu terbit IMB Hotel Amaris Nomor
0226/GT/2014 pada tahun 2014, bangunan BWB Tjan Bian Thiong telah di
robohkan/sudah tidak ada Bangunan Warisan Budaya. Semestinya, Izin Rekonstruksi
oleh Walikota Yogyakarta dikeluarkan sebelum diterbitkan IMB Hotel Amaris
Malioboro. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam melakukan
kajian teknis dalam rangka penerbitan rekomendasi seharusnya sejak awal melibatkan
Tim Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya (TP2WB) Kota Yogyakarta. Faktanya
dalam kajian rekomendasi persyaratan perizinan IMB Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan tidak melibatkan TP2WB sebagai bagian unsur penting.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1069
Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan bukti
terjadinya maladministrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, sebagai
berikut.55
a. Pemerintah Kota Yogyakarta menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Hotel Amaris Malioboro dengan alamat Jalan Pajeksan Nomor 10 yang berada
di Persil Hak Guna Bangunan Nomor 439 yang berasal dari 4 persil dengan
Nomor 148, 149, 150, dan 170. Empat persil itu semula berada pada Jalan
Pajeksan Nomor 10, 12, 14, dan 16. Padahal, di Jalan. Pajeksan Nomor 16
berdiri BWB Tjan Bian Thiong. Pada saat IMB Hotel Amaris Malioboro terbit
pada tahun 24 Maret 2014 dengan Nomor 0226/GT/2014, wujud fisik BWB
Tjan Bian Thiong tidak ada lagi di lokasi tersebut. IMB Hotel Amaris Malioboro
tidak menyertakan pemberian Izin Rekonstruksi BWB di Jalan Pajeksan Nomor
10, 12, 14, dan 16 Kota Yogyakarta.
b. Penerbitan Pemberian Izin Rekonstruksi oleh Walikota Yogyakarta Nomor
430/1126 perihal Pemberian Izin Rekonstruksi BWB di Jalan Pajeksan Nomor
16, 14, 12, dan 10 Kota Yogyakarta baru terbit pada tanggal 10 April 2015.
Seharusnya, izin rekonstruksi oleh Walikota Yogyakarta dikeluarkan sebelum
IMB Hotel Amaris Malioboro diterbitkan.
c. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam melakukan kajian
teknis dalam rangka penerbitan rekomendasi sebagai prasyarat IMB, seharusnya
sejak awal wajib melibatkan peran Tim Pertimbangan Pelestarian Warisan
Budaya (TP2WB) Kota Yogyakarta. Faktanya, dalam kajian rekomendasi
persyaratan IMB Hotel Amaris Malioboro, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Yogyakarta tidak melibatkan TP2WB sebagai bagian unsur penting.
Akibatnya, pemrakarsa pembangunan Hotel Amaris Malioboro menganggap
tidak ada larangan perobohan bangunan tersebut. Dalam penerbitan rekomendasi
ditemukan beberapa surat rekomendasi yang secara substansi dan struktur
berbeda dengan nomor yang sama dalam penerbitan Rekomendasi IMB sebagai
persyaratan pembangunan Hotel Amaris Malioboro.
d. Dalam penerbitan Rekomendasi dan Surat Keputusan oleh instansi teknis,
ditemukan adanya subjek hukum yang berbeda, meliputi:
1) Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menerbitkan
Rekomendasi dan Surat Keputusan Kepala BLH tentang Izin Lingkungan
memuat dua subjek hukum yang berbeda. Surat Rekomendasi Nomor
660/2119 atas nama PT Bumirejo Mulyo Lestari. Surat Keputusan Kepala
BLH Kota Yogyakarta Nomor 188/2120/KEP/2013 tentang Izin Lingkungan
untuk Usaha dan/atau Kegiatan Hotel Amaris Malioboro di Kelurahan
Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta atas nama
Perusahaan Hotel Amaris Malioboro.
2) Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta menerbitkan surat Nomor 551/572
perihal Analisis Dampak Lalulintas tertanggal 28 Februari 2014 ditujukan
kepada Eko Bimantoro selaku pihak dari PT. Bumirejo Mulyo Lestari.
55 Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong untuk Hotel Amaris Malioboro akibat Mal-
Administrasi Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam https://www.change.org/p/gubernur-diy-kepala-bpcb-
yogya-usut-tuntas-kasus-penghancuran-bangunan-warisan-budaya-tjan-bian-thiong-untuk-hotel-amaris-
malioboro?recruiter=362088168, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
1070 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
3) Penerbitan Surat Rekomendasi Instalasi Proteksi Kebakaran pada Bangunan
Nomor 364/022/II/2014 tertanggal 28 Februari 2014 atas nama Eko
Bimantoro yang didasarkan pada Surat Permohonan Rekomendasi Instalasi
Proteksi Kebakaran tertanggal 28 Februari 2014.
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menyatakan secara tegas
bahwa keberadaan Warisan Budaya dan Cagar Budaya di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta merupakan kekayaan kultural yang mengandung nilai-nilai kearifan
budaya lokal. Hal ini penting sebagai dasar pembangunan kepribadian, pembentukan
jati diri, serta benteng ketahanan sosial budaya masyarakat Daerah Istimewa
Yogyakarta. Saat ini, kondisi cagar budaya dan warisan budaya yang ada di Daerah
Istimewa Yogyakarta sangat memprihatinkan, disebabkan antara lain karena tuntutan
perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Banyak bangunan cagar budaya yang
diubah, tidak menampakkan lagi bentuk bangunan aslinya.
Kelalaian Pemerintah Kota Yogyakarta dengan terjadinya maladministrasi dalam
proses penerbitan IMB Hotel Amaris Malioboro harus dibayar mahal dengan
hancurnya Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong. Padahal, seharusnya
Pemerintah Kota Yogyakarta bertanggung jawab dalam mengatur perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya yang telah ditetapkan di wilayahnya,
sesuai yang telah diarahkan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Apalagi, Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong ini menjadi bagian dari
Kawasan Cagar Budaya Malioboro yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Sumbu
Filosofi Yogyakarta yang harus dilestarikan. Pemerintah Kota Yogyakarta diwajibkan
untuk menjamin kelestarian cagar budaya yang telah lebih dulu ada melalui
pengaturan arsitektur dan tata ruang kota.
Sebagai tindak lanjut, maka dalam penerbitan Rekomendasi dan Surat
Keputusan oleh instansi teknis ditemukan adanya tiga subyek hukum yang berbeda,
yaitu PT. Bumirejo Mulyo Lestari, Perusahaan Hotel Amaris Malioboro, dan Bapak
Eko Bimantoro selaku perorangan. Untuk itu, Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa
Yogyakarta memberikan rekomendasi kepada Walikota Yogyakarta:56
1) Untuk membangun kembali Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong sesuai
dengan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 tahun 2012 tentang
Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Peraturan Gubernur DIY Nomor
62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya, Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung sebagai bentuk
pelestarian khazanah budaya dan pendidikan;
2) Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mensosialisasikan keberadaan Bangunan
Warisan Budaya dan/atau Bangunan Cagar Budaya di wilayah Kota Yogyakarta
sampai tingkat RT/RW serta memberi tanda pada bangunan tersebut;
3) Persyaratan rekomendasi dari instansi teknis dalam hal ini Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan terkait Izin Mendirikan Bangunan di kawasan cagar budaya harus
dilakukan pencermatan dan kajian yang mendalam dengan melibatkan TP2WB,
dan stakeholder terutama kaitan dengan Bangunan Warisan Budaya/Bangunan
Cagar Budaya, Arsitektur Bangunan, dan Tata Ruang.
Memohon kepada Sri Sultan Hamengkubowono X selaku Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta untuk mengambil langkah-langkah dan tindakan atas
56 Sutrinowati, S.H., Ketua Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta. Lihat Ibid.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1071
maladministrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta sesuai dengan
kewenangan dan peraturan perundang-undangan.
b. Kewenangan Perizinan Bangunan Warisan Budaya
Bedasarkan data yang diperoleh, terdapat gambaran di Kota Yogyakarta ada 100
lebih Cagar Budaya yang sudah ditetapkan. Tahun 2016 ada 59 bangunan yang baru
diusulkan ke Walikota. Apabila masih dalam proses kajian, maka belum dapat
dikatakan sebagai Cagar Budaya. Anggaran yang tersedia mempengaruhi kuantitas
proses kajian. 57 Bangunan yang diduga sebagai cagar budaya termasuk Bangunan
Warisan Budaya. Bangunan Warisan Budaya selama proses penetapan, sejak
pendaftaran, pengolahan data dan kajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya Kota
Yogyakarta, perlindungan hukumnya sama dengan Bangunan Cagar Budaya.
Masyarakat keberatan terhadap penetapan bangunan yang diduga sebagai cagar
budaya, atau bangunan warisan budaya menjadi bangunan cagar budaya, dengan
alasan harga bangunan menjadi turun, mengalami kesulitan untuk menjual dan
membangun, biaya perawatan tinggi, serta persoalan pembagian bangunan sebagai
harta warisan kepada para ahli waris. Selain itu pemerintah melarang tetapi tidak
memberikan saluran-saluran, serta keberatan membayar Pajak Bumi dan Bangunan.58
Pengajuan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan seharusnya memperoleh
100%, namun ketika diajukan hanya ada yang memperoleh 25%. Pemilik/dan atau
yang menguasai Bangunan Cagar Budaya atau Bangunan Warisan Budaya, akan
mengfungsikan lain agar dari keuntungannya bisa membayar Pajak Bumi dan
Bangunan. Mereka memfungsikan sebagai tempat usaha, namun usahanya belum
berhasil, tetapi sudah harus membayar pajak penghasilan. Dengan demikian yang
bersangkutan membayar pajak ganda. 59 Insentif diberikan kepada pemilik Cagar
Budaya sebesar 25% berupa keringanan pajak, yang harus diajukan sendiri oleh
pemilik cagar Budaya.60
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari narasumber, Dian Laksmi
Pratiwi, S.S.MArk. selaku Kabid Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan Budaya
mengatakan bahwa:
a. Izin pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya, termasuk Bangunan
Warisan Budaya tidak diperlukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), melainkan
melalui perizinan yang dilayani oleh Sistem Pelayanan Satu Atap pada Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
sekarang bernama Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pelayanan perizinan tersebut meliputi izin pemugaran,
izin adaptasi, izin pengembangan di dalamnya ada izin revitalisasi dan izin
pemanfaatan. Pengurusan secara administrasinya di BKPM Pelayanan
Perizinan Terpadu, tetapi secara teknis ada pada Dinas Kebudayaan kota
Yogyakarta.
b. Izin terhadap adaptasi ada dua macam yaitu Izin Mendirikan Bangunan dan
Izin Pemugaran.
1) Izin Mendirikan Bangunan diajukan ke Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Kota, karena Izin Mendirikan Bangunan menjadi
57 Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Eko Suryo Maharsono, Kepala Dinas Kebudayaan Kota
Yogyakarta, pada tanggal 27 Maret 2019. 58 Ibid. 59 Ibid. 60 Ibid.
1072 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
kewenangan Pemerintah Kota. Dalam hal ini diperlukan rekomendasi dari
Dinas Kebudayaan Kota dan Provinsi, karena yang mengetahui secara teknis
mengenai hal itu adalah Dinas Kebudayaan Provinsi. Khusus di Pemerintah
Kota Yogyakarta Izin Mendirikan Bangunan melalui dua tingkat. Pertama
melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kota, kedua
dimintakan rekomendasi dari Dinas Kebudayaan Provinsi. Pemohon tidak
berhubungan dengan Dinas Kebudayaan, karena yang diserahkan ke Dinas
Kebudayaan hanya berkasnya saja. Apabila ada persoalan maka Dinas
Kebudayaan dapat meminta kepada pemohon untuk memperbaiki
permohonannya. Dalam hal ini Dinas Kebudayaan Kota dan Provinsi
mengkaji secara teknis desain dan Dinas Pekerjaan Umum mengkaji dari
aspek umum termasuk bahan dan konstruksi.
2) Apabila hanya murni pemugaran Bangunan Cagar Budaya termasuk
Bangunan Warisan Budaya, seperti bangunan Kraton, Bangunan Puro
Pakualaman, maka tidak diperlukan izin dari Dinas Perizinan Kota.
Bangunan-bangunan tersebut diperlukan perizinan sesuai dengan Peraturan
Gubernur Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya. Khusus
Bangunan Cagar Budaya Pizza Hut yang dikembangkan untuk usaha, maka
ada dua izin di dalamnya, yaitu Izin Mendirikan Bangunan untuk bangunan
baru, dan Izin adaptasi untuk Bangunan Cagar Budaya. 61 Joko Budi
Prasetyo, S.T.,M.M. Kepala Bidang Bangunan Gedung pada Dinas
Pekerjaan Umum dan Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPUPKP)
Kota Yogyakarta, mengatakan bahwa dalam hal Bangunan Cagar Budaya
termasuk Bangunan Warisan Budaya yang akan dipugar atau ada perubahan
desain arsitekturnya, perizinan termasuk dalam Izin Mendirikan Bangunan,
diajukan ke Dinas Perizinan Kota terlebih dulu, tidak memperhatikan
Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya.
Permohonan Izin Mendirikan Bangunan diajukan dengan Surat Keterangan
Rencana Kota (SKRK/Advice Planning), yang sudah menunjukkan seperti apa yang
akan direncanakan itu, apabila dikaitkan dengan tata ruang termasuk kategori Kawasan
Cagar Budaya. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 6 Kawasan Cagar
Budaya. Kawasan ini adalah Kawasan Cagar Budaya Malioboro, Kawasan Cagar
Budaya Keraton, Kawasan Cagar Budaya Pakualaman, Kawasan Cagar Budaya
Kotabaru, Kawasan Cagar Budaya Kotagede, dan Kawasan Cagar Budaya Imogiri.
Enam Kawasan Cagar Budaya yang berada di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, sebanyak lima Kawasan Cagar Budaya berada di kota Yogyakarta.
Kawasan Cagar Budaya yang berada di luar Kota Yogyakarta hanya satu yaitu
Kawasan Cagar Budaya Imogiri. Dengan demikian sebanyak 80% Kota Yogyakarta
merupakan Kawasan Cagar Budaya.
Menurut narasumber Gatot Sudarmono, S.H.,62 dari Dinas Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Kota Yogyakarta, mengatakan bahwa penetapan
Cagar Budaya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ada yang dengan Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Keputusan Gubernur, atau Keputusan Walikota.
Kota Yogyakarta melalui Walikota Kota Yogyakarta juga menerbitkan Surat
61 Dian Laksmi Pratiwi, S.S.MArk. (Kabid Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan Budaya
Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), wawancara pribadi tanggal 8 April 2019. 62 Gatot Sudarmono, S.H. (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota
Yogyakarta), wawancara pribadi tanggal 2 April 2019.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1073
Keputusan tentang objek sebagai Warisan Budaya untuk yang diduga Cagar Budaya.
Warisan Budaya ini sebagai cikal bakal diusulkan kepada Dinas Pariwisata sebagai
Benda Cagar Budaya.
Dalam hal penanganan pekerjaan ada pembagian kewenangan. Yang menjadi
kewenangan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan dan Kawasan Pemukiman
(DPUPKP) Kota Yogyakarta adalah hanya untuk Bangunan Warisan Budaya atau
Cagar Budaya milik pemerintah, seperti SMP 5 atau SMP 1. Untuk Bangunan Warisan
Budaya atau Cagar Budaya yang milik masyarakat itu menjadi kewenangan dari Dinas
Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Data yang diperoleh dari narasumber Joko Budi Prasetyo, S.T., M.M. selaku
Kepala Bidang Bangunan Gedung pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan dan
Kawasan Pemukiman (DPUPKP) Kota Yogyakarta, bahwa untuk penanganan
permohonan Izin Mendirikan Bangunan terhadap Bangunan Warisan Budaya atau
Cagar Budaya maka posisi DPUPKP dapat menangani soal rekomendasi teknis. Yang
dikerjakan oleh DPUPKP adalah memberi rekomendasi yang berkaitan dengan
konstruksi, Garis Sempadan Bangunan (GSB) struktur bangunan dan sebagainya.
Yang berkaitan dengan desain arsitektural, fasad bangunan lama, itu dari Dinas
Kebudayaan. Dinas Pekerjaan Umum juga melakukan koordinasi terhadap bangunan
Cagar Budaya atau Warisan Budaya yang dikerjakan oleh instansi biasanya ada
koordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum, khusus untuk tetap mempertahankan
Bangunan Cagar Budaya tersebut dan dan tidak jauh beda bentuknya.63
Menurut narasumber Pratiwi mengatakan bahwa kewenangan di bidang
pelestarian cagar budaya termasuk warisan budaya, ada di tangan berbagai instansi.
Sampai sekarang tidak ada batas kewenangan. Balai Pelestarian Cagar Budaya juga
berwenang melakukan kajian terhadap Bangunan Cagar Budaya peringkat provinsi
maupun kota. Dalam praktek jika terjadi pelanggaran terhadap cagar budaya maka
Balai Pelestarian Cagar Budaya mengatakan bahwa kewenangan ada di Dinas
Kebudayaan kota Yogyakarta.
Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, seperti untuk
pertunjukkan kesenian, untuk wisata kuliner khas Yogyakarta, dapat makan bersama
pangeran, dapat berfoto menggunakan baju tradisional Yogyakarta, foto dengan
suasana tempo dulu, ikut bermain musik gamelan. Semua kegiatan tersebut dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, tanpa harus merusak atau mengubah
arsitektur Bangunan Cagar Budaya. Faktanya berbagai ide dari Dinas Kebudayaan
Kota Yogyakarta tidak disetujui oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DI
Yogyakarta.64
c. Izin diberikan meskipun adaptasi bangunan bertentangan dengan prinsip
dasar pelestarian bangunan warisan budaya yang sudah ditetapkan
Toleransi mengenai perubahan desain arsitektural telah diatur dalam Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian
Warisan Budaya dan Cagar Budaya. Dalam hal ini kondisi eksisting menjadi hal yang
dipertimbangkan. Sebelum dilakukan kegiatan pemugaran harus ada studi kelayakan
dan studi teknis. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana perubahan
63 Joko Budi Prasetyo,ST.MM. Kepala Bidang Bangunan Gedung pada Dinas Pekerjaan Umum
dan Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPUPKP) Kota Yogyakarta, wawancara pribadi tanggal 29
April 2019. 64 Ibid.
1074 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
tersebut dapat dan boleh dilakukan: “dengan cara apa, metodenya apa, dan seberapa
jauh, untuk mempertahankan seratus persen ataukah ada perubahan? Di institusi ini
ada 3 kategori pemugaran, ada bangunan tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. Tipe 1 itu sangat
ketat, tipe 2 itu boleh ada adaptasi sampai sekian presen, dan tipe tiga ini yang boleh
ada perubahan. Hal itu juga tergantung kondisi eksisting. Kalau kondisi eksisting
sudah banyak yang berubah maka dibolehkan untuk ada perubahan, tetapi kalau masih
sangat utuh dan baik akan bertahan di pelestarian. Yang biasanya sebagai pegangan
tidak boleh diubah adalah fasad (muka) bangunan. Untuk kriteria itu ada kaitannya
dengan tolok ukur tertentu yang sudah ada di format rekomendasi.”
Kriteria itu digunakan untuk memverifikasikan Bangunan Cagar Budaya yang
sudah ditetapkan oleh Menteri pada saat itu, termasuk Bangunan Warisan Budaya. Hal
tersebut terjadi karena pada waktu penetapan oleh Menteri tidak semuanya dilakukan
secara tepat. Misal soal deliniasi, ada sejumlah bangunan yang deliniasinya sangat
jauh. Kalau digunakan apa yang ditetapkan oleh Menteri maka akan jatuh pada tempat
yang berbeda. Pada waktu dicek akan dicermati apakah betul usianya sudah lebih dari
50 tahun, porsi, posisi, gaya, elemen mana yang menunjukkan bahwa bangunan ini
sudah berusia lebih dari 50 tahun, bagian mana yang mempunyai nilai penting itu.
Ternyata 85% asli, sehingga dikelompokkan menjadi bangunan tipe 1. Kalau
bangunan tipe 1 maka yang dapat dirubah hanya sebesar 20%. Bagian mana saja yang
dapat dirubah? Tetapi kalau eksisting ternyata sudah banyak yang berubah, maka yang
dapat diubah ya bisa banyak.65
Untuk permohonan Izin Mendirikan Bangunan perlu rekomendasi dari Dinas
Kebudayaan yang dibedakan menjadi 2:
“Khusus yang berada di jalur Imaginer dan sumbu filosofis, Panggung Krapyak,
Kraton, Tugu, sampai perbatasan Jetis rekomendasi dikeluarkan oleh Dinas
Kebudayaan Provinsi. Rekomendasi ini keluarnya bentuknya 1 haknya apa, kemudian
desainnya apa, mengikuti yang ada di 5 kawasan ini. Jadi kalau Kawasan Kotabaru
dan sekitar tugu ke timur ini adalah kawasan Indishe, menurut orang kebudayaan
disebut indishe klasik karakternya. Dinas perizinan tidak tahu menahu soal ini, maka
pemohon harus punya rekomendasi terlebih dahulu. Setelah rekomendasi dibuat, itu
dilampirkan sebagai dasar pembuatan gambar teknis yang akan diajukan dalam proses
Izin Mendirikan Bangunan. Hanya biasanya jika sudah ditetapkan sebagai Cagar
Budaya, tidak boleh diuthek-uthek atau diubah-ubah.”66
Sebagai contoh adalah bangunan di Rumah Sakit Bethesda, sekitar 3 bangunan
yang tidak boleh dibongkar ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya, termasuk Unit
Gawat Darurat Rumah Sakit, pada waktu dulu bangunan yang berada di bagian tengah
tidak boleh dibongkar, tetapi yang lainnya boleh dikembangkan, sehingga Dinas
Perizinan hanya mengikuti dari rekomendasi teknis. Hal ini menyebabkan Dinas
Perizinan sering dimarahi atau mendapat protes dari pemohon, karena Dinas Perizinan
yang menerima permohonan, kemudian Dinas Perizinan yang mengirimkan
rekomendasi ke Dinas Kebudayaan, dan jika Dinas Kebudayaan menolak memberi
rekomendasi maka Dinas Perizinan mendapat protes dari pemohon.
Dalam praktek ada beberapa alasan, diberikannya izin pengubahan/adaptasi
terhadap Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya, dalam hal:
a. Dinas Perizinan akan mengalami kebingungan jika ada intervensi dari Balai
Pelestarian Cagar Budaya, saat suatu benda tidak ditetapkan sebagai cagar
65Dian Laksmi Pratiwi, S.S.MArk. (Kabid Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan Budaya),
wawancara pribadi tanggal 8 April 2019. 66 Gatot Sudarmono, S.H., Op.Cit.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1075
budaya baik itu daftar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta maupun daftar di
Kota Yogyakarta, tetapi menurut Balai Pelestarian Cagar Budaya ini potensi
masuk sebagai cagar budaya. Di sisi lain Dinas Perizinan sudah mengeluarkan
Izin Mendirikan Bangunan, Contoh bangunannya adalah bangunan di daerah
Jalan Suroto.67
b. Dinas Pekerjaan Umum tidak memberi rekomendasi mengenai bentuk dan
desain fisik bangunan, karena yang seperti itu selama ini diberikan oleh Dinas
Kebudayaan. Dinas Pekerjaan Umum hanya memberikan rekomendasi
konstruksi dan teknis, misal kalau bentangnya sekian meter, maka tidak kuat
kalau memakai bahan seperti ini dengan ketebalan seperti ini, maka mesti
memerlukan isian di dalamnya dengan penambahan bahan apa, bukan soal
tampilan dan visual. Seperti bangunan di Kotabaru, maka mesti bentuk dan
desainnya tidak mungkin berubah, karena nanti kalau sampai berubah tidak
dapat dikerjakan sama sekali, artinya harus dihentikan, misalnya yang di Jalan
Suroto itu dihentikan karena tidak mengikuti desain yang seharusnya. Yang
dikerjakan selain misalnya bangunan di Jalan Suroto Kotabaru, juga ada
bangunan milik pemerintah, kami hanya bisa menghaluskan kembali yang sudah
mengelupas, dengan bahan dan komposisi mendekati bangunan aslinya. Untuk
bangunan yang cagar budaya yang diadaptasi atau diperbaiki tidak ada toleransi
bentuk, tetapi bahan disesuaikan dengan aslinya dengan kemungkinan
penambahan seperti tulangan di dalamnya.
c. Pengubahan Bangunan Cagar Budaya termasuk Warisan Cagar Budaya,
bahan/material bangunan dikonsultasikan dengan Dinas Kebudayaan, misal
kalau kulitnya sudah menjamur dan mengelupas rontok, apakah boleh kita cecek
dan diganti dengan material yang baru dengan tampilan seperti aslinya. Khusus
bangunan-bangunan di lingkungan kraton sudah ditentukan harus memakai
komposisi dan bahan seperti aslinya, seperti bligon, batu bata gepuk, gamping,
pasir dan sebagainya. Kita untuk komposisi menggunakan Burgelijke Ovenbare
Werken (BOW) tahun 1920 yang lama. Bata gepuk itu digunakan bata gepuk
yang dikerjakan secara manual.68
d. Faktor regulasi juga menjadi kendala di dalam kegiatan pemugaran. Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta meskipun mempunyai anggaran dana
keistimewaan yang di antaranya dipergunakan untuk pelestarian Cagar Budaya
termasuk Warisan Budaya, namun karena ada ketidakjelasan dalam aturannya
khususnya mengenai peruntukkan dana hibah. Ketentuan hibah itu tidak boleh
untuk perseorangan, namun harus instansi yang berbadan hukum, dan minimal 3
tahun sudah terdaftar di dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
mempunyai akta Notaris saja tidak bisa menerima hibah. Akta Notaris harus
dilegalisir di Pengadilan Negeri. Persoalannya untuk bangunan cagar budaya
termasuk bangunan warisan budaya sebagian besar tidak berbadan hukum.
Wewenang pengaturan hibah ini ada di tangan Pemerintah.
e. Pertanggungjawaban keuangan dasarnya adalah peraturan Menteri keuangan,
sehingga jika ada penggunaan dana untuk pelestarian dapat merupakan
pelanggaran, meskipun hal tersebut diperbolehkan menurut Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pelstarian cagar budaya belum ada harmonisasi dan
sinkronisasi. Dampaknya adalah bagi pemilik Bangunan Cagar Budaya yang
67 Ibid. 68 Ibid.
1076 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
semula pro pelestarian, menjadi kecewa karena hanya memperoleh keringan
pajak bumi dan bangunan sebsesar 25%.69 Ada pemilik Bangunan Cagar Budaya
yang setiap tahunnya harus membayar Pajak Bumi dan bangunan sebesar
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), dikurangi 25%, sehingga masih
harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) pertahunnya.70
IV. PEMBAHASAN
Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Pasal 7, ditentukan bahwa “Kewenangan
DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan
Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan
daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Kewenangan dalam urusan Keistimewaan meliputi:
a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan
Wakil Gubernur;
b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
c. kebudayaan;
d. pertanahan; dan
e. tata ruang.
Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan didasarkan
pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Ketentuan lebih
lanjut mengenai kewenangan dalam urusan Keistimewaan diatur dengan
Perdais. Dalam Pasal 31 ditentukan bahwa: “Kewenangan kebudayaan
diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa,
karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat,
benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan kebudayaan diatur dalam
Perdais.
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Daerah Istimewa
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013
tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, khususnya Pasal 34, dtentukan bahwa:
(1) Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan dalam urusan Kebudayaan.
(2) Kewenangan dalam urusan Kebudayaan diselenggarakan untuk memelihara
dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa dan karya yang berupa nilai-nilai,
pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang
mengakar dalam masyarakat DIY.
(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan dalam urusan kebudayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan melalui kebijakan
pelindungan, pengembangan dan pemanfatan kebudayaan.
(4) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Kebudayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah dapat berkoordinasi dengan Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Pemerintah di bidang Kebudayaan, Kasultanan dan
69 Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Eko Suryo Maharsono, Loc.Cit. 70Ibid.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1077
Kadipaten, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa/Kelurahan, dan
masyarakat.
Berdasarkan konsideran menimbang Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan
Cagar Budaya bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki entitas atau tata
pemerintahan berbasis kultural, sekaligus identitas lokal berupa nilai religi, nilai
spiritual, nilai filosofis, nilai estetika, nilai perjuangan, nilai kesejarahan, dan nilai
budaya yang menggambarkan segi keistimewaan Yogyakarta sehingga harus dijaga
kelestariannya; bahwa keberadaan Warisan Budaya dan Cagar Budaya di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan kekayaan kultural yang mengandung nilai-
nilai kearifan budaya lokal yang penting sebagai dasar pembangunan kepribadian,
pembentukan jati diri, serta benteng ketahanan sosial budaya masyarakat Daerah
Istimewa Yogyakarta, sehingga upaya untuk menjaga kelestariannya menjadi
tanggung jawab bersama semua pihak.
Menurut hemat peneliti, berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor
11 Tahun 2010 bahwa Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat
dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Jika dikaitkan dengan Bangunan
Warisan Budaya Tjan Bian Thiong maka bangunan tersebut juga memiliki unsur
sebagai bangunan cagar budaya. Apabila mendasarkan pada Pasal 1 angka 1
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012
tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, terdapat pengertian warisan
budaya yaitu benda warisan budaya, bangunan warisan budaya, struktur warisan
budaya, situs warisan budaya, kawasan warisan budaya di darat dan atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan dan telah tercatat di
Daftar Warisan Budaya Daerah. Dengan demikian Bangunan Warisan Budaya Tjan
Bian Thiong jika mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya termasuk Bangunan yang diduga Cagar Budaya, yang tetap harus
dilindungi dan dilestarikan. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan
Budaya dan Cagar Budaya, Bangunan Tjan Bian Thiong termasuk Bangunan Warisan
Budaya. Dasarnya adalah penegasan dalam Surat Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor BWB 789/KEP/2009.
Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5, Bangunan Warisan Budaya Tjan
Bian Thiong tersebut memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya, yaitu berusia 50
(lima puluh) tahun atau lebih; mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima
puluh) tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian
bangsa.
Lebih lanjut Warisan Budaya dapat dilakukan pengembangan, sesuai dengan
ketentuan Pasal 45 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6
Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya, bahwa:
“(1) Pengembangan Warisan Budaya dan Cagar Budaya dilakukan berdasarkan
jenisnya.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk benda Warisan
Budaya atau Benda Cagar Budaya dilakukan dengan cara perbanyakan
1078 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
(3) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk bangunan
dan/atau struktur Warisan Budaya atau Cagar Budaya dilakukan dengan
cara adaptasi.
(4) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk situs dan/atau
kawasan Warisan Budaya atau situs dan/atau Kawasan Cagar Budaya
dilakukan dengan cara revitalisasi”.
Selanjutnya Pasal 46 berisi ketentuan bahwa
“(1) Pengembangan Warisan Budaya dan/atau Cagar Budaya yang berbentuk
bangunan atau struktur dilakukan dengan tetap mempertahankan:
a. ciri asli muka dan/atau fasad bangunan atau struktur; dan
b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah situs cagar budaya
atau Kawasan Cagar Budaya tempat bangunan atau struktur berada.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
berpedoman pada:
a. nilai-nilai penting yang melekat pada Warisan Budaya dan Cagar
Budaya;
b. penambahan fasilitas sarana dan prasarana secara terbatas sesuai dengan
kebutuhan;
c. pengubahan susunan ruang secara terbatas; dan
d. gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di
sekitarnya.
(3) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat
rekomendasi dari Dewan Warisan Budaya.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan adaptasi pada Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, khususnya Pasal 83 maka Bangunan Cagar
Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi
kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan ciri asli dan/atau muka Bangunan
Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dan/atau ciri asli lanskap budaya dan/atau
permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan
adaptasi. Adaptasi tersebut dilakukan dengan mempertahankan nilai-nilai yang
melekat pada Cagar Budaya, menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan, mengubah
susunan ruang secara terbatas, dan/atau mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi
asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.”
Berdasarkan data yang diperoleh di lokasi penelitian ada berbagai perbedaan
pendapat tentang perizinan adaptasi terhadap bangunan cagar budaya termasuk
warisan cagar budaya. Ada narasumber yang mengatakan bahwa bukan menggunakan
istilah adaptasi, tetapi menggunakan istilah pemugaran. Pemugaran terhadap
Bangunan Warisan Budaya tidak melalui Izin Mendirikan Bangunan melainkan
melalui Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Izin tersebut meliputi izin pemugaran, izin adaptasi, izin pengembangan khususnya
revitalisasi dan pemanfaatan. Di sisi lain, izin secara teknis ada pada Dinas
Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Izin adaptasi melalui 2 jenis perizinan yaitu Izin Mendirikan Bangunan dan
pemugaran. Izin Mendirikan Bangunan melalui Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Kota Yogyakarta, dengan rekomendasi dari Dinas Kebudayaan
Kota, Dinas Kebudayaan Provinsi, dan Dinas Pekerjaan Umum. Dinas Kebudayaan
Kota dan Dinas Kebudayaan Provinsi mengkaji dari aspek desain dan arsitekturalnya,
sementara Dinas Pekerjaan Umum mengkaji dari aspek umum termasuk terkait dengan
bahan dan konstruksi. Izin pemugaran bangunan cagar budaya menjadi kewenangan
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1079
Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengajuan permohonan ke Dinas Perizinan Kota tidak membedakan antara bangunan
biasa dengan Bangunan Cagar Budaya maupun Bangunan Warisan Budaya. Untuk
Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya, Dalam pemberian Izin
Mendirikan Bangunan Dinas perizinan melibatkan Dinas kebudayaan Kota dan Dinas
Kebudayaan Provinsi untuk memberikan rekomendasi.
Menurut hemat penulis, narasumber masih ada yang belum memahami tentang
pengertian cagar budaya, kriterianya, serta jenis-jenisnya, sehingga berdasarkan data
yang diperoleh ada yang mengatakan adalah Bangunan Cagar Budaya adalah sebagai
Benda Cagar Budaya. Hal tersebut menjadi benar jika dasar hukumnya masih
menggunakan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Dengan demikian seyogyanya, ketika menyebutkan jenis cagar budaya, harus disertai
dengan dasara hukumnya.
Berdasarkan data yang diperoleh maka menurut hemat penulis, belum terdapat
satu kesatuan tentang perizinan terhadap adaptasi Bangunan Cagar Budaya. Hal itu
berdasarkan data yang diperoleh dari para narasumber dari berbagai instansi, mereka
masih berpijak pada perizinan mendirikan bangunan ataupun merubah bangunan
secara umum, sehingga terdapat kerancuan atau ketidakjelasan sistem operasional
prosedur terhadap adapatasi Bangunan Cagar Budaya, Bangunan Warisan Budaya dan
yang bukan cagar budaya. Selain itu sistem perizinan terlihat bahwa para pihak terkait
yang berwenang memberikan perizinan belum mengacu kepada kewenangan perizinan
terhadap adaptasi Bangunan Cagar Budaya dengan mendasarkan pada peringkat
Bangunan Cagar Budaya tersebut termasuk Bangunan Warisan Budaya. Berdasarkan
ketentuan Pasal 41-Pasal 49 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, segala sesuatu yang berkaitan dengan perizinan khususnya adaptasi terhadap
Bangunan Cagar Budaya, pihak yang berwenang adalah, bupati/walikota, jika
peringkat cagara budaya tersebut merupakan peringkat kabupaten/kota, gubernur jika
peringkat cagara budaya tersebut merupakan peringkat provinsi, dan menteri jika
peringkat cagar budaya tersebut merupakan peringkat nasional. Dengan demikian,
maka masing-masing instansi yang memiliki kewenangan di bidang perizinan juga
harus menyesuaikan diri. Dalam hal ini perizinan berada pada instansi yang
berwenang memberikan perizinan, namun rekomendasi wajib diperoleh dari dinas
kebudayaan sesuai peringkat Bangunan Cagar Budaya. Khusus untuk Bangunan
Warisan Budaya yang tidak ada pemeringkatannya maka perizinan terhadap adaptasi
menjadi kewenangan Bupati/Walikota.
Berbagai pendapat juga rancu perihal kewenangan Balai Pelestarian Cagar
Budaya, khususnya Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Iistimewa
Yogyakarta, yang merupakan instasi pemerintah yang ditempatkan di daerah, sehingga
kewenangannya adalah memberikan rekomendasi jika Bangunan Cagar Budaya yang
akan diadaptasi merupakan peringkat nasional. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dikarenakan
tidak adanya kejelasan kewenangan, maka Balai Pelestarian Cagar Budaya menjadi
suatu badan yang ikut serta berwenang terhadap Bangunan Cagar Budaya peringkat
provinsi dan kota. Apabila mengacu kepada kewenangan tersebut maka Balai
Pelestarisan Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mempunyai
kewenangan dalam memberikan rekomendasi terhadap adaptasi bangunan Warisan
Budaya yang berada di Kota Yogyakarta. Dengan demikian terjadi kerancuan
menginterpretasikan dalam memberikan perlakuan terhadap cagar budaya dan warisan
1080 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
budaya serta dalam memberikan perizinan terhadap adaptasi, juga dalam memberikan
rekomendasi terhadap adaptasi.
Adaptasi warisan budaya berdasarkan peraturan perundang-undangan
berorientasi pada pelestarian. Sebagai pembanding pelestarian warisan budaya
termasuk pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang dikemukan
oleh Mari Kusbianto, bahwa pelestarian mencakup kegiatan inventarisasi, identifikasi,
dokumentasi, penelitian, revitalisasi, dan promosi. Selain kewajiban untuk
melestarikan pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk melindungi ekspresi
budaya tradisional dan langkah-langkahnya meliputi pengawasan, pembinaan, gugatan
perdata, pencabutan izin, atau penuntutan pidana.71 Menurut hemat penulis, tidak ada
perbedaan konsep pelestarian baik yang intangible maupun yang tangible dalam hal ini
warisan budaya yang berupa bangunan. Keduanya harus dilestarikan oleh pemerintah
dan masyarakat.
Berdasarkan data yang diperoleh, maka secara kuantitatif pada tahun 2016
sebanyak 59 bangunan yang dikaji untuk memperoleh penetapan bangunan cagar
budaya dari walikota, faktanya hanya 6 bangunan yang berhasil dikaji, dengan rincian
3 sudah ditetapkan dan yang 3 lain menunggu penetapan. Peneliti berpendapat bahwa
instansi yang berwenang di bidang pelestarian cagar budaya belum memahami
sepenuhnya dan belum memiliki komitmen sepenuhnya terhadap pelestarian cagar
budaya termasuk warisan budaya. Hal itu disebabkan dalam melakukan proses kajian
tergantung pada kemauan pemilik dan/atau yang menguasainya. Menurut peneliti,
argumentasi seperti itu tidak ada landasan hukumnya, bahkan justru bertentangan
dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya bahwa
setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau
menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya juncto Pasal 104 bahwa setiap orang
yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya
Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Dalam Pasal 114 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
ditentukan jika pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana
memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena
jabatannya terkait dengan Pelestarian Cagar Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3
(sepertiga).
Izin diberikan meskipun pengubahan bentuk bangunan bertentangan dengan hak
moral pencipta dan bertentangan dengan prinsip dasar pelestarian bangunan cagar
budaya yang sudah ditetapkan, termasuk bangunan warisan budaya. Pemugaran
terhadap Bangunan Cagar Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya kadang kala
diperlukan adanya perubahan tertentu. Pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya
termasuk Bangunan Warisan Budaya di Kota Yogyakarta mendasarkan Pada Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang
Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya dan Peraturan Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya.
Menurut ketentuan Pasal 23 Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
71 Mari Kusbiyanto, Upaya Mencegah Hilangnya Wayang Kulit Sebagai Ekspresi Budaya
Warisan Budaya Bangsa, “Jurnal Hukum Dan Pembangunan”, Vol.45, No.4, Tahun 2015, hal. 603.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1081
62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya, pemugaran Bangunan Cagar
Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan oleh pemilik dan/atau yang
menguasai setelah mendapatkan izin pemugaran. Izin pemugaran tersebut diberikan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Warisan Budaya. Untuk
itu peran rekomendasi Dewan Warisan Budaya dalam izin tersebut sangat penting.
Dalam memberikan rekomendasi, Dewan Warisan Budaya memberikan toleransi
terhadap perubahan desain arsitektural yang diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan
Budaya dan Cagar Budaya. Dalam hal ini kondisi eksisting menjadi hal yang
dipertimbangkan. Sebelum dilakukan pemugaran mesti ada studi kelayakan dan studi
teknis. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana perubahan tersebut
dapat dan boleh dilakukan. Dengan cara apa, metodenya apa, dan seberapa jauh
perubahannya. Dalam Pasal 40 ayat (3) sampai dengan ayat (6) dari Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian
Warisan Budaya dan Cagar Budaya ditentukan mengenai penggolongan Bangunan dan
Struktur Cagar Budaya menjadi golongan I adalah bangunan dan struktur yang dipugar
dengan sangat ketat dan sangat terbatas yang memiliki tingkat keaslian paling
sedikit 80 % (delapan puluh persen), golongan II adalah bangunan dan struktur yang
dipugar dengan ketat dan dimungkinkan perubahan tata ruang terbatas yang memiliki
tingkat keaslian paling sedikit 50 % (lima puluh persen), dan golongan III adalah
bangunan dan struktur yang dipugar dengan cukup ketat dan dimungkinkan
perubahan elemen bangunan dan tata ruang memiliki tingkat keaslian paling banyak
50 % (lima puluh persen).
Untuk mempertahankan seratus persen atau ada tidaknya perubahan, Dinas
Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dewan Warisan Budaya
menggunakan acuan tersebut, tetapi ini juga tergantung kondisi eksisting. Kalau
kondisi eksisting sudah banyak yang berubah, maka boleh untuk ada perubahan, tetapi
kalau masih sangat utuh dan baik akan bertahan di pelestarian. Yang biasanya sebagai
pegangan tidak boleh diubah adalah fasad (muka) bangunan. Untuk kriteria itu ada
kaitannya dengan tolak ukur tertentu yang sudah ada di format rekomendasi.
Sepanjang Dewan Warisan Budaya telah memberikan rekomendasi, maka Instansi
yang berwenang memberikan izin akan mengeluarkan izin yang dimohon untuk
kegiatan pemugaran tersebut.
Dari sekian banyak Bangunan Cagar Budaya dan Bangunan Warisan Budaya
yang ada di kota Yogyakarta, berdasarkan data yang diperoleh terdapat adaptasi
bahkan merubah total karya arsitektur dari perancang Bangunan Cagar Budaya dan
Bangunan Warisan Budaya dengan cara merobohkan bangunan asli. Hal itu
menunjukkan bahwa begitu mudahnya perizinan yang diberikan oleh instansi terkait,
untuk membuat bangunan baru dengan cara merobohkan atau memusnahkan, atau
merusak, atau menghilangkan desain asli dari si arsitek. Apabila dikaji lebih jauh,
maka menunjukkan bahwa belum terdapat satu kesatuan sistem serta sistem
operasional prosedurnya. Selain itu para pihak juga instansi yang terkait
menginterpretasikan persoalan perizinan masih berbeda-beda dalam memberikan
penafsiran terkait toleransi perubahannya. Hal tersebut tidak lepas dari ketentuan Pasal
40 Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian
Warisan Budaya dan Cagar Budaya.
1082 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung ditentukan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi
persyaratan administratif yang meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung;
Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan
pendataan bangunan gedung tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 ditentukan
bahwa setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki izin
mendirikan bangunan gedung. Izin mendirikan bangunan gedung diberikan oleh
pemerintah daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, tidak
melalui proses permohonan izin mendirikan bangunan gedung. Pemerintah daerah
wajib memberikan surat keterangan rencana kabupaten/kota untuk lokasi yang
bersangkutan kepada setiap orang yang akan mengajukan permohonan izin mendirikan
bangunan gedung. Surat keterangan rencana kabupaten/kota merupakan ketentuan
yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:
a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;
b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB
yang diizinkan;
d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan;
b. KDB maksimum yang diizinkan;
c. KLB maksimum yang diizinkan;
d. KDH minimum yang diwajibkan;
e. KTB maksimum yang diizinkan; dan
f. jaringan utilitas kota.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga diatur bahwa setiap orang dalam
mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan Gedung wajib melengkapi
dengan:
a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian
pemanfaatan tanah;
b. data pemilik bangunan gedung;
c. rencana teknis bangunan gedung; dan
d. hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
Untuk proses pemberian perizinan bagi bangunan gedung yang menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan, harus mendapat pertimbangan teknis dari tim
ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik.
Kewenangan untuk pemberian izin tersebut sesuai dengan lampiran Huruf C dari
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengenai
Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang
angka 7 tentang bangunan gedung. Dalam lampiran tersebut ditentukan bahwa
Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan penetapan bangunan
gedung untuk kepentingan strategis nasional dan penyelenggaraan bangunan gedung
untuk kepentingan strategis nasional dan penyelenggaraan bangunan gedung fungsi
khusus. Pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk penetapan bangunan
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1083
gedung untuk kepentingan strategis daerah provinsi dan penyelenggaraan bangunan
gedung untuk kepentingan strategis daerah provinsi. Pemerintah Kabupaten/kota
memiliki kewenangan untuk penyelenggaraan bangunan gedung di wilayah
kabupaten/kota, termasuk pemberian izin mendirikan bangunan dan penerbitan
sertifikat laik fungsi bangunan gedung. Dari ketentuan ini maka kewenangan untuk
menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan ada pada pemerintah Kabupaten/Kota.
Sebagaimana berlaku pada Kabupaten/Kota, kegiatan pembangunan, renovasi,
maupun pembongkaran bangunan di wilayah Kota Yogyakarta juga wajib dilakukan
dengan mendasarkan pada perizinan tertentu. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan
Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung. Dalam
Pasal 1 angka 18 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tersebut
ditentukan bahwa Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat IMB
adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan
gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau
merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan
teknis yang berlaku.
Selain Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012, perizinan untuk
kegiatan pendirian bangunan di kota Yogyakarta juga didasarkan pada Peraturan
Daerah Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu.
Dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tersebut ditentukan:
“Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan
yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemohon untuk membangun baru,
rehabilitasi/renovasi, dan/atau memugar dalam rangka melestarikan bangunan sesuai
dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.” Berdasarkan
rumusan Pasal 1 angka 18 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012
dan Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tersebut
terlihat bahwa Izin Mendirikan Bangunan bukan hanya diperuntukkan bagi kegiatan
mendirikan bangunan baru, tetapi juga dalam rangka rehabilitasi/renovasi dan/atau
pemugaran dalam rangka melestarikan bangunan.
Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Bangunan Gedung, ditentukan bahwa: “Setiap orang atau Badan yang akan
membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan merawat bangunan
gedung wajib terlebih dahulu memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari
Walikota atau pejabat yang ditunjuk. IMB ditetapkan oleh Walikota atau Pejabat yang
ditunjuk. “untuk memperoleh IMB tersebut pemohon harus memenuhi persyaratan
tertentu. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis.
Persyaratan administrasi tersebut terdiri atas:
a. Formulir permohonan IMB yang diisi lengkap dan mencantumkan tanda
tangan pemohon,
b. diketahui oleh tetangga, Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Lurah dan
Camat;
c. Fotocopy KTP pemohon dan atau pemilik bangunan yang masih berlaku;
d. Fotocopy sertifikat hak atas tanah atau surat bukti kepemilikan tanah lainnya
yang sah.
e. Surat pernyataan bermaterai cukup bahwa tanah yang dimohonkan tidak dalam
sengketa
f. yang ditandatangani oleh pemohon, pemilik tanah dan calon pemilik bangunan.
Persyaratan teknis terdiri atas:
a. Advice planning;
1084 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
b. Gambar rencana arsitektur atau teknis meliputi:
1) Gambar Tapak Bangunan (site plan) yang meliputi: letak bangunan,
akses jalan, parkir,
2) Penghijauan/RTH dan lain-lain;
3) Denah, Tampak Depan dan Tampak Samping;
4) Rencana Pondasi;
5) Rencana Atap;
6) Gambar Potongan;
7) Gambar Instalasi dan sanitasi;
8) Gambar Struktur meliputi gambar pondasi, kolom, balok, tangga, Plat
lantai, rangka atap
9) Baja;
10) Tanda tangan penanggung jawab gambar;
11) letak sistem deteksi dan proteksi kebakaran yang disahkan oleh instansi
teknis;
12) Kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana.
c. Terhadap bangunan yang ketinggiannya melebihi ketentuan dalam dokumen
Perencanaan Kota pada kawasan intensitas tinggi harus mendapatkan
rekomendasi ketinggian bangunan;
d. Terhadap bangunan cagar budaya, bangunan yang berada di kawasan cagar
budaya dan bangunan yang berada pada garis sempadan sungai memerlukan
rekomendasi/surat keterangan dari instansi teknis yang berwenang.
e. Kajian Lingkungan Hidup sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f. Terhadap permohonan IMB menara telekomunikasi harus dilengkapi:
1) Berita Acara hasil sosialisasi dan daftar hadir dari warga sekurang-kurangnya
dalam radius satu setengah tinggi menara dan diketahui Lurah dan Camat
setempat.
2) asuransi keselamatan bagi warga sekitar dalam radius tersebut.
Untuk bangunan gedung lebih dari 2 (dua) lantai, bangunan 2 (dua) lantai yang
menggunakan bentang struktur lebih dari 6 (enam) meter, bangunan basement juga
dilengkapi dengan:
a. Perhitungan struktur meliputi : perhitungan pondasi, kolom, balok, tangga,
Plat lantai, rangka
b. baja, dan rangka atap baja kecuali baja ringan;
c. Hasil penyelidikan tanah,
d. Tanda tangan penanggung jawab penghitungan struktur.
Syarat teknis bangunan gedung direncanakan dan dilaksanakan oleh orang atau
badan yang mempunyai kualifikasi di bidangnya. Advice planning diperoleh dari
SKPD yang berwenang menerbitkan IMB. Advice planning merupakan ketentuan yang
digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan, paling sedikit memuat:
a. Fungsi bangunan;
b. Ketinggian maksimum bangunan;
c. Garis sempadan bangunan;
d. Koefisien dasar bangunan;
e. Koefisien lantai bangunan; dan
f. Ruang terbuka hijau.
Advice planning dapat juga memuat ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk
lokasi rencana kegiatan.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1085
Dari persyaratan tersebut dapat diketahui bahwa terhadap Bangunan Cagar
Budaya termasuk Bangunan Warisan Budaya yang berada di Kawasan Cagar Budaya
dan bangunan yang berada pada garis sempadan sungai memerlukan
rekomendasi/surat keterangan dari instansi teknis yang berwenang. Instansi yang
berwenang tersebut untuk bangunan cagar budaya peringkat nasional memerlukan
rekomendasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya, untuk bangunan cagar budaya
provinsi harus mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan untuk cagar budaya peringkat kota mendapatkan
rekomendasi dari Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Rekomendasi untuk Bangunan
Warisan Budaya diperoleh dari Dewan Warisan Budaya tersebut menyangkut
mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pelestarian bangunan cagar budaya
termasuk bangunan warisan budaya, seperti mengenai desain arsitekturalnya, bentuk
bangunannya, langgam/gaya bangunannya, fungsi bangunan dan sebagainya. Selain
dari Dinas Kebudayaan juga diperlukan rekomendasi dari Dinas Pekerjaan Umum,
Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang memberikan rekomendasi mengenai
sempadan, koefisien luas bangunan, koefisien ruang terbuka hijau, konstruksi, bahan,
dan sebagainya. Hal tersebut berlaku bukan hanya untuk bangunan cagar budaya,
melainkan berlaku juga untuk bangunan yang diduga cagar budaya, termasuk
bangunan warisan budaya serta bangunan lainnya yang dimintakan Izin Mendirikan
Bangunan. Bahkan bukan hanya itu tetapi termasuk juga untuk bangunan yang
didirikan di kawasan cagar budaya. Perlu diketahui bahwa yang namanya kawasan
cagar budaya dibagi ke dalam cluster-cluster melalui sistem zonasi. Seperti misalnya
kawasan cagar budaya Malioboro, di dalamnya ada zona inti yang telah ditentukan
dengan bentangan 60M dari as jalan Malioboro. Di luar zona inti terdapat zona
penyangga yang ditentukan untuk ke timur sampai sungai Code, dan ke barat sampai
sungai Winongo. Terhadap pendirian bangunan di Kawasan Cagar Budaya baik
pendirian bangunan baru maupun renovasi atau pemugaran bangunan lama mesti
mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi yang berwenang dan mendapat
rekomendasi dari Dinas Kebudayaan.
Secara umum terdapat perbedaan kewenangan dari masing-masing Instansi.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2016 tentang
Pembentukan Dan Susunan Perangkat Daerah Kota Yogyakarta, Dinas Penanaman
Modal dan Perizinan Tipe A yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
penanaman modal dan pelayanan perizinan terpadu satu pintu. Dinas Kebudayaan Tipe
A yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kebudayaan. Peraturan Daerah
tersebut mencabut Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pembentukan, Susunan, Kedudukan Dan Tugas Pokok Dinas Daerah.
Dalam Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun
2015 tentang Kelembagaan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
ditentukan bahwa Dinas Kebudayaan mempunyai tugas melaksanakan urusan
Pemerintah Daerah di bidang kebudayaan, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang
diberikan oleh Pemerintah dalam melindungi, memelihara, mengembangkan, dan
memanfaatkan kebudayaan Yogyakarta untuk memperkuat karakter dan identitas
sebagai jatidiri masyarakat DIY. Untuk melaksanakan tugas tersebut Dinas
Kebudayaan mempunyai fungsi:
a. penyusunan program kerja;
b. perumusan kebijakan teknis urusan kebudayaan;
c. pelindungan, pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya
penanda keistimewaan Yogyakarta;
1086 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
d. pelindungan, pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan sistem budaya
sesuai filsafat Kasultanan dan Kadipaten maupun di luar Kasultanan dan
Kadipaten;
e. pelindungan, pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan sistem sosial
yang hidup di masyarakat DIY;
f. pengembangan, pengelolaan adat dan tradisi, bahasa dan sastra, perfilman,
kesenian, permuseuman, sejarah, dan kepurbakalaan, dan rekayasa budaya;
g. pemberian fasilitasi penyelenggaraan urusan kebudayaan Kabupaten/Kota;
h. pemberdayaan sumberdaya dan mitra kerja urusan kebudayaan;
i. pelaksanaan kegiatan ketatausahaan;
j. penyusunan laporan pelaksanaan tugas Dinas; dan
k. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
Sejalan dengan fungsi Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagaimana diatur dalam huruf f, maka Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta mempunyai peran yang penting dalam pelestarian Cagar Budaya. Dalam
tugas pemugaran dan pelestarian Cagar Budaya termasuk Warisan Budaya, Dinas
Kebudayaan tersebut mempunyai DP2WB dan Tim Ahli Cagar Budaya yang
memberikan rekomendasi terhadap perizinan yang ada. Posisi dari Dinas Kebudayaan
Provinsi adalah sebagai institusi yang memberikan pendapat hukum/rekomendasi
dalam rangka pemugaran dan pelestarian Cagar Budaya termasuk Warisan Budaya.
Menurut hemat penulis, peran dari lembaga yang memberikan rekomendasi
mempunyai arti yang penting untuk pelestarian cagar budaya termasuk warisan
budaya. Legalitas mereka tidak terlepas dari nomenklatur sesuai dasar hukum yang
melandasinya. Hal ini ditunjukkan berdasarkan data yang diperoleh nomenklatur dari
lembaga yang terkait adalah Dewan Warisan Budaya, namun dari data yang diperoleh
lembaga yang terkait disebut Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya
(DP2WB).
Selain Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kota Yogyakarta,
Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, dan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, ada juga Balai Pelestarian Cagar Budaya yang mempunyai
kewenangan di bidang Pelestarian Cagar Budaya. Menurut Peraturan Menteri
Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 52 Tahun 2012 tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya, Balai Pelestarian Cagar Budaya mempunyai
tugas melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan serta fasilitasi
pelestarian cagar budaya di wilayah kerjanya. Balai Pelestarian Cagar Budaya
menyelenggarakan fungsi:
a. pelaksanaan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya;
b. pelaksanaan zonasi cagar budaya;
c. pelaksanaan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya;
d. pelaksanaan pengembangan cagar budaya;
e. pelaksanaan pemanfaatan cagar budaya;
f. pelaksanaan dokumentasi dan publikasi cagar budaya;
g. pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya;
h. fasilitasi pelaksanaan pelestarian dan pengembangan tenaga teknis di bidang
pelestarian cagar budaya; dan
i. pelaksanaan urusan ketatausahaan BPCB.
Di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2013 tentang Rincian Tugas Balai Pelestarian Cagar Budaya
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1087
ditentukan bahwa rincian Tugas Balai Pelestarian Cagar Budaya adalah sebagai
berikut.
a. melaksanakan penyusunan program kerja Balai;
b. melaksanakan kajian pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar
budaya;
c. melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya;
d. melaksanakan zonasi cagar budaya;
e. melaksanakan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya;
f. melaksanakan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya;
g. melaksanakan adaptasi dan revitalisasi pengembangan cagar budaya;
h. melaksanakan pelayanan perijinan dan pengendalian pemanfaatan cagar
budaya;
i. melaksanakan dokumentasi dan publikasi cagar budaya;
j. melaksanakan sosialisasi pelestarian cagar budaya;
k. melaksanakan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya;
l. melaksanakan pemberian bantuan teknis pelaksanaan pelestarian cagar
budaya;
m. melaksanakan pemberian bantuan teknis pengembangan tenaga teknis di
bidang pelestarian cagar budaya;
n. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program pelestarian
cagar budaya;
o. melaksanakan penyajian koleksi cagar budaya;
p. melaksanakan urusan perencanaan, keuangan, kepegawaian, ketatalaksanaan,
persuratan dan kearsipan, barang milik negara, dan kerumahtanggaan Balai;
q. melaksanakan pengelolaan perpustakaan Balai;
r. melaksanakan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen Balai; dan
s. melaksanakan penyusunan laporan Balai.
Tugas dan wewenang Balai Pelestarian Cagar Budaya banyak dan semuanya
berkaitan dengan Cagar Budaya. Pelaksanaan di lapangan kadang kala terjadi
perbedaan pemahaman mengenai kewenangan Balai Pelestarian Cagar Budaya ini.
Instansi pemerintah daerah memahami bahwa Balai Pelestarian Cagar Budaya
merupakan instansi Pemerintah (pusat) yang mempunyai kewenangan terhadap
penanganan Cagar Budaya peringkat nasional. Pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya
mempunyai pemahaman yang berbeda. Mereka berpandangan mempunyai
kewenangan yang menyangkut Cagar Budaya tidak hanya terbatas peringkat nasional,
namun juga peringkat provinsi maupun kabupaten/kota, bahkan termasuk yang diduga
sebagai Cagar Budaya, demikian juga terhadap warisan budaya. Fenomena seperti itu
dapat menimbulkan persoalan sendiri mengenai batas kewenangan yang berdampak
pada persoalan praktis. Beberapa kasus yang terjadi misalnya instansi pemerintah
daerah telah mengeluarkan izin sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan yang
berlaku, tetapi kemudian ada pendapat dan tindakan dari Balai Pelestarian Cagar
Budaya, sehingga izin tersebut tidak dapat digunakan dan kegiatan yang diizinkan
tidak jadi dilaksanakan. Masyarakat tentu melihat ini sebagai persoalan yang serius.
Kewenangan dari satu instansi mestinya harus jelas batasnya dan penggunaannya.
Ketika hal itu berkaitan dengan kewenangan dari instansi lain, maka tentu
keterkaitannya juga harus jelas. Demikian pula penyelesaian kalau terjadi perbedaan
penafsiran ketentuan oleh instansi yang berbeda-beda, mestinya ada kejelasan
mengenai penyelesaiannya. Instansi yang mengeluarkan izin tentu tidak dapat
dipangkas begitu saja produknya dengan intervensi dari instansi lain. Semua sudah ada
1088 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
perannya sendiri-sendiri misalnya melalui rekomendasi, melalui rapat koordinasi, atau
melalui pengesahan.
Keberesan di bidang pemberian bermacam-rnacam izin (vergunning, permit),
lisensi (licentie, licence) dan konsesi (concessie, concession, grant, charter, claim,
franchise) ini merupakan batu ujian terberat bagi suatu governance publik yang baik
di negara mana pun. Bagi Indonesia golongan keputusan administratif ini merupakan
sumber Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang terbesar, dan oleh karena itu harus
dicarikan jalan keluar yang baik, suatu solusi saling menguntungkan bagi semua
pihak, dengan belajar dari negara-negara lain yang sudah terkenal bersih dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.72
Menurut Prajudi Atmosudirdjo itulah salah satu sebabnya di Indonesia di zaman
sebelum tahun 1942 pada umumnya hanya pejabat-pejabat bangsa Belanda yang diberi
wewenang menerbitkan izin penting, lisensi dan konsesi, oleh karena bagaimana pun
pemberian izin itu mengandung aspek strategi pemerintahan dan politik ekonomi.
Ekonomi negara bisa hancur dari banyaknya Korupsi Kolusi Nepotisme dan
pemberian izin yang tidak terkendali dengan baik.
Dalam bidang Hukum Administrasi, uraian tersebut erat kaitannya dengan soal
kewenangan. Kewenangan seringkali disamakan dengan wewenang. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang
diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan,
memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.73
H. D Stout sebagaimana dikutip Ridwan HR berpendapat bahwa wewenang
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat
dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik dalam
hubungan hukum publik.74 Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip Nurmayani,
wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus berarti hak
dan kewajiban.75
Secara normatif dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasai Pemerintahan ditentukan bahwa wewenang adalah hak yang
dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah ditentukan bahwa Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut
Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.
Izin Mendirikan Bangunan merupakan sebuah keputusan pemerintah (Keputusan
Tata Usaha Negara). Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
ditentukan bahwa :
“Pasal 52 :
(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
72 Rukiah Handoko, Prinsip-prinsip Hukum Governance Publik Yang Baik,
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1334, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019. 73 https://kbbi.web.id/wenang 74 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 71. 75 Nurmayani S.H.,M.H., Hukum Administrasi Daerah, (Bandarlampung, Universitas Lampung,
2009), hal. 26.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1089
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.”
Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui bahwa syarat yang pertama dari
keabsahan sebuah keputusan pemerintah adalah soal kewenangan. Oleh karena itu
organ pemerintah yang dapat mengeluarkan izin adalah organ pemerintah yang
memang mempunyai kewenangan untuk itu. Posisi Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Kota Yogyakarta adalah sebagai instansi yang menerbitkan izin.
Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Balai Pelestarian Ccagar Budaya mempunyai posisi sebagai institusi
yang memberikan rekomendasi. Demikian pula dengan Dinas Pekerjaan Umum,
Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta, dalam soal penerbitan Izin
Mendirikan Bangunan juga posisinya sebagai pemberi rekomendasi. Peran mereka
tentu lebih mengarah kepada pemenuhan prosedur penerbitan izin. Sebagaimana
ditentukan dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Bangunan Gedung itu mempersyaratkan adanya rekomendasi dari beberaa instansi
tersebut. Dari sisi Izin Mendirikan Bangunan posisi mereka itu sebagai pemberi
rekomendasi (pendapat hukum).
Prosedur Penerbitan IMB
Pada Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta76
Masyarakat yang akan melakukan pemugaran Bangunan Cagar Budaya
termasuk Bangunan Warisan Budaya, kepadanya juga diwajibkan untuk mengurus
izinya terlebih dahulu. Izin pemugaran tersebut diatur dalam Pasal 65 Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian
Warisan Budaya dan Cagar Budaya yang menentukan sebagai berikut. Setiap orang
yang melakukan pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan struktur Cagar Budaya
wajib memperoleh izin Pemerintah Daerah atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan kewenangannya. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan
76 Diolah dari beberapa sumber.
Pemohon
Dinas Penanaman
Modal dan Perizinan
Rekomendasi
Dinas kebudayaan
Rekomendasi Dinas Pekerjaan Umum
Berkas permohonan
sesuai persyaratan
Rekomendasi
Organisasi Perangkat Daerah terkait
Surat
Keputusan Retribusi
Daerah
Pembayaran Rettribusi
Keputusan IMB
1090 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelestarian
Warisan Budaya dan Cagar Budaya.
Dalam Pasal 23 Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 62
Tahun 2013 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya ditentukan bahwa
pemugaran Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan
oleh pemilik dan/atau yang menguasai setelah mendapatkan izin pemugaran. Izin
pemugaran diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/
Kota sesuai dengan kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Dewan
Warisan Budaya. Izin pemugaran disesuaikan dengan peringkat Bangunan Cagar
Budaya atau Struktur Cagar Budaya:
a. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya peringkat
Dunia atau Nasional harus mendapatkan izin Menteri;
b. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya peringkat
Provinsi harus mendapatkan izin Gubernur;
c. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya peringkat
Kabupaten/ Kota harus mendapatkan izin Bupati/Walikota.
Pemberian izin pemugaran didasarkan pada hasil studi kelayakan yang
dilakukan oleh pemrakarsa. Berdasarkan hasil studi kelayakan tersebut harus
merekomendasikan tindakan pemugaran berupa rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi,
atau restorasi. Pelaksana pemugaran wajib melaporkan secara berkala perkembangan
proses pemugaran kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut untuk pemugaran Bangunan Cagar Budaya
peringkat Provinsi harus mendapatkan izin dari Gubernur. Dalam hal ini dilakukan
oleh Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya peringkat Kabupaten/Kota, harus
mendapatkan izin pemugaran dari Bupati/Walikota oleh Dinas Penanaman Modal dan
Perizinan Kabupaten/Kota bersangkutan.
Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sudah ditetapkan adanya 6 Kawasan
Cagar Budaya oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Keenam kawasan itu
meliputi Kawasan Cagar Budaya Kraton, Kawasan Cagar Budaya Pakualaman,
Kawasan Cagar Budaya Kotabaru, Kawasan Cagar Budaya Kotagede, Kawasan Cagar
Budaya Malioboro dan Kawasan Cagar Budaya Imogiri. Berdasarkan kajian, ternyata
Kawasan Cagar Budaya Kraton dan Kawasan Cagar Budaya Malioboro merupakan
satu kesatuan, oleh karena itu ditetapkan menjadi satu kesatuan Kawasan Cagar
Budaya dan menyebabkan berkurangnya jumlah Kawasan Cagar Budaya di Daerah
Istimewa Yogyakarta menjadi 5 kawasan. Pemugaran bangunan di 5 Kawasan Cagar
Budaya tersebut dilakukan dengan menggunakan izin pemugaran dari Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta karena masuk peringkat Provinsi.
Sehubungan dengan definisi Cagar Budaya sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Cagar Budaya
melalui proses penetapan, bukan melalui penetapan. Dengan demikian apabila
mendasarkan pada ketentuan tersebut dalam hal ini perlakuan terhadap Cagar Budaya
sama dengan perlakuan terhadap yang diduga Cagar Budaya, termasuk Warisan
Budaya.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disimpulkan:
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1091
1. Perizinan terhadap adaptasi Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong
Pajeksan yang Sudah Ditetapkan di Kota Yogyakarta, bukan merupakan izin
untuk melakukan adaptasi namun mengajukan Izin Mendirikan Bangunan untuk
mendirikan bangunan baru yang berupa hotel. Dalam peraturan perundang-
undangan sudah terdapat sinkronisasi maupun harmonisasi untuk melestarikan
Bangunan Warisan Budaya, namun dalam praktek belum dipergunakan
sepenuhnya sebagai dasar hukum oleh berbagai pihak terkait. Hal itu disebabkan
adanya interpretasi yang berbeda-beda perihal kewenangan, rekomendasi, dan
koordinasi.
2. Izin diberikan meskipun adaptasi bangunan bertentangan dengan prinsip dasar
pelestarian Bangunan Warisan Budaya yang sudah ditetapkan, karena Izin
Mendirikan Bangunan yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan
Perizinan Kota Yogyakarta sudah dilengkapi rekomendasi Dinas Kebudayaan
Kota Yogyakarta yang memperkenankan dilakukannya pembangunan hotel,
meskipun tidak disertai dengan izin rekonstruksi maupun proses rekomendasi
dari Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
5.2. Saran
1. Seyogyanya berbagai instansi pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan
pelestarian Cagar Budaya duduk bersama menyamakan persepsi berdasarkan
peraturan perundang-undangan terkait.
2. Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta maupun Dinas Kebudayaan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta selalu melakukan pembaruan daftar Cagar Budaya
maupun Warisan Budaya dan diberikan kepada berbagai instansi yang terkait
dalam memberikan perizinan khususnya adaptasi.
Seyogyanya berbagai pihak baik pemerintah daerah maupun masyarakat
mempunyai komitmen yang tinggi untuk melestarikan Warisan Budaya maupun Cagar
Budaya agar tidak kehilangan jati diri bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
A.L Kroeber dan C Kluckhohn, Culture, A Critical Review of Concepts and
Definitions, Cambridge, 1952.
A’ang Pambudi Nugroho, dkk., Perusakan Bangunan Cagar Budaya Dan Warisan
Budaya Di Kota Yogyakarta: Kasus Rumah Tinggal Tjan Bian Thiong Di Jalan
Pajeksan, Makalah, Program Studi Arkeologi Pascasarjana, Fakultas Budaya,
Universitas Gajah Mada, 2018.
Agus Budi Wibowo, Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis
Masyarakat Kasus Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Gampong Pande
Kecamatan Kutaraja Banda Aceh Provinsi Aceh, Jurnal Konservasi Cagar
Budaya Borobudur, Vol.8, No.1, Juni 2014,
Anonim, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah
dan Purbakala, 2011.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala,
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Cagar Budaya, 2009.
1092 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Endang Sumiarni dan Veronica Handayani, Penilaian Cagar Budaya sebagai Aset
Negara, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.
Endang Sumiarni dan Y. Sri Pudyatmoko, Arti Penting Kawasan Cagar Budaya Bagi
Jati Diri Bangsa Menurut Pertimbangan Hakim, Studi Kasus Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 29/6/2014/PTUN.JKT, Yogyakarta, Laporan
Penelitian Internal Kelompok Monodisiplin, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2015.
Endang Sumiarni, Struktur dan Isi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya, Disampaikan dalam Sosialisasi Bagi Para Jaksa, yang
diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Jawa
Tengah, di Surakarta, pada hari Kamis, tanggal 31 Maret 2016.
Enny Sukasih. “Penanganan Hukum Kasus Perusakan Bangunan Cagar Budaya dan
Warisan Budaya di Kota Yogyakarta”, Tesis, Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2016.
Fajar Winarni, Aspek Hukum Peran serta Masyarakat dalam Pelestarian Cagar
Budaya, Mimbar Hukum, Vol.30. No.1. Februari 2018, hlm. 94-109.
F.Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, Yogyakarta: CV.Ganda, 2007.
H. Frunken, InLeiden tot de rechtswetenschap, 2 druk, Arnhem: Gouda Quint, 1983.
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (General Theory of Law and
State), Terjemahan Raisul Muttaqien disunting Nurainun Mangunsong,
SH.M.Hum, Ujung Berung-Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa,
2006.
Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu
Media Publishing, 2006.
J. Gijssels dan van Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?, Zwolle: Tjeenk Willink,
1982.
Junus Satrio Atmodjo, Pemeringkatan Cagar Budaya, Prinsip, Metode, dan
Manfaatnya, Makalah Lepas, tanpa tahun.
Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, Undang Undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Jakarta, Direktorat Pelestarian Cagar
Budaya dan Permuseuman, 2010.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1979.
Kupisz, Monika Murzyn & Jaroslaw Dzialek, Cultural Heritage in Building and
Enhancing Social Capital, Journal of Cultural Heritage Management and
Sustainable Development, Vol.3 Issue: i, hlm.35-54.
https://doi.org/10.1108/20441261311317392.
Logan, William, Heritage Rights Avoidance and Reinforcement, Heritage & Society
Journal, Vol.7 No.2. November, 2014. hlm.156-169.
Mari Kusbiyanto, Upaya Mencegah Hilangnya Wayang Kulit Sebagai Ekspresi
Budaya Warisan Budaya Bangsa, Jurnal Hukum Dan Pembangunan,
Vol.45.No.4 Tahun 2015, hlm.589-606.
M.M.Djojodigoeno, Azas-Azas Sosiologi, Jogjakarta: Jajasan Badan Penerbit Gadjah
Mada, 1965.
Marzuki Piter Mahmud, Penelitian Hukum, Yuridika Vol 16 Nomor 1 Mar-Apr 2001,
FH Unair.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, 2005.
Max Weber, On Law in Economy and Society, New York, A Clarion Book, 1954.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1093
Moh Nazir Ph.D, Metode Penelitian, Jakarta: PT.Ghalia Indonesia, 2003.
Mr.N.M.Spelt dan Prof.Mr.J.B.J.M ten Berge, disunting Philipus M Hadjon, SH.
Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: Penerbit Yuridika, 1993.
Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, Bandarlampung: Universitas Lampung,
2009.
P.J.Zoetmulder, Cultuur, Oost en West, Amsterdam: CPJ.van der Peet, 1951.
Phillipus M. Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”, dalam
Yuridika, majalah Fakultas Hukum Unair, Nomor 6 Tahun IX November-
Desember 1994.
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014.
S. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983.
Sriayu Aritha Panggabean, Perubahan Fungsi dan Struktur Bangunan Cagar Budaya
Kota Semarang Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010,
Unnes Law Journal, Vol.3. No.2 Tahun 2014, hlm.24-34.
Sundari, E., dan Endang Sumiarni, Politik Hukum & Tata Hukum Indonesia,
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2005.
Utrecht dalam Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik,
Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2015.
Van der Pot dalam Utrecht dan Moh Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi
Negara Indonesia, Cetakan kedelapan, Jakarta: Penerbit dan Balai Buku Ichtiar,
1985.
Velpaus, Loes, Heritage Management and Sustainable Development in Perspective:
Theory, Law, and Practice, Journal of Cultural Heritage Management and
Sustainable Development Vol.5 Issue 3. 2013.
Volare Amanda Wirastari dan Rimadewi Suprihardjo, Pelestarian Kawasan Cagar
Budaya Berbasis Partisipasi Msyarakat (Studi Kasus: Kawasan Cagar Budaya
Bubudan Surabaya), Jurnal Teknik ITS, Vol.1. No.1, September 2017.
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta: Penerbit
Grasindo, 2009.
Yadi Mulyadi, Museum Komunitas Alternatif Pelestarian Cagar Budaya Berbasis
Masyarakat, Jurnal Museografi Vol. VI, Nomor 1 Desember 2012.
Yudi Prasetyo, “Sejarah Komunitas Tionghoa di Yogyakarta”, Jurnal Edukasi 1, 2015.
Zaki (ed.), UUD 1945 dan Amandemennya, Plus Sejarah Kemerdekaan Republik
Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Second Hope, 2014.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002, Nomor 4183.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 5168.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang
Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya.Lembaran Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 Nomor 6.
1094 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Peraturan Gubernur DIY Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya,
Berita Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013 Nomor 62.
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung,
Lembaran Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2012 Nomor 2.
Internet
Bangunan Warisan Budaya Tjan Bian Thiong untuk Hotel Amaris Malioboro akibat
Mal-Administrasi Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam
https://www.change.org/p/gubernur-diy-kepala-bpcb-yogya-usut-tuntas-kasus-
penghancuran-bangunan-warisan-budaya-tjan-bian-thiong-untuk-hotel-amaris-
malioboro?recruiter=362088168, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
https://gudeg.net/read/8515/saat-tjan-bian-tiong-tinggal-cerita.html, diunduh pada
tanggal 26 Juli 2019.
https://kbbi.web.id/wenang, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
https://www.google.com/maps/place/Jalan.+Kp.+Pajeksan,+Kota+Yogyakarta,+Daera
h+Istimewa+Yogyakarta/@-
7.7954033,110.3618264,719m/data=!3m1!1e3!4m5!3m4!1s0x2e7a57882a46627
7:0x92d240944b87319c!8m2!3d-7.7954033!4d110.3640151, diunduh pada
tanggal 26 Juli 2019.
https://www.google.com/search?q=bangunan+Tjan+Bian+Thiong+jalan.pajeksan&saf
e=strict&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiNtr7vyL7jAhVbYys
KHTLkAZ8Q_AUIESgB&biw=1366&bih=657#imgrc=qEoy8Az56IR_xM,
diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
https://www.google.com/search?q=prasasti+jawa+cina+tanda+terima+kasih&safe,
diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
https://www.google.com/search?q=Tipe+atap+ngangshan&safe=strict&tbm=isch&sou
rce=iu&ictx=1&fir=e6lKeUYCsJbGRM%253A%252CHcEtvOke2twCvM%252
C_&vet=1&usg=AI4_-kQS40j6xsPZr_4T_oLi1spo0-
yH7A&sa=X&ved=2ahUKEwik34H5y77jAhUBH48KHclgACkQ9QEwAnoEC
AYQCA#imgrc=e6lKeUYCsJbGRM, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
https://www.tripadvisor.ca/LocationPhotoDirectLink-g294230-d10006503-
i220348362-Amaris_Hotel_Malioboro_Jogja-Yogyakarta_Region_Java.html,
diunduh pada tanggal 26 Juli 2019
Klarifikasi para pihak oleh Lembaga Ombudsman D.I. Yogyakarta.
https://www.google.com/amp/s/elantowow.wordpress.com/2015/06/04/kasus-
pembongkaran-cagar-budaya-untuk-hotel-di-yogyakarta-segera-diungkap/amp/,
diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
Rukiah Handoko, Prinsip-prinsip Hukum Governance Publik Yang Baik,
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1334, diunduh pada tanggal 26
Juli 2019.
Suara.com- Sikap elanto pun menuai banyak
dukungan. https://www.google.com/amp/s/amp.suara.com/lifestyle/2015/10/23/
180500/netizen-gugat-penghancuran-bangunan-tjan-bian-thiong-di-yogya,
diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
Sutriyati, 2015, Pelapor: Pemulihan Bangunan Pecinan di Pajeksan saja tak Cukup,
http://lo-diy.or.id/pelapor-pemulihan-bangunan-pecinan-di-pajeksan-saja-tak-
cukup/, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
Perizinan Terhadap Adaptasi, M.G. Endang Sumiarni, Y. Sri Pudyatmoko, Yustina Niken S. 1095
Yudi Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa Di Yogyakarta 1900-1942, Program
Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo, dalam https://stkippgri-
sidoarjo.academia.edu/yudiprasetyo, diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.