perempuan yunani dan guru bahasa indonesia

63
PEREMPUAN YUNANI DAN GURU BAHASA INDONESIA Episode 1 Ulang tahun ke-lima Reina, anakku semata wayang, berlangsung seru. Acara buka kado dilakukan di depan tetamu cilik teman-teman sekelas dan tetangga. Lihatlah, pernik-pernik kado unik menyembul dari kertas kado yang disobek beringas oleh Reina. Wui, boneka Barbie!” teriak Reina. “Itu dari aku. Bagus ya?” celetuk seorang bocah, bangga. “Yang dari aku juga keren. Buka yang ini dulu,”seorang bocah meraih kado dari meja dan menyodorkan pada Reina. Reina meladeni teman kecil itu. Ia sobek kertas kado itu. Membundar mata Reina melihat boneka alligator berwajah imut. Dan selebihnya Reina sukses memenuhi lantai dengan sobekan-sobekan kertas kado. 71 kado ditumpuk di meja. “Ini dari ibu,” istriku mengangsurkan kado terakhir. Reina menyambutnya dan seberingas sebelumnya, ia membetoti kertas pembungkus. “Asyik. Ini tas yang aku mau….” heboh teriakan Reina menimang tas plastik produk impor bergambar tokoh-tokoh Sesame Street. “Terimakasih, ya, Ibu. Eh, dari Bapak mana?” Reina menoleh ke arahku. “Tuh, dah gabung dengan yang dari ibu,” kataku. “Wah, Bapak curang. Maunya gabung aja,” kata Reina. Istriku menoleh aku beberapa detik. Aku hanya bisa tersenyum, meraih jaket, mengalungkan tas ke bahu dan mengucapkan selamat ulang tahun pada Reina. “Teman-teman kecil, kalian nikmati pestanya, ya. Om pergi dulu!” aku melayangkan pandangan ke tetamu mungil itu, dan meninggalkan rumah makan cepat saji spesialis ayam goreng itu. Sore ini aku harus mengajar. Tak bisa menemani Reini menuntaskan pesta ulangtahunnya.

Upload: eddy-roesdiono

Post on 17-Jul-2015

217 views

Category:

Education


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

PEREMPUAN YUNANI DAN GURU BAHASA INDONESIA

Episode 1

Ulang tahun ke-lima Reina, anakku semata wayang, berlangsung seru. Acara buka kado

dilakukan di depan tetamu cilik teman-teman sekelas dan tetangga. Lihatlah, pernik-pernik kado

unik menyembul dari kertas kado yang disobek beringas oleh Reina.

“Wui, boneka Barbie!” teriak Reina.

“Itu dari aku. Bagus ya?” celetuk seorang bocah, bangga.

“Yang dari aku juga keren. Buka yang ini dulu,”seorang bocah meraih kado dari meja dan

menyodorkan pada Reina. Reina meladeni teman kecil itu. Ia sobek kertas kado itu.

Membundar mata Reina melihat boneka alligator berwajah imut.

Dan selebihnya Reina sukses memenuhi lantai dengan sobekan-sobekan kertas kado. 71 kado

ditumpuk di meja.

“Ini dari ibu,” istriku mengangsurkan kado terakhir. Reina menyambutnya dan seberingas

sebelumnya, ia membetoti kertas pembungkus.

“Asyik. Ini tas yang aku mau….” heboh teriakan Reina menimang tas plastik produk impor

bergambar tokoh-tokoh Sesame Street. “Terimakasih, ya, Ibu. Eh, dari Bapak mana?” Reina

menoleh ke arahku.

“Tuh, dah gabung dengan yang dari ibu,” kataku.

“Wah, Bapak curang. Maunya gabung aja,” kata Reina. Istriku menoleh aku beberapa detik. Aku

hanya bisa tersenyum, meraih jaket, mengalungkan tas ke bahu dan mengucapkan selamat

ulang tahun pada Reina.

“Teman-teman kecil, kalian nikmati pestanya, ya. Om pergi dulu!” aku melayangkan pandangan

ke tetamu mungil itu, dan meninggalkan rumah makan cepat saji spesialis ayam goreng itu.

Sore ini aku harus mengajar. Tak bisa menemani Reini menuntaskan pesta ulangtahunnya.

Page 2: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Ya, perkenalkan aku, Rodi guru privat Bahasa Inggris. Perkenalkan pula istriku, Trista, finance

manager pada sebuah perusahaan multinasional. Beda pekerjaan ini yang menyebabkan

kadoku pada Reina terpaksa ‘tergabung’ dengan kado istriku. Mana bisa aku membelikan kado

dengan nilai mendekati setengah juta rupiah seperti itu. Angka di slip gaji istriku amat jauh

berbeda dengan angka uang yang kumpulkan dari mengajar privat di beberapa tempat.

Aku mengupas sore itu dengan laju sepeda motor bebek keluaran tahun 2005, berusaha tidak

iri pada mobil Suzuki Swift yang dikendarai istriku untuk pergi kerja. Aku datang ke rumah

siswa, dua anak kembar SMP yang tinggal di bilangan perumahan mewah tepat waktu.

Pulangnya, aku menerima amplop pembayaran belajar sebulan yang jumlahnya tak jauh beda

dengan nilai kado Trista untuk Reina.

***

Trista dan Reina sudah berada di rumah begitu aku sampai di rumah. Reina asyik memilah-

milah kado sambil sesekali mengomentari kado ‘jelek; yang tak sesuai seleranya. Tas

pemberian ibunya didekap Reina dengan tangan kiri.

“Reina senang banget dengan kado itu,” kataku pada Trista.

“Iya. Kamu kan baru dapat bayaran salah satu siswa. Nggak pingin belikan kado? Terlambat

sedikit tidak apa-apa,” kata Trista.

“Harusnya. Tapi besok waktunya bayar tagihan antar-jemput Reina,” ujarku.

“Tagihan itu biar aku yang bayar,” kata Trista.

“Tak usahlah. Itu kewajibanku,” aku masuk kamar dan menghitung uang. Setelah bayar tagihan

antar jemput nanti, masih tersisa Rp 80.000. Aku termangu menimang uang itu. Trista

membututi aku dari belakang.

“Mas, kamu beli kado aja sekarang buat Reina. Dia ingin kado dari kamu. Pakai uangku,” kata

Trista.

Aku menoleh.

Page 3: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Nggak usahlah, Tris. Cukup sudah kado dari kamu itu. Dan lagi aku tak mau kau terus-terusan

menyokongku untuk hal-hal yang seharusnya aku bisa lakukan”

“Makanya, Mas, kau cari…..”

“Sst, boleh nggak kalau kita nggak membahas soal aku harus cari kerja yang lebih mapan? Apa

salahnya pekerjaan guru privat bahasa Inggris. Pendapatanku toh kurang lebih sama dengan

para ayah lain yang kerja kantoran?” aku menyergah.

“Itu kalau jumlah murid kamu sedang banyak. Tapi kau lihat sendiri, jumlah muridmu naik turun.

Kalau sedang turun, kamu bilang jumlah murid akan naik lagi. Nyatanya, jumlah murid privatmu

lebih sering tetap atau malah turun. Dan lagi, kamu tak pernah mau menaikkan tarif

mengajarmu,” Trista bicara. Kalau sudah begini, berikutnya adalah adu mulut yang tak

berkesudahan.

Aku meninggalkan Trista sendiri di kamar dan bergerak menuju ke ruang terbuka di belakang,

dengan taman kecil dan pancuran buatan; menikmati gemericik air jauh lebih menyejukkan

katimbang meladeni omongan Trista. Dan biasanya, setelah percakapan macam ini, Trista juga

pergi menyendiri. Seperti di sisa sore ini, dia menstart mobil, meninggalkan Reina di rumah

dengan aku dan pembantu, dan pergi keluar.

Dan ini sudah biasa. Sudah sering terjadi. Ia baru kembali nanti di atas jam sembilan malam.

Kemana ia pergi, ia tak pernah bilang, tak pernah mau beritahu aku. Tapi aku tahu kemana dia

pergi dan berada di mana ia sekarang. Aku menghitung, dalam waktu setengah jam aku akan

dapat sms dari seseorang.

Benar. HP-ku menderukan suara pesan sms. “Rod, istrimu di sini, baru saja pesan cappuccino,”

itu sms Gusti, temanku yang kerja di sebuah café di mall di pinggiran kota. Baru saja aku

hendak membalas sms itu, Gusti kirim MMS, plus teks begini, “kayaknya istrimu ketemu

seorang teman pria dan langsung gabung duduk semeja,”. Dalam gambar kiriman MMS, yang

dipotret Gusti dengan diam-diam, kulihat Trista tengah duduk berhadapan dengan seorang

bule. Karena dipotret dari belakang, tak bisa aku melihat jelas sosok dan rautnya. Siapakah

dia? Teman Trista? Kebetulan bertemu di mall itu? Ah, perduli apa aku! Sebagai perempuan

eksekutif muda dengan karir cemerlang; raga seksi, senyum menawan, alis tebal dan rambut

tebal berombak pula, Trista punya banyak teman dari berbagai kalangan. Aku yakin dia pun

punya banyak penggemar. Dan Trista tak pernah mau berbagi cerita dengan aku soal teman-

Page 4: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

temannya, soal ketemu siapa saja, soal ngobrol apa saja dengan mereka yang dekat

dengannya. Adakah yang dekat hati dengan Trista? Ah, itu bukan urusanku, setidaknya

demikian menurutku, bila bukan Trista sendiri yang cerita padaku.

***

Agak tengah hari, sepulang mengajar, tak biasanya aku mendapat tamu. Hendra, rekan

seprofesi sesama pengajar privat, meluncur ke rumah.

“Rodi, kamu musti bantu aku. Aku dapat tawaran mengajar Bahasa Indonesia!” kata Hendra

ketika menghenyakkan pantat di kursi beranda depan sembari menebar berkeliling ke keasrian

tanaman di depan rumah.

“Bahasa Indonesia!” sambutku. “Nggak salah, tuh?”

“Nggak, ini bener. Tawaran ini dari teman. Ada sepasang suami-istri, orang Yunani, perlu

belajar bahasa Indonesia. Yang perlu sebetulnya si suami. Ia adalah quality assurance

manager di sebuah perusahaan kosmetik internasional di sini. Perusahaan mewajibkan dia

untuk menguasai bahasa Indonesia dalam waktu tiga bulan,” cerocos Hendra.

“Dan masalahnya adalah?”

“Masalahnya adalah jadwalku penuh. Aku minta kamu ambil pekerjaan ini. Rp 200 ribu perjam.

Jadwalnya Sabtu pagi dua jam, Selasa sore dua jam dan Kamis sore dua jam, total enam jam

seminggu. Mereka tinggal di apartemen. Mulai Sabtu besok. Ini alamat dan nomor teleponnya,”

kata Hendra.

Aku tak berpikir panjang. Waktu-waktu yang disebutkan Hendra itu kebetulan waktu kosongku,

kecuali yang Kamis sore, yang bisa aku negosiasikan dengan siswa untuk digeser ke waktu

lain.

“Deal,” kataku menyalami Hendra. Hendra mengangguk senang, “jangan lupa traktir aku kalau

sudah dapat bayaran” tambah Hendra.

***

Page 5: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Upah mengajar Rp 1.200.000 seminggu membuat aku bersemangat. Setelah Hendra

menyingkir, aku langsung menghubungi calon siswa. Teleponku diterima langsung oleh

seorang pria yang menyapaku dalam bahasa Inggris dengan aksen agak aneh. Alexandrous,

demikian pria itu memperkenalkan diri, sungguh terdengar ramah. Kami bicara sebentar soal

jadwal dan model pembayaran. Dia juga mengatakan sangat perlu belajar bahasa Indonesia

agar mudah berkomunikasi dengan rekan kerja dan bawahan di kantornya, dan agar ia sendiri

bisa enak turun meriset pasar dengan bahasa Indonesia. Semua seperti yang diomongkan

Hendra. Pelajaran pertama ditetapkan besok jam sembilan pagi, di apartemen Alexandrous.

Aku langsung menyibukkan diri dengan komputer dan mulai mempersiapkan bahan ajar dengan

mengadaptasi bahan-bahan dari pelajaran bahasa Inggris. Pekerjaan persiapan ini tak terlalu

sulit, dan sekaligus kupersiapkan untuk 6 jam pertemuan.

Jam sembilan kurang sepuluh menit, Sabtu, aku sudah berada di lobi apartemen Alexandrous.

Ia sendiri yang menyongsong aku di lobi apartemen.

“Hello. You are Rodi, right? How are you, my friend?” sapanya renyah. Huih! Seorang pria

tampan yang gagah, kuperkirakan berusia di bawah tiga puluh tahun. Rambutnya rapi, dagu

tercukur bersih, pakaian santai dan tampak mahal.

Kami naik ke lantai 12. “Saya suka Surabaya. Tidak seramai Jakarta, tapi semua tersedia,” kata

Alexandrous sepanjang perjalanan menuju apartemen-nya.

“Anda berasal dari mana di Yunani?” tanyaku.

“Athena, ibukota Yunani,” jawab Alexandrous. “Pernah ke sana?” tanyanya.

“Bahkan bermimpipun tidak,” selorohku. Alexandrous tertawa ringan.

Alexandrous mengetuk pintu apartemen. Seseorang membukakan pintu.

“Kenalkan, ini Eleni, istri saya,” kata Alexandrous.

Eleni, perempuan itu menyungging senyum dan mengulurkan tangannya. Aku menyambut

ularan tangan itu.

Page 6: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Astaga! Bagaimana aku bisa merangkai kata untuk menggambarkan betapa rupawannya

perempuan ini. Aku hanya bisa berkata, “Nice to meet you, Mrs Eleni,” kataku, agak sungkan

karena belum tahu nama belakang keluarga ini.

“Panggil Eleni saja,” ujar perempuan ini.

Astaga! Sekali lagi tak bisa kuungkapkan pesona perempuan ini ketika berbicara dan

menyibakkan rambut sebahunya yang kecoklatan.

Episode 2

Alexandrous langsung menggiring aku ke sebuah ruang dengan meja kaca bundar dan tiga

kursi. Ruang itu menyediakan pemandangan udara terbuka kota Surabaya di ketinggian melalui

sebuah jendela kaca yang tirainya dibuka lebar. Sebuah papan berpermukaan melamin ukuran

80 x 60 cm digantung di tembok tak jauh dari kursiku. Sementara Alexandrous sibuk mencari

buku dan pena, Eleni sudah duduk rapi di hadapanku. Harus kuakui aku suka sekali menatap

perempuan ini yang kuperkirakan usianya sedikit muda di bawah suaminya. Tak setinggi bule

pada umumnya, tubuh ramping itu diperelok dengan rambut kecoklatan terurai melebihi bahu,

plus raut muka bersih. Hidung indahnya pas dengan warna hazel di matanya. Oh ya, busana

atas terbuat dari bahan kaos berlengan panjang berwarna biru regal, rapi dan tertutup, dengan

celana panjang longgar khas rumahan warna putih, membuat perempuan ini ayu anggun. Tentu

saja aku hanya berani menatap sekilas.

“Now we are ready,” kata Alexandrous begitu duduk di dekat Eleni dengan buku tulis dan pena.

Pelajaran hari pertama itu lumayan lancar. Aku melatih mereka cara memberikan salam, cara

menyapa, cara mengatakan ‘terimakasih’, dan cara-cara menyebut ‘you’ yang dalam bahasa

Indonesia teramat ribet karena harus sesuai usia dan status sosialnya.

“Wah kalau begitu selama ini saya tak sopan menyebut rekan kerja dengan kata ‘kamu’,” ujar

Alexandrous tersenyum.

Yang lebih mengagumkan, ternyata Eleni lebih cepat menangkap pelajaran daripada

Alexandrous. Ketika berlatih bicara, Eleni sering membuat Alexandrous gelagapan dan harus

kerap kali menengok catatan.

Page 7: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Saya memang payah dalam hal bahasa. Beda dengan istri saya. Ia bisa bicara bahasa

Spanyol, Prancis dan Inggris. Tak lama lagi, ia pasti akan jadi guru bahasa Indonesia saya,” puji

Alexandrous. Eleni hanya tersenyum dan menyenggol bahu suaminya dengan gerakan bahu.

Dalam hati aku memuji, pasangan suami-istri ini benar-benar serasi. Alexandrous ganteng dan

gagah, sementara Eleni teramat rupawan.

“Mohon pelajaran hari ini dihafal dengan baik. Hari Selasa nanti kita akan mulai dengan

pelajaran baru,” kataku dalam bahasa Inggris.

“Baik, pak Rodi. Sampai jumpa hari Selasa,” ujar Eleni dalam bahasa Indonesia yang bagus

pengucapannya, plus senyum manis di bibirnya.

***

“Reina minta ke mal malam ini, beli baju. Aku sekalian mau ke spa di mal itu,” kata istriku ketika

aku sampai di rumah sore itu. “Kamu nggak ada jadwal ngajar sore ini?”

Aku tak ada jadwal mengajar, dan mengiyakan.

Aku menyetir mobil. Reina asyik main dengan boneka di jok belakang dan Trista sibuk dengan

telepon Blackberry-nya, hampir tak menyisakan banyak waktu bagi aku dan dia untuk bicara.

Untuk membunuh sepi di kabin mobil, sesekali aku mengajak Reina bicara. Tapi gadis kecilku

itu lebih terserap pada bonekanya.

Trista menghabiskan waktu hampir satu jam setengah memilih pakaian untuk Reina dan untuk

dirinya sendiri. Carik-carik kertas tanda transaksi menumpuk dalam genggaman Trista.

“Kamu perlu baju atau celana?” tanya Trista padaku. Aku menggeleng. Trista tahu kenapa aku

menggeleng.

“Ayolah, baju dan celana kerjamu kelihatannya cuma itu-itu saja. Pilih sana!” kata Trista lagi.

AKu tetap menggeleng.

“Aku yang bayar,” Trista mengusap punggungku.

Page 8: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Nggak, Tris. Kan aku sering bilang aku mau beli dengan uangku sendiri. Nanti akhir bulan bila

ada sisa setelah kewajibanku untuk belanja, listrik, air, telepon, internet, kartu kredit, baru aku

beli”

“Ya, sudah!” Trista melenggang ke kasir dan membayar belanjaan senilai sedikit di atas Rp

1.500.000 dengan kartu kreditnya.

“Sekarang kamu ajak Trista, makan, ya. Terus ajak main ke game zone. Aku ke spa dulu di

lantai 3, agak lama, sekitar dua jam!” kata Trista. Aku mengangguk. Sebelum berbalik, Trista

menghampiri aku dan bertanya :

“Uangmu cukup?”

“Cukup. No problem!” kataku.

Tapi tak urung ia membuka dompet dan menyerahkan dua lembar seratus ribuan. Aku

menerimanya dengan enggan. Entah kenapa perasaanku makin tak enak setiap kali Trista

memeriksa apakah aku punya uang cukup buat ini dan buat itu. Aku melihat ada semacam

aroma intimidasi dan pelecehan dalam pertanyaan-pertanyaan seperti itu, seolah menyiratkan

bahwa aku tak pernah berdaya untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan kecil gaya hidup di luar

kebutuhan utama. Repotnya lagi, aku merasa Trista sangat menikmati saat-saat ia bertanya

apakah aku punya cukup uang untuk sesuatu. Tapi aku tak bisa banyak bicara. Kantongku

sebagai guru privat bahasa Inggris memang tak berbanding lurus dengan model pengeluaran

Trista yang berpenghasilan 16 juta rupiah sebulan.

***

Aku sedikit terhibur melihat Reina tak rewel saat makan dan bisa enjoy saat main sendiri di

arena permainan. Aku duduk sendiri di kejauhan dan menatap lalu-lalang berpasang-pasang

suami istri dengan anak-anak mereka yang menghabiskan Sabtu malam di mall.

Sudah hampir dua jam berlalu. Aku membimbing Reina keluar dari arena permainan dan

menyusul ibunya di lantai 3, dan langsung menuju ke satu-satunya gerai spa di lantai itu.

“Ibu mana ya?” tanya Reina ketika kami masuk gerai.

“Ini namanya spa. Mungkin ibu masih di ruang dalam. Kita tunggu ya?” kataku pada Reina.

Page 9: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Maaf, Bapak menunggu siapa?” tanya petugas resepsionis.

“Istri saya. Namanya Trista Valya. Dia biasa ke sini,” kataku. Petugas resepsionis memeriksa

layar computer.

“Kami kenal Bu Trista. Tapi hari ini beliau tidak kesini. Namanya tidak ada dalam daftar kami,”

jelas mbak petugas.

“Dua jam lalu istri saya bilang mau ke sini. Coba periksa lagi, mbak!”

SI mbak petugas memeriksa lagi layar komputer dengan cermat. Ia kemudian mendongak :

“Tidak ada, pak. Saya sudah berjaga di sini sejam jam 1 tadi. Bu Trista tidak kemari”

“Mm, ada spa lain di sekitar sini?” tanyaku.

“Ini satu-satunya!”

“Ibu kemana, Bapak?” Reina menggoyang-goyangkan tangan ketika aku membimbingnya ke

luar gerai spa.

“Wah, Bapak juga tak tahu. Tadi si mbak bilang Ibu tidak ke spa itu,” aku juga mulai bingung.

Reina mulai muncul manjanya. Ia minta digendong ketika mulai kupapah untuk berjalan

memutari lantai 3. Langkahku terhenti ketika dari lantai tiga, melalui kaca-kaca besar, bisa

kulihat sebuah taksi baru saja datang di depan lobi mal. Trista turun dari taksi tergopoh-gopoh.

Dari mana dia?

Aku berjalan menggendong Reina kembali ke gerai spa. Trista pasti menuju ke sana.

Trista sedikit terkejut melihat aku dan Reina di depan gerai spa.

“Ibu….ibu darimana?” Reina minta turun dari gendongan.

“Ibu…eh….tadi mendadak ditelepon orang kantor. Ada sedikit masalah perbedaan saldo

keuangan sepanjang minggu kemarin,” kata Trista, yang lebih merupakan penjelasan kepada

aku daripada kepada anak usia lima tahun.

“Hari Sabtu malam begini?” tanyaku.

Page 10: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Ya, biasa. Kalau ada beda hitungan, boss suka tak kenal waktu. Kamu tahu dia, kan?”

Aku hanya melongo. Sepanjang pengetahuanku, Trista tak akan suka kalau aku bertanya lebih

rinci. Jadi aku diam saja dan berpura-pura memahami masalah.

“Jadi kamu tidak jadi ke spa tadi?” tanyaku di mobil.

“Baru mau daftar di resepsionis, aku dapat telepon dari boss, diminta ke kantor segera,” jelas

Trista.

“Kok nggak telepon aku dan minta kunci mobil, jadi kau tak perlu naik taksi,” kataku.

“Kelamaan. Bos bilang ini urgent banget!”

Aku mengangguk kecil menatap lurus ke jalan. Ini agak aneh. Bukankah mbak resepsionis spa

mengatakan Trista tidak ke spa sama sekali. Kalau memang Trista ke spa itu, resepsionis

setidaknya akan bilang begini tadi, “Tadi Ibu Trista memang ke sini, tapi sebelum sempat daftar,

ia sudah pergi”. Benar-benar aneh. Kenapa pula ia tak pakai mobil sendiri? Apakah ini

disengaja agar aku tak perlu tahu ia sebenarnya tidak pergi ke spa?

Ah, sudahlah! Mungkin benar si boss sangat perlu menghadirkan Trista untuk urusan

keuangan. Untuk sementara, aku pilih percaya omongan Trista.

***

“Selamat sore, pak Rodi,” Eleni menyapa dalam bahasa Indones ia ketika membuka pintu kamar

apartemennya. “Hari ini Alex agak terlambat. Maaf ya?” ia melanjutkan dalam bahasa Inggris.

“Okay, no problem. Kita mulai duluan atau menunggu Alex?” tanyaku.

“Kita tunggu sebentar. Silakan duduk dulu,” Eleni meminta aku duduk di ruang tamu sambil

menawari aku mau minum apa.

Aku kikuk duduk di hadapan perempuan ini. Tapi kucoba menemukan topik pembicaraan.

“So, Anda cuma tinggal bersama suami di apartemen ini?” tanyaku.

Page 11: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Begitulah, saya sih maunya punya pembantu pulang sore. Tapi Alex lebih suka kami berdua

saja, untuk jaga privasi dan agar lebih mesra,” tutur Eleni

“Jadi Anda mengerjakan semua pekerjaan rumah?”

“Tidak juga. saya menyerahkan pekerjaan cuci baju dan setrika pada apartemen ini. Itu yang

paling repot. Selebihnya saya kerjakan sendiri, cuci dua piring dan dua gelas sehabis makan.

Selain makan di luar, kami juga suka memasak sendiri. Alex pintar masak dan rajin membantu

bersih-bersih rumah”

“Wah, keluarga kompak nih,” selorohku.

“Tell me, pak Rodi. Di mana Anda belajar bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya bagus sekali,” ujar

Eleni.

“Terimakasih. Saya kuliah jurusan bahasa Inggris,” kataku. “Bahasa Inggris Anda juga bagus!”

“Terimakasih!” Eleni kali ini bicara bahasa Indonesia, tetap dengan senyum ramah tersungging.

Aku membisu sesaat dan berusaha mengalihkan pandangan dari perempuan itu. Mau bicara

apa lagi, ya?

Tiba-tiba Eleni bicara lagi.

“Pak Rodi, boleh saya tanya sesuatu?”

Episode 3

“Silakan,”

“Apa yang pak Rodi ketahui tentang Yunani?”

“Yunani? Well, negara-negara lain yang lebih dikenal orang Indonesia adalah Amerika dan India

karena film dan musiknya, Inggris karena sepakbolanya, China karena produk-produknya,

Page 12: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Belanda karena negara bekas penjajah, Singapore karena kedekatan geografisnya. Jarang

yang kenal Yunani. Tapi saya tahu sedikit tentang Yunani”

“Tell me what you know,” Eleni menjenakkan duduknya, bersandar santai di kursi empuk

dengan satu tangan menopang kepala.

“Wah, apa ya? Saya pernah baca novel klasik Zorba the Greek karangan Nikos Kazantzakis

versi bahasa Inggris, dan suka dengar suara lembut Nana Mouskouri,”

“Zorba the Greek? Wah, itu juga kesukaan saya waktu kecil. Kalau Nana Mouskouri itu favorit

ibu saya,” mata Eleni membundar. “Hebat juga pak Rodi bisa tahu karya sastra dan musik

Yunani. Saya juga kebetulan bawa CD Yunani favorit saya. Mau dengar?”

Eleni langsung berdiri, menghampiri satu meja di sudut ruangan dan memilah-milah CD.

Dengan gerakan manis ia menyisipkan CD ke alat pemutar, dan mulai mengalun musik yang

bernuansa lembut tapi terdengar asing di telingaku.

“Ini koleksi instrumentalia komponis-komponis hebat Yunani,” Eleni menyodorkan kotak CD

dengan sopan. Aku mengamati sampul kotak itu. Tiga nama besar komponis Yunani ada di

sampul : Mikis Theodorakis, Manos Hadjithakis, Stavros Xarhakos.

“Belum pernah dengar. Tapi enak di telinga. Ini musik keren,” kataku. Tak sengaja kalimat yang

terakhir pakai bahasa Indonesia.

“Apa pak Rodi bilang barusan?” tanya Eleni.

“Oh, maaf. Itu bahasa Indonesia. Ini musik keren. This is cool music,” kataku.

“Tolong ulang sekali lagi!”

“Ini musik keren”

“I-ni mu-sik ke-ren!” ulang Eleni.

“Wow! Pintar!” kataku.

“Ini musik, keren ya?” kata Eleni lagi. Senang sekali ia bisa mengulang kata-kata itu dengan

baik.

“Sungguh pak Rodi suka musik ini. Bukan hanya basa-basi?” tanya Eleni.

Page 13: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Oh, no. I really like it. Lembut, tapi ritmis dan dinamis!” aku sengaja menggerak-gerakkan

kepala mengikuti nada musik. “Ini musik keren!” kataku lagi.

“Ya…ini musik keren!” ujar Eleni dengan tawa kecil.

Dan terdengar suara ketukan. Eleni membuka pintu. Alexandrous berdiri di pintu.

“Hi, honey! You’re back!” Eleni mengecup kecil bibir Alexandrous.

“Maaf, maaf sekali. Jalanan macet seperti biasa! Sudah mulai?”

“Belum, tunggu kamu” kata Eleni. “Hai, tahu nggak, honey? Ini musik keren” ujar Eleni pada

Alexandrous.

“Ini apa…..?” Alexandrous pakai bahasa Indonesia.

“Musik keren! Nice music. Itu kata pak Rodi”

“Oh, good. Pak Rodi suka ini?” tanya Alexandrous.

“Suka sekali! Ini musik keren!”

“Well, ayo kita mulai belajarnya. Sudah terlambat setengah jam,” kata Eleni, mematikan CD

player.

***

Trista sedang berdandan ketika aku masuk kamar menjelang pukul 7 malam itu.

“Mau kemana?” tanyaku.

“Oh ya. Aku lupa. Ada pesta gathering kantor malam ini, perpisahan direktur produksi yang mau

dipindah ke Bangkok. Mendadak. Aku lupa bilang. Aku juga lupa bilang suami atau istri

diundang juga. Kamu ikut ya, Mas?”

“Aku….”

“Tuh sudah kubelikan baju dan celana baru,” Trista menunjuk setumpuk busana baru di

pinggiran tempat tidur. Aku yakin ia tahu aku bakal kesulitan mencari baju yang layak pakai

untuk mendampingi istri.

Page 14: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Memangnya harus aku harus ikut?” ogah-ogahan aku menyentuh pakaian baru lengkap

dengan label harga yang masih menempel.

“Sebaiknya begitu. Biar kamu lebih kenal dengan rekan-rekan kantorku. Coba baju dan

celananya. Jam delapan kita musti sampai di lokasi,” kata Trista tak berhenti mematut-matut

wajah.

“Celananya oke, tapi bajunya kegedean,” aku menunjukkan diriku pada Trista, dalam balutan

kemeja yang salah ukuran.

“Oh, shit! Tadi kukira sudah pas!” Trista menoleh sebentar, dan selebihnya melihat lewat

pantulan cermin.

“Jadi gimana?”

“Ya, udah nggak apa-apa. Kegedean sedikit nggak masalah,” ujar Trista.

Aku duduk di ujung tempat tidur. “Boleh nggak kalau kamu saja yang berangkat? Aku di rumah

saja, sama Reina”

“Bener mau nggak ikut?”

“Bener. Aku di rumah saja. Lagian aku mau menyiapkan banyak bahan pelajaran buat besoki

ini”

“Ya sudah…..”

Dan Trista berangkat sendiri malam itu. Ia tampil sangat cantik dengan setelan baru rok ketat

dan atasn berbahan sutra dengan bagian dada rendah, membiarkan keindahan kulit dada

terbuka lebar.

Malam itu, aku dan Reina sudah lelap ketika Trista pulang. Jam dua belas kurang sedikit. Aku

enggan bertanya kenapa pesta perpisahan tema nsekantor bisa selarut itu.

***

Alexandrous dan Eleni sudah siap ketika aku datang Kamis sore itu. Pelajaran bahasa

Indonesia kali ini berkisar pada penggunaan kata tanya, beberapa kosa kata kerja, kata benda

dan kata sifat. Dan seperti biasa, Alexandrous terseok-seok sementara Eleni melaju dengan

pesat.

Page 15: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Sesaat sebelum waktu belajar selesai, Alexandrous memandang mereka perlu punya kamus

bahasa Indonesia.

“Apa kamus bahasa Indonesia yang bagus?” tanya Alex.

“Sepasang kamus Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia karangan Hasan Shadily bagus

juga” jelasku.

“Di mana saya bisa beli?” tanya Eleni dalam bahasa Indonesia.

“Toko buku Trimedia, di Pakuwon Supermal, tak jauh dari sini,” kataku.

“Aku tahu di mana itu. Mau beli sekarang, honey?” Eleni menoleh Alexandrous.

“Hm, aku harus menyelesaikan beberapa tugas kantor dan kirim e-mail. Kalau kamu saja yang

beli gimana?” kata Alexandrous. “Lebih bagus lagi, kalau diantar Pak Rodi, sekalian kamu bisa

praktek bahasa Indonesia,” kata Alexandrous sambil menoleh aku. Eleni tidak menjawab dan

turut menoleh ke arahku.

“Tentu saja kalau ini tidak mengganggu Anda, pak Rodi,” tambah Alex.

“Oh, tidak, sama sekali tidak. Saya kosong malam ini,” kataku.

“Good! Boleh ya antar Eleni ke toko buku?” ujar Alex, “Don’t worry. Masukkan waktu yang

terpakai buat belanja buku ini sebagai waktu belajar tambahan. Setuju?”

Tentu saja aku tak bilang tidak. Eleni juga tampaknya suka dengan ide ini.

Kami memesan taksi di lobi apartemen. Aku mau duduk di kursi depan dekat supir ketika Eleni

mengatakan, “Pak Rodi duduk di belakang saja sama saya. Kita bicara bahasa Indonesia,”

kalimat terakhir diucapkan dalam bahasa Indonesia.

Aku menutup kembali pintu depan dan beralih duduk di samping Eleni. Harum tubuh

perempuan Yunani ini menyergap hidungku.

“Oke, pelajaran bahasa Indonesia tambahan. Silakan bertanya kalau Anda melihat hal-hal yang

ingin ditanyakan,” kataku.

“Kalau tidak?”

Page 16: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Kalau tidak, saya yang akan bertanya. Siap-siap, ya?”

“Baik, pak guru….,” Eleni tertawa renyah, dan menoleh aku.

“Entah kenapa saya senang bisa keluar seperti ini……..” kata Eleni tiba-tiba.

“Oh ya, kenapa……….?” Aku pakai bahasa Indonesia. Eleni berpikir sejenak. Kelihatannya ia

siap menjawab pakai bahasa Indonesia. Aku siap mendengarkan; bukan mendengarkan

bahasa Indonesia-nya, tapi alasan kenapa ia senang bisa keluar seperti ini.

Episode 4

“Oh ya, kenapa……….?” Aku pakai bahasa Indonesia. Eleni berpikir sejenak. Kelihatannya ia

siap menjawab pakai bahasa Indonesia. Aku siap mendengarkan; bukan mendengarkan

bahasa Indonesia-nya, tapi alasan kenapa ia senang bisa keluar seperti ini.

“Judul instrumentalia pertama pada musik keren yang saya putar waktu itu…I am an eagle without wings,” Eleni menoleh lagi padaku, kali ini dengan suara agar lirih.

“An eagle without wings….seekor elang tanpa sayap!” ulangku. “Kenapa begitu, Eleni?”

“Yah, seekor elang harusnya terbang bebas….terbang tinggi kesana kemari”

“Lalu, kemana sayap-sayap itu?” tanyaku memberanikan diri.

“Kuserahkan semua pada Alexandrous,” ujar Eleni. Bagi perempuan Yunani penyerahan diri secara total pada lelaki yang dicintai adalah kehormatan. Saya sangat mencintai Alexandrous. Pria hebat dari kalangan menengah, pekerja keras, kebanggaan keluarganya,” ujar Eleni. Aku sedikit bertanya-tanya dalam hati kenapa Eleni tak segan berbagi cerita kehidupan pribadinya.

“Boleh ceritakan bagaimana Anda bertemu Alexandrous?” aku memberanikan diri bertanya.

“Kisah yang romantis,” Eleni menyibakkan rambutnya. “Anda tahu Alexandrous adalah salah satu personil kunci dalam jaringan perusahaan yang bermarkas di Prancis. Dialah yang mengerjakan semua urusan peningkatan kualitas produk-produk kosmetik perusahaan. Lima tahun lalu, di Athena, perusahaannya menggelar semacam kontes kecantikan regional yang disponsori perusahaannya. Peserta haruslah pengguna produk kosmetik perusahaan di mana Alexandrous bekerja,” Eleni berhenti bicara.

“Pak Rodi bilang ya kalau mulai bosan dengan bicara saya,” katanya kemudian.

“Sama sekali tidak! Saya suka mendengarnya”

“Saya berasal dari Skiathos, sebuah kota kecil di sebuah pulau di antara laut Aegea dan laut Mediterania, Yunani timur. Saya mendaftar ikut kontes, dan menang juara dua”

Page 17: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Wah, keren!” ujarku dalam bahasa Indonesia.

“Ow, keren ya?” sergah Eleni. “Saya malah tadinya tidak mengira dapat posisi kedua. Saya merasa tidak cantik,” Eleni tersenyum kecil.

“Tidak cantik. C’mon, Anda cantik sekali Eleni. Maaf kalau saya memuji. Tapi Anda benar-benar perempuan berwajah sangat rupawan,” kataku, sambil berharap Eleni tak menganggap aku macam-macam dengan pujian itu.

“Oh ya, begitu menurut Anda? Tapi waktu kontes itu saya tidak merasa cantik dan menarik. Ratusan peserta lain jauh lebih cantik dan sexy”

“Percayalah saya, Eleni. Anda sungguh cantik. Saya belum pernah memuji perempuan Eropa seperti ini sebelumnya. Anda menawan. Sungguh. Itulah sebabnya Alexandrous menaruh hati pada Anda, bukan pada pemenang nomor satu,” kataku, berusaha menimbulkan kesan ucapan ini hanyalah celetuk kasual dan tidak bertendensi macam-macam.

“Ha…ha…ha, itu karena juara satunya sudah punya pacar!” ujar Eleni tertawa. “By the way, saya lebih suka melihat perempuan Indonesia. Mereka cantik alami, anggun dan punya aura khas dengan kulit oriental berbalut coklat ringan yang eksotis”

“Kalau laki-laki Indonesia bagaimana?” aku bertanya dengan nada canda.

“Ahaha, saya belum punya pendapat tentang lelaki Indonesia. Saya tak banyak bertemu lelaki Indonesia, kecuali orang-orang yang saya lihat di mall dan Anda,” Eleni tak kalah berseloroh.

“Well, tak ada yang menarik dari lelaki Indonesia,” kataku, “kebanyakan seperti saya, sangat biasa”

Eleni tertawa lagi.

“Anda dan Alexandrous pasangan yang sangat pas. Lelaki ganteng dan perempuan cantik!” aku meringkas pembicaraan. Taksi sudah sampai di lobi mal.

“Terimakasih!” ujar Eleni dalam bahasa Indonesia.

Aku sungguh rikuh ditatap banyak mata ketika berjalan bersama Eleni di koridor mal menuju ke toko buku. Mereka pasti berpikir, ‘Kok mau bos bule jalan sama sopirnya yang dekil, ya?’

Tapi itu tak jadi masalah. Tugasku hanya mengantar Eleni mencari kamus di toko buku. Aku senang karena sepanjang malam itu Eleni banyak memanfaatkan pelajaran yang kuberikan. Ia berani mencoba bicara dengan penjaga toko atau dengan penjaga toilet dalam bahasa Indonesia dengan hanya sedikit kesalahan.

“Well, pak Rodi, harusnya saya mentraktir Anda minum kopi atas jerih payah mengantar saya. Tapi saya kuatit Alexandrous menantikan saya. Kita langsung pulang ya?” kata Eleni.

“Sure!” jawab saya.

Page 18: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

***

Trista sedang tenggelam dalam kesibukan dengan BB-nya ketika aku sampai di rumah. “Aku dan Reina sudah makan. Kau makan sendiri ya, Mas!” kata Trista tanpa menoleh.

Seorang perempuan Yunani (foto : dcgreek.com)

Aku menikmati makan malam sendiri. Eh, ya, soal elang tanpa sayap kata Eleni tadi, kok belum ada penjelasannya, ya? Mungkin ia akan jelaskan lain waktu. Senyum ayu Eleni menari di benakku. Tiba-tiba aku ingin hari segera meluncur ke hari Sabtu.

Masih dengan Blackberry di tangan, Trista menghampiri aku. “Mas, besok siang aku harus ke Singapura, ada group regional meeting lima hari dengan semua finance manager se-Asia. Aku sudah telepon adik ibuku, Tante Fitri untuk tinggal di sini dan menjaga Reina. Oke, ya?”

“Oke, Tris! Tiket sudah dipesan?” kataku berbasa-basi.

“Ya, sudah. Itu urusan kantor!” kata Trista.

“Perlu diantar ke Bandara?”

“Nggak usah. Aku berangkat dari kantor. Diantar sopir kantor. Aku sisihkan uang keperluan seminggu di amplop di laci lemari kamar,” kata Trista kemudian. Trista lalu lenyap ke dalam kamar. Ketika aku menyusul ke kamar setengah jam kemudian. Ia sudah lelap, membelakangi aku.

***

Aku menyapa satpam di lobi apartement dan langsung mempersilakan aku naik ke lantai 12. Kalau sudah dikenal Satpam, tak sulit keluar masuk apartemen ini. Aku langsung memencet bel di pintu apartemen Alexandrous. Eleni yang membukakan pintu.

Page 19: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Hai, pak Rodi. Selamat pagi! Apa kabar?”

“Baik, Eleni. Apa kabar?”

“Baik-baik juga!”

Eleni, dengan kaos T berlengan pendek warna merah maroon dan celana panjang longgar seperti biasanya tampak segar pagi ini. Alexandrous belum tampak.

Aku menghampiri meja belajar dan mulai menata bahan pelajaran. Eleni mendekati meja dengan buku tulis dan pena, plus secarik kertas.

“Ini dari Alexandrous,” Eleni menggeser kertas di meja ke arahku. Di kertas itu tertulis pesan Alexandrous dalam bahasa Inggris.

“Pak Rodi. Maaf, saya harus ke Bangkok seminggu ini. Saya tidak bisa belajar. Tolong ajari Eleni. Nanti saya belajar dari dia. Saya janji saya akan mengejar kekurangan belajar saya. Salam!”

“Oo…well, kalau misalnya Anda keberatan belajar sendiri, it’s okay, saya bisa balik dan kembali lagi nanti kalau Alexandrous sudah datang,” kataku.

“No…no, tidak perlu begitu. Saya mau dan bersemangat belajar sendiri. Nanti gantian saya jadi gurunya Alex untuk mengajari pelajaran yang tertinggal. Pak Rodi tidak keberatan, ‘kan?”

“It’s okay. Tapi, saya harap Anda comfortable belajar sendiri dengan saya tanpa suami,” kataku.

“It’s not a big deal! No problem. Are you comfortable?”

“Tidak masalah!” kataku dalam bahasa Indonesia.

“Tidak masalah!” ulang Eleni dengan mimik lucu dan wajah riang; barangkali sama riangnya dengan aku.

Episode 5

Eleni lebih banyak tersenyum pada sesi pelajaran kali ini dan tak henti aku dibuat kagum oleh

kecerdasannya dalam menangkap bahasa Indonesia. Aku mengajari berbagai variasi ucapan

formal dan informal dalam bahasa Indonesia.

“Supaya lebih santai, mulai sekarang panggil saya Rodi saja, tanpa ‘Pak’”, kataku.

“Boleh begitu pada guru?” Eleni tersenyum.

Page 20: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Kenapa tidak? Kita juga mulai bisa pakai kata ‘kamu’ sebagai ganti ‘Anda’, kata ‘aku’ sebagai

ganti ‘saya’,” aku menjelaskan.

Kami berlanjut belajar lebih banyak materi percakapan.

“Sudah berapa lama kamu tinggal di Indonesia?” aku menguji Eleni.

“Saya sudah 6 bulan di Indonesia. Kamu sudah berapa lama tinggal di Surabaya?” tanya Eleni.

“Sudah 10 tahun!”

“Oh ya? Kamu berasal dari mana?”

“Aku berasal dari Malang!”

“Malang? Di mana itu Malang?”

“Malang sekitar 90 kilometer dari Surabaya”

“Se-ki-tar? Apa itu?”

“Oh, maaf….’about’”

“Ah, ya…..Malang sekitar 90 kilometer dari Surabaya?”

“Benar! Wah, Eleni. Kamu pintar!” pujiku.

“Terimakasih. Efharisto poli!” kata Eleni.

“Efharisto poli?” ganti aku yang bengong.

“Oh, itu ‘terimakasih banyak’ dalam bahasa Yunani,” jelas Eleni.

“Efharisto poli! Menarik!” kataku, “mudah diingat”

“Ya, struktur pengucapan dalam bahasa Indonesia tak terlalu berbeda dengan struktur

pengucapan dalam bahasa Yunani,” kerling Eleni. “Mau belajar kata-kata Yunani lainnya?”

“Boleh?”

Page 21: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Oke, sekarang aku jadi gurumu. Coba tirukan ini : pos íste?”

“Pos íste? Apa artinya?”

“Apa kabar, kalau mau lebih formal ‘pos íse?’”

“Okay, Eleni, pos íse?”

“Kalá, sas efharistó. Esís? Baik, terimakasih. Kamu?”

“Kalá, sas efharistó!” jawabku.

“Bagus sekali! Wow, kamu murid cerdas, Rodi”

“Efharisto poli!”

“Ahahahah….hebat. Mau tambah lagi?”

“Sure. Ini keren!”

“Okay, sekarang coba ini : Hárika ya tin gnorimía. Senang bertemu denganmu”

“Hárika ya tin gnorimía!”

“Lalu yang ini : Miláte Elliniká? Bisa bicara Yunani”

“Bagaimana menjawab ‘ya sedikit’?”

“Ne, ligáki!”

“Tolong diulang pertanyaannya!”

“Miláte Elliniká?”

“Ne, ligáki!”

“Kerennnn!” ujar Eleni dalam dalam bahasa Indonesia.

“Oh ya, bagaimana bilang ‘tolong bicara pelan-pelan’?”

Page 22: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Parakaló miláte pyo argá”

“Kalau ‘aku tidak mengerti’?”

“Den katalavéno”

Dan sepanjang sisa pelajaran bahasa Indonesia itu beralih situasi menjadi les privat bahasa

Yunani. Aku jadi murid, Eleni gurunya.

“Well, aku harus memujimu, Eleni. Kamu guru bahasa paling hebat yang pernah kukenal,”

kataku.

“Boleh percaya boleh tidak, aku meniru gayamu mengajar”

“Oh ya, gaya apa itu?”

“Sabar, tidak menekan, memahami kesulitan murid asing, dan pengucapan yang jelas!”

“Wah, wah….jangan-jangan aku harus bayar balik untuk pelajaran ini!” aku berseloroh.

“Iya nih…..mana uangnya,” Eleni bercanda mengulurkan tangan seperti meminta uang dengan

gerakan mata dan bibir yang lucu.

Dan kami tertawa bersama. Perempuan ini benar-benar teman yang hangat. Kalau saja aku tak

punya urat malu, ingin rasanya duduk berlama-lama di meja belajar dengan Eleni. Aku

menengok jam di layar HP.

“Oh, sorry, sudah waktunya selesai, ya?” kata Eleni.

“Ya, tapi tadi banyak waktu terpotong untuk belajar bahasa Yunani. Perlu saya tambah

waktunya?” kataku.

“Aku kira cukup….mhh, begini. Aku suka sekali makan gadi-gado. Kapan hari diajak Alex di

mal. Tapi kata teman-teman Alex ada yang lebih enak, biasanya di warung biasa. Aku pingin

makan gado-gado di warung biasa. Kalau ada waktu, boleh antar aku?”

“Sekarang?”

Page 23: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Ya, sekarang!”

“Okay!” sambutku.

“Bagus. Tunggu sebentar, aku ganti baju!” Eleni hilang ditelan pintu kamar. Sebentar kemudian

ia keluar dengan celana jeans ketat dan kaos oblong santai produk toko souvenir di Bali.

“Nih, lihat aku pakai jeans dan kaos oblong kayak kamu. Aku suka gaya santaimu. Bagaimana

menurutmu?” tanya Eleni.

“Aku nggak mau jawab,” kataku.

“Kenapa?”

“Karena tak tahu bahasa Yunani-nya”

“Memangnya mau jawab apa?”

“Charming, beautiful!”

“O, itu ómorfí, goíteftikí!”

***

“Kamu naik apa?” tanya Eleni begitu sampai di lobi bawah.

“Sepeda motor!”

“Bisa dipakai berdua?”

“Bisa”

“Kalau begitu naik motormu saja”

“Wah, kamu tahu di luar sana matahari panas sekali”

“Aku tak masalah dengan matahari. Pingin kulitku coklat kayak kamu!” otot Eleni.

Page 24: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Dan motor menderu melaju di tengah terik siang kota Surabaya. Duduk di boncengan,

perempuan Yunani ayu berkacamata hitam dengan rambut terburai diterpa angin. Bisa kulihat

dari kaca spion Eleni sangat menikmati panasnya kota. Sang elang betina rupanya mulai

tumbuh bulu!

Tiba-tiba saja sebuah motor polisi menyalip dari kanan dan memerintahkan aku untuk berhenti.

“Selamat siang, mohon tunjukkan SIM dan STNK!” polisi berkumis lebat itu mendekatiku.

“Apa salah saya, pak?”

“Anda membonceng penumpang tak pakai helm!” kata pak polisi. Aku menepikan kendaraan.

Takut-takut Eleni turun dari boncengan. Pak polisi mengajak aku menepi. Sebentar kemudian

aku balik ke tempat Eleni berdiri.

“Yuk, berangkat lagi” kataku.

“Itu tadi ada apa?” Eleni heran.

“Tilang karena pembonceng tak pakai helm?”

“Problem?”

“Sama sekali tidak. Ia polisi baik, ia terima salam persahabatan dari saya, dan mengijinkan kita

pergi,” kataku sembari menjelaskan arti kata ‘salam persahabatan’.

“Selain itu, aku tadi bilang aku membonceng sekretaris Duta Besar Yunani untuk Indonesia

yang mau jajan gado-gado. Pak Polisi senang gado-gado disuka perempuan Yunani,” kataku

bercanda.

“Bener kamu bicara begitu pada polisi itu?” tanya Eleni.

“Tentu saja tidak!”

Eleni menepuk punggungku berkali-kali dengan tawa amat renyah. Sepanjang siang ini aku dan

Eleni menghabiskan waktu menyantap makanan-makanan berbasis sayuran yang menurut

Eleni sangat eksotis itu. Ngobrol santai dengan perempuan ini membuatku tak kenal waktu.

Page 25: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Tak kunyana ia banyak sekali bicara dan cerita; mulai dari kehidupan di kota kecil kelahirannya,

pertemuan dengan Alexandrous dan keindahan negara Yunani.

Eleni juga membawa pulang satu tas plastik besar tomat segar yang dibeli di pasar tradisional.

Tak jelas jam berapa aku sampai di rumah. Matahari sudah condong ke barat ketika Reina

menyongsong aku di pintu rumah.

“Bapak, nanti ke mal, ya?” demikian pinta Reina. Aku menggendong gadis kecilku dan

memberinya kecupan di pipi.

“Sip, kita jalan, makan dan main! Oke?”

“Oke”

Aku mengguyur tubuh dengan air shower. Air itu seperti beraroma Eleni dan titik-titik air yang

membuncah di wajahku mengirim kerling cantik perempuan berambut coklat itu.

Episode 6

Mungkin karena terbiasa ditinggal pergi ibunya, Reina tak banyak mengeluh menghabiskan

malam Minggu denganku di mal. Bisa juga ini karena bibinya, Tante Fitri ikut pula ke mal.

Perempuan paruh baya yang selalu diandalkan Trista bila harus berdinas keluar kota untuk

waktu yang cukup lama itu memang termasuk penyabar. Ia sendiri tak punya anak dan hidup

dari pensiun suaminya yang meninggal 7 tahun lalu.

Aku berkali-kali melirik layar HP. Sejak berangkat ke Singapura Jumat siang kemarin, ia belum

telepon atau kirim sms. Tidak juga kepada Tante Fitri. Kalau mungkin Trista ogah menanyakan

kabarku, setidaknya ia sms atau telepon Tante Fitri untuk menanyakan keadaan Reina. Trista

pasti terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Seperti yang ia bilang, orang-orang di kantornya itu

gila kerja. Rapat tak pernah kenal weekends, dan seperti yang sempat Trista bicarakan padaku

sebelum berangkat, rapat ini membahas soal kenaikan gaji tim manajemen, yang berarti bicara

soal kenaikan gaji Trista pula.

Page 26: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Okelah, kalau memang Trista bakal menjadi tulang punggung keluarga kecil ini dalam

mendulang rupiah, aku harus memberinya keleluasaan. Reina memang harus dapat kepastian

masa depan dan pendidikan yang baik. Kalau cuma mengandalkan penghasilanku sebagai

guru privat, rasanya kurang hebat. Penghasilanku, terkuras habis untuk biaya hidup sehari-hari.

Biaya gaya hidup Trista ia sendiri yang urusi.

Aku baru saja hendak berangkat mengajar bahasa Inggris jadwal jam 10 Minggu pagi tak jauh

dari perumahanku ketika seutas sms meluncur ke HP-ku, nomor tak dikenal. Aku buka sms itu.

“Kaliméra sas. Pos ise?….” Demikian pesan singkat itu, menyapa selamat pagi dan

menanyakan kabar dalam bahasa Yunani. Ini pasti dari Eleni.

“Kaliméra sas. Kalá, efharistó! Ada apa?” aku membalas sapanya.

“Aku bersemangat belajar bahasa Indonesia. Bisa dapat tambahan pelajaran hari ini, jam

10.30?” demikian sms Eleni.

Aku berpikir sesaat, dan kubalas sms itu. “Dengan senang hati. Tunggu ya?”

Selebihnya aku sibuk pencet-pencet key-pad HP untuk membatalkan jadwal mengajar bahasa

Inggris jam 10 pagi dengan siswa di perumahan sebelah.

***

Agak mengganggu pikiranku ketika Eleni membuka pintu adalah raut wajahnya yang tidak

secerah biasanya. Meski kelihatan senang dengan kehadiranku, senyum itu tidak terlalu riang.

“Apa kabar hari ini?” tanyaku.

“Baik-baik. Kamu bagaimana?”

“Baik-baik. Semalam ke mal dengan putri saya,” kataku.

“Oh ya, pasti asyik. Berapa umur putrimu?’

“5 tahun!”

“Ia pasti cantik sekali”

Page 27: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Sangat cantik”

“Mirip kamu?”

“Mirip ibunya,” kataku. Ia tersenyum sedikit.

Berbeda dengan bunyi sms yang katanya bersemangat belajar hari ini, Eleni kali ini agak sulit

berkonsentrasi. Satu jam pertama dilalui dengan banyak hambatan menghafal yang mestinya

mudah bagi dia.

“Kamu baik-baik saja?” tanyaku.

“Aku baik-baik saja. Sebenarnya pingin menyendiri…..”

“Ow, kalau begitu…..aku bisa pulang sekarang!”

“No, no, nggak begitu……eh, kalau kita sudahi pelajaran bahasa Indonesia ini bagaimana? Kita

ngobrol santai saja?” kata Eleni.

“Baik, tidak apa-apa. Are you sure you don’t want me to leave?”

“Very sure. Kamu di sini saja barang sebentar!” Eleni membuka lebar jendela yang

membentang ke hamparan luas bagian barat Surabaya di bawah sana. Ia mememberi isyarat

padaku agar membantu menggeser sofa untuk menghadap ke jendela. Ia kemudian mengambil

dua gelas jus tomat dan memberikan segelas padaku.

“Ini tomat yang kita beli kemarin. Orang Yunani suka sekali tomat,” kata Eleni duduk di satu sisi

sofa. Ia menepuk-nepuk bidang duduk sofa dan berkata,” Duduklah di sini,” katanya. Ragu-ragu

aku duduk di sofa yang hanya cukup untuk berdua itu.

“Pemandangan ini, aku suka,” kata Eleni dalam bahasa Indonesia, menatap jauh ke luar

jendela.

“Ya, sama. Tak sering aku menikmati pemandangan Surabaya dari ketinggian,” kataku.

Eleni terdiam sesaat.

“Katakan padaku, Rodi, apa arti cinta bagi perempuan Indonesia?” tiba-tiba Eleni bertanya.

Page 28: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Aku sedikit terkejut. Pertanyaan ini terasa agak aneh bagiku.

“Well, aku kira persepsi tentang cinta di mana-mana sama saja. Perempuan Indonesia juga

sama dengan perempuan manapun. Cinta itu diikat oleh rasa, oleh nilai sosial, oleh hubungan

timbal balik yang positif dengan pasangannya,” kataku.

“Kalau cinta seorang perempuan yang sudah menikah?”

“Perempuan Indonesia juga, maksudmu?” aku menoleh Eleni, batal menyedot jus tomat.

“Ya!”

“Umumnya ikatan cinta perempuan pada suami kuat dan banyak perkawinan yang survive

sampai salah satu meninggalkannya karena kematian. Tapi cinta dalam perkawinan bisa juga

tak bertahan lama, karena kehadiran pihak ketiga dan sebab-sebab lain. Di mana-mana sama,”

kataku.

“Boleh tanya, kenapa ini kita angkat sebagai topik?” tanyaku. Aku heran saja, kenapa

perempuan yang belum terlalu lama mengenal aku, yang kenal hanya sebatas hubungan guru-

murid, berani membicarakan masalah yang menjurus pribadi. Apakah karena Eleni telah

menganggap aku sebagai teman baik? Ataukah karena memang perempuan Yunani biasa

berbagi masalah dengan teman baru sekalipun?

“Maaf kalau topik ini membosankan,” Eleni bangkit dari duduknya, menaruh gelas di meja dan

membuka komputer lap-top.

“Ingat ketika kapan hari kubilang perempuan Indonesia cantik-cantik?” tanyanya, menyalakan

laptop di meja.

“Ya, aku ingat kau bilang itu” kataku menoleh.

“Kemarilah sebentar! Lihat foto ini. Perempuan muda Indonesia ini. Bagaimana menurutmu?

Cantikkah dia?” Eleni menghadapkan layar komputer laptop ke wajahku. Darahku tersirap. Itu

foto Trista. Kenapa foto Trista ada di komputer Eleni?

Page 29: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Eleni menekan tombol geser gambar, menunjukkan sejumlah foto Trista dengan latar belakang

tempat-tempat umum di Singapura. Aku tak langsung menanggapi. Aku menatap foto-foto itu

tak berkedip.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Eleni.

“Dia cantik sekali….cantik sekali….” Kataku.

“Menurutku juga. Ia perempuan luar biasa. Lihat parasnya. Lihat bentuk tubuhnya yang ramping

menggoda. Lihat lekuk-lekuk badan dan senyumnya”

“Boleh tahu siapa dia?” kataku, berdebar dadaku. Apakah Eleni tahu perempuan itu istriku?

“Namanya Trista, seorang manajer di sebuah perusahaan multinasional besar di Surabaya. Aku

sungguh kagum pada keelokan perempuan ini,” kata Eleni meneguk jus tomat tanpa sedotan.

“Bagaimana kau dapatkan foto ini?” aku bertanya.

“Adik laki-lakiku tinggal di Singapura. Ia memotretnya diam-diam, dan mengirimkannya padaku

tadi pagi lewat e-mail,” kata Eleni. Makin terkejut aku dengan informasi ini.

“Memotretnya diam-diam?” ulangku. Aku jadi tak berselera meneruskan jus tomatku.

“Ya, diam-diam. Tak sengaja adikku melihat Alexandrous dari kejauhan bersama perempuan

ini.

“Alexandrous?” tanyaku.

“Ya. Alexandrous, suamiku. Dan lihat ini,” Eleni menggeser koleksi foto. Kali ini ke sebuah

pemandangan dengan dua orang bergandeng mesra di lobi sebuah hotel mewah. Foto itu tak

terlalu jelas, tapi cukup jelas untuk melihat wajah-wajahnya.

“Yang laki-laki itu Alexandrous. Yang perempuan itu Trista. Foto ini diambil tadi malam. Mereka

menginap di hotel ini,” roman muka Eleni berubah sendu.

“Bukankah Alexandrous pergi ke Bangkok?” tanyaku mirip orang bodoh di tengah kecamuk otak

dan hatiku.

Page 30: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Perempuan ini hebat,” Eleni tak langsung menjawab pertanyaanku, “Ia bisa menaklukkan

Alexandrous. Bisa memalingkan cintanya dari aku, bisa membuatnya berbohong!” Eleni

mengusap hidungnya.

“Sorry, Eleni. Apakah benar-benar mereka menginap di hotel ini?” tanyaku.

“Ya, adikku tak mungkin bohong. Mereka check-in dengan nama Trista. Tadi pagi adikku

telepon ke kamar mereka. Alexandrous yang terima. Adikku menyamar sebagai orang lain

ketika menelepon.

Aku terduduk di kursi di dekat meja belajar. Jantungku berdebar-debar dan kepalaku berdenyut-

denyut.

“Are you all right?” tanya Eleni.

“Aku tak apa-apa, cuma kaget saja. Bisa kubayangkan perempuan itu pastilah bersuami!”

“Trista bersuami. Aku tahu itu!” kata Eleni.

“Kau tahu suaminya?” aku bertanya.

“Tidak perlu tahu! Aku tidak perlu tahu!” Eleni kembali ke sofa di hadapan jendela dan tersandar

lemas. Lama ia duduk dengan pandangan kosong ke luar jendela. Aku belum bisa bicara, sibuk

dengan benakku yang berputar-putar tak keruan, mungkin sama tak keruannya dengan benak

Eleni.

“Ime aitos horis ftera,” katanya dalam bahasa Yunani tiba-tiba.

“Sorry?” aku tak mengerti.

“I am an eagle without wings, aku elang tanpa sayap,” desisnya lirih. Aku menghampiri Eleni

dan duduk di dekatnya.

“Ini cobaan buatmu, Eleni. Kau harus kuat. Kau pasti bisa melaluinya. Apakah Alex telepon

kamu kemarin-kemarin?”

Page 31: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Ya, tadi malam dia telepon. Dia bilang dia ada di Bangkok, mengobrol sebentar, aku bilang

baru jalan-jalan cari gado-gado dan belanja tomat dengan kamu,”

“Ime aitos horis ftera………Aku mau putar musik itu. Kamu mau dengar lagi?” Eleni berdiri dan

menghampiri rak CD player. Sebentar kemudian musik itu mengalun lagi. Eleni tak kembali ke

sofa. Ia menyimak seksama bagian awal musik itu dan mulai menggerakkan tubuhnya

mengikuti ritme musik. Denting-denting alat musik bouzouki, sejenis gitar klasik Yunani, yang

dipetik mulai ritme lambat dan menjadi cepat, diikuti Eleni dengan gerakan elang yang sulit

terbang. Liuk-liuk tubuh dengan mata terpejam itu membuatku tak mampu berbicara kecuali

memperhatikan dengan lekat.

“Thélete na horépsete mazí mu?” tiba-tiba Eleni berhenti sejenak dan menatapku.

“Apa itu?”

“Maukah kau dansa denganku?” ulang Eleni dalam bahasa Inggris.

“Aku? Aku tidak bisa berdansa!” elakku.

“Sini aku ajari. Ikuti gerakanku,” ia menyambut tangan kananku dengan tangan kirinya dengan

gerakan gemulai. Kikuk aku menyerahkan tanganku dalam genggamannya.

“Berdirilah tepat di hadapanku, lingkarkan lenganmu di pinggangku, ikuti gerakanku. Kita adalah

elang-elang tanpa sayap….”

Tak mudah bagiku mengikuti gerakan itu. Tapi Eleni adalah pengajar dansa yang baik. Gerakan

kedua tungkai kaki Eleni menyeretku ke tahap-tahap koreografi liar yang tak pernah kukenal

sebelumnya. Bila rengkuhanku di pinggangnya melemah, ia membantu merapatkannya. Terlalu

dekat dengan Eleni, harum tubuh perempuan Yunani itu sangat mengganggu pikiran dan

konsentrasi. Ketika musik usai, ia putar ulang dan sekali lagi ia menggiringku ke gerakan-

gerakan magis. Kubiarkan ia mengendalikan aku dalam tarian itu, dan kuikuti serta kuupayakan

gerakan balasan yang setimpal dengan yang ia ajarkan. Ia kelihatan senang ketika aku mulai

bisa mengimbangi gerakannya. Tiga kali kami memutar musik itu. Peluh membanjir di dahi

Eleni.

“Huih! Dansa yang hebat! Bersama guru hebat!” pujiku. Eleni hanya tersenyum singkat.

Page 32: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Aku menjumput dua helai tisu di meja dan memberikannya kepada Eleni. Ia mengusap peluh di

dahinya setelah mengucapkan terimakasih.

“Masih belum kering betul,” kataku asal saja melihat simbahan tipis keringat di leher di bawah

telinga. Aku mengambil beberapa helai tisu dan mengangsurkannya kepada Eleni. Ia

menerimanya dan mengusap bidang leher yang kutunjuk yang masih basah dengan gerakan

mempesona.

“Kamupun keringatan,” kata Eleni menunjuk dahiku. “Karena kau telah berbaik hati

mengambilkan tisu, biarlah aku mengusap keringatmu,” Eleni menjumput beberapa lembar tisu

dan mulai mengusap keringat di dahiku dengan lembut. Aku mundur sedikit dan menahan nas,

membiarkan tangannya bergerak lembit di seputaran dahiku. Dekat sekali wajah itu ke wajahku.

Perempuan ini lama-lama bisa membuatku gila. Eleni menatap mataku beberapa saat. Aku

balik menatapnya. Ada pancaran kuat di mata itu; sepasang mata elang yang menyorot tajam.

Tapi ia kemudian mundur beberapa langkah ketika ia mulai melihatku gugup.

“Oh, maaf, aku membuat kamu tidak nyaman….maaf!” Eleni mengusap hidung dan mematikan

CD player. Nafasnya naik turun.

“It’s okay, Eleni. Aku suka itu. Kamu baik,” nafasku tak kalah memburu. “Tapi maafkan aku. Aku

harus pulang sekarang…….,” aku mengemasi buku dan tas.

“Rodi? Kamu baik-baik saja?” Eleni terheran-heran.

“Aku baik-baik saja, Eleni. Thanks for the wonderful dance lesson! Aku benar-benar

menikmatinya”

Eleni menatapku lekat ketika mengantarku ke pintu. Aku tak menoleh lagi. Dadaku belum

benar-benar berhenti berdebar. Dalam waktu setengah jam terakhir terlalu banyak hal

bergejolak di dada ini. Trista! Eleni!

Episode 7

Selama beberapa saat aku tak mampu berpikir cermat. Siapa yang bisa tentram dalam situasi

seperti ini? Istri jelas-jelas serong dengan suami siswa les bahasa Indonesia yang kini mulai

Page 33: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

berkawan akrab dengan aku, seorang perempuan mempesona yang tengah terguncang dan

kehilangan sayap.

Trista! Eleni!

Oke, satu persatu situasi tak mengenakkan ini harus diurus dengan baik. Aku memencet nomor

telepon Gusti, sahabatku karyawan café di satu sudut kota Surabaya.

“Gusti, aku perlu bantuanmu!” kataku.

“Katakan apa yang perlu kubantu, kawan!”

“Deskripsikan bule yang bersama istriku di café waktu itu”

“Ah, cemburu rupanya”

“Just tell me, please!”

“Oke. Bule itu ganteng, rambut rapi, sering datang ke café. Belakangan ini aku tahu ia orang

Yunani, namanya Alexandrous!. Aku pernah ngobrol dengannya sebentar dan ia kasih tips”

Aku menghempaskan nafas.

“Dua Sabtu lalu, untuk kesekian kalianya, istrimu dan Alexandrous lama mengobrol, mengambil

tempat di sofa pojok, bicara berdekatan, sesekali tertawa ringan. Dua-duanya, kerap kali kulihat

bertatapan mesra. Sayang aku pas tidak bawa HP kameraku,” jelas Gusti, sebuah penjelasan

yang membuat dadaku teriris-iris.

Benar! Berarti ada yang tidak beres. Dua Sabtu lalu, ketika Trista bilang mau ke spa dan batal

karena alasan ada panggilan darurat dari kantor, itu ternyata bohong belaka. Sejak dari rumah

Trista rupanya ada janji ketemu Aelxandrous dan memilih bermalam minggu di café bersama

Alexandrous katimbang bersamaku dan Reina. Dan agaknya Alexandrous-pun lebih suka

meninggalkan Eleni sendiri di apartemen saat itu.

Aku tercenung sesaat dan mulai percaya cinta Trista padaku telah luntur. Bila seorang

perempuan bersuami sudah menyerahkan diri kepada lelaki lain, apalagi yang tersisa? Kenapa

Trista berpaling? Ah, jawaban yang mudah. Siapa yang tidak akan berpaling dari suami yang

Page 34: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

tak berpenampilan necis, tidak harum parfum, tidak fashionable, tidak berdompet tebal, tidak

bisa mengimbangi gaya hidup istri yang jelita dan punya pergaulan luas?

Akan halnya Alexandrous. Apa yang kurang dari Eleni? Sungguh tolol bila Alexandrous harus

mempertaruhkan kebersamaan cintanya dengan Eleni yang sangat cantik menggairahkan itu.

Ataukah sosok Trista dengan kerling menggoda dan keelokan khas Indonesia itu memang tak

mampu ditolak Alexandrous?

Aku menghabiskan hari Senin dengan kecamuk yang menjadi-jadi di dadaku. Tak tahan aku

melihat Reina bermain hanya ditemani seorang bibi sepulang sekolah. Sama sekali aku tak

ingin Reina mengalami hal-hal yang sulit dipahaminya saat ini. Apa yang akan terjadi saat Trista

balik ke rumah?

Trista tidak meneleponku, tidak kirim sms. Tidak pula ia punya waktu menanyakan kabar Reina

pada Tante Fitri. Aku yakin ia tengah asyik masyuk dalam romantisme indah dengan lelaki

Yunani itu di Singapura sana.

HP-ku menderingkan suara sms. “Aku mau belajar bahasa Indonesia sekarang. Please sisihkan

waktu untukku sore ini,” demikian isi sms Eleni.

Aku menimang HP beberapa jenak. Kini pikiranku melayang ke Eleni yang tinggal sendiri di

apartemen, dengan kegundahan hebat , yang pasti tiada henti membayangkan apa yang

sedang dilakukan suaminya bersama istriku di kamar hotel di Singapura.

Karena aku tak lekas menjawab, sms Eleni hadir lagi.

“Please jangan merasa tak enak dengan peristiwa kecil setelah dansa kemarin. Aku hanya

bermaksud menyeka keringat, tidak lebih. Saya menunggu Anda, Pak Rodi”.

Kalimat terakhir ditulis dalam bahasa Indonesia formal, pakai ‘Pak’ lagi.

Aku memutuskan melaju ke apartemen Eleni selepas senja. Eleni perlu belajar dan perlu teman

mengobrol, bukan yang lain, demikianlah aku memberi diriku sendiri pengertian. Sungguh, aku

takut berubah menjadi orang tolol, yang mengharap lebih banyak ‘good time’ bersama Eleni

pada sat-saat seperti ini, yang membuat aku lupa diri.

Page 35: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Eleni mungkin tidak seperti Trista. Lagian, di mata Eleni, apalah aku dibanding Alexandrous

yang punya segalanya? Aku cuma seorang guru bahasa Indonesia yang saat ini kebetulan

teman ngobrol yang pas.

***

Baju terusan batik bermotif bunga dengan warna terang itu ketat menempel indah di tubuh

Eleni. Batik tanpa lengan itu, dan garis kain di dada yang rendah, menyembulkan kulit putih

bersih bernuansa coklat ringan sepasang lengan dan dada membusung yang menambah daya

pikat tubuh itu. Inikah hasil kebiasaan perempuan Yunani yang doyan makan ikan, yang

membuat kulit mereka kenyal dan bebas bercak?

Bagian bawah terusan batik yang melebar, setinggi lebih dari 15 centimeter di atas lutut,

menyiratkan panorama yang sebaiknya tak perlu kututurkan. Semula aku mengira Eleni

membeli dress batik yang salah ukuran alias terlalu pendek bagian bawahnya, tapi kemudian

aku menyimpulkan, dress itu memang pas untuk menampilkan keindahan ragawinya dengan

cara yang mencengangkan.

“Maaf ya kalau saya minta tambahan jam pelajaran terus,” Eleni mempersilakan aku duduk, dan

menuang air dingin. Satu gelas disodorkan ke arah ku.

“It’s okay. Bagaimana suasana hatimu?” tanyaku.

“Makin tak keruan. Sekitar dua jam lalu, adikku menelepon.Ia terus mengintai Alexandrous. Ia

bilang Trista dan Alexandrous sudah seperti pasangan pengantin baru, lebih banyak

menghabiskan waktu di kamar. Tidak ada acara pertemuan bisnis itu. Mereka hanya ingin

menikmati cinta jauh dari pasangan asli masing-masing.

“Aku turut sedih kau harus mengalami ini, Eleni. Apa kau kau sudah coba meneleponnya?”

“Sudah, baru saja, Alexandrous bilang seharian ia sibuk meeting, di Bangkok. Ia bahkan tidak

tahu bahwa aku tahu ia tidak di Bangkok, melainkan di Singapura,” Eleni duduk di sofa,

menyilangkan kaki, meneguk air dingin. Sesekali ia menerawang sisa air di gelas yang buram

oleh lapisan dingin air es. Sepasang kaki indah dari singkapan kain batik yang longgar itu, oh,

maaf kawan, tak bisa kukisahkan di sini.

Page 36: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Mau mulai belajar sekarang?” aku merasa perlu segera membuat Eleni berdiri dari sofa dan

pindah ke meja belajar. Tak baik pemandangan itu kalau ia terus duduk santai di sofa seperti

itu.

“Satu pertanyaan, Rodi. Aku minta pendapatmu,” kata Eleni tak lekas bangkit.

“Ya?”

“Bagaimana perasaanmu bila Trista itu istrimu?” Eleni menatapku, mempermainkan sisa air di

gelas.

Deg! Jantungku berhenti berdetak sesaat. Tak kuasa aku untuk segera menjawab. Pertanyaan

Eleni ini sungguh membawa banyak makna. Ini permisalan, pertanyaan terselubung, ataukah

pengujian?

“Bisa aku tanya sedikit soal asal mula hubungan suamimu dengan perempuan Indonesia itu?”

kataku, balik bertanya.

“Bos Trista, ekspatriat Canada, itu teman baik Alexandrous. Dalam suatu acara eksekutif tiga

bulan lalu, Trista berkenalan dengan Alexandrous melalui bos Canada itu. Aku berada di sana

juga saat itu, dan sempat pula mengobrol dengan Trista. Dari obrolan santai, aku tahu ia

bersuami, berkeluarga”

Aku menyimak setiap perkataan Eleni dengan takzim.

“Alexandrous biasanya menghabiskan malam minggu atau waktu santai keluar bersamaku.

Sebulan belakangan ini, Alex tampak lebih suka keluar sendiri. Kalaupun ia mengajak aku

keluar, itu cuma basa-basi, dan ia lebih berharap agar aku menolaknya. Seperti dua Sabtu yang

lalu, harusnya aku ingin jalan, tapi ia bilang harus bertemu klien dari India yang besoknya musti

balik ke Mumbai sehingga tak bisa menunggu sampai Senin. Ia bilang aku bisa ikut tapi

percakapan pasti bakal membosankan. Aku tahu itu artinya lebih baik aku di rumah saja. Aku

biarkan ia sendiri, dan aku menyibukkan diri menonton televisi. Aku tahu ia bertemu Trista. Ada

teman sesama anggota persatuan istri ekspatriat Surabaya yang menelponku, ia melihat

Alexandrous bersama perempuan lain” ujar Eleni, “ime aitos horis ftera…,” sekali lagi ia

menyebut dirinya elang tak bersayap. Kini aku mulai paham maksudnya.

Page 37: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Boleh belajarnya nanti saja? Aku ingin dengar musik, kalau kau tak keberatan,” Eleni berdiri,

dan seperti biasa menghampiri rak CD. Aku mengiyakan. Kali ini ia menyiapkan sebuah CD

berbeda.

“Saya suka berdansa untuk mengusir sedih. Mau temani aku berdansa?” ia merentangkan

tangan padaku dengan gerakan sopan yang memukau. Ragu-ragu aku menatapnya.

“Ayolah. Aku janji nggak akan lancang mengusap keringatmu nanti. Lagian, musiknya lembut

dan tak akan bikin keringatan. Aku putar Song For Anna, karya Paul Mauriat”

Dan ketika Song For Anna mulai benar-benar mengalun lembut, seperti logam terserap magnit,

aku berdiri mendekati Eleni.

“Masih ingat caranya berdansa?”

Aku mengangguk.

Musik itu mengalun pelan, tenang, teduh dan seperti mengalir dalam jiwa raga Eleni. Gerakan

yang menghanyutkan itu merasukiku juga. Kenapa pula aku tak harus mengimbanginya?

“Kau belum menjawab pertanyaanku,” kata Eleni ketika mulai bergerak mengikuti alunan musik.

“Yang mana?”

“Bagaimana perasaanmu kalau Trista itu istrimu?”

“Hatiku akan hancur, mungkin sehancur hatimu saat ini,” hanya itu jawaban yang tersedia.

“Kamu benar. Di dalam dadaku, ada yang remuk redam,” Eleni beringsut beberapa centimeter

ke arahku. Aku menahan nafas untuk kesekian kalinya. Tidakkah ini terlalu dekat? Jika aku tak

menahan kepalaku untuk tak condong ke depan, pipi perempuan itu pasti sudah bergesek

dengan pipiku.

“Let me tell you something, Eleni. Hatiku juga tengah dalam keadaan remuk berkeping-keping,”

entah kenapa tiba-tiba aku bicara begitu.

“Buat aku percaya kenapa begitu” kata Eleni tak jauh dari telingaku. Aku diam sesaat.

Page 38: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Boleh aku memelukmu, agar aku bisa merasakan hancurmu dan kau bisa percaya hancurku,”

sungguh aku nekat mengatakan ini. Ini keberanianku yang luar biasa. Eleni sudah sedekat ini.

Aku berharap ia tak akan langsung mendorong dan menamparku.

“Tadinya aku yang akan meminta begitu, ternyata kau mengatakan duluan. C’mon, peluk aku

erat-erat,” desis Eleni. Tak perlu menunggu lama, aku memindah lingkaran lengan di pinggang

dan naik beberapa centimeter. Eleni membalasnya dengan rengkuhan lebih erat. Musik

mengalun makin syahdu.

“Kini kau tahu akupun hancur lebur. Jangan kaget Eleni, Trista itu istriku,” kataku perlahan, pipi

kiri Eleni bergesek di pipi kananku.

Pelukan itu tak saling lepas. Eleni sama sekali tidak terkejut. Ia malah mengayunku lebih

lembut.

“Aku tahu itu. Sejak mula aku tahu….jangan tanya kenapa aku tahu….” kata Eleni. Dan Eleni

sama sekali tidak menolak ketika dekapanku makin mengunci rapat tubuhnya, sampai

kemudian ia merenggangkan sedikit rengkuhan itu dan menatapku dari jarak sangat dekat. Aku

tak tahu bagaimana cara merespon tatapan perempuan cantik itu. Aku melihat bibir Eleni

mengirimkan sinyal yang menggelora, dan mungkin penuh harap seperti yang aku harapkan.

Tiba-tiba saja aku bergerak dan mendaratkan kecupan mesra di bibirnya. Eleni memejamkan

mata beberapa saat dan memberikan sambutan lembut dan hangat dengan rengkuhan manis

lengannya yang melingkar di kepalaku. Lama kami saling melumat.

Tapi kemudian ia tiba-tiba mendorongku dan melepaskan pagutan itu.

“Ooi……, apa yang kita lakukan ini!” Eleni mundur beberapa tapak. Wajahnya bersemu dadu.

Dadanya naik turun.

“Aku….aku maafkan aku…..maafkan aku, Eleni…..”

Eleni tak bicara. Ia hanya menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kutebak artinya.

“Rodi…….maaf, sebaiknya kamu pulang sekarang!” ia mendekap bibirnya sendiri, seolah baru

menyadari apa yang baru saja terjadi bisa mengarah ke banyak hal yang mungkin bakal

disesali.

Page 39: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Aku masih berdiri mematung. Sangat tak rela kehangatan itu tiba-tiba saja terenggut.

“Please….kumohon! Tinggalkan aku….”

Sekali lagi, seperti kemarin, aku mengemasi barang-barang dan jaketku. Eleni berdiri di pojok

ruangan masih dengan dada naik turun. Tampaknya ia sendiri tak tahu jawabannya kenapa

kami melakukan itu.

“Eleni, maaf…..maaf…..” aku membuka pintu dan meninggalkan Eleni sendiri. Hangat bibir

Eleni tak segera pudar dari bibirku.

Aku segera turun dengan lift ke tempat parkir motor. Ketika hendak membuka kunci stang

motor, HP di saku berdering. Dari Eleni.

“Rodi……..kembalilah ke apartemenku. Aku mau kita menyelesaikan apa yang kita mulai tadi!”

suara Eleni bergetar di telepon.

Episode 8

Aku segera turun dengan lift ke tempat parkir motor. Ketika hendak membuka kunci stang

motor, HP di saku berdering. Dari Eleni.

“Rodi……..kembalilah ke apartemenku. Aku mau kita menyelesaikan apa yang kita mulai tadi!”

suara Eleni bergetar di telepon.

Aku tak perlu merasa harus tahu apa yang ia maksud. Aku melesat kembali ke lift dan naik ke

lantai 12. Ketika membuka pintu, Eleni langsung menarik tanganku dan mendekapku hebat dan

memagut bibirku penuh hasrat.

“Aku menyesal terlalu banyak pertimbangan beberapa menit lalu. Aku bukan lagi elang tanpa

sayap. Kau juga bukan elang tanpa saya. Sayap kita masing-masing telah tumbuh subur. Kita

akan terbang tinggi,” desah Eleni di sela-sela serbuannya. “Itu kamarku. Ranjangku! Bawa aku

ke sana!”

“Okay, Eleni! Asal kau tidak minta dibopong!” kataku.

Page 40: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Eleni sekali lagi menarik kuat lenganku mengikuti gerakannya menuju ranjang itu. Sambil

menutup pintu kamar ia mendesis, “Cumbulah aku. Ucapkan kata-kata cinta dalam bahasa

Indonesia dan kau nanti akan dengar kata-kata cinta dalam bahasa Yunani”

Dan kami terbang bersama-sama; sepasang elang dengan sayap yang baru tumbuh, di langit

yang penuh gelora.

***

Jam di meja kamar Eleni menunjukkan pukul 4 pagi. Kami telah menjelajahi langit dan mereguk

hasrat dahsyat. Kepala Eleni terdampar di dadaku.

“Kenapa kita lakukan ini, Eleni?” tanyaku.

“Perlu dijawab?” tanya balik Eleni.

“Ya, aku perlu tahu. Karena aku yakin ini bukan cinta”

Eleni tersenyum. “Kamu benar, ini bukan cinta. Sebenarnya ini cara kita menyelamatkan

perkawinan masing-masing”

Aku mencoba menatap Eleni. Ia menengadah dan mengisyaratkan agar aku memberinya

kecupan kecil di bibir.

“Aku sangat mencintai Alexandrous. Aku ingin ia kembali padaku. Aku tak ingin ia merasa

bersalah. Ia harus tahu akupun melakukan kesalahan dan dosa yang sama. Klop!”

“Astaga!”

“Kok astaga?”

“Padahal….”

“Padahal apa?”

“Padahal aku mengira kita lakukan ini karena kau mencintai aku?” ujarku, takut salah bicara.

“Rodi, tidakkah kau mencintai istrimu?”

Page 41: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Entahlah, aku merasa Trista tidak mencintaiku. Itulah yang membedakan situasimu dan

situasiku. Trista tidak menganggap aku sebagai suami hebat yang layak dibanggakan. Ia tidak

membutuhkan aku,” kataku.

“Aku yakin ia akan berubah. Percayalah ia akan kembali padamu, akan lebih mencintaimu!”

“Eleni! Bagaimana aku harus bilang. Aku mencintaimu!”

Eleni hanya menyungging senyum, bangkit dan membungkus tubuh dengan selimut.

“Kita lihat saja nanti. Yang lebih harus kita pikirkan adalah apakah kita akan berterus terang

pada Alexandrous dan Trista tentang kita. Kalau aku, aku akan bicara begitu Alexandrous tiba”

Terus terang kata-kata Eleni membuat kepalaku pening. Kenapa persoalan besar ini terkesan

sangat ringan bagi Eleni? Pergumulan hebat dari semalam sampai pagi ini, bukan karena cinta?

Aku beringsut dari ranjang dan mengenakan pakaian.

“Aku harus pulang sekarang, Eleni. Aku tak bisa menentukan sekarang apakah aku harus

bicara terus terang pada Trista tentang kita,”

Eleni menghampiriku dan memelukku erat.

“Kau akan bisa mengatasinya. Percayalah padaku. Sekarang pulanglah. Dan kalau boleh

kukatakan, kamu hebat semalamam sampai pagi tadi. Sungguh aku merasa tersanjung dengan

semua kehangatan dan ketulusanmu!”

Dan percakapan berhenti di situ. Eleni melepasku di pintu dengan sapuan kecupan kecil di bibir.

Masih sulit aku memahami elang betina ini.

***

Belum ada kabar dari Trista apakah ia sudah tiba di Surabaya atau belum. Harusnya sore ini

aku mengajar bahasa Indonesia untuk Eleni. Tapi aku merasa perlu untuk tidak bertemu Eleni

dulu. HP-ku mengirim sinyal sms. Dadaku berdebar keras. Itu sms dari Alexandrous.

Page 42: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Pak Rodi, kita perlu bicara,” demikian bunyi sms itu. Ia bilang ia baru tiba dari Singapura dan

minta aku menemuinya di lobi hotel Shangrila jam 5 sore.

Apakah Eleni sudah bertemu Alexandrous? Kenapa Alexandrous minta aku bertemu?

Perasaanku jadi kacau balau.

Episode 9

Eleni mengirimkan sms singkat, “Buka emailmu”

Bergegas aku menyalakan komputer. Tak ada pesan apa-apa dalam e-mail Eleni kecuali dua link. Aku klik link-link itu satu persatu. Semuanya tentang bahasan dominasi pria Yunani dalam kehidupan rumahtangga Yunani. Pria Yunani seenaknya, terlalu menggenggam istri, melarang ini-itu, menjadi pihak yang selalu benar, minta dihormati, dan yang terpenting, kalau pria selingkuh para pria menganggap sumber terjadinya perselingkuhan adalah istrinya.

Weh! Kenapa pula aku harus membaca ini? Eleni, an eagle without wings?

Aku sampai di lobi Hotel Shangrila tepat jam 5. Alexandrous sudah menungguku di sana. Ia duduk santai di sofa, seperti biasa, tenang dan rapi. Tapi sorot matanya tajam tertancap ke arahku.

“Duduklah,” ia menunjuk sofa tak jauh di depannya. “Kita menunggu Eleni. Sebentar lagi ia sampai”

Aku duduk tanpa bicara dan membalas sorot matanya yang seakan ingin melibas aku dengan sekali gerakan.

Dari jauh kulihat Eleni turun dari taksi dan langsung menghampiri kami dengan wajah datar.

“Hai,” ia menyapa Alexandrous dan mengangguk kecil padaku. Selebihnya sepi menyergap. Alexandrous berganti-ganti menatapku dan Eleni, dan kemudian mengibaskan pandangan berkeliling.

“Pembicaraan ini sangat penting dan kita butuh privasi. Kita bicara di kamarku saja, di lantai 9,” kata Alexandrous dalam bahasa Inggris. Ia berdiri. Aku dan Eleni mengikuti. Di dalam lift, tak ada suara terucap dari kami bertiga.

Alexandrous mengetuk pintu kamarnya. Pintu terbuka. Trista berdiri di balik pintu.

“Kami datang siang tadi. Aku dan Trista putuskan tidak langsung kembali ke kediaman masing-masing,” kata Alexandrous. Trista terlihat sedikit rikuh menerima tatapanku dan tatapan Eleni yang mungkin menikam-nikam tubuhnya.

Page 43: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Aku menebar pandangan ke sekeliling kamar. Ranjang double-bed itu acak-acakan; bisa jadi bekas pergumulan.

“Well,” Eleni membuka percakapan.

“Ya, aku akan berterus terang. Aku, suami Eleni, menjalin cinta dengan Trista, istrimu,” kata Alexandrous. Aku tidak ke Bangkok. Aku menemui Eleni di Singapura,”

“Dan aku ke Singapura bukan untuk urusan pekerjaan. Aku menemui Alexandrous,” tambah Trista.

“Sekarang, apa ceritamu, guru privat bahasa Indonesia?” Alexandrous menatapku.

“Aku meniduri istrimu,” kataku tak perlu berlama-lama, menoleh Eleni.

“Dan itu aku yang minta, aku yang memaksa,” ujar Eleni di luar dugaan.

Alexandrous menarik nafas panjang. Trista menutup mulutnya tak percaya.

“Oke, semua ini salahku! Aku tergoda pesona istrimu!” kata Alexandrous, “dan istrimu tidak menampikku. Ia bilang ia mencintaiku”

Aku menatap Trista.

“Benar begitu, Tris?” tanyaku.

Trista mengangguk. “Ya, sudah dua bulan kami berhubungan”

“Boleh aku tanya sejauh mana kamu kenal Rodi dan Reina?” tanyaku.

“Itu suami dan anakku!” jawab Trista polos.

“Baguslah kamu tahu,” ujarku.

“Eleni,” Alexandrous menyela, “Apakah kau mencintaiku?”

“Tadinya!” jawab Eleni.

“Tadinya!” suara Alexandrous meninggi.

“Ya, tadinya. Sekarang aku tak tahu apakah aku mencintaimu!” kata Eleni.

“My God!” kata Alexandrous. Ia kemudian bicara dalam bahasa Yunani yang langsung disela oleh Eleni.

“Jangan pakai bahasa yang Rodi dan Trista tidak paham. Aku menolak bicara hal-hal rahasia dengan kamu,” kata Eleni.

Page 44: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Alexandrous diam sesaat.

Aku bicara. “Boleh aku menanyai istriku pertanyaan yang sama,” aku menatap Trista.

“Trista, lihat mataku. Apakah kau mencintaiku?”

Trista memilih menunduk dan tidak menjawab. Agak lama kuberikan waktu bagi dia untuk membuka mulut. Tapi tak tersedia jawaban.

“Aku tahu kau tak akan bisa menjawab ini,” ujarku.

Air mata meleleh di pipi Trista. Eleni menatapku dengan roman muka yang tak bisa kutebak.

“Rodi…..kau mencintai istrimu?” tiba-tiba saja Eleni mengajukan pertanyaan. Alexandrous dan Trista sama-sama menantikan jawabanku

“Seharusnya! Tapi aku tidak pernah tahu apakah cinta itu dirasakan oleh Trista!”

Trista tetap bergeming. Suasana hening sesaat.

Alexandrous meneguk minuman dari meja, dan menoleh Trista.

“Trista, apakah kau ingin menanyakan hal yang sama dengan yang ingin kutanyakan pada Eleni?” kata Alexandrous.

Kali ini Trista mengangguk. “Kau saja yang tanya,” kata Trista pada Alexandrous.

Alexandrous menatap Eleni.

“Satu pertanyaan penting, Eleni! Hanya satu pertanyaan! Tolong jawab dengan jujur!” kata Alexandrous.

“Katakan!” ujar Eleni.

Alexandrous menghela nafas dan menyorot mata Eleni dalam-dalam.

“Apakah kau mencintai Rodi. Apakah kau melakukan itu demi cinta?” terdengar getar lemah dalam suara Alexandrous.

Eleni tersenyum kecil dan sempat melirikku sejenak. Lirikan cantik itu membuatku galau.

Aku, Trista dan Alexandrous tak sabar menantikan jawaban Eleni.

Episode 10

Page 45: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Apakah kau mencintai Rodi? Apakah kau melakukan itu demi cinta?” terdengar getar lemah

dalam suara Alexandrous.

Eleni tersenyum kecil dan sempat melirikku sejenak. Lirikan cantik itu membuatku galau.

Aku, Trista dan Alexandrous tak sabar menantikan jawaban Eleni.

“Apa bedanya?” tanya balik Eleni. “Aku bisa saja mengatakan aku mencintai Rodi atau tidak.

Tapi apa bedanya?”

“Sangat berbeda!” hentak Alexandrous. “Kalau kau lakukan itu hanya karena ingin balas

dendam, ingin menyamakan skor, aku tak tahu istri macam apa kamu!”

“Kalau memang cinta?” Eleni menohok Alexandrous.

“Jangan pakai kata ‘kalau’!” Alexandrous meradang.

“Look, Alex, my dear husband. Aku menolak menjawab ini. Lihat, tadi Trista memilih diam ketika

Rodi bertanya soal apakah ia mencintai Rodi, karena aku tahu persis Trista berpikiran seperti

aku; apa bedanya,” Eleni berdiri, “aku tak akan melanjutkan percakapan ini. Kalau kau balik ke

apartemen kita, pastikan itu adalah waktunya membuat keputusan yang jelas. Jika kau ingin

aku berkemas, akan segera kulakukan itu,” Eleni melangkah ke pintu dan menoleh Trista.

“Pastikan kau juga membuat keputusan yang cerdas yang terbaik buatmu,”

Eleni melintas melewati aku dan menyentuh bahuku sesaat. “Maafkan saya, Rodi. One thing,

kau mitra ranjang yang hangat dan hebat!”

“Eleni!” hardik Alexandrous, geramnya memuncak.

“Yia sou, good bye, Alexandrous!”

Eleni berjalan cepat keluar kamar dan menyusuri lorong. Alexandrous hendak menyusul. Tapi

rengkuhan tangan Trista di lengan Alexandrous menghambatnya.

“Biarkan ia sendiri dulu, honey!” ujar Trista. Alexandrous menurut. Aku menelan ludah.

“Okay, sebaiknya aku tinggalkan kalian berdua di sini. Bicaralah baik-baik,” kataku.

Page 46: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Trista, kalau sempat pulanglah barang sebentar; bukan buat aku, buat Reina. Aku yakin ia

rindu kamu,” aku melenggang meninggalkan kamar.

Percakapan delapan mata barusan sebenarnya tak menghasilkan apa-apa, kecuali fakta-fakta

mendasar yang belum genap kejelasannya.

***

Sampai pukul 10 malam belum terdengar kabar dari Trista. Aku baru saja membacakan cerita

pengantar tidur buat Reina dan memastikan Reina sudah terlelap ketika derum taksi

membahana di depan pagar rumah. Tante Fitri membukakan pintu untuk Trista. Istriku tampak

acak-acakan, tak pernah ia kulihat sekusut masai ini. Ia membuka pintu kamar Reina yang baru

saja kututup. Kubiarkan Trista merebahkan diri di samping Reina dan menciumi pipi gadis

kecilku. Sepuluh menit kemudian ia keluar dari kamar Reina.

“Apakah ini masih kamar kita?” ia berdiri mematung di depan pintu kamar kami.

“Kau saja yang beri definisi,” kataku.

“Aku mau bicara di kamar,” ia mendahului membuka pintu. Aku mengikutinya.

“So?” aku menantangnya bicara.

“Aku salah. Aku khilaf. Aku minta maaf,” tutur Trista, berusaha tidak terhisak. Aku membisu.

“Dalam suasana seperti apa kau meninggalkan Alex di kamar hotel Shangrila baru saja?”

tanyaku setelah menemukan kata-kata yang tepat.

“Tak jelas. Ia bingung. Ia bimbang. Sama seperti aku!”

“Hm!”

“Sekarang terserah kamu!” Trista menunduk.

“Terserah aku?”

“Ya, terserah kamu. Kamu bisa pilih mencampakkan aku selamanya, atau memaafkan aku demi

Reina!”

Page 47: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Lalu Alexandrous?”

“Itu urusanku. Aku akan mengatasinya. Aku yakin ia tak rela melepas Eleni begitu saja”

Aku menyeka jidat. Kelihatannya permasalahan tak semudah bicara.

“Jika aku memaafkan kamu?” kataku.

“Jika kudapatkan maafmu, aku selesai dengan Alexandrous. Tak akan ada apa-apa lagi. Dan

kau harus usai pula dengan Eleni,”

“Semudah itukah?”

“Jika kita semua sama-sama rela menyudahi dan mau membangun kembali hubungan cinta

yang yang sudah rusak,” kata Trista. “Kau bisa melupakan Eleni?”

“Entahlah!” kataku. “Kau bisa melupakan Alex?”

“Aku akan coba! Bantu aku untuk mencobanya”

Trista menghampiri aku dan memelukku erat. Aku tak tahu harus balas memeluknya atau tidak.

Wajah Eleni berdansa di mataku.

“Kau memaafkan aku?” bisik Trista.

“Aku memaafkan kamu!” jawabku.

“Dan aku memaafkan kamu, meski kamu tidak minta!” bisik Trista lagi, menengadah,

menyiapkan bibirnya.

Aku melepas dekapan itu.

“Maaf, Trista!”

“Tak ingin ciumanku? Kalau tak salah sudah lama kita tidak berciuman?”

“Tidak mudah bagiku untuk saling merapatkan bibir setelah bibir kita masing-masing

bersentuhan dengan bibir lain. Tidak, bagiku, Trista. Maaf!”

Page 48: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Aku meninggalkan kamar dan membiarkan Trista sendiri.

***

Seminggu penuh Trista tinggal di rumah bersama Reina. Ia mengajukan cuti. Aku berangkat

mengajar murid-muridku seperti biasa, minus kelas bahasa Indonesia Alexandrous dan Eleni.

Aku tak tahu apa yang yang terjadi dengan Alexandrous dan Eleni. Dugaanku, sama dengan

aku dan Trista, mereka juga berbenah diri dan saling bikin ikrar baru untuk tak saling

meninggalkan. Aku sendiri mati-matian berusaha menyingkirkan wajah Eleni dari benakku,

berusaha membuang jauh-jauh pesona, keelokan, harum tubuh, kerling, sibakan rambut dan

gairahnya yang membuncah-buncah. Adakah ia sedang kembali berbagi kasih dengan

suaminya?

Aku masih enggan bersentuhan dengan Trista. Belum bisa.

Minggu berikutnya Trista masuk kerja seperti biasa dan pulang kantor pada jam normal, tak

lebih dari senja.

Hampir sebulan sejak percakapan delapan mata di kamar hotel Shangrila itu, e-mail Eleni

menyeruak ke alamat e-mailku. Kubaca e-mail itu.

“Aku jadi berkemas seminggu lalu dan meninggalkan Alex di Surabaya. Pada malam setelah

percakapan di hotel, Alexandrous kembali ke apartemen. Kami bicara baik-baik, dan demi

hormatku pada lelaki Yunani dan keluarganya, kami saling bermaafan dan berusaha melupakan

yang sudah terjadi. Tapi ternyata fakta berbicara lain. Alexandrous masih bertemu Trista dan

menggunakan saat istirahat siang untuk saling melampiaskan rindu. That’s it. Tak ada lagi yang

perlu dipertahankan”

Aku tercenung membaca e-mail Eleni. Sebetulnya ini tidak mengejutkan aku. Trista tak akan

pernah bisa pegang janji dan Alexandrous tak akan pernah bisa meninggalkan pesona Trista

begitu saja. Kata orang jalinan kasih dengan selingkuhan itu lebih hebat, lebih sensasional dan

lebih menggentarkan, lahir bathin.

Aku melanjutkan e-mail Eleni.

Page 49: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Kamu punya paspor? Aku sudah menulis surat ke Kedutaan Besar Yunani di Jakarta, dengan

tembusan ke alamatmu. Aku mengundang kamu untuk datang ke Yunani. Segera urus visa

Yunani begitu surat undangan datang. Sudah pula kupesankan tiket Surabaya- Singapura –

Athena via Istanbul, Turki. Kode booking penerbangan kucantumkan di email ini. Jangan

bertanya kenapa aku harus bertemu kamu. Pokoknya aku harus bertemu kamu, penting! Jauh

lebih penting dari yang kau kira. Kujemput kau di bandara Athena!”

Aku menopang kepalaku dengan kedua belahan tangan memandangi email Eleni.

Tampaknya ini makin rumit! Trista! Eleni!

Episode 11

Aku memeriksa kode booking tiket penerbangan Jetstar Surabaya-Singapura, dan Olympic

Airlines Singapura – Instanbul – Athena. Tertulis tanggal keberangkatan 20 hari dari sekarang.

Seriuskah Eleni dengan permintaannya ini? Seberapa bernilaikah pertemuan ini?

Aku memeriksa paspor yang terbit setahun lalu ketika aku harus bertugas sebagai penerjemah

untuk sejumlah karyawan sebuah perusahaan Indonesia di Singapura. Lalu aku memeriksa

buku tabunganku pribadiku. Sedikit mengkerut hatiku melihat saldo yang tak melebihi angka Rp

5 juta. Lalu kuperiksa semua persyaratan traveling ke Yunani. Harus ke Kedutaan Yunani di

Jakarta untuk wawancara visa Schengen, kawasan 25 negara Eropa dengan visa tunggal,

khusus Yunani, harus bayar premi asuransi perjalanan dan harus ini itu.

Seberapa bernilaikah pertemuan ini?

Aku tak segera membalas email Eleni selama beberapa hari. Sementara itu soal Trista yang

balik lagi dengan Alexandrous rupanya tak bisa tersembunyikan lagi. Kegetiran hubungan

dengan Trista membuatku tak berhasrat bertanya ketika ia mulai sering pulang malam. Kami tak

pernah duduk semeja makan, tak pernah bercengkerama, tak pernah saling peduli. Hidup

serumah, tapi bak orang asing satu sama lain. Dan ia memilih tidur bersama Reina di kamar

Reina. Sehari-hari ia makin kelihatan sexy dan tak henti memperhatikan penampilan.

Okay, the game restarts!

Page 50: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Surat undangan sponsor kunjungan ke Yunani dari Eleni tiba, hampir berbareng dengan sms

Eleni berisi kode kiriman uang lewat Western Union senilai beberapa kali lipat nilai tabunganku.

Meski aku tak membalas email Eleni, aku yakin ia tahu aku akan memenuhi undangannya.

Aku tak berpikir panjang. Segera kuisi aplikasi visa Yunani online. Beberapa hari kemudian aku

dapat panggilan wawancara visa ke Kedutaan Yunani di Jakarta. Pagi itu aku menulis pesan

singkat yang kutempel di kulkas untuk Trista.

“Aku ada urusan penting ke Jakarta dua atau tiga hari. Kamu enjoy aja!” begitu isi pesanku. Aku

tak perduli surat itu dibaca atau tidak.

Tak perlu menunggu lama persetujuan visa di Jakarta. Pasporku distempel visa Yunani dua hari

kemudian. Aku mengirim sms ke nomor HP Yunani Eleni yang disertakan pada email terdahulu.

“My dear Eleni, I’ll be there,” tulisku di sms itu.

***

“Boleh aku tahu kau sibuk apa?” tanya Trista tanpa nada menyelidik.

“Mengurus visa Yunani. Aku ke Yunani minggu depan,” kataku terus terang.

“Oh, gitu?” ujar Trista datar.

“Eleni minta aku datang ke sana. Ia bilang itu penting. Apakah ini mengusikmu?” tanyaku asal-

asalan, mengunyah apel.

“Berapa lama?”

“Dua minggu,” jawabku.

“Kalau itu maumu, kau dapat izinku, meski kau tak pernah minta izin atau paling tidak

membicarakan ini pada istrimu!”

“Aku juga membiarkan kau berhubungan lagi dengan Alexandrous meski kau sendiri yang janji

menyudahi hubungan itu. Jangan dikira aku tidak tahu”

Trista hanya mengangkat bahu.

Page 51: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Baik, kubantu kau mengepak bagasi malam sebelum kamu berangkat,” kata Trista ringan.

“Tidak dibantu juga tak apa-apa. Rasanya selama ini kau tidak pernah peduli yang begituan,”

kataku, “Aku cuma minta satu hal, tolong jaga Reina baik-baik. Kau boleh sibuk, tapi Reina tak

boleh terabaikan. Aku minta maaf harus memenuhi undangan Eleni; aku yakin akan ada

penyelesaian yang lebih baik setelah ini. Ini persoalan besar sekarang. Aku harap kamu

mengerti”

Trista mengangguk tak berdaya.

Dan selebihnya aku dan Trista jarang bicara. Aku tidak tahu apakah Trista bicara pada

Alexandrous soal undangan Eleni ke Yunani. Ah, pastilah Alexandrous tahu itu. Dan aku tidak

perduli.

***

Trista tak ada di rumah ketika aku berangkat ke Singapura selepas siang hari itu. Kupeluk dan

kucium Reina, kujanjikan boneka lucu sepulangku nanti. Mata bundar Reina yang polos dan

penuh harap pada janjiku sebenarnya mencabik-cabik hatiku. Tapi aku tahu ini perjalanan

penting. Sangat penting.

Aku terbang bersama Olympic Airlines pukul 23.20, sampai di Istanbul untuk stop-over jam 5

pagi. Pesawat melayang lagi ke Athena dan mendarat di bandara Eleftherios Venizelos sedikit

sebelum pukul 8 pagi.

“I miss you. I miss you so much,” Eleni memeluk dan mendaratkan bibirnya yang hangat

menyambutku di pagi sejuk musim semi itu. Kami kemudian bermobil membelah kota Athena

yang didominiasi bangunan-bangunan berwarna putih, berselang seling antara bangunan

modern dan peninggalan sejarah.

“Perkenalkan kota Athena, ibukota Yunani. Kamu senang?” tanya Eleni di balik kemudi.

“Senang sekali! Tak kuduga bisa bertemu lagi denganmu di negeri indah ini,” kataku. Eleni

mengelus daguku.

Kami menuju ke Hotel Poseidon, di jalan Possidononos, kawasan Paleo Faliro, sekitar 30 kilo

dari bandara. Hotel ini menghadap ke hamparan laut Aegea dengan pemandangan perbukitan

Page 52: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

yang disaput titik-titik bangunan berwarna serba putih. Kamar hotel menebarkan wangi bunga

chamomile.

“Well, katakan, bukankah ini indah? Suamiku dan istrimu lagi asyik di Surabaya, dan kita saling

melepas rindu di Athena,” kata Eleni.

“Kau benar-benar rindu aku?” tanyaku.

“Lebih dari yang kau bayangkan!” Aku merenggut pinggang Eleni dan memberikan dekapan

yang mungkin sudah ia nantikan sejak tadi.

Kali ini kami tak perlu musik. Getar-getar di dadaku dan dalam hasrat Eleni sudah cukup

menjadi musik pengiring yang menggelora, cukup membuat tempat tidur kayu berat itu bergeser

beberapa centimeter digoyang rindu dan desah-desah yang hebat.

Hanya inikah alasan Eleni mengundangku ke negerinya?

Aku menunggu-nunggu kejutan lain. Dan kejutan itu tak kunjung tiba. Tiga sore kemudian, Eleni

mengajakku terbang dari Athena ke kota Skiathos di pulau Skiathos dengan Olympic Airlines,

tiba jam 6 malam lebih sedikit. Dari Bandara Alexandros Papadiamantis di Skiathos, kami naik

taksi ke pinggiran kota Skhiatos, melewati hamparan panorama indah dunia yang tak pernah

kulihat sebelumnya. Kami sempat mampir membeli bahan-bahan makanan di sebuah toko

swalayan.

“Ini kota kelahiranku, lihat pantai yang cantik dengan gugusan bangunan serba putih ditingkah

matahari sore, khas lautan Aegea,” kata Eleni seolah tak memahami penantianku.

Kami meluncur ke sebuah rumah tinggal berdinding batu-bata yang juga didominasi warna-

warna cerah, di sebuah perbukitan yang lagi-lagi menampakkan hamparan laut dengan kelap-

kelip lampu yang mempesona di pinggiran pantai.

“Ini rumah bibiku. Ia tinggal di Norwegia bersama suaminya. Rumah ini aku yang rawat,” kata

Eleni.

Eleni membuka pintu rumah dan membiarkan aku mengagumi bagian dalam rumah kuno

dengan banyak sentuhan lokal. Perempuan Yunani itu kini sibuk menyiapkan meja di berada

terbuka, memasang taplak dan menyalakan tiga buah lilin yang ditopang dudukan berwarna

Page 53: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

kemasan. Sejumlah makanan terhidang di meja. Manis sekali tatanan makanan di atas meja itu,

yang disandingi sebotol anggur merah.

“Well, ini bisa jadi makan malah terindah dalam hidupku. Bersanding denganmu di meja berlilin

romantik, menghadap hamparan keelokan laut di sana,” kataku.

“Percayalah, inipun akan menjadi makan malamku yang paling indah,” tutur Eleni, memelukku

dari belakang, mensejajarkan kepala dengan kepalaku yang tengah terhisap panorama cantik

pantai Skiathos senja itu.

“Rodi, mungkin kau bertanya-tanya kenapa kau harus menemuiku di sini. Dan kenapa pula kau

harus kugiring ke kota kelahiranku ini,” Eleni minta aku duduk. Ia duduk di sebelah lain

menghadapku.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu yang sangat penting. Lihat, aku punya ini,” Eleni

mengeluarkan sepucuk surat dari tas tangannya. Perlahan ia membuka amplop dan membuka

lebar surat itu dan menebarkannya di hadapanku. Melalui temaram cahaya lilin, sekilas surat itu

terlihat ditulis di atas kertas berkop surat resmi.

“Surat dalam bahasa Yunani?” tanyaku.

“Ya, mau tahu isinya? Aku bisa menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,” Eleni memajukan

wajahnya.

Aku menggangguk.

“Beri aku ciuman dulu”

Kuturuti permintaan Eleni. Ia memejamkan mata menerima kecupan itu. Sejenak kemudian ia

mulai membacakan isi surat itu.

Tiba-tiba debar aneh menggerayangi dadaku.

Page 54: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Episode 12

“Dengar baik-baik,” kata Eleni dalam bahasa Indonesia. “Dengan ini, dokter Lefteris Giorgiou,

dokter pada Klinik Keffalinias di Athena, menyatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan, nyonya

Eleni Dimitriakis, 26 tahun, dinyatakan hamil,” bahasa Indonesia Eleni, dengan aksen bule, jelas

sekali terdengar.

Darahku berhenti mengalir.

“Hamil?”

“Ya, hamil! Aku akan punya anak. Jadi ibu! Aku perempuan hebat!” Eleni merentang kedua

lengan menantikan pelukanku. Aku ragu sesaat.

“Peluk aku Rodi. Kamu ayah bayi ini!” pekik Eleni.

Eleni memutar meja dan memberikan pelukan di pundak. Aku membalik tubuh dan membalas

pelukannya.

“Aku ayah bayi ini?” tanyaku dalam pelukan Eleni.

“Seratus persen. Alexandrous tidak mungkin memberiku bayi. Ia tidak bisa. Empat tahun kami

mencoba. Dokter menyatakan Alexandrous tidak bisa punya keturunan. Ia mandul,” tentu saja

kali ini ia katakan semua ini dalam bahasa Inggris.

Aku memejamkan mata dan memeluk Eleni erat-erat. Kini aku tahu, aku datang jauh jauh dari

Surabaya ke Skiathos untuk mendapatkan kabar ini.

“Katakan kau bahagia, senang, gembira!” desis Eleni.

“Senang sekali!” kalimatku mengambang.

“Nada suaramu tidak seperti orang yang bahagia,” Eleni melepaskan pelukan dan menatap

mataku.

“Alexandrous tahu ini?” tanyaku.

Page 55: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Sudah kukabari! Ia akan segera menyusul kemari!” jawab Eleni.

Alexandrous tahu! Ia akan menyusul kemari! Aku mengulang kata-kata Eleni dalam hati. Kamu

dalam masalah besar, Rodi, kataku dalam hati. Tak bisa kukatakan pada kalian, sobat,

bagaimana perasaanku saat itu. Wajah Trista dan Reina, terutama Reina, mengisi seluruh ruas

kegundahanku. Tak bisa pula kubayangkan bagaimana aku bertemu Alexandrous nanti.

Eleni tahu suasana hatiku sedang berantakan. Ia membiarkan aku melepas pelukan dan

berjalan perlahan ke hamparan rumput taman di depan rumah dan duduk di gundukan

bebatuan, menatap kerlap-kerlip lampu di pinggiran pantai Skiathos di kejauhan.

Sejenak kemudian Eleni menyusul dan duduk di sampingku, menyandarkan kepala di

pundakku.

“Katakan padaku, Eleni. Siapa kita ini?” aku bicara lirih.

“Kita adalah sepasang anak manusia yang sedang berada dalam pusaran takdir; aku percaya

takdir. Adalah takdir pula bahwa Alexandrous jatuh cinta pada Trista; dan takdir pula yang

mengantarkan kau jadi guru bahasa Indonesia bagi aku dan Alexandrous. Takdir pula yang

menyemayamkan makhluk mungil dalam perutku ini,” ujar Eleni.

“Sungguh-sungguhkah kau ingin mendapatkan bayi ini?”

“Lebih dari yang orang duga! Aku mendambakan buah hati. Alex berkali-kali menggagas kami

adopsi anak begitu tahu ia tak bisa memberiku kebahagiaan ini. Hanya saja, aku tahan dulu ide

itu untuk menunggu keajaiban!”

“Tapi anak adopsi berbeda dengan anak yang kau peroleh dengan hubungan badan dengan

lelaki lain,” kataku.

Eleni melingkarkan lengan ke bahuku.

“Keajaiban itu datang dalam bentuk lain. Takdir, Rodi. Ini takdir! Tak pernah kubayangkan aku

akan sangat menginginkanmu di kamar apartemen di Surabaya itu. Nyatanya perasaan itu tak

terelakkan. Takdir! Kau telah memberiku sayap untuk terbang”

Page 56: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Aku menghela nafas panjang dan mulai membayangkan tak pernah terima tawaran dari Hendra

untuk menggantikannya mengajar bahasa Indonesia pasangan Yunani itu kapan hari. Andai

saja aku tak tergiur imbalan mengajar yang jauh lebih besar daripada biasanya itu.

***

Pukul 8 pagi. Aku dan Eleni baru terbangun ketika sebuah mobil berhenti di pelataran rumah.

Alexandrous turun dari mobil. Tepat seperti yang dikatakan Eleni bahwa Alex akan menyusul.

Aku tak bisa bicara, bahkan untuk menyapanya sekalipun. Alexandrous menatapku dengan kilat

mata setajam pisau.

“Eleni! Aku harus bicara padamu!” kata Alexandrous dalam bahasa Yunani.

“Speak English, Alex!” tutur Eleni. Aku tahu itu dimaksudkan agar aku bisa turut mendengarkan

percakapan.

“Okay, I need to talk to you only,” ulang Alexandrous.

“Sorry, Alex. Rodi ada di sini. Kalau bicaramu menyangkut hubungan kita bertiga, Rodi harus

tahu,” jelas Eleni.

“It’s okay, Eleni. Kalian suami istri. Aku akan menyingkir sejenak. Hai, Alex,” aku menyapa

basa-basi, “kalian bicaralah,” aku melangkah dari beranda dan berjalan menjauh, menyusuri

rerindangan pepohonan di sekitar rumah. Aku menoleh sebentar. Alexandrous dan Eleni terlibat

dalam pembicaraan yang kelihatannya sengat serius di beranda.

Lama aku berdiri menyandarkan tubuh pada sebuah pohon dan mulai memikirkan Reina dan

Trista. Bagaimana mereka akan menerimaku kembali? Ingin sekali kupeluk Reina, gadis

kecilku, dan mengajari bagaimana cara mengampuni ayah yang brengsek ini.

Lebih dari satu jam aku berjalan tak tentu arah di sekitar perkampungan itu sampai aku tak

sadar aku telah berputar kembali ke belakang rumah. Tak sengaja kulihat Alexandrous dan

Eleni berpelukan dari kejauhan. Aku tak segera melangkah. Tapi Alexandrous tahu

kehadiranku. Ia melepaskan pelukan Eleni dan berjalan ke arahku.

Page 57: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Rodi, sekarang kita perlu bicara bertiga,” kata Alexandrous. Nada bicaranya lebih santai dan

ramah. Kami duduk di beranda, bermandi sinar matahati.

“Senang tinggal di Yunani?” Alexandrous tak kalah berbasa-basi.

“Ya. Terimakasih sudah membuatku bisa ke sini,” kataku.

“Okay, aku akan bicara langsung,” kata Alexandrous. “Aku lelaki jahat, culas dan mau menang

sendiri. Aku menggoda istrimu selagi aku tahu ia bersuami. Aku memanfaatkan kelemahan dan

kekuranganmu di mata Trista. Dan itu jahat. Dan seperti yang kau tahu, aku masih menemui

Trista walau Trista sebelumnya sudah janji padamu untuk tidak menemuiku. Itupun aku yang

minta,” Alexandrous berhenti bicara.

Eleni menyeka hidungnya yang berair dan mata agak sembab.

“Aku tahu Eleni hamil, dan kau …..ayah bayi itu…..” Alexandrous mulai terbata-bata, “….dan

Eleni bilang hubungan badan itu berlangsung karena ia menyukaimu, mencintaimu!”

Aku memandang Eleni. Kali ini sang elang betina tertunduk.

“Kamu harus tahu, Aku dan Trista telah membuat keputusan untuk saling tidak bertemu lagi.

Dan itu pilihan Trista. Ia sangat berhasrat kau kembali padanya, demi Reina,” kata Alexandrous.

Bicaranya mulai tenang dan tegas lagi.

“Bayi di kandungan Eleni harusnya menjadi masalah besar bagiku, bagi nama baikku di

kalangan keluarga besarku. Ini masalah yang luar biasa. Tapi itu adalah harga yang harus

kutebus karena telah menjadi lelaki jahat,” Alexandrous menghela nafas. Aku menyimak.

“Kau ayah biologis bayi itu. Tapi aku bisa menjadi ayah legal bagi bayi itu karena ia

bersemayam dalam rahim istriku. Aku sebenarnya ingin mendapatkan Eleni kembali dan

makhluk mungin di perutnya, tapi aku tak bisa memaksa istriku kembali kepadaku, tak bisa

meraih kembali hatinya. Kini semua kuserahkan kepada kau dan Eleni,” Alexandrous menepuk

pundakku, dan bicara dalam bahasa Indonesia, “Tinggalah di sini bersama Eleni sampai

waktunya kau kembali ke Surabaya. Aku akan datang lagi sehari sebelum kau kembali ke

negerimu,” kata Alexandrous.

Page 58: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Dan Alexandrous mundur beberapa tapak, lalu berbalik ke mobilnya. Eleni menatap

Alexandrous tak berkedip sampai bayangan mobil menghilang di balik tikungan. Aku dan Eleni

berdiri mematung beberapa saat. Akankah Eleni segera menetapkan keputusannya?

***

Ternyata Eleni lebih suka tak membicarakan apapun soal keputusannya, sementara aku sendiri

tak pernah bisa menjelaskan pada diriku sendiri apa yang terbaik buatku dan apa yang aku

harapkan dari Eleni.

Aku dan Eleni menghabiskan sisa waktu di Skiathos dan pulau-pulau di sekelilingnya seperti

sepasang turis beda negara. Eleni memasak, menyiapkan makanan, minta digumuli seperti

biasa dan minta diantar periksa ke dokter kandungan. Dan ini malah membuat aku makin galau.

Canda tawa Reina sering mengusik tidurku. Aku rindu lukisan Donald Duck versi Reina yang

ditoreh dengan pensil warna, kangen mengajaknya jalan ke mall, dan melihatnya terlelap

sebelum aku tuntas membaca buku cerita. Kerap kali Eleni mendapatiku membuka layar HP

memandanngi foto Reina berlama-lama.

Dan Eleni seperti paham kegundahanku. Sore itu, di rumah Eleni, ia menyodorkan pesawat

telepon padaku.

“Kamu perlu menelepon Reina!” kata Eleni; bukan pertanyaan, melainkan himbauan.

“Thanks,” kataku. Aku segera memutar telepon rumah. Tante Fitri yang terima.

“Tante, ini Rodi. Dari Yunani. Reina ada?” kataku.

Kudengar Tante Fitri memanggil Reina. Minggu pagi di Indonesia, Reina pasti ada di rumah.

“Bapak! Bapak di mana?” teriak Reina.

“Di Yunani, sayang”

“Yunani itu di mana, dekat rumah kakek di Malang?”

“Bukan, Reina. Yunani jauh, jauh sekali”

Page 59: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

“Kapan bapak pulang?”

“Bapak segera pulang. Bapak kangen kamu!”

“Bapak pulangnya bawa mainan, ya?”

“Ya, Reina. Bapak akan belikan kamu banyak mainan”

“Bapak hati-hati ya!”

“Ya, sayang. Bapak akan hati-hati. Terimakasih kamu sudah mengingatkan”

“Hihihihi!”

Aku menutup telepon. Kulihat Eleni berdiri di sudut ruangan dengan mata berkaca-kaca. Aku

yakin ia mendengar percakapan singkat dengan putriku. Eleni kemudian menghampiri aku, dan

memelukku.

“Tahu tidak? Kau telah jadi guru bahasa Indonesia yang mantap. Aku bisa faham semua kata-

kata bahasa Indonesiamu dengan anakmu. Aku bisa paham pula anakmu bicara apa. Maafkan

aku, Rodi. Maafkan aku dan Alexandrous telah menghadirkan kekacauan ini buat kalian,” Eleni

meneteskan airmata.

“Eleni….” kataku. Eleni menempelkan telunjuknya di bibirku, agar aku tak meneruskan bicara.

“Kau mau tahu jawabanku ketika aku ditanya Alexandrous apakah aku mencintaimu?” tanya

Eleni. Aku tak menjawab.

“Aku mencintaimu, dan beberapa saat lalu sangat menginginkanmu dan ingin memilikimu, ingin

kau mendampingi aku seumur hidup”

Aku hanya bisa memejamkan mata mendengar tuturan Eleni. Harus kuakui, akupun mencintai

perempuan ini dan tak terbayangkan betapa inginku berada di dekatnya setiap menit. Tapi itu

tak bisa kukatakan padanya saat ini.

“Alexandrous telah memberi pilihan itu bagiku. Ia telah menunjukkan jiwa besar. Ia akan

melepasku padamu jika aku menghendakinya, dan ia akan menunjukkan tanggungjawab

Page 60: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

moralnya dengan menikahi Trista bila kau menceraikannya, dan ia siap jadi ayah bagi Reina,”

Eleni terhisak kecil.

“Apakah ini juga pilihan bagiku?” tanyaku. Eleni diam sesaat dan menatap mataku dalam-

dalam.

“Sebelum aku mendengar percakapanmu di telepon dengan Reina, aku ingin menyerahkan

pilihan itu padamu dan aku akan dengan senang hati mengikuti pilihanmu. Tapi setelah

mendengar percakapan itu, sebaiknya akulah yang menentukan pilihan itu”

“Katakan pilihanmu, Eleni. Aku akan mengikuti pilihanmu!” ujarku.

“Aku akan membesarkan bayi ini dan menjadikannya anak sah Alexandrous. Kami merawat

bayi ini sekuat dan sehabat yang kami bisa,”

“Membesarkan dan merawat? Semudah itukah? Bagaimana dengan kasih sayang? Terutama

kasih sayang Alexandrous pada bayi itu?”

Eleni tersenyum. “Perasaan berdosa Alexandrous karena telah mulai menyulut bara api,

menyakiti hatiku dan mengoyak perkawinan kami, ditambah dengan hancurnya ketentraman

keluarga kecilmu, akan mengubah hatinya menjadi hati ayah sebenarnya buat bayi yang

dikandung istrinya,” kata Eleni. “Ini takdir yang harus diterima, Rodi”

Aku menatap mata Eleni dalam-dalam. Lautan Aegean di depan sana mungkin dalam. Tapi

tatapan dan samudra biru di mata Eleni tak bisa kuukur dalamnya.

***

Alexandrous membantu mengurus proses check-in tiket di konter Olympic Airlines untuk

perjalananku kembali dari Athena ke Singapura lewat Istanbul. Dua jam lagi aku akan

mengarungi penerbangan 14 jam kembali ke Singapura dan plus dua jam lagi ke Surabaya.

“Sebelum kami kembali ke Surabaya, aku harus sampaikan hal penting, Rodi,” kata Alex

dengan senyum sangat tenang.

“Pertama, aku senang aku akan menjadi ayah. Kedua, aku minta pindah dari Surabaya dan kini

mendapat penugasan baru di Istanbul, Turki. Eleni akan bersamaku di mana pun aku berada.

Page 61: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Ketiga, kau tetap ayah biologis bayi itu dan kau boleh berkunjung ke Istanbul. Turki adalah

negara bebas visa bagi Indonesia, dan itulah sebabnya kau bisa berkunjung kapan saja ke

Istanbul untuk menengok kami; aku dan Eleni, selama ia hamil. Oh ya, tak usah pikirkan biaya,

kami yang tanggung. Keempat, kau wajib hadir saat kelahiran bayi itu dan membiarkan aku

yang menunggui persalinan dan yang pertama menimang bayi itu sebagai ayahnya saat ia

dilahirkan. Kelima, kau harus mengizinkan aku sebagai ayah sah untuk memberinya nama

Yunani dan nama belakang Dimitriakis, nama keluargaku. Dan keenam,” Alexandrous

menyungging senyum kemenangan di bibirnya, ”aku akan memberi kau waktu untuk berbicara

dengan Eleni tanpa kehadiranku untuk terakhir kalinya. Manfaatkan momen-momen ini dengan

baik,” kata Alexandrous, langsung melenggang menuju kedai kopi di satu sudut bandara.

Kini aku dan Eleni berdiri saling mematung, saling menatap, dalam desir sejuk musim semi.

Eleni kemudian mendekat sambil mengangsurkan sebuah tas plastik dengan isi yang baru

dibeli di sebuah toko mainan anak.

“Buat Reina,” kata Eleni. Aku menerimanya dengan ucapan terimakasih kecil.

“Well, Rodi. Akhir yang baik, bukan?” tanya Eleni.

“Kupikir juga begitu,” jawabku.

“Okay, tak akan banyak yang kita omongkan, kan? Aku cuma perlu katakan betapa hebatnya

dan indahnya saat-saat bersamamu, dan ingatlah satu hal paling penting yakni aku pernah cinta

kamu. Cinta itu kini tumbuh dalam ragaku yang akan pula menyemai cinta abadi Alexandrous

untukku. Sungguh aku merasa terhormat dengan kehadiranmu di hatiku,” kata Eleni.

“Eleni, thank you, efharisto poli, terimakasih banyak. Sebuah penyelesaian yang manis oleh

elang yang telah kembali bersayap. Ijinkan tetap kutanam cinta itu di dadaku, walau tak akan

lagi pernah kumiliki kehangatmu”

Eleni bergerak mendekat dan kucium pipi kiri dan kanannya dibarengi pelukan, yang lebih mirip

terasa sebagai peluk hangat sahabat. Bibirku basah oleh airmata perempuan Yunani itu.

Alexandrous memandang dari kejauhan.

Beberapa saat kemudian kulihat tangan Alex dan Eleni yang dilambaikan dengan satu tangan

lain saling mendekap tubuh satu sama lain di batas masuk menuju ke aula passport control.

Page 62: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Aku menangkap sirat senyum kerelaan dan kelegaan di wajah Alexandrous. Lengan Alex

melingkar lekat di bahu Eleni.

***

Aku baru saja meraih bagasi dari pemeriksaan bea cukai bandara Juanda Surabaya ketika dari

belahan pintu keluar kudengar teriakan Reina.

“Bapak! Bapak! Aku di sini!” Reina melambaikan kedua tangannya riuh dalam gendongan

Trista. Aku menghambur dan mengambil alih Reina dari gendongan Trista.

“Wuah! Baru ditinggal dua minggu, udah tumbuh jadi gede nih anak!” aku menciumi Reina.

Trista menantikan dengan senyum manis.

“Kayaknya ada juga yang perlu diberi ciuman selain Reina?” Trista bergerak memelukku ragu-

ragu. Aku menurunkan Reina dan memeluk istriku. Air mata Trista meleleh di pipiku; dua

lelehan airmata perempuan berbeda, dalam dua makna yang berbeda, dalam waktu dua hari

ini.

“Terimakasih kau kembali padaku dan pada Reina, Mas Rodi. Aku tak mau bilang aku cinta

kamu. Tapi aku ingin kau, aku dan Reina menapaki hidup yang lebih indah. Aku tak akan

berjanji apa-apa padamu. Tapi seiring berjalannya waktu, kau akan bisa lihat cinta Trista yang

baru, yang hanya untuk Rodi dan Reina.

“Tak ada alasan bagiku untuk tidak mempercayaimu, Trista. Aku akan selalu ada untukmu dan

Reina,” dan kucium bibir Trista. Tak pernah sebelumnya kurasakan Trista membalas ciuman

sehangat itu.

Ini membuat orang-orang di sekitar pintu kedatangan internasional bandara Juanda bersuit-suit

riuh.

TAMAT

Page 63: Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia