perempuan seni tradisi kontestasi dan siasat lokal

Upload: layar-van-ahmad

Post on 30-Oct-2015

60 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 1Makalah Diskusi | April 2011

    Makalah

    Perempuan Seni Tradisi: Kontestasi dan Siasat LokalOleh: NOVI aNOeGRaJekTI

    Sang Penari ingin menyuarakan bahwa muatan historis dan herois dalam gandrung

    adalah penafsiran belaka, dan tak lebih sebagai konstruksi dan imajinasi

    yang terbuka untuk diperdebatkan

    A. PengantarBermula dari beberapa penelitian tentang perempuan, umumnya dilihat

    dalam kaitannya dengan fenomena-fenomena yang menitikberatkan pada persoalan patriarkhi yang diasumsikan sebagai akar yang melatarbelakangi ketimpangan relasi sosial laki-laki dan perempuan. Perempuan dilihat sebagai pihak yang tidak berdaya dan karenanya harus diberdayakan. Kecenderungan ini menjadi isu sentral dalam setiap gerakan perempuan selama ini, yang menganggap perempuan sebagai pihak yang terdiskriminasi. Realitas ini dapat menimbulkan kekhawatiran akan mengerucutnya diskursus perempuan pada satu titik tunggal dan memungkinkan tersepelekannya resistensi perempuan serta menempatkan perempuan sebagai korban, dan bukan sebagai entitas yang memiliki posisi dan identitas yang cair. Mempertemukan berbagai sudut pandang yang berbeda tentang perempuan dirasa cukup menarik

    Bertolak dari penelitian tentang perempuan yang mengaitkannya dengan fenomena-fenomena populer dan isu global memperlihatkan terdapat pemihakan elit terhadap perempuan yang dianggap subaltern1. Disamping

    1 Istilah subaltern diperkenalkan oleh Antonio Gramsci adalah mereka yang bukan elit. Elit diartikan sebagai kelompok dominan baik kelompok dominan asing maupun kelompok dominan pribumi. Dalam konteks negara-negara poskolonial, kelompok-kelompok dominan ini memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan sistem negara dan proses modernisasi yang terdapat di dalamnya. Sedangkan kelompok subaltern (petani, buruh, dan perempuan) merupakan subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa dan tidak pernah dilibatkan di dalam proses pembentukan sistem dan sejarah masyarakat. Lihat Ranajit Guha, On Some Aspects of the Historiography of Colonial India dalam Mapping Subaltern Studies and the Postcolonial, Vinayak Chaturvedi (ed.), (London: Verso, 2000) hal. 7.

  • 2Makalah Diskusi | April 2011

    juga pikiran merasa bertanggung jawab untuk melakukan pemberdayaan terhadap pihak lain. Dari sini muncullah asumsi dasar untuk melesatkan hak otoritatif guna mengentaskan perempuan dari ketertindasan. Subaltern adalah mereka yang berada pada posisi non-dominan dan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kelompok-kelompok mainstream yang memiliki kekuasaan.

    Perdebatan diskursif tentang siapakah yang berhak untuk menyuarakan problem keperempuanan dan jika memang benar bahwa para perempuan itu merasa menuai persoalan dengan interaksi yang mereka lakukan, lalu bagaimana bentuk pengangkatan isu yang lebih relevan dengan keinginan dan konteks dimana para perempuan itu berada. Salah satu hal yang sering terlupakan adalah bahwa apa pun bentuk interaksi yang dilakukan antara individu dengan realitas di luar dirinya akan membentuk sebuah praktik sosial, baik yang berupa konformitas maupun relasi-relasi konfliktual. Di samping itu, adanya resistensi dan negosiasi jarang dilihat sebagai strategi bertahan, melawan rajutan kuasa hegemonik, baik yang berupa konstruksi kultur patriarki, agama, dan negara.

    Bila kelompok intelektual (seperti: peneliti, akademisi, dan budayawan) ingin melakukan pendampingan, maka yang diperlukan adalah melaporkan realitas subaltern dan kesubalternitas mereka yang tidak terwakili dalam ruang sosial. Situasi inipun dipersoalkan kembali oleh Spivak bahwa menarasikan dan menafsirkan problem kelompok subaltern tidak akan pernah lepas dari subjektivikasi penafsir.2 Kemudian dimana posisi intelektual dalam menarasikan dan memunculkan kondisi subaltern yang sesungguhnya? Mereka tetap melakukan kritik terhadap posisi dan istilah yang digunakan dalam subaltern. Koreksi ini penting agar mereka tidak berujung pada pembungkaman.3

    Tulisan ini berusaha melihat dengan cara pandang multikultural yang membahas isu-isu tentang keperempuanan dan geliat para perempuan, khususnya perempuan seni tradisi dalam melakukan penyiasatan hidup. Subjektifitas perempuan yang begitu beragam merupakan titik bidik untuk melihat siasat lokalitas yang mereka mainkan. Siasat kultural mengandaikan bahwa subjektifikasi perempuan sebagai entitas yang memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan ekspresi yang dilihat sebagai bentuk perlawanan. Seperti halnya yang diungkap oleh Anna L. Tsing bahwa perempuan dengan keserbaragaman identitas, posisi, dan persilangan hubungan sosial budaya itulah, berada di wilayah perbatasan (borderland) sebuah ruang kritis yang senantiasa menggoyahkan diskursus dominan serta memungkinkan untuk terus melakukan kontestasi.4

    B. Seni Pertunjukan Gandrung Kesenian tradisi Banyuwangi yang bertumpu dan bertahan atas dasar

    tata nilai lokal yang dikandungnya berhadapan dengan tuntutan-tuntutan baru yang bukan saja memastikan rasionalitas dan kepatutan modern,

    2 Gayatri C. Spivak. Can Subaltern Speak? dalam Marxism and the Interpretation of Culture, Cary Nelson dan Lawrence Grossberg (ed) (London: Mamillan Education LTD, 1988), hal. 287.

    3 Melani Budianta, Perempuan Seni Tradisi dan Subaltern: Pergulatan di Tengah-tengah Lalu lintas Global-Lokal dalam Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi, Edy Hayat dan Miftahus Surur (ed), (Depok: Desantara, 2005), hal. 10.

    4 Anna L. Tsing, Alien Romance dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia, Laurie J. Sears (ed.), (London: Duke University Press, 1996), hal. 311.

  • 3Makalah Diskusi | April 2011

    tetapi juga menyangkut survival dari segi ekonomi. Hal tersebut yang akan menentukan apakah kesenian tersebut berpeluang hidup atau tidak di masa-masa mendatang. Sejarah gandrung yang panjang menyisakan catatan bahwa kesenian milik komunitas Using ini selalu berhadapan dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Pasar (kapitalisme), birokrasi, dan agama telah sejak lama menjadi kekuatan-kekuatan yang menghimpit kesenian tradisi ini. Dalam lima tahun terakhir, persentuhan gandrung dengan ketiga agen kekuatan tersebut mencapai puncak intensitasnya.

    Gandrung Banyuwangi adalah seni tari yang disajikan oleh seorang perempuan dewasa yang menari berpasangan dengan laki-laki yang dikenal sebagai pemaju. Pertunjukan gandrung dipentaskan dalam berbagai perayaan, seperti pernikahan, khitanan, kaul, atau upacara kolektif seperti bersih desa, petik laut, bahkan peringatan hari-hari besar nasional, seperti upacara 17 Agustus maupun upacara hari jadi kota Banyuwangi.

    Sejumlah peminat seni dan ahli antropologi mencatat bahwa gandrung Banyuwangi merupakan perkembangan dari ritual seblang, sebuah upacara bersih desa5 atau selamatan desa yang diselenggarakan setahun sekali dan dianggap sebagai ritus tertua di Banyuwangi. Ritus seblang itu sendiri berkaitan dengan kultus kesuburan atau pemujaan dewi padi yang merupakan peninggalan kebudayaan Pra-Hindu (Scholte, 1927; Wolbers, 1992:89; 1993:36; Sutton, 1993:126).

    Pertunjukan gandrung berlangsung hampir semalam suntuk, dimulai pukul 21.00 dan berakhir sekitar pukul 03.30 dini hari. Ia terbagi ke dalam tiga bagian: Jejer, Paju, dan Seblang-seblang. Jejer dan Seblang-seblang adalah adegan pembuka dan penutup pertunjukan, berlangsung sekitar 45-60 menit (Jejer) dan 85-120 menit (Seblang-seblang) yang tidak melibatkan seorang pun dari penonton. Sementara Paju, yang memperoleh waktu lebih panjang (antara 4-5 jam), merupakan adegan terbuka bagi penonton untuk menari berpasangan atau membawakan lagu-lagu.

    Babak pertunjukan gandrung yang paling lama dan mendapat perhatian penonton adalah Paju yang berisi tari berpasangan dan ngrepen. Dalam babak ini tampak bahwa pertunjukan gandrung menjadi milik publik, sulit dipisahkan antara pertunjukan dan penontonnya. Gerak tari setiap pemaju sendirian atau berpasangan menjadi bagian dari pertunjukan yang ditonton, dinilai, dan dimaknai oleh pemaju lain yang sedang duduk dan penonton di luar terop. Sebuah kenyataan yang menyulitkan pendefinisian teks pertunjukan yang biasanya dalam kesenian-kesenian lain sangat jelas batas-batas antara penonton dengan yang ditonton. Dilihat dari interaksi dan keterlibatan pemaju dalam pertunjukan, pemaju dalam pertunjukan gandrung merupakan bagian dari teks pertunjukan.

    Kesan yang paling kuat bahwa pertunjukan gandrung adalah untuk meramaikan pesta perkawinan atau sunatan, menjadi hiburan yang sangat disukai para penggemar tari bersama (ngibing), meskipun ia selalu dipentaskan dalam upacara suci seperti Petik Laut yang diselenggarakan setahun sekali di Muncar atau dalam upacara kebo-keboan (bersih desa) di Alas Malang, sebuah paduan yang dirancang oleh Dinas Pariwisata sejak awal tahun 90-an. Ajakan

    5 Upacara seblang diselenggarakan dalam rangka menolak bala, keselamatan warga desa, penyembuhan, kesuburan, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman desa. (Selanjutnya bandingkan dengan Parsudi Suparlan, The Javanese Dukun, 1991, hal. 3; Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, 1985, hal. 87.

  • 4Makalah Diskusi | April 2011

    kluncing untuk mengawali pertunjukan seperti contoh berikut ini mempertegas bahwa pertunjukan gandrung adalah profan.

    ayo , dikawiti nyambut gaweneSak durunge megawe nak, sedurunge makarya sun jaluk hurmato sulung nyang para tamu kabeh, ya! Yak, bapak kang kiwa,bapak kang tengen. Yak...!Dhuh seger waras, kang ayem Garapan koyo megawe ono omah..Nduk samourehephep

    (Terjemahan) Ayo..., mulai bekerjaSebelum bekerja nak, sebelum bekerja saya minta supaya memberi hormat kepada para tamu semua, ya! Yak, bapak yang sebelah kiri, yang kanan. Yak...!Duh... sehat-sehat saja,...yang tenang. Anggap seperti bekerja di rumah. Nak,...jawablah...hep...hep.

    Sebutan nyambut gawe dan penegasan bahwa garapen koyo megawe ono omah menjelaskan bagaimana para pendukung kesenian ini sendiri memandang pertunjukan gandrung sebagai sesuatu yang murni profan, suatu pekerjaan untuk mencari rezeki sebagaimana pekerjaan-pekerjaan lain seperti bertani, berdagang, menjual jasa, dan pegawai.

    C. Repenan dan Paju: Arena Menakar DiriSaat dimulainya paju, seorang atau beberapa orang penari gandrung

    menghampiri meja-meja yang telah dikelilingi tamu secara berurutan. Jika tidak, pasti akan menimbulkan kecemburuan pemaju yang berujung konflik antartamu. Penari akan memulai dari meja tamu pertama, kedua, dan seterusnya. Jika waktu paju masih tersisa, penari gandrung akan memulai lagi dari meja tamu pertama, kemudian kedua, dan seterusnya. Saat gandrung duduk dalam satu meja, para tamu dipersilahkan memesan gending yang diinginkan. Setelah menyanyikan beberapa gending, para tamu yang berada di satu meja diajak untuk menari bersama, hanya empat orang pertama yang berhak mendapat sampur, setelah itu bergiliran tamu-tamu yag lainnya. Gandrung menari erotis, menggoyang-goyangkan pantat, bahu, sekaligus dada seiring dengan tepak kendang, sambil terus mengumbar senyum. Seakan-akan, sang gandrung menantang para pemaju terus menari.

    Paju bagi para tamu, tidak hanya dimaknai sebagai hiburan saja, tetapi juga bermakna persaingan dan ajang adu kemahiran dalam hal menari dan menyanyi. Saat paju, arena gandrung berubah menjadi arena kontestasi, baik tamu antarmeja, antar pemaju saat menari, maupun kontestasi antargandrung dengan pemaju. Lingkaran tamu dalam satu meja sebagai penanda dari satu kalangan yang menunjuk pada kelompok masing-masing. Kontestasi antar meja, dipertunjukkan lewat persaingan minuman keras. Antarmeja terjadi jor-joran. Meja mana yang banyak menghabiskan botol minuman, dianggap sebagai kelompok terhormat dan memiliki banyak uang. Ada juga yang iuran untuk menambah minuman lebih banyak lagi. Menurut Anto, seorang pecinta gandrung, kalangannya bisa menghabiskan uang sampai Rp 1.000.000. bahkan lebih untuk membeli minuman, selain menguji kemahiran menari dan menyanyi, minuman itu practise, dan itu iuran. 6 6 Dalam konteks pertunjukan jaipong, seorang bajidor selaku penonton aktif dapat dilihat dalam

    beberapa sudut pandang; pertama, bajidor termasuk golongan penonton kalangan kelas

  • 5Makalah Diskusi | April 2011

    Saat ngrepen atau melayani tamu dengan nyayian gending-gending pesanan tamu, gandrung akan menerima uang dari tamu, baik secara terbuka maupun secara sembunyi. Para tamu juga bersaing dalam menentukan harga sebuah gending. Harga satu gending memang tidak ditentukan, tergantung dari isi kantong dan kebaikan tamu. Ada yang puluhan ribu sampai ratusan ribu. Biasanya, pemaju yang banyak uang akan meminta banyak lagu kepada gandrung. Situasi ini yang membuat giliran antarmeja menjadi lama, sehingga menyebabkan meja-meja lain merasa dikesampingkan, bahkan dapat menyulut kemarahan yang akhirnya berujung pada perkelahian fisik. Seperti yang saya alami yang sempat ditegur keras oleh salah satu kalangan apa dikira kami tidak punya uang, mentang-mentang dari Jakarta, bawa uang banyak! kata seorang tamu karena gandrung duduk terlalu lama di meja saya. Kecemburuan semacam ini terkadang menimbulkan perkelahian yang mengakibatkan korban di antara para tamu.

    Di sisi lain, suguhan tari pemaju yang serasi dan sesuai dengan tepak kendang akan menimbulkan rasa iri pemaju lain. Dalam tarian gandrung, keindahan bukan milik sepihak, melainkan keserasian tarian antara gandrung dengan pemaju secara bersama-sama. Sehingga keserasian antara pemaju dan gandrung dapat menciptakan gerakan tari yang indah dan enak ditonton. Susah lho, mbak tari paju itu, ungkap Agus, pemaju dari Boyolangu, di samping mengikuti kendang, kita juga harus mengikuti langkah gandrungnya, tari paju tak dapat dilakukan dengan asal menari, ujarnya. Ada batas-batas tertentu yang harus dimengerti oleh pemaju, termasuk tidak boleh melakukan pelecehan dengan gandrungnya.

    Sebagai sebuah resiko, gandrung sadar bahwa pemaju akan selalu memburu dan menunggu saat-saat lengah. Untuk itu, seorang gandrung

    menengah yang secara ekonomis memiliki kemampuan lebih untuk nyawer (sawer). Gaya saweran bajidor yang sering diperlihatkan antara lain: (1) langsung memberikan lembaran uang Rp1000-Rp50.000 an sambil memegang tangan sinden (juru kawih dan juru tari), mengoyang-goyangkan mengikuti irama kawih yang ditembangkan; (2) menyelipkan di sekeliling ikat pinggang sinden; (3) menyebarkan uang di atas panggung; (4) mempersilakan sinden dan nayaga berdiri, berbaris, dan antri menerima saweran, dan (5) menyelipkan di dada, namun kasus ini jarang terjadi, terkecuali terdapat hubungan khusus antara bajidor dan sinden.

    Meskipun saweran itu sudah mentradisi dalam setiap pertunjukan tari, tapi saya sebagai penari tidak semudah itu menerima setiap saweran yang diberikan dengan tidak sopan, ujar Wangi Indriya, penari topeng asal Cirebon. Wangi memang boleh memiliki prinsip demikian, keengganan untuk tidak menerima saweran yang biasa dilakukan melalui mulut atau dimasukkan ke dalam kutang. Wangi merasa bahwa dirinya berhak menghormati diri (tubuh) nya, meskipun tidak jarang keenggananya harus dibayar dengan berkurangnya hasil perolehan uang setiap kali manggung. Sikap Wangi ini hanya sebatas sikap yang tidak pernah ia lontarkan kepada penari yang lain. Ia cukup toleran dan memahami ketika beberapa rekannya yang juga sesama penari topeng menerima saweran melalui mulut atau bahkan dimasukkan ke dalam kutangnya. Sebisa mungkin saya akan menerima dengan wajar. Tetapi, saya tidak mau usil karena mereka sendiri terkadang menghendaki itu, lanjutnya kemudian.

    Seorang sinden akan menyebutkan nama bajidor secara terus-menerus apabila si bajidor yang dipanggil tidak mau tampil ke arena. Situasi ini sangat memalukan bagi bajidor yang bersangkutan; kedua, julukan bos bagi bajidor menempatkan diri sebagai orang yang terpandang di mata sinden. Hubungan antara bajidor dan sinden bukan lagi masalah nilai seni melainkan berorientasi pada aspek pragmatis belaka, simbol prestisius bajidor. Sinden tidak lagi mempertimbangkan aturan main dan estetika pergelaran tetapi lebih bergantung pada uluran tangan-tangan bajidor yang nyawer sampai ratusan ribu rupiah. Seorang mantan bajidor, sebut saja Didin anak jagal kerbau di pasar Cibitung menghabiskan uangnya antara Rp 500.000. - Rp 2.000.000. semalam dalam setiap arena pentas jaipong. Oleh karena itu, tidak jarang isi kawih menjadi panjang hanya untuk menyebutkan berulang kali nama-nama kelompok bajidor yang nyawer; ketiga, menguatnya sentuhan kekuasaan bajidor, membuat jaipong bagai tirai arena transaksi fisik usai panggung antara sinden dan bajidor.

  • 6Makalah Diskusi | April 2011

    dituntut kreatif terus menyusun strategi pertahanan. Strategi ini disebut tangar, siasat-siasat kreatif yang digunakan gandrung untuk bertahan. Orang mau mencium itu kelihatan, makanya yang perlu diperhatikan adalah langkah kakinya, ungkap Nur yang malam itu hampir dicium seorang pemaju, beruntung ia masih sempat mengelitkan mukanya ke samping. Terkadang, Nur menahan muka pemaju dengan tangannya secara sigap atau menggunakan sampur saat kondisi terjepit dimana pemaju tidak lagi menghiraukan peringatan gandrung dan kluncing. ketimbang diambung, mending leren solong (daripada dicium, lebih baik berhenti menari, mas), kata Atik yang takut diputus pacarnya kalau sampai dicium pemaju. Yang menarik saat Nur sudah sangat terjepit posisinya, sementara pemaju terus memburu, Nur pun berhenti menari dan mengajukan kepalan tangan sambil berkata: sopan sethek riko lek (sopan sedikit kamuya). Saat paju gandrung dilanjutkan, tarian sang pemaju pun berubah, tetap agresif dalam batas-batas pentas gandrung. Kadangkala, di saat itu pemaju memasukkan uang ke dalam celah-celah dada, namun sepertinya bukan kebiasaan yang terus-menerus.

    Tari berpasangan memperlihatkan pergulatan dinamis penari perempuan dan laki-laki dalam arena publik. Penari laki-laki berasal dari berbagai kelompok sosial yang berbeda, seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status sosial, dan etnis, bahkan agama. Sebuah latar belakang yang sangat mungkin menentukan motivasi, etika, dan perilaku menari yang berbeda pula. Bouvier (2002) menyaksikan penari laki-laki dalam pertunjukan tayub di Madura datang dari berbagai segmen sosial dan lapisan masyarakat majemuk, seperti kalangan petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, dan tentara.

    Bouvier (2002) melukiskan bahwa penari laki-laki tayub di Madura memang tampak mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding penari perempuan.

    Penari laki-laki yang lebih kaya, lebih terhormat, bertingkah laku lebih bebas, dan lebih gembira di depan sinden daripada penari laki-laki yang miskin. Sikap menahan diri, terkadang juga keraguan dari segi fisikal Pertama, kenyataan bahwa laki-laki yang bercukupan dalam suatu masyarakat memang memiliki kebebasan secara materiil sehingga tercermin dalam perilaku mereka

    Tari berpasangan menunjukkan suatu dialog interaktif antara penari perempuan dan penari laki-laki yang terbuka kemungkinan saling memberi dan mengontrol. Sekilas dari gerak dan volume tari memang mengesankan dominasi kekuasaan penari laki-laki, namun jika ditelusuri lebih mendalam dan detail ternyata penari perempuan menunjukan hal yang sebaliknya. Ia mampu menunjukkan kekuasaannya atas penari laki-laki, bahkan tidak jarang penari laki-laki dibuat malu. Penari gandrung menyadari apa pun yang ditunjukkan oleh penari laki-laki sebagai hal yang biasa yang dihadapi dengan siasat-siasat yang strategis (Anoegrajekti, 2003; Effendy, 2007: 110).

    Pentas berubah menjadi arena kontestasi. Asumsi tentang eksploitasi tidak bisa lagi dilekatkan pada satu pihak, melainkan dua pihak yang saling berebut untuk mendapatkan tujuan masing-masing. Gandrung dengan kecanggihan memainkan olah gerak tubuh memanfaatkan emosi pemaju dan atau penonton untuk tidak segan-segan merogoh sakunya menghamburkan uang agar bisa menari bersama gandrung, wajar jika gandrung patut dijuluki sebagai sekar dalu (penguasa malam). Sebaliknya, pemaju pun bisa melakukan hal yang sama. Bermodalkan uang cukup banyak, mampu memperlihatkan

  • 7Makalah Diskusi | April 2011

    kekuasaannya dan bermain bersama gandrung sesuai dengan selera yang ia miliki. Tapi, masihkah tersisa ruang bagi kita untuk memaknai pertunjukan itu sebagai realitas tanpa asumsi pelecehan dan eksploitasi yang merugikan?

    D. Kontestasi Perempuan Seni Tradisi: Tradisi, Agama, dan Pasar

    Selama ini proyek pembinaan seni tradisi lebih dipercayakan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kementrian Pendidikan Nasional) yang sejak tahun 1974 aktif bersama beberapa lembaga lain seperti kepolisian dan lembaga keagamaan terutama Islam aktif berurusan dengan kesenian tradisi. Melalui lembaga itu, negara melakukan pendataan dan inventarisir jenis-jenis kesenian, menatar, dan memberi sertifikat, memonitor isi, mengadakan festival sampai mengatur perjalanan seniman daerah ke Jakarta untuk pentas di TMII (Tamam Mini Indonesia Indah). Pembinaan dilakukan secara langsung dan rutin oleh penilik kebudayaan setempat, baik yang menyangkut bidang organisasi, administrasi, maupun penyajian seni.7

    Dalam kajian Linsay (1995) tidak sedikit kesenian tradisi yang menggantungkan hidupnya pada uluran pihak lain. Kondisi ini memposisikan pemerintah sebagai pengayom, pembina, dan penasehat sekaligus penyandang dana berbentuk anggaran rutin melalui Dewan Kesenian Daerah. Selain itu, kasus kebijakan terhadap reyog Ponorogo (Effendy, 1998) memperlihatkan bahwa pelestarian dan pembinaan semata-mata untuk menyesuaikan dengan kebudayaan nasional dan untuk kepentingan pariwisata, bukan untuk kepentingan kesenian itu sendiri maupun komunitas pendukungnya. Santrinisasi Reyog berwujud dengan mengubah nyanyian dan senggaan dengan salawat badar dan beberapa puji-pujian yang biasa dilagukan di langgar. Dilihat dari performance terkesan tempelan dan tidak inheren dalam dalam kesenian ini.

    Ternyata implikasi intervensi pemerintah dalam penciptaan kebudayaan nasional tidak hanya terbatas pada kerancuan kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah melainkan juga pemasungan kebudayaan daerah. Implikasi kebijakan kebudayaan, khususnya kesenian tidak saja pada dataran afeksi melainkan juga pada relung kognisi. Pemerintah dengan bertumpu pada pasal 32 UUD 45 terkesan benar-benar ingin menguasai diskursus kesenian dan juga pola-pola pembinaan. Banyak istilah-istilah dalam GBHN (mulai tahun 1973 hingga 1993) seperti memelihara, mengembangkan, dan melestarikan mengartikan bahwa semua yang berurusan dengan kesenian berada dalam kendali pemerintah.

    Di sisi lain, kecenderungan umum semasa Orde Baru sampai saat kini, kesenian Indonesia dari berbagai daerah yang sangat beragam yang niscaya harus menerima untuk yang selalu bersinggungan dengan agen kekuatan-kekuatan, seperti negara (birokrasi) dan agama, dan pasar. Tak kalah penting dibanding negara dan agama adalah kaum terpelajar kota, media massa, dan kultur dominan yang secara bersama-sama atau sendiri melancarkan

    7 Bahkan dalam laporan kegiatan rutin tahunan program seksi kebudayaan Banyuwangi berhasil menginventarisasi dan membina berbagai kesenian tradisional dan non tradisional untuk berfungsi sebagai wadah penjabaran P4, seperti: hadrah kuntulan, gandrung, gembrung, damarwulan, teater barong, dan mocoan pacul guwang. Lihat Novi Anoegrajekti, Kesenian Using: Resistensi Budaya Komunitas Pinggir dalam Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru. (Jakarta: LIPI-Ford Foundation, 2001).

  • 8Makalah Diskusi | April 2011

    intervensi dengan tujuan tertentu. Demi pengembangan, estetika, dan etika, mereka memprakarsai upaya-upaya revitalisasi, rekonstruksi, pengemasan, pelatihan yang keseluruhannya didasarkan atas kepentingan publik eksternal, seperti misalnya penyelenggaraan festival.

    Lembaga Kebudayaan perpanjangan kekuasaan negara yang diwakili Depbudpar, Pemerintah Daerah, Depkemnas memiliki cukup andil besar dalam pembinaan, pengembangan, maupun perubahan seni tradisi. Cara pemerintah menjaga kelangsungan seni tradisi ditegaskan dalam aturan yang diartikulasikan melalui media resmi, seperti mengurus surat izin pendirian grup, kartu anggota kesenian, izin pementasan, penyuluhan, sampai memprakarsai penataran, perlombaan, pelatihan, dan permohonan subsidi. Tanpa disadari, kebijakan tersebut untuk menanamkan estetika kepantasan dan di depan publik memiliki resiko yang lebih substansif, yakni dimensi komunal seni tradisi. Ketetapan estetika yang dimotori instansi pemerintah justru meniadakan aspek-aspek makna yang berasal tidak hanya pada suara, kata-kata, gerakan atau simbol-simbol, melainkan juga pada siapa yang mementaskan, siapa yang melihat, dan apa signifikasi lokal dari pementasan tersebut (Yampolsky, 1995).

    Pada derajat tertentu telah menimbulkan reduksi dan persaingan antarpegandrung semakin ketat. Ketika negara dihadapkan pada pilihan organisasi kesenian gandrung yang akan mewakili ke sebuah pentas taraf nasional dan internasional terjadi proses meminggirkan secara sistematis. Hanya gandrung yang binaan pemerintah yang sering mewakili Indonesia sebagai duta budaya. Seperti ungkapan gandrung Wiwik:

    kadang saya merasa iri, kenapa gandrung anak-anak dari sanggar yang dibina. Padahal yang harus tetap dijaga adalah gandrung teropPemerintah lebih suka anak-anak sekolah yang memang gampang diatur. Kita kalau diatur malah balik mengatur, meski begitu kita sering dikecewakan Dinas Pemerintah. Dinas mempunyai penari gandrung sendiri. Karenanya saya sering merasa dimanfaatkanGandrung terop dibutuhkan ketika ada acara gandrung dan terkadang hanya diambil suaranya (Wawancara, 2007).

    Dari refleksi di atas, kebijakan kebudayaan cenderung berfungsi untuk mengontrol muatan politik dan muatan moral dari setiap pertunjukan, di samping meningkatkan mutu artistiknya. Lindsay (1995) membandingkan kebijakan kebudayaan di Asia Tenggara dengan di Indonesia. Khusus Indonesia tampaknya kesenian tradisi sangat menggantungkan hidupnya pada uluran dan campur tangan pemerintah. Kondisi ini membuat pemerintah memerankan diri sebagai pengayom sekaligus pengucur dana berbentuk anggaran rutin melalui Dewan Kesenian Daerah.

    Setelah reformasi dengan kebijakan desentralisasi yang menyadarkan rasa kedaerahan kebudayaan Using berkibar dari tangan seorang Bupati Samsul Hadi (2000-2005) yang orang Using dan mempunyai kekuasaan politis. Pada saat peringatan Hari Jadi Banyuwangi 18 Desember 2002, orang nomor satu di Banyuwangi mendeklarasikan sebuah gerakan kebudayaan yang diberi nama Jenggirat Tangi, sebuah gerakan penetapan identitas Using yang diyakini sebagai wajah asli masyarakat lokal. Sebuah SK Bupati No. 371 tahun 2002 dikeluarkan untuk meneguhkan rangkaian kebijakan Jenggirat Tangi yang berisi pemancangan patung gandrung sebagai penanda identitas Banyuwangi. Patung

  • 9Makalah Diskusi | April 2011

    dalam bentuk besar (sekitar 18 meter di daerah Watudodol, pintu masuk ke Banyuwangi dari arah Situbondo) dan kecil tersebar di wilayah Banyuwangi.

    Realitas ini menujukkan kedinamisan gandrung dipandang dari berbagai segi. Sebagai perempuan penari dapat dilihat dari sisi sebagai perempuan post-tradisional yang menggunakan ciri kelokalannya untuk tampil di arena kontestasi dalam memperebutkan representasi identitasnya. Di sisi yang lain, perempuan penari gandrung dianggap sebagai perempuan-perempuan seni yang tertindas yang selalu mendapatkan konotasi negatif dan dimarginalkan oleh kelompok liyan.

    Tidak hanya penari gandrung, sebuah insiden menarik terjadi di sebuah desa di Blora. Pertunjukan tayub yang baru berlangsung tiba-tiba dihentikan oleh aparat keamanan dan bersama beberapa pejabat dari Dinas Kebudayaan setempat. Alasan penghentian itu karena ronggeng yang akan ditampilkan belum memperoleh sertifikat penataran dari Dinas Kebudayaan, dan desakan sejumlah tokoh masyarakat (kelas menengah) yang menilai tayub sebagai amoral tidak sesuai dengan ajaran agama dan Pancasila (Widodo, 1995).

    Selain kasus tayub, MUI bersama tokoh-tokoh ormas Islam setempat pada tahun 1992 menyimpulkan bahwa tari melemang yang berpusat pada lenturan tubuh seorang gadis dengan baju semi terbuka bagian atas tidak sesuai dengan etika dan ajaran Islam. Karena itu, ulama kepulauan Riau merekomendasi untuk segera mengubah tari ini atau melarang tampil sama sekali (Rohana, 2000). Sedangkan Effendy (1998) melihat studi Reyog dalam hubungannya dengan kekuasaan. Kasus santrinisasi reyog sangat bertentangan dengan tata gaul sebagian besar komunitas reyog yang mempertahankan kejawen yang mistis. Selain itu, kasus kebijakan terhadap reyog yang mendapat pembinaan dan pengembangan semata-mata untuk menyesuaikan dengan kebudayaan nasional dan untuk kepentingan pariwisata, bukan untuk kepentingan kesenian itu sendiri maupun komunitas pendukungnya. Hal ini mengakibatkan apa yang dipandang kurang atau tidak sesuai dengan kepatutan nasional maupun pariwisata akan disesuaikan walaupun bertabrakan dengan kepentingan lokal.

    Dengan beberapa studi kasus tersebut, aksi-aksi maupun konstruk-konstruk yang ditempatkan oleh sejumlah ketentuan konstitusional (UUD 45, UU, PP, dan GBHN) berpengaruh sangat luas terhadap kesenian, penari, maupun pendukungnya dalam meniti perubahan yang berlangsung secara alamiah, bahkan ada yang mati dan berganti yang baru dan atau ada yang berhasil mensiasatinya. Hal yang penting adalah segera diupayakan dialog wacana agar konstruk-konstruk tampak lebih cair dan tidak monolitik, serta mengembalikan keberadaan kesenian kepada pendukung kesenian yang bersangkutan.

    Seperti halnya gandrung (Banyuwangi) dan jaipong (Karawang, Subang, dan Bogor), tayub (Pati) dan tanda (Sumenep) juga melakukan penyesuaian agar diterima oleh etika dan moral agama.8 Yakni, dengan melakukan pembersihan terhadap gerakan-gerakan yang dipandang bertentangan, mengubah gaya tampilan dan asesoris pakaian agar terlihat lebih sopan, tetapi ada juga yang memilih diam. Bahkan para aktivis perempuan di Pati mengusulkan program Islamisasi tayub dengan cara memakai kerudung ketika menari di atas panggung. Upaya ini sebagai pencegahan secara preventif perilaku pelecehan seksual di atas panggung, sekaligus menghilangkan image negatif di masyarakat.

    8 Menurut Ummi Hanni, Ketua Fatayat NU cabang Pati mengatakan bahwa profesi ledhek sangat rawan pelecehan. Bahkan istri camat Trangkil, Musus Indiyani akan berusaha mengusulkan agar model pakaian, tata cara menari, dan ngibing dituangkan dalam peraturan pemerintah.

  • 10

    Makalah Diskusi | April 2011

    Sebaliknya, Wari, ledhek tayub, menceritakan bahwa ketika dirinya disentuh oleh pengibing, dia tidak merasa sebagai pihak yang terlecehkan, yang terpenting bagaimana menjaga diri dengan baik. Hampir setiap ledhek selalu berusaha menghindar sedini mungkin kekerasan panggung dengan melakukan penolakan-penolakan secara halus. Seringkali ledhek melambaikan tangan atau menarik sampur ketika pengibing mulai berlaku kurang senonoh. Strereotip terhadap tayub terus bergulir, pandangan ini tidak hanya dari kalangan pemuka agama, melainkan dari perempuan itu sendiri (para istri). Menurut Widodo (1995), yang cukup lama menekuni tayub Blora melihat bahwa peran istri, terutama istri pejabat birokrasi (Dharma Wanita) sangat signifikan dalam mengkonstruksi dan mendeskreditkan perempuan tayub.

    Di sisi lain, relasi gandrung termasuk penari gandrung dengan konstruksi agama menambah beban psikologis. Gandrung diidentikkan dengan komunitas abangan dan dikategorikan sebagai kesenian yang harus dihindari, bahkan gandrung dijauhkan dari pesantren. Sementara itu, tafsir teks suci terhadap gandrung sebagai teks sosial menjadi semakin memperkuat stigma sosial. Hampir semua penari gandrung akan berhenti, sampur tidak lagi dimainkan, gending tidak lagi berbunyi, hentakan kaki mulai melemah ketika menunaikan ibadah haji. Haji sebagai batas demarkasi para pegandrung. Artinya, para pegandrung itu mengakui bahwa kehidupan mereka sebenarnya dalam kehidupan yang lain sehingga perlu ada upacara purifikasi terhadap kehidupan yang lain itu.

    Rupanya penari gandrung mampu menyiasati tekanan agama dengan menyisipkan lagu-lagu bernafaskan keagamaan sebagai iringan tari, seperti lagu Santri Mulih dan Salatun Wataslimun, atau menciptakan seni kuntulan yang bernuansa Islam. Ketegangan antara komunitas gandrung dengan kaum agama (Islam) relatif menipis. Kini pementasan gandrung di sekitar masjid atau langgar merupakan hal biasa di Banyuwangi. Bahkan Supinah, penari gandrung terkenal saat ini, yang pernah menjadi duta Indonesia dalam pertukaran budaya Indonesia-AS membawakan tari kuntulan yang bersumber dari gandrung untuk mengikuti Festival Istiqlal, Jakarta, 1991.

    Seperti halnya Santri Mulih, lagu Salataun wataslimun diadopsi untuk kepentingan yang sama, toleransi kepada kaum santri. Hasnan Singodimayan dan Fatrah Abal menyatakan bahwa lagu itu diadopsi seniman gandrung awal abad ke-20 untuk memenuhi tuntutan kaum santri agar kesenian tersebut sesuai dengan corak keislaman. Kaum santri beranggapan bahwa jika gandrung telah terwarnai oleh atribut-atribut keislaman, maka lambat laut kesenian itu akan bercorak dan sesuai dengan agama.

    Para penari gandrung waktu itu tampaknya tidak keberatan untuk memasukkan Santri Mulih maupun Salatun wataslimun ke dalam teks pertunjukan. Permintaan para pemaju dan kalangan untuk dinyanyikan Salatun wataslimun, seperti yang dialami oleh penari Suwanah, selalu dipenuhi sebagaimana ia memenuhi permintaan lagu-lagu lain yang sama sekali tidak kaitannya dengan Islam dan tradisi kaum santri. Bahkan pemenuhan kedua lagu santri itu akan menjadikan pertunjukan gandrung semakin diterima oleh kaum santri dan tidak disudutkan atau distigmatisasi. Barangkali toleransi seniman gandrung itulah yang menyebabkan kesenian ini tetap bertahan di tengah sorotan dan kritik kaum santri yang hingga sekarang masih mengalir bahkan semakin keras karena proses purifikasi Islam yang akhir-akhir ini mulai terlihat di Banyuwangi.

  • 11

    Makalah Diskusi | April 2011

    Di satu sisi munculnya kedua lagu di atas memang memperlihatkan kemampuan negosiasi penari gandrung berhadapan dengan kaum agama, tetapi pada sisi yang lain juga menjelaskan bagaimana proses Islamisasi gandrung berlangsung. Kaum santri, sebagai kekuatan penting di Banyuwangi, menghendaki agar gandrung tampil Islami yang mereka pandang lebih sesuai dengan mayoritas komunitas Using dan masyarakat Banyuwangi pada umumnya yang memeluk Islam. Meskipun kebanyakan kaum santri sekarang tidak memandang kedua lagu itu bercorak Islami karena terwarnai begitu banyak corak lokal, namun secara subtansial tetap merepresentasikan keislaman.

    Islamisasi gandrung tampak tidak selalu melalui bentuk performance seperti halnya memasukkan lagu, gerak tari, atau kostum. Beberapa kiai yang dipersepsikan menaruh perhatian baik kepada pertunjukan gandrung dan secara lahiriah memang akrab dengan seniman gandrung ternyata tidak melepaskan keinginannya untuk mendakwahi dan berharap agar gandrung menjadi Islami.

    Selain itu, seni gandrung juga fleksibel dalam menatap seni populer yang hadir di Banyuwangi dan nyaris menguasai selera penonton gandrung, seperti seni dangdut. Dalam konteks ini gandrung dengan tanpa beban memenuhi permintaan penonton untuk melantunkan lagu-lagu irama dangdut, meski tetap dengan syair berbahasa Using. Temu, seorang penari gandrung, mengaku pasrah atas selera penonton yang didominasi dangdut. Kemunculan lagu-lagu kendang kempul yang melanda dunia rekaman, terutama sejak kesuksesan Sumiyati melantunkan lagu Kembang Pethetan dan Cemeng Manggis bukan saja mengantarkan lagu-lagu kendang kempul mampu menembus dan menguasai pasar lagu-lagu daerah di Jawa Timur bagian Timur melainkan juga mampu menghembuskan pengaruh terhadap komunitas Using sendiri, sehingga tidak sedikit komunitas Using yang lebih menggandrungi lagu-lagu kendang kempul dibandingkan lagu-lagu gandrung. Fenomena ini secara tidak langsung berimplikasi terhadap kesenian gandrung.

    Temu mendapat kesempatan rekaman sebanyak tiga kali berturut-turut dengan Ria Record, pada tahun 1975-1976 dengan menyanyikan sepuluh lagu dalam satu album. Bayaran yang diperolehnya sekitar 75 ribu rupiah, padahal proses rekaman membutuhkan waktu satu minggu. Sebelum rekaman harus melalui menghafal lagu-lagu baru dan berlatih setiap hari. Dengan pertimbangan itu, Temu memutuskan untuk menolak tawaran yang datang berikutnya. Terdapat sekitar sepuluh yang telah dirilis Temu. Ada album yang berisi dua lagu yang dinyanyikan, namun ada juga album yang seluruhnya berisi lagu-lagu yang dinyanyikannya. Album Disco Ethnic 2000 yang diproduseri oleh Sandi Record tahun 2003 di dalamnya ada lagu Kangen Banyuwangi mendapat sukses gemilang. Sebanyak 50 ribu keeping CD dan 4.000 keping kaset laris terjual di pasaran. Ketia rekaman Kangen Banyuwangi, Temu hanya mendapat honor 1,5 juta rupiah. Padahal jika dihitung keuntungan produsen lebih dari 200 kali lipat. Angka yang fantastis jika dibandingkan dengan yang diterima penyanyinya9 (Qomariah, 2008: 114).

    Musik modern, lagu-lagu popular, dan industri pasar membuat para

    9 Temu pernah berujar bangur rezeki sitik, tapi terus, ketimbang akeh sepisanan (biarlah rezeki sedikit asal ada terus, daripada banyak tapi hanya satu kali). Temu ingin hidup jujur, nrimo, dan tidak merugikan orang lain. Filsafat hidup Sopo Nyono yang mengantarkan Temu yang sedari kecil sakit-sakitan kemudian menjadi penari gandrung terkenal sampai masuk industri rekaman. Hingga usianya yang ke-56 tahun dia tetap eksis menghibur penggemarnya di pentas pertunjukan.

  • 12

    Makalah Diskusi | April 2011

    seniman muda generasi Banyuwangi saat ini seperti, Catur Arum, Fatah Yasin, Candra Bayu merespon berbagai perkembangan lagu Banyuwangian. Lagu Semebyar, Gondo Liyu, Bokong Semok adalah beberapa lagu Banyuwangian yang berhasil menembus pangsa pasar di dalam dan luar Banyuwangi. Mengemas irama musik yang lebih berbeda, hasil kolaborasi instrumen modern organ dengan instrumen tradisional seperti, kluncing dan angklung berhasil dikreasikan oleh seniman muda dengan tetap menggunakan bahasa lokal Using (Wahyudi, 2008: 178). Di sisi yang lain masuknya lagu-lagu Banyuwangian menjadi komoditas pasar ditunjang oleh industri rekaman yang memproduksinya dalam bentuk Compact Disc (CD) dan dijual di pasaran dengan harga yang sangat terjangkau.

    E. Hegemoni dan Representasi Identitas Perempuan Seni

    Pemaknaan dan konstruksi perempuan seni rupanya dilakukan secara serempak oleh tiga kekuatan: pasar, tradisi, dan Islam. Pada satu sisi, ketiga kekuatan tersebut telah menunjukkan apa yang oleh Gramsci (1971:57) disebut supremasi dan penguasaan atas subordinat (perempuan) dengan kepemimpinan moral dan intelektual. Pasar, tradisi, dan Islam telah berfungsi sebagai kekuatan yang mengunggulkan kepentingan dan mengusung otoritas sosial dan kulturalnya melalui gandrung.

    Namun, pada sisi yang lain, ketiganya juga memperlihatkan pertarungan dalam suatu ruang dengan posisi dan kategori yang berbeda atau, meminjam istilah Williams (1977:121), dalam sebuah inkorporasi dengan posisi sebagai budaya dominan, budaya residual, dan budaya emergent. Pasar yang paling lama dan intensif menyentuh gandrung menjadi dominan, birokrasi dan Dewan Kesenian Blambangan yang berupaya mengembalikan gandrung seperti di masa lalu dapat dikategori sebagai residual, dan Islam yang dalam konteks gandrung merupakan sesuatu yang baru menjadi emergent.

    Dominasi pasar atas tradisi dan Islam dapat dilihat dalam setiap pertunjukan gandrung yang seluruhnya lebih bercorak pasar. Suatu pertunjukan gandrung sangat mungkin menyajikan beberapa hal sebagai konservasi tradisi dan menyanyikan lagu-lagu seperti Shalatun wa Taslimun sekaligus atau salah satu dari keduanya, akan tetapi pada saat yang sama pertunjukan itu merupakan pentas terbuka, komersial, dan penuh aroma alkohol. Pada setiap pertunjukan pertunjukan gandrung terdapat irisan-irisan dari tiga kekuatan di atas, meskipun pasar merupakan irisan terbesar dan dominan.

    Dalam inkorporasi tersebut hubungan antar kekuatan hegemoni bersifat alternatif tetapi juga bisa oposisi yang kemudian menyebabkan hubungan dan posisi kekuatan tidak stabil, dinamis, dan berubah. Williams mengatakan bahwa perluasan penetrasi budaya dominan, pengulangan dan efektifitas pemaknaan masa lalu, dan peningkatan tekanan dari budaya baru dipandang menjadi sebab-sebab penting instabilitas dan perubahan tersebut. Seperti dipaparkan di atas, pengulangan dan efektifitas pemaknaan peran gandrung di masa lalu oleh Dewan Kesenian Blambangan di satu pihak dan tekanan kaum santri yang terus meningkat akan menggoyah dominasi pasar terhadap pertunjukan gandrung sekarang.

  • 13

    Makalah Diskusi | April 2011

    Instabilitas itu terjaga selain karena hegemoni itu sendiri merupakan proses kebudayaan yang mempertautkan (konstruksi dan reinterpretasi) masa lalu dan (fantasi) masa depan, juga karena yang diperebutkan pasar, konservasi tradisi, dan Islam adalah representasi identitas, sesuatu yang di dalam dirinya terkandung kemungkinan berbagai makna. Representasi adalah imaji atau penyajian kembali kenyataan dalam bentuk visual dan verbal yang menyiratkan makna dan ideologi tertentu. Representasi bisa dianggap sebagai medan perang kepentingan atau kekuasaan (Melani Budianta, 2002: 211).

    Para aktor hegemoni berusaha menyajikan kembali pertunjukan gandrung sebagai representasi identitas Using sesuai dengan kepentingan ideologisnya. Perebutan bentuk dan makna teks pertunjukan menegaskan bahwa pertarungan antar aktor hegemoni mengarah pada perebutan makna representasi identitas Using. Rumusan tentang Using yang diajukan sejumlah seniman gandrung dan banyak warga komunitas Using sendiri berbeda dengan Using yang dirumuskan birokrasi dan Dewan Kesenian Blambangan maupun kaum santri.

    Bagi perempuan seni dan seniman gandrung, Using adalah komunitas yang terbuka, tidak dihinggapi kecurigaan stereotipe atas dasar etnis, dan tidak lagi mengengingat masa lalu yang pahit dan heroik, persis pertunjukan gandrung yang diapresiasi oleh berbagai etnis yang berbeda dan tidak melambangkan masa lalu. Orang Using bagi mereka, bukanlah orang Arab (stereotipe yang dialamatkan pada kaum santri) yang selalu menutup muka dan memakai gamis. Tradisi keislaman Using yang sinkretik sangat berbeda dengan tradisi keislaman Arab.

    Berbeda dengan itu, birokrasi dan Dewan Kesenian Blambangan memandang bahwa Using adalah komunitas etnis yang terpisah dari Jawa (mempunyai bahasa dan adat-istiadat sendiri), dipasung dalam kerangka stereotipe dan stigma, tersisih dari percaturan politik dan ekonomi, dan mempunyai pengalaman historis yang membanggakan. Berdasarkan identifikasi semacam itulah kekuatan hegemoni ini merumuskan, seperti disebut dimuka, bahwa Pertunjukan gandrung tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat (Using). Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi dalam kesejarahan masyarakat Using. (Singodimayan, dkk., 2003).

    Sementara bagi kaum santri, Using adalah warga masyarakat yang beragama Islam. Seperti halnya kaum muslim di tempat lain, komunitas Using tidak berbeda dengan kaum muslim lain di pulau Jawa yang konsisten dengan ajaran agama yang melarang perilaku munkar dan menjauhi kemaksiatan. Gandrung sebagai wujud budaya Using, termasuk di dalamnya perempuan seni tradisi menurut kelompok kekuatan ini, haruslah disesuaikan dengan ajaran Islam. Penyesusian itu menjadikan pertunjukan gandrung tidak menyajikan tari erotis dan berpasangan, tidak membuka aurat, dan menyediakan minuman keras.

    Pertarungan antarketiga agen kekuatan terarah pada makna representasi identitas perempuan seni yang berbeda. Masing-masing mempertahankan bahwa makna representasi yang ingin ditegaskan untuk pertunjukan gandrung sebagai identitas Using adalah sesuatu yang sesuai dengan realitas yang mereka pahami. Hal itu menunjukkan sekaligus menegaskan kepada kita

  • 14

    Makalah Diskusi | April 2011

    bahwa representasi lebih merupakan imajinasi yang disajikan dan identitas adalah konstruksi. Oleh karena itu, keduanya adalah wilayah (ruang) pertarungan dan kontestasi antarkekuasaan dimana posisi dominan tidak stabil, terus menerus berubah.

    Dalam konteks semacam itu, perempuan seni sangat bergantung pada kekuatan ekternal di luar dirinya. Selain teks pertunjukan sulit dipastikan, kekuatan dominanlah yang mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menentukannya.

    F. SimpulanDalam pandangan multikulturalisme, ekspresi budaya dalam bentuk apa pun

    harus dapat diterima dengan sikap netral. Pemberian nilai dan makna subjektif terhadap bentuk ekspresi estetik seharusnya ditujukan pada substansinya dan bukan pada efek yang menyertainya, sehingga terbuka sebuah kesadaran akan hak budaya bagi perempuan seni tradisi dalam kehidupannya.

    Kesenian dalam hal ini tidak hanya sekedar media hiburan melainkan sebagai bagian yang sangat penting dari diri seseorang sebagai totalitas diri seorang seniman. Untuk itu, rekonstruksi seyogjanya dapat memberi kesadaran baru bahwa perempuan seni tradisi adalah orang yang secara sosial, budaya, dan agama menjalankan profesi yang sah. Oleh karena itu, mereka berhak mendapatkan perlakuan dan hak-hak yang sama sebagaimana perempuan yang melakukan profesi lain. Dan yang terpenting adalah terbukanya hak-hak budaya sebagai warga masyarakat yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia.

    Disampaikan dalam Diskusi Perempuan dalam Citra Visual dan Pertunjukan di Komunitas Salihara, Kamis 21 April 2011. Makalah ini tidak disunting. Makalah ini milik

    Kalam dan tidak untuk dimuat di mana pun.

    Daftar PustakaAnoegrajekti, Novi. 2001. Kesenian Using: Resistensi Budaya Komunitas

    Pinggir dalam Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru. Jakarta: PMB-LIPI.

    _______. 2003. Identitas dan Siasat Perempuan Gandrung dalam SRINTHIL, Media Perempuan Multikultural, April. No.3.

    Budianta, Melani. 2002. Pendekatan Feminis dalam Wacana dalam Analisis Wacana. Dari Linguistik sampai Dekonstruksi. Aminuddin, dkk., Yogyakarta: Kanal.

    _______. 2005. Perempuan Seni Tradisi dan Subaltern: Pergulatan di Tengah-tengah Lalu lintas Global-Lokal dalam Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi, Edy Hayat dan Miftahus Surur (ed). Depok: Desantara.

    Effendy, Bisri. 1998. Reyog Ponorogo: Kesenian rakyat dan Sentuhan am

  • 15

    Makalah Diskusi | April 2011

    Masyarakat Indonesia. Jilid XXIV, No. 2.

    Effendy, Bisri. Sang Penari dan Siasat Itu dalam SRINTHIL, Media Perempuan Multikultural, No:1, Mei, 2002.

    Guha, Ranajit. 2007. On Some Aspects of the Historiography of Colonial India dalam Mapping Subaltern Studies and the Postcolonial. Vinayak Chaturvedi (ed.). London: Verson.

    Gramsci, Antonio.1971. Selection from the Prison Notebooks. Eds. Q. Hoare and Geofrey N. Smith. London: Lawrence and Wishart.

    Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik kitsch Kontemporer: Sebuah Studi Tentang Seni Pertunjukan Jawa. Yogyakarta: UGM Press.

    Scholte, J. 1927. Gandroeng van Banjoewangie. Djawa, VII.

    Suparlan, Parsudi. 1991. The Javanese Dukun. Jakarta: Peka Publication.

    Suseno, Franz, Magnis. 1985. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.

    Sutton, R. Anderson. 1993. Semang and Seblang: thought on music, dance, and the sacred in Central and East Java. dalam Performance in Java and Bali: Studies of Narrative, Theatre, Music, and Dance. Bernard Arps (ed.).

    London: University of London.

    Spivak, C. Gayatri. 1988. Can Subaltern Speak? dalam Marxism and the Interpretation of Culture, Cary Nelson dan Lawrence Grossberg (ed.). London: Mamillan Education LTD.

    Widodo, Amrih. 1995. The Stages of the State: Art of the People and Rites of Hegemonization dalam Rima. Vol. 29, 1 & 2.

    Tsing, Anna L. 1996. Alien Romance dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia. Laurie J. Sears (ed.). London: DukeUniversity Press.

    Williams, Raymond. 1977. Marxism and Literature. Oxford: Oxford University Press.

    Wolbers, Paul, A. 1992. Maintaning Using Identity Through Musical Performance: Seblang and Gandrung of Banyuwangi, East Java, Indonesia. Urbana: Illinois.

    ______. 1993. The seblang and its music: aspects of an East Javanese fertility rite dalam Bernard Arps (ed.). Performance in Java and Bali: Studies of Narrative, Theatre, Music, and Dance. London: Unversity of London.

    Yampolsky, Philip.1995. Force for Change in the Regional Performing Arts of Indonesia dalam Brijdragen. Dell 151,195.

  • 16

    Makalah Diskusi | April 2011

    NOVI aNOeGRaJekTI, lahir di Malang, Jawa Timur, 10 November 1966. Menamatkan S1 di Fakultas Sastra Universitas Jember, Jurusan Sastra Indonesia, 1989. S2 di Universitas Gadjah Mada, Program Studi Sastra Indonesia dan Jawa, 1994. S3 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Program Studi Ilmu Susastra, 2006. Aktif sebagai Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Jember (UNEJ) sejak 1992. Pada tahun 2002-2007 sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal SRINTHIL, Media Perempuan Multikultural. Sejak tahun 2002 sebagai Dosen Luar Biasa pada Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta, dan tahun 2008 Dosen Luar Biasa pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa. Penulis buku Identitas Gender: Kontestasi Perempuan Seni Tradisi (2010). Editor bersama Sudartomo Macaryus dan Endry Boeriswati, buku Idiosinkrasi: Pendidikan melalui Bahasa dan Sastra (2010).

    Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesiat: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org