perdais_pertanahan - · pdf filediy dan perangkat daerah. 18. gubernur diy, selanjutnya...

23
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, perlu menetapkan Peraturan Daerah Istimewa tentang Pertanahan; Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

Upload: vonhu

Post on 04-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NOMOR TAHUN 2013

TENTANG

PERTANAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan

Daerah Istimewa Yogyakarta, perlu menetapkan Peraturan

Daerah Istimewa tentang Pertanahan;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang

Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana

telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 3 Jo. Nomor 19 Tahun 1950

tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955

Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 827);

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun

1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor

2043);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana

telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5339);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 tentang

Berlakunya Undang-Undang Nomor 2, 3, 10 dan 11

Tahun 1950 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun

1950 Nomor 58);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

dan

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH ISTIMEWA TENTANG PERTANAHAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah Istimewa ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah Istimewa Yogyakarta, yang selanjutnya disingkat DIY, adalah

daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan

urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

2. Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh

DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan

mengurus kewenangan istimewa.

3. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang selanjutnya disebut

Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara

turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem

Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing

Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya

disebut Sultan Hamengku Buwono.

4. Kadipaten Pakualaman, yang selanjutnya disebut Kadipaten, adalah

warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan

dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam,

selanjutnya disebut Adipati Paku Alam.

5. Tanah Kasultanan (Sultan Grond) adalah tanah-tanah yang sejak semula

dimiliki dan di bawah pengelolaan Kasultanan meliputi tanah keprabon

dan tanah bukan keprabon.

6. Tanah Kadipaten (Pakualaman Grond) adalah tanah-tanah yang sejak

semula dimiliki dan di bawah pengelolaan Kadipaten meliputi tanah

keprabon dan tanah bukan keprabon.

7. Penyelenggaraan Keistimewaan bidang pertanahan yang selanjutnya

disebut Penyelenggaraan Keistimewaan pertanahan adalah

penyelenggaraan kewenangan urusan Keistimewaan bidang pertanahan.

8. Magersari adalah hak yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten

kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan

Keprabon terhadap tanah-tanah milik Kasultanan dan Kadipaten yang

belum dimanfaatkan.

9. Ngindung adalah hak yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten

kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan

Keprabon terhadap tanah-tanah milik Kasultanan dan Kadipaten yang

sudah dimanfaatkan

10. Anganggo adalah hak yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten

kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan

Keprabon.

11. Anggaduh adalah hak yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten

kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan

Keprabon terhadap tanah-tanah milik Kasultanan dan Kadipaten untuk

subyek dan jangka waktu tertentu.

12. Palilah adalah ijin yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten

kepada warga masyarakat atau lembaga tertentu untuk menggunakan

atau mengalihkan tanah Kasultanan atau tanah Kadipaten.

13. Kekancingan adalah surat keputusan pemberian hak atas tanah kepada

masyarakat atau lembaga tertentu.

14. Liyer Mingser adalah peralihan hak atas tanah karena suatu perbuatan

hukum tertentu.

15. Lintiran adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi karena hukum.

16. Pemerintahan Daerah DIY adalah pemerintahan daerah dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan dan urusan keistimewaan yang dilaksanakan oleh

Pemerintah Daerah DIY dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY.

17. Pemerintah Daerah DIY, yang selanjutnya disebut Pemerintah Daerah

adalah unsur penyelenggara pemerintahan yang terdiri atas Gubernur

DIY dan perangkat daerah.

18. Gubernur DIY, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah DIY

yang karena jabatannya juga berkedudukan sebagai wakil Pemerintah.

19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, yang selanjutnya disingkat DPRD,

adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara

Pemerintahan Daerah DIY.

20. Sekretaris Daerah DIY adalah Sekretaris Daerah DIY.

21. Satuan Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut SKPD, adalah

Satuan Kerja Pemerintah Daerah DIY.

22. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten Sleman,

Pemerintah Kabupaten Bantul, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo,

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan Pemerintah Kota

Yogyakarta.

23. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul

dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem

Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

24. Lembaga Pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang pertanahan.

Pasal 2

Asas penyelenggaraan Pertanahan meliputi:

a. kearifan lokal;

b. keberpihakan pada rakyat; dan

c. diskriminasi positif.

Pasal 3

Penyelenggaraan Pertanahan ditujukan untuk:

a. kepentingan kebudayaan;

b. kepentingan sosial; dan/atau

c. kesejahteraan masyarakat.

Pasal 4

Ruang lingkup penyelenggaraan pertanahan, meliputi:

a. tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten;

b. pendaftaran tanah tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten;

c. pengelolaan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten;

d. pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten; dan

e. pembebanan hak atas tanah.

BAB II

TANAH KASULTANAN DAN TANAH KADIPATEN

Pasal 5

Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten terdiri dari:

a. tanah keprabon; dan

b. tanah bukan keprabon.

Pasal 6

(1) Tanah Keprabon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a

merupakan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang dimanfaatkan

untuk upacara adat dan kelengkapannya.

(2) Tanah Keprabon yang merupakan tanah Kasultanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Kraton;

b. Alun-alun utara

c. Alun-alun selatan;

d. Masjid Gedhe;

e. Pasar Beringharjo;

f. Labuhan Parangkusumo; dan

g. Labuhan Gunung Merapi.

(3) Tanah Keprabon yang merupakan tanah Pakualaman sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Pura Pakualaman;

b. Masjid Besar Pakualaman;

c. Alun-alun Sewandanan;

d. Kepatihan Pakualaman;

e. Pasar Sentul;

f. Labuhan Glagah Kulon Progo; dan

g. Pesanggrahan Glagah.

Pasal 7

Pemanfaatan Tanah Keprabon sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 hanya

untuk kepentingan upacara di Kasultanan dan Kadipaten

Pasal 8

Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang berupa tanah bukan Keprabon

merupakan tanah yang digunakan masyarakat atau lembaga dengan hak

dan/atau tanah tanpa alas hak, hutan dan wedi kengser.

Pasal 9

Dalam penyelenggaraan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,

Pemerintah Daerah berwenang:

a. membentuk lembaga pelaksana pengelolaan dan pemanfaatan tanah

Kasultanan dan tanah Kabupaten;

b. menetapkan penataan tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten; dan

c. melakukan penataan regulasi tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.

BAB III

PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH

Pasal 10

(1) Penyelenggaraan Keistimewaan pertanahan terhadap tanah Kasultanan

dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono yang bertahta dan

terhadap tanah Kadipaten dilaksanakan oleh Adipati Paku Alam yang

bertahta.

(2) Kasultanan dan Kadipaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai

badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas

tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.

Pasal 11

Subjek hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk

pendaftaran hak atas tanah Kasultanan dan hak atas tanah Kadipaten pada

lembaga pertanahan.

Pasal 12

(1) Pendaftaran hak atas tanah Kasultanan dilakukan oleh Sultan

Hamengku Buwono dengan membentuk tim ajudikasi.

(2) Susunan tim ajudikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:

a. Ketua tim, merangkap anggota yang dijabat dari unsur Kasultanan;

b. anggota yang terdiri dari:

1. unsur Pemerintah Daerah;

2. unsur kantor pertanahan dilokasi tanah Kasultanan berada;

3. unsur Pemerintah Kabupaten/Kota dilokasi tanah Kasultanan

berada;

4. Kepala Desa/Kelurahan dilokasi tanah Kasultanan berada;

5. masyarakat yang mengetahui data fisik dan/atau data yuridis

bidang-bidang tanah Kasultanan dilokasi tanah Kasultanan

berada.

Pasal 13

(1) Pendaftaran hak atas tanah Kadipaten dilakukan oleh Adipati Paku Alam

dengan membentuk tim ajudikasi.

(2) Susunan tim ajudikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:

a. Ketua tim, merangkap anggota yang dijabat dari unsur Kadipaten;

b. anggota yang terdiri dari:

1. unsur Pemerintah Daerah;

2. unsur kantor pertanahan dilokasi tanah Kadipaten berada;

3. unsur Pemerintah Kabupaten/Kota dilokasi tanah Kadipaten

berada;

4. Kepala Desa/Kelurahan dilokasi tanah Kadipaten berada;

5. masyarakat yang mengetahui data fisik dan/atau data yuridis

bidang-bidang tanah Kadipaten dilokasi tanah Kadipaten berada.

Pasal 14

Tugas dan wewenang tim ajudikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12

dan Pasal 13, sebagai berikut:

a. menyiapkan rencana kerja ajudikasi secara terinci;

b. mengumpulkan data fisik dan dokumen asli data yuridis semua bidang

tanah Kasultanan/tanah kadipaten yang ada di wilayah yang

bersangkutan serta memberikan tanda penerimaan dokumen kepada

pemegang hak atau kuasanya;

c. menyelidiki riwayat tanah Kasultanan/tanah Kadipaten dan menilai

kebenaran alat bukti pemilikan atau penguasaan tanah

Kasultanan/tanah Kadipaten;

d. mengumumkan data fisik dan data yuridis yang sudah dikumpulkan;

e. membantu menyelesaikan ketidaksepakatan atau sengketa antara pihak-

pihak yang bersangkutan mengenai data yang diumumkan;

f. mengesahkan hasil pengumuman sebagaimana dimaksud pada huruf d

yang akan digunakan sebagai dasar pembukuan tanah

Kasultanan/tanah Kadipaten;

g. menyampaikan laporan secara periodik dan menyerahkan hasil kegiatan

tim ajudikasi kepada Sultan Hamengku Buwono untuk tanah Kasultanan

dan kepada Adipati Paku Alam untuk tanah Kadipaten;

h. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan secara khusus dari Sultan

Hamengku Buwono untuk tanah Kasultanan dan dari Adipati Paku Alam

untuk tanah Kadipaten, yang berhubungan dengan pendaftaran tanah

Kasultanan/tanah Kadipaten secara sistematik.

Pasal 15

(1) Pengumuman peta lokasi sebagai hasil pengumpulan data fisik dan data

yuridis dan pemanfaatan yang diberikan kepada subyek pemanfaat atas

tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten kepada masyarakat.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan

melalui:

a. secara langsung; dan/atau

b. secara tidak langsung.

(3) Pengumuman secara langsung, melalui:

a. papan pengumuman resmi Pemerintah Daerah;

b. papan pengumuman resmi Pemerintah Kabupaten/Kota; atau

c. papan pengumuman resmi Pemerintah Desa;

(4) Pengumuman secara tidak langsung, melalui:

a. media massa; atau

b. laman resmi Pemerintahan Daerah DIY.

Pasal 16

Pengumuman peta lokasi dan pemanfaatan yang diberikan kepada subyek

pemanfaat atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) untuk membuka kesempatan kepada

masyarakat memberikan masukan sebagai dasar melakukan penyesuaian

dan penyempurnaan terhadap peta lokasi dan pemanfaatan yang diberikan

kepada subyek pemanfaat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran tanah Kasultanan/tanah

Kadipaten diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB IV

PENGELOLAAN PERTANAHAN

Pasal 18

Pengelolaan Pertanahan dilakukan dalam rangka untuk melakukan

perencanaan, pengarahan, pelaksanaan, dan evaluasi terkait dengan

pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.

Pasal 19

(1) Sultan Hamengku Buwono dalam melaksanakan pengelolaan tanah

Kasultanan dilakukan oleh Kawedanan Hageng Punokawan Wahono

Sarta Kriya.

(2) Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Penghageng Kawedanan Hageng

Punokawan Wahana Sarta Kriya.

Pasal 20

(1) Adipati Paku Alam dalam melaksanakan pengelolaan tanah Kadipaten

dilakukan oleh Kawedanan Kaprajan.

(2) Kawedanan Kaprajan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh

Penghageng Kawedanan Kaprajan.

Pasal 21

Tugas dan wewenang Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dalam melaksanakan pengelolaan

tanah Kasultanan dan Kawedanan Kaprajan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20 dalam melaksanakan pengelolaan tanah Kadipaten, meliputi:

a. penatausahaan tanah;

b. pemeliharaan;

c. pelestarian;

d. pelepasan; dan

e. pengamanan.

Pasal 22

Pengelolaan Pertanahan yang berupa tanah Keprabon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, meliputi:

a. penatausahaan pemanfaatan;

b. pemeliharaan; dan

c. pengamanan.

Pasal 23

Pengelolaan Pertanahan yang berupa tanah bukan Keprabon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, meliputi:

a. penatausahaan pemanfaatan;

b. pemeliharaan; dan

c. pengamanan,

yang pengelolaannya dapat dibantu oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah

Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, dan/atau masyarakat.

Pasal 24

Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau Kawedanan

Kaprajan dalam melaksanakan tugas dan wewenang pengelolaan tanah

Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten berkoordinasi dengan Pemerintah

Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau instansi vertikal di Daerah.

BAB V

PEMANFAATAN TANAH KASULTANAN DAN TANAH KADIPATEN

Pasal 25

(1) Pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan penatausahaan pemanfaatan.

(2) Penatausahaan pemanfaatan tanah keprabon dilaksanakan oleh

Kasultanan atau Kadipaten.

(3) Penatausahaan pemanfaatan tanah bukan keprabon untuk kegunaan

secara umum dan kegunaan secara khusus.

Pasal 26

(1) Kegunaan secara umum penatausahaan pemanfaatan tanah Kasultanan

dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3),

yakni untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan

hukum terhadap pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten

bagi subyek pemanfaat.

(2) Kegunaan secara khusus penatausahaan pemanfaatan tanah

Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal

25 ayat (3), yakni untuk memberikan jaminan pemanfaatan tanah

Kasultanan dan tanah Kadipaten bagi kepentingan pengembangan

kebudayaan, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.

Pasal 27

Pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten diberikan izin

pemanfaatan berupa hak pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah

Kadipaten, yang dituangkan dalam bentuk Serat Kekancingan.

Pasal 28

Hak pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27, terdiri dari:

a. hak guna bangunan;

b. hak pakai;

c. magersari;

d. ngindung;

e. anganggo; dan

f. anggaduh.

Pasal 29

Hak pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 28, diberikan kepada subjek pemanfaat atas tanah

Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten pada tanah bukan Keprabon.

Pasal 30

Subjek pemanfaat tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang berupa

tanah bukan Keprabon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, terdiri dari:

a. para Pangeran dalam jabatannya sebagai pemegang kekuasaan ke-

pangeranan;

b. desa sebagai lembaga yang mengelola tanah Kasultanan atau Kadipaten;

c. lembaga pemerintah tertentu yang sudah menguasai dan memanfaatkan

tanah bukan Keprabon; dan

d. warga masyarakat yang memanfaatkan bagian dari tanah bukan

Keprabon untuk tempat tinggal atau tempat usaha.

Pasal 31

(1) Para Pangeran dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan ke-

pangeranan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a sebagai

subjek pemanfaat yang diberikan hak atas tanah selama yang

bersangkutan berkedudukan sebagai Pangeran.

(2) Dalam hal Pangeran sebagai subjek pemanfaat sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meninggal dunia atau karena sesuatu sebab tidak lagi

berkedudukan sebagai Pangeran, maka tanah jabatan kepangeranan

kembali ke Kasultanan atau Kadipaten.

(3) Tanah jabatan kepangeranan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

dapat diwariskan kepada para ahli waris dari Pangeran sebagai subjek

pemanfaat yang telah meninggal dunia.

Pasal 32

(1) Desa sebagai lembaga yang mengelola tanah Kasultanan atau Kadipaten

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b yakni sebagai subyek

pemanfaat yang diberikan hak atas tanah baik yang telah menjadi

kekayaan desa dan/atau belum menjadi kekayaan desa.

(2) Hak atas tanah yang telah menjadi kekayaan desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Gubernur berwenang untuk memberikan izin

dan/atau tidak memberikan izin terhadap pemanfaatan tanah desa.

(3) Hak atas tanah yang belum menjadi kekayaan desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), menjadi milik Kasultanan dan/atau Kadipaten.

(4) Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1) tanah yang diperoleh dari

pihak ketiga dan/atau usaha Desa, tetap merupakan kekayaan Desa.

Pasal 33

Lembaga pemerintah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf

c yang sudah menguasai dan memanfaatkan tanah bukan Keprabon sebagai

subjek pemanfaat masih dapat menggunakan tanah bukan Keprabon untuk

mendukung tugas pokok dan fungsi dari lembaga pemerintah yang

bersangkutan.

Pasal 34

Warga masyarakat pemanfaat tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten

yang berupa tanah bukan Keprabon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30

huruf d, terdiri dari:

a. perseorangan dengan memberikan prioritas kepada kelompok masyarakat

yang lemah secara sosial ekonomi;

b. badan usaha yang berbadan hukum; dan/atau

c. organisasi sosial, organisasi kebudayaan dan organisasi keagamaan.

Pasal 35

(1) Subjek pemanfaat tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a,

huruf b, dan huruf c diberikan hak atas tanah oleh Penghageng

Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau

Penghageng Kawedanan Kaprajan, yang meliputi:

a. magersari;

b. ngindung;

c. anganggo; dan/atau

d. anggaduh.

(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditingkatkan

statusnya menjadi:

a. hak pakai; dan/atau

b. hak guna bangunan,

setelah mendapatkan izin dari Kasultan dan/atau Kadipaten.

(3) Izin dari Kasultanan dan/atau Kadipaten sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), diberikan dalam bentuk surat Palilah.

(4) Pengakuan hak atas tanah yang telah ditingkatkan statusnya

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberi penandaan atau

catatan berupa “berada di atas tanah Kasultanan atau tanah

Kadipaten”.

(5) Subyek pemanfaat tanah wajib memenuhi kewajiban-kewajiban yang

timbul berkaitan dengan pemanfaatan tanah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan peningkatan status hak sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.

Pasal 36

Peralihan hak atas tanah yang berasal dari tanah Kasultanan dan tanah

Kadipaten diprioritaskan pada Kasultanan dan Kadipaten dan/atau

Pemerintah Daerah.

Pasal 37

Hak atas tanah yang ditingkatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

35 ayat (2) dapat diberikan dengan ketentuan letak lokasi tanah dan

peruntukannya tidak bertentangan dengan rencana tata ruang.

BAB VI

PEMBEBANAN HAK ATAS TANAH

Pasal 38

Hak tanggungan tidak dapat diletakkan di atas hak pemanfaatan tanah

Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27.

Pasal 39

Benda-benda yang berada diatas tanah Kasultanan dan/atau tanah

Kadipaten, yang menjadi milik subjek pemanfaat hak atas tanah Kasultanan

dan/atau tanah Kadipaten dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia.

BAB VII

PENGAWASAN

Pasal 40

Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau Kawedanan

Kaprajan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan tanah Kasultanan

dan/atau tanah Kadipaten sesuai dengan tugas dan wewenang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 21.

Pasal 41

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, meliputi kegiatan;

a. pemantauan; dan

b. penertiban.

(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan

melibatkan peran dari:

a. Pemerintah Daerah;

b. Pemerintah Kabupaten/Kota dilokasi tanah Kasultanan dan/atau

tanah Kadipaten berada;

c. Kepala Desa/Kelurahan dilokasi tanah Kasultanan dan/atau tanah

Kadipaten berada; dan

d. masyarakat dilokasi tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten

berada.

(3) Penertiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan

melibatkan peran dari:

a. Pemerintah Daerah;

b. Pemerintah Kabupaten/Kota dilokasi tanah Kasultanan dan/atau

tanah Kadipaten berada; dan

c. Kepala Desa/Kelurahan dilokasi tanah Kasultanan dan/atau tanah

Kadipaten berada.

(4) Peran Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a

dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) huruf b dan/atau Kepala Desa/Kelurahan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf c dalam rangka pemantauan, dilakukan dengan

koordinasi.

(5) Peran Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a

dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) huruf b dalam rangka penertiban, dilakukan dengan kerjasama.

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan tanah Kasultanan dan tanah

Kadipaten diatur dalam Peraturan Gubernur.

BAB VIII

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 43

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis

kepada Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau

Kawedanan Kaprajan dalam rangka melaksanakan pendaftaran,

pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan tanah Kasultanan dan/atau

tanah Kadipaten.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk pendaftaran, pengelolaan,

pemanfaatan dan pengawasan tanah Kasultanan dan/atau tanah

Kadipaten yang berupa tanah bukan Keprabon.

BAB IX

LARANGAN

Pasal 44

(1) Setiap orang dilarang untuk :

a. memanfaatkan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten tanpa izin

dari Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau

Kawedanan Kaprajan;

b. melakukan kegiatan yang mengganggu atau mengubah fungsi

peruntukan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten;dan

c. merusak pelestarian dan/atau pengamanan tanah Kasultanan

dan/atau tanah Kadipaten;

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjaga

keberadaan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten.

(3) Setiap orang yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a sampai huruf c dikenakan teguran atau peringatan

secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut.

(4) Teguran atau peringatan secara tertulis dikeluarkan oleh Penghageng

Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau

Penghageng Kawedanan Kaprajan.

(5) Apabila teguran atau peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

tidak ditaati maka dikenakan sanksi pidana.

BAB X

TATACARA PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 45

(1) Dalam hal terjadi perselisihan antara subyek pemanfaat dalam

pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten, yang terjadi

karena Liyer Mingser dan/atau Lintiran, maka terlebih dahulu

diselesaikan dalam Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya

dan/atau Kawedanan Kaprajan dengan cara musyawarah mufakat.

(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih

mengutamakan upaya perdamaian, pembinaan dan pemulihan

kerusakan dan/atau ganti kerugian.

(3) Pembinaan, pemulihan kerusakan dan ganti kerugian sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan kepada subyek pemanfaat yang

terbukti melanggar yang berdasar kepada Liyer Mingser dan/atau Lintiran

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa melalui proses pengadilan.

(4) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana diatur dalam

ketentuan ini tidak dapat dicapai, maka diselesaikan berdasarkan

ketentuan hukum yang berlaku.

BAB XI

PENYIDIKAN

Pasal 46

Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, penyidikan atas

pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang

untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan

dalam Peraturan Daerah Istimewa ini.

BAB XII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 47

Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

44 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan

atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 48

Pada saat Peraturan Daerah Istimewa ini mulai berlaku:

a. subyek pemanfaat tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang

telah memiliki hak atas pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah

Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) yang telah ada

sebelum berlakunya Peraturan Daerah Istimewa ini, tetap berlaku dan

secara bertahap harus menyesuaikan dengan Peraturan Daerah Istimewa

ini.

b. terhadap tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang sudah

ditingkatkan namun belum diberi penandaan atau catatan “berada di

atas tanah Kasultanan atau tanah Kadipaten” wajib dilakukan

penyesuaian oleh Pemerintah Daerah bersama Kasultanan dan/atau

Kadipaten secara bertahap sejak berlakunya Peraturan Daerah Istimewa

ini.

Pasal 49

Tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang berupa tanah bukan

Keprabon, yang secara nyata dikuasai dan dimanfaatkan oleh perorangan

dan/atau lembaga paling singkat 20 (dua puluh) tahun, diberikan kepastian

hukum dengan ketentuan bagi yang belum atau tidak memiliki hak atas

pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten prioritas

diberikan hak atas pemanfaatan Tanah Kasultanan dan/atau tanah

Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1).

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 50

Peraturan Daerah Istimewa ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan

Daerah Istimewa ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ditetapkan di Yogyakarta

pada tanggal

GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

HAMENGKU BUWONO X

Diundangkan di Yogyakarta

pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

ICHSANURI

LEMBARAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2013

NOMOR

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NOMOR TAHUN 2013

TENTANG

PERTANAHAN

I. UMUM.

Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebelum

amandemen sudah memberikan pengakuan terhadap keberadaan daerah

istimewa. Hal ini dapat dicermati dari amanah Pasal 18 tersebut :

”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk

susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang dengan

memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem

pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang

bersifat istimewa”.

Istilah ”hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”

bukan hanya menunjuk pada daerah yang ”pernah” bersifat istimewa,

namun keistimewaan tersebut masih terus berlangsung sesudah Indonesia

merdeka sampai sekarang. Sesudah Reformasi, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 mengalami amandemen yang semakin

memperkuat keberadaan daerah khusus dan daerah istimewa. Penguatan itu

berupa kewajiban Negara untuk mengakui dan menghormati keberadaannya.

Hal ini dapat dicermati dari amanah Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : ”Negara mengakui

dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus

atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-undang”.

Yogyakarta dengan merujuk pada lingkup wilayah Kasultanan dan Kadipaten

Pakualaman merupakan salah satu daerah yang mengandung sifat istimewa.

Dari sisi asal usulnya, keistimewaan Yogyakarta sudah dibuktikan dalam

sejarah perjalanannya yang tetap istimewa ketika Indonesia merdeka, namun

tidak ingin memisahkan diri menjadi negara tersendiri dan justru

memaklumatkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap keistimewaan

dan komitmen tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1950 tersebut kemudian melalui proses politik yang panjang

dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 menetapkan 5 (lima) urusan yang

menjadi kewenangan keistimewaan DIY. Kelima urusan tersebut yaitu

tatacara pengisian jabatan dan kedudukan serta tugas dan wewenang

Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan pemerintah Daerah DIY,

kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.

Dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012,

salah satu urusan keistimewaan DIY adalah bidang pertanahan. Fakta

sejarah sudah menunjukkan juga bahwa bidang pertanahan merupakan

bagian keistimewaan dan kewenangan otonom yang sudah berlangsung

sebelum dan setelah Indonesia merdeka.

Bahkan ketika berlaku Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai

hukum agraria nasional, bidang pertanahan masih dikecualikan dengan

tetap diberi kekhususan.

Pada Tahun 1984, Sultan berkomitmen untuk memberlakukan Undang-

Undang Pokok Agraria sepenuhnya terhadap urusan bidang pertanahan.

Keperaturan Pemerintahres Nomor 33/1984 jo. Keputusan Menteri Dalam

Negeri Nomor 66/1984,Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 67/1984,

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 68 /1984 dan Keputusan Menteri

Dalam Negeri Nomor 69/1984 berlaku terhadap hak atas tanah sebagaimana

diatur dalam Perda Nomor 5/1954. Untuk tanah-tanah Kasultanan dan

Kadipaten masih belum diatur karena masih ada syarat yaitu harus

dilakukan identifikasi keberadaannya. Sampai sekarang, syarat yang

ditentukan dalam Peraturan Pemerintah belum dilaksanakan sehingga

pengaturan tanah Kasultanan dan Kadipaten masih tunduk pada Rijksblad .

Dengan penetapan urusan pertanahan sebagai salah satu bidang

Keistimewaan dan sesuai dengan amanah Pasal 7 ayat (4) dan Pasal 35

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, pengaturan pengelolaan dan

pemanfaatan tanah Kasultanan dan Kadipaten harus dijabarkan dalam

Peraturan Daerah Istimewa (Perdais).

II. PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1

Cukup Jelas.

Pasal 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas pendayagunaan kearifan lokal”

adalah menjaga integritas Indonesia sebagai suatu kesatuan

sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan,

serta pengakuan dan peneguhan peran Kasultanan dan

Kadipaten tidak dilihat sebagai upaya pengembalian nilai-nilai

dan praktik feodalisme, melainkan sebagai upaya menghormati,

menjaga, dan mendayagunakan kearifan lokal yang telah

mengakar dalam kehidupan sosial dan politik di Yogyakarta

dalam konteks kekinian dan masa depan.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas keberpihakan pada rakyat” adalah

asas yang mengutamakan kepentingan rakyat dalam semua

pengambilan keputusan di DIY.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas diskriminasi positif” adalah

pembatasan yang langsung atau tidak langsung berdasarkan

pada pembedaan status sosial, status ekonomi, yang berakibat

pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan,

pelaksanaan atau penggunaan hak dan kebebasan dasar dalam

kehidupan baik individual maupun kolektif untuk menjamin

persamaan hak.

Pasal 3

Cukup Jelas.

Pasal 4

Cukup Jelas.

Pasal 5

Cukup Jelas.

Pasal 6

Cukup Jelas.

Pasal 7

Yang dimaksud dengan “Pemanfaatan” adalah penggunaan tanah yang

diperlukan dalam rangka menunjang fungsi pelaksanaan upacara.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan “Wedi Kengser” adalah tanah sepanjang

bantaran sungai yang status kepemilikannya belum jelas.

Pasal 9

Cukup Jelas.

Pasal 10

Cukup Jelas.

Pasal 11

Cukup Jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”Tim Ajudikasi” adalah Tim yang

menangani proses pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi

pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data

yuridis mengenai 1 (satu) atau beberapa objek pendaftaran tanah

untuk keperluan pendaftarannya.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 13

Cukup Jelas.

Pasal 14

Cukup Jelas.

Pasal 15

Cukup Jelas.

Pasal 16

Cukup Jelas.

Pasal 17

Cukup Jelas.

Pasal 18

Cukup Jelas.

Pasal 19

Cukup Jelas.

Pasal 20

Cukup Jelas.

Pasal 21

Cukup Jelas.

Pasal 22

Cukup Jelas.

Pasal 23

Cukup Jelas.

Pasal 24

Cukup Jelas.

Pasal 25

Cukup Jelas.

Pasal 26

Cukup Jelas.

Pasal 27

Cukup Jelas.

Pasal 28

Cukup Jelas.

Pasal 29

Cukup Jelas.

Pasal 30

Cukup Jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup Jelas.

Pasal 33

Cukup Jelas

Pasal 34

Cukup Jelas.

Pasal 35

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Kewajiban yang timbul berkaitan dengan pemanfaatan tanah

antara lain Pajak Bumi dan Bangunan.

Ayat (6)

Cukup Jelas.

Pasal 36

Cukup Jelas.

Pasal 37

Cukup Jelas.

Pasal 38

Cukup Jelas.

Pasal 39

Cukup Jelas.

Pasal 40

Cukup Jelas.

Pasal 41

Cukup Jelas.

Pasal 42

Cukup Jelas.

Pasal 43

Cukup Jelas.

Pasal 44

Cukup Jelas.

Pasal 45

Cukup Jelas.

Pasal 46

Cukup Jelas.

Pasal 47

Cukup Jelas.

Pasal 48

Cukup Jelas.

Pasal 49

Cukup Jelas.

Pasal 50

Cukup Jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NOMOR