percobaan tindak pidana penadahan dalam pasal 480 jo pasal 53 kuhp … · 2020. 11. 2. ·...

79
PERCOBAAN TINDAK PIDANA PENADAHAN DALAM PASAL 480 JO PASAL 53 KUHP DITINJAU MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM SKRIPSI Diajukan Oleh: AFNAN WILDANA NIM. 150104045 Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Pidana Islam FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM-BANDA ACEH 2020 M/1442 H

Upload: others

Post on 01-Feb-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PERCOBAAN TINDAK PIDANA PENADAHAN DALAM PASAL 480 JO

    PASAL 53 KUHP DITINJAU MENURUT PERSPEKTIF

    HUKUM PIDANA ISLAM

    SKRIPSI

    Diajukan Oleh:

    AFNAN WILDANA

    NIM. 150104045

    Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum

    Prodi Hukum Pidana Islam

    FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

    DARUSSALAM-BANDA ACEH

    2020 M/1442 H

  • ii

    AFNAN WILDANA

    NIM. 150104045

    Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum

    Prodi Hukum Pidana Islam

  • iii

  • iv

    Afnan Wildana

  • v

    ABSTRAK

    Nama : Afnan Wildana

    NIM : 150104045

    Fakultas/Prodi : Syariah dan Hukum/Hukum Pidana Islam

    Judul : Percobaan Tindak Pidana Penadahan Dalam Pasal 480 Jo

    pasal 53 KUHP ditinjau Menurut Perspektif Hukum

    Pidana Islam

    Tanggal Sidang : 31 Agustus 2020

    Tebal Skripsi : 68

    Pembimbing I : Prof. Dr. H. MukhsinNyak Umar, M.A

    Pembimbing II : Dr. Badrul Munir, Lc, M.A

    Kata Kunci : Tindak Pidana, Percobaan, Penadahan

    Percobaan penadahan merupakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang

    dengan membeli, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk

    menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan,

    mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda. Percobaan

    penadahan merupakan tindakan menadah suatu barang hasil kejahatan seperti

    pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan dan rampasan yang dimana

    pelaku penadahan tidak dapat menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan

    karena ada faktor dari luar keinginan pelaku atau faktor eksternal. Tindak pidana

    percobaan penadahan merupakan suatu kenyataan sosial masalah kriminalitas,

    tetapi masyarakat menganggap bahwa melakukan tindak pidana percobaan

    penadahan bukan merupakan suatu tindak pidana. Dengan adanya percobaan

    penadahan barang curian ini maka tindak pidana terhadap harta benda dapat

    meningkat dan berkembang. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah

    bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap ancaman hukuman bagi

    pelaku percobaan penadahan dalam Pasal 480 Jo Pasal 53 KUHP? dan

    bagaimana ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana percobaan penadahan

    dalam hukum pidana Islam? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, jenis

    penelitian library research (studi pustaka) dengan pendekatan penelitian yuridis

    normatif (hukum normatif). Hasil penelitian adalah tindak pidana percobaan

    penadahan merupakan tindak pidana yang belum selesai dan tidak boleh

    disamakan dengan tindak pidana yang sudah selesai, karena perbedaan antara

    melakukan percobaan penadahan dengan tindak pidana penadahan itu sendiri

    masih jauh. Ancaman hukuman bagi pelaku percobaan penadahan dalam Pasal

    480 Jo Pasal 53 KUHP ditinjau menurut hukum pidana Islam adalah dijatuhi

    hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir merupakan suatu hukuman yang tidak atau

    belum diketahui secara khusus dalil dan nashnya sehingga diserahkan kepada

    penguasa untuk menetapkan hukuman. Dalam hukum pidana Islam kejahatan

    yang dihukum dengan jarimah hudud dan qishah diyat yang tidak memenuhi

    syarat maka hukumannya dialihkan pada hukuman ta’zir.

  • vi

    KATA PENGANTAR

    ِبْسِم الّلِه الرَّْحَمِن الرَِّحيْ

    Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

    Tuhan semesta alam yang telah memberikan anugerah, kesempatan, rahmat dan

    karunia serta hidayah–Nya, tak lupa pula shalawat dan salam penulis sanjungkan

    kepangkuan junjungan alam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga

    dan sahabat-sahabat baginda.

    Alhamdulillah atas berkat Allah SWT penulis dapat menyusun dan

    menyelesaikan skripsi ini demi melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar

    sarjana pada Progam Studi Hukum Pidana Islam di Fakultas Syariah dan Hukum

    UIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang berjudul “Percobaan Tindak Pidana

    Penadahan Dalam Pasal 480 Jo Pasal 53 KUHP Ditinjau Menurut

    Perspektif Hukum Pidana Islam”

    Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mengalami berbagai kesulitan

    dan hambatan, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terwujud

    kecuali berkat bantuan dari semua pihak, maka dalam kesempatan ini izinkanlah

    penulis ingin mengucapkan syukur dan terima kasih dari hati yang paling dalam

    dan tulus kepada keluarga terutama kedua orang tua saya ayahanda Dr. H.

    Basidin Mizal M.Pd dan ibunda Dra. Hj. Zumidar, yang telah membesarkan

    adinda dengan sangat ikhlas dan selalu mendoakan serta memberi dukungan

    disetiap saat beserta seluruh ahli keluarga yang lainnya yang disayangi. Di atas

    dukungan dari segi moral dan material buat penulis untuk mencapai kejayaan.

    Penulis menyampaikan ucapan terimakasih juga yang sebesar-besarnya

    kepada Bapak Prof. Dr. H. Mukhsin Nyak Umar, M.A selaku pembimbing I

    dan Bapak Dr. Badrul Munir, Lc., M.A selaku pembimbing II yang telah

    meluangkan banyak waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan nasehat

    dengan penuh keikhlasan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini

  • vii

    sampai selesai. Begitu juga kepada Bapak Dr. Kamarruzzaman, M. Sh selaku

    sebagai Penasehat Akademik. Terima kasih pula kepada Bapak Muhammad

    Siddiq, M.H., Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum dan Bapak Dr.

    Faisal, S. TH., MA beserta serta jajaran stafnya dan seluruh dosen yang telah

    mengajar dan membekali ilmu sejak semester pertama hingga sampai selesai

    perkuliahan. Tidak lupa pula dengan sahabat yang telah membantu sampai

    dengan tahap ini Nadia, S.E, kawan-kawan seperjuangan di Fakultas Syariah

    dan Hukum terutama untuk jurusan Hukum Pidana Islam leting 2015 yang

    tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih untuk kerjasama dan

    kebersamaanya.

    Penulis mengucapkan terima kasih kembali kepada semua pihak yang

    sudah ikut memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung

    dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis tidak akan pernah melupakan

    orang-orang yang ada dibelakang.

    Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna, semua itu tiada

    lain karena keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki. Oleh karena itu,

    kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan, untuk perbaikan

    skripsi ini, harapan penulis agar kiranya skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

    Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita memohon jasa baik yang

    disumbangkan oleh semua pihak akan dibalas oleh-Nya.

    Aamin ya rabbal ‘Alamin..

    Banda Aceh, 27 Agustus 2020

    Penulis,

    Afnan Wildana

  • viii

    TRANSLITERASI

    Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158

    Tahun 1987 -Nomor: 0543 b/u/1987 1. Konsonan

    No

    Arab

    Latin

    Ket

    No

    Arab

    Latin

    Ket

    1

    ا

    Tidak dilambang

    kan

    16

    ط

    t dengan titik

    di bawahnya

    2

    ب

    b

    17

    ظ

    ẓ z dengan titik di bawahnya

    ‘ ع t 18 ت 3

    4

    ث

    ṡ s dengan titik

    di atasnya

    19

    غ

    g

    f ف j 20 ج 5

    6

    ح

    ḥ h dengan titik di bawahnya

    21

    ق

    q

    k ك kh 22 خ 7

    l ل d 23 د 8

    9

    ذ

    ż z dengan titik

    di atasnya

    24

    م

    m

    n ن r 25 ر 10

    w و z 26 ز 11

    h ه s 27 س 12

    ’ ء sy 28 ش 13

    14

    ص

    ṣ s dengan titik di bawahnya

    29

    ي

    y

    15

    ض

    d dengan titik di bawahnya

    2. Vokal Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

    vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

    a. Vokal Tunggal

    Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,

    transliterasinya sebagai berikut:

  • ix

    b. Vokal Rangkap

    Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara

    harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:

    Tanda dan Huruf

    Nama

    Gabungan Huruf

    ي َ َ Fatḥah dan

    Ya

    ai

    و َ َ Fatḥah dan

    Wau

    au

    Contoh:

    haula : ه لو kaifa : فيك 3. Maddah

    Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan

    huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

    Harkat dan Huruf

    Nama

    Huruf dan tanda

    /ي َ ا

    Fatḥah dan alif atau ya

    ā

    َ ي Kasrah dan ya ī

    َ ي

    Dammah dan

    Waw

    ū

    Contoh:

    qāla : ق ال ramā: ر مى

    Tanda Nama Huruf Latin

    َ َ Fatḥah a َ Kasrah i

    َ Dammah u

  • x

    qīla : يق ل

    yaqūlu : ي قول

    4. Ta Marbutah (ة)

    Transliterasi untuk ta marbutah ada dua:

    a. Ta marbutah (ة) hidup

    Ta marbutah (ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan

    dammah, transliterasinya adalah t.

    b. Ta marbutah (ة) mati

    Ta marbutah (ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya

    adalah h.

    c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya ta marbutah (ة) diikuti oleh

    kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu

    terpisah maka ta marbutah (ة) itu ditransliterasikan dengan h.

    Contoh:

    rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl : ورةض اافطالل

    al-Madīnah al-Munawwarah/al-MadīnatulMunawwarah : اةنيدمل اونملرة

    ṭalḥah : طحلة

    Catatan:

    Modifikasi

    1 Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa

    transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya

    ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Hamad Ibn Sulaiman.

    2 Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan bahasa Indonesia,

    seperti Mesir, bukan Misr; Beirut, bukan Bayrut; dan sebagainya.

    3 Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus bahasa

    Indonesia tidak ditransliterasikan. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf.

  • xi

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 SK Penetapan Pembimbing Skripsi ......................................... 68

  • xii

    DAFTAR ISI

    LEMBARAN JUDUL .................................................................................. i

    PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................ ii

    PENGESAHAN SIDANG ............................................................................ iii

    PENYERTAAN KEASLIAN KARYA TULIS .......................................... iv

    ABSTRAK ..................................................................................................... v

    KATA PENGANTAR .................................................................................. vi

    PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. viii

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xi

    DAFTAR ISI ................................................................................................. xii

    BAB SATU PENDAHULUAN ................................................................. 1

    A. Latar Belakang .................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................. 7 C. Tujuan Penelitian .............................................................. 7 D. Penjelasan Istilah .............................................................. 8 E. Kajian Pustaka .................................................................. 9 F. MetodePenelitian .............................................................. 12

    1. Jenis Penelitian ............................................................ 13 2. Pendekatan Penelitian ................................................. 13 3. Teknik Pengumpulan Data .......................................... 13 4. Sumber Data ................................................................ 14 5. Analisis Data ............................................................... 15 6. Pedoman Penulisan ..................................................... 15

    G. Sistematika Pembahasan ................................................... 15

    BAB DUA PRESPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKU

    PERCOBAAN ........................................................................ 17

    A. Pengertian Tindak Pidana ................................................. 17 B. Jenis-jenis Tindak Pidana ................................................. 20 C. Gambaran Umum Penadahan Dalam Hukum Islam ................ 29 D. Pengertian Percobaan Tindak Pidana ....................................... 31 E. Syarat Percobaan Tindak Pidana ............................................. 35 F. Fase-Fase Percobaan Jarimah .................................................. 40 G. Sebab Tidak Selesainya Perbuatan Percobaan ......................... 42

  • xiii

    BAB TIGA ANCAMAN HUKUMAN TERHADAP PELAKU

    PERCOBAAN PENADAHAN .......................................... 46

    A. Gamabaran Umum Pasal 480 KUHP Tentang Penadahan ........................................................................ 46

    B. Ancaman Hukuman Delik Percobaan Penadahan ........... 51 C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hukuman Percobaan

    Penadahan ........................................................................ 56

    BAB EMPAT PENUTUP ........................................................................... 62

    A. Kesimpulan ..................................................................... 62 B. Saran ............................................................................... 63

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 64

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... 67

    LAMPIRAN .................................................................................................. 68

  • 1

    BAB SATU

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Negara Indonesia adalah negara yang berkembang yang mana dalam

    kehidupan sosialnya tidak terlepas dari berbagai masalah. Salah satu masalah

    yang timbul ditengah masyarakat tersebut antara lain adalah masalah kriminal.

    Kejahatan yang tidak habis-habisnya dilakukan oleh siapapun yang

    menginginkannya, hal ini didorong oleh berbagai macam faktor, terutama faktor

    dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup, hal ini erat kaitannya dengan

    kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

    Sebagai suatu kenyataan sosial masalah kriminalitas ini tidak dapat

    dihindari dan memang selalu ada. Sehingga wajar bila menimbulkan keresahan

    karena kriminalitas dianggap sebagai gangguan terhadap kesejahteraan

    penduduk daerah serta lingkungannya. Masalah kriminalitas sebagai suatu

    kenyataan sosial tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah sosial

    ekonomi, politik dan budaya sebagai fenomena yang ada dalam masyarakat dan

    saling mempengaruhi satu sama lain.1

    Hukum dibuat untuk ditaati, namun banyak masyarakat tidak mengerti

    fungsi dari hukum tersebut, bahkan banyak masyarakat yang melanggar dan

    bahkan berbuat kejahatan. Di Indonesia hukum yang mengatur tentang hukuman

    bagi pelaku kejahatan diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum

    Pidana) yaitu, peraturan hukum yang mencakup keharusan dan larangan serta

    bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi hukuman terhadapnya.2

    Dalam agama Islam setiap kemaslahatan yang berhubungan dengan kehidupan

    manusia dan hak milik individu manusia di antaranaya berupa harta benda,

    1Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan,( Jakarta: Melton Putra 1983), hlm. 2.

    2 Marwan M. dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hlm.

    269.

  • 2

    sehingga Islam tidak menghalalkan seseorang merampas dan mengambil hak

    milik orang lain dengan alasan apapun. Sebagaimana dijelaskan dalam firman

    Allah SWT sebagai berikut:

    Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta orang lain diantaramu

    dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa (urusan)

    hartamu itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari

    harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian

    mengetahui (Q.S. Al-Baqarah:188)3

    Salah satu prinsip syariat terpenting menjaga harta benda, sehingga

    Islam selalu menjaga harta benda setiap individu. Kasus-kasus pidana yang

    sering terjadi didalam masyarakat adalah tindak pidana terhadap harta kekayaan,

    bentuk kasus ini antara lain pencurian, pemerasan, penggelapan, penipuan,

    merusak, dan penadahan. Istilah tindak pidana penadahan dalam dunia kriminal

    yaitu membeli barang yang ternyata merupakan hasil kejahatan seperti

    pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan dan termasuk pula barang yang

    terjadi karena telah dilakukan suatu kejahatan, seperti mata uang palsu.

    Tindak pidana penadahan menurut Code Penal Prancis, yaitu:

    “sesuai dengan kebanyakan perundang-undangan pidana dari berbagai

    Negara di eropa yang berlaku pada abad ke-18, perbuatan menadah benda-benda

    yang diperoleh karena kejahatan tidak dipandang sebagai suatu kejahatan yang

    berdiri sendiri atau zelfstanding misdrijft, melainkan suatu perbuatan membantu

    kejahatan atau sebagai suatu medeplichtigheid dalam suatu kejahatan, yaitu

    dengan perbuatan mana pelaku dapat memperoleh benda-benda yang diperoleh

    dari kejahatan”.

    3QS. Al-Baqarrah (2): 188.

  • 3

    Bahwa kejahatan terhadap benda akan tampak meningkat di Negara-

    negara yang sedang berkembang. Kenaikan ini sejalan dengan perkembangan

    dan pertumbuhan ekonomi di setiap negara tidak terkecuali negara maju

    sekalipun, pasti akan menghadapi masalah kejahatan yang mengancam dan

    menggangu ketentraman dan kesejahteraan penduduknya. Hal ini menunjukkan

    kejahatan tidak hanya tumbuh subur di negara miskin dan berkembang, tetapi

    juga di negara-negara sudah maju. Masalah pidana yang paling sering terjadi di

    masyarakat adalah tindak pidana terhadap harta kekayaan (tindak pidana

    materiil), seperti pencurian, pemerasan, penggelapan, penipuan, pengrusakan,

    dan penadahan.4

    Tentu dengan adanya penadah memberikan ruang keuntungan dan

    memudahkan pencuri melaksanakan kejahatannya, dikarenakan adanya orang

    yang akan menampung dan membeli hasil dari perbuatannya. Sehingga pelaku

    pencurian lebih merasa mudah untuk menjual barang yang dicurinya

    dikarenakan ada seorang penadah yang berkedok sebagai pedagang atau

    konsumen yang siap membeli barang curiannya.

    Orang yang dijadikan tersangka dalam kasus penadahan seringkali

    berdalih bahwa yang bersangutan tidak mengetahui barang yang diperolehnya

    itu adalah hasil dari kejahatan. Oleh karena itu, maka penyidik harus jeli

    sehingga tidak mudah terpengaruh dengan pengakuan tersangka tersebut.5

    Tetapi apabila penadah atau pembeli berdalih bahwa mereka tidak

    mengetahui itu, merupakan barang curian, seharusnya pembeli sudah menaruh

    curiga dikarenakan barang yang dibeli lebih murah dibandingkan dengan harga

    normal atau harga pasaran dan apabila tetap membeli barang yang disangka

    4 M. Kholil, “Tinjauan Empiris Pasal 480 KUHP tentang Penadahan Menyakhut Hak-

    hak Konsumen dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

    Konsumen,” Jurnal Hukum Bonum Commune, Vol. 1, No 1 [2018]. Diakses melalui

    https.//jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/bonumcommune/article/download/1756/1488, tanggal 2

    Maret 2020. 5Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009),

    hlm. 362

  • 4

    merupakan hasil dari curian maka pembeli dapat disangkakan telah melakukan

    tindak pidana penadahan.

    Tindak pidana penadahan sendiri telah diatur oleh KUHP dalam Buku II

    Bab XXX yang secara keseluruhan ada dalam tiga pasal yaitu pasal 480, 481,

    dan 482 KUHP. Tindak pidana penadahan diatur dalam pasal 480 KUHP

    berbunyi sebagai beriukut:

    Dipidana dengan pidana penjara paling lama empat (4) tahun atau pidana

    denda paling banyak sembilan ratus (900,-) rupiah:

    1. Barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima

    hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan,

    menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau

    menyembunyikan suatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus

    diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.

    2. Barangsiapa menarik keuntungan sesuatu benda, yang diketahui atau

    sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.6

    Unsur penting pasal ini adalah tersangka atau terdakwa harus

    mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu berasal dari

    kejahatan. Disini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari

    kejahatan apa ( pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu, atau

    lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka ( mengira,

    menduga, mencurigai ) bahwa barang itu bukan “barang terang”/ilegal. Untuk

    memenuhi unsur ini memang agak sulit, akan tetapi dalam praktek biasanya

    dapat dilihat dari keadaan atau cara diperolehnya barang itu, misalnya dibeli

    dengan harga di bawah harga normal pasaran atau dibawah kewajaran, dibeli

    pada waktu malam atau secara sembunyi-sembunyi yang menurut ukuran di

    6 Soerodibroto Sunarto, KUHP dan KUHAP,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

    2007), hlm. 2.

  • 5

    tempat itu memang mencurigakan. Barang asal dari kejahatan misalnya berasal

    dari pencurian, penggelapan, penipian, pemalsuan uang, dan lain-lain.7

    Selain itu, apabila seseorang ingin membeli barang hasil dari curian

    tersebut tetapi ketika akan melakukan transaksi tertangkap oleh penyedik

    keadaan ini disebut sebagai tindak pidana percobaan penadahan yang sudah

    diatur dalam kitab Undang-undang hukum pidana. Dimana terhentinya tindak

    pidana kejahatan dikarenakan bukan karena kehendak sediri.

    Kata percobaan atau (poging) berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan,

    yang pada hakikatnya tidak atau belum dapat tercapai. Dalam hukum pidana

    percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau

    aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya apabila dalam hukum pidana

    dibicarakan hal percobaan, berarti tujuan yang dikejar tidak tercapai. Unsur

    belum tercapai tidak ada.8

    Pogging sendiri di tentukan dalam Bab IV Pasal 53 KUHP yaitu9 :

    1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata

    dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan

    itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

    2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan di

    kurangi sepertiga.

    3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

    hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

    4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

    Dalam pasal 45 kitab undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan

    tentang pengertian percobaan. Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu

    7

    Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

    Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 314. 8

    Wijono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia,( Bandung:

    PT.Eresco,1989), hal. 97 9 Moeljatno, KUHP,(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hlm, 24.

  • 6

    perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau jinhah), tetapi perbuatan

    tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut

    pautnya dengan kehendak pelaku.10

    Jarimah atau tindak pidana percobaan dalam hukum Islam tidak banyak

    di bicarakan oleh para ulama karena perbuatan ini termasuk ke dalam jarimah

    ta’zir yang banyak berubah ruang dan waktu.Walupun demikian, masalah

    melakukan jarimah ini disinggung oleh mereka secara umum, seperti ketika

    mereka membicarakan tentang fase-fase pelaksanaan jarimah. Seseorang yang

    melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui tiga fase, yaitu fase pemikiran

    atau adanya niat, fase persiapan, dan fase pelaksanaan.11

    Islam hanya membagi kejahatan kepada:

    1. Hudud, pencurian, perzinaan, tuduhan berbuat zina, khamar, memerangi

    Allah dan Rasul.

    2. Qisas/diat

    3. Ta’zir yaitu bermacam-macam pidana berkaitan dengan ketentraman

    umum yang dikelompokkan sebagai perbuatan maksiat.

    Percobaan pelanggaran termasuk juga perbuatan yang tergolong maksiat.

    Dalam Islam pada prinsipnya bahwa niat/perencanaan tanpa pelaksanaan

    perbuatan jahat tidak diancam dengan dosa apalagi dengan hukuman.

    Sedangkan niat/perencanaan kebaikan adalah pahala. Mengenai persiapan untuk

    melakukan jarimah tetap diukur apakah perbutan itu termasuk maksiat atau

    tidak. Jika perbuatan itu termasuk maksiat maka hukumannya adalah ta’zir.

    Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas,

    melainkan dengan hukuman ta’zir. Di mana ketentuan sanksinya diserahkan

    kepada penguasa negara atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman

    10

    Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: fiqih jinayah,

    (Jakarta: Sinar Grafika 2004),hlm. 60. 11

    Djazuli A, Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Islam: fiqih jinayah,(Jakarta : Raja

    Grafindo Persada,1996), hlm. 21.

  • 7

    jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau yang dilarang

    oleh penguasa negara tersebut, diserahkan kepada mereka agar bisa disesuaikan

    dengan kebutuhan masyarakat.

    Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa tindak pidana penadahan

    merupakan suatu kejahatan yang membantu pencuri untuk melakukan

    kejahatan-kejahatan yang dapat menguntungkan pelaku pencurian. Melakukan

    suatu percobaan penadahan ternyata juga merupakan suatu tindak pidana yang

    sudah diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana dan dibahas juga oleh

    para ulama walaupun tidak banyak. Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas

    penulis tertarik untuk meneliti masalah percobaan penadahan ini dengan judul

    “Percobaan Tindak Pidana Penadahan Dalam Pasal 480 Jo Pasal 53 KUHP

    Ditinjau Menurut Perspektif Hukum Pidana Islam”

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka rumusan

    masalah pada penelitian ini yaitu:

    1. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap ancaman hukuman

    bagi pelaku percobaan penadahan dalam Pasal 480 Jo Pasal 53 KUHP?

    2. Bagaimana ancaman hukuman bagi pelaku Tindak Pidana Percobaan

    Penadahan dalam hukum pidana Islam?

    C. Tujuan Penelitian

    Dalam setiap penulisan karya ilmiah tentu tidak terlepas dari tujuan yang

    hendak dicapai, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis itu sendiri maupun bagi

    para pembaca. Adapun yang menjadi penelitian dalam penulisan ini adalah

    sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap ancaman hukuman

    bagi pelaku percobaan penadahan dalam Pasal 480 Jo pasal 53 KUHP.

    2. Untuk mengetahui bagaimana ancaman hukuman bagi pelaku tindak

    pidana percobaan penadahan dalam hukum pidana Islam.

  • 8

    D. Penjelasan Istilah

    Untuk lebih mudah memahami pembahasan ini, maka penulis terlebih

    dahulu menjelaskan beberapa istilah yang tedapat dalam judul skripsi ini

    sehingga pembaca terhindar dari kesalapahaman dan dapat memahaminya.

    Berikut istilah-istilah yang perlu dijelaskan:

    1. Hukum Islam

    Hukum islam berasal dari dua kata, yaitu hukum dan Islam. Dalam

    KBBI hukum diartikan dengan peraturan atau patokan atau Undang-undang.

    Menurut istilah, hukum adalah peraturan atau norma yang mengatur tingkah

    laku manusia dalam masyarakat tertentu. Sedangkan Islam menurut bahasa

    adalah keselamatan atau kesejahteraan.Sedangkan menurut istilah.Hukum Islam

    adalah agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad untuk

    mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya kepada semua manusia. Dengan kata

    lain hukum Islam adalah seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari

    Allah dan Nabi Muhammad untuk mengatur tingkah laku manusia dalam

    masyarakat.12

    2. Tindak pidana (jinayah)

    Secara etimologis, jinayah adalah nama bagi sesuatu yang dilakukan oleh

    seseorang menyangkut suatu kejahatan atau apapun yang ia perbuat. Secara

    terminologis,jinayah adalah suatu nama bagi perbuatan yang diharamkan oleh

    hukum islam, baik berkenaan dengan jiwa, harta, maupun lainnya.13

    3. Percobaan

    Menurut kata sehari-hari yang disebut dengan percobaan yaitu menuju

    kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada hal yang dituju, atau hendak membuat

    sesuatu yang sudah dimulai tetapi tidak sampai selesai. Misalnya akan

    12

    www.suduthukum.com/2015/06/pengertian-hukum-islam-syariat-fiqh.html?m=1

    diakses pada 10 juli 2019 pukul 11.44 WIB 13

    Abdul Qadir Audah, Ensiopedia Hukum Pidana Islam III, (Bogor: PT. Kharisma

    Ilmu), hlm, 175.

  • 9

    membunuh orang, telah menyerang tetapi orang yang diserang itu tidak sampai

    mati, bermaksud mencuri barang, tetapi barangnya tidak sampai terambil dan

    sebagainya.14

    4. Tindak pidana penadahan

    Tindak pidana penadahan adalah kejahatan yang dilakukan oleh

    seseorang dengan membeli sesuatu barang yang ternyata merupakan hasil

    kejahatan seperti pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan dan rampasan.

    Yang dinamakan “ sengkokol” atau biasa pula disebut “tadah” itu sebenarnya

    hanya perbuatan yang disebut pada pasal 480 ayat (1) KUHP karena sebagai

    sekongkol, barang siapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima

    gadai, menerima sebagai hadiah, atau kehendak karena mendapat untung,

    menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau

    menyembunyikan suatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya

    di peroleh karena kejahatan.15

    E. Kajian Pustaka

    Dalam melakukan pembahasan yang berkaitan dengan masalah

    ini,banyak ditemukan literatur yang berkaitan dengan pokok masalah ini yang

    dapat membantu dalam melakukan pembahasan diantaranya:

    Pertama, skripsi atas nama M.Sholihul Ibad NIM:2103188 IAIN

    Walisongo Semarang dengan judul Studi Komperatif tentang Tindak Pidana

    Percobaan dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif di Indonesia.

    Indikasi yang dibahas dalam skripsinya adalah lebih menitik beratkan terhadap

    percobaan melakukan jarimahmustahil yang dalam hukum pidana positif dikenal

    dengan nama “oendeug delijke poging”( percobaan tak terkenan = as-syuru fi al

    Jarimah al-mustahilah), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi

    (mustahil) karena alat-alat yang dipakai untuk melakukannya tidak sesuai.

    14

    Seosilo R, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik khusus,

    (Bandung: PT. Karya,1984), hal.76 15

    Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana..., hlm.314.

  • 10

    Dikalangan sarjana-sarjana hukum positif pelaku “oendeug delijke poging”

    (percobaan tak terkenan = as-syuru fi al Jarimah al-mustahilah) tidak dapat

    dipindana, sedangkan pendirian hukum pidana Islam tentang percobaan

    melakukan jarimah lebih mencakup dari hukum positif. Sebab menurut hukum

    Islam setiap perbuatan yang tidak selesai yang sudah termasuk maksiat harus

    dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya.Akan tetapi,

    menurut hukum positif tidak semua percobaan dikenakan hukuman.16

    Kedua, skripsi ditulis oleh M. Shodik Aviano, mahasiswa Hukum

    Universitas Brawijaya dengan judul Upaya Polri dalam Menaggulangi Tindak

    Pidana Penadahan Kendaraan Bermotor Hasil Pencurian (Studi Kasus di

    Polres Malang). Skripsi ini membahas mengenai upaya polri dalam

    menaggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor hasil pencurian,

    kemudian permasalahan-permasalahan yang timbul dan modus-modus apa saja

    yang dilakukan oleh pelaku kejahatan yang menimbulkan adanya praktek-

    praktek penadahan kendaraan bermotor hasil pencurian serta upaya-upaya yang

    dilakukan oleh polri dalam meminimalisir tingkat penadah kendaraan bermotor

    hasil pencurian, serta kendala-kendala yang dihadapi oleh polri dalam rangka

    menanggulangan tindak pidana penadahan kendaraan bermotor.

    Ketiga, skripsi atas nama Harisoeddin Nim: 140104028 UIN Ar-Raniry

    Fakultas Syariah dan Hukum dengan judul Sanksi Pidana Terhadap Penadahan

    Berdasarkan Pasal 480 dalam Prespektif Fikih Jinayah (Analisis Putusan

    Pengadilan Banda Aceh No. 149/Pid.B/2015/PN. Bna).Skripsi ini membahas

    tentang bagaimana tindak pidana penadahan menurut hukum positif dan fikih

    16

    Skripsi M.Sholihul Ibad, Fakultas Syariah, IAIN Walisongo Semarang, Studi

    Komperatif Tentang Tindak Pidana Percobaan dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif

    di Indonesia, Tahun 2010.

  • 11

    jinayah dan prespektif fikih jinayah terhadap putusan Pengadilan Negeri Banda

    Aceh Nomor 149/Pid.B/2015/PN.Bna dan nomor 135/Pid.B/2015/PN.Bna.17

    Keempat, skripsi atas nama Junaedi Aziz, mahasiswa Fakultas Hukum

    Universitas Hasanuddin Makassar dengan judul Analisis Yuridis Terhadap

    Percobaan Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ( Studi Kasus Putusan

    No. 256/Pid.B/2013/PN.Mks ). Skripsi ini membahas tentang tujuan untuk

    mengetahui penerapan hukum pidana terhadap percobaan tindak pidana

    pencurian dengan kekerasan serta pertimbangan hukum hakim dalam memutus

    perkara percobaan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.18

    Kelima, skripsi atas nama Eka Sulistya Nugraha, mahasiswa Fakultas

    Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul Tinjauan Hukum

    Pidana Terhadap Tindak Pidana Terhadap Perkara Penadahan Mobil ( Studi

    Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta). Skripsi ini membahas tentang tujuan

    hukum pidana dalam praktek tindak pidana penadahan, dan untuk mengetahui

    faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim di Pengadilan

    Negeri Surakarta dalam mengadili terdakwa tindak pidana penadahan.19

    Keenam, skripsi thesis atas nama Imron Burhanudin, mahasiswa

    Fakultas Hukum Universitas Sunan Kalijaga dengan judul Tindak Pidana

    Percobaan Pencurian ( Studi Komparasi Antara Hukum Pidana Islam dan

    KUHP). Skripsi thesis ini bertujuan untuk mengetahui kriteria-kriteria seseorang

    itu dikatakan telah melakukan tindak pidana percobaan pencurian dalam hukum

    pidana Islam dan hukum pidana Indonesia (KUHP) serta untuk mengetahui

    17

    Skripsi Harisoeddin, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Saksi Pidana

    Terhadap Penadahan Berdasarkan Pasal 480 dalam Prespektif Fikih Jinayah (Analisis Putusan

    Pengadilan Banda Aceh No.149/Pid.B/ 2015/PN.BNA). 18Skripsi Junaedi Aziz, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, Analisis

    Yuridis Terhadap Percobaan Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ( Studi Kasus

    Putusan No. 256/Pid.B/2013/PN.Mks ), Tahun 2014. 19

    Skripsi Eka Sulistya Nugraha, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Tinjauan

    Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terhadap Perkara Penadahan Mobil ( Studi Kasus di

    Pengadilan Negeri Surakarta), Tahun 2009.

  • 12

    pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana percobaan pencurian

    dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia (KUHP).20

    Dari uraian di atas pembahasan yang akan penulis kaji berbeda dengan

    pembahasan penelitian-penelitian terdahulu. Seperti skripsi M. Sholihul Ibad

    yang lebih menitik beratkan terhadap tindak pidana dalam hukum Islam dan

    hukum Pidana Positif di Indonesia. Lalu skripsi atas nama M. Shodik Aviano

    yang membahas tentang Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana

    Terhadap Perkara Penadahan Mobil (Studi Kasus di Pengadilan Negeri

    Surakarta), membahas mengenai upaya polri dalam menaggulangi tindak pidana

    penadahan kendaraan bermotor hasil pencurian. Lalu ada skripsi Harisoeddin,

    Junaedi Aziz, dan Eka Sulistya Nugraha dimana mereka sama-sama membahas

    putusan hakim terhadap suatu perkara yang mereka angkat untuk dijadikan

    penelitian.Dan yang terakhir skripsi thesis dari Imron Burhanudin membahas

    tentang kriteria-kriteria seseorang itu dikatakan telah melakukan tindak pidana

    percobaan pencurian dalam hukum pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia

    (KUHP), dan untuk mengetahui pertanggung jawaban pidananya.

    Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas maka dapat diketahui

    bahwa sudah ada yang membahas masalah tindak pidana penadahan dan tindak

    pidana percobaan akan tetapi belum ada yang membahas secara khusus

    mengenai pokok permasalahan yang penulis ingin kaji yaitu tentang Percobaan

    Tindak Pidana Penadahan Dalam Pasal 480 jo Pasal 53 KUHP di Tinjau

    Menurut Perspektif Hukum Islam.

    F. Metode Penelitian

    Pada dasarnya dalam melakukan setiap penulisan karya ilmiah selalu

    memerlukan data-data yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode

    20

    Skripsi thesis Imron Burhanudin, Fakultas Hukum, Universitas Sunan Kalijaga,

    Tindak Pidana Percobaan Pencurian ( Studi Komparasi Antara Hukum Pidana Islam dan

    KUHP ), Tahun 2003

  • 13

    penelitian dan cara-cara tertentu yang disesuaikan dengan permasalahan yang

    hendak dibahas guna menyelesaikan oenulisan karya ilmiah tersebut.

    1. Jenis penelitian

    Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan

    (LibraryResearch) yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-

    sumber tertulis, seperti buku-buku, kitab-kitab, artikel dan yang lainnya.21

    Yang

    berkaitan dengan pembahasan ini, sehingga ditemukan data-data yang akurat

    dan jelas.

    2. Pendekatan penelitian

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.

    Yuridis normatif ditunjukan untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat teoritis

    yang dilakukan melalui studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan

    (library research), yaitu suatu bentuk penelitian yang datanya diperoleh dari

    pustaka, dimana penelitian ini lazimnya menggunakan data skunder.22

    3. Teknik pengumpulan data

    Metode pengumpulan data yaang penulis gunakan dalam penulisan

    skripsi ini adalah:

    a. Penelitian kepustakaan (library research)

    Yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber

    tertulis, seperti buku-buku, kitab-kitab, artikel dan yang lainnya.23

    Yang

    berakaitan dengan pembahasan ini, sehingga ditemukan data-data yang akurat

    dan jelas. Adapun buku yang menjadi rujukan bagi penulis adalah buku

    karangan A.Djazuli yang berjudul fiqh jinayah,(upaya-upaya menaggulangi kejahatan

    dalam Islam. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana tindak pidana percobaan dalam

    21

    Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),

    hlm. 50-51. 22

    Soerjano Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitia Hukum Normatif, (Jakarta: Raja

    Grafindo Persada, 2010), hlm. 13. 23

    Bambambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,

    2002), hlm. 50-51.

  • 14

    hukum Islam. Selanjutnya buku rujukan saya adalah buku yang ditulis oleh Lamintang

    dengan judul delik-delik khusus: kejahatan-kejahatan terhadap harta kekayaan dalam

    buku ini menjelaskan tentang kejahatan terhadap harta kekayaan termasuk juga tindak

    pidana penadahan. Dua buku tersebut merupakan rujukan saya dalam menulis skripsi

    ini dan masih banyak masih banyak buku-buku lain yang ada kaitannya dengan skripsi

    ini yang membantu saya dalam penelitian.

    4. Sumber data

    Sumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi

    pertimbangan dalam menentukan metode penulisan, mengumpulkan data dalam

    penelitian. Terdapat tiga sumber data yang akan dijadikan sumber rujukan atau

    landasan utama dalam penelitian ini.

    a. Bahan hukum primer

    Bahan hukum primer merupakan bahan utama, yaitu data yang langsung

    memberikan informasi kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini yang

    dimaksud dengan bahan hukum primer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana (KUHP) Pasal 480 tentang Penadahan, Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana (KUHP) Pasal 53 Percobaan.

    b. Bahan hukum skunder

    Sumber skunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang telah ada

    dan memberikan kejelasan mengenai bahan hukum primer. Contoh: buku,

    artikel, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan

    dengan skripsi ini.

    c. Bahan hukum tersier

    Bahan hukum tersier ini bersifat menunjang maupun petunjuk penjelasan

    terhadap bahan hukum primer dan bahan skunder. Seperti, ensiklopedia, kamus,

    dan referensi dari internet sebagai pelengkap penulisan skripsi ini.24

    24

    Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2010), hlm.

    103-104.

  • 15

    5. Analisis data

    Analisis data merupakan suatu proses dari tindak pidana lanjut

    pengolahan data dari seorang peneliti. Pada tahap analisis data peneliti harus

    membaca data yang telah terkumpul dan melalui pengolaan data akhirnya

    peneliti menemntukan analisis yang bagaimana untuk diterapkan.25

    Setelah mengumpulkan data-data yang diperlukan, selanjutnya dilakukan

    analisis secara sistematis terhadap pandangan-pandangan, pernyataan-

    pernyataan yang tertuang dalam data-data tersebut yang berkaitan dengan obyek

    penelitian skripsi ini. Selanjutnya akan dilakukan analisis untuk memperoleh

    gambaran mengenai ketentuan-ketentuan tentang masalah percobaan tindak

    pidana penadahan.

    5. Pedoman penulisan

    Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis juga berpedoman pada

    buku Panduan Penulisan Skripsi tahun 2019 yang diterbitkan oleh Fakultas

    Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

    H. Sistematika Pembahasan

    Agar pembahasan lebih teratur dan terarah serta memudahkan para

    pembaca, maka disini akan diuraikan secara singkat mengenai sistematika

    pembahasan skripsi ini yang terdiri dari empat bab.

    Bab pertama sebagai gambaran umum tentang judul yang akan dikaji

    dan dibahas dalam bab-bab selanjutnya yang didalamnya terdiri dari latar

    belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian

    pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

    Bab kedua adalah landasan teoritis, bab ini diantaranya akan mengurai

    tentang Pengertian Tindak Pidana, jenis-jenis tindak pidana, gambaran umum

    penadahan dalam hukum Islam, pengertian percobaan tindak pidana, syarat

    25

    Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dan Praktek..., hlm. 77.

  • 16

    percobaan tindak pidana, fase-fase percobaan jarimah, dan sebab tidak selesainya

    perbuatan percobaan.

    Bab ketiga adalah ancaman hukuman bagi pelaku percobaan penadahan

    dalam Pasal 480 KUHP, bab ini diantaranya akan menguraikan tentang

    gambaran umum Pasal 480 KUHP tentang penadahan, ancaman hukuman delik

    percobaan penadahan, dan tinjauan hukum Islam terhadap hukuman percobaan

    penadahan.

    Bab keempat merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian

    pembahasan skripsi ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran

  • 17

    BAB DUA

    PRESPEKTIF HUKUM TERHADAP PELAKU PERCOBAAN

    PENADAHAN DALAM ISLAM

    A. Pengertin Tindak Pidana

    Pengertian Tindak Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    dikenal dengan istilah strafbaar dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

    sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang

    merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau

    perbuatan pidana atau tindak pidana.26

    Prof. Mulyatno, S.H. menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan

    perbuataan pidana. Menurut pendapat beliau istilah perbuatan pidana menunjuk

    kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat

    tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.

    Dapat diartikan demikian karena kata perbuatan tidak mungkin berupa

    kelakukan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu

    adalah hanya manusia.27

    Selain itu, kata perbuatan lebih menunjuk pada arti sikap yang

    diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang

    sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat

    sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).28

    Tindak pidana juga merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum

    pidana, tindak pidana adalah pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

    perbuatan atau kejahatan yang diartikan secara yuridis atau secara kriminologis.

    Barda Nawawi Arief menyatakan “tindak pidana secara umum dapat diartikan

    26 Abuadin Syah “Tindak Pidana Kekekrasan Seksual dalam Rumah Tangga dalam

    Perspektif Hukum Pidana Islam (Analisis Putusan Hakim No Perkara:51/Pid.Sus/2016/PNBkj)”

    (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry), hlm.10-11. 27

    Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: RajawaliPress 2012), hlm.48. 28

    Teguh Prasetyo, Hukum Pidana..., hlm.48.

  • 18

    sebagai perbuatan melawan hukum baik secara formal maupun secara

    materiil”.29

    Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur

    tentang tindak pidana. Sedangkan menurut Moeljatno “tindak pidana adalah

    perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

    ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang

    melanggar larangan tersebut”.30

    Pada kesempatan yang lain, dia juga

    mengatakan dengan subtansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah

    perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar

    larangan tersebut. Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai

    pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum

    pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.31

    Dalam hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah

    jinayah atau jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata

    jana. Hukum pidana atau fiqh jinayah. Jinayah merupakan suatu tindakan yang

    dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta,

    keturunan, dan akal (intelegensi). Sebagian fuqaha’ menggunakan kata jinayah

    untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti

    membunuh, melukai, menggugurkan kandungan dan lain sebagainya. Dengan

    demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana.32

    Jarimah (tindak pidana) didefinisikan oleh Imam Mawardi. Segala

    larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal

    29

    Adami Chazawi, Pelajaran Tindak Pidana (Stlsel Tindak Pidana, Teori-Teori

    Pemidanaan dan Batas berlakunya Hukum Pidana), (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011),

    hlm.79. 30

    Lysa Angrayni dan Febri Handayani , Pengantar Hukun Pidana di Indonesia, (

    Pekanbaru: Suska Pres, 2015), hlm.50. 31

    Mahruz Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm.98. 32 Makhrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam (Sleman: Logung Pustaka,

    2004), hlm 2

  • 19

    yang mewajibkan) dengan diancam hukuman had atau ta’zir.33

    Dalam hal ini

    perbuatan jarimah bukan saja mengerjakan perbutan yang jelas-jelas dilarang

    oleh peraturan, tetapi juga dianggap sebagai jarimah jika seseorang tersebut

    meninggalakan perbuatan yang menurut peraturan harus dikerjakan dan tidak

    ada mudarat kepada orang lain.

    Abdul Qadir Audah menjelaskan masalah ini dengan mengatakan bahwa

    larangan dalam fiqh jinayah dalam definisi diatas menjelaskan makna. “yang

    dimaksud mudarat (larangan) adalah melakukan sesuatu perbuatan yang

    dilarang atau meninggalkan suatu perbuatan yang diperintahkan.”

    Dapat diambil pengertian bahwa kata jarimah identik dengan pengertian

    yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak pidana atau pelanggaran.

    Maksudnya adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran hukum. Dalam

    Hukum positif, contoh-contoh jarimah pencurian, Jarimah pembunuhan dan

    sebagainya diistilahkan dengan tindak pidana pencurian, tindak pidana

    pembunuhan, dan sebagainya.

    Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya

    dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-

    perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut

    ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari

    larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang

    tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu

    dapat dilarang dengan ancaman pidana jika dilanggar.

    Suatu perbuatan dianggap delik (jarimah) bila terpenuhi syarat dan

    unsurnya. Unsur jarimah dapat dikatagorikan menjadi 2 (dua): pertama unsur

    umum, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam setiap jarimah. Kedua

    unsur khusus, yaitu unsur-unsur yang terpenuhi pada jenis jarimah tertentu.

    Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum jarimah adalah:

    33 A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)...,

    hlm.1-3

  • 20

    1. Unsur formil (adanya undang-undang atau nash)

    Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melanggar hukum dan pelaku

    tindak pidana kecuali adanya nash dan undang-undang yang mengatur. Dalam

    hukum positif masalah itu dikenal engan asas legalitas, yaitu suatu perbuatan

    tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi

    sebelum adanya peraturan yang mengundang-undangkannya.

    Dalam syariat Islam lebih dikenal dengan istilah

    a. Ar-rikn asy-syar’i

    b. Ar-ruknil arbi

    c. Ar-ruknil madhi

    2. Unsur materiil (sifat melawan hukum)

    Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik

    dengan sikap berbuat maupun dengan tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum

    pidan Islam atau fiqh jinayah disebut dengan al-rukn al-madi.

    Disamping unsur-unsur umum, ada unsur khusus yang berlaku di dalam

    suatu jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah yang lain. Misalnya,

    mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi adalah unsur

    khusus untuk pencurian. Hal ini berbeda dengan unsur khusus di dalam

    pemberontakan yaitu mengambil harta orang lain dengan terang-terangan.34

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur yang umum dan yang

    khusus dalam jarimah terdapat perbedaan, unsur umum jarimah macamnya

    hanya satu dan sama pada tiap jarimah, sedangkan unsur yang khusu berbeda-

    beda pada setiap jenis jarimahnya.

    B. Jenis-jenis Tindak Pidana

    Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu

    atau mengklarifikasikan dapat sangat bermacam-macam sesuai dengan

    34

    Tindak Pidana dan Sanksi Hukumannya dalam Islam ,

    http://eprints.walisongo.ac.id/3809/3/082211007_Bab2.pdf diakses pada 2 Maret 2020

    http://eprints.walisongo.ac.id/3809/3/082211007_Bab2.pdf

  • 21

    kehendak yang mengklarifikasikan atau mengelompokkan, yaitu menurut dasar

    apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan tindak pidana.

    KUHP sendiri telah mengklarifikasikan tindak pidana atau delik kedalam

    dua kelompok besar yaitu dalam Buku Ke II dan Ke III masing-masing menjadi

    kelompok kejahatan dan pelanggaran. Kemudian bab-babnya dikelompokkan

    menurut sasaran yang hendak dilindungi oleh KUHP Terhadap tindak pidana.

    Misalnya bab satu buku Ke II adalah Kejahatan Keamanan Negara, dengan

    demikian ini merupakan kelompok tindak pidana yang sasarannya adalah

    keamanan negara.35

    1. Kejahatan dan pelanggaran

    Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-

    undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut: pelanggaran

    criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan dua jenis delik itu

    KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau

    memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan kelopok kedua

    pelanggaran. Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara intensif (kriterium) untuk

    membedakan kedua jenis delik itu. Ada dua pendapat:

    a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada

    perbedaan yang bersifat kualitatif dengan ukuran ini lalu didapati dua

    jenis delik, ialah:36

    1) Rechtdelicten yaitu perbedaan yang bertentangan dengan

    keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam

    suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan

    oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal

    pemunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut

    “kejahatan” (mala perse).

    35 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana..., hlm.57-58 36

    Lysa Angrayni dan Febri Handayani, Pengantar Hukun Pidana di Indonesia..., hlm.

    56

  • 22

    2) Weshtdelicten yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari

    sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya

    sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya

    dengan pidana. Misal memarkir monil disebelah kanan jalan

    (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut

    “pelanggaran”.

    Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan

    yang baru disadari sebagai delik karena terancam dalam undang-undang pidana,

    jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa

    keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan

    bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu

    tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.

    b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada

    perbedaan yang bersifat kuantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan

    kriterium pada perbedaaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah

    “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.

    Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran iu terdapat

    suara-suara yang menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas

    juga berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik

    itu harus ditiadakan.37

    2. Tindak pidana formil dan tindak pidana materiil

    Dalam hubungannya dengan akibat terlarang, ada beberapa cara

    merumuskan tindak pidana materiil, yaitu sebagai berikut:38

    a. merumuskan tindak pidana materiil di mana akibat terlarang itu

    disebutkan secara tegas di samping unsur tingkah laku/perbuatan.

    37

    Lysa Angrayni dan Febri Handayani, Pengantar Hukun Pidana di Indonesia..., hlm.

    57 38

    Mukhlis, Tarmizi dan Ainal Hadi, Hukum Pidana..., hlm.27-28.

  • 23

    b. merumuskan tindak pidana materiil di mana unsur akibat terlarang

    itu tidak dicantumkan secara terpisah dengan perbuatan, melainkan

    telah terdapat pada unsur tingkah lakuknya. Artinya dengan

    merumuskan unsur tingkah laku yaitu, sudah dengan sendirinya di

    dalamnya telah mengandung unsur akibat terlarang.

    c. pada penganiayaan (Pasal 351) juga berupa tindak pidana materiil,

    tidak menggunakan perumusan sebagaimana kedua cara di atas.

    Perbuatan pidana formil adalah perbuatan pidana yang telah dianggap

    selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-

    undang, tanpa mempersoalkan akibatnya seperti yang tercantum pada Pasal 362

    KUHP tentang pencurian dan Pasal 160 tentang penghasutan sedangkan

    perbuatan pidana materiil adalah perbuatan pidana yang perumusannya

    dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Perbuatan pidana ini baru dianggap

    telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila yang dilarang itu telah terjadi.

    Jadi, jenis perbuatan ini mempersyaratkan terjadinya akibat untuk selesainya

    perbuatan seperti pada Pasal 338 KUHP tentang pembunuha dan pasal 378

    KUHP tentang penipuan.39

    3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per

    ommisionen commissa

    Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang dilarang atau

    tidak berbuat sesuatu yang diharuskan (to commit = melakukan; to omit =

    meniadakan).

    a. Delik commissionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami, misalnya

    berbuat mengambil, menganiaya, menembak, mengancam, dan

    sebagainya.

    39

    Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana..., hlm.102.

  • 24

    b. Delik omissionis dapat kita jumpai pada pasal 522 (tidak datang

    menghadap ke pengadilan sebagai saksi), Pasal 164 (tidak

    melaporkan adanya bermufakat jahat).40

    c. Delik commisionis per ommisionen commissa delik yang berupa

    pelanggaran larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat

    dilakukan dengancara tidak berbuat misal: seorang ibu yang

    membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338,340

    KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan

    kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194

    KUHP).41

    4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)

    Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan

    kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, dengan sengaja, tetapi

    mungkin juga dengan kata-kata lain yang senada diketahuinya, dan sebagainya.

    Contohnya adalah Pasal 162, 197, 310, 338, dan lebih banyak lagi.

    Delik culpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan dengan kata

    “karena kealpaannya”, misalnya pada Pasal 359, 360, 195. Di dalam beberapa

    terjemahan kadang-kadang dipakai istilah karena kesalahannya.

    5. Delik aduan dan delik biasa

    Delik aduan (klachdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya

    hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan

    atau terkena. Misalnya penghinaan, perzinaan, pemerasan. Jumlah delik aduan

    ini tidak banyak terapat di dalam KUHP. Siapa yang dianggap berkepentingan,

    tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinaan

    misalnya, yang berkepentingan adalah suami dan istri yang bersangkutan.

    40

    Teguh Prasetyo, Hukum Pidana..., hlm.60. 41

    Lysa Angrayni dan Febri Handayani , Pengantar Hukun Pidana di Indonesia ...,

    hlm.58.

  • 25

    Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang

    penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relatif di sini

    karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya

    pencurian dalam keluarga(Pasal 367 ayat (2) dan (3).

    6. Jenis delik yang lain

    Selanjutnya terdapat jenis-jenis delik yang lain menurut dari mana kita

    meninjau delik tersebut, anatara lain:42

    a. Delik berturut-turut (voortgezet delict) yaitu tindak pidana yang

    dilakukan berturut-turut, misalnya mencuri uang satu juta rupiah,

    tetapi dilakukan setiap kali seratus ribu rupiah.

    b. Delik yang berlangsung turus misalnya tindak pidana merampas

    kemerdekaan orang lain, cirinya adalah perbuatan terlarang itu

    berlangsung memakan waktu.

    c. Delik berkualifikasi (gequalificeerd), yaitu tindak pidana dengan

    pemberatan, misalnya pecurian pada malam hari, penganiayaan berat

    (Pasal 351 ayat 3 dan 4). Hedaknya tidak dikacaukan dengan

    kualifikasi dari delik yang artinya adalah nama delik itu.

    d. Delik dengan privilege (geprivligeerd delict), yaitu delik dengan

    peringanan, misalnya pembunuhan bayi oleh ibu yang melahirkan

    karena takut diketahui (Pasal 341), ancaman pidanya lebih ringan

    daripada pembunuhan biasa.

    e. Delik politik, yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan negara

    sebagai keseluruhan, seperti terhadap keselamatan kepala negara dan

    sebagainya (Bab I-IV Buku II KUHP), dan juga tindak pidana

    subversi.

    42

    Teguh Prasetyo, Hukum Pidana...., hlm.62.

  • 26

    f. Delik propria, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang

    mempunyai kualitaas tertentu, seperti hakim, ibu, pegawai negeri,

    ayah, majikan, dan sebagainya yang disebutkan di dalam KUHP.

    Dalam Islam jarimah itu sangat banyak macam dan ragamnya, akan

    tetapi secara garis besar dapat meninjaunya dari beberapa segi. Ditinjau dari

    berat ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidak oleh Al-quran atau Hadist.

    Jarimah dapat dibagi menjadi tiga bagian antara lain:

    1. Jarimah hudud

    Pengertian jarimah hudud adalah yang bentuknya telah ditentukan oleh

    syara’ sehingga terbatas jumlahnya. Selain ditentukan bentuknya (jumlah), juga

    ditentukan hukumannya secara jelas baik melalui Al-quran dan as-sunnah. Lebih

    dari itu, jarimah ini termasuk dalam jarimah yang menjadi hak Allah, pada

    prinsipnya adalah jarimah yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk

    memelihara kepentingan, ketentraman, dan keamanan masyarakat. Dalam

    hubungannya dengan hukum had maka pengertian hak Allah di sini adalah

    bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (orang yang

    menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh

    negara. Jarimah hudud ini ada tujuh macam anatara lain sebagai berikut:

    a. Jarimah zina

    b. Jarimah qadzaf (menuduh zina)

    c. Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras)

    d. Jarimah pencurian (sariqah)

    e. Jarimah hirabah (perampokan)

    f. Jarimah riddah (keluar dari Islam)

    g. Jarimah al-bagyu (pemberontakan).43

    43

    Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka setia,

    2000), hlm. 26.

  • 27

    2. Jarimah qisas dan diyat

    Jarimah qisas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman

    qisas atau diyat, keduanya adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’.

    Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hal Allah

    sedangkan qisas dan diyat merupakan hak manusia (individu). Maksud dari hak

    manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan

    oleh korban atau keluarganya. Ciri khas dari jarimah qisas dan diyat adalah:

    a. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah

    ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal atau maksimal.

    b. Hukuman tersebut merupakan hak perorangan (individu), dalam arti

    bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan

    terhadap pelaku.

    Jarimah qisas dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan

    dan penganiayaan.Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:

    a. Pembunuhan sengaja.

    b. Pembunuhan menyerupai sengaja.

    c. Pembunuhan karena kesalahan.

    d. Penganiayaan sengaja.

    e. Penganiayaan tidak segaja.44

    Pada dasarnya jarimah qisas termasuk jarimah hudud, sebab hak bentuk

    maupun hukumannya telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-nya. Akan tetapi

    ada pula perbedaannya, yaitu:

    a. Pada jarimah qisas, hakim boleh memutuskan hukuman berdasarkan

    pengetahuannya, sedangkan jarimah hudud tidak boleh.

    b. Pada jarimah qisas, hak menuntt qishash bisa diwariskan, sedangkan

    pada jarimah hudud tidak.

    44

    Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)..., hlm. 29.

  • 28

    c. Pada jarimah qisas, korban atau wali korban dapat memaafkan

    sehingga hukuman dapat gugur secara mutlak atau berpindah kepada

    hukum penggantinya, sedangkan pada jarimah hudud tidak ada

    pemaaf.

    d. Pada jarimah qisas, tidak ada kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan

    pada jarimah hudud ada kadaluarsa dalam kesaksian kecuali pada

    jarimah qadzaf.

    e. Pada jarimah qisas, pembuktian dengan isyarat dan tulisan dapat

    diterima, sedangkan pada jarimah hudud tidak.

    f. Pada jarimah qisas dibolehkan ada pembelaan (al-syafa’at),

    sedangkan pada jarimah hudud tidak ada.

    g. Pada jarimah qisas harus ada tuntutan, sedangkan pada jarimah

    hudud tidak perlu kecuali pada jarimah qadzaf.45

    3. Jarimah ta’zir

    Jarimah ta’zir menurut arti kata adalah at-ta’dib artinya memberi

    pengajaran dalam fiqh jinayah, ta’zir adalah suatu bentuk jarimah yang bentuk

    atau macam jarimahnya serta hukuman dan sanksinya ditentukan oleh

    penguasa.46

    Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelanggaran,

    disebut dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si

    terhukum untuk tidak kembali ke jarimah atau dengan kata lain membuatnya

    jera. Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak ditentukan

    oleh Al-quran dan Hadist yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak

    Allah SWT dan hak hamba yang berfungsi sebagai pelajaran bagi terhukum dan

    pencegahannya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Hukum ta’zir boleh

    dan harus diterapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan. Para ulama membagi

    jarimah ta’zir yakni yang berkaitan dengan hak Allah SWT dan hak hamba.

    45

    M.Sholihul Ibad, Studi Komperatif Tentang Tindak Pidana Percobaan dalam Hukum

    Pidana Islam dan Hukum Positif di Indonesia, diakses melalui

    http://eprints.walisongo.ac.id/2999/ , tanggal 2 maret 2020. 46

    Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah).., hlm. 29.

    http://eprints.walisongo.ac.id/2999/

  • 29

    Sehingga dapat dibedakan bahwa untuk ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba

    disamping harus ada gugatan, tidak dapat diberlakukan teori tadakhul yakni

    sanksi dijumlahkan sesuai dengan banyak kejahatan, uli amri tidak dapat

    memaafkan, sedangkan ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah SWT, tidak

    harus ada gugatan dan ada kemungkinan uli amri memberi pemaafan bila hal itu

    membawa kemaslahatan sehingga semua orang wajib mencegahnya.47

    Jarimah ta’zir terbagi menjadi tiga bagian:

    a. Jarimah hudud atau qisas atau diyat yang subhat atau tidak

    memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Misalnya,

    percobaan pembunuhan, percobaan pencurian, pencurian dikalangan

    keluarga dan pencurian listrik.

    b. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Al-quran dan Hadist, namun

    tidak ditentukan sanksinya. Misalnya, penghinaan, sanksi palsu, tidak

    melaksanakan amanah, dan menghina agama.

    c. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan

    umum. Dalam hal ini, nilai ajaran Islam dijadikan pertimbangan

    penentuan kemaslahatan umum.48

    C. Gambaran Umum Penadahan dalam Hukum Islam

    Tindak Pidana penadahan merupakan kejahatan terhadap harta dalam

    prespektif hukum Islam adalah tindakan kejahatan yang mengancam eksistensi

    harta benda. Tindakan itu merupakan tindakan kejahatan yang bisa

    menggoncang stabilitas keamanan terhadap harta jiwa masyarakat. Oleh karena

    itu Al-Quran melarang keras tindakan kejahatan tersebut. Larangan melakukan

    tindakan kejahatan terhadap harta adalah salah satu upaya untuk melindungi

    harta dikalangan umat. Seperti yang terdapat dalam Al-Quran surah Al-Baqarah

    yaitu:

    47

    A.Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)..,

    hlm. 167. 48

    A.Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)...,

    hlm. 11.

  • 30

    Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta orang lain diantaramu

    dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa (urusan)

    hartamu itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari

    harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian

    mengetahui (Q.S. Al-Baqarah:188)49

    Ayat diatas melarang orang mukmin untuk tolong-menolong dalam

    berbuat dosa dan pelanggaran, sedangka penadah membantu pencuri atau penipu

    dengan membeli barang hasil curiannya, yang sudah diketahui atau patut diduga

    oleh pembeli bukan mrupakan milik si pencuri. Tindak pidana penadahan

    merupakan suatu tindakan atau perrbuatan yang dilarang dalam hal membeli

    suatu barangyang diketahuinya tau patut disangkanya bahwa barang itu

    diperoleh karena kejahatan. Dalam jual beli merupakan keharaman dari suatu

    benda jika benda tersebut tidak jelas asal usulnya, dan tidak memiliki izin dari

    pemilik barang untuk diperjual belikan.

    Diharamkan bagi muslim membeli barang yang diketahuinya adalah

    hasil dari suatu perbuatan yang tidak halal. Membeli barang tersebut sama

    artinya bekerjasama untuk berbuat dosa. Dalam riwayat Baihaqi Rasulullah saw

    bersabda:

    ن اْشت ر ْي س ْر ق ة ف ق د ْر ق ةً و ه و م ه ا ي ْعل م ا نَّه ا س ْشت ر ك ف ي ا ْسم

    عا ه ار و Artinya: “Barangsiapa yang membeli barang hasil curian dan ia

    mengetahuinya, maka ia juga sama mendapat dosa dan kejelekan.50

    49

    QS. Al-Baqarrah (2): 188. 50

    Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4. (Jakarta Selatan: Pena Pundi Aksara, 2006),

    hlm. 142.

  • 31

    D. Pengertian Percobaan

    Percobaan dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari kata coba artinya

    melakukan sedikit pekerjaan untuk mengetahui atau merasakan hasilnya.

    Adapun definisi secara etimologi dari percobaan ialah usaha mencoba sesuatu

    atau permulaan pelaksanaan sesuatu.51

    Dalam melakukan tindak pidana terkadang tersangka dapat

    menyelesaikannya, seperti seorang yang berhasil membunuh korbannya atau

    pencuri yang berhasil mengambil barang dari tempat yang dicuri. Dan kadang

    kala tersangka tidak dapat menyelesaikan aksinya dan hal ini dipandang sebagai

    tindak pidana yang belum sempurna/belum selesai (al-jarimah gair at-tammah)

    misalnya, seperti seorang pembunuh yang akan membunuh korbannya tapi

    ketahuan oleh orang lain, atau pencuri yang tidak berhasil mengambil barang

    curiannya dikarenakan tertangkap sebelum melaksanakan aksinya. dalam hukum

    konvensional ini disebut dengan percobaan tindak pidana (syuru’ bi al-jarimah).

    Percobaan sendiri diatur dalam Bab IV Pasal 53 KUHP yaitu52

    :

    1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata

    dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan

    itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

    2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan

    dikurangi sepertiga.

    3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

    hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

    4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

    Di dalam Bab IX Buku 1 KUHP, tidak dijumpai rumusan arti atau

    definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah percobaan (pogimg

    delicten). KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan ada

    51

    Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Agung Media Mulia),

    hm. 140. 52

    Moeljatno, KUHP..., hlm. 24.

  • 32

    percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 ayat

    (1) yang berbunyi.53

    “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah

    ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya

    pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya

    sendiri”

    Percobaan sendiri dalam bahasa Belanda disebut “poging”, menurut

    doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum selesai atau

    belum sempurna. Sudah barang tertentu walaupun KUHP telah merumuskan

    berbagai kejahatan dan mengancam dengan pidana untuk masing-masing,

    hukum pidana tidak mengambil resiko agar kejahatan terjadi sepenuhnya, atau

    akibatnya KUHP juga mengancam perbuatan yang baru merupakan permulaan,

    agar dapat dicegah terjadinya korban.54

    Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau

    melakukan sesuatu dalam keadaan diuji. Tentang apa yang dimaksud dengan

    usaha hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai

    satu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Misalnya, hendak

    menebang pohon, baru tiga atau empat kali mengampak, kampaknya patah, atau

    kepergok si pemilik pohon kemudian dia melarikan diri, dan terhentilah

    perbuatan menebang pohon. Wujud mengayun kampak tiga atau empat kali

    adalah merupakan percobaan dari perbuatan menebang pohon.55

    Sedangkan, tentang apa yang dimaksud dengan “melakukan sesuatu

    dalam keadaan diuji” adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa

    melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu

    53

    Lysa Angrayni dan Febri Handayani , Pengantar Hukun Pidana di Indonesia..., hlm.

    149. 54

    Teguh Prasetyo, Hukum Pidana..., hlm. 151.

    55 Adami Chazawi, pecobaan dan penyertaan jilid 3, (Jakarta: PT RajaGrafindo

    Persada,2008), hlm. 1.

  • 33

    kajian tertentu di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan

    mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar, atau percobaa obat tertentu

    pada kera dan sebagainya. Pengertian ini lebih jelas misalnya pada kata kebun

    percobaan, kolam percobaan atau kelinci percobaan. Sedangkan dalam undang-

    undang tidak dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud

    dengan percobaan (poging). Dalam pasal 53 ayat (1) KUHP tidak merumuskan

    pengertian percobaan melainkan merumuskan tentang syarat-syarat untuk dapat

    dipidananya bagi orang yang melakukan percobaan kejahatan (poging tot

    misdrijf).56

    Percobaan melakukan tidak pidana dalam hukum Islam adalah seseorang

    yang berniat melakukan tindak pidana dengan mengadakan permulaan

    pelaksanaan tetapi perbuatannya tidak selesai baik karena kehendak sendiri

    maupun bukan karena kehendak diri sendiri. Sedangkan dalam hukum pidana

    umum , percobaan hanya dibatasi pada tidak selesainya perbuatan bukan karena

    kehendakny sendiri.57

    Para ulama termasuk para Iman mazhab tidak secara khusus membahas

    dan detail membahas delik percobaan. Hal ini bukan berarti masalah tersebut

    tidak penting, melainkan karena percobaan masuk kedalam kerangka jarimah

    ta’zir yang banyak berubah sesuai ruang dan waktu. Akan tetapi jika dilihat dari

    defnisinya, istilah pecobaan juga terdapat pada mereka, karena dikalangan

    mereka juga dibicarakan tentang pemisah antara jarimah yang sudah selesai dan

    jarimah tidak selesai.58

    Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan

    disebabkan oleh dua faktor. Pertama: percobaan melakukan jarimah tidak

    dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir. Di

    56

    Adami Chazawi, pecobaan dan penyertaan jilid 3..., hlm. 2. 57

    Asadulloh Al-faraq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia

    Indonesia,2009), hlm. 88. 58

    A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)...,

    hlm. 21.

  • 34

    mana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa Negara (ulul-al amri)

    atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang

    dilakukan dengan langsung atau syara’ atau yang dilakukan oleh penguasa

    negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka agar bisa disesuaikan dengan

    kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam

    menjatuhkan hukuman di mana bisa bergerak antara batas tertinggi dan batas

    terendah.59

    Kebanyakan jarimah bisa mengalami perubahan antara dihukum dan

    tidak dihukum, dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat lain, dan unsur-

    unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan

    penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu di kalangan fukahah tidak ada

    pehatia khusus terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini

    termasuk jarimah ta’zir.

    Kedua: Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang

    hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk pecobaan tidak perlu

    diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat

    (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Dengan perkataan

    lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau permulaan jahat dianggap

    maksiat yang dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Karena hukuman had dan khifarat

    hanya dikenakan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai

    maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilakukan

    hanya dijatuhi hukuman ta’zir, dan percobaan itu sendiri dianggap maksiat,

    yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu bagian saja di antara

    bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu

    bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau sesuatu perbuatan semata-mata

    59

    Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm.

    118.

  • 35

    menjadi suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan

    membentuk jarimah yang lain lagi.60

    Walupun demikian, masalah percobaan melakuka jarimah disinggung

    oleh mereka secara umum, seperti ketika mereka membicarakan tentang fase-

    fase pelaksanaan jarimah. Seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-

    tidaknya melalui tiga fase, yaitu fase pemikiran, fase persiapan, dan fase

    pelaksaan. Sebagai contoh, seorang yang akan melakukan pencurian mula-mula

    berpikir apakah jadi mencuri atau tidak. Bila telah kuat niatnya untuk mencuri

    maka ia mempersiapkan alat-alatnya, seperti membeli kunci atau mencongkel

    pintu selanjutnya ia berangkat untuk mencuri.61

    Teori hukum Islam tentang percobaan lebih luas jangkauannya dari pada

    hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam Islam tidak hanya perbuatan

    yang selesai yang dijatuhi hukuman. Akan tetapi terhadap perbuatan belum

    selesai jika termasuk maksiat juga dihukum. Sedangkan menurut kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dalam Pasal 54 menyatakan bahwa

    pelaku percobaan yang dapat dijatuhi pidana hanya melakukan perbuatan yang

    dikatagorikan kejahatan, sedangkan perbuatan pidana yang dikatagorikan

    pelanggaran tidak dipidana.62

    E. Syarat Percobaan Tindak Pidana

    Dalam Pasal 53 KUHP terkandung suatu pengertian bahwa agar

    penjatuhan pidana kepada seseorang yang baru mencoba melakukan suatu

    kejahatan memiliki dasar legimitasi yang kuat, maka harus terpenuhi semua

    syarat yang tercantum di dalam pasal tersebut, syarat-syarat itu adalah:

    60

    Makhrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam ..., hlm. 43. 61

    A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya-upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam)...,

    hlm. 21. 62

    Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana..., hlm. 115.

  • 36

    1. Adanya niat (voornemen).

    Adanya niat dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kejahatan.

    Dalam penjelasan KUHP tidak dijelaskan pengertian dari niat, yang ada

    hanyalah niat melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang

    dipandang sebagai kejahatan.63

    Menurut Moeljatno niat jangan disamakan

    dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial bisa berubah menjadi

    kesengajaan apabila sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dengan

    pemahaman demikian, jika niat tersebut belum diwujudkan menjadi kejahatan,

    maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada

    perbuatan. Niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan. Isinya

    niat tidak bisa diambil dari isinya kesengajaan apabila kejahatan itu timbul,

    sehingga diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu itu sudah ada

    sejak niat belum diwujudkan dalam suatu perbuatan.64

    Niat yang ada dalam batin seseorang adalah suatu hal yang bersifat

    abstrak dan hanya dapat diketahui oleh yang bersangkutan, sehingga tentunya

    sulit untuk dibuktikan oleh pihak lain. Selain itu, sejahat apapun suatu niat yang

    ada pada seseorang, pada dasarnya tidak mengakibatkan sesuatu yang

    merugikan pihak lain. Oleh karena itu dalam prespektif yuridis, suatu niat tidak

    akan dipandang berimplikasi apapun apalagi dapat dipidanya pemilik niat.65

    2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).

    Dalam memecahkan persoalan permulaan pelaksanaan ini para ahli

    hukum pidana menghubungkan landasanya dengan teori patut dipidananya

    percobaan melakukan kejahatan. Kalau sudah ditentukan atas dasar teori apa

    percobaan itu dapat di pidana, maka langkah selanjutnya adalah mudah untuk

    63

    Aruan Sakidjo dan Bambang Pernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum

    Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 121. 64

    Moeljatno, Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, (Jakarta:

    Bina Aksara, 1983), hlm. 18. 65

    M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum

    Universitas Islam Indonesia, 2002), hlm. 217.

  • 37

    menentukan kapan ada permulaan pelaksanaan. Umumnya terdapat dua

    golongan mengenai dapat dipidananya percobaan, yaitu pandangan yang

    subjektif dan pandangan yang objektif. Pandangan subjektif menganggap

    bahwa yang melakukan percobaan itu harus dipidana, karena sifat bahayanya

    orang tersebut. Sedangkan pandangan yang objektif menganggap bahwa dasar

    untuk memidana percobaan itu karena berbahaya perbuatan yang dilakukan.66

    Moeljatno mengatakan bahwa untuk adanya permulaan pelaksanaan

    kejahatan harus memenuhi tiga syarat sekaligus, yaitu:67

    a. Secara objektif ap