perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja...

28
PERBEDAAN PERILAKU KEKERASAN DALAM PACARAN PADA REMAJA YANG BERASAL DARI ORANG TUA BERCERAI DAN TIDAK BERCERAI OLEH NI KOMANG AYU CAHYA KHARISMA 80 2011 010 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Upload: trinhthu

Post on 03-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

PERBEDAAN PERILAKU KEKERASAN DALAM PACARAN PADA

REMAJA YANG BERASAL DARI ORANG TUA BERCERAI DAN TIDAK

BERCERAI

OLEH

NI KOMANG AYU CAHYA KHARISMA

80 2011 010

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 2: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor
Page 3: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor
Page 4: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor
Page 5: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor
Page 6: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor
Page 7: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

PERBEDAAN PERILAKU KEKERASAN DALAM PACARAN PADA

REMAJA YANG BERASAL DARI ORANG TUA BERCERAI DAN TIDAK

BERCERAI

Ni Komang Ayu Cahya Kharisma

Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 8: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

i

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku kekerasan dalam

berpacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai. Partisipan dalam

penelitian ini adalah siswa/i SMA dari beberapa sekolah di Kota Salatiga. Sampel yang

diperoleh sebanyak 101 siswa dengan menggunakan teknik Purposive Sampling. Sampel terbagi

menjadi 2 kelompok yaitu 32 siswa berasal dari orang tua bercerai dan 69 siswa berasal dari

orang tua utuh (tidak bercerai). Metode pengumpulan data menggunakan skala conflict tactics

scales (Straus, 1996) dengan 35 pernyataan. Hasil penelitian menunjukkan nilai t sebesar 2,914

dengan signifikansi sebesar 0,004 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan perilaku

kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai.

Kata Kunci : Kekerasan dalam pacaran, Remaja, Orang tua bercerai.

Page 9: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

ii

Abstract

The purpose of this study was to determine whether there are differences in behavior in dating

violence in adolescents of divorced parents and not divorced. Participants in this study were

high school students from several schools in Salatiga. Samples obtained by the 101 students by

using purposive sampling technique. The sample was divided into 2 groups: 32 students come

from divorced parents and 69 students come from parents intact (not divorced). Methods of data

collection using questionnaires using conflict tactics scales (Straus, 1996) with 35 statements.

The results showed t value of 2,914 with sig. = 0.004 (p < 0,05), which means that there are

differences in courtship violent behavior in adolescents who come from divorced parents and

not divorced.

Keyword : Dating violence, Adolescents, Divorced.

Page 10: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

1

PENDAHULUAN

Remaja mengalami perkembangan yang begitu pesat, baik secara fisik maupun

psikologis. Perkembangan secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organ-organ tubuh

termasuk organ reproduksi. Sedangkan secara psikologis perkembangan ini nampak pada

kematangan pribadi dan kemandirian. Ciri khas kematangan psikologis ini ditandai dengan

ketertarikan terhadap lawan jenis yang biasanya muncul dalam bentuk (misalnya) lebih senang

bergaul dengan lawan jenis dan sampai pada perilaku yang sudah menjadi konsumsi umum,

yaitu berpacaran (Setiawan & Nurhidayah, 2008). Menurut Knight (2004) berpacaran adalah

pengaturan atau perencanaan khusus antara dua orang yang berlawanan jenis, yang saling

tertarik satu sama lain dalam berbagai tingkat tertentu. Berpacaran hanyalah pendahuluan untuk

memilih teman hidup, ini adalah suatu fase yang harus dijalani oleh individu, suatu fase yang

sangat vital. Setiap individu memperoleh pengalaman dalam berbagai aspek kehidupan. Melalui

pengalaman berpacaran, seseorang akan mengenal orang lain dengan pengertian yang lebih

mendalam.

Hal yang menjadi motif untuk berpacaran adalah proses interaksi personal antara dua

jenis kelamin, trend status sosial, tempat untuk mencurahkan isi hati, mencari sosok pelindung

dan memilih pasangan hidup (Ferlita, 2008). Menurut Duvall & Miller (1985) ada beberapa

tingkatan dalam pacaran, di antaranya ialah (1) Casual Dating, tahap ini biasanya dimulai

dengan “pacaran santai” pada orang muda. Orang dalam tahap ini biasanya berpacaran dengan

beberapa orang dalam satu waktu. (2) Regular Dating, pasangan pada tahap ini seringkali pergi

bersama dengan pasangannya. Jika hubungan ini dapat memenuhi kebutuhan pasangannya,

hubungan ini akan meningkat secara eksklusif (terpisah dari yang lain). (3) Steady Dating, tahap

ini adalah fase yang serius dan lebih kuat dari fase dating regularly. Pasangan dalam tahap ini

biasa memberikan beberapa simbol nyata sebagai bentuk komitmen mereka terhadap

Page 11: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

2

pasangannya. (4) Engagement (Tunangan), tahap pengakuan kepada publik bahwa pasangan ini

berencana untuk menikah.

Ketika individu berada dalam hubungan pacaran yang terjalin dalam tingkat yang lebih

mendalam, waktu yang akan dihabiskan bersama pasanganpun cukup lama, dan ini akan

membuat individu tersebut mengenal pasangannya dengan cukup baik, sehingga biasanya akan

lebih mudah bagi seseorang untuk berbuat sesuatu yang ia inginkan kepada pasangannya tanpa

sungkan. Hal ini termasuk pada tindakan-tindakan yang kadang menyakitkan bagi pasangan,

seperti membentak ataupun memukul. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hammock dan

O‟Hearn (2002) menyebutkan bahwa dimensi keseriusan dan lamanya waktu berpacaran

memiliki hubungan dengan tingkat agresivitas dalam berpacaran, walaupun terdapat juga faktor-

faktor lain yang dapat mempengaruhinya (dalam Sarabiah, 2014). Berpacaran tidak hanya

menimbulkan dampak positif tetapi juga dampak negatif. Berpacaran dihadapkan pada situasi

yang menuntut seseorang harus mampu menyesuaikan diri bukan hanya terhadap dirinya sendiri

tetapi juga pasangannya. Tidak jarang hubungan berpacaran diwarnai dengan kasus kekerasan

terutama dilakukan oleh laki-laki (Devi, 2013).

Menurut Set (2009), kekerasan dalam masa pacaran adalah pola berulang dari perilaku

kekerasan yang ditimbulkan seorang kekasih terhadap pasangannya. Sedangkan menurut Straus

(dalam Margaretha, 2013) agresivitas dalam relasi intim atau sering disebut dengan istilah

kekerasan dalam pacaran didefinisikan sebagai tindakan yang mengacu pada setiap tindakan

jahat, yaitu perbuatan yang telah dilakukan dengan maksud, atau yang dianggap memiliki niat

untuk menyakiti yang lain. Motif utama perilaku agresi bisa jadi adalah keinginan menyakiti

orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, seperti pada agresi permusuhan,

atau keinginan mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan agresif (Krahe, 2005).

Sedangkan menurut Burandt et al (dalam Murray, 2007) mendefinisikan dating violence sebagai

tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan

Page 12: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

3

paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control)

terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas

paksaan orang lain, sang pelakulah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak,

perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya. Jadi

segala bentuk perilaku agresi yang dilakukan dalam hubungan berpacaran dapat dikatakan

sebagai tindakan kekerasan dalam pacaran atau dating violence.

Kasus-kasus kekerasan dalam berpacaran cukup banyak terjadi di Indonesia. Rifka

Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan

reproduksi dan gender menemukan bahwa sejak tahun 2001–2005, terdapat 385 kasus kekerasan

dalam pacaran (dalam Devi, 2013). Sementara itu, angka kekerasan dalam pacaran di Sumatera

Selatan yang dilaporkan kepada Women’s Crisis Centre Palembang tahun 2009 sebanyak 52

kasus, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2008 yang sebanyak 22 kasus (dalam

Ayu dkk, 2012). Sedangkan catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan oleh Komnas

Perempuan mencatat kasus kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.299 kasus pada tahun 2010,

1.405 kasus pada tahun 2011, 1.085 kasus pada tahun 2012 dan 2.507 kasus pada tahun 2013,

1.748 kasus pada tahun 2014.

Menurut O'Keeffe et al (dalam, National Resource Center on Domestic Violence 2005)

beberapa peneliti mendefinisikan kekerasan dalam berpacaran secara psikologis dan emosional

dalam bentuk intimidasi, pelecehan verbal, dan pemantauan keberadaan pasangannya. Demaris

et al (1992) menggunakan definisi yang lebih ketat yang hanya mencakup tindakan kekerasan

fisik seperti menampar, mendorong, memukul, menendang, dan lain-lain. Menurut Straus et al

(1996) agresivitas dalam relasi intim terdiri dari lima aspek, yaitu:

1. Negosiasi; didefinisikan sebagai tindakan yang diambil untuk menyelesaikan sebuah

perselisihan melalui jalur diskusi. Aspek negosiasi dapat menunjukkan perilaku

agresi dari individu. Bila individu memiliki skor negosiasi yang tinggi maka

Page 13: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

4

kemungkinan agresivitasnya rendah karena individu tersebut mampu mengontrol

agresinya. Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi yang rendah, maka hal ini

menunjukkan individu tersebut kurang mampu menahan emosi negatifnya sehingga

cenderung berperilaku agresi.

2. Agresi psikologis; yaitu tindakan agresi secara verbal dan non verbal. Contohnya,

menghina, menyumpahi pasangan, menghancurkan barang milik pasangan,

melakukan sesuatu dengan sengaja untuk membuat pasangan jengkel

3. Serangan fisik; dikategorikan menjadi dua yaitu, serangan ringan: melemparkan

sesuatu pada pasangan, mendorong, memutar lengan, menampar, serangan berat:

memukuli pasangan, membanting pasangan kedinding, menggunakan senjata tajam

pada pasangan.

4. Pemaksaan seksual; didefinisikan sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk

memaksa pasangan terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak diinginkan.

5. Cedera; merupakan cedera fisik yang dilakukan dengan sengaja oleh pasangan.

Menurut Rifka Annisa WCC, faktor-faktor penyebab kekerasan dalam berpacaran adalah

ideologi gender dan budaya patriaki, pengertian yang salah tentang makna pacaran, adanya

upaya untuk mengendalikan wanita, adanya mitos-mitos yang berkembang diseputar pacaran,

contohnya „perasaan cinta yang harus dibuktikan dengan berhubungan seksual‟. Menurut

Murray dalam mengemukakan bahwa faktor penyebab kekerasan dalam pacaran adalah

penerimaan teman sebaya, harapan peran gender, pengalaman yang sedikit, jarang berhubungan

dengan pihak yang lebih tua, sedikit akses ke layanan masyarakat, legalitas dan penggunaan

obat-obatan. Sedangkan menurut World Report On Violence and Health mengidentifikasikan

faktor penyebab kekerasan dalam pacaran menjadi enam faktor yaitu faktor individual, sejarah

kekerasan dalam keluarga, penggunaan alkohol, gangguan kepribadian, faktor dalam hubungan

dan faktor komunitas (dikutip dalam Devi, 2013).

Page 14: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

5

Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses

perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan

kebebasan untuk menyatakan diri. Rasa aman meliputi perasaan aman secara material dan

mental (Ali & Asrosi, 2004). Remaja yang tengah berada pada fase krisis identitas atau

ketidaktentuan, memerlukan teladan tentang norma-norma yang mapan untuk diidentifikasi.

Perwujudan norma-norma yang mantap itu tentunya menuntut orang tua sebagai pelopor norma.

Dengan demikian faktor keteladanan dari sosok pribadi orang tua menjadi amat penting bagi

variasi perkembangan sosial remaja. Menurut Kesler (dalam Ali & Asrosi, 2004) remaja sangat

memerlukan keteladanan dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Keluarga pada hakekatnya

merupakan wadah pembentukan masing-masing anggota keluarga, terutama anak-anak yang

masih berada dalam bimbingan dan tanggung jawab orangtuanya. Hal serupa diungkapkan oleh

Gunarsa dan Gunarsa yang mengatakan bahwa lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama

bagi anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman pertama yang mempengaruhi hidupnya.

Bagi seorang anak, keluarga memiliki arti dan fungsi yang penting bagi pembentukan pribadi

anak, kelangsungan hidup maupun dalam menemukan makna dan tujuan hidup (dalam

Nisfiannoor, 2005). Graham (1983) juga menambahkan bahwa keluarga merupakan salah satu

faktor penyebab perilaku menyimpang anak dan remaja, keluarga yang tercerai berai/ perceraian

orang tua, cara orang tua mendidik dan mengasuh juga menjadi faktor penyebab perilaku

menyimpang anak (dalam Sarwono, 2000).

Soelaeman menyatakan bahwa keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam satu keluarga

sangat dibutuhkan agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang direalisasikan

orangtua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak-anaknya. Menurut

Gunarsa (1993) orang tua mempunyai fungsi dan peranan sangat besar dalam perkembangan

seorang anak, terutama apabila seorang anak yang menginjak masa remaja. Keutuhan keluarga

membuat anak merasakan dan memahami arahan dan bimbingan orang tua walaupun mereka

Page 15: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

6

tidak hadir secara fisik di hadapannya. Hal ini membuat anak memiliki pedoman hidup yang

kuat. Dengan pedoman yang dimiliki, anak mengetahui arah hidupnya dan tidak mudah untuk

dipengaruhi oleh pergaulan yang buruk (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005).

Perceraian merupakan perpisahan yang legal antara sepasang suami istri sebelum

kematian salah satu pasangan. Hal yang menjadi penyebab perceraian menurut Suratman (1998)

antara lain adalah, kesibukan suami, rasa cemburu yang berlebihan, pengaruh ekonomi,

perselingkuhan, dan perjudian (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005). Pasangan suami-isteri

yang akan bercerai merasakan bahwa sebuah perkawinan yang dibina sejak awal seolah-olah

tidak dapat dilanjutkan lagi karena ketidakcocokan yang menyebabkan konflik, pertengkaran

atau percekcokkan terus menerus. Konflik-konflik tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor

yang mungkin terakumulasi selama beberapa waktu sebelumnya, namun kurang mendapat

perhatian serius dan tidak terselesaikan dengan tuntas, akibatnya mempengaruhi perilaku

emosional pasangan suami-isteri. Puncak konflik yang tidak dapat dibendung lagi akan

menimbulkan perseteruan terbuka dan seringkali harus melibatkan pihak ketiga untuk proses

penyelesaiannya, seperti pihak lembaga pengadilan (Dariyo, 2004).

Masalah keluarga broken home bukan menjadi masalah baru, tetapi justru merupakan

masalah utama dari akar-akar kehidupan seorang remaja. Menurut Wahyuningsih (dalam

Listiyanto, 2009) keluarga yang gagal memberi cinta kasih dan perhatian akan memupuk

kebencian, rasa tidak aman dan tindak kekerasan kepada anak-anaknya. Penelitian yang

dilakukan oleh Rice & Dolgin (dalam Dewi & Utami, 2008) menyebutkan bahwa pada

umumnya perceraian akan membawa resiko yang besar pada anak, baik dari sisi psikologis,

kesehatan maupun akademis. Menurut Hetherington dan Clingempeel (dalam Indriani, 2008)

anak dari pasangan yang berada dalam kondisi konflik yang akhirnya menuju pada perceraian

dapat mengalami kerusakan perkembangan psikologis seperti depresi, menarik diri dari

pergaulan sosial, kompetensi sosial yang rendah serta berbagai persoalan gangguan perilaku.

Page 16: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

7

Bahkan Hetherington (dalam Dewi & Utami, 2008) mengungkapkan bahwa setelah 6 tahun

pasca perceraian orang tuanya, anak akan tumbuh menjadi seseorang yang merasa kesepian,

tidak bahagia, mengalami kecemasan, dan perasaan tidak aman. Cummings dan Davies (dalam

Nisfiannoor & Yulianti, 2005) menyatakan bahwa anak menjadi sangat sedih akibat perceraian

kedua orangtuanya dan melampiaskan kesedihannya dengan bersikap menyakiti dan berperilaku

agresif dalam berinteraksi dengan saudara-saudaranya dan teman-temannya.

Dari beberapa kajian mengenai perilaku agresif remaja, Patterson et al mengatakan

bahwa remaja berperilaku agresif cenderung tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan tidak

harmonis. Mansoer mengatakan bahwa perilaku agresif juga dilakukan oleh remaja yang

memiliki hubungan yang tidak dekat dengan orangtuanya. Selanjutnya Amato & Keith

mengatakan bahwa keluarga yang bercerai cenderung menyebabkan remaja berperilaku agresif

(dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005). Penelitian-penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh

Ilahude (1983) membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat terkait dengan hubungan yang

tidak baik antara orang tua dan anak, atau apa yang dilihatnya di rumah, sekolah, dan di

kalangan teman (Retnowati dan Sarifuddin, dikutip dalam Cahya, 2012).

Walaupun demikian, ada beberapa penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda.

McCloskey, Figuerendo & Koss (1995) menemukan sedikit bukti mengenai hubungan antara

pengalaman agresi dan disfungsi keluarga pada masa kanak-kanak dengan perkembangan

agresivitas dan kesehatan mental orang yang bersangkutan pada masa dewasanya. Jadi,

kalaupun terjadi agresi, menurut mereka hal tersebut bukan disebabkan oleh pengalaman masa

lalu atau kondisi kesehatan mental mereka yang kurang baik. Penelitian yang dilakukan oleh

Emery & Simons juga menyatakan bahwa remaja yang dibesarkan dalam keluarga bercerai tidak

selalu menunjukkan perilaku agresif (Nisfiannoor & Yulianti, 2005).

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

perbedaaan perilaku kekerasan dalam berpacaran pada remaja yang berasal dari orang tua

Page 17: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

8

bercerai dan tidak bercerai (utuh). Penulis melihat beberapa hasil penelitian yang menyatakan

bahwa remaja yang tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga bercerai dan tidak harmonis lebih

cenderung menunjukkan perilaku agresif. Tetapi penulis juga menemukan beberapa hasil

penelitian yang berlawanan. Maka dari itu penulis ingin meneliti topik ini, dan memodifikasi

penelitian sebelumnya dengan menambahkan perilaku agresif remaja dalam konteks berpacaran

atau yang lebih sering disebut dengan kekerasan dalam berpacaran. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perilaku kekerasan dalam berpacaran pada remaja

yang berasal dari orangtua bercerai dan tidak bercerai.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode komparatif, dimana pola

penelitian ini digunakan untuk mengetahui apakah antara dua variabel ada perbedaan dalam

suatu aspek yang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku

kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai.

Responden

Tempat dilaksanakannya penelitian adalah di tiga Sekolah Menengah Atas di Kota

Salatiga, yaitu SMA Theresiana, SMA Kristen 1, SMK Diponegoro. Total responden dalam

penelitian ini berjumlah 193 orang yang merupakan siswa/i SMA. Responden dari SMA

Theresiana berjumlah 35 siswa, sedangkan dari SMA Kristen 1 berjumlah 65 siswa, dan SMK

Diponegoro berjumlah 93 siswa.

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah remaja berusia 16 sampai 18 tahun

yang sedang menjalin hubungan berpacaran. Namun responden dalam penelitian ini dibagi

menjadi dua kelompok, yaitu kelompok remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan

kelompok remaja yang berasal dari orang tua utuh/tidak bercerai. Karakteristik responden dari

Page 18: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

9

keluarga bercerai dalam penelitian ini yakni, responden tinggal dengan salah satu orangtuanya

atau dengan sanak familinya tanpa ada dukungan dari salah satu orangtuanya.

Prosedur Sampling

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

Purposive Sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan ciri atau sifat tertentu.

Alat ukur

Sebelum membagikan alat ukur untuk diisi oleh partisipan, peneliti menerjemahkan

skala berbahasa asing yang akan digunakan ke dalam bahasa Indonesia. Conflict Tactics Scales

(CTS) yang disusun oleh Straus et al (1996) adalah skala obyektif yang banyak digunakan

terutama pada penelitian berkaitan tentang konflik dalam hubungan berpacaran dan perkawinan,

yang mengukur laporan kekerasan baik sebagai pelaku maupun korban. Conflict Tactics Scales

terdiri dari 78 item, yang memiliki lima sub-skala, termasuk Negosiasi (kognitif dan emosional);

Agresi psikologis (kecil dan besar); Serangan fisik (kecil dan berat); Cedera (ringan dan berat);

dan Pemaksaan Seksual (ringan dan berat). Karena dalam penelitian ini penulis hanya mengukur

perilaku kekerasan dalam pacaran dari sisi pelaku, maka penulis hanya menggunakan 35 item

dari 78 item.

Pada skala ini aitem disusun berdasarkan Skala Likert yang telah dimodifikasi oleh

penulis, untuk menyesuaikan keadaan di lapangan. Adapun jawaban yang disediakan adalah

sebanyak 6 pilihan jawaban, dimana jawaban tersebut adalah kategori untuk mengukur frekuensi

tindakan yang digunakan selama konflik dengan pasangan selama berpacaran (0 = tidak pernah

terjadi, 1 = 1 – 2 kali, 2 = 3 – 5 kali, 3 = 6 – 10 kali, 4 = 11 – 20 kali, 5 = lebih dari 20 kali).

Daya Diskriminasi Item dan Reliabilitas Alat Ukur

Penelitian ini menggunakan uji reliabilitas dan daya diskriminasi item dengan

menggunakan program SPSS.v 16.0. Pada hasil penelitian, tingkat reliabilitas untuk keseluruhan

Page 19: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

10

item conflict tactics scales sebesar 0,902 dengan 5 item yang gugur. Hal ini berarti, item yang

dipakai dalam angket conflict tactics scales reliabel.

Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dengan

menggunakan uji beda (t-test) untuk mencari perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran pada

remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan orang tua utuh. Proses analisis dilakukan dengan

program Statistical Programme for Social Science (SPSS) 16.0 for windows.

Prosedur Penelitian

Peneliti menyiapkan beberapa hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian,

diantaranya adalah skala yang akan disebar dan surat perizinan penelitian dari fakultas. Ketika

persiapan tersebut sudah matang barulah peneliti memulai penelitiannya.

Pada hari Selasa, 30 Juni 2015 peneliti mendapatkan perizinan dari fakultas untuk

melakukan penelitian, namun dikarenakan sedang libur sekolah peneliti baru dapat melakukan

penelitian mulai tanggal 09 Juli 2015. Akhirnya, penyebaran angket dimulai tanggal 09 Juli

2015 di SMK Diponegoro Salatiga, dengan masuk dan menyebarkan angket kedalam 4 kelas

yang jumlah siswa dalam 1 kelas ± 20 siswa. Kemudian dilanjutkan tanggal 28 Juli 2015 di

SMA Theresiana Salatiga, masuk dan menyebarkan angket kedalam 4 kelas yang jumlah siswa

dalam 1 kelas ± 8 siswa. Penelitian terakhir, tanggal 29 Juli 2015 di SMA Kristen 1 Salatiga,

untuk sekolah ini peneliti menitipkan 65 angket pada guru bimbingan konseling sekolah

tersebut.

Total angket yang disebar oleh peneliti pada tiga sekolah sebanyak 193 angket, namun

yang terpakai hanya 101 angket, sisanya 92 angket gugur karena tidak sesuai dengan kriteria

subjek, yaitu subjek sedang tidak menjalin hubungan berpacaran. Dari 101 angket, 69 angket

merupakan remaja berpacaran yang berasal dari keluarga tidak bercerai dan 32 angket

merupakan remaja berpacaran yang berasal dari keluarga bercerai.

Page 20: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

11

HASIL PENELITIAN

Uji Asumsi

Tahap yang dilakukan pada uji asumsi yaitu uji normalitas, dimana dalam penelitian ini

menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Data dapat dikatakan berdistribusi normal

apabila p > 0,05. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

orang tua

bercerai

orang tua tidak

bercerai

N 32 69

Normal Parametersa Mean 28.19 19.06

Std. Deviation 16.511 13.714

Most Extreme Differences Absolute .175 .142

Positive .175 .142

Negative -.101 -.105

Kolmogorov-Smirnov Z .990 1.179

Asymp. Sig. (2-tailed) .281 .124

Diketahui pada data yang didapat dari siswa yang orang tuanya bercerai memiliki signifikansi

sebesar 0,281 (p > 0,05) dengan demikian data berdistribusi normal, sedangkan untuk data yang

didapat dari siswa yang orang tuanya tidak bercerai memiliki signifikansi sebesar 0,124 (p >

0,05) yang juga berarti data berdistribusi normal.

Uji Homogenitas

Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah varians populasi penelitian sama atau

tidak. Dapat dikatakan memiliki varians sama jika nilai probabilitas p > 0,05. Berdasarkan hasil

uji homogenitas menunjukan bahwa nilai koefisien Levene Statistic sebesar 2,925 dengan

signifikansi sebesar 0,090 oleh karena p > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa data tersebut

homogen.

Page 21: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

12

Tabel 2. Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances

perilaku kekerasan

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.925 1 99 .090

Analisis Deskripif

Interval kategorisasi perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja dikategorikan

menjadi lima kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah dengan

menggunakan rumus skala Likert (Widoyoko, 2012) yaitu:

Interval kelas =

Berdasarkan hasil perhitungan skor pada setiap angket perilaku kekerasan dalam pacaran pada

remaja baik dari orang tua bercerai dan tidak bercerai, maka hasil perhitungan skor angket dapat

dinyatakan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 3. Kategorisasi Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran

Remaja yang Memiliki Orang Tua Bercerai

Interval Kategori frekuensi % Mean SD

120 < x ≤ 150 Sangat Tinggi 0 0%

28,18

16,5

90 < x ≤ 120 Tinggi 0 0%

60 < x ≤ 90 Cukup 3 9,4%

30 < x ≤ 60 Rendah 6 18,7%

0 ≤ x ≤ 30 Sangat Rendah 23 71,8%

Tabel 4. Kategorisasi Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran

Remaja yang Memiliki Orang Tua Tidak Bercerai

Interval Kategori frekuensi % Mean SD

120 < x ≤ 150 Sangat Tinggi 0 0%

19,05

13,7

90 < x ≤ 120 Tinggi 1 1,4%

60 < x ≤ 90 Cukup 0 0%

30 < x ≤ 60 Rendah 8 11,6%

0 ≤ x ≤ 30 Sangat Rendah 60 86,9%

Hasil analisis deskriptif diatas menunjukan bahwa perilaku kekerasan dalam berpacaran

pada siswa yang memiliki orang tua bercerai pada ketegori sangat rendah, yakni pada interval 0

≤ x ≤ 30 terdapat 23 orang (71,8%), sedangkan pada siswa yang memiliki orang tua tidak

Page 22: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

13

bercerai terdapat 60 orang (86,9%). Pada kategori rendah, yakni pada interval 30 < x ≤ 60

perilaku kekerasan dalam berpacaran pada siswa yang memiliki orang tua bercerai terdapat 6

siswa (18,7%), sedangkan pada siswa yang memiliki orang tua tidak bercerai terdapat 8 siswa

(11,6%). Pada kategori cukup, yakni pada interval 60 < x ≤ 90 perilaku kekerasan dalam

berpacaran pada siswa yang memiliki orang tua bercerai terdapat 3 siswa (9,4%), sedangkan

pada siswa yang memiliki orang tua tidak ada yang berada pada kategori tersebut. Pada kategori

tinggi, yakni pada interval 90 < x ≤ 120 perilaku kekerasan dalam berpacaran tidak terdapat

pada siswa yang memiliki orang tua bercerai, sedangkan pada siswa yang memiliki orang tua

tidak bercerai terdapat 1 siswa (1,4%). Pada kategori sangat tinggi, yakni pada interval 120 < x

≤ 150 perilaku kekerasan dalam berpacaran tidak terdapat pada siswa yang memiliki orang tua

bercerai maupun yang tidak bercerai (0%).

Uji t

Selanjutnya untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perilaku kekerasan dalam

pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dengan remaja yang berasal dari orang

tua tidak bercerai, maka digunakanlah uji Independent t-test sebagai berikut:

Page 23: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

14

Table 5. Uji T

Independent Samples Test

Levene's Test

for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-

tailed)

Mean

Difference

Std. Error

Difference

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

perilaku kekerasan Equal

variances

assumed

2.925 .090 2.914 99 .004 9.12953 3.13276 2.91345 15.34561

Equal

variances

not

assumed

2.723 51.604 .009 9.12953 3.35334 2.39933 15.85973

Karena populasi yang memiliki varians sama, maka uji Independent-Samples t-test yang

digunakan adalah equal variances assumed. Adapun hasil analisis data menghasilkan t = 2,914

dengan signifikansi 0,004 (p < 0,05), artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku

kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data mengenai perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran

pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai, maka diperoleh hasil t

hitung sebesar 2,914 dan signifikansi sebesar 0,004 (p > 0,05) yang artinya dapat disimpulkan

bahwa ada perbedaan yang signifikan antara perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja

yang berasal dari orang tua bercerai dengan remaja yang berasal dari orang tua tidak bercerai.

Remaja yang berasal dari orang tua bercerai memiliki rata-rata perilaku kekerasan sebesar

28,18, sedangkan remaja yang berasal dari orang tua tidak bercerai sebesar 19,05. Hal ini

menunjukkan bahwa perilaku kekerasan dalam berpacaran pada remaja dengan orang tua

Page 24: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

15

bercerai memiliki perbedaan dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja dengan

orang tua utuh.

Keluarga memiliki arti dan fungsi yang penting bagi pembentukan pribadi anak. Menurut

Graham (dalam Sarwono, 2000) keluarga merupakan salah satu faktor penyebab perilaku

menyimpang anak dan remaja. Penelitian ini menunjukkan bahwa remaja yang memiliki orang

tua bercerai cenderung lebih agresif ketika berinteraksi dengan orang lain dibandingkan dengan

remaja yang memiliki orang tua utuh atau tidak bercerai. Interaksi yang dilakukan remaja tidak

melulu hanya dengan teman. Pacaran juga termasuk salah satu interaksi sosial remaja. Menurut

Cummings dan Davies (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005) remaja dengan orang tua yang

bercerai akan menjadi sangat sedih akibat perceraian kedua orangtuanya dan cenderung

melampiaskan kesedihannya dengan berperilaku agresi dalam berinteraksi dengan saudara-

saudaranya maupun teman-temannya.

Perceraian terjadi ketika pasangan suami-isteri merasa bahwa sebuah perkawinan yang

dibina sejak awal seolah-olah tidak dapat dilanjutkan lagi karena ketidak-cocokan yang

menyebabkan konflik, pertengkaran atau percekcokkan terus menerus (Dariyo, 2004). Dalam

penelitian ini, terdapat pertanyaan mengenai seberapa sering partisipan pernah melihat orang tua

mereka melakukan kekerasan atau bertengkar di rumah. Partisipan dengan orang tua bercerai

sebanyak 25% menjawab tidak pernah, 40% menjawab pernah melihat beberapa kali, dan 34%

menjawab sering melihat dan mendengar pertengkaran orangtuanya di rumah. Sedangkan

partisipan dengan orang tua tidak bercerai sebanyak 37% menjawab tidak pernah, 55%

menjawab beberapa kali, dan hanya 7% yang menjawab sering melihat orang tua mereka

bertengkar. Hal ini menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari orang tua bercerai cenderung

lebih sering melihat orangtuanya bertengkar dibandingkan remaja dari orang tua utuh.

Menurut teori Bandura (dalam Cahya, 2012) perilaku agresi dipelajari dari model yang

dilihat dalam keluarga, lingkungan kebudayaan setempat dan media massa. Penelitian yang telah

Page 25: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

16

dilakukan oleh Ilahude juga membuktikan bahwa perilaku remaja sangat terkait dengan apa

yang dilihatnya di rumah, sekolah, lingkungan masyarakat dan di kalangan teman (dalam Cahya,

2012). Hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak juga dapat memicu timbulnya

perilaku menyimpang pada remaja, misalnya, perilaku kekerasan yang dilakukan dalam

hubungan pacaran. Menurut Ali & Asrosi (2004) remaja yang tengah berada pada fase krisis

identitas atau ketidaktentuan, memerlukan teladan tentang norma-norma yang mapan untuk

diidentifikasi. Perwujudan norma-norma yang mantap itu tentunya menuntut orang tua sebagai

pelopor norma. Faktor keteladanan dari sosok pribadi orang tua menjadi amat penting bagi

variasi perkembangan sosial remaja. Maka dari itu, kualitas hubungan antara orang tua dan anak

sangat diperlukan bagi perkembangan perilaku remaja.

Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan keluarga baik antara

orang tua dengan anak maupun antara suami dan istri sangat penting bagi pembentukan perilaku

anak. Remaja yang sering melihat orang tuanya bertengkar akan lebih mudah untuk berkata

kasar, memukul atau melakukan kekerasan verbal maupun fisik lainnya. Jadi, baik orang tua

utuh maupun orang tua yang bercerai memiliki peranan penting dalam mencegah anak-anaknya

berperilaku agresi dan melakukan tindak kekerasan dalam pacaran. Bila di dalam keluarga

terjalin hubungan yang harmonis antaranggota keluarga, para remaja akan lebih mampu

mengendalikan perilakunya. Kualitas hubungan yang baik dan nyaman antara anak dengan

orangtua, cenderung dapat meminimalisir perilaku agresi anak dalam berinteraksi sosial (Saad,

2003).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas tentang perbedaan perilaku

kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai,

maka dapat disimpulkan bahwa:

Page 26: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

17

1. Ada perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran yang signifikan pada remaja yang

berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai.

2. Sebagian besar responden penelitian ini memiliki perilaku kekerasan dalam pacaran pada

kategori sangat rendah. Untuk remaja yang berasal dari orang tua bercerai memiliki rata-

rata perilaku kekerasan sebesar 28,18 dan remaja yang berasal dari orang tua tidak

bercerai sebesar 19,05.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai dan mengingat banyaknya keterbatasan

penulis dalam melakukan penelitian, maka penulis mengajukan beberapa saran bagi:

a. Bagi remaja, sebaiknya tetap menjaga hubungan yang baik dengan orang tua dan

anggota keluarga lainnya. Remaja juga dapat mengikuti kegiatan-kegiatan positif, seperti

kegiatan olahraga, komunitas pelayanan sosial, komunitas pelayanan rohani, dan

kegiatan lainnya yang sesuai dengan minat masing-masing. Dengan demikian remaja

dapat mengembangkan dirinya kearah yang lebih positif.

b. Bagi orang tua, sebaiknya tidak memperlihatkan pertengkaran atau konflik rumah tangga

dihadapan anak, sehingga anak tidak mendapatkan contoh yang buruk dalam

menyelesaikan sebuah perselisihan.

c. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan topik ini, sebaiknya

melakukan penelitian pada remaja akhir atau dewasa awal, dan dapat menambahkan

metode kualitatif untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam.

Page 27: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

18

Daftar Pustaka

Ali, M., & Asrosi, M. (2004). Psikologi Remaja, Jakarta: Bumi Aksara.

Azwar, S. (2012). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, R., & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Edisi 10. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Budi, D., Listiyanto. (2009). Agresivitas Remaja Yang Memiliki Orang tua Tunggal (Single

Parent) Wanita. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma.

Dariyo, & Agoes. (2004). Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga. Jurnal

Psikologi Universitas Indonusa Esa Unggul, 2(2).

Devi, C., N. (2013). Kekerasan dalam Pacaran (Studi Kasus pada Mahasiswa yang pernah

melakukan Kekerasan dalam Pacaran). Jurnal Skripsi Bimbingan dan Konseling

Universitas Negeri Yogyakarta, Edisi 3.

Dewi, P., S., & Utami, M., S. (2008). Subjective Well-Being Anak Dari Orang Tua yang

Bercerai. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada, 35(2).

Duvall, E., Miller, C., M. (1985). Marriage and Family Development, 6th edition. New York:

Harper & Row Publisher.

Gracia, Ferlita. (2008). Sikap Terhadap Kekerasan Dalam Berpacaran (Penelitian Pada

Mahasiswi Reguler Universitas Esa Unggul Yang Memiliki Pacar). Jurnal Psikologi

Universitas Esa Unggul, 6(1).

Indriani, F., N. (2008). Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua Terhadap Anak. Skripsi

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Seogijapranata.

Knight, J. (2004). Jadi kamu sudah remaja? : informasi penting yang perlu diketahui tentang

masa remaja. Bandung : Indonesia Publishing House.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2010). Laporan Tahunan Kepada

Presiden Republik Indonesia. Jakarta. Diakses pada April 2015, dari:

www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/01/Laporan_KP_2010-rev.pdf

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2015). Lembar Fakta Catatan Tahunan

2014 (CATAHU). Jakarta. Diakses pada Juni 2015, dari:

http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2015/03/Lembar-Fakta-Catatan-

Tahunan-CATAHU-Komnas-Perempuan-Tahun-2014.pdf

Krahe, B. (2005). Perilaku Agresif. Pustaka Belajar : Yogyakarta.

Page 28: Perbedaan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9351/2/T1_802011010_Full... · Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi ... faktor-faktor

19

Margaretha, Rahmaniar, N., & Rani, R. (2013). Trauma Kekerasan Masa Kanak dan Kekerasan

dalam Relasi Intim. Makara Seri Sosial Humaniora. Fakultas Psikologi Universitas

Airlangga, 17(1).

McCloskey, A. (1995). The Effects Of Systemic Family Violence On Children‟s Mental Health.

The Society for Research in Child Development. University of Arizona.

Nisfiannoor, M., & Yulianti, E. (2005). Perbandingan Perilaku Agresif Antara Remaja Yang

Berasal Dari Keluarga Bercerai Dengan Keluarga Utuh. Jurnal Psikologi Universitas

Tarumanagara, 3(1).

O‟Keefe, M. (2005). Teen Dating Violence: A Review of Risk Factors and Prevention Efforts.

Harrisburg, PA: VAWnet, a project of the National Resource Center on Domestic

Violence/Pennsylvania Coalition Against Domestic Violence. Diakses pada 15 April 2015,

dari: www.vawnet.org/applied-research-papers/print-document.php?doc_id=409

Saad, H., M. (2003). Perkelahian pelajar: Potret siswa smu di dki Jakarta. Galang Press,

Yogyakarta.

Sabariah, M. (2014). Studi Kasus Mengenai Motif Agresi Pada Pelaku Emotional Abuse Selama

Berpacaran. Jurnal Psikologi Universitas Padjadjaran.

Sagala, R. (2008). Kekerasan Dalam Pacaran Pada Mahasiswa Ditinjau Dari Pola Asuh Otoriter

Orang tua. Skripsi, Fakultas Psikologi Katolik Seogijapranata.

Sarwono, S.W. (2000). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo.

Set, Sony. (2009). Teen Dating Violence – stop Kekerasan Dalam Pacaran!. Kanisius:

Yogyakarta.

Setiawan, R. & Nurhidayah S. (2008). Pengaruh Pacaran Terhadap Perilaku Seks Pranikah.

Jurnal Soul, 1(2).

Straus, A. Murray, et al. (1996). The Revised Conflict Tactics Scale. Journal of family issues,

17(3).

Tasmin, M., R., S. Perceraian dan kesiapan mental anak. Informasi psikologi online, diakses 02

Agustus 2015.

Widoyoko, Eko, P. (2012). Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.