perbedaan kualitas air mata pada mahasiswa …digilib.unila.ac.id/61148/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
PERBEDAAN KUALITAS AIR MATA PADA MAHASISWA PENGGUNA
LENSA KONTAK LUNAK DAN BUKAN PENGGUNA LENSA KONTAK
LUNAK DI UNIVERSITAS LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
AULIA FASYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
PERBEDAAN KUALITAS AIR MATA PADA MAHASISWA PENGGUNA
LENSA KONTAK LUNAK DAN BUKAN PENGGUNA LENSA KONTAK
LUNAK DI UNIVERSITAS LAMPUNG
Oleh
AULIA FASYA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
pada
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
ABSTRACT
THE DIFFERENCE IN THE QUALITY OF TEAR FILM IN COLLEGE
STUDENT SOFT CONTACT LENS USER AND NON SOFT CONTACT
LENS USER AT LAMPUNG UNIVERSITY
By
AULIA FASYA
Background: Dry eye is a disorder of the tear film which could cause damage and
discomfort to the ocular surface. Some contributing factors for dry eye are age,
gender, tobacco consumption, continously being in an air-conditioned room, and
the use of contact lens.
Research Objectives: To determine the differences in tear film quality between the
University of Lampung students soft contact lens user and non soft contact lens
user.
Research Methods: This research was an analytical observational study with cross
sectional approach. The sample in this study were 120 students of the University of
Lampung consisting of 60 student who use soft contact lens and 60 student non soft
contact lens user. This study used the Ocular Surface Disease Index (OSDI)
questionnaire and the Schirmer I test.
Results: The most common complaints associated with the use of soft contact lens
were complaints in the form of pain or dry eyes in a total of 52 (86,7%), while there
were 43 (71,7%) complaints from the students who don’t wear soft contact lens
where their eyes were light-sensitive. The prevalence of dry eyes based on OSDI
questionnaires in the soft contact lens user group versus non soft contact lens user:
dry eye with mild degree 10 students (16.7%) versus 20 students (33.3%), dry eye
with moderate degree 13 students (21.7%) versus 6 students (10%), dry eye with
severe degree 27 students (45%) versus 7 students (11.7%) (p = 0,000). According
to the Schirmer I test, the prevalence of the dry eye in the group who use soft contact
lens are 11 students (18,3%) and in the group non soft contact lens user are 2
students (3,3%) (p=0,019).
Conclusion: There were significant differences in the eye tear quality based on the
OSDI questionnaire and Schirmer I test results between the University of Lampung
students who use soft contact lens and non soft contact lens user.
Keywords: Contact lenses, Dry eye, OSDI questionnaire, Schirmer test I.
ABSTRAK
PERBEDAAN KUALITAS AIR MATA PADA MAHASISWA PENGGUNA
LENSA KONTAK LUNAK DAN BUKAN PENGGUNA LENSA KONTAK
LUNAK DI UNIVERSITAS LAMPUNG
Oleh
AULIA FASYA
Latar Belakang: Mata kering merupakan suatu penyakit yang mengenai film air
mata yang dapat menyebabkan kerusakan dan rasa tidak nyaman di bagian
permukaan mata. Beberapa faktor yang menjadi penyebab mata kering yaitu usia,
jenis kelamin, merokok, berada diruangan ber-AC terus menerus, dan penggunaan
lensa kontak.
Tujuan Penelitian: Mengetahui perbedaan kualitas air mata pada mahasiswa
pengguna lensa kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak di Universitas
Lampung.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 120
mahasiswa Universitas Lampung yang terdiri dari 60 mahasiswa pengguna lensa
kontak lunak dan 60 mahasiswa bukan pengguna lensa kontak lunak. Penelitian ini
menggunakan kuesioner Ocular Surface Disease Index (OSDI) dan tes schirmer I.
Hasil Penelitian: Keluhan terbanyak yang dirasakan oleh pengguan lensa kontak
lunak adalah keluhan mata nyeri atau kering yaitu sebanyak 52 (86,7%), berbeda
pada mahasiswa bukan pengguna lensa kontak lunak adalah keluhan mata yang
sensitif terhadap cahaya yaitu sebanyak 43 (71,7%). Prevalensi mata kering
berdasarkan kuesioner OSDI pada kelompok pengguna lensa kontak lunak versus
bukan pengguna lensa kontak lunak yaitu sebanyak 10 mahasiswa (16,7%) versus
20 mahasiswa (33,3%) mata kering derajat ringan, 13 mahasiswa (21,7%) versus 6
mahasiswa (10%) mata kering derajat sedang, 27 mahasiswa (45%) versus 7
mahasiswa (11,7%) mata kering derajat berat (p=0,000). Berdasarkan tes schirmer
I prevalensi mata kering pada kelompok pengguna lensa kontak lunak sebanyak 11
mahasiswa (18,3%) dan kelompok bukan pengguna lensa kontak lunak sebanyak 2
mahasiswa (3,3%) (p=0,019).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas air mata yang signifikan antara
pengguna lensa kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak berdasarkan
kuesioner OSDI dan tes schirmer I pada Mahasiswa Universitas Lampung.
Kata Kunci: Kuesioner OSDI, lensa kontak, mata kering, tes schirmer I.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 1 Juli 1998, sebagai anak pertama
dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ade Rohimat dan Ibu Indriyani.
Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak (TK) Bhakti Ibu
Lampung Selatan pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2004, Sekolah
Dasar (SD) diselesaikan di SD Bhakti Ibu Lampung Selatan pada tahun 2010,
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP AL-KAUTSAR Bandar Lampung
diselesaikan pada tahun 2013, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA AL-
KAUTSAR Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2016.
Tahun 2016, Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif berorganisasi
dalam lembaga kemahasiswaan yaitu sebagai Anggota Divisi Kaderisasi pada
Forum Studi Islam Ibnu Sina (FSI Ibnu Sina) dan menjadi Asisten Dosen Patologi
Anatomi (PA) 2018/2019.
ii
PERSEMBAHAN
Segala puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta Karunia-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga
dan para sahabat beliau.
Dengan penuh syukur kupersembahkan skripsi ini teruntuk
“ Mama, papa, adik-adikku, keluarga besar, sahabat serta rekan-rekan
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.”
iii
SANWACANA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan mengharap
syafaatnya di yaumil akhir kelak.
Alhamdulillah atas kehendak, izin, dan pertolongan Allah SWT, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbedaan Kualitas Air Mata pada
Mahasiswa Pengguna Lensa Kontak Lunak dan Bukan Pengguna Lensa Kontak
Lunak di Universitas Lampung.”
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat dukungan, masukan,
bantuan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Karomani, M. Si., selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Dr. Dyah Wulan Sumekar Rengganis Wardani, SKM., M.Kes., selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
3. dr. M. Yusran, S.Ked., Sp.M (K), selaku Pembimbing Utama atas kesediannya
untuk meluangkan waktu, membimbing, memberikan ilmu, nasihat, kritik dan
saran yang bermanfaat selama proses penyelesaian skripsi ini;
iv
4. dr. Giska Tri Putri, S.Ked., Selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya
untuk meluangkan waktu, membimbing, memberikan ilmu, nasihat, kritik dan
saran yang bermanfaat selama proses penyelesaian skripsi ini;
5. dr. Rani Himayani, S.Ked., Sp. M., Selaku Pembahas dan Penguji Utama pada
ujian skripsi. Terimakasih telah meluangkan waktunya dalam memberikan
ilmu, nasihat, kritik, dan saran agar penulisan skripsi ini menjadi lebih baik;
6. dr. Rasmi Zakiah Oktarlina, S.Ked., M.Farm., Selaku Pembimbing Akademik
yang bersedia membimbing, menasehati dan memotivasi selama masa
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
7. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah
wawasan yang menjadi landasan bagi masa depan dan cita-cita;
8. Seluruh staf TU, akademik dan administrasi Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan
skripsi ini;
9. Teristimewa untuk kedua orang tuaku, papa Ade Rohimat dan mama
Indriyani, terimakasih banyak telah menjadi orang tua yang begitu luar biasa,
yang selalu mendoakan disetiap langkahku, memberikan kasih sayang,
motivasi, arahan serta nasihat yang tiada hentinya. Terimakasih telah bersedia
meluangkan waktu, pikiran, dan materi demi kelancaran penulis dalam
menyelesaikan pendidikannya. Semoga Allah SWT selalu memberikan
kesehatan, umur yang panjang, melindungi serta menyayangi papa dan mama;
v
10. Adik-adikku tersayang Gyska Amelia Fasya, Vina Magdalena dan Naila
Rahmatusyifa, terimakasih atas segala doa, kasih sayang, bantuan dan
dukungannya selama ini;
11. Seluruh keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih
banyak atas doa, motivasi dan dukungannya serta menjadi kekuatanku untuk
dapat menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
12. Sahabat kecilku, Alifia Fathan, Sorta Chintya, Holiviya, Renato Hermawan,
Nandang Kresnandi, Rafiko Abdurahman, Syahdan Chandra dan Satria yang
selalu mendukung satu sama lain dan menjadi tempat bercerita dari dulu
hingga saat ini;
13. Sahabatku sejak dibangku sekolah Arum Monita, Melati Fitra, Amalia Nabila,
Farah Faadhilah, Tiwi Lestari, Dinda Zasqia, Catur Kurniasari, Esti Utami dan
Sarah Aini, terimakasih banyak atas motivasi dan kebersamaannya selama ini;
14. Sahabat nano Anniza Agustina, Joana Sirooj, Mira Yustika dan Rizka Dwi
yang menjadi tempat untuk berkeluh kesah, berbagi dalam setiap suka duka
dan selalu memotivasi untuk tetap semangat menjalani perkuliahan;
15. Sahabatku Ayu Tiara Fitri, Karunia Santi, Ismalia Qanit, Retno Arienta, Dina
Amalia yang telah menjadi partner selama menjalani perkuliahan.
16. Sahabat alysha geng Shafira Bella, Hasna Athiya, Revina Rifda, Icha Putri,
Ayu Darma, Atthiya, Asri Pandiangan, dan Rika Mutiara yang selalu
memberikan dukungan, motivasi dan nasihatnya selama ini;
17. Teman-teman “Keluarga Bonam” Alandra, Alif, Ardhya, Bagus, Caesario,
Diaru, Fachri, Haekal, Ian, Intan, Jeffrey, Jio, Jundi, Nadya, Neema, dan
vi
khususnya Rangga yang selalu menyambut kami dengan hangat dirumahnya,
terimakasih telah banyak membatu dalam proses belajar selama ini;
18. Teman-teman satu bimbingan dalam proses penelitian skripsi, Jovanka Ris
Natalia, Karina Azlia, Arif Naufal, Fauziah Dwi Apriani, Ashilah Mumtaz dan
Wina Nazula terimakasih atas kerjasamanya selama penyusunan skripsi ini;
19. Hans Pratama Assidiqy terimakasih telah memberi dukungan, segala bentuk
perhatian dan pengertiannya serta selalu ada disaat yang dibutuhkan;
20. Teman-teman Asisten Dosen Patologi Anatomi 2018/2019 terimakasih atas
kebersamaan dan kerjasamanya dalam mengemban tugas ini;
21. Seluruh teman satu angkatan TR16EMINUS terimakasih atas segala momen
yang mewarnai kehidupan kampusku, semoga kedepannya kita semua
menjadi dokter yang berkompeten dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar;
22. Kakak-kakak dan adik-adik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang
sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran;
23. Seluruh Mahasiswa Universitas Lampung yang turut membantu dengan
bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi kita semua.
Bandarlampung, 15 Januari 2020
Penulis,
Aulia Fasya
ii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 6
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 6
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8
2.1 Anatomi Sistem Lakrimal ....................................................................... 8
2.1.1 Sistem Sekresi Lakrimal ............................................................ 9
2.1.2 Sistem Ekskresi Lakrimal .......................................................... 9
2.2 Mekanisme Pengeluaran Air Mata ....................................................... 10
2.3 Air Mata ................................................................................................ 10
2.3.1 Lapisan Air Mata ..................................................................... 11
2.3.2 Fungsi Lapisan Air Mata ......................................................... 12
2.3.3 Komposisi Air Mata................................................................. 13
2.4 Sindrom Mata Kering ........................................................................... 14
2.4.1 Definisi..................................................................................... 14
2.4.2 Etiologi..................................................................................... 14
2.4.3 Faktor Resiko ........................................................................... 16
iii
2.4.4 Mekanisme Mata Kering ......................................................... 18
2.4.5 Klasifikasi ................................................................................ 19
2.4.6 Manifestasi Klinis .................................................................... 21
2.5 Pemeriksaan Dry Eye ............................................................................ 22
2.5.1 Pemeriksaan Subjektif ............................................................. 22
2.5.2 Pemeriksaan Objektif ............................................................... 23
2.6 Lensa Kontak ........................................................................................ 25
2.6.1 Definisi Lensa Kontak ............................................................. 25
2.6.2 Jenis-Jenis Lensa Kontak ......................................................... 27
2.6.3 Bentuk Lensa Kontak............................................................... 29
2.6.4 Indikasi Penggunaan Lensa Kontak ......................................... 30
2.6.5 Kontraindikasi Penggunaan Lensa Kontak ............................. 31
2.6.6 Komplikasi Penggunaan Lensa Kontak ................................... 31
2.7 Kerangka Teori ..................................................................................... 34
2.8 Kerangka Konsep ................................................................................. 35
2.9 Hipotesis ............................................................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 36
3.1 Jenis Penelitian ..................................................................................... 36
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 36
3.2.1 Tempat Penelitian .................................................................... 36
3.2.2 Waktu Penelitian ...................................................................... 36
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................ 36
3.3.1 Populasi .................................................................................... 36
3.3.2 Sampel ..................................................................................... 37
3.3.3 Cara Pengambilan Sampel ....................................................... 38
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................ 38
3.4.1 Kriteria Inklusi ......................................................................... 38
3.4.2 Kriteria Eksklusi ...................................................................... 39
3.5 Identifikasi Variabel ............................................................................. 39
3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian ............................................. 40
3.7 Instrumen Penelitian ............................................................................. 40
3.8 Cara Kerja Penelitian ............................................................................ 41
3.9 Alur Penelitian ...................................................................................... 43
iv
3.10 Pengolahan Data dan Analisis Data ...................................................... 44
3.10.1 Pengolahan Data ...................................................................... 44
3.10.2 Analisis Data ............................................................................ 45
3.11 Etik Penelitian....................................................................................... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 47
4.1 Hasil Penelitian ..................................................................................... 47
4.1.1 Karakteristik Responden .......................................................... 48
4.1.2 Analisis Univariat .................................................................... 51
4.1.3 Analisis Bivariat ...................................................................... 52
4.2 Pembahasan .......................................................................................... 55
4.2.1 Karakteristik Responden .......................................................... 55
4.2.2 Analisis Univariat .................................................................... 58
4.2.3 Analisis Bivariat ...................................................................... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 65
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 65
5.2 Saran ..................................................................................................... 66
5.2.1 Bagi Responden ....................................................................... 66
5.2.1 Bagi Peneliti Lain .................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
LAMPIRAN……………………………………………………………………..73
v
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Definisi Operasional Variabel.......................................................................... 40
2. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin………………..….. 48
3. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Usia……………………...…...….. 49
4. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Asal Fakultas…………....…...….. 49
5. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tujuan Penggunaan..…..…….….. 50
6. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Lama Penggunaan......................... 51
7. Keluhan-Keluhan Berdasarkan Kuesioner Ocular Surface Disease Index
(OSDI)………………………...…………………………………………….. 51
8. Perbandingan Derajat Mata Kering dan Penggunaan Lensa Kontak Lunak..... 53
9. Perbandingan Kualitas Air Mata dan Penggunaan Lensa Kontak Lunak dengan
Schirmer Test I ……...………………………..…..………………………….. 54
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Anatomi Sistem Lakrimal……………………………………………………. 8
2. Lapisan Film Air Mata ……………………………………….....…………... 11
3. Patomekanisme Dry Eye………………………………………………......… 13
4. Pemeriksaan Tes Schirmer…………………………………………………... 25
5. Kerangka Teori……………………………………………….…………........ 34
6. Kerangka Konsep………………………………………………….……........ 35
7. Alur Penelitian.……………………………………………………………… 43
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Surat Persetujuan Etik Penelitian………………………….………………… 72
2. Surat Izin Pre-Survey Penelitian…………………………………………….. 73
3. Surat Izin Penelitian….……………………………………………………… 74
4. Lembar Informasi Penelitian………………………………………...……… 75
5. Lembar Persetujuan…………………………………………………….…… 77
6. Lembar Keterangan Responden Penelitian………………………………..… 78
7. Kuesioner Ocular Surface Disease Index (OSDI)…………………………... 79
8. Data Identitas Responden Penelitian……………………………….……….. 80
9. Hasil SPSS……………………………………………………………..……. 87
10. Proses Pengambilan Data Penelitian………………...……………..………. 98
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan teknologi di dunia
kedokteran pun semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
lensa kontak yang sangat populer dikalangan masyarakat. Hingga saat ini
perkembangan pengguna lensa kontak di Indonesia cukup pesat, terlihat dari
semakin banyaknya optik dan toko yang menjual lensa kontak. Di seluruh
dunia jumlah pengguna lensa kontak sudah mencapai 140 juta orang (Muntz et
al., 2015). Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 45 juta orang pengguna
lensa kontak (Cope et al., 2017). Sebanyak 84,4% pengguna lensa kontak
didominasi oleh wanita (Chavan et al., 2012). Di Indonesia sendiri belum ada
perhitungan resmi mengenai jumlah pemakai lensa kontak, akan tetapi
Riskesdas (2013) menunjukan bahwa prevalensi pemakai kacamata/lensa
kontak mencapai 2,9% pada kelompok usia 15-24 tahun dan 2,8% pada
kelompok usia 25-34 tahun.
Lensa kontak merupakan alat bantu penglihatan yang diletakkan di permukaan
kornea mata (Sitompul, 2015). Berdasarkan bahan penyusunnya lensa kontak
dibagi dalam tiga jenis yaitu lensa kontak keras (Hard Contact Lens) yang
2
terbuat dari polymethylmethacrylate (PMMA), Rigid gas permeable (RGP),
dan lensa kontak lunak (Soft Lenses) yang terbuat dari
hydroxymethylmethacrylate (HEMA) (Riordan-Eva and Witcher, 2009). Jenis
lensa kontak yang paling banyak dipakai dikalangan masyarakat adalah lensa
kontak lunak (General Optical Council, 2016; Edwards et al., 2014). Lensa
kontak lunak memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya lebih dipilih
dibanding RGP, yaitu lensa kontak lunak memiliki waktu adaptasi yang lebih
singkat, lebih nyaman untuk dipakai dan harganya cenderung lebih murah jika
dibandingkan dengan harga lensa kontak jenis RGP (Kastelan et al., 2013;
Jones-Jordan et al., 2010; Edwards et al., 2014).
Awalnya lensa kontak hanya digunakan sebagai alat bantu penglihatan dan
pilihan lain selain kacamata bagi orang yang memiliki kelainan refraksi mata,
tetapi saat ini lensa kontak juga banyak digunakan sebagai alat kosmetik untuk
mempercantik mata dengan berbagai warna yang menarik (Muntz et al., 2015).
Berdasarkan penelitian Pietersz (2016) diketahui sebanyak 70% mahasiswa
menggunakan lensa kontak untuk tujuan kosmetik dan sebanyak 30%
menggunakan lensa kontak sebagai pengganti kacamata. Seseorang yang
memakai lensa kontak cenderung merasa penampilannya lebih menarik jika
dibanding dengan tidak memakai lensa kontak dan saat ini banyak orang yang
tidak memiliki kelainan refraksi mata pun ikut memakai lensa kontak (General
Optical Council, 2016).
3
Dibalik kepopuleran lensa kontak, terdapat berbagai macam masalah mata
yang timbul pada pemakainya, salah satunya disebabkan karena masih banyak
yang tidak mengetahui bahwa pemakaian lensa kontak tanpa indikasi medis
ataupun resep dari dokter merupakan kesalahan awal yang dapat berpengaruh
dalam kerusakan mata. Masalah mata yang paling sering terjadi akibat dari
penggunaan lensa kontak adalah neovaskularisasi kornea, keratitis,
konjungtivitis papiler raksasa, mata kering, dan corneal staining (Alipour et
al., 2017). Dilaporkan sebanyak 24% orang menghentikan pemakaian lensa
kontak dengan alasan utama merasa tidak nyaman saat memakainya dan
sebanyak 20% orang berhenti dengan alasan mata kering (Dumbleton, 2013).
Keluhan yang paling banyak dirasakan oleh pengguna lensa kontak adalah
mata terasa kering (86,7%) dan rasa seperti adanya benda asing (80%)
(Wakarie and Rares, 2014).
Mata kering adalah penyakit multifaktorial dari permukaan mata yang ditandai
dengan hilangnya homeostasis dari film air mata disertai dengan gejala okular
seperti ketidakstabilan film air mata dan hiperosmolaritas, peradangan dan
kerusakan pada permukaan mata, dan kelainan neurosensori juga berperan
dalam etiologi mata kering (Craig et al., 2017). Beberapa faktor yang menjadi
penyebab mata kering yaitu usia, jenis kelamin, merokok, berada diruangan
ber-AC terus menerus, dan penggunaan lensa kontak (Pietersz, Sumual, Rares,
2016).
4
Menurut workshop yang diselenggarakan oleh The Tear Film and Ocular
Surface Society (TFOS) pada tahun 2017, sindrom mata kering yang
disebabkan karena penggunaan lensa kontak, terjadi pemisahan lapisan air
mata menjadi dua bagian yaitu Pre Lens Tear Film (PLTF) dan Post Lens Tear
Film (PoLTF). Hal ini menyebabkan dua perubahan struktural dan fungsional
yang penting, yaitu hilangnya musin pada bagian pre lens dan hilangnya
lapisan lemak di bagian post lens yang bertanggungjawab untuk menjaga
kestabilan lapisan air mata. Terlebih lagi dapat memicu peningkatan
penguapan air mata yang diikuti dengan peningkatan osmolaritas air mata dan
akan menyebabkan kerusakan pada permukaan mata. Semakin lama memakai
lensa kontak, maka akan tampak perubahan yang semakin nyata (Riley,
Young, Chalmers, 2006).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa penggunaan lensa kontak dapat
mempengaruhi produksi air mata. Menurut Sitompul (2015) lensa kontak dapat
menurunkan sensitivitas permukaan mata sehingga refleks produksi lapisan air
mata menurun. Peningkatan penguapan disertai penurunan produksi lapisan air
mata menyebabkan sebagian besar pengguna lensa kontak mengalami mata
kering. Keluhan utama yang dirasakan seperti rasa terbakar, iritasi, kering atau
pandangan kabur setelah menggunakan lensa kontak selama beberapa saat.
Menurut Lemp et al (2011) penegakkan diagnosis kejadian mata kering sering
sulit dilakukan karena biasanya penderita hanya merasakan keluhan subjektif
saja dan kurangnya kolerasi antara tanda-tanda dan gejala terutama pada mata
5
kering derajat ringan. Penilaian derajat mata kering dapat dilakukan dengan
pengisian kuesioner. Jenis kuesioner yang paling sering digunakan adalah
Ocular Surface Disease Index (OSDI). Kuesioner ini merupakan instrumen
valid yang dapat diandalkan untuk mengukur derajat mata kering (Craig et al.,
2017). Kuesioner OSDI memungkinkan dokter untuk mengumpulkan data
subjektif yang komprehensif secara klinis dan memberikan bukti adanya
perbedaan kerusakan mata akibat mata kering (Solomon et al., 2001).
Pemeriksaan mata kering secara diagnostik juga dapat dilakukan untuk menilai
kuantitas produksi air mata yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu schirmer’s test. Tes ini
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tes schirmer I yang dilakukan tanpa
anestesi topikal dan tes schirmer II yang dilakukan dengan penetesan anestesi
topikal (tetracaine 0,5%). Tes Schirmer dilakukan dengan menyelipkan strip
schirmer (kertas saring Whatman no.41) kedalam sakus konjungtiva inferior
pada batas sepertiga tengah dan temporal dari palpebral inferior. Pemeriksaan
dilakukan selama 5 menit dan hasil dibaca pada bagian kertas yang basah
(Ilyas, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syaqdiyah (2018)
dengan menggunakan tes schirmer diketahui sebanyak 12 mata mahasiswa
pengguna lensa kontak mengalami mata kering. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa lama penggunaan lensa kontak berhubungan dengan mata
kering, dimana semakin lama menggunakan lensa kontak kejadian mata kering
semakin meningkat.
6
Penggunaan lensa kontak yang lama diperkirakan sebagai salah satu pencetus
terjadinya mata kering karena adanya perubahan tingkat produksi air mata.
Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan kualitas air mata pada mahasiswa Universitas Lampung
pengguna lensa kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan kualitas air mata pada
mahasiswa pengguna lensa kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak
lunak di Universitas Lampung.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan kualitas air mata pada mahasiswa pengguna
lensa kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak di
Universitas Lampung.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi sampel berdasarkan jenis kelamin,
usia, asal fakultas, tujuan penggunaan, dan lama penggunaan lensa
kontak lunak.
2. Mengetahui keluhan terbanyak yang dirasakan oleh pengguna lensa
kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak di Universitas
Lampung berdasarkan kuesioner OSDI.
7
3. Mengetahui perbedaan derajat mata kering pada pengguna lensa
kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak di Universitas
Lampung berdasarkan kuesioner OSDI.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.4.1 Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai
penggunaan lensa kontak lunak, dampak yang dapat terjadi serta efek
terhadap kualitas air mata.
1.4.2 Bagi Subjek Penelitian
Dapat memberikan informasi akan pentingnya menggunakan lensa
kontak lunak secara baik dan benar agar terhindar dari kerusakan mata.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan pustaka ilmiah dalam
lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
1.4.4 Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau acuan
pustaka bagi penelitian selanjutnya.
1.4.5 Masyarakat Umum
Memberikan informasi mengenai kejadian mata kering yang sering
dialami pengguna lensa kontak lunak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Lakrimal
Sistem lakrimal mencakup struktur-struktur yang terlibat dalam produksi dan
drainase air mata (Riordan-Eva and Witcher, 2009). Dalam pembentukannya,
air mata akan melewati empat proses yaitu produksi dari sistem sekresi
lakrimal, distribusi saat berkedip, evaporasi dari permukaan okuler, dan
drainase melalui sistem ekskresi lakrimal. Bila terdapat salah satu kelainan dari
keempat proses ini dapat menyebabkan timbulnya keluhan mata kering
(Sullivan, 2004).
Gambar 1. Anatomi Sistem Lakrimal (Wagner et al., 2016).
Kelenjar lakrimal
pars orbita
Pungtum
lakrimal superior
Kanalikulus
lakrimal superior
Fundus sakus
lakrimal
Plika semilunaris
Sakus lakrimal
Duktus nasolakrimal
Konka inferior
Pungtum lakrimal inferior
9
2.1.1 Sistem Sekresi Lakrimal
Terdiri atas kelenjar lakrimal yang terletak pada fossa lakrimal di bagian
lateral atas mata. Sistem sekresi terdiri dari kelenjar utama dan kelenjar
aksesorius. Kelenjar lakrimal utama dipisahkan oleh kornu lateral
aponeurosis levator menjadi dua, yaitu lobus orbita yang memiliki
ukuran lebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil, masing-masing
dengan sistem salurannya bermuara ke forniks temporal superior.
Kelenjar lakrimal utama merupakan penghasil terbesar volume air mata.
Kelenjar lakrimal aksesorius terdiri dari kelenjar Krause dan Wolfaring
yang berada di forniks superior konjungtiva. Sel-sel goblet yang juga
tersebar di konjungtiva, mensekresikan glikoprotein dalam bentuk
musin. Kehilangan sel goblet akan menyebabkan keringnya kornea
meskipun produksi air mata berlimpah dari kelenjar lakrimal.
Modifikasi kelenjar meibom dan zeis di tepian palpebra membentuk
lapisan lemak superfisial pada air mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi
dari kelenjar keringat yang juga membentuk film air mata (Riordan-Eva
and Witcher, 2009).
2.1.2 Sistem Ekskresi Lakrimal
Sistem ekskresi terdiri atas pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus
lakrimal dan duktus nasolakrimal. Sakus lakrimal terletak dibagian
depan rongga orbita. Air mata dari duktus lakrimal akan mengalir
kedalam rongga hidung di dalam meatus inferior (Ilyas, 2015).
10
2.2 Mekanisme Pengeluaran Air Mata
Sekresi dari kelenjar lakrimal dapat dipicu oleh emosi atau peradangan mata
yang menyebabkan banyaknya air mata yang mengalir melewati tepian
palpebra (epifora). Kelopak mata akan menutup setiap kali berkedip,
mendistribusikan air mata secara merata ke seluruh kornea. Pada kondisi
normal, air mata dihasilkan dengan kecepatan yang kira-kira sesuai dengan
kecepatan penguapannya sehingga hanya sedikit yang sampai ke sistem
ekskresi.
Air mata bila sudah memenuhi sakus konjungtiva sebagian akan memasuki
pungtum lakrimal oleh daya tarik kapiler, dengan menutupnya kelopak mata
otot orbikularis pratarsal yang mengelilingi ampula akan berkontraksi.
Secara bersamaan kelopak mata ditarik ke arah krista lakrimalis posterior
dan ditempatkan pada fasia yang mengelilingi sakus lakrimal, menyebabkan
kanalikuli memendek dan menimbulkan tekanan negatif didalam sakus
lakrimal. Pemompaan dinamis ini menarik air mata ke dalam sakus lakrimal,
yang kemudian mengalir melalui duktus nasolakrimal karena pengaruh
gravitasi dan elastisitas jaringan ke dalam meatus inferior. Dibagian ujung
distal duktus nasolakrimal terdapat katup Hasner untuk mencegah aliran
balik air mata (Riordan-Eva and Witcher, 2009).
2.3 Air Mata
Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 μm yang melapisi
permukaan kornea dan konjungtiva (Whitcher, 2004). Pada saat mata
terbuka, lapisan air mata (aquous) akan berkurang akibat adanya evaporasi
11
serta aliran keluar melalui pungtum dan duktus nasolakrimal. Apabila mata
mulai terasa kering dan terjadi dry spot pada kornea, mata akan terasa perih,
selanjutnya menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris dan terjadi refleks
mengedip sehingga terbentuk kembali lapisan air mata dan seterusnya
(Asyari, 2007).
2.3.1 Lapisan Air Mata
Manusia menghasilkan 0,5-2 μl cairan air mata setiap menitnya. Cairan
air mata akan menyebar ke seluruh permukaan mata setiap kali berkedip
yang terjadi setiap tiga sampai enam detik ketika terbangun (Herranz
and Herran, 2013).
Gambar 2. Lapisan Film Air Mata (Whitcher, 2004).
Film air mata terdiri atas tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan superfisial adalah lapisan lemak dibagian luar yang berasal
dari kelenjar meibom. Fungsi lapisan ini adalah untuk menghambat
penguapan lapisan air mata dan membentuk sawar kedap air saat
Lapisan
lipid
duktu
s
nasola
krimal
Lapisan
akuos
Lapisan
mukus
Mikrovili
Sel epitel
12
kelopak mata ditutup. Kekurangan lapisan ini akan menyebabkan
mata kering karena terjadi lebih banyak penguapan.
2. Lapisan akuos terdapat dibagian tengah yang dihasilkan oleh
kelenjar lakrimal mayor dan minor, mengandung substansi larut air
(garam dan protein). Lapisan ini berperan dalam menyediakan
suplai oksigen untuk epitel kornea dan berfungsi sebagai agen
imunitas karena adanya protein seperti IgA, lisozim dan laktoferin
yang berperan sebagai antimikroba.
3. Lapisan musinosa terdapat dibagian dalam yang dihasilkan oleh sel
goblet. Lapisan ini terdiri atas glikoprotein dan melapisi sel-sel
epitel kornea dan konjungtiva. Fungsi dari lapisan musin ini adalah
untuk membasahi mata dengan mengubah bentuk sel epitel kornea
yang hidrofobik menjadi hidrofilik oleh mikrovili serta berfungsi
sebagai lubrikasi (Riordan-Eva and Witcher, 2009).
2.3.2 Fungsi Lapisan Air Mata
Lapisan air mata berfungsi sebagai lubrikan untuk menjaga ketajaman
mata, melindungi kornea, dan sel epitel konjungtiva (Hosaka,
Kawamorita, Ogasawara, 2011). Selain itu juga berfungsi dalam
melindungi permukaan mata dari iritan, alergen, temperatur, patogen
dan polutan (Beuerman et al., 2004). Didalam lapisan air mata terdapat
antioksidan seperti vitamin C, tisosin, dan glutation yang berfungsi
meredam radikal bebas sehingga membantu meminimalisir reaksi
oksidasi (Hosaka, Kawamorita, Ogasawara, 2011).
13
2.3.3 Komposisi Air Mata
Dalam cairan air mata terdapat kandungan Imunoglobulin IgA, IgG dan
IgE. Albumin mencakup 60% dari total protein yang ada sedangkan
sisanya terdiri atas globulin dan lisozim dengan jumlah yang sama
banyak. Lisozim air mata menyumbang 21-25% dari total protein. Kadar
ion K+, Na+, dan Cl- lebih tinggi di air mata jika dibandingkan dengan
kadar di plasma. Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dl)
dan urea (0.04 mg/dl), yang perubahannya dipengaruhi oleh kadar dalam
darah. Dalam keadaan normal, air mata bersifat isotonik dengan pH rata-
rata adalah 7,35 meskipun terdapat variasi yang berbeda pada setiap
orang. Osmolalitas film air mata bervariasi mulai dari 295 sampai 309
mosm/L. Osmolaritas air mata berhubungan dengan sindrom mata
kering dan kebanyakan dipakai sebagai dasar penentuan diagnosa dan
klasifikasi penyakit (Riordan-Eva and Witcher, 2009; Beuerman et al.,
2004).
Gambar 3. Patomekanisme Dry Eye (Patel and Blades, 2003).
Setiap keadaan patologik yang mempengaruhi integritas permukaan
epitel akan menurunkan integritas dan stabilitas lapisan air mata.
Adanya kerusakan permukaan okuler dapat menyebabkan stabilitas atau
Mata kering
Kerusakan permukaan
okuler
Stabilitas atau fungsi
air mata terganggu
14
fungsi air mata terganggu sehingga menyebabkan mata kering, begitu
pula keluhan mata kering yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan
permukaan okuler, hal ini merupakan suatu kejadian yang saling
berhubungan (Patel and Blades, 2003).
2.4 Sindrom Mata Kering
2.4.1 Definisi
Sindrom mata kering atau dry eye disease (DED) sering juga dikenal
sebagai keratokonjungtivitis sicca (KCS) merupakan suatu penyakit
yang mengenai film air mata yang dapat menyebabkan kerusakan dan
rasa tidak nyaman di bagian permukaan mata (Phadatare et al., 2015).
Sedangkan menurut Craig et al., (2017) Mata kering adalah penyakit
multifaktorial dari permukaan mata yang ditandai dengan hilangnya
homeostasis dari film air mata disertai dengan gejala okular seperti
ketidakstabilan film air mata dan hiperosmolaritas, peradangan dan
kerusakan pada permukaan mata, dan kelainan neurosensori juga
berperan dalam etiologi mata kering.
2.4.2 Etiologi
Terdapat banyak penyebab sindrom mata kering yang mempengaruhi
lebih dari satu komponen film air mata atau berakibat pada perubahan
permukaan mata yang secara sekunder menyebabkan film air mata
menjadi tidak stabil.
15
Kelainan-kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan:
1. Defisiensi komponen lemak air mata, misalnya: blefaritis menahun,
distikiasis dan akibat pembedahan kelopak mata.
2. Defisiensi kelenjar air mata: Sindrom Sjogren, sindrom Riley-Day,
alakrimia kongenital, aplasia kongenital saraf trigeminus,
sarkoidosis, limfoma kelenjar air mata, obat-obat diuretik, atropin
dan usia tua.
3. Defisiensi komponen musin: Benign ocular pempigoid, defisiensi
vitamin A, trauma kimia, sindrom Stevens-Johnson, konjungtivitis
kronik misalnya trakoma.
4. Penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neuroparalitik,
hidup di gurun pasir atau keratitis lagoftalmus.
5. Karena parut atau menghilangnya mikrovili kornea (Ilyas, 2015).
6. Penyebaran film air mata yang kurang sempurna yang disebabkan
oleh kelainan palpebra, kelainan konjungtiva, atau proptosis
(Riordan-Eva and Witcher, 2009).
7. Idiopatik, umumnya ditemukan pada masa menopause dan
postmenopause pada wanita (Kunimoto, Kanitkar, Makar, 2004).
16
2.4.3 Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan sindrom mata kering,
yaitu:
1. Usia
Gejala mata kering dialami oleh hampir semua penderita usia lanjut,
sebanyak 75% terjadi diatas usia 65 tahun baik laki-laki maupun
perempuan. Pada usia lanjut terjadi kegagalan pompa pada sistem
lakrimal yang disebabkan adanya kelemahan palpebra, eversi
pungtum atau malposisi palpebra yang berdampak pada timbulnya
keluhan mata kering yakni rasa seperti ada benda asing atau pasir
dan timbul keluhan mata kabur.
2. Jenis Kelamin
Wanita sering mengalami sindrom mata kering akibat berkaitan
dengan perubahan hormonal seperti saat kehamilan, menyusui,
penggunaan kontrasepsi, dan saat menopause. Defisiensi steroid
seks yang lebih terfokus pada androgen menjadi faktor terpenting
pada etiologi mata kering. Defisiensi hormon ini akan dapat
mempredisposisi terjadinya disfungsi kelenjar lakrimal dan
menyebabkan sekresi air mata yang terganggu (Asyari, 2007).
3. Kondisi Medis
Beberapa penyakit yang sering berkaitan dengan mata kering
seperti: artritis rematik, diabetes mellitus, dan Sjogren Syndrome.
Riwayat operasi refraktif mata seperti Photorefractive keratectomy
17
(PRK), dan laser-assited in situ keratomileusis (LASIK) akan
mengalami mata kering untuk sementara waktu.
4. Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat menurunkan produksi air mata antara lain
seperti antidepresan, antihistamin, antihipertensi, kontrasepsi oral,
diuretik, obat-obat tukak lambung, tranquilizers, beta bloker (Jose,
2013).
5. Faktor Lingkungan
Berada dilingkungan dengan udara yang panas, kering, berasap,
berangin, dan banyak polusi terus menerus akan meningkatkan
evaporasi air mata (Asyari, 2007).
6. Pekerjaan dan Aktivitas
Pekerjaan yang setiap harinya menggunakan komputer dan aktivitas
seperti membaca, menjahit, menatap ponsel serta monitor TV, turut
andil dalam kejadian sindrom mata kering. Hal ini karena mata yang
menatap secara terus menerus mengakibatkan berkurangnya
intensitas dan frekuensi berkedip dan menyebabkan penguapan air
mata yang berlebihan. Merokok juga dapat menyebabkan iritasi
langsung pada mata, dimana paparan asap rokok dapat
menyebabkan terjadinya penguapan yang lebih cepat, sehingga
mempercepat proses sindrom mata kering (Sahai and Malik, 2005).
7. Lensa Kontak
Penggunaan lensa kontak terbukti memiliki sejumlah efek pada
permukaan okuler dan lapisan air mata karena lensa kontak
18
merupakan benda asing yang ditempatkan dilingkungan air mata
praokuler. Penggunaan lensa kontak lunak yang mengandung kadar
air tinggi akan menyerap air mata sehingga mata terasa perih, iritasi,
nyeri, menimbulkan rasa tidak nyaman/intoleransi saat
menggunakan lensa kontak.
2.4.4 Mekanisme Mata Kering
Mekanisme utama terjadinya sindrom mata kering disebabkan karena
adanya ketidakstabilan dan hiperosmolaritas air mata. Hiperosmolaritas
dapat menyebabkan kerusakan pada epitel permukaan mata dengan
mengaktifkan kaskade mediator inflamatorik di permukaan mata dan
melepaskan mediator inflamasi kedalam air mata. Mediator inflamasi
ini akan menyebabkan kerusakan epitel dan kematian sel dengan cara
apoptosis, hilangnya sel goblet, dan terganggunya musin yang
menyebabkan ketidakstabilan film air mata. Ketidakstabilan ini akan
memperburuk hiperosmolaritas permukaan mata.
Ketidakstabilan film air mata bisa terjadi tanpa didahului
hiperosmolaritas oleh beberapa etiologi, seperti xerophtalmia, alergi
pada mata, penggunakan obat topikal, dan pemakaian lensa kontak.
Cedera epitel yang disebabkan oleh mata kering merangsang ujung saraf
kornea, menyebabkan gejala seperti ketidaknyamanan dan peningkatan
frekuensi berkedip (Craig et al., 2017).
19
Penyebab utama hiperosmolaritas air mata adalah penurunan aliran air
mata (low lacrimal flow) akibat kegagalan kerja kelenjar lakrimal dan
peningkatan penguapan cairan air mata. Meningkatnya penguapan dapat
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dengan kelembaban rendah, aliran
udara yang tinggi dan keadaan pasien yang mengalami Meibomian
Gland Dysfunction (MGD), kondisi tersebut menyebabkan
ketidakstabilan lapisan air mata. Berbagai etiologi dapat menyebabkan
mata kering melalui mekanisme blok reflek sekretoris termasuk bedah
refraktif, penggunaan lensa kontak, dan penyalahgunaan anestesi
topikal (Craig et al., 2017).
2.4.5 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya sindrom mata kering diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu Aqueous Deficient Dry Eye (ADDE) dan Evaporative
Dry Eye (EDE) (Craig et al., 2017). Diketahui sebanyak 10% pasien
sindrom mata kering mengalami ADDE, sebanyak 35% mengalami
EDE dan sisanya adalah campuran keduanya atau termasuk golongan
yang tidak dikenali (Clifford et al., 2011).
Defisiensi komponen akuos terjadi adanya gangguan fungsi lakrimal
sehingga mengakibatkan kurangnya sekresi air mata lakrimal. Kondisi
ini air mata memiliki komposisi tertentu sehingga menyebabkan
terjadinya penguapan dengan cepat. Defisiensi komponen akuos dapat
dibedakan menjadi dua yaitu Sindrom Sjogren dan Sindrom Non-
20
Sjogren. Sindrom Non-Sjogren dapat disebabkan oleh kelainan
kongenital atau didapat. Kelainan kongenital yang menyebabkan
defisiensi komponen akuos antara lain Sindrom Riley-Day, alakrimia
kongenital, displasia ektodermal. Penyebab defisiensi komponen akuos
yang didapat antara lain penyakit sistemik seperti leukemia, inflamasi
kelenjar lakrimal, infeksi parotis, dan pemakaian obat-obatan (Riordan-
Eva and Witcher, 2009; Craig et al., 2017).
Sedangkan pada penguapan atau evaporasi yang berlebihan dibedakan
menjadi dua golongan, yaitu karena pengaruh intrinsik dan ekstrinsik.
Pengaruh intrinsik diantaranya karena defisiensi kelenjar meibom,
penurunan reflek berkedip, kelainan bentuk kelopak mata dan obat-
obatan. Faktor ekstrinsik yang dapat berpengaruh antara lain defisiensi
vitamin A, penggunaan obat topikal, penggunaan lensa kontak dan
penyakit pada permukaan mata (Craig et al., 2017).
Berdasarkan International Dry Eye Workshop (2017), tingkat keparahan
mata kering dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Ringan (mild)
Terjadi akibat stres lingkungan, tidak ada atau episodik ringan pada
gangguan penglihatan. Tanda pada kornea/air mata tidak ada atau
ringan. Pada tes schirmer didapatkan hasil yang bervariasi dalam
lima menit. Pada kasus ringan gejala yang muncul adalah rasa gatal,
terbakar, menyengat, dan pengaburan ringan ketika lapisan air mata
terganggu.
21
2. Sedang (moderate)
Terjadi akibat stres ataupun tidak stres, terkadang penglihatan
terganggu dan membatasi aktivitas. Tanda pada kornea/air mata
yaitu debris ringan dan meniskus menurun. Pada tes schirmer
didapatkan hasil ≤10 mm dalam lima menit. Pada kasus sedang
ditandai dengan ketidaknyamanan mata dan penglihatan terganggu.
3. Frekuensi berat
Dapat tetap terjadi tanpa stres, mengganggu penglihatan dan
membatasi aktivitas. Tanda pada kornea/air mata yaitu keratitis
filamentosa, penggumpalan mukus dan peningkatan debris air mata.
Pada tes schirmer didapatkan hasil ≤5 mm dalam lima menit.
4. Berat (severe) konstan
Gejalanya berupa penglihatan sangat terganggu. Pada tes schirmer
didapatkan hasil ≤2 mm dalam lima menit. Pada kasus berat (severe)
keadaan mata kering semakin parah, tanda pada kornea/air mata
yaitu keratitis filamentosa, penggumpalan mukus, peningkatan
debris air mata dan ulserasi (Craig et al., 2017; Catania et al., 2011).
2.4.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan mata kering akan mengeluh gatal, mata seperti berpasir,
silau, penglihatan kabur sementara, iritasi mata, fotofobia, sensasi
benda asing, perasaan terbakar dan nyeri (Kanski and Browling,
2011). Mata akan memberikan gejala sekresi mukus yang berlebihan,
sulit menggerakkan kelopak mata, mata tampak kering dan terdapat
22
erosi kornea (Ilyas, 2015). Tanda dan gejala lainnya seperti sensasi
pedih, sensitif pada rokok dan angin, mata kemerahan, kelelahan mata
setelah membaca pada waktu yang singkat dan tidak nyaman ketika
menggunakan lensa kontak (Bhowmik et al., 2010).
2.5 Pemeriksaan Dry Eye
2.5.1 Pemeriksaan Subjektif
Sindrom mata kering dapat didiagnosis berdasarkan kumpulan gejala
yang biasanya dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner.
Beberapa kuesioner yang bisa digunakan antara lain Ocular Surface
Disease Index (OSDI), Impact of Dry Eye on Everyday Life (IDEEL),
McMonnies dan Womens’s Health Study Questionnaire (Baudouin,
2014). Tidak ada kesepakatan global mengenai gold standard dari tiap
pemeriksaan sindrom mata kering (Kanellopoulos and Asimellis, 2016).
Ocular Surface Disease Index (OSDI) merupakan kuesioner yang
paling sering digunakan untuk menilai tingkat keparahan dan keluhan
mata kering (Baudouin, 2014). Kuesioner ini pertama kali
diperkenalkan oleh the Outcome Reaserch Group (Allegran
Inc.,Irvine,CA) pada tahun 1997. Kuesinoner OSDI terdiri dari 12
pertanyaan yang menilai gejala, batas fungsi, dan faktor lingkungan
yang berhubungan dengan dry eye (Dougherty, Nichols, Nichols, 2011).
23
Masing-masing pertanyaan memiliki bobot nilai mulai dari 4,3,2,1, dan
0 dengan keterangan:
0 : Tidak ada gejala sama sekali
1 : Kadang kala
2 : Setengah waktu
3 : Hampir seluruh waktu
4 : Setiap saat
Total skor OSDI dikalkulasikan berdasarkan formula OSDI yaitu
(𝐴 + 𝐵 + 𝐶)X 25
Jumlah Pertanyaan
Nilai yang diperoleh berada pada skala 0-100 dengan kisaran:
0-12 : Normal
13-22 : Ringan
23-32 : Sedang
33-100 : Berat (Grubbs et al., 2014).
2.5.2 Pemeriksaan Objektif
A. Tes Schirmer
Tes schirmer merupakan tes skrining yang digunakan untuk menilai
kuantitas produksi air mata yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal.
Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan
memasukan strip schirmer (kertas saring Whatman No.41) kedalam
sakus konjungtiva inferior pada batas sepertiga tengah dan temporal
dari palpebral inferior. Setelah dimasukkan selama lima menit
24
diukur panjang bagian kertas yang basah (Ilyas, 2015). Tes schirmer
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Tes Schirmer I
Tes Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal. Tes ini
dilakukan untuk mengukur fungsi kelenjar lakrimal utama, yang
aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring tersebut
(Riordan-Eva and Witcher, 2009). Tes ini dilakukan diruangan
tertutup tanpa hembusan kipas angin (Shaharuddin, Ismail-
Mokhtar, Hussein, 2008). Pemeriksaan tes schirmer dilakukan
dengan mata tertutup karena pemeriksaan dengan mata terbuka
akan menyebabkan hasil tes schirmer menjadi lebih kecil dan
bisa menjadikan hasil positif palsu (Trbolova and Ghaffari,
2017). Panjang bagian kertas yang basah lebih dari 10 mm
dianggap normal dan kurang dari 10 mm dianggap abnormal
yang menandakan fungsi sekresi air mata terganggu (Ilyas,
2015).
2. Tes Schirmer II
Tes Schirmer II dilakukan dengan penetesan anestesi topikal
(tetracaine 0,5%) untuk mengukur fungsi kelenjar aksesori
(pensekresi dasar) (Riordan-Eva and Witcher, 2009). Tes
schirmer II dapat dilakukan bila pada tes schirmer I basahnya
kertas kurang dari 10 mm setelah lima menit. Pada pemeriksaan
ini dapat dinilai apakah disebabkan karena hambatan kelelahan
sekresi atau kurangnya fungsi dari reflek sekresi (Ilyas, 2015).
25
Pada tes schirmer II salah satu mata diteteskan anestesi topikal
dan diletakan kertas schirmer. Pemeriksaan ini ditujukan
merangsang saraf trigeminus dengan memasukkan kapas lidi
kemukosa hidung atau dengan zat aromatik ammonium. Maka
nilai schirmer akan bertambah oleh adanya reflek sekresi. Hasil
dapat dilihat dari basahnya kertas filter setelah lima menit. Bila
tidak basah menandakan reflek sekresi gagal total. Pada keadaan
normal kertas filter akan basah sepanjang 15 mm (Ilyas, 2015).
Namun, pemeriksaan schirmer dengan pemberian anestesi
topikal dianggap kurang dapat diandalkan dan harus dilakukan
oleh ahlinya (Riordan-Eva and Witcher, 2009; Li, Deng, He,
2012).
Gambar 4. Pemeriksaan Tes Schirmer (Sherwood, 2014).
2.6 Lensa Kontak
2.6.1 Definisi Lensa Kontak
Lensa kontak merupakan alat bantu penglihatan berupa lensa plastik
tipis dengan diameter 8-10 mm yang diletakkan di permukaan kornea
mata dimana memiliki fungsi yang sama dengan kacamata, yaitu untuk
26
mengoreksi kelainan refraksi, kelainan akomodasi, terapi dan kosmetik
(Sitompul, 2015; Ilyas, 2015).
Selain sebagai pengganti fungsi kacamata, lensa kontak juga dapat
digunakan pada keadaan sebagai berikut:
a. Koreksi Keratokonus
Keratokonus adalah kelainan kornea di mana bagian tengah kornea
menipis sehingga kornea berbentuk kerucut dan tidak teratur.
Pemakaian lensa kontak pada keratokonus berfungsi membentuk
permukaan baru yang lebih teratur, menahan perkembangan
keratokonus dan mengoreksi kelainan refraksi yang ada.
b. Terapi bandage
Lensa kontak ada kalanya digunakan untuk aplikasi obat dengan
tujuan mempercepat proses penyembuhan luka dan juga melindungi
luka pada kornea.
c. Kosmetik
Lensa kontak berwarna dapat digunakan untuk menyamarkan bekas
luka atau jaringan parut pada kornea maupun untuk merubah warna
iris (Nusantara, 2008).
27
2.6.2 Jenis-Jenis Lensa Kontak
Berdasarkan bahan pembuatannya lensa kontak dibagi menjadi tiga
(Riordan-Eva and Witcher, 2009; American Optometric Association,
2013), yaitu:
1. Lensa Kontak Keras (Hard Contact Lens)
Lensa ini terbuat dari polymethylmethacrylate (PMMA). Lensa
kontak keras tidak dapat ditembus oksigen sehingga mengandalkan
pemompaan air mata ke dalam celah antara lensa dan kornea ketika
berkedip untuk meyediakan oksigen bagi kornea.
Kelebihan: tahan lama, harga relatif lebih murah, dan mengoreksi
penglihatan secara efisien, terutama jika terdapat astigmatisme
bermakna.
Kekurangan: kurang nyaman saat digunakan, memiliki waktu
adaptasi yang cukup lama, memiliki bahan yang sulit ditembus
oksigen sehingga mata mudah kekurangan oksigen.
2. Rigid Gas Permeable (RGP)
Lensa ini merupakan polimer dari polymethylmethacrylate (PMMA)
dan silikon. Silikon terkenal dengan sifat tembus oksigen sehingga
kornea dapat berfungsi dengan baik.
Kelebihan: mudah ditembus oksigen, lebih nyaman dipakai dalam
waktu yang lama, mudah dirawat dan dibersihkan karena RGP
mengandung air, memberikan penglihatan yang lebih tajam dan
jangka penggunaannya relatif lama hingga dua tahun.
28
Kekurangan: masa adaptasi yang lama biasanya dua minggu sampai
satu bulan, lebih mudah terlepas dari pusat mata dibanding dengan
jenis lensa kontak yang lain, debris lebih mudah menempel pada
lensa, dan harganya lebih mahal dibanding lensa kontak lunak.
3. Lensa Kontak Lunak (Soft Contact Lens)
Lensa ini terbuat dari hydroxymethyl methacrylate (HEMA) yang
memiliki permeabilitas lebih besar terhadap oksigen.
Kelebihan: lebih nyaman saat dipakai, bersifat fleksibel sehingga
bentuknya menyesuaikan dengan permukaan kornea, waktu
adaptasi yang singkat biasanya hanya beberapa hari, tidak mudah
terlepas seperti RGP, tersedia dalam berbagai warna dan bifokal,
mudah diperoleh dan harga lebih murah jika dibanding dengan RGP.
Kekurangan: karena kadar air yang tinggi sehingga lebih mudah
kotor dan robek.
Berdasarkan lama penggunaan, lensa kontak diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu:
1. Disposable: Hanya digunakan untuk satu kali pemakaian.
2. Extended wear: Dapat digunakan berulang kali sampai waktu
tertentu, misalnya satu minggu atau satu bulan. Tipe extended wear
dikembangkan menjadi tipe overnight continuous wear sehingga
lensa kontak dapat dipakai sepanjang hari hingga malam tanpa perlu
dilepas saat tidur (Sitompul, 2015).
29
Lensa kontak tipe extended dan overnight continuous wear memiliki
risiko infeksi lebih tinggi karena mikroorganisme dapat melekat dan
berpindah ke permukaan mata. Oleh karena itu lensa ini hanya
dianjurkan bagi individu dengan gangguan penglihatan derajat berat
yang memerlukan koreksi penglihatan sepanjang hari (Sitompul,
2015).
2.6.3 Bentuk Lensa Kontak
Terdapat berbagai macam bentuk lensa kontak berdasarkan gangguan
penglihatan yang ingin diperbaiki, antara lain:
1. Lensa kontak sferis: Berbentuk bundar, digunakan untuk penderita
miopia (rabun jauh) atau hiperopia (rabun dekat).
2. Lensa kontak bifokal: Lensa kontak yang digunakan untuk melihat
dekat sekaligus untuk melihat biasa (mirip dengan cara kerja
kacamata bifokal). Lensa ini biasanya digunakan untuk
memperbaiki presbiopia, yaitu gangguan penglihatan akibat usia
tua.
3. Lensa ortokeratologi: Lensa yang didesain untuk memperbaiki
bentuk kornea. Digunakan hanya di malam hari (Ibrahim, Boase,
Cree, 2009).
30
2.6.4 Indikasi Penggunaan Lensa Kontak
Indikasi dari penggunaan lensa kontak sebagai berikut:
1. Indikasi optik, termasuk untuk anisometropia, aphakia unilateral,
miopia yang berminus tinggi, keratokonus dan astigmatisma
irreguler. Lensa kontak dapat digunakan oleh setiap orang yang
memiliki kelainan refraksi mata dengan tujuan kosmetik.
2. Indikasi terapeutik, yang meliputi:
a. Penyakit pada kornea, contohnya ulkus kornea non-healing,
keratopathi bullousa, keratitis filamentari, dan sindrom erosi
kornea yang rekuren.
b. Penyakit pada iris mata, contohnya aniridia, koloboma, albino
untuk menghindari kesilauan cahaya.
c. Pada pasien glukoma, lensa kontak digunakan sebagai alat
pengantar obat.
d. Pada pasien ambliopia, lensa kontak opak digunakan untuk
oklusi.
e. Bandage soft contact lenses, digunakan untuk keratoplasti dan
perforasi mikrokornea.
3. Indikasi preventif, digunakan untuk prevensi simblefaron dan
restorasi forniks pada penderita luka bakar akibat zat kimia,
keratitis, dan trikiasis.
4. Indikasi diagnostik, termasuk selama menggunakan gonioskopi,
elektroretinografi, pemeriksaan fundus pada astigmatisma irreguler,
fundus fotografi, dan pemeriksaan goldmann’s tiga bayangan.
31
5. Indikasi operasi, lensa kontak digunakan selama operasi goniotomi
untuk glukoma kongenital, vitrektomi, fotokoagulasi endokular.
6. Indikasi kosmetik, termasuk jaringan parut pada kornea mata yang
menyilaukan mata (lensa kontak warna), ptosis, lensa sklera
kosmetik pada phthisis bulbi.
7. Indikasi occupational, termasuk olahragawan, pilot, dan aktor
(Khurana, 2007).
2.6.5 Kontraindikasi Penggunaan Lensa Kontak
Penggunaan lensa kontak dikontraindikasikan pada orang yang tidak
dapat mentoleransi pemasangan benda asing pada mata dan penyakit
sistemik atau alergi yang bisa kambuh karena dipicu lensa kontak
(Flynn, 2013). Kontraindikasi lainnya yaitu seseorang dengan blefaritis
kronik dan hordeolum rekuren, konjungtivitis kronis, sindrom mata
kering, distrofi dan degenarasi kornea mata, penyakit yang rekuren
seperti episkleritis, skleritis, dan iridosiklitis (Khurana, 2007).
2.6.6 Komplikasi Penggunaan Lensa Kontak
1. Mata Kering
Mata kering biasanya terjadi karena penggunaan lensa kontak yang
terlalu lama. Hal itu disebabkan kurangnya pasokan oksigen ke
mata, sehingga mata menjadi kering dan terasa sakit (Ibrahim,
Boase, Cree, 2009).
32
2. Iritasi
Iritasi pada mata disebabkan karena kotoran atau debu yang masuk
ke mata sehingga mata berusaha mengeluarkan kotoran tersebut
akan tetapi karena adanya lensa kontak pada mata akan menghambat
pengeluaran kotoran atau debu di mata sehingga membuat mata
iritasi (Ibrahim, Boase, Cree, 2009).
3. Edema Kornea
Edema kornea merupakan komplikasi yang paling umum dari
penggunaan lensa kontak, terutama penggunaan lensa kontak yang
lama. Lensa kontak mengurangi suplai oksigen ke kornea, sehingga
menyebabkan kornea membengkak. Gejala yang timbul seperti
penglihatan kurang sampai berkabut, mata merah, dan
ketidaknyamanan setelah pelepasan kornea (Yanoff and Duker,
2014).
4. Keratitis / Peradangan Kornea
Terjadinya infeksi kornea yang disebabkan oleh mikroba (bakteri,
virus, jamur atau amuba). Dalam penggunaan lensa kontak biasanya
didahului oleh kekurangan oksigen (hipoksia). Pemakaian lensa
kontak dalam jangka waktu yang lama rentan terjadinya mikrobial
keratitis. Bakteri yang berhubungan dengan komplikasi ini disebut
Pseudomonas aeruginosa (Yanoff and Duker, 2014).
33
5. Alergi
Pasien yang memiliki riwayat alergi akan lebih sensitif terhadap
bahan kimia yang terdapat pada cairan lensa kontak sehingga akan
lebih mudah terjadi reaksi alergi seperti mata merah disertai rasa
gatal dan bengkak.
6. Neovaskularisasi
Neovaskularisasi kornea adalah timbulnya pertumbuhan pembuluh
darah yang berlebihan dari saraf limbal ke kornea, yang terjadi pada
kasus hipoksia kronis yaitu kekurangan oksigen pada kornea akibat
penggunaan lensa kontak yang sudah habis masa pakainya atau
karena lensa kontak yang tebal. (Yanoff and Duker, 2014).
7. Air Mata
Penggunaan lensa kontak dapat menyebabkan terjadinya sindrom
mata kering baik melalui jalur evaporasi maupun produksi.
Penggunaan lensa kontak dapat menyebabkan terjadinya perubahan
karakteristik biofisika dari film air mata, antara lain: menurunkan
frekuensi berkedip, menurunkan lapisan lipid, terjadinya
ketidakstabilan film air mata, peningkatan evaporasi, menurunkan
produksi air mata, meningkatkan osmolaritas, dan menurunkan pH
(Craig et al., 2013).
34
2.7 Kerangka Teori
Gambar 5. Kerangka Teori (Asyari, 2007; Jose, 2013; Sahai and Malik, 2005).
Usia
Jenis Kelamin
Kondisi Medis: artritis rematik,
diabetes mellitus, Sjogren
Syndrome serta riwayat operasi
mata seperti PRK dan LASIK
Obat-obatan: antidepresan,
dekongestan, antihistamin,
antihipertensi, kontrasepsi oral,
diuretik, beta bloker.
Pekerjaan dan Aktivitas: bekerja
dengan komputer, aktivitas
membaca, menjahit, menatap ponsel
serta monitor TV
Pengguna Lensa Kontak
Faktor Lingkungan: panas, kering,
berasap, berangin dan banyak polusi
Mata Kering
(dry eye)
Perubahan
Biologis
Air Mata
Kualitas
Air Mata
Keterangan: Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Mempengaruhi
Dipengaruhi
0
35
2.8 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 6. Kerangka Konsep
2.9 Hipotesis
1. H0: Tidak terdapat perbedaan kualitas air mata pada mahasiswa pengguna
lensa kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak di
Universitas Lampung berdasarkan tingkat mata kering dalam
kuesioner OSDI
Ha: Terdapat perbedaan kualitas air mata pada mahasiswa pengguna lensa
kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak di Universitas
Lampung berdasarkan tingkat mata kering dalam kuesioner kuesioner
OSDI.
2. H0: Tidak terdapat perbedaan kualitas air mata pada mahasiswa pengguna
lensa kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak di
Universitas Lampung berdasarkan tes schirmer I.
Ha: Terdapat perbedaan kualitas air mata pada mahasiswa pengguna lensa
kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak lunak di Universitas
Lampung berdasarkan tes schirmer I.
Penggunaan Lensa Kontak Lunak
Kualitas Air Mata
a. OSDI
b. Schirmer Test I
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan
cross sectional, yaitu jenis penelitian yang pengukuran seluruh variabelnya
dilakukan hanya satu kali dan pada satu waktu tertentu. Penelitian bersifat
observasi karena peneliti tidak memberikan intervensi atau perlakuan khusus
terhadap subjek penelitian (Sastroamoro and Ismael, 2011).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Universitas Lampung, Bandarlampung.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2019.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua Mahasiswa Universitas
37
Lampung pengguna lensa kontak jenis softlens dan bukan pengguna
lensa kontak.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
sehingga dianggap dapat mewakili populasinya dan termasuk kedalam
kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi
(Notoatmodjo, 2010).
Penelitian yang dilakukan menggunakan data kategorik dan populasi
yang tidak berpasangan. Rumus besar sampel sebagai berikut:
𝑛1 = 𝑛2 = ( 𝑧𝛼 √2𝑃𝑄 + 𝑧𝛽 √𝑃1𝑄1 + 𝑃2𝑄2)2
( 𝑃1 − 𝑃2 )2
Keterangan:
𝑛1 = 𝑛2= besar sampel
𝛼 = kesalahan tipe I = 5%, 𝑧𝛼 = 1,96
β = kesalahan tipe II = 20%, 𝑧𝛽 = 0,84
𝑃1 = proporsi variable yang mendukung terjadinya dry eye dari pustaka
0.3 (Asyari, 2007).
𝑃1 − 𝑃2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna = 0.2
P = proporsi total = (P1 + P2)/2
𝑄 = 1- P
Q1 = 1 ₋₋ 𝑃1
Q2 = 1 ₋₋ 𝑃2
38
𝑛1 = 𝑛2 = ( 1,96√2(0,2)(0,8) + 0,84√(0,3)(0,7) + (0,1)(0,9) )2
( 0,2)2
n1 = 𝑛2 = 60
Dengan demikian besar sampel pada penelitian ini adalah 120 orang.
3.3.3 Cara Pengambilan Sampel
Cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
non probability dengan purposive sampling dimana peneliti memilih
responden berdasarkan pada pertimbangan subjektif dan praktis, bahwa
responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk
menjawab pertanyaan penelitian (Sastroamoro and Ismael, 2011).
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Mahasiswa aktif Universitas Lampung yang berusia 18-22 tahun
dengan dan tanpa koreksi visus mata normal.
2. Responden kelompok pengguna: Menggunakan lensa kontak jenis
softlens minimal selama tiga bulan terakhir dengan penggunaan
minimal lima kali dalam seminggu dan delapan jam dalam sehari.
Responden bukan pengguna: Tidak menggunakan lensa kontak.
3. Tidak menderita penyakit peradangan pada mata seperti uveitis dan
keratitis.
4. Belum pernah menjalani operasi pada mata.
5. Bersedia menjadi responden dengan menandatangani lembar
persetujuan setelah penjelasan (informed consent).
39
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Menggunakan obat-obatan topikal maupun sistemik yang dapat
menurunkan produksi air mata (antihistamin, antidepresan,
antihipertensi seperti diuretik dan beta bloker) secara teratur selama
tiga bulan.
2. Menderita penyakit yang dapat berpengaruh pada produksi air
mata, seperti sindrom rematik artritis, sindrom Sjogren, dan
sindrom Riley-Day.
3. Menderita penyakit kronis yang dapat berpengaruh pada mata,
seperti diabetes mellitus dan hipertensi.
4. Menderita defisiensi satu atau lebih dari lapisan air mata.
5. Sedang hamil.
3.5 Identifikasi Variabel
1. Variabel Independen
Variabel Independen atau variabel bebas adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya
variabel dependen atau terikat (Sugiyono, 2011). Variabel Independen
dalam penelitian ini adalah penggunaan lensa kontak lunak.
2. Variable Dependen
Variable Dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat karena adanya variabel independen atau bebas
(Sugiyono, 2011). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kualitas
air mata.
40
3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian
Tabel 1. Definisi Operasional Variabel.
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Penggunaan
Lensa Kontak
Lunak
Lensa kontak
lunak adalah
sejenis plastik
yang tipis
berbentuk bulat
cembung yang
di letakkan di
permukaan
kornea mata
Mengisi
pertanyaan
dalam
kuesioner
Kuesioner Ya
menggunakan
lensa kontak
Tidak
menggunakan
lensa kontak
Kategorik
(Nominal)
Lama
Penggunaan
Lensa Kontak
Kualitas Air
Mata
OSDI
(Ocular
Surface
Disease
Index)
Schirmer’s
Test I
Waktu
penggunaan
lensa kontak
OSDI adalah
instrumen valid
dan dapat
diandalkan
untuk mengukur
tingkat
keparahan
penyakit mata
kering (Craig et
al., 2017)
Pemeriksaan
kuantitas
produksi
air mata yang
dilakukan tanpa
anestesi topikal (Riordan-Eva
and Whitcher,
2009)
Mengisi
pertanyaan
dalam
kuesioner
Mengisi
pertanyaan
dalam
kuesioner
Melihat
hasil pada
schirmer’s
strip
Kuesioner
Kuesioner
Schirmer’s
Strip
<1 tahun
1-2 tahun
>2 tahun
0-12 :
Normal
13-22 :
Ringan
23-32 :
Sedang
33-100:
Berat
≥10mm/
menit: tidak
dry eye
<10mm/
menit: dry eye
Kategorik
(Ordinal)
Kategorik
(Ordinal)
Kategorik
(Ordinal)
Sumber: (Craig et al., 2017; Riordan-Eva and Whitcher, 2009).
3.7 Instrumen Penelitian
1. Lembar Informed Consent dan Lembar Identitas
Lembar identitas berisi identitas responden dan untuk mengetahui apakah
responden masuk ke dalam kriteria inklusi. Lembar persetujuan berisi
ketersediaan responden untuk menjadi sampel dalam penelitian.
41
2. Kuesioner Ocular Surface Disease Index (OSDI)
Kuesioner OSDI untuk mendiagnosis sindrom mata kering secara
subjektif berdasarkan gejala yang dirasakan oleh responden penelitian.
Terdiri dari 12 pertanyaan dan memiliki rentang nilai 0-4 di setiap
pertanyannya.
3. Snellen Chart
Snellen Chart digunakan untuk menilai visus mata setiap responden.
4. Schirmer Tear Strip Test
Digunakan saat melakukan tes schirmer I untuk mendiagnosis sindrom
mata kering secara objektif. Schirmer strip (kertas saring Whatman
No.41) dimasukkan kedalam sakus konjungtiva inferior pada batas
sepertiga tengah dan temporal dari palpebral inferior. Diukur selama
lima menit dan diukur panjang bagian kertas yang basah.
3.8 Cara Kerja Penelitian
1. Sebelum dilakukan penelitian responden diberi penjelasan terlebih
dahulu mengenai tujuan, maksud, jalannya penelitian dan risiko-risiko
yang mungkin dapat terjadi selama penelitian.
2. Peneliti melakukan pemeriksaan visus terhadap calon responden
dengan menggunakan Snellen Chart.
3. Responden dengan visus normal yang memenuhi kriteria inklusi
digunakan sebagai sampel sedangkan yang memenuhi kriteria eksklusi
dikeluarkan.
42
4. Selanjutnya responden yang memenuhi kriteria inklusi mengisi lembar
persetujuan (Informed consent) dan lembar identitas.
5. Responden yang telah mengisi lembar persetujuan dan identitas
diberikan kuesioner OSDI dan diberikan penjelasan mengenai cara
pengisiannya.
6. Setelah selesai mengisi, kuesioner dikembalikan kepada peneliti.
7. Selanjutnya peneliti melakukan tes schirmer I kepada responden.
8. Responden yang memakai lensa kontak diminta untuk melepaskannya
terlebih dahulu.
9. Pemeriksaan mata kering dengan menggunakan tes schirmer I dengan
cara berikut:
a. Schirmer strip (kertas saring Whatman No.41) dimasukkan
kedalam sakus konjungtiva pada batas sepertiga tengah dan
temporal dari palpebral inferior.
b. Responden diminta untuk memejamkan matanya perlahan.
c. Setelah lima menit, responden diminta untuk membuka kedua mata
d. Schirmer strip dicabut perlahan dan diukur bagian kertas yang
basah mulai dari lekukan.
e. Hasil yang diperoleh dari tes schirmer I dicatat, dikumpulkan dan
dianalisis.
43
3.9 Alur Penelitian
Penelitian diawali dengan pembuatan proposal dan perizinan ke Universitas
Lampung dan menyesuaikan sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi yang sebelumnya telah ditetapkan. Sampel yang memenuhi kriteria
diminta untuk menandatangani lembar informed consent. Jika bersedia
dilakukan pengambilan data dengan pengisian kuesioner dan tes schirmer I.
Data yang didapatkan akan diolah dan selanjutnya dianalisis. Penelitian ini
dilakukan sesuai alur yang dijelaskan pada gambar 7.
Gambar 7. Alur Penelitian
Menentukan sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang
sebelumnya telah di tentukan
Pembuatan proposal, perizinan ke Universitas Lampung
Informed consent kepada mahasiswa yang akan menjadi sampel
Setuju
Pengisian kuesioner
OSDI
Tes Schirmer I
Tidak Setuju
Analisis Data
Pengumpulan dan pengolahan data hasil
kuesioner OSDI dan tes schirmer I
44
3.10 Pengolahan Data dan Analisis Data
3.10.1 Pengolahan Data
Tahapan dalam pengolahan data adalah sebagai berikut :
1. Editing
Untuk memeriksa kembali data yang telah dikumpulkan apakah
sudah lengkap, terbaca dengan jelas, terdapat kesalahan atau
tidak dan sebagainya.
2. Coding
Memberikan kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri
atas beberapa kategori sehingga lebih mudah dalam pengolahan
dan analisis data.
3. Data Entry
Memasukan data yang telah dikumpulkan kedalam tabel
distribusi frekuensi.
4. Tabulating
Menyusun data dengan bantuan komputer. Berbagai data yang
telah diperoleh dari berbagai proses pengumpulan data diolah
menggunakan komputer.
45
3.10.2 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
program komputer dimana dilakukan dua macam analisis data,
yaitu:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis data yang digunakan untuk
menerangkan karakteristik masing-masing variabel, baik variabel
independen maupun dependen dengan melihat distribusi
frekuensi masing masing variabel berdasarkan jenis kelamin,
usia, asal fakultas, tujuan penggunaan, lama penggunaan lensa
kontak, keluhan terbanyak yang dirasakan pengguna dan bukan
pengguna lensa kontak lunak, serta mengetahui angka kejadian
mata kering berdasarkan kuesioner OSDI dan tes schirmer I.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk melihat ada tidaknya hubungan antara
penggunaan lensa kontak lunak dengan kualitas air mata
berdasarkan kuesioner OSDI dan tes schirmer I. Uji statistik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi square. Uji
signifikan antara data yang diobervasi dengan data yang
diharapkan dilakukan dengan batas kemaknaan (α=0,05) yang
artinya apabila diperoleh <α, berarti ada hubungan yang
signifikan antara penggunaan lensa kontak lunak dengan kualitas
air mata berdasarkan tes schirmer I dan begitu sebaliknya.
46
Namun, apabila uji chi square tidak memenuhi syarat dengan
nilai expected count > 20%, maka analisis data akan dilanjutkan
dengan menggunakan uji Fisher dan pada pemeriksaan
berdasarkan kuesioner OSDI, apabila tidak memenuhi syarat chi
square, dapat dilanjutkan dengan uji alternatif Mann-Whitney.
3.11 Etik Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan setelah melalui persetujuan oleh Komisi Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan No.
3766/UN26.18/PP.05.02.00/2019.
65
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Mahasiswa Universitas Lampung pengguna lensa kontak lunak paling
banyak pada perempuan yaitu sebanyak 58 responden (96,7%) dan laki-
kali sebanyak 2 responden (3,3%). Usia 21 tahun merupakan usia
terbanyak pengguna lensa kontak lunak yaitu sebanyak 24 responden
(40%). Pengguna lensa kontak lunak paling banyak ditemukan di Fakultas
Kedokteran yaitu sebanyak 14 responden (23,3%). Tujuan penggunaan
lensa kontak paling banyak untuk koreksi kelainan refraksi yaitu sebanyak
49 responden (81,7%) dan paling banyak dengan lama penggunaan lebih
dari 2 tahun, yaitu sebanyak 28 responden (46,7%).
2. Keluhan terbanyak yang dirasakan oleh Mahasiswa Universitas Lampung
pengguna lensa kontak lunak dan bukan pengguna lensa kontak adalah
keluhan mata nyeri atau kering yaitu sebanyak 52 (86,7%) dan keluhan
mata yang sensitif terhadap cahaya sebanyak 43 (71,7%).
3. Perbedaan derajat mata kering berdasarkan kuesioner OSDI pada
Mahasiswa Universitas Lampung pengguna lensa kontak lunak dan bukan
pengguna lensa kontak yaitu mata kering derajat ringan sebanyak 10
66
responden (16,7%) dan 20 responden (33,3%), mata kering derajat sedang
sebanyak 13 responden (21,7%) dan 6 responden (10%), mata kering
derajat berat sebanyak 27 responden (45%) dan 7 responden (11,7%)
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Responden
1. Sebelum menggunakan lensa kontak sebaiknya berkonsultasi
terlebih dahulu kepada dokter untuk mencegah terjadinya kerusakan
pada mata.
2. Kepada pengguna lensa kontak sebaiknya waktu pemakaian dalam
sehari sesuai dengan waktu yang dianjurkan.
5.2.1 Bagi Peneliti Lain
1. Peneliti lain sebaiknya melakukan kontrol terhadap pemakaian
artificial tears pada setiap responden.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai ada tidaknya
perbedaan kualitas air mata pada pengguna lesan kontak yang sering
memberi obat tetes mata dengan yang tidak.
67
DAFTAR PUSTAKA
Alipour F, Khaheshi S, Soleimanzadeh M, Heidarzadeh S, Heydarzadeh S. 2017.
Contact-lens related complications: A review. J Ophthalmic Vis Res. 12(2):
193-204
Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.
Asiedu K, Kyei S, Boampong F, Ocansey S. 2017. Symptomatic dry eye and its
associated factors: a study of university undergraduate students in Ghana. Eye
Contact Lens. 43(4): 262-6.
Asyari F. 2007. Dry eye syndrome (sindroma mata kering). Indonesia Dexa Media.
20(4):162-6.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013.
Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Dasar 2013. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Bakkar MM, Shihadeh WA, Haddad MF, Khader YS. 2016. Epidemiology of
symptoms of dry eye disease (DED) in Jordan: A cross-sectional nonclinical
population-based study. Cont Lens Anterior Eye. 39(3): 197-202.
Baudouin C, Aragona P, Setten GV, Rolando M, Irkec M, Benítez del Castillo J, et
al. 2014. Diagnosing the severity of dry eye: a clear and practical algorithm.
Br J Ophthalmol. 98(9):1168-76.
Beuerman RW, Austin M, Stephen CP, Michael ES. 2004. The Lacrimal Functional
Unit. in Stephen CP, Roger WB, Michael ES (eds). Dry Eye and Ocular
Surface Disorders. New York: Marcel Dekker. p. 11 – 32.
Bhowmik D, Chiranjib B, Yadav GP, Singh N, Kumar KPS. 2010. Recent Aspect
of Dry Eye Syndromes Pathophysiology and Management of Disease. Annals
of Biological Research. 1(1): 141-6.
Catania LJ, Scott CA, Larkin KM, Melton R, Semes LP, Shovlin JP et al., 2011.
Care of the Patient with Ocular Surface Disorders. American Optometric
Association. Lindbergh Blvd., St. Louis, MO 63141-7881. p. 8 – 85.
68
Chavan WM, Giri PA, Phalke DB, Bangal SV. 2012. Knowledge and practice of
contact lens wear and care among contact lens users medical students of rural
medical college, loni, Maharashtra, india. Int J Biol Med Res. 3(1):1385-7.
Clifford AS, Louis J, Michele L, Ron M, Leo P, Joseph P, et al. 2011. Ocular
Surface Disorders. American Optometric Association. 243: 63141–7881.
Cope JR, Collier SA, Nethercut H, Jones JM, Yates K, Yoder JS. 2017. Risk
behaviors for contact lens–related eye infections among adults and
adolescents-United States, 2016. MMWR. 66(32):841-5.
Craig JP, Nichols KK, Akpek EK, Caffery B, Dua HS, Joo C et al., 2017. TFOS
DEWS II Definition and Classification Report. The Ocular Surface. 15(3):
276-83.
Craig JP, Willcox MDP, Argueso P, Maissa Cecile, Stahl U, Tomlinson A et al.,
2013. The TFOS International Workshop on Contact Lens Discomfort : Report
of The Contact Lens Interactions with the Tear Film Subcommittee. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 54: TFOS123-TFOS156.
Dougherty BE, Nichols JJ, Nichols KK. 2011. Rasch Analysis of the Ocular Surface
Disease Index (OSDI). Invest Ophthalmol Vis Sci. 52(12): 8630-5.
Dumbleton K, Woods CA, Jones LW, Fonn D. 2013. The impact of contemporary
contact lenses on contact lens discontinuation. Eye contact lens. 39(1):93–9.
Edwards K, Keay L, Naduvilath T, Stapleton F. 2014. The Penetrance and
Characteristics of Contact Lens Wear in Australia. Clin Exp Optom. 97(1):48-
54.
Flynn LS, Ahearn DG, Barr J, Benjamin WJ, Kiang T, Nicholas JJ, et al., 2013.
History, evolution and evolving standards of contact lens care. Cont Lens
Anterior Eye.36 (Suppl 1): S4-8.
General Optical Council. 2016, BMG Research GOC 2015 Contact Lens Survey,
General Optical Council, United Kingdom.
Grubbs JR, Tolleson-Rinehart S, Huynh K, Davis RM. 2014. A Review of Quality
of Life Measures in Dry Eye Questionnaires. Cornea. 33(2): 215-8.
Guillon M, Maissa C. 2005. Dry Eye Symptomatology of Soft Contact Lens
Wearers and Nonwearers. Optometry and Vision Science. 82(9): 829-34.
Hashemi H, Khabazkhoob M, Kheirkhah A, Emamian MH, Mehravaran S, Shariati
M, Fotouhi A. 2014. Prevalence of dry eye syndrome in adult population. Clin
Exp Ophthalmol. 42(3): 242-8.
69
Herranz RM, Herran RMC. 2013. Ocular Surface : Anatomy and Physiology,
Disorders and Therapeutic Care, CRC Press, United State of America.
Hisan C. 2016. Hubungan Antara Pemakaian Lensa Kontak Terhadap Kejadian Dry
Eye Syndrome pada Siswa SMA Batik 2 Surakarta. [Skripsi]. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Hosaka E, Kawamorita T, Ogasawara Y, Nakayama N, Uozato H, Shimizu K et al.,
2011. Interferometry in the evaluation of precorneal tear film thickness in dry
eye. Am J Ophthalmol. 151(1):18 - 23
Ibrahim YW, Boase DL, Cree IA. 2009. How could contact lens wearers be at risk
of acanthamoeba infection? A Review. Journal of Optometry. 2(2): 60–6.
Ilyas S, Yulianti SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ke-5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Jones-Jordan LA, Walline JJ, Mutti DO, J Marjorie, Nichols KK, Nichols JJ,
Zadnik K. 2010. Gas Permeable and Soft Contact Lens Wear in Children.
87(6):414-20.
Kanellopoulos AJ, Asimellis G. 2016. In pursuit of objective dry eye screening
clinical techniques. Eye Vis (Lond): 3(1): 1-7.
Kanski JJ, Browling B. 2011. Lacrimal Drainage System and Dry Eye Disorders.
In: Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 7th ed. Philadelphia:
Elsevier. P. 66-67, 122-123.
Kastelan S, Lukenda A, Salopek-Rabatic J, Pavan J, Gotovac M. 2013. Dry Eye
Symptoms and Signs in Long-Term Contact Lens Wearers. Coll Antropol.
37(1):199-203.
Khurana AK. 2007. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Delhi. New Age
International Ltd.
Kunimoto DY, Kanitkar KD, Makar MS. 2004. General ophthalmic problems. In:
The Wills Eye Manual: Office and Emergency Room Diagnosis & Treatment
of Eye Disease. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. p. 344-
5.
Lemp MA, Bron AJ, Baudouin C, Benítez del Castillo JM., Geffen D, Tauber J, et
al. 2011. Tear Osmolarity in the Diagnosis and Management of Dry Eye
Disease. American Journal of Ophthalmology. 151(5):792–8.
Li N, Deng XG, He MF. 2012. Comparison of the Schirmer 1 test with and without
topical anesthesia for diagnosing dry eye. Int J Ophthalmol. 5(4):478-81.
70
Mathieu AM, Bron AM, Mathieu B, Souchier M, Baudouin FB, Acar N et al. 2014.
Ocular surface assessment in soft contact lens wearers; the contribution of tear
osmolarity among other tests. Acta Ophthalmologica. 92(4): 364-9.
Muntz A, Subbaraman LN, Sorbara L, Jones L. 2015. Tear Exchange and Contact
Lens : A Review. J. Optom. 8(1): 2-11.
Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Ntola A, Murphy P. 2002. The effect of contact lens wear on corneal sensation.
Minerva Ophthalmol. 44(1): 31-8.
Nusantara KM. 2008. Lensa Kontak. Lions Eye Institute. [Internet] [Accessed Sept
10, 2019]. Received http://www.klinikmatanusantara.com/file/759.pdf
Ozcura F, Aydin S, Helvaci MR. 2007. Ocular Surface Disease Index for the
Diagnosis of Dry Eye Syndrome. Ocular Immunology and Inflammation. 15:
389-93.
Patel S, Blades JK. 2003. The Dry Eye Apractical Approach. ButterWorth-
Heinemann. P. 27-56.
Papas E, Tilia D, McNally J, de la Jara PL. 2015. Ocular Discomfort Responses
after Short Periods of Contact Lens Wear. 92 (6): 665-70.
Phadatare SP, Momin M, Nighojkar P, Askarkar S, Singh KK. 2015. A
comprehensive review on dry eye disease: diagnosis, medical management,
recent developments, and future challenges. Advances in Pharmaceutics.
2015(2):1–12.
Pietersz EL, Sumual V, Rares L. 2016. Penggunaan Lensa Kontak dan Pengaruhnya
terhadap dry eye pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sam
Ratulangi. Jurnal e-Clinic.4(1)
Quraishy MM, Khan B. 2009. Awareness of contact lens care amongmedical
students. Med Channel. 15(4): 85-8.
Riley C, Young G, Chalmers R. 2006. Prevalence of Ocular Surface Symptoms,
Signs and Uncomfortable Hours of Wear in Contact Lens Wearers The Effect
of Refitting with Daily-Wear Silicone Hydrogel Lenses (Senofilcon A). Eye
Contact Lens. 32(6):281–6.
Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2009. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi
ke-17. Jakarta: EGC.
Sahai A, Malik P. 2005. Dry Eye : Prevalence and Attributable Risk Factors in a
Hospital-Based Population. Indian J Ophthalmol. 53(2): 87-91.
71
Sastroasmoro S, Ismael S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi
ke-4.Jakarta: Sagung Seto.
Schaumberg DA, Sullivan DA, Buring JE, Dana MR, 2003. Prevalence of dry eye
syndrome among US women. Am J Ophthalmol. 136:318–326.
Shaharuddin B, Ismail-Mokhtar SF, Hussein E. 2008. Dry Eye in Post-Menopausal
Asian Women on Hormone Replacement Therapy. Int J Ophthalmol. 1(2):158-
60.
Sherwood L. 2014. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 8th ed. Jakarta: EGC.
Shrestha G, Sujakhu D, Shrestha JB, Shrestha JK. 2012. Tear Film Evaluation in
Contact Lens Wearers and Non Wearers. Journal of Institute of Medicine
Nepal. 34(2):14-20.
Singh Brinder G, Singh Brinder H. 2005. Reflex epiphora in patients with dry eye
symptoms: role of variable time Schirmer-1 test. Eur J Ophthalmol. 15: 429-
33.
Sitompul R. 2015. Perawatan Lensa Kontak untuk Mencegah Komplikasi. eJournal
Kedokteran Indonesia. 3(1):80-85.
Solomon A, Dursun D, Liu z, Xie Y, Macri A, Pflugfelder SC. 2001. Pro-and anti-
inflammatory forms of interleukin-1 in the tear fluid and conjungtiva of
patients with dry-eye disease. Invest Ophthalmol Vis Sci. 42(10):2283-92.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Afabeta
Syaqdiyah WH, Prihatningtias R, Saubig AN. 2018. Hubungan Lama Pemakaian
Lensa Kontak dengan Mata Kering. Jurnal Kedokteran Diponegoro.7(2):462-
71.
Syehabudin RN. 2017. Insidensi Dry Eye pada Pengguna Lensa Kontak
Menggunakan Tes Schirmer dan Ocular Surface Disease Index (OSDI)
Terhadap Mahasiswa Pre Klinik PSKPD Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [skripsi]. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah
Trbolova A, Ghaffari MS. 2017. Results of the Schirmer tear test performed with
open and closed eyes in clinically normal horses. Acta Vet Scand. 59(1):35.
Unlu C, Guney E, Akcay BIS, Akcali G, Erdogan G, Bayramlar H. 2012.
Comparison of ocular-surface disease index questionnaire, tearfilm break-up
time, and Schirmer test for the evaluation of the tearfilm in computer users
with and without dry-eye symptomatology. Clinical Ophthalmology. 6:1303-
6.
72
Wagner P, Lang GK. 2016. A pocket textbook atlas. New York: Thieme Stuttgart
Wakarie PR, Rares L. 2014. Perbandingan Produksi Air Mata Pada Pengguna Lensa
Kontak Dengan Yang Tidak Menggunakan Lensa Kontak. Jurnal e-Clinic.
2(1): 1-6.
Whitcher JP. 2004.The Treatment of Dry Eyes. Br J Ophthalmol. 88(5): 603-4.
Yanoff M, Duker JS. 2014. Opthalmology. 4th ed. UK: Elsevier Saunders.