perbandingan kondisi optimum ekstraksi … pdf/f. farmasi/farmasi/068114178_full.pdf · 2. nama...
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN
(Caesalpinnia sappan
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERBANDINGAN KONDISI OPTIMUM EKSTRAKSI KAYU SECANG
ia sappan L.) SECARA DIGESTI DAN SOXHLETASI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh :
Trisiana Sarwastuti
NIM : 068114178
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
EKSTRAKSI KAYU SECANG
SOXHLETASI
Program Studi Ilmu Farmasi
PERBANDINGAN
(Caesalpinnia sappan
Diajukan
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
PERBANDINGAN KONDISI OPTIMUM EKSTRAKSI KAYU SECANG
ia sappan L.) SECARA DIGESTI DAN SOXHLETASI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh :
Trisiana Sarwastuti
NIM : 068114178
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
EKSTRAKSI KAYU SECANG
SOXHLETASI
Program Studi Ilmu Farmasi
iii
iv
v
CAST YOUR CARES ON THE LORD AND HE
WILL SUSTAIN YOU, HE WILL NEVER LET
THE RIGHTEOUS FALL
Psalm 55:22
buah piker dan kerja keras ini kupersembahkan, dengan penuh rasa syukur untuk mereka yang
kukasihi Papa Mama
Lusi, Novi, Tia Sahabat
Almamaterku
vi
vii
viii
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus
karena atas penyertaan dan kekuatanNya sehingga penulisan skripsi yang berjudul
“Perbandingan Kondisi Optimum Ekstraksi Kayu Secang (Caesalpinnia sappan
L.) secara Digesti dan Soxhletasi” ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
(S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Tercapainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan,
kerjasama, dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis hendak
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta atas semua kesempatan yang diberikan untuk menuntut
ilmu dan melaksanakan penelitian.
2. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing yang dengan
sabar memberi bimbingan, pengarahan, masukan, dan waktu selama proses
penyusunan skripsi ini.
3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
masukan dan saran kepada penulis.
4. Jeffry Julianus, M.Si. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan
dan saran kepada penulis.
5. Semua Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, atas
semua ilmu yang telah diberikan kepada penulis di bangku kuliah.
ix
6. Keluarga tercinta, Papa, Mama, Mbak Lusi, Nophi, Tia, terimakasih atas cinta
dan sayang yang telah dicurahkan, segala dukungan moril dan materiil, dan
doa yang tiada henti hingga skripsi ini dapat terwujud.
7. Pak Parlan, Mas Bimo, Mas Kunto, dan Mas Andri yang telah membantu
selama penelitian.
8. Teman-teman seperjuangan, Shasha dan Astina, terima kasih atas kerjasama
dan kebersamaan selama proses penelitian yang panjang.
9. Tere, Della, Mbak Eya, Eyin, Mas Kaka, Mas Memedz, Mbak Via, terima
kasih untuk persahabatan, kasih dan semangat yang diberikan selama ini.
10. Grace, Yoki, Anton, Win, Rani, Aan, Cica, Iwan, Lina, Yacob, Iren atas
semangat dan kekompakan selama ini.
11. Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya untuk teman-teman Farmasi
angkatan 2006 untuk semua kebahagiaan dan kebersamaan selama di bangku
kuliah.
12. dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang membuat
penulis bisa melewati tahap ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran untuk lebih memperbaiki penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
x
INTISARI
Tanaman secang (Caesalpinnia sappan L.) digunakan sebagai bahan
pewarna karena kandungan komposit brazilin di dalamnya. Ada beberapa teknik
ekstraksi untuk menyari komposit brazilin, dua diantaranya yaitu teknik digesti
dan soxhletasi. Ekstrak yang baik akan mengandung banyak komposit brazilin
yang diinginkan, sehingga ekstraksi harus dilakukan pada kondisi optimum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah dari kedua kondisi optimum
ekstraksi tersebut akan menghasilkan nilai AUC yang berbeda atau tidak serta
membandingkan mana yang akan mengekstraksi komposit brazilin dari kayu
secang lebih banyak.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental quasi. Serbuk kayu
secang diekstraksi secara digesti dan soxhletasi yang masing-masing dilakukan
pada kondisi optimumnya. Analisis kuantitatif kandungan komposit brazilin
dilakukan dengan metode KLT-densitometri yang didahului pemisahan
menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan fase diam selulosa dan fase
gerak kloroform : metanol : aquadest (64 : 50 : 10).
Perbandingan kedua teknik ekstraksi dilakukan dengan membandingkan
Area Under Curve (AUC) yang diperoleh dengan menggunakan Paired Sampled
T-test. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata AUC komposit brazilin untuk
sampel digesti 11864,8 dan untuk sampel soxhletasi 14503,6. Pada analisis T-test
diperoleh perbedaan yang bermakna antara keduanya. Berdasarkan analisis dapat
disimpulkan bahwa teknik soxhletasi dapat mengekstraksi lebih banyak komposit
brazilin dibandingkan teknik digesti.
Kata kunci : kayu secang, komposit brazilin, digesti, soxhletasi
xi
ABSTRACT
Sappan wood can be used as dye because brazilin composite content in it.
There are several techniques extraction of the composite brazilin, two of which
are digestion and soxhletation. A good extract will contain many brazilin
composite desired, therefore the extraction should be performed at optimum
conditions. This study aims to determine whether both extraction under optimum
conditions will produce different AUC values or not and which ones will more
extracts brazilin composite from the sappan wood.
This study includes quasi experimental study. Sappan wood extracted
with digestion and soxhletation each performed in optimum conditions.
Quantitative analysis of brazilin composite content conducted by KLT-
densitometri method which preceded the separation using thin layer
chromatography (KLT) with a stationary phase of cellulose and mobile phase
chloroform phase: methanol: aquadest (64: 50: 10).
Comparison of two extraction by comparing the Area Under Curve
(AUC) obtained by using the Paired Sampled T-test. The results show the average
AUC of brazilin composite from digestion sample is 11,864.8 and 14,503.6 for the
soxhletation sample. T-test analysis obtained significant differences between the
two method. Based on the analysis can be concluded that the soxhletation can
extract brazilin composite more than digestion.
Keywords: sappan wood, brazilin composite, digestion, soxhletation
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................ vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ vii
PRAKATA ........................................................................................................... viii
INTISARI .............................................................................................................. x
ABSTRACT ............................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xix
BAB I PENGANTAR ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................................... 1
1. Perumusan masalah ................................................................................... 3
2. Keaslian penelitian .................................................................................... 3
3. Manfaat penelitian ..................................................................................... 3
B. Tujuan 4
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ...................................................................... 5
A. Secang 5
1. Keterangan botani .................................................................................... 5
xiii
2. Nama daerah ............................................................................................. 5
3. Kandungan kimia ..................................................................................... 5
4. Penggunaan .............................................................................................. 6
A. Penyarian ........................................................................................................... 7
1. Ekstrak ...................................................................................................... 8
2. Cairan penyari .......................................................................................... 9
3. Metode ekstraksi ...................................................................................... 9
a. Soxhletasi ............................................................................................. 9
b. Digesti ................................................................................................. 11
B. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ..................................................................... 12
C. KLT-Densitometri ........................................................................................... 15
D. Landasan Teori ................................................................................................ 17
E. Hipotesis .......................................................................................................... 18
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 19
A. Jenis dan Rancangan Penelitian....................................................................... 19
B. Variabel dan Definisi Operasional .................................................................. 19
1. Identifikasi variabel ................................................................................ 19
2. Definisi operasional................................................................................ 19
C. Bahan dan Alat ................................................................................................ 20
1. Bahan penelitian ..................................................................................... 20
2. Alat penelitian ........................................................................................ 20
D. Tata Cara Penelitian ........................................................................................ 21
1. Pengumpulan bahan ............................................................................... 21
xiv
2. Identifikasi tanaman dan kayu................................................................ 21
a. Identifikasi morfologis tanaman ......................................................... 21
b. Identifikasi makroskopik batang kering ............................................. 21
c. Identifikasi secara kimia ..................................................................... 21
3. Pembuatan simpleks kayu secang .......................................................... 22
4. Pembuatan serbuk kayu secang .............................................................. 22
5. Ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang secara digesti ................. 22
a. Pembuatan cairan penyari air dalam etanol 64%................................ 22
b. Ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang secara digesti .............. 23
6. Ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang secara soxhletasi ............ 23
a. Pembuatan cairan penyari air dalam etanol 64%................................ 23
b. Ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang secara soxhletasi ........ 23
7. Pembuatan ekstrak kering ...................................................................... 24
8. Isolasi komposit brazilin dengan KLT ................................................... 24
a. Pembuatan buffer fosfat pH 7 ............................................................. 24
b. Isolasi dengan KLT ............................................................................ 24
9. Pengukuran AUC komposit brazilin dengan TLC densitometric scanner 24
a. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ........................... 24
b. Pengukuran AUC komposit brazilin ................................................... 24
E. Analisis Hasil................................................................................................... 25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 26
A. Pengumpulan Bahan ........................................................................................ 26
B. Identifikasi Tanaman dan Batang Kering ........................................................ 27
xv
1. Identifikasi morfologis tanaman ............................................................. 27
2. Identifikasi makroskopik batang kering .................................................. 28
3. Identifikasi secara kimia.......................................................................... 28
C. Pembuatan Simpleks Kayu Secang ................................................................. 33
D. Pembuatan Serbuk Kayu Secang ..................................................................... 35
E. Ekstraksi Komposit Brazilin secara Digesti .................................................... 36
F. Ekstraksi Komposit Brazilin secara Soxhletasi ............................................... 37
G. Rendemen Hasil Ekstraksi Digesti dan Soxhletasi .......................................... 40
H. Pemisahan Komposit Brazilin dengan KLT .................................................... 40
I. Pengukuran AUC Komposit Brazilin dengan
TLC Scanner Densitometric ......................................................................... 47
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ................................ 47
2. Pengukuran AUC komposit brazilin ........................................................ 48
J. Perbandingan Metode ...................................................................................... 51
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 55
LAMPIRAN .......................................................................................................... 58
BIOGRAFI PENULIS ........................................................................................... 70
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I Parameter aplikasi yang direkomendasikan ....................................... 16
Tabel II Hasil identifikasi secara kimia ............................................................ 29
Tabel III Bobot rata-rata dan % CV ekstrak kering hasil digesti ...................... 37
Tabel IV Bobot rata-rata dan % CV ekstrak kering hasil soxhletasi ................. 39
Tabel V Harga Rf dan warna bercak sampel KLT
hasil digesti dan soxhletasi ................................................................. 45
Tabel VI Harga Rf bercak sampel hasil digesti dan soxhletasi
pada 5 replikasi .................................................................................. 46
Tabel VII Nilai AUC komposit brazilin dari kedua cara ekstraksi ..................... 48
Tabel VIII Hasil uji normalitas data AUC
dengan Kolmogorov-Smirnov Test ..................................................... 51
Tabel IX Hasil analisis statistik dengan Paired Sampled T-test ........................ 52
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur brazilein, 3-0 metil brazilin, dan brazilin .............................. 6
Gambar 2. Soxhlet extractor ............................................................................... 10
Gambar 3. Batang secang segar .......................................................................... 26
Gambar 4. Bagian tanaman secang ..................................................................... 28
Gambar 5. Reaksi asam basa brazilin menjadi brazilein
pada penambahan basa ...................................................................... 30
Gambar 6. Reaksi asam basa 3’-O-metil brazilin menjadi
3’-O-metil brazilein pada penambahan basa ..................................... 31
Gambar 7. Reaksi pembentukan senyawa kompleks brazilin
dengan Pb2+ ....................................................................................... 33
Gambar 8. Reaksi pembentukan senyawa kompleks brazilin
dengan Fe3+ ....................................................................................... 33
Gambar 9. Simpleks kayu secang ....................................................................... 34
Gambar 10. Serbuk kayu secang .......................................................................... 35
Gambar 11. Ekstrak kering secang hasil digesti dan soxhletasi ........................... 40
Gambar 12. Interaksi brazilin, 3-O-metil brazilin dengan fase gerak ................... 41
Gambar 13. Interaksi brazilin, 3-O-metil brazilin dengan fase diam.................... 42
Gambar 14. Profil KLT komposit brazilin yang diperoleh
secara digesti dengan jarak pengembangan 15cm ............................ 43
Gambar 15. Profil KLT komposit brazilin yang diperoleh
secara soxhletasi dengan jarak pengembangan 15cm ....................... 44
xviii
Gambar 16. Spektrogram hasil penentuan panjang gelombang serapan
maksimum pada bercak komposit brazilin dengan
TLC Densitometric scanner ................................................................ 47
Gambar 17. Spektra komposit brazilin dari hasil digesti ...................................... 49
Gambar 18. Spektra komposit brazilin dari hasil soxhletasi ................................. 50
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto hasil identifikasi tanaman secara kimia .................................... 59
Lampiran 2. Foto alat digesti ................................................................................. 60
Lampiran 3. Foto soxhlet extractor ....................................................................... 60
Lampiran 4. Persentase rendemen dan CV komposit brazilin hasil digesti .......... 61
Lampiran 5. Perhitungan % rendemen hasil digesti .............................................. 61
Lampiran 6. Perhitungan standard error dan coefficient of variance ................... 62
Lampiran 7. Persentase rendemen dan CV komposit brazilin hasil soxhletasi ..... 62
Lampiran 8. Perhitungan % rendemen hasil soxhletasi ........................................ 62
Lampiran 9. Perhitungan standard error dan coefficient of variance ................... 63
Lampiran 10. Profil KLT komposit brazilin hasil digesti ..................................... 64
Lampiran 11. Profil KLT komposit brazilin hasil soxhletasi ................................ 65
Lampiran 12. Spektrum komposit brazilin hasil digesti ........................................ 66
Lampiran 13. Spektrum komposit brazilin hasil soxhletasi .................................. 68
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Saat ini masyarakat Indonesia telah mengenal tanaman secang
(Caesalpinnia sappan L.) sebagai bahan pewarna alami. Tanaman secang sudah
banyak dimanfaatkan sebagai bahan pewarna makanan, minuman, bahkan sediaan
farmasi seperti obat dan kosmetik.
Tanaman secang dapat digunakan sebagai bahan pewarna karena
kandungan komposit brazilin di dalamnya. Komposit brazilin yaitu terdiri dari
brazilin, brazilein, 3’-O-metil brazilin. Sifat dari brazilin yaitu memiliki ikatan
rangkap terkonjugasi yang panjang dan memiliki kelarutan yang baik di dalam air
dan etanol. Selain itu, komposit brazilin tersusun dari atom-atom C, H dan O yang
peka terhadap penambahan pH.
Komposit brazilin dalam kayu secang dapat diperoleh dengan melakukan
ekstraksi. Ada beberapa macam metode ekstraksi, dua di antaranya adalah digesti
dan soxhletasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses ektraksi agar dapat
berlangsung sempurna adalah apabila digunakan cairan penyari yang sesuai.
Cairan penyari yang digunakan harus dapat menarik senyawa yang diinginkan
dari senyawa-senyawa lainnya sehingga ekstrak yang diperoleh hanya
mengandung sebagian besar senyawa yang diinginkan dari serbuk simpleks. Oleh
karena itu pemilihan cairan penyari harus
2
disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang diinginkan dalam cairan
penyari.
Pemilihan cairan penyari saja belum cukup untuk menyari seluruh
senyawa yang diinginkan secara optimal. Hal yang penting diperhatikan agar
diperoleh ekstrak dengan kandungan senyawa yang diinginkan dalam jumlah
banyak adalah konsentrasi cairan penyari yang digunakan. Selain konsentrasi
cairan penyari, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah lama ekstraksi yang
dilakukan. Oleh karena itu ekstraksi yang dilakukan harus menggunakan
konsentrasi cairan penyari dan lama ekstraksi yang optimum.
Pada penelitian ini akan dilakukan perbandingan cara ekstraksi kayu
secang dengan cara digesti dan soxhletasi. Baik cara digesti maupun soxhletasi
dilakukan pada konsentrasi cairan penyari dan lama ekstraksi yang optimum.
Penentuan kondisi optimum untuk ekstraksi secara digesti dan soxhletasi telah
dilakukan pada penelitian sebelumnya. Kedua cara ekstraksi tersebut mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Cairan penyari yang digunakan untuk
mengekstraksi kayu secang adalah air dalam etanol.
Ekstrak yang diperoleh dari masing-masing ekstraksi akan dianalisis
dengan menggunakan TLC densitometry scanner. Kedua cara ekstraksi dengan
masing-masing konsentrasi cairan penyari dan lama ekstraksi yang optimum
dibandingkan nilai area under curve (AUC) yang terukur, mana yang akan
menghasilkan AUC komposit brazilin yang lebih besar.
3
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi industri farmasi maupun
masyarakat dalam mengisolasi komposit brazilin dari kayu secang dalam
penggunaannya sebagai bahan pewarna.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka timbul permasalahan :
a. Apakah nilai AUC komposit brazilin antara hasil ekstraksi digesti dengan
soxhletasi berbeda?
b. Pada teknik ekstraksi manakah yang dapat menghasilkan AUC komposit
brazilin yang lebih besar?
2. Keaslian penelitian
Sejauh peninjauan penulis, penelitian tentang perbandingan ekstraksi
komposit brazilin dari kayu secang dengan cara digesti dan soxhletasi terhadap
AUC belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang pernah dilakukan terhadap
kayu secang yaitu tentang stabilitas warna zat aktifnya (brazilin) pada perbedaan
pH dan suhu pemanasan; isolasi dan karakterisasi brazilin dari kayu secang;
modifikasi menjadi pewarna oily; serta penggunaan zat warna dari kayu secang
sebagai pewarna pada tablet salut gula (Wijayanti, 2002; Putrandana, 2003;
Penpun, 2005; Dong-Kyu et al., 2007).
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi ilmu
pengetahuan mengenai cara ekstraksi yang lebih banyak mengisolasi
komposit brazilin dalam kayu secang.
4
b. Manfaat metodologis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan suatu
cara ekstraksi yang lebih banyak mengisolasi komposit brazilin dalam
kayu secang.
c. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi industri
farmasi mengenai ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang yang
memberikan hasil optimum dalam penggunaannya sebagai bahan pewarna.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. mengetahui nilai AUC komposit brazilin antara hasil ekstraksi digesti dan
soxhletasi berbeda atau tidak
2. membandingkan ekstraksi digesti dan soxhletasi yang dapat menghasilkan
AUC komposit brazilin yang lebih besar
5
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Secang
1. Keterangan botani
Secang merupakan tumbuhan yang biasa tumbuh di daerah tropis pada
ketinggian 500-1000 diatas permukaan laut dan biasa dijumpai sebagai tanaman
pagar. Tanaman secang termasuk ke dalam famili Caesalpiniaceae, suku
Caesalpinia, dan memiliki nama ilmiah Caesalpinnia sappan L
(Tjitrosoepomo, 1994).
2. Nama daerah
Tanaman secang mempunyai beberapa nama daerah, diantaranya adalah :
Sumatra : Seupang (Aceh), Sopang (Batak), Cacang (Minangkabau).
Jawa : Secang (Sunda), Kayu Cang (Madura)
Nusa Tenggara : Cang (Bali), Sepang (Sasak), Sepe (Roti)
Sulawesi : Kayu Sema (Manado), Sapang (Makasar)
Maluku : Sunyiha (Ternate), Roro (Tidore)
(Anonim, 1986).
3. Kandungan kimia
Kandungan utama dari tanaman secang berupa komponen fenolik yang
terdiri dari 4 macam subtipe struktur yaitu brazilin, kalkon, protosapannin, dan
homisoflavonoid (Fu et al., 2008). Brazilin berwarna kuning pada larutan alkali
dan akan berubah warna menjadi merah tua apabila teroksidasi (Wallis, 1985).
6
Kayu secang juga mengandung asam tanat, galat, resin, resorsin, minyak
atsiri, brazilein, d-alfa-phellandrene, oscimene (Anonim, 1985). Selain itu daun
dan batang secang juga mengandung polifenol, batangnya juga mengandung tanin
(Sugati dan Hutapea, 1991).
Komposit brazilin adalah kumpulan senyawa sub tipe struktur brazilin,
yang terdiri dari brazilin, brazilein, dan 3’-O-metil brazilin. Brazilin merupakan
zat warna kayu secang yang berwarna kuning pada pH asam dan akan berubah
menjadi brazilein yang berwarna merah pada pH basa atau jika teroksidasi.
Senyawa 3’-O-metil brazilin adalah turunan brazilin.
Gambar 1. Struktur brazilein, 3-O-metilbrazilin dan brazilin (Fu et al., 2008)
4. Penggunaan
Kayu secang mengandung senyawa brazilin yang dapat digunakan
sebagai bahan pewarna makanan maupun bahan sediaan farmasi seperti obat-
obatan dan kosmetik. Selain sebagai zat warna, brazilin merupakan senyawa
antioksidan yang mengandung katekol dalam struktur kimianya. (Moon et al.,
1992).
7
Brazilin dalam kayu secang juga dilaporkan memiliki efek antiinflamasi.
Beberapa penelitian melaporkan kayu secang mempunyai aktivitas anti bakteri
penyebab tukak lambung. Selain itu untuk menghentikan pendarahan, diduga yang
berperan adalah tanin dan asam galat (Sundari et al., 1998).
Kayu secang juga digunakan untuk pengobatan diare, disentri, muntah
darah, batuk darah, luka berdarah, serta luka dalam (Perry, 1980). Kayu secang
digunakan untuk semua peristiwa yang bertalian dengan darah, misalnya untuk
menyembuhkan memar berdarah, muntah darah, murus darah. Kerokan kayu
secang yang dicampur dengan ketumbar dan tawas dapat digunakan sebagai obat
mata dan sebagai obat minum kalau orang menderita luka dalam. Kayu secang ini
juga digunakan sebagai obat sifilis, batuk darah, radang selaput lendir mata, berak
darah, dan darah kotor (Greshoff dan Heyne, 1987).
Di Cina dan Filipina, rebusan kayu secang digunakan sebagai penghenti
pendarahan untuk pengobatan pasca persalinan, sedangkan di Singapura kayu
secang digunakan sebagai tonik dan obat rematik (Perry, 1980).
B. Penyarian
Penyarian (ekstraksi) adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari
bahan yang tidak dapat larut dengan cairan penyari. Pada proses penyarian terjadi
perpindahan masa zat aktif yang semula berada di dalam sel akan ditarik oleh
adanya cairan penyari. Proses penyarian dapat dibedakan menjadi pembuatan
serbuk, penyarian, dan pemekatan. Hasil penyarian akan semakin baik apabila
ukuran serbuk semakin halus, karena permukaan serbuk simplisia yang
8
bersentuhan dengan cairan penyari akan semakin luas. Akan tetapi pertimbangan
ini tidak selalu dapat dilaksanakan karena dengan semakin halus serbuk simplisia
juga akan mengganggu proses penyarian. Hal ini dikarenakan serbuk yang terlalu
halus tersebut dapat membentuk suspensi yang sulit dipisahkan dari hasil
penyarian. Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan penyarian adalah
kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari
dengan bahan yang mengandung zat tersebut (Anonim, 1986).
1. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan
menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok. Ekstrak kering
harus mudah digerus menjadi serbuk. Ekstrak mengandung senyawa bioaktif
dengan kadar yang lebih tinggi dari simplisia asalnya (Anonim, 1979).
Dalam pembuatan ekstrak yang baik perlu memperhatikan beberapa
tahap karena akan mempengaruhi mutu ekstrak seperti keseragaman kandungan
kimia, sifat fisiknya, khasiat dan keamanannya (Sidik dan Mudahar, 2000).
Ada 2 faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak yaitu faktor biologi dan
faktor kimia. Pada faktor biologi, mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal
tumbuhan obat dari segi biologi. Faktor biologi baik untuk bahan yang berasal
dari tanaman budidaya maupun tanaman liar meliputi identitas jenis, lokasi
tanaman asal, periode pemanenan hasil tumbuhan, penyimpanan bahan tanaman,
umur tanaman, dan bagian tanaman yang digunakan. Pada faktor kimia, mutu
ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu kandungan kimia dari tanaman obat
(Anonim, 2000).
9
2. Cairan penyari
Cairan penyari adalah pelarut yang baik atau optimal bagi senyawa yang
berkhasiat atau aktif sehingga sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan dari
senyawa lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa yang
diinginkan (Anonim, 1995).
Farmakope Indonesia menetapkan sebagai cairan penyari digunakan air,
etanol air, atau eter. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak atsiri,
glikosida, kurkumin, kumarin, antrakuinon, flavoloid, steroid, damar, dan klorofil
lemak, malam, tanin, dan saponin hanya sedikit larut, dengan demikian zat
pengganggu yang larut terbatas. Cairan penyari yang baik harus memenuhi
kriteria berikut :
a. Murah dan mudah diperoleh
b. Stabil secara fisika dan kimia
c. Bereaksi netral
d. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
e. Selektif, yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki
f. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat
g. Diperbolehkan oleh peraturan
(Anonim, 1986).
3. Metode ekstraksi
a. Soxhletasi. Penyarian berkesinambungan merupakan cara penyarian
yang menghasilkan ekstrak cair kemudian dilanjutkan dengan proses penguapan
sehingga akan diperoleh ekstrak yang lebih pekat (Anonim, 1986). Alat ekstraksi
10
yang digunakan adalah soxhlet (gambar 2). Pelarut yang berada di dalam labu
dipanaskan kemudian mengembun. Apabila volumenya mencukupi, pelarut yang
telah membawa zat terlarut akan keluar melalui pipa kecil dalam labu
(Anwar, 1994).
Gambar 2. Soxhlet extractor
Prinsip kerja ekstraksi dengan soxhletasi adalah sebagai berikut :
Serbuk simpleks yang dibungkus dengan kertas saring dimasukkan ke dalam
tabung, sedangkan cairan penyari yang berada di labu dipanaskan hingga
mendidih. Uap cairan penyari akan naik ke atas melalui pipa samping kemudian
diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari akan turun melarutkan zat
aktif serbuk simpleks, seluruh cairan tersebut akan kembali lagi ke labu (Anonim,
1986).
Proses ekstraksi ini berlangsung secara terus-menerus sehingga zat yang
diekstraksi harus tahan terhadap pemanasan. Cara ini lebih praktis dan hanya ada
kemungkinan kecil zat yang diekstraksi hilang selama proses ekstraksi
11
berlangsung. Efisiensi yang tinggi pada soxhletasi dipengaruhi oleh viskositas
fase dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecepatan tercapainya
kesetimbangan (Khopkar, 1990).
Kelebihan cara penyarian soxhletasi adalah :
i. Uap panas tidak melalui serbuk simpleks tetapi melalui pipa samping
ii. Proses ekstraksi berjalan terus-menerus sesuai dengan keperluan tanpa
menambah volume cairan penyari. Hal ini sangat menguntungkan karena
selain ekonomis, akan diperoleh ekstrak yang lebih pekat.
iii. Cairan penyari yang digunakan lebih sedikit sehingga kan diperoleh hasil
yang lebih pekat
iv. Serbuk simpleks disari oleh cairan penyari yang murni sehingga dapat
menyari senyawa aktif lebih banyak
Kekurangan cara penyarian soxhletasi :
i. Larutan dipanaskan terus-menerus sehingga kurang sesuai untuk zat aktif
yang tidak tahan panas. Hal ini dapat diperbaiki dengan menambah peralatan
yang dapat mengurangi tekanan udara.
ii. Cairan penyari dididihkan terus-menerus sehingga cairan penyari harus murni
atau campuran azeotrop (Anonim, 1986).
b. Digesti. Pada maserasi, keadaan diam akan menyebabkan terjadinya
profil konsentrasi yaitu kesetimbangan perpindahan massa dari sel ke dalam
pelarut dan dari pelarut ke dalam sel. Keadaan ini dapat dihindari dengan
melakukan pengadukan atau dengan pemanasan (Stahl, 1985).
12
Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah
pada suhu 400-50
0C. Cara maserasi ini dilakukan hanya untuk bahan-bahan yang
tahan terhadap pemanasan. Pada digesti, cairan penyari akan menembus dinding
sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan
larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan di luar sel, maka larutan dengan konsentrasi yang lebih besar didesak ke
luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di luar sel dan di dalam sel. Pemanasan akan memberikan energi bagi
cairan penyari untuk melarutkan senyawa dari simplisia. Pada peningkatan suhu
kekentalan pelarut akan berkurang sehingga akan mengurangi lapisan batas.
Selain itu, kelarutan zat akan meningkat apabila suhu dinaikkan (Anonim, 1986).
C. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan dengan
menggunakan fase diam berupa serbuk halus yang disebarkan merata pada
penyangga, sedangkan fase gerak yang berupa hampir segala macam larutan atau
campuran larutan. Campuran yang ingin dipisahkan ditotolkan pada fase diam
yang selanjutkan akan dimasukkan dalam bejana berisi fase gerak untuk dielusi.
Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) (Hardjono, 1983).
Kromatografi lapis tipis ini sering digunakan karena metodenya relatif
sederhana, cepat dalam pemisahan, sensitif, kecepatan pemisahan tinggi dan
mudah untuk memperoleh kembali senyawa-senyawa yang dipisahkan (Stahl,
1985). Selain itu kecepatan pemisahan dengan KLT tinggi dan mudah untuk
13
memperoleh kembali senyawa yang dipisahkan. Aplikasi dengan KLT sangat luas,
dapat digunakan pada senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap dan terlalu
kecil untuk dianalisis dengan kromatografi cair, selain itu juga dapat digunakan
untuk pemeriksaan kemurnian pelarut (Khopkar, 1990).
Hal yang harus diperhatikan pada pemisahan suatu senyawa dengan
menggunakan KLT adalah pemilihan fase diam, fase gerak, dan cara kerja yang
sesuai. Pemisahan senyawa dapat berlangsung optimal apabila dilakukan
perubahan-perubahan pada fase diam, fase gerak, dan cara kerja yang meliputi
kejenuhan, temperatur dalam bejana kromatografi, cara pengembangan, dan
keadaan permukaan.
Besarnya partikel fase diam serta homogenitasnya juga harus
diperhatikan, karena daya lekat senyawa pada fase diam sangat ditentukan oleh
kedua sifat tersebut. Partikel yang terlalu besar dan kasar tidak akan memberikan
pemisahan yang baik. Oleh karena itu digunakan partikel dengan ukuran yang
halus yaitu pada umumnya 1-25 µm.
Fase gerak adalah medium pembawa yang bisa terdiri dari satu atau
beberapa macam pelarut. Pemilihan fase gerak untuk KLT ditentukan oleh
polaritas pelarut. Selain kelarutan relatif zat terlarut dalam fase gerak, perlu juga
diperhatikan persaingan antara zat terlarut dengan pelarut terhadap bidang
adsorbsi pada fase diam. Pemisahan senyawa tidak akan berjalan dengan baik
apabila pelarut mengelusi terlalu cepat, sebaliknya apabila pelarut mengelusi
terlalu lambat maka waktu elusi terlalu lama. Pengisian fase gerak dalam bejana
adalah 0,5-0,8 cm dan bejana harus tertutup rapat (Stahl, 1985).
14
Penggunaan fase gerak untuk pengembangan tidak boleh lebih dari dua
kali pemakaian. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan perubahan komposisi
fase gerak akibat penyerapan berlebihan dan penguapan (Gritter, 1991).
Jarak pengembangan tiap-tiap bercak pada kromatogram biasa
dinyatakan dengan nilai Rf.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai Rf antara lain struktur kimia senyawa
yang dipisahkan, polaritas fase diam, tebal dan kerataan permukaan fase diam,
polaritas fase gerak, kejenuhan bejana kromatografi, jumlah cuplikan yang
digunakan, suhu dan kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 1991).
Pengekoran bercak kromatogram terjadi apabila proses pemisahan
senyawa berlangsung tidak sempurna. Hal ini dapat digambarkan dengan bercak
yang tidak bulat (berekor). Terlalu tingginya konsentrasi komponen yang ingin
dipisahkan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pengekoran bercak
kromatogram. Penyebab lain pengekoran bercak yaitu antara lain ketidakjenuhan
bejana kromatografi sehingga fase gerak yang mengelusi pelat KLT akan mudah
menguap dalam ruangan tangki KLT. Ketidaktepatan pemilihan fase gerak
terhadap fase diam dan jenis sampel yang dianalisis juga dapat menjadi penyebab
pengekoran kromatogram (Mulya dan Suharman, 1995).
Pembuatan lokasi bercak yang tidak berwarna pada umumnya dilakukan
dengan cara fisika dan kimia. Pada cara fisika dilakukan dengan melihat senyawa
berwarna berfluoresensi di bawah sinar UV, sedangkan untuk senyawa yang tidak
berfluoresensi dilihat dengan latar belakang berfluoresensi. Pada cara kimia
Rf
15
dilakukan penyemprotan senyawa kimia sehingga akan menghasilkan bercak yang
terlihat pada cahaya tampak ataupun pada sinar UV (Hardjono, 1983).
D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) - Densitometri
Kromatografi lapis tipis (KLT) - densitometri merupakan metode analisis
instrumental kuantitatif yang bekerja berdasarkan interaksi radiasi
elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak pada KLT. Interaksi
radiasi elektromagnetik dengan bercak KLT yang ditentukan adalah absorpsi,
transmisi, pantulan (refleksi) pendar fluor dari radiasi semula (Mulja dan
Suharman, 1995).
Penetapan kadar suatu senyawa dengan metode densitometri dilakukan
dengan mengukur kerapatan bercak senyawa yang dipisahkan dengan KLT
(Hardjono, 1983). Adsorben dan fase gerak yang digunakan harus murni agar
mendapatkan hasil yang baik. Adsorben yang digunakan sebaiknya yang siap
pakai yaitu telah mengalami prapencucian (Gritter et al., 1991).
Analisis dengan densitometri digunakan bagi analit-analit dengan kadar
yang sangat kecil yang sebelumnya perlu dilakukan pemisahan dengan KLT.
Pemisahan dengan KLT akan diperoleh hasil yang optimal apabila penotolan
sampel dilakukan sekecil dan sesempit mungkin. Apabila sampel yang digunakan
terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi (Rohman, 2009). Penotolan
sampel yang tidak tepat dapat menghasilkan bercak yang menyebar dan puncak
ganda. Pada tabel I disajikan parameter aplikasi yang direkomendasikan untuk
pengukuran dengan densitometri.
16
Tabel I. Parameter aplikasi yang direkomendasikan
Tujuan Diameter Bercak (mm)
Konsentrasi
Sampel
(%)
Banyaknya Sampel
(µg)
Densitometri 2 mm untuk volume
0,5 µL 0,02 – 0,2
0,1 – 1 (untuk KLT-
KT) dan 1 – 10
(Konvensional)
Identifikasi 3 mm untuk volume
sampel 1 µL 0,1 – 1 1 – 20
Uji kemurnian 4 mm untuk volume
sampel 2 µL 5 100
(Rohman, 2009).
Alat densitometri mempunyai sumber sinar yang bergerak di atas bercak
KLT yang ingin ditetapkan kadarnya. Lempeng KLT akan digerakkan menyusuri
berkas sinar dari sumber sinar tersebut. Bercak kecil dan intensif akan
menghasilkan puncak kurva yang sempit dan tajam, sedangkan bercak yang lebar
akan menghasilkan kurva puncak yang lebar dan tumpul (Sudjadi, 1988).
Korelasi kadar analit pada bercak kromatogram yang ditelusuri pada densitometri
terhadap area tidak menunjukkan garis lurus, melainkan memberikan garis
lengkung mendekati parabola (Mulja dan Suharman, 1995).
Teknik pengukuran dapat didasarkan pada pengukuran intensitas sinar
yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (refleksi) atau
intensitas sinar yang difluoresensikan (fluoresensi). Teknik pengukuran
berdasarkan refleksi yaitu dimana sebagian sinar datang akan diserap dan
sebagian lagi akan dipantulkan. Sinar yang dipantulkan ini akan menjadi sensitif
dan selektif apabila sinar yang datang adalah sinar monokromatis. Banyaknya
sinar yang direfleksikan akan ditangkap oleh reflection photomultiplier yang
kemudian akan diteruskan ke pencatat untuk diubah menjadi suatu kromatogram.
17
Luas kromatogram yang didapatkan sesuai dengan konsentrasi senyawa pada
bercak yang diukur.
Penelusuran bercak akan memperoleh hasil yang baik apabila
penelusuran dilakukan pada panjang gelombang maksimum, karena perubahan
konsentrasi pada bercak sedikit saja sudah terdeteksi. Pengukuran biasanya
dilakukan dengan menelusuri bercak pada kisaran panjang gelombang tersebut
(Mintarsih, 1990).
Pada umumnya tebal lapisan tipis pada lempeng yang digunakan adalah
0,20-0,25 mm dan maksimum 0,33 mm. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi
efek hamburan sinar yang disebabkan oleh fase diam terhadap linearitas hubungan
serapan dan konsentrasi dari senyawa yang diteliti. Hubungan antara serapan
terhadap konsentrasi dilinierkan dengan dasar teori Kubelka-Munk, menggunakan
kurva kerja linear yang diprogramkan pada mikrokomputer. Kurva serapan
konsentrasi tersebut ditentukan oleh harga parameter hamburan yang disebabkan
oleh fase diam. Harga parameter hamburan tersebut tergantung ukuran dan
distribusi partikel fase diam pada lempeng KLT (Supardjan, 1987).
E. Landasan Teori
Ekstrak dikatakan berkualitas apabila mengandung kandungan zat aktif
yang diinginkan dalam jumlah yang banyak. Pada proses ekstraksi sangat perlu
diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas ekstrak yang dihasilkan.
Untuk itu proses ekstraksi harus dilakukan pada kondisi optimum yang dapat
mendukung terbentuknya ekstrak yang berkualitas.
18
Kandungan zat aktif dalam tanaman kayu secang yang diinginkan untuk
penggunaannya sebagai bahan pewarna adalah komposit brazilin. Ekstrak
komposit brazilin dapat diperoleh melalui proses ekstraksi dengan teknik digesti
dan soxhletasi. Pada teknik soxhletasi dilakukan dengan pemanasan rendah
sampai cairan penyari mendidih. Cairan penyari yang menguap dikondensasi
sehingga cairan penyari yang mengenai serbuk tidak sepanas saat berada di dalam
labu. Apabila dibandingkan dengan teknik soxhletasi, pada teknik digesti
dilakukan pemanasan langsung sehingga akan meningkatkan daya melarut cairan
penyari. Hal ini akan mempermudah cairan penyari untuk berdifusi masuk ke
dalam serbuk dan menyari zat aktif yang diinginkan. Selain itu pada digesti
penyarian dilakukan berulang sehingga pada sirkulasi penyarian tertentu, akan
dilakukan penggantian cairan penyari sehingga kekentalan cairan penyari akan
berkurang yang menyebabkan berkurangnya lapisan batas. Pada penelitian ini
akan digunakan analisis Paired Sampled T-test untuk membandingkan area under
curve (AUC) komposit brazilin dari masing-masing ekstraksi.
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat hipotesis bahwa :
1. Pada ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang dengan cara digesti dan
soxhletasi akan menghasilkan AUC yang berbeda.
2. Ekstraksi kayu secang dengan teknik digesti menghasilkan AUC komposit
brazilin yang lebih besar apabila dibandingkan dengan cara soxhletasi.
19
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental
quasi dan rancangan penelitian acak pola satu arah. Penelitian dilakukan di
Laboratorium Kimia Analisis Instrumen dan Kimia Organik Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Identifikasi variabel
a. Variabel bebas : cara ekstraksi yang digunakan yaitu soxhletasi dan
digesti
b. Variabel tergantung : area under curve (AUC) dari isolat yang
mengandung komposit brazilin
c. Variabel pengacau terkendali : suhu pemanasan pada masing-masing cara
ekstraksi, lingkungan tempat tumbuh dan waktu pemanenan kayu secang.
2. Definisi operasional
a. Simplisia adalah bahan tanaman yang belum mengalami pengolahan
apapun dan kecuali dinyatakan lain merupakan bahan yang telah
dikeringkan.
b. Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah pada
suhu 400-50
0C.
20
c. Soxhletasi adalah teknik penyarian berkesinambungan yang menggunakan
soxhlet extractor.
d. Komposit Brazilin adalah kumpulan senyawa brazilin, brazilein, dan
3’-O-metil brazilin.
C. Bahan dan Alat
1. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bahan utama berupa
kayu dari tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai sampel yang diperoleh
dari desa Kemuning, Wonosari, Yogyakarta, bahan untuk ekstraksi, berupa
aquadest dan etanol 96 %, bahan untuk pembuatan buffer fosfat, berupa KH2PO4,
NaOH, dan aquadest, bahan untuk pemisahan secara KLT yaitu menggunakan
fase diam selulosa (E Merck) dan fase gerak dengan derajat pro analisis produksi
dari E Merck berupa kloroform dan metanol sedangkan aquadest yang dipakai
diperoleh dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Alat penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah blender (Retsch bv tipe
ZM 1) dan ayakan untuk pembuatan serbuk simpleks, soxhlet dan alat digesti
untuk pembuatan ekstrak, alat-alat gelas, seperangkat alat KLT, plat tetes, oven
(Termaks Salm en kipp b.v seri 88725), neraca analitik (Mettler Toledo AB 204),
waterbath (Salm en kipp b.v), hot plate (Hellba tipe OS 6), mantel heater (Pilz
Heraeus-Wittmann Heidelberg tipe 1746), lampu UV (Minuvis Desaga
21
Heidelberg tipe 05.67.02), TLC Densitometry scanner (Camag TLC scanner 3 seri
no. 160602).
D. Tata Cara Penelitian
1. Pengumpulan bahan
Batang tanaman kayu secang diperoleh dari suatu kebun di desa
Kemuning, Wonosari, Yogyakarta pada bulan Februari 2009 dalam keadaan utuh,
segar, dan masih basah.
2. Identifikasi tanaman dan batang kering
a. Identifikasi morfologis tanaman
Identifikasi dilakukan dengan melihat morfologi tanaman dan dicocokkan
dengan pertelaan pada monografi Caesalpinnia sappan L. pada pustaka
Materia Medika Indonesia edisi I.
b. Identifikasi makroskopik batang kering
Identifikasi dilakukan dengan melihat batang kering secara makroskopik
dan dicocokkan dengan makroskopik pada monografi Caesalpinnia
sappan L. pada pustaka Materia Medika Indonesia edisi I.
c. Identifikasi secara kimia
Serbuk batang kering sebanyak 100 mg dikocok dengan 5 ml metanol P
selama 5 menit, bila perlu dengan pemanasan, saring, menghasilkan filtrat
berwarna kuning kejinggaan. Kemudian dilakukan percobaan sebagai
berikut :
22
i. Pada plat tetes, 3 tetes filtrat ditambah 1 tetes larutan kalium hidroksida
P 5 % b/v
ii. Pada plat tetes, 3 tetes filtrat ditambah 1 tetes larutan natrium
hidroksida P 5 % b/v
iii. Pada plat tetes, 3 tetes filtrat ditambah 1 tetes larutan timbal (II) asetat
P 5 % b/v
iv. Pada plat tetes, 3 tetes filtrat ditambah 1 tetes larutan besi (III) klorida P
5 % b/v
Amati dan catat warna yang terjadi.
3. Pembuatan simpleks kayu secang
Batang tanaman kayu secang dipisahkan dari kotoran atau bahan asing
yang melekat misalnya tanah atau kerikil. Kayu secang dicuci dengan
menggunakan air bersih sampai kotoran yang melekat hilang. Potongan-potongan
batang kayu secang yang telah bersih kemudian diserut tipis. Serutan kayu secang
dikeringkan di dalam oven dengan suhu 600C. Selama pengeringan bahan dibolak-
balik posisinya supaya pemanasan merata. Pengeringan dilakukan sampai
simpleks mudah dipatahkan dan menimbulkan bunyi gemerisik apabila diremas.
4. Pembuatan serbuk kayu secang
Pembuatan serbuk dilakukan dengan cara menghaluskan simpleks
dengan menggunakan blender dengan pisau no 4. Serbuk yang dihasilkan diayak
menggunakan ayakan dengan derajat (12/50).
5. Ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang secara digesti
a. Pembuatan cairan penyari dengan konsentrasi 64%
23
Air sebanyak 64 ml dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambahkan
etanol 96% sampai tanda.
b. Ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang secara digesti
Sebanyak kurang lebih seksama 5,0 g serbuk simpleks kayu secang
dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan cairan penyari dengan
konsentrasi 64% secara berturut-turut sebanyak 75, 50, dan 25 ml dan
dilakukan digesti dengan pemanasan rendah pada suhu 40-50OC. Digesti
dilakukan 3 kali masing-masing selama 35 menit. Ekstrak cair diserkai dan
ampasnya diperas. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan disaring
dengan menggunakan corong Buchner dengan vakum. Dilakukan replikasi
5 kali.
6. Ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang secara soxhletasi
a. Pembuatan cairan penyari dengan konsentrasi 68%
Air sebanyak 68 ml dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambahkan
etanol 96% sampai tanda.
b. Ekstraksi komposit brazilin dari kayu secang secara soxhletasi.
Sebanyak kurang lebih seksama 5,0 g serbuk simpleks kayu secang
dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam tabung.
Kemudian ditambah 150 ml cairan penyari dengan konsentrasi 68% dan
dipanaskan hingga cairan penyari mendidih. Penyarian dilakukan sampai 2
sirkulasi. Ekstrak cair yang diperoleh dituang dalam wadah dan ampasnya
diperas. Dilakukan replikasi 5 kali.
24
7. Pembuatan ekstrak kering
Masing-masing ekstrak cair yang diperoleh dari hasil soxhletasi dan
digesti diuapkan di atas waterbath hingga diperoleh ekstrak kering. Berat ekstrak
kering yang diperoleh dicatat.
8. Isolasi komposit brazilin dengan KLT
a. Pembuatan buffer fosfat pH 7. Kalium dihidrogen phosfat 0.2 M
sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam labu ukur 200 ml. Ditambahkan 29.1 ml
natrium hidroksida 0.2 N dan ditambahkan air bebas CO2 P sampai tanda. Cek
sampai pH 7 dengan menggunakan kertas pH.
b. Isolasi dengan KLT. Ekstrak kering dilarutkan dalam etanol sampai 10
ml, kemudian ditotolkan sebanyak 10 µl pada lempeng kromatografi 20 cm x 10
cm dengan fase diam selulosa setebal 0,25 mm. Lempeng kromatografi
dimasukkan ke dalam bejana yang sudah dijenuhkan dengan fase gerak berupa
kloroform : metanol : aquadest (64 : 50 : 10). Pengembangan dilakukan sepanjang
15 cm kemudian lempeng dikeringkan.
9. Pengukuran area under curve (AUC) komposit brazilin dengan TLC
Densitometric scanner
a. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum. Bercak hasil elusi
yang berwarna kuning disemprot dengan buffer fosfat pH 7 sampai berwarna
merah merata. Panjang gelombang serapan maksimum diperoleh dengan cara
menelusuri bercak pada panjang gelombang 500-600 nm.
b. Pengukuran AUC komposit brazilin. Bercak kuning yang telah
disemprot dengan buffer fosfat pH 7 diukur kerapatannya dengan TLC
25
densitometric scanner sehingga diperoleh luas area di bawah kurva. Pengukuran
AUC dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum yang diperoleh.
E. Analisis Hasil
Data AUC komposit brazilin dari hasil ekstraksi secara digesti dan
soxhletasi dianalisis dengan menggunakan Paired Sample T-test. Berdasarkan
analisis hasil ini akan diketahui :
1. nilai AUC antara hasil ekstraksi digesti dan soxhletasi berbeda atau tidak
2. teknik ekstraksi yang dapat menghasilkan nilai AUC yang paling besar.
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Bahan
Kayu secang yang digunakan pada penelitian diperoleh dari desa
Kemuning, Wonosari pada bulan Februari 2009. Bahan yang dikumpulkan berupa
batang dalam keadaan utuh dan masih segar sebanyak 20,6 kg. Bahan diperoleh
pada waktu yang sama, dari satu perkebunan yang sama, dan waktu pemanenan
yang sama. Selain itu bahan dikumpulkan dalam jumlah yang banyak mengingat
bahan akan digunakan dari awal sampai dengan akhir penelitian sehingga variabel
pengacau yang berasal dari tanaman harus dapat dikendalikan. Dalam hal ini
variabel pengacau yang dikendalikan yaitu lingkungan tempat tumbuh dan waktu
pemanenan kayu secang. Menurut Penpun (2005), pada umur 2, 4, 6, 10, dan 30
tahun, umur kayu secang tidak mempengaruhi kandungan brazilin dan turunan
brazilin yang terkandung di dalamnya.
Gambar 3. Batang secang segar
27
B. Identifikasi Tanaman dan Batang Kering
Tanaman yang akan digunakan dalam penelitian terlebih dahulu
diidentifikasi untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan adalah
Caesalpinnia sappan L.
Identifikasi tanaman dilakukan berdasarkan Materia Medika Indonesia
edisi I. Identifikasi tanaman yang dilakukan antara lain :
1. Identifikasi morfologis tanaman
Hasil identifikasi morfologis tanaman yaitu tanaman dengan ranting yang
berduri, bentuk durinya bengkok dan tersebar. Daunnya majemuk dengan panjang
20 cm sampai 40 cm, bersirip, panjang sirip 7,5 cm sampai 15 cm, setiap siripnya
mempunyai 10 sampai 20 pasang anak daun yang berhadapan. Anak daun tidak
bertangkai, bentuknya lonjong, pangkal hampir rompang, ujungnya bundar serta
sisinya agak sejajar, panjang anak daun 10 mm sampai 25 mm dan lebar 3 mm
sampai 11 mm. Panjang daun dan panjang sirip berada di luar kisaran yang
ditentukan Materia Medika Indonesia edisi 1 yaitu panjang daun 25 sampai 40 cm
dan panjang sirip 9 sampai 15 cm. Hal ini dapat disebabkan perbedaan umur pada
saat pemanenan sehingga masih ada daun yang masih bertumbuh.Perbungaan
berupa malai yang terdapat di ujung dengan panjang malai 10 cm sampai 40 cm,
panjang gagang bunga 15 cm sampai 20 cm, pinggir kelopak berambut, panjang
daun kelopak yang paling bawah 10 mm dan lebar 4 mm. Polong berwarna hitam
dengan panjang 8 cm sampai 10 cm, lebar 3 cm sampai 4 cm, berisi 3 sampai 4
biji, panjang biji 15 mm sampai 18 mm, lebar 8 mm sampai 11 mm, tebal 5 mm
sampai 7 mm.
28
Gambar 4. Bagian tanaman secang
Keterangan : (a) polong secang
(b) daun secang
(c) bunga secang
Berdasarkan pengamatan morfologi tanaman, menunjukkan ciri-ciri yang
sesuai dengan keterangan yang tercantum pada Materia Medika Indonesia edisi I.
Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan adalah tanaman
Caesalpinnia sappan L.
2. Identifikasi makroskopik batang kering
Hasil identifikasi makroskopik batang kering yaitu berupa kayu yang
keras dan padat, serta berwarna merah jingga. Hal ini sesuai dengan pemerian
makroskopik Caesalpinnia sappan L. pada Materia Medika Indonesia edisi I.
Berdasarkan hasil identifikasi menunjukkan bahwa batang kering yang
digunakan adalah batang kering dari tanaman secang.
3. Identifikasi secara kimia
Hasil identifikasi secara kimia yaitu filtrat yang berwarna kuning jingga
akan berubah menjadi warna ungu baik pada penambahan kalium hidroksida,
natrium hidroksida, timbal (II) asetat, maupun besi (III) klorida. Hal ini sesuai
dengan reaksi positif yang diberikan MMI edisi I.
(c)
(a) (b)
29
Tabel II. Hasil identifikasi secara kimia
Percobaan Reaksi positif
(MMI edisi I) Hasil
Filtrat + KOH P 5% b/v Ungu Ungu kemerahan
Filtrat + NaOH P 5% b/v Ungu Ungu kemerahan
Filtrat + Pb(CH3COO)2 P 5% b/v Ungu Ungu kecoklatan
Filtrat + FeCl3 P 5% b/v Ungu Ungu kecoklatan
Reaksi positif pada penambahan pereaksi-pereaksi tersebut adalah filtrat
yang berubah warna dari kuning jingga menjadi ungu. Pada hasil penelitian,
warna ungu yang diperoleh agak berwarna kemerahan untuk penambahan basa
KOH dan NaOH sedangkan agak kecoklatan untuk penambahan Pb(CH3COO)2
dan FeCl3. Hal ini dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh yang berbeda antara
tanaman secang yang digunakan pada penelitian dengan tanaman secang yang
bereaksi positif menurut MMI edisi I.
Pada identifikasi secara kimia, penambahan metanol P berfungsi untuk
menarik senyawa komposit brazilin dari serbuk secang. Filtrat yang berwarna
kuning jingga menunjukkan kandungan komposit brazilin di dalamnya.
Pada penambahan basa kalium hidroksida dan natrium hidroksida, terjadi
reaksi asam basa brazilin menjadi brazilein. Adanya ion OH- akan menggeser
kesetimbangan ke arah kanan membentuk brazilein, sehingga akan
memperpanjang gugus kromofor. Hal ini terlihat adanya perubahan warna dari
filtrat kuning jingga yang mengandung brazilin setelah ditambahkan basa akan
berubah menjadi brazilein menjadi ungu kemerahan akibat perpanjangan gugus
30
kromofor. Hal yang sama terjadi pada 3’-O-metil brazilin yang akan berubah
menjadi 3’-O-metil brazilein pada penambahan basa.
Gambar 5. Reaksi asam basa brazilin menjadi brazilein
pada penambahan basa
Keterangan : kromofor auksokrom
31
Gambar 6. Reaksi asam basa 3’-O-metil brazilin menjadi 3’-O-metil brazilein
pada penambahan basa
Keterangan : kromofor auksokrom
Ketika sinar melewati kromofor, energi dari sinar digunakan untuk
mendorong perpindahan elektron dari orbital ikatan atau orbital non-ikatan ke
salah satu orbital anti-ikatan yang kosong. Lompatan yang lebih besar akan
membutuhkan energi yang lebih besar dan menyerap sinar dengan panjang
gelombang yang lebih pendek. Elektron bebas pada kromofor kemudian
terdelokalisasi di sepanjang ikatan konjugasi. Semakin panjang kromofor suatu
senyawa menunjukkan peningkatan delokalisasi sehingga menyebabkan serapan
32
maksimumnya bergeser ke panjang gelombang yang lebih tinggi. Hal ini yang
menyebabkan brazilein yang merupakan perpanjangan kromofor brazilin akan
menghasilkan intensitas warna yang lebih kuat yaitu ungu kemerahan.
Filtrat yang ditambah timbal(II) asetat maupun besi (III) klorida
menghasilkan senyawa kompleks berwarna ungu. Pembentukan senyawa
kompleks sesuai dengan teori medan kristal. Menurut teori medan kristal,
interaksi antara ion pusat dan ligan dipengaruhi oleh gaya elektrostatik, dimana
medan listrik dari ion pusat akan mempengaruhi ligan-ligan yang ada di
sekelilingnya, begitu juga sebaliknya medan gabungan dari ligan-ligan akan
mempengaruhi elektron-elektron dari ion pusat. Pada saat ligan mendekati ion
logam, elektron dari ligan akan berdekatan dengan orbital d logam dan memiliki
energi yang lebih besar daripada elektron orbital d yang berjauhan dengan ligan.
Hal ini menyebabkan timbulnya pemisahan energi orbital d.
Apabila orbital-d dari senyawa kompleks berpisah menjadi dua
kelompok, maka saat senyawa tersebut menyerap foton dari cahaya tampak,
elektron pada orbital tersebut akan meloncat dari orbital d yang berenergi lebih
rendah ke orbital d yang berenergi lebih tinggi sehingga akan membentuk kondisi
atom yang tereksitasi. Perbedaan energi antara keadaan dasar dengan keadaan
tereksitasi sama dengan energi foton yang diserap dan berbanding terbalik dengan
gelombang cahaya. Oleh karena ada penyerapan gelombang foton pada panjang
gelombang sinar tampak maka senyawa kompleks tersebut akan memperlihatkan
warna komplementer.
33
Gambar 7. Reaksi pembentukan senyawa kompleks brazilin dengan Pb2+
Gambar 8. Pembentukan senyawa kompleks brazilin dengan Fe3+
Berdasarkan hasil identifikasi tanaman baik secara morfologis,
makroskopis, dan kimia, maka dapat dipastikan bahwa tanaman yang digunakan
adalah benar-benar tanaman secang (Caesalpinnia sappan L.).
C. Pembuatan Simpleks Kayu Secang
Kayu secang yang terkumpul dipisahkan dari kotoran-kotoran atau bahan
asing yang tidak diperlukan. Pencucian kayu secang dilakukan dengan
menggunakan air bersih agar kayu secang terbebas dari tanah yang menempel dan
mengandung mikroba. Kayu secang yang sudah bersih diserut dengan ketebalan
34
3-5 mm agar memperbesar luas permukaan kayu secang sehingga akan
mempercepat proses pengeringan. Proses pengeringan dilakukan di dalam oven
dengan suhu 600C. Pengeringan dilakukan pada suhu 60
0C karena untuk
pengeringan batang sesuai pada suhu antara 300C – 90
0C, dan optimum pada suhu
600C (Anonim, 1985). Pengeringan dilakukan di dalam oven karena penggunaan
oven akan menjaga suhu pengeringan konstan. Selama pengeringan, kayu secang
dibolak-balik posisinya agar pengeringannya merata. Proses pengeringan
dilakukan sampai kayu secang kering yaitu apabila kayu secang sudah dapat
dipatahkan dan menimbulkan bunyi gemerisik apabila diremas, sehingga dapat
diasumsikan kadar air ± 8-10%. Adapun tujuan dari pengeringan adalah agar
simpleks tidak mudah rusak dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih
lama. Hal ini dapat terjadi karena dengan mengurangi kadar air saat proses
pengeringan maka dapat mencegah tumbuhnya bakteri dan jamur yang
menyebabkan kerusakan simpleks dan penurunan mutunya. Selain itu,
pengeringan dilakukan untuk meningkatkan difusi cairan penyari ke dalam serbuk
pada saat proses ekstraksi. Hal ini disebabkan pada proses pengeringan, membran
sel sebagai perlindungan sel telah dirusak oleh adanya pengeringan dengan panas
sehingga cairan penyari dapat masuk dengan mudah ke dalam serbuk.
Gambar 9. Simpleks kayu secang
35
D. Pembuatan Serbuk Kayu Secang
Simpleks dibuat menjadi serbuk dengan menggunakan mesin blender.
Hasil yang diperoleh kemudian diayak dengan menggunakan ayakan dengan
derajat (12/50). Menurut ketentuan Farmakope Indonesia edisi ketiga, derajat
halus suatu serbuk yang dinyatakan dengan 2 nomor dimaksudkan bahwa semua
serbuk dapat melalui pengayak dengan nomor terendah dan tidak lebih dari 40 %
melalui pengayak dengan nomor tertinggi.
Gambar 10. Serbuk kayu secang
Derajat serbuk (12/50) mengacu pada derajat optimum serbuk simpleks
untuk ekstraksi menurut Materia Medika Indonesia yaitu (4/18). Pada ukuran
serbuk tersebut, cairan penyari dapat mudah masuk ke dalam pori-pori serbuk
sehingga proses penyarian dapat berjalan dengan optimal. Apabila ukuran serbuk
terlalu besar maka luas permukaan spesifiknya kecil sehingga akan mengurangi
luas kontak serbuk dengan cairan penyari. Apabila ukuran serbuk terlalu kecil,
pada saat digesti serbuk akan mengapung sehingga akan mengurangi kontaknya
dengan cairan penyari, sedangkan pada saat soxhletasi akan menyebabkan serbuk
keluar dari kertas saring.
36
E. Ekstraksi Komposit Brazilin secara Digesti
Metode digesti merupakan modifikasi dari metode maserasi yang
dilakukan dengan pemanasan lemah. Dengan ditambah pemanasan maka dapat
memberikan energi yang akan meningkatkan daya melarutkan cairan penyari.
Dengan adanya pemanasan juga akan meningkatkan kecepatan difusi sehingga
cairan penyari akan semakin mudah menarik senyawa aktif dalam serbuk
simpleks.
Pada penelitian ini, ekstraksi dilakukan pada kondisi optimum. Pada
digesti, ekstraksi dilakukan menggunakan cairan penyari dengan konsentrasi 64%
dengan lama ekstraksi 3 x 35 menit, kondisi optimum ini sesuai dengan hasil
optimasi pembuatan ekstrak etanol kayu secang pada penelitian sebelumnya
(Astina, 2010).
Pada ekstraksi secara digesti serbuk simpleks kayu secang sebanyak
kurang lebih 5,0 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup, ditambahkan
cairan penyari secara berturut-turut sebanyak 75, 50, dan 25 ml dan dilakukan
pemanasan rendah pada suhu 45-500C. Digesti dilakukan sebanyak 3 kali dengan
volume cairan yang digunakan semakin menurun karena pada penyarian pertama
masih terdapat banyak komposit brazilin di dalam serbuk yang bisa diekstraksi
sehingga volume cairan penyari yang digunakan lebih besar daripada penyarian
kedua dan ketiga. Pada penyarian ketiga karena komposit brazilin sudah banyak
yang terekstraksi saat penyarian pertama dan kedua, volume cairan penyari yang
digunakan dalam jumlah yang sedikit. Ekstrak cair yang diperoleh kemudian
diserkai dan ampasnya diperas. Oleh karena ada ampas yang ikut masuk bersama
37
ekstrak cair pada saat ekstrak diserkai, maka dilakukan penyaringan dengan
menggunakan corong Buchner dengan vakum. Proses ekstraksi dilakukan
sebanyak 5 kali replikasi. Ekstrak cair yang diperoleh dituang dalam cawan petri
dan diuapkan di atas waterbath sampai diperoleh ekstrak kering. Ekstrak cair yang
diperoleh dari 5 kali replikasi memiliki warna yang seragam yaitu merah
kecoklatan.
Tabel III. Bobot rata-rata dan % CV ekstrak kering hasil digesti
Replikasi Bobot ekstrak kering
(mg)
Rata-rata
(mg) SE % CV
1 313,2
315,42 2,34 0,74
2 310,3
3 312,0
4 318,7
5 322,9
Bobot rata-rata ekstrak kering secang dari 5 replikasi yaitu 315,42 mg,
dengan nilai CV sebesar 0,74 %. Nilai CV ini masuk dalam batas yang
diperbolehkan yaitu ≤ 2%. Nilai CV yang diperoleh menunjukkan bahwa
keterulangan antar perlakuan pada sampel yang sama dengan jumlah yang sama
memiliki kedekatan hasil yang tidak jauh berbeda. Hal ini menandakan bahwa
reprodusibilitas pengambilan serbuk kayu secang sebagai sampel tinggi.
F. Ekstraksi Komposit Brazilin secara Soxhletasi
Metode soxhletasi merupakan ekstraksi berkesinambungan yang
menggabungkan dua proses sekaligus, yaitu mendapatkan ekstrak cair kemudian
dilanjutkan dengan proses penguapan. Pada soxhletasi dilakukan dengan
pemanasan sehingga bahan yang digunakan harus tahan pada pemanasan.
38
Komposit brazilin yang diinginkan merupakan senyawa yang tahan pada
pemanasan. Menurut Merck Index degradasi brazilin terjadi pada suhu 1300C.
Pada soxhletasi, serbuk simpleks yang dibungkus kertas saring
dimasukkan ke dalam tabung soklet, sedangkan di bagian bawahnya terdapat labu
yang berisi cairan penyari. Prinsip kerja soxhletasi adalah dengan pemanasan,
cairan penyari yang ada di labu akan menguap dan uap cairan penyari akan naik
ke pendingin alir balik melalui pipa samping untuk kemudian dikondensasi.
Cairan yang terbentuk akan menetes mengenai serbuk simpleks yang ada di
tabung dan menarik senyawa aktif yang diinginkan. Ekstrak yang terkumpul di
tabung setelah mencapai tinggi yang maksimal akan turun ke labu yang berisi
cairan penyari (Anonim, 1986). Selanjutnya ekstraksi akan berjalan terus menerus
dengan cara yang sama sampai dengan sirkulasi tertentu.
Seperti pada cara digesti, pada ekstraksi dengan cara soxhletasi juga
dilakukan pada kondisi optimum. Kondisi optimum yang dimaksud adalah proses
ekstraksi dilakukan dengan lama optimum dan dengan menggunakan cairan
penyari dengan konsentrasi optimum. Cairan penyari yang digunakan adalah air
dalam etanol. Hal ini dikarenakan senyawa komposit brazilin dalam kayu secang
larut baik dalam air dan sangat larut dalam etanol (Anonim, 1976).
Penentuan kondisi optimum ini telah dilakukan pada penelitian
sebelumnya (Yalapuspa, 2010). Pada soxhletasi, dilakukan sampai 2 kali sirkulasi.
Satu sirkulasi yang dimaksud adalah sekali proses ekstraksi dari pemanasan cairan
penyari sampai dengan ekstrak cair yang diperoleh turun kembali ke labu.
Konsentrasi cairan penyari air dalam etanol yang digunakan adalah 68%.
39
Pada ekstraksi secara soxhletasi dilakukan dengan cara serbuk simpleks
sebanyak kurang lebih 5,0 g yang sudah dibungkus dengan kertas saring
dimasukkan ke dalam tabung dan ditambahkan cairan penyari sebanyak 150 ml
kemudian dipanaskan. Pada saat proses ekstraksi, uap air dari labu akan naik ke
pendingin alir balik. Di pendingin alir balik ini, uap cairan penyari akan
dikondensasi sehingga terbentuk cairan. Cairan inilah yang akan menetes
mengenai serbuk dan akan menarik komposit brazilin dari serbuk secang. Hal
yang perlu diperhatikan pada saat proses ekstraksi adalah menjaga agar cairan
penyari tetap menguap, dalam hal ini yang dapat diamati adalah dijaga cairan
penyari tetap mendidih. Setelah 2 kali sirkulasi, ekstrak cair yang diperoleh
dituang dalam wadah dan ampasnya diperas. Proses ekstraksi dilakukan sebanyak
5 kali replikasi dan diperoleh ekstrak cair. Ekstrak cair kemudian dituang dalam
cawan petri dan diuapkan di atas waterbath sampai diperoleh ekstrak kering.
Warna ekstrak kering yang diperoleh dari 5 replikasi memiliki konsistensi warna
yang tinggi. Kelima ekstrak kering berwarna merah kecoklatan.
Tabel IV. Bobot rata-rata dan % CV ekstrak kering hasil soxhletasi
Replikasi Bobot ekstrak kering
(mg)
Rata-rata
(mg) SE % CV
1 375,5
380,24 9,115 2,40
2 347,9
3 392,0
4 401,1
5 384,7
Hasil penguapan ekstrak cair diperoleh ekstrak kering dengan bobot rata-
rata 380,24 mg, dengan nilai CV sebesar 2,40%. Nilai CV ini berada di luar batas
yang diperbolehkan, yaitu ≤ 2%. Hal ini disebabkan karena kadang-kadang pada
40
saat ekstrak sudah mencapai puncak sifon, tidak semua ekstrak turun ke labu,
sehingga menyisakan sedikit ekstrak di sifon. Keadaan ini dapat menyebabkan
jumlah ekstrak cair yang terbentuk pada sirkulasi kedua tidak maksimal.
Seharusnya proses ekstraksi belum dihentikan, namun karena ekstrak cair sudah
mencapai sifon, maka ekstraksi dianggap selesai.
G. Rendemen Hasil Ekstraksi Digesti dan Soxhletasi
Pada hasil ekstraksi secara digesti dan soxhletasi diperoleh warna ekstrak
kering hasil soxhletasi lebih pekat dibandingkan ekstrak kering hasil digesti.
Warna ekstrak kering hasil soxhletasi yang lebih pekat menandakan bahwa
senyawa komposit brazilin yang terekstraksi lebih banyak. Hal ini dapat
ditunjukkan dari bobot rendemen rata-rata yang diperoleh dari soxhletasi lebih
besar daripada digesti, yaitu dari hasil soxhletasi sebesar 380,24 mg sedangkan
dari hasil digesti sebesar 315,42 mg.
(a) (b)
Gambar 11. (a) Foto ekstrak kering secang hasil digesti dan (b) soxhletasi
H. Pemisahan Komposit Brazilin dengan KLT
Kayu secang mengandung komponen utama yaitu senyawa sub tipe
struktur brazilin yang merupakan senyawa golongan fenolik. Senyawa brazilin
41
terdiri dari 3 macam tipe, yaitu brazilin, brazilein, dan 3’-O-metil brazilin.
Kumpulan ketiga senyawa tersebut disebut komposit brazilin.
Komposit brazilin dipisahkan menggunakan KLT dengan fase diam yang
digunakan adalah selulosa sedangkan fase geraknya berupa kloroform : metanol :
aquadest (64 : 50 : 10). Pemilihan fase diam dan fase gerak ini berdasarkan
penelitian sebelumnya yaitu Isolasi dan Karakteristik Brazilin dari Kayu Secang
(Caesalpinnia sappan L.). Sistem kromatografi yang digunakan merupakan fase
normal dimana fase diam lebih polar dibandingkan fase geraknya.
Gambar 12. Interaksi brazilin dan 3’-O-metil brazilin dengan fase gerak
Keterangan : ------ ikatan hidrogen
------ interaksi dipol-dipol
Pada gambar 12 terlihat interaksi senyawa brazilin dan 3’-O-metil
brazilin dengan fase gerak kloroform : metanol : aquadest (64 : 50 : 10). Brazilin
dan 3’-O-metil brazilin berinteraksi dengan kloroform membentuk interaksi dipol-
OO
H2CO
O
3-O-metil brazil in
H
O
H
H
OH
HH
H
H
OO
O
O
brazilin
H
O
HH3C O H
H
OH
H3C O H
HH
H
H
H3C O H
CH3OH
CH3OH
H3C O H
H3C O H
CH3OH
metanol
metanol
metanol
metanol
metanol
metanol
metanol
aquadest
aquadest
aquadest
aquadest
Cl Cl
Cl
klorof orm
Cl
Cl
Cl
kloroform
Cl
Cl
Cl
kloroform
Cl
Cl Cl
kloroform
Cl
Cl Cl
metanol
kloroform
Cl
Cl Cl
klorof orm
Cl
Cl
Cl
kloroform
Cl
Cl
Cl
kloroform
δ-
δ- δ
-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ- δ
-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ- δ
-
δ-
δ-
δ- δ
-
δ-
δ+
δ+
δ+
δ+
δ+ δ
+
δ+
δ+
42
dipol, sedangkan ikatannya dengan metanol dan aquadest adalah ikatan hidrogen.
Pada 3’-O-metil brazilin, penambahan gugus alkil akan menambah lipofilisitas,
sehingga interaksinya dengan fase gerak juga semakin besar. Fase diam selulosa
dengan brazilin dan 3’-O-metil brazilin berinteraksi dengan membentuk ikatan
hidrogen yang terlihat pada gambar 13 di bawah ini.
Gambar 13. Interaksi brazilin dan 3-O-metil brazilin dengan fase diam
Pada isolasi komposit brazilin dengan KLT ekstrak kering yang diperoleh
dari masing-masing ekstraksi dilarutkan dalam etanol hingga konsentrasinya
berada pada range 0,02-0,2% agar tidak terjadi tailing. Sampel yang ditotolkan
sebanyak 0,5 µl pada lempeng kromatografi 20 cm x 10 cm yang berisi fase diam
dengan diameter bercak 2 mm. Hal ini sesuai dengan ketentuan untuk pengukuran
dengan densitometri menurut Rohman, (2009). Fase diam selulosa pada lempeng
kromatografi memiliki ketebalan 0,25 mm. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi efek hamburan sinar yang disebabkan oleh fase diam terhadap
linearitas hubungan serapan dan konsentrasi dari senyawa yang diukur (Mintarsih,
1990).
43
(a) (b) (c) (d)
Keterangan : (a) secara visibel sebelum disemprot buffer fosfat
(b) sinar UV 365 nm sebelum disemprot buffer fosfat (c) secara visibel sesudah disemprot buffer fosfat (d) sinar UV 365 nm sesudah disemprot buffer fosfat
Gambar 14. Profil KLT komposit brazilin yang diperoleh secara digesti
dengan jarak pengembangan 15 cm
3
2
1
44
(a) (b) (c) (d)
Keterangan : (a) secara visibel sebelum disemprot buffer fosfat
(b) sinar UV 365 nm sebelum disemprot buffer fosfat (c) secara visibel sesudah disemprot buffer fosfat (d) sinar UV 365 nm sesudah disemprot buffer fosfat
Gambar 15. Profil KLT komposit brazilin yang diperoleh secara soxhletasi dengan
jarak pengembangan 15 cm
Bercak yang diperoleh baik sebelum maupun sesudah disemprot diamati
secara visual dan di bawah sinar UV 365 nm. Pada hasil analisis dengan KLT
pada gambar 14 dan 15 terlihat bercak 2 dan 3 berwarna kuning apabila diamati
secara visual. Apabila diamati di bawah UV 365 nm akan tampak 3 bercak yaitu
bercak 1 yang berpendar berwarna ungu, pada hasil digesti diperoleh nilai Rf
0,213 dan pada hasil soxhletasi diperoleh nilai Rf 0,245; bercak 2 yang berpendar
3
2
1
45
berwarna kuning dengan nilai Rf 0,713 baik pada hasil digesti maupun soxhletasi,
dan bercak 3 yang berpendar berwarna hijau dengan nilai Rf 0,830 untuk hasil
digesti dan soxhletasi. Pada saat disemprot buffer fosfat pH 7, di bawah sinar UV
365 nm yang teramati berwarna merah hanya bercak 2 dan 3. Kedua bercak inilah
yang diduga sebagai bercak komposit brazilin, yaitu brazilin pada bercak 2 dan
3’-O-metil brazilin pada bercak 3. Bercak 1 yang berwarna ungu bukan bercak
komposit brazilin.
Tabel V. Harga Rf dan warna bercak sampel KLT hasil digesti dan soxhletasi
Rf bercak Sebelum disemprot
buffer fosfat
Setelah disemprot
buffer fosfat
Digesti Soxhletasi Visual 365nm visual 365nm
1 0,213 0,245 - Ungu - Ungu
2 0,713 0,713 Kuning Kuning Merah Kuning
3 0,830 0,830 Kuning Hijau Merah Hijau
Berdasarkan sifat kepolaran senyawa, brazilin lebih polar daripada
3’-O-metil brazilin. Karena fase diam lebih polar daripada fase geraknya, maka
senyawa yang lebih polar akan lebih berinteraksi dengan fase diam sehingga Rf
yang dihasilkan lebih kecil. Pada tabel V dapat terlihat nilai Rf bercak 2 (brazilin)
lebih kecil dari bercak 3 (3’-O-metil brazilin).
Perubahan warna bercak menjadi merah setelah disemprot buffer fosfat
pH 7 dikarenakan adanya reaksi asam basa senyawa brazilin menjadi senyawa
brazilein, begitu juga senyawa 3’-O-metil brazilin menjadi 3’-O-metil brazilein
(reaksi terlihat pada gambar 5 dan 6).
46
Tabel VI. Harga Rf bercak sampel hasil digesti dan soxhletasi pada 5 replikasi
Harga Rf Digesti Soxhletasi
Bercak 1 Bercak 2 Bercak 3 Bercak 1 Bercak 2 Bercak 3
Rep1 0,215 0,700 0,830 0,245 0,715 0,830
Rep 2 0,200 0,713 0,769 0,250 0,715 0,788
Rep 3 0,221 0,713 0,815 0,230 0,700 0,800
Rep 4 0,217 0,685 0,800 0,235 0,713 0,830
Rep 5 0,203 0,715 0,788 0,250 0,715 0,768
Rata-rata 0,211 0,705 0,800 0,242 0,712 0,803
SE 0,004 0,006 0,011 0,004 0,003 0,012
%CV 1,90 0,85 1,38 1,65 0,42 1,50
Pada tabel VI terlihat rata-rata Rf bercak 1, 2, 3 sampel digesti secara
berturut-turut adalah 0,211; 0,705; 0,800. Pada sampel soxhletasi diperoleh rata-
rata Rf bercak 1, 2, 3 secara berturut-turut adalah 0,242; 0,712; 0,803. Persentase
CV yang diperoleh untuk masing-masing bercak baik sampel digesti maupun
soxhletasi masuk dalam batas yang diperbolehkan yaitu ≤ 2% (Harmita, 2004).
Hal ini menunjukkan sampel berupa ekstrak yang ditotolkan sebanyak 0,5 µl
adalah reprodusibel.
Perbedaan yang teramati antara bercak sampel KLT hasil digesti dan
soxhletasi adalah bercak 3 pada digesti tidak seterang bercak 3 pada soxhletasi.
Begitu juga pada saat diamati di bawah sinar UV 365 nm, warna hijau pada
bercak 3 yang terlihat tidak seterang pendaran bercak 3 pada soxhletasi. Hal ini
disebabkan karena jumlah komposit brazilin terutama 3’-O-metil brazilin yang
terekstraksi berbeda, pada digesti lebih sedikit daripada soxhletasi.
47
I. Pengukuran Area Under Curve (AUC) Komposit Brazilin dengan TLC
Densitometric Scanner
Pengukuran area under curve (AUC) menggunakan TLC Densitometric
scanner karena merupakan analisis kuantitatif in situ, dimana pengukuran
langsung pada lempeng kromatografi yang tidak memerlukan preparasi sampel
lebih lanjut, sehingga mencegah hilangnya senyawa yang akan diukur.
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum
Agar penelusuran bercak pada TLC Densitometric scanner mendapatkan
serapan yang maksimum, maka terlebih dahulu harus dilakukan penetapan
panjang gelombang serapan maksimum. Penentuan panjang gelombang serapan
maksimum dilakukan dengan cara menelususi bercak pada panjang gelombang
500-600 nm.
Gambar 16. Spektrum hasil penentuan panjang gelombang serapan maksimum
pada bercak komposit brazilin dengan TLC Densitometric scanner
Menurut Wetwitayaklung, Phaechamud dan Keokitichai, 2005, brazilin
dalam pelarut buffer phosfat pH 7 memiliki panjang gelombang serapan
maksimum 541nm. Panjang gelombang serapan maksimum yang diperoleh dari
dua kali replikasi pengukuran yang dilakukan adalah 539 nm. Panjang gelombang
48
ini masih diperbolehkan dengan selisih 2 nm dari panjang gelombang serapan
maksimum teoritis (Anonim, 1995). Panjang gelombang ini yang akan dipakai
untuk pengukuran AUC komposit brazilin.
2. Pengukuran AUC komposit brazilin
AUC komposit brazilin diukur dengan TLC Densitometric scanner pada
panjang gelombang 539 nm. Prinsip analisis kuantitatif dengan TLC
Densitometric Scanner adalah pengukuran berdasarkan interaksi radiasi
elektromagnetik dengan analit yaitu bercak pada KLT. Interaksi yang dimaksud
adalah absorpsi, transmisi, pantulan (refleksi) pendar fluor atau pemadaman
pendar fluor dari radiasi semula (Mulya dan Suharman, 1995).
Hasil pengukuran AUC komposit brazilin hasil digesti dan soxhletasi
tersaji pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel VII. Nilai AUC komposit brazilin dari kedua cara ekstraksi
Replikasi AUC
Digesti Soxhletasi
I 11558,4 14687,6
II 12081,3 14567,1
III 12043,7 14405,2
IV 11937,2 14637,6
V 11703,6 14220,7
Rata-rata 11864,8 14561,9
SE 100,99 85,31
% CV 0,85 0,59
Pada hasil penelusuran bercak diperoleh nilai rata-rata AUC komposit
brazilin dari hasil digesti diperoleh sebesar 11864,8 dengan nilai CV sebesar
0,85%, sedangkan nilai rata-rata AUC komposit brazilin dari hasil soxhletasi
49
adalah 14.503,6 dengan nilai CV sebesar 0,59%. Nilai CV dari kedua metode
masih berada dalam batas yang diperbolehkan yaitu ≤ 2% (Harmita, 2004).
Semakin kecil nilai CV menunjukkan pada keterulangan pengukuran AUC
komposit brazilin pada 5 kali replikasi diperoleh hasil yang reprodusibel. Apabila
ditelusuri ke belakang, maka dapat dikatakan bahwa kelima ekstrak yang
diperoleh dari kedua metode ekstraksi pada 5 kali replikasi adalah reprodusibel.
Nilai AUC yang diperoleh mewakili kadar komposit brazilin yang
terekstraksi, dapat diasumsikan semakin tinggi nilai AUC maka semakin banyak
komposit brazilin yang terekstraksi.
Gambar 17. Spektrum komposit brazilin dari hasil digesti
50
Gambar 18. Spektrum komposit brazilin dari hasil soxhletasi
Pada spektrum komposit brazilin baik dari hasil digesti maupun
soxhletasi terbentuk 2 puncak. Hal ini disebabkan karena berdasarkan hasil
pemisahan dengan KLT dihasilkan 2 bercak yang tidak memisah dengan
sempurna. Dua puncak ini menunjukkan komposit brazilin yaitu brazilin pada
puncak yang lebih tinggi dan 3’-O-metil brazilin pada puncak yang lebih rendah.
Tinggi spektrum komposit brazilin dari hasil soxhletasi lebih tinggi
daripada spektra komposit brazilin dari hasil digesti, yaitu pada digesti puncak
berada di bawah 100AU sedangkan pada soxhletasi puncak berada di atas 100AU.
Hal ini menunjukkan jumlah ekstrak komposit brazilin hasil soxhletasi lebih
banyak dibandingkan ekstrak hasil digesti.
Data AUC komposit brazilin yang diperoleh dari pengukuran TLC
densitometric scanner dianalisis secara bermakna dengan menggunakan Paired
Sampled T-test untuk memastikan jumlah ekstrak komposit brazilin yang
dihasilkan soxhletasi lebih banyak daripada digesti.
51
J. Perbandingan Metode
Perbandingan metode ekstraksi secara soxhletasi dan digesti berdasarkan
nilai AUC akan dilakukan dengan menggunakan analisis statistik Paired Sampled
T-test, karena data yang diperoleh berasal dari dua sampel yang saling
berhubungan. Adapun persyaratan analisis dengan menggunakan T-test adalah
data yang dianalisis harus merupakan distribusi normal. Oleh karena itu, sebelum
dianalisis dengan Paired Sample T-test terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
untuk mengetahui apakah sebaran data yang diperoleh ada dalam distribusi
normal atau tidak.
Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji one sample
Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan uji normalitas tersebut diperoleh hasil bahwa
sebaran data ada dalam distribusi normal. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran
sampel merata sehingga data dapat dibandingkan dengan menggunakan Paired
Sample T-test.
Tabel VIII. Hasil uji normalitas data AUC dengan Kolmogorov-Smirnov Test One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
soxhletasi digesti
N 5 5
Normal Parameters(a,b)
Mean 14465,2000
11966,8800
Std. Deviation 314,23879 606,99562
Most Extreme Differences
Absolute ,227 ,150
Positive ,182 ,118
Negative -,227 -,150
Kolmogorov-Smirnov Z ,508 ,336
Asymp. Sig. (2-tailed) ,959 1,000
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
52
Tabel IX. Hasil analisis statistik dengan Paired Sampled T-test
Selanjutnya untuk melihat apakah ada perbedaan bermakna antara AUC
dari kedua cara ekstraksi tersebut dapat ditentukan berdasarkan nilai signifikansi.
Nilai signifikansi < 0,05 menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara
kedua data yang dibandingkan.
Berdasarkan hasil analisis dengan Paired Sample T-test, diperoleh nilai
signifikansi 0,002 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara AUC komposit brazilin dari cara soxhletasi dan AUC komposit
brazilin dari cara digesti.
Sesuai dengan permasalahan pada penelitian, maka dapat dibuktikan
bahwa AUC komposit brazilin yang diperoleh dari hasil soxhletasi berbeda
dengan AUC komposit brazilin yang diperoleh dari hasil digesti. Selain itu juga
dapat dibuktikan bahwa AUC komposit brazilin dari hasil soxhletasi lebih besar
dibandingkan AUC komposit brazilin dari hasil digesti. Hal ini menunjukkan pada
kondisi optimum, cara ekstraksi secara soxhletasi akan menghasilkan ekstrak yang
lebih banyak dibandingkan cara ekstraksi secara digesti.
Pada ekstraksi secara soxhletasi, cairan penyari yang menetes dari hasil
kondensasi akan mengenai serbuk di bawahnya dan menarik senyawa komposit
brazilin. Setelah itu cairan penyari menetes lagi dan mengenai serbuk yang
53
sebelumnya telah dikenai cairan penyari dan sebagian komposit brazilin telah
disari. Oleh karena proses yang demikian, semua komposit brazilin dapat
terekstraksi secara maksimum. Hal ini yang dapat menyebabkan ekstrak hasil
soxhletasi lebih banyak dibandingkan ekstrak hasil digesti, karena komposit
brazilin merupakan komponen terbesar dalam ekstrak.
Selain itu, pada digesti selama proses ekstraksi semua cairan penyari
dapat kontak langsung dengan serbuk simpleks sehingga terjadinya titik jenuh
pada cairan penyari lebih mudah dicapai. Pada soxhletasi yang menyari zat aktif
adalah tetesan cairan penyari hasil kondensasi dari pendingin alir balik, sehingga
dengan adanya siklus tersebut membuat tidak ada titik jenuh pada soxhletasi. Hal
ini membuat cairan penyari yang akan menyari zat aktif pada serbuk merupakan
cairan penyari yang murni sehingga dapat memungkinkan menyari lebih banyak
zat aktif.
Oleh karena itu untuk menyari komposit brazilin dari kayu secang
menggunakan cara ekstraksi soxhletasi agar ekstrak yang diperoleh lebih banyak.
Pada pelaksanaannya harus dilakukan dalam kondisi optimum, yaitu ekstraksi
dengan air dalam etanol 68% selama 2 kali sirkulasi.
54
BAB V
KESIMPULAN
1. AUC komposit brazilin antara hasil ekstraksi digesti dengan soxhletasi
berbeda
2. Ekstraksi kayu secang yang dilakukan secara soxhletasi menghasilkan AUC
komposit brazilin yang lebih besar daripada secara digesti.
55
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1976, The Merk Index 9th ed, 1362, Merck & Co Rahway, New York
Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I, 29-33, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Anonim, 1985, Tanaman Obat Indonesia, Jilid I, 72, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 5-25, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 9, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, cetakan 1,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Rektorat Jenderal
Pengawasan Obat Dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional, Jakarta
Anwar, C., Purnomo, B., Pranowo, H.D., Wahyuningsih, T.D., 1994, Pengantar
Praktikum Kimia Organik, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Dong-Kyu et al., 2007, Fabrication of Nontoxic Natural Dye from Sappan Wood,
Seoul National University of Technology, Seoul Hardjono, S.,1983,
Kromatografi, Laboratorium Kimia Fisika Pusat, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta
Harmita,2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya,
http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2004/v01n03/Harmita010301.pdf
Khopkar, S.M., 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, 85-102, UI Press, Jakarta
Mintarsih, E. R.R., 1990, Penetapan Kadar Alkaloid Kinina dalam Akar, Batang,
dan Daun Chinchona succirubra Pavon et Klotzsch dari daerah Kaliurang
Secara Spektrodensitometri (TLC Scanner), Skripsi, Fakultas Farmasi,
UGM, Yogyakarta
Moon et al., 1992, Drug and Chemical Toxicology. Drug Chem. Toxicol
56
Oliveira L., Edwards, H., Veloso, E., dan Nesbitt, M., 2002, Vibrational
spectroscopic study of brazilin and brazilein, the main constituent of
brazilwood from Brazil, Vibrational Spectroscopy 28 (2002), 243-249,
www.elsevier/locate/vibspec
Perry, L.M., 1980, Medicinal Plants of East and South Asia, The MIT Press,
Cambridge, Massachussets and London, England
Putrandana, 2003, Isolasi dan Karakterisasi Brazilin dari Kayu Secang
(Caesalpinnia sappan L), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Rohman, A., 2009, Kromatografi Untuk Analisis Obat, 48-54, Graha Ilmu,
Yogyakarta
Sidik dan Mudahar, H., 2000, Ekstraksi Tumbuhan Obat, Metode dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Produksi, dalam seminar PERHIBA
pemanfaatan Bahan Obat Alam III, Fakultas Farmasi Universitas 17
Agustus 1945, Jakarta
Stahl, E., 1985, Drug Analysis By Chromatography and Microscopy :A Practical
Supplement to Pharmacopoias, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata, Iwang Soediro, Penerbit ITB, Bandung
Sudjadi, 1988, Metode Pemisahan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Sugati, S.S, dan Hutapea, J.R., 1991, 98-99, Inventaris Tanaman Obat Indonesia,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Sundari et al., 1998, Informasi Khasiat, Keamanan, dan Fitokimia Tanaman
Secang (Caesalpinia sappan L.), Warta Tumbuhan Obat Indonesia
Trijotosoepomo, G., 1994, Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan, Edisi I, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta
Voigt, Rudolf, 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi 5, 572-573,
Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta
Wallis, T. E., 1985, Textbook of Pharmacognosy, III rd Ed., 65, Little Brown and
Company, Boston
Wetwitayaklung, P., Phaechamud, T., dan Keokitichai, S., 2005, The Antioxidant
Activity of Caesalpinia sappan L. Heartwood in Various Ages, Naresuan
University Journal 2005; 13(2): 43-52,
http://office.nu.ac.th/nu_journal/pdf/journal/13(2)43-52.pdf.
57
Wijayanti, 2002, Penggunaan Zat Warna dari Kayu Secang (Caesalpinia sappan)
sebagai Pewarna pada Tablet Salut Gula, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta
58
59
Lampiran 1 : Foto hasil identifikasi tanaman secara kimia
Percobaan Hasil
Serbuk secang dalam metanol
Filtrat + KOH P 5% b/v
Filtrat + NaOH P 5% b/v
Filtrat + Pb(COOH)2 P 5% b/v
Filtrat + FeCl3 P 5% b/v
60
Lampiran 2 : Foto alat digesti
Lampiran 3 : Foto Soxhlet extractor
61
Lampiran 4. Persentase rendemen dan CV komposit brazilin hasil digesti
Digesti Rep I Rep II Rep III Rep IV Rep V
Berat serbuk (mg) 5001,9 5000,8 5000,6 5000,1 5001,0
Berat rendemen (mg) 313,2 310,3 312,0 318,7 322,9
% rendemen 6,26 6,21 6,24 6,37 6,46
Rata-rata 6,31
SE 0,05
% CV 0,74
Lampiran 5. Perhitungan % rendemen hasil digesti
% rendemen = berat rendemen x 100% ---------------------
beratserbuk
Replikasi 1
% rendemen = 313,2 x 100% --------
5001,9
= 6,26 %
Replikasi 2
% rendemen = 310,3 x 100% ----------
5000,8
= 6,21 %
Replikasi 3
% rendemen = 312,0 x 100% ----------
5000,6
= 6,24 %
Replikasi 4
% rendemen = 318,7 x 100% ---------
5000,1
= 6,37 %
Replikasi 5
% rendemen = 322,9 x 100% ----------
5001,0
= 6,46 %
59
Lampiran 6. Perhitungan standard error dan coefficient of variance
SE = SD CV= SE x 100%
----- -----
√ n x
Keterangan :
SE : standard error CV : coefficient of variance
SD : standard deviation x : rata-rata rendemen
n : jumlah replikasi
SE = SD CV= SE x 100%
----- -----
√ n x
= 0,104 = 0,05 x 100%
----- -----
√ 5 6,31
= 0,05 = 0,74%
Lampiran 7. Persentase rendemen dan CV komposit brazilin hasil soxhletasi
Soxhletasi Rep I Rep II Rep III Rep IV Rep V
Berat serbuk (mg) 5005,4 5002,8 5016,4 5002,6 5000,8
Berat rendemen (mg) 375,5 347,9 392,0 401,1 384,7
% rendemen 7,50 6,95 7,81 8,02 7,69
Rata-rata 7,59
SE 0,18
% CV 2,40
Lampiran 8. Perhitungan % rendemen hasil soxhletasi
% rendemen = berat rendemen x 100% ---------------------
beratserbuk
Replikasi 1
% rendemen = 375,5 x 100% --------
5005,4
= 7,50%
Replikasi 2
% rendemen = 347,9 x 100% --------
5002,8
= 6,95%
63
Replikasi 3
% rendemen = 392,0 x 100% --------
5016,4
= 7,81%
Replikasi 4
% rendemen = 401,1 x 100% --------
5002,6
= 8,02%
Replikasi 5
% rendemen = 384,7 x 100% --------
5000,8
= 7,69%
Lampiran 9. Perhitungan standard error dan coefficient of variance
SE = SD CV= SE x 100%
----- -----
√ n x
Keterangan :
SE : standard error CV : coefficient of variance
SD : standard deviation x : rata-rata rendemen
n : jumlah replikasi
SE = SD CV= SE x 100%
----- -----
√ n x
= 0,406 = 0,18 x 100%
----- -----
√ 5 7,59
= 0,18 = 2,40%
64
Lampiran 10. Profil KLT komposit brazilin hasil digesti
(a) (b)
(c) (d)
Keterangan : (a) visibel, sebelum disemprot buffer fosfat pH 7
(b) UV 365 nm, sebelum disemprot buffer fosfat pH 7
(c) visibel, sesudah disemprot buffer fosfat pH 7
(d) UV 365 nm, sesudah disemprot buffer fosfat pH 7
65
Lampiran 11. Profil KLT komposit brazilin hasil soxhletasi
(a) (b)
(c) (d)
Keterangan : (a) visibel, sebelum disemprot buffer fosfat pH 7
(b) UV 365 nm, sebelum disemprot buffer fosfat pH 7 (c) visibel, sesudah disemprot buffer fosfat pH 7 (d) UV 365 nm, sesudah disemprot buffer fosfat pH 7
66
Lampiran 12. Spektrum komposit brazilin hasil digesti
(a)
(b)
(c)
67
(d)
(e)
Keterangan :
(a) replikasi 1
(b) replikasi 2
(c) replikasi 3
(d) replikasi 4
(e) replikasi 5
68
Lampiran 13. Spektrum komposit brazilin hasil soxhletasi
(a)
(b)
(c)
69
(d)
(e)
Keterangan :
(a) replikasi 1
(b) replikasi 2
(c) replikasi 3
(d) replikasi 4
(e) replikasi 5
70
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama Trisiana Sarwastuti, lahir di Jakarta pada
tanggal 7 Januari 1988 merupakan putri ketiga dari
pasangan Bapak Suharno dan Ibu Ratna Sritirna. Penulis
menempuh pendidikan TK Strada Santa Theresia Jakarta
pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar
pada tahun 1994-2000 di SD Strada Tunas Keluarga Mulia I Jakarta. Pada tahun
2000 – 2003 penulis menempuh pendidikan di SLTP Strada St. Fransiskus
Xaverius II Jakarta, dan melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Umum Negeri
13 Jakarta. Setelah lulus tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan tingkat
universitas di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan
menyelesaikan pendidikannya tahun 2010.