perbandingan antara waralaba, lisensi dan...

126
UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTOR BARANG DAN JASA SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN USAHA SKRIPSI STEPHANIE 0606080990 FAKULTAS HUKUM PROGRAM KEKHUSUSAN I HUKUM TENTANG HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT DEPOK JANUARI 2010 Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

Upload: others

Post on 23-Jun-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTOR BARANG DAN JASA SEBAGAI UPAYA

PENGEMBANGAN USAHA

SKRIPSI

STEPHANIE

0606080990

FAKULTAS HUKUM PROGRAM KEKHUSUSAN I

HUKUM TENTANG HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT DEPOK

JANUARI 2010

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTOR BARANG DAN JASA SEBAGAI UPAYA

PENGEMBANGAN USAHA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

STEPHANIE

0606080990

FAKULTAS HUKUM PROGRAM KEKHUSUSAN I

HUKUM TENTANG HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT DEPOK

JANUARI 2010

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

ii

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Stephanie NPM : 0606080990 Tanda Tangan : Tanggal : 4 Januari 2010

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

iii

Universitas Indonesia

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh Nama : Stephanie NPM : 0606080990 Program Studi : Ilmu Hukum Judul Skripsi : Perbandingan Antara Waralaba, Lisensi dan

Distributorship Sebagai Upaya Pengembangan Usaha (Kasus: Pengembangan Usaha Rica Rico)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI Pembimbing : Prof. Dr. Rosa Agustina S.H., M.H. ( )

Pembimbing : Suharnoko S.H., M.H. ( )

Penguji : Dr. Nurul Elmiyah S.H., M.H. ( )

Penguji : Myra Rosana B. Setiawan S.H., M.H.( )

Penguji : Abdul Salam S.H., M.H. ( )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 4 Januari 2010

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

iv

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas selesainya

penulisan skripsi yang berjudul “Perbandingan Antara Waralaba, Lisensi dan

Distributorship Sebagai Upaya Pengembangan Usaha (Kasus: Pengembangan

Usaha Rica Rico).”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih

terdapat kekurangan baik dari segi materi maupun teknis. Dengan segala

keterbatasan baik waktu, pengetahuan dan pengalaman penulis terutama dalam

bidang hukum, penulis telah berupaya dengan sebaik-baiknya untuk

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Segala kritik dan saran terhadap skripsi ini

sangat diharapkan penulis untuk dapat lebih menyempurnakan skripsi ini. Secara

lebih lanjut dan mendalam, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah

meluangkan waktu ditengah-tengah kesibukannya untuk membimbing

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

2. Bapak Suharnoko, S.H., MLI, selaku Pembimbing II yang selalu hadir

untuk memeriksa dan memberikan koreksi-koreksi terhadap skripsi ini

baik dalam hal-hal teknis maupun materi, serta kesabarannya dalam

memberikan bimbingan kepada penulis;

3. Ketua Bidang Studi Keperdataan Ibu Surini Ahlan Syarief, S.H., M.H.,

dan Sekretaris Bidang Studi Keperdataan Myra Rosana B. Setiawan S.H.,

M.H;

4. Bapak Dekan Fakultas Hukum Indonesia, Prof. Safri Nugraha S.H.,

LL.M., Ph.D;

5. Bapak Dian Puji Simatupang, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik

yang meluangkan waktu untuk berkumpul bersama-sama anak-anak

bimbingannya setiap semester untuk memberikan nasihat mengenai

rencana studi penulis selama masa perkuliahan;

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

v

Universitas Indonesia

6. Tidak lupa kepada kedua orang tua penulis, Lylianto, papa yang telah

berhasil membesarkan, memberi arahan dan nasihat, dan mencukupi

segala keperluan penulis, dan Djuliani Indra, mama yang selalu

mendukung, mendoakan, menyemangatkan dan menguatkan penulis di

saat yang paling rendah sekalipun, serta kepada saudara penulis, Pieter

Anthony dan Ketherin yang selalu mendukung dan mendorong penulis

dalam melaksanakan studi dan menyelesaikan penulisan skripsi ini serta

membawa kebahagiaan dalam rumah;

7. Kakek dan Nenek penulis baik yang berada di Jakarta maupun yang di

Batam, beserta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan

dan doa kepada penulis;

8. Adri Yudistira Dharma, yang selalu memberikan semangat, dorongan,

masukan dan meluangkan waktu untuk memberikan bantuan kepada

penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;

9. Pemilik Rica Rico Bika Ambon, John dan Diana, yang sudah bersedia

memberikan informasi dan memperbolehkan penulis untuk menggunakan

pengembangan usaha Rica Rico sebagai bahan skripsi;

10. Sahabat-sahabat penulis di kampus FHUI: Ivina L. Suwana (Phina) yang

sudah menjadi roomate yang menyenangkan selama dua setengah tahun,

Rebecca Ayuyantrie (Bebeq) yang selalu menghibur baik dalam kampus,

mobil dan luar kampus, Tantri Aprilila (Pandut) yang selalu mempunyai

gossip dan informasi terkini untuk dibagikan, Rinta Angelia (Rinta) yang

berpenampilan macho tapi usil pada aslinya, Siksta Alia, Dita, Sita, July,

Zul dan Dian yang telah membuat suasana kampus menjadi lebih indah

dengan segala curhatan, gossip, canda tawa dan ilmu yang telah dibagi

bersama;

11. Teman-teman penulis diluar kampus: Tania Angela Susilo, Andreas

Steffan, Sylvy (Inul), dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu;

12. Vino, Caroline dan Tanto yang saling berbagi informasi mengenai

keberadaan para pembimbing;

13. Teman-teman angkatan 2006 yang tidak bisa disebutkan satu persatu;

14. Bapak Sarjono di PK I yang selalu membantu penulis dengan senyum;

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

vi

Universitas Indonesia

15. Bapak di Biro Pendidikan yang telah membantu penulis menyelesaikan

kegiatan administrasi kampus;

16. Suster Seni yang selama ini dengan setia memasak, mempersiapkan segala

keperluan sehari-hari dan mendengarkan ocehan penulis selama penulis

ada di rumah;

17. Abang Acun, Bonny dan Abang Khairul yang turut mengantar jemput

penulis dari Jakarta sampai ke Depok dengan setia;

18. Staf Pengajar serta Karyawan Fakultas Hukum Universitas Indonesia;

19. Laptop tercinta yang telah menemani penulis sepanjang penulisan skripsi

ini;

20. Paulo Coelho untuk semua inspirasinya yang selalu menguatkan dan

memberikan inspirasi kepada penulis;

21. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini dapat menjadi referensi yang berguna

bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum keperdataan dalam

perikatan dan hak kekayaan intelektual pada umumnya. Terima Kasih.

Depok, Januari 2010

Penulis

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

vii

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Stephanie NPM : 0606080990 Program Studi : Ilmu Hukum Fakultas : Hukum Jenis Karya : Skripsi demi mengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTORSHIP SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN USAHA (KASUS: PENGEMBANGAN USAHA RICA RICO) Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 4 Januari 2010 Yang Menyatakan (………………………..)

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

viii

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Stephanie Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Perbandingan Antara Waralaba, Lisensi dan Distributorship

Sebagai Upaya Pengembangan Usaha (Kasus: Pengembangan Usaha Rica Rico)

Usaha kecil dan menengah telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong pengembangan dan ekspansi usaha demi meningkatkan kemandirian ekonomi dan kreativitas bangsa. Pengembangan usaha dapat direalisasikan dengan berbagai metode dengan menjalankan sistem usaha yang berbeda. Waralaba, pemberian lisensi dan distributorship adalah tiga sistem usaha yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Waralaba, pemberian lisensi dan distributorship mempunyai persamaan dan perbedaan. Guna menentukan lembaga yang paling sesuai untuk pengembangan usaha, para pengusaha perlu memahami akibat hukum dari masing-masing sistem usaha agar mereka mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai. Skripsi ini akan membahas persamaan dan perbedaan masing-masing lembaga dan menerapkan pemahaman tersebut pada pengembangan usaha Rica Rico Bika Ambon. Akhir kata, diharapkan masyarakat luas dapat terus mengembangakan usahanya demi perekonomian yang lebih mandiri dan kreatif.

Kata Kunci:

Waralaba, Lisensi, Distributorship, dan Perbandingan

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

ix

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Stephanie Study Program: Law Science Title : Comparison Between Franchising, Licency and Distributorship

for Business Expansion (Case: Rica Rico Bika Ambon) Micro, small and mid-level business is proven to be able to increase national economic growth. Pursuant to the above, the government needs to encourage business expansion to strengthen economic independency and public’s creativity. Business expansion can be realized by several methods and business systems. Franchising, licency and distributorship are the three business system which will be discussed in this thesis. The three system mentioned above have similarities and differences. Thus in order to determine the right business system and institution for a business expansion, entrepreneurs need to fully understand their respective legal consequences so that they can obtain the necessary legal protection in accordance to the nature of their business. This thesis will compare the three business systems and each of their legal consequences and apply the same to business expansion of Rica Rico Bika Ambon. Lastly, the public is encouraged to further expand and increase the growth of their business so as to achieve a more stable economy. Keywords: Franchising, Licency, Distributorship, Comparison

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

x

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………… ii

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………. iii

KATA PENGANTAR………………………………………………….. iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………... vii

ABSTRAK……………………………………………………………… viii

ABSTRACT…………………………………………………………….. ix

DAFTAR ISI…………………………………………………………… x

1. PENDAHULUAN............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………. 1

1.2 Pokok Permasalahan…………………………………………….. 5

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………… 5

1.4 Metode Penelitian……………………………………………….. 5

1.5 Kegunaan Penelitian……………………………………………... 6

1.6 Kerangka Konsep………………………………………………… 7

1.7 Sistematika Penulisan…………………………………………….. 9

2. PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA DAN PERKEMBANGANNYA.................................... 11

2.1 Pengertian perjanjian dan hubungannya dengan perikatan………. 12

2.2 Syarat Sah Perjanjian……………………………………………... 13

2.2.1 Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya…………….. 14

2.2.2 Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan……………. 15

2.2.3 Suatu Hal Tertentu……………………………………….. 18

2.2.4 Suatu Sebab Yang Halal…………………………………. 18

2.3 Asas-Asas Dalam Perjanjian……………………………………… 19

2.3.1 Asas Konsensualisme…………………………………….. 19

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

xi

Universitas Indonesia

2.3.2 Asas Kebebasan Berkontrak……………………………... 21

2.3.3 Asas Itikad Baik…………………………………………. 22

2.3.4 Asas Kepribadian………………………………………… 24

2.4 Hapusnya Perjanjian………………………………….………… 26

2.4.1 Pembayaran………………………………………………. 27

2.4.2 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpangan

atau penitipan…………………………………………….. 29

2.4.3 Pembaruan Utang atau novasi…………………………….. 29

2.4.4 Perjumpaan Utang atau Kompensasi…………………….. 30

2.4.5 Percampuran Utang……………………………………….. 30

2.4.6 Pembebasan Utang……………………………………….. 31

2.4.7 Musnahnya Barang yang Terutang…………………….. 31

2.4.8 Batal / Pembatalan………………………………………… 32

2.4.9 Berlakunya Suatu Syarat Batal…………………………… 32

2.4.10 Lewatnya Waktu………………………………………….. 33

3. LANDASAN TEORI MENGENAI WARALABA, LISENSI DAN

DISTRIBUTORSHIP

3.1 Landasan Teori Waralaba……………………………………….. 34

3.1.1 Pengertian Umum Waralaba…………………………….. 34

3.1.2 Elemen-elemen Pokok Waralaba…………....………….. 36

3.1.3 Tipe-Tipe Waralaba…………………………...………... 38

3.1.4 Franchise Disclosure Act……………………..………... 40

3.1.5 Transparansi dalam Waralaba…………………..………. 41

3.1.6 Pengaturan Waralaba di Indonesia………………..……. 43

3.1.7 Asas-asas Perjanjian Waralaba……………………..…… 45

3.1.8 Hak dan Kewajiban Franchisor dan Franchisee……..… 46

3.1.9 Hal-hal Yang Diatur dalam Perjanjian Waralaba…..…… 50

3.1.10 Proses Menjual Sistem Waralaba……………………..… 53

3.1.11 Pengakhiran Perjanjian………………………………..… 55

3.2 Landasan Teori Lisensi………………………………………..… 56

3.2.1 Pengertian Umum Lisensi……………………………..… 56

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

xii

Universitas Indonesia

3.2.2 Lisensi Sebagai Suatu Bentuk Perjanjian……………….. 58

3.2.3 Jenis-Jenis Lisensi……………………………………….. 59

3.2.4 Pengaturan Lisensi dalam Undang-Undang No. 15 Tahun

2001 tentang Merek……………………………………... 60

3.2.5 Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi…..… 63

3.2.6 Hal-hal yang diatur dalam Perjanjian Lisensi…………… 66

3.2.7 Proses Pemberian Lisensi……………………………….. 70

3.3 Landasan Teori Disributorship…………………………………… 72

3.3.1 Pengertian Umum Distributor dan Perbedaannya

dengan Keagenan……………………………………….. 72

3.3.2 Pihak-Pihak dalam Perjanjian Distributorship………….. 74

3.3.3 Hak dan Kewajiban Prinsipal dan Distributor………….. 76

3.3.4 Hal-Hal Umum yang Diatur Dalam Perjanjian

Penunjukan Distributor………………………………….. 78

3.3.5 Proses Penunjukan Distributor…………………………... 82

4. PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN

DISTRIBUTORSHIP (ANALISA KASUS PENGEMBANGAN USAHA

RICA RICO)

4.1 Perbandingan antara Waralaba, Lisensi dan Distributorship …. 85

4.1.1 Persamaan………………………………………………. 85

4.1.2 Perbedaan………………………………………………. 87

4.1.2.1 Berdasarkan Sifat dan Karakteristik……………. 88

4.1.2.2 Berdasarkan Ketentuan Prosedural……………... 92

4.2 Latar Belakang Usaha Rica Rico……………………………….. 97

4.3 Penentuan Lembaga bagi Pengembangan Usaha Rica Rico……… 100

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……………………………………………………….. 107

5.2 Saran……………………………………………………………… 108

DAFTAR REFERENSI

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

1

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peran yang

strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini karena UMKM sanggup

meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menyerap tenaga kerja dan

mengakibatkan pemerataan distribusi hasil-hasil pembangunan.1 Dalam krisis

ekonomi yang terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana

banyak usaha berskala besar mengalami stagnasi bahkan menghentikan kegiatan

usahanya, sektor UMKM terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut

karena UMKM lebih stabil dan fleksibel apabila dibandingkan dengan perusahaan

besar.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh The Hong Kong and

Shanghai Banking Corporation (HSBC), 80 persen UMKM akan

mempertahankan pegawai dan hanya 7 persen yang berencana untuk mengurangi

jumlah pegawai pada tahun 2009.2 Selain itu, UMKM Indonesia cenderung

mempertahankan rencana belanja modal mereka dengan 50 persen UMKM tetap

mempertahankan tingkat belanja modal dan 24 persen UMKM berencana untuk

meningkatkan belanja mereka pada 2009 meski perekonomian 2009 cenderung

menurun.3 Dengan demikian, pengembangan UMKM perlu mendapatkan

perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun masyarakat agar pengusaha

UMKM mempunyai ruang dan kesempatan untuk mengembangkan usahanya

guna mencapai tingkat persaingan yang lebih tinggi dalam perekonomian

Indonesia.

1 Muhammad Jafar Hafsah, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah,” <http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2025/pengemb_UKM.pdf>, diakses 24 Agustus 2009. 2 “2009, UKM Dorong Perekonomian Indonesia,” <http://www.kompas.com/read/xml/ 2009/01/20/13185437/2009.ukm.dorong.perekonomian.indonesia>, 20 Januari 2009. 3 Ibid.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

2

Universitas Indonesia

Pada umumnya permasalahan yang dihadapi oleh UMKM dalam

menjalankan kegiatannya, antara lain meliputi faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal meliputi kesulitan memperoleh suntikan dana dari lembaga

keuangan, sumber daya manusia yang terbatas dari segi pendidikan formal dan

manajemen perusahaan, dan lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi

pasar.4 Sedangkan faktor eksternal mencakup iklim usaha yang tidak kondusif,

terbatasnya sarana dan prasarana usaha karena kurangnya informasi teknologi,

dan dan implikasi otonomi daerah.5

Mengingat pentingnya peran UMKM dalam perekonomian Indonesia,

pemerintah tidak hanya menetapkan kebijakan, namun juga mengambil langkah

konkrit melalui program studi kelayakan berbeasis teknologi dengan harapan

dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi pengusaha UMKM.

Kebijakan pemerintah termasuk Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang

Usaha Kecil, yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2008 Tentang

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, peraturan pemerintah sebagai pelaksana

undang-undang, keputusan presiden, dan lain lain. Melalui kebijakan-kebijakan

tersebut, diharapkan UMKM dapat diselenggarakan secara menyeluruh, optimal,

dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian

kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-

luasnya.6 Bentuk lain dari intervensi pemerintah dalam upaya untuk mendorong

pengembangan UMKM adalah penyusunan pedoman pengambilan keputusan

pengembangan UMKM berbasis teknologi dan sistem informasi dengan nama

Decision Support System/DSS. Pedoman ini memuat studi kelayakan bagi UMKM

yang berniat mengembangkan usahanya dan dapat diakses publik melalui situs

www.smecda.com sejak Februari 2009.7 Walaupun demikian, untuk menciptakan

iklim yang kondusif bagi pengembangan UMKM, tidak cukup hanya dengan

4 Hafsah, loc. cit. 5 Ibid. 6 Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Konsiderans (c). 7 Hatta Haris Rahman, “I Wayan Dipta: Decision Support System Sebagai Studi Kelayakan Finansial Bagi UMKM” <http://www.madina-sk.com/index.php?option=com_ content&task=view&id=5597&Itemid=8>, diakses 31 Agustus 2009.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

3

Universitas Indonesia

penetapan kebijakan pemerintah dan keberadaan DSS. Kedua faktor tersebut

harus disosialisasikan dan diimplementasikan dengan baik, efektif dan harus

didukung dengan kerjasama dari berbagai pihak seperti lembaga keuangan,

pelatihan informasi teknologi dan kepastian hukum.

Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, faktor yang tidak kalah

penting adalah inisiatif dan semangat wirausaha untuk terus mengembangkan

usahanya. Berbagai acara diselenggarakan demi menyebarkan semangat

kewirausahaan terutama dalam kalangan anak muda. Salah satu acara tersebut

adalah Entrepreneurs Expo bertema Creating Synergy of Creativity, Opportunity,

Energy & Ethics yang diadakan pada tanggal 7-9 Agustus 2009 lalu. Semua ini

menunjukkan pentingnya semangat kewirausahaan dalam masyarakat karena

kewirausahaan tidak hanya berperan sebagai landasan bagi perekonomian yang

kuat, tetapi juga melahirkan kemandirian dan kreativitas bagi masyarakat.

Upaya pengembangan usaha dapat direalisasikan melalui berbagai cara

dan sistem berdasarkan jenis usaha dan struktur perusahaan yang dijalankan oleh

pengusaha. Menurut Warren J. Keegen dalam bukunya Global Marketing

Management (Keegen, 1989: 294), pemberian lisensi dan franchising merupakan

dua diantara berbagai cara untuk mewujudkan rencana pengembangan usaha baik

dalam lingkup nasional maupun internasional.8 Selain itu, pengembangan usaha

juga dapat dilakukan melalui pembentukan perusahaan patungan (joint ventures),

pemilikan menyeluruh (total ownership) yang dapat dilakukan melalui direct

ownership (kepemilikan langsung) ataupun pengambilalihan, dan melalui

distributorship. Pengusaha UMKM perlu mengetahui bahwa lembaga-lembaga

tersebut tidak adalah berlaku bagi perusahaan besar seperti Starbucks, Carrefour,

Shell, Adidas, dll, namun juga berlaku bagi UMKM. Aladine Kebab, Ayam

Goreng Fatmawati dan Bakmi Langgara/ Bakmi Tebet hanya tiga dari banyaknya

UMKM yang bergerak di bidang usaha makanan yang berhasil mengembangkan

usahanya melalui lembaga-lembaga tersebut. Selain bidang usaha makanan,

terdapat juga UMKM yang bergerak dalam bidang usaha lain seperti Laundrette

yang bergerak dalam bidang usaha binatu, Veneta di bidang usaha isi ulang tinta

8 Gunawan Widjaja, Lisensi atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 24.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

4

Universitas Indonesia

printer dan UMKM di bidang lainnya yang juga telah terbukti berhasil

mengembangkan usahanya melalui lembaga waralaba.

Inisiatif pengembangan usaha melalui lembaga-lembaga seperti waralaba,

lisensi dan distributorship tidak hanya penting untuk meningkatkan skala

usahanya dan memperluas penetrasi pasar, tetapi juga untuk melindungi hak

kekayaan intelektual pengusaha. Dengan terbukanya pilihan untuk

mengembangkan usaha, adalah penting bagi pengusaha untuk mengetahui

perbedaan konsep dasar dari cara-cara pengembangan usaha yang tersedia

sehingga pengusaha dapat mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan

kapasitas dan kapabilitas usaha mereka.

Dalam praktek, yang sering terjadi ialah pengusaha seringkali mengalami

kesulitan dan kebingungan apabila mereka ingin mengembangkan usaha mereka.

Hal ini terjadi karena kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai pilihan-

pilihan yang tersedia bagi mereka dan akibat hukum dari masing-masing lembaga-

lembaga tersebut. Selain itu, upaya pengembangan usaha yang berbeda-beda

sering kali terlihat sama apabila diperhatikan sekilas dari perspektif pengusaha.

Dengan demikian, perlu adanya sosialisasi kebijakan pemerintah secara efisien

sehingga undang-undang dapat diimplimentasikan oleh masyarakat yang

berkepentingan. Selain itu, ikatan dan perhimpunan seperti Perhimpunan

Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) dan Asosiasi Franchise Indonesia juga

dapat turut berperan aktif dalam membantu dan mengiringi para pengusaha yang

berniat mengembangkan usahanya.

Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk mendalami lembaga

waralaba (franchising), lisensi (licensing) dan distributorship sebagai upaya

pengembangan dan penguatan usaha. Skripsi ini akan membandingkan ketiga

lembaga tersebut dan mempelajari akibat hukum dari masing-masing lembaga.

Selain itu, penulis juga akan menggunakan kasus pengembangan usaha produksi

kue bika ambon dan berbagai makanan ringan dengan merek Rica Rico.

Diharapkan dengan pemahaman yang memadai, pengusaha dapat memilih

lembaga yang paling tepat untuk merealisasikan pengembangan usahanya sesuai

dengan struktur usaha yang paling menguntungkan dari segi hukum.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

5

Universitas Indonesia

1.2 POKOK PERMASALAHAN

Dari uraian latar belakang tersebut, penulis mencoba untuk merumuskan

masalah dengan menyusun pokok permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah akibat hukum pemberian waralaba, lisensi dan distributorship

dalam pengembangan usaha?

2. Lembaga manakah yang paling tepat dalam pengembangan usaha Rica Rico?

3. Ketentuan khusus apakah yang harus diatur dalam perjanjian pengembangan

usaha Rica Rico?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Utama

Memahami franchising, licensing dan distributorship secara menyeluruh

sebagai upaya pengembangan usaha bagi usaha kecil dan menengah.

b. Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

(i) Mengetahui perbedaan antara franchising, licensing dan distributorship

sebagai upaya pengembangan usaha sehingga dapat memahami akibat

hukum dari masing-masing lembaga.

(ii) Menentukan upaya pengembangan usaha yang paling tepat bagi Rica Rico

sesuai dengan jenis, sifat dan skala usahanya.

(iii)Dengan mengetahui lembaga pengembangan usaha yang paling tepat,

penulis berharap dapat membantu pengusaha Rica Rico merancang

perjanjian yang dibutuhkan demi pengembangan usaha.

1.4 METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Penulisan ini merupakan penelitian yuridis normatif karena mencakup

penelitian perbandingan antara lembaga franchising, licensing dan

distributorship berdasarkan hukum positif. Apabila ditinjau dari sifatnya,

penulisan ini bersifat preskriptif analisis karena selain berupaya untuk

memberikan data yang seteliti mungkin mengenai lembaga-lembaga tersebut,

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

6

Universitas Indonesia

penelitian ini mengusulkan problem solution bagi pengembangan usaha Rica

Rico.

b. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan berdasarkan studi kepustakaan (library

research) dan keterangan media massa demi mendapatkan perkembangan

terbaru. Selain itu, penulis memperoleh data dari pengusaha (pemilik Rica

Rico) mengenai keterangan seputar jenis dan sifat usaha Rico Rico agar dapat

menentukan lembaga yang paling tepat untuk pengembangan usahanya.

Dengan demikian, jenis data yang digunakan merupakan data sekunder,

meliputi bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan franchising, licensing dan distributorship dan bahan hukum

sekunder berupa buku-buku serta media massa (koran, majalah dan internet).

Selain itu, penulis juga menggunakan data primer dari hasil wawancara dan

diskusi dengan pengusaha pemilik Rica Rico.

c. Metode Pengolahan dan Analisa Data

Dalam mengolah dan menganalisa data, penulis menggunakan

pendekatan kwalitatif. Pendekatan kwalitatif merupakan tata cara penelitian

yang menghasilkan data deskriptif analitis, yang bertujuan untuk mengerti

atau memahami gejala yang ditelitinya.9 Dengan demikian, penulis dapat

memahami franchising, licensing dan distributorship secara mendalam dan

menerapkan hasil analisis dalam penentuan lembaga untuk pengembangan

usaha Rica Rico.

1.5 KEGUNAAN PENELITIAN

a. Kegunaan teoritis

Kegunaan teoritis merupakan kegunaan dari suatu penulisan hukum bagi

perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.10 Penelitian ini memiliki

kegunaan teoritis, dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukun, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), hal. 32. 10 Sri Mamudji et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 22.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

7

Universitas Indonesia

(i) Memahami perkembangan bentuk perjanjian yang ada dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sehingga dapat

diaplikasikan pada masalah yang timbul dewasa ini.

(ii) Memahami akibat hukum yang mencakup kekurangan dan kelebihan dari

masing-masing lembaga franchising, licensing dan distributorship bagi

pengembangan UMKM.

b. Kegunaan praktis

Selain kegunaan secara teoritis, penelitian hukum ini juga memiliki

kegunaan praktis dimana suatu penelitian hukum diharapakan mampu

memberikan kegunaan bagi praktek yang meliputi kegunaan bagi masyarakat

secara umum. Kegunaan praktis penelitian ini Pengusaha Rica Rico

memperoleh informasi secara komprehensif mengenai ketiga lembaga tersebut

sehingga dapat menentukan lembaga yang paling sesuai untuk pengembangan

usahanya ditinjau dari sudut hukum.

1.6 KERANGKA KONSEP

Agar tidak menimbulkan kerancuan istilah dalan penulisan ini, maka penulis

membatasi definisi-definisi yang ada dalam tulisan ini ke dalam pengertian

sebagai berikut:

a. Disclosure/ Franshise Offering Circular adalah:

“suatu kewajiban untuk menyajikan fakta berupa kondisi penjualan, personalia maupun keuangan dari Pemberi Waralaba kepada calon Penerima Waralaba. Fakta-fakta yang disajikan ini merupakan dokumen yang sifatnya rahasia dan tidak boleh digunakan oleh calon Penerima Waralaba untuk kepetingan pribadi-selain semata-mata untuk mengetahui kondisi usaha Pemberi Waralaba sebelum ia memutuskan membeli hak waralaba. Dalam praktik selanjutnya, disclosure agreement kadang-kadang dilakukan jika Pemberi Waralaba memberikan satu informasi baru berkaitan dengan usaha tersebut kepada para Penerima Waralaba-nya.11

11 Ibid., hal. 208.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

8

Universitas Indonesia

b. Distributor adalah:

“hak yang diberikan oleh pabrikan atau pedagang besar (wholesaler) kepada individu/ perusahaan untuk menjual produk/jasa kepada pihak lain.”12

c. Franchise fee adalah:

“biaya pembelian hak franchise yang dikeluarkan oleh Penerima Waralaba setelah dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai Penerima Waralaba sesuai kriteria Pemberi Waralaba. Umumnya franchise fee dibayarkan hanya satu kali saja. Franchise fee ini akan dikembalikan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba dalam bentuk fasilitas pelatihan awal dan dukungan set up awal dari outlet pertama yang akan dibuka oleh Penerima Waralaba.”13

d. Lisensi (licensing) adalah:

“izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.”14

e. Merek adalah:

“tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”15

f. Pemberi Waralaba (Pemberi Waralaba) adalah:

“Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.”16

12 Lukman Hakim, Info Lengkap Waralaba, (Yogyakarta: MedPress, 2008), hal, 208. 13 Ibid., hal, 209. 14 Indonesia (d), ps. 1 angka 13. 15 Indonesia (d), UU Merek, UU No. 15 Tahun 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, ps. 1 angka 1.

16 Ibid.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

9

Universitas Indonesia

g. Penerima Waralaba (Penerima Waralaba) adalah:

“Orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.”17

h. Prospektus Penawaran Waralaba adalah:

“keterangan tertulis dari Pemberi Waralaba yang sedikitnya menjelaskan tentang identitas, legalitas, sejarah kegiatan, struktur organisasi, keuangan, jumlah tempat usaha, daftar Penerima Waralaba, hak dan kewajiban pemberi dan Penerima Waralaba.”18

i. Royalty fee adalah:

“biaya yang harus dikeluarkan oleh penerima hak waralaba kepada pemberi hak waralaba. Pada umumnya royalty fee dihitung secara persentase berdasarkan omset penjualan kotor. Royalty fee diberikan secara periodik mengikuti laporan penjualan yang dikeluarkan secara teratur pula.”19

j. Waralaba (franchise) adalah:

“hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”20

1.7 SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah penulisan serta pemahaman pembaca, maka skripsi

ini dibagi menjadi beberapa bab, dimana tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub

bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan

Bab ini berisi pendahuluan dari skripsi yang terdiri dari latar belakang,

pokok permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian, kegunaan penelitian,

kerangka konsep dan sistematika penulisan.

17

Ibid.

18 Indonesia (c), Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Penyelenggaraan Waralaba, No. 31/M-DAG/PER/2008, ps 1 angka 6. 19 Ibid. 20 Indonesia (b), Peraturan Pemerintah Tentang Waralaba, PP No. 42 Tahun 2007, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4742, ps. 1 angka 1.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

10

Universitas Indonesia

Bab II : Perjanjian Menurut KUHPerdata dan Perkembangannya

Bab ini berisi teori dasar perjanjian menurut KUHPerdata dan

perkembangannya dengan ditekankan pada beberapa asas termasuk asas

konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik dalam perjanjian

terutama dalam perjanjian yang melibatkan Hak Kekayaan Intelektual dan privity

of contract. Selain itu, bab ini juga menjelaskan sedikit mengenai berakhirnya

perjanjian.

Bab III: Landasan Teori Mengenai Franchising, Licensing dan

Distributorship.

Bab ini membahas konsep serta akibat hukum dari masing-masing

lembaga franchising, licensing dan distributorship secara mendalam. Pembahasan

dalam bab ini mencakup pengertian, elemen-elemen, jenis, pengaturan dalam

hukum positif Indonesia, hak dan kewajiban para pihak, hal-hal yang diatur dalam

perjanjian dan terakhir, prosedur yang harus ditempuh dalam masing-masing

lembaga.

Bab IV: Analisa Pengembangan Usaha Rica Rico

Bab ini akan membandingkan perbedaan dari ketiga lembaga tersebut

yang ditinjau dari beberapa sudut termasuk pengendalian dan pengawasan usaha,

kepemilikan usaha, kepemilika merek, objek perjanjian, adanya initial fee dan

royalty payment, dan peralihan teknologi. Selain itu, bab ini akan memaparkan

sifat dan jenis usaha Rica Rico serta keadaan usahanya pada saat ini. Berdasarkan

landasan Bab II dan Bab III dari skripsi ini, penulis akan menganalisa dan

menentukan lembaga yang paling sesuai dengan pengembangan usaha Rica Rico.

Berkenaan dengan hal ini, penulis akan mencoba untuk membentuk perjanjian

yang sesuai bagi Rica Rico.

Bab V: Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari pembahasan bab-bab diatas.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

11

Universitas Indonesia

BAB 2

PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA DAN PERKEMBANGANNYA

Pada era globalisasi seperti sekarang, telah bertumbuh berbagai hubungan

antar masyarakat terutama dalam hubungan usaha. Kebijakan pemerintah yang

membuka lebar pintu investasi ditambah dengan struktur hukum perikatan

Indonesia yang bersifat terbuka membuka peluang yang luas bagi pengusaha

untuk mengatur sendiri kegiatan usahanya melalui perjanjian yang sesuai dengan

kepentingan para pihak.

Perkembangan baru dalam dunia usaha tentunya menimbulkan

permasalahan baru dalam bidang perjanjian, tetapi pada saat ini, KUH Perdata

tidak lagi relevan dalam menjawab persoalan legalitas perjanjian dan perikatan

yang timbul karena perkembangan terbaru seperti e-commerce dan franchise.

Seiring perjalanan kehidupan bangsa, KUH Perdata yang diberlakukan di Hindia

Belanda (Indonesia) sejak 1 Mei 1948 berdasarkan asas konkordasi (concordantie

beginsel) sebagaimana diatur dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS)

terdesak untuk segera diperbaharui. Sebagaimana diterangkan dalam pidato

pengukuhan Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. sebagai guru besar tetap

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tuntutan perbaikan dan penyelarasan

hukum perdata penting untuk kemajuan ilmu dan teknologi.21

Bab ini akan memaparkan perjanjian berdasarkan KUH Perdata karena

pelaksanaan pengembangan usaha tidak lepas dari hukum perikatan dan

perjanjian. Disamping itu, penulis juga akan menjelaskan penerapan asas-asas

perjanjian pada hubungan hukum yang terjadi pada saat ini.

21 Bachtiar Sitanggang, “Release and Discharge, Tak Dikenal Dalam Sistem Hukum Indonesia”, <http://pandapotan.today.com/2009/04/24/prof-dr-rosa-agustina-trisnawati-sh/>, 23 April 2009.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

12

Universitas Indonesia

2.1 PENGERTIAN PERJANJIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERIKATAN

Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah:

“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”22

Dari perbuatan tersebut, timbullah suatu hubungan antara dua orang yang

dinamakan perikatan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perjanjian

merupakan sumber perikatan.23 Perikatan merupakan konsep yang abstrak,

sedangkan perjanjian merupakan konsep yang bersifat lebih konkrit.24

Pada umumnya, perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan

perikatan karena sebagian besar perikatan lahir dari perjanjian.25 Selain itu,

terdapat sumber perikatan lain yaitu undang-undang.26 Undang-undang sebagai

sumber perikatan dibedakan antara undang-undang saja dengan undang-undang

yang berhubungan dengan perbuatan orang; sedangkan yang terakhir dibedakan

antara perbuatan yang halal dan perbuatan melanggar hukum.

Perbedaan antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan undang-undang

adalah bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua

orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir

dari undang-undang bukan merupakan kemauan para pihak yang bersangkutan.

Berkaitan dengan pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUH

Perdata, terdapat kritik terhadap pasal ini karena definisi tersebut tidak

membedakan antara definisi perjanjian dalam lapangan hukum perkawinan

dengan perjanjian yang dimaksud dalam hukum perjanjian yang bersifat moral.27

Apabila dibandingkan dengan pengertian perjanjian oleh seorang ahli hukum M

22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), ps. 1313. 23 Subekti (a), Hukum Perjanjian, cet. 20, (Jakarta: Intermasa, 2004), hal. 1. 24Ibid., hal 3. 25 Ibid. 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps, 1233. 27 Sri Soesilowati Mahdi, Surni Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal. 134.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

13

Universitas Indonesia

Yahya Harahap, jelas bahwa perjanjian menurut hukum perikatan adalah

hubungan hukum di bidang harta kekayaan. Pengertian yang diberikan M Yahya

Harahap adalah sebagai berikut:

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”28

Dari definisi tersebut, hubungan hukum antara kedua belah pihak mengakibatkan

adanya hak dan kewajiban yang dapat dituntut dan dilaksanakan oleh para pihak

secara hukum. Hak tertuju pada perolehan prestasi sedangkan kewajiban tertuju

pada pelaksanaan prestasi yang bisa bersifat sepihak seperti hibah atau perjanjian

secara timbal balik seperti jual-beli.29

2.2 SYARAT SAH PERJANJIAN

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat 4 (empat) syarat sah

perjanjian, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Dua syarat pertama merupakan syarat subyektif, yang mana apabila tidak

dipenuhi, salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta kepada hakim supaya

perjanjian yang bersangkutan dibatalkan. Dengan demikian, perjanjian tetap

mengikat sepanjang tidak dibatalkan atas permintaan pihak yang berhak meminta

pembatalan, yaitu pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberi

kesepakatannya secara tidak bebas. Perjanjian seperti ini dinamakan voidable,

karena perjanjian tersebut selalu diancam dengan bahaya pembatalan.30

Sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat obyektif yang mana apabila tidak

28 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hal. 6. 29 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal. 135. 30 Subekti (a), loc. cit., hal. 20.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

14

Universitas Indonesia

dipenuhi mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void).

Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di hadapan

hakim.31 Selanjutnya, masing-masing syarat tersebut akan dijelaskan secara rinci.

2.2.1 Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Kesepakatan yang sah tidak boleh mengandung unsur kekhilafan, paksaan

dan penipuan.32 Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang

yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.33 Pada dasarnya,

kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali hakikat barang

atau diri seseorang merupakan pokok perjanjian tersebut.34 Hal penting yang

patut diperhatikan adalah pokok perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1322 ayat

(1) KUH Perdata. Menurut Prof. Prodjodikoro, Pasal 1322 KUH Perdata tidak

tegas karena dapat dipersoalkan apa yang dimaksud dengan pokok sari dari suatu

perjanjian.35 Sebagai contoh, seseorang mengira membeli beras dengan jenis

tertentu. Ternyata kemudian diketahui beras tersebut bukan jenis yang

sebelumnya diinginkan pembeli. Dalam hal ini, dapat diperdebatkan apakah

pokok sari dari perjanjian jual-beli tersebut jenis beras atau beras itu sendiri.

Dengan demikian, lebih tepat apabila Pasal 1322 ayat (1) KUH Perdata ditafsirkan

sedemikian rupa; bahwa kekhilafan hanya dapat menghalangi sahnya persetujuan

apabila mengenai tujuan dan maksud dari kedua belah pihak.36

Selanjutnya, kesepakatan tidak boleh mengandung unsur paksaan. Paksaan

merupakan segala perbuatan yang dapat menakutkan seseorang yang berpikiran

sehat, dan menimbulkan ketakutan bahwa dirinya atau kekayaannya terancam

dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.37 Paksaan yang dimaksud dapat

31 Ibid. 32 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps. 1321. 33 Subekti (b), Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 32, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 135. 34 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps. 1322. 35 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, cet 10, (Bandung: Bale Bandung, 1985), hal. 30. 36 Ibid. 37 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps. 1324.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

15

Universitas Indonesia

terjadi dalam bentuk paksaan rohani atau paksaan jiwa, dan paksaan fisik.38

Contoh paksaan rohani atau jiwa adalah ancaman rahasia seseorang akan

dibongkar atau anggota keluarganya akan disakiti, sedangkan contoh ancaman

fisik adalah ancaman seseorang akan dianiaya atau disiksa apabila tidak

menyetujui sesuatu. Dengan demikian, paksaan tersebut harus mengenai suatu

perbuatan yang dilarang undang-undang, karena apabila ancaman tersebut

merupakan hal yang diperbolehkan hukum seperti tuntutan pengadilan atau

menjalankan suatu putusan pengadilan, maka tidak termasuk sebagai paksaan. 39

Terakhir, kesepakatan tidak dapat mengandung unsur penipuan. Penipuan

terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-

keterangan yang tidak benar sehingga pihak lain terbujuk untuk memberikan

kesepakatannya.40 Pasal 1328 KUH Perdata mengatur bahwa tipu muslihat yang

digunakan harus terbukti dan digunakan sedemikian rupa sehingga terang dan

nyata bahwa pihak yang lain tidak akan membuat perikatan itu apabila tipu

muslihat tidak dilakukan.

2.2.2 Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata, orang-orang yang dinilai tidak

cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa

Dengan dewasanya seseorang, maka ia dianggap cakap untuk melakukan

perbuatan hukum seperti membuat perjanjian, menikah dan membuat wasiat.41

Sesuai dengan Pasal 330 KUH Perdata, orang-orang yang belum dewasa adalah

orang-orang yang belum genap mencapai dua puluh satu tahun dan belum pernah

menjalani perkawinan. Selanjutnya, Pasal 29 KUH Perdata mengatur usia

minimal untuk melangsungkan suatu perkawinan adalah 18 tahun bagi laki-laki

dan 15 tahun bagi perempuan. Apabila perkawinan seorang perempuan bubar

38 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal. 141. 39 Subekti (b), loc. cit., hal. 135. 40 Ibid. 41 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal. 22.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

16

Universitas Indonesia

sebelum ia genap mencapai dua puluh satu tahun, dia tetap dianggap sebagai

orang dewasa.

Pada umumnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(UU Perkawinan) tidak mengatur tentang kedewasaan secara eksplisit, namun UU

Perkawinan mengatur batas usia kekuasaan orang tua terhadap anak dan batas usia

minimal untuk perkawinan. Menurut Pasal 47 dan Pasal 50 UU Perkawinan, anak

yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan

pernikahan berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali, dalam hal anak

tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Selanjutnya Pasal 7 UU

Perkawinan mengatur batas minimum usia untuk suatu perkawinan adalah 16

tahun bagi perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Selain itu, Pasal 15 Kompilasi

Hukum Islam (KHI) mengarah pada UU Perkawinan dalam hal batas usia

minimum untuk melangsungkan suatu perkawinan.

Berdasarkan batas usia menurut UU Perkawinan dan KHI, terdapat suatu

kejanggalan karena seseorang yang sudah tidak di bawah kekuasaan orang tua

tetap harus mendapatkan izin untuk menikah dari orang tua apabila ia belum

mencapai usia 21 tahun.42 Selain itu, UU Perkawinan tidak menafsirkan lepasnya

kekuasaan orang tua sebagai kedewasaan. Prof. Wahyono Dharmabrata

berpendapat batas kedewasaan adalah mereka yang belum menikah dan belum

mencapai 21 tahun seperti yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 330 karena UU

Perkawinan pada umumnya tidak menyebutkan bahwa usia 18 tahun berarti sudah

dewasa.43

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang dewasa yang selalu berada dalam

keadaan dungu, sakit otak dan mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan.

Selain itu, orang dewasa juga dapat ditaruh dibawah pengampuan karena

keborosannya. Pasal 452 KUH Perdata mengatur bahwa orang yang ditaruh

42 Indonesia (e), ps. 6. 43 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cet. 1., (Jakarta: Rizkita, 2002) hal. 104-107.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

17

Universitas Indonesia

dibawah pengampuan mempunyai kedudukan yang sama dengan orang yang

belum dewasa.

c. Orang-orang perempuan, dan orang-orang tertentu yang dilarang untuk

membuat perjanjian tertentu.

Pasal 108 dan 110 KUH Perdata mengatur bahwa perempuan tidak dapat

melakukan perbuatan hukum atau menghadap hakim tanpa bantuan dari

suaminya. Namun ketentuan ini sudah tidak berlaku berdasarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963. Pada saat ini, menurut UU Perkawinan,

istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dengan suami.44 Dengan

demikian, perempuan dapat melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya, seperti harta bawaan.45

Selain cakap dalam lingkup perseorangan, terdapat juga lingkup cakap

bagi badan hukum perseroan terbatas yang diatur dalam Undang-Undang No. 40

Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT). UUPT memang tidak secara

eksplisit menyatakan kapan suatu perseroan dapat dianggap cakap untuk

melakukan perbuatan hukum, namun hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 2 UUPT

yang menyatakan bahwa perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta

kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan,

ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Maksud dan tujuan yang tertera dalam

anggaran dasar perseroan harus sesuai dengan kegiatan usaha serta izin-izin yang

diperoleh untuk menjalankan kegiatan usaha. Hal ini penting bagi kecakapan

perseroan dalam bertindak dan melakukan perbuatan hukum dengan subyek

hukum lain. Selain tujuan dan maksud perseroan sebagai hal yang paling

mendasar, untuk dapat melakukan perbuatan hukum, tentunya perseroan harus

mengikuti proses pendirian yang diatur dalam Pasal 7 hingga Pasal 14 UUPT

hingga mendapat status badan hukum agar dapat melakukan perbuatan hukum

seperti mengadakan perjanjian dengan pihak lain.

44 Indonesia (e), ps. 31. 45 Indonesia (e), ps. 36 ayat (2).

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

18

Universitas Indonesia

2.2.3 Suatu Hal Tertentu

Berdasarkan Pasal 1333 KUH Perdata, suatu perjanjian harus mempunyai

suatu barang pokok yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Dengan

demikian, obyek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat

dihitung dan dapat ditentukan jenisnya.46 Batasan terhadap barang pokok diatur

dalam Pasal 1332 KUH Perdata, yaitu hanya barang-barang yang dapat

diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Selain barang-

barang yang sudah ada, barang pokok juga dapat berupa barang-barang yang baru

akan ada sebagaimana diatur dalam Pasal 1334 KUH Perdata. Contoh perjanjian

dengan obyek yang akan ada adalah perjanjian bank garansi dimana kewajiban

bank untuk membayar pihak yang menerima jaminan hanya akan ada apabila

pihak yang dijamin wanprestasi dan tidak sanggup memenuhi prestasinya.

2.2.4 Suatu Sebab Yang Halal

Syarat terakhir untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang

halal. Kata “sebab” yang dimaksud adalah isi perjanjian dan bukan gagasan yang

menyebabkan seseorang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian.47 Menurut

Pasal 1337 KUH Perdata, sebab yang halal tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pengertian tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang yang

bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga apabila dilanggar dapat

membahayakan kepentingan umum.48 Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa syarat ini tidak berlaku mutlak terhadap semua ketentuan dalam

perundang-undangan. Para pihak dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan tertentu

yang mengatur hubungan antara kedua belah pihak sepanjang ketentuan yang

disepakati tidak membahayakan kepentingan umum. Sebagai contoh, ketentuan

Pasal 1460 KUH Perdata mengenai risiko jual-beli yang berada di tangan pembeli

46 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal 143. 47 Subekti (a), loc. cit., hal. 19. 48 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cet.2, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 99.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

19

Universitas Indonesia

dapat disimpangi berdasarkan kesepakatan pembeli dan penjual bahwa risiko

berada di tangan penjual.

2.3 ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN

Hukum perjanjian Indonesia yang diatur dalam Buku III KUH Perdata

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk

mengadakan perjanjian dengan isi apa saja sepanjang tidak melanggar undang-

undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam pelaksanaanya, terdapat 4

(empat) asas utama yang dianut dalam hukum perjanjian, yaitu asas

konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik, dan terakhir, asas

kepribadian.

2.3.1 Asas konsensualisme

Pengertian asas konsensualisme adalah perjanjian dan perikatan yang

timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.49 Dengan

demikian, perjanjian sudah sah dan mengikat tanpa suatu formalitas tertentu. Asas

konsensualisme tercermin dalam Pasal 1458 KUH Perdata mengenai perjanjian

jual-beli. Pasal ini mengatur bahwa jual-beli sudah terjadi seketika setelah kedua

belah pihak mencapai sepakat mengenai benda dan harga, meskipun benda

tersebut belum diserahkan (levering).

Terhadap asas konsensualisme terdapat pengecualian yaitu penerapan asas

konsensualisme terhadap perjanjian formil dan perjanjian riil.50 Perjanjian formil

ialah perjanjian yang disamping memenuhi kata sepakat, juga harus memenihi

formalitas tertentu. Contoh perjanjian formil dalam KUH Perdata adalah

perjanjian perdamaian yang harus dibuat secara tertulis sebagaimana diatur dalam

Pasal 1851 ayat (2) KUH Perdata. Selain itu, perjanjian waralaba juga merupakan

perjanjian formil karena harus dibuat dalam perjanjian tertulis dengan

menggunakan Bahasa Indonesia.51 Perjanjian riil adalah perjanjian yang harus

49 Subekti (a), loc. cit., hal. 15. 50 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal 145. 51 Indonesia (f), Peraturan Pemerintah tentang Waralaba, PP No. 42 Tahun 2007, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4742, ps. 4.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

20

Universitas Indonesia

memenuhi kata sepakat dan ditindaklanjuti dengan perbuatan tertentu. Contoh

perjanjian riil dalam KUH Perdata adalah perjanjian penitipan yang harus

ditindaklanjuti dengan penyerahan dari pihak yang menitipkan dan penerimaan

dari pihak yang dititipkan sebagaimana diatur dalam Pasal 1694 KUH Perdata.

Contoh lain perjanjian riil adalah perjanjian jual-beli tanah yang harus

ditindaklanjuti dengan penyerahan sertifikat hak atas tanah. Dalam praktek, pada

umumnya, perjanjian harus ditindaklanjuti dengan formalitas dan perbuatan riil

tertentu. Hal ini karena dengan adanya formalitas seperti perjanjian dalam bentuk

tertulis, para pihak lebih merasa aman karena perjanjian tersebut mempunyai

kekuatan hukum yang dapat dijadikan barang bukti dihadapan pengadilan apabila

terjadi sengketa, dibandingkan dengan kesepakatan lisan.

Pada waktu KUH Perdata baru diberlakukan pada tahun 1948, asas

konsensualisme tampak begitu jelas karena pada umumnya masyarakat bertemu

secara langsung dalam melakukan suatu hubungan hukum. Dengan demikian,

tempat dan waktu lahirnya suatu perjanjian dapat segera diketahui. Perkembangan

pesat dalam teknologi dan internet menimbulkan kerancuan mengenai kapan

kesepakatan ini terjadi antara kedua belah pihak dalam suatu transaksi elektronik.

Menurut Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi

yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. Persetujuan atas

penawaran transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Persoalan yang

timbul ialah kapan lahirnya suatu kesepakatan antara para pihak dalam transaksi

elektronik seperti ini.52 Menurut ajaran yang dianut sekarang, perjanjian harus

dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban

dalam pernyataan penerimaan, sebab detik itulah dapat dianggap lahirnya suatu

kesepakatan.53 Hal ini berhubungan erat dengan teori penerimaan dimana

52 “Internet Turut Mendorong Perkembangan Hukum Perjanjian,” <http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=21788&cl=Berita>, 22 April 2009.

53 Subekti (a), loc. cit.. hal. 28.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

21

Universitas Indonesia

perjanjian dianggap lahir pada saat pihak yang menawarkan menerima

persetujuan.54

2.3.2 Asas kebebasan berkontrak

Asas kekebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata

sebagai berikut:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Ketentuan tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk

membuat perjanjian dengan isi apa saja dan perjanjian tersebut akan mengikat

mereka yang membuatnya layaknya suatu undang-undang (pacta sunt servanda).

Hal ini seiring dengan sistem terbuka yang dianut dalam Buku III KUH Perdata.

Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUH Perdata merupakan

hukum pelengkap (optional law) dan dapat disimpangi apabila dikehendaki oleh

para pihak.55

Meskipun demikian, kebebasan dalam hukum perjanjian tidak berlaku

mutlak. Asas kebebasan berkontrak dibatasi dengan ketentuan dalam Pasal 1337

KUH Perdata yang mengatur bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Disamping itu,

ketentuan yang dapat disimpangi adalah ketentuan yang bersifat optional atau

pilihan, sedangkan ketentuan yang bersifat memaksa seperti syarat sah perjanjian

tidak dapat disimpangi.

Asas kebebasan berkontrak di satu sisi memberikan kepastian hukum bagi

para pihak yang membuat perjanjian,56 namun di sisi lain membuka luas pintu

masuknya lembaga-lembaga common law seperti Intellectual Property Rights

(Hak Kekayaan Intelektual - HAKI ) dan trust. Terdapat perdebatan bahwa

Indonesia belum siap dengan masuknya lembaga-lembaga common law ke dalam

struktur hukum nasional, namun kejadian tersebut juga tidak dapat dihalangi.

54 “Telekomunikasi dan Teknologi e-Commerce”, <http://cms.sip.co.id/hukumonline

/klinik_detail.asp?id=5517>, diakses pada tanggal 17 September 2009. 55 Subekti, loc. cit., hal. 13. 56 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal 146.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

22

Universitas Indonesia

Dengan maksud mendorong kreativitas, melindungi karya anak bangsa

dan meningkatkan efisiensi persaingan usaha, pemerintah telah mengambil

langkah menjadi anggota Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia atau

disebut juga World Intellectual Property Organization (WIPO) dan membentuk

kebijakan-kebijakan yang mengatur mengenai hak kekayaan intelektual seperti

hak cipta, rahasia dagang, merek, waralaba dan paten. Dengan demikian,

masyarakat Indonesia harus memberdayakan kesempatan yang ada agar tidak

dirugikan oleh keberadaan lembaga hak kekayaan intelektual itu sendiri.

Kemudian untuk lembaga trust yang mendalilkan seorang yang menguasai belum

tentu merupakan pemilik, hingga saat ini Indonesia belum mengakui lembaga

tersebut. Walaupun demikian, konsep trust sudah banyak digunakan oleh

pengusaha asing di Indonesia dengan tujuan menguasai asset dalam suatu

perusahaan dalam negeri. Persoalan timbul ketika terjadi sengketa antar

pengusaha asing dengan pengusaha lokal, kemudian pengusaha asing dirugikan

karena pengadilan memutuskan tidak mengakui lembaga trust. Dari contoh-

contoh diatas, dapat diketahui bahwa sistem terbuka hukum perjanjian nasional

perlu didampingi dengan pembaruan hukum seiring dengan perkembangan yang

terjadi karena KUH Perdata sudah tidak lagi relevan dalam menjawab persoalan

baru yang timbul dalam hubungan antar masyarakat pada saat ini.

2.3.3 Asas itikad baik

Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang

menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik berhubungan erat dengan penafsiran

perjanjian sesuai dengan sifat perjanjian, kepatutuan, kebiasaan dan undang-

undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Itikad baik dapat

dibedakan menjadi itikad baik subyektif dan itikad baik obyektif.57 Itikad baik

subyektif, adalah penilaian dan kesadaran sendiri apakah tindakannya

bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah penilaian

masyarakat umum terhadap tindakan tersebut.

57 Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 72.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

23

Universitas Indonesia

Selain diatur dalam KUH Perdata, asas itikad juga diatur dalam Pasal 26

dari Vienna Convention on the Law of Treaties yang juga disebut sebagai

Konvensi Wina sebagai berikut:

“Pacta sunt servanda: Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”

Konsep itikad baik sudah sejak lama diterapkan dalam sistem hukum

common law maupun civil law. Sebagai contoh, Article 1134 French Civil Code

pada awalnya haya mengatur asas pacta sunt servanda dengan ketentuan yang

menyatakan “The contract is law between the parties,” namun pada akhir abad ke-

18, para ahli hukum Prancis mengembangkan penerapan asas itikad baik dalam

tahap perumusan perjanjian (the duty of good faith in negotiation) dan tahap

pelaksanaan perjanjian.58 Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak dibatasi

dengan asas itikad baik. Hal ini berbeda dengan penerapan asas itikad baik

menurut KUH Perdata karena Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata hanya

menekankan itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian. Di negara yang

menganut sistem common law seperti Amerika Serikat, pengadilan menerapkan

doktrin promissory estoppel untuk memberikan perlindungan hukum kepada

pihak yang dirugikan karena menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang

diberikan lawannya dalam tahap pra-kontrak.59

Penerapan asas itikad baik dalam bidang HAKI mengarah pada itikad

baik untuk tidak menjiplak karya orang lain tanpa izin berdasarkan aturan yang

berlaku. Ketentuan itikad baik dalam HAKI tercermin dalam Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menyatakan bahwa merek

tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang

beriktikad tidak baik. Dalam perjanjian yang berkaitan dengan HAKI, asas itikad

baik berperan sangat penting karena salah satu pihak akan memberikan hak atas

rahasia dagang, merek ataupun sistem perdagangan untuk digunakan oleh pihak

58 Alberto M. Musy, “The Good Faith Principel in Contract Law and the Precontractual Duty to Disclose: Comparative Analysis of New Differences in Legal Cultures,” <http://www.icer.it/docs/wp2000/Musy192000.pdf>, Desember 2000. 59 Suharnoko, Hukum Perjanjian, cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 3.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

24

Universitas Indonesia

lainnya. Persoalan mengenai itikad baik adalah sulitnya merumuskan itikad baik

yang mengakibatkan kesulitan dalam pembuktian, sehingga sering kali orang

menjelaskan dihadapan pengadilan melalui peristiwa-peristiwa konkrit. Alhasil,

pembuktian itikad baik sangat tergantung pada interpretasi hakim.

2.3.4 Asas kepribadian (privity of contract)

Asas ini diatur dalam Pasal 1340 KUH Perdata sebagai berikut:

“ Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317.”

Berdasarkan asas ini, suatu perjanjian hanya meletakkan hak dan

kewajiban antara para pihak yang membuatnya sedangkan pihak ketiga yang tidak

ada kaitannya dengan perjanjian tersebut tidak terikat.60 Terhadap asas

kepribadian ini terdapat tiga pengecualian. Pengecualian pertama adalah

pengecualian yang dinamakan janji untuk pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 1317

KUH Perdata, dalam suatu perjanjian antara kedua belah pihak, dapat ditetapkan

suatu janji guna kepentingan pihak ketiga. Pengecualian kedua adalah perjanjian

garansi yang diatur dalam Pasal 1316 KUH Perdata. Dalam perjanjian ini, pihak

ketiga dibebani kewajiban untuk melakukan prestasi apabila pihak yang berjanji

melakukan prestasi tidak dapat memenuhui janjinya. Pengecualian ketiga adalah

keberlakuan perjanjian terhadap ahli waris dari pihak yang mengadakan

perjanjian. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1318 KUH Perdata.

Dalam sebuah jurnal hukum yang disusun oleh Hong Kong Law Reform

Commission, pengertian doctrine of privity mempunyai pengertian sebagai

berikut:

“The doctrine of privity of contract ("the doctrine of privity") holds that a contract cannot confer rights or

60 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal 147.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

25

Universitas Indonesia

impose obligations on any persons other than the parties to the contract.”61

Dalam kasus Tweddle v Atkinson (1861), kasus yang diperkirakan

menetapkan doctrine of privity, pengadilan melalui hakim dengan nama

Wightman J, memutuskan bahwa tidak ada pihak yang tidak memberikan kontra

prestasi dapat mengambil keuntungan dari suatu kontrak walaupun kontrak

tersebut dibuat demi kepentingannya. Kasus tersebut adalah mengenai John

Tweedle dan William Guy yang berjanji untuk masing-masing memberikan

sejumlah uang kepada William Tweedle sebagai hadiah perkawinannya. Pada saat

William Guy tidak melaksanakan prestasi tersebut, William Tweedle menggugat

ayah mertuanya, Willam Guy. Kutipan bagian dari putusan hakim adalah sebagai

berikut:

“no stranger to the consideration could take advantage of a contract though made for his benefit.”62

Doktrin ini kemudian ditekankan kembali dalam kasus Dunlop Pneumatic

Tyre Co Ltd v Selfridge & Co Ltd (1915). Kasus posisi secara singkat adalah

bahwa Dunlop sebagai suatu perusahaan pabrik ban, membuat perjanjian dengan

Dew, suatu perusahaan trading ban, tentang jual beli ban. Perjanjian jual-beli

tersebut disertai dengan ketentuan bahwa Dew tidak boleh menjual dibawah harga

yang sudah ditetapkan Dunlup. Demikian juga ketentuan tersebut berlaku bagi

perusahaan trading lainnya yang membeli ban tersebut dari Dew. Kemudian, Dew

menjual ban kepada Selfridge dan Selfriidge menjual dibawab harga yang sudah

ditetapkan. Dengan demikian, Dunlop menggugat Selfridge dan menuntut ganti

rugi. Dalam putusannya, dinyatakan bahwa hanya pihak yang memberikan kontra

prestasi mempunyai hak untuk menuntut haknya.63 Melalui putusan-putusan

pengadilan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa landasan doctrine of privity

dalam common law erat hubungannya dengan rule of consideration.

61 Hong Kong Law Reform Commission, “Sub-Committee on Privity of Contract Consultation Paper,” <http://www.hklii.org/hk/other/hklrc/cp/2004/05/2.html#Heading430>, diakses 4 September 2009. 62 Ibid. 63 Ibid.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

26

Universitas Indonesia

Consideration adalah suatu kontra prestasi yang berupa janji, harga atau

perbuatan.64 Dengan demikian, hanya pihak yang memberikan kontra-prestasi

yang berhak menuntut haknya dihadapan pengadilan.

2.4 HAPUSNYA PERJANJIAN

Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya perjanjian.

Cara-cara tersebut adalah:

a. Pembayaran;

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpangan atau

penitipan;

c. Pembaruan utang;

d. Perjumpaan utang atau kompensasi;

e. Pembebasan utang;

f. Pembebasan utang;

g. Musnahnya barang yang terutang;

h. Batal / pembatalan;

i. Berlakunya suatu syarat batal; dan

j. Lewatnya waktu.

Cara-cara diatas bukan bersifat limitatif karena masih terdapat cara-cara

hapusnya perjanjian diluar cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 1381 KUH

Perdata, yaitu:65

a. Jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian tersebut telah berakhir,

b. Adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut,

c. Ditentukan oleh undang-undang, misalnya perjanjian akan berakhir

dengan meninggalnya salah satu pihak peserta perjanjian tersebut

sebagaimana diatur dalam Pasal 1318 KUH Perdata,

d. Adanya putusan hakim, dan

e. Tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai.

64 Suharnoko, loc. cit., hal 10. 65 Juajir Sumardji, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 43.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

27

Universitas Indonesia

Selanjutnya, cara-cara hapusnya perjanjian menurut Pasal 1381 KUH

Perdata akan dijelaskan satu-per-satu dibawah ini.

2.4.1 Pembayaran

Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela.66

Pembayaran ini merupakan pelaksanaan perjanjian dalam arti yang sebenarnya,

yaitu bahwa dengan pembayaran ini tercapailah tujuan perjanjian sebagaimana

telah disepakati kedua belah pihak pada saat perjanjian dibentuk.67

Selanjutnya, pihak yang melakukan pembayaran, pihak yang menerima

pembayaran dan tempat pembayaran adalah hal-hal penting dalam suatu

pembayaran. Menurut Pasal 1382 KUH Perdata, terdapat tiga pihak yang berhak

melakukan pembayaran, yaitu debitur, penanggung, dan pihak ketiga, selama

pihak ketiga tersebut bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau

pihak ketiga yang bertindak atas namanya sendiri namun tidak mengalihkan hak-

hak piutang kepadanya. Selanjutnya, pembayaran harus dilakukan kepada

kreditur, seorang yang dikuasakan olehnya, atau seorang yang dikuasakan oleh

hakim atau Undang-undang untuk menerima pembayaran. Berkaitan dengan

tempat pembayaran, pada umumnya diatur dalam perjanjian. Namun apabila tidak

diatur, Pasal 1393 KUH Perdata dan Pasal 1477 KUH Perdata mengatur bahwa

pembayaran dilakukan dimana barang tersebut diserahkan. Untuk utang-utang

yang berupa uang, pada asasnya harus diantarkan sampat ditempat kreditur.

Salah satu akibat dari pembayaran adalah timbulnya subrogasi. Subrogasi

terjadi karena pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur baik

secara langsung maupun tidak langsung, yaitu melalui debitur yang meminjam

uang dari pihak ketiga.68 Selanjutnya, pihak ketiga menggantikan kedudukan

kreditur lama sebagai kreditur baru terhadap debitur. Dengan demikian, segala

hak-hak dalam perjanjian acessoir yang menyertai perjanjian pokok juga akan

beralih kepada kreditur baru.

66 Subekti (a), loc. cit., hal. 64. 67 Prodjodikoro, loc. cit., hal. 95. 68 Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, cet. 3, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 1.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

28

Universitas Indonesia

Menurut Pasal 1400 KUH Perdata, subrogasi terjadi dengan suatu

persetujuan atau undang-undang. Subrogasi yang terjadi dengan suatu persetujuan

dibagi menjadi persetujuan antara kreditur dan pihak ketiga, dan antara debitur

dan pihak ketiga. Dalam hal persetujuan terjadi antara kreditur dan pihak ketiga,

kreditur menerima pembayaran utang dari pihak ketiga dan seketika itu ditegaskan

bahwa dengan itu kreditur menyatakan bahwa pihak ketiga menggantikan kreditur

perihal hak-hak, gugatan dan hak-hak lain yang bersifat didahulukan. Dengan

demikian, kreditur lama tidak lagi berhak atas piutang tersebut dan pihak ketiga

menjadi kreditur baru. Dalam hal persetujuan terjadi antara debitur dan pihak

ketiga, maka debitur menerima uang dari pihak ketiga dan menggunakan uang

tersebut untuk melunasi utangnya kepada kreditur. Berdasarkan Pasal 1402 KUH

Perdata, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk subrogasi seperti ini,

yaitu:

• perjanjian pinjam uang dan tanda pelunasan harus dibuat dengan surat

otentik

• harus diterangkan dalam surat perjanjian uang bahwa uang tersebut

dipinjam guna melunasi utang yang bersangkutan.

• surat tanda pelunasan harus menerangkan bahwa pembayaran

dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru.

Dalam sistem common law, doktrin subrogasi dipandang sebagai upaya

pemulihan hukum (remedy) berupa restitusi untuk mencegah terjadinya unjust

enrichment atau memperkaya diri secara tidak adil.69 Menurut Charles Mitchell

dalam bukunya The Law of Subrogation, subrogasi dapat dibedakan atas simple

subrogation dan reviving subrogation. Dalam simple subrogation, pembayaran

yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur tidak menghapuskan kewajiban

debitur kepada kreditur. Bahkan kreditur masih berhak menuntut pembayaran dari

debitur. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya unjust enrichment, pihak

ketiga dapat meminta supaya dilakukan subrogasi. Dalam hal ini pihak ketiga

bertindak dengan menggunakan nama kreditur meminta pembayaran dari debitur.

Untuk reviving subrogation, pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga

69 Suharnoko dan Hartati, loc. cit., hal. 2.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

29

Universitas Indonesia

kepada kreditur mengakibatkan hapusnya kewajiban debitur kepada kreditur.

Karena itu, hukum memberikan hak kepada pihak ketiga untuk melakukan

sebrogasi dengan menggantikan kedudukan kreditur lama untuk menuntut

pembayaran dengan menggunakan namanya sendiri. Dengan demikian, simple

subrogation dipandang sebagai restitusi atas unjust enrichment kreditur sedangkan

reviving subrogation dipandang sebagai restitusi atas unjust enrichment debitur.

Dari paparan diatas, maka dapat dilihat bahwa doktrin subrogasi yang

dianut dalam KUH Perdata lebih mendekati doktrin reviving subrogation apabila

dibandingkan dengan doktrin dalam common law.

2.4.2 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpangan atau

penitipan

Cara pembayaran ini diatur dalam Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412

KUH Perdata dan dilakukan apabila kreditur menolak pembayaran. Dalam hal

kreditur tetap menolak pembayaran yang ditawarkan melalui notaris, maka debitur

dapat melakukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan

penawaran pembayaran yang telah dilakukan. Setelah itu, uang atau barang yang

menjadi obyek pembayaran akan dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri

dan dengan demikian, hapuslah utang piutang tersebut.

2.4.3 Pembaruan utang atau novasi

Novasi diatur dalam Pasal 1413 KUH Perdata. Dalam novasi atau

pembaruan utang, perikatan yang lama hapus sehingga lahir perikatan baru.

Dengan demikian, pokok perikatan baru dapat berbeda dari pokok perikatan lama.

Terdapat dua macam novasi, yaitu novasi obyektif dan novasi subyektif.70 Novasi

obyektif terjadi apabila perikatannya yang diperbarui. Misalnya, suatu perjanjian

jual-beli yang diperbarui menjadi perjanjian pinjam-meminjam uang. Artinya di

sini sisa pembayaran harga yang belum dibayar oleh pembeli diakui sebagai utang

dalam perjanjan pinjam-meminjam.

Disamping itu dikenal pula novasi subyektif dimana terjadi kesepakatan

tiga pihak antara debitur, kreditur dan pihak ketiga untuk melakukan pembaruan

70 Ibid., hal. 58.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

30

Universitas Indonesia

utang. Novasi subyektif dibagi kembali menjadi dua, yaitu novasi subyektif aktif

apabila kreditur dalam perikatan yang lama diganti oleh pihak ketiga, dan novasi

subyektif pasif dalam hal debitur dalam perikatan yang lama diganti oleh pihak

ketiga sebagai debitur dalam perikatan yang baru.

Novasi berbeda dengan subrogasi dalam beberapa hal. Pertama, dalam

subrogasi, perikatan antara kreditur lama dan debitur hapus karena pembayaran

dan kemudian perikatan tersebut hidup kembali antar pihak ketiga dan debitur

sehingga kreditur baru menggantikan posisi kreditur lama. Dalam novasi, pihak

kreditur dan debitur sepakat untuk menghapuskan perikatan lama dan

menggantikannya dengan perikatan baru. Selain itu, dalam subrogasi, perjanjian

yang bersifat accesoir ikut beralih kepada kreditur karena mengikuti perjanjian

pokoknya yang beralih kepada kreditur baru, sedangkan dalam novasi perjanjian

accesoir menjadi hapus karena mengikuti perjanjian pokoknya yang hapus,

kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian. Dalam novasi, hak jaminan yang bersifat

accesoir seperti gadai dan hipotek harus dipasang kembali oleh kreditur baru

dengan persetujuan debitur.71

2.4.4 Perjumpaan utang atau kompensasi

Cara penghapusan utang ini dijalankan dengan memperjumpakan atau

memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.

Pasal 1424 KUH Perdata menerangkan apabila dua orang saling berutang satu

dengan yang lain, maka antara mereka terjadilah suatu perjumpaan utang, dengan

mana utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Agar perjumpaan dapat

terjadi, kedua utang tersebut harus seketika dapat ditetapkan jumlahnya dan

seketika dapat ditagih. Selain itu, Pasal 1427 KUH Perdata menyatakan bahwa

kedua utang itu harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat

dihabiskan, dari jenis dan kwalitas yang sama.

2.4.5 Percampuran utang

Pasal 1436 KUH Perdata menyatakan bahwa apabila kedudukan sebagai

kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum

suatu percampuran utang dengan mana utang piutang tersebut dihapuskan. Hal ini

71 Ibid.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

31

Universitas Indonesia

dapat terjadi dalam kondisi si debitur ditunjuk sebagai ahli waris kreditur dalam

suatu testamen, atau si debitur kawin dengan krediturnya dan terjadi persatuan

harta kawin. Percampuran utang terjadi secara hukum yang berarti secara

otomatis. Selanjutnya, Pasal 1437 KUH Perdata mengatur bahwa percampuran

yang terjadi pada diri si penanggung utang tidak mengakibatkan hapusnya utang

pokok.

2.4.6 Pembebasan utang

Pembebasan utang terjadi apabila kreditur dengan jelas menyatakan tidak

menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran

atau pemenuhan perjanjian. Pasal 1438 KUH Perdata menegaskan bahwa

pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Salah satu

bukti yang cukup untuk menyatakan pembebasan utang adalah penyerahan tanda

piutang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur. Pengembalian barang

gadai bukanlah bukti yang cukup karena perjanjian gadai merupakan perjanjian

accesoir dari perjanjian utang-piutang. Perbedaannya dengan pemberian adalah

bahwa pembebasan utang menghapuskan perikatan dan tidak dapat mengalihkan

hak milik, sedangkan pemberian justru meletakkan suatu perikatan seperti hibah

yang bertujuan memindahkan hak milik.

2.4.7 Musnahnya barang yang terutang

Apabila benda yang menjadi obyek perjanjian musnah, tidak lagi dapat

diperdagangkan, atau hilang, maka perikatan tersebut menjadi hapus selama benda

tersebut hilang atau musnah diluar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai

menyerahkannya. Walaupun ia lalai dalam penyerahan barang, debitur juga bebas

dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa musnahnya benda tersebut

disebabkan oleh kejadian diluar kekuasaannya. Dengan kedudukan debitur yang

sudah hapus dari perikatan, maka segala hak yang mungkin dapat dilakukannya

terhadap pihak ketiga atas obyek tersebut wajib diserahkan kepada kreditur. Hal

ini selaras dengan risiko yang ada di tangan pembeli sejak terjadinya jual-beli

sebagaimana diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata. Apabila oleh karena satu atau

lain hal risiko ditanggung oleh penjual, maka hak untuk menuntut atas benda yang

musnah juga berada pada penjual.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

32

Universitas Indonesia

2.4.8 Batal / pembatalan

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan

pembatalan melalui dua cara. Pertama, secara aktif menuntut pembatalan

perjanjian di depan hakim. Kedua, secara pembelaan, yaitu menuggu sampai

digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan pada saat itulah

menunjukkan kekurangan perjanjian tersebut. Untuk penuntutan aktif dibatasi

dengan jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 1454 KUH

Perdata, sedangkan untuk pembatalan secara pembelaan tidak terdapat batas

waktu. Penuntutan pembatalan tidak akan diterima hakim apabila sudah ada

“penerimaan baik” dari pihak yang dirugikan karena “penerimaan baik” dianggap

sebagai pelepasan hak atas permintaan pembatalan perjanjian. Akan tetapi KUH

Perdata tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘penerimaan baik’, undang-

undang hanya menyatakan bahwa tuntutan pernyataan pembatalan gugur apabila

pihak yang tidak memenuhi syarat subyektif dalam perjanjian secara tegas atau

diam-diam telah menguatkan perikatannya.72

2.4.9 Berlakunya suatu syarat batal

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang nasibnya digantungkan ada

suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi.73

Terdapat dua kemungkinan yaitu pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila

peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Kedua, perikatan yang sudah dilahirkan justru

berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan

semacam ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal. Sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang

apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali

pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dari pasal

tersebut juga dapat disimpulkan bahwa suatu syarat batal berlaku surut hingga

saat lahirnya perjanjian.

72 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps. 1456. 73 Subekti (a), loc. cit., hal. 76

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

33

Universitas Indonesia

2.4.10 Lewatnya waktu

Pasal 1496 KUH Perdata memberi pengertian daluwarsa, yaitu

“suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.”

Terdapat dua macam daluwarsa yaitu daluwarsa acquisitif dan

daluwarsa extinctive.74 Daluwarsa acquisitif adalah daluwarsa untuk

memperoleh suatu hak milik atas suatu barang sedangkan daluwarsa

extinctive adalah daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan.

Daluwarsa acqusitif diatur dalam Buku II tentang Benda sedangkan

daluwarsa extinctif diatur dalam Buku IV bersama-sama dengan

pembuktian. Pada dasarnya, Pasal 1967 KUH Perdata mengatur bahwa

segala tuntutan hapus daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh)

tahun. Dengan lewatnya waktu, hapuslah setiap perikatan hukum dan

tinggalah suatu perikatan bebas yang artinya pemenuhan prestasi dapat

dilakukan tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim.

74 Subekti (a), loc. cit., hal. 77.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

34

Universitas Indonesia

BAB 3

LANDASAN TEORI MENGENAI WARALABA, LISENSI DAN

DISTRIBUTORSHIP

3.1 LANDASAN TEORI WARALABA

3.1.1 Pengertian Umum Waralaba

Franchise berasal dari bahasa Perancis yang berarti bebas atau bebas dari

perhambaan atau perbudakan (free from servitude). Apabila dihubungkan dengan

konteks usaha, franchise berarti kebebasan yang diperoleh seseorang untuk

menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu. Sedangkan

pewaralabaan (franchising) adalah suatu aktivitas dengan sistem waralaba

(franchise), yaitu suatu sistem keterkaitan usaha yang saling menguntungkan

antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.75

Berikut adalah beberapa definisi yang diberikan sumber yang

berkompeten:

a. Gareth R. Jones dan Jennifer M. George

“Franchising is selling to a foreign organization the rights to use a brand name and operating know-how in return for a lump-sump payment and a share of the profits.”76

Menurut Jones dan George, franchising adalah menjual kepada pihak

mencanegara suatu merek sekaligus cara pengoperasiannya untuk mendapatkan

sejumlah pembayaran yang disebut initial fee atau franchise fee dan bagian dari

keuntungan yang disebut royalty.

b. Pradmod Khera

“Franchisisng is a method of distribution that a Pemberi Waralaba, who has perfected a business concept, adopts to

75 Iman Sjahputra Tunggal, Franchising Konsep & Kasus, (Jakarta: 2004, Harvarindo), hal. 1. 76 Gareth R. Jones dan Jennifer M. George, Contemporary Management, ed. 3, (McGraw-Hill: Irwin, 2003), hal. 1.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

35

Universitas Indonesia

transfers the knowledge, with a follow-up mechanism, to a Penerima Waralaba wanting to set up a entrepreneurial business. Franchising uses the strength, power and experience of the ‘chain’ or ‘network’ of a large organization and entrepreneurial skills and commitment of a proprieter or a small business unit.”77

Menurut definisi Khera, selain adanya transfer pengetahuan dan

mekanisme tindak lanjut, ‘mata rantai’ atau ‘jaringan’ dari organisasi besar

merupakan kata kunci dan faktor keberhasilan sistem waralaba.

c. Gregory Matusky (The Franchise Hall of Fame, 1994)

“The science of franshising is an exacting one; products and services are delivered according to tightly wrapped operating formulas. There is no variance. A product is developed and honed under the watchful eye of the Pemberi Waralaba, then offered by Penerima Waralabas under strict quality standards. The result: a democratization of products and services. Hamburgers that taste as good in Boston as in Beijing.”78

Definisi dari Matusky menekankan standarisasi kualitas dalam

pewaralabaan karena ketatnya pengawasan Pemberi Waralaba dan kewajiban

untuk mematuhi sistem operasional yang sudah ditetapkan. Dapat disimpulkan

dari definisi tersebut bahwa tidak ada ruang dan kebebasan bagi Penerima

Waralaba untuk menetapkan peraturan sendiri. Akibatnya adalah kualitas produk

yang sama dimanapun unit franchise di buka.

Di Indonesia, konsep franchise diterjemahkan dengan istilah waralaba.

Kata ‘waralaba’ pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan

Pembinaan Manajemen (LPPM) sebagai pandanan kata franchise. Waralaba

berasal dari kata ‘wara’ yang berarti lebih atau istimewa dan ‘laba’ berarti untung.

Dengan demikian, waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan yang

lebih atau istimewa, berbeda dengan sistem bisnis konvensional yang sudah ada.79

77 Pradmod Khera, Franchising: The Route Map to Rapid Business Excellence, (Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd.: New Delhi, 2001), p. 3. 78 Gregory Matusky, “The Franchise Hall of Fame”, dalam Iman Sjahputra Tunggal, Franchising Konsep & Kasus, (Jakarta: 2004, Harvarindo), hal. 3. 79 Hakim, loc. cit. hal. 16.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

36

Universitas Indonesia

Selain definisi yang berasal dari narasumber asing, berikut adalah definisi

dari pakar waralaba Indonesia:

d. V. Winarto

“Waralaba adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang usahanya kuat dan sukses dengan usahawan yang relatif baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan khususnya dalam bidang usaha penyediaan produk dan jasa langsung kepada konsumen.”80

e. Iman Sjahputra Tunggal

“Salah satu bentuk kesepakatan yaitu pemilik dari suatu produk atau jasa mengizinkan orang lain untuk membeli hak distribusi produk atau jasa tersebut dan mengoperasikannya dengan bantuan pemilik.”81

Terakhir, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba (PP

Waralaba) Pasal 1 ayat (1) juga mengatur definisi waralaba sebagai berikut:

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”

3.1.2 Elemen-elemen Pokok Waralaba

Berdasarkan semua pengertian yang telah dipaparkan diatas, dapat

disimpulkan bahwa franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok

sebagai berikut:82

a. Pemberi Waralaba yaitu pihak pemilik/ produsen dari barang atau jasa yang

telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak

eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa.

b. Penerima Waralaba yaitu pihak yang menerima hak eksklusif itu dari

Pemberi Waralaba.

80 V. Winarto, “Pengembangan Waralaba (Franchising) di Indonesia: Aspek Hukum dan Non Hukum”, dalam Juajir Sumadji, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, (PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 1995), hal. 19. 81 Tunggal, loc. cit., hal. 44. 82 P. Lindawaty S. Sewu, Franchise: Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi, CV. Utomo, Bandung, 2004, hlm. 13-14.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

37

Universitas Indonesia

c. Penyerahan hak-hak secara eksklusif yang meliputi berbagai macam hak

milik intelektual atau hak milik perindustrian dari Pemberi Waralaba

kepada Penerima Waralaba.

d. Franchise area yaitu penetapan wilayah di mana Penerima Waralaba

diberikan hak untuk beroperasi di wilayah tertentu. Hak tersebut juga

merupakan batasan wilayah bagi Penerima Waralaba untuk melakukan

usaha.

e. Adanya imbal-prestasi dari Penerima Waralaba kepada Pemberi Waralaba

yang berupa initial fee, royalty serta biaya-biaya lain yang disepakati kedua

belah pihak.

f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba bagi

Penerima Waralaba, serta supervisi secara sukarela dalam rangka

mempertahankan mutu.

g. Adanya pelatihan awal yang bersifat berkesinambungan, yang

diselenggarakan oleh Pemberi Waralaba guna peningkatan keterampilan.

Menurut Robert T. Justis dan William Slater Vincent, terdapat tiga elemen

penting dari mekanisme franchise, yaitu:83

a. Penerima Waralaba yang menggunakan nama Pemberi Waralaba dan

mereknya.

b. Pemberi Waralaba menyediakan bagi Penerima Waralaba berupa bantuan

yang diperlukan Penerima Waralaba untuk menjalankan bisnisnya.

c. Penerima Waralaba membayar kepada Pemberi Waralaba sejumlah uang

dalam kurun waktu satu semester.

Dari uraian elemen tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pemberi Waralaba,

Penerima Waralaba dan initial franchise fee adalah tiga elemen yang harus ada

dalam franchise. Namun apabila dicermati, fenomena yang terkadang terjadi

83 Robert T. Julius dan William Slater Vincent, Achieving Wealth Through Franchising: A Comprehensive Manual to Finding, Starting and Succeeding in a Franchise Business, (Adam Media Corp, 2001), hal. 400.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

38

Universitas Indonesia

adalah penawaran usaha dengan sistem franchise tanpa dikenakan initial franchise

fee. Fenomena itu dapat terjadi apabila:84

a. Pemberi Waralaba belum berpengalaman sehingga kompetensinya belum

layak jual. Kurangnya pengalaman Pemberi Waralaba menunjukkan tingkat

keberhasilan usaha yang belum terjamin.

b. Sistem belum teruji dalam kurun waktu yang lama.

c. Pemberi Waralaba hanya menghendaki Penerima Waralaba sebagai

perpanjangan tangan dari pemasaran produknya sehingga dapat

menjangkau pasar yang lebih luas.

d. Prospek pasar dari usaha yang dikembangkan itu belum teruji secara

menyeluruh sehingga usaha franchise tersebut belum bernilai tinggi.

3.1.3 Tipe-Tipe Waralaba

Secara umum, sistem franchise dibedakan menjadi dua kategori besar,

yaitu Waralaba Produk dan Merek Dagang, serta Waralaba Format Bisnis. Leon

C. Megginson dan kawan-kawannya membagi dua tipe sistem kewaralabaan

sebagai berikut:85

a. Product and Trademark Franchising (Waralaba Produk dan Merek

Dagang)

Dalam format ini, Pemberi Waralaba memberikan kepada Penerima

Waralaba hak untuk menjual secara luas suatu produk atau brand tertentu.

Dalam hal ini, Pemberi Waralaba menghasilkan produk dan Penerima

Waralaba menyediakan outlet untuk produk yang dihasilkan Pemberi

Waralaba. Contoh franchise tipe ini adalah Shell dimana Pemberi Waralaba

yang berpusat di Belanda yang memproses gas dan minyak dan Penerima

Waralaba di Indonesia hanya menjual produk dengan menggunakan merek

Shell dan menyediakan outlet sesuai dengan ketentuan dari Pemberi

Waralaba.

84 Hakim, loc. cit., hal. 20. 85 Leon C. Megginson, Mary Jane Byrd, dan William L. Megginson, Small Business Management: an Entrepreneur’s Guidebook, (Irwin: McGraw-Hill, 2003), hal. 79.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

39

Universitas Indonesia

b. Business Format Franchising (Waralaba Format Bisnis)

Franshisor memberikan kepada Penerima Waralaba hak untuk memasarkan

suatu produk atau merek dagang tertentu serta menggunakan sistem operasi

lengkap dari Pemberi Waralaba. Dalam format ini, Penerima Waralaba

diberi lisensi untuk melakukan usaha dengan menggunakan paket bisnis

dan merek dagang yang telah dikembangkan oleh Pemberi Waralaba.

Contoh yang paling sering digunakan adalah McDonald dimana Penerima

Waralaba di seluruh dunia tidak hanya menjual produk McDonald tetapi

juga menggunakan sistem operasional dari Pemberi Waralaba dari

ketentuan proses persiapan makanan hingga metode pelayanan terhadap

pelanggan.

Selain Product and Trademark Franchising dan Business Format

Franchisin, Iman Sjahputra Tunggal menambahkan satu jenis waralaba yang tidak

disebutkan oleh Leon C. Megginson dan kawan-kawannya , yaitu Manufacturing

franchising (Product distribution franchising). Pembagian jenis waralaba menurut

Iman Sjahputra Tunggal adalah sebagai berikut:86

a. Product franchising (trade-name franchising)

Dalam tipe franchising ini, dealer diberikan hak untuk mendistribusikan

dan menjual produk manufacturer. Untuk hak tersebut, dealer membayar

fee kepada produsen. Praktik ini pertama kali digunakan oleh Singer

Corporation yang mendistribusikan mesin jahitnya, kemudian tipe

franchise ini digunakan dalam usaha pompa bensin dan industri otomotif.

b. Manufacturing franchising (Product distribution franchising)

Dalam jenis franchising ini, francisor memberikan hak eksklusif kepada

Penerima Waralaba untuk memproduksi dan mendistribusikan produk di

daerah tertentu. Franchise tipe ini paling umum digunakan dalam industri

minuman ringan seperi Pepsi Cola dan Coca-Cola.

86 Tunggal, loc. cit., hal. 16

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

40

Universitas Indonesia

c. Business-format franchising (Pure/ comprehensive franchising)

Pemberi Waralaba menawarkan serangkaian jasa yang luas kepada

Penerima Waralaba, dari pemasaran, pelatihan, produksi dari manual,

standar operasi sampai pediman pengendalian mutu. Tipe franchise ini

adalah bentuk yang paling populer dan mencakup lebih kurang 75% dari

outlet waralaba di Amerika Serikat. Tipe franchise ini juga merupakan tipe

yang paling populer di Indonesia. Hal ini karena usaha franchise yang ada

di Indonesia berasal dari Amerika Serikat yang menganut sistem franchise

seperti ini.

3.1.4 Franchise Disclosure Act

Pada tahun 1968 di Amerika Selatan ketika konsep franchise sedang

berkembang pesat, banyak terjadi penyimpangan konsep-konsep franchise. Oleh

karena itu, pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1979 mengeluarkan Franchise

Disclosure Act yang mewajibkan pihak Pemberi Waralaba menerbitkan buku

prospektus atas jasa dan produk yang di-franchise-kan. Tujuannya agar pihak

Penerima Waralaba dapat membaca semua dokumen sebelum mengadakan

perjanjian franchise.87

Dalam prospektus harus diuraikan informasi tentang company profile,

keterangan tentang pejabat-pejabat yang menangani perusahaan, tindakan hukum

yang pernah dilakukan, audit perusahaan, dan semua data perusahaan yang

bersangkutan. Maksud dari informasi ini agar pihak Penerima Waralaba dapat

mengetahui segala informasi mengenai perusahaan Pemberi Waralaba, mencakup

segala aspek yang dapat mempengaruhi kerja sama di masa depan, sehingga

Penerima Waralaba dapat mengambil suatu kesimpulan sebelum mengadakan

perjanjian.

Di Indonesia, prospektus penawaran waralaba juga merupakan buku yang

wajib dikeluarkan oleh Pemberi Waralaba. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1)

PP Waralaba. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) mengatur hal-hal yang wajib dimuat

dalam prospektus seperti data identitas Pemberi Waralaba, legalitas usaha

Pemberi Waralaba, sejarah kegiatan usaha Pemberi Waralaba, struktur organisasi

87 Tunggal, loc. cit., hal. 5-8.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

41

Universitas Indonesia

Pemberi Waralaba, laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir, jumlah tempat usaha,

daftar Penerima Waralaba dan hak dan kewajiban frachisor dan Penerima

Waralaba.

Esensi dari Franchise Disclosure Act dan kewajiban prospektus

penawaran waralaba adalah perlunya transparansi atau keterbukaan dari pihak

Pemberi Waralaba, agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dalam

perjanjian waralaba. Dengan demikian, penyimpangan dapat di minimalisir dan

kepastian hukum lebih terjamin. Bagian berikutnya akan diterangkan pentingnya

transparansi bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.

3.1.5 Transparansi dalam Waralaba

Transparansi adalah unsur yang sangat penting dalam sistem usaha

waralaba, baik bagi Pemberi Waralaba maupun bagi Penerima Waralaba. Dengan

adanya transparansi dari kedua belah pihak, potensi konflik dapat berkurang dan

keberhasilan usaha lebih terjamin karena transaparansi dalam menjalankan usaha

dapat menghasilkan perkembangan yang berkelanjutan.

Pemberi Waralaba adalah kepala dari sebuah jaringan franchise yang

bertanggung jawab untuk memimpin seluruh jaringan franchise-nya dan Penerima

Waralaba-nya. Integritas dan wibawa seorang pemimpin akan mempengaruhi

sikap Penerima Waralaba dalam menjalankan usaha. Apabila franshisor tidak

transparan, maka semakin besarlah peluang kegagalan dari Penerima Waralaba-

Penerima Waralaba di dalam naungan merek dagang yang di-franchise-kan.88

Contoh kekecewaan yang paling sering dialami oleh Penerima Waralaba adalah

penawaran yang terlalu menjanjikan (overpromising) demi merebut perhatian

calon investor. Hal ini dilakukan dengan cara penggelembungan estimasi angka

penjualan dan tingkat laba, serta pengecilan pada aspek biaya, sehingga perkiraan

waktu Break Even Point (BEP) menjadi jauh lebih pendek. Akibatnya, Penerima

Waralaba akan kecewa apabila kinerja outlet franhise-nya tidak sebaik yang

dijanjikan dan kinerja Pemberi Waralaba yang tidak sesuai janji. Fenomena

seperti ini dapat mengakibatkan pertikaian dan kerugian bagi kedua belah pihak.

88 Hakim, loc. cit., hal. 88.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

42

Universitas Indonesia

Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi Pemberi Waralaba untuk memberikan

gambaran tentang peluang Penerima Waralaba-nya secara realistik dan akurat.

Disisi lain, Penerima Waralaba juga harus menerapkan konsep

transparansi demi menjamin kelangsungan operasional waralaba dan dukungan

waralaba. Rekayasa data yang sering dilakukan oleh Penerima Waralaba adalah

memperkecil kewajiban royaltinya. Sesungguhnya langkah ini dapat berdampak

negatif bagi Penerima Waralaba itu sendiri karena pada dasarnya, dana yang

diperoleh franshisor dari kewajiban royalti digunakan untuk memberikan

dukungan operasional, asisten, maupun dukungan pemasaran. Rekayasa data dari

pihak Penerima Waralaba akan mengakibatkan Pemberi Waralaba tidak dapat

memberikan dukungan yang layak kepada Penerima Waralaba dan akhirnya,

usaha franchise tidak berkembang dan usaha terancam pailit. Selain rekayasa

penyimpangan data, yang sering terjadi adalah Penerima Waralaba yang berubah

menjadi saingan usaha (competitor). Hal ini terjadi apabila Penerima Waralaba

merasa sudah menguasai seluruh rahasia atau competitive advantage dari Pemberi

Waralaba, dan merasa sudah tidak memerlukan dukungan Pemberi Waralaba lagi

dalam menjalankan usahanya. Penerima Waralaba seperti sangat merugikan

Pemberi Waralaba dan menambah beban usaha Pemberi Waralaba.

Salah satu cara Pemberi Waralaba untuk menjamin transparansi adalah

menciptakan sistem waralaba yang transparan, melalui empat hal sebagai

berikut:89

• Pemberi Waralaba sebagai pemimpin harus meberikan informasi yang

benar kepada Penerima Waralaba-nya agar Penerima Waralaba merasa

aman berada dalam jaringan yang jujur dan transparan.

• Pemberi Waralaba harus memiliki sistem monitoring yang solid dalam

memantau pembayaran royalti, jumlah penjualan, logistik pembelian dari

Penerima Waralaba. Dengan memperkecil peluang kecurangan dari

Penerima Waralaba, secara otomatis motivasi untuk penyimpangan juga

akan berkurang dari sisi Penerima Waralaba.

89 Hand Consulting, dalam majalah Info Franchise No.08/II/15 (15 Agustus-14 September 2007) : 44-45 dalam Hakim, loc. cit., hal. 91.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

43

Universitas Indonesia

• Pemberi Waralaba harus dapat menciptakan sebuah situasi ketergantungan

pada Penerima Waralaba-nya. Hal ini dapat berupa bahan dasar, pelatihan-

pelatihan, riset yang berkesinambungan, dan lain-lain. Ketergantungan

inilah yang dapat menghindari situasi dimana Penerima Waralaba menjadi

pesaing usaha Pemberi Waralaba.

• Pemberi Waralaba harus dapat membesarkan nama atau merek dagang dari

jaringan franchise. Dengan demikian, Penerima Waralaba akan sulit untuk

bersaing dengan Pemberi Waralaba dalam banyak segi seperti

mendapatkan lokasi yang strategis, harga yang bersaing, dan kepercayaan

dari pembeli dan menjadi pelanggan tetap.

Menciptakan sistem yang baik merupakan tanggung jawab

Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Apabila merek dagang itu

memiliki nilai goodwill yang tinggi di masyarakat, maka Penerima

Waralaba juga akan turut menuai keuntungan. Oleh sebab itu, Penerima

Waralaba dan Pemberi Waralaba seharusnya saling mendukung agar

usaha waralaba terus berkembang dan menjadi besar sehingga kedua

belah pihak mendapat keuntungan yang terus berlanjut.

3.1.6 Pengaturan Waralaba di Indonesia

Waralaba sebagai suatu bentuk perjanjian, tunduk pada ketentuan umum

yang berlaku bagi sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III

KUH Perdata. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang

menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun

tidak, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat didalam Bab III KUH

Perdata dan Bab sebelumnya. Selain itu, waralaba juga diatur secara khusus

dalam:

a. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba

b. Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008 Tentang

Penyelenggaraan Waralaba.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

44

Universitas Indonesia

Pasal 1 angka 7 dari Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-

DAG/PER/8/2008 Tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag Waralaba)

memberikan definisi Perjanjian Waralaba sebagai berikut:

“Perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba.”

Dari rumusan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa waralaba merupakan

suatu perjanjian antara dua pihak. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa

waralaba tunduk pada ketentuan tentang perjanjian dalam Pasal 1313 KUH

Perdata, sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dan ketentuan Pasal

1338 KUH Perdata.

Mengenai format perjanjian waralaba, Pasal 5 Peraturan Menteri

Perdagangan tentang Penyelenggaraan Waralaba hanya mengatur bahwa

perjanjian harus dalam bentuk tertulis dan terhadap perjanjian tersebut berlaku

hukum Indonesia. selain itu, apabila perjanjian ditulis dalam bahasa asing, maka

perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Ketentuan ini sejalan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 Tentang

Bendera, Bahasa dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24

Tahun 2009) yang mengatur mengenai kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia

dalam perjanjian yang melibatkan warga negara Indonesia yang diatur dalam

Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009. Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut

menyebutkan bahwa perjanjian dengan pihak asing ditulis juga dalam bahasa

nasional pihak asing tersebut atau bahasa Inggris. Walaupun demikian, terdapat

berbagai perdebatan mengenai ketentuan ini terutama apabila salah satu pihak

adalah warga negara asing dan perjanjian yang ditandatangani para pihak sebagai

perjanjian asli adalah perjanjian dalam Bahasa Inggris. Apabila terjadi sengketa,

akan timbul kerancuan mengenai perjanjian yang dianggap sebagai perjanjian asli

dan digunakan sebagai pedoman dalam melakukan interpretasi. Apabila ditelaah

lebih jauh, akan lebih baik apabila penerjemah tersumpah adalah seorang sarjana

hukum sehingga dapat meminimalisir kemungkinan perbedaan interpretasi

perjanjian.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

45

Universitas Indonesia

3.1.7 Asas-asas Perjanjian Waralaba

Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena, baik

Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba , keduanya berkewajiban untuk

memenuhi prestasi tertentu.90 Perjanjian waralaba menjelaskan apa yang boleh

dan tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, perjanjian waralaba mencantumkan

kewajiban dan tanggung jawab setiap pihak. Dengan demikian, asas-asas

perjanjian franchise sebaiknya didasarkan pada:91

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.

b. Asas Konsensualitas

Perjanjian sudah dianggap ada saat tercapainya kesepakatan tentang hal-

hal yang diperjanjikan. Akan tetapi dalam perjanjian waralaba, asas

konsensualitas harus ditindaklanjuti dengan tindakan formil yaitu

perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis sebagaimana ditetapkan

dalam Pasal 1 angka 7 Permendag Waralaba dan Pasal 4 PP Waralaba.

c. Asas Itikad Baik

Pemberi Waralaba dengan itikad baik harus menjamin hak-hak yang akan

diberikan kepada Penerima Waralaba itu benar-benar miliknya, bukan

sebagai hasil kejahatan, dan pihak Penerima Waralaba harus mewujudkan

kewajiban yang harus diberikan kepada Pemberi Waralaba dengan baik.

d. Asas Kerahasiaan

Pada dasarnya bisnis dengan pola waralaba sangat mengandalkan ciri khas

satu produk barang/jasa. Apabila rahasia usaha (trade secret know-how)

tidak dijaga dengan baik, akan merugikan Pemberi Waralaba karena ciri

90 Gunawan Widjaja, Waralaba, cet. 2, (Jakarta: PT RajaGRafindo Persada,2003), hal. 77. 91 Tunggal, loc. cit., hal. 55.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

46

Universitas Indonesia

khas usaha telah bocor dan diketahui pihak ketiga yang dapat

menggunakan ciri khas tersebut untuk menjadi pesaing.

e. Asas Persamaan Hukum

Perjanjian bisnis waralaba hendaknya dibuat atas dasar kesamaan hak di depan

hukum, baik bagi pemberi hak waralaba maupun penerima hak waralaba.

f. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan menekankan pada keseimbangan antara hak dan

kewajiban dari para pihak secara wajar dengan tidak membebani salah satu

pihak saja.

3.1.8 Hak dan Kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba

a. Hak dan Kewajiban Pemberi Waralaba

Dalam perjanjian waralaba harus ada keseimbangan antara hak dan

kewajiban diantara kedua belah pihak, yaitu Pemberi Waralaba dan Penerima

Waralaba. Sebagai pihak yang berhasil mengembangkan usahanya, Pemberi

Waralaba mempunyai beberapa hak pada saat ia mengizinkan pihak lain

bergabung.

(i) Hak Pemberi Waralaba

PP Waralaba, dan Permendag Waralaba tidak mengatur hak Pemberi

Waralaba secara eksplisit, namun hak Pemberi Waralaba dapat disimpulkan dari

praktek umum seperti yang disimpulkan oleh Iman Sjahputra Tunggal. Menurut

Iman Sjahputra Tunggal, hak Pemberi Waralaba antara lain adalah sebagai

berikut:92

• Menerima setoran dari Penerima Waralaba

• Menerima laporan secara berkala

• Memeriksa pembukuan Penerima Waralaba

• Memeriksa usaha Penerima Waralaba

92 Tunggal, loc. cit., hal. 45-46.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

47

Universitas Indonesia

• Memutuskan hubungan kemitraan karena pelanggaran oleh Penerima

Waralaba

• Membeli kembali waralaba pada saat pemutusan hubungan kemitraan.

• Membeli kembali waralaba pada saat dijual oleh Penerima Waralaba.

(ii) Kewajiban Pemberi Waralaba

Di sisi lain, perundang-undangan mengenai waralaba mengatur dengan

jelas kewajiban-kewajiban Pemberi Waralaba. Berdasarkan PP Waralaba dan

Permendag Waralaba, kewajiban Pemberi Waralaba adalah sebagai berikut:

• Memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon Penerima

Waralaba saat melakukan penawaran (Pasal 7 PP Waralaba). Prospektus

harus diberikan paling singkat 2 (dua) minggu sebelum penandatanganan

perjanjian waralaba (Pasal 4 Permendag Waralaba)

• Memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional

manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima

Waralaba secara berkesinambungan (Pasal 8 PP Waralaba dan Pasal 21

Permendag Waralaba).

• Mengutamakan barang atau jasa hasil produk dalam negeri sepanjang

memenuhi kriteria standar yang ditetapkan (Pasal 9 ayat (1) PP Waralaba).

• Bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat

sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang

memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba

(Pasal 9 ayat (2) PP Waralaba).

• Mendaftarkan prospektus penawaran Waralaba sebelum membuat

perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba sehingga mendapatkan

Surat Tanda Pendaftaran Waralaba, selanjutnya disebut sebagai STPW

(Pasal 10 PP Waralaba dan Pasal 7 ayat (1) Permendag Waralaba)

• Menyampaikan laporan kegiatan waralaba kepada Direktur Jenderal

Perdagangan Dalam Negeri cq. Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran

Perusahaan dengan tembusan kepada Kepala Dinas yang

bertanggungjawab di bidang perdagangan di kabupaten/kota setempat

(Pasal 24 Permendag Waralaba)

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

48

Universitas Indonesia

Selain kewajiban yang diatur dalam perundang-undangan, menurut Iman

Sjahputra Tunggal, kewajiban Pemberi Waralaba juga mencakup antara lain:93

• Membantu memilih lokasi usaha

• Membantu pengembangan usaha

• Menyediakan operational manual usaha

• Membantu mengembangkan kampanye promosi pengembangan usaha

• Menyediakan program pelatihan bagi Penerima Waralaba

• Memberikan bimbingan dan petunjuk untuk mengurus dan pendaftaran

izin usaha

• Menyediakan staff yang melakukan supervisi masa awal berdirinya

waralaba

• Memberikan materi promosi

Memberikan hak penggunaan nama, cap dagang, rancangan dan logo

kepada Penerima Waralaba.

b. Hak dan Kewajiban Penerima Waralaba

(i) Hak Penerima Waralaba

PP Waralaba dan Permendag Waralaba hanya mengatur satu kewajiban

Penerima Waralaba, yaitu mendaftarkan perjanjian Waralaba sehingga

mendapatkan STPW (Pasal 11 PP Waralaba dan Pasal 7 ayat (2) Permendag

Waralaba). Namun berdasarkan kewajiban yang Pemberi Waralaba, dapat

disimpukan hak Penerima Waralaba. Menurut Iman Sjahputra Tunggal, hak

Penerima Waralaba antara lain adalah sebagai berikut:94

• Memperoleh petunjuk dan bantuan

• Meggunakan nama, citra, dan sistem

• Memperoleh persediaan produk

• Menjual waralaba kepada pembeli yang disetujui

93 Tunggal loc. cit., hal. 46. 94 Ibid.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

49

Universitas Indonesia

• Memutuskan perjanjian waralaba apabila perjanjian waralaba dilanggar

oleh Pemberi Waralaba.

(ii) Kewajiban Penerima Waralaba

Kewajiban Penerima Waralaba tidak diatur secara eksplisit dalam

perundang-undangan mengenai waralaba namun dapat disimpulkan dari praktek

usaha waralaba. Menurut Iman Sjahputra Tunggal, kewajiban Penerima Waralaba

antara lain adalah:95

• Memberi informasi posisi keuangan yang akurat

• Memberi izin pemeriksaan usaha

• Menghadiri program pelatihan awal

• Mengembangkan waralaba sesuai standar yang ditentukan

• Membayar biaya-biaya waralaba

• Hanya menjual produk dan jasa yang telah disetujui

• Membeli persediaan bahan dan tingkat persediaanya, sesuai standar.

• Menggunakan bahan promosi, manual operasi usaha sesuai standar.

Selain kewajiban operasional, juga terdapat kewajiban biaya-biaya yang

dibebankan pada Penerima Waralaba, antara lain adalah:96

• Pembayaran awal

Pembayaran awal dilaksanakan setelah Pemberi Waralaba dan Penerima

Waralaba menyetujui isi perjanjian yang ditawarkan Pemberi Waralaba.

Pembayaran awal mencakup biaya keseluruhan mulai dari initial fee /

franchise fee, pembukaan outlet hingga pelaksanaan operasi awal.

• Pembayaran selama sistem berjalan

Pembayaran ini mencakup royalti, pembayaran atas promosi dan iklan,

administrasi dan fasilitas lain.

• Pembayaran atas pengalihan hak

95 Ibid. 96 Ibid.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

50

Universitas Indonesia

Pembayaran dilakukan apabila Penerima Waralaba menjual sistem

waralaba kepada calon Penerima Waralaba yang disetujui Pemberi

Waralaba.

• Penyediaan produk

3.1.9 Hal-hal Yang Diatur dalam Perjanjian Waralaba

Kotrak frachise pada dasarnya merupakan kontrak baku yang dibuat oleh

Pemberi Waralaba dan diberlakukan terhadap semua Penerima Waralaba tanpa

terkecuali.97 Kontrak tersebut adalah sarana yang menentukan bagaimana sebuah

bisnis dapat dilakukan secara bersama-sama dengan baik karena dalam kontraklah

akan diatur segala hak dan kewajiban, dan ketentuan usaha yang akan dijalankan

dalam kerjasama antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Oleh karena

fungsinya yang penting, penyusunan kontrak franchise harus mencantumkan

setidaknya hal-hal umum yang diatur dalam PP Waralaba dan Kepmendag

Waralaba.

a. Hal-hal Umum dalam Perjanjian Waralaba

Hal-hal yang diatur dalam perjanjian waralaba terdiri dari hal-hal umum

dan khusus. Hal-hal yang umum diatur dalam Pasal 5 PP Waralaba dan Lampiran

II Kepmendag Waralaba. Apabila digabungkan, secara ringkas, hal-hal umum

dalam perjanjian waralaba adalah sebagai berikut:

(i) Nama dan alamat para pihak, yaitu nama dan alamat perusahaan dan

penanggung jawab perusahaan yang mengadakan perjanjian. Pemberi

Waralaba wajib memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan atau

Izin Usaha dari Departemen Teknis lainnya untuk menunjukkan legalitas

usaha.98

(ii) Jenis Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Pemberi Waralaba, seperti merek

dan logo perusahaan, desain outlet/gerai, sistem manajemen/pemasaran

97 Suryono Ekotama, Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise, (Yogyakarta: MedPress, 2008), hal. 98. 98 Hakim, loc. cit., hal. 71.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

51

Universitas Indonesia

atau racikan bumbu masakan yang diwaralabakan. Para pihak akan

menegaskan kembali jenis waralaba yang diberikan apakah hanya

terbatas pada waralaba nama dagang dan atau produk, atau meliputi

format bisnis.99

(iii)Kegiatan usaha yang diperjanjikan

(iv) Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.

(v) Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang

diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba, seperti

program IT pengelolaan kegiatan usaha.

(vi) Wilayah usaha, yaitu batasan wilayah yang diberikan Pemberi Waralaba

kepada Penerima Waralaba untuk mengembangkan bisnis Waralaba.

(vii) Jangka waktu perjanjian, yaitu batasan waktu mulai dan berakhir

perjanjian. Jangka waktu perjanjian berlaku selama 5 tahun karena

STPW yang diterbitkan karena pendaftaran perjanjian waralaba berlaku

selama 5(lima) tahun berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Permendag Waralaba

dan dapat diperpanjang selama 5(lima) tahun apabila STPW sudah habis

masa berlakunya.

(viii) Tata cara pembayaran imbalan, yaitu tata cara/ketentuan termasuk waktu

dan cara perhitungan besarnya imbalan seperti fee atau royalty apabila

disepakati dalam perjanjian yang menjadi tanggung jawab Penerima

Waralaba.

(ix) Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris, yaitu, nama dan

alamat jelas pemilik usaha apabila perseorangan, serta nama dan alamat

pemegang saham, komisaris dan direksi apabila berupa badan usaha.

(x) Penyelesaian sengketa, yaitu penetapan tempat/lokasi penyelesaian

sengketa. Cara penyelesaian sengketa bisa melalui pengadilan atau

melalui pranata alternatif seperti arbitrase untuk mencegah Penerima

Waralaba yang tidak beritikad baik membongkar rahasia Pemberi

Waralaba di pengadilan.100

(xi) Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian seperti

pemutusan perjanjian tidak dapat dilakukan secara sepihak, perjanjian

99 Ibid. 100 Ibid., hal. 72.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

52

Universitas Indonesia

berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam

perjanjian telah berakhir. Perjanjian dapat diperpanjang kembali apabila

dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang ditetapkan

bersama.

(xii) Jaminan dari pihak Pemberi Waralaba untuk tetap menjalankan

kewajiban-kewajibannya kepada Penerima Waralaba sesuai dengan isi

Perjanjian hingga jangka waktu Perjanjian berakhir.

b. Hal-hal Khusus dalam Perjanjian Waralaba

Selain meliputi hal-hal umum yang menjamin kepentingan para pihak,

perjanjian waralaba juga dapat mencakup hal-hal spesifik. Menurut Bambang N.

Rachmadi, hal-hal spesifik yang dapat diatur adalah sebagai berikut:101

(i) Transfer of asset specificity, mencakup brand name, sistem yang spesifik

dan peralatan khusus.

(ii) Managerial assistance, dalam hal ini mencakup pemasaran dan promosi,

serta pelatihan karyawan.

(iii) Standardized operation. Untuk menjamin mutu dan pelayanan yang sama,

Pemberi Waralaba menentukan standar tertentu dalam kegiatan

operasional gerai. Hal ini berimplikasi pada kontrol dan pengawasan oleh

Pemberi Waralaba.

(iv) Fee dan royalty, yaitu jumlah tertentu yang harus dibayarkan oleh

Penerima Waralaba kepada Pemberi Waralaba.

(v) Penerima Waralaba hanya boleh mengoperasikan satu merek dagang

(exclusive opertation).

Diantara hal-hal khusus yang diatur dalam perjanjian waralaba, asistensi

atau bantuan dari Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba merupakan salah

satu yang terpenting. Hal ini karena unsur asistensi dapat menentukan

101 Bambang N. Rachmadi, Franchising The Most Practical and Excellent Way of Succeeding, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 23.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

53

Universitas Indonesia

keberhasilan usaha Penerima Waralaba. Menurut Pietra Sarosa, tujuan

diberikannya asistensi kepada Penerima Waralaba adalah sebagai berikut:102

(i) Membantu memberikan kemudahan bagi Penerima Waralaba dalam

menjalankan bisnisnya sehingga dapat lebih cepat menghasilkan

keuntungan.

(ii) Menjaga keseragaman yang menjadi ciri sistem waralaba diantara gerai-

gerai waralaba milik Penerima Waralaba.

(iii)Memudahkan dalam memonitor Penerima Waralaba sehingga otomatis

memudahkan pengambilan solusi jika terjadi masalah.

Asistensi dapat diberikan pada tahap pre-opening dan masa operasional.

Dalam tahap pre-opening, Pemberi Waralaba dapat membantu memberikan saran

dan ketentuan mengenai lokasi outlet dan konstruksi outlet. Selanjutnya pada

masa operasional, asistensi dapat berupa dukungan dalam pemasaran, pengelolaan

sumber daya manusia dan administrasi keuangan.

Perjanjian waralaba merupakan dasar dari pelaksanaan franchise antara

kedua belah pihak. Dengan demikian, kedua belah pihak harus pro-aktif, saling

percaya, dan saling membantu dalam lingkup perjanjian waralaba agar usaha

dapat terus berkembang.

3.1.10 Proses Menjual Sistem Waralaba

Apabila usaha yang dijalankan telah terbukti berhasil menuai keuntungan,

serta telah dilengkapi dengan sistem operasional yang baku, maka usaha tersebut

dapat dikembangkan melalui sistem waralaba. Proses menjual sistem waralaba

menurut PP Waralaba dan Permendag Waralaba adalah sebagai berikut:

a. Pertama, usaha yang ingin diwaralabakan harus memenuhi kriteria-kriteria

yang sudah ditentukan dalam Pasal 3 PP Waralaba dan Pasal 2 Kemendag

Waralaba, yaitu:

(i) Memiliki ciri khas usaha;

(ii) Terbukti sudah memberikan keuntungan;

102 Pietra Sarosa, Kiat Praktis Membuka Usaha-Mewaralabakan Usaha Anda, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004), hal. 178-179.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

54

Universitas Indonesia

(iii) Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang

ditawarkan yang dibuat secara tertulis;

(iv) Mudah diajarkan dan diaplikasikan;

(v) Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan

(vi) Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah terdaftar.

b. Membuat prospektus yang memuat paling sedikit ketentuan dalam Pasal 7

ayat (2) PP Waralaba, yaitu:

(i) Data identitas Pemberi Waralaba;

(ii) Legalitas usaha Pemberi Waralaba

(iii) Sejarah kegiatan usahanya;

(iv) Struktur organisasi Pemberi Waralaba;

(v) Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir;

(vi) Jumlah tempat usaha;

(vii) Daftar Penerima Waralaba; dan

(viii) Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.

c. Calon Pemberi Waralaba wajib mendaftarkan prostektus berdasarkan

Pasal 10 PP Waralaba. Permohonan pendaftaran prospektus harus

dilampiri dengan fotokopi prospektus penawaran waralaba dan fotokopi

legalitas usaha (Pasal 12 ayat (1) PP Waralaba)

d. Calon Pemberi Waralaba akan memperoleh Surat Tanda Pendaftaran

Waralaba, selanjutnya disebut dengan STPW, dengan mendaftarkan

prospektus penawaran waralaba (Pasal 7 Kepmendag Waralaba). STPW

berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama waktu yang

sama (Pasal 8 ayat (1) Kepmendag Waralaba).

e. Menyelenggarakan Perjanjian Waralaba dalam bahasa Indonesia

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 PP Waralaba dan memuat paling

sedikit syarat yang ditentukan dalam Pasal 5 PP Waralaba.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

55

Universitas Indonesia

f. Calon Penerima Waralaba wajib mendaftarkan perjanjian waralaba

berdasarkan Pasal 11 PP Waralaba. Permohonan pendaftaran perjanjian

harus dilampiri dengan:

(i) fotokopi legalitas usaha;

(ii) fotokopi perjanjian Waralaba;

(iii) fotokopi prospektus penawaran Waralaba; dan

(iv) fotokopi Kartu Tanda Penduduk pemilik/pengurus perusahaan.

g. Calon Penerima Waralaba menerima STPW dengan mendaftarkan

perjanjian waralaba dari Gubernur DKI Jakarta dan Bupati/Walikota di

seluruh Indonesia untuk Pemberi dan Penerima Waralaba dalam negeri

(Pasal 13 Kepmendag Warlaba).

3.1.11 Pengakhiran Perjanjian

Perjanjian waralaba dapat berakhir dalam kondisi seperti berikut:

a. Jangka waktu perjanjian telah berakhir

b. Atas kesepakatan kedua belah pihak

c. Pemutusan perjanjian secara sepihak

Pasal 6 Kepmendap Warlaba mengatur apabila Pemberi Waralaba

memutuskan perjanjian waralaba secara sepihak sebelum masa berlaku perjanjian

berakhir, maka Pemberi Waralaba tidak dapat menunjuk Penerima Waralaba yang

baru untuk wilayah yang sama sebelum tercapai kesepakatan dalam penyelesaian

perselisihan oleh kedua belah pihak (clean break) atau paling lambat 6 bulan

setelah pemutusan perjanjian waralaba. Dengan demikian, Penerima Waralaba

baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan STPW, apabila sudah

terjadi kesepakatan atau paling lambat 6 bulan setelah pemutusan perjanjian

waralaba.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

56

Universitas Indonesia

3.2 LANDASAN TEORI LISENSI

3.2.1 Pengertian Umum Lisensi

Perkataan lisensi berasal dari kata Latin “licentia”. Apabila seseorang

memberikan kepada pihak lain lisensi terhadap oktroi atau merek, maka orang

tersebut memberikan kebebasan atau izin kepada orang itu untuk menggunakan

sesuatu yang sebelumnya tidak boleh gunakan, misalnya menggunakan merek

yang dilindungi oleh hukum merek.103

Dalam Black’s Law Dictionary, lisensi diartikan sebagai:

“A personal privilege to do some particular act or series of acts…”

atau

“The permission by competent authority to do an act which, without such permission would be illegal, a trespass, a tort, or otherwise would not allowable.”

Apabila ditelusuri lebih jauh, makna lisensi yang diberikan dalam

Black’s Law Dictionary, dimana dikatakan bahwa Licensing adalah:

“The sale of a license permitting the use of patents, trademarks, or the technology to another firm.”

Selain pengertian dari Black’s Law Dictionary, definisi lisensi juga diatur

dalam UU Merek Tentang Merek (UU Merek), Undang-Undang No. 30 Tahun

2000 Tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang

Desain Industri, Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak

Sirkuit Terpadu dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, yang

semuanya mengatur mengenai HAKI. Definisi Lisensi dalam kelima Undang-

Undang tersebut secara berturut-turut adalah sebagai berikut:

“Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.”104

103 Roeslan Saleh, Seluk Beluk Praktis Lisensi, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal. 11. 104 Indonesia (g), UU Merek, No. 15 tahun 2001, LN No. 110 tahun 2001, TLN. No. 4131, ps. 1 angka 10.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

57

Universitas Indonesia

“Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Rahasia Dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.”105

“Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Industri yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.”106

“Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.”107 “Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.”108

Dari kutipan-kutipan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

pengertian lisensi yang telah berkembang dari sekedar privilege yang diberikan

oleh negara atas pemanfaatan tanah secara tidak langsung menuju kearah

“penjualan izin (privilege)” untuk mempergunakan paten, hak atas merek

(khususnya merek dagang) kepada pihak lain. Dengan demikian, lisensi

merupakan hak privilege yang bersifat komersial, dalam arti kata memberikan

hak dan kewenangan untuk memanfaatkan paten maupun merek dagang atau

teknologi yang dilindungi secara ekonomis.109 Namun pemanfaatan atau

penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual ini tidak mengalihkan hak dari

105 Indonesia (h), Undang-Undang Tentang Rahasia Dagang, No. 30 tahun 2000, LN No. 242 tahun 2000, TLN. No. 4044, ps. 1 angka 5. 106 Indonesia (i), Undang-Undang Tentang Desain Industri, No. 31 tahun 2000, LN No. 243 tahun 2000, TLN. No. 4045, ps. 1 angka 11. 107 Indonesia (j), Undang-Undang Tentang Paten, No. 14 tahun 2001, LN No. 109 tahun 2001, TLN. No. 4130, ps. 1 angka 13. 108 Indonesia (k), Undang-Undang Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, No. 32 tahun 2000, LN No. 244 tahun 2000, TLN. No. 4046, ps. 1 angka 13. 109 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Lisensi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 8.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

58

Universitas Indonesia

Pemberi kepada Penerima Lisensi. Sebagai imbalan dari penggunaan izin oleh

pihak ketiga, pengusaha yang memberi izin memperoleh pembayaran yang

disebut dengan royatlty, yang selalu dikaitkan dengan banyaknya atau besarnya

jumlah produk yang dihasilkan dan atau dijual dalam suatu kurun waktu

tertentu.110 Dengan demikian, Penerima Lisensi adalah independen terhadap

Pemberi Lisensi, dalam pengertian bahwa Penerima Lisensi menjalankan sendiri

usahanya dengan imbalan membayar royalty kepada Pemberi Lisensi.

3.2.2 Lisensi Sebagai Suatu Bentuk Perjanjian

Dalam perjanjian lisensi, terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat, yaitu:

a. Pemberi Lisensi (Pemberi Lisensi): pihak yang “menjual” atau

memberikan lisensi. Dalam Black’s Law Ditionary Pemberi Lisensi adalah

“The person who gives or grants a license.”

b. Penerima Lisensi (Penerima Lisensi): pihak yang menerima lisensi. Dalam

Black’s Law Ditionary adalah “Person to whom a licence has been

granted.”

Perjanjian Lisensi (Licensing Agreement) dalam Law Dictionary karya PH

Collin diartikan sebagai

“Agreement where a person is granted a license to manufacture something or to use something, but not an outright sale.”

Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa pengertain lisensi mengalami

perluasan kedalam bentuk izin untuk memproduksi atau untuk memanfaatkan

sesuatu, yang tidak atau bukan merupakan suatu bentuk penjualan lepas.

Pengertian yang luas juga diberikan oleh Betsy Ann Toffler dan Jane Imber dalam

Dictionary of Marketing Terms, dimana Licensing diartikan sebagai:

“Contractual agreement between two business entities in which Pemberi Lisensi permits the Penerima Lisensi to use a brand name, patent, or other proprietary right, in exchange for a fee or royalty.

110 Ibid., hal. 3

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

59

Universitas Indonesia

Licensing enables the Pemberi Lisensi to profit from the skills, expansion capital, or other capacity of the Penerima Lisensi. Licensing is often used by manufacturers to enter markets in which they have no expertise. The Penerima Lisensi benefits from the name recognition and creativity of the Pemberi Lisensi.”

Sedangkan Wilbur Cross dalam Dictionary of Business Terms, Licensing

Agreement adalah:

“A contract permitting one party to ensure one or more operationsof another party, such as manufacturing, seliing or servicing, in consideration of monetary or other benefit as specified.”

Dari ketiga definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa lisensi senantiasa

melibatkan suatu perjanjian antara Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi.

Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka Lisensi ketentuan Lisensi tunduk

pada ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dan perikatan dalam KUH Perdata,

termasuk syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan

asas-asas umum dalan perjanjian sebagaimana telah dibahas dalam Bab II dari

skripsi ini.

3.2.3 Jenis-Jenis Lisensi

Pada dasarnya terdapat 2 (dua) jenis lisensi yang dikenal dalam praktek

pemberian lisensi, yaitu:

a. Lisensi umum

Lisensi umum adalah lisensi yang dikenal secara luas dalam praktek, yang

melibatkan suatu bentuk negosiasi antara Pemberi Lisensi dan Penerima

Lisensi.

b. Lisensi paksa, atau yang disebut sebagai lisensi wajib.

Perkataan Lisensi Paksa/ Lisensi Wajib merupakan terjemahan dari

“Compulsory License”, yang diartikan sebagai:

“An authorization given by a national authority to a person, without or agaisnt the consent of the titile holder, for the

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

60

Universitas Indonesia

exploitation of a subject matter protected by a patent or other intellectual property rights.” (Carlos M. Correa: 1995)111

Dari pengertian yang diberikan, dapat diketahui bahwa lisensi

paksa/lisensi wajib merupakan suatu bentuk lisensi yang diberikan tidak secara

sukarela oleh pemilik atau pemegang suatu Hak Atas Kekayaan Intelektual yang

dilisensikan secara paksa, melainkan dipaksakan oleh suatu badan nasinal yang

berwenang. Dengan kata lain, lisensi hanya dimngkinkan jika dipaksakan

berlakunya oleh suatu lembaga yang berwenang pada tingkat nasional pada suatu

negara yang berdaulat.

Meskipun dalam pengertian yang diberikan oleh Carlos M. Correa lisensi

paksa dapat diberikan untuk segala macam HAKI, pelaksanaan lisensi paksa

dalam prakteknya lebih banyak dikaitkan dengan Paten sebagai Hak atas

Kekayaan Intelektual yang berbasis teknologi.

3.2.4 Pengaturan Lisensi dalam UU Merek Tentang Merek

Dari antara 5 (lima) Undang-Undang HAKI yang mengatur pengertian

lisensi, skripsi ini lebih memfokuskan bahasan pada lisensi dalam lingkup UU

Merek sehingga lebih menuju kepada hak atas penggunaan merek yang sudah

terdaftar. Hal ini karena bahasan penggunaan merek merupakan salah satu opsi

yang dapat digunakan oleh pengusaha Rica Rico Bika Ambon dalam

pengembangan usahanya. Pengaturan Lisensi dalam Undang-Undang Merek dapat

ditemukan dalam Pasal 43 hingga Pasal 49 Bagian Kedua Bab V jo Pasal 1 angka

13. Dari definisi Lisensi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 13 UU Merek,

terdapat beberapa unsur, yang meliputi:112

a. Adanya izin yang diberikan oleh Pemegang Merek

Pemberi Lisensi harus memberikan izin kepada Penerima Lisensi untuk

menggunakan Merek milik Pemberi Lisensi. Hal ini untuk melindungi Penerima

Lisensi dari gugatan dengan alasan telah melanggar Hak atas Merek yang diatur

dalam Pasal 76 UU Merek Tentang Merek. Selanjutnya, dalam Pasal 77 UU

Merek diatur bahwa hak mengajukan gugatan juga diberikan kepada Penerima

111 Carlos M. Correa, dikutip dalam Widjaja, loc. cit., hal. 33 112 Widjaja, loc. cit., hal. 52-56.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

61

Universitas Indonesia

Lisensi Merek terdaftar yang dapat mengajukan gugatan pelanggaran Merek

secara sendiri-sendiri atas bersama dengan Pemilik Merek. Gugatan yang diajukan

dapat berupa ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan

dengan penggunaan Merek tersebut.

b. Izin tersebut diberikan dalam bentuk perjanjian

Lisensi harus dibuat secara tertulis antara pemberi dan Penerima Lisensi.

Dengan demikian perjanjian pemberian lisensi merupakan perjanjian formil, yang

harus memenuhi bentuk yang tertulis. Kewajiban agar pejanjian pemberian lisensi

dibuat secara tertulis juga diperkuat dengan kewajiban pendaftaran lisensi

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (3) jo Pasal 43 ayat (4) jo Pasal 49

UU Merek.

Perjanjian yang didaftarkan berlaku di seluruh wilayah Negara Republik

Indonesia, kecuali jika diperjanjian lain. Wilayah Negara Republik Indonesia

dianggap sebagai batasan teritorial yang paling memungkinkan untuk pelaksanaan

hak dari Merek yang terdaftar. Ini berarti meskipun terjadi perluasan pemberian

lisensi hingga meliputi wilayah teritorial Negara Republik Indonesia, ketentuan

ini tidak ditujukan untuk mengatur pemberian lisensi yang semata-mata

pelaksanaannya berada diluar wilayah Indonesia meskipun tunduk dan dicatatkan

di Indonesia.

Selain itu, dalam suatu peranjian pemberian lisensi, terdapat suatu syarat

objektif yang diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU Merek Tentang Merek yang

menyatakan bahwa:

“Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya.”

Dengan adanya ketentuan ini, maka perjanjian yang dapat merugikan

perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan

bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada

umumnya tidak dapat diberlakukan. Sebagai konsekuensinya, maka Direktorat

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

62

Universitas Indonesia

Jenderal yang menangani permohonan pencatatan wajib menolak pencatatan

perjanjian Lisensi tersebut dengan memberitahukan alasannya kepada Pemilik

Merek atau Kuasanya.

c. Izin tersebut merupakan pemberian hak untuk menggunakan Merek

tersebut (yang bukan bersifat pengalihan hak).

Lisensi Merek berhubungan dengan suatu Merek terdaftar yang diberi

perlindungan eksklusif oleh negara. Oleh karena itu, undang-undang

mensyaratkan bahwa jangka waktu pemberian lisensi tidak boleh melebihi dari

jangka waktu perlindungan atas Merek yang terdaftar. Pasal 28 UU Merek

memberikan jangka waktu perlindungan atas Merek adalah 10 (sepuluh) tahun

dan dapat diperpanang.

Mengenai pemberian hak untuk menggunakan Merek yang tidak

mengalihkan hak Merek, pada dasarnya UU Merek tidak mengatur secara

langsung. Akan tetapi hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 77 UU Merek yang

mengatur bahwa gugatan dapat diajukan oleh Penerima Lisensi secara sendiri-

sendiri atau bersama-sama dengan Pemilik Merek. Selain itu, fenomena dimana

Penerima Lisensi menjalankan usahanya sendiri dengan imbalan membayar

royalty kepada Pemberi Lisensi menunjukkan bahwa tidak ada pengalihan hak

atas Merek, melainkan hanya hak penggunaan merek yang diberikan kepada

Penerima Lisensi.

d. Izin tersebut diberikan untuk Merek yang didaftarkan.

Dalam keadaan Pemberi Lisensi sudah merupakan Pemilik Merek yang

didaftarkan, maka Penerima Lisensi dapat menjalankan usaha dan melakukan

pembayaran royalty pada umumnya. Akan tetapi apabila Perjanjian Lisensi

disepakati sebelum Merek berhasil didaftarkan, maka Pasal 48 UU Merek

mengatur bahwa, dalam hal Merek itu kemudian dibatalkan atas dasar adanya

persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar,

maka Penerima Lisensi yang beritikad baik tetap berhak melaksanakan perjanjian

Lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian Lisensi.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

63

Universitas Indonesia

Dengan demikian, Penerima Lisensi membayar royalti kepada Pemilik Merek

yang tidak dibatalkan.

e. Izin tersebut dikaitkan dengan waktu tertentu dan syarat tertentu.

Adanya klausula dengan waktu tertentu dan syarat tertentu dalam

pengertian Lisensi merupakan esensi pembeda antara perjanjian pengalihan hak

dengan Lisensi. Selain itu, dari Pasal 48 UU Merek juga dapat diketahui bahwa

peranjian pemberian lisensi diberikan dengan jangka waktu tertentu.

Dengan demikian, pada pokoknya lisensi adalah suatu bentuk pemberian

izin pemanfaatan atau penggunaan atas merek yang bukan mengalihkan hak, yang

dimiliki oleh Pemberi Lisensi kepada Penerima Lisensi dengan imbalan berupa

royalty. Dalam pengertian ini pula tersirat bahwa Penerima Lisensi adalah

independen terhadap pemberi lisensi, dalam pengertian bahwa Penerima Lisensi

menjalankan sendiri usahanya.

3.2.5 Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi

Sebagai suatu transaksi yang melahirkan perjanjian, lisensi selalu

melibatkan dua pihak, yaitu Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi. Kedua belah

pihak tersebut memiliki kepentingan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Kepentingan ini jugalah yang pada pokoknya menjadi sumber perselisihan

diantara kedua belah pihak. Keuntungan yang besar hanya dapat hanya dapat

dicapai oleh kedua belah pihak yang mampu menjalin sinergisme yang saling

menguntungkan. Oleh karena itu, kedua belah pihak harus mengetahui dan

memahami hak dan kewajiban yang dibebankan kepada masing-masing pihak

demi memperoleh keuntungan dan menghindari perselisihan. Berikut adalah hak

dan kewajiban Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi:113

a. Hak dan Kewajiban Pemberi Lisensi

(i) Hak Pemberi Lisensi

• Melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan dan penggunaan

atau pemanfaatan lisensi oleh Penerima Lisensi.

113 Widjaja, loc. cit., hal. 30-33.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

64

Universitas Indonesia

• Memperoleh laporan-laporan secara berkala atas jalannya kegiatan

usaha Penerima Lisensi yang menggunakan HAKI yang

dilisensikan.

• Melaksanakan inspeksi pada daerah kerja Penerima Lisensi guna

memastikan bahwa HAKI yang dilisensikan telah dilaksanakan

sebagaimana mestinya.

• Mewajibkan Penerima Lisensi, dalam hal-hal tertentu, untuk

membeli barang modal an atau barang-barang lainnya dari Pemberi

Lisensi.

• Mewajibkan Penerima Lisensi untuk menjaga kerahasiaan HAKI

yang dilisensikan.

• Menerima pembayaran Royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah

yang dianggap layak olehnya.

• Meminta dilakukan pendaftaran atas Lisensi yang diberikan kepada

Penerima Lisensi.

• Atas pengakhiran lisensi, meminta kepada Penerima Lisensi untuk

mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang

diperoleh Penerima Lisensi selama masa pelaksanaan lisensi.

• Atas pengakhiran lisensi melarang Penerima Lisensi untuk

memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun

keterangan yang diperoleh oleh Penerima Lisensi selama

pelaksanaan lisensi.

• Atas pengakhiran lisensi, melarang Penerima Lisensi untuk tetap

melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang secara

langusng maupun tidak langsung menimbulkan persaingan dengan

menggunakan HAKI yang dilisensikan.

• Pemberian lisensi tidak menghapuskan hak Pemberi Lisensi untuk

tetap memanfaatkan, menggunakan atau melaksanakan sendiri

HAKI yang dilisensikan.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

65

Universitas Indonesia

(ii) Kewajiban Pemberi Lisensi

• Memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan

HAKI yang dilisensikan, yang diperlukan oleh Penerima Lisensi

untuk melaksanakan lisensi yang diberikan.

• Memberikan bantuan kepada Penerima Lisensi mengenai cara

pemanfaatan dan atau penggunaan HAKI yang dilisensikan.

b. Hak dan Kewajiban Penerima Lisensi

(i) Hak Penerima Lisensi

• Memperoleh segala macam informasi yang berhubungan dengan

HAKI yang dilisensikan, yang diperlukan olehnya untuk

melaksanakan lisensi yang diberikan.

• Memperoleh bantuan dari Pemberi Lisensi atas segala macam cara

pemanfaatan dan atau penggunaan HAKI yang dilisensikan.

(ii) Kewajiban Penerima Lisensi

• Melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh Pemberi

Lisensi kepadanya guna melaksanakan HAKI yang dilisensikan.

• Memberikan keleluasaan bagi Pemberi Lisensi untuk melakukan

pengawasan maupun inspeksi berkala mapun secara tiba-tiba, guna

memastikan bahwa Penerima Lisensi telah melaksanakan HAKI

yang dilisensikan dengan baik.

• Memberikan laporan-laporan baik secara berkala mapun atas

permintaan khusus dari Pemberi Lisensi.

• Membeli modal atau barang-barang tertentu lainnya dalam rangka

pelaksanaan lisensi dari Pemberi Lisensi.

• Menjaga kerahasiaan atas HAKI yang dilisensikan, baik selama

maupun setelah berakhirnya masa pemberian lisensi.

• Melaporakan segala pelanggaran HAKI yang ditemukan dalam

praktek.

• Tidak memanfaatkan HAKI yang dilisensikan selain dengan tujuan

untuk melaksanakan lisensi yang diberikan.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

66

Universitas Indonesia

• Melakukan Pendaftaran Lisensi bagi kepentingan Pemberi

Lisensi.dan jalannya pemberian lisensi.

• Tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang

secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan

persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan HAKI

yang dilisensikan.

• Melakukan pembayaran Royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah

yang telah disepakati secar bersama.

• Atas pengakhiran lisensi, mengembalikan seluruh data,

informasi maupun keterangan yang diperolehnya selama masa

pelaksanaan lisensi.

• Atas pengakhiran lisensi tidak memanfaatkan lebih lanjut

seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh oleh

Penerima Lisensi selama pelaksanaan lisensi.

• Atas pengakhiran lisensi, tidak lagi melakukan kegiatan yang

sejenis, serupa, ataupun yang secara langusng maupun tidak

langsung menimbulkan persaingan (tidak sehat) dengan

menggunakan HAKI yang dilisensikan.

3.2.6 Hal-hal yang diatur dalam Perjanjian Lisensi

Pengetahuan akan hak dan kewajiban Pemberi Lisensi dan Penerima

Lisensi adalah dasar pembentukan perjanjian lisensi. Hal-hal yang secara umum

dibahas dalam suatu perjanjian lisensi adalah:114

a. Identifikasi atas jenis HAKI yang dilisensikan.

Jenis HAKI harus secara jelas diidentifikasi karena lisensi atas Merek

berbeda dengan Lisensi hak cipta.

b. Luasnya ruang lingkup HAKI yang dilisensikan.

114 Ibid., hal. 18-30.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

67

Universitas Indonesia

Hak ini mempunyai hubungan yang erat dengan luas HAKI yang

dilisensikan oleh Pemberi Lisensi kepada Penerima Lisensi, misalnya,

hanya pemanfaatan Merek atau bersama dengan metode produksi. Selain

itu, hal yang harus diperhatikan adalah keleluasaan modifikasi,

pengembangan atau penyempurnaan atas HAKI yang dilisensikan yang

dapat dilakukan oleh Penerima Lisensi.

c. Tujuan Pemberian lisensi HAKI.

Pada umumnya tujuan pemberian lisensi adalah pengembangan usaha.

Dalam bentuk demikian, Pemberi Lisensi dapat mengembangkan usahanya

secara lebih leluasa dengan sumber daya yang lebih kecil.

d. Eksklusifitas pemberian lisensi.

Suatu lisensi dikatakan eksklusif jika lisensi tersebut diberikan dengan

kewenangan penuh untuk melaksanakan, memanfaatkan atau

mempergunakan suatu HAKI yang diberikan perlindungan oleh Negara.

Akan tetapi ekslusifitas tersebut tidak bersifat absolut atau mutlak karena

dibatasi oleh berbagai hal seperti jangka waktu, wilayah, dan/atau produk

tertentu. Selanjutnya pemberian lisensi yang tidak memberikan

kewenangan penuh disebut dengan non-exclusive. Dalam prakteknya

jarang sekali ditemui lisensi yang bersifat eksklusif dan apabila pemberian

lisensi tersebut bersifat eksklusif, biasanya masih dikaitkan dengan time

exclusivity atau product exclusivity.

e. Spesifikasi khusus yang berhubungan dengan wilayah pemberian lisensi,

baik dalam bentuk kewenangan untuk melakukan produksi dan/atau untuk

melaksanakan penjualan dari barang dan atau jasa yang mengandung

HAKI yang dilisensikan. Ketentuan ini merupakan pengembangan lebih

lanjut dari sifat eksklusifitas pemberian lisensi. Pemberian lisensi biasanya

disertai dengan spesifikasi khusus terhadap wilayah tertentu atau waktu

tertentu guna diversifikasi risiko Pemberi Lisensi.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

68

Universitas Indonesia

f. Hak Pemberi Lisensi atas laporan-laporan berkala dan untuk

melaksanakan inspeksi-inspeksi atas pelaksanaan jalannya pemberian

Lisensi dan kewajiban Penerima Lisensi untuk memenuhinya.

g. Ada tidaknya kewajiban bagi penerimaan lisensi untuk membeli barang

modal tertentu ataupun barang-barang tertentu lainnya dalam rangka

pelaksanaan lisensi dari Pemberi Lisensi. Adakalanya Pemberi Lisensi

mewajibkan Penerima Lisensi untuk membeli barang modal (capital

goods) tertentu dari Pemberi Lisensi sebagai bagian dari paket lisensi yang

dijual. Hal ini dianggap sebagai suatu ‘pengorbanan’ untuk menggunakan

HAKI yang dilisensikan.

h. Pengawasan oleh Pemberi Lisensi.

Pengawasan oleh Pemberi Lisensi pada umumnya dilakukan terhadap

pengolahan atau pemanfaatan yang memerlukan keahlian khusus. Hal ini

karena Pemberi Lisensi sangat berkepentingan atas kebakuan produk dan

jasa yang dihasilkan oleh Penerima Lisensi demi menjaga keseragaman

produk barang atau jasa.

i. Kerahasiaan atas HAKI yang dilisensikan.

Kewajiban Penerima Lisensi untuk menjaga kerahasiaan HAKI yang

dilisensikan maupun pelaksanaan lisensi yang disepakati harus

dirahasiakan.

j. Ketentuan non-kompetisi (non-competition clause)

Ketentuan ini mengatur bahwa Penerima Lisensi tidak diperkenankan

untuk melaksanakan kegiatan yang sama atau yang dapat menimbulkan

persaingan, baik dengan menggunakan HAKI yang dilisensikan kepada

Penerima Lisensi ataupun tidak. Non-competition clause atau yang sering

disebut sebagai negaitve covenant not to compete harus secara rinci

menetapkan jangka waktu larangan tersebut, seperti selama perjanjian

berlaku dan berapa lama setelah perjanjian berakhir. Selain jangka waktu,

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

69

Universitas Indonesia

wilayah juga masuk dalam pertimbangan ketentuan non-kompetisi.

Apabila setelah perjanjian berakhir Penerima Lisensi membuka usaha

yang serupa namun tidak dalam wilayah yang sama dengan Pemberi

Lisensi, apakah hal tersebut dilarang dalam perjanjian. Secara umum,

ketentuan non-kompetisi dapat ditetapkan dala bentuk sebagai berikut:

(i) Larangan untuk membuka usaha yang serupa dimanapun selama

perjanjian berlaku dan waktu tertentu setelah perjanjian berakhir.

(ii) Larangan untuk membuka usaha yang serupa di dalam wilayah yang

dapat menyebabkan persaingan usaha selama perjanjian berlaku dan

waktu tertentu setelah perjanjian berakhir.

k. Kewajiban memberikan perlindungan atas HAKI yang dilisensikan.

Kewajiban ini terletak pada Penerima Lisensi untuk turut melaporakan

pelanggaran atas HAKI yang dilisensikan Pemberi Lisensi. Akan tetapi

Penerima Lisensi tidaklah berhak untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri

kecuali atas perintah dan kuasa tertulis dari Pemberi Lisensi. Hal ini

disebabkan oleh status Penerima Lisensi yang bukan merupakan pemilik

HAKI karena dalam lisensi tidak ada pengalihan hak.

l. Kewajiban Pendaftaran Lisensi

Kewajiban untuk mencatatkan Perjanjian Lisensi ditetapkan dalam Pasal

43 ayat (3) UU Merek Tentang Merek.

m. Kompensasi dalam bentuk royalty dan pembayarannya.

Tujuan Pemberi Lisensi memberikan hak pemanfaatan atau penggunaan

HAKI tidak lain adalah untuk mendapatkan keuntungan dan hasil yang

baik. Hasil ini pada umumnya berhubungan dengan royalty yang harus

dibayar oleh Penerima Lisensi. Royalty ini berbeda-beda menurut jenis,

besar dan cara pembayarannya dan bergantung pada jenis dan ruang

lingkup HAKI yang dilisensikan. Menurut Licensing Guide for

Developing Countries yang diterjemahkan oleh WIPO, jenis pembayaran

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

70

Universitas Indonesia

yang dapat diminta oleh Pemberi Lisensi meliputi harga, remunerasi,

royalty, pembayaran jasa, komisi atau biaya.

n. Penyelesaian Perselisihan

Penyelesaian perselisihan merupakan hal yang krusial bagi Pemberi

Lisensi mengingat sifat kerahasiaan dari pemberian lisensi itu sendiri.

Forum penyelesaian perselisihan harus disepakati oleh kedua belah pihak

dalama perjanjian. Pada umumnya akan ditempuh terlebih dahulu tahap

mediasi dan negosiasi, apabila tidak berhasil, dapat berlanjut ke arbitrase.

o. Pengakhiran Pemberian Lisensi

Pengakhiran perjanjian lisensi tunduk pada Pasal 1266 KUH Perdata

sebagaimana telah dibahas dalam BAB II dari skripsi ini. Namun yang

perlu diperhatikan adalah klausul yang melarang Penerima Lisensi untuk

menjalankan usaha yang sama dalam jangka waktu tertentu setelah

pengakhiran perjanjian.

3.2.7 Proses Pemberian Lisensi

Proses pemberian lisensi berdasarkan UU Merek Tentang Merek adalah

sebagai berikut:

a. Apabila HAKI yang ingin dilisensikan belum terdaftar, dalam hal ini

Merek, maka harus dilakukan terlebih dahulu pendaftaran Merek. Pemberi

Lisensi dapat mengajukan permohonan pendaftaran kepada Direktorat

Jenderal HAKI dengan memenuhi syarat dalama Pasal 7.

b. Calon Pemberi Lisensi dapat mengajukan dua kelas barang atau jasa dalam

satu permohonan. (Pasal 8)

c. Apabila seluruh syarat administratif telah terpenuhi, terhadap permohonan

tersebut akan menerima Tanggal Penerimaan yang akan dicatat Direktorat

Jenderal. (Pasal 15)

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

71

Universitas Indonesia

d. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Tanggal Penerimaan,

Direktorat melakukan pemeriksaan substantif. (Pasal 18)

e. Apabila Permohonan dapat disetujui oleh Direktorat Jenderal HAKI, maka

Permohonan akan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. (Pasal 21)

f. Pengumuman akan dilangsungkan selama 3 (tiga) bulan dengan

mencantumkan ketentuan dalam Pasal 23.

g. Dalam hal tidak ada keberatan, Direktorat Jenderal menerbitkan dan

memberikan Sertifikat Merek kepada Pemohon atau Kuasanya dalam

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya

jangka waktu pengumuman. (Pasal 27)

h. Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10

(sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu perlindungan

itu dapat diperpanjang. (Pasal 28)

i. Setelah mendaftarkan Merek, Pemberi Lisensi dapat mengadakan

perjanjian pemberian lisensi kepada Penerima Lisensi yang dapat

dilakukan dibawah tangan maupun diaktakan. (Pasal 43)

j. Perjanjian Lisensi kemudian wajib dimohonkan pencatatannya pada

Direktorat Jenderal HAKI (Pasal 43 ayat (3)).

k. Perjanjian Lisensi akan dicatat oleh Direktorat Jenderal dalam Daftar

Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. (Pasal 43 ayat

(4))

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

72

Universitas Indonesia

3.3 LANDASAN TEORI DISTRIBUTORSHIP

3.3.1 Pengertian Umum Distributor dan Perbedaannya dengan Keagenan

Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara

khusus mengatur mengenai distributorship. Pengaturan mengenai distributorship

berada di berbagai peraturan seperti KUH Perdata, serta peraturan perundang-

undangan yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian maupun Departemen

Perdagangan. Pengaturan kedistribusian dan keagenan yang hanya melihat dan

mempertimbangkan secara sektoral saja dapat menimbulkan kerancuan mengenai

pengertian istilah-istilah tersebut dari kedua instansi yang berbeda. Berdasarkan

peraturan terbaru yang diterbitkan oleh Menteri Perdagangan pada tahun 2006,

yaitu, Peraturan Menteri Perdagangan 11/M-DAG/PER/3/2006 Tentang

Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau

Distributor Barang dan/atau Jasa, (Permendag Tahun 2006), pengertian agen dan

Distributor adalah berbeda. Berdasarkan Pasal 1 angka 5, Distributor adalah:

“Distributor adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.”

Di sisi lain, pengertian agen berdasarkan Pasal 1 angka 4 Permendag

Tahun 2006 adalah:

“Agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya.”

Dengan dasar pengertian yang tertera diatas, serta penjelasan menurut

beberapa literatur, pengertian agen dan Distributor pada dasarnya memang

mempunyai pengertian yang berbeda. Distributor adalah perusahaan atau pihak

yang ditunjuk oleh prinsipal untuk memasarkan dan menjual barang-barang

prinsipalnya dalam wilayah tertentu untuk jangka waktu tertentu, tetapi bukan

sebagai kuasa prinsipal.115 Dengan kata lain, Distributor tidak bertindak untuk dan

115 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Laporan Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1992/1993), hal. 9.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

73

Universitas Indonesia

atas nama prinsipalnya, tetapi bertindak untuk dan atas nama sendiri. Distributor

melakukan usahanya dengan cara membeli sendiri barang-barang dari

prinsipalnya dan kemudian menjualnya kepada para pembeli di dalam wilayah

yang diperjanjikan antara Distributor dan prinsipalnya. Dengan demikian, segala

akibat hukum dari perbuatannya menjadi tanggung jawab Distributor itu

sendiri.116

Berbeda dengan agen, yang dimaksud dengan agen adalah seseorang atau

badan yang usahanya adalah menjadi perantara yang diberi kuasa untuk

melakukan perbuatan hukum tertentu misalnya untuk membuat perjanjian dengan

pihak ketiga, dengan mendapatkan imbalan jasa.117 Dalam hal ini prinsipal akan

bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh agen sepanjang

tindakan-tindakan tersebut dilakukan dalam batas kewenangan yang

diberikannya. Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal, maka agen tidak

melakukan pembelian dari prinsipalnya.118 Berbeda dengan Distributor yang

membeli barang dari prinsipal dan kemudian menjual barang tersebut kepada

pembeli.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa perbedaan fungsi spesifik

antara agen dan Distributor sebagai berikut:

Agen Distributor

Perusahaan yang menjual barang

atau jasa untuk dan atas nama

prinsipal.

Perusahaan yang bertindak untuk

dan atas namanya sendiri.

Pendapatan yang diterima adalah

hasil dari barang-barang atau jasa

yang dijual kepada konsumen

Membeli dari prinsipal/ produsen

dan menjual kembali kepada

116 Ibid. 117 Ibid. 118 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ps. 1797 dan Ps. 1801.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

74

Universitas Indonesia

berupa komisi dari hasil penjualan. konsumen untuk kepentingan

sendiri.

Barang dikirimkan langsung dari

prinsipal kepada konsumen jika

antara agen dengan konsumen

mencapai suatu kesepakatan

Prinsipal tidak selalu mengetahui

konsumen akhir dari produk-

produknya.

Pembayaran atas barang yang telah

diterima oleh konsumen lagsung

kepada prinsipal bukan merlalui

agen.

Distributor bertanggung jawab atas

keamanan pembayaran barang-

barangnya untuk kepentingan

sendiri.

3.3.2 Pihak-Pihak dalam Perjanjian Penunjukan Distributor

Pada umumnya dalam perjanjian penunjukan Distributor terdapat dua

pihak, yaitu prinsipal dengan Distributor. Berdasarkan Permendag Tahun 2006,

prinsipal dibagi menjadi prinsipal produsen dan prinsipal supplier, sedangkan

Distributor dibagi menjadi Distributor tunggal dan Sub-distributor. Berikut adalah

pengertian prinsipal dan Distributor:

Prinsipal adalah:

“perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum di luar negeri atau di dalam negeri yang menunjuk agen atau Distributor untuk melakukan penjualan barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai. Prinsipal dibedakan menjadi prinsipal produsen dan prinsipal supplier.”

Prinsipal produsen adalah:

“perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, berstatus sebagai produsen yang menunjuk badan usaha lain sebagai agen, agen tunggal, Distributor atau Distributor tunggal untuk melakukan penjualan atas barang hasil produksi dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.”

Prinsipal supplier adalah:

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

75

Universitas Indonesia

“perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang ditunjuk oleh prinsipal produsen untuk menunjuk badan usaha lain sebagai agen, agen tunggal, Distributor atau Distributor tunggal sesuai kewenangan yang diberikan oleh prinsipal produsen.”

Distributor adalah:

“perusahaan perdagangan nasional yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.”

Distributor Tunggal adalah:

“perusahaan perdagangan nasional yang mendapatkan hak eksklusif dari prinsipal berdasarkan perjanjian sebagai satu-satunya Distributor di Indonesia atau wilayah pemasaran tertentu.”

Sub Distributor adalah:

“perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan penunjukan atau perjanjian dari Distributor atau Distributor tunggal untuk melakukan pemasaran.”

Selanjutnya, pihak yang berhak melakukan penunjukkan Distributor atau

Distributor tunggal adalah:

(i) Prinsipal produsen;

(ii) Prinsipal supplier berdasarkan persetujuan dari prinsipal produsen;

(iii)Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di bidang

perdagangan sebagai Distributor/wholesaler;

(iv) Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing.

Berdasarkan pengertian yang tertera, maka dapat disimpulkan bahwa

prinsipal produsen, PMA yang bergerak di bidang perdagangan sebagai

Distributor/wholesaler, dan Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing

dapat menjual produknya melalui prinsipal supplier sebelum kepada Distributor

atau langsung kepada Distributor untuk dijual kepada konsumen. Selain itu,

prinsipal mempunyai hak untuk menentukan apakah hanya akan ada Distributor

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

76

Universitas Indonesia

tunggal atau akan ada Sub-distributor. Hal ini akan tergantung dengan skala dan

bentuk usaha prinsipal.

3.3.3 Hak dan Kewajiban Prinsipal dan Distributor

Untuk memperjelas tugas para pihak dan mencegah potensi konflik, maka

perlu diatur secara rinci hak dan kewajiban para prinsipal dan Distributor. Dalam

Permendag Tahun 2006, hanya terdapat 1(satu) pasal yang mengatur tentang hak

dan kewajiban prinsipal dan Distributor, yaitu Pasal 20. Berikut adalah

rangkuman hak dan kewajiban prinsipal dan Distributor secara umum berdasarkan

perjanjian Distributor yang dibuat oleh seorang notaris digabung dengan

Permendag Tahun 2006:119

a. Hak Prinsipal

(i) Prinsipal berhak untuk menunjuk sendiri perusahaan atau perorangan

yang ingin dijadikan Distributornya.

(ii) Prinsipal berhak menerima pembayaran dari Distributor atas barang

atau produk yang telah dibeli oleh Distributor dengan harga yang

telah disepakati kedua belah pihak.

(iii) Prinsipal berhak mengakhiri perjanjian apabila ada cidera janji.

b. Kewajiban Prinsipal

(i) Prinsipal wajib memasok produknya yang didistribusikan kepada

Distributor menurut syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan

penyerahan barang yang disetujui bersama oleh kedua belah pihak.

(ii) Prinsipal wajib memelihara mutu produk dan menyediakan daftar

harga bagi Distributor.

(iii) Prinsipal wajib menjamin pengiriman komponen dan suku cadang

barang-barang yang menjadi obyek perjanjian dengan teratur dalam

rangka pemberian jaminan pelayanan purna jual kepada pemakai

sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (4) Permendag Tahun 2006.

119 Ibid., hal. 28

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

77

Universitas Indonesia

(iv) Prinsipal wajib membantu Distributor dalam keterampilan teknik,

perencanaan dan manajemen dalam memberikan pelayanan purna jual

serta secara teratur memberikan informasi tentang perkembangan,

sebagaimana juga diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Permendag Tahun

2006.

c. Hak Distributor

(i) Distributor berhak memilih dan menentukan sendiri prinsipal dan

jenis barang yang akan didistribusikan.

(ii) Distributor berhak untuk bertindak atas nama sendiri dan membuat

perjanjian penjualan untuk produksi yang didistribusikan dalam

daerah yang sudah ditentukan prinsipal.

(iii) Apabila diperlukan, agen, agen tunggal, Distributor atau Distributor

tunggal dapat mempekerjakan tenaga ahli warga negara asing dalam

bidang teknis sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana

diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Permendag Tahun 2006.

(iv) Distributor berhak menetapkan harga jual barang kepada konsumen

sehingga memperoleh keuntungan dari penjualan tersebut.

d. Kewajiban Distributor

(i) Distributor wajib mempromosikan dan memasarkan produk yang

didistribusikan dengan sebaik-baiknya.

(ii) Distributor tidak boleh menjual produk dibawah harga minimum

yang telah ditentukan, kecuali dengan persetujuan tertulis prinsipal.

(iii) Distributor wajib melindungi kepentingan dan kerahasiaan prinsipal

terhadap barang dan/atau jasa yang diageni sesuai yang disepakati

dalam perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3)

Permendag Tahun 2006.

(iv) Distributor wajib langsung membuat perjanjian Distributor dengan

prinsipal.

(v) Distributor membayar semua biaya periklanan, publikasi untuk

promosi barang yang didistribusikan karena ia bertindak atas untuk

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

78

Universitas Indonesia

dan atas nama sendiri, kecuali disetujui oleh prinsipal bahwa biaya

tersebut dipikul oleh prinsipal.

(vi) Menyampaikan laporan kegiatan perusahaan setiap 6 (enam) bulan

sekali kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan

(Pasal 19).

3.3.4 Hal-Hal Umum yang Diatur Dalam Perjanjian Penunjukan

Distributor

Menurut Pasal 21 ayat (7) Permendag Tahun 2006, hal-hal yang harus

diatur dalam perjanjian Distributor paling sedikit memuat hal-hal berikut ini:

a. Nama dan alamat lengkap pihak-pihak yang membuat perjanjian;

Bagian ini menjelaskan identitas para pihak serta domisili para pihak. Hal

ini penting untuk menunjukkan kecakapan para pihak dalam melakukan

tindakan hukum serta membuat perjanjian.

b. Maksud dan tujuan perjanjian;

Bagian ini memuat ringkasan dari penunjukan Distributor berikut

kesepakatan antara prinsipal dan Distributor untuk melakukan

pengembangan usaha melalui Distributor.

c. Status keagenan atau kedistributoran;

Dalam bagian ini dijelaskan status Distributor apakah sebagai Distributor

tunggal atau sebagai Sub-distributor. Hal ini dekat kaitannya dengan hak

yang diperoleh Distributor tersebut apakah ia boleh menunjuk sub-

Distributor atau tidak.

d. Jenis barang dan/atau jasa yang diperjanjikan;

Bagian ini memuat produk barang dan/atau jasa yang akan didistribusikan.

Mengingat syarat sah perjanjian yaitu suatu hal tertentu, maka di bagian

ini harus dijelaskan secara rinci jenis barang serta harga barang tersebut.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

79

Universitas Indonesia

e. Wilayah pemasaran;

Seperti franchise, wilayah pemasaran yang ditetapkan dalam perjanjian

adalah hak untuk beroperasi di wilayah tertentu. Hak tersebut juga

merupakan batasan wilayah bagi Distributor untuk melakukan usaha.

f. Hak dan kewajiban masing-masing pihak;

Bagian hak dan kewajiban yang umumnya harus dilakukan telah diuraikan

diatas sebelumnya. Selain hal-hal yang umum, dapat diperjanjikan juga

hal-hal yang khusus sesuai dengan kesepakatan para pihak. Akan tetapi

hal-hal yang diperjanjikan secara khusus harus dilakukan berdasarkan

itikad baik dan keadilan sesuai dengan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUH

Perdata.

g. Kewenangan;

Bagian ini memuat kewenangan Menteri untuk mengatur mengenai

pendaftaran Distributor. Kewenangan ini kemudian dilimpahkan kepada

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, yang selanjutnya

dilimpahkan lagi kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan

(Pasal 3 Permendag Tahun 2006).

h. Jangka waktu perjanjian;

Pada dasarnya, jangka waktu perjanjian tergantung pada kesepakatan para

pihak, namun yang perlu diperhatikan adalah Surat Tanda Pendaftaran

(STP) yang umumnya berlaku paling lama 2 (dua) tahun kecuali

ditetapkan lain dalam perjanjian (Pasal 16 Permendag Tahun 2006). Oleh

karena itu, apabila jangkwa waktu yang ditetapkan dalam perjanjian

kurang dari 2 tahun, maka STP yang berlaku akan sesuai dengan

perjanjian tersebut. Akan tetapi apabila jangka waktu melebihi 2 tahun,

maka setelah 2(dua) tahun, STP tersebut harus diperpanjang sebagaimana

diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 13 Permendag Tahun 2006.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

80

Universitas Indonesia

i. Cara-cara pengakhiran perjanjian;

Perjanjian penunjukan Distributor dapat berakhir apabila jangka waktu

dalam perjanjian sudah berakhir atau berdasarkan kesepakatan dari para

pihak dalam hal jangka waktu perjanjian belum berakhir. Selain itu,

menurut Pasal 22 Permendag Tahun 2006 perjanjian juga dapat berakhir

apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:

(i) perusahaan dibubarkan;

(ii) perusahaan menghentikan usaha;

(iii) dialihkan hak keagenan/kedistributorannya;

(iv) bangkrut/pailit; dan

(v) perjanjian tidak diperpanjang.

Apabila pemutusan perjanjian sebagai Distributor tunggal atau Distributor

diikuti dengan penunjukan Distributor baru sebelum berakhirnya STP,

maka STP baru dapat diberikan kepada Distributor baru setelah tercapai

penyelesaian secara tuntas (clean break). Akan tetapi apabila pemutusan

perjanjian secara sepihak oleh prinsipal tidak diikuti dengan penunjukan

Distributor atau Distributor tunggal yang baru, maka prinsipal wajib terus

memasok suku cadang kepada Distributor atau Distributor tunggal yang

lama paling sedikit 2 (dua) tahun untuk menjaga kontinuitas pelayanan

purna jual kepada pemakai barang tersebut. Dalam hal Distributor sudah

tidak melakukan kegiatan usahanya, maka Distributor harus melaporkan

penutupan kegiatan usahanya dan mengembalikan STP asli kepada

Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan (Pasal 19 ayat (2)).

j. Cara-cara penyelesaian perselisihan;

Berdasarkan Pasal 23 Permendag Tahun 2006, cara-cara penyelesaian

perselisihan meliputi:

(i) Pengakhiran sesuai dengan isi perjanjian;

(ii) Musyawarah;

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

81

Universitas Indonesia

(iii) Arbitrase;

(iv) Pengadilan sesuai hukum yang dipergunakan.

Dalam perjanjian dapat ditetapkan forum penyelesaian sengketa yang

disepakati oleh kedua bela pihak. Pada umumnya, banyak yang memilih

arbitrase karena prosesnya yang lebih cepat dan tertutup untuk publik.

k. Pilihan Hukum;

Apabila prinsipal dan Distributor merupakan warga negara

Indonesia atau badan hukum indonesia, maka hukum yang dipergunakan

adalah hukum Indonesia. Akan tetapi dalam hal salah satu pihak adalah

warga negara asing, maka harus ditetapkan dalam perjanjian pilihan

hukum atas perjanjian tersebut.

Kebebasan dalam memilih hukum sudah sejak lama diterima oleh

yurisprudensi dan dalam negara-negara barat dengan sistim kapitalisme

liberal dan negara-negara sosialis. Walaupun demikian, terdapat batasan-

batasan dalam melakukan pilihan hukum. Batasan pertama adalah bahwa

pilihan hukum tidak boleh melanggar ketertiban umum. Selain itu, pilihan

hukum tidak boleh digunakan demi melakukan penyelundupan hukum.

Selanjutnya, perjanjian harus masuk dalam bidang kontrak yang dapat

melakukan pilihan hukum seperti perikatan usaha. Hal ini ditekankan

karena terdapat bidang yang dilarang melakukan pilihan hukum seperti

kontrak kerja dimana Hukum Indonesia-lah yang harus berlaku. Terakhir,

hukum yang dipilih harus mempunyai hubungan riil dengan kontrak yang

bersangkutan.120

l. Tenggang waktu penyelesaian.

Tenggang waktu penyelesaian pada dasarnya dapat disepakati antara para

pihak, namun Pasal 22 ayat (6) Permendag Tahun 2006 menyatakan

bahwa apabila dalam 3(tiga) bulan clean break tidak dapat dilakukan,

maka STP diyatakan tidak berlaku dan prinsipal dapat menunjuk

Distributor baru.

120 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. ke-5,

(Bandung: Binacipta, 1987), hal. 169-170.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

82

Universitas Indonesia

m. Ketentuan Mengenai Bahasa

Selain ketentuan umum yang ditetapkan dalam Pasal 21 ayat (1) hingga

ayat (7), ayat (8) mengatur bahwa perjanjian yang ditulis dalam bahasa

asing wajib diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah

tersumpah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam bagian

franchise, ketentuan ini sejalan dengan ketentuan dalam UU No. 24

Tahun 2009. Akan tetapi terjemahan harus dilakukan dengan cermat

karena perbedaan interpretasi dapat merugikan salah satu pihak dalam

perjanjian.

3.3.5 Proses Penunjukan Distributor

Proses penunjukkan Distributor dibagi menjadi 3 bagian,. Pertama, dalam

hal penunjukkan dilakukan oleh Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan

Asing. Kedua, penunjukkan dilakukan oleh Perusahaan Penanaman Modal Asing

dan ketiga penunjukkan dilakukan oleh perusahaan dalam negeri.

Berdasarkan Permendag Tahun 2006, apabila penunjukkan dilakukan oleh

Perusahaan Penanaman Modal Asing yang bergerak di bidang perdagangan

sebagai Distributor/wholesaler, maka prosedur penunjukkan Distributor di

Indonesia didahului dengan:

(i) Menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai Distributor atau

Distributor tunggal;

(ii) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada huruf (ii) dibuat dalam bentuk

perjanjian yang dilegalisir oleh notaris

(iii)Mendapat persetujuan tertulis dari prinsipal produsen yang diwakilinya di

luar negeri atas perjanjian tersebut.

(iv) Memenuhi semua syarat yang ditentukan dalam Pasal 8 sebelum

melakukan pendaftaran.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

83

Universitas Indonesia

Apabila penunjukkan Distributor atau Distributor tunggal dilakukan oleh

Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing, maka prosedur penunjukan

Distributor didahului dengan:

(i) Memiliki Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing

(SIUP3A).

(ii) Menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai Distributor atau

Distributor tunggal;

(iii)Penunjukan sebagaimana dimaksud pada huruf (i) dibuat dalam bentuk

perjanjian yang dilegalisir oleh notaris

(iv) Mendapat persetujuan tertulis dari prinsipal produsen yang diwakilinya di

luar negeri atas perjanjian tersebut.

(v) Memenuhi semua syarat yang ditentukan dalam Pasal 8 sebelum

melakukan pendaftaran.

Apabila penunjukkan Distributor atau Distributor tunggal dilakukan oleh

perusahaan dalam negeri, maka prosedut penunjukkan Distributor didahului

dengan:

(i) Menentukan Distributor atau Distributor tunggal dalan bentuk perjanjian

penunjukkan Distributor. Perjanjian yang diadakan perusahaan dalam

negeri sebagai prinsipal tidak perlu di legalisir oleh notaris.

(ii) Memenuhi semua syarat dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12.

Tahap selanjutnya setelah menyelesaikan perjanjian penunjukkan

Distributor, maka harus dialanjutkan dengan tahap-tahap berikut:

• Mendaftarkan perjanjian tersebut demi memperoleh Surat Tanda

Pendaftaran yang diterbitkan oleh yang diterbitkan Direktur Bina Usaha

dan Pendaftaran Perusahan, Departemen Perdagangan (Pasal 2).

• Mengajukan permohonan pendaftaran Distributor, Distributor tunggal atau

sub Distributor yang ditandatangani oleh Direktur atau penanggung jawab

perusahaan secara tertulis kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran

Perusahaan, Departemen Perdagangan (Pasal 6).

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

84

Universitas Indonesia

• Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan menerbitkan STP paling

lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan

pendaftaran secara lengkap dan benar (Pasal 7).

Demikian landasan teori franchise, lisensi dan Distributor. Bab selanjutnya

dalam skripsi ini akan membandingkan ketiga lembaga tersebut serta menentukan

lembaga yang paling sesuai untuk pengembangan usaha Rica Rico Bika Ambon.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

85

Universitas Indonesia

BAB 4

PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTOR

(ANALISA KASUS PENGEMBANGAN USAHA RICA RICO)

4.1 PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTOR

4.1.1 Persamaan

a. Badan Usaha yang Terpisah

Waralaba, pemberian lisensi dan Distributor adalah upaya

pengembangan usaha yang dapat diterapkan tidak hanya pada usaha

dengan skala besar, tetapi juga untuk usaha kecil dan menengah. Ketiga

lembaga ini dapat mempermudah penetrasi pasar yang lebih luas tanpa

menambah beban operasional terhadap pemegang usaha pusat atau utama.

Hal ini karena usaha yang dipegang dan dijalankan oleh Penerima

Waralaba, Penerima Lisensi dan Distributor merupakan badan usaha yang

terpisah dari badan usaha Pemberi Waralaba, Pemberi Lisensi dan

prinsipal. Dengan demikian, kedua badan usaha tersebut berdiri sendiri

terlepas dari badan usaha pusat.

b. Produk dengan Merek yang Dipasarkan

Dalam ketiga upaya pengembangan usaha tersebut, Penerima

Waralaba, Penerima Lisensi dan Distributor menjual produk-produk yang

sudah memiliki merek tertentu. Dengan demikian dalam proses

pemasaran, Penerima Waralaba, Penerima Lisensi dan Distributor

menggunakan citra merek yang sudah melekat pada produk tersebut dan

menjualnya pada konsumen. Penggunaan merek dapat meliputi

pemasangan merek pada bagian depan unit usaha.

Dalam waralaba dan lisensi, produk yang dipasarkan adalah produk-

produk dengan merek dagang milik Pemberi Lisensi atau Pemberi

Waralaba. Dengan demikian penggunaan merek dianggap wajar. Dalam

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

86

Universitas Indonesia

Distributor, prinsipal dapat merangkap sebagai produsen yang memegang

kepemilikan merek ataupun tidak. Akan tetapi penggunaan merek oleh

Distributor tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan kecuali

ditentukan lain oleh para pihak. Namun pada intinya, Penerima Waralaba,

Penerima Lisensi dan Distributor berperan sebagai saluran untuk menjual

produk dari pusat kepada konsumen dengan menggunakan merek yang

melekat pada produk tersebut.

c. Tidak ada Pengalihan Kepemilikan atas Know-how atau Hak atas

Paten

Dalam ketiga lembaga tersebut tidak ada pengalihan kepemilikan

atas know-how atau hak atas paten. Dengan demikian, Penerima Waralaba,

Penerima Lisensi dan Distributor tidak mempunyai kepemilikan hak atas

merek dan hak atas paten.

Dalam waralaba dan pemberian lisensi, terdapat disclosure atas

know-how dan teknologi. Perbedaan ini akan selanjutnya dibahas secara

lebih rinci dalam bagian perbedaan di bagian bawah. Walaupun demikian,

adanya disclosure tidak menandakan adanya pengalihan kepemilikan hak

atas paten atau know-how. dengan demikian, kepemilikan hak atas merek,

know-how dan hak atas paten tetap berada pada Pemberi Waralaba,

Pemberi Lisensi, dan produsen.

d. Adanya Pembagian Wilayah

Dalam pelaksanaan pengembangan usaha, terdapat pembagian

wilayah yaitu batasan wilayah usaha yang diberikan kepada, Penerima

Waralaba, Penerima Lisensi maupun Distributor. Wilayah usaha tidak

hanya mencerminkan lokasi usaha tetapi juga untuk menunjukan batasan

wilayah yang diberikan kepada Penerima Waralaba, Penerima Lisensi dan

Distributor untuk mengembangkan bisnisnya. Dalam praktek usaha,

wilayah usaha tidak hanya berperan penting sebagai keseragaman

kepadatan usaha antar wilayah tetapi juga untuk melindungi Penerima

Waralaba, Penerima Lisensi dan Distributor dari persaingan usaha yang

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

87

Universitas Indonesia

tidak sehat. Pada umumnya, luasnya wilayah usaha disepakati oleh kedua

belah pihak.

Peraturan mengenai waralaba tidak menentukan jarak minimal

wilayah usaha antar unit dalam jaringan waralaba. Akan tetapi dalam Pasal

5 PP Waralaba wialyah usaha merupakan detil yang harus ada dalam

perjanjian waralaba. Selain itu, dalam surat Permohonan STPW, salah satu

informasi yang harus diberitahukan adalah wilayah usaha. Pada

prakteknya, terdapat batasan minimal jarak antara satu unit usaha dengan

yang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wilayah usaha

adalah hal yang wajib ditentukan dan disepakati antara Pemberi Waralaba

dan Penerima Waralaba.

Pada pemberian lisensi, karena pada umumnya diberikan secara

eksklusif HAKI yang dilindungi oleh negara, pembagian wilayah pada

umumnya berlaku pada wilayah negara tersebut. Dengan demikian,

pembagian wilayah bukan dan tidak akan menjadi masalah.121 Dalam hal

Pemberi Lisensi ingin memberikan lisensi kepada pihak lain untuk

melakukan produksi atas produk tertentu dalam negeri, pembagian

wilayah usaha harus disepakati antara Pemberi Lisensi dan Penerima

Lisensi untuk mencegah persaingan usaha yang dapat menjadi potensi

konflik antara kedua belah pihak.

Dalam Distributor, pada umumnya akan disepakati antara para pihak

untuk tujuan yang sama seperti pembagian wilayah pemasaran dalam

waralaba. Dalam Pasal 19 Permendag 2006, apabila terdapat perubahan

wilayah pemasaran, Distributor wajib melaporkan kepada Direktur Bina

Usaha dan Pendaftaran Perusahaan.

4.1.2 Perbedaan

Perbedaan antara waralaba, lisensi dan Distributor dapat dilihat dari 2

perspektif yaitu berdasarkan sifat dan karakteristik, dan ketentuan prosedural

masing-masing lembaga.

121 Ibid., hal. 104.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

88

Universitas Indonesia

4.1.2.1 Berdasarkan Sifat dan Karakteristik

a. Obyek Perjanjian

Pemberian waralaba merupakan pemberian hak yang sangat luas

kepada pihak ketiga untuk menggunakan HAKI yang sudah dilindungi oleh

Pemberi Waralaba. Dalam waralaba, tidak hanya hak atas penggunaan merek

yang diberikan, tetapi juga dapat mencakup rahasia dagang, format bisnis

dan identitas usaha milik Pemberi Waralaba dalam bidang usaha yang

disepakati. Lingkup pemberian waralaba adalah yang terluas dibandingkan

dengan lisensi dan Distributor dalam hal hak penggunaan HAKI. Penggunaan

identitas usaha tersebut merupakan faktor yang krusial karena akan

menumbuhkan asosiasi pada masyarakat adanya kesamaan produk dan jasa

dengan Pemberi Waralaba. 122

Berbeda dengan waralaba, obyek perjanjian pemberian lisensi

mencakup hanya hak penggunaan merek sebagai obyek utama dalam

perjanjian. Dalam prakteknya, pemberian lisensi merek melekat dengan

license to produce benda dengan merek yang dilisensikan. Contoh konkritnya

adalah pemberian lisensi otomotif dengan merek Jeep Willys yang dibeli oleh

Jepang, dan kemudian dikembangkan menjadi Jeep produk lokal Mitsubishi.

Begitu pula Malaysia yang membeli lisensi Mitsubishi untuk membangun

merek lokal Proton. Mereka semua memakai pola berbasis lisensi dan

royalti.123

Objek perjanjian dalam penunjukkan Distributor adalah hak untuk

menjual dan mendistribusikan produk prinsipal kepada sub-Distributor atau

kepada konsumen. Ketentuan khusus dalam perjanjian penunjukan

Distributor berperan sebagai pelengkap berdasarkan kesepakatan para pihak.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lingkup objek dalam Distributor

lebih sempit dibandingkan perjanjian waralaba dan pemberian lisensi.

122 Tunggal, loc. cit., hal. 48-57. 123 “Pola Lisensi di Industri Otomotif.” <http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib= beritadetail&id=11044>, diakses pada tanggal 27 Oktober 2009.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

89

Universitas Indonesia

b. Pembinaan dan Pengawasan

Dalam pewaralabaan terdapat kewajiban pengawasan pelaksanaan

busines format, metode produksi, pemasokan kebutuhan untuk menunjang

usaha Penerima Waralaba serta quality control. Kewajiban tersebut diatur

dalam Pasal 8 PP Waralaba dan Pasal 21 Kepmendag Waralaba.

Dalam lisensi, pengawasan jalannya pelaksanaan dan penggunaan

atau pemanfaatan lisensi merupakan hak Pemberi Lisensi, karena

pengawasan utama dalam pemberian lisensi fokus kepada quality control atas

produk yang dimanufaktur oleh Penerima Lisensi. Quality control merupakan

hal yang sangat penting karena Pemberi Lisensi mempunyai kepentingan

untuk menjaga reputasi merek dan produknya dalam pasar. Dalam lisensi

yang terjadi adalah pemberian izin penggunaan merek, teknologi dan know-

how, dan pengawasan yang tertuju pada kualitas produk yang seragam

dengan Pemberi Lisensi.124 Untuk mempertegas hak Pemberi Lisensi dalam

memberikan pembinaan, praktek pemberian lisensi dimana perjanjian lisensi

dapat dipisahkan dari perjanjian pemberian bantuan teknis atau manajemen,

yang masing-masing dapat melahirkan suatu hak royalti yang independen

bagi Pemberi Lisensi.125 Dalam praktek, quality control dan bantuan teknis

merupakan faktor yang melengkapi perjanjian pemberian lisensi dengan

tujuan melindungi reputasi merek dan produk Pemberi Lisensi yang sudah

dikenal oleh masyarakat.

Dalam Distributor, pada umumnya tidak ada pembinaan ataupun

pengawasan dalam bentuk apapun kecuali diperjanjikan lain dalam perjanjian

penunjukkan Distributor. Ketentuan khusus tersebut dapat berupa ketentuan

dimana Distributor hanya dapat menjual produk dari satu prinsipal saja.

Apabila hal ini yang terjadi, maka pengawasan akan dilakukan oleh prinsipal

untuk memastikan Distributor tidak melanggar ketentuan tersebut. Dapat

dilihat bahwa pengawasan dari prinsipal terhadap Distributor bukan berupa

124 Ibid., hal. 48-57. 125 Widjaja, loc. cit., hal. 102.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

90

Universitas Indonesia

quality control seperti yang ada dalam waralaba dan pemberian lisensi.

Pengawasan dalam Distributor adalah terhadap pelaksanaan ketentuan khusus

berdasarkan perjanjian antara prinsipal dan Distributor.

c. Kepemilikan Usaha dan Kaitannya dengan Pengendalian Kegiatan

Usaha

Dalam bisnis waralaba, kepemilikan badan usaha sepenuhnya ada

pada Penerima Waralaba. Secara hukum Pemberi Waralaba dan penerima

warlaba adalah dua badan usaha yang terpisah. Walaupun demikian, selama

kerja sama tersebut, Pemberi Waralaba melakukan pengendalian hasil dan

kegiatan dalam kedudukan sebagai pimpinan sistem kerja lama. 126

Dalam lisensi, kepemilikan usaha lisensee dapat disepakati dalam

bentuk persentase saham atas usaha lisensee. Berbeda dengan waralaba,

persentase saham akan menentukan sejauh mana lisensor dapat melakukan

pengendalian terhadap hasil dan kegiatan usaha.127

Dalam Distributor, kepemilikan usaha sepenuhnya milik Distributor.

Selain itu, pengendalian juga sepenuhnya ada dalam pihak Distributor. Hal

ini karena sifat usaha Distributor yang membeli terlebih dahulu dari prinsipal,

dan kemudian menjualnya kepada pihak lain. Secara hukum, produk yang

dibeli dan usahanya sepenuhnya milik Distributor. Oleh karen itu, pada

dasarnya prinsipal tidak mempunyai kendali dan kepemilikan atas usaha

Distributor.

d. Initial Fee dan Royalty

Dalam waralaba, initial fee dan royalty adalah elemen-elemen yang

pada umumnya ada dan dibebankan kepada Penerima Waralaba. Namun

dalam lisensi, pada umumnya tidak ada initial fee, hanya pembagian hasil

dalam bentuk royalty. Dalam Distributor, tidak unsur initial fee dan royalty.

Dalam prakteknya, harga beli Distributor dari prinsipal akan dipotong dengan

persentase tertentu demi memperoleh keuntungan dari harga jual.

126 Tunggal, loc. cit., hal. 48-57. 127 Ibid.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

91

Universitas Indonesia

Selain adanya initial fee dan royalty, perlu dilihat dasar

pembebanannya. Pembayaran imbalan dalam perjanjian waralaba hanya

dapat dilakukan dalam bentuk direct compensation, yang besarnya

digantungkan pada persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa

contohnya initial fee yang dikenakan atas dasar hak penggunaan merek dan

format bisnis, dan royalty yang dikenakan berdasarkan hasil penjualan atau

omset. Ini berarti dalam pemberian waralaba tidak dimungkinkannya

pemberian imbalan yang tidak didasarkan atau dikaitkan dengan persayaratan

dan atau penjualan barang dan atau jasa.

Dalam pemberian lisensi, pembatasan tersebut tidaklah berlaku.

Dengan demikian Pemberi Lisensi dapat meminta imbalan dalam bentuk

apapun selama dan sepanjang hak yang disepakati tidak memuat ketentuan

yang dapat merugikan kegiatan ekonomi Indonesia atau mengakibatkan

persaingan usaha tidak sehat.128 Dengan demikian, dalam lisensi dapat

dibebankan biaya seperti biaya transportasi demi berlangsungnya pemberian

lisensi.

Dalam Distributor juga tidak terdapat pembatasan tersebut, karena

pembebanan hanya ada pada pembayaran atas produk yang dibeli oleh

Distributor dengan harga yang lebih rendah dari harga jual kepada konsumen.

e. Peralihan Teknologi

Dalam waralaba, terdapat peralihan tekonologi dalam berbagai

bidang seperti teknologi penyimpanan dalam waralaba SHELL, teknologi

pembuatan ayam goreng dalam waralaba KFC, cara mengolah kopi dalam

waralaba Starbucks, dll.

Dalam lisensi, pada umumnya juga terjadi peralihan teknologi. Hal

ini disebabkan karena dalam praktek usaha, lisensi diberikan dengan hak

untuk memproduksi benda dengan merek yang dilisensikan. Dengan kata

lain, pemberian lisensi pada umumya melekat dengan hak produksi. Peralihan

teknologi dalam pemberian lisensi meliputi proses manufaktur produk-

produk yang dilisensikan. Pemberian lisensi pada umumnya dilakukan

128 Widjaja, loc. cit., hal. 102-103.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

92

Universitas Indonesia

dilokasi dengan biaya produksi yang lebih murah. Contohnya, banyak

perusahaan yang memberikan lisensi kepada perusahaan manufaktur di China

karena gaji buruh yang rendah, dan insentif yang menguntungkan

perusahaan.

Dalam Distributor, tidak ada peralihan tekonologi sama sekali karena

Distributor membeli produk yang sudah siap dijual kepada pihak lain.

f. Kewenangan Menunjuk Pihak Ketiga

Untuk pemberian waralaba, hak untuk memberikan sub-franchise

kepada pihak lain oleh Penerima Waralaba harus terlebih dahulu disepakati

antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba dalam perjanjian waralaba.

Dalam pemberian lisensi, pada dasarnya Penerima Lisensi tidak

berhak memberikan sub-lisensi karena dalam pemberian lisensi tidak ada

pengalihan hak dan hak atas merek sepenuhnya masih ada di pihak Pemberi

Lisensi. Dengan demikian, apabila Penerima Lisensi ingin memberikan sub-

lisensi kepada pihak lain, maka harus mendapatkan persetujuan dari Pemberi

Lisensi.

Dalam Distributor, hak untuk menunjuk sub-Distributor mengacu

pada kesepakatan antara prinspal dan Distributor, apakah penunjukkan

Distributor dan Distributor tunggal disertai dengan hak untuk menunjuk

pihak lain sebagai sub-Distributor. Akan tetapi sub-Distributor pada

umumnya tidak diberi hak untuk menunjuk pihak lain sebagai sub-

Distributor. Kewenangan penunjukkan tersebut ada pada Distributor atau

Distributor tunggal.

4.1.2.2 Berdasarkan Ketentuan Prosedural

a. Pengaturan

Waralaba tunduk dan diatur secara khusus dalam PP Waralaba dan

Keputusan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008 Tentang

Penyelenggaraan Waralaba. Demikian juga dengan Distributor yang diatur

dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 11/M-DAG/PER/3/2006 Tentang

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

93

Universitas Indonesia

Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen dan/atau

Distributor Baran dan/atau Jasa.

Berbeda dengan waralaba dan Distributor, pemberian lisensi tidak

diatur secara spesifik tetapi tunduk dan diatur dalam berbagai macam

peraturan perundang-undangan dalam bidang hak kekayaan intelektual.

Konsekuensi hukumnya adalah bahwa ruang lingkup pemberian lisensi harus

memperhatikan luasnya perlindungan HAKI yang diberikan oleh negara

kepada Pemberi Lisensi. Walaupun demikian, skripsi ini membahas

pemberian lisensi merek yang secara khusus diatur dalam UU Merek Tentang

Merek. Selain itu, dalam waralaba dan Distributor tidak ada ketentuan seperti

dalam lisensi paksa atas permintaan pihak tertentu yang berwenang.129

b. Jangka Waktu Perjanjian

Perjanjian pemberian waralaba dapat disepakati oleh para pihak,

namun Pasal 12 ayat (5) PP Waralaba dan Pasal 8 ayat (1) Kepmendag

Waralaba menyatakan bahwa STPW yang diberikan berdasarkan pendaftaran

perjanjian waralaba berlaku selama 5 (lima) tahun. Pada peraturan waralaba

yang berlaku pada saat ini, tidak ada larangan atau batas minimal jangka

waktu dalam suatu perjanjian waralaba. Akan tetapi dapat disimpulkan

bahwa pada umumnya perjanjian waralaba berlaku sedikitnya 5(lima) tahun

atau lebih dalam praktek. Apabila perjanjian waralaba melebihi 5(lima)

tahun, maka STPW dapat diperpanjang selama 5 (lima) tahun.

Berbeda dengan pemberian waralaba, ketentuan ini tidak berlaku

bagi pemberian lisensi karena batas minimal waktu tidak ditentukan. Pasal 43

ayat (2) UU Merek mengatur bahwa perjanjian lisensi berlaku untuk jangka

waktu yang tidak lebih lama dari jangka waktu perlindungan Merek terdaftar

yang bersangkutan. Dengan demikian, Pemberi Lisensi dapat dan berhak

untuk menentukan sendiri jangka waktu permberian lisensi, selama dan

sepanjang hal tersebut disetujui oleh Penerima Lisensi dan sesuai dengan

peruntukan HAKI yang dilisensikan.130 Pasal 28 UU Merek menetapkan

129 Widjaja, loc. cit., hal. 102. 130 Ibid., hal. 103.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

94

Universitas Indonesia

jangka waktu perlindungan bagi suatu merek adalah selama 10 (sepuluh)

tahun dan dapat diperpanjang. Oleh karena itu, pada umumnya, pemberian

lisensi walaupun ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak

berlaku lebih dari 10(sepuluh) tahun.

Dalam Distributor, jangka waktu berlakunya perjanjian penunjukkan

Distributor dapat disepakati oleh para pihak, namun perlu diperhatikan Pasal

16 ayat (1) dan ayat (2) Permendag 2006. Ketentuan tersebut menyatakan

bahwa Surat Tanda Pendaftaran sebagai Distributor diberikan selama 2 (dua)

tahun kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian. Dengan demikian, apabila

penunjukkan kurang dari 2 (dua) tahun, maka STP akan berlaku selama

waktu yang disepakati. Tetapi apabila jangka waktu yang disepakati melebihi

2 tahun, maka harus dilakukan perpanjangan setelah 2 (dua) tahun.

c. Penerbitan Izin Usaha

Waralaba melibatkan keikutsertaan pemerintah, dalam hal ini

Departemen Perdagangan dalam penerbitan STPW bagi pelaksanaan usaha

waralaba di Indonesia. Pemberian lisensi di sisi lain, meskipun wajib

dicatatkan kepada Direktorat Jenderal HAKI sebagai bagian dari pemberian

perlindungan negara, tidak melibatkan penerbitan izin usaha baru bagi

Penerima Lisensi.131 Untuk penunjukkan Distributor, seperti waralaba

melibatkan Departemen Perdagangan karena kewajiban pendaftaran bagi

Distributor untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran.

d. Bahasa dan Hukum yang Berlaku atas Perjanjian

Perjanjian waralaba wajib untuk dibuat dalam bahasa Indonesia

sebagaimana diatur dengan jelas dalam Pasal 4 ayat (2) PP Waralaba dan

Pasal 5 Kepmendag Waralaba. Tujuannya adalah agar terhadap perjanjian

waralaba diberlakukan hukum Indonesia. Ketentuan ini bersifat memaksa

(compulsory) agar nantinya perjanjian waralaba tersebut dapat dilindungi di

Indonesia.

131 Ibid., hal. 104.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

95

Universitas Indonesia

Dalam perjanjian pemberian lisensi, dapat dipergunakan bahasa yang

dianggap paling menguntungkan bagi para pihak dalam pemberian lisensi.

Dengan demikian, Pemberi Lisensi dan lincensee bebas untuk menentukan

pilihan hukum, selama dan sepanjang hal tersebut tidak menyebabkan

terjadinya penyelundupan hukum.

Ketentuan mengenai bahasa yang dipergunakan dalam perjanjian

penunjukkan Distributor sama seperti waralaba, harus menggunakan Bahasa

Indonesia sebagaimana telah diatur dalam Pasal 21 ayat (8) Peraturan

Menteri Perdagangan No, 11/M-DAG/PER/3/2006. Dalam Peraturan Menteri

tidak ditentukan secara eksplisit bahwa perjanjian penunjukkan Distributor

tunduk pada hukum Indonesia. Akan tetapi dengan mewajibkan Bahasa

Indonesia dalam perjanjian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

perjanjian penunjukkan Distributor tunduk dan diberlakukan hukum

Indonesia.

e. Kewajiban Menyampaikan Laporan

Dalam sistem usaha waralaba, bagi Pemberi Waralaba yang berasal

dari dalam negeri, Pemberi Waralaba lanjutan yang berasal dari luar negeri,

dan Penerima Waralaba yang berasal dari waralaba luar negeri, wajib

menyampaikan laporan kegiatan waralaba kepada Direktur Jenderal

Perdagangan Dalam Negeri cq. Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran

Perusahaan dengan tembusan kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab

di bidang perdagangan di kabupaten/kota setempat, sebagaimana diatur

dalam Pasal 24 Kepmendag Waralaba.

Dalam lisensi yang tidak ditentukan kewajiban menyampaikan

laporan tahunan seperti dalam waralaba.

Distributor di sisi lain mengatur kewajiban melapor dalam Pasal 19

Peraturan Menteri Perdagangan No, 11/M-DAG/PER/3/2006. Laporan

kegiatan perusahaan dilakukan kepada Direktur Bina Usahadan Pendaftaran

Perusahaan setiap 6 (enam) bulan sekali.

f. Clean Break

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

96

Universitas Indonesia

Clean break diatur secara khusus dalam ketentuan waralaba. Pasal 6

Kepmendag Waralaba secara tegas tidak memungkinkan pelaksanaan

waralaba oleh Penerima Waralaba baru sebelum segala hak dan kewajiban

Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba berdasarkan perjanjian waralaba

sebelumnya telah diselesaikan dengan cara tercapainya kepepakatan clean

break atau paling lambat setelah 6(enam) bulan setelah pemutusan perjanjian

waralaba.

Ketentuan mengenai pemberian lisensi tidak mengatur soal clean

break. Dengan demikian, perjanjian pemberian lisensi akan mengacu pada

Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak

dapat ditarik kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal salah

satu pihak memutuskan perjanjian tersebut, maka dapat dilihat forum yang

telah dipilih dalam perjanjian pemberian lisensi sebagai forum penyelesaian

sengketa.

Seperti waralaba, dalam Distributor harus tercapai penyelesaian

secara tuntas (clean break) antara prinsipal dan Distributor sebelumnya,

sebelum menunjuak Distributor baru dalam wilayah yang sama. Pasal 22 ayat

(6) Peraturan Menteri Perdagangan No, 11/M-DAG/PER/3/2006 mengatur

bahwa apabila tidak tercapai clean break, maka dalam jangka waktu 3(tiga)

bulan STP dinyatakan tidak berlaku dan prinsipal dapat menunjuk Distributor

baru sementara clean break tetap diusahakan.

g. Sanksi untuk Kelalaian dalam Melakukan Pendaftaran

Pasal 26 Permendag Waralaba dan Pasal 18 PP Waralaba dengan

jelas mengatur sanksi dalam bentuk denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus

juta rupiah) apabila Pemberi Waralaba tidak mendaftarakan prospektus atau

Penerima Waralaba tidak mendaftarkan perjanjian waralaba setelah 3x (tiga

kali) peringatan tertulis.

Dalam lisensi, UU No. 15 Tahun 2001 belum mengatur sanksi

apabila terjadi kelalaian mencatatkan pemberian lisensi kepada Direktorat

Jenderal HAKI.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

97

Universitas Indonesia

Dalam Distributor, Pasal 24 Peraturan Menteri Perdagangan No,

11/M-DAG/PER/3/2006 mengatur bahwa apabila perusahaan tidak

mendaftarkan diri sebagai Distributor dari perusahaan prinsipal, maka akan

dikenakan sanksi berupa pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)

apabila telah diperingatkan sebanyak tiga kali oleh Direktur Bina Usaha dan

Pendaftaran Perusahaan.

4.2 LATAR BELAKANG USAHA RICA RICO

Rica Rico adalah usaha produksi dan penjualan kue bika ambon,

brownies serta makanan ringan lainnya seperti kacang-kacangan, jagung

dan ice-cream cone. Produk-produk tersebut dipasarkan melalui counter-

counter kecil dalam beberapa mall. Pada saat ini, Pemilik Rica Rico,

selanjutnya disebut sebagai Pemilik, sudah memiliki 21(dua puluh satu)

counter di beberapa mall seperti ITC Mangga Dua, Emporium Pluit, dan

Mall Of Indonesia di Kelapa Gading dan Pluit Village.

Berdasarkan hasil pembukuan tahun 2008, Rica Rico menghasilkan

omset kurang lebih sebesar Rp 7.000.000.000,- (tujuah miliar rupiah)

dengan keuntungan bersih sebesar Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta

rupiah). Selain itu, counter yang tersebar luas di berbagai mall dijaga oleh

45(empat puluh lima) karyawan. Apabila skala usaha dikategorikan

menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil

dan Menengah, selanjutnya disebut sebagai UU UMKM, maka usaha Rica

Rico termasuk dalam kategori usaha menengah. Kriteria usaha menengah

diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU UMKM sebagai berikut:

a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh

milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua

milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak

Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Dengan bertambahnya jumlah counter, pemilik Rica Rico

menghadapi masalah dalam pengawasan terhadap seluruh counter. Selain

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

98

Universitas Indonesia

itu, jumlah karyawan yang tidak sedikit menimbulkan masalah perburuhan

yang sulit diatasi sendiri oleh pemilik Rica Rico. Walaupun demikian,

masalah-masalah tersebut tidak menghambat keinginan pemilik Rica Rico

untuk mengembangkan usahanya dengan meningkatkan jumlah counter

dalam mall di seluruh wilaya kota Jakarta. Oleh karena itu, demi

mewujudkan pengembangan usaha Rica Rico, penulis melakukan

penelitian mengenai lembaga yang paling sesuai bagi pengembangan

usaha tersebut.

Sebelum melakukan analisa dan perbandingan antara waralaba,

lisensi dan Distributor, berikut adalah fakta-fakta tentang Rico Rico dan

maksud pengembangan usahanya.

a. Lokasi counter Rica Rico serta jumlah counter dalam satu mall adalah:

(i) ITC Mangga Dua sebanyak 6 counter

(ii) Mangga Dua Square 1 counter

(iii)Sunter Mall 1 counter

(iv) Mall Kelapa Gading 1 counter

(v) Mall of Indonesia 1 counter

(vi) Chandra 1 counter

(vii) Mall Arta Gading 2 counter

(viii) Pluit Village 1 counter

(ix) Pasar Baru 1 counter

(x) Daan Mogot Mall 1 counter

(xi) Palem 1 counter

(xii) Emporium Pluit 1 counter

(xiii) Permata hijau 1 counter

(xiv) Plaza Semanggi 1 counter

(xv) Metropolis town square 1 counter

Dari lokasi-lokasi counter, dapat disimpulkan bahwa counter Rica

Rico sudah tersebar luas di kota Jakarta. Lokasi counter yang tersebar

luas seperti ini menimbulkan masalah pengawasan dari pemilik Rica

Rico dalam memastikan bahwa pemasaran produk telah dilaksanakan

sesuai dengan instruksi yang diberikan. Pengawasan yang dilakukan

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

99

Universitas Indonesia

pada dasarnya meliputi sikap karyawan yang harus aktif mengundang

pengunjung mall untuk mencoba tester yang tersedia, perputaran dan

penyediaan produk dalam counter hingga pembukuan dari setiap

counter.

b. Usaha Rica Rico sudah dimulai sejak tahun 2004 dan telah berhasil

mengembangakan usahanya secara berkelanjutan hingga saat ini.

c. Merek Rica Rico telah terdaftar sejak tahun 2008 karena adanya

kesadaran pemilik akan pentingnya perlindungan terhadap Merek dan

kaitannya dengan reputasi usahanya.

d. Karyawan Rica Rico disediakan tempat tinggal dan makanan di suatu

ruko untuk memudahkan transportasi dan menjamin keamanan

karyawan.

e. Pemilik ingin mengembangkan usahanya tanpa menambah beban

operasional seperti melakukan pengawasan terhadap counter dan

karyawan setiap harinya.

Setelah mengetahui latar belakang dari usaha Rica Rico, berikut

adalah ciri-ciri pengembangan usaha yang diinginkan.

a. Pemilik tidak mempunyai niat untuk memberikan rahasia produksi

kepada pihak manapun.

b. Pemilik membebankan biaya operasional sebesar Rp 12.000.000,- (dua

belas juta rupiah) setiap tahunnya untuk kegunaan biaya transportasi

produk sampai kepada counter setiap hari dan biaya administrasi.

c. Pemesanan produk oleh pihak yang akan menjalankan usaha,

selanjutnya disebut sebagai Pengusaha, dipotong sebesar 30% dari

harga jual.

d. Pengusaha hanya menyediakan tempat dan tenaga kerja karena produk

Rica Rico akan dikirimkan pada pagi hari sampai ke counter.

e. Calon Pengusaha yang berniat dapat melakukan pemantauan terhadap

satu diantara 21 counter yang ada selama 2 minggu sebelum

menandatangani kontrak percobaan selama 3 bulan yang bebas dari

biaya operasional.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

100

Universitas Indonesia

f. Pembuatan dan harga counter harus disesuaikan dengan konsep Rica-

Rico.

g. Counter hanya boleh menjual produk Rica-Rico saja.

h. Adanya jarak penempatan counter, yaitu 75 m (tujuh puluh lima meter)

pada lantai yang sama dalam satu gedung Mall.

i. Pemilik usaha Rica Rico bersedia membantu melakukan analisa lokasi,

memberikan pelatihan tentang metode penjualan dan melakukan

promosi melalui kartu nama dan situs pemilik.

j. Harga jual ditetapkan oleh pemilik Rica Rico.

k. Pemilik berhak melakukan pengawasan sewaktu-waktu terhadap

counter baru yang dijalankan untuk memastikan pemasaran produk

berlangsung tanpa hambatan.

l. Pemilik memberikan 3(tiga) bulan sebagai masa percobaan yang tidak

dikenakan biaya operasional.

Dengan mengetahui latar belakang usaha Rica Rico, dan

memahami apa yang diinginkan oleh pemilik Rica Rico, maka selanjutnya

akan dilakukan analisa perbandingan antara waralaba, lisensi dan

Distributor untuk menentukan lembaga yang paling tepat untuk

mengembangkan usaha Rica Rico.

4.3 PENENTUAN LEMBAGA BAGI PENGEMBANGAN USAHA RICA RICO

Berdasarkan analisa perbandingan antara waralaba, lisensi dan

Distributor, dan latar belakang usaha Rica Rico, menurut penulis lembaga

yang paling sesuai untuk pengembangan usaha Rica Rico adalah

Distributor. Penunjukkan Distributor adalah langkah yang paling tepat

karena alasan-alasan berikut ini.

a. Obyek Perjanjian adalah Hak Jual

Pemilik Rica Rico tidak berniat untuk membuka rahasia produksi

kue-kue dan makanan ringan kepada pihak ketiga. Dengan demikian, pada

dasarnya yang diberikan kepada pihak lain adalah hak untuk menjual

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

101

Universitas Indonesia

produk Pemilik. Lisensi dianggap lembaga yang kurang sesuai karena

tidak ada hak untuk memproduksi (license to produce) yang diberikan

kepada Pengusaha. Selain itu, berdasarkan maksud Pemilik, tidak ada

disclosure dalam bentuk apapun dari segi pembuatan produk hingga

prospektus penawaran dari Pemilik. Pemilik memang memberikan

kesempatan bagi pihak lain untuk melakukan pemantauan terhadap sistem

manajemen yang digunakan Pemilik selama 2 minggu sebelum

penandatanganan kontrak, namun sifat keterbukaan ini bukan bagian dari

proses pembuatan bika ambon maupun produk Rica Rico lainnya.

Pengusaha yang berminat hanya boleh memantau cara pemasaran Pemilik

yang dijalankan selama ini.

b. Penggunaan Merek

Hak menggunakan merek melingkupi penggunaan merek pada

counter, dalam melakukan promosi dan periklanan pemasaran produk dan

kemasan produk. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, hak penggunaan

merek Pemilik beserta batasan penggunaan merek dapat diatur dalam

perjanjian penunjukkan Distributor sebagai ketentuan khusus dalam

rangka pemasaran produk.

Penggunaan merek sebagaimana dimaksud tidak mengindikasikan

pengembangan usaha ini sebagai pemberian lisensi karena tidak adanya

licence to produce dari Rica Rico. Hal inilah yang juga dipraktekan oleh

Fuji Photo Film Co.Ltd dari Jepang yang menunjuk PT. Modern Photo

Tbk sebagai Distributor Tunggal di Indonesia.132 Dalam penunjukkan ini,

lingkup penggunaan merek oleh counter Fuji Film sama dengan

penggunaan merek dalam Rica Rico, yaitu digunakan pada toko-toko Fuji

Film, dalam periklanan dan kemasan tanpa memberikan hak produksi

kepada PT. Modern Photo Tbk.

c. Tidak ada Quality Control

132 Fujifilm Indonesia, Corporate Information, <http://www.fujifilm.co.id/about

/index.php?mid=37>, diakses pada tanggal 22 Oktober 2009.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

102

Universitas Indonesia

Dalam Distributor, tidak ada pembinaan dan pengawasan dalam

hal quality control. Dengan demikian, ketentuan ini sesuai dengan

keinginan Pemilik untuk tidak menambah beban operasional dalam

pengembangan usaha. Walaupun demikian, dapat disepakati bahwa

Pemilik berhak sewaktu-waktu melakukan pemantauan terhadap

perputaran produk karena sifat kue bika ambon yang tidak tahan lama.

Waralaba dan lisensi dianggap kurang sesuai karena dalam

pengembangan usaha Rica Rico memang tidak diperlukan quality control.

Hal ini disebabkan karena Pengusaha tidak memproduksi kue bika ambon

dan makanan ringan lainnya.

d. Tidak ada Kepemilikan dan Pengendalian

Dalam hal kepemilikan dan pengendalian usaha, Pemilik tidak

berniat untuk mengendalikan usaha yang dimiliki Pengusaha. Pihak yang

menjalankan usaha bebas melakukan upaya pemasaran selama upaya

tersebut dilakukan dengan itikad baik untuk meningkatkan penjualan.

Upaya yang digunakan untuk menarik pelanggan dibatasi dengan

penetapan harga yang telah ditentukan Pemilik. Pengawasan yang

sewaktu-waktu dijalankan oleh Pemilik bukan merupakan suatu bentuk

pengendalian, tetapi hanya upaya untuk memastikan pemasaran dan

perputaran produk telah dilakukan dengan baik.

e. Biaya Tahunan berupa Biaya Operasional

Dalam pengembangan usaha Rica Rico, dalam satu tahun

dibebankan biaya sebesar Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Biaya

ini dianggap sebagai biaya transportasi pengantaran produk sampai pada

counter setiap pagi dan biaya administrasi.

Dalam waralaba, biaya tahunan seperti ini dapat dianggap sebagai

initial fee. Namun pembayaran dalam pengembangan usaha Rica Rico

bukan kompensasi karena adanya penggunaan jasa atau pengetahuan Rica

Rico. Dengan demikian, biaya tersebut bukan suatu bentuk initial fee.

Pada umumnya di dalam Distributor tidak dikenakan biaya tahunan seperti

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

103

Universitas Indonesia

ini. Namun ketentuan biaya ini dapat ditambahkan dalam perjanjian

penunjukkan Distributor karena biaya ini diperlukan untuk melangsungkan

kegiatan usaha.

f. Prosedur yang Mudah

Pertimbangan lain adalah penerbitan izin usaha dan kaitannya

dengan sanksi. Perjanjian penunjukkan Distributor dapat dilakukan

dibawah tangan dan kemudian didaftarkan kepada Departemen

Perdagangan demi memperoleh Surat Tanda Pendaftaran. Apabila dilihat

dari segi prosedur, pemberian lisensi memang tampak lebih mudah karena

penunjukan Penerima Lisensi hanya perlu dicatatkan tanpa penerbitan izin

usaha baru. Walaupun demikian, dalam prakteknya, tidak semua usaha

kecil dan menengah melakukan pendaftaran karena dalam skala usaha

kecil dan mengengah, para pihak telah memperoleh kepastian dari

perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Dalam hal penerbitan izin usaha dan kaitannya dengan sanksi,

waralaba menetapkan prosedur dan sanksi yang paling berat yaitu sanksi

denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) apabila terdapat

kelalaian pendaftaran prospektus dan perjanjian waralaba. Selain itu,

Penjelasan PP Waralaa Pasal 3 huruf b menjelaskan bahwa usaha waralaba

sudah harus terbukti berhasil selama 5 (lima) tahun belakang. Dengan

demikian, waralaba dapat menyulitkan pengembangan usaha Rica Rico

karena Rica Rico berdiri sejak tahun 2004 dan belum mempunyai

prospektus penawaran waralaba yang membuktikan keberhasilannya

selama 5(lima) tahun belakang.

g. Pemilik Tidak Bertanggung Jawab atas Peredaran Barang

dalam Pasar

Salah satu hal penting dan utama yang harus diatur dalam

perjanjian penunjukan Distributor adalah ketentuan yang melepaskan

Pemilik, sebagai Prinsipal, dari tanggung jawab, gugatan dan segala

bentuk ganti rugi atas peredaran barang dari Distributor yang tidak resmi.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

104

Universitas Indonesia

Apabila Rica Rico dapat berkembang dan dapat melakukan penetrasi pasar

sampai lokasi yang sangat luas, maka kontrol terhadap pendistribusian

barang akan sangat sulit diawasi. Dengan melepaskan tanggung jawabnya

terhadap peredaran barang dari Distributor yang tidak resmi, maka para

Distributor tidak dapat menggugat Pemilik dengan alasan terdapat produk

Rica Rico yang beredar tanpa melalui Distributor resmi dari Pemilik Rica

Rico. Dengan demikian, Pemilik memperoleh suatu kepastian akan

perlindungan hukum terhadap peredaran barang.

h. Pembagian Wilayah Pemasaran

Pemilik menetapkan jarak minimum 75m (tujuh puluh lima meter)

antara satu counter dengan counter yang lain dalam satu lantai di mall

yang sama. Ketentuan seperti ini pada parakteknya banyak dilakukan

dalam usaha waralaba. Namun dalam penunjukkan Distributor juga sering

dilakukan demi mencegah persaingan usaha tidak sehat.

i. Bahasa dalam Perjanjian

Perjanjian penunjukkan Distributor harus menggunakan Bahasa

Indonesia atau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal

pengembangan usaha Rica Rico, kemungkinan besar pihak yang berminat

adalah warga negara Indonesia. Hal ini karena Pemilik adalah seorang

WNI, dan langkah publikasi yang ditempuh juga masih dalam lingkup

nasional. Oleh karena itu, bahasa bukan merupakan masalah dalam

pengembangan usaha ini karena perjanjian penunjukkan Distributor ini

tunduk dan terhadapnya berlaku Hukum Indonesia.

j. Kewajiban Menyampaikan Laporan

Selanjutnya, dalam penunjukkan Distributor, terdapat kewajiban

menyampaikan laporan kegiatan perusahaan kepada Direktur Bina Usaha

dan Pendaftaran Perusahaan setiap 6 (enam) bulan sekali. Walaupun

demikian, dalam praktek tidak semua usaha kecil dan menengah

menyampaikan laporan ini. Selain skala usaha yang tidak besar,

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

105

Universitas Indonesia

penegakkan sanksi atas kelalaian penyampaian laporan terhadap

pengusaha kecil dan menengah tidak dilakukan secara tegas. Penulisan ini

tidak membenarkan ketidaktaan atas hukum yang berlaku, namun jiwa dari

Peraturan Menteri Perdagangan No, 11/M-DAG/PER/3/2006 adalah untuk

kepastian hukum dan kepastian usaha. dengan demikian, apabila usaha

faktor penting yang harus diperhatikan dalam perjanjian penunjukkan

Distributor adalah kepastian hukum dan kepastian usaha, walaupun tidak

ada penyampaian laporan.

k. Distributor Tidak Berhak Menunjuk Pihak Ketiga sebagai Sub-

Distributor

Dalam pengembangan usaha Rica Rico, pihak yang berminat tidak

diberikan hak untuk memberikan menunjuk pihak ketiga sebagai

Distributor. Hal ini karena dalam penunjukkan distribtuor tidak ada

pengalihan hak atas merek, hanya hak untuk menjual produk Rica Rico.

Dengan demikian, seluruh pihak yang berminat untuk menjalan usaha Rica

Rico harus mendapatkan kesepakatan dari Pemilik sebagai pihak yang

dilindungi hak mereknya.

Setelah melakukan analisa yang tertera diatas, dapat disimpulkan

bahwa penunjukkan Distributor adalah langkah yang tepat bagi

pengembangan usaha Rica Rico. Penunjukkan Distributor tidak hanya

mempunyai batasan hak yang jelas, tetapi juga sejalan dengan maksud

pengembangan usaha Rica Rico. Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa

ciri yang diinginkan oleh Pemilik memiliki sedikit ciri khas dari waralaba,

namun tidak ada prinsip disclosure dan quality control dalam

pengembangan usaha Rica Rico. Selain itu, ketentuan yang mengatur

penunjukkan Distributor tidak menetapkan larangan untuk adanya

ketentuan khusus yang dapat dituangkan dalam perjanjian penunjukkan

Distributor.

Di sisi lain, lisensi dianggap kurang tepat karena tidak adanya hak

produksi yang diberikan kepada pengusaha yang berminat menjalankan

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

106

Universitas Indonesia

usaha Rica Rico. Memang benar dari segi prosedur pemberian lisensi lebih

menetapkan prosedur yang lebih mudah karena hanya perlu dicatatkan.

Akan tetapi dilihat dari maksud dan tujuan Pemilik, Distributor adalah

pilihan yang paling tepat dan sesuai dengan jenis usahanya. Selain itu,

untuk ukuran usaha dengan skala kecil dan menengah seperti Rica Rico,

pada prakteknya, beberapa aspek prosedural tidak wajib dilakukan selama

kepastian hukum dan kepastian usaha dapat tercapai antara para pihak.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

107

Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5. 1 KESIMPULAN

Pengembangan UMKM memang merupakan faktor yang tidak kalah

penting dalam perkembangan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pengertian

mengenai upaya pengembangan usaha harus disosialisasikan kepada masyarakat

sehingga pengusaha mengerti opsi dan kesempatan yang tersedia. Waralaba,

lisensi dan Distributor adalah tiga dari sekian banyak cara pengembangan usaha

yang dapat membantu memperluas penetrasi pasar dan memperluas jaringan

usaha. Dengan memahami ketiga lembaga tersebut, sarana pengembangan usaha

yang dilaksanakan akan lebih efektif dan efisien sesuai dengan sifat, tujuan dan

skala usaha yang sedang dijalankan.

Setelah membandingkan lembaga waralaba, lisensi dan Distributor, maka

dapat disimpulkan bahwa:

a. Akibat hukum pemberian waralaba adalah pemberian hak kepada

Penerima Waralaba untuk menggunakan merek dan format bisnis Pemberi

Waralaba. Dengan demikian, waralaba meliputi pemberian lisensi dan hak

penggunaan format bisnis Pemberi Waralaba. Dalam pemberian lisensi,

Penerima Lisensi mendapatkan hak untuk menggunakan merek Pemberi

Lisensi dan dalam praktek meliputi hak untuk memproduksi. Selanjutnya,

akibat hukum Distributor adalah bahwa Distributor mendapatkan hak

untuk menjual produk prinsipal. Dalam ketiganya, walaupun Penerima

Waralaba, Penerima Lisensi, dan Distributor dapat menggunakan merek

pada unit usaha, namun yang perlu diperhatikan adalah lingkup

penggunaan hak atas kekayaan intelektual dalam pengembangan usaha.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

108

Universitas Indonesia

b. Lembaga pengembangan usaha yang paling sesuai bagi Rica Rico adalah

lembaga Distributor. Hal ini karena tidak ada disclosure dalam

pengembangan usaha Rica Rico. Selain itu, Pemilik tidak berniat

membuka rahasia dagang kepada pihak lain. Dengan demikian, hak utama

yang diberikan hanyalah hak untuk menjual produk Rica Rico.

Penggunaan merek pada counter sama adanya dengan penggunaan merek

Fuji Photo Film oleh PT. Modern Photo Tbk, yang menggunakan lembaga

Distributor sebagai upaya pengembangan usahanya dari Jepang.

c. Ketentuan khusus yang harus diatur dalam perjanjian pengembangan

usaha adalah ketentuan yang mengatur bahwa Pengusaha tidak

bertanggung jawab atas peredaran barang dari Distributor tidak resmi.

Ketentuan khusus ini penting untuk melindungi prinsipal terhadap

penuntutan oleh Distributor resmi karena peredaran barang dari Distributor

yang tidak resmi. Hal ini karena pengawasan terhadap peredaran barang

dalam pasar akan sulit dilakukan apabila usaha Rica Rico menjadi luas dan

tersbar pada wilayah usaha yang luas seperti luar kota.

5.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, saran yang dapat diberikan adalah sebagai

berikut:

a. Ketentuan mengenai waralaba sebaiknya menentukan skala usaha yang

masuk dalam lingkup peraturan tersebut karena sanksi denda sebanyak

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) tidak sesuai apabila diterapkan bagi

usaha kecil dan menengah.

b. Skala dan jenis usaha yang wajib menyampaikan laporan seharusnya

dijelaskan dalam ketentuan mengenai kewajiban untuk menyampaikan

laporan setiap 6(enam) bulan sekali bagi Distributor. Hal ini karena dalam

praktek, usaha kecil dan menengah tidak menyampaikan laporan ini dan

tidak ada kepastian hukum mengenai sanksi yang diterapkan.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

109

Universitas Indonesia

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

1. Buku

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Laporan Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1992/1993.

Darmabrata, Wahyono. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cet. 1. Jakarta: Rizkita, 2002.

Ekotama, Suryono. Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise. Yogyakarta: MedPress, 2008.

Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. ke-5. Bandung: Binacipta, 1987.

Hakim, Lukman. Info Lengkap Waralaba. Yogyakarta: MedPress, 2008.

Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Penerbit Alumni, 1986.

Jones, Gareth R. dan Jennifer M. George. Contemporary Management, ed. 3. McGraw-Hill: Irwin, 2003.

Julius, Robert T. dan William Slater Vincent. Achieving Wealth Through Franchising: A Comprehensive Manual to Finding, Starting and Succeeding in a Franchise Business. Adam Media Corp, 2001.

Khera, Pradmod, Franchising: The Route Map to Rapid Business Excellence. Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd.: New Delhi, 2001.

Mahdi, Sri Soesilowati; Surni Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. Hukum Perdata (Suatu Pengantar). Jakarta: Gitama Jaya, 2005.

Mamudji, Sri et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Megginson, Leon C., Mary Jane Byrd, dan William L. Megginson. Small Business Management: an Entrepreneur’s Guidebook. Irwin: McGraw-Hill, 2003.

Pramono, Nindyo. Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Prodjodikoro, Wirjono. Azas-azas Hukum Perjanjian, cet 10. Bandung: Bale Bandung, 1985.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

Universitas Indonesia

Rachmadi, Bambang N. Franchising The Most Practical and Excellent Way of Succeeding. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cet.2. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Saleh, Roeslan. Seluk Beluk Praktis Lisensi, cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Sarosa, Pietra. Kiat Praktis Membuka Usaha-Mewaralabakan Usaha Anda. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004.

Sewu, P. Lindawaty S. Franchise: Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi. CV. Utomo: Bandung, 2004.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.

Subekti. Hukum Perjanjian, cet. 20. Jakarta: Intermasa, 2004.

______. Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 32. Jakarta: Intermasa, 2005.

Suharnoko dan Endah Hartati. Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, cet. 3. Jakarta: Kencana, 2008.

Suharnoko, Hukum Perjanjian, cet. 4. Jakarta: Kencana, 2007.

Sumardji, Juajir. Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

Tunggal, Iman Sjahputra. Franchising Konsep & Kasus. Jakarta: 2004, Harvarindo.

Widjaja, Gunawan. Waralaba, cet. 2. Jakarta: PT RajaGRafindo Persada, 2003.

_______________. Seri Hukum Bisnis Lisensi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.

_______________. Lisensi atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004.

2. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Penyelenggaraan Waralaba, No. 31/M-DAG/PER/2008.

________, Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa, No. 11/M-DAG/PER/3/2006.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

Universitas Indonesia

________, Peraturan Pemerintah Tentang Waralaba, PP No. 42 Tahun 2007, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4742.

________, Undang-Undang Tentang Desain Industri, No. 31 tahun 2000, LN No. 243 tahun 2000, TLN. No. 4045.

________, Undang-Undang Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, No. 32 tahun 2000, LN No. 244 tahun 2000, TLN. No. 4046.

________, Undang-Undang Tentang Merek, No. 15 tahun 2001, LN No. 110 tahun 2001, TLN. No. 4131.

________, Undang-Undang Tentang Merek, UU No. 15 Tahun 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131.

________, Undang-Undang Tentang Paten, No. 14 tahun 2001, LN No. 109 tahun 2001, TLN. No. 4130.

________, Undang-Undang Tentang Rahasia Dagang, No. 30 tahun 2000, LN No. 242 tahun 2000, TLN. No. 4044.

________, Undang-Undang Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 37. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.

3. Internet

“2009, UKM Dorong Perekonomian Indonesia.” <http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/20/13185437/2009.ukm.dorong.perekonomian.indonesia>. 20 Januari 2009.

“Internet Turut Mendorong Perkembangan Hukum Perjanjian.” <http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=21788&cl=Berita>. 22 April 2009.

“Pola Lisensi di Industri Otomotif.” <http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib= beritadetail&id=11044>. 27 Oktober 2009.

“Telekomunikasi dan Teknologi e-Commerce.” <http://cms.sip.co.id/hukumonline/klinik_detail.asp?id=5517>. 17 September 2009.

Fujifilm Indonesia, Corporate Information, <http://www.fujifilm.co.id/about /index.php?mid=37>. 22 Oktober 2009.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010

Universitas Indonesia

Hafsah, Muhammad Jafar. “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah.” <http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2025/pengemb_UKM.pdf>. 24 Agustus 2009.

Hong Kong Law Reform Commission. “Sub-Committee on Privity of Contract Consultation Paper,” <http://www.hklii.org/hk/other/hklrc/cp/2004/0 5/2.html#Heading430>. 4 September 2009.

Musy, Alberto M. “The Good Faith Principel in Contract Law and the Precontractual Duty to Disclose: Comparative Analysis of New Differences in Legal Cultures.” <http://www.icer.it/docs/wp2000 /Musy192000.pdf>. Desember 2000.

Rahman, Hatta Haris. “I Wayan Dipta: Decision Support System Sebagai Studi Kelayakan Finansial Bagi UMKM.” <http://www.madina-sk. com/index.php?option=com_content&task=view&id=5597&Itemid=8>. 31 Agustus 2009.

Sitanggang, Bachtiar. “Release and Discharge, Tak Dikenal Dalam Sistem Hukum Indonesia”. <http://pandapotan.today.com/2009/04/24/prof-dr-rosa-agustina-trisnawati-sh/>. 23 April 2009.

Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010