perawatan intensif pada pasien trauma

16
Perawatan Intensif pada Pasien Trauma I. Pendahuluan Di Amerika Serikat, cedera traumatic merupakan penyebab utama kematian diantara individu dengan usia diantara 1 sampai 44 tahun. Trauma membunuh lebih banyak warga Amerika antara usia 1 sampai 34 tahun dibandingkan semua penyebab digabungkan. 1 dari 6 pasien yang masuk rumah sakit merupakan pasien dengan cedera, dengan hampir 20% dari pasien trauma antara tahun 1994 sampai 1999, di rawat di Intensive Care Unit (ICU). Maka sangatlah penting untuk praktisi perawatan pasien kritis agar mengenali tata cara perawatan pasien dengan trauma. Meskipun prinsip tersebut digunakan untuk merawat pasien dengan penyakit kritis lainnya, ada beberapa keadaan yang unik pada trauma. II. Evaluasi Trauma Evaluasi dini pada pasien cedera telah di standarisasi oleh American College of Surgeons sebagai bagian dari pelatihan Advanced Trauma Life Support (ATLS). A. Primary Survey (ABCs) 1. Airway dengan C-spine control Evaluasi patensi jalan nafas, kualitas dari pertukaran udara dan suara, adanya stridor atau suara tambahan lain, identifikasi airway compromise atau pontesi dari kehilangan udara yang progresif; jika perlu, penetapan dari jalan nafas yang paten dan aman. 2. Breathing Pemeriksaan dari ventilasi udara dengan evaluasi dari frekuensi dan pola respirasi, pergerakan dinding dada, suara nafas, dan saturasi oksigen; identifikasi deviasi trakea, distensi vena pada leher, adanya sianosis dan atau cedera dinding dada; diagnosis dan penatalaksaan

Upload: ramadhyan-sulistyo

Post on 20-Dec-2015

32 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

Perawatan Intensif pada Pasien Trauma

I. Pendahuluan

Di Amerika Serikat, cedera traumatic merupakan penyebab utama kematian diantara individu dengan

usia diantara 1 sampai 44 tahun. Trauma membunuh lebih banyak warga Amerika antara usia 1 sampai 34

tahun dibandingkan semua penyebab digabungkan. 1 dari 6 pasien yang masuk rumah sakit merupakan

pasien dengan cedera, dengan hampir 20% dari pasien trauma antara tahun 1994 sampai 1999, di rawat di

Intensive Care Unit (ICU). Maka sangatlah penting untuk praktisi perawatan pasien kritis agar mengenali

tata cara perawatan pasien dengan trauma. Meskipun prinsip tersebut digunakan untuk merawat pasien

dengan penyakit kritis lainnya, ada beberapa keadaan yang unik pada trauma.

II. Evaluasi Trauma

Evaluasi dini pada pasien cedera telah di standarisasi oleh American College of Surgeons sebagai

bagian dari pelatihan Advanced Trauma Life Support (ATLS).

A. Primary Survey (ABCs)

1. Airway dengan C-spine control

Evaluasi patensi jalan nafas, kualitas dari pertukaran udara dan suara, adanya stridor atau suara

tambahan lain, identifikasi airway compromise atau pontesi dari kehilangan udara yang progresif; jika

perlu, penetapan dari jalan nafas yang paten dan aman.

2. Breathing

Pemeriksaan dari ventilasi udara dengan evaluasi dari frekuensi dan pola respirasi, pergerakan

dinding dada, suara nafas, dan saturasi oksigen; identifikasi deviasi trakea, distensi vena pada leher,

adanya sianosis dan atau cedera dinding dada; diagnosis dan penatalaksaan dari tension atau

pneumothorax terbuka, flail chest, atau hemothorax yang masif.

3. Circulation

Penilaian dari status hemodinamik dengan memeriksa status mental, kualitas pulsasi, tekanan darah,

dan warna kulit; identifikasi dan pengendalian hemoragik external, penetapan vaskularisasi,dan monitor

electrocardiogram.

4. Disability (evaluasi neurologi)

Pemeriksaan ukuran dan reaktifitas pupil, dan pergerakan dan sensibilitas pada semua extremitas

serta tingkat kesadaran menggunakan skala AVPU ataupun Glasgow Coma Scale.

5. Exposure/ Kontrol Lingkungan

Melepaskan pakaian pasien untuk evaluasi penuh, namun tetap mencegah hipotermi.

B. Secondary Survey

Ini adalah pemeriksaan head-to-toe yang termasuk diantaranya punggung dan spinal.

Page 2: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

1. Anamnesis

AMPLE (Allergies, Medications, Past Illness, Last Meal, Events related to injury)

2. Laboratorium

Termasuk tipe dan pemindaian atau tipe dan pencocokan sampel darah sesuai indikasi

3. Imaging

Termasuk FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma) dan foto polos dari thorax dan pelvis;

CT-scan kepala, c-spine, thorax, abdomen, dan pelvis sesuai indikasi dari cedera yang teridentifikasi, atau

potensi cedera sesuai dari mekanisme trauma; foto polos dari ekstremitas yang cedera.

4. Secondary Survey yang mungkin tertunda

Sampai dengan cedera teridentifikasi pada primary survey atau sampai setelah pembedahan pada

pasien yang tidak stabil.

C. Tertiary Survey

1. Selesaikan dan ulangi primary dan secondary survey dalam 24 jam untuk menilai cedera yang

tersembunyi atau terlewat.

2. Cedera yang tidak dikenali dapat terjadi pada 65% dari pasien dan 15% signifikan secara klinis.

3. Khususnya penting pada pasien ICU, yang seringkali tidak dapat menyuarakan keluhan dan

gejala yang dirasakan.

III.Pembedahan Pengendalian Kerusakan

A. Pendahuluan

30 tahun yang lalu, pasien trauma yang hebat yang memerlukan pembedahan seringkali melewati

satu kali pembedahan definitive. Tujuan selama pembedahan tersebut adalah untuk mendapatkan

hemostasis definitif, kontaminasi enteral terkontrol dengan reseksi dan anastomosis usus, dan

memperbaiki cedera lainnya. Sayangnya, banyak pasien meninggal karena perburukan intraoperatif yang

ditandai dengan trias letal hipotermi, koagulopati, dan asidosis. Beberapa tahun belakangan ini, tujuan

operasi bukan sebagai terapi definitive, tetapi untuk mengendalikan atau mengurangi perdarahan dan

kontaminasi enteral. Pasien kemudian di resusitasi di ICU dengan tujuan mengembalikan fisiologi pasien

dan menghindari trias letal. Pasien kemudian kembali di bedah, terkadang pada keadaan tertentu, untuk

terapi lanjutan. Tim perawatan kritis harus siap untuk menentukan trias letal untuk melakukan perbaikan

definitive secepatnya.

B. Hipotermia

Penelitian telah menunjukkan bahwa pasien trauma dengan suhu basal kurang dari 32°C memiliki

100% mortalitas. Pada pasien trauma, hipotermi tidak hanya terjadi pada keadaan kehilangan panas yang

Page 3: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

berat, tetapi dari berkurangnya produksi panas. Konsumsi oksigen diperlukan untuk regulasi panas tubuh,

maka pada keadaan syok panas tubuh berkurang. Hipotermi mempunyai efek inhibitor pada kaskade

koagulasi dan fungsi platelet yang di anggap remeh pada pemeriksaan laboratorium. Ini terjadi karena

laboratorium menghangatkan kembali plasma sampai 37°C sebelum mengukur clotting time.

Penghangatan eksternal seperti diselimuti atau udara yang panas dapat membantu mengurangi kehilangan

panas, tetapi tidak terlalu efisien untuk menghantarkan panas kembali ke pasien.

C. Koagulopati

Sebagai tambahan dari efek hipotermi, pasien trauma dapat juga kehilangan clotting factor yang

mengarah pada konsumsi koagulopati dan aktifasi dari fibrinolisis. Syok itu sendiri dapat menyebabkan

Dilutional Trombocytopenia yang tidak tergantung pada kehilangan darah. Penanganan sebaiknya dimulai

dengan transfuse FFP, factor pembekuan, dan platelet. Namun, fokus tetap pada menghangatkan kembali

pasien dan mengembalikan dan status syok.

D. Asidosis

Syok hipovolemik dapat menyebabkan penurunan konsumsi oksigen dan asidosis metabolic

persisten. Secara bergantian, dapat menyebabkan penurunan cardiac output, hipotensi, dan aritmia,

memperburuk status syok. Kegagalan resusitasi dan koreksi asidosis secara cepat menyebabkan

peningkatan insidensi dari MODs dan kematian.

IV.Sindrom Kompartemen Abdomen

A. Pendahuluan/ Definisi

Meskipun umumnya dihubungkan dengan pengendalian kerusakan pada laparotomi, Abdominal

Compartement Syndrome (ACS) tidak khusus berhubungan dengan trauma. Dapat terlihat pada pasien

dengan rupture aneurisma aorta abdominal, pancreatitis, neoplasma, asites hebat, transplatasi hepar,

perdarahan retroperitoneal, pneumoperitoneum, resusitasi cairan hebat, atau luka bakar abdomen

sirkumferensial. ACS didefinisikan sebagai peningkatan tekanan intraabdominal yang berhubungan

dengan disfungsi organ. IAP normal sama dengan tekanan atmosfer. Tekanan diatas 15mmHg

dihubungkan dengan perubahan fisiologis.

B. Patofisiologi

ACS menyebabkan perubahan pengaturan fisiologis

1. Jantung

Cardiac output turun akibat dari penurunan pengembalian vena dari vena cava inferior. Tekanan

extracardiac intrathoracic juga meningkat dan mengganggu pengisian diastolic ventrikel. Resistensi

vascular sistemik meningkat akibat vasokonstriksi arteriola dan IAP. Stroke volume dan cardiac output

Page 4: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

kemudian turun. CVP dan pulmonary artery wedge pressure keduanya meningkat. Gambaran jantung

akan menunjukkan ventrikel kiri yang kecil namun hiperdinamik.

2. Paru

Paru-paru tertekan oleh peninggian diafragma, yang mengakibatkan penurunan kapasitas total paru,

kapasitas residu fungsional, dan volume residu. Pemenuhan paru berkurang dan tekanan jalan nafas

meningkat, menyebabkan hipoksemia dari ventilasi/ perfusi mismatch.

3. Ginjal

Perfusi renal dan filtrasi loomerulus menurun perlahan sesuai peningkatan IAP. Penurunan urine

output terjadi pada oliguria pada IAP 15 – 20 mmHg, dan anuria terjadi pada IAP diatas 30 mmHg. Hal

ini tidak hanya terjadi pada tingkat prerenal akibat dari penurunan cardiac output, tetapi pada tingkat

renal. Kompresi pada parenkim renal menurunkan aliran darah renal dengan adanya penenkanan pada

arteri dan vena renalis. Peningkatan dari kadar rennin,antidiuretic hormone, dan aldosteron selanjutnya

mempengaruhi rendahnya urin output.

4. Visera abdomen

Perfusi ke semua visera abdomen berkurang. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi

pertahanan dari mukosa usus dan translokasi bakteri.

5. Sistem Saraf Pusat

Peningkatan IAP dapat juga mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan perfusi

serebral. Hal ini berhubungan dengan peningkatan CVP dan tekanan pleura.

C. Evaluasi

IAP dapat diukur secara langsung dengan pemasangan kateter di rongga peritoneum. Cara yang tidak

langsung dengan mengukur tekanan pada organ abdominal, paling umum adalah vesica urinaria dan

lambung. Cara yang paling mudah adalah dengan memasukan 100 ml saline steril ke vesica urinaria

dengan menggunakan foley catheter yang dihubungan dengan T-connector. Kateter kemudian di klem dan

tekanan intravesikular dapat diukur dengan menghubungkan transducer atau manometer dengan lengan

lain dari T-connector.

D. Penanganan

Penanganan IAP dan ACS adalah untuk mengurangi massa dari isi intrabdomen dengan

mengeluarkan darah di rongga peritoneum, badan asing seperti laparotomy pads, cairan, tumor, dan lain-

lain atau hanya dengan membuka abdomen.

V. Crush Injury

A. Patofisiologi

Page 5: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

Trauma seringkali menyebabkan crush injury pada otot dan jaringan. Jika cukup parah, dapat

bermanifestasi menjadi crush syndrome, yang didefinisikan sebagai sebuah manifestasi sistemik dari

cedera sel otot akibat penekanan atau crush. Crush syndrome yang tidak ditangani dikarakteristikkan

sebagai hipotensi sistemik, syok sirkulatori, pembengkakan otot dan gagal ginjal mioglobinuric akut.

Pada tingkat sel, sel otot menjadi teregang membrane menjadi lebih permeable terjadi pelepasan

mioglobin, phosphate, potassium, dan ureum ke sirkulasi, dan terjadi pemasukan air, sodium, dan kalsium

ke sel pembengkakan sel dan terjadi pengambilan cairan penurunan volume intravascular dan

hipovolemic shock.

B. Evaluasi

Pasien dengan crush injury harus diperiksa kadar Creatine Kinase (CK) secara periodic. Puncak

kadar CK berhubungan dengan perkembangan dari gagal ginjal, dengan risiko tertinggi pada kadar CK

lebih dari 75.000.

C. Penatalaksanaan

Setelah evaluasi dini trauma, pasien dengan crush injury dipasangkan kateter urin untuk mengukur

produksi urin tiap jam. Resusitasi cairan harus dilakukan. Normal saline dapat digunakan atau dengan

Dektrosa 5% dalam cairan untuk mengurangi peningkatan natrium. Jumlah cairan yang direkomendasikan

dari 200 sampai 1500 ml/jam, tetapi kemungkinan besar ditargetkan pada urine output lebih dari 1

ml/kgBB/jam. Alkalinisasi dari urin telah terbukti meningkatkan kelarutan dari mioglobin dan

meningkatkan ekskresinya. Ini juga membantu mencegah kerusakan oksidasi. pH urin dipertahankan

diatas 6.5 dengan bolus bikarbonat 50 mmol atau dengan menambahkannya ke regimen cairan.

D. Kompartemen sindrom

Kompartemen sindrom adalah komplikasi yang mungkin terjadi pada crush injury. Dapat juga

didapatkan pada truma skeletal, cedera iskemi-reperfusi, karena penyebab iatrogenic, dan kondisi lainnya.

Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakompartemental (ICP), yang menyebabkan penekanan

dari outflow vena. Ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik yang selanjutnya meningkatkan ICP

dan akan terus berulang. Pada akhirnya inflow arteri terpengaruh, menyebabkan iskemi otot dan saraf

serta nekrosis jaringan.

1. Gejala dan tanda

Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri dan parestesia. Dapat merasakan ketegangan,

pembengkakan kompartemen, kehilangan sensorik, khususnya diskriminasi dua titik, dan nyeri pada

pergerakan pasif otot. Kehilangan pulsasi adalah tanda yang lanjut. Sayangnya, kebanyakan keadaan

tersebut tidak mudah dinilai pada pasien tersedasi di ICU. Semua extremitas yang mempunyai risiko

harus di monitor. ICP normal adalah antara 0 sampai dengan 8 mmHg pada otot yang istirahat. Batas

Page 6: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

tekanan untuk mendiagnosis sindrom kompartemen belum terdefinisi. Beberapa penelitian menunjukkan

tenkanan lebih dari 30 mmHg untuk 6 sampai 9 jam mengarah pada kerusakan yang irreversible.

2. Penatalaksanaan

Penanganan utama adalah dengan dekompresi dengan fasiotomi pada semua kompartemen

ekstremitas yang terkena. Beberapa kelompok menganjurkan penggunaan mannito pada kasus ringan

untuk mengurangi ICP dan pembedahan yang tidak diperlukan beserta komplikasinya.

VI.Penanganan Cedera Tumpul pada liver dan spleen

A. Pendahuluan

Adanya darah di dalam rongga intraperitoneal, biasanya terdeteksi oleh Diagnostic Peritoneal Lavage

(DPL), sebelumnya merupakan indikasi untuk laparotomi eksplorasi. Hal ini mengarah pada angka

signifikan dari laparotomi nonterapeutic dan komplikasi penyertanya serta peningkatan dari sepsis

postsplenectomy pasca splenectomi yang tidak diperlukan. Akan tetapi, telah ada perubahan perlahan

menuju penanganan nonoperatif pada kelompok pasien tertentu dengan cedera hepar dan spleen.

Kriteria untuk penanganan nonoperatif pada cedera organ padat

- Hemodinamik stabil

- CT-scan dari cedera

- Tidak ada hasil extravasasi kontras pada CT-scan

- Tidak adanya cedera lain yang memerlukan laparotomi

- Tidak perlu adanya transfusi atau Ht tidak menurun akibat hal yang tidak diketahui oleh cedera

non abdominal

- Mampu melalui seri pemeriksaan abdomen

B. Evaluasi/ Penatalaksanaan

Kebanyakan pusat trauma menggunakan pemeriksaan FAST dibandingkan DPL untuk mengevaluasi

adanya darah intraperitoneal. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil serta pemeriksaan yang

positif sebaiknya melakukan operasi eksplorasi. Pasien stabil dengan pemeriksaan FAST positif

sebaiknya melakukan pemeriksaan CT-scan abdomen dengan kontras oral dan IV untuk selanjutnya

diidentifikasi dan dinilai keparahan dari cedera. Namun, meskipun penting, grade dari cedera dan derajat

hemoperitoneum tidak dapat memprediksi hasil dari penanganan non-operatif. Status hemodinamik

pasien adalah kriteria yang paling dapat diandalkan untuk menentukan penanganan operatif atau non

operatif. Angiografi semakin sering digunakan untuk diagnosis dan terapi (dengan embolisasi) perdarahan

pada cedera hepar dan spleen

C. Hepar

Page 7: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

Hepar adalah organ abdomen yang paling sering cedera pada cedera tumpul dan penetrasi. Insidensi

perdarahan ulang yang menyertai cedera hepar kurang dari 3% dari semua pasien yang ditangani secara

non operatif. Kebutuhan transfusi lebih tinggi pada kasus operatif dibandingkan dengan non operatif.

Komplikasi lain termasuk abses hepar, dan cedera traktus biliaris dengan biloma dan hemobilia.

Gr

ade

Gambaran Cedera

I Hematoma Subcapsular, tidak meluas, area permukaan <10%

Laserasi Capsular, tidak ada perdarahan, kedalaman <1cm

II Hematoma Subcapsular, tidak meluas, area permukaan 10% - 15%

Intraparenkim, tidak meluas, diameter <2cm

Laserasi Capsular, perdarahan aktif, kedalaman 1 – 3 cm,

panjang <10cm

III Hematoma Subcapsular, meluar, atau area permukaan >50%

Subcapsular rupture dengan perdarahan aktif

Intraparenkim diameter >2cm atau meluas

Laserasi Kedalaman >3cm

IV Hematoma Hematoma sentral rupture dengan perdarahan aktif

Laserasi Robekan parenkim lobus 25 – 50%

V Hematoma Robekan parenkim lobus >50%

Laserasi Robekan vena: vena hepatika, vena cava retrohepatic

inferior

VI Avulsi

Hepar

D. Spleen

Cedera spleen dapat ditangani secara non operatif pada 60% sampai 70% kasus pada anak dan

sekitar 50% pada dewasa. Bertolak belakang dengan trauma hepar, tingkat kegagalan lebih tinggi, 5%

sampai 10%, dan perdarahan dapat terjadi secara cepat, memungkinkan terjadinya ketidakstabilan

hemodinamik. Pasien dengan cedera spleen sebaiknya dilakukan pemeriksaan hematokrit yang sering.

Pasien yang dilakukan splenektomi mungkin terjadi trombositosis sementara sekitar 600.000 sampai

1.000.000. Aspirin direkomendasikan pada keadaan hitung trombosit diatas 750.000 untuk

meminimalisasi thrombosis. Pasien juga sebaiknya di vaksinasi melawan Pneumococcus, haemophilus

influenzae, dan meningociccus, meskipun waktu vaksinasi masih kontroversi. Antibiotic diberikan jika

ada tanda-tanda awal dari infeksi dan jika dilakukan prosedur infasif dibandingkan sebagai profilaksis.

Page 8: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

E. Follow-up

Pasien dengan cedera hepar dan spleen seharusnya dilakukan pemeriksaan abdomen berkala dan

pemeriksaan hematokrit. CT-scan tidak diindikasikan kecuali ada perubahan pada status klinis atau ada

penurunan hematokrit, yang menunjukkan adanya perdarahan yang terjadi.

VII. Cedera Miokard

A. Penetrasi

Semua cedera penetrasi pada daerah yang dinamakan “precordial box” seharusnya dicurigai telah

mencederai jantung sampai telah dibuktikan sebaliknya. Daerah “Box” meliputi daerah antara linea

midclavicularis lateralis, superior, sampai margin costalis, dan inferior dari clavicula. Karena lokasinya,

ventrikel kanan kanan mempunyai risiko paling tinggi untuk cedera. Luka tusuk biasanya muncul sebagai

tamponade jantung, dan luka tembak cenderung membuat defek yang lebih berat dan dengan adanya

perdarahan dan syok hipovolemic.

1. Evaluasi

Pasien mungkin atau tidak ada trias Beck dari tamponade jantung (suara tambahan jantung,

hipotensi, distensi vena leher).

2. Penanganan

Resusitasi sebaiknya menggunakan aturan ATLS dengan volume resusitasi melalui large-bore

intravenous lines. Pasien stabil dengan cairan pericardial yang positif sebaiknya secepatnya di pindahkan

ke kamar operasi. Pasien yang tidak stabil atau terminal harus melalui thoracotomy emergensi untuk

meringankan tamponade dan di pindahkan ke ruang operasi. Meskipun pericardiosentesis tidak

mempunyai peran pada diagnosis tamponade karena ratio negative palsu yang tinggi, namun dapat

mempunyai peran terapi ketika thoracotomy tidak dapat dilakukan secepatnya.

B. Cedera Jantung Tumpul

Insidensi secara keseluruhan bervariasi antara 8% - 71% pada semua pasien dengan trauma tumpul

thorax. Paling sering diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, dan langsung menghantam daerah

thorax atau dari deselerasi yang cepat. Penyebab lain termasuk jatuh, cedera olahraga, dan blast injuries.

1. Tanda dan Gejala

BCI mempunyai tanda dan gejala yang dapat diandalkan. Banyak pasien mempunyai bukti cedera

thorax external, dan nyeri dada adalah keluhan yang umum pada pasien trauma.

2. Evaluasi

Semua pasien dengan suspek BCI seharusnya menjalani EKG 12 lead saat masuk rumah sakit. Jika

EKG abnormal (aritmia, perubahan ST, iskemia, block, dll) pasien harus dirawat inap untuk diawai

selama 24 sampai 48 jam. Pasien yang mengeluh dispnea atau mempunyai gambaran iskemi pada EKG,

Page 9: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

atau aritmia kompleks (fibrilasi atrium, kontraksi premature ventrikel multifocal, atau konduksi tertunda)

harus menjalani perawatan di ICU. Pengukuran enzim jantung controversial. CK dapat meningkat secara

non spesifik pada pasien dengan trauma otot skeletal. Pengukuran Troponin I dan T telah menunjukkan

spesifikasi yang meningkat tetapi tidak sensitifitas. Beberap peneliti melaporkan bahwa nilai troponin

yang normal dikombinasikan dengan EKG yang normal merupakan indicator tidak adanya cedera

jantung. Echocardiogram, transthoracic atau transesophageal, sebaiknya tidak digunakan untuk skrining

utama pada pasien dengan hemodinamik stabil. Meskipun mempunyai risiko dan sangat tergantung pada

operator, transesophageal echocardiography telah menunjukkan akurasi pada diagnose BCI dan aman

untuk evaluasi pasien trauma

3. Penanganan

BCI ditangani secara simptomatik pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Management nyeri

sebaiknya di optimalkan dan elektrolit dikoreksi. Jika ada bukti cairan pericardium pada echocardiogram

dan gambaran klinik sesuai dengan tamponade, pasien sebaiknya dilakukan pericardiotomy subxiphoid di

ruang operasi atau thoracotomy anterolateral jika pada keadaan yang extrim dan atau intraaortic balloon

pump.

VIII. Traumatic Aortic Disruption (TAD)

TAD adalah penyebab kematian kedua setelah kecelakaan kendaraan bermotor. TAD juga di dapat

terjadi pada kecelakaan lain yang melibatkan deselerasi tubuh tiba-tiba dan atau kompresi dada.

Umumnya paling sering terjadi pada ismus aorta (90%), yang mana bagian paling proksimal dari aorta

desenden pars thoracic. Bagian aorta ini relatif melekat pada arteri pulmonal oleh ligamentun arteriosum,

sedangkan bagian diatas arkus aorta dan distal dari aorta bebas bergerak. Hal ini dapat menyebabkan

stress ringan yang mengarah pada rupture. Mekanisme cedera lain diantaranya kompresi dari pembuluh

darah diantara struktur tulang atau hipertensi intraluminal profunda. Transeksi dapat dilakaukan pada

sebagian dari ketebalan pembuluh darah, serupa dengan robekan pada diseksi aorta, atau pada

keseluruhan dari ketebalan dan sama dengan ruptru aneurisma. Pada kedua kasus, hipotensi dan

perubahan tekanan darah yang diperbolehkan sebaiknya digunakan (dP/dt)

A. Evaluasi

TAD sebaiknya dicurigai pada semua pasien dengan trauma kepala berat, fraktur extremitas multiple,

fraktur costae multiple, dan atau mekanisme cedera yang melibatkan deselerasi cepat. Gejalanya non

spesifik, dengan gejala yang paling sering adalah nyeri dada, nyeri tulang punggung, dan dispnea.

Temuan pada pemeriksaan fisik juga non spesifik. Trauma thorax didapatkan pada 70% - 90% kejadian.

Kurang dari 1/3 pasien mempunyai perbedaan tekanan darah atau pulsasi pada extremitas. Evaluasi

sebaiknya dimulai dengan foto thorax. TAD dihubungkan dengan pelebaran dari mediastinum, dengan

Page 10: Perawatan Intensif Pada Pasien Trauma

perbandingan lebih dari 0.28 dari lebar mediastinum terhadap lebar thorax pada aortic knob pada arcus

aorta. Potensi lain termasuk hilangnya aortic knob, depresi bronkus utama kiri, deviasi lateral dari trakea,

hematom apex pleura, dan hemothorax kiri. Meskipun demikian, hasil foto thorax yang normal tidak

menghilangkan diagnosis TAD. Angiografi merupakan gold standard. Meskipun, telah digantikan pada

kebanyakan rumah sakit dengan CT scan sebagai test skrining pertama. CT scan menunjukkan hilangnya

hematoma mediastinal, maka menghilangkan diagnosis TAD, atau tidak adanya tanda disrupsi.

Echocardiogram transesofageal telah dinilai sebagai alat yang potensial sebagai skrining untuk TAD.

Namun, tidak selalu bisa menvisualisasikan arkus aorta dan aorta asenden aorta distal. Sebagai tambahan,

pemeriksaan tersebut tergantung pada operator, dan beberapa tempat mempunyai pengalaman dengan

cedera aorta.

B. Penanganan

Resusitasi awal mengikuti aturan ATLS. Meskipun resusitasi volume yang agresif dibatasi untuk

mempertahankan tekanan sistolik sekitar 100mmHg. Terapi farmakologi pada batas dP/dt (stress robekan

pada dinding pembuluh darah) harus dilakukan secepatnya setelah diagnosis dicurigai, bahkan sebelum

keseluruhan diagnosis ditegakkan, untuk mengurangi kesempatan rupture saat pemeriksaan. Monitoring

hemodinamik invasive sebaiknya dilakukan dengan a-line kanan. Beta blocker IV dengan labetalol atau

propranolol sebaiknya digunakan. Nitroprusside Natrium sebaiknya digunakan sebagai agen kedua

setelah penggunaan beta blocker dibatasi karena bradikardia. Analgesi dan sedasi yang adekuat juga

sangat penting. Penanganan operatif mungkin perlu di tunda pada pasien trauma multiple sementara

cedera lain di stabilisasi. Fiksas external digunakan untuk menstabilisasi fraktru pelvic dan extremitas.

Pembedahan cedera kepala atau cedera intraabdominal yang tidak stabil harus dipertimbangkan.

Komplikasi post operasi termasuk diantaranya acute respiratory distress syndrome, perlunya bantuan

ventilator yang berkepanjangan, Multisystem organ failure, insufisiensi renal, dan paraplegia.