perawatan intensif pada pasien trauma
TRANSCRIPT
Perawatan Intensif pada Pasien Trauma
I. Pendahuluan
Di Amerika Serikat, cedera traumatic merupakan penyebab utama kematian diantara individu dengan
usia diantara 1 sampai 44 tahun. Trauma membunuh lebih banyak warga Amerika antara usia 1 sampai 34
tahun dibandingkan semua penyebab digabungkan. 1 dari 6 pasien yang masuk rumah sakit merupakan
pasien dengan cedera, dengan hampir 20% dari pasien trauma antara tahun 1994 sampai 1999, di rawat di
Intensive Care Unit (ICU). Maka sangatlah penting untuk praktisi perawatan pasien kritis agar mengenali
tata cara perawatan pasien dengan trauma. Meskipun prinsip tersebut digunakan untuk merawat pasien
dengan penyakit kritis lainnya, ada beberapa keadaan yang unik pada trauma.
II. Evaluasi Trauma
Evaluasi dini pada pasien cedera telah di standarisasi oleh American College of Surgeons sebagai
bagian dari pelatihan Advanced Trauma Life Support (ATLS).
A. Primary Survey (ABCs)
1. Airway dengan C-spine control
Evaluasi patensi jalan nafas, kualitas dari pertukaran udara dan suara, adanya stridor atau suara
tambahan lain, identifikasi airway compromise atau pontesi dari kehilangan udara yang progresif; jika
perlu, penetapan dari jalan nafas yang paten dan aman.
2. Breathing
Pemeriksaan dari ventilasi udara dengan evaluasi dari frekuensi dan pola respirasi, pergerakan
dinding dada, suara nafas, dan saturasi oksigen; identifikasi deviasi trakea, distensi vena pada leher,
adanya sianosis dan atau cedera dinding dada; diagnosis dan penatalaksaan dari tension atau
pneumothorax terbuka, flail chest, atau hemothorax yang masif.
3. Circulation
Penilaian dari status hemodinamik dengan memeriksa status mental, kualitas pulsasi, tekanan darah,
dan warna kulit; identifikasi dan pengendalian hemoragik external, penetapan vaskularisasi,dan monitor
electrocardiogram.
4. Disability (evaluasi neurologi)
Pemeriksaan ukuran dan reaktifitas pupil, dan pergerakan dan sensibilitas pada semua extremitas
serta tingkat kesadaran menggunakan skala AVPU ataupun Glasgow Coma Scale.
5. Exposure/ Kontrol Lingkungan
Melepaskan pakaian pasien untuk evaluasi penuh, namun tetap mencegah hipotermi.
B. Secondary Survey
Ini adalah pemeriksaan head-to-toe yang termasuk diantaranya punggung dan spinal.
1. Anamnesis
AMPLE (Allergies, Medications, Past Illness, Last Meal, Events related to injury)
2. Laboratorium
Termasuk tipe dan pemindaian atau tipe dan pencocokan sampel darah sesuai indikasi
3. Imaging
Termasuk FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma) dan foto polos dari thorax dan pelvis;
CT-scan kepala, c-spine, thorax, abdomen, dan pelvis sesuai indikasi dari cedera yang teridentifikasi, atau
potensi cedera sesuai dari mekanisme trauma; foto polos dari ekstremitas yang cedera.
4. Secondary Survey yang mungkin tertunda
Sampai dengan cedera teridentifikasi pada primary survey atau sampai setelah pembedahan pada
pasien yang tidak stabil.
C. Tertiary Survey
1. Selesaikan dan ulangi primary dan secondary survey dalam 24 jam untuk menilai cedera yang
tersembunyi atau terlewat.
2. Cedera yang tidak dikenali dapat terjadi pada 65% dari pasien dan 15% signifikan secara klinis.
3. Khususnya penting pada pasien ICU, yang seringkali tidak dapat menyuarakan keluhan dan
gejala yang dirasakan.
III.Pembedahan Pengendalian Kerusakan
A. Pendahuluan
30 tahun yang lalu, pasien trauma yang hebat yang memerlukan pembedahan seringkali melewati
satu kali pembedahan definitive. Tujuan selama pembedahan tersebut adalah untuk mendapatkan
hemostasis definitif, kontaminasi enteral terkontrol dengan reseksi dan anastomosis usus, dan
memperbaiki cedera lainnya. Sayangnya, banyak pasien meninggal karena perburukan intraoperatif yang
ditandai dengan trias letal hipotermi, koagulopati, dan asidosis. Beberapa tahun belakangan ini, tujuan
operasi bukan sebagai terapi definitive, tetapi untuk mengendalikan atau mengurangi perdarahan dan
kontaminasi enteral. Pasien kemudian di resusitasi di ICU dengan tujuan mengembalikan fisiologi pasien
dan menghindari trias letal. Pasien kemudian kembali di bedah, terkadang pada keadaan tertentu, untuk
terapi lanjutan. Tim perawatan kritis harus siap untuk menentukan trias letal untuk melakukan perbaikan
definitive secepatnya.
B. Hipotermia
Penelitian telah menunjukkan bahwa pasien trauma dengan suhu basal kurang dari 32°C memiliki
100% mortalitas. Pada pasien trauma, hipotermi tidak hanya terjadi pada keadaan kehilangan panas yang
berat, tetapi dari berkurangnya produksi panas. Konsumsi oksigen diperlukan untuk regulasi panas tubuh,
maka pada keadaan syok panas tubuh berkurang. Hipotermi mempunyai efek inhibitor pada kaskade
koagulasi dan fungsi platelet yang di anggap remeh pada pemeriksaan laboratorium. Ini terjadi karena
laboratorium menghangatkan kembali plasma sampai 37°C sebelum mengukur clotting time.
Penghangatan eksternal seperti diselimuti atau udara yang panas dapat membantu mengurangi kehilangan
panas, tetapi tidak terlalu efisien untuk menghantarkan panas kembali ke pasien.
C. Koagulopati
Sebagai tambahan dari efek hipotermi, pasien trauma dapat juga kehilangan clotting factor yang
mengarah pada konsumsi koagulopati dan aktifasi dari fibrinolisis. Syok itu sendiri dapat menyebabkan
Dilutional Trombocytopenia yang tidak tergantung pada kehilangan darah. Penanganan sebaiknya dimulai
dengan transfuse FFP, factor pembekuan, dan platelet. Namun, fokus tetap pada menghangatkan kembali
pasien dan mengembalikan dan status syok.
D. Asidosis
Syok hipovolemik dapat menyebabkan penurunan konsumsi oksigen dan asidosis metabolic
persisten. Secara bergantian, dapat menyebabkan penurunan cardiac output, hipotensi, dan aritmia,
memperburuk status syok. Kegagalan resusitasi dan koreksi asidosis secara cepat menyebabkan
peningkatan insidensi dari MODs dan kematian.
IV.Sindrom Kompartemen Abdomen
A. Pendahuluan/ Definisi
Meskipun umumnya dihubungkan dengan pengendalian kerusakan pada laparotomi, Abdominal
Compartement Syndrome (ACS) tidak khusus berhubungan dengan trauma. Dapat terlihat pada pasien
dengan rupture aneurisma aorta abdominal, pancreatitis, neoplasma, asites hebat, transplatasi hepar,
perdarahan retroperitoneal, pneumoperitoneum, resusitasi cairan hebat, atau luka bakar abdomen
sirkumferensial. ACS didefinisikan sebagai peningkatan tekanan intraabdominal yang berhubungan
dengan disfungsi organ. IAP normal sama dengan tekanan atmosfer. Tekanan diatas 15mmHg
dihubungkan dengan perubahan fisiologis.
B. Patofisiologi
ACS menyebabkan perubahan pengaturan fisiologis
1. Jantung
Cardiac output turun akibat dari penurunan pengembalian vena dari vena cava inferior. Tekanan
extracardiac intrathoracic juga meningkat dan mengganggu pengisian diastolic ventrikel. Resistensi
vascular sistemik meningkat akibat vasokonstriksi arteriola dan IAP. Stroke volume dan cardiac output
kemudian turun. CVP dan pulmonary artery wedge pressure keduanya meningkat. Gambaran jantung
akan menunjukkan ventrikel kiri yang kecil namun hiperdinamik.
2. Paru
Paru-paru tertekan oleh peninggian diafragma, yang mengakibatkan penurunan kapasitas total paru,
kapasitas residu fungsional, dan volume residu. Pemenuhan paru berkurang dan tekanan jalan nafas
meningkat, menyebabkan hipoksemia dari ventilasi/ perfusi mismatch.
3. Ginjal
Perfusi renal dan filtrasi loomerulus menurun perlahan sesuai peningkatan IAP. Penurunan urine
output terjadi pada oliguria pada IAP 15 – 20 mmHg, dan anuria terjadi pada IAP diatas 30 mmHg. Hal
ini tidak hanya terjadi pada tingkat prerenal akibat dari penurunan cardiac output, tetapi pada tingkat
renal. Kompresi pada parenkim renal menurunkan aliran darah renal dengan adanya penenkanan pada
arteri dan vena renalis. Peningkatan dari kadar rennin,antidiuretic hormone, dan aldosteron selanjutnya
mempengaruhi rendahnya urin output.
4. Visera abdomen
Perfusi ke semua visera abdomen berkurang. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi
pertahanan dari mukosa usus dan translokasi bakteri.
5. Sistem Saraf Pusat
Peningkatan IAP dapat juga mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan perfusi
serebral. Hal ini berhubungan dengan peningkatan CVP dan tekanan pleura.
C. Evaluasi
IAP dapat diukur secara langsung dengan pemasangan kateter di rongga peritoneum. Cara yang tidak
langsung dengan mengukur tekanan pada organ abdominal, paling umum adalah vesica urinaria dan
lambung. Cara yang paling mudah adalah dengan memasukan 100 ml saline steril ke vesica urinaria
dengan menggunakan foley catheter yang dihubungan dengan T-connector. Kateter kemudian di klem dan
tekanan intravesikular dapat diukur dengan menghubungkan transducer atau manometer dengan lengan
lain dari T-connector.
D. Penanganan
Penanganan IAP dan ACS adalah untuk mengurangi massa dari isi intrabdomen dengan
mengeluarkan darah di rongga peritoneum, badan asing seperti laparotomy pads, cairan, tumor, dan lain-
lain atau hanya dengan membuka abdomen.
V. Crush Injury
A. Patofisiologi
Trauma seringkali menyebabkan crush injury pada otot dan jaringan. Jika cukup parah, dapat
bermanifestasi menjadi crush syndrome, yang didefinisikan sebagai sebuah manifestasi sistemik dari
cedera sel otot akibat penekanan atau crush. Crush syndrome yang tidak ditangani dikarakteristikkan
sebagai hipotensi sistemik, syok sirkulatori, pembengkakan otot dan gagal ginjal mioglobinuric akut.
Pada tingkat sel, sel otot menjadi teregang membrane menjadi lebih permeable terjadi pelepasan
mioglobin, phosphate, potassium, dan ureum ke sirkulasi, dan terjadi pemasukan air, sodium, dan kalsium
ke sel pembengkakan sel dan terjadi pengambilan cairan penurunan volume intravascular dan
hipovolemic shock.
B. Evaluasi
Pasien dengan crush injury harus diperiksa kadar Creatine Kinase (CK) secara periodic. Puncak
kadar CK berhubungan dengan perkembangan dari gagal ginjal, dengan risiko tertinggi pada kadar CK
lebih dari 75.000.
C. Penatalaksanaan
Setelah evaluasi dini trauma, pasien dengan crush injury dipasangkan kateter urin untuk mengukur
produksi urin tiap jam. Resusitasi cairan harus dilakukan. Normal saline dapat digunakan atau dengan
Dektrosa 5% dalam cairan untuk mengurangi peningkatan natrium. Jumlah cairan yang direkomendasikan
dari 200 sampai 1500 ml/jam, tetapi kemungkinan besar ditargetkan pada urine output lebih dari 1
ml/kgBB/jam. Alkalinisasi dari urin telah terbukti meningkatkan kelarutan dari mioglobin dan
meningkatkan ekskresinya. Ini juga membantu mencegah kerusakan oksidasi. pH urin dipertahankan
diatas 6.5 dengan bolus bikarbonat 50 mmol atau dengan menambahkannya ke regimen cairan.
D. Kompartemen sindrom
Kompartemen sindrom adalah komplikasi yang mungkin terjadi pada crush injury. Dapat juga
didapatkan pada truma skeletal, cedera iskemi-reperfusi, karena penyebab iatrogenic, dan kondisi lainnya.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakompartemental (ICP), yang menyebabkan penekanan
dari outflow vena. Ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik yang selanjutnya meningkatkan ICP
dan akan terus berulang. Pada akhirnya inflow arteri terpengaruh, menyebabkan iskemi otot dan saraf
serta nekrosis jaringan.
1. Gejala dan tanda
Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri dan parestesia. Dapat merasakan ketegangan,
pembengkakan kompartemen, kehilangan sensorik, khususnya diskriminasi dua titik, dan nyeri pada
pergerakan pasif otot. Kehilangan pulsasi adalah tanda yang lanjut. Sayangnya, kebanyakan keadaan
tersebut tidak mudah dinilai pada pasien tersedasi di ICU. Semua extremitas yang mempunyai risiko
harus di monitor. ICP normal adalah antara 0 sampai dengan 8 mmHg pada otot yang istirahat. Batas
tekanan untuk mendiagnosis sindrom kompartemen belum terdefinisi. Beberapa penelitian menunjukkan
tenkanan lebih dari 30 mmHg untuk 6 sampai 9 jam mengarah pada kerusakan yang irreversible.
2. Penatalaksanaan
Penanganan utama adalah dengan dekompresi dengan fasiotomi pada semua kompartemen
ekstremitas yang terkena. Beberapa kelompok menganjurkan penggunaan mannito pada kasus ringan
untuk mengurangi ICP dan pembedahan yang tidak diperlukan beserta komplikasinya.
VI.Penanganan Cedera Tumpul pada liver dan spleen
A. Pendahuluan
Adanya darah di dalam rongga intraperitoneal, biasanya terdeteksi oleh Diagnostic Peritoneal Lavage
(DPL), sebelumnya merupakan indikasi untuk laparotomi eksplorasi. Hal ini mengarah pada angka
signifikan dari laparotomi nonterapeutic dan komplikasi penyertanya serta peningkatan dari sepsis
postsplenectomy pasca splenectomi yang tidak diperlukan. Akan tetapi, telah ada perubahan perlahan
menuju penanganan nonoperatif pada kelompok pasien tertentu dengan cedera hepar dan spleen.
Kriteria untuk penanganan nonoperatif pada cedera organ padat
- Hemodinamik stabil
- CT-scan dari cedera
- Tidak ada hasil extravasasi kontras pada CT-scan
- Tidak adanya cedera lain yang memerlukan laparotomi
- Tidak perlu adanya transfusi atau Ht tidak menurun akibat hal yang tidak diketahui oleh cedera
non abdominal
- Mampu melalui seri pemeriksaan abdomen
B. Evaluasi/ Penatalaksanaan
Kebanyakan pusat trauma menggunakan pemeriksaan FAST dibandingkan DPL untuk mengevaluasi
adanya darah intraperitoneal. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil serta pemeriksaan yang
positif sebaiknya melakukan operasi eksplorasi. Pasien stabil dengan pemeriksaan FAST positif
sebaiknya melakukan pemeriksaan CT-scan abdomen dengan kontras oral dan IV untuk selanjutnya
diidentifikasi dan dinilai keparahan dari cedera. Namun, meskipun penting, grade dari cedera dan derajat
hemoperitoneum tidak dapat memprediksi hasil dari penanganan non-operatif. Status hemodinamik
pasien adalah kriteria yang paling dapat diandalkan untuk menentukan penanganan operatif atau non
operatif. Angiografi semakin sering digunakan untuk diagnosis dan terapi (dengan embolisasi) perdarahan
pada cedera hepar dan spleen
C. Hepar
Hepar adalah organ abdomen yang paling sering cedera pada cedera tumpul dan penetrasi. Insidensi
perdarahan ulang yang menyertai cedera hepar kurang dari 3% dari semua pasien yang ditangani secara
non operatif. Kebutuhan transfusi lebih tinggi pada kasus operatif dibandingkan dengan non operatif.
Komplikasi lain termasuk abses hepar, dan cedera traktus biliaris dengan biloma dan hemobilia.
Gr
ade
Gambaran Cedera
I Hematoma Subcapsular, tidak meluas, area permukaan <10%
Laserasi Capsular, tidak ada perdarahan, kedalaman <1cm
II Hematoma Subcapsular, tidak meluas, area permukaan 10% - 15%
Intraparenkim, tidak meluas, diameter <2cm
Laserasi Capsular, perdarahan aktif, kedalaman 1 – 3 cm,
panjang <10cm
III Hematoma Subcapsular, meluar, atau area permukaan >50%
Subcapsular rupture dengan perdarahan aktif
Intraparenkim diameter >2cm atau meluas
Laserasi Kedalaman >3cm
IV Hematoma Hematoma sentral rupture dengan perdarahan aktif
Laserasi Robekan parenkim lobus 25 – 50%
V Hematoma Robekan parenkim lobus >50%
Laserasi Robekan vena: vena hepatika, vena cava retrohepatic
inferior
VI Avulsi
Hepar
D. Spleen
Cedera spleen dapat ditangani secara non operatif pada 60% sampai 70% kasus pada anak dan
sekitar 50% pada dewasa. Bertolak belakang dengan trauma hepar, tingkat kegagalan lebih tinggi, 5%
sampai 10%, dan perdarahan dapat terjadi secara cepat, memungkinkan terjadinya ketidakstabilan
hemodinamik. Pasien dengan cedera spleen sebaiknya dilakukan pemeriksaan hematokrit yang sering.
Pasien yang dilakukan splenektomi mungkin terjadi trombositosis sementara sekitar 600.000 sampai
1.000.000. Aspirin direkomendasikan pada keadaan hitung trombosit diatas 750.000 untuk
meminimalisasi thrombosis. Pasien juga sebaiknya di vaksinasi melawan Pneumococcus, haemophilus
influenzae, dan meningociccus, meskipun waktu vaksinasi masih kontroversi. Antibiotic diberikan jika
ada tanda-tanda awal dari infeksi dan jika dilakukan prosedur infasif dibandingkan sebagai profilaksis.
E. Follow-up
Pasien dengan cedera hepar dan spleen seharusnya dilakukan pemeriksaan abdomen berkala dan
pemeriksaan hematokrit. CT-scan tidak diindikasikan kecuali ada perubahan pada status klinis atau ada
penurunan hematokrit, yang menunjukkan adanya perdarahan yang terjadi.
VII. Cedera Miokard
A. Penetrasi
Semua cedera penetrasi pada daerah yang dinamakan “precordial box” seharusnya dicurigai telah
mencederai jantung sampai telah dibuktikan sebaliknya. Daerah “Box” meliputi daerah antara linea
midclavicularis lateralis, superior, sampai margin costalis, dan inferior dari clavicula. Karena lokasinya,
ventrikel kanan kanan mempunyai risiko paling tinggi untuk cedera. Luka tusuk biasanya muncul sebagai
tamponade jantung, dan luka tembak cenderung membuat defek yang lebih berat dan dengan adanya
perdarahan dan syok hipovolemic.
1. Evaluasi
Pasien mungkin atau tidak ada trias Beck dari tamponade jantung (suara tambahan jantung,
hipotensi, distensi vena leher).
2. Penanganan
Resusitasi sebaiknya menggunakan aturan ATLS dengan volume resusitasi melalui large-bore
intravenous lines. Pasien stabil dengan cairan pericardial yang positif sebaiknya secepatnya di pindahkan
ke kamar operasi. Pasien yang tidak stabil atau terminal harus melalui thoracotomy emergensi untuk
meringankan tamponade dan di pindahkan ke ruang operasi. Meskipun pericardiosentesis tidak
mempunyai peran pada diagnosis tamponade karena ratio negative palsu yang tinggi, namun dapat
mempunyai peran terapi ketika thoracotomy tidak dapat dilakukan secepatnya.
B. Cedera Jantung Tumpul
Insidensi secara keseluruhan bervariasi antara 8% - 71% pada semua pasien dengan trauma tumpul
thorax. Paling sering diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, dan langsung menghantam daerah
thorax atau dari deselerasi yang cepat. Penyebab lain termasuk jatuh, cedera olahraga, dan blast injuries.
1. Tanda dan Gejala
BCI mempunyai tanda dan gejala yang dapat diandalkan. Banyak pasien mempunyai bukti cedera
thorax external, dan nyeri dada adalah keluhan yang umum pada pasien trauma.
2. Evaluasi
Semua pasien dengan suspek BCI seharusnya menjalani EKG 12 lead saat masuk rumah sakit. Jika
EKG abnormal (aritmia, perubahan ST, iskemia, block, dll) pasien harus dirawat inap untuk diawai
selama 24 sampai 48 jam. Pasien yang mengeluh dispnea atau mempunyai gambaran iskemi pada EKG,
atau aritmia kompleks (fibrilasi atrium, kontraksi premature ventrikel multifocal, atau konduksi tertunda)
harus menjalani perawatan di ICU. Pengukuran enzim jantung controversial. CK dapat meningkat secara
non spesifik pada pasien dengan trauma otot skeletal. Pengukuran Troponin I dan T telah menunjukkan
spesifikasi yang meningkat tetapi tidak sensitifitas. Beberap peneliti melaporkan bahwa nilai troponin
yang normal dikombinasikan dengan EKG yang normal merupakan indicator tidak adanya cedera
jantung. Echocardiogram, transthoracic atau transesophageal, sebaiknya tidak digunakan untuk skrining
utama pada pasien dengan hemodinamik stabil. Meskipun mempunyai risiko dan sangat tergantung pada
operator, transesophageal echocardiography telah menunjukkan akurasi pada diagnose BCI dan aman
untuk evaluasi pasien trauma
3. Penanganan
BCI ditangani secara simptomatik pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Management nyeri
sebaiknya di optimalkan dan elektrolit dikoreksi. Jika ada bukti cairan pericardium pada echocardiogram
dan gambaran klinik sesuai dengan tamponade, pasien sebaiknya dilakukan pericardiotomy subxiphoid di
ruang operasi atau thoracotomy anterolateral jika pada keadaan yang extrim dan atau intraaortic balloon
pump.
VIII. Traumatic Aortic Disruption (TAD)
TAD adalah penyebab kematian kedua setelah kecelakaan kendaraan bermotor. TAD juga di dapat
terjadi pada kecelakaan lain yang melibatkan deselerasi tubuh tiba-tiba dan atau kompresi dada.
Umumnya paling sering terjadi pada ismus aorta (90%), yang mana bagian paling proksimal dari aorta
desenden pars thoracic. Bagian aorta ini relatif melekat pada arteri pulmonal oleh ligamentun arteriosum,
sedangkan bagian diatas arkus aorta dan distal dari aorta bebas bergerak. Hal ini dapat menyebabkan
stress ringan yang mengarah pada rupture. Mekanisme cedera lain diantaranya kompresi dari pembuluh
darah diantara struktur tulang atau hipertensi intraluminal profunda. Transeksi dapat dilakaukan pada
sebagian dari ketebalan pembuluh darah, serupa dengan robekan pada diseksi aorta, atau pada
keseluruhan dari ketebalan dan sama dengan ruptru aneurisma. Pada kedua kasus, hipotensi dan
perubahan tekanan darah yang diperbolehkan sebaiknya digunakan (dP/dt)
A. Evaluasi
TAD sebaiknya dicurigai pada semua pasien dengan trauma kepala berat, fraktur extremitas multiple,
fraktur costae multiple, dan atau mekanisme cedera yang melibatkan deselerasi cepat. Gejalanya non
spesifik, dengan gejala yang paling sering adalah nyeri dada, nyeri tulang punggung, dan dispnea.
Temuan pada pemeriksaan fisik juga non spesifik. Trauma thorax didapatkan pada 70% - 90% kejadian.
Kurang dari 1/3 pasien mempunyai perbedaan tekanan darah atau pulsasi pada extremitas. Evaluasi
sebaiknya dimulai dengan foto thorax. TAD dihubungkan dengan pelebaran dari mediastinum, dengan
perbandingan lebih dari 0.28 dari lebar mediastinum terhadap lebar thorax pada aortic knob pada arcus
aorta. Potensi lain termasuk hilangnya aortic knob, depresi bronkus utama kiri, deviasi lateral dari trakea,
hematom apex pleura, dan hemothorax kiri. Meskipun demikian, hasil foto thorax yang normal tidak
menghilangkan diagnosis TAD. Angiografi merupakan gold standard. Meskipun, telah digantikan pada
kebanyakan rumah sakit dengan CT scan sebagai test skrining pertama. CT scan menunjukkan hilangnya
hematoma mediastinal, maka menghilangkan diagnosis TAD, atau tidak adanya tanda disrupsi.
Echocardiogram transesofageal telah dinilai sebagai alat yang potensial sebagai skrining untuk TAD.
Namun, tidak selalu bisa menvisualisasikan arkus aorta dan aorta asenden aorta distal. Sebagai tambahan,
pemeriksaan tersebut tergantung pada operator, dan beberapa tempat mempunyai pengalaman dengan
cedera aorta.
B. Penanganan
Resusitasi awal mengikuti aturan ATLS. Meskipun resusitasi volume yang agresif dibatasi untuk
mempertahankan tekanan sistolik sekitar 100mmHg. Terapi farmakologi pada batas dP/dt (stress robekan
pada dinding pembuluh darah) harus dilakukan secepatnya setelah diagnosis dicurigai, bahkan sebelum
keseluruhan diagnosis ditegakkan, untuk mengurangi kesempatan rupture saat pemeriksaan. Monitoring
hemodinamik invasive sebaiknya dilakukan dengan a-line kanan. Beta blocker IV dengan labetalol atau
propranolol sebaiknya digunakan. Nitroprusside Natrium sebaiknya digunakan sebagai agen kedua
setelah penggunaan beta blocker dibatasi karena bradikardia. Analgesi dan sedasi yang adekuat juga
sangat penting. Penanganan operatif mungkin perlu di tunda pada pasien trauma multiple sementara
cedera lain di stabilisasi. Fiksas external digunakan untuk menstabilisasi fraktru pelvic dan extremitas.
Pembedahan cedera kepala atau cedera intraabdominal yang tidak stabil harus dipertimbangkan.
Komplikasi post operasi termasuk diantaranya acute respiratory distress syndrome, perlunya bantuan
ventilator yang berkepanjangan, Multisystem organ failure, insufisiensi renal, dan paraplegia.