peraturan daerah kabupaten sampang
TRANSCRIPT
BUPATI SAMPANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMPANG
NOMOR : 4 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI SAMPANG,
Menimbang : a. bahwa Pajak Daerah merupakan sumber pendapatan asli daerah, guna
membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah;
b. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka Peraturan Daerah
tentang Pajak Daerah perlu diganti;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan b perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-
daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 41) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 .....
- 2 -
Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987;
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4389);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4959);
11. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
12. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5025);
13. Undang-Undang .....
- 3 -
13. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5049);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4578);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintah Antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5161);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak
Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau
Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5109);
21. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan,
Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;
- 4 -
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah
kedua kali dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun
2011;
24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang
Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah;
25. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Sampang Nomor 6
Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Sampang (Lembaran Daerah
Kabupaten Daerah Tingkat II Sampang Tahun 1989 Seri C);
26. Peraturan Daerah Kabupaten Sampang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten
Sampang Tahun 2008 Nomor 11);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SAMPANG
dan
BUPATI SAMPANG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMPANG TENTANG PAJAK
DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Sampang.
2. Kepala Daerah adalah Bupati Sampang.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang yang selanjutnya disebut Pemerintah Daerah
adalah Kepala Daerah dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah Kabupaten Sampang.
4. Dewan .....
- 5 -
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten
Sampang.
5. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset adalah Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sampang.
6. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Bendahara Penerimaan adalah Bendahara Penerimaan pada Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sampang.
8. Kas Daerah adalah Kas Pemerintah Kabupaten Sampang.
9. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
10. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN),
atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk Badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
11. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
12. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait
lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata,
wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos
dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
13. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
14. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut
bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan
sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
15. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
16. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang
dinikmati dengan dipungut bayaran.
17. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
18. Reklame .....
- 6 -
18. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya
dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan,
atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau Badan, yang
dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
19. Penyelenggara Reklame adalah Badan atau orang pribadi yang melakukan
penyelenggaraan reklame baik untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas
nama pihak lain yang menjadi tanggungannya.
20. Nilai Sewa Reklame adalah nilai yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan penetapan
besarnya Pajak Reklame.
21. Nilai Jual Objek Pajak Reklame adalah keseluruhan pembayaran/pengeluaran biaya yang
dikeluarkan oleh pemilik dan atau penyelenggara reklame termasuk dalam hal ini adalah
biaya/harga beli bahan reklame, konstruksi, instalasi listrik/harga beli bahan
reklame/ongkos perakitan pemancaran, peragaan, penayangan, pengecatan,
pemasangan dan transportasi pengangkutan dan lain sebagainya sampai dengan
bangunan reklame rampung, dipancarkan, diperagakan, ditayangkan dan/atau terpasang
di tempat yang diijinkan.
22. Nilai Strategis Penyelenggaraan Reklame adalah ukuran nilai yang ditetapkan pada titik
lokasi pemasangan reklame tersebut berdasarkan kriteria kepadatan pemanfaatan tata
ruang untuk berbagai aspek kegiatan dibidang usaha.
23. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
24. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi
untuk dimanfaatkan.
25. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan dibidang mineral dan batubara.
26. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar Badan jalan, baik
yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu
usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
27. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
28. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
29. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan
tanah.
30. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang burung walet.
31. Burung .....
- 7 -
31. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap
haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
32. Pengambilan Sarang Burung Walet adalah pengambilan sarang burung walet dihabitat
alami dan diluar habitat alami.
33. Habitat alami adalah lingkungan tempat burung walet hidup dan berkembang biak secara
alami, meliputi : kawasan hutan negara, kawasan konservasi, goa alam, tempat yang
tidak menjadi hak milik orang pribadi dan/atau Badan.
34. Di luar habitat alami adalah lingkungan tempat burung wallet bersarang diluar habitat
alami, yaitu pada bangunan (rumah/gedung) tertentu.
35. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau
bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,
kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
36. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut
wilayah Kabupaten/Kota.
37. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
38. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
39. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
40. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi
atau Badan.
41. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dibidang
pertanahan dan bangunan.
42. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak.
43. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
44. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang
diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang
menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak
yang terutang.
- 8 -
45. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
46. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
47. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan
Subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak
kepada Wajib Pajak atau serta pengawasan penyetorannya.
48. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat
yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
49. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang
digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Subjek dan Objek Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
50. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran
atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah
dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh
Kepala Daerah.
51. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
52. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat
yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
53. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB,
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif,
dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
54. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat
SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan.
55. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
56. Surat .....
- 9 -
56. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak
terutang.
57. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
58. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan
Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
59. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
60. Putusan Banding adalah putusan Badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
61. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.
62. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara obyektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah
dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
63. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan daerah yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.
BAB II .....
- 10 -
BAB II
JENIS PAJAK DAERAH
Pasal 2
Jenis Pajak dalam Peraturah Daerah ini meliputi :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BAB III
PAJAK HOTEL
Bagian Kesatu
Nama, Objek, dan Subjek Pajak
Pasal 3
Dengan nama Pajak Hotel dipungut Pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Pasal 4
(1) Objek Pajak Hotel adalah setiap pelayanan yang disediakan hotel dengan pembayaran,
termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan
kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
(2) Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. hotel, motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah
penginapan, sewa ruangan/aula dan kolam renang;
- 11 -
b. rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh);
(3) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile,
teleks, internet, fotocopy, pelayanan cuci, seterika, transportasi, spa, sauna, massage,
restoran, cafe, yang disediakan atau dikelola hotel.
(4) Tidak termasuk Objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselengarakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Provinsi atau Pemerintah Daerah;
b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan
panti sosial lainnya yang sejenis;
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang
dapat dimanfaatkan oleh umum.
Pasal 5
(1) Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran
kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hotel.
(2) Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hotel.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 6
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada hotel.
Pasal 7
Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 8
Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6.
- 12 -
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 9
(1) Masa Pajak Hotel adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
(2) Saat Terutang Pajak Hotel terjadi pada saat dilakukan pembayaran dan/atau yang
seharusnya dibayarkan kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hotel atau
sejak disampaikan SPTPD.
BAB IV
PAJAK RESTORAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, dan Subjek Pajak
Pasal 10
Dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Pasal 11
(1) Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran.
(2) Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. restoran, rumah makan, depot, pujasera, warung, kantin, bakery, bar, kafetaria;
b. jasa boga dan/atau katering;
c. pedagang kaki lima.
(3) Tidak termasuk Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran
dengan nilai omzet penjualan makanan dan/atau minuman yang tidak melebihi sebesar
Rp.3.000.000,00/bulan.
Pasal 12
(1) Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau
minuman dari restoran.
(2) Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan restoran.
- 13 -
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Tatacara Penghitungan Pajak
Pasal 13
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang
seharusnya diterima restoran.
Pasal 14
Tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 15
Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13.
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 16
(1) Masa Pajak Restoran adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
(2) Saat Terutang Pajak Restoran terjadi pada saat dilakukan pembayaran dan/atau yang
seharusnya dibayarkan kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan restoran
atau sejak disampaikan SPTPD.
BAB V
PAJAK HIBURAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, dan Subjek Pajak
Pasal 17
Dengan nama Pajak Hiburan dipungut Pajak atas setiap penyelenggaraan hiburan.
- 14 -
Pasal 18
(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran.
(2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan bilyar, golf, dan bowling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa dan pusat kebugaran (fitness center); dan
j. pertandingan olah raga.
(3) Tidak termasuk Objek Pajak Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah :
a. hiburan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah;
b. penyelenggaraan hiburan untuk kegiatan sosial dan keagamaan.
Pasal 19
(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati hiburan.
(2) Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan hiburan.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Tatacara Penghitungan Pajak
Pasal 20
(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang
seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan.
(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan.
Pasal 21 .....
- 15 -
Pasal 21
(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
(2) Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, permainan
ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan ditetapkan 60 % (enam
puluh persen).
(3) Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan 10%
(sepuluh persen).
Pasal 22
Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20.
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang Pajak
Pasal 23
(1) Masa Pajak Hiburan adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
(2) Masa Pajak Hiburan yang bersifat insidentil adalah jangka waktu yang lamanya sama
dengan jangka waktu penyelenggaraan hiburan.
(3) Saat Terutang Pajak Hiburan terjadi pada saat dilakukan pembayaran dan/atau yang
seharusnya dibayarkan kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hiburan
atau sejak disampaikan SPTPD.
BAB VI
PAJAK REKLAME
Bagian Kesatu
Nama, Objek, dan Subjek Pajak
Pasal 24
Dengan nama Pajak Reklame dipungut Pajak atas setiap penyelenggaraan reklame.
- 16 -
Pasal 25
(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.
(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. reklame papan/billboard/videotron/megatron, dan sejenisnya;
b. reklame kain;
c. reklame melekat, stiker;
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame suara;
i. reklame film/slide; dan
j. reklame peragaan.
(3) Tidak termasuk sebagai Objek Pajak Reklame adalah :
a. penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta
mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi
untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang ukuran luas reklame tidak melebihi 2 m² (dua
meter persegi) dan dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi
diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau
profesi tersebut;
d. reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah
Daerah;
e. reklame yang memuat nama lembaga yang bergerak dibidang pendidikan dan
kesehatan dengan ketentuan luas bidang reklame tidak melebihi 4 m² (empat meter
persegi) dan diselenggarakan diatas tanah/bangunan yang bersangkutan; dan
f. reklame yang dilakukan dalam rangka kegiatan sosial, keagamaan dan PEMILU yang
tidak menggunakan merk, label atau atribut yang menjadi sponsor dari kegiatan
dimaksud.
Pasal 26
(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau
Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut.
- 17 -
(4) Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi
Wajib Pajak Reklame.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Tatacara Penghitungan Pajak
Pasal 27
(1) Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
(2) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi
penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame.
(4) Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui
dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan
faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 28
(1) Cara penghitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (3)
ditetapkan dengan menghitung berdasarkan penjumlahan Nilai Jual Objek Pajak
Reklame dan nilai strategis penyelenggaraan.
(2) Hasil penghitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 29
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
Pasal 30
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28.
Bagian .....
- 18 -
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 31
(1) Masa Pajak Reklame sebagai berikut :
a. Pajak Reklame untuk penyelenggaraan reklame permanen ditetapkan 12 (dua belas)
bulan berturut-turut;
b. Pajak Reklame untuk penyelenggaraan reklame insidentil ditetapkan dalam satuan
hari sesuai dengan jangka waktu penyelenggaraan.
(2) Saat Terutang Pajak Reklame terjadi pada saat diselenggarakan reklame atau
melakukan pemasangan reklame atau sejak diterbitkan SKPD.
BAB VII
PAJAK PENERANGAN JALAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, dan Subjek Pajak
Pasal 32
Dengan nama Pajak Penerangan Jalan dipungut Pajak atas setiap penggunaan tenaga listrik,
baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
Pasal 33
(1) Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan
sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(2) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh
pembangkit listrik.
(3) Penggunaan tenaga listrik yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN.
(4) Dikecualikan dari Objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah :
a. penggunaan tenaga listrik oleh Instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Daerah;
- 19 -
b. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tidak lebih dari
25 KVA yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis yang memberikan rekomendasi
ijin penyediaan tenaga listrik; dan
d. penggunaan tenaga listrik yang digunakan untuk tempat-tempat ibadah.
Pasal 34
(1) Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
tenaga listrik.
(2) Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
tenaga listrik.
(3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan
adalah penyedia tenaga listrik.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Tatacara Penghitungan Pajak
Pasal 35
(1) Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
(2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan :
a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual
Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya
pemakaian kwh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian
listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Kabupaten Sampang.
Pasal 36
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebagai berikut :
a. Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari sumber lain :
1. golongan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, sebesar 3% (tiga
persen);
2. selain golongan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam :
a) golongan rumah tangga sebesar 6 % (enam persen);
- 20 -
b) golongan selain rumah tangga sebesar 6 % (enam persen).
b. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
Pasal 37
(1) Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
(2) Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan
penerangan jalan.
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 38
(1) Masa Pajak Penerangan Jalan adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan
kalender.
(2) Saat Terutang Pajak Penerangan Jalan terjadi pada saat digunakan listrik atau sejak
disampaikan SPTPD bagi pengguna tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
BAB VIII
PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, dan Subjek Pajak
Pasal 39
Dengan nama Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dipungut Pajak atas setiap kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau
permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
Pasal 40 .....
- 21 -
Pasal 40
(1) Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan pengambilan Mineral
Bukan Logam dan Batuan yang meliputi :
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. opsidien;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. phospat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
- 22 -
gg. yarosif;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakkit.
(2) Dikecualikan dari Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah :
a. kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak
dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan
rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon,
penanaman pipa air/gas;
b. kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang merupakan ikutan dari
kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial.
Pasal 41
(1) Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang
dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang
mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Tata Cara Penghitungan Pajak
Pasal 42
(1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual Hasil
Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan volume/
tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis
Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(3) Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata yang berlaku di
lokasi setempat di wilayah Kabupaten Sampang.
(4) Nilai pasar hasil produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan setiap tahunnya untuk masing-masing jenis mineral bukan
logam dan batuan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 43 .....
- 23 -
Pasal 43
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima
persen).
Pasal 44
Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dengan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 45
(1) Masa Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah jangka waktu yang lamanya 1
(satu) bulan kalender.
(2) Saat Terutang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan terjadi pada saat mengambil
mineral bukan logam dan batuan atau sejak disampaikan SPTPD.
BAB IX
PAJAK PARKIR
Bagian Kesatu
Nama, Objek, dan Subjek Pajak
Pasal 46
Dengan nama Pajak Parkir dipungut Pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan
jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
Pasal 47 .....
- 24 -
Pasal 47
(1) Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan, baik yang
disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu
usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
(2) Objek Pajak Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. tempat parkir di areal pertokoan;
b. tempat parkir di areal perkantoran;
c. tempat parkir di areal hotel;
d. tempat parkir di areal restoran, rumah makan, depot, warung;
e. tempat parkir di areal penyelenggaraan hiburan.
f. tempat penitipan kendaraan bermotor.
(3) Tidak termasuk Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Daerah;
b. penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk
karyawannya sendiri;
c. penyelenggaraan tempat parkir di tempat-tempat ibadah.
Pasal 48
(1) Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan
bermotor.
(2) Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan tempat
parkir.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Tatacara Penghitungan Pajak
Pasal 49
(1) Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada penyelenggara tempat parkir.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa
parkir.
- 25 -
Pasal 50
Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen).
Pasal 51
Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49.
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 52
(1) Masa Pajak Parkir adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
(2) Saat Terutang Pajak Parkir terjadi pada saat dilakukan pembayaran dan/atau Badan
yang seharusnya dibayarkan kepada orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan
tempat parkir atau sejak disampaikan SPTPD.
BAB X
PAJAK AIR TANAH
Bagian Kesatu
Nama, Objek, dan Subjek Pajak
Pasal 53
Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah.
Pasal 54 .....
- 26 -
Pasal 54
(1) Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Dikecualikan dari Objek Pajak Air Tanah adalah :
a. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga,
pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan; dan
b. pengambilan atau pemanfaatan air tanah oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Daerah.
Pasal 55
(1) Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Tatacara Penghitungan Pajak
Pasal 56
(1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
(2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah
yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut :
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau
pemanfaatan air.
(3) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 57 .....
- 27 -
Pasal 57
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
Pasal 58
Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56.
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 59
(1) Masa Pajak Air Tanah adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
(2) Saat Terutang Pajak Air Tanah terjadi pada saat dilakukan pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah atau sejak diterbitkan SKPD.
BAB XI
PAJAK SARANG BURUNG WALET
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 60
Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
Pasal 61
(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang
burung walet.
(2) Tidak termasuk Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kegiatan
pengambilan untuk tujuan penelitian dan pengembangan.
- 28 -
Pasal 62
(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
Pasal 63
(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet.
(2) Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di
daerah dengan volume sarang burung walet.
Pasal 64
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 65
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana di maksud dalam Pasal 64 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63.
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 66
(1) Masa Pajak Sarang Burung Walet adalah jangka waktu yang lamanya 3 (tiga) bulan
kalender.
(2) Saat Terutang Pajak Sarang Burung Walet terjadi pada saat dilakukan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet atau sejak disampaikan SPTPD.
BAB XII .....
- 29 -
BAB XII
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 67
Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dipungut Pajak atas
bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi
atau Badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan,
dan pertambangan.
Pasal 68
(1) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan/atau
bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,
kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
(2) Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik,
dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan
tersebut;
b. jalan tol;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olahraga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i. menara.
(3) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah Objek Pajak yang :
a. digunakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah untuk
penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan .....
- 30 -
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak.
(4) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Pasal 69
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau
Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau
Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Tatacara Penghitungan Pajak
Pasal 70
(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP.
(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun,
kecuali untuk Objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan wilayahnya.
(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala
Daerah.
Pasal 71 .....
- 31 -
Pasal 71
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan sebagai berikut :
a. untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar
0,15 % (nol koma satu lima persen) per tahun;
b. untuk NJOP di atas Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,25 %
(nol koma dua lima persen ) per tahun.
Pasal 72
Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (4).
Pasal 73
(1) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan Objek Pajak pada
tanggal 1 Januari.
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 74
(1) Masa Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dimulai pada tanggal 1
Januari dan berakhir 31 Desember tahun berkenaan.
(2) Pajak terutang dalam masa pajak terjadi saat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan atau sejak diterbitkan SKPD.
Pasal 75
(1) Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.
(2) SPOP .....
- 32 -
(2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap
serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang wilayah
kerjanya meliputi letak Objek Pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak.
Pasal 76
(1) Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah atau Pejabat menerbitkan SPPT.
(2) Kepala Daerah atau Pejabat dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut :
a. SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) tidak disampaikan dan setelah
Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah atau Pejabat sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran;
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
BAB XIII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 77
Dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dipungut Pajak atas setiap
pelayanan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pasal 78
(1) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. pemindahan hak karena :
1) jual beli;
2) tukar menukar;
- 33 -
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
13) hadiah.
b. pemberian hak baru karena :
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak dikenakan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Objek Pajak yang diperoleh :
a. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
b. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;
c. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
d. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pasal 79
(1) Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau
Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau
Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
- 34 -
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Tatacara Penghitungan Pajak
Pasal 80
(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan
Objek Pajak.
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam peseroan atau Badan Hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai
pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
risalah lelang.
(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai
dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
(4) Dalam hal NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum
ditetapkan pada saat terutangnya Pajak, NJOP Pajak Bumi dan Bangunan dapat
didasarkan pada Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
(5) Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) adalah bersifat sementara.
(6) Surat .....
- 35 -
(6) Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak atau instansi yang berwenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(7) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(8) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
Pasal 81
Tarif Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5% (lima
persen).
Pasal 82
(1) Besaran pokok Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) setelah
dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80 ayat (7) dan ayat (8).
(2) Dalam hal NPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) tidak diketahui atau
lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, besaran pokok Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dengan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan
setelah dikurangi NPOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (7) dan
ayat (8).
Pasal 83
(1) Saat terutangnya Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan
untuk :
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- 36 -
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke
kantor bidang pertanahan;
f. pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap;
i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.
(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 84
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak.
(2) Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani
risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak.
(3) Kepala Kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah
atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak.
Pasal 85 .....
- 37 -
Pasal 85
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan
lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah atau Pejabat paling lambat pada tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 86
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan
lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat
(1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan
lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat
(1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(3) Kepala Kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XIV
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 87
Pajak Daerah yang terutang adalah dipungut di wilayah daerah.
BAB XV
PENDAFTARAN, PENGUKUHAN DAN PENDATAAN
Pasal 88
(1) Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri kepada Kepala Daerah atau pejabat yang
ditunjuk guna diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Pajak Daerah kecuali Wajib Pajak
Penerangan Jalan yang menggunakan tenaga listrik yang diperoleh dari sumber lain.
- 38 -
(2) Pendataan Wajib Pajak dilakukan pada saat Wajib Pajak mengisi dan menyampaikan
SPTPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran dan pendataan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 89
(1) Pendataan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dengan menggunakan
SPOP.
(2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap
serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah, selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendataan dan pelaporan Objek Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
BAB XVI
PEMUNGUTAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 90
(1) Pemungutan Pajak Daerah dilarang diborongkan.
(2) Jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah adalah :
a. Pajak Air Tanah;
b. Pajak Reklame;
c. Pajak Bumi dan Bagunan Perdesaan dan Perkotaan.
(3) Jenis Pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak adalah :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Penerangan Jalan;
e. Pajak Parkir;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
- 39 -
(4) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya dengan penetapan Kepala
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar berdasarkan SKPD atau dokumen
lain yang dipersamakan.
(5) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berupa karcis
dan nota perhitungan.
(6) Tata cara penetapan Pajak diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Daerah.
(7) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dibayar berdasarkan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
(8) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus diisi dengan jelas, benar, dan
lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
(9) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus disampaikan kepada Kepala Daerah
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa Pajak.
(10)Bentuk, isi, tatacara pengisian dan penyampaian SPTPD diatur dengan Peraturan Kepala
Daerah.
Pasal 91
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat
menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal :
1) jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
2) jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah atau Pejabat dalam jangka
waktu 15 (lima belas) hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
3) jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara
jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang;
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat
terutangnya pajak.
- 40 -
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak
melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
Pasal 92
(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB,
dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat
(8), dan ayat (9) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau
dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) diatur dengan
Peraturan Kepala Daerah.
(3) Setiap Wajib Pajak membayar pajak terhutang dengan menggunakan SSPD.
(4) SSPD wajib diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak
atau kuasanya.
(5) SSPD wajib disampaikan kepada instansi/pejabat yang berwenang.
(6) Dokumen SSPD pada BPHTB berfungsi sebagai SPTPD.
(7) Bukti pembayaran Pajak adalah SSPD yang telah mendapatkan validasi sesuai
ketentuan yang berlaku.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi dan tata cara pengisian dan penyampaian
SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Bagian Kedua
Surat Tagihan Pajak
Pasal 93
(1) Kepala Daerah atau Pejabat dapat menerbitkan STPD jika :
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
- 41 -
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah
tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya
pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
Pasal 94
(1) Kepala Daerah atau Pejabat menetapkan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat
terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh
Wajib Pajak.
(2) Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak terutang yang bersifat insidentil
ditetapkan paling lama sesuai dengan masa pajak diselenggarakan.
(3) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(4) Kepala Daerah atau Pejabat atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran,
angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 95
(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPKB, SKPDKBT, STPD, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak
atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
- 42 -
(2) Penagihan Pajak dengan surat paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Keempat
Keberatan dan Banding
Pasal 96
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau Pejabat
atas suatu :
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDKB;
d. SKPDKBT;
e. SKPDLB;
f. SKPDN; dan
g. pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan
yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Kepala Daerah atau Pejabat atau
tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti
penerimaan surat keberatan.
Pasal 97
(1) Kepala Daerah atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (duabelas) bulan, sejak
tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan.
- 43 -
(2) Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala
Daerah atau Pejabat tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut
dianggap dikabulkan.
Pasal 98
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atau
Pejabat.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal 99
(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan
sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa
denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
Bagian Kelima .....
- 44 -
Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi administratif
Pasal 100
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Kepala Daerah atau Pejabat
dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau
SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung
dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
(2) Kepala Daerah atau Pejabat dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan
kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundangundangan perpajakan
daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau
bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD,
SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau
diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan
membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu Objek Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi
administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah .
BAB XVII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 101
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
kepada Kepala Daerah atau Pejabat secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-
kurangnya :
a. nama dan alamat wajib pajak;
- 45 -
b. masa pajak;
c. besarnya klelebihan pembayaran pajak;
d. alasan yang jelas.
(2) Kepala Daerah atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
diterimanya permohonan pengembalian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Pasal ini, harus memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu yang dimaksud pada ayat (2), dilampaui Kepala Daerah atau
Pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pembayaran pajak dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam waktu paling lama 1
(satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang lainnya, kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih
dahulu utang pajak dimaksud.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan paling lama 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya SKPDLB.
(6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat waktu 2
(dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB, Kepala Daerah atau Pejabat memberikan
imbalan bunga 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan
pajak.
(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
BAB XVIII
KEDALUWARSA
Pasal 102
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu
5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak
melakukan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tertangguh
apabila :
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa atau;
b. ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa
tersebut.
- 46 -
(4) Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak
dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b dapat
diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan
permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 103
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan
sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Kepala Daerah menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Daerah yang sudah
kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan
Kepala Daerah.
BAB XIX
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 104
(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp.300.000.000 (tiga
ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
(2) Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau
pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala
Daerah.
Pasal 105
(1) Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan Objek Pajak yang terutang;
b. memberikan .....
- 47 -
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu
dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan Peraturan
Kepala Daerah.
BAB XX
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 106
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dapat diberi insentif atas dasar
pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Tata Cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
BAB XXI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 107
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang
yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Pasal 108 .....
- 48 -
Pasal 108
Tindak pidana dibidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu
5 (lima) tahun sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya
Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
BAB XXII
PENYIDIKAN
Pasal 109
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan dibidang perpajakan Daerah,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan
tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan
tentang kebenaran perbutaan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana
perpajakan Daerah tersebut;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan
dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah;
d. memeriksa buku-buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
dibidang perpajakan Daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana dibidang perpajakan Daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
- 49 -
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
dibidang perpajakan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XXIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 110
Ketentuan dalam Peraturan Daerah ini yang mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan mulai berlaku terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014.
BAB XXIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 111
Hal hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya
diatur oleh Kepala Daerah.
Pasal 112
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, ketentuan tentang tarif Pajak Daerah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah berikut ini :
a. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Sampang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C;
b. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Sampang Nomor 2 Tahun 1998 tentang
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;
c. Peraturan .....
- 50 -
c. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Sampang Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Pajak Hotel dan Restoran;
d. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Sampang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Pajak Hiburan;
e. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Sampang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Pajak Reklame;
f. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Sampang Nomor 11 Tahun 1998 tentang
Pajak Penerangan Jalan;
g. Peraturan Daerah Kabupaten Sampang Nomor 29 Tahun 2002 tentang Penggunaan
Tanah Negara Bagi Usaha Pertambangan;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 113
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Sampang.
Ditetapkan di : Sampang
pada tanggal : 24 J u n i 2011
BUPATI SAMPANG,
ttd
NOER TJAHJA
Diundangkan di : Sampang pada tanggal : 1 J u l i 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN SAMPANG
ttd
drh. HERMANTO SUBAIDI, M.Si Pembina Utama Madya
NIP. 19620323 198903 1 014
Lembaran Daerah Kabupaten Sampang Tahun 2011 Nomor : 4
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMPANG
NOMOR : 4 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH
I. PENJELASAN UMUM
Dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab serta untuk menunjang pembiayaan Pemerintah dan Pembangunan Daerah yang
bersumber dari pendapatan asli daerah, salah satunya berasal dari Pajak Daerah.
Sebagaimana tersebut diatas perlu ditingkatkan kemandiriannya guna terwujudnya
pembiayaan penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang berbasis Pembangunan.
Sejalan dengan meningkatnya pelaksanaan pembangunan dan pemberian
pelayanan kepada masyarakat serta usaha peningkatan pertumbuhan perekonomian
daerah, diperlukan penyediaan sumber-sumber pendapatan asli daerah yang hasilnya
semakin meningkat pula. Upaya peningkatan penyediaan dana dari sumber-sumber
tersebut antara lain dilakukan dengan peningkatan kinerja pemungutannya serta
penyederhanaan, penyempurnaan dan penambahan jenis Pajak melalui Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Langkah-langkah ini
diharapkan akan meningkatkan efektifitas dan efesiensi pemungutan Pajak Daerah serta
meningkatkan mutu dan jenis pelayanan kepada masyarakat. Hal-hal pokok yang diatur
sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meliputi nama, objek, besar dan cara pengukuran tarif
serta cara pemungutannya.
Disamping itu dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pembangunan,
kegiatan jasa pelayanan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan dan kemanfaatan
umum diarahkan agar tidak menghambat bahkan sebaliknya dapat menunjang usaha
peningkatan pertumbuhan perekonomian Daerah. Langkah-langkah ini diharapkan akan
meningkatkan efektifitas dan efesiensi pemungutan Pajak Daerah serta meningkatkan
mutu dan jenis pelayanan kepada masyarakat, sehingga Wajib Pajak dapat dengan
mudah memahami dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
- 2 -
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 sampai dengan Pasal 54 ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 54 ayat (2) huruf a
Pengecualian objek pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga dan
ibadah adalah dimaksudkan nyata-nyata dipergunakan untuk
keperluan dasar rumah tangga dan tempat peribadatan, tidak
dikomersilkan.
Pengecualian objek pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah untuk keperluan pengairan pertanian dan
perikanan rakyat adalah dimaksudkan untuk usaha pertanian dan
perikanan yang pengusahaannya dilakukan oleh masyarakat tani
dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan tidak
termasuk usaha pertanian dan perikanan yang dilakukan oleh
Badan.
Pasal 54 ayat (2) huruf b
Cukup jelas.
Pasal 55 sampai dengan 90
Cukup jelas.
Pasal 91 ayat (1) huruf a angka 1)
Cukup jelas.
Pasal 91 ayat (1) huruf a angka 2)
Ketentuan ini tidak berlaku untuk Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Pasal 91 ayat (1) huruf a angka 3)
Cukup jelas.
Pasal 91 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf c
Cukup jelas.
Pasal 91 ayat (2) sampai dengan ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 91 ayat (5)
Ketentuan ini tidak berlaku untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
- 3 -
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93 ayat (1) sampai dengan ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 93 ayat (3)
Ketentuan ini tidak berlaku untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
Pasal 94 ayat (1)
Ketentuan ini tidak berlaku untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
Pasal 94 ayat (2) sampai dengan ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 95 sampai dengan 113
Cukup jelas.