peranan perhubungan dalam penegakan hukum di laut …

10
482 PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT KHUSUSNY A DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIP _______ Oleh: Fachri Mahmud, S.H. ______ _ Pendahuluan Konperensi hukum laut yang diadakan pada tahun 1958, disusul dengan kon- perensi hukum laut 1960 dan yang se- lanjutnya konperensi hukum laut yang menghasilkan suatu konvensi yang di- tandatangani pada tanggal 10 Desem- ber 1982 di Montego Bay, Jamaica , se- panjang mengenai materi yang diatur mengalami penyempurnaan serta per- . kembangan-perkem bangan baru. Oleh karena itu dikatakan, bahwa kon- vensi hukum laut yang baru itu meru- pakan sebagai kondifikasi serta unifi- kasi dari konvensi-konvensi yang terda- hulu. Sepanjang mengenai wilayah yang be- rupa lautan pada konvensi hukum laut yang baru dikenal apa yang disebut de- ngan laut wilayah (territorial water), wilayah lanjutan (contiguous zone), dan zona ekonomi eksklusip,· (econo- mic exclusive zone). Pada konvensi-konvensi hukum laut se- belumnya yaitu pada tahun 1958 dan pada tahun 1960 tidak dikenal apa yang disebut tentang zona ekonomi eksklusip. . Pada konperensi hukum laut tahun 1958 tidak terdapat kOlJ.sensus menge- nai berapa luas bagian laut yang dapat menjadi wilayah dari suatu negara pan- tai. Karena tidak adanya kata sepakat ten- tang hal ini, maka tiap negara pantai dapat menentukan luas laut wilayah menurut kepentingan masing-masing negara. Dalam kenyataannya luas laut wilayah negara pantai berbeda-beda; ada yang 3 (tiga) mil, 4 (empat) mil, 6 (enam) mil, dan ada yang sampai 12 mil. Bagi Indonesia semula berlaku Ordon- nansi tanggal 18 April 1939 Staatsblad 1939 - 442, dan yang dinamakan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Ordonnansi 1939 tentang wilayah Iaut dan lingkungan maritim). Pada Ordonnansi tersebut luas wilayah laut ditetapkan 3 (tiga) mil, namun ke- mudian dengan undang-undang Nomor 4 tahun 1960 luas wilayah laut diru- bah dari 3 (tiga) mil menjadi 12 mil. Pengertian ten tang wilayah laut lanjut- an (contiguous zone) dan zona eko- . nomi eksklusip (economic exclusive zone) tidak dikenal; karena itu di luar wilayah laut semuanya merupakan laut bebas yang menjadi milik bersama ne- gara-negara di dunia ini. Keadaanjfakta-fakta yang ada Dalam konvensi hukum laut yang baru yang ditandatangani oleh 119 negara' di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 memuat tentang Zona Ekonomi Eksklusip (ZEE) yaitu diatur dalam PART V mulai dari pasal 55 sampai dengan pasaJ 75, semuanya ada 21 pasal. Tentang apa yang dimak-

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

482

PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT KHUSUSNY A DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIP

_______ Oleh: Fachri Mahmud, S.H. ______ _

Pendahuluan Konperensi hukum laut yang diadakan pada tahun 1958, disusul dengan kon­perensi hukum laut 1960 dan yang se­lanjutnya konperensi hukum laut yang menghasilkan suatu konvensi yang di­tandatangani pada tanggal 10 Desem­ber 1982 di Montego Bay, Jamaica , se­panjang mengenai materi yang diatur mengalami penyempurnaan serta per- . kembangan-perkem bangan baru. Oleh karena itu dikatakan, bahwa kon­vensi hukum laut yang baru itu meru­pakan sebagai kondifikasi serta unifi­kasi dari konvensi-konvensi yang terda­hulu. Sepanjang mengenai wilayah yang be­rupa lautan pada konvensi hukum laut yang baru dikenal apa yang disebut de­ngan laut wilayah (territorial water), wilayah lanjutan (contiguous zone), dan zona ekonomi eksklusip , · (econo­mic exclusive zone). Pada konvensi-konvensi hukum laut se­belumnya yaitu pada tahun 1958 dan pada tahun 1960 tidak dikenal apa yang disebut tentang zona ekonomi eksklusip. . Pada konperensi hukum laut tahun 1958 tidak terdapat kOlJ.sensus menge-

• • nai berapa luas bagian laut yang dapat menjadi wilayah dari suatu negara pan­tai. Karena tidak adanya kata sepakat ten­tang hal ini , maka tiap negara pantai dapat menentukan luas laut wilayah

menurut kepentingan masing-masing negara. Dalam kenyataannya luas laut wilayah negara pantai berbeda-beda; ada yang 3 (tiga) mil, 4 (empat) mil, 6 (enam) mil, dan ada yang sampai 12 mil. Bagi Indonesia semula berlaku Ordon­nansi tanggal 18 April 1939 Staatsblad 1939 - 442, dan yang dinamakan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Ordonnansi 1939 tentang wilayah Iaut dan lingkungan maritim). Pada Ordonnansi tersebut luas wilayah laut ditetapkan 3 (tiga) mil , namun ke­mudian dengan undang-undang Nomor 4 tahun 1960 luas wilayah laut diru­bah dari 3 (tiga) mil menjadi 12 mil. Pengertian ten tang wilayah laut lanjut­an (contiguous zone) dan zona eko-

. nomi eksklusip (economic exclusive zone) tidak dikenal; karena itu di luar wilayah laut semuanya merupakan laut bebas yang menjadi milik bersama ne­gara-negara di dunia ini.

Keadaanjfakta-fakta yang ada Dalam konvensi hukum laut yang baru yang ditandatangani oleh 119 negara' di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 memuat tentang Zona Ekonomi Eksklusip (ZEE) yaitu diatur dalam PART V mulai dari pasal 55 sampai dengan pasaJ 75, semuanya ada 21 pasal. Tentang apa yang dimak-

Page 2: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

Penegakan Hukum di laut _

sud dengan Zona Ekonorni Eksklusip dirnuat dalarn pasal 55 , yangberbunyi sebagai berikut:

The 1:,xc!usive economic zone is an area •

beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal regime established in this Part, under which the righ ts and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedoms of other States are governed by the relevent provisions of this convention.

(Zona Ekonorni Eksklusip adalah suatu daerah rnelewati dan berbatasan di luar wilayah laut, tunduk pa,da rejirn hukurn khusus di rnana negata pantai . . , rnempunyai hak-hak dan yurisdiksi dan hak-hak dan kebebasan negara-ne­gara lainnya dikuasai oleh ketentuan­ketentuan dalarn konvensi ini).

Mengenai hak-hak, yurisdiksi dan ke­wajiban-kewajiban negara pantai di zona ekonorni eksklusip diatur dalarn pasal 56 yang pokok-pokoknya antara

lain bahwa negara pantai rnernpunyai : Hak-hak berdaulat (sovereign rights) untuk tuj,uan eksplor:asi dan ekspolita­si, pelestarian dan penguasaan sumber­sum ber alam baik hayati rnaupun non

hayati , hak berdaulat atas perairan yang ada di atas dasar laut dan tanah di bawahnya dan hak atas kegiatan-ke­giatan eksploitasi dan eksplorasi untuk kepentingan ekonomi di zona tersebut seperti rnernproduksi energi dari air , arus dan angin.

Negara pantai rnernpunyai jurisdiksi untuk rnendirikan dan rnenggunakan pulau-pulau buatan, instalasi dan ba­ngunan-bangunan lain, penelitian ilmi­ah kelautan, perlindungan dan peles­tarian lingkungan laut dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain sebagairnana

. tcrdapat dalarn konvensi ini (pasal 56). Luas zona ekonorni eksklusip tidak rnelebihi 200 rnil laut dihitung dari ga­ris dasar di mana luas wilayah laut rnu­lai diukur (pasal 57).

483

Di zona ekonorni eksklusip negara-ne­gara lain rnernpunyai hak-hak dan ke­wajiban, yaitu sernua negara baik ne­gara pantai rnaupun bukan, berhak atas kebebasan navigasi , kebebasan me­lakukan penerbangan di atasnya, bebas untuk rneletakkan kabel-kabel dan pipa-pipa dan hak-hak dan kewajiban­kewajiban lain sesuai ketentuan-keten­tuan dalarn konvensi ini (pasal 58). N egara pantai di zona ekonorni eksklu­sip rnernpunyai hak ekskulusip untuk rnern bangun, rnengua:sai dan rnengatur bangunan, pengoperasian dan penggu­naan dari pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan sesuai keten­tuan dalarn pasal 56 dalarn konvensi ini (pasal 60). Selanjutnya pasal 60 mernuat keten­tuan-ketentuan sebagai berikut: Negara pantai rnempunyai jurisdiksi eksklusip atas pulau-pulau buatan, in­stalasi dan bangunan di Zona Ekonorni Ekslusip terrnasuk yurisdiksi yang ber­talian dengan bea cukai, perpajakan, kesehatan, keselamatan dan penituran dan ketentuan-ketentuan irnigrasi.' J ika di zona ekonorni eksklusip diba­ngun pulau-pulau buatan , instalasi ba­ngunan-bangunan lain harus 'diberita­hukan pada waktunya dan diberi tan­da-tanda sebagai peringatan tentang adanya bangunan tersebut. Dan setiap. instalasi atau bangunan yang ditinggal­kan atau tidak digunakan lagi harus dipindahkan untuk menjamin kesela­rnatan navigasi dengan rnernperhatikan standard internasibnal yang telah dite­rima secara urnurn yang diadakan oleh organisasi internasional ' yang berwe­nang. Pernindahan semacam itu juga dengan rnemperhatikan keperluan perikanan, perlindungan Iingkungan rnaritim, dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban ne­gara-negara lain. Harus diumumkan pula ten tang kedalarnan , posisi dan di­rnensi dari tiap instalasi atau bangun-

September /984

Page 3: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

484

an-bangunan yang tidak seluruhnya di­pindahkan. Negara pantai jika dianggap perlu da­pat mengadakan daerah keselamatan sekeliling pulau-pulau buatan, instalasi 'dan bangunan-bangunan sebagai lang­kah untuk menjamin keselamatan baik navigasi maupun untuk keselamatan pulau-pulau buatan, instalasi dan ba-

. ngunan.

, Luas daerah keselamatan itu akan di-tentukan oleh negara pantai dengan memperhatikan standard internasional

yang berlaku. Daerah yang demikian itu harus ditu­jukan dan sesuai dengan alam dan fungsi dari pulau-pulau buatan, insta­lasi dan bangunan dan tidak boleh me­lebihi jarak 500 meter keliling bangun­an tersebut, dihitung dari tiap titik tepi luar, kecuali diberi wewenang ber­dasarkan standard internasional yang secara umum telah diterima, atau at as dasar rekomendasi yang diberikan oleh organisasi internasional yang berwe­nang. Perluasan daerah keselamatan ini harus dimumkan tepat pada waktunya. Se­mua kapal harus menghormati daerah keselamatan ini dan harus memenuhi standard internasional yang telah dite­rima secara umum tentang navigasi di sekitar pulau-pulau buatan , instalasi dan daerah-daerah keselamatan. Pulau-pulau buatan, instalasi dan ba­ngunan-bangunan dan daerah kesela­matan di sekitarnya tidak boleh diba­ngun di mana hal ini merupakan gang­gtian bagi penggunaan sea lane yang diakui dan sangat esensial untuk ke­perluan navigasi internasional. Pulau-pulau , inst~lasi dan bangunan­bangunan tidak mempunyai keduduk­an sebagai pulau, tidak mempunyai wilayah laut tersendiri dan tidak mem­punyai pengaruh atas batas-batas wila­yah laut , zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen.

Hukum dan Pembangunan

Negara pantai di zona ekonomi eksklu­sip mempunyai wewenang atas peles­tarian sum ber-sum ber hayati antara lain negara pantai harus menentukan penangkapan yang boleh dilakukan (al­lowable catch) dari pada sumber-sum­ber hayati di zona tersebut.

Negara-negara lain yang akan melaku-. kan penangkapan ikan di zona ekono­mi eksklusip dari suatu negara pantai harus terlebih dahulu mendapat izin dari negara pantai tersebut dan hanya boleh menangkap kelebihan dari jum­lah yang tidak dapat ditangkap sendiri dari negara pantai yang bersangkutan. Mengenai pemanfaatan sumber-sumber

hayati di zona ekonomi eksklusip oleh negara pantai maupun negara-negara lain diatur lebih lanjut dalam pasal 62, 63, 64, 65, 66, 67 , 68 , 69, dan pasal 70 konvensi irti.

Penegakan Hukurn di Laut khu­susnya dalarnZEE

Masalah yang timbul di zona ekonomi eksklusip bagi negara pantai adalah ba­gaimana penegakan hukum dan per­aturan-peraturan-yang dapat diadakan di zona terse but. Dalam konvensi hukum laut diadakan ketentuan-ketentuannya se bagaimana

terdapat dalam pasal 73 konyensi itu , yang pokok-pokoknya dapat dikemu­kakan sebagai berikut:

a . Negara pantai sebagai yang memiliki hak berdaulat atas zona ekonomi eksklusip dapat mengadakan eks­plorasi, eksploitasi, usaha pelesta­rian serta pengawasan atas sumber­sumber hayati serta mengambil langkah-Iangkah termasuk peng­awasan, penahanan dan tuntutan hukum, jika dianggap perlu untuk memenuhi. peraturan dan keten­tuan-ketentuan yang diadakan se­suai dengan konvensi ini.

Page 4: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

Penegakan Hukum di laut

Kapal beserta awak kapal yang ditahan karena sesuatu hal harus segera dibebaskan atas dasar jamin­an atau cara lain yang ada. Adanya hukuman oleh negara pantai karena pelanggaran terhadap peraturan dan ketentuan-ketentuan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusip tidak me­liputi hukuman kurungan atau ben­tuk apapun yang bersifat hukuman dengan tidak adanya persetujuan dari negara-negara yang bersangkut­an. Jika dilakukan penahanan terhadap kapal-kapal asing negara pantai ha­rus segera memberitahu tentang tin­dakan yang diam bil dan hukuman yang dijatuhkan kepada negara ben­dera melalui saluran yang wajar.

b. Untilk Zona Ekonomi Eksklusip ini Indonesia telah mengeluarkan Un­dang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 ten tang Zona Ekonomi Ekslusip Indonesia.

. Undang-Undang ini memuat keten­tuan-ketentuan pokok se bagaimana terdapat dalam konvensi sepanjang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan Zona Ekohomi Eksklusip. Kecuali Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 ten tang Zona Ekonomi Eksklusip Indonesia, peraturan per­undangan yang sekarang ada yang secara mutatis mutandis dapat ber­laku di Zona Ekonomi Eksklusip an tara lain:

I) Undang-Undang Nomor 20 Ta­hun 1982 ten tang ketentuan-ke­tentuan Pokok Pertahanan Ke­amanan Negara Repu blik Indo­nesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234).

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Keten­tuan Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran

485

Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tam bahan Lem baran Negara No­mor 3215).

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Un­dang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234).

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 t'entang Landas Kontinen Indonesia (iembaran Negara Ta­hun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2294).

5) Undang-Undang Nomor 11 Ta­hun 1967 tentang Ketentuan-ke­tentuan Pokok Pertam bangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831).

6) Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 ten tang Pertam­bangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942).

Dalam Undang-Undang Nomor 5 •

Tahun 1983 ten tang Zona Ekonomi Eksklusip Indonesia terdapat keten­tuan ten tang Penanggulangan pen­cemaran lingkungan laut, yaitu se­bagaimana dimuat dalam pasal 8 se­bagai berikut:

I) Barangsiapa melakukan kegiatan­kegiatan di Zona Ekonomi Eks­klusip Indonesia, wajib melaku­kan langkah-Iangkah untuk men­cegah, membatasi mengendali­kan dan menanggulangi pence­maran lingkungan laut.

2) Pembuangan di Zona Ekonomi Eksklusip Indonesia hanya dapat dilakukan setelah memperoleh keizinan dar( Pemerintah Repu­blik Indonesia.

Septem ber 1984

Page 5: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

486

Dalam konverisi hukum laut 1982 terdapat macam-macam pencemar­an diatur mulai dari pasal 207 sam­pai dengan pasal 212 meliputi:

1) Pencemaran ' yang sumbernya berasal dari daratan.

2) Pencemaran yang disebabkan ka­rena kegiatan-kegiatan di dasar laut.

3) Pencemaran karena kegiatan-ke­giatan di "Area" .

4) Pencemaran (dumping).

karena

5) Pencemarari dari kapal.

sampah

6) Pencemaran dari atau melalui at-mosfir.

Bila hal ini dihubungkan dengan pa­sal 8 ayat (I) Zona Ekonomi Eks­klusip ' Indonesia maka jelas b.ahwa

. sebelum orang melakukan kegiatan­kegiatan di Zona terse but diwajib­kan mengambillangkah-Iangkah un-.

tuk mencegah, membatasi, mengen-dalikan dan menanggulangi pence­maran lingkungan maritim . Tentang macam-macam pencemar­an ini dalam konvensi hukum laut diatur dalam BAB XII, dengan ju­dul : Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Maritim , dimulai de­ngan pasal-pasal ketentuan umum an tara lain :

I) Ketentuan bahwa negara-negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan maritim.

2) Ketentuan tentang kerjasama se­cara global dan regional yaitu negara-negara wajib kerjasama secara global dan regional baik secara langsung. maupun melalui organisasi internasional yang kompeten dalam memformulir dan mem bahas ketentuan-keten-

Hukum dan Pembangunan

tuan internasional, stan dar dan menrekomendasikan praktek­praktek dan tata cara sesuai de­ngan konvensi ini untuk perlin­dungan dan pelestarian lingkung­an maritim dengan memperhati­kan bentuk-bentuk regional yang khusus.

Bila suatu negara mengalami ke­jadian yang akan merugikan ling­kungan maritim atau mengalami kerugian karena pencemaran ne­gara terse but harus segera mem­beritahu negara-negara lain yang kiranya akan terkena pengaruh adanya kerugian tersebut serta organisasi Internasional yang berwenang.

• • 3) Ketentuan tentang pencegahan

pencemaran (Contingency plan against pollution) .

Untuk keperluan ini negara-ne­gara akan bersama-sama me­ngembangkan dan meningkatkan

. penanggulangan dan pencegahan pencemaran dalam menghadapi tim bulnya pencemaran di ling­kungan maritim . Sehubungan dengan macam-ma­cam pencemaran yang dapat tim­bul sebagaimana diuraikan di atas maka setiap negara term a­suk negara pantai wajib meng­adakan peraturan-peraturan serta ketentuan-ketentuan untuk men­cegah, mengurangi dan melaku­kan pengawasan terhadap pence-

,

rriaran dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang telah disetujui secara internasional. Untuk meringankan korban yang disebabkan karen a pencemaran akibat tumpahan minyak dari kapal, ' oleh IMO telah dikeluar­kan beberapa konvensi yang te­lah pula diratifikasi olch Indone­sia yaitu:

Page 6: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

Penegakan Hukum di taut

a) "International Convention of Civil Liability For Oil Pollu­tion Damage" disahkan de­ngan Keputusan Presiden No­mor 18 Tahun 1978, Lembar­an Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 28.

b) "International Convention of . the Establishment of an Inter­national Fund for Compensa­tion for Oil Pollution Da­mage ", disahkan dengan Ke­putusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978, Lembaran Ne­gara Republik Indonesia Ta­hun 1978 Nomor 29.

Konvensi Civil Liability and IOPCF

, International Convention on Civil Lia­bility for OilPollution Damage atau di­singkat CLC dibentuk karena kesadar­an negara-negara peserta tentang ba­haya pencemaran yang dapat tim bul karena pengangkutan minyak melalui lau t.

Negara-negara yakin akan periu adanya kompensasi yang memadai untuk me­reka yang menderita kerugian yang di­

sebabkan karena pencemaran yang di­akibatkan oleh tumpahan minyak dari kapaI.

Oleh karena itu negara-negara peserta menerima dan menyetujui aturan-atur­an intcrnasionalyang uniform prose­dur untuk menentukan masalah tang­gung jawab dan membcri kompensasi yang wajar dalam hal terjad i pence­maran.

CLC terdiri atas XIX pasal dan pasal J memberi batasan atau arti akan istilah

atau data-qata yang dipakai dalam konvensi ini seperti istilah kapal , orang (person) pemilik negara yang menqaf­tar kapal, minyak , kerugian karena

48 7

pencemaran, tindakan pencegahan, ke-•

celakaan dan sebagainya. ,

Selanjutnya pasal-pasal penting yang perlu diketahui isinya an tara lain Pasal II yang memuat ketentuan bahwa kon­vensi ini berlaku semata-mata untuk kerugi"an yang disebabkan karena pen­cemaran di wilayah, termasuk laut wi­layah dari negara peserta dan untuk tindakan pencegahan yang diambil de-

ngan maksud mencegah atau mengu­rangi kerugian yang demikian.

Pemilik kapal pada saat terjadinya ke­celakaan atau di mana kecelakaan me­rupakan serangkaian pengulangan pada saat kejadian yang pertama, ia bertang­gung jawab untuk setiap kerugian ka­rena pencemaran yang disebabkan oleh minyak yang ke luar atau tumpah dari kapal sebagai akibat terjadinya kecela­kaan itu.

Pemilik tidak bertanggung jawab atas kerugian karena pencemaran apabila ia dapat mem buktikan bahwa kerugian i tu:

a. Sebagai akibat adanya perang, huru­hara, perang saudara, Pem berontak­an atau karena fenomena alam ya'ng karena sifatnya tidak dapat dihin­dari.

b. Keseluruhannya disebabkan oleh suatu tindakan atau suatu kelalaian yang disengaja dengan maksud un­tuk menimbulkan kerugian terha­dap pihak ketiga.

C . Keseluruhannya disebabkan karena mengabaikan atau tindakan yang sa­lah lainnya dari setiap pemerintah atau penguasa lainnya yang bertang­gung jawab atas pemeliharaan ram­bu-ram bu atau alat bantu navigasi lain dalam melakukan tugasnya.

Jika pemilik dapat membuktikan, b.ah­wa kerugian karen a pencemaran untuk selyruhnya atau sebagian disebabkan k arena tindakan at au kelalaJan orang

September 1984

Page 7: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

.

488

dengan maksud untuk menimbulkan kenigian, pemilik dapat dibebaskan untuk . seluruhnya atau sebagian tang­gung jawab terhadap orang itu. . Tidak ada tuntutan kompensasi untuk kerugian karena pencemaran terhadap pemilik, selain sesuai dengan keteh­tuan-ketentuan dalam konvensi ini. Tidak ada tuntutan kerugian karena pencetnaran berdasar konvensi ini da­pat dilakukan terhadap agen dari pe­milik. Pasal YII memuat ketentuan, bahwa pemilik sebuah kapal yang terdaftar pada suatu negara peserta dan meng­angkut lebih dari 2.000 ton minyak se­bagai muatan diwajibkan meneliti asu-

ransi at au surat jaminan keuangan lain-nya seperti jaminan bank ·atau suatu sertifikat yang diberikan oleh dana konpensasi internasional. Sertifikat dimaksud harus dapat ber­laku sesuai dengan ketentuan-keten­tuan dalam konvensi ini dan harus di­keluarkan untuk tiap kapal. Sertifikat itu harus sesuai dengan bentuk-bentuk sebagaimana yang telah ditetapkan. Dengan adanya pasal ini, maka setiap negara peserta harus menyusun per­aturan-peraturan (law and regulations) sebagai implimentasi pasal terse but. Sehubungan dengan ini maka dengan Keputusan Menteri Perhubungan telah dikeluarkan ketentuan tentang sertifi­kat jaminan bagi kapal-kapal tanker yang menyangkut minyak ke luar ne­geri, khususnya ke Singapore. Sehubungan dengan penanggulangan pencemaran laut, dewasa ini sedang di­Susun suatu Keputusan Presiden ten­tang Pencegahan dan P~nanggulangan Pencemaran Laut, yang naskahnya su­dah disampaikan kepada Sekretaris Ka­binet untuk diteruskan kepada (Ba­pak) Presiden. Dalam Keputusan Presiden tersebut di­atur tentang instansi mana yang ber­tindak sebagai koordinator, dalam hal

Hukum dan Pembangunan

terjadi pencemaran serta instansi mana yang terlibat dalam penanggulangan­nya; juga diatur tentang perlunya ada dana yang sewaktu-waktu dapat digu­nakan bila timbul musibah pencemar­an. Sebagai koordinator adalah Departe­men Perhubungan cq. Direktorat Jen-

deral Perhubungan Laut, sedang me-ngenai penyediaan dana pengelolaan-

• •

nya oleh Departemen Keuangan.

lope Fund dan permasalahannya lope Fund adalah suatu lembaga dana internasional untuk ganti rugi akibat pencemaran laut oleh minyak yang . dibentuk berdasarkan Konvensi Fund 1971 dan mu1ai berfungsi pada tanggal 16 Oktober 1978. Bagi Indonesia kon­vensi terse but mulai berlaku pada tang­gal 30 Nopember 1978, sebagai negara anggota ke-16. Hingga sekarang, dalam waktu tiga ta­hun, jum1ah negara anggota telahme­ningkat dari 14 menjadi 28. lOpe Fund berfungsi ganda, di satu pi­hak ia memb~rikan ganti rugi kepada negara anggota yang menjadi korban pencemaran 1aut oleh minyak di lain ia memberikan indentifikasi dalam ba­tas-batas tertentu kepada pemilik ka­pal berbendera negara anggota ALe 1969 yang mengakibatkan pencemar­an. Dana yang dihimpun dan digunakan oleh lOpe Fund untuk mengganti ke­rugian dan memberikan indentifikasi itu berasal dari pungutan yang dikena­kan kepada perusahaan-perusahaan mi­nyak di negara-negara anggota Kon­vensi Fund 1971 dalam bent uk Initial (kontribusi tahunan). Patokart dasar bagi penentuan besar­nya kontribusi tahunan masing-masing negara anggota adalah prosentase jum­lah minyak yang diterima (oil receipts) oleh perusahaan-perusahaan minyak di negara~negara yang bersangkutan ter-

Page 8: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

,

Penegakan Hukum di laut

hadap jumlah seluruh minyak yang di­terima (oil receipts) oleh semua per­usahaan minyak yang ada di semua ne­gara anggota dalam tahun sebelumnya, yang dikaitkan dengan jumlah dana yang dibutuhkan oleh IOPC Fund da­lam menjalankan fungsinya dalam ta­hun bersangkutan. Di sam ping apa yang dikemukakan di atas, besarnya kontribusi tahunan yang dipikulkan kepada semua negara ang­gota dipengaruhi pula oleh besarnya dana yang dibutuhkan oleh IOPC Fund (untuk penyelesaian tuntutan ganti rugi/Klaim dan kebutuhan admi­nistrasi) dan jumlah minyak yang dite­rima oleh perusahaan-perusahaan mi­nyak yang bergabung melalui negara­nya masing-masing dalam IOPC Fund yang menerima minyak melalui laut dalam jumlah lebih dari 150 ribu ton dalam tahun yang bersangkutan. Oleh karena itu jumlah beban kontri­busi tahunan bagi masing-masing ne­gara anggota bersifat variable', berubah­ubah dari tahun ke tahun sesuai de­ngan perubahan faktor-faktor yang menjadi dasar perhitungan di atas. Selama negara anggota yang bersang­kutan tidak menerima minyak melalui laut atau minyak yang diterima tidak melebihi 150.000 ton per tahun, ne­gara tersebut tidak diharuskan memba­yar kontribusi tahunan pada tahun yang bersangkutan seperti Syria, Mo­nako, Kuwait. Di samping bersifat variable seperti terse but di atas, kontribusi-kontribusi

,

yang dibayarkan setiap tahunnya itu mempunyai sifat semacam premi asu­ransi/pertanggungan yang dilakukan oleh IOPC Fund terhadap bahaya pen­cemaran laut oleh minyak di perairan nasional kita.

Indonesia sebagai anggota IOPCF Indonesia menjadi anggota IOPC Fund setelah Pemerintah Indonesia meratifi-

489

kasi Konvensi yang mendasari pemben­tukan organisasi terse but yaitu Kon­vensi Fund 1971 dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tang­gal 1 Juli 1978. /' Mengingat kaitannya yang erat antara Konvensi Fund 1971 dan CLC 1969, maka ratifikasi atas Konvensi Fund

/

1971 dilakukan dalam satu paket de-ngan ratifikasi CLC 1969 (Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1978 tang­gall Juli 1978). Keputusan menjadi anggota terse but diambil setelah di1akukan pengkajian dan konsultasi secara lint as sektoral

,

melalui rapat-rapat an tar Instansi/De-,

partemen Teknis yang melibatkan De-,

partemen Pertambangan, Pertamina, Departemen Kehakiman, Departemen Luar Negeri dan Departemen Perhu­bungan yang dilakukan sejak tahun 1972 dan menyimpulkan bahwa ke­anggotaan dalam konvensi tersebut sa­ngat bermanfaat bagi Indonesia.

Hal ini mengingat Indonesia sebagai negara calon victim yang potensial de­ngan wilayah perairan yang 1uas yang selain ramai di1alui oleh kapal-kapal tanker yang mengangkut minyak dari Timur Tengah ke Timur Jauh, di sam­ping sebagai negara pemilik kapal tank­er yang cukup potensial di masa men­datang. Menyadari hal-hal tersebut, maka dise­pakati bersama bahwa pengamanan wi­layah perairan dari bahaya pencemar­an laut oleh minyak khususnya apabila perlu di1akukan me1alui keanggotaan Indonesia dalam sistem ganti rugi ber­dasarkan pengaturan internasional ya­itu IOPC Fund , sebagai sistem yang dipandang paling bermanfaat dari se­mua sistem ganti rugi yang ada;

Dalam menangani lebih lanjut sega1a permasalahan yang timbul diui keang­gotaan Indonesia IOPC Fund terse but, maka dalam rap at antar Instansi tang-

September 1984

Page 9: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

490

gal 29 Maret 1979 dicapai kesepakatan menunjuk:

a. Departemen Perhubungan dalam hal ini Direktorat J enderal Perhu­bungan Laut untuk menangani segi­segi administratif, seperti korespon­densi dan lain-lain serta sebagai De­signated Authority yang bertang­gungjawab dalam hal lOpe Fund di Indonesia sesuai ketentuan Pasal 14 Internal Regulations dari lOpe Fund;

Tahun

1978 1979

Initial contrib

£ 32.560 -

Annual •

contrib

£ 14.586

Penegakan Hukum di laut

b. Departemen Pertambangan dan Energi dalam hal ini Direktorat Jen­deral Minyak dan Gas Bumi, sebagai instansi yang menyediakan data contributing oil setiap tahunnya ;

c. Departemen Keuangan dalam hal ini Direktorat J enderal Mo neter Luar Negeri, sebagai instansi pelak­sana an pembayaran kontribusi In­donesia kepada lope Fund.

Selama menjadi anggota lOpe Fund , Indonesia telah membayar kontribusi sebagai berikut:

• Dana yang dibutuhkan lOpe Fund

£ 2.000.000 £ 750 .000 (cori tr. oil

15.859.181 m/ton) 1980 £ 217.520,17 £ 10.000.000 (contr. oil

1981 - £ . 9.033

Pada tahun 1980 kontribusi meng­alami kenaikan yang menyolok. Hal ini disebabkan oleh besarnya kebu­tuhan dana lope Fund untuk menu­tup ganti rugi sehubungan dengan ke­celakaan kapal tanker Antonio Gram­sci yang beIjumlah £ 9,2 juta. Kecelakaan terse but teIjadi pada tang­gal 27 Pebruari 1979, tetapi penyele­saiannya baru dapat dilakukan pada tanggal 31 Maret ·l 981. Dalam tahun 1979 teIjadi enam kasus kecelakaan yang menjadi timggung jawab lOpe Fund tetapi yang terbesar adalah An-tonio Gramsci. " < •

Penerbangan di atas ZEE Dalam BAB V Konvensi Hukum Laut ' mengenai Zona Ekonomi Eksklusip ti­dak ada ketentuan yang mengatur me­ngenai penerbangan di at as zona terse­but .

£ 17.065.192 m/ ton)

.

500.000 (contr. oil 15 .875.434 m/ton)

Hal ini dapat dimengerti karena di zona terse but merupakan laut bebas , termasuk udara di atasnya .

Di ZEE .berlaku ketentuan-ketentuan se bagaimana ketentuan-ketentuan yang terdapat di laut bebas, kecuali se­panjang menyangkut kepentingan eko­nomi, negara pantai yang bersangkut­an , mempunyai hak-hak berdaulat (so­vereign rights) sesuai ketentuan-keten- ' tuan dalam Konvensi Hukum Laut.

Pasal 87 Konvensi Hukum Laut me-•

muat ketentuan tentang kebebasan di hut bebas (Freedom of the high seas) , yang isinya pokok-pokoknya adalah bahwa: Laut bebas terbuka untuk se­mua negara, baik negara pantai, mau­pun bukan.

Kebebasan di laut bebas dilaksanakan sesuai syarat-syarat yang ada dalam

Page 10: PERANAN PERHUBUNGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT …

. •

Penegakan Hukum di laut

konvensi dan peraturan lain dari hu­kum internasional.

Kebebasan-kebebasan itu antara lain:

a. Kebebasan navigasi; b. Kebebasan melakukan penerbangan

di atasnya;

c. Kebebasan menempatkan kabel dan -pipa dettgan memperhatikan keten­tuan-ketentuan ten tang land as kon­tinen;

d. Kebebasan untuk membuat pulau­pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya yang telah diizinkan berda­sarkan hukum internasional;

e. Kebebasan untuk menangkap ikan dengan memperhatikan pelestarian

. -

• • ~ , .' .

• •

491

dan penguasaan atas sumber-sumber hayati di laut bebas;

f. Kebebasan untuk melakukan pene­litian ilmiah, dengan memperhati­kan ketentuan-ketentuan dalam konvensi terse but dalam BAB VI dan XIII.

Dari pasal tersebut jelas, bahwa mela­kukan penerbangan di atas Zona Eko­nomi Eksklusip adalah bebas, tidak ada larangan. Negara pantai baru akan campur ta­ngan di Zona Ekonomi Eksklusip, baik di laut maupun udara di atasnya, bila negara asing akan m.emanfaatkan zona terse but untuk kepentingan-kepenting­an ekonomi.

. ~

. . ..... . -. ' .

REP. SINAR' HARAPAH

September 1984