peranan lembaga adat

25
media.leidenuniv.nl/legacy/menjamin-akses-atas-tanah-steni-final. pdf http://www.idlo.int/docnews/213DOC1.pdf http://portal.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/02/ mnoor_jurnal_pola_kerjasama_birokrasi%20(02-05-13-07-54-40).pdf http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/1621/1/JURNAL %20SADI.pdf KERAGAMAN ADAT DAN TRADISI DI JAWA TENGAH DARI MASA KE MASA Rochwulaningsih, Yety (2010) KERAGAMAN ADAT DAN TRADISI DI JAWA TENGAH DARI MASA KE MASA. Documentation. FAKULTAS SASTRA. http://eprints.undip.ac.id/27900/1/659-ki-fs- 2010.pdf TRANSAKSI TANAH BERDASARKAN HUKUM ADAT (Ditinjau Dari Ketentuan UUPA) http://eprints.undip.ac.id/20674/1/2186-ki-fh- 1997.pdf http://www.satgasreddplus.org/download/2012_Pemetaan%20Wilayah %20Adat%20dan%20PIPIB_4%20Sept.pdf KEBERTAHANAN DESA ADAT DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK-KONFLIK KEMASYARAKATAN DI KALANGAN MASYARAKAT

Upload: gilague-gilaloe

Post on 03-Jan-2016

462 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: peranan lembaga adat

media.leidenuniv.nl/legacy/menjamin-akses-atas-tanah-steni-final.pdf

http://www.idlo.int/docnews/213DOC1.pdf

http://portal.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/02/mnoor_jurnal_pola_kerjasama_birokrasi%20(02-05-13-07-54-40).pdf

http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/1621/1/JURNAL%20SADI.pdf

KERAGAMAN ADAT DAN TRADISI DI JAWA TENGAH DARI MASA KE MASA Rochwulaningsih, Yety (2010) KERAGAMAN ADAT DAN TRADISI DI JAWA TENGAH DARI MASA KE MASA. Documentation. FAKULTAS SASTRA. http://eprints.undip.ac.id/27900/1/659-ki-fs-2010.pdf

TRANSAKSI TANAH BERDASARKAN HUKUM ADAT (Ditinjau Dari Ketentuan UUPA) http://eprints.undip.ac.id/20674/1/2186-ki-fh-1997.pdf

http://www.satgasreddplus.org/download/2012_Pemetaan%20Wilayah%20Adat%20dan%20PIPIB_4%20Sept.pdf

KEBERTAHANAN DESA ADAT DALAM MENYELESAIKAN

KONFLIK-KONFLIK KEMASYARAKATAN DI KALANGAN MASYARAKAT

DESA KUNO (BALI AGE) DI KABUPATEN BANGLI http://pasca.undiksha.ac.id/e-learning/staff/images/img_info/6/32-303.pdf

Rusuh Sumbawa dan Peran Lembaga Adat

WRITTEN BY YOGI SETYA PERMANA   

WEDNESDAY, 13 FEBRUARY 2013 09:37

digginShareThere are no translations available.

Page 2: peranan lembaga adat

Belum hilang dari ingatan akan konflik di Lampung Selatan pada medio November tahun lalu saat ini publik dikejutkan dengan kerusuhan yang bernuansa konflik antar etnis di Kabupaten Sumbawa. Tercatat sedikitnya 35 rumah dan pertokoan, sebuah hotel, satu supermarket, dua motor dan satu mobil box dibakar massa dalam konflik di Kabupaten Sumbawa (Viva News, 23 Januari 2013). Terbakarnya Hotel Tambora -hotel terbesar di Kabupaten Sumbawa- yang terletak di samping kantor bupati seperti penanda bahwa intensitas konflik sangatlah serius. Massa juga menjarah beberapa kios dan toko yang ada dijalan utama Kota Sumbawa Besar. Aksi sweeping terhadap etnis tertentu juga dilakukan di jalanan Sumbawa Besar dan merembet hingga kecamatan-kecamatan di sekitar.

Sejarah berulang. Konflik serupa pernah terjadi di Tana Samawa pada masa lampau. Ketegangan antara masyarakat asli Sumbawa terhadap pendatang dari Bali pernah mencapai puncaknya pada tahun 1980. Para pendatang Bali mengusai banyak lini strategis baik di setor ekonomi, politik, dan birokrasi sebagai implikasi dari kebijakan sentralisasi pemerintah Orde Baru saat itu. Pengangkatan para pimpinan di daerah ditentukan oleh pemerintah pusat.  

Hal ini diperburuk oleh  praktik ‘merarik’ atau kawin lari yang dilakukan oleh banyak pemuda Bali terhadap gadis-gadis Sumbawa. Sedikitnya terjadi 26 kali peristiwa ‘merarik’ dalam kurun waktu tersebut. Kawin lari dalam budaya Sumbawa merupakan aib yang memalukan bagi keluarga. Sedangkan bagi orang Bali ‘merarik’ merupakan hal yang tidak tabu untuk dilakukan. Perbedaan interpretasi terhadap praktik budaya ini membuat konflik semakin besar dan melebar hingga ke Taliwang. Ketegangan antara migran dan penduduk lokal tersebut disebabkan salah satunya oleh ketidakmampuan menegosiasikan perbedaan nilai budaya.

Aksi kekerasan terjadi di jalanan Sumbawa Besar. Kantong-kantong pemukiman orang Bali menjadi sasaran kemarahan warga. Terlebih setelah tewasnya seorang warga karena timah panas yang rumornya ditembakkan oleh salah seorang perwira polisi beretnis Bali.  Setelah peristiwa itu maka ada aturan tidak tertulis untuk melakukan pembatasan pimpinan dari etnis Bali dalam lingkungan birokrasi Kabupaten Sumbawa. Kemudian orang Bali harus mengurangi intensitas dan skala pelaksanaan tradisinya di Sumbawa seperti upacara ngaben dan kirab keliling kota dengan berbagai tetabuhan (Satriani (ed), 2010).

Namun ternyata konflik besar yang pernah terjadi lebih dari dua dekade lalu pecah kembali. Kearifan lokal Sumbawa yang tergambar dari bait pantun “mana tau barang kayu lamento samanate bananse sanak paranak” yang artinya siapapun dia yang penting bisa melahirkan ketenangan, kebahagiaan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan itu bisa diterima dengan baik, harus kembali dibuktikan. Sumbawa tercatat telah memiliki sejarah panjang dalam interaksinya dengan para pendatang. Para Sultan Sumbawa memberi tanah bagi para pendatang yang jejaknya sampai sekarang masih bisa dilihat. Ada Kampung Marilonga (pendatang dari NTT), Kampung Jawa, Kampung Bali, Kampung Lombok, Kampung Bugis, Karang Banjar bahkan sultan mendirikan gereja untuk warganya yang beragama Nasrani. Dialog lintas etnis yang sudah dibangun sejak zaman kesultanan mengkondisikan masyarakat Sumbawa relatif terbuka.

Sepertinya aparat melupakan pelajaran dari sejarah di masa lalu. Meningkatnya eskalasi konflik antara pendatang dengan penduduk asli diakibatkan oleh tidak tegasnya perangkat hukum –dalam hal ini Kepolisian- untuk menindak pihak-pihak yang bersalah. Dengan demikian collateral damage akibat meluasnya isu penyebab konflik menjadi tidak terkontrol. Manajemen penegakan hukum adalah satu hal paling penting dalam kerja pencegahan konflik. Kapasitas kelembagaan dan individual para aparat penegak hukum perlu ditingkatkan dalam kaitannnya dengan langkah-langkah pencegahan konflik. Skala kerusuhan di Sumbawa tidak akan semakin meluas dan meningkat jika para aparat penegak hukum mampu bertindak tepat yang responsif terhadap kemunculan konflik. 

Selain penegak hukum atau institusi formal pemerintah yang bertanggung jawab dalam pencegahan konflik, kelompok informal juga memiliki peranan penting. Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) merupakan pihak yang bisa berperan dalam pencegahan maupun resolusi konflik di Sumbawa. Setelah lama vakum, LATS direvitalisasi melalui Musakara Adat pada 2011 lalu. Hasil Musakara Adat tersebut antara lain mengukuhkan putra Mahkota Kesultanan Sumbawa, H. Daeng Muhammad Abdurrahman  Raja Dewa  sebagai Sultan Sumbawa ke -17 dan memimpin LATS. Dengan modal simbolik dan kultural yang dimiliki, Sultan Sumbawa dan Lembaga Adat mempunyai kesempatan untuk memaksimalkan keberadaannya sebagai referensi warga Sumbawa. 

Page 3: peranan lembaga adat

Situasi yang terjadi di Sumbawa saat ini merupakan momentum tepat untuk menunjukkan eksistensi dan peran Lembaga Adat Tana Samawa yang sudah direvitalisasi. Kehadiran Sultan Sumbawa atau yang kerap disapa dengan Daeng Ewan untuk menenangkan massa kemarin sebaiknya diikuti dengan langkah-langkah yang lebih sistematis demi resolusi konflik yang efektif.  LATS harus mampu menjalankan perannya sebagai bagian dari intermediary actors yang prima sebagaimana hasil keputusan Musakara Adat pada 8-10 Januari 2011 lalu. LATS diharapkan menjadi jembatan mediasi bila terjadi konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Payung hukum lewat Perda Kabupaten Sumbawa No. 23 2007 juga memberikan tugas bagi LATS untuk bisa berperan menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaikan perselisihan di dalam masyarakat.

Semoga Tana Samawa kembali menjadi rumah yang nyaman bagi semua orang apapun latar belakangnya seperti pada masa kesultanan lampau. (Yogi Setya Permana)

Penulis adalah Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI dan pernah meneliti politik lokal di Sumbawa pada 2010

http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/politik-lokal/783-rusuh-sumbawa-dan-peran-lembaga-adat

RABU, 20 MARET 2013

Lembaga Adat Jangan Jadi PemerasANT

Dibaca: 317 Tanggapan: 0

Share:

     

Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat, Cornelis meminta lembaga adat tidak mengambil peluang dalam menerapkan denda yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum adat setempat, sehingga terkesan memeras."Jangan terkesan menjadi alat untuk memeras, karena kalau seperti itu, menjadikan lembaga adat tidak berwibawa," kata Cornelis saat Seminar Nasional "Kearifan Lokal dan Hukum Adat dalam Meningkatkan Tertib Hukum Masyarakat" di Pontianak, Rabu (20/3).Menurut Cornelis, tindakan seperti itu membuat lembaga adat menjadi tidak mengakar. Selain itu, ia menambahkan, menjadi tidak berarti dihadapan kelompok masyarakat yang lain. "Seolah-olah meras," ucap Cornelis yang juga Gubernur Kalbar itu.Ia menegaskan, efek dari hukum adat bukanlah mengenai jumlah yang harus dibayarkan. "Melainkan dampak secara moral bagi yang terkena hukum adat, biarpun hanya membayar denda yang paling ringan, di kalangan Dayak, berupa tujuh butir beras dan kunyit," tuturnya.Namun, lanjut dia, apa yang menjadi keputusan harus dilaksanakan.Kepala Divisi Hukum Mabes Polri, Irjen (Pol) Anton Setiadji mengatakan, ada tiga tradisi normatif yang menjadi dasar dalam budaya hukum Indonesia yakni hukum adat pribumi, hukum Islam dan hukum sipil Belanda.Ia menilai, hukum adat sepatutnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki tata hukum Indonesia. "Di dalam hukum adat itulah, segala macam aturan hukum positif Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya," ujar Anton yang mewakili Kapolri Jendral (Pol) Timur Pradopo.http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5149370393b08/lembaga-adat-jangan-jadi-pemeras

Page 4: peranan lembaga adat

Judul Partisipasi lembaga masyarakat adat dalam pembangunan di Kota JayapuraPengarang Markus AiroriSubjek Community organizationAbstrak Konsep pembangunan adalah untuk memperbaiki kehidupan mayoritas manusia,

melalui program-program pengurangan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup, pembangunan kesehatan dan pembangunan masyarakat berbasis komunitas. Dengan demikian hanya rakyat sendiri yang dapat menentukan apa sebenarnya yang mereka anggap sebagai perbaikan dalam kualitas hidup mereka.

Jadi, partisipasi Lembaga Masyarakat Adat (LMA) sebagai wadah pemusyawaran dan Partisipasi Masyarakat Adat asli orang Papua dalam pembangunan di Kota Jayapura adalah sesuatu hal yang perlu dan penting, bukan hal yang mengada-ngada dan dibuat-buat. Oleh karena itu, pokok permasalahan dalam tesis ini adalah Bagaimanakah partisipasi Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dalam pembangunan di Kota Jayapura?

Untuk memudahkan penyusunan instrumen dan analisisnya, maka pokok permasalahan tersebut lebih difokuskan kepada tiga pertanyaan yaitu: a. Bagaimana proses partisipasi lembaga masyarakat adat dalam perencanaan program pembangunan? b. Bagaimana partisipasi lembaga masyarakat adat dalam pelaksanaan program pembangunan ?, c. Bagaimana partisipasi lembaga masyarakat adat dalam mengevaluasi program pembangunan?

Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif, yang menghasilkan data kualitatif melalui kajian literatur dan dokumen, dan penelitian lapangan yang dilakukan kepada informan yang terdiri dari unsur pemerintah, anggota DPRD Kota Jayapura, pengurus dan anggota Lembaga Masyarakat Adat (LMA) di empat Distrik Kota Jayapura, melalui observasi dan wawancara mendalam.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa : 1. Lembaga Masyarakat Adat yang ada di empat Distrik Kota Jayapura telah dilibatkan atau ikut serta dalam pembuatan keputusan program pembangunan Kota Jayapura. Hal itu ditandai dengan tersusunnya atau ditetapkannya Rencana Strategis Pembangunan Kota Jayapura Tahun 2001-2005. Nainun, untuk lebih mengoptimalkan partisipasi eksistensi LMA Kota Jayapura, Pemda Kota Jayapura dalam mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai tradisional agar diintegrasikan dalam agenda perencanaan program pembangunan, perlu mensosialisasikan dan membina LMA, yang tujuannya untuk membangun semangat kebersamaan dan intelektual pengurus dari LMA dimaksud. 2. Masyarakat Adat asli orang Papua yang tersebar di empat wilayah Distrik yang ada di Kota Jayapura, sudah menikmati hasil atau manfaat dari program atau prioritas pembangunan Kota Jayapura. Namur karena heterogenitas penduduk Kota Jayapura, sehingga program pembangunan belum mengakomodir semua kebutuhan atau kepentingan masyarakat adat asli orang Papua di Jayapura. Partisipasi dan keterlibatan masyarakat adat asli orang Papua berupa ide, pendapat dan saran-saran dapat lebih optimal sebagai masukan yang bermanfaat

Page 5: peranan lembaga adat

dalam penyusunan arah kebijakan umum APBD Kota Jayapura, apabila Pemda Kota Jayapura melakukan sosiolisasi dan pembinaan terhadap LMA Kota Jayapura. 3. Lembaga Masyarakat Adat yang ada di Kota Jayapura telah diikutsertakan untuk mengevaluasi pelaksanaan strategi atau program pembangunan Kota Jayapura. Peran LMA dimaksud dapat lebih optimal apabila Pemda Kota Jayapura melaksanakan sosialisasi dan Pembinaan atas Tugas LMA, terutama dalam mengetahui: a. masalah-masalah yang timbul, b. apakah proyek sebagai penjabaran dari kegiatan/program dapat berjalan sesuai jadwal, c. apakah proyek sebagai penjabaran dari kegiatan/program menghasilkan output sesuai kebutuhan masyarakat adat asli orang Papua sebagaimana telah direncanakan, d. apakah strategi dan anggaran berjalan sesuai dengan rencana serta sasaran (target group) yang ditangani dapat di realisasikan.

Permalink http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/dataIdentifier.jsp?id=73907

---------------------------------------

Sepakat Tidak Bawa Lembaga Adat ke Ranah PolitikBANDARLAMPUNG - Warga Megou Pak Tulangbawang sepakat tidak membawa lembaga adat ke

ranah politik. Apalagi memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon dalam pilkada di

Provinsi Lampung tahun 2010.

Ungkapan tersebut disampaikan langsung balon wakil wali kota Bandarlampung Hantoni Hasan

bersama tiga warga Tuba, Rifdi Arif, Junaidi B.M., Salin R.S., serta tokoh

pemuda asal Tuba di markas Radar Lampung Jalan Sultan Agung No. 18,

Bandarlampung, kemarin.

Hal ini menanggapi pernyataan yang disampaikan Wan Mauli, ketua

Lembaga Adat Marga Tegamoan Megou Pak Tuba, dan Dr. Hi.

Abdurachman Sarbini selaku pembina lembaga tersebut. Mereka

meminta agar siapa pun tidak membawa lembaga adat ke ranah politik.

Karena Lembaga Adat Megou Pak mengurusi masalah adat, budaya, dan

seni.

    Dijelaskan Rifdi, pada hari Selasa (16/3) lalu, Forum Masyarakat Tuba

(Format) menggelar pertemuan dan menyatakan dukungan terhadap

pasangan balon wali kota Bandarlampung Edy Sutrisno. Namun dalam

pertemuan itu, pihaknya tidak membawa Lembaga Adat Megou Pak,

tetapi atas nama warga Megou Pak Tuba. 

’’Kami tidak pernah membawa Lembaga Adat Megou Pak ataupun

simbol-simbol adat. Sebab, sebutan Megou Pak itu merupakan bahasa

Indonesia untuk menyebut warga Tuba,” katanya. 

    Mereka juga meminta agar Abdurachman Sarbini dan Wan Mauli tidak melarang siapa pun

menyampaikan hak politiknya terhadap salah satu pasangan calon. Sebab, itu hak prerogatif

perorangan untuk mendukung pasangan calonnya. ’’Kami ini memang warga Megou Pak karena

kami berasal dari Tuba,” tutur Junaidi B.M. kemarin.

RADAR LAMPUNG -   JUMAT, 19 MARET 2010   # POSTED BY: AYEP KANCEE

 397 KALI DIBACA

Share on facebookShare on twitterShare on googleShare on myspaceMore Sharing Services

   Email Berita

  Print Berita

  PDF Berita

Page 6: peranan lembaga adat

    Rombongan yang datang ke markas Radar Lampung kemarin sepakat tidak membawa Lembaga

Adat Megou Pak ke ranah politik. Karenanya, mereka juga menyesalkan ungkapan Mance –sapaan

akrab Abdurachman Sarbini– yang menyatakan akan memberikan dukungan ke salah satu calon.

’’Kami meminta agar Lembaga Adat Megou Pak tidak dibawa ke ranah politik. Sebab lembaga

tersebut berada di ranah adat, budaya, dan seni,” ungkap Salim. 

Lebih dalam diungkapkan Hamka, Kasadri, Baherom, serta Muklas Bastari yang merupakan tokoh

pemuda asal Tuba, pihaknya hanya menyampaikan aspirasi politik, bukan atas nama Lembaga

Adat Megou Pak Tuba. (fei/een)   

http://radarlampung.co.id/read/lampung-raya/lampura-tuba/10810-sepakat-tidak-bawa-lembaga-adat-ke-ranah-politik

JudulPartisipasi Suku MEE dalam perencanaan pembangunan melalui lembaga masyarakat adat Suku MEE (Lemasme) di Kampung Kebo, Wilayah Adat Pantai uUara Distrik Pantai Timur, Kabupaten Pantai Provinsi Papua

Pengarang Elly TenouyeSubjek Rural developmentAbstrak Proses perencanaan pembangunan melalui Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee

(Lemasme) di kampung Kebo wilayah adat Pantai Utara, distrik Pantai Timur, kabupaten Pantai pasca otonomi daerah merupakan langkah awal dari pemerintah yang responsif dan bertanggung jawab. Hal ini dirasakan bagi mereka/orang-orang yang seakan-akan telah lama dipaksa tunduk/takluk dan baru merasa/menikmati alam demokrasi karena mereka diberikan kebebasan bersuara menurut keinginan mereka tanpa intervensi dari pihak lain. Sebelum dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif yang ditetapkan melalui permendagri No 09 Tahun 1982 rupanya telah dimanipulasi oleh pusat untuk kepentingan tertentu yang kemudian telah menempatkan masyarakat hanya sebagai objek yang diam dan bisu dimana mereka jarang diajak untuk menunjukkan/menyampaikan keinginan, aspirasinya dalam setiap usulan program pembangunan sebagai hak warga negara untuk memperoleh manfaat dari pembangunan bahkan pemerintah di daerahpun menerima dan menjalankan keinginan dari atas. Bentuk partisipasi umumnya dimobilisasi dalam melaksanakan dan menerima kehendak luar tanpa diikutkan dalam perencanaan oleh sebab itu sifat partisipasi hanya mendukung keinginan pusat dengan falsafahnya masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mendukung dan mengikuti apa yang dirancang oleh Pusat melalui Bappenas. Meskipun telah dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 dimana sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif dipandang perlu dibangun sesuai dengan keberadaan sosial budaya lokal dengan melibatkan stakeholder dan grassroot namun dalam belum dapat diwujudkan pemerintahan yang bersih (good governance).

Tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk, tingkat dan faktor pendorong, penghambat partisipasi suku Mee dalam proses perencanaan pembangunan melalui lembaga masyarakat adat dengan mengacu pada teori serta upaya atau mengetahui dan memahami cara apa yang telah dilakukan dan dapat

Page 7: peranan lembaga adat

dilakukan agar kesempatan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara dapat lebih terwujud.

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber datanya ialah informan yang didukung oleh dokumen serta pustaka. Informan-informan penting yang menjadi sampel penelitian ini adalah mereka yang terlibat dalam musyawarah adat (MA), teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk partisipasi suku Mee dimobilisasi oleh pemerintah dan Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee), dan dalam pelaksanaan musyawarah dan pengambilan keputusan masih didominasi oleh personil Lemasme (Lemasme Masyarakat Adat Suku Mee) yang disebut "Tonawi" yang merangkap beberapa jabatan. Sementara itu posisi masyarakat adat meskipun telah diberikan kesempatan untuk terlibat dalam mengusulkan aspirasi program pembangunan, mereka belum sepenuhnya memahami bahwa merekalah yang berhak mengambil berbagai keputusan.

Berangkat dari pemahaman diatas dan kondisi umum partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara jika dinilai berdasarkan DELAPAN TANGGA PARTISIPASI MASYARAKAT menurut Arnstein menunjukkan bahwa tingkat partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan berada pada tangga pertama NON PARTICIPATION dan tangga ke dua TOKENISME. Dengan pengertian bahwa dua tangga pada Non Partisipasi adalah bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan terapi dan manipulasi. Sedangkan di tingkat Tokenisme yaitu tingkat dimana peran serta masyarakat didengar dan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada tingkat ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan pada masyarakat. Pemahaman diatas dapat dirumuskan bahwa suku Mee telah menghadiri, mendengar dan mengusulkan program pembangunan tetapi mereka tidak memiliki jaminan bahwa apa yang diusulkan dapat diterima oleh pengambil keputusan.

Penyampaian aspirasi masyarakat melalui Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee) wilayah adat dan kampung dapat berjalan karena masyarakat yang diundang telah hadir dan menyampaikan usulan program pembangunan. Usulan yang disampaikan lebih mengarah pada kepentingan umum wilayah khususnya pembangunan sektor sosial. Hambatan yang dihadapi selain didominasi oleh tokoh lokal, diantara masyarakat yang terlambat mengetahui informasi perencanaan pembangunan mudah merasakan dipasifkan dan cenderung mencurigai bahwa hasil musyawarah dapat merugikan dan hanya mementingkan kelompok tertentu (kerabat saja), namun demikian personality tokoh lokal dapat menetralisir. Oleh sebab itu yang terpenting disini adalah membangun komunikasi dan konsultasi terlebih dahulu dengan tetap melibatkan tokoh lokal yang merepresentasi tiap dusun dan marga di kampung Kebo dan wilayah adat dalam proses perencanaan pembangunan.

Page 8: peranan lembaga adat

Permalink http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/dataIdentifier.jsp?id=80135

RAKOR PEMBINAAN LEMBAGA ADAT DAN LEMBAGA SOSIAL BUDAYA(RRI) Palangka Raya, 19 Maret 2013. Untuk melindungi, mengakui dan menghargai hak masyarakat adat,

Damang Kepala Adat se-Kalimantan Tengah diminta menginventarisir dan menetapkan Surat Keterangan Tanah

Adat (SKT-A).

Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, dalam sambutan pembukaan Rapat Koordinasi

Pembinaan Lembaga Adat dan Lembaga Sosial Budaya di Palangka Raya meminta Damang Kepala Adat se-

Kalimantan Tengah dapat menginventarisir Tanah Adat di wilayah masing-masing paling lambat Juni 2014.

Menurut gubernur, ini dilakukan agar sebelum batas waktu Pergub Kalteng nomor 13 tahun 2009 berakhir,

pengaturan Tanah Adat dan Hak-hak adat di atas tanah telah rampung.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng, Siun Jarias, mengatakan eksistensi damang

sangat berkaitan erat dengan keberadaan Tanah Adat, sebab menurut UU dimana ada masyarakat adat di situ

pasti ada hak-hak tradisional masyarakat adat termasuk tanah adat.

Rapat Koordinasi yang diikuti Damang Kepala Adat se-Kalimantan Tengah bertujuan untuk menyamakan

pemahaman tentang Pergub 13 tahun 2009, sharing pengalaman dari Damang yang sudah berhasil, dan

kesepakatan besaran pembiayaan pembuatan SKTA.

Selain Gubernur dan Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, hadir sebagai narasumber Ketua Dewan

Adat Dayak Kalteng, Sabran Ahmad dan Akademisi Universitas Palangka Raya Suwido Limin. (Sep/GR)

http://www.rripalangkaraya.co.id/daerah/2797-rakor-pembinaan-lembaga-adat-dan-lembaga-sosial-budaya

JudulHarmoni Kehidupan Di Propinsi Multi Etnis: Studi Kasus Integrasi Antara Penduduk Pendatang Dan Penduduk Asli Di Jambi

Pengarang Lindayanti, Lindayanti -- Witrianto, Witrianto -- Zulqaiyyim, ZulqaiyyimSubjek H Social Sciences (General)Abstrak Otonomi Daerah dan Kebangkitan primordialisme berpotensi mengganggu

harmonisasi kehidupan masyarakat. Padahal di hampir setiap daerah terjadi migrasi penduduk masuk sehingga membentuk masyarakat multi etnis. Di masyarakat multi etnis rentan terjadi konflik antar etnis, seperti konflik antara etnis Melayu dan etnis Madura yang pernah terjadi di Kalimantan. Sebaliknya di antara daerah multi etnis terdapat daerah yang dapat menjaga harmonisasi hubungan antar etnis, misalnya propinsi Jambi. Dengan demikian perlu dipelajari

Page 9: peranan lembaga adat

faktor apakah yang dapat menjadi perekat hubungan antar etnis. Bagaimana interaksi yang terjadi antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Bagaimana proses terbentuknya masyarakat yang sekarang dikenal sebagai Melayu Jambi. Lokasi Penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Seberang Kota Jambi, dan Kabupaten Tebo. Tujuan akhirnya adalah merumuskan strategi pola integrasi berbagai etnis menuju pengharmonisan dalam hubungan antara penduduk asli dan pendatang. Untuk mencapai tujuan itu digunakan metode sejarah yang dimulai dengan pengumpulan sumber: studi kearsipan dan dokumen, dan studi lapangan melalui wawancara mendalam dengan tokoh adat dan perwakilan etnis. Kedua, melakukan kritik terhadap sumber yang didapat, Ketiga, menganlisa hubungan antar fakta yang ditemukan, dan akhirnya keempat adalah menuliskan hasil temuan. Sikap Masyarakat menghadapi kehidupan yang multi etnis ini pun beragam karena berkaitan dengan letak geografis daerah tersebut dan interaksi masyarakat di sepanjang proses sejarah yang dilalui Di Dua Kabupaten, yaitu Tebo dan Tanjung Jabung Timur identitas dan budaya masing-masing etnis masih dipertahankan. Beragam etnis dan beragam agama terdapat di kedua daerah, akan tetapi tata kehidupan mereka disatukan dalam kerangka Adat Melayu Jambi. Tanjung Jabung Timur daerah muara sungai yang berdekatan dengan laut, daerah merdeka, jauh dari pusat kekuasaan, pendudukdibiarkan menggunakan adat kebiasaan masing-masing. Akan tetapi saat menghadapi sengketa lintas etnis, tata cara penyelesaian yang digunakan adalah Adat Melayu Jambi dan kepala Lembaga Adat Melayu yang menyelesaikannya. Hal ini berlainan dengan Daerah Seberang kota Jambi. Seberang Kota Jambi memiliki latar belakang sebagai pusat kekuasaan Sultan, basis perlawanan rakyat melawan Pemerintah Kolonial Belanda, dan pusat pendidikan Islam maka mereka pun memiliki cara tersendiri dalam mengharmoniskan hubungan antar etnis. Adat Melayu ditempatkan di atas semua adat dari beragan etnis maka peranan adat Melayu Jambi menjadi pelindung bagi adat yang lain. Sehingga semua etnis merasakan bahwa mereka sesungguhnya berada di wilayah Jambi dan bersikap di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung . Merasakan satu etnis dan secara bersama-sama pula menjunjung tinggi adat Melayu Jambi.

Permalink http://repository.unand.ac.id/1276/

JudulEksistensi Kepala Desa Sebagai Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Alternatif (Studi di Kabupaten Nias)

Pengarang Ichtiar ZegaSubjek kenotariatanAbstrak Salah satu tuntutan reformasi yang bergulir dal masyarakat Indonesia adalah

penegakkan supremasi hukum. Tuntutan ini sebagai kekecewaan rakyat terhadap peradilan di Indonesia yang tidak memberikan rasa keadilan bagi pencari keadilan. Peradilan di Indonesia belum menerapkan amanah Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim yaitu Peradilan yang dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya yang ringan. Kritikan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terhadap Negara- negara di dunia. Lahirnya penyelesaian sengketa altenatif sebagai solusi atas dilemma yang menimpa lembaga peradilan negara dalam men adapi sengketa sebagai fenomena sosial yang cenderung meningkat. Di Indonesia pola penyelesaian sengketa altematif mempunyai basis sosial yang kuat. Oleh karena nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat

Page 10: peranan lembaga adat

Indonesia sangat mendukung penyelesaian sengketa altematif untuk dikembangkan agar mendapat legitimasi dari masyarakat yang luas. Kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah junto Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa telah memberikan landasan hukum bagi Kepala Desa untuk menyelesaikan sengketa masyarakat dengan dibantu oleh lembaga adat di desa. Penelitian ini akan menjelaskan tentang Eksistensi Kepala Desa Sebagai Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Altenatif pada masyarakat Nias, landasan hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa alternatif, keberhasilan dan kegagalan Kepala Desa dalam menyelesaikan sengketa. Untuk mengkaji hal-hal tersebut diatas d lakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan ridis sosiologis. Lokasi penelitian di Kabupaten Nias (tidak termasuk Nias Selatan),Propinsi Sumatera Utara, Data primer diperoleh dengan wawancara langsung dengan responden.Untuk melengkapi data diperlukan tambahan imformasi dari nara sumber lain yaitu : pihak yang bersengketa, mantan Kepala Desa, Tokoh Adat, Agama dan Praktisi Hukum di Kabupaten Nias. Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif, kemudian ditarik kesimpulan dengan metode berfikir induktif dan deduktif. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa hingga saat ini masyarakat Nias cenderung menggunakan cara-cara penyelesaian sengketa alternatif untuk memperbaiki hubungan yang harmonis. Eksistensi Kepala Desa sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa alternatif merupakan salah satu tokoh yang dipercaya oleh masyarakat, berwibawa dan bersikap netral. Landasan hukum yang digunakan berdasarkan hukum adat dengan pola musyawarah kekeluargaan. Keberhasilan penyelesaian sengketa alternatif dalam masyarakat Nias terutama faktor budaya musyawarah kekeluargaan, menguasai sengketa dan teknis mediator. Sedangkan kegagalan karena belum ada jaminan hukum atas putusan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Kepala Desa. Disarankan kepada pemerintah Kabupaten Nias agar membuat Perda tentang Pembentukan Badan Musyawarah Desa dan Lembaga Adat di desa yang dapat membantu Kepala Desa dalam penyelesaian sengketa pada masyarakat di desanya. Pemerintah Kabupaten Nias harus menentukan batas-batas desa secara tegas dan jelas dan memfasilitasi dengan menyediakan anggaran untuk memberikan pelatihan tentang tehnik-tehnik mediasi modern terhadap para Kepala Desa di Kabupaten Nias. -- 04011693

Permalink Renny Widiastuti -- http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5404

JudulPotensi Konflik Perkawinan Adat Batak Toba (Studi Deskriptif Pada Pasangan Kristen Yang Menikah Tanpa Adat di Kecamatan Sumbul-Sidikalang)

Pengarang Siboro, Eva D.Subjek Konflik Perkawinan -- Adat Batak TobaAbstrak Penulisan skripsi yang berjudul Konflik Perkawinan Adat Batak , berangkat dari

maraknya pernikahan pernikahan dalam keluarga Batak yang tidak memasukkan proses adat di dalamnya, terutama di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul. Dalam kenyataannya hal ini terjadi karena adanya unsur unsur yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tanpa proses adat Batak dan biasanya akan memunculkan pertentangan pertentangan pandangan yang akan menimbulkan konflik. Dalam penelitian ini, penulis memiliki tujuan untuk lebih mendalami alasan para pasangan yang menikah tanpa adat disamping alasan oleh

Page 11: peranan lembaga adat

karena fakor agama. Penulis juga bertujuan untuk mengetahui potensi konflik yang terjadi yang disebabkan oleh pernikahan adat itu sendiri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah orang orang yang terlibat seperti keluarga yang menikah tanpa melakukan prosesi adat, tetua adat, tokoh agama dan warga masyarakat sekitar yang berdomisili di Kecamatan sumbul, Kota Sidikalang Kabupaten Dairi. Potensi konflik yang terjadi dalam adat perkawinan Batak itu sendiri berdasar kepada ajaran agama. Penolakan yang dilakukan oleh pasangan pasangan yang menikah tanpa adat adalah terhadap hukum adat Batak Toba yang sangat memperhatikan prinsip dasar yakni Dalihan Na Tolu, dan juga aspek adat Batak Toba dalam pembagian Jambar dan mangulosi. Hal tersebut diatas yang menjadi pertentangan bagi pasangan pasangan yang menikah tanpa adat. Di sisi lain, faktor lain yang membuat semakin maraknya pernikahan tanpa adat dalam kalangan masyarakat Batak Toba adalah karena faktor ekonomi dan faktor lain yang didapat penulis dari hasil penelitian yang dilakukan adalah karena tidak mendapat restu dan juga karena pergaulan bebas atau istilah MBA. Dari hasil penelitian yang di peroleh, maka penulis menyimpulkan bahwa perkawinan tanpa adat banyak terjadi karena berbagai faktor seperti yang telah disebutkan diatas. Pandangan pandangan yang menolak tentang pemberlakuan aspek aspek adat tentu saja tidak berlaku bagi semua masyarakat suku Batak Toba yang menganut agama Kristen. Dari data yang didapat penulis, pertentangan yang terjadi dalam ajaran Kristen dengan Adat Batak Toba adalah karena adat tersebut berasal dari kepercayaan nenek moyang bangsa Batak Toba yang belum mengenal Tuhan dan masih menyembah roh roh sembahan yang mereka sebut dengan nama Debata Mulajadi Na Bolon.Adat adalah segala bentuk aturan hidup. Dan apa yang sering dimaksud dengan adat Batak adalah segala bentuk aturan hidup yang khas yang dilakoni orang Batak seperti ketika bertutur, bertingkah laku, berelasi, atau ketika menjalankan berbagai bentuk acara seremonial (kelahiran, pernikahan, memasuki rumah, kematian dsb). Dan sisi adat yang seringkali dianggap tidak lagi revelan bagi anak-anak muda terkait dengan acara seremonial (Upacara adat) dan ketidaksederajatan dalam hubungan antar posisi. -- 030901026

Permalink Muswita Widya Rahma -- http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17212

Konsep Penyelesaian Konflik Secara AdatDitulis Oleh gita   Monday, 10 December 2012

Page 12: peranan lembaga adat

Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat. Adat telah melembaga dalam dalam kehidupan masyarakat baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilau warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat  menjadi cukup penting.

* Masyarakat adat Indonesia dinilai sebagai komunitas adat  yang dianggap sebagai simbol keseimbangan dan keharmonisan.* Konflik adat sering muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat.* Konflik ini diyakini bisa mengganggu alam nyata dan gaib. Maka penyelesaiannya juga lewat jalan nyata dan gaib.* Cara yang paling murah menyelesaikan konflik adat yakni menyelesaikan sendiri konflik tersebut dengan sistem kekeluargaan.

Ada sementara orang berpendapat bahwa belakangan ini semakin banyak muncul konflik adat dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Pendapat itu mungkin ada benarnya, tetapi penulis memiliki pendapat yang agak berbeda. Kasus yang banyak muncul belakangan ini bukan hanya konflik adat, tetapi juga berbagai konflik lainnya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari kemajuan zaman dan semakin kompleksnya kehidupan manusia diera globalisasi.

Konflik adat terkesan semakin banyak, karena komunitas adat dianggap sebagai simbol / lambang keseimbangan dan keharmonisan. Komunitas adat seolah-olah menjadi satu-satunya tumpuan harapan untuk menikmati

Page 13: peranan lembaga adat

kedamaian dan bukan komunitas yang lainnya. Oleh karena itu, ketika terbetik berita mengenai konflik yang melibatkan baik komunitas masyarakat maupun komunitas adat, orang terperangah seperti kehilangan harapan. Sementara berbagai konflik yang muncul pada komunitas lainnya, dianggap biasa dan tidak perlu dihiraukan.

Konflik adat yang dimaksud dalam hal ini adalah konflik yang muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat dan norma agama. Kejadian ini menyebabkan keseimbangan dalam suatu komunitas adat terganggu. Konflik adat sering muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat oleh komunitas tertentu dan norma agama, sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan alam nyata (sekala) dan alam gaib (niskala) di beberapa wilayah di Tanah Air.

Oleh karena konflik adat  diyakini dapat menimbulkan gangguan keseimbangan sekala dan niskala, maka untuk menyelesaikannya juga diperlukan upaya sekala dan niskala. Artiya, persoalan sekala diselesaikan sesuai dengan tata cara dan tatakrama kehidupan di alam sekala. Persoalan yang diyakini bernuansa niskala, diselesaikan dengan upaya tertentu yang mengandung makna penyelesaian secara niskala. Kalau pelaku pelanggaran harus dikenakan sanksi adat, maka wujudnya juga mencerminkan kedua hal tersebut. Dahulu Di Tanah bugis dikenal adanya "perjajnjian atau Ulu Ada". Konsekwensinya adalah barang siapa yang melanggar perjanjian tersebut, maka yang bersangkutan dikenai sanksi Sosial. Antara lain orang tersebut dianggap tidak memiliki kepala. Sebagian di Indonesia  (seperti, denda uang) dan (seperti, wajib kerja), serta dapat pula diselesaikan (seperti, pelaksanaan upacara tertentu) mengandung makna penyelesaian secara ritual. Bagaimana peranan Lembaga Adat Bone ? Maaf agak melenceng (red)

Nah, Sekarang Pertanyaannya, Siapa yang dapat menyelesaikan Konflik Adat atau Komunitas ?

Sebenarnya, ada beberapa jalan sesuai hukum untuk menyelesaikan konflik adat. Menyelesaikan sendiri, minta pihak ketiga sebagai penengah, dan serahkan kepada pihak berwenang (Penegak Hukum / Pabbicara). Masing-masing cara penyelesian tersebut mempunyai konsekuensi yang berbeda. Cara paling murah untuk menyelesaikan konflik adat atau komunitas adalah

Page 14: peranan lembaga adat

dengan menyelesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut (dengan cara Tudang Sipulung yang dilanjutkan dengan Tudang Pangngadereng). Cara ini dikatakan murah karena memang tidak membutuhkan biaya dan waktu yang terlalu banyak. Syaratnya, masing-masing pihak yang terlibat konflik benar-benar memahami hakikat objek yang menjadi sumber pemicu konflik dan masing-masing pihak juga benar-benar bermaksud menciptakan kedamaian bersama. Masalahnya, sering kali pihak yang terlibat konflik adat, kurang mengerti hakikat objeknya, sehingga yang muncul sebenarnya adalah pertarungan harga diri atau gengsi. Kalau masing-masing kemudian bertahan pada gengsi dan ketidatahuannya, maka konflik adat murah menjadi tidak mudah diselesaikan.

Apabila cara pertama berakhir buntu disebabkan karena masing-masing pihak bertahan pada gengsi dan ketidaktahuannya, dapat dipilih cara kedua. Minta tolong kepada pihak ketiga (pemerintah atau lembaga lain), yang dipercaya oleh kedua belah pihak untuk mencari jalan keluar dari lingkaran konflik adat. Pihak ketiga yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman sebagai penengah menyelesaikan konflik, akan mengambil beberapa langkah awal sebelum memberikan beberapa alternatif penyelesaian. Pertama-tama akan dijelaskan beberapa termimologi yang berkaitan dengan penyebab munculnya konflik adat tersebut. Sesudah para pihak memiliki persepsi yang sama mengenai beberapa istilah yang terkait erat dengan objek konflik, barulah diberikan beberapa pilihan untuk menyelesaikannya. Pada akhirnya yang menentukan pilihan adalah pihak-pihak yang terlibat konflik.

Cara ini memang lebih mudah dari cara pertama, tetapi tidak murah. Perlu disiapkan sejumlah dana untuk pihak ketiga yang membantu penyelesaian konflik adat yang dimaksud, terlepas dari kenyataan apakah yang bersangkutan berhasil menyelesaikan konflik adat tersebut atau tidak. Cara paling murah dan relatif mudah untuk menyelesaikan konflik adat adalah dengan menyerahkan konflik tersebut kepada pihak yang berwenang. Yang dimaksud pihak berwenang dalam hal ini adalah pemerintah kabupaten  atau pemerintah Propinsi, jajaran penegak hukum maupun organisasi lainnya yang memiliki kewenangan di bidang adat  (Lembaga Adat) dan Tokoh agama. Kalau sebuah konflik adat benar-benar dipercayakan kepada pihak berwenang untuk menyelesaikannya, biasanya pihak yang

Page 15: peranan lembaga adat

berwenang akan berkoordinasi dalam menyelesaikan konflik adat.

Dengan demikian segala biaya yang diperlukan untuk melasakan tugas ini, menjadi tanggung jawab pihak berwenang. Demikian pula halnya kalau pihak berwenang merasa perlu memanggil pihak tertentu (yang dianggap ahli) untuk memberikan penjelasan atas istilah, ungkapan, atau makna yang tersembunyi di balik simbol-simbol tertentu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu juga menjadi tanggung jawab pihak berwenang. Itu sebabnya penyelesaian dengan cara ini dikatakan murah.

Pihak-pihak yang terlibat konflik adat juga tidak perlu pusing memikirkan alternatif penyelesaian. Tugas utama yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik adat adalah menyerahkan fakta, data dan daftar keinginan. Sesudah itu, selesai. Pihak yang berwenanglah selanjutnya akan memikirkan penyelesaian terbaik bagi konflik adat yang dimaksud. Penyelesaiannya tentu disesuaikan dengan fakta, data, dan mengakomodir sebanyak mungkin keinginan masing-masing pihak yang terlibat. Sesudah konflik adat diselesaikan dan keputusan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, tidak ada hak bagi pihak yang terlibat dalam konflik adat tersebut, untuk mendiskusikan kembali putusan yang telah diambil. Tugas masing-masing pihak hanya satu, melaksanakan keputusan pihak berwenang secara tulus ihlas dengan penuh tanggung jawab. Itu sebabnya kenapa penyelesaian dengan cara ini dikatakan mudah.

Problematikanya, pihak-pihak yang terlibat konflik adat atau komunitas, pada umumnya tidak memiliki sikap yang tegas, mengenai cara mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi. Menyelesaikan sendiri, menggunakan pihak ketiga sebagai penengah atau menyerahkan kepada pihak yang berwenang. Lebih dari itu, mereka juga tidak siap menerima konsekuensi yang menyertai masing-masing cara penyelesian konflik tersebut. Dengan kata lain, sikap mereka sebenarnya ingin menang sendiri. Kalau demikian adanya, maka konflik adat menjadi tidak murah dan tidak mudah diselesaikan, lembaga manapun yang diminta untuk menyelesaikannya.Dimasa pemerintahan raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge. Apabila rakyatnya mengalami atau terjadi perselisihan di antara mereka, maka difungsikan

Page 16: peranan lembaga adat

semacam lembaga Adat yang bersifat netral untuk memediasi antar kelompok masyarakat yang berselisih. (Berambung)(Teluk Bone)

Mengenal Adat dan Hukum AdatDitulis Oleh gita   Friday, 29 June 2012

Apakah itu Adat ?            Adat ialah pencerminan kepribadian suatu bangsa yang merupakan penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu tiap bangsa di dunia memiliki adat yang berlainan antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Adat merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas bangsa yang bersangkutan.            Kehidupan modern ternyata tidak mampu menghilangkan adat-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Adat mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman. Adat takkan pernah mati melainkan selalu berkembang senantiasa bergerak serta berdasarkan keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikuti proses perkembangan peradaban bangsanya. Hal inilah yang menyebabkan adat tetap tegar dan menjadi kekal. Adat istiadat yang hidup serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat merupakan sumber lahirnya hukum adat.

Apakah Hukum Adat itu ?

            Hukum adat memiliki pengertian sebagai berikut :1.  Hukum adat ialah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-

peraturan legislative yang meliputi norma-norma hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi tetap ditaati dan didukung oleh masyarakat berdasarkan atas keyakinan bahwa norma-norma tersebut mempunyai kekuatan hukum. Hukum adat merupakan sinonim dari hukum yang tidak tertulis didalam peraturan legislatif. (Prof.Dr.Supomo,S.H.)

2.  Hukum adat merupakan kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan yang mempunyai sanksi dan akibat hukum. (Dr.Sukanto)

Page 17: peranan lembaga adat

3.  Hukum adat merupakan peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh pemerintah/penguasa namun tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum. (Mr.J.H.P.Bellefroid)

4.  Hukum adat merupakan hokum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan (Prof.M.M.Djojodigoeno,S.H.).

5.  Hukum adat ialah hokum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu. (Prof.Mr.C.Van Vollenhoven).

6.  Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya telah mendapat pengakuan dalam masyarakat itu.

Merujuk dari pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum adat merupakan suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat yang sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati, dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai sanksi atau akibat hukum.

Bagaimana Pandangan Sarjana Hukum Asing Terhadap Hukum Adat ?

                Oleh karena itu, karena hukum adat pada umumnya tidak tertulis apabila dilihat dari mata seorang ahli hukum yang memegang teguh Kitab Undang-Undang atau seorang sarjana hukum yang berkacamata dengan Kitab Undang-Undang, akan menganggap hukum adat itu sesuatu hukum yang tidak teratur, tidak sempurna, dan tidak tegas ?.            Bagi sorang ahli hukum Asing yang baru mempelajari hukum adat, pada umumnya tidak dapat mengerti. Oleh karena itu ada yang pernah mengatakan, bahwa hukum adat itu seolah-olah hanyalah peraturan-peraturan ajaib yang sebagian besar bersimpang-siur ?.            Akan tetapi, apabila para ahli hukum Asing yang dimaksud di atas bersedia mempelajari hukum adat kita secara sungguh-sungguh serta menjelajahi dan meneliti hukum adat kita itu tidak hanya dengan rasio saja, melainkan juga dengan penuh perasaan, maka mereka akan melihat suatu sumber yang mengagumkan, yaitu adat-istiadat dahulu dan sekarang, adat-istiadat yang hidup berkembang serta berirama. Mereka akan melihat kebiasaan-kebiasaan dan adat-istiadat yang hidup dan berhubungan dengan tradisi rakayat sebagai sumber hukum adat yang luar biasa.            Memang agak ironi pernyataan di atas. Bukankah KUHAP sekarang ini merupakan hasil adopsi hukum adat Indonesia ? yang dibawa pergi imprealis Belanda ? kemudian mereka menjadikannya  sebagai hukum tertulis di negerinya ? lalu dikembalikan lagi sebagai hukum tertulis di negeri

Page 18: peranan lembaga adat

jajahannya seperti Indonesia ? Tidaklah  heran bilamana pasal-pasal yang ada di KUHAP pada umumnya seirama dengan hukum adat yang masih berlaku di Indonesia hingga saat ini. Karena hukum-hukum yang tertulis itu memang dari negeri kita sendiri.

(Teluk Bone)

http://www.telukbone.org/index.php?option=com_content&task=view&id=4280&Itemid=792

Pengembangan Adat dan Budaya Sulawesi Tengah Melibatkan Seluruh Komponen Masyarakat

 Fri, 03/04/2011 - 09:58 |   yeni

Keanekaragaman adat istiadat dan budaya di Sulawesi Tengah perlu dikembangkan dan dilestarikan sehingga dinikmati generasi yang akan datang.

“Upaya pengembangan budaya Sulawesi Tengah tidak hanya dilakukan bagi masyarakat Kaili saja tetapi seluruh komponen masyarakat dari berbagai suku ikut melestarikan budaya tersebut” kata Ketua Harian Dewan Kesenian Provinsi Sulawesi Tengah, Arifin Sunusi, SH.  Hal itu sangat memungkinkan karena budaya dan adat istiadat yang menjadi obyek wisata akan memiliki nilai ekonomi tersendiri bagi suatu daerah atau masyarakat sekitarnya.  Dikatakan untuk program penguatan lembaga adat seperti program pelestarian dan pembinaan serta pengembangannya memerlukan dukungan dana sehingga lembaga adat dapat bekerja untuk mempertahankan serta melestarikan adat dan budaya, sebab minimnya finansial berupa dana, selama ini menjadi permasalahan tersendiri dalam mendukung pengembangan melalui pembinaan dan pelestarian adap dan budaya.

“Walaupun disadari APBD Provinsi Sulawesi Tengah memiliki keterbasan, namun dia tetap berharap pemerintah provinsi mempunyai kebijakan lain untuk pembinaan dan pengembangan adat dan budaya yang memiliki nilai dan daya tarik tersendiri di bidang kepariwisataan” ungkap Arifin Sunusi. (F.09)

http://www.rripalu.com/?q=content/pengembangan-adat-dan-budaya-sulawesi-tengah-melibatkan-seluruh-komponen-masyarakat