fungsi lembaga adat dayak sebagai ruang publik (studi...

22
50 Bab V Fungsi Lembaga-Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik dan Proses Pelaksanaan Ruang Publik Pada Musyawarah Penolakan FPI di Kalimantan Tengah Pada bab ini akan menjawab pertanyaan penelitian , yaitu “Bagaimana gambaran fungsi Lembaga Adat Dayak sebagai ruang publik, terkait dengan penolakan FPI di Kalimantan Tengah?” dan “bagaimana proses pelaksanaan ruang publik bersama masyarakat Dayak yang diselenggarakan oleh Lembaga Adata Dayak terkait dengan peonalakan FPI?”. Jawaban dari pertanyaan penelitian di atas akan dijelaskan dalam bentuk deskriptif analitis, berdasarkan teori yang telah disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang publik 5.1.1 Bentuk Musyawarah Masyarakat Dayak Tradisional Salah satu perwujudan ruang publik secara praksis terutama dalam masyarakat yang menganut paham demokratis adalah musyawarah. Pada masyarakat Indonesia musyawarah merupakan hal umum, termasuk untuk masyarakat Dayak sendiri. Lebih dari itu, musyawarah dengan iklim demokratis telah dilakukan masyarakat Dayak sebelum mengenal demokrasi modern yang saat ini berkembang. Musyawarah ini dilakukan dalam menghadapi berbagi permasalahan bersama muncul. Melihat kembali musyawarah tradisional yang berlaku pada silam dengan yang berlaku saat ini, maka akan terdapat perbedaan. Musyawarah tradisional memiliki bentuk :

Upload: doantu

Post on 18-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

50 

 

Bab V Fungsi Lembaga-Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik

dan Proses Pelaksanaan Ruang Publik Pada Musyawarah

Penolakan FPI di Kalimantan Tengah

Pada bab ini akan menjawab pertanyaan penelitian , yaitu “Bagaimana

gambaran fungsi Lembaga Adat Dayak sebagai ruang publik, terkait dengan

penolakan FPI di Kalimantan Tengah?” dan “bagaimana proses pelaksanaan ruang

publik bersama masyarakat Dayak yang diselenggarakan oleh Lembaga Adata

Dayak terkait dengan peonalakan FPI?”. Jawaban dari pertanyaan penelitian di

atas akan dijelaskan dalam bentuk deskriptif analitis, berdasarkan teori yang telah

disampaikan pada Bab II.

5.1 Lembaga adat sebagai ruang publik

5.1.1 Bentuk Musyawarah Masyarakat Dayak Tradisional

Salah satu perwujudan ruang publik secara praksis terutama dalam masyarakat

yang menganut paham demokratis adalah musyawarah. Pada masyarakat

Indonesia musyawarah merupakan hal umum, termasuk untuk masyarakat Dayak

sendiri. Lebih dari itu, musyawarah dengan iklim demokratis telah dilakukan

masyarakat Dayak sebelum mengenal demokrasi modern yang saat ini

berkembang. Musyawarah ini dilakukan dalam menghadapi berbagi permasalahan

bersama muncul. Melihat kembali musyawarah tradisional yang berlaku pada

silam dengan yang berlaku saat ini, maka akan terdapat perbedaan. Musyawarah

tradisional memiliki bentuk :

Page 2: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

51 

 

                                                           

1. Tiap orang yang dianggap sudah dewasa, layak untuk ikut dalam musyawarah,

tanpa memandang status sosial, ekonomi, dan jenjang umur (asal sudah dalam

cakupan dewasa)

2. Tiap orang boleh bersuara dan memberikan pendapat, dijamin kebebasanya tanpa

takut dikekang oleh pihak lain.

3. Tiap orang harus mengutarakan suara dan pendapatnya dengan jelas dan baik,

tanpa harus terpatok pada masalah waktu1.

4. Pemimpin musyawarah harus dari tetua yang ada di masyarakat, yang dianggap

sudah memiliki pengalaman dan kebijaksanaan yang cukup untuk memimpin dan

mengarahkan jalannya musyawarah. Pemimpin musyawarah dapat berasal dari

luar tetua adat, asala memenuhi kriteria umum yang mutlak dipakai dalam

penilaian masyarakat (keunggulan dalam pengetahuan, kecerdasan, dan

pemahaman yang dalam yang dapat diwujudkan dalam tindakan terkait masalah

kebijaksanaan, keadilan, dan kepedulian).

5. Keputusan yang diambil dalam musyawarah tidak mengenal sistem voting. Ketika

ada pertentangan pendapat dan perdebatan, maka akan dicari jalan tengah dan

solusi yang tepat2.

6. Keputusan harus selalu mengarah pada kebaikan bersama (iluksioner)

7. Tiap orang dalam musyawarah harus mendengar dan mengamati dengan baik

setiap orang yang memberikan suara dan pendapat, sehingga dapat memberikan

penilaian dan keputusan dengan baik

 1  Wawancara  dengan  K.M.A  Usop,  Presidium  Lembaga  Musyawarah  Masyarakat  Dayak  – Kalimantan Tengah  (LMMD‐KT), mantan Rektor Universitas Palangka Raya, periode 1981‐1988. “amun bihin, uluh  lagi pander timbu netekmu, mbo sangit  ih  iye..hindai  lepah aku pander tuh!! Benyem helu!!” (kalau dulu, ketika orang sedang berbicara, tiba‐tiba kamu potong, dia pasti akan marah...belum  selesai  saya  bicara!!diam  dulu!!‐meperagakan/mencontohkan)  beliau  juga menuturkan bahwa memotong  ketika  orang  sedang berbicara,  terutama  di  dalam  forum  atau musyawarah, dianggap tidak beradat dan tidak menghargai keberadaan orang lain. 2  Apabila kesimpulan yang sudah ditarik oleh orang yang memimpin musyawarah, dan ada orang atau  pihak  yang  tidak  bersetuju, maka  kesimpulan  itu  dapat  diujikan  kembali,  dan  berusaha dicarikan solusi yang baru dan dapat diterima oleh semua peserta musyawarah. Baik orang yang mempertanyakan kesimpulan ataupun yang mepertahankan/mencetuskan  ide atau kesimpulan, harus  mengemukakan  kembali  argumen  mereka  dengan  rasional  sehingga  dapat  dilihat  dan dipahami dengan baik oleh peserta musyawarah yang lain. 

Page 3: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

52 

 

                                                           

Pada model musyawarah tradisional tersebut, setiap pendapat harus

diperhatikan dan hargai. Semua bentuk pengekangan dan “tindakan strategis”

sangatlah tidak diperkenankan. Hal ini di karenakan dalam masyarakat Dayak

pada masa itu memeluk agama kaharingan, kepentingan pribadi yang berlebihan

dan tindakan mementingkan diri sendiri,hanya akan membawa “tulah” atau

petaka. Petaka yang datang dipercaya tidak hanya akan datang pada pelaku saja,

tetapi juga akan di alami oleh seluruh masyarakat (kampung). Kepercayaan

tersebut akhirnya diwujudkan dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat

Dayak, dengan bentuk yang sudah dipaparkan di atas.

Melihat bentuk musyawarah masyarakat dayak tradisional silam, ternyata

iklim demokratis yang dibentuk dapat dikatakan hampir mendekati syarat dari

terbentuknya ruang publik ideal3.

“(...1) Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta

dalam diskursus. (...2) a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan tiap

pendapat. b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam

diskursus. c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-

keinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya. (...3) Tak seorang pembicarapun

boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam

(...1) dan (...2)” (Habermas, dalam Hardiman, 2009)”

Musyawarah pada masyarakat Dayak tradisional apabila dilihat dengan

konsep ruang publik, sudah lebih menyadari dan mengutamakan komunikasi

intersubjektif, dan mengutamakan kesepahaman, kesepakatan (konsensus) yang

bisa diterima semua pihak. Selain itu, dituntut pula setiap orang yang menjadi

bagian dari ruang publik pada masyarakat Dayak tradisional mengutamakan rasio

komunikatif. Di sisi lain, penutur atau orang yang mengemukakan pendapat harus

berusaha menyampaikan pendapatnya dengan baik melalui kemampuan berbicara

 3 Lih.hal. 21 

Page 4: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

53 

 

                                                           

dan menyusun kata-kata yang ucapkan dengan baik pula, yang memungkinan

kesepahaman bagi semua orang yang menjadi peserta ruang publik.

Nilai penting lain yang menonjol dan dijunjung tinggi masyarakat Dayak,

terutama dalam musyawarah adalah kesetaraan. Pada saat proses pelaksanaan

musyawarah, semua peserta musyawarah memiliki derajat dan hak yang sama.

Kesetaraan ini tidak memandang status sosial ekonomi atau kedudukan yang

dimiliki peserta musyawarah. Semua memiliki derajat yang sama.

“Itah tuh maanggap arep itah tuh sama-sama. Jatunti utang, jatunti raja.

Jadi jatun gantung iye kau, iye kau puna uluh basewut, jatun kau.... jadi tuh

ela maanggap arepa are-are. Ikei tuh narai, ike tuh utus narai, are uluh je

ndukung, jia tau...awi je utama te toleransi, musyawarah.” (Kita ini

menganggap diri kita ini sama4. Tidak ada utang, tidak ada raja. Jadi tidak

ada dia ini orang “gantung”5, dia itu memang orang terkenal, tidak ada

seperti itu ... jadi jangan menganggap dirinya berlebihan kami ini adalah

apa, kami ini dari dari golongan apa, banyak orang dukung, tidak boleh ...

karena yang utama adalah toleransi, musyawarah)6

Dari kutipan wawancara di atas, maka dapat diketahui bahwa salah satu

nilai tertinggi yang diutamakan dalam pelaksanaan musyawarah pada masyarakat

Dayak adalah nilai “kesetaraan”. Oleh karena itu, sangat wajar apabila dikatakan

musyawarah tradisional masyarakat dayak sangat beriklim demokratis. Pada

demokrasi modern pun, kesetaraan adalah salah satu syarat mutlak yang harus ada

dalam pelaksanaan demokrasi, baik dalam keseteraan (persamaan) suara,

partisipasi, dan hak-hak yang termasuk dalam standar demokrasi7.

 4 Kata “sama” yang dimaksud disini oleh sumber adalah padanan kata “sederajat”, “setara” dalam konteks pelaksanaan dan proses musyawarah. 5  Kata “gantung” disini merujuk pada status seseorang, dapat berdasarkan status sosial, ekonomi, politik, ataupun pada bidang dan hal tertentu. Kata ini menunjukkan seseorang memiliki posisi atau kedudukan yang tinggi di masyarakat atau bidang tertentu. Salah satu contoh padanan status “gantung” ini dari status sosial  adalah kata “bangsawan”. 6 Wawancara dengan Sabran Achmad, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Cabang Kalimantan Tengah. 7  Lih.Hal.24‐25. 

Page 5: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

54 

 

Standar demokrasi yang dimaksud tentunya adalah standar yang dapat

menjamin tercipta dan terjaganya kesetaraan antara tiap diindividu yang ada di

dalam musyawarah sendiri. Menurut Dahl terdapat lima (5) standar demokrasi.

1. Partisipasi efektif : sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh suatu

asosiasi, seluruh anggota harus mempunya kesempatan yang sama dan

efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota

lainnya sebagaimana seharusnya kebijakan itu dibuat.

2. Persamaan suara : ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang

kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang

sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung

sama.

3. Pemahaman yang cerah : dalam batas yang rasional setiap anggota harus

mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari

kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi

yang mungkin.

4. Pengawasan agenda : setiap anggota harus mempunyai kesempatan

eksklusif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang

dibahas dalam agenda. Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh ketiga

kriteria sebelumnya tidak pernah tertutup. Berbagai kebijakan asosiasi

tersebut selalu terbuka untuk dapat diubah oleh para anggotanya, jika

mereka menginginkannya begitu.

5. Pencakupan orang dewasa : semua, atau paling tidak sebagian besar, orang

dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak

kewarganegaraan penuh yang ditunjukan oleh empat kriteria sebelumnya

(Dahl, 2001 : 52-53).

Apabila melihat dan membandingkan standar demokrasi yang

dikemukakan Dahl, dan bentuk-bentuk musyawarah yang dimiliki oleh

masyarakat Dayak tradisional, maka akanlah tampak mengapa musyawarah

masyarakat tersebut dikatakan sudah beriklim demokratis. Standar demokrasi

Page 6: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

55 

 

                                                           

yang disebutkan di atas berintikan “kesetaraan”. Pada musyawarah “kesetaraaan”

menjadi nilai yang mutlak dan diimplementasikan dalam proses pelaksanaan

musyawarah. Nilai kesetaraan dalam kondisi demokratis sendiri disebutkan oleh

Dahl, sebagai “logika persamaan”, sebagai sebuah sistem yang mengutamakan

kesertaan tiap orang yang ada di dalamnya terkait berbagai hal khususnya dalam

mengeluarkan pendapat8.

5.1.3 Fungsi DAD sebagai Media Ruang Publik

Iklim demokratis yang muncul pada masyarakat Dayak sudah berjalan

dengan cukup baik dan bahkan mengarahkan masyarakat untuk dapat

mengorganisir diri bila diperlukan. Tidak hanya pada tataran masyarakat Dayak

untuk menghadapi permasalahan yang biasa terjadi, tetapi bahkan digunakan pula

untuk mengorganisasikan diri untuk tujuan tertentu.

“hadat demokrasi tuh hung masyarakat Dayak jadi tege........kilau pakat

tuh kan bara mufakat. Sampai tege mampedeng organisasi Pakat Dayak.

Jadi mufakat bukan hanya berarti mufakat, mufakat sebagai kegiatan, tapi

jadi inyingkat ewen tuh, menjadi institusi, menjadi lembaga, organisasi

Dayak, institusi Dayak, dengan inti’a te musyawarah untuk mufakat”

(budaya demokrasi dalam masyarakat Dayak itu sudah ada.....seperti kata

“pakat” dari kata “mufakat”. Sampai pernah mendirikan organisasi “Pakat

Dayak”9. Jadi mufakat bukan hanya berarti mufakat, mufakat sebagai

kegiatan, tapi kata-kata itu sendiri disingkat, menjadi institusi, menjadi

 8 Lih.hal 24 

9  Pakat Dayak, atau dulu sering juga disebut dengan Sarekat Dayak, merupakan organisasi Dayak yang didirikan pada tahun. Organisasi ini didirikan oleh seorang tokoh masyarakat Dayak yang bernama Hausman Baboe. Pakat Dayak bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Dayak, dan bergerak di bidang pendidikan, ekonomi dan pers. Pada awalnya bernama Sarekat Dayak, dan pada tahun 1936 berubah naman menjadi Pakat Dayak. Pernah mendirikan madia cetak koran bernama “Soeara Pakat” sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme Belanda. 

Page 7: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

56 

 

                                                           

lembaga, organisasi Dayak, Institusi Dayak, yang berintikan musyawarah

untuk mufakat)10

Kondisi membentuk suatu organisasi atau asosiasi yang berintikan suasana

demokratis dalam mengambil keputusan bersama di atas, saat ini dijamin

keberadaannya dalam setiap negara demokratis. Hak berasosiasi dan berorganisasi

ini disebut dengan “otonomi asosiasional11, yang artinya, tiap warga negara

memiliki hak dalam dalam membentuk perkumpulan atau organisasi. Budaya

mengorganisasikan diri ini sudah semenjak masyarakat yang masih tradisional

(termasuk pada masa kolonialisme) bahkan dipertahankan hingga saat ini.

Kearifan lokal tradisional bermusyawarah, bahkan berorganisasi dengan

tujuan tertentu merupakan salah satu bagian dari Kebudayaan Dayak yang ingin

tetap dilestarikan oleh lembaga-lembaga adat Dayak yang ada saat ini, khususnya

DAD dan MADN. DAD bahkan mengambil dasar pemikiran terpenting dari

sejarah Dayak yang ada di seluruh Kalimantan, yaitu Musyawarah Tumbang Anoi

yang di adakan pada tahun 1894 di desa Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah.

Musyawarah besar ini diikuti seluruh suku bangsa dayak yang tersebar di smua

penjuru Kalimantan, yang bertujuan untuk mencari solusi dari permasalahan yang

dihadapi bersama pada masa itu. Beranjak dari ilham sejarah masa lalu, maka

kemudian DAD dibentuk, untuk menghadapi berbagai permasalahan yang

dihadapi masyarakat Dayak saat ini, dengan mengedepankan musyawarah dalam

iklim demokratis.

Bentuk musyawarah yang digunakan dalam DAD memang bukan bentuk

musyawarah yang sama dengan bentuk musyawarah tradisional. Tanpa melupakan

bentuk dan budaya musyawarah tradisional, DAD sudah mengadopsi pula model

musyawarah yang dikenalkan demokrasi modern. Beberapa perubahan yang

 10  Wawancara dengan K.M.A. Usop, 

11 Lih.hal.26 

Page 8: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

57 

 

sangat nampak dalam musyawarah yang diadakan apabila dibandingkan dengan

musyawarah tradisional :

1. Terdapat pembatasan waktu dalam berbicara (bersuara dan

mengungkapkan pendapat)

2. Walaupun tetap memberikan penghargaan tinggi terhadap suara dan

pendapat individu, namun sudah dimasukan “voting”sebagai cara

pengambilan keputusan, apabila dalam musyawarah tidak dapat mencapai

kesepakatan.

Perbedaan antara model musyawarah yang digunakan oleh DAD dan

model musyawarah tradisional memang dapat dijelaskan alasannya. Masyarakat

Dayak tradisional hidup di dalam rumah betang. Betang adalah rumah tradisional

masyarakat Dayak yang memiliki panjang 150-200 meter dan memiliki tinggi

hingga 2-3 meter dari permukaan tanah, dan mampu memuat lebih dari 100 kepala

keluarga untuk tinggal di dalamnya. Betang memiliki fungsi selain menjadi tempat

tinggal, berfungsi pula sebagai tempat perlindungan dari bencana alam (khususnya

Banjir), binatang buas, dan benteng dari serangan musuh. Kehidupan di dalam

rumah sangat memungkinkan para penghuninya untuk dapat berbagi berbagai

kebutuhan dalam hampir semua aspek, mulai dari ekonomi, pengetahuan,

pendidikan, keterampilan, sampai hal yang sifatnya politis. Kehidupan tradisional

sangat memungkinkan untuk menciptakan komunikasi intersubjektif dan integritas

dengan baik karena memiliki lebenswelt yang tingkat solidaritasnya tinggi.

Berbeda dengan masyarakat yang hidup dengan sistem kapitalisme dan kehidupan

yang kompleks. Pada masyarakat yang terakhir ini, tingkat solidaritas yang

dimiliki sudah mengendur (Hardiman, 2009 : 42-43)

DAD yang tetap mempertahankan dan mengedepankan musyawarah dalam

pengambilan keputusan, dapat menjadi pertahanan terakhir mempertahankan

solidaritas. Solidaritas yang mengendur pada masyarakat yang modern sudah tidak

bisa kembali lagi pada masyarakat tradisional. Solidaritas yang mengendur pada

Page 9: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

58 

 

ADN.

asi masalah.

                                                           

masyarakat modern dapat diperkuat kembali meningkatkan tindakan komunikatif

yang mengedepankan komunikasi intersubjektif (Hardiman, 2009 :42).

Musyawarah yang tetap dipertahankan DAD memungkinkan untuk tetap basis

mempertahankan solidaritas yang ada dalam masyarakat Dayak.

Mempertahankan musyawarah tidak hanya sekedar berlaku dalam DAD.

MADN yang merupakan bentukan dari MUNAS II DADK, bahkan memuatnya

dalam Anggaran Dasar (AD) MADN12, yang di sahkan pada MUNAS II DADK

tangga; 4 Spetember 2006, di Pontianak. Untuk menampung aspirasi dan pendapat

masyarakat Dayak secara baik, musyawarah yang diselenggarakan oleh DAD dan

MADN dapat berupa dua bentuk.

1. musyawarah yang dilakukan secara terprogram. Artinya musyawarah

yang diselenggarakan memang sudah terencana serta masuk dalam

program dan kegiatan yang diadakan oleh DAD dan M

2. musyawarah yang diselenggarakan karena adanya kebutuhan atau

tuntutan yang mendadak dan dianggap penting. Dari kedua bentuk

musyawarah yang diselenggarakan berdasarkan kondisi di atas, tetap

tetap melalui tematis

Musyawarah penolakan FPI yang diselenggarakan DAD adalah bentuk

musyawarah dalam bentuk yang kedua. Perihal penolakan FPI sendiri belum di

bahas di DAD dan MADN. Pembahasan yang akan di bahas, itupun pada sidang

pleno selanjutnya, adalah hasil mensikapi hasil pertemuan yang di selenggarakan

KESBANGPOLINMAS, dengan kesimpulan akhir “Masyarakat “Kalimantan

Tengah, khususnya Palangka Raya belum butuh kehadiran FPI”. Namun di tengah

sidang pleno, dimana terdapat perwakilan anggota MADN dan hampir semua

Pengurus DAD Cabang Kalimantan Tengah hadir, harus menerima menerima

kehadiran massa yang mempertanyakan info terkait kehadiran FPI13.

 12 Lih. Hal. 9 

13 Lih. Hal. 

Page 10: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

Dari kondisi di atas kemudian mendorong beberapa masalah yang

dianggap penting dan akhirnya menuntut suatu tindakan dan gerakan bersama :

1. kehadiran dan gerakan massa yang mendatangi DAD/MADN kemudian

membentuk suatu tematisasi masalah. Terdapat suatu masalah dalam

masyarakat, yang dianggap perlu dibicarakan dan bahkan dicari

solusinya. Pada kasus ini masyarakat merasa rencana kehadiran FPI di

kalimantan adalah suatu masalah, yang kemudian ada upaya klarifikasi

dan mengangkat masalah tersebut untuk dibagikan lebih lanjut oleh

masyarakat Dayak, melalui lembaga ada, dalam hal ini DAD/MADN.

2. Kondisi yang memunculkan tematisasi masalah ini kemudian mendorong

MADN melalui DAD, membuka musyawarah yang khusus untuk

membahas kehadiran FPI di Kalimantan Tengah. Menyelenggarakan

musyawarah secara mendadak ini dilakukan untuk menampung aspirasi

dan pendapat massa dari masyarakat dayak yang sudah berkumpul dan

berjumlah lebih dari seratus orang di Betang. Musyawarah ini merupakan

bentuk musyawarah kedua, yang melihat pada kondisi dan kebutuhan

yang mendesak.

Gambar 11

Proses kemunculan dan pelaksanaan Ruang publik masyarakat Dayak dalam

penolakan kehadiran FPI

Massa Masyarakat Dayak 

59 

 

Komunikasi dalam rangka Klarifikasi, penyampaian 

ide dan aspirasi

DAD/MADN

Bentuk tematisasi masalah terkait 

rencana kehadiran FPI

Pelaksanaan fungsi ruang publik oleh DAD/MADN melalui musyawarah yang 

diadakan secara mendadak

Page 11: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

60 

 

                                                           

5.2 Proses pelaksanaan Ruang Publik : Etika Diskursus di dalam

Musyawarah penolakan FPI

5.2.1 Musyawarah dalam konteks Pemenuhan Prosedur Komunikasi

Pelaksanaan ruang publik dalam penolakan FPI di Palangkaraya

dilaksanakan dalam bentuk musyawarah. Penyelenggaraan musyawarah secara

mendadak ini dilakukan oleh DAD, karena melihat jumlah massa yang datang dan

ingin menyampaikan aspirasi mereka terkait kedatangan FPI pada tanggal 11

Februari 2012. Massa yang datang berjumlah lebih dari seratus orang dan

kemudia mereka meminta DAD, membuat suatu tindakan atau kebijakan

menyikapi masalah yang mereka permasalahkan (kehadiran FPI). Keadaan massa

yang riuh dan berbicara tidak teratur akhirnya membuat para pengurus DAD yang

ada pada saat itu untuk melaksanakan musyawarah dadakan yang diadakan di

dalam Betang, sehingga dapat mendengar aspirasi dan pendapat yang ingin

disampaikan massa.

Pada saat Betang dibuka dan musyawarah dimulai, tempat tersebut

langsung di penuhi massa. Bahkan banyak dari massa sendiri tidak dapat masuk

karena terlalu penuh dan menunggu di luar.

“...akui, puna kuntep ih le. Puna are ih kalunen je dumah, kueh rami hindai

ewen. Puna ramih ih. Sana mbuka batunggang, mampalus ewen tame,

langsung kuntep ih ruang bentuk kau. Sampai hung baun kantor, kare

tangga eka mandai te uras kalunen. Jia ulih balua tame te pang metuh te”.

(....wah, penuh sekali. Banyak sekali yang datang, dan belum lagi mereka

sangat ramai/gaduh. Begitu pintu dibuka dan mempersilahkan mereka

masuk, ruang tengah langsung penuh. Sampai di depan kantor, di tangga

tempat naik semuanya orang. Benar-benar tidak bisa keluar masuk saat

itu.)14

 14 Kutipan wawancara dengan “D”, salah seorang staff DAD Cabang Palangka Raya. 

Page 12: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

61 

 

                                                           

Membuka Betang dan melaksanakan Musyawarah dadakan ternyata cukup

membuat keadaan terkendali. Di tengah keramaian massa yang mengikuti

musyawarah, terdapat fenomena menarik yang perlu diperhatikan.

“tapa are je tame huang te awang bakas pang. Tege kea je agak tabela,

tapi hung “uluh itah” te jadi kasenan. Are uluh jadi kasenan. Amun je

huang luar te tapa are bubuhan tabela tuntang je jia lalau kasenan uluh

are. Tapa are ewen je umba-umba amun tege acara.....”. (kebanyakan yang

masuk itu orang-orang tuan. Ada yang agak muda, tetapi di kalangan

“orang kita”15 sudah dikenal. Banyak orang yang sudah kenal. Kalau yang

diluar itu kebanyakan anak-anak muda dan tidak terlalu terkenal.

Kebanyakan adalah mereka yang ikut-ikutan kalau ada acara....)16

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak bahwa pada saat pelaksanaan

musyawarah ada beberapa hal yang dapat diperhatikan. Tidak semua orang dapat

mengikuti musyawarah yang merupakan perwujudan dari ruang publik. Keadaan

ini disebabkan karena

a) ruang yang tersedia tidak dapat memuat massa yang datang,

b) keadaan pada point (a) mengakibatkan tidak semua orang tidak dapat

mengungkapkan pendapat, aspirasi, atau berargumen,

c) bagian dari massa yang datang dan masuk Betang mengikuti musyawarah

secara langsung adalah orang-orang tertentu yang kebanyakan orang yang

sudah berumur (tua) dan orang yang sudah dikenal luas oleh masyarakat

Dayak, khususnya di Palangka Raya dan Kalimantan Tengah.

Keadaan ini akan tampak sangat wajar apabila dilihat dari kebiasaan yang

bermusyawarah. Namun ketika keadaan ini dilihat dan dianalisa dari sisi ruang

publik, khususnya dari prosedur komunikasi, keadaan ini tentunya akan menjadi

masalah.

 

15  “uluh  itah”  atau  “orang  kita”adalah  sebutan  untuk  orang  sesama  suku  Dayak.  Berasal  dari bahasa dayak sub etnis Ngaju. 16 Kutipan wawancara dengan “D”. 

Page 13: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

62 

 

                                                           

“(...1) Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta

dalam diskursus....”17

Pada bagian prosedur komunikasi jelas bahwa semua orang yang memiliki

kemampuan berbicara atau lebih tepatnya berargumen serta bertindak, dapat

mengikut proses diskurus. Kemampuan berbicara yang dimaksud tidak terbatas

pada peserta diskursus yang memiliki kemampuan kognitif dan wicara yang tinggi,

tetapi lebih pada apakah peserta dari diskursus dapat menyampaikan argumennya

dengan baik dan dapat dipahami oleh peserta diskurus lainnya. Pada keadaan di

Betang pada saat musyawarah, tampak jelas bahwa tidak semua massa dan orang

yang datang dapat mengikuti dalam pelaksanaan musyawarah. Setiap orang

memiliki kesempatan dan hak untuk berbicara dan berargumen. Memang ada

kendala dalam hal penyediaan ruang fisik dalam musyawarah. Namun ketika

menilik bahwa setiap orang, terutama yang memiliki kebutuhan untuk

mengemukakan argumen, hambatan-hambatan (seperti hambatan ruangan) perlu

dipertimbangkan dan dicarikan solusinya, sehingga dapat menciptakan ruang

publik yang terbuka untuk semua orang yang ada di tempat itu.

Kondisi yang sangat ramai di dalam Betang tidak menghalangi berjalannya

musyawarah. Musyawarah diawali dengan kata-kata pembuka dari pengurus

DAD, dan juga membenarkan info bahwa FPI akan melaksanakan Peresmian FPI

Cabang Kalimantan Tengah dan Pelantikan Pengurus Cabang. Setelah kata-kata

pembuka selesai disampaikan, maka pengurus DAD mempersilahkan pada para

peserta musyawarah yang ada di dalam Betang satu persatu berbicara. Secara

menyeluruh, para peserta yang memperoleh kesempatan berbicara

mengungkapkan argumennya dengan berbagai macam cara dan ekspresi.

“rami ih ampi metuh te. Tege je santai bapander, tapi kata-kata ayu te

handalem. Tege je sambila hureh. Sampai je kombak-kalaluk, sambil

“manukiu”, kare hapantun narai, macam-macam ih.” (pokoknya ramai

 17 Lih. Hal. 20 

Page 14: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

63 

 

                                                           

waktu itu. Ada yang berbicara dengan santai. Ada yang diselingi bercanda.

Sampai yang sambil berteriak-teriak, sambil “manukiu”18, berpantun juga,

pokoknya macam-macam)19

Paparan di atas menggambarkan bahwa pada saat musyawarah, para

peserta menggunakan berbagai macam cara dan ekspresi dalam menyampaikan

argumen. Dari hasil penelusuran, dari sekian banyak argumen, ternyata memuat isi

pikiran yang sama. Semua peserta yang menyampaikan argumen menolak

kehadiran FPI di Kalimantan Tengah, khususnya Palangka Raya. Berdasarkan

hasil wawancara dengan “Y” salah satu pengurus DAD, yang memegang peranan

cukup penting di kepengurusan, bahwa sama sekali tidak ada peserta dari

musyawarah yang tidak setuju terhadap pernyataan menolak kehadiran FPI di

Kalimantan Tengah.

“..urah rami manjuju arepa pander ih. Kueh rami uluh intu huang tuh.

Uras madu pander kasingi tuntang karahasnewen dengan FPI kau...jatun

pang ewen te je menolak atau je beken-beken ampi pikira, je katawangku

male te uras pander menolak FPI kau dumah.” (kebanyakan ingin

berbicara. Belum lagi kondisi di dalam ramai. Semua ingin menyampaikan

rasa emosi mereka terhadap FPI.....memang kemarin tidak yang menolak

atau pemikirannya berbeda, yang saya tau kemarin yang berbicara,

menyatakan menolak kedatangan FPI)20

Pada proses pelaksanaan musyawarah tidak ada yang menolak pernyataan

dan argumen yang menyatakan menolak kehadiran FPI21. Meskipun menggunakan

 18  Teriakan  khas masyarakat dayak di Kalimantan  Tengah,  khususnya  sub  etnis Ngaju. Pekikan yang di awali dengan teriakan “lo...lololololololoooooo” dan dibalas oleh orang lain di tempat itu dengan  teriakan  “kkkiiiuuuu”. Biasanya digunakan pada  saat moment‐moment penting  seperti upacara adat. 

19 Wawancara dengan “M”, salah seorang staf sekretaris DAD. 20  Wawancara dengan “J”, seorang mahasiswa yang ikut dalam musyawarah 21  Penolakan yang terwujud dalam bentuk pernyataan sikap ini berujung pada penolakan yang cenderung dilakukan sepihak dan tanpa mendengarkan pendapat dan argumen dari pihak FPI. Surat pernyataan sikap dari DAD ini kemudian mendorong ormasi‐ormas yang ada di Kalimantan Tengah, khususnya palangkaraya turut membuat pernyataan sikap bersama untuk menolak kehadiran FPI. (sumber belum dimasukan) 

Page 15: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

64 

 

                                                           

berbagai macam kata, cara, dan ekspresi, inti dari argumen yang mereka

sampaikan adalah sama. Pada pelaksanaan ruang publik setiap orang memiliki hak

untuk mengemukakan argumen dengan bebas22.

(...2) a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan tiap pendapat. b. Setiap

peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam diskursus. c. Setiap

peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keinginan, dan

kebutuhan-kebutuhannya23.

Pada saat menyampaikan argumenpun, para peserta musyawarah para

peserta tidak dihalang-halangi, atau dihambat. Terbukti bahwa pada paparan di

atas peserta memaparkan argumen, dengan berbagai cara (termasuk berteriak,

dengan canda dan berpantun).

(...3) Tak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-

haknya yang tercantum dalam (...1) dan (...2)”24

Hal menarik lain yang dapat ditarik dari paparan di atas terdapat adalah

terdapat kesamaan inti argumen. Kesemuanya berargumen dalam berbagai bentuk,

namun mendukung penolakan kehadiran FPI. Keadaan tersebut apabila ditinjau

dari sudut ruang publik, terutama diskursus praktis, maka ada terdapat

permasalahan yang penting diperhatikan dalam penyelenggaraan ruang publik.

“...pengujian pada ketepatan klaim-klaim kesahihan yang terkait dengan

norma-norma atau pengaturan tindakan intersubjektif. Dalam diskursus

praktis sangat diutamakan bagaimana membahas dan menyelesaikan

berbagai problematisasi yang terkait dengan tindakan, aturan, pengambilan

sikap, dan semua hal yang terkait interaksi, baik secara individu maupun

bersama bagi para partisipan.”

 22 Lih.hal.48, bentu musyawarah masyarakat Dayak tradisional, butir 2. 23  Lih.hal. 8 24 Lih.hal. 8‐9 

Page 16: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

65 

 

                                                           

Pelaksanaan musyawarah memang memberikan keleluasaan yang

memenuhi prosedur komunikasi dimana musyawarah, a) memberikan kesempatan

semua peserta musyawarah untuk berbicara (walaupun tidak semua massa yang

datang dapat ikut secara langsung), b) memberikan keleluasaan untuk

menyampaikan aspirasi bagi para peserta terkait dengan permasalahan problematis

yang diangkat. Lebih dari itu, diberikan pula kebebasan dan keleluasaan dalam

segi cara penyampaian dan bentuk argumennya.. Ditinjau dari sisi demokratis,

keadaan yang dipaparkan di atas sudah ememnuhi standar demokrasi, terutama

terkait dengan kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat. Pada standar

demokrasi yang dikemukakan, dikatakan bahwa tiap orang memiliki kesempatan

yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh orang

lain dalam konteks mengambil keputusan bersama atau kolektif25. Terpenuhinya

prosedur komunikasi memang memenuhi prinsip demokrasi dan kekebasan

mengemukakan pendapat tetapi akan berbeda apabila ditinjau dari konteks

diskursus praktis, khususnya terkait esensi dari diskursus praktis sendiri.

5.2.2 Tidak Tercapainya Esensi dari Diskursus Dalam Musyawarah

Pada ruang publik pelaksanaan dan ketaatan pada prosedur komunikasi

mutlak harus berjalan. Lebih dari itu, dalam ruang publik, perlu adanya

pemeriksaan dan pengujian-pengujian terhadap klaim-klaim kesahihan yang

muncul. Proses diskursus di dalam ruang publik merupakan suatu media untuk

mengajak pesertanya melihat berbagai masalah yang umumnya diterima secara

naif di masyarakat, menjadi masalah problematis, dimana solusi hanya bisa

didapatkan dan diterima melalui komunikasi intersubjektif yang sifatnya reflektif.

Proses musyawarah penolakan FPI yang dilaksanakan oleh DAD, tampak

telah memenuhi memenuhi prosedur komunikasi diskursus dalam pelaksanaan

 25 Lih.hal 25, 52. 

Page 17: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

66 

 

                                                           

ruang publik26. Pada sisi lain musyawarah tersebut malah tidak memenuhi pada

konteks pengujian-pengujian klaim kesahihan. Berbagai argumen yang muncul

mengarah pada satu hal yang sama, yaitu penolakan FPI hadir di Kalimantan

Tengah, khususnya Palangka Raya. Tidak ada peserta yang menggunakan hak

berbicaranya untuk mempertanyakan atau menguji klaim-klaim kesahihan dalam

bentuk argumen yang muncul dalam musyawarah. Berbagai argumen yang muncul

bersifat afirmatif (menguatkan atau mengesahkan) terhadap pernyataan penolakan

FPI.

Pada keadaan di atas, habermas berargumen keadaan di atas dapat terjadi

dalam kondisi masyarakat yang memiliki sosiokultural yang sama. Namun

keadaan yang dimaksud adalah masyarakat tradisional yang belum kompleks.

Masyarakat dayak, khsususnya yang berada di Palangka Raya merupakan

masyarakat yang sudah hidup dalam kompleksitas. Tentunya fenomena ini

menjadi menarik, dimana masyarakat yang sudah memiliki kompleksitas, namun

melaksanakan ruang publik sebagai suatu bentuk afirmasi akan pernyataan atau

tindakan tertentu.

Pada paparan bagian awal bab ini dijelaskan bahwa pada masyarakat

Dayak tradisional, sudah terdapat iklim demokrasi dalam musyawarah. Pada

proses musyawarah ini terdapat nilai- nilai yang ditonjolkan yaitu, kebebasan

berbicara dan berpendapat, serta kesetaraan. Keadaan yang demikian sangat

memungkinkan terjadinya perdebatan dan diskursus yang dapat digunakan dalam

menguji klaim-klaim kesahihan yang muncul dalam musyawarah.

“Perdebatan tege. Jia je memungkinkan, pasti tege perdebatan.puna tege

perdebatan. Malah sampai wayah tuh kan mamumpung uluh Dayak te

paheka ih ikau marumusa. Mun rapat-rapat te, madu hapander urasa, heka

ikau marumusa” (Perdebatan ada. Bukannya saja memungkinkan, pasti tege

 26 Kecuali terkait prosedur komunikasi point (a) terkait hak parisipasi dan keterlibatan dalam ruang publik. Hal ini dikarenakan adanya kendala ruangan yang tidak mampu menampung keseluruhan massa pada proses pelaksanaan musyawarah. 

Page 18: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

67 

 

                                                           

perdebatan. Malahan sampai sekarang apabila mengumpulkan orang

Dayak, akan lebih melelahkan pada meurumuskan apa yang dibicarakan.

Apabila ada rapat-rapat itu, semuanya mau berbicara27, pasti kamu capek

merumuskannya”28

Paparan wawancara di atas menunjukan bahwa dalam musyawarah

masyarakat Dayak sudah terbiasa dengan perdebatan, terutama untuk memutuskan

kesepakatan bersama. Bahkan perdebatan dan adu argumen seringkali menjadi

rumit dan sulit dirumuskan. Tetapi itu semua merupakan suatu proses diskursus

yang tetap memiliki solusi yang kemudian dapat disepakati bersama.

Keadaan musyawarah yang dipenuhi dengan potensi diskursus dan

pengujian klaim-klaim kesahihan pada masyarakat Dayak tradisional, tampak

tidak berlaku sama dengan musyawarah masyarakat Dayak yang membahas

tentang penolakan FPI. Pada musyawarah penolakan FPI, tidak layaknya

msuyawarah yang umum terjadi dalam masyarakat Dayak tradisional, diskursus

dan pengujian klaim pada musyawarah penolakan FPI tidak berjalan dan

menampung argumen yang sifatnya afirmatif pada pernyataan menolak FPI.

Keadaan ini menunjukan pada proses pelaksanaan ruang publik yang tidak

sempurna dan lebih pada ruang publik sebagai formalitas untuk memberikan

legitimasi untuk melakukan penolakan terhadap kehadiran FPI.

Pelaksanaan musyawarah yang mengedepankan kesetaraan dan

menggunakan “logika persamaan” dimana tiap orang berhak mengemukakan

pendapat dan gagasan, pada msuyawarah penolakan FPI belum menjadi

terciptanya ruang publik yang berjalan dengan baik. Berjalannya kebebasan

berpendapat yang berdasarkan pada logika persamaan pada musyawarah tersebut

tidak memunculkan suatu bentuk diskursus, dimana di dalamnya terjadi belum

terdapat suatu pengujian terhadap klaim-klaim kesahihan yang muncul. Keadaan

inilah yang menggambarkan ketidaktercapaian esensi dari diskursus praktis di

dalam ruang publik sekalipun berada pada kondisi msuyawarah yang demokratis

 27  Berbicara yang dimaksud, adalah berargumen, berpendapat, bertanya, memberikan koreksi, dan terkait dengan semua perihal perdebatan. 28  Wawancara dengan K.M.A. Usop 

Page 19: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

68 

 

                                                           

Keputusan Masyarakat Dayak melalui DAD untuk menolak kehadiran FPI

di Kalimantan Tengah, memang bukan pernyataan dan tindakan yang tidak

berdasar. Pernyataan dan tindakan itu dilandaskan pada kebiasaan dan perilaku

FPI selama ini yang seringkali melakukan berbagai kekerasan29. Kehadiran FPI

dengan perilaku yang menonjolkan kekerasan ditakutkan akan merusak tatanan

“budaya dan falsafah Betang”30 yang sudah tertanam dan dijalankan di kehidupan

masyarakat Kalimantan Tengah, terutama masyarakat Dayak.

5.2.3. Keterbungkaman Argumen Lainnya Dalam Musyawarah

Proses pelaksanaan musyawarah yang dilaksanakan DAD untuk

menampung aspirasi dan keinginan masyarakat Dayak di Palangka Raya, tidak

memenuhi esensi diskursus apabila ditinjau dari sudut pandang ruang publik.

Meskipun pada tataran pelaksanaan prosedur komunikasi, muyawarah tersebut

masih bisa memenuhi, tetapi dari proses diskursus sendiri tidak tercapai. Berbagai

argumen yang muncul dalam muyawarah berbentuk afirmasi terhadap pernyataan

dan tindakan untuk melakukan penolakan terhadap rencana kehadiran FPI di

kalimantan Tengah, khususnya di Palangka Raya.

Keadaan musyawarah yang kebanyakan argumennya lebih bersifat

afirmatif pada pernyataan dan tindakan tertentu ternyata dapat meredam argumen-

argumen yang berbeda dari para peserta ruang publik. Salah satunya terungkap

dari wawacara dengan “J”31, yang sebenarnya memiliki pemikiran cukup berbeda

dengan pernyataan yang muncul dan di sepakati dalam musyawarah.

 29  Tercatat, sepanjang sejarah berdiri, FPI sudah melakukan berbagai tindak kekerasan. Pada berita koran Kompas, tanggal 30 Agustus 2010 dengan judul berita “Ini Ormas Yang Kerap Melakukan Kekerasan”, Kapolri mengatakan bahwa FPI dalam rentang waktu 2007‐2010 telah melakukan 107 tindak kekerasan. 30 Lih. hal. 54 31  Seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Palangka Raya, yang mengikuti pelaksanaan Musyawarah penolakan FPI. 

Page 20: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

69 

 

                                                           

“Sabujura amun mengingat itah tuh negara demokratis, tege kasala kea bara

uluh itah. Memang FPI te ormas je jia bahalap hadata, rancak anarkis, tapi

tampuli hindai, itah tuh hung negara demokratis. Mun je tamam te uluh itah

dengan pemerintah te munduk dengan ewen FPI. Hung hete itah

menyatakan penolakan itah”. (sebenarnya bila mengingat kita ini ada di

negara demokratis, ada kekeliruan dari dari uluh itah/orang kita. Memang,

FPI te ormas yang adatnya kurang bagus, sering anarkis, tapi kembali lagi,

kita ini berada di negara yang demokratis. Yang lebih hebat apabila “uluh

itah”/ orang kita, bersama pemerintah, duduk bersama FPI. Disitu kita

nyatakan penolakan kita)

Hasil wawancara dengan “J” tampak bahwa narasumber lebih setuju bahwa

pernyataan tersebut dikeluarkan dalam kondisi yang mengarah pada suatu forum

atau pertemuan, dimana pihak masyakat Dayak dan FPI bertemu. Pada pertemuan

atau forum itulah, menurut narasumber, pernyataan tersebut dikeluarkan. Dari

paparan kutipan wawancara di atas tampak bahwa sebenarnya tidak semua

memiliki argumen yang sama terkait kehadiran FPI. Terdapat individu-individu

yang berpikir bahwa tidak sama.

Selain “j”, terdapat pula beberapa orang yang ditemui, yang memiliki

pemikiran yang berbeda. Narasumber lainnya adalah “YR”32 yang ikut hadir

dalam pelaksanaan musyawarah.

“Dilema kea le. Ije sisi te memang ela kea ewen FPI kau tege hung petak

itah. Turem ih ampi hung kare berita te, je kare marusak narai. Jia kia

handak sampai eka itah kilau te. Tapi hung ije sisi hindai aku kurang setuju

kea dengan cara ayun itah je ampi baya sepihak menolak, jatun mahining

bara ewen” (Dilema juga. Di satu sisi jangan sampai juga pihak FPI berada

di tahan kita. Kamu bisa liat sendiri di banyak berita, yang perbuatan

mereka merusak. Saya tidak ingin juga terjadi seperti itu di tempat kita.

Tapi memang di satu sisi lagi aku kurang setuju juga dengan cara kita, yang

 32 mantan aktivis mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Palangka Raya 

 

Page 21: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

70 

 

tampaknya secara sepihak menolak, tanpa mendengarkan pendapat dari

pihak mereka)

Kutipan wawancara di atas kembali menggambarkan perbedaan pemikiran.

Narasumber “Y” lebih setuju bila masyarakat Dayak, perlu juga mendengarkan

pendapat dan argumen dari pihak FPI sebagai bahan pertimbangan. Artinya para

narasumber yang berbeda pendapat lebih setuju bila masyarakat Dayak, melalui

DAD, membuka ruang publik yang lebih luas, terutama untuk FPI. Untuk masalah

ini, argumen yang hampir serupa diungkapkan oleh nara sumber “MT”, “K”, dan

“S”. Para narasumber itu sendiri mengatakan bahwa tidak hanya mereka yang

memiliki permikiran yang berbeda, tetapi juga beberapa orang lain, baik yang

mengikuti msuyawarah maupun tidak mengikuti.

Perihal yang menarik dilihat dari konteks ruang publik pada pelaksanaan

musyawarah tersebut, adalah ternyata pada individu-individu yang menjadi

peserta, terdapat pemikiran yang berbeda dari argumen yang disepakati bersama.

Sayangnya pemikiran-pemikiran dan argumen tersebut tidak muncul pada saat

proses pelaksanaan ruang publik. Keadaan ini bukannya tanpa alasan, melainkan

karena beberapa pertimbangan.

1) Rasa segan terhadap peserta lain. Rasa segan ini muncul dari perbedaan

umur (antara yang muda dan tua), perbedaan status sosial dan pekerjaan,

riwayat dan jejak rekam yang dimiliki di dalam pergerakan masyarakat

Dayak, dan perbedaan tingkat kepopuleran. Perbedaan yang dimaksud

adalah perbedaan yang mengarah pada kesenjangan dalam hal kesuksesan

dalam hal kemapanan di masing-masing bentuk kesenjangan yang telah

disebutkan. Semakin tinggi tingkat kemapanan seseorang yang berbicara,

maka akan semakin segan untuk dibantah atau mengungkapkan argumen

yang berbeda.

2) Rasa takut akan menjadi cibiran orang lain atau mendapat diskriminasi

dari peserta yang lain. Peserta yang memiliki pendapat atau argumen

berbeda, merasa takut apabila argumennya di kemukakan, tidak sejalan

Page 22: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/6/T1_352006002_BAB … · disampaikan pada Bab II. 5.1 Lembaga adat sebagai ruang

71 

 

n mendapat

h untuk mengikuti proses dan hasil

hasil musyawarah, mereka yakin pasti akan segera

memungkinkan terjadinya pengujian-pengujian klaim kesahihan

yang muncul.

 

dengan argumen yang dominan dalam musyawarah, sehingga

memunculkan rasa taku lain, yaitu rasa takut dicibir da

diskriminasi.

3) Merasa bahwa argumen yang dimiliki tidak akan berpengaruh bila

dilemparkan dalam musyawarah. Peserta yang memiliki argumen berbeda

merasa argumennya tidak akan berpengaruh pada kondisi musyawarah,

dimana massa dan para pesertanya sedang didominasi rasa emosi dan

cenderung menyetujui pernyataan yang pada akhirnya disepakati. Peserta

tersebut merasa argumennya akan menjadi sia-sia apabila dilemparkan

dalam musyawarah, dan memili

musyawarah yang telah berjalan.

4) Pada beberapa peserta merasa bahwa pemikiran lewat belaka, jadi merasa

lebih baik mengikuti arus keinginan massa. Seandainya terdapat masalah

dikemudian hari dari

ditemukan solusinya.

Pada musyawarah penolakan FPI sendiri, ruang publik yang telah tersedia,

telah menjalankan prosedur komunikasi yang menjamin hak-hak peserta, terutama

untuk dapat berbicara tanpa berada di bawa tekanan. Namun jaminan tersebut

tidak membuat peserta musyawarah tersebut merasa aman dalam mengungkapkan

argumennya, sehingga peserta yang memiliki argumen berbeda memilih diam atau

mengikuti argumen yang didominasi massa dan terjadi keterbungkaman. Keadaan

ini sangat berbeda dengan kondisi umum yang terjadi dalam musyawarah

masyarakat Dayak tradisional, yang memungkinkan terjadinya perdebatan dan

diskursus yang