peran tni dari masa ke masa.doc
TRANSCRIPT
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Peran TNI dari Masa ke Masa
Posted by newblueprint on January 14, 2008
Oleh : Tjahyo Rawinarno
Militer Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan militer di negara lain,
militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan
penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya
melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat
dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Keunikan inilah menjadikan peranan
militer Indonesia menjadi tidak biasa. Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi
menjadikan militer tidak hanya menjadi instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan
luar, akan tetapi menjadi bagian penting dalam Indonesia political decision making.
Dr. Salim Said say:
The Indonesian Army was a self created intensense that is ws established neither by the goverment nor by the political party. Instead, the military created, armed and organized it self out of the shanbles of the Japanese trained Indonesia Militia following the surrender of the Japanese and proclamation of independence (1945), when the newly organized government by Soekarno, which was afraid of antagonizing allies, wanted to achieve independence peacefully. The youth then took the initiative to arm themselves and defend the country.1
Dr. Abdoel Fatah berpendapat :
Sejak awal berdirinya, tentara Indonesia telah terlibat dalam bidang politik, karena dihadapkan pada kondisi nyata yang mengharuskannya. Pada masa perang kemerdekaan, tentara juga melakukan tugas-tugas di luar pemerinthan, karena pada masa itu, tanpa keterlibatan tentara, pemerintah tidak bisa berjalan. Sifat kesemestaan perang pada masa itu menuntut mengurusi bidang politik, ekonomi, sosial dan militer. Ada juga sekelompok anggota TNI yang trlibat dalam politik dikarenakan pengaruh dan tarikan partai maupun kekuatan politik tertentu.2
Faktor kemerdekaan menjadikan awal keterlibatan militer Indonesia dalam peran
politik, dimasa orde lama, Soekarno mengakomodasi militer diawal pemerintahannya dan
bersitegang dan menjadi faktor penentu lengsernya Soekarno sebagai presiden. Tampilnya
militer dimata masyarakat sebagai aktor penting “pengaman” keutuhan bangsa Indonesia dari
aksi radikalisme PKI menjadikan militer semakin dominan dalam perpolitikan dan aktivitas
ekonomi Indonesia
1 Salim Said, dalam Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Jakarta : Narasi, 2005, h. 10.2 Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Jogyakarta : Lkis, 2005, hh. 41-42
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 1
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Menurut Yahya A. Muhaimin3 : semenjak tahun-tahun pertama Republik Indonesia
berdiri, para perwira militer Indonesia sebenarnya sudah mempunyai kecenderungan untuk
berpolitik sebagai prajurit revolusioner. Kecenderungan ini semakin kuat setelah pada tahun-
tahun berikutnya mereka harus mengatasi bukan hanya ancaman dari luar (Belanda) tetapi
juga mengatasi peristiwa politik yang kritis, yaitu teristimewa penculikan politik yang terjadi
tanggal 3 Juli 1946 dan pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948.
Dr. Heru Nugroho menjelaskan bahwa :
Proses military build in boleh dibilang setua umur republik. Tepatnya militerisasi tiga macam tahapan. Tahap pertama, yang selalu diacu sebagian besar petinggi militer, adalah tahap pra intervensi yang meliputi penggalan sejarah perang kemerdekaan, pengalaman buruk dengan politisi sipil, sampai cerita disekitar persaingan kekuasaan segitiga antara Soekarno, PKI, dan AD. Bagi kebanyakan perwira, tahap pertama memiliki arti penting sebagai sumber “retorika dan legitimasi historis”. Namun dengan sudut pandang yang berbeda tahap pertama bisa dianggap sebagai masa-masa persiapan memasuki wilayah politik yang meliputi sejumlah proses seperti mencari bentuk yang aman, merumuskan pembenaran, dan konsolidasi kekuatan. Pada tahap beikutnya militer menjalani proses memasuki kehidupan politik, ekonomi dan sosial dalam arti yang sebenarnya. Military build in dimungkinkan karena sederetan momentum penting dalam sejarah kontemporer Indonesia seperti peristiwa 30 September 1965, tuntutan melakukan pembangunan ekonomi dan perang dingin sebagian dari momentum-momentum tersebut menjadi pemicu intervensi. Sebagian yang lain menjadi pembenar dan dukungan bagi dominasi para perwira. Bagian ketiga dari serial militerisasi Indonesia tak lain dari konsolidasi kekuasaan. Dalam tahapan ini para perwira melakukan tiga macam proses, yakni melakukan intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi peran-peran non-militer. Intensifikasi berupa pemanfaatan sebuah wilayah intervensi untuk memperkuat kekuasaan. Ekstensifikasi adalah proses memperluas wilayah campur tangan. Sedangkan diversifikasi berkaitan dengan upaya menciptakan keberagaman intervensi.4
Pada masa Orde Baru, Soeharto menempatkan militer sebagai bagian penting dari alat
melanggengkan dan memperluas kekuasaan selain birokrasi dan teknokrat. ABRI dijadikan
instrumen penting dalam menjaga kebijakan kooperatisme. Dengan dalih menjaga stabilitas,
Soeharto memberikan banyak peran istimewa, menempatkan banyak perwira sebagai menteri,
gubernur, walikota, bupati, irjen dan lain-lain. Posisi istimewa ABRI tidak hanya pada ruang
politik, namun berada pada ruang yang lain seperti ekonomi. Pemerintahan Orde Baru
menempatkan banyak perwira militer aktif untuk menjadi komisaris atau direktur utama
BUMN dan BUMD
Mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan masayarakat
dikarenakan kegagalan dalam memperbaiki krisis yang terjadi berdampak pada pengurangan
peran militer, terutama peran politik dan ekonomi yang selama masa Orde Baru begitu besar.
3 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966, UGM Press, 1982, hh. 11-12.4 Heru Nugroho, Masyarakat Pasca Militer, Jogyakarta : IRE, 2000, hh. 34-35.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 2
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Masyarakat mempertanyakan kembali mengenai konsep dwi fungsi yang menjadi legalitas
masuknya militer ke dalam lembaga-lembaga politik, sosial, maupun ekonomi. Sidang
tahunan MPR tahun 1999 membahas, membatasi dan mengurangi keberadaan militer dalam
lembaga “rakyat”. Peran politik militer semakin dikurangi pada masa-masa pemerintahan
berikutnya. Dimulai dengan penghapusan keberadaannya di lembaga-lembaga negara (DPR,
DPRD, maupun MPR), mengambil alih bisnis yang pernah dijalankan oleh institusi militer
(AD, AL, dan AU) sampai dengan pembahasan tentang profesionalime militer dengan
menempatkannya hanya pada sektor atau peran operasional pertahanan.
Di Indonesia sejarah politik militer dapat dibagi menjadi 4 (empat) tahap. Tahap
pertama, dari tahun 1945-1959, dicirikan oleh satu transisi dari “aksi” menjadi “akomodasi”
tahap kedua, dari tahun 1959-1966, ditandai oleh pergeseran dari “akomodasi” menjadi
“dominasi”. Tahap ketiga, dari tahun 1966-1998, militer membuat transisi dari “dominasi”
menjadi “hegemoni” dan tahap terakhir, setelah kejatuhan Soeharto di tahun 1998, hegemoni
militer telah ambruk dan militer masuk ke dalam krisis yang berkepanjangan.
Menurut Singh5, keterlibatan militer Indonesia dalam politik bermula dari
kemerdekaan. Politik militer diakomodasi secara legal dan konstitusional di dalam sistem
politik yang diciptakan oleh Soekarno atas dasar dekrit presiden 1959. Di bawah “demokrasi
terpimpin” militer mendapat beberapa kursi di DPR Gotong Royong dan sepertiga dari jumlah
menteri dalam kebinet kerja adalah anggota militer. Akomodasi politiknya bergeser menjadi
dominasi, ketika Soeharto berkuasa, militer adalah tulang punggung pemerintahan orde baru,
dan melalui program ideologi dan budayanya, dominasi berubah menjadi hegemoni. Jatuhnya
Soeharto menyebabkan hegemoni militer mengalami krisis legitimasi.
Abdoel Fattah dalam penelitiannya membagi perjalanan militer Indonesia terbagi atas
empat periode : Pertama, masa setelah proklamasi kemerdekaan 1945, atau masa perang
kemerdekaan sampai berdirinya pemerintahan Republik Indonesia Serikat tahun 1950. pada
masa ini, tentara terpaksa berpartisipasi secara poltik untuk menggerakkan pemerintahan
daerah yang lumpuh akibat perang melawan Belanda. Kedua, masa mulai berlakunya
Demokrasi Parlemen 1950 ke Demokrasi Terpimpin, yang dimulai dengan Dekrit Presiden
pada 5 Juli 1959 sampai jatuhnya presiden Soekarno pada 1966. Pada masa ini, tentara
memiliki kekuatan politik yang menonjol dan bersaing dngan PKI. Tentara, terutama TNI-AD
menjadi mitra Soekarno sekaligus pesaing. Pada masa ini, pemerintahan yang bersifat
demokratis berubah ke otokrasi. Ketiga, masa Orde Baru mulai 11 Maret 1966, yang dipimpin
oleh Soeharto dengan demokrasi Pancasila sampai jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Pada
5 The RIDEF Institute, Praktek-Praktek Bisnis Militer, Jakarta : RIDEF Institute, 2003, h. 258.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 3
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
masa ini, tentara mendominasi pemerintahan yang bersifat otokratis, dengan menggunakan
dwi fungsinya yang mengakibatkan demokrasi tidak berkembang. Keempat, masa Reformasi
mulai 21 Mei 1998.6
Untuk lebih rincinya terkait dengan dinamika peran militer yang bisa dijadikan
pengalaman dan pelajaran dalam menentukan peran militer diwaktu akan datang, akan
dikupas sekilas masa permasa . Namun, tidak mengikutsertakan masa kemerdekaan sampai
dengan orde lama, dikarenakan masa sejarah keterlibatan militer dalam peran sosial, politik
maupun ekonomi sudah terwakilkan dalam pembahasan masa Orde Baru.
b. TNI pada Masa Orde Baru
Indonesia memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang
menandai runtuhnya keseimbangan tiga aktor politik utama dengan kehancuran PKI dan
semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno. Keberhasilan Angkatan Darat
menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan efek psikologis luar biasa pada masyarakat
anti komunis, akan citranya sebagai penyelamat negara dari rongongan komunis. Setelah
kewibawaan politik Presiden Soekarno merosot secara drastis pada masa-masa pasca kudeta,
Maka sentral kekuatan politik lambat-laun bergeser dari istana kepresidenan ke Markas
Komando Kostrad, dimana Mayjen. Soeharto selaku pemegang kendali efektif atas tentara
bermarkas pada waktu itu.7
Semakin menguatnya posisi tentara sebagai aktor politik terkuat di Indonesia pasca
kejatuhan Soekarno telah mendorong dilakukannya berbagai upaya memperkuat posisi dan
kelanggengan dominasi politik tentara dalam sistem politik Indonesia.8
Pertama, pelembagaan ideologi dwifungsi ABRI. Konsepsi dwifungsi pertama kali
termaktub dalam Sapta Marga (kode etik dasar bagi setiap personel tentara Indonesia)
kemudian dipertegas dengan doktrin TNI Angkatan Darat “Tri Ubaya Cakti” yang merupakan
hasil Seminar Angkatan Darat pada April 1965. Doktrin ini kemudian disempurnakan lagi
dalam Seminar Angkatan Darat II pada bulan Agustus 1966. Melalui doktrin itulah untuk
pertama kalinya dirumuskan dwifungsi. Selanjutnya untuk meningkatkan bobot dwifungsi
diperkenalkan doktrin “Catur Dharma Eka Karma” pada tahun 1967. Kemudian agar rumusan
dwifungsi memperoleh landasan yang kuat dan berlaku luas pada masyarakat umum
dikeluarkan UU No. 20 tahun 1982 tentang “Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
6 Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Jogyakarta : Lkis, 2005, hh. 10-11.7 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999, hh. 34-35.8 Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Jakarta, Narasi, 2005, hh. 35-47
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 4
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Keamanan Negara”. Pada pasal-pasalnya disebutkan bahwa, “Angkatan Bersenjata
mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial”.
Dalam menjalankan peranannya sebagai kekuatan sosial, tentara bertindak sebagai
dinamisator dan stabillisator yang bersama-sama kekuatan sosial lain memikul tugas dan
tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi
kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu
tentara harus ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan
pemerintahan.
Kedua, pengembangan sebuah sistem kontrol internal atas institusi tentara,
dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku militer oleh markas besar secara kelembagaan
maupun perorangan. Langkah awal dengan menempatkan seluruh komponen matra: Angkatan
Darat, Laut, Udara dan Kepolisian berada di bawah Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab).
Kekuatan bersenjata pada setiap matra hanya bisa digerakkan atas perintah pangab, bukan lagi
oleh Panglima masing-masing matra yang hanya berstatus “Kepala Staf Angkatan” tanpa
memiliki kewenangan operasional. Selanjutnya memisahkan kewenangan dan tanggung jawab
antara Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan dan Keamanan, perubahan ini semakin
memperkuat kepemimpinan pusat.
Ketiga, pengembangan sistem kontrol eksternal terhadap lembaga dan kekuatan
politik lain dengan mengefektifkan struktur organisasi tentara, membangun lembaga kontrol
baru maupun bekerja sama dengan intitusi-institusi pemerintahan lainnya yang banyak
dikepalai oleh orang-orang berlatar belakang ketentaraan baik masih aktif atau purnawirawan
yang dikaryakan pada jabatan-jabatan strategis baik pada tingkat pusat atau daerah seperti
menteri, kepala daerah, Dirjen, Sekjen dan Irjen departemen.
Keempat, pelemahan terhadap partai politik, parlemen, serta lembaga-lembaga lain
yang dianggap mungkin memiliki kekuatan politik. Setelah berhasil menguasai kekuasaan
politik, tentara mulai membangun kekuatan politik secara mandiri dan otonom. Pelemahan
terhadap partai politik ini pada intinya adalah untuk memandulkan kekuatan politik mereka
sehingga tidak mempunyai kekuatan tawar yang berarti dalam proses politik. Salah satu upa
yang dilakukan adalah pemberlakuan kebijakan floating mass (massa mengambang) dimana
masyarakat dilarang melakukan aktivitas politik selain saat pemilu. Pelemahan terhadap
Parlemen dilakukan dengan menciptakan sistem pemilu tidak fair dan adanya mekanisme
pengangkatan serta proses rekrutmen anggota DPR dirancang untuk membuat mereka patuh
terhadap pemerintah dengan cara mngikuti penelitian khusus yang diselenggarakan oleh
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 5
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
lembaga-lembaga pengawas milik pemerintah. Lembaga lain yang juga mengalami
pelemahan adalah Pers, dengan melakukan pembredelan surat kabar kritis.
Pada masa Orde Baru praktek dwifungsi ABRI dijalankan dalam beberapa pola9 yaitu;
Pertama, Politik sentralisasi berada ditangan eksekutif. Pemerintahan orde baru
mengorientasikan diri kepada negara kuat (strong state), untuk membangun negara yang kuat
itu, Orde Baru membangun elite penguasa yang terdiri dari militer, birokrat, teknokrat dan
pemilik modal. Politik sentralisasi menyebabkan perasaan tertekan dan tertindas, rakyat putus
asa dan meneima apa saja yang diputuskan atau dikatakan pemerintah pusat. Keadaan ini
tidak mendukung perkembangan kehidupan civil society dan pembangunan politik, khususnya
demokrasi, dan sebaliknya cenderung melahirkan political decay. Kedua, Pendekatan
keamanan menjadi ciri yang menonjol. Orde baru menerjemahkan lebih lanjut pendekatan
keamanan dengan memberikan tanggung jawab tersebut kepada ABRI. Tanggung jawab
tersebut menjadikan ABRI bertindak “agresif” terhadap semua yang dianggapnya
membahayakan stabilitas, dan stabilitas sendiri dipandang sebagai sesuatu yang dinamis.
Karena ABRI berperan sangat besar dalam keamanan, maka hal ini menempatkan ABRI
dalam posisi sentral dan menjadi ujung tombak dalam memutuskan hal-hal menyangkut
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, Dominasi militer dengan pendayagunaan dan
perluasan dwifungsi ABRI. Untuk menguatkan sentralisasi kekuasaannya, tentara digunakan
untuk mendominasi jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur tangan tentara
dalam politik. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan pertiga jabatan gubernur
dijabat oleh militer. Pada tingkat bupati dan walikota, 56% adalah militer, direktur jenderal
70%, dan sekretaris menteri 84% diduduki oleh militer.
Vatikiotis menyatakan, “More importantly, the military dominated the affairs of every
cabinet departement.” Sementara itu data yang diperoleh Jenkins pada tahun 1980, jumlah
anggota ABRI yang berada di luar organisasi militer sebagai berikut: di pemerintahan pusat,
menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara 47%, sekretaris jenderal 73,6%, inspektur
jenderal 29,5%, direktur jenderal 70,9%, sekretaris menteri dan wakil menteri 84%.
Dipimpinan daerah, gubernur 70,3%, dan bupati 56,6%. Diperwakilan luar negeri, duta besar
44,4% dan konsul 34,3%. Menurut data Harold Crouch, pada tahun 1968, jumlah Gubernur
yang berasal dari militer sebanyak 17 Gubernur (71 %). Seseudah pemilihan umum tahun
1971, dari 26 propinsi hanya menyisakan 4 (15 %) posisi Gubernur untuk orang sipil.10
Sedangkan pada tingkat kabupaten pada tahun 1969 jumlah Bupati dan Walikota di seluruh
9 Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, Jogyakarta : LKiS, 2005, hl 154-17110 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999, hh. 271-272.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 6
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Indonesia sebanyak 271. Setelah pemilu 1971, imbangannya mencapai dua pertiga. Sampai
dengan tahun 1998, sebanyak 4000 anggota militer menduduki posisi jabatan sipil.11
Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah
keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan
kehidupan masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi
rakyat untuk pembangunan dan untuk pelaksanaan Pemilihan Umum.12
Selain memegang posisi strategis pada pemerintahan, militer juga memegang posisi
kunci pada organisasi BUMN, buruh dan Golongan Karya (Golkar). Schwarz menyatakan:
“The doctrine of dwifungsi or dual function, has grown by leaps and bounds in the new order,
allowing the military’s influence to percolate into virtually every nook and cranny of society.
Military officers hold key positions all throught the government, from city majors,
ambassadors and provincial governors, to seniors position in central government minister,
regional bureaucracies, state owned enterprise, the judiciary, the umbrella labour union,
Golkar and ini the cabinet itself”.
ABRI juga berada di lembaga legislatif sampai dengan tahun 2004 melalui mekanisme
pengangkatan. Para perwira membentuk fraksi ABRI di MPR, DPR, DPRD Tk I dan DPRD
Tk II, menjalankan fungsi penting seperti menempatkan aspek keamanan dan pertahanan
dalam setiap perdebatan UU, memperjuangkan kebijakan sosial-politik yang berasal dari
pangab. Seringkali kantor anggota Fraksi ABRI di sebuah wilayah konstituensi menjadi pusat
penyelesaian sejumlah persoalan lokal yang tidak bisa dilakukan melalui badan legislatif
setempat.13
Keempat, Rendahnya apresiasi terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Hukum dan undang-undang dibuat secara tidak adil dan lebih banyak untuk memenuhi
kepentingan politik dan ekonomi bagi kelompok-kelompok yang mempunyai kekuasaan kelas
berat. Hukum tidak melindungdi masyarakat tetapi merugikan masyarakat. Apresiasi hukum
yang rendah mengakibatkan banyaknya pelanggaran yang terjadi. Seperti, kasus Tanjung
Priuk atau kasus Warsidi di Lampung, serta pembunuhan aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo.
Kelima, Otoritas birokrasi yang berlebihan, kelompok elite yang terdiri dari unsur militer,
sipil, teknokrat dan kaum kapitalis melakukan berbagai cara untuk mempertahankan,
memperkuat dan memperluas kekuasaan dengan menghalangi partisipasi politik dan
11 Ibid.12 R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta : LP3ES, 1992, h. 1.13 Ian MacFarlin dalam Heru Nugroho, Masyarakat Pasca Militer, h. 37.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 7
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
membatasi partisipasi ekonomi rakyat, serta menyingkirkan pengaruh massa melalui
depolitisasi, mobilisasi dan represi.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, militer tidak hanya mendominasi peran sosial-
politik, akan tetapi tentara sangat leluasa menjalankan praktek-praktek bisnis militernya
secara legal dengan ditetapkannya UU Yayasan No.16 tahun 2001. Kecilnya anggaran militer
baik khususnya untuk kesejahteraan prajurit dijadikan alasan kuat prektek ini, Panglima TNI
mengatakan “..suatu saat, sebagaimana diharapkan oleh segenap masyarakat Indonesia,
pemerintah akan mempunyai kemampun untuk menutup seluruh kesejahteraan masyarakat
termasuk prajurit-prajurit TNI beserta keluarganya, maka saat itu, TNI bertekad untuk
meninggalkan sepenuhnya kegiatan bisnis yang dikelolanya…”, Panglima TNI Jenderal
Endiarto Sutarto mengungkapkan bisnis militer menjadi andalan TNI untuk mendukung
kesejahteraan selama ini, oleh karenanya penghapusan bisnis militer harus diimbangi dengan
peningkatan anggaran TNI dalam APBN, dari kebutuhan ideal anggaran per tahun yaitu
sebesar Rp. 44 – 46 Triliun (Jawapost, 19 Maret 2005).
Akan tetapi dalam realitanya praktek bisnis militer hasilnya hanya dinikmati pada
tataran perwira saja. Hampir selama 52 tahun bisnis militer berlangsung, akan tetapi setelah
sekian lama bisnis itu dilakukan tanda-tanda kesejahteraan prajurit pun tidak menunjukan
perubahan, ada kesenjangan yang amat tajam antara kesejahteraan kopral dengan jenderal.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo tertanggal 15 September 2002, Gubernur
DKI Jakarta Sutiyoso mengatakan sebelum menjadi gubernur dirinya sudah kaya, karena
pernah menjadi Panglima Kodam, Komandan Korem dan Kepala Staf Kodam, besaran
kekayaan di kalangan kaum serdadu mengikuti hierarki kepangkatan dan jabatannya.
Kesenjangan yang ada dapat jelas dilihat dari tabel dibawah ini.Perbandingan Tingkat Kesejahteraan Perwira dan Prajurit TNI
Pangkat Jumlah Perbandingan tingkat kesejahteraan
Bintang ****
Bintang ***
1
3
Sangat tinggi (bahkan bisa dikatakan sangat mewah atau kaya, kekayaaannya bisa milyaran rupiah).
Bintang ** 42 Kesejahteraan terpenuhi ( relatif tinggi )
Bintang * 70 Kesejahteraan sedang
Pamen 6.517 Kesejahteraan rendah
20.004 Kesejahteraan rendah
133.735 Kesejahteraan sangat rendah
114.598 Kesejahteraan sangat rendah
Sumber data : The RIDEF Institute, Praktek-Praktek Bisnis Militer, Jakarta, 2003, h. 54.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 8
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Bisnis militer pada masa orde baru dijalankan 3 (tiga) kekuatannya yakni Angkatan
Darat, Laut dan Udara yang hampir merata ada di seluruh propinsi.
Bisnis Angkatan Darat
No Lokasi Aktif Tdk Aktif
Anggota Modal sendiri
(Rp.juta)
Modal Luar
( Rp.Juta )
SHU(Rp.juta)
1 NAD 26 0 4,084 2,961.63 161.92 230.47
2 Sumatera Utara 40 4 49.918 12,048.50 7,157.05 621.68
3 Sumatera Barat 20 0 4,941 5,655.19 220.60 962.10
4 Riau 25 0 5,066 4,177.29 292.14 213.01
5 Jambi 68 6 2,323 1,672.05 263.97 257.72
6 Sumatera Selatan 20 0 8.066 4,842.85 519.41 588.15
7 Bengkulu 6 0 1,159 11,082 737.86 1,235.15
8 Lampung 95 2 41,689 92,154.63 10,541.82 619.45
9 DKI Jakarta 129 33 118,985 17,071.84 5,689.65 1,815.90
10 Jawa Barat 145 8 226,769 106,115.37 33,676.33 5,026.79
11 Jawa Tengah 107 1 34,912 13,861.00 5,625.00 1,885.00
12 D.I Yogyakarta 13 0 26,926 9,332.07 1,515.94 840.35
13 Jawa Timur 100 0 40,199 33,365.34 2,163.77 1,512.06
14 Bali 10 0 5,015 6,550.59 293.74 393.91
15 NTB 9 0 2,168 407.72 678.39 95.02
16 NTT 14 0 2,122 269.93 532.00 87.80
17 Kalimantan Barat 25 0 5,572 841.80 641.90 159.50
18 Kalimantan Tengah
15 0 1,955 1,379.79 265.23 114.23
19 Kalimantan Selatan 10 0 2,658 1,765.27 115.96 194.26
20 Kalimantan Timur 14 0 3,137 2,126.36 44.55 491.82
21 Sulawesi Utara 34 0 4,771 7,462.60 788.56 257.98
22 Kalimantan Tengah
15 0 1,955 1,379.79 265.23 114.23
23 Sulawesi Tengah 7 0 1,987 6,008.17 126.85 149.91
24 Sulawesi Selatan 40 0 10,392 5,169.64 214.80 525.14
25 Sulawesi Tenggara 10 0 1,569 1,076.38 52.51 97.44
26 Maluku 12 0 3,187 65.89 18.75 69.73
27 Irian Jaya 10 0 1,427 1,111.89 20.42 66.96
28 Maluku Utara 11 0 2,899 31.72 10.15 259.36
29 Gorontalo 2 0 1,172 486.23 869.06 91.22
30 Batam 29 1 10,518 2,740.96 983.64 62.62
31 Bangka Belitung 7 1 2,733 552.31 87.42 123.82
Jumlah 923 52 430,217 168,587.51 37,486.10 13,242.86
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 9
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Bisnis Angkatan Laut
No Lokasi Aktif Tdk Aktif
Anggota Modal sendiri
(Rp.juta)
Modal Luar
( Rp.Juta )
SHU(Rp.juta
)
1 NAD 6 0 3,540 2,308.61 111,75 80.11
2 Sumatera Utara 7 3 235 18,127.32 1,353.00 1,090.68
3 Sumatera Barat 5 0 4,283 4,408.27 152.25 334.41
4 Riau 6 0 701 676.26 21.35 52.26
5 Jambi 3 0 2,323 1,303.37 182.18 89.58
6 Sumatera Selatan 5 0 1,119 3,775.04 358.87 204.43
7 Bengkulu 1 0 1,005 850.81 19.29 47.32
8 Lampung 5 0 6,713 6,643.31 275.66 215.31
9 DKI Jakarta 17 3 32,334 2,708.81 1,336.36 609.34
10 Jawa Barat 3 0 369 225.57 87.40 5.25
11 Jawa Tengah 3 0 797 576.00 428.00 59.00
12 D.I Yogyakarta 1 0 182 86.04 3.80 6.21
13 Jawa Timur 23 0 34,842 26,008.56 1,803.89 525.57
14 Bali 2 0 4,347 5,106.24 202.72 136.92
15 NTB 1 0 119 43.51 0.00 7.36
16 NTT 2 0 181 16.45 0.00 5.61
17 Kalimantan Barat 1 0 117 159.30 171.20 4.30
18 Kalimantan Tengah
0 0 0 0.00 0.00 0.00
19 Kalimantan Selatan 2 0 2,304 1,376.04 80.03 67.52
20 Kalimantan Timur 3 0 2,719 1,657.51 30.75 170.95
21 Sulawesi Utara 0 0 4,135 5,817.16 544.22 89.67
22 Kalimantan Tengah
8 0 0 0.00 0.00 0.00
23 Sulawesi Tengah 2 0 1,722 4,683.41 87.54 52.11
24 Sulawesi Selatan 9 0 9,007 4,029.78 148.24 182.53
25 Sulawesi Tenggara 2 0 1,359 839.05 36.24 33.87
26 Maluku 2 0 560 16.76 1.84 19.67
27 Irian Jaya 2 0 1,237 866.72 14.09 23.27
28 Maluku Utara 2 0 509 8.07 1.00 73.15
29 Gorontalo 0 0 0 0.00 0.00 0.00
30 Batam 1 0 45 26.50 10.41 0.42
31 Bangka Belitung 0 0 0 0.00 0.00 0.00
Total 124 6 126.037 94,924.44 7,641.75 4,208.6
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 10
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Bisnis Angkatan Udara
No Lokasi Aktif Tdk Aktif
Anggota Modal sendiri
(Rp.juta)
Modal Luar
( Rp.Juta )
SHU(Rp.juta)
1 NAD 6 0 565 479.45 11.83 56.99
2 Sumatera Utara 8 0 391 17,336.69 4,624.00 1,355.79
3 Sumatera Barat 4 0 684 915.51 16.12 237.93
4 Riau 6 0 701 676.26 21.35 52.68
5 Jambi 3 0 321 270.68 19.29 63.74
6 Sumatera Selatan 5 0 1.199 784.00 37.96 145.45
7 Bengkulu 1 0 160 176.70 2.04 33.67
8 Lampung 4 0 1.071 1,379.68 29.19 153.18
9 DKI Jakarta 12 11 17.060 2,743.84 760.18 510.17
10 Jawa Barat 22 0 4.729 2,283.89 380.15 56.33
11 Jawa Tengah 7 0 106 115.00 38.00 19.00
12 D.I Yogyakarta 5 1 2.583 1,543.58 2,524.50 203.24
13 Jawa Timur 22 1 34.842 26,008.56 1,800.89 525.57
14 Bali 2 0 694 1,060.46 21.47 97.41
15 NTB 1 0 89 39.48 41,13 9.26
16 NTT 1 0 181 45.20 14.69 4.31
17 Kalimantan Barat 2 0 337 84.80 16.30 10.60
18 Kalimantan Tengah
1 0 68 50.52 7.79 18.78
19 Kalimantan Selatan
2 0 2.304 1,376.04 80,03 67.52
20 Kalimantan Timur 3 0 434 344.23 3.26 121.63
21 Sulawesi Utara 8 0 660 1,208.11 57.64 63.80
22 Kalimantan Tengah
1 0 68 50.22 7.79 18.78
23 Sulawesi Tengah 2 0 275 972.65 9.27 37.07
24 Sulawesi Selatan 9 0 1.438 839.91 15.70 129.87
25 Sulawesi Tenggara 2 0 217 174.25 3.84 24.10
26 Maluku 1 1 2167 71.79 3.23 12.52
27 Irian Jaya 2 0 197 180.00 1.49 16.56
28 Maluku Utara 1 1 152 34.56 1.57 46.55
29 Gorontalo 0 0 0 0 0 0.00
30 Batam 5 0 580 263.31 45.26 4,49
31 Bangka Belitung 0 0 0 0 0 0.00
Total 147 17 41,862 39,763.79 8,906.95 3,907.1
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 11
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Selain bisnis institusional, George Junus Aditjondro14 melihat struktur TNI yang masih
tergabung dengan Polri juga melakukan bisnis kelabu dan non-institusional yang erat kaitannya
dengan kerusahan dan gejolak sosial. Korelasi bisnis militer dengan kerusuhan dan gejolak sosial
dapat digambarkan sebagai berikut :
Bisnis
Institusional
Struktur Teritorial
TNI & Polri
Bisnis
Non-Institusional
Kerusuhan/
Gejolak Sosial
Bisnis
Kelabu
Masuknya militer Indonesia ke dalam peran sosial, politik serta ekonomi yang pada
orde baru dikenal dengan konsep dwi fungsi dikarenakan faktor internal dan eksternal. Faktor
internal terkait dengan hasrat atau kepentingan politik perwira, ataupun kepentingan
kesejahteraan prajurit. Sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan tingkah laku elite
sipil terkait dengan sering munculnya konflik serta krisis yang terjadi dimana memunculkan
persepsi militer untuk membantu ataupun menggantikan peran-peran elite sipil.
Nasution menegaskan bahwa :
Keterlibatan atau campur tangan TNI dalam bidang non-militer bukan sesuatu hal tanpa sebab, ada latar belakang yang menarik maupun mendorong militer untuk melibatkan diri dalam berbagai urusan di luar masalah kemiliteran. Peranan sospol institusi militer pada pemerintahan Orde Baru, tertuang dalam kebijakan “Jalan Tengah” yang dikenal dengan dwifungsi TNI yang pertama kali dilontarkan oleh Abdul Haris Nasution pada peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang, Nasution menganggap bahwa TNI bukan sekedar sebagai alat sipil sebagaimana terjadi di negara-negara barat dan bukan pula rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Dwifungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya.15
Dwifungsi dibenarkan keberadaannya dikarenakan sekurang-kurangnya empat alasan:
Pertama, faktor historis yang menyangkut peranan penting militer pada masa perjuangan
menjelang dan setelah revolusi kemerdekaan. Hal ini bisa dimengerti di negara mana pun
14 George Junus Aditjondro, dalam Jurnal Wacana Edisi 17 tahun 2004, Jogyakarta, Insist Press, hl 14315 Konsistensi TNI dalam Pasang Surut Republik : Catatan dan Pemikiran Jenderal Besar A.H Nasution, Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran, Jakarta : 2001, h. 3.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 12
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
kaum bersenjata selalu memegang peranan utama dalam setiap revolusi atau perjuangan untuk
mencapai atau mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara. Akan tetapi, jika di
kebanyakan negara lain kaum militer segera menyerahkan kekuasaan begitu kemerdekaan
sudah tercapai, maka di Indonesia hal ini justru dijadikan alasan untuk membenarkan
berkelanjutannya peranan militer di bidang sosial politik. Kedua, kecurigaan militer terhadap
elit politik sipil. Dalam buku ABRI Abad XXI, yang mencerminkan pandangan resmi militer,
disebutkan antara lain bahwa keterlibatan TNI dalam kancah politik awalnya bermula dari
reaksi TNI melawan usaha kaum politisi sipil untuk menguasai atau sekurang-kurangnya
untuk menempatkan TNI di bawah pengaruh politik mereka. Kalangan militer maupun para
mantan perwira militer umumnya berpandangan bahwa sejak 1950-an parpol memegang
supremasi di ats ABRI, hasilnya banyak terjadi pemberontakan didaerah-daerah dan ABRI lah
yang bekerja memadamkannya. Ketiga, dwi fungsi dibenarkan karena faktor kelemahan
kepemimpinan politik sipil, kelemahan paling fundamental kaum politisi sipil adalah sulit
bersatu sehingga mudah diintervensi oleh para politisi militer, dan Keempat, dwifungsi
dipandang sebagai “obat mujarab” untuk menjaga stabilitas politik guna mengamankan
jalannya proses pembangunan ekonomi. Pada awal Orde Baru, peranan sosial politik ABRI
diperlukan untuk menjamin kelancaran program pembangunan ekonomi.16 Alasan lain untuk
merasionalkan penerapan dwifungsi antara lain adanya fakta bahwa jika ABRI tidak terlibat
dalam fungsi sosial politik, situasi akan menjadi lebih buruk. Jadi, sepanjang ada keyakinan
bahwa orang-orang sipil tidak sanggup memimpin negara, ABRI yang akan bertanggung
jawab. ABRI tidak akan mengalah terhadap tekanan yang menyebabkan berakhirnya peran.17
Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, sebagaimana dikutip
Bilveer Singh, disebutkan faktor-faktor yang mendasari konsep dwifungsi adalah :
1) Kegagalan para politisi sipil memaksa ABRI untuk memainkan peran sosial politik lebih besar.
2) Peran ABRI tetap menentukan karena merupakan kekuatan satu-satunya yang dapat menjamin bahwa pancasila tetap menjadi idiologi nasional.
3) ABRI dipandang sebagai penyelamat nasional satu-satunya mengingat banyaknya krisis negara yang telah dialami.18
Akan tetapi intervensi militer dalam bidang politik di Indonesia, pada kenyataannya
tidaknya hanya disebabkan faktor eksternal, dari sisi internal sejak awal sudah ada keinginan
ABRI untuk untuk memainkan peran dalam politik Indonesia dan tidak hanya ingin menjadi
16 Yayasan Insan Politika, Tentara yang Gelisah, Bandung : Mizan, 1999 hh. 50-54.17 Tim Peniliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Bandung : Mizan, 1999, h. 193.18 Ibid., h. 52
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 13
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
alat kekuasaan sipil seperti yang berlaku di negara-negara barat. Menurut C.I Eugene Kim
pengambil-alihan kekuasaan oleh pihak militer di Indonesia sekiranya sejak lama sudah
diramalkan. Militer Indonesia tidak pernah jauh dari politik negeri sejak Proklamasi
kemerdekaan.19 Dorongan internal terhadap keinginan peran militer dalam politik indonesia
semakin besar karena adanya intervensi politik sipil terhadap masalah intern ABRI. Ini
tampak dari kian retaknya hubungan elit militer-sipil pada era Demokrasi Parlementer yang
kemudian memunculkan peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa tersebut merupakan penolakan
militer secara tegas atas intervensi parpol dalam masalah internalnya. Ini juga menunjukkan
bahwa, bagaimanapun, militer merupakan kelompok kepentingan institusional yang tidak bisa
terabaikan dalam percaturan politik di Indonesia. Saat keadaan darurat diberlakukan di
berbagai wilayah pada tahun 1957 akibat pemberontakan daerah, sebagian besar komposisi
stuktur politik diisi oleh kalangan militer. Fakta ini memperkuat argumentasi bahwa campur
tangan militer dalam politik lebih didorong oleh kepentingan politik tentara.20
Arif Yulianto21 melihat setidaknya ada 3 (tiga) kepentingan yang memainkan peranan
amat penting dalam keputusan militer untuk campu tangan dalam politik, yaitu, (1) militer
dalam memperjuangkan kepentingan kelompok atau organisasi, baik untuk memperoleh
fasilitas-fasilitas militer maupun untuk memberikan gaji yang layak kepada anggotanya, jika
para pemimpin sipil gagal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka ada
kecenderungan militer yang lebih besar untuk terpolitisasi dan terintervensi dalam politik. (2)
korps militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan, dan apabila pemerintah
gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah, maka kelompok perwira militer
diperkirakan akan melakukan tekanan terhadap pemerintah, bahkan kemungkinan
menjatuhkannya, (3) para pemimpin puncak militer dapat pula membangun kepentingan-
kepentingan pribadinya melalui intervensi militer dengan menempatkan mereka di dalam
petronase pemerintah.
Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang campur tangan militer
dalam politik. Perlmutter (1980), Huntington (1959), dan Welch (1970) melihat faktor
eksternal militer sebagai penyebab munculnya intervensi militer ke ranah sosial-politik,
sedangkan Finer (1988) dan Nordlinger (1994) melihat faktor internal militer (kepentingan
militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer ke domain sipil.22
19 Morris Janowitz, Hubungan-Hubungan Sipil Militer Persfektif Regional, Jakarta : Bina Aksara, 1985, h. 14.20 PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Bandung : Mizan, 1999, hh. 30-31.21 Arif Yulianto, Hubunngan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orba, Jakarta : Grafindo, 2002, hh. 76-77.22 A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer dan Politik, LKis, Jogyakarta, 2004, h. 29.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 14
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Kelompok pertama melihat campur tangan itu lebih disebabkan oleh faktor eksternal
(struktur politik dan Institusional masyarakatnya), menandakan bahwa keterlibatan itu sebagai
akibat rapuhnya struktur politik dan institusi masyarakat. Lembaga militer tidak akan
mengambil kekuasaan dari rezim sipil yang berhasil dan memiliki legitimasi. Mereka
melakukan intervensi kedalam politik ketika politisi sipil dan partai politik lemah dan
terpecah, dan ketika pemerintahan yangn tidak utuh dan memanifestasikan kegagalan telah
melahirkan kevakuman kekuasaan.23 Militer Asia telah menampilkan berbagai peran di era
modern, meskipun baanyak yang diorganisasikan atau dimodernisasikan oleh penguasa
kolonial, beberapa diantaranya, seperti militer Indonesia, kemudian berbalik melawan
kekuasaan kolonial pada masa perang kemerdekaan. Tindakan ini membuat militer
memperoleh legitimasi rakyat yang begitu besar, dan kemudian dikombinasikan dengan
variabel institusional dan beberapa faktor lain yang mendukung militer di dalam masyarakat
luas akan keterlibatan militer di dalam politik. Walaupun banyak pihak mengatakan ada
hegemoni sejarah yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru melalui berbagai media massa,
seperti film kolosal untuk menggambarkan sisi kepahlawanan militer dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, dan sangat kontra dengan para politisi sipil yang cenderung
ragu-ragu, oportunis, kooporatif terhadap penjajah24, akan tetapi banyak masyarakat yang
mengakui peranan atau jasa militer dalam mempertahankan integrasi bangsa (G30S PKI),
sudah menjadi streotype dalam masyarakat Indonesia “masyarakat” militer lebih memiliki
keunggulan dibandingkan masyarakat sipil, seorang ibu akan mengarahkan anaknya kelak
menjadi dokter ataupun militer, karena mempunyai kelas sosial tersendiri di dalam
masyarakat. Sebutan “bapak pembangunan” yang disandang Soeharto yang berhasil
menggunakan lembaga militer dalam menciptakan iklim kondusif bagi aktivitas investasi
asing menjadikan penilai tentang militer semakin positif, sebagaimana penilaian lembaga
militer di Amerika Latin yang berhasil meninggikan investasi asing, menyebabkan sebutan
militer sebagai motor pembangunan, argumentasi didasarkan beberapa hal :
1. Militer dilihat sebagai benteng pertahanan melawan ketidakstabilan dan persebaran komunisme di negara-negara berkembang.
2. Militer merupakan institusi yang terorganisir paling baik dalam negara (profesionalisme)
3. Militer dianggap sebagai institusi berorientasi rasional dan teknologi
23 Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Jakarta : Raja Grafindo, 2001, h. pendahuluan XLI.24 Budi Susanto SJ dan A. Made Tony Supriatma, ABRI: Siasat Kebudayaan, 1945 – 1995. Jogyakarta: Kanisius, 1995.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 15
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
4. Militer pun dianggap memiliki orientasi pembangunan bertata nilai modern.
5. Militer berperan sebagai pemimpin dalam proses politik sebuah bangsa yang mampu menghindari berbagai ekses partisipasi yang menjurus pada instabilitas.
6. Anggota militer dipandang berpendidikan, dengan pengetahuan teknis, kepakaran, dan pengetahuan organisatoris.
7. Militer dipandang sebagai institusi paling efisien dalam memberikan solusi permasalahan, karena pada keadaan darurat bisa menggunakan kekerasan
8. Terakhir, fungsi militer yang “mempersatukan” dalam mengatasi konflik etnis, dipuji sebagai personifikasi bangsa25
Kurangnya pengalaman pemerintahan yang demokratis dari pihak elit politik pribumi
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketidakmampuan mereka untuk mengatasi
kesulitan dalam pengembangan ekonomi dan nation building. Secara khusus, pemerintah
pasca kolonial yang lemah ini tidak dapat menjamin stabilitas dan ketertiban internal pada
situasi yang ditandai dengan pertikaian etnis dan agama yang tajam. Lebih jauh lagi, negara-
negara baru ini kekurangan institusi politik yang kuat, seperti partai politik, lembaga legislatif
dan pengadilan yangn otonom serta kebebasan pers yang dapat memperkuat kontrol militer.
Hal ini menciptakan situasi yang membuat militer di banyak negara di Asia diizinkan campur
tangan dan menciptakan peraturan.26
Claude E. Welch27, mencatat delapan faktor yang memancing militer cenderung
melakukan intervensi. Faktor-faktor itu adalah (1) merosotnya prestise partai politik utama,
(2) perpecahan dikalangan politisi-politisi terkemuka, (3) usaha untuk menvegah serangan
dari luar, (4) pengaruh buruk dari kudeta di negara tetangga, (5) pertentangan dalam negeri
khususnya masalah etnis dan sosial, (6) malaise ekonomi, (7) korupsi dan inefisiensi
pemerintahan sipil dan (8) meningkatnya kesadaran di kalangan elite militer akan kekuasaan
militer akan kekuasaan mereka dan kemampuan untuk mempengaruhi atau menggantikan
para pemimpin politik sipil. Almos Perlmutter28 menyebutkan ada 3 kondisi sosial yang turut
membawa kebangkitan pretorianisme (intervensi militer dalam luar perannya) yakni, (1)
kelemahan stuktural atau disorganisasi, (2) adanya kelas-kelas sosial yang cenderung terpecah
25 Ivan A. Hadar, dalam Jurnal Wacana edisi 17 tahun 2004, Jogyakarta : Insist Press, , hh. 43-44.26 Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Jakarta : Raja Grafindo, 2001, h. 101.27 Claude E Welch, “Soldier and state in Africa” dalam A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, Jogyakarta : Lkis, 2004, hh. 24-25.28 Almos Perlmutter dalam Arif Yulianto, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orba, Jakarta : Grafindo, 2002, halaman 76-77
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 16
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
belah dan tidak mapu melaksanakan aksi terpadu, termasuk kelas menengah yang secara
politik impoten, (3) rendahnya tingkat aksi sosial dan mobilisasi sumber-sumber material.
Di Indonesia keterlibatan militer dalam peran politik dikarenakan pula ketidak
mampuan dan kepercayaan diri para elit politik sipil. Menurut A. Malik Haramain29
setidaknya ada 5 (lima) persoalan yang mendasari kecenderungan ketergantungan pemimpin-
pemimpin sipil kepada militer. Pertama, belum adanya pemahaman yang sama diantara
kekuatan-kekuatan sipil untuk bersama-sama, bahkan sebagian besar dari mereka tidak
mengetahui bagaimana caranya memposisikan dan meminimalisasi peran politik militer.
Kedua, konflik yang terjadi pada kekuatan sipil seringkali sebagian kekuatan sipil mengambil
keuntungan politis dengan cara mamanfaatkan konflik antara kalangan sipil lainnya dengan
militer. Ketiga, polarisasi yang terjadi di tubuh TNI ke dalam tiga barisan. Kelompok
progresif yang secara ideologi sepakat dengan prinsip supremasi sipil dan berusaha
mengembalikan fungsi militer ke pertahanan. Barisan kedua adalah kelompok militer
pragmatis yang setuju dengan perubahan, namun tidak serta merta menghapus fasilitas yang
dinikmatinya. Kelompok terakhir, kelompok militer konservatif yang sebetulnya tidak ingin
ada perubahan, kalaupun terjadi perubahan tidak mempengaruhi posisi dan otoritas militer
dalam pemerintahan. Dan polarisasi ini tampaknya militer Indonesia didominasi oleh
kelompok ketiga. Keempat, sipil belum mampu membangun institusi politik yang kuat dan
efektif. Kelima, pihak sipil belum mampu menyediakan legal frame work bagi civilian
supremasi di Indonesia.
Kelompok kedua melihat intervensi militer kedalam peran politik didorong keinginan
membela dan memajukan kepentingan militer. Eric A. Nordlinger melihat kecenderungan
intervensi militer kedalam peran non-militer semata-mata didorong oleh keinginan membela
dan memajukan kepentingan militer.30 Dimana intervensi perwira dibedakan menjadi tiga
bentuk dimana masing-masing memiliki tujuan sendiri-sendiri.31
Thompson dan Decato32 melihat kepentingan pribadi para perwira-keinginan mereka
untuk mendapatkan promosi, cita-cita politik dan takut dipecat adalah rangkaian faktor
pendorong yang penting dalam beberapa kudeta. Lebih spesifik Ulf Sundhaussen
menyimpulkan intervensi politik oleh militer Indonesia pada dasarnya mempertahankan
otonominya dalam soal-soal intern, untuk memelihara fungsi dan perannya, menentang usaha
untuk mempolitikkan angkatan bersenjata dan keinginan untuk menjunjung tinggi nilai-
29 A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, Jogyakarta : Lkis, 2004, hh. 358-359.30 Eric A. Nordlinger dalam Dwi Pratomo Yulianto, Kekuasaan dan Militer, Jakarta : Narasi, h. 348.31 Eric A. Nordlinger, Militer dan Politik, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, h. 34.32 Thompson dan Decato dalam Ibid, h. 95.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 17
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
nilainya, etosnya dan kehormatannya.33 S.F Finer mempunyai kesimpulan yang sama lebih
melihat internal militer sebagai faktor utama terjadinya intervensi. Faktor motivasi biasanya
sangat berpengaruh besar apakah militer akan mengintervensi atau tidak. Faktor ini mencakup
beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan akhir (nyata) tentara; dorongan dari
kepentingan nasional; kepentingan kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan kelas,
kepentingan regional (daerah), kepentingan korps, dan kepentingan.34
Dorongan keterlibatan militer Indonesia dalam peran di luar peran aslinya secara
sederhana dapat dilihat pada tabel berikut :
Faktor Penjelasan
Internal ABRI
Perwira – perwira intervensionis terutama didorong oleh motivasi untuk membela atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan norma konstitusional
Intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang darinya mereka berasal.
Kemahiran profesional di kalangan militer menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kepemimpinan sipil.
Intervensi militer dalam politik sebagai sebab ambisi pribadi perwira-perwira yang haus wibawa dan kuasa
Eksternal ABRI
Intervensi militer dalam politik akibat sebagai akibat dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan rentan.
Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah (untuk kasus Indonesia terjadi pada masa Demokrasi Parlementer pada tahun 1965) atau kelompok sipil dipandang tidak mampu memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas politik.
Kelompok sipil dianggap tidak mampu dalam melakukan modernisasi ekonomi.
Terjadinya disintegrasi nasional.
Sumber data : DPW-LIPI35
Menurut Yahya A. Muhaimin36 ada faktor eksternal dan internal yang mendorong
militer secara aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik. Faktor eksternal
diantaranya : (1) adanya ketidakstabilan sistem politik. Keadaan seperti ini membuat terbuka
33 Ulf Sundhaussen, dalam Dwi Pratomo Yulianto, Kekuasaan dan Militer, h. 350.34 S. F. Finer dalam A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, h. 22.35 Peneliti PPW LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Bandung : Mizan, 1999 h. 40.36 Yahya A. Muhaimin , Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia, Jogyakarta : UGM Press, 1982, h. 3-7.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 18
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam kehidupan
politik. (2) kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfer kehidupan politik,
bahkan untuk mendapatkan peranan-peranan politik yang menentukan. (3) political
perspective kaum militer atas kerja elite sipil. Dalam suatu keadaan di mana kepemimpinan
politik sipil dianggap militer tidak beres, korup, lemah dll maka dorongan intervensi militer
semakin besar. Sedangkan faktor internal adalah : (1) kepentingan golongan militer.
Kepentingan ini berupa; kepentingan militer sebagai satu institusi, dapat juga sebagi satu
kepentingan kelas, dapat kepentingan daerah dan dapat juga kepentingan pribadi. (2)
momentum psikologis militer dalam menggerakkan diri memasuki arena politik. Ada 2 (dua)
elemen dalam hal ini. Pertama, militer menyadari dirinya memiliki kekuatan tidak
terkalahkan dalam masyarakat. Kedua, perasaan dendam dan kecewa kalangan militer
terhadap sipil karena rasa harga-dirinya yang tinggi.
c. TNI pada Masa Reformasi
Jatuhnya pemerintahan Soeharto dikarenakan desakan kuat gerakan reformasi yang
dipelopori mahasiswa merupakan awal jatuhnya rezim Orde Baru. Pada situasi ini militer
mempunyai peranan penting dalam menjaga kedamaian peralihan kekuasaan. Militer tidak
melakukan upaya pengambil alihan kekuasaan, walaupun ada kalangan melihat adanya upaya
militer mengambil kekuasaan pada awal pergantian rezim. Akan tetapi, usaha atau
perencanaan yang dilakukan tidaklah serius. Dalam bukunya Bersaksi Ditengah Badai,
Wiranto menceritakan bahwa Presiden Soeharto memberikan Instruksi Presiden (INPRES)
No.16 tahun 1998 yang mengangkatnya sebagai Komando Operasi Kewaspadaan dan
Keselamatan Nasional. Lebih lanjut dikatakan dengan bekal INPRES tersebut dirinya dapat
mengambil alih kekuasaan jika mau.
Ketika mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan, bangsa ini tidak hanya
mengalami perubahan pemerintahan, akan tetapi berdampak pula pada struktur dan sistem
politik termasuk politik militer. Masyarakat kembali mengugat peranan politik dan ekonomi
yang selama rezim Orde Baru dijalankan secara leluasa oleh ABRI. Desakan ini lebih terkait
korelasi militer sebagai atribut kekerasan Orde Baru yang menimbulkan traumatik pada
masyarakat. Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh ABRI sebagai instrumen
kekuasaan Soeharto, seperti kasus Tanjung Priuk, Lampung, Malari ataupun Daerah Operasi
Militer (DOM) di Aceh menimbulkan sentimen negatif didalam masyarakat.
Peranan politik, sosial, maupun ekonomi militer lambat laun dikurangi sesuai
dengan desakan reformasi, sehingga militer tidak lagi menjadi kekuatan dominan. Akan
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 19
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
tetapi, pengurangannya sampai saat ini, masih pada posisi seimbang dan tetap menempatkan
militer dalam posisi mewarnai aktivitas politik faktual. Yuddy Crisnandi melihat bahwa
militer di era reformasi tidak lagi menjadi kekuatan yang mendominasi hubungan sipil-
militer. Meski begitu surutnya peran politik militer tidak memengaruhi daya tawar militer
terhadap kebijakan pemerintahan sipil. Kekuatan sipil mulai berada pada posisi yang
seimbang dengan kekuatan militer dalam menentukan proses kebijakan politik. Secara formal,
militer tidak lagi dilibatkan dalam urusan politik, namun secara faktual pengaruh militer
diperlukan kekuatan politik sipil untuk mendukung agendanya.37
Penataan kembali peran militer dengan semangat menciptakan militer yang
profesional dengan fokus pada masalah pertahanan pada era reformasi mengalami pasang
surut. Pada pemerintahan Habibie mulai dilakukan pembenahan formal pada keistimewaan
militer walaupun pertimbangannya adalah lebih pada kewajiban atas desakan reformasi
dibandingkan dengan political will pemerintah. Salah satu langkah penting yang terjadi adalah
mengurangi jatah militer di lembaga MPR, DPR dan DPRD. Desakan masyarakat yang begitu
kuat memaksa pula internal militer melakukan berbagai perubahan diantaranya, rencana awal
pemisahan struktur TNI dan POLRI, dikeluarkannya keputusan Mabes TNI terkait dengan
paradigma baru peran TNI, serta perubahan nama ABRI menjadi TNI yang merupakan
agenda reformasi internal militer.
Sukardi Rinakit mengatakan :
By and large, the wdole picture of the military’s internal reforms was reflected by its changed name, i.e. from ABRI ( Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Indonesian Armed Forces ) to TNI ( Tentara Nasional Indonesia, Indonesia Armed Forces ). In line with the new name, it was assumed that the miitary would change its dominat role following the completion of its internal reforms.38
Pemerintahan Gus Dur melakukan banyak perubahan radikal seperti pemisahan
Kementerian Pertahanan dan Keamanan serta menempatkan pejabat sipil pada Kementerian
Pertahanan. Gus Dur juga melakukan kebijakan mutasi besar-besaran dengan menggusur
kekuatan Wiranto cs yang banyak dianggap berbagai kalangan merupakan bentuk subjective
control civil upon military. Kebijakan inilah sebagai salah satu penyebab dilaksanakannya
Sidang Istimewa MPR yang mempunyai agenda pemberhentian Abdurrahman Wahid dan
pengukuhan Megawati sebagai presiden Indonesia berikutnya. Jatuhnya pemerintahan Gus
Dur dan manivestasi militer dalam naiknya Megawati sebagai presiden, membuat Megawati
37 Yuddy Chrisnandi, Menuju Profesionalisme TNI-Ulang Tahun ke-7 Reformasi TNI dalam http:// www.yahoo.com (diakses pada Rabu, 5 Oktober 2005).38 Sukardi Rinakit, The Indonesian Military after the New Order, Singapore : Nordic Institute of Asian Studies, 2005, h. 125.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 20
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
terkesan ragu dan lemah dalam mengontrol militer. Pemilu 2004 menampilkan figur Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden pilihan rakyat.
Akan tetapi sampai saat ini pemerintahan baru terlihat hati-hati dan terkesan lamban dalam
menuntaskan agenda reformasi militer. Hal ini terlihat dari inventarisir bisnis militer yang tak
kunjung selesai serta keraguan membuat keputusan terkait dengan relasi antara Presiden,
Panglima TNI dan Menhan.
Perjalanan dinamika hubungan sipil-militer yang dihiasi dengan semangat
pengurangan hak istimewa militer baik dari segi politik, sosial maupun ekonomi dimana
adanya hambatan yang berasal dari internal militer ataupun barasal dari kekuatan politik.
Lebih jelasnya, digambarkan pada penjelasan di bawah ini dengan penjelasan spesifik
masing-masing pemerintahan.
I. Era Pemerintahan Habibie
Mundurnya Soeharto digantikan Habibie membuat masyarakat khususnya LSM dan
mahasiswa semakin keras mendengungkan reformasi militer, meminta pemerintah dan DPR
segera mencabut dwifungsi ABRI yang telah menimbulkan banyak korban dan menghambat
demokratisasi. Akan tetapi kebijakan yang ditempuh Habibie dalam mengelola hubungan
sipil-militer relatif masih sama dengan periode Soeharto. Habibie masih memberikan jabatan
Panglima ABRI kepada Jenderal Wiranto yang mempunyai kedekatan dengan Soeharto.
Relatif tidak banyak kebijakan yang dilakukan untuk mengurangi peran sosial, politik dan
ekonomi militer serta untuk menunjukkan adanya kontrol sipil terhadap militer.
Habibie juga pernah berencana untuk mencalonkan kembali menjadi presiden
dengan menggandeng Wiranto sebagai wakil presidennya. Rencana ini merupakan jaminan
bahwa kepentingan militer tidak akan dikorbankan. BJ Habibie juga tidak pernah mencampuri
urusan internal tentara. Maka tidak berlebihan, jika keadaan ini disimpulkan bahwa Habibie
menjaga dengan setia militer yang diwariskan Soeharto kepadanya.39 Yuddy Crisnandi
melihat, pada masa kepemimpinan Habibie, Wiranto mempunyai kewenangan mengatur
kebijakan institusi militer. Bahkan ada kecenderungan militer memiliki pengaruh yang besar
terhadap kebijakan yang akan diambil Habibie. Seperti pendirian Kodam Iskandar Muda
Aceh (1999), pembentukan Kamra di berbagai daerah, pergantian Kapolri (1998) serta
dipisahkannya Kepolisian RI dari ABRI (1999).40
39 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini, dan Kelak, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001, h.33840 Yuddy Crisnandi, Reformasi TNI, Jakarta : LP3ES, 2005, h. 98.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 21
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Walaupun Habibie tidak banyak membuat kebijakan terkait dengan reformasi militer,
dan memberikan kewenangan Wiranto mengatur kebijakan militer. Akan tetapi, ada beberapa
hal yang perlu dicatat sebagai bagian positif penataan militer pada era ini dalam hal
penghapusan dwi fungsi ABRI, penataan masalah pertahanan dan kemanan serta perubahan
paradigma militer . pada tanggal 1 Februari 1999, BJ Habibie mengesahkan UU No.4 tahun
1999 tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD. Di dalam Undang-Undang ini diatur tentang
keberadaan militer dalam kelembagaan MPR, DPR dan DPRD sebagai berikut :
1. Jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang : DPR, 500 orang. Utusan Daerah 135 orang
2. Jumlah anggota DPR sebanyak 500 orang dimana anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang
3. Jumlah Anggota DPRD I sekurang-kurangnya 45 orang dan maksimal 100 orang termasuk 10 % ABRI yang diangkat.
4. Jumlah Anggota DPRD II sekurang-kurangnya 20 orang dan maksimal 45 orang termasuk 10 % ABRI yang diangkat.
Jumlah anggota DPR / MPR dari Fraksi ABRI yang diangkat di dalam UU No. 4
tahun 1999, lebih sedikit jumlahnya dibandingkan Undang-Undang sebelumnya UU No. 5
tahun 1995 sebanyak 75 orang.
Pemerintahan Habibie juga membuat kebijakan awal untuk memisahkan institusi
ABRI dengan institusi Kepolisian. Pada era ini pula, dikarenakan desakan yang kuat dari
masyarakat, Mabes TNI mengeluarkan kebijakan reformasi internal militer diantaranya :
pertama, perubahan paradigm shift sebagai penyesuaian peran sosial-politik ABRI (belum
penghapusan sebagaimana desakan masyarakat) dimana ABRI berupaya mengubah posisi dan
metode tidak harus selalu di depan, ABRI mengubah konsep menduduki menjadi
mempengaruhi dan mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung
serta bersedia melakukan political role sharing dalam pengambilan keputusan penting
kenegaraan dengan komponen bangsa lainnya.41 Kedua, perubahan nama ABRI menjadi TNI
sebagai upaya mengubah citra karena nama ABRI lebih berkonotasi pada security approach
sementara TNI lebih mmpunyai latar belakang historis dengan kedekatannya dengan rakyat.42
Ketiga, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan menegaskan
netralitasnya pada pemilu tahun 1999. Di dalam Buku Pemilu Mabes TNI tentang Netralitas
41 ABRI Abad XXI : Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta : Mabes ABRI, 1998, h. 18.42 Arif Yulianto, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta, Grafindo, 2002, hl 357
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 22
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
TNI dan Polri ditegaskan bahwa : “TNI tidak mempunyai kewajiban melakukan upaya guna
memenangkan salah satu partai politik peserta pemilu, TNI tidak berpihak kepada partai
politik peserta pemilu manapun juga serta TNI memberikan perlakuan yang sama secara adil
dan proporsional kepada seluruh partai politik peserta pemilu”. Akan tetapi dengan
penegasan TNI untuk netral tidak serta merta TNI tidak terlibat sama sekali dalam
pemenangan pemilu. Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI) yang
bekerja sama dengan United Nations Developmnt Programme (UNDP) mencatat terdapat
pelenggaran netralitas TNI pada saat kampanye dan pencoblosan sebanyak 100 kali dengan
mendukung Golkar sebanyak 30 kali. Akan tetapi dibandingkan dengan masa Orde Baru
mengalami penurunan signifikan43 banyak kalangan seperti LSM dan Mahasiswa melihat
perubahan-perubahan diatas dianggap sebagai reaksi atas tuntutan baik dari dalam maupun
luar negeri, bukan semata-mata kesadaran intrnal TNI.44 Kesedian militer menerima agenda
reformasi nasional seperti Sidang Istimewa 1998, Pemilu yang dipercepat pada Juni 1999,
penuntutan kasus KKN Orde Baru, pengadilan mantan Presiden Soeharto, hingga tuntutan
pencabutan dwifungsi ABRI, menunjukkan bahwa lembaga militer tidak berdaya menghadapi
tekanan publik yang demikian luas.45
Peristiwa lain yang perlu dicatat dalam era pemerintahan Habibie ialah, tidak
bersedianya Wiranto dicalonkan sebagai Cawapres pada SU MPR tahun 1999 oleh partai
politik manapun termasuk dengan Habibie. Pada tanggal 18 Oktober 1999, Wiranto yang
masih menjabat menteri Pertahanan dan Keamanan/ Panglima TNI menegaskan posisinya
yang tidak bersedia dicalonkan menjadi Wapres atau Presiden oleh kekuatan politik manapun
termasuk Presiden Habibie, dan hanya akan berkonsentrasi pada pelaksanaan tugas
pengamanan MPR.46
Sikap ini mendapatkan banyak dukungan dan dinilai kebijakan positif dan
menandakan militer memiliki kebesaran hati untuk meninggalkan pentas politik. Dikarenakan
sikap ini didapatkan melalui pertimbangan para Jenderal.47 Akan tetapi banyak kalangan pula
43 A. Malik Haramain dan MF. Nurhuda, dalam Ibid, h. 373.44 Arif Yulianto, Op.Cit., h. 359.45 Reformasi yang dilakukan ABRI lebih didasari pada desakan publik yang dilakukan oleh mahasiswa, masyarakat serta forum internasional, sehingga militer tidak punya pilihan lain kecuali harus memperbarui diri, mengaktulisasikan perannya sebagai cermin bahwa ada niat baik untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Lihat Tim Peneliti YAPIKA, Tentara Yang Gelisah, Bandung : Mizan, 1999, hh. 88-89 dan 109.46 Kompas, 19 Oktober 1999, “Diajak Duet dengan Habibie, Wiranto Menolak”.47 Para Perwira memastikan tidak ada rekomendasi Mabes TNI dan Fraksi ABRI dilegislatif yang mendukung pencalonan Jenderal Wiranto. Para Perwira yang menjadi staf Panglima ABRI, seperti Letjen. Susilo Bambang Yudhoyono, Laksamana Widodo AS, Mayjen Sudi Silalahi dan Mayjen Sudrajat memberikan saran yang sama bahwa Jenderal Wiranto akan lebih baik tidak menerima atau tidak mengikuti rivalitas pencalonan Presiden atau Wakil Presiden. Lihat, Yuddy Crisnandi, Reformasi TNI, Jakarta : LP3ES, h. 91.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 23
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
yang melihat sikap ini sebagai retoris belaka. A. Malik Haramain48 melihat keputusan menarik
diri dari perebutan posisi Wapres sebetulnya tidaklah ditentukan oleh komitmen Wiranto dan
TNI, tetapi lebih disebabkan oleh faktor politis. Karena adanya laporan intelejen peluang
Habibie agar laporan pertanggung jawabannya diterima sangat kecil.
Yuddy Krisnandi bercerita agak panjang tentang penarikan Wiranto berpasangan
dengan Habibie.Sejumlah perwira jenderal seperti Tyasno Sudarto, Yudhoyono, Sudi Silalahi
memberikan gambaran bahwa posisi Habibie berat, ada kemungkinan PDIP akan menolak
Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ), ditambah sekelompok anggota Golkar yang mempunyai
agenda mendorong Akbar untuk naik. Sehingga posisi ini tidak menguntungkan Wiranto
berpasangan dengan Habibie. Saran para jenderal agar Wiranto ditarik ke posisi yang netral,
sehingga kalau ada kesempatan bisa dipasangkan dengan yang lain.49
Yuddy Crisnandi menambahkan, Wiranto sebetulnya tetap menginginkan posisi
Wapres, bahkan Capres walaupun LPJ Habibie ditolak. Hal ini, terlihat dari reaksi Wiranto
setelah keputusan rapat DPP Golkar tidak memasukan Wiranto sebagai salah satu kandidat
Wapres, dan Golkar justru menjagokan Akbar Tandjung sebagai Capres.50
Pencalonan Jenderal TNI Wiranto sebagai Wapres juga melibatkan beberapa perwira tinggi di
Mabes TNI. Mayjen TNI Saurip Kadi mengatakan, “Cilangkap terlibat merekayasa, supaya
Partai Daulat Umat ( PDU ) mencalonkan Wiranto sebagai wapres. Pencalonan itu, bukan
hanya Wiranto sebagai pribadi, tapi juga didorong oleh kelompok kekuatan lama”.51
2. Era Abdurrahman Wahid
Paul Wolfowitz, Kepala Kajian Internasional Universitas John Hopkins, Amerika
Serikat mengatakan bahwa Gus Dur adalah presiden Indonesia yang bisa membawa Indonesia
ke supremasi sipil sebagaimana diinginkan Amerika Serikat. Lebih lanjut ia mengatakan
“...salah satu masalah terbesar yang dihadapi Abdurrahman Wahid adalah bagaimana
membuat militer di bawah kontrol sipil. Ia tahu itu tidak mudah, tapi dia tahu harus
melakukannya, dan dia punya strategi khusus untuk itu”.52 Reformasi militer terkait peran
militer pada masa Abdurrahman Wahid memiliki beberapa terobosan baik bersifat substansial
ataupun operasional diantaranya :
a. Pemisahan Kementerian Pertahanan (Menhan) dan Kementerian Keamanan
48 A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer dan Politik, Jakarta : LKiS, 2004, h. 161.49 Ibid.50 Ibid., h. 162.51 Ibid.52 “Angin Supremasi Sipil”, Kompas, 17 November 1999.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 24
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Hal yang pertama dilakukan Gus Dur ketika menjadi Presiden adalah penataan
institusi militer dengan memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dan Kementerian Kordinator
Politik dan Keamanan. Seperti diketahui selama puluhan tahun era Orde Baru pucuk
pimpinan angkatan bersenjata dipegang oleh satu orang yakni Menhankam/Pangab (Menteri
Pertahanan dan Keamanan/ Panglima ABRI). Pemisahan ini dimaksudkan untuk membatasi
militer dari persoalan internal negara, dengan posisi pertahanan mengonsentrasikan militer
dari ancaman atau intervensi negara lain.
b. Mengangkat tokoh-tokoh sipil untuk jabatan Menteri Pertahanan
Gus Dur mempelopori penempatan pejabat sipil sebagai Menteri Pertahanan setelah
selama puluhan tahun jabatan itu dijadikan domain militer, dengan menunjuk Juwono
Sudarsono. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati maupun Susilo
Bambang Yudhoyono. Ben Anderson53,menyatakan bahwa penempatan orang sipil dalam
jabatan Menhan adalah perubahan yang sangat menggembirakan dan merupakan jaminan
bahwa pmerintahan Abdurrahman Wahid akan menghapus jejak-jejak politik militer yang
mendominasi selama hampir setengah abad dalam pemerintahan negara Indonesia.
Menurut Mahfudz MD54 ada dua alasan, mengapa jabatan Kementerian Pertahanan
harus diisi sipil. Pertama, ke depan sistem pertahanan nasional (national devence) tidak lagi
hanya bertumpu pada kekuatan militer. Ancaman terhadap pertahanan nasional ke depan jauh
lebih kompleks (tidak hanya bersifat fisik), tetapi juga non-fisik (misal, ancaman ideologi,
psikis, kultur, dan lain-lain). Karena itu, sistem pertahanan nasional harus mencakup berbagai
front (multifront). Kiranya amat tepat jika kementerian ini dipegang oleh figur dari sipil.
Kedua, penempatan sosok sipil pada institusi Dephan juga dimaksudkan untuk memperketat
atau menciptakan kontrol sipil atas militer. Presiden terpilih (the elected politicians) biasanya
melakukan kontrol atas institusi militer melalui kewenangan yang dimiliki Menteri
Pertahanan. Di negara-negara maju, bahkan Malaysia, posisi TNI ada di bawah dan menjadi
bagian Kementerian Pertahanan.
Hal yang menarik bahwa usulan penempatan pejabat sipil sebagai Menhan juga
didukung oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, dalam pertemuan dengan Gus Dur
dalam penyusunan formasi kabinet. Adapun alasan Wiranto adalah :
“Pertama, karena pada kondisi seperti ini sistem pertahanan nasional kita tidak harus bertumpu pada militer, tetapi pertahanan yang bisa mencakup berbagai front yang memiliki ilmu itu sekarang orang sipil, tidak semua orang sipil, tapi yang sudah terpilih
53 Newsweek edisi April 1999.54 Mahfudz MD, dalam pengantar Gus Dur Militer dan Politik, A. Malik Haramain Gus Dur Militer dan Politik, Jogyakarta : Lkis, 2004.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 25
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
dan paham pertahanan versi militer, dan orangnya Juwono Sudarsono. Kedua, TNI ingin membuktikan kepada publik bahwa sikap untuk memberikan kursi Dephan kepada sipil merupakan sikap TNI yang benar-benar legowo. Saat ini TNI sudah sangat berbeda dalam melihat posisinya dalam birokrasi. TNI berharap mendapat penilaian positif terhadap kenyakinan publik bahwa TNI memang serius melakukan reformasi”.55
c. Penegasan pemisahan TNI-Polri dan menempatkan lembaga TNI dan Polri di bawah
langsung lembaga kepresidenan
Gagasan pemisahan TNI-Polri muncul pada masa pemerintahan Habibie, akan tetapi
sampai dengan awal tahun 1999 gagasan ini belum terealisasi. Pemisahan TNI-Polri
dimaksudkan untuk memperjelas tugas, wewenang dan tanggung jawab TNI dan Kepolisian.
Letjen TNI Agus Widjojo mengatakan :
Kebijakan ini dimaksudkan untuk melepaskan tentara dari masalah keamanan dalam negeri, dan sebagaimana dikatakan oleh Samuel Huntington “manakala tentara dilibatkan masuk dalam masalah-masalah keamanan dalam negeri dia akan dengan mudah terpeleset dalam kancah politik.” Ini juga untuk menunjukkan bahwa pada hakekatnya polisi itu berbeda dengan tentara, keamanan dalam negeri diserahkan, salah satunya, kepada polisi karena inti dari pendidikan dan pelatihannya adalah penegakan hukum. Tetapi kepada prajurit pendidikan dan pelatihannya adalah memburu musuh. Jadi, disini harus diberikan kepada publik untuk memisahkan pertahanan yang mwrupakan fungsi dari TNI dan keamanan kepada Polri.56
d. Penghapusan lembaga Badan Kordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional
(Bakorstanas) dan Lembaga Penelitian Khusus (Litsus)
Kebijakan lain yang diluncurkan Gus Dur yang bertujuan untuk mengikis hak
prerogatif militer adalah penghapusan Bakorstanas dan Litsus. Kebijakan ini dikeluarkan
melalui Keppres No.38 tahun 2000. Malik Haramain (2004), melihat kebijakan ini sebagai
upaya pengurangan sejumlah hak istimewa TNI. Semakin efektif pengurangan hak istimewa
TNI dilakukan semakin efektif pula kontrol pemerintahan sipil terhadap militer. Sebab,
semakin rendak hak istimewa militer terutama dalam urusan politik, maka semakin terbuka
peluang kontrol sipil diberlakukan.
e. Penghapusan dominasi Angkatan Darat sebagai Panglima TNI
Keputusan ini tercermin dalam kebijakan menempatkan Laksamana Widodo AS
sebagai Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab TNI). Kebijakan ini sebagai upaya
menciptakan tradisi baru dalam pengisian jabatan di tubuh TNI yang selama ini selalu
menjadi jatah Angkatan Darat. Penempatan orang Angkatan Laut (AL) pada posisi tertinggi
dalam hirarki kemiliteran TNI sebagai usaha memecahkan mitos bahwa Angkatan Darat lebih
55 Wiranto, Ibid., h. 214.56 Agus Widjojo, Ibid., h. 209.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 26
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
cocok dan lebih berhak untuk mengisi posisi Pangab, dan dengan kebijakan ini dimungkinkan
terjadinya sharing kekuatan dan kekuasaan antar angkatan di internal TNI.
Menurut Indria Samego, pengangkatan Laksamana TNI Widodo AS sebagai Panglima
TNI oleh Gus Dur bukan semata-mata karena hubungan dekat keduanya, melainkan lebih
merupakan pemerataan kesempatan bagi anggota TNI. Karena selama ini Panglima TNI
selalu berasal dari unsur TNI AD, padahal kedudukan sebagai anggota prajurit TNI secara
undang-undang mempunyai kesempatan yang sama dalam struktur kepemimpinan TNI,
apakah itu TNI–AD , TNI–AL ataupun TNI–AU.57
f. Perumusan TNI dibawah Dephan
Setelah Abdurrahman Wahid mengganti Juwono Sudarsono dengan Prof. Mahfud MD
ada upaya mempersipkan UU Pertahanan untuk menggantikan UU No. 20 tahun 1982.
Dimana, menurut Mahfud MD58 bahwa di dalam RUU Pertahanan itu terdapat pasal yang
mengatur bahwa seluruh angkatan yang ada di TNI berada dibawah Departemen Prtahanan
(Dephan). Keuntungan TNI dibawah Dephan antara lain TNI sepenuhnya berada di bawah
komando pemerintahan. Dengan demikian, situasi yang melibatkan konflik militer dengan
presiden seperti sering terjadi akan lebih bisa dikontrol karena komando berada di satu
tangan. Sementara yang terjadi sebelumnya di TNI adalah seluruh komando ada di tangan
Panglima sedangkan dukungan material dan persenjataan dari Dephan.
Namun, RUU menempatkan Panglima dibawah Dephan tidak tuntas, karena Panglima
TNI dan Menhan dalam struktur yang sejajar.59 Mahfud selanjutnya mengatakan :
“…kalau mau tuntas, Menhan seharusnya di atas Panglima. Menhan itu membuat kebijakan politik yang kemudian dilaksanakan oleh Panglima. Ketika Gus Dur mengangkat saya, dia minta agar bagaimana dari sudut ketatanegaraan diatur seperti itu dan saya diminta menyiapkan UU. Tapi, karena sudah 32 tahun, anggota TNI berpikir bahwa Panglima itu strategis, sehingga sulit dirubah. Akhirnya hanya bersifat kordinatif, bukan dibawah Menhan dan sama-sama dibawah presiden. Yang satu ngurusi kebijakan, satu lagi ngurusi kemiliteran, jadi kacau. Sebenarnya suatu saat, harus ada penegasan, bahwa Panglima kedudukannya di bawah Menhan. Negara-negara lain Panglimanya dibawah Menhan, kecuali Indonesia dan Birma...”.
g. Mutasi Perwira di tubuh TNI
Langkah lain yang diambil Gus Dur dalam pembenahan militer adalah kebijakan
mutasi perwira, kebijakan ini membuat hubungan sipil-militer pada era Gus Dur berada
57 Indria Samego, TNI di Era Perubahan, Jakarta : Erlangga, Jakarta, 2000, hl 2058 Suara Pembaharuan, 11 September 2000, “Seluruh angkatan akan berada di bawah Dephan”.59 Mahfud MD, dalam A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, , Jogyakarta : Lkis, h. 215.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 27
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
eskalasi konflik yang tinggi. Banyak kalangan menilai langkah-langkah Gus Dur dalam
melakukan mutasi besar-besaran seperti pergantian Pangkostrad Djaja Suparman oleh Agus
Umar Wirahadikusumah, melikuidasi posisi Wakil Panglima TNI yang ditempati Fachrul
Razi dan puncaknya pencopotan Wiranto sebagai Menkopolkam dianggap intervensi sipil
kedalam militer yang terlalu jauh atau subjective civilian control over military, dan
mendorong militer melakukan penolakkan atas keputusan tersebut (munculnya isu ancaman
dari beberapa jenderal untuk mengundurkan diri)60 dan akhirnya melakukan perselingkuhan
dengan elit-elit sipil untuk menurunkan Abdurahman Wahid sebagai presiden. Menurut Ulil
Albab, gejolak yang timbul akibat sikap Gus Dur yang keras terhadap militer sangat masuk
akal. “Ibarat gigi dicabut, pasti sakit. Pasti ada penolakan”. Sementara itu, A.S Hikam
mengatakan : “Sejak Gus Dur me-reshuffle Wiranto, itu awal kemarahan militer. Dan tentara
berusaha mencari pegangan yang baru, kemudian mereka melihat Megawati yang orangnya
cukup pragmatis dan bisa pro militer”.61
Peneliti LIPI, Dewi Fortuna Anwar menulis semasa pemerintahan Gus Dur. “Ada
kecenderungan politisi sipil dalam urusan internal militer. Padahal, dalam reformasi TNI
ada batas-bats kontrol sipil terhadap militer. Wewenang dan hak TNI untuk mengatur urusan
internalnya tidak bisa diganggu. Hanya hal-hal yang bersifat eksternal sajalah TNI harus
tunduk kepada sipil. Karena itu, ketika sipil mulai ikut campur dalam urusan internal TNI,
tidak heran bila Pimpinan TNI melakukan serangan balik kepada pemerintah sipil”.62
Perlawanan militer terhadap intervensi sipil tidak hanya terjadi pada era pemerintahan
Abdurrahman Wahid akan tetapi terjadi pula pada tahun 1950-1980-an. Dwi Pratomo
Yulianto mengatakan bahwa, keberadaan aspek intervensi pihak luar terhadap urusan internal
tentara dan aspek kepemimpinan yang kuat pada jajaran tentara-secara simultan telah terbukti
memberikan pengaruh secara signifikan terhadap kecenderungan resistensi politik tentara
terhadap pengintervensi.63 Kemudian Nordlinger dan Huntington mengatakan, sifat eksklusif
dalam promosi jabatan merupakan bentuk korporat militer yang mendasar, karena itu tidak
bisa diganggu.64
Penonaktifan Wiranto sebagai Menkopolkam oleh Gus Dur secara formal tidak
ditentang oleh militer namun menimbulkan kekecewaan dikalangan militer. Letjen. Djaja
Suparman mengatakan bahwa prajurit TNI akan sakit hati bila pimpinannya disakiti, dapat
60 Republika, 8 Maret 2000, “kecewa atas hasil mutasi, sejumlah Jenderal akan Mundur dari TNI”.61 A.S Hikam. Op.cit., h. 356.62 Dewi Fortuna Anwar, dalam Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara , Jogyakarta : Lkis, 2004, h. 332.63 Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Jogyakarta : Narasi, 2005, h. 380.64 Abdoel Fattah, Op.Cit.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 28
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
dilihat ungkapan kekecewaan atas keputusan presiden tersebut dengan adanya desakan para
perwira militer AD yang meminta pencopotan Letjen. TNI Agus Wirahadikusumah dari
jabatan Pangkostrad.65
Beberapa hal yang menjadi pertanyaan menarik adalah, sejauhmana keterlibatan
militer dalam upaya pelengseran Abdurrahman Wahid ? Keterlibatan militer yang jelas
terlihat adalah pertama, penolakan militer atas rencana Gus Dur melakukan mutasi KSAD.66
Kedua, membiarkan maraknya aksi demostrasi yang meminta Abdurrahman wahid mundur
dari kursi kepresidenan.67 Ketiga, dukungan dijatuhkannya Memorandum I kepada
Abdurrahman Wahid, dukungan Fraksi TNI pada percepatan Sidang Istimewa MPR pada
bulan Juli 2001.68 Serta sikap penolakan TNI atas keluarnya Dekrit Presiden 23 Juli 2001.69
Walaupun banyak pihak yang mengatakan bahwa konflik kepemimpinan dibawah Gus
Dur dengan militer sebagai kondisi yang mempercepat kejatuhan Gus Dur sebagai presiden.
Namun, pelengseran Gus Dur dan pengangkatan Megawati menjadi presiden melalui Sidang
65 Yuddy Crisnandi, Reformasi TNI, Jakarta, LP3ES, 2005, h. 105.66 Perwira militer menolak rencana Gus Dur untuk mengganti KSAD Jenderal Tyasno Sudarto dengan Letjen Agus Wirahadikusuma (AWK), bahkan meminta Panglima TNI memberhentikan AWK sebagai Pangkostrad dan di non-jobkan dari segala jabatan struktural kemiliteran. Desakan ini membuat Gus Dur mengganti AWK dengan Ryamizard dan mengangkat Endiartono Sutarto sebagai KSAD. Hal ini menjadi titik balik kekalahan otoritas Gus Dur dalam mengendalikan militer dan mengembalikan rasa percaya diri militer sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan. Lihat Ibid, h. 119. Fenomena penolakan dan perlawanan TNI terhadap rencana mutasi atau tepatnya pergantian KSAD dan penolakan dekrit presiden bisa disebut sebagai salah satu bentuk intervensi militer, Intervensi TNI terhadap presiden Gus Dur dilakukan dengan cara menolak bekerjasama, mengintimidasi otoritas sipil, melemahkan dan melakukan kolusi dengan sipil lainnya. Lihat A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, h. 344.67 Mayjen. Zacky Makarim mengatakan, aksi-aksi demostrasi mahasiswa yang kemudian marak, diduga oleh berbagai pihak akan mendapat dukungan tidak langsung dari pihak militer yang mulai gerah dengan kebijakan Presiden terhadap militer. Ada kesan kuat bahwa militer tidak begitu gembira dengan kepemimpinan Gus Dur yang acap kali mengintervensi militer, sehingga diduga membiarkan berlangsungnya protes-protes mahasiswa kepada pemerintahan Abdurrahman Wahid. Lihat Yuddy Crisnandi, Reformasi TNI, LP3ES, hh. 105-107. Motif seperti ini pernah dilakukan pada saat mundurnya Soeharto, TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Komnas HAM dalam laporannya menyebutkan selama kerusahan 13-14 Mei, aparat keamanan hampir sama sekali tidak terlihat. Lihat Fadli Zon, Politik huru-hara Mei 1999, h. 105.68 Sikap Fraksi TNI-Polri kembali tidak netral dengan mendukung percepatan sidang istimewa MPR yang semula dijadualkan 1 agustus menjadi 21 Juli 2001. dipicu kebijakan controversial Gus Dur mengangkat Wakil Kapolri, Chaeruddin Ismail menjadi Kapolri menggantikan Suroyo Bimantoro tanpa mendapatkan persetujuan DPR sesuai ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri. Lihat, Arief Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba, hlm 437-438. Letjen TNI Djaja Suparman mengatakan, bahwa Amien Rais mengungkapkan : “ saya telah bertemu dengan Panglima TNI dengan jajarannya lengkap, pemimpin Polri, Pangdam Jaya. Mereka siap mengamankan SI. Siapapun yang mengangu SI akan ditindak. Lihat. A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, hlm 295.69 Mayjen Saurip Kadi menegaskan bahwa jatuhnya Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari peran besar TNI, tidak hanya masalah dekrit, tapi hal-hal sebelumnya juga. Bondan Gunawan berpendapat bahwa, penolakan dekrit oleh TNI merupakan klimaks dari kekecewaan TNI terhadap Gus Dur. Lihat. A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, hh. 284 & 296. Akan tetapi penolakan militer untuk menjalankan militer tidak hanya manivestasi kekecewaan atas kebijakan Gus Dur, akan ditepi merupakan sikap dikarenakan militer memandang dekrit presiden untuk membubarkan parlemen merupakan sesuatu yang inskonstitusinal dan mengancam stabilitas nasional.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 29
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Istimewa MPR, lebih merupakan agenda politis kekuatan politik yang ada. Seperti, Golkar,
PDIP, PAN, PPP dan partai politik lainnya serta yang ketika awal menjadi penggagas Poros
Tengah serta ormas-ormas Islam. Walaupun ABRI masih memiliki perwakilan di MPR
sebanyak 38 orang, akan tetapi kekuatan ini belum cukup untuk melakukan manuver. Gus
Dur dinilai kalangan Islam dan nasionalis membahayakan keutuhan bangsa (rencana
pencabutan Tap MPRS tentang pelarangan PKI dan rencana pembukaan jalur perdagangan
dengan Israel) dan tidaklah lagi akomodatif dengan kepentingannya. Militer menjadi mitra
strategis kekuatan ini untuk melengserkan Abdurrahman Wahid, dikarenakan militer juga
yang mempunyai kekecewaan terhadap kebijakan Gus Dur yang terlalu dalam mengintervensi
institusi militer.
Turunnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden sebelum waktunya merupakan
kegagalan dalam penataan institusi militer khususnya dalam koridor penegakan supremasi
sipil. Kebijakan yang diambil terlalu cepat dan vulgar dengan melanggar ketentuan atau nilai-
nilai yang ada dimiliter (mutasi perwira) menyebabkan munculnya resistensi militer yang kuat
dan berkolaborasi dengan elite partai politik untuk membuat “suasana” baru.
A. Malik Haramain melihat, penegakan supremasi sipil dan mengembalikan militer
kebarak di era kepemimpinan Gus Dur dapat disimpulkan gagal. Hal ini disebabkan yaitu ;
Pertama, adanya konflik yang berujung pada fragmentasi di antara kekuatan sipil telah
membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam politik praktis. Keterlibatan militer
ditunjukan dengan dukunganya terhadap penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR. Kedua,
secara ideologis, militer belum bersedia menarik diri dari domain politik praktis. Karena,
secara substansi, doktrin dan keyakinan anggota militer belum berubah. Alasan klasik
(internal militer) yang menyebabkan militer “emoh” kembali ke barak karena pemerintah
belum sepenuhnya mampu memenuhi anggaran, kesejahteraan dan fasilitas untuk menjadikan
militer yang profesional.70
3. Era Pemerintahan Megawati
Pengalaman pemerintahan Gus Dur dan manivestasi militer dalam naiknya Megawati
menjadikan penguatan atau penegakkan supremacy cipil mengalami pelemahan. Rizal
Sukma71 melihat, sejak kejatuhan Gus Dur ada anggapan di kalangan politisi sipil bahwa
kalau tidak menjaga hubungan baik dengan militer, posisinya lebih gampang digoyang dan
rapuh. Akibatnya, pemerintahan Megawati tidak antusias untuk mendorong reformasi militer.
Hal inilah yang menyebabkan pemerintahan Megawati berhati-hati dalam membuat kebijakan
70 A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, Jogyakarta : Lkis, 2004, h. pengantar.71 Rizal Sukma.PhD, dalam papar: politik tentara selesai, reformasi belum mulai. www.csis.or.id
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 30
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
yang menyangkut kepentingan militer khususnya penegasan peran atau posisi Panglima TNI
merupakan subordinasi pemerintahan sah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Malik Haramain menegaskan bahwa :
Pola hubungan sipil-militer di Indonesia pada pemerintahan Megawati lebih cenderung pada model civil-military coalitions, militer biasanya terlibat aktif dalam mendukung salah satu kekuatan politik sipil (biasanya partai yang sedang berkuasa), dengan sejumlah syarat atau konsesi-konsesi tertentu. Sehingga langgengnya koalisi sipil-militer amat bergantung pada sejauh mana pemerintahan sipil mampu melindungi hak istimewa militer, terutama menyangkut persoalan budget dan perlindungan dari tuntutan hukum. Jadi, kokohnya kekuasaan sipil banyak dipengaruhi dukungan politik militer. Sebaliknya, rapuhnya kekuasaan sipil disebabkan penarikan dukungan politik militer (Haramain, 2002).
Mayjen. Zacky Makarim berpendapat, Militer cukup puas dengan berlangsungnya
pelaksanaan sidang istimewa yang berhasil menetapkan Megawati sebagai presiden secara
konstitusional. Megawati dianggap lebih akomodatif bagi kepentingan militer dan dalam
pandangan militer tidak dikhawatirkan melakukan kebijakan yang kontroversial bagi militer.72
Sukardi Rinakit say :
The soft approach of Megawati and her party, PDI-Struggle towards manifested in their preference to work together with the military. Pramono Anung the vice secretary of PDI-Strunggle explained, PDI-Strunggle considered the military an asset of the nation essential to the nation’s political processes. This reflected their acceptance of the military. Therefore, it was not a surprise when Megawati chose four generals to becone her cabinet members. They were Susilo Bambang Yudhoyono ( Coordinating Minister for Security and Political Affairs ), Hari Sabarno ( Minister of Home Affairs ), Agum Gumelar ( Minister of Transpotation ) and A.M Hendropriyono ( Chief of the Indonesian Intelligence Agency. In contrast to the inauguration of Gus Dur’s first cabinet, which was only attended by the Army Chief of Staff, her cabinet inauguration was attended by the chiefs of staff from the various military forces.73
Pelemahan penegakkan supremacy civil pada era Megawati telah diprediksi
sebelumnya, dikarenakan pula lemahnya kemampuan dan komitmen Megawati dalam
menegakkan supremacy civil. William Lidle menyatakan kekhawatirannya bahwa masa depan
hubungan sipil-militer di Indonesia yang berarti juga masa depan demokrasi, karena banyak
tanda bahwa para pemimpin sipil terlebih Megawati Soekarnoputri dan pemimpin lain di PDI
Perjuangan belum mengerti pertanggung jawaban mereka untuk menegakkan supremasi sipil
di masa transisi.74 Pemerintahan Megawati memang terlihat tidak mempunyai arah yang jelas
dalam menata militer, hal ini dapat terlihat dari penunjukan Matori Abdul Djalil sebagai
72 Yuddy Crisnandi, Reformasi TNI, Jakarta, LP3ES, 2005, h. 108.73 Sukardi Rinakit, The Indonesian Military after the New Order, Singapore : Nordic Institute of Asian Studies, 2005, h. 214.74 www. Kompas.com ( 23 Juli 2003 )
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 31
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Menteri Pertahanan. Melihat dari track record-nya pertimbangan politis lebih dikedepankan
ketimbang kapabilitas. Jabatan Menteri Pertahanan sempat pula kosong dalam jangka waktu
cukup lama dikarenakan (alm.) Matori Abdul Djalil terkena stroke.
Pola hubungan sipil-militer pada era Megawati menggambarkan kelemahan
pemerintah dalam menghadapi kehendak militer. Bahkan George Junus Aditjondro melihat
perkembangan militer pada era Megawati sebagai demiliterisasi, walaupun kondisi ini terjadi
bukan semuanya dikarenakan political will pemerintah. George Junus Aditjondro75 melihat
yang berlangsung pada masa pemerintahan Megawati bukanlah demiliterisasi sebagaimana
desakan banyak pihak, akan tetapi sebaliknya, militer melakukan berbagai cara untuk kembali
berperan layaknya pada pemerintahan orde baru, dikatakan sedikitnya ada tujuh indikator
remiliterisasi di Indonesia.
Indikator pertama yang menandai gejala demiliterisasi adalah meningkatnya
kepercayaan diri konglomerat-konglomerat yang berafiliasi ke militer untuk menunjukan
kuku dan taringnya, kasus teror yang dilakukan Tomy Winata salah satu konglomerat yang
didukung militer terhadap kantor majalah Tempo adalah bukti yang tidak bisa dinafikan.
Indikator yang kedua munculnya perlawanan yang dilakukan pihak militer terhadap usaha
menegakkan ketaatan pada hak-hak asasi manusia melalui lembaga peradilan, dengan
memberikan pembenaran terhadap militer untuk menggunakan kekuatan bersenjata yang
mematikan, dan bukan sekedar melumpuhkan, dalam sidang pertama kasus Tanjung Priuk
denga terdakwa mantan Kasi Ops II Kodam 0502 Jakarta Utara, Mayor Jenderal Sriyanto,
sekitar seratus orang anggota Kopassus memenuhi sidang lengkap dengan seragam dan baret
merah, ini jelas merupakan usaha memberikan tekanan mental kepada majelis hakim, agar
menjauhkan vonis maksimal.
Indikator ketiga adalah munculnya 7 RUU yang disahkan atau sedang dibahas dalam
parlemen (DPR), yang sarat dengan konsolidasi kekuasaan militer dalam bidang politik dan
ekonomi, mulai dari UU No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, UU No.3 tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara, UU No.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
RUU tentang Kerahasian Negara, RUU tentang Intelejen, RUU tentang TNI, dan RUU
tentang Tenaga Cadangan Pertahanan, dimana secara menyeluruh atau parsial, masing-masing
UU dan RUU itu mempunyai titik-titik tertentu yang sangat rawan, karena dapat menjadi
senjata pamungkas bagi militer untuk mengkonsolidasikan kekuasaan politik dan
ekonominya.
75 George Junus Aditjondro, dalam Jurnal Wacana edisi 17 tahun 2004, Jogyakarta : Insist Press, hh. 3-15.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 32
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Indikator keempat adalah Masuknya sejumlah Purnawirawan kedalam kepengurusan
penting didalam partai-partai besar khususnya. Serta Munculnya tiga orang jenderal sebagai
Capres atau Cawapres. Indikator kelima, menebalnya kepercayaan diri para purnawirawan
ABRI yang makin meningkat menghadapi kecaman negara adidaya ( Amerika Serikat ).
Indikator keenam adalah perang untuk merebut kembali simpati media dengan aktif
melancarkan efensif ketengah-tengah publik untuk membersihkan nama mereka sekaligus
memutihkan sejarah militer. dan Indikator ketujuh adalah seringnya organisasi-organisasi
non-pemerintah yang memperjuangkan demokratisasi di berbagai bidang, diserang secara
fisik oleh kelompok-kelompok paramiliter yang baru muncul setelah turunya Soeharto dari
singgasana kepresidenan.
Moh Samsul Arifin76 melihat fenomena serupa, ada beberapa peristiwa yang
menegaskan lemahnya pemerintahan Megawati atas militer : Pertama, Sebelum Keppres No
28 Tahun 2003 tentang penentuan darurat militer di NAD dikeluarkan Presiden Megawati,
TNI telah mengerahkan pasukan dan peralatan perangnya ke Tanah Rencong. Sampai pekan
lalu, sekira 40.000 pasukan disiagakan di daerah konflik tersebut. Kedua, keberadaan
Panglima TNI di Jenewa ketika Joint Council Meeting (JCM) akan dilangsungkan. Panglima
TNI berada di sana, karena ia akan dilibatkan dalam perundingan dengan GAM.
Berbagai aktivitas tersebut merupakan preseden buruk, karena berpretensi
merawankan kembali hubungan sipil-militer di tanah air. Pertama, pengerahan pasukan tanpa
menunggu keputusan dari pemerintah menunjukkan bahwa militer terlibat aktif dalam
mengintervensi otoritas politik. Padahal, penandatanganan Keppres untuk menerapkan darurat
militer dan operasi militer di Aceh masih menunggu hasil rapat konsultasi Presiden dengan
DPR. Dalam dunia politik, saling intervensi memang tidak dapat dielakkan. Namun demikian,
sebagai aparat pertahanan negara yang sepenuhnya subordinat terhadap pemerintahan sipil
militer mesti tunduk terhadap pemerintah dan tak boleh bergerak di luar perintah rezim yang
tengah berkuasa.
Kedua, keterlibatan jenderal (aktif) dalam medan diplomasi memperlihatkan realitas
yang tak kasat mata selama ini bahwa TNI belum legowo (sepenuh hati) menyerahkan
pekerjaan yang terkait dengan politik kepada sipil. Untungnya, pertemuan JCM yang akan
digelar 25 April itu batal, sehingga kita urung punya preseden buruk tentang keterlibatan
militer dalam medan diplomasi. Setelah GAM melanggar CoHA, militer sudah pesimis Aceh
dapat diselesaikan dengan jalan dialog. Kelompok garis keras di TNI, terang-terangan
menukaskan, GAM mesti ditumpas dengan kekuatan senjata.
76 Republika Sabtu, 31 Mei 2003, Dilema Baru’ Sipil-Militer.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 33
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Parameter lain yang memperlihatkan pengaruh militer dalam pengambilan kebijakan
Megawati adalah keputusan penerapan darurat militer di Aceh pada tanggal 18 Mei 2003
untuk segera mengatasi masalah GAM. Jenderal Endiartono Sutarto mengatakan bahwa para
perwira menilai kebijakan presiden Megawati mengatasi masalah Aceh sudah tepat dan sesuai
harapan militer. Lebih lanjut ditambahkan, kebijakan pemerintah menangani masalah Aceh
malah sangat kental dengan saran dari TNI.77 Kebijakan dan pembelaan pemerintah atas
kebijakan pembelian pesawat tempur Sukhoi dari rusia menjadi parameter selanjutnya.
Ditengah lemahnya kontrol sipil atas militer, Megawati mengesahkan Undang-Undang
No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Didalamnya ditegaskan profesionalisme TNI yang terlepas
dari aktivitas politik ataupun ekonomi dan berkonsentrasi pada masalah pertahanan. Pada
Pasal 2 ayat e, mendefinisikan tentara profesional sebagai tentara yang terlatih, terdidik,
diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin
kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip
demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum
internasional yang telah diratifikasi. Didalam UU ini juga ditandaskan tentang kordinasi
Panglima TNI dan Dephan, disebutkan dalam Pasal 4 ayat 2 bahwa Panglima TNI harus
berkordinasi dengan Dephan dalam kebijakan pertahanan. Namun ketentuan hukum ini tidak
menandaskan kejelasan lebih tegas terlait relasi Panglima TNI dan Departemen Pertahanan.
Tren positif lain pada era ini adalah posisi militer yang semakin netral dalam aktivitas
pemilu, walaupun masih ada prejudice atas keyakinan keterlibatan militer dalam melalukan
upaya membantu memenangkan partai atau pasangan Capres yang dirasa bisa menguntungkan
khususnya para purnawirawan yang mempunyai pandangan dan berasal dari sistem
pendidikan yang sama. Prasangka atas keterlibatan militer dalam membantu pasangan
Wiranto-Shalahuddin Wahid ataupun Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tidak bisa
dibuktikan secara jelas. Kasus penggunaan fasilitas militer dalam mobilisasi masyarakat untuk
memilih Wiranto yang terjadi di pasentren Az-Zaytun Indramayu yang sempat mencuat, tidak
bisa menggambarkan dan membuktikan secara gamblang keterlibatan oknum atau institusi
militer. Analisis atau investigasi lebih melihat korelasi pesantren Az-Zaytun dengan Golkar,
korelasi ini lebih logis dikarenakan Az-Zaytun pimpinan Panji Gumirang didirikan atas
dukungan Soeharto pada masa Orde Baru. Netralitas militer pada pemilu 2004 jauh lebih baik
dibandingkan pemilu sebelumnya.
Sementara itu, akomodatifnya Megawati atas kepentingan militer membuat pola
hubungan sipil-militer berada pada konstelasi konflik yang lebih rendah dibandingkan dengan
77 Endiartono Sutanto, dalam Yuddy Crisnandy, Reformasi TNI, Jakarta, LP3ES, 2005, h. 127.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 34
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
sebelumnya. Akan tetapi, konsekuensinya adalah minimnya langkah signifikan yang diambil
pemerintah dalam menuntaskan agenda reformasi militer. Kendali sipil atas militer di era
Presiden Megawati tidak berlangsung efektif, pemerintah tampaknya menganggapnya bahwa
tanpa dukungan militer akan sangat sulit menciptakan stabilitas sosial-politik guna
mempertahankan kekuasaanya. Dimasa pemerintahan Megawati, militer merasa dihargai
peran dan eksistensinya. Walaupun para perwira mengakui kelemahan otoritas sipil kurang
memiliki visi kemiliteran.78
4. Era Susilo Bambang Yudhoyono
Banyak pihak khawatir ketika Letjen. TNI Susilo Bambang Yudhoyono terpilih
menjadi presiden, mengembalikan dominasi militer dalam perpolitikkan Indonesia. Akan
tetapi, kekhawatiran yang ada tidak terlalu besar, dikarenakan figur SBY sendiri yang dikenal
sebagai perwira militer yang moderat dan mendukung penghapusan dwi fungsi ABRI serta
perkembangan demokratisasi yang sangat pesat, tidak memberikan celah besar kepada militer
untuk tampil dominan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa seperti masa Orde
Baru. Dalam pembekalan Rapat Pimpinan TNI di Cilangkap, selaku Panglima Tertinggi
Angkatan Darat, Laut dan Udara, Presiden SBY kembali menegaskan bahwa militer harus
“...Berhenti bermain politik praktis, hormati hukum dan HAM, jangan mudah tergoda, petik
pelajaran di masa lalu.” (Pembaruan, 21/09).
Belum banyak analisa yang dapat dilakukan untuk melihat arah kebijakan SBY dalam
menata institusi militer. Akan tetapi ada beberapa kebijakan yang bisa menjadi referensi awal.
Seperti, penunjukkan Juwono Sudarsono sebagai Menteri Pertahanan, inventaris bisnis TNI
yang ditargetkan selesai bulan Oktober , kebijakan meningkatkan kesejahteraan prajurit. serta
polemik dalam pergantian Panglima TNI. Dalam pergantian Panglima TNI, Susilo Bambang
Yudhoyono terlihat hati-hati dan masih mempertimbangkan sosok perwira yang mempunyai
loyalitas ketika sudah menjadi Panglima TNI.
Yuddy Crisnandi melihat, pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
belum sepenuhnya menggambarkan hubungan sipil-militer yang ideal layaknya gagasan
Huntington dalam The Soldier and The State, yaitu berlangsungnya civillian objective control
over military. Sekilas tampak SBY mengendalikan militer, namun kenyataannya seolah SBY
memiliki kekhawatiran akan loyalitas militernya. Kontroversi pergantian panglima TNI antara
DPR dengan Presiden yang tertunda-tunda, menunjukkan alasan kuat akan hal itu.
(Republika, 5 Oktober 2005).
78 Ibid., h. 153.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 35
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Hal senada diutarakan Adrianus Meliala79 dalam website pribadinya :
“...Suatu hal yang menarik diperhatikan dari kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama setahun berkuasa adalah tidak diperlakukannya sektor keamanan secara menyolok dan diberi prioritas dibanding sektor-sektor lain. Satu contoh, tidak ada kebijakan khusus terkait sektor ini dalam agenda 100 hari pertama Hal ini pernah menjadi sumber kekhawatiran mengingat latar belakang SBYadalah militer, disamping juga masih belang-bontengnya situasi sektor keamanan itu sendiri. SBY jauh lebih lambat disbanding pemerintahan Gus Dur yang dalam hitungan hari saat berkuasa langsung ”mengobrak-abrik” TNI...”
Hubungan pemerintah dengan militer saat ini berada pada posisi stabil, kebijakan yang
diambil pemerintah dalam memperbaiki lembaga militer tidak menimbulkan gejolak yang
besar, hal ini juga terkait ketidak mampuan militer melakukan penolakan atas desakan
masyarakat agar militer fokus dalam masalah pertahanan dan tidak memiliki peran lain yang
semakin hari semakin besar. Namun, presiden SBY sampai dengan 2 tahun pemerintahannya
belum mempunyai komitmen tegas terkait penegakan supremacy civil. Walaupun, Menteri
Pertahanan menegaskan akhir bulan Desember 2006 akan memasukkan Mabes TNI ke dalam
Departemen Pertahanan, akan tetapi tidak ada arahan jelas dari SBY mengenai relasi Mabes
TNI dan Dephan. Inventarisir bisnis TNI semakin tidak terdengar kejelasannya, SBY adalah
figur presiden Indonesia yang paling pandai menjaga citra. Oleh karenanya, dikhawatirkan
statment politik terkait penataan militer hanyalah agenda retoris untuk menjaga citra positif
demi kepentingan pemilu 2009.
IV. Kesimpulan
Dari gambaran perjalanan militer Indonesia dari masa Orde Baru sampai dengan masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut yaitu :
1) Militer Indonesia mempunyai keunikan dikarenakan mempunyai peran diluar masalah
pertahanan dan keamanan. Seperti, peran sosial, politik maupun ekonomi, hal ini
dikarenakan faktor internal terkait dengan faktor sejarah dan persepsi kompetensi serta
faktor eksternal terkait dengan kemampuan elit sipil dalam mengelola bangsa
khususnya masalah pertahanan serta seringnya konflik elit sipil yang dipersepsikan
militer dapat mengganggu dan membahayakan negara.
2) Peran sosial, politik dan ekonomi militer berada pada posisi klimaks pada
pemerintahan Soeharto (Orde Baru). Militer mendominasi posisi politis seperti :
79 http://adrianusmeliala.com/files/pub2/fpub2_8082006084934.doc.(diakses pada tanggal 7 Maret 2012, pukul 17.00 WIB).
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 36
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
menteri, gubernur, walikota, bupati. Tidak hanya itu, militer juga mendominasi untuk
duduk sebagai komisaris atau direktur BUMN atau BUMD.
3) Mundur Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, menjadi titik balik keistimewaan militer.
Masyarakat semakin berani untuk menuntut penghapusan konsep dwi fungsi ABRI,
masyarakat menuntut agar ABRI dikeluarkan keberadaannya di lembaga DPR, MPR
maupun DPRD. Keistimewaan militer semakin lama semakin berkurang.
4) Pemerintahan Habibie, Megawati, Gus Dur dan SBY mempunyai kadar yang berbeda
dalam melakukan reformasi militer. Sehingga, hubungan sipil-militer memiliki
perbedaan pula. Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid merupakan masa dimana
terjadi suatu konstelasi konflik sipil-militer paling tinggi sampai dengan berakibat
turunnya Gus Dur sebagai presiden.
5) Militer masih memiliki resistensi atau keengganan untuk menanggalkan seluruh
keistimewaannya. Akan tetapi resistensi atau keengganan ini tidak diaplikasikan dalam
kekerasan, pembangkangan apalagi pengambilan kekuasaan. Perlawanan militer atas
segenap kebijakan yang akan menghilangkan keitimewaannya dilakukan dengan cara-
cara non kekerasan, melakukan koalisi dengan kekuatan politik dengan adanya
kesepakatan kepentingan.
6) Pelaksanaan reformasi militer lebih dipengaruhi kesepahamanan atau kesepakat visi,
misi, dan kepentingan dari para elit sipil. Perbedaan atau bahkan menjelma menjadi
konflik memberikan kesempatan kepada militer untuk melakukan intervensi baik
secara langsung ataupun tidak langsung (koalisi dengan kekuatan politik)
7) Seluruh presiden pada masa reformasi terkesan hati-hati atau ada keraguan untuk
membuat keputusan terkait penegakkan supremacy civil misalnya, relasi Panglima
TNI dan Dephan. Apakah menempatkan sejajar atau menempatkan Panglima TNI di
bawah Dephan.
Daftar Pustaka
Buku
Arif Yulianto, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta, Grafindo, 2002.
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 37
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Budi Susanto SJ dan A. Made Tony Supriatma, ABRI: Siasat Kebudayaan, 1945 – 1995. Jogyakarta: Kanisius, 1995.
Crisnandi, Yuddy, Reformasi TNI, Jakarta : LP3ES, 2005.
Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Jakarta, Narasi, 2005.
Eric A. Nordlinger, Militer dan Politik, Jakarta : Rineka Cipta, 1994.
Fadli Zon, Politik Huru-Hara Mei 1999.
Fatah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara, Jogyakarta : LKiS, 2005.
Haramain, A. Malik. Gus Dur Militer dan Politik, Jogyakarta : Lkis, 2004.
Heru Nugroho, Masyarakat Pasca Militer, Jogyakarta : IRE, 2000.
Janowitz, Morris. Hubungan-Hubungan Sipil Militer Perspektif Regional, Jakarta : Bina Aksara, 1985.
Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Jakarta : Raja Grafindo, 2001.
Liddle, R. William. Pemilu-Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta : LP3ES, 1992.
Peneliti PPW LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Bandung : Mizan, 1999.
Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini, dan Kelak, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Samego, Indria. TNI di Era Perubahan, Jakarta : Erlangga, Jakarta, 2000.
Sukardi Rinakit, The Indonesian Military after the New Order, Singapore : Nordic Institute of Asian Studies, 2005.
The RIDEF Institute, Praktek-Praktek Bisnis Militer, Jakarta : RIDEF Institute, 2003.
Tim Peneliti YAPIKA, Tentara Yang Gelisah, Bandung : Mizan, 1999.
Tim Penulis. ABRI Abad XXI : Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta : Mabes ABRI, 1998.
Tim Penulis. Konsistensi TNI dalam Pasang Surut Republik : Catatan dan Pemikiran Jenderal Besar A.H Nasution, Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran, Jakarta : 2001.
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia, Jogyakarta : UGM
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 38
Peran TNI dari Masa ke Masa R. Bimo W. (Inventaris Pustaka Pribadi)
Press, 1982.
Yayasan Insan Politika, Tentara yang Gelisah, Bandung : Mizan, 1999.
Artikel Surat Kabar dan Majalah
“Angin Supremasi Sipil”, Kompas, 17 November 1999.
George Junus Aditjondro, dalam Jurnal Wacana edisi 17 tahun 2004, Jogyakarta : Insist Press.
Ivan A. Hadar, dalam Jurnal Wacana edisi 17 tahun 2004, Jogyakarta : Insist Press.
Kompas, 19 Oktober 1999, “Diajak Duet dengan Habibie, Wiranto Menolak”.
Newsweek edisi April 1999.
Republika Sabtu, 31 Mei 2003, “Dilema Baru Sipil-Militer”.
Republika, 8 Maret 2000, “Kecewa atas Hasil Mutasi, Sejumlah Jenderal akan Mundur dari TNI”.
Suara Pembaharuan, 11 September 2000, “Seluruh Angkatan akan berada di bawah Dephan”.
Sumber Internet
http://adrianusmeliala.com/files/pub2/fpub2_8082006084934.doc.(diakses pada tanggal 7 Maret 2012, pukul 17.00 WIB).
Rizal Sukma.PhD, dalam paparan makalah: Politik Tentara Selesai, Reformasi Belum Mulai. diakses melalui www.csis.or.id.
www. Kompas.com (23 Juli 2003)
Yuddy Chrisnandi, Menuju Profesionalisme TNI: Ulang Tahun ke-7 Reformasi TNI dalam http://www.yahoo.com (diakses pada Rabu, 5 Oktober 2005).
Referensi Militer Koleksi Pustaka Pribadi 39