peran perpustakaan sekolah luar biasa dalam...
TRANSCRIPT
1
PERAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH LUAR BIASA DALAM
MENUMBUHKAN KEMAMPUAN LITERASI INFORMASI
BAGI ANAK TUNANETRA: STUDI KASUS PERPUSTAKAAN
SEKOLAH LUAR BIASA-A PEMBINA TINGKAT NASIONAL
JAKARTA
SkripsiDiajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Perpustakaan (S.IP)
Oleh:Imas Fatonah
NIM: 105025001015
JURUSAN ILMU PERPUSTAKAANFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
2010
i
ABSTRAK
IMAS FATONAH
Peran Perpustakaan Sekolah Luar Biasa dalam Menunbuhkan Kemampuan
Literasi Informasi Bagi Anak Tunanetra: studi kasus Perpustakaan Sekolah
Luar Biasa A Pembina Tingkat Nasional Jakarta
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Peran PerpustakaanSekolah Luar Biasa dalam Menumbuhkan Kemampuan Literasi Informasi bagiAnak Tunanetra: studi kasus Perpustakaan Sekolah Luar Biasa A PembinaTingkat Nasional Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif denganpendekatan kuantitatif yang pengambilan datanya melalui observasi ataupengamatan secara langsung, wawancara dengan dua nara sumber yaitu kepalasekolah dan pengelola perpustakaan, dan yang terakhir dengan penyebarankuesioner. Untuk kuesioner disebarkan kepada siswa SMLB dengan populasikeseluruhan siswa/siswi SMLB yaitu kelas 1,2 dan 3 dengan jumlah respondenadalah 12 orang, kelas 1 sebanyak 6 orang, kelas 2 sebanyak 2 orang, dan kelas 3sebanyak 4 orang. Teknik yang digunakan adalah purposive sample atau sampelbertujuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum peran perpustakaandalam meningkatkan kemampuan literasi informasi siswa dirasa masih kurang, ituterlihat dari belum adanya program khusus untuk mewujudkannya, kurangnyakoleksi perpustakaan, dan fasilitas yang tersedia. Walaupun begitu, siswa dariawal masuk sekolah sudah diberikan orientasi pendidikan pemakai untukpenggunaan perpustakaan, sehingga siswa dapat dengan mandiri mencariinformasi yang dibutuhkan. Diantara fasilitas yang tersedia di perpustakaan adalahkomputer yang dilengkapi dengan perangkat atau pembaca layar yang bisamembantu siswa dalam menggunakannya, pendidikan komputer sudah diberikansejak dibangku SD, banyak juga siswa yang sudah bisa menggunakan internetterutama anak low vision (kurang lihat) masih bisa melihat walaupun tidak begitujelas. Walaupun dari hasil penyebaran kuesioner secara keseluruhan adalahcenderung negatif, tapi tidak dipungkiri usah-usaha dari pihak sekolah ataupunperpustakaan dalam menumbuhkan kemampuan literasi informasi sudahmemberikan hasil walau belum optimal, semoga untuk kedepannya usaha-usahatersebut agar lebih ditingkatkan lagi.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat
izin-Nyalah akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Kuliah (Skripsi)
pada waktu yang tepat dengan judul “ Peran Perpustakaan Sekolah Luar Biasa
dalam Menumbuhkan Kemampuan Literasi Informasi Bagi Anak
Tunanetra: Studi Kasus Perpustakaan Sekolah Luar Biasa A Pembina
Tingkat Nasional Jakarta”.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis terkadang mendapat hambatan
yang adapat menyulitkan penulis, tapi hal itu alhamdulillah dapat teratasi dengan
adanya semangat dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima
kasih kepada:
1. Allah SWT yang selalu memberikan hidayah dan kekuatan hati dalam
setiap kegiatan yang penulis lakukan.
2. Kedua orang tua, kakak dan kerabat semua yang selalu memberikan
dukungannya selama penulisan skripsi ini.
3. Kepada Bapak Abdul Chair selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
4. Bapak Drs. Rizal Saiful-Haq, MA selaku Ketua Jurusan dan Dosen
Pembimbing dalam penulisan sampai selesainya skripsi ini.
iii
5. Bapak Drs. Pungki Purnomo, MLIS selaku sekertaris jurusan Ilmu
Perpustakaan
6. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan yang telah memberikan banyak
ilmu pengetahuan kepada penulis.
7. Bapak Drs. Dedi Supriadi selaku Pengelola Perpustakaan Sekolah Luar
Biasa A PTN Jakarta, yang telah membantu penulis dalam memdapatkan
informasi yang penulis butuhkan selama penelitian berlangsung, serta
seluruh siswa/siswi SMLB yang telah memberikan kesempatan untuk
penulis teliti.
8. Seluruh teman-teman JIP UIN angkatan 2005 yaitu, Nining, Erna,
Nunung, Andyta, Badriah, Mutia, Dwi, Dewi, Vani, Yayah, Nurhasanah,
Rosella, Widi, Liza, Mahda, Eka, Dafi, Agus, Irfan, Zaki, Ardian, Rohim,
Puput, Nasrul, Kahvi, Ridho, Bambang, yang telah memberikan
dukungannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai pada waktu
yang tepat.
Penulis menyadari betul bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar nanti bisa lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jakarta, 15 Maret 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................1
B. Pembatasan Masalah....................................................................5
C. Perumusan Masalah..................................................................... 5
D. Tujuan Penelitian......................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian....................................................................... 6
F. Metodologi Penelitian..................................................................6
G. Sistematika Penulisan.................................................................. 10
BAB II TINJAUAN LITERATUR
A. Perpustakaan Sekolah
1. Devinisi....................................................................................12
2. Visi dan Misi............................................................................13
3. Tujuan dan Fungsi....................................................................15
4. Peran Perpustakaan Sekolah.................................................... 20
6. Perpustakaan Sekolah Luar Biasa............................................21
B. Ketunanetraan
1. Pengertian................................................................................ 25
2. Faktor Penyebab Ketunanetraan.............................................. 32
3. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra................................ 32
4. Masalah Ketunanetraan........................................................... 38
5. Dampak Ketunanetraan........................................................... 38
v
6. Sistem Pendidikan Bagi Tunanetra......................................... 41
C. Literasi Informasi
1. Pengertian Literasi Informasi.................................................. 44
2. Program Literasi Informasi di Sekolah....................................46
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Sekolah Luar Biasa A Pembina Tingkat Nasional Jakarta
1. Sejarah Singkat........................................................................ 52
2. Tugas dan fungsi......................................................................54
3. Visi dan Misi............................................................................54
B. Perpustakaan Sekolah Luar Biasa A Pembina Tingkat Nasional
Jakarta
1. Sejarah Singkat........................................................................ 55
2. Fasilitas Perpustakaan............................................................. 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Observasi..................................................................................... 65
B. Wawancara.................................................................................. 66
C. Kuesioner.................................................................................... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.................................................................................. 90
B. Saran............................................................................................ 91
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
1. Identitas Responden
Tabel 1 : Jenis Kelamin Responden................................................................68
Tabel 2 : Asal Kelas Responden..................................................................... 69
2. Informasi Umum
Tabel 3 : Pendapat siswa terhadap keberadaan perpustakaan.........................69
Tabel 4 : Keanggotaan perpustakaan.............................................................. 70
Tabel 5 : Alasan tidak menjadi anggota..........................................................71
Tabel 6 : Tujuan datang ke perpustakaan........................................................72
Tabel 7 : Motivasi datang ke perpustakaan.................................................... 72
Tabel 8 : Hal yang dilakukan bila ingin mencari buku di perpustakaan........ 73
3. Frekuensi Datang ke Perpustakaan
Tabel 9 : Frekuensi datang ke perpustakaan................................................... 74
Tabel 10 : Berapa kali dalam seminggu datang ke perpustakaan..................... 75
4. Penggunaan Perpustakaan
Tabel 11 : Pendidikan pemakai.........................................................................76
Tabel 12 : Membantu atau tidak pendidikan pemakai...................................... 76
Tabel 13 : Asal memperoleh bacaan.................................................................77
Tabel 14 : Asal memperoleh pengetahuan atau informasi................................78
Tabel 15 : Dapat mengakses internet................................................................ 79
Tabel 16 : Asal belajar mengakses internet...................................................... 79
vii
Tabel 17 : Sejak kapan bisa mengakses internet...............................................80
Tabel 18 : Cara yang dilakukan agar informasi yang didapat sesuai
kebutuhan........................................................................................ 81
Tabel 19 : Tindakan setelah informasi ditemukan............................................81
Tabel 20 : Membagi informasi yang didapat dengan orang lain...................... 82
Tabel 21 : Guru menganjurkan siswa untuk datang ke perpustakaan...............83
Tabel 22 : Keperluan guru menganjurkan siswa datang ke perpustakaan........ 84
Tabel 23 : Pendapat siswa terhadap penggunaan koleksi dalam
penyelesaian tugas........................................................................... 85
Tabel 24 :Pendapat siswa terhadap terpenuhinya kebutuhan dalam
proses pembelajaran...........................................................................86
Tabel 25 : Petugas perpustakaan membantu dalam mendapatkan informasi
di perpustakaan.................................................................................. 87
Tabel 26 : Hambatan dalam mencari informasi................................................ 88
Tabel 27 : Hambatan yang ditemui...................................................................88
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Buku adalah sumber ilmu, sedangkan perpustakaan adalah gudangnya
ilmu. Demikian ungkapan yang sering kita dengar dari mulut guru-guru kita untuk
menggambarkan betapa pentingnya keberadaan perpustakaan bagi dunia
pendidikan.
Dunia perpustakaan seperti sekolah menuntut perpustakaan sekolah
menjadi pusat segala informasi yang berhubungan dengan proses kegiatan belajar
mengajar dan sebagai pusat integrasi segala kegiatan pendidikan dimana siswa,
guru, kepala sekolah, staf, pustakawan, serta seluruh masyarakat yang berada di
lingkup sekolah tersebut dapat bekerja sama dalam memperluas dan
mempertinggi mutu pendidikan, baik individu maupun kelompok.
Macam atau jenis sekolah ada 2 macam, yaitu sekolah umum dimana
sekolah yang diperuntukkan bagi mereka yang tidak berkebutuhan khusus
(normal), dan yang kedua sekolah luar biasa yakni lembaga pendidikan yang
diadakan untuk memberikan layanan pendidikan secara khusus bagi anak-anak
berkebutuhan khusus (Diknas, 1981: 40). Perpustakaan tidak hanya berada di
sekolah umum tetapi juga harus berada di sekolah luar biasa, karena keberadaan
perpustakaan sekolah tersebut adalah sebagai upaya meningkatkan mutu belajar
anak juga untuk memperluas kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus
dalam hal ini anak tunanetra, agar mereka dapat menjadi melek huruf. Melek
2
huruf di sini bukan berarti dapat melihat akan tetapi dapat mengenal tulisan dan
informasi yang semakin berkembang pesat seperti sekarang ini.
Keberadaan perpustakaan sekolah luar biasa merupakan sarana penunjang
bagi anak tunanetra untuk belajar, dengan menyediakan koleksi dan fasilitas yang
memadai agar memudahkan anak tunanetra untuk memperoleh dan menggunakan
informasi yang dibutuhkan. Dimana dalam proses tersebut para pustakawan atau
tenaga pendidik mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan
bantuannya kepada anak tunanetra untuk menggunakan informasi dengan tepat
dan benar. Dalam hal ini pustakawan atau tenaga pendidik dituntut mempunyai
kemampuan yang kompeten, yakni mempunyai kemampuan literasi informasi.
Merujuk kepada salah satu definisi yang diberikan oleh UNESCO, maka arti
literasi informasi adalah kemampuan mengidentifikasi, menemukan,
mengevaluasi, mengorganisasikan dan menggunakan informasi tersebut secara
efektif untuk menjawab dan membantu menyelesaikan masalah dan isu sosial
yang lebih luas.
Siswa atau anak yang memanfaatkan perpustakaan akan mempunyai
kemampuan terhadap bacaan, dengan kata lain siswa akan mempunyai
kemampuan menelaah bacaan apa saja secara lebih baik dibandingkan dengan
anak yang tidak atau kurang memanfaatkan perpustakaan sebagai pendukung
pembelajaran serta mempunyai tingkatan pembelajaran yang lebibh luas dan
mandiri (Saiful-Haq,2005: 3&7). Salah satu unsur literasi informasi adalah
dengan membaca, setelah informasi itu ditemukan kemudian dibaca untuk
mengetahui kesesuaian dengan informasi yang dibutuhkan. Kemampuan
3
mermbaca anak tunanetra pasti akan berbeda dengan kemampuan membaca anak
normal, karena anak tunanetra adalah individu yang mengalami kelainan pada
penglihatan sehingga ia tidak dapat menggunakan penglihatannya sebagai saluran
utama dalam menerima informasi dari lingkungannya. Dalam mengakses atau
menggunakan bahan pustaka, anak tunanetra menggunakan dua indera yakni
indera pendengaran melalui suara, dan indera perabaan melalui teks atau huruf
yang timbul (Braille) dan gambar timbul (Hartanto, 2006: 1).
Pada umumnya setiap anak tunanetra memiliki kemampuan dasar untuk
menemukan informasi yang mereka butuhkan dari berbagai macam bahan pustaka
yang ada di perpustakaan, yaitu melalui temu kembali informasi dan pendidikan
pemakai yang diadakan oleh pihak perpustakaan, dimana setiap anak akan
mendapat pembelajaran mengenai bagaimana cara mencari informasi dan
menemukan sebuah dokumen atau informasi yang dibutuhkannya. Kegiatan ini
biasanya dibimbing oleh pustakawan dan tenaga pendidik yang mempunyai
kemampuan literasi informasi. Pendidikan pemakai merupakan bagian dari
kegiatan literasi informasi di sekolah.
Program literasi informasi seperti tercantum pada Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional RI Nomor 25 tahun 2008 tentang standar Tenaga
Perpustakaan Sekolah/ Madrasah, disebutkan bahwa diantara kemampuan yang
harus dimiliki oleh seorang pustakawan adalah memiliki kompetensi pendidikan
yang diantaranya memberikan bimbingan literasi informasi. Yaitu: 1)
Mengidentifiasi kemampuan dasar literasi informasi pengguna, 2) Menyususn
panduan dan materi bimbingan literasi informasi sesuai dengan kebutuhan
4
pengguna, 3) Membimbing pengguna mencapai literasi informasi, 4)
Mengevaluasi pencapaian bimbingan literasi informasi, 5) Memotivasi dan
mengembangkan minat baca komunitas sekolah/ madrasah, 6) Menciptakan kiat
pengembangan perpustakaan sekolah.
Akan tetapi, tidak semua pustakawan atau tenaga pendidik mempunyai
kemampuan literasi informasi, hal tersebut dapat berdampak pada pelayanan yang
ada di perpustakaan menjadi kurang maksimal, dan apabila siswa tunanetra diajar
oleh seorang guru yang kurang mutu dan kurang kreatif maka murid akan
mendapatkan hasil belajar yang kurang baik pula. Jadi jelas mutu dan kreatif
guru/pustakawan sangat besar pengaruhnya bagi keberhasilan siswa dalam proses
belajar.
Adapun yang mendorong penulis untuk mengangkat ke permukaan tentang
masalah ini yaitu:
1. Perpustakaan sekolah sebagai sumber belajar, memiliki peran yang sangat
penting dalam mendukung proses belajar mengajar dari sekolah terlebih
dalam era informasi ini.
2. Banyaknya perpustakaan sekolah yang tidak dimanfaatkan secara efektif
dan efisien, sehingga banyak sekolah yang memiliki perpustakaan namun
keberadaannya hanya sebagai pelengkap.
3. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan baik bagi guru, siswa, dan
sivitas akademika yang mempunyai kepentingan tentang hal ini.
5
4. Sejauh pengamatan penulis, masalah tersebut belum pernah dibahas oleh
mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Ilmu Perpustakaan.
Bertitik tolak pada pola fikir di atas, maka penulis marasa tertarik untuk
menuangkan keinginan penulis, kemudian diwujudkan dalam bentuk skripsi yang
diberi judul: “ Peran Perpustakaan Sekolah Luar Biasa dalam Menumbuhkan
Kemampuan Literasi Informasi Bagi Anak Tunanetra”. Tema ini menarik untuk
dikaji, karena implikasinya sangat luas, sehingga dapat menjadi bahan pemikiran
bagi lembaga pendidikan lainnya dalam memanfaatkan perpustakaan sebagai
salah satu sarana dalam rangka meningkatkan kualitas dalam proses pembelajaran.
B. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi masalah hanya pada
kemampuan literasi informasi pada siswa tunanetra kelas 1, 2 dan 3 SMLB di
SLB-A PTN Jakarta.
C. Perumusan Masalah
Setelah objek penelitian dibatasi hanya pada kemampuan literasi informasi
saja, dan agar penelitian lebih terarah dan lebih jelas, serta terorganisir dengan
baik, maka penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran perpustakaan SLB dalam menumbuhkan kemampuan
literasi informasi bagi anak tunanetra
2. Sejauhmana usaha anak tunanetra dalam menumbuhkan literasi informasi
6
3. Apasaja program dari perpustakaan SLB untuk meningkatkan kemampuan
anak tunanetra dalam literasi informasi
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai berbagai macam tujuan, yaitu:
1. Mengetahui peran perpustakaan SLB dalam menumbuhkan kemampuan
literasi informasi bagi anak tunanetra
2. Mengetahui usaha-usaha siswa tunanetra dalam menumbuhkan literasi
informasi
3. Mengetahui program dari perpustakaan SLB untuk meningkatkan
kemampuan siswa tunanetra dalam literasi informasi
E. Manfaat Penelitian
Dengan mempelajari peran dari perpustakaan Sekolah Luar Biasa dalam
menumbuhkan kemampuan literasi informasi bagi anak tunanetra, maka kita dapat
mengetahui tingkat melek huruf pada anak tunanetra. Sehingga diharapkan
penelitian ini dapat berguna bagi pihak sekolah dan pihak perpustakaan sebagai
langkah dasar dalam mengurangi dan memberantas buta huruf pada anak
tunanetra.
F. Metodologi Penelitian
Agar penelitian ini dapat berjalan lancar, maka diperlukan suatu pedoman
yang dapat digunakan ketika penelitian dilaksanakan. Metode penelitian yang
digunakan penulis adalah:
7
1. Metode Penelitian
Bentuk dari penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang
bermaksud untuk membuat gambaran-gambaran sifat sesuatu yang sedang
berlangsung. Dengan tujuan agar objek yang dikaji dapat dibahas secara
mendalam. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kuantitatif. Sedangkan sumber data yang digunakan
adalah sumber data yang berasal dari buku, internet, dokumen-dokumen,
dan dari jawaban-jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang
diartikan oleh penulis.
2. Sampel
Adalah sebagian dari populasi yang ingin diteliti, yang ciri-ciri dan
keberadaannya diharapkan mampu mewakili atau menggambarkan ciri-
ciri keberadaan populasi yang sebenarnya dalam pengambilan sampel,
peneliti menggunakan sampel bertujuan (purposive sampling).
Penggunaan sampel ini dimaksud untuk menjaring informasi yang akan
menjadi dasar rancangan dan teori yang muncul (Moleong, 2007: 155).
3. Teknik Pengumpulan Data
Ada dua cara dalam pengumpulan data yang penulis lakukan, adalah:
1). Study pustaka/dokumentasi, data-data yang digunakan penulis adalah
berasal dari sejumlah buku-buku, internet, dan dokumen-dokumen
lainnya.
8
2). Penelitian Lapangan
a. Pengamatan ( Observasi)
Pengamatan biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan
terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki, dalam arti luas
sebenarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang
dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil
observasi kemudian dicatat dan ini sering disebut sebagai catatan
lapangan.
b. Wawancara ( interview)
Observasi saja tidak cukup dalam melakukan penelitian,
mengamati kegiatan dan kelakuan orang saja tidak dapat
mengungkapkan apa yang diamati atau dirasakan orang lain. Itu
sebabnya, observasi harus dilengkapi oleh wawancara, dengan
melakukan wawancara kita dapat memasuki dunia pikiran dan
perasaan responden. Karena wawancara adalah tanya jawab secara
lisan antara dua orang atau lebih secara langsung (Nasution, 2002:
20). Dan yang akan diwawancara dalam penelitian ini adalah dari
pihak kepala sekolah dan pengelola perpustakaan.
c. Kuesioner
Yakni suatu daftar yang berisi suatu rangkaian pertanyaan
mengenai suatu hal. Kuesioner ini akan diberikan kepada siswa
tunanetra. Untuk catatan karena responden yang akan diteliti
adalah siswa tunanetra, maka untuk mempermudah jalannya
penelitian untuk pengisian kuesioner nanti akan penulis bacakan
9
satu persatu, jadi metodenya seperti wawancara tapi untuk
jawabannya sudah disediakan.
4. Pengolahan Data dan Analisa Data
Dalam pengolahan dan analisa data, penulis memperoleh data melalui
observasi, dan dari catatan lapangan kemudian diolah dan diedit yang
selanjutnya dianalisa, dan kemudian disajikan dalam bentuk narasi. Untuk
perolehan data kuesioner, data yang telah diperoleh kemudian akan
dianalisa melalui perhitungan frekuensi dengan rumus:
P = F/ N x 100 %
Keterangan: P = Prosentase jawaban
F = Frekuensi
N = Jumlah Responden
100 = Bilangan tetap (Sudijojo, 1997: 40).
Adapun parameter untuk menafsirkan nilai prosentasi adalah:
0 % = Tidak ada satupun
1 % - 25 % = Sebagian kecil
26 % - 49 % = Hampir setengahnya atau kurang dari setengahnya
50 % = Setengahnya
51 % - 75 % = Lebih dari setengahnya
76 % - 99 % = Hampir seluruhnya
100 % = Seluruhnya (Warsito, 1992: 11).
10
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, penulis menguraikan mengenai
pembahasan-pembahasan yang akan dikaji dalam skripsi yang berjudul: “ Peran
Perpustakaan Sekolah Luar Biasa dalam menumbuhkan Kemampuan Literasi
Informasi Bagi Anak Tunanetra”. Pembahasan-pembahasan tersebut antara lain:
BAB I PENDAHULUAN
Berisi latar belakang penulisan, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN LITERATUR
Berisi tentang perpustakaan sekolah, (sejarah, devinisi, visi dan misi, tugas
dan fungsi), sekilas tentang perpustakaan sekolah luar biasa, peran
perpustakaan sekolah luar biasa dan program literasi informasi.
Ketunanetraan (pengertian, faktor penyebab ketunanetraan, perkembangan
kognitif anak tunanetra, masalah ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat,
dan penyelenggara pendidikan), dampak ketunanetraan, sistem pendidikan
bagi tunanetra. Literasi Informasi.
BAB III GAMBARAN UMUM
Berisi sejarah singkat SLB-A PTN, tugas dan fungsi, visi dan misi, dan
sejarah singkat perpustakaan.
11
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang peran perpustakaan SLB-A PTN dalam menumbuhkan
kemampuan literasi informasi bagi anak tunanetra, usaha-usaha yang
dilakukan siswa tunanetra dalam menumbuhkan literasi informasi, dan
usaha-usaha perpustakaan SLB-A PTN untuk meningkatkan kemampuan
siswa tunanetra dalam literasi informasi.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
12
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
A. Perpustakaan Sekolah
1. Definisi Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan sekolah merupakan sarana pendukung sistem pendidikan di
sekolah. Dan pengertian perpustakaan sekolah itu sendiri adalah perpustakaan
yang tergabung dalam sebuah sekolah dikelola sepenuhnya oleh sekolah yang
bersangkutan dengan tujuan utama membantu sekolah dalam mencapai tujuan
khusus sekolah dan tujuan pendidikan pada umumnya (Sulistyo-Basuki, 1993:
50).
Menurut UNESCO yaitu salah satu organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya dunia
mengemukakan definisi perpustakaan sekolah sebagai berikut:
Kumpulan koleksi dengan ragam yang luas yang menyatu dari bahan-bahan tercetak dan bahan pandang dengar yang diseleksi dengan penuhhati-hati, diorganisasi dan diindeks menurut subjek agar dapat denganmudah ditemukan kembali dan digunakan, bersama dengan penyediaanlayanan konsultasi, dan distribusi, penyediaan peralatan pokok yangdibutuhkan dalam proses belajar-mengajar, merangsang dan membantubelajar kelompok, belajar perorangan dan belajar mandiri.
Dari kedua definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perpustakaan
sekolah merupakan perpustakaan yang berada di lingkungan sekolah yang
bertugas menyediakan informasi dan gagasan yang sangat diperlukan untuk dapat
13
berguna dan berfungsi secara baik dalam masyarakat dewasa ini yaitu masyarakat
informasi dan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan. Selain itu, perpustakaan
sekolah harus memberikan bekal kepada siswa berupa keterampilan belajar
sepanjang hidup, mengembangkan imajinasi mereka sehingga memungkinkan
mereka hidup sebagai warga negara yang bertanggung jawab (Saiful-Haq, 2005:
33).
2. Visi dan Misi
a. Visi Perpustakaan Sekolah
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional maka visi perpustakaan
sekolah haruslah sebagai pengejawantahan visi pendidikan nasional di bidang
tugas perpustakaan. Selanjutnya sebagai sarana penunjang tugas sekolah maka
visi perpustakaan sekolah haruslah pula merupakan penunjang visi sekolah di
bidang tugasnya. Sedangkan visi sekolah secara nasional pun merupakan
pengejawantahan visi pendidikan nasional pada lembaga pendidikan. Tidak
banyak sumber yang membahas tentang visi perpustakaan sekolah, kebanyakan
visi tersebut banyak diartikan sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah
institusi. Oleh sebab itu visi perpustakaan sekolah adalah sebagai berikut:
” Terwujudnya layanan informasi perpustakaan yang handal disekolah
menuju sistem pendidikan sebagai pranta sosial yang kuat dan berwibawa
untuk memberdayakan warga sekolah dan lingkungannya berkembang
menjadi manusia yang berkualitas, beriman, sehingga mampu dan proaktif
14
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah dengan tetap menjaga
kepribadiannya.”
b. Misi Perpustakaan Sekolah
Berdasarkan visi perpustakaan sekolah tersebut, maka dapat dirumuskan misi
perpustakaan sekolah sebagai berikut:
1) Membantu, memfasilitasi dan menyiapkan layanan perpustakaan bagi
pengembangan potensi peserta didik dan lingkungan sekolah secara untuh
agar mampu belajar mandiri dan terus belajar sampai akhir hayat, dalam
rangka mewujudkan masyarakat belajar.
2) Menunjang peningkatan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga
pendidikan sekolah sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional
dan global.
3) Menunjang dan memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan kurikulum
sekolah berbasis kompetensi; menunjang usaha peningkatan
keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan; penyediaan informasi
dan koleksi perpustakaan serta sumber belajar yang mendidik, serta
penyelenggaraan pelayanan informasi yang terbuka dan merata (Saiful-
Haq, 2005: 38).
Adapun misi perpustakaan yang lain menurut IFLA/ UNESCO dalam
Manifesto perpustakaan sekolah pada tahun 2000 adalah perpustakaan sekolah
15
menyediakan jasa pembelajaran, buku dan sumber daya yang memungkinkan
semua anggota komunitas sekolah menjadi pemikir kritis dan pengguna informasi
yang efektif dalam berbagai format dan media (Parmono. 2007: 19).
Dari kedua misi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perpustakaan
sekolah adalah lembaga pendidikan yang menyediakan jasa pembelajaran yang
memungkinkan semua komunitas sekolah dapat menjadi pemikir yang kritis dan
dapat menggunakan informasi seefektif mungkin.
3. Tujuan dan Fungsi Perpustakaan Sekolah
a. Tujuan Perpustakaan Sekolah
Tujuan didirikannya perpustakaan sekolah adalah untuk membantu sekolah
mencapai tujuannya sesuai dengan kebijakan sekolah dimana perpustakaan
sekolah itu bernaung.
Adapun tujuan perpustakaan sekolah menurut R. Suryana dalam bukunya
Membina Perpustakaan Sekolah, halaman 5 adalah sebagai berikut:
1) Perpustakaan sekolah bertujuan untuk melayani kebutuhan informasi dan
bahan pustaka disuatu masyarakat sekolah, yang terdiri dari kepala
sekolah, guru-guru, siswa dan karyawan sekolah dimana perpustakaan itu
berada
2) Menciptakan rasa cinta, minat, kebiasaan, dan kesadaran untuk membaca,
baik membaca bahan pustaka, yang berisi ilmu pengetahuan ataupun
bahan bacaan yang bersifat hiburan
16
3) Membimbing dan menyarankan teknik memahami isi bacaan
4) Membantu mengembangkan kecakapan berbahasa dan daya fikir siswa,
dengan menyediakan koleksi, informasi dan bahan bacaan yang muktahir
dan bermutu
5) Membimbing para siswa agar dapat menggunakan dan memelihara bahan
dan informasi yang ada di perpustakaan dengan baik
6) Memberikan bimbingan kepada siswa untuk belajar mandiri
7) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar menggunakan
perpustakaan dengan baik, efektif dan efisien, terutama dalam
menggunakan bahan pustaka sebagai referensi
8) Membantu untuk meningkatkan pengetahuan siswa
9) Menyediakan bahan pustaka dan informasi yang mendukung dan
menunjang kurikulum sekolah, baik yang bersifat intrakurikuler maupun
yang bersifat ekstrakurikuler (Suryana, 1982: 5).
Sedangkan tujuan perpustakaan sekolah secara khusus menurut Mudjito dalam
bukunya yang berjudul Membina Minat Baca, adalah sebagai berikut:
1) Meletakkan dasar-dasar untuk belajar mandiri
2) Memupuk minat dan bakat serta minat baca
3) Mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah atas usaha dan
tanggung jawab sendiri
4) Mengembangkan kemampuan imajinatif
17
5) Mengembangkan kemampuan siswa untuk mencari dan menemukan,
mengolah, dan memanfaatkan informasi (Mudjito, 1999: 21).
Dari beberapa rumusan tentang tujuan perpustakaan sekolah tersebut di atas
adalah agar siswa menjadi mandiri, mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalah, mempunyai pengetahuan yang luas dan mempunyai kemampuan literasi
informasi.
b. Fungsi Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan sekolah berfungsi sebagai pusat informasi yang sangat
berpengaruh bagi peningkatan kualitas pendidikan disekolah. Dan fungsi
perpustakaan sekolah secara umum adalah:
1). Fungsi Informasi
Perpustakaan sekolah menyediakan berbagai bentuk informasi, yang meliputi
bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya, agar pengguna perpustakaan
dapat:
a) Mengambil berbagai ide dari buku yang ditulis oleh para ahli dari berbagai
bidang ilmu
b) Menumbuhkan rasa percaya diri dalam menyerap informasi dalam
berbagai bidang untuk mempunyai kesempatan untuk dapat memilih
informasi yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
c) Memperoleh kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi yang
tersedia diperpustakaan dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
18
d) Memperoleh informasi yang tersedia di perpustakaan dalam rangka
mencapai tujuan yang diinginkan
e) Memperoleh informasi yang tersedia di perpustakaan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
2). Fungsi Pendidikan
Perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak,
terekam, maupun koleksi lainnya sebagai sarana untuk menerapkan tujuan
pendidikan. Melalui fungsi ini manfaat yang dapat diperoleh adalah:
a) Agar pengguna perpustakaan mendapat kesempatan untuk mendidik diri
sendiri secara berkesinambungan
b) Untuk membangkitkan dan mengembangkan minat yang telah dimiliki
pengguna yaitu dengan mempertinggi kreatifitas dan kegiatan intelektual
c) Mempertinggi sikap sosial dan menciptakan masyarakat yang demokratis
d) Mempercepat penguasaan dalam bidang pengetahuan dan teknologi baru
3). Fungsi Kebudayaan
Perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak,
terekam, maupun koleksi lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna untuk:
a) Meningkatkan mutu kehidupan dengan memanfaatkan berbagai informasi
sebagai rekaman budaya bangsa untuk meningkatkan taraf hidup dan mutu
kehidupan manusia baik secara individu maupun secara kelompok
19
b) Membangkitkan minat terhadap kesenian dan keindahan yang merupakan
salah satu kebutuhan manusia terhadap cita rasa seni
c) Mendorong tumbuhnya kreatifitas dalam berkesenian
d) Mengembangkan sikap dan sifat hubungan manusia yang positif serta
manunjang kehidupan antar budaya secara harmonis
e) Menumbuhkan budaya baca dikalangan pengguna sebagai bekal
penguasaan alih media
4). Fungsi Rekreasi
Perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak,
terekam, maupun koleksi lainnya untuk:
a) Menciptakan kehidupan yang seimbang antara jasmani dan rohani
b) Mengembangkan minat rekreasi pengguna melalui berbagai bacaan dan
pemanfaatan waktu senggang
c) Manunjang berbagai kegiatan kreatif serta hiburan yang positif
5). Fungsi Penelitian
Sebagai fungsi penelitian perpustakaan menyediakan berbagai informasi
untuk menunjang kegiatan penelitian. Informasi yang disajikan meliputi berbagai
jenis dan bentuk informasi (Saiful-Haq, 2005: 38).
Fungsi perpustakaan sekolah secara garis besar dalam buku Pedoman
Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Sekolah, adalah:
20
a) Sebagai Pusat Kegiatan Belajar Mengajar
Perpustakaan sekolah menyediakan informasi melalui bahan pustaka,
untuk mendukung kegiatan belajar mengajar, mengembangkan kemampuan
anak mencari dan menggunakan sumber informasi. Bagi guru perpustakaan
merupakan tempat yang dapat membantu mereka dalam melaksanakan
tugasnya dan untuk menambah pengetahuan.
b) Sebagai Pusat Penelitian Sederhana
Yaitu membantu peserta didik dalam memperluas pengetahuannya tentang
suatu pelajaran di kelas dengan melakukan penelitian di perpustakaan.
c) Sebagai Pusat Membaca Guna Menambah Ilmu Pengetahuan
d) Sebagai Tempat Rekreasi (Perpustakaan Nasional RI, 2001: 4).
Dari beberapa uraian di atas tentang perpustakaan sekolah, pada intinya
adalah perpustakaan sekolah mempunyai fungsi sebagai pusat informasi, pusat
kegiatan belajar mengajar, kebudayaan, penelitian dan tempat untuk rekreasi ilmu
pengetahuan.
4. Peran Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan sekolah sebagai salah satu unit yang terdapat di sekolah
menjadi unsur pelengkap dalam proses belajar mengajar, mempunyai peranan
yang sangat penting sebagai salah satu sumber belajar, diantara peranan
peprustakaan adalah sebagai berikut:
21
a) Mengembangkan kemampuan anak dalam mencari dan menggunakan
informasi
b) Mengembangkan minat dan kebiasaan membaca yang baik pada murid
c) Mendidik murid agar dapat menggunakan dan memelihara bahan pustaka
d) Memberikan dasar ke arah studi mandiri
e) Membantu pekerjaan guru dalam melaksanakan pekerjaanya
f) Mengembangkan apresiasi hasil budaya dan karya seni
g) Mengembangkan keterampilan memecahkan masalah (Nurhadi, 1981: 21).
Berdasarkan visi dan misi, tujuan dan fungsi, peran perpustakaan sekolah
bahwa keberadaan perpustakaan sekolah itu sangatlah penting bagi siswa agar
siswa dapat mendapatkan ilmu pengetahuan selain dari kegiatan belajar mengajar.
Untuk mewujudkan hal itu, siswa diharuskan mempunyai kemampuan dalam
menggunakan fasilitas yang ada, yaitu dengan cara mempunyai keterampilan
literasi informasi.
5. Perpustakaan Sekolah Luar Biasa
Perpustakaan sekolah ada 2 macam, yang pertama perpustakaan sekolah
untuk anak normal, dan yang kedua perpustakaan sekolah untuk anak luar biasa.
Sedangkan dari devinisi, keduanya memiliki devinisi yang sama yaitu
perpustakaan yang tergabung dalam sebuah sekolah dan dikelola sepenuhnya oleh
sekolah yang bersangkutan.
Kedua perpustakaan tersebut pada umumnya mempunyai tujuan untuk
membuat penggunanya menjadi manusia yang berkualitas, menjadi pemikir yang
22
kritis dan mempunyai kemampuan literasi informasi. Pengguna yang menjadi
perbedaannya, koleksi dan fasilitas yang tersedia. Hampir semua koleksi yang ada
di perpustakaan sekolah luar biasa adalah berbentuk braille. Adapun yang buku
awas jumlahnya masih lebih sedikit dibanding buku braille.
Umumnya Sekolah Luar Biasa tidak memiliki tempat khusus untuk
menempatkan buku-buku dalam ruang perpustakaan khusus. Bagi sekolah-sekolah
yang sudah atau akan mulai diakreditasi, keberadaan ruang perpustakaan sudah
mulai diprioritaskan. Namun demikian, masih banyak ditemukan sekolah-sekolah
yang belum memprioritaskan atau belum menganggap penting keberadaan area
ini.
Beberapa Sekolah Luar Biasa yang memiliki area yang luas dengan
ruangan yang memadai, buku-buku kebutuhan anggota sekolah dapat ditempatkan
dalam perpustakaan sekolah, dan dikelola dengan baik. Sehingga memiliki
kegiatan sirkulasi yang teratur. Bagi sekolah yang memiliki keterbatasan area dan
ruangan, bukan berarti mewujudkan perpustakaan sekolah sebagai hal yang
mustahil. Sebab hal itu masih tetap memungkinkan. Idealnya, perpustakaan
sekolah berada dalam ruangan khusus. Namun demikian, setiap sudut kelas dapat
diubah menjadi perpustakaan kelas sesuai dengan kebutuhan anggota kelas. Jika
hal ini perpustakaan sekolah adalah suatu unit kerja yang merupakan bagian
integral dari suatu lembaga atau terlalu berisiko, mengingat aktivitas gerak siswa,
maka sudut ruangan tertentu di sekolah dapat diubah menjadi perpustakaan
sekolah.
23
Suatu instansi atau perpustakaan sekolah yang berupa tempat menyimpan
koleksi bahan pustaka yang dikelola dan diatur menurut sistem tertentu untuk
digunakan dalam menunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.
Keberadaan perpustakaan sekolah secara umum bertujuan untuk meningkatkan
kualitas manusia Indonesia yang memiliki rasa percaya pada diri sendiri, bersikap
dan berperilaku yang inovatif dan kreatif, sehingga mampu mewujudkan manusia-
manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Perpustakaan sekolah selain
berfungsi edukatif, juga berfungsi informatif, penelitian dan rekreatif.
Terselenggaranya perpustakaan sekolah dapat membangkitkan minat,
kemampuan dan kebiasaan membaca; mengembangkan kemampuan mencari,
mengolah, dan memanfaatkan data; mendidik masyarakat pemakai agar dapat
memelihara dan memanfaatkan bahan pustaka; belajar mandiri; memupuk minat
dan bakat; menumbuhkan apresiasi terhadap pengalaman imajinatif; memecahkan
masalah; dan menjadi fasilitas rekreasi pada waktu senggang.
Mengingat masih banyak Sekolah Luar Biasa yang terbatas dari sisi lahan
tanah, ruangan juga personil sekolah, namun harus melengkapi sekolah dengan
perpustakaan sekolah. Berikut ini cacatan penting yang dapat diperhatikan agar
perpustakaan sekolah di SLB dapat terkelola dengan baik.
1) Menentukan personil perpustakaan, yang terpenting terdiri dari kepala
perpustakaan, sekretaris, bendahara, dan anggota yang bertanggung jawab
pada bagian layanan sirkulasi, layanan teknis, dan pengadaan.
24
2) Melengkapi area, ruangan atau sudut ruangan yang akan dipakai dengan
rak-rak buku atau lemari buku, meja dan kursi baca, dan meja
administrasi.
3) Menyiapkan administrasi perpustakaan, meliputi buku induk, buku
anggota, buku peminjaman, buku tamu, dan buku-buku lain yang
diperlukan
4) Menata perlengkapan buku, meliputi: label buku yang direkatkan pada
punggung buku ( terdiri dari nomor klasifikasi tiga huruf pertama nama
pengarang, dan huruf pertama judul buku), kartu buku (mencantumkan
tanda buku, nama pengarang, judul buku, dan nomor inventaris), kantong
buku (mencantumkan tanda buku, nama pengarang, judul buku dan nomor
inventaris), dan lembar tanggal kembali (mencantumkan tanggal pinjam
dan tanggal kembali).
5) Mengelompokan buku berdasarkan kebutuhan dan kemudahan sekolah.
Misalnya mengelompokan berdasarkan isinya, tebal dan tipisnya, atau
berdasarkan kode tertentu. Pada perpustakaan besar, pengelompokan buku
dikenal dengan istilah sistem klasifikasi. Umumnya yang digunakan
adalah Klasifiaksi Persepuluhan Dewey. Untuk kebutuhan
pengklasifikasian sistem Klasifikasi Persepuluhan Dewey, personil
perpustakaan sekolah dapat merujuk pada Buku Pengantar Klasifikasi
Persepuluhan Dewey yang dapat diperoleh secara umum di toko buku.
6) Menyusun jadwal kegiatan sirkulasi, agar buku-buku yang keluar masuk
dapat jelas diketahui. Hal ini juga melatih anggota sekolah untuk
25
bertanggung jawab atas buku-buku yang dipinjam. Mengingat hampir 75%
buku-buku yang ada di SLB umumnya adalah milik Negara, maka
pengelolaan sirkulasi buku harus jelas. Melalui pengolahan yang baik,
seluruh SLB diyakini akan memiliki perpustakaan yang ideal (Puspita,
2003:43).
B. Ketunanetraan
1. Pengertian Ketunanetraan
Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan
lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang
buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan
kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari, terutama dalam
belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk ” setengah
melihat”, ” low vision”, atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra.
Dari uraian di atas, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera
penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima
informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas (Somantri, 2006:
65). Menurut pendidikan bahwa kebutaan difokuskan pada kemampuan siswa
dalam menggunakan penglihatan sebagai suatu saluran untuk belajar, anak yang
tidak dapat menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indera yang lain
seperti pendengaran, perabaan inilah yang disebut buta secara pendidikan
(Pamuji, 1999: 4). Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui
dalam kondisi berikut:
26
a. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang
awas
b. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
c. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
d. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan
penglihatan
Dari kondisi-kondisi diatas, pada umumnya yang digunakan sebagai
patokan adalah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada
tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui ketunanetraan dapat
digunaka suatu tes yang dikenal sebagai tes snellen card, perlu ditegaskan bahwa
anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari
6/21. artinya, mendasarkan tes anak hanya mampu membaca huruf-huruf pada
jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.
Berdasarkan acuan tersebut, anak tunanetra dapat dikelompokan menjadi
dua macam, yaitu:
a. Buta, dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima
rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)
b. Low Vision, bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar,
tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu
membaca headline pada surat kabar (Somantri, 2006: 65).
27
Anak tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik, dan
kepribadian yang sangat bervariasi, hal ini sangat tergantung pada sejak kapan
anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya,
berapa usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya.
Anak kurang lihat atau anak kurang awas, dikenal dengan sebutan anak
low vision. Mereka adalah anak yang masih memiliki sisa penglihatan.
Bermacam-macam pengertian mencoba untuk menjelaskan pengertian anak
kurang lihat namun belum ada pengertian yang bisa diterima secara umum oleh
berbagai profesi. Hal ini terjadi karena ilmu tentang kurang lihat baru berkembang
dan berbagai sudut disiplin ilmu mencoba memahami anak kurang lihat
(Widdjajantin, 2004: 200).
Barraga (1986:5) memaparkan beberapa definisi anak kurang lihat. The
World Health Organization mendifisikan anak kurang lihat sebagai: ” pribadi
yang memiliki kecacatan visual yang jelas tetapi juga masih memiliki sisa
penglihatan yang dapat digunakan”. The Low Vision Services of the United of
Amerika menyatakan bahwa anak kurang lihat adalah ” penurunan ketajaman
penglihatan dan atau lapang pandangan yang tidak normal akibat adanya
penyimpangan pada sistem visual”.
Low Vision atau sering disebut juga dengan istilah mampu lihat cahaya,
mampu melihat gerakan tangan, mampu mengenal/persepsi benda, atau yang
memiliki visus kurang dari 10/200, mungkin tidak diberi kesempatan untuk
mengembangkan potensi atau kemampuan belajarnya melalui pengamatan, jika
28
diasumsikan bahwa penglihatannya tidak cukup untuk digunakan sebagai alat
yang terpenting dalam proses belajar. Mungkin pengambilan keputusan secara
terburu-buru itu didasarkan pada suatu anjuran atau rekomendasi dari pihak
kedokteran yaitu anjuran agar anak menggunakan tulisan braille saja. Mungkin
juga guru berpendapat, bahwa perlu diadakan pemusatan perhatian pada satu cara
atau usaha saja, yaitu belajar melalui penggunaan indera peraba atau penglihatan
saja. Sebenarnya guru perlu memberi kesempatan kepada anak untuk
mengembangkan semua panca inderanya. Ia hendaknya membimbing anak baik
dalam pengalaman yang memerlukan daya melihat maupun daya membaca.
berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan anak Low Vision dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelompok I : Persepsi cahaya sampai 1/200
Kelompok II : Penglihatan mulai dari 2/200 sampai 4/200
Kelompok III : Penglihatan mulai dari 5/200 sampai 20/300
Kelompok IV : Penglihatan mulai dari 20/250 sampai 20/60
Tujuan dari klasifikasi ini adalah untuk menentukan standar penggunaan
sisa penglihatan dengan lebih baik. Dalam definisi ini, low vision dengan
penglihatan mulai dari 2/200 sampai 20/60. individu yang berada di kelompok I
hendaknya diajari dengan mempergunakan braille atau optacon apabila
memungkinkan. Mereka yang berada di kelompok II hendaknya didorong
semaksimal mungkin untuk melihat berapa ukuran atau bentuk. Kelompok ini
29
berada digaris batas sehingga sering kesulitan untuk menentukan saran untuk
individu tertentu di kelompok ini. Orang yang ada di kelompok III dan IV
hendaknya diajari dengan mempergunakan matanya. Kelompok III merupakan
individu-individu yang memerlukan bantuan seperti kacamata khusus, huruf cetak
yang besar, rekaman, dan pembelajaran individual dengan mempergunakan alat
bantu optikal. Orang yang ada di kelompok IV biasanya dapat berhasil berada di
sekolah atau pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh orang dengan mata normal.
Sering sekali, orang yang ada di kelompok ini tidak memerlukan kacamata atau
hanya apabila diperlukan mereka mempergunakan kaca pembesar (Rahardja,
2004: 2).
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan layanan
pendidikan bagi anak kurang lihat. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam
melayani pendidikan bagi low vision adalah:
1. Cahaya/penerangan
Ruangan belajar hendaknya mendapat cahaya. Cahaya yang datang tidak
langsung dari depan tetapi dari samping atau biarkanlah anak dapat
memilih keadaan cahaya yang sesuai dengan kondisinya.
2. Warna
Dengan kondisi penglihatannya, maka kontras warna sangat dibutuhkan
dalam kelancaran belajarnya.
30
3. Ukuran
Ukuran benda yang diberikan pada anak sebagai latihan kepekaan indera
raba haruslah diperhatikan sehingga akan mempermudah dalam mengikuti
pelajaran.
4. Waktu
Waktu yang dibutuhkan anak low vision dalam mengikuti pelajaran akan
lebih banyak bila dibanding dengan anak awas. Dalam membaca, mereka
memerlukan waktu untuk mengerti. Disamping itu masih memerlukan
ketajaman penglihatan untuk menafsirkan gambar. Sehingga guru harus
memperhatikan faktor kelelahan anak.
5. Metode Pengajaran
Metode pengajaran yang dipergunakan dalam mengajar bagi anak kurang
lihat tidak ada bedanya dengan anak awas. Perbedaan terletak pada
penekanan kegiatan. Hal ini dilakukan untuk memberi motivasi belajar
pada anak kurang lihat (Widdjajantin, 2004: 201).
Aspek-aspek psikologis anak kurang lihat, kehilangan kemandiriannya.
Implikasinya dalam beradaptasi (penyesuian) menghasilkan beberapa kepribadian:
mereka menggunakan kondisi mereka untuk dapatkan keuntungan; mereka
menganggap dirinya awas sehingga tidak mempunyai masalah, mereka
menyangkal akan kenyataan bahwa mereka kehilangan penglihatan. Implikasi
pertama akan terlihat pada perkembangan ketajaman penglihatan, maka sangat
31
penting menggunakan penglihatan sedini mungkin secara maksimum. Implikasi
yang kedua akan terlihat pada perkembangan pendengaran. Sedangkan
pendekatan belajar mendengar dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Implikasi
yang ketiga terlihat pada perkembangan kurikulum sekolah. Kurikulum
prasekolah bagi anak low vision penekanannya pada kesiapan membaca. Maka
program latihan membaca-menulis permulaan sangatlah penting (Widdjajantin,
2004: 206).
Bentuk bahan bacaan yang digunakan anak low vision ataupun tunanetra
total adalah berbentuk braille, ada juga buku suara yang lazim disebut audio
book/ talking book; buku suara berbentuk kaset untuk analog talking book, atau
CD untuk digital talking book.
Proses pembuatan untuk buku audio adalah, pertama, naskah buku
dibacakan sekaligus direkam dalam komputer. Kemudian dicopy di kaset atau
CD. Keunggulan buku audio dengan teknologi digital adalah terdapat fasilitas
pencari, baik perhalaman atau per-bab, sehingga mempermudah penggunaannya.
Sedangkan untuk buku braille, proses pembuatannya adalah: pertama,
mengetik naskah buku dalam dokumen ”word”; selanjutnya mengubah dokumen
word menjadi dokumen braille dengan menggunakan perangkat lunak Mitranetra
Braille Converter (MBC) atau perangkat lunak sejenis, dan memformatnya. Dan
yang terakhir mencetak dengan menggunakan mesin ”embosser” atau mesin cetak
braille (Depsos, 2010).
32
Berbagai usaha dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan. Berbagai usaha ini perlu melibatkan guru, orang tua, para ahli mesin
yang menciptkan teknologi yang tepat. Alat bantu melihat yang dapat digunakan
adalah kaca mata, lensa kontak, teleskop kecil, kaca pembesar dan lain-lain. Juga
diadakan penyesuaian ruang kelas untuk anak kurang lihat ataupun tunanetra total.
2. Faktor-faktor Penyebab Ketunanetraan
Secara ilmiah ketunanetaraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
apakah itu dari faktor dari dalam diri anak (internal) ataupun faktor dari luar anak
(eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat
hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan,
kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu,
kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebaginya. Sedangkan hal-hal yang
termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau
sesudah bayi dilahirkan, misalnya: kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang
mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat
melahirkan sehingga sistem persyarafannya rusak, kurang gizi, kurang vitamin,
terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan
mata kerena penyakit, bakteri, ataupun virus (Somantri, 2006: 66).
3. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Manusia berhubungan dengan lingkungan, baik sosial maupun alam
melalui kemampuan inderanya, sekalipun masing-masing indera mempunyai sifat
dan karakteristik yang khas, namun dalam bekerjanya memerlukan kerjasama dan
33
keterpaduan diantara indera-indera tersebut sehingga memperoleh pengetahuan
atau makna yang lengkap dan utuh tentang objek dilingkungannya. Diperlukan
kerjasama secara terpadu dan serentak antara indera penglihatan, pendengaran,
pengecap, perabaan, dan pembau atau penciuman untuk mendapatkan pengenalan,
pengertian, atau makna yang lengkap dan utuh tentang lingkungannya.
Akibat dari ketunanetraan, maka pengenalan atau pengertian terhadap
dunia luar anak tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya
perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengan
anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif
tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau kemampuan inteligensinya,
tetapi juga dengan kemampuan indera penglihatannya.
Anak tunanetra memiliki keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan
dalam menerima rangsang atau informasi dari luar dirinya melalui indera
penglihatannya. Penerimaan rangsang hanya dapat dilakukan melalui pemanfaatan
indera-indera lain diluar indera penglihatannya. Namun karena dorongan dan
kebutuhan anak untuk tetap mengenal dunia sekitarnya, anak tunanetra biasa
menggantikannya dengan indera pendengaran sebagai saluran utama penerima
informasi. Sedangkan indera pendengaran hanya mampu menerima informasi dari
luar yang berupa suara, berdasarkan suara seseorang hanya mampu mendeteksi
dan menggambarkan tentang arah, sumber, jarak suatu objek informasi; tentang
ukuran dan kualitas ruangan, tetapi tidak mampu memberikan gambaran yang
konkrit mengenai bentuk, kedalaman, warna dan dinamikanya.
34
Tunanetra juga akan mengenal bentuk, posisi, ukuran, dan perbedaan
permukaan melalui perabaan. Melalui bau yang diciumnya ia dapat mengenal
seseorang, lokasi objek, serta membedakan jenis benda, walaupn sedikit perannya
malalui pengecapan. Tunanetra juga dapat mengenal objek malalui rasanya
walaupun terbatas, karena itu bagi tunanetra setiap bunyi yang didengarnya, bau
yang diciumnya, kualitas kesan yang dirabanya, dan rasa yang dicecapnya
memiliki potensi dalam pengembangan kamampuan kognitifnya. Implikasinya,
kebutuhan akan rangsang sensoris bagi anak tunanetra harus benar-benar
diperhatikan agar ia dapat mengembangkan pengetahuan tentang benda-benda dan
peristiwa-peristiwa yang ada dilingkungannya.
Jika aktifitas imitatif pada anak normal diperoleh dengan imitasi visual,maka pada anak tunanetra harus dirangsang melalui stimulasipendengaran, disamping sisa pendengaran (bagi yang memilikinya), sertaindera-indera yang lainnya (Somantri, 2006: 68).
Dengan kata lain, kecendrungan anak tunanetra menggantikan indera
penglihatannya dengan indera pendengaran sebagai saluran utama penerima
saluran informasi dari luar sehingga mengakibatkan pembentukan pengertian atau
konsep hanya berdasarkan pada suara atau bahasa lisan. Akibatya seringkali tidak
menguntungkan bagi anak, yaitu kecendrungan pada anak tunanetra untuk
menggunakan kata-kata atau bahasa tanpa tahu makna yang sebenarnya. Oleh
karena itu, seringkali dikatakan bahwa anak tunanetra itu tahu tetapi sebenarnya
tidak tahu, karena tahunya sebatas penglihatan verbal. Dalam pendidikan bagi
anak tunanetra kiranya perlu diwaspadai adanya kesukaran-kesukaran besar dalam
35
pembentukan pengertian atau konsep terutama terhadap pengalaman-pengalaman
konkrit dan fungsional yang diperlukan bagi anak dalam kehidupan sehari-hari.
Karena kurangnya stimulasi visual, perkembangan bahasa anak tunanetra
juga tertinggal dibanding anak awas. Pada anak tunanetra, kemampuan kosakata
terbagi atas dua golongan, yaitu kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan
pengalamannya sendir, dan kata-kata verbalistis yang diperolehnya dari orang lain
yang ia sendiri sering tidak memahaminya. Komunikasi nonverbal pada anak
tunanetra juga merupakan hal yang kurang difahaminya karena kemampuan ini
sangat tergantung pada stimulasi visual dari lingkungannya (Somantri, 2006: 69).
Kesulitan besar akan terjadi dan sangat mungkin dihadapi anak apabila
realitas lingkungan tersebut secara dinamis mengalami perubahan-perubahan dan
dengan mudah dapat diamati melalui indera penglihatan, sementara anak
tunanetra belum memperoleh informasi secara lisan terhadap perubahan tersebut.
Tidak setiap perubahan realitas lingkungan disertai dengan gejala yang dapat
dengan mudah dan cepat ditangkap dengan indera pendengaran, perabaan, dan
indera lain yang dimiliki. Inilah yang seringkali mengakibatkan anak tunanetra
berpegang teguh pada pendapatnya karena secara visual anak tidak mampu
menggunakan teknik akomodasi dan asimilasi dalam mengubah struktur
kognitifnya yang sudah mapan atau terbentuk sebelumnya. Dengan kata lain,
bahwa ketidakmampuan anak secara visual dalam menangkap realitas lingkungan
yang dinamis dan menggunakannya sebagai alat bantu yang efektif dan efisien
36
dalam teknik asimilasi dan akomodasi dapat mengakibatkan terhambatnya
perkembangan kognitif anak (Somantri, 2006: 70 dan 71). `
Pada akhirnya, bagaimana perkembangan kognitif anak tunanetra sangat
tergantung pada:
a. Jenis ketunanetraan anak
Jenis ketunanetraan anak ada dua, yaitu buta (total) dan low vision (buta
sedang/mampu lihat cahaya)
b. Kapan terjadinya ketunanetraan
Pada masa bayi kita sukar mengetahui apakah bayi itu awas atau tunanetra,
tetapi setelah usia 3 atau 4 minggu akan mulai nampak yaitu bila anak
dibaringkan anak akan melihat lampu yang menyala, mencoba
mengangkat kepala untuk mencoba melihat sesuatu mulai menggerak-
gerakan kepalanya untuk mencoba melihat benda berbunyi berwarna
menyolok yang bergerak-gerak didepannya, ia juga mulai mengenal wajah
ibunya dan mengenal wajah-wajah yang lain. Tetapi pada tunanetra hal
seperti itu tidak nampak. Bayi tunanetra tidak terangsang oleh sinar, gerak
benda dan lain-lain tetapi bunyi atau suaralah yang merangsang ia untuk
bergerak mencari dari mana asal suara tadi. Untuk dapat mengetahui
apakah bayi itu normal/ awas ataukah tunanetra haruslah diadakan suatu
deteksi dini, dengan maksud agar dapat segera mendapat penanganan
secara dini pula. Jika bayi telah menjadi anak-anak atau remaja bahkan
37
dewasa, pemeriksaan mata secara rutin masih sangat diperlukan, dengan
maksud agar dapat mengetahui kondisi ketajaman penglihatan beserta
keluhan-keluhannya sehingga dokter akan dapat pula mengadakan
asesmen terhadap perkembangan ketajaman penglihatan atau memang
asesmen tersebut diperlukan guru untuk menyusun program layanan
pendidikan bagi anak yang sedang mengalami masalah dalam ketajaman
penglihatannya.
c. Bagaimana tingkat pendidikan anak
Tingkat pendidikan anak sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif anak tunanetra, karena pendidikan akan memberikan dia
pengetahuan tentang apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi
lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Hal itu akan terwujud apabila
ada kerjasama orang tua dan guru untuk membantu anaknya mendapatkan
layanan pendidikan khusus.
d. Bagaimana stimulasi lingkungan terhadap upaya-upaya perkembangan
kognitifnya.
Adanya kebutuhan akan rangsang sensoris bagi anak tunanetra harus benar
diperhatikan agar ia dapat mengembangkan pengetahuan tentang benda-
benda dan peristiwa-peristiwa yang ada di lingkungannya.
38
4. Masalah Ketunanetraan Bagi Keluarga, masyarakat, dan penyelenggara
pendidikan
Berdasarkan uraian dalam bagian sebelumnya, tampak bahwa anak
tunanetra cenderung memiliki berbagai masalah baik yang berhubungan dengan
masalah pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian waktu luang, maupun
pekerjaan. Semua permasalahan tersebut perlu diantisipasi dengan memberikan
layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan, dan kesempatan yang luas bagi
anak tunanetra sebagai permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dalam
berbagai aspek tersebut dapat ditanggulangi sedini mungkin, artinya perlu
dilakukan upaya-upaya khusus secara terpadu dan multidisipliner untuk mencegah
jangan sampai permasalahan tersebut muncul, meluas, dan mendalam, yang
akhirnya dapat merugikan perkembangan anak tunanetra tersebut (Somantri,
2006: 87).
5. Dampak ketunanetraan
Pada umumnya orang awas berpendapat bahwa kelompok penyandang
tunanetra merupakan suatu kelompok minoritas, seperti halnya kelompok orang
negro dengan kulit putih. Pada kalangan penyandang tunanetra yang baru
ditemukan, mereka cenderung menunjukan perilaku-perilaku yang tidak sesuai
atau selaras dalam menghadapi berbagai situasi dan seringkali menunjukan reaksi-
reaksi yang tidak masuk akal. Mereka yang memiliki penglihatan yang tidak
sempurna cenderung patuh atau tunduk dalam hubungan intrapersonal dengan
orang awas.
39
Namun demikian dalam pandangan orang awas, orang tunanetra juga
sering memiliki kelebihan yang sifatnya positif seperti kepekaan teerhadap suara,
perabaan, ingatan, keterampilan dalam memainkan alat musik, serta ketertarikan
yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan agama (Somantri, 2006: 88).
Sedangkan bagaimana sikap orang tunanetra terhadap kebutaannya.
Dikatakan oleh Bauman (Kirtley, 1975) bahwa keberhasilan dalam penyesuaian
sosial dan ekonomi pada penyandang tunanetra berkaitan erat dengan sikap-sikap
diri dan keluarganya terhadap penerimaan secara emosional yang realistik
terhadap kebutaannya serta pemilikan kemampuan intelektual dan stabilitas
psikologis, dan sebagainya. Yang paling berat dan pertama kali merasakan
damapak ketunanetraan anak adalah keluarganya, terutama orang tua, kehadiran
anak tunanetra akan melahirkan berbagai reaksi dari orang tua. Bagaimana reaksi
orang tua tersebut dalam menerima kehadiran anak yang tunanetra akan sangat
berpengaruh terhadap keseluruhan perkemabangan pribadi-pribadi anak
dikamudian hari. Reaksi orang terhadap ketunanetraan anaknya pada umumnya
dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
a. Penerimaan secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya. Sikap ini
ditujuakan dengan pemberian kasih sayang yang wajar serta pemberian
perlakuan yang sama dengan anak lainnya, mereka juga terbuka terhadap
permasalahan yang dihadapi anak dan keluarganya.
b. Penyangkalan terhadap ketunanetraan anak. Ketunanetraan anak biasanya
ditanggapi dengan sikap yang terbuka, tetapi disertai dengan alasan-alasan
40
yang tidak realistik terhadap kecacatannya, tarutama terhadap kebutuhan
dan permasalahannya. Dalam pendidikan, orang tua seringkali tidak
percaya bahwa anaknya perlu layanan pendidikan secara khusus dan
menyangkal bahwa akhirnya prestasinya rendah.
c. Perlindungan yang berlebihan. Biasanya dilakukan orang tua sebagai
kompensasi karena ketunanetraan anaknya dirasakan sebagai akibat dari
perasaan bersalah atau berdosa. Sikap ini cenderung tidak menguntungkan
anak karena akan mengahmbat perkembangan dan kematangan anak
terutama dalam aspek kemandirian.
d. Penolakan secara tertutup. Biasanya ditujukan dengan sikap
menyembunyikan anaknya dari masyarakat. Ia tidak ingin diketahui bahwa
ia memiliki anak yang tunanetra, tidak peduli, tidak menyayangi, dan
cenderung mengasingkan anaknya dari lingkungan keluarga.
e. Penolakan secara terbuka. Penolakan secara terbuka biasanya ditunjukan
dengan sikap bahwa secara terus terang ia menyadari ketunanetraan
anaknya, tetapi sebenarnya secara rasio maupun emosional tidak pernah
dapat menerima kehadiran anaknya tersebut. Orang tua yang demikian
biasanya bersikap bertahan dan tidak pernah merasa bersalah dan mau
menerima kenyataan tersebut. Ia cenderung ingin mencari tahu sebab-
sebab ketunanetraan anaknya pada orang lain atau para ahli. Tetapi tidak
pernah menemukan jawabannya. Pada akhirnya orang tua yang demikian
biasanya bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan segala kebutuhan
anaknya.
41
Mengenai sikap para guru sebagaimana penyelenggara pendidikan, hasil
penelitian Murphy (Kirtley, 1975) menunjukan bahwa pada umumnya para guru
(guru umum dan guru PLB) cenderung lebih bersifat positif terhadap anak
tunanetra. Hasil penelitian ini juga dapat dimaklumi karena para guru pada
umumnya tidak pernah berhubungan dengan anak tunanetra, khususnya didalam
kelas, sementara itu hasil penelitian Sunaryo dan Sunardi (1992) terhadap guru-
guru SD menunjukan bahwa pada umumnya para guru memiliki sikap yang cukup
positif terhadap anak luar biasa pada umumnya, termasuk tunanetra (Somantri,
2006: 90).
6. Sistem Pendidikan bagi Tunanetra
Undang undang dasar tahun 1945 menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Perhatian pemerintah untuk pendidikan
tunanetra terus ada, posisi anak tunanetra dalam sistim pendidikan secara hukum
telah jelas. Tahun 1979 keluar keputusan Menteri Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan No. 0222/ 0/ 1979 tgl 28 September 1979 tentang penyelenggaraan
perintisan dan pengembangan pendidikan terpadu bagi anak luar biasa di sekolah
dasar. Sebelum pendidikan terpadu ada, anak tunanetra, khususnya di Bandung,
sudah ada yang mengikuti pendidikannya dari sekolah umum bahkan sudah ada
yang sudah mencapai gelar Sarjana. Tahun anggaran 1982/ 1983 melalui Inpres
Nomor 4/1983 didirikanlah SDLB disetiap kabupaten/ kotamadya yang belum
memiliki SLB. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 0491/ U/ 1992 tentang Pendidikan Luar Biasa yang antara lain
menetapkan bentuk satuan PLB sebagai berikut: TKLB; SDLB; SLTPLB; SMLB.
42
Bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi tunanetra dapat berupa: (1) Sekolah
Terpadu; (2) Kelas Khusus; (3) Guru Kunjung; (4) SLB/ A; (5) SDLB.
Di Amerika Serikat, saat ini, tahun 1940-an sampai tahun 1950-an ribuan
bayi yang lahir prematur mengalami kerusakan pada penglihatan karena
Retinopathy of Prematurity (ROP), sehingga sekolah untuk tunanetra tidak bisa
lagi menampung, dan orang tua tidak ingin anaknya dididik di SLB yang letaknya
jauh. Untuk mengatasi keadaan ini sekolah biasa untuk anak tunanetra.
Perkembangan selanjutnya membuka berbagai macam lembaga pendidikan.
Metode-metode pendidikan:
a. Program Pra Sekolah (Home- Based Program & School- Based Program) ;
b. Program Sekolah Dasar,
c. Program Sekolah Lanjutan.
Selanjutnya pendidikan di Amerika Serikat memperhatikan: Normalisasi
Integrasi perbedaan Budaya. Pilihan pendidikan:
a. Regulae Class Only atau kelas Biasa dengan guru biasa (tanpa guru PLB) ;
b. Regular Class with Consultation atau kelas biasa dengan guru biasa
(dengan konsultasi dengan guru PLB) ;
c. Itinerant Teacher atau guru kunjung yakni kelas biasa dengan guru biasa
(bantuan guru kunjung) ;
43
d. Resource Teacher atau guru sumber yakni kelas biasa dengan guru biasa,
namun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan
guru sumber;
e. Pusat Diagnostik- Prescriptif;
f. Hospital or Homebound Instruction atau Pendidikan di Rumah atau di
Rumah Sakit;
g. Self- Contained Class atau kelas khusus di sekolah biasa bersama guru
PLB;
h. Special Day School atau Sekolah Luar Biasa tanpa asrama ;
i. Residential School atau Sekolah Luar Biasa berasarama (Widdjajantin,
2004: 115).
Pendidikan tunanetra di Eropa dimulai pertama kali di Prancis pada abad
18. Vanlentin Hauy orang pertama yang memperhatikan pendidikan bagi anak
tunanetra. ” Institution des Jeunes Avengles” di Paris tahun 1784, dengan murid
pertama Francois Leseuer. Sistem pendidikannya menekankan pada kemampuan
akademis. Awal abad 19 Sekolah Luar Biasa (Residential School) untuk tunanetra
mulai berdiri di beberapa negara lain meliputi Inggris, Skotlandia, Austria, Jerman
dan Rusia (Roberts, 1986: 55-58).
C. Literasi Informasi
1. Pengertian Literasi Informasi
Salah satu indikator yang paling penting untuk mengukur status kemajuan
suatu negara adalah ketersediaan sistem informasi nasional yang menyeluruh,
44
terpadu dan sistematik. Dengan demikian memungkinkan setiap individu
mempunyai peluang yang sejajar dan mudah untuk mengakses dan memanfaatkan
informasi yang dibutuhkannya. Istilah informasi dalam konteks ini mencakup
semua jenis data seperti data berupa angka, pengetahuan nyata (faktual), petunjuk-
petunjuk, perintah-perintah, prosedur-prosedur, daftar permintaan, laporan-
laporan, dan berbagai sumber informasi lainnya. Semua informasi tersebut sangat
berguna untuk satu pengambilan keputusan bagi tiap individu dan kelompok.
Informasi dan pengetahuan menuntut kemampuan pemakai dalam
mengidentifikasi, mengakses, menganalisa dan mengevaluasi serta
memanfaatkannya. Karena itu perlu adanya suatu kesadaran baik dari pihak
pemerintah maupun non pemerintah untuk melakukan tindakan nyata yang
mempromosikan pendidikan literasi informasi. Kesadaran masyarakat akan
perlunya literasi informasi adalah dimana harus mempunyai keterampilan yang
dapat membantu memecahkan permasalahan ( survival skills) adalah penting bagi
semua orang (Farida, 2005: 5).
Sebenarnya konsep literasi informasi adalah bukan hal yang baru, karena
kelahiran literasi informasi diawali dengan serangkaian program yang sudah lama
dilakukan oleh pustakawan di manapun di dunia ini yaitu instruksi perpustakaan
(library instruction), instruksi bibliografi (bibliographic instruction), dan
pendidikan pemakai (user education).
Literasi informasi bertujuan untuk merespon ketidakmaksimalan program
instruksi perpustakaan, instruksi bibliografi, dan pendidikan pemakai dalam
45
memenuhi kebutuhan pemakai saat ini. Literasi informasi memiliki makna yang
lebih luas dan dalam daripada ketiga program tersebut di atas. Literasi informasi
menunjukan perubahan dalam orientasi dari pengajaran sumber informasi secara
lebih spesifik, kini menuju kesuatu set keterampilan dalam berfikir kritis termasuk
juga penggunaan informasi. Sehingga literasi informasi dijadikan sebagai bagian
dari proses pendidikan (Alfida, 2009: 234).
Istilah ” Information Literacy” pertama kali digunakan oleh Paul
Zurkowski, lebih dari 30 tahun lalu. Dia menggambarkan orang-orang yang ketika
itu melek informasi terhadap pekerjaan mereka, mereka belajar teknik-teknik dan
keterampilan-keterampilan untuk memanfaatkan cakupan yang luas dari sarana
informasi sebagaimana juga sumber-sumber utama dalam memecahkan
permasalahan mereka (Farida, 2005: 11).
Literasi informasi merupakan kunci dari pembelajaran sepanjang hayat.
Information power menawarkan seperangkat dari sembilan standar dari literasi
informasi yang didesain ” untuk membimbing dan mendukung para pustakawan”
terhadap uasaha-usaha didalam tiga area-area utama; pembelajaran dan
pengajaran, akses informasi dan administrasi program (Information Power, 1998).
The Southern Association of Colleges and Schools (1996), mendefinisikan
information literacy sebagai ” kemampuan menemukan, mengavaluasi, dan
menggunakan informasi untuk menjadi pelajar sepanjang hayat yang mandiri. The
State University of New York Council of Library Directors didalam prakarsanya
(1997) mendefinisikan information literacy sebagai ” kemampuan mengenali
46
kapan informasi dibutuhkan dan menemukan, mengevaluasi, menggunakan secara
efektif, serta mengkomunikasikan informasi dalam beragam formatnya.
Dari kedua definisi information literacy tersebut sudah seharusnya
merupakan komponen yang integral dari layanan media perpustakaan sekolah.
Bagaimanapun, bukan saja hingga sejak diperkenalkannya komputer disekolah-
sekolah dan pusat-pusat media perpustakaan sekolah, urgensi information literacy
juga merupakan suatu yang penting. Perpustakaan pada lembaga pendidikan
merupakan lingkungan yang aktif dan dapat melakukan kerjasama dengan guru
atau dosen, siswa atau mahasiswa dalam meningkatkan berbagai keterampilan
melek informasi (information literacy) dan menanamkan kebiasaan menjadi
pembelajar sepanjang hidup (Lifelong Leaner) (Farida, 2005: 10).
2. Program Literasi Informasi di sekolah
Pengalaman pendidikan tidak hanya meliputi aktifitas mengingat akan
belajar (memorization), tetapi merupakan kegiatan yang hidup, proses berfikir
yang kompleks, diserap melalui energi kreatif dan kritis. Literasi informasi
merupakan kunci penutup segudang informasi, yang memungkinkan anak
memasuki dan memilih pintu yang mana yang akan memuaskan atas
pertanyaannya. Literasi informasi merupakan suatu proses berfikir yang
memungkinkan seseorang untuk mencari informasi, mengumpulkan,
membedakan, menganalisa, mengevaluasi, dan mengaplikasikan informasi untuk
memecahkan masalah (Wahyudiati, 2008: 1). Proses di atas menunjukkan bahwa
47
dalam mendapatkan informasi harus mempunyai pengetahuan khusus, agar
informasi yang didapat sesuai dengan kebutuhan.
Hal ini memungkinkan seseorang untuk memahami dan mengakomodasi
informasi ke dalam susunan perkembangan kognitif seseorang sebagai
pengetahuan. Oleh karena itu, memungkinkan individu memecahkan masalahnya
di kemudian hari. Pengalaman pendidikan dapat merangsang pertumbuhan dari
dalam diri seseorang untuk meraih proses berfikir, menggunakan, dan menggali
lingkungan fisik dan sosial. Pustakawan menciptakan laboratorium belajar di
mana segala macam bentuk sumber dapat menghadirkan dunia informasi kepada
siswa.
Guru dan administrator telah dirangsang untuk melihat proses belajar
mengajar dengan strategi baru. Keterampilan menggunakan perpustakaan
seharusnya diintegrasikan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dari
setiap subjek yang diajarkan. Kesulitan yang terjadi adalah bahwa siswa dan guru
memiliki beban yang cukup besar sebagaimana tersirat dalam kurikulum yang
harus dicapai dalam waktu tertentu.
Anak didik perlu menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang mereka
peroleh tidak terpisahkan dari aspek pengetahuan lain yang terkandung di
berbagai sumber, media dan alam sekitarnya. Pada diri anak didik perlu juga
ditanamkan pengertian bahwa kemampuan dan keterampilan mereka akan
berkembang dengan meningkatkan penggunaan berbagai sumber atau media
informasi yang lebih luas, termasuk media internet, buku-buku fiksi, dan lain-lain,
termasuk lewat pengamatan kejadian di lingkungan sekitarnya. Sehingga buku
48
teks bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan mereka. Oleh karena itu,
kegiatan belajar perlu dilengkapi dengan beragam bahan bacaan dan literatur
sebagai sarana penguatan dan pengayaan keilmuan yang terkandung pada buku
ajar dan kurikulum sekolah (Nuryudi, 2006: 14).
Pemahaman akan keterkaitan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-
hari perlu untuk ditanamkan ke dalam diri anak didik sejak dini. Untuk itu, para
pustakawan hendaknya proaktif terhadap rencana-rencana pemanfaatan sarana
perpustakaan untuk kegiatan proses belajar yang lebih intensif. Pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah, misalnya, guru dan pustakawan dapat
menerapkan sistem pembelajaran dengan pendekatan pemberian tugas ilmiah
dimana siswa akan terlatih untuk mengolah pengetahuan atau keterampilan yang
mereka peroleh secara lebih mendalam.
Guru dan siswa akan terdorong untuk menggunakan sumber daya
informasi yang ada di perpustakaan secara maksimal. Dengan ini diharapkan guru
dan pustakawan dapat mengidentifikasi bakat dan minat anak didik untuk
dibimbing dengan sistematis dengan memberikan sarana kebutuhan informasi
termasuk keahlian dalam penilaian dan penelusurannya.
Program ini juga membimbing siswa akan terbentuknya kecakapan dalam
mengolah dan mengorganisir berbagai fakta sehingga terjadi sinkronisasi dengan
kebutuhan, kecakapan dalam menciptakan pengetahuan dengan menghubungkan
informasi yang baru dengan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya, termasuk
kecakapan dalam menggunakan pengetahuan tersebut secara bijaksana dalam
kehidupan sehari-hari. Ini termasuk keterampilan-keterampilan khusus seperti
49
penyelesaian masalah, berfikir kritis, dan memahami keterkaitan antara data dan
informasi ( Nuryudi, 2006: 24).
Kemampuan literasi informasi dapat dilakukan apabila seseorang
mempunyai kemampuan intelegensi, dan kemampuan intelegensi tergantung pada
indera-indera yang berhubungan seperti indera pendengaran, perabaan, dan
pengecapan. Bagaimana dengan seseorang yang berkelainan, contohnya tunanetra
tentunya tidak sama pengaplikasian literasi informasi bagi anak tunanetra dengan
orang awas.
Membaca adalah salah satu unsur dalam literasi informasi setelah
informasi itu ditemukan, bagaimana dengan kemampuan membaca anak
tunanetra, kemampuan membaca anak tunanetra merupakan proses perkembangan
yang sulit, karena kerusakan penglihatannya sehingga seorang anak tunanetra
harus terampil menggunakan perabaan untuk membaca. Untuk mampu membaca
dengan baik anak tunanetra harus menggabungkan dua inderanya yaitu perabaan
dan pengucapannya, jika salah satunya mengalami kelainan, maka hal ini akan
terpengaruh terhadap kemampuan membacanya.
Kemampuan membaca anak tunanetra tidak terlepas dari persoalan
kemampuan belajar itu sendiri. Kemampuan belajar yang dimaksud di sini adalah
kemampuan intelegensi/ kecerdasannya.
Sehubungan dengan itu, Tampubolon mengemukakan bahwa:
Kemampuan belajar pada anak-anak tidak sama, karena intelegensiberbeda-beda tingkatannya, dan juga karena faktor lainnya. Ada anak yang
50
cepat menangkap dan memahami pelajaran, tetapi ada juga yang lamban.Kekurangmampuan belajar ini sudah tentu mempengaruhi anak dalammembaca, baik dalam pelajaran membaca permulaan maupun membacalanjutan untuk pemahaman.
Dari uraian di atas jelas bahwa faktor intelegensi mempunyai pengaruh
yang substansial terhadap kemampuan membaca anak tunanetra yang mengalami
kelainan penglihatan, sudah barang tentu mengalami pula kesulitan dalam
membaca. Dengan adanya huruf braille, anak tunanetra dapat membaca dengan
mempergunakan indera perabaannya, namun demikian tetap masih ada anak
tunanetra yang mengalami kesulitan membaca (Tim Peneliti Mahasiswa, 1995:
13).
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan membaca
permulaan yaitu: kompetensi kebahasaan, kemampuan mata, teknik-teknik dan
metode-metode membaca, serta kebiasaan membaca.
1. Kompetensi kebahasaan
Penguasaan bahasa terutama bahasa lisan, dalam hal ini penguasaan bunyi-
bunyi/ lafal masing-masing abjad sangat berpengaruh terhadap kemampuan
membaca permulaan anak tunanetra.
2. Kemampuan mata
Disebabkan karena kelainan matanya, maka setiap anak tunanetra, dapat
dipastikan akan mengalami kesulitan membaca huruf awas. Oleh karena itu
dengan adanya huruf braille, maka anak tunanetra dapat juga membaca dan
mengenal huruf.
51
3. Teknik-teknik dan metode-metode membaca
Teknik dan metode ini berhubungan dengan proses belajar mengajar, hal
ini berarti guru yang memegang peranan penting dalam menerapkan teknik dan
metode membaca dalam proses belajar mengajar. Meningkatkan teknik dan
metode yang bervariasi dapat meningkatkan minat anak untuk belajar membaca.
4. Kebiasaan membaca
Kebiasaan membaca itu tidak muncul dengan sendirinya, artinya butuh
waktu cukup lama untuk membentuk kebiasaan itu, oleh karena itu faktor minat
dan kebiasaan tidak boleh diabaikan. Minat dan motivasi yang tinggi untuk belajar
membaca akan menjadikan anak tunanetra terbiasa membaca (Tim Peneliti
Mahasiswa, 1995: 16).
Program literasi informasi yang diterapkan secara kelembagaan atau
sebagai program nasional yang dilakukan secara bersama, adalah sangat
bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Kemampuan dalam memanfaatkan
informasi sesuai dengan apa yang diperlukan bagi proses pembelajaran atau bagi
tujuan-tujuan lain dalam kehidupan, jelas akan meningkatkan kualitas sumber
daya manusia secara keseluruhan (Farida, 2005:10).
52
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta
1. Sejarah Singkat
Sekolah Luar Biasa untuk Tunanetra Pembina Tingkat Nasional (SLB-A
PTN Jakarta) sebagai lembaga pendidikan untuk tunanetra didirikan oleh
pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 9 Desember 1981 dan diresmikan
oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Sekolah khusus ini berlokasi di
kompleks perumahan anggota DPR dan Departemen Kehakiman, di Jalan Karang
Tengah, Jakarta Selatan; tepatnya di Jalan Pertanian Raya, Lebak Bulus, Jakarta
Selatan 12440. SLB-A PTN merupakan lembaga khusus tunanetra yang bertaraf
nasional dan merupakan satu-satunya lembaga yang ada di Indonesia. Peresmian
tersebut sekaligus sebagai puncak acara kegiatan Tahun Internasional Para Cacat
(TICA) PBB di tahun yang sama.
Pembangunan sekolah ini adalah realisasi dari salah satu program nasional
dalam usaha peningkatan mutu pendidikan anak tunanetra. Pemerintah melalui
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sub Direktorat Pendidikan Luar Biasa,
memberikan lahan seluas 4,5 hektar guna dibangun fasilitas pendidikan luar biasa
untuk kecacatan tunanetra. Bangunan di lahan seluas 4,5 hektar meliputi gedung
sekolah, wisma, asrama, perumahan guru dan karyawan, gedung orientasi dan
53
mobilitas, perpustakaa, taman bermain, resources center, dan unit percetakan
braille.
Tahun 1983 diangkat seorang Kepala Sekolah untuk SLB-A Pembina
Tingkat Nasional, disusul dengan pengangkatan guru-guru baru, sedangkan
murid belum ada karena murid yang ada di Lebak Bulus adalah murid di SLB
Negeri Bagian A Jakarta dari Jln. RS Fatmawati, Cilandak. Dengan demikian
maka dalam satu lokasi gedung terdapat 2 SLB yang sama-sama menangani
pelayanan pendidikan bagi anak tuanentra.
Tahun 1986 (November), keputusan membagi murid SLB Negeri bagian A
Jakarta untuk SLB Negeri Bagian A Jakarta sendiri dan SLB-A Pembina Tingkat
Nasional Jakarta. Atas persetujuan Ka Kanwil Depdikbud DKI Jakarta dan
Ditdiknas, SLB Negeri Bagian A jakarta secara berangsur-angsur menyerahkan
murid tunanetranya kepada SLB-A PTN. Sementara SLB Negeri Bagian A
Jakarta secara berangsur merintis menerima murid B dan C Sebagai SLB Negeri
Persiapan B/C. SLB-A PTN mengelola wilayah bagian utara, SLB Negeri Jakarta
mengelola wilayah bagian selatan.
Tahun 1987 Gedung SLB Negeri di Jln. RS Fatmawati resmi dihapus
dengan SK Mendikbud No. 0358/M/1987 tertanggal 20 Juni 1987, sedangkan
tanahnya dikembalikan kepada Depsos. (Tahun 1991 Wisma Tan Miyat secara
keseluruhan pindah ke Bekasi). Secara resmi pula pemindahan kegiatan SLB
Negeri Bagian A Jakarta ke Lebak Bulus diterbitkan SK Mendikbud No.
0384/0/1987 tertanggal 1 Juli 1987.
54
Tahun 1992 siswa tunanetra seluruhnya ditangani SLB-A Pembina
Tingkat Nasional, sedangkan SLB Negeri Bagian A Jakarta seluruhnya melayani
pendidikan anak tunarungu dan tunagrahita (B) dan (c).
2. Tugas dan Fungsi
Berdasarkan SK. Mendikbud No. 0413/0/1981 tugas dan fungsi SLB-A
PTN adalah
1. Melakukan percontohan pendidikan tingkat persiapan, dasar, lanjutan dan
menengah sesuai dengan kurikulum yang berlaku
2. Mengadakan pemeriksaan psikologis, medis dan sosiologis
3. Melakukan kajian di bidang proses belajar mengajar di SLB dan
Penerapannya
4. Mengadakan latihan dan penyegaran bagi guru dan tenaga kependidikan
lainnya serta penyelenggaraan pendidikan luar biasa
5. Melakukan bimbingan dan penyuluhan bagi siswa dan masyarakat
6. Membina hubungan kerjasama dengan orang tua siswa dan masyarakat
7. Melakukan publikasi yang menyangkut pendidikan luar biasa sesuai
dengan kelainannya
8. Melakukan urusan tata usaha rumah tangga sekolah
3 Visi dan Misi
Visi dan misi dari sekolah luar biasa pembina tingkat nasional jakarta
adalah sebagai serikut:
55
a. Visi
Terwujudnya pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
dengan gangguan penglihatan menjadi pribadi yang mandiri, taqwa, cerdas dan
terampil dalam masyarakat inklusif
b. Misi
1. Mengurangi dampak gangguan penglihatan melalui intervensi dini (baik
usia maupun kemampuan) dan rehabilitasi
2. Meningkatkan/ memperluas pengetahuan, wawasan, pengalaman dan sikap
percaya diri melalui pendidikan inklusif
3. Meningkatkan keterampilan dan memperluas peluang kerja melalui
pendidikan inklusif
4. Mendorong terwujudnya kesamaan hak dan kesempatan melalui
kesetaraan perlakuan
B. Perpustakaan Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta
1. Sejarah Singkat
a. Awal Berdiri
Perpustakaan SLB-A PTN Jakarta berdiri seiring dengan berdirinya
Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB-A) Pembina Tingkat Nasional Jakarta, yaitu
sejak gedung SLB-A PTN Jakarta diresmikan oleh Bapak Presiden Republik
Indonesia (Soeharto) pada tanggal 9 Desember 1981. Pembukaan sekolah ini
56
merupakan realisasi dari salah satu program Nasional dalam usaha peningkatan
kesempatan belajar dan peningkatan mutu pendidikan bagi anak berkelainan
sekaligus sebagai puncak acara kegiatan Tahun Internasional para Carcat 1981.
Perpustakaan SLB-A PTN Jakarta, termasuk salah salah satu bangunan
utama yang dipersiapkan Pemerintah untuk menunjang aktivitas kegiatan belajar
mengajar. Bangunan ini sangat memadai bagi sebuah perpustakaan Braille yang
bertaraf Nasional, luas bangunan perpustakaan secara keseluruhan 172 M2 yang
terbagi dalam 5 lokal ruang dengan ukuran berpariasi sesuai peruntukkannya.
Secara garis besar perkembangan Perpustakaan Braille SLB-A PTN Jakarta akan
digambarkan sebagai berikut:
b. Periode Tahun 1981-1982
Periode tahun 1981 – 1982, SLB-A PTN belum memiliki murid dan
tenaga/pegawai yang memadai, maka pengelolaan gedung utama Perpustakaan
Braille SLB-A PTN diadakan kerjasama dengan pihak swasta, dengan demikian
sejak berdirinya gedung perpustakaan Braille tersebut dikelola sepenuhnya oleh
pihak swasta, yaitu dengan nama “Dian Netra” Kelompok Tenaga Sukarela
Penyalin Huruf Braille yang tenaga kerjanya kaum Ibu-ibu. Kelompok tenaga ini
di samping pengelolaan perpustakaan juga pelayanan pembraillean buku-buku
yang dibutuhkan para siswa-siwi SLB-A PTN khususnya para tunanetra di
sekolah lain. Kelompok Ibu-ibu ini cukup memberikan kontribusi yang baik
dalam penyediaan buku-buku braille dan banyak dimanfaatkan oleh siswa-siswi
tunanetra khususnya di Jakarta. Namun dari jumlah 5 (lima) ruang yang ada hanya
2 (dua) ruang saja yang diperbolehkan dipergunakan, tiga ruang selebihnya
57
dipergunakan untuk ruang lain-lain. Kerjasama ini berlangsung kurang lebih 8
(delapan tahun).
c. Periode Tahun 1983-1995
Seiring dengan perjalanan waktu, pada tahun 1985, diangkat kepala
sekolah SLB-A Pembina pertama dari Staf Dikdasmen, yaitu Ibu. Dra. T.S.
Soekini Pradopo, secara berangsur SLB-A Pembina memiliki jumlah murid yang
cukup, seiring dengan itu pula SLB-A PTN merintis perpustakaan dengan
bekerjasama dengan SLB-A Negeri Jakarta yang sudah lama memiliki
perpustakaan dan kebetulan antara SLB-A PTN dengan SLB-A Negeri Jakarta
berada dalam satu lokasi dan satu atap dipergunakan oleh dua lembaga dengan
garapan layanan pendidikan yang sama untuk tunanetra.
Perpustakaan yang dirintis bersama sama ini berada dilokasi gedung utama
sekolah dengan luas bangunan seluruhnya 144 m2 dan untuk administrasi 48 m2.
Walaupun masa perintisan perpustakaan ini sudah memiliki tenaga khusus sebagai
ketuanya pada saat itu adalah Ibu. Woeryati, BA (tenaga/staf SLB-A Negeri Jkt,
dan dibantu oleh Bp. Maryono (guru SLB-A Negeri Jkt, Bpk. Dedi Supriadi (guru
SLB-A PTN Jkt), Bpk. Suyitno (alm, staf SLB-A Negeri Jkt), Bpk. Gumbreg staf
SLB-A Negeri Jkt. Tugas pengelola perpustakaan di samping memberikan
layanan peminjaman buku, juga memproduksi buku braille dengan menggunakan
alat yang cukup baik pada saat itu. Pengelolaan Perpustakaan dibawah
kepemimpinan Ibu. Woeryati ini cukup berkembang hingga kepindahannya Ibu.
Woeryati ke Yogyakarta sekitar tahun 1989/1990, selanjutnya kepemimpinan
diserahkan kepada Bapak. Maryono (tunanetra), dan tetap dibantu Bpk. Dedi
58
Supriadi (guru SLB-A PTN Jkt), Bpk. Suyitno (alm, staf SLB-A Negeri Jkt), Bpk.
Gumbreg staf SLB-A Negeri Jakarta.
d. Periode Tahun 1996-2000
Pada masa kepemimpinan Kepala Sekolah Bpk. Drs, H. Harsana. Petugas
perpustakaan diserahkan pengelolaannya kepada Bpk. Drs. Dedi Supriadi, di
samping bertugas di perpustakaan juga mengajar bidang studi orientasi dan
mobilitas. Mengingat jumlah murid SLB-A PTN semakin bertambah, terketuk
hati ingin melanjutkan cita-cita yang telah teridam-idamkan lama, yaitu
mengnginkan adanya model perpustakaan bertaraf nasional sebagai contoh bagi
sekolah sejenis lainnya. Dengan seizin kepala sekolah perpustakaan yang semula
menggunakan ruangan berukuran 96 m2 di gedung utama sekolah dipindahkan ke
gedung khusus perpustakaan secara terpisah dari gedung utama sekolah,
sedangkan Kelompok Penyalin Huruf Braille (Dian Netra) pindah tempat ke ruang
lain, kepindahan “Dian Netra” ini bertepatan juga dengan sudah habisnya masa
kontrak kerjasamanya. Pada masa itu pengelolaan perpustakaan dirasakan cukup
baik, walaupun belum optimal, baik dalam penataan maupun pelayanan bagi para
pengunjung, karena masih belum juga ada tenaga tambahan yang bisa membantu
dalam pengelolaannya.
e. Periode Tahun 2001-2003
Tahun 2001-2003 terjadi pergantian pimpinan sekolah, Kepala sekolah
lama Bpk. Drs. H. E. Harsana sudah purnabakti, dan untuk sementara ditugaskan
Bpk. Drs. Dedi Supriadi sebagai PLH (Pelaksana Harian) Kepala SLB-A PTN
Jakarta, pada masa periode ini pengelolaan perpustakaan diserahkan atau
59
diberikan tugas kepada Ibu. Yuyu, S.Pd dan Ibu. Dra. Sunarni, keduanya pernah
mengikuti pelatihan pengelolaan perpustakaan, sehingga mendapat tugas
tambahan rangkap di samping mengajar di kelas juga mengelola perpustakaan.
pada masa ini pun pengelolaan perpustakaan dirasakan juga belum optimal, hal ini
mungkin di samping waktu yang terbatas, juga pengetahuan dan praktik lapangan
masih kurang. Namun walaupun demikian kesungguhan mereka sangat baik.
Pada masa ini pula perkembangan pengadaan buku perpustakaan sudah
cukup memadai, karena bertepatan pada kepempimpinan PLH. Drs. Dedi
Supriadi, SLB-A Pembina Tingkat Nasional mendapat bantuan dari pemerintah
tentang alat-alat pencetak huruf braille yang sangat memadai hasil kerjasama
pemerintah indonesia dengan pihak Norwegia. sehingga pada masa ini pula
kebutuhan buku untuk diperpustakaan bisa tersedia lengkap.
f. Periode Tahun 2002-2008
Pada saat periode ini terjadi pergantian pimpinan, PLH. Kepala SLB-A
PTN (Drs. Dedi Supriadi) diganti oleh Dra. Kartini, M.Phil. SNE sebagai Kepala
Sekolah Depinitif, dan pengelolaan perpustakaan diserahkan kepada Bpk. Drs.
Dedi Supriadi, di samping tugas diperpustakaan juga mengajar di kelas, serta
mendapat tugas di Dinas Propinsi DKI Jakarta, sehingga pengelolaan
perpustakaan sempat tersendat. Namun hanya berlangsung satu tahun, tahun 2003
Bpk. Drs. Dedi Supriadi mendapat bea siswa dari pemerintah Norwegia untuk
melanjutkan pendidikan S2 di UPI Bandung, dan oleh kepala sekolah pengelolaan
perpustakaan diserahkan kepada Bpk. Hartono Widodo, S.Pd juga seorang guru
(guru Bahasa Indonesia di SLB-A PTN Jakarta). Penataan terus dilakukan, namun
60
pelayanan belum optimal karena beliau merangkap sebagai guru yang tugasnya
pun cukup berat semua dilakukannya secara sukarela dan penuh pengabdian.
Tahun 2005, sekembalinya Drs. Dedi Supriadi, M.Pd, selesai mengikuti
pendidikan, pengelolaan perpustakaan diserahkan kembali kepadanya. Seiring
dengan berjalannya waktu penataan pun terus dilakukan dan pengadministrasian
buku, layanan peminjaman pun cukup tertib dan buku-buku tertata dengan baik
disesuaikan dengan kebutuhan siswa, serta memudahkan siswa dalam mencari
buku yang dibutuhkan.
Pada tahun 2007 berdasarkan hasil akreditasi yang dilakukan oleh Tim
Badan Akreditasi Nasional, fasilitas pendukung pembelajaran “perpustakaan
braille SLB-A PTN” dinilai “Sangat Baik”. Hal ini terlihat dari cara pengelolaan
maupun dalam pengadministrasiannya.
Selanjutnya masih dalam masa kepemimpinan Dra. Kartini, M.Phil. SNE
(Kepala SLB-A PTN) periode 2002 hingga 2008, perpustakaan braille SLB-A
PTN mendapat tambahan ruang baru, namun kondisi ruang-ruang lainnya sudah
memprihatinkan sepertinya tidak nyaman lagi untuk dijadikan sebagai ruang baca
yang nyaman, sehingga buku-buku yang ada dipadatkan ke dalam ruang bangunan
baru. Pada masa ini pengelolaan perpustakaan mengalami perkembangan cukup
baik.
g. Periode Tahun 2009 sampai sekarang
Pada bulan Januari 2009 terjadi pergantian pimpinan sekolah, pimpinan
lama (Dra. Kartini, M.Phil.SNE) dimutasi ke wilayah Jakarta Barat, dan diganti
oleh pimpinan baru yaitu Bapak Kastono, S.Pd, pada masa pimpinan beliau
61
perpustakaan braille dipindahkan kembali ke gedung utama sekolah berada di
lingkungan kelas belajar siswa-siswi. Sedangkan yang semula perpustakaan
digunakan untuk kegiatan pendidikan di kelas bagi murid tunanetra ganda
(MDVI). Dengan kepindahan perpustakaan ini tentunya perlu penataan ulang dan
sangat selektif mengingat ruangan yang ada sekarang sangat tidak memadai
karena ruang tersebut hanya berukuran luas 96 m2, sehingga jumlah banyak judul
buku yang ada tidak terakomodasi semua di dalam rak.
Pengelolaan perpustakaan saat ini mengalami penurunan, baik dalam hal
pemberian layanan peminjaman kepada murid/juga guru, pengadministrasian
buku, pengklasifikasian, penempatan buku, hal ini disebabkan tidak adanya tenaga
khusus yang bertugas, saat ini petugas pengelola perpustakaan (Bapak Drs. Dedi
Supriadi, M.Pd) juga merangkap sebagai guru kelas di kelas khusus tunanetra
ganda. Sehingga dengan demikian pengelolaan secara keseluruhan perpustakaan
kurang maksimal.
2. Fasilitas Perpustakaan SLB-A PTN
Fasilitas perpustakaan di SLB-A PTN yang ada pada saat ini tidak seperti
perpustakan pada umumnya di sekolah lain, fasilitas yang tersedia hanya
terkonsentrasi pada ketersedianya koleksi buku bahan ajar. Jadi secara umum
fasilitas yang disediakan belum memberikan kenyaman bagi para penggunanya,
mudah-mudahan ke depan fasilitas yang memadai dapat terwujud, misalnya;
adanya ruang baca yang nyaman dan ber AC, rak buku yang sesuai, locker, yang
sangat penting lagi adalah petugas khusus yang mengenyam pendidikan tentang
perpustakaan.
62
Layanan perpustakaan menggunakan sistem layanan terbuka. Jadi siswa
dapat meminjam dan langsung mengambil buku yang dibutuhkan, pengelola
perpustakaan hanya menunjukan letaknya, atau bisa mengambil sendiri karena
masing-masing siswa sudah dibekali pendidikan pemakai sebelum mengunakan
bahan bacaan yang ada di perpustakaan.
Karena perpustakaan dijadikan sebagai penunjang kegiatan belajar
mengajar, maka dari itu kebanyakan siswa yang meminjam buku adalah buku
pelajaran. Waktu untuk peminjaman tidak ditentukan bahkan ada sampai 1
semester (6 bulan), itu dilakukan agar siswa dapat belajar dengan tenang tanpa
harus dikejar-kejar waktu dan juga karena siswa tunanetra membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk memahami bacaan ataupun gambar yang tersedia di
bandingkan dengan orang awas.
Fasilitas perpustakaan yang disediakan untuk membantu siswa dalam
mendapatkan informasi, yaitu fasilitas komputer yang dilengkapi screen reader
atau pembaca layar. Sebagai contoh salah satu merek dari program ini adalah
JAWS yang merupakan singkatan dari Job Access with Speech. Prinsip kerja dari
program pembaca layar adalah memproses tulisan atau teks yang muncul di layar
untuk kemudian direproduksi dalam bentuk suara yang bisa didengar oleh
seseorang melalui headset atau loud speaker. Untuk program JAWS, ia masih
menggunakan sistem speling dan pronunciation bahasa inggris, jadi sebuah teks
dalam bahasa apapun, akan dieja dalam bahasa inggris. Tapi perlu ditekankan,
bukan diterjemahkan dalam bahasa inggris, hanya dibaca dalam dialeg inggris.
63
Siswa tunanetra sudah sejak dini dikenalkan dengan komputer dan cara
mengakses internet. Sekarang tidak hanya anak awas yang bisa mengakses
internet, tunanetra juga bisa yaitu dengan menggunakan komputer yang
ditambahkan software yang merubah tampilan visual menjadi audio. Namanya
speech synthesizer. Dengan teknologi ini, komputer bisa “membacakan” setiap
tombol yang ditekan. Termasuk tombol fungsi, tanda baca, pendek kata
semuanya. Itu dilakukan agar siswa tidak ketinggalan informasi karena gagap
teknologi walaupun dengan penuh keterbatasan.
Koleksi yang tersedia terdiri dari buku pelajaran, buku agama, majalah,
karya umum, buku fiksi, semua koleksi ada yang berbentuk Braille dan ada juga
yang berbentuk awas. Kebetulan SLB-A PTN Jakarta menyediakan mesin
pembuat buku Braille, hal itu dilakukan agar dapat memudahkan perpustakaan
dalam mendapatkan koleksi yang dibutuhkan.
Pengadaan koleksi buku perpustakaan, untuk bahan ajar berdasarkan
permintaan guru sesuai dengan bidang mata pelajaran yang akan digunakan
masing-masing, sedangkan untuk buku-buku tertentu (ceritera, tentang kebijakan,
dll) dilakukan tanpa mekanisme jadi disesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan yang ada.
Mekanisme pengadaan Koleksi buku Braille yang pertama adalah guru
kelas/mata pelajaran mengusulkan kepada kepala sekolah untuk diadakan koleksi
yang dibutuhkan, selanjutnya dari kepala sekolah langsung ke unit produksi buku
braille, setelah siap baru disimpan di perpustakaan dan segera dapat digunakan
oleh pengguna (siswa dan guru tunanetra).
64
Pendidikan dan pelatihan perpustakaan atau informasi bagi siswa baru
dilakukan setiap yang bersangkutan berkunjung ke perpustakaan, bagaimana cara
mencari buku dan dikenalkan satu persatu.
Adapun hal-hal yang diinformasikan tentang: Nomor Rak Buku, kelompok
Buku, Kelompok Satuan Pendidikan, Kelompok Kelas dan Semester, Meja Baca,
Meja Petugas Layanan Pencatatan.
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini, penulis akan membahas tentang hasil-hasil penelitian yang
telah di lakukan di Perpustakaan Sekolah Luar Biasa Pembina Tingkat Nasional
Jakarta, baik itu dari hasil pengamatan penulis (observasi), hasil wawancara
dengan petugas perpustakaan dan kepala sekolah, dan yang terakhir dari hasil
kuesioner yang disebarkan kepada semua siswa/i SMLB kelas 1,2 dan 3. Adapun
lebih lengkapnya akan diuraikan sebagai berikut:
A. Observasi
Metode yang pertama adalah Pengamatan lapangan (Observasi) dilakukan
di Perpustakaan Sekolah Luar Biasa dengan menggunakan peninjauan secara
langsung dalam waktu satu minggu. Observasi dilaksanakan dengan cara melihat
keadaan perpustakaan dari semua sisi yang dillakukan secara keseluruhan mulai
dari ruangan dan semua aktivitas yang terjadi di perpustakaan. Dari pengamatan
yang telah penulis lakukan, tidak banyak data yang penulis peroleh karena tidak
banyak juga aktivitas yang terjadi di perpustakaan.
Kondisi perpustakaan yang kurang baik, buku-buku masih terlihat
menumpuk karena kurangnya lokasi dan rak untuk penyimpanan koleksi, pada
awalnya perpustakaan mempunyai lahan yang cukup luas, tata letak buku sudah
rapi, sistem pelayanan berjalan sebagaimana mestinya, akan tetapi karena
kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak sekolah mengharuskan perpustakaan
berpindah tempat, itu menyebabkan sistem yang sudah berjalan dengan cukup
baik harus dimulai lagi dari awal dengan kondisi yang berbeda. Tapi hal itu tidak
66
menyurutkan semangat pengelola perpustakaan untuk menjadikan perpustakaan
Sekolah Luar Biasa Pembina menjadi benar-benar pembina bagi perpustakaan
Sekolah Luar Biasa lainnya.
B. Wawancara
Metode yang kedua adalah dengan menggunakan metode
wawancara.Wawancara dilakukan dengan menggunakan dua nara sumber yaitu
dari pihak perpustakaan dan pihak sekolah, dari pihak perpustakaan adalah
pengelola perpustakaan dan dari pihak sekolah adalah kepala sekolah. Tujuan
diadakannya wawancara adalah untuk mengetahui bagaimana peranan
perpustakaan sekolah dalam menumbuhkan kemampuan literasi informasi, dan
upaya-upaya apasaja yang telah dilakukan untuk mewujudkannya. Berikut adalah
kesimpulan dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan, pengolahannya
disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.
Berikut hasil wawancara dengan kepala sekolah dan pengelola
perpustakaan tentang peran perpustakaan sekolah luar biasa dalam menumbuhkan
kemampuan literasi informasi bagi anak tunanetra. Bagi instansi seperti sekolah,
peran perpustakaan adalah sangat penting karena merupakan sarana yang
disiapkan sebagai penunjang bagi proses pembelajaran di sekolah. Perpustakaan
termasuk fasilitas/sarana penting bagi sekolah, sekolah tanpa perpustakaan
rasanya kurang memberikan warna dalam pendidikan, sebagaimana pepatah
mengatakan “buku adalah gudangnya ilmu” dan menurut pendapat pengelola
perpustakaan “perpustakaan” adalah merupakan gudangnya menggali ilmu, hal ini
karena hanya ada diperpustakaanlah berbagai buku yang dapat dibaca oleh para
67
siswa dan guru dalam menambah pengetahuan dan wawasannya. Sehingga
perpustakaan di sekolah menjadi penting untuk diselenggarakan.
Di SLB-A Pembina Tingkat Nasional, Perpustakaan sangat dibutuhkan
karena pada umumnya peserta didik adalah tunanetra yang buku-bukunya tidak
dijual di toko seperti halnya buku umum lainnya, itu adalah satu-satunya cara
untuk menambah wawasan-pengetahuannya di samping informasi dari guru di
kelas atau masyarakat, mereka juga harus banyak membaca di perpustakaan dan
meminjam buku-buku yang diperlukannya untuk dibaca di rumah. Dan
perpustakaan sangat menunjang di dalam proses pembelajaran di sekolah.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan literasi informasi bagi
anak tunanetra untuk saat ini belum ada, karena berbagai macam kendala yang
menyebabkan tidak maksimalnya fungsi perpustakaan. Diantaranya adalah tidak
adanya petugas khusus lulusan perpustakaan yang menjadi pengelola
perpustakaan, yang ada sekarang adalah guru yang ditugaskan menjadi pengelola
perpustakaan, kendala lainnya adalah sering berpindah-pindahnya lokasi
perpustakaan sehingga mengakibatkan sistem yang sudah tertata dari segi
pelayanan, dan program-program perpustakaan menjadi tidak kondusif karena
harus mengulang penataan dari awal lagi.
C. Kuesioner
Di bawah ini adalah data-data hasil penelitian yang berbentuk kuesioner
yang telah disebarkan kepada seluruh siswa/i SMLB di Sekolah Luar Biasa
Pembina Tingkat Nasional Jakarta, semua data hasil kuesioner tersebut di bentuk
68
menjadi sebuah tabel dan di hitung dengan rumus tertentu,untuk lebih lengkapnya
sebagai berikut:
1. Identitas Responden
a. Jenis Kelamin
Kebanyakan dari responden yang penulis teliti adalah laki-laki, akan tetapi
semua mempunyai peluang yang sama seperti yang dijabarkan dengan tabel di
bawah ini:
Tabel 1
Jenis Kelamin Responden
Variable Jawaban Frekuaensi Prosentase
Laki-laki 9 75%
Perempuan 3 25%
Jumlah 12 100%
Dari tabel di atas menunjukan bahwa dari 12 responden yang terpilih,
sebagian besar adalah laki-laki, itu disebabkan oleh dari jumlah siswa/i kelas 1,2
dan 3 SMLB semua hanya berjumlah 12 orang, dan laki-laki dengan jumlah
prosentase 75% (9 orang), dan sebagian kecil perempuan dengan jumlah
prosentase 25% (3 orang).
b. Asal Kelas Responden
Responden yang terpilih terdiri dari tiga kelas dan hanya kelas SMLB saja,
yaitu kelas 1, 2 dan 3 SMLB lebih lengkapnya seperti Tabel 2 di bawah ini:
69
Tabel 2
Asal Kelas Responden
Kelas Frekuensi Prosentase
Kelas1 SMLB 6 50%
Kelas 2 SMLB 2 16,67%
Kelas 3 SMLB 4 33,33%
Jumlah 12 100%
Dapat diketahui dari tabel di atas bahwa sebanyak 12 responden yang di
teliti adalah keseluruhan sampel yang ada dari ketiga kelas tersebut, setengahnya
dengan jumlah prosentase 50%(6 orang), sebagian kecil dengan jumlah prosentase
16,67% (2 orang), dan hampir setengahnya dengan jumlah prosentase 33,33%
(4 orang).
2. Informasi Umum
c. Pendapat Siswa Terhadap Keberadaan Perpustakaan
Keberadaan perpustakaan pada sebuah instansi pendidikan tentunya sangat
penting, terutama untuk membantu proses pembelajaran di kelas, bagaiman
menurut siswa apakah penting atau tidak keberadaan perpustakaan di sekolah
dapat kita lihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3
Pendapat Siswa Terhadap Keberadaan Perpustakaan Sekolah
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseSangat penting 7 58,33%Cukup penting 4 33,33%Kurang penting 1 8,33%Tidak penting 0 0%Jumlah 12 100%
70
Dari data pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa sebagian besar
responden menyatakan sangat penting keberadaan perpustakaan di sekolah dengan
nilai prosentase 58,33% (7 orang), hampir setengahnya responden menyatakan
cukup penting dengan nilai prosentase 33,33% (4 orang), dan sebagian kecil
responden menyatakan kurang penting dengan nilai prosentase 8,33% (1 orang).
Dengan demikian dapat di ambil kesimpulan bahwa menurut kebanyakan
responden menyatakan kalau perpustakaan itu memang penting untuk sebuah
instansi pendidikan seperti sekolah, karena dapat menunjang proses pembelajaran.
Keberadaan perpustakaan begitu sangat penting dan berperan sekali untuk
menunjang proses pendidikan, belajar-mengajar dan penelitian. Oleh karenanya,
para pemakai perpustakaan dituntut agar menguasai berbagai pengetahuan dan
ketrampilan yang diperlukan untuk dapat menggunakan atau memanfaatkan
beragai fasilitas perpustakaan dengan efektif, terlebih dengan adanya ledakan
informasi pada era globalisasi ini.
d. Keanggotaan Perpustakaan
Tabel 4
Keanggotaan Perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 1 8,33%
Tidak 11 91,67%
Jumlah 12 100%
Tabel di atas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya responden tidak
menjadi anggota perpustakaan yaitu berjumlah 91,67% (11 orang), dan sebagian
kecil menjadi anggota berjumlah 8,33% (1 orang), untuk mengetahui alasan
71
kenapa kebanyakan responden tidak menjadi anggota perpustakaan dapat dilihat
pada tabel 5 di bawah ini:
Tabel 5
Alasan Tidak Menjadi Anggota
Variabel Jawaban Frekuensi Prosentase
Karena perpustakaan tidak menarik bagi saya 0 0%
Karena koleksinya kurang lengkap 1 9,09%
Karena pelayanan kurang memuaskan 0 0%
Karena sarana dan prasarana kurang memadai 0 0%
Karena belum ada system keanggotaan 10 90,91%
Jumlah 11 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa alasan
responden tidak menjadi anggota sebagian kecil yaitu dengan jumlah prosentase
9,09% (1 orang), dan hampir seluruhnya responden tidak menjadi anggota karena
tidak ada system keanggotaan di perpustakaan tersebut yaitu berjumlah 90,91%
(10 orang), itu di sebabkan oleh memang sekarang tidak ada system keanggotaan
setelah ruangan perpustakaan terus berpindah-pindah, jadi sekarang walaupun
tidak tercatat sebagai anggota perpustakaan, siswa/i dapat menggunakan
perpustakaan sesuai kebutuhan masing-masing.
e. Tujuan Datang ke Perpustakaan
Tujuan ke perpustakaan bisa berbagai macam tergantung kebutuhan, mau
membaca mencari informasi atau apapun itu yang penting bermanfaat bagi orang
tersebut. Untuk mengetahui tujuan semua responden datang ke perpustakaan dapat
dilihat pada tabel berikut:
72
Tabel 6
Tujuan Datang ke Perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentasiMembaca 2 16,67%Mencari Informasi 5 41,67%Mengerjakan tugas 0 0%Meminjam dan mengembalikan buku 5 41,67%Mengisi waktu luang 0 0%Lainnya… 0 0%Jumlah 12 100%
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian kecil tujuannya adalah
untuk membaca berjumlah 16,67% (2 orang), dan hampir setengahnya tujuan
responden datang keperpustakaan adalah untuk mencari informasi dan meminjam
buku berjumlah 41,67% (5 orang). Hal tersebut dapat menunjukkan perpustakaan
bisa menjadi tempat untuk apa saja tergantung tujuan responden. Atas motivasi
siapa responden datang ke perpustakaan, hal itu dapat kita lihat dari Tabel 7 di
bawah ini:
Tabel 7
Motivasi Datang ke Perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi Prosentase
Guru 1 8,33%
Diri Sendiri 11 91,67%
Teman 0 0%
Pustakawan 0 0%
Jumlah 12 100%
Data di atas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya responden datang ke
perpustakaan atas motivasi diri sendiri yaitu berjumlah 91,67% (11 orang), dan
sebagian kecil atas motivasi guru berjumlah 8,33% (1 orang).
73
Motivasi adalah hal yang paling penting untuk suatu tindakan, baik itu
motivasi dari diri sendiri maupun dari orang lain, tapi dari diri sendiri akan lebih
baik karena hal itu menunjukan kalau orang tersebut memang mempunyai tekad
atau keinginan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak.
Perpustakaan adalah tempat untuk mencari informasi baik yang berbentuk
tercetak ataupun terekam, akan tetapi bagaimana cara seseorang mendapatkan
informasi itu tergantung dari cara orang tersebut menggunakan metode pencarian
seperti apa, dan untuk mengetahui bagaimana cara responden mendapatkan
informasi khususnya yang berbentuk buku yang ada di perpustakaan dapat kita
lihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 8
Hal yang Dilakukan Bila Ingin Mencari Buku di Perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentasiMencari langsung ke rak 7 58,33%Bertanya ke petugas perpustakaan 4 33,33%Bertanya ke teman 1 8,33%Bertanya kepada guru 0 0%Lainnya… 0 0%Jumlah 12 100%
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat kita lihat bila responden ingin
mencari buku di perpustakaan yang dilakukan pertama kali sebagian besar adalah
langsung mencari buku tersebut ke rak yaitu berjumlah 58,33% (7 orang), hampir
setengahnya ada yang bertanya kepada petugas perpustakaan yaitu berjumlah
33,33% (4 orang), dan sebagian kecil yang bertanya ke teman terlebih dahulu
yaitu berjumlah 8,33% (1 orang).
74
3. Frekuensi Datang ke Perpustakaan
f. Frekuensi Datang ke Perpustakaan
Untuk melihat apakah perpustakaan itu diminati atau tidak oleh setiap
siswa yang ada di Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta dapat
dilihat dari seberapa sering siswa/i datang ke perpustakaan, dan untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dari Tabel 9 berikut ini:
Tabel 9
Frekuensi Datang ke Perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseSering 2 16,67%Cukup Sering 1 8,33%
Jarang 9 75%Tidak pernah sama sekali 0 0%Jumlah 12 100%
Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa sebagian kecil yang mengatakan
sering datang ke perpustakaan dengan jumlah prosentase 16,67% (2 orang), dan
sebagian kecil lagi yang mengatakan cukup sering berjumlah 8,33% (2 orang),
dan sebagian besar responden mengatakan jarang datang ke perpustakaan
berjumlah 75% (9 orang).
Dapat disimpulkan bahwa kebanyakan siswa/i SMLB jarang datang ke
perpustakaan. Untuk lebih jelasnya apakah siswa jarang atau sering dapat dilihat
dari berapa kali siswa/i datang ke perpustakaan dalam 1 minggunya, dapat dilihat
dari tabel di bawah ini:
75
Tabel 10
Berapa Kali dalam Seminggu Datang ke Perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi Prosentase
1 Kali 3 25%
2 Kali 6 50%
3 Kali 3 25%
Lebih dari 3 kali 0 0%
Tidak Pernah 0 0%
Jumlah 12 100%
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa setengahnya responden
menyatakan 2 kali datang ke perpustakaan dalam seminggunya dengan jumlah
prosentase 50% (6 orang), sebagian kecil mengatakan 1 kali berjumlah 25%
(3 orang) dan 3 kali berjumlah 25% (3 orang).
4. Penggunaan Perpustakaan
g. Pendidikan Pemakai
Tidak semua orang bisa menggunakan perpustakaan, apalagi bagi orang
yang baru atau belum pernah datang ke perpustakaan, itu dapat menghambat
seseorang untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkannya, maka dari itu
diperlukan pengetahuan atau pendidikan terlebih dahulu untuk menggunakan
perpustakaan, dan apakah responden mendapatkan pendidikan pemakai terlebih
dahulu sebelum menggunakan perpustakaan dapat kita lihat pada tabel berikut ini:
76
Tabel 11
Pendidikan Pemakai
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseYa 7 58,33%Tidak 5 41,67%Jumlah 12 100%
Melalui tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
mendapatkan pendidikan pemakai terlebih dahulu sebelum menggunakan
perpustakaan yaitu berjumlah 58,33% (7 orang), dan hampir setengahnya tidak
mendapatkan pendidikan pemakai sebelum menggunakan perpustakaan yaitu
berjumlah 41,67% (5 orang). Apakah pendidikan pemakai tersebut membantu
responden dalam menggunakan perpustakaan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 12
Membantu atau Tidak Pendidikan Pemakai
Variabel Jawaban Frekuensi Prosentase
Membantu 5 71,43%Cukup membantu 2 28,57%
Kurang membantu 0 0%Tidak membantu 0 0%
Jumlah 7 100%
Dengan melihat tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden menyatakan membantu dengan adanya pendidikan pemakai dengan
nilai prosentase 71,43% (5 orang), dan hampir setengahnya menyatakan cukup
membantu dengan nilai prosentase 28,57% (2 orang). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pendidikan pemakai bagi siswa yang baru adalah membantu
77
mereka untuk mengetahui bagaimana caranya menggunakan perpustakaan dengan
baik.
h. Asal Memperoleh Bacaan
Bahan bacaan bisa berasal darimana saja, bisa dari perpustakaan, membeli
sendiri, pinjam, dan lain sebagainya, yang terpenting kita bisa mendapatkan ilmu
pengetahuan yang kita butuhkan, untuk mengetahui darimana responden
memperoleh bahan bacaan dapat kita lihat dari tabel berikut:
Tabel 13
Asal Memperoleh Bacaan
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseMenyewa 0 0%Hadiah dari orang tua 0 0%Pinjam dari perpustakaan sekolah 10 83,33%Menukar bacaan 0 0%Pinjam dari temen 1 8,33%Membeli sendiri 1 8,33%Jumlah 12 100%
Melalui Tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruhnya responden
memperoleh bahan bacaan pinjam dari perpustakaan sekolah berjumlah 83,33%
(10 orang), sebagian kecil pinjam dari teman berjumlah 8,33% (1 orang), dan dari
membeli sendiri berjumlah 8,33% (1 orang). Dari data tersebut dapat disimpulkan
bahwa responden memanfaatkan perpustakaan untuk memperoleh bahan bacaan
yang dibutuhkan untuk menambah ilmu pengetahuan.
i. Asal Memperoleh Pengetahuan atau Informasi
Pengetahuan atau informasi bisa didapatkan dimana saja, bisa dari
perpustakaan dari internet ataupun dari yang lainnya, untuk mengetahui darimana
78
responden mendapatkan pengetahuannya darimana dapat kita lihat dari tabel
berikut:
Tabel 14
Asal Memperoleh Pengetahuan atau Informasi
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentasePerpustakaan 8 66,67%Saudara 0 0%Internet 4 33,33%Orang Tua 0 0%Lainnya… 0 0%Jumlah 12 100%
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
memperoleh pengetahuan/ informasinya dari perpustakaan yaitu berjumlah
66,67% (8 orang), dan hampir setengahnya dari internet berjumlah 33,33%
(4 orang). Agar informasi yang didapatkan sesuai dengan apa yang kita harapkan
maka harus tahu betul bagaimana mencari informasi yang benar dengan metode
yang benar pula.
j. Dapat Menggunakan Internet
Teknologi informasi yang semakin maju pesat, menuntut semua orang
untuk mengembangkan pengetahuannya tentang teknologi agar tidak ketinggalan
informasi, begitupun di lingkungan sekolah, siswa/siswi harus dibekali ilmu
pengetahuan tentang teknologi informasi agar nanti sudah siap dalam menghadapi
era globalisasi seperti sekarang ini. Untuk mengetahui apakah responden dapat
menggunakan internet atau tidak dapat diketahui pada tabel berikut:
79
Tabel 15
Dapat Mengakses Internet
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentasiBisa 5 41,67%Cukup bisa 2 16,67%Kurang bisa 1 8,33%Tidak bisa 4 33,33%Jumlah 12 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir setengahnya
responden bisa mengakses internet yaitu berjumlah 41,67% (5 orang), sebagian
kecil yang menyatakan cukup bisa berjumlah 16,67% (2 orang), sebagian kecil
responden menyatakan kurang bisa mengakses internet berjumlah 8,33%
(1 orang), dan hampir setengahnya yang menyatakan tidak bisa berjumlah 33,33%
(4 orang).
Dapat disimpulkan bahwa pada umumnya responden dapat menggunakan
internet, tentunya dengan bantuan alat yang sudah dimodivikasi sesuai kebutuhan.
Darimanakah responden belajar menggunakan internet dapat diketahui pada tabel
berikut ini:
Tabel 16
Asal Belajar Mengakses Internet
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseGuru 8 100%Pengelola Perpustakaan 0 0%Orang Tua 0 0%Teman 0 0%Saudara 0 0%Lainnya… 0 0%Jumlah 8 100%
80
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa seluruh responden yang
dapat menggunakan internet belajar dari guru yaitu berjumlah 100% (8 orang).
Dalam hal ini, guru mempunyai peranan yang sangat besar untuk membantu
responden dengan keterbatasan yang dimiliki agar dapat mendapatkan
pengetahuan agar tidak ketinggalan atau tidak kalah dengan anak awas pada
umumnya. Sejak kapan responden dapat menggunakan internet dapat diketahui
pada tabel di bawah ini:
Tabel 17
Sejak Kapan Bisa Mengakses Internet
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseSejak SD 4 50%Sejak SMP 1 12,5%Sejak SMA 0 0%Tidak Tahu 3 37,5%Jumlah 8 100%
Tabel di atas menunjukkan bahwa setengahnya responden bisa mengakses
internet sejak duduk di bangku Sekolah Dasar yaitu berjumlah 50% (4 orang),
sebagian kecil yang mengatakan sejak SMP berjumlah 12,5% (1 orang), dan
hampir setengahnya lagi menyatakan tidak tahu sejakkapan bisa mengakses
internet yaitu berjumlah 37,5% (3 orang).
k. Cara yang Dilakukan Agar Informasi yang Didapat Sesuai Kebutuhan
Agar informasi yang kita dapatkan sesuai dengan apa yang kita butuhkan,
maka diperlukan cara tertentu untuk mendapatkan yang sesuai dengan keinginan
kita, apakah responden melakukan cara tertentu dahulu sebelum melakukan
pencarian informasi dapat kita lihat pada tabel di bawah ini:
81
Tabel 18
Cara yang Dilakukan Agar Informasi yang Didapat Sesuai Kebutuhan
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseMengetahui secara benar informasi yang dibutuhkan 3 25%Mengetahui cara penelusuran informasi yang benar 2 16,67%Bertanya ke guru/pengelola perpustakaan tempatinformasi yang dibutuhkan
5 41,67%
Lainnya…tidak melakukan apa-apa 2 16,67%Jumlah 12 100%
Melalui tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden
menyatakan ada cara tertentu agar informasi yang didapat sesuai kebutuhan yaitu
mengetahui secara benar informasi yang dibutuhkan dengan nilai prosentase 25%
(3 orang), sebagian kecil lagi menyatakan mengetahui cara penelusuran informasi
yang benar dengan nilai prosentase 16,67% (2 orang), hampir setengahnya
bertanya terlebih dahulu ke guru/pengelola perpustakaan tempat informasi yang
dicari dengan nilai prosentase 41,67% (5 orang), dan sebagian kecil menyatakan
tidak melakukan tertentu terlebih dahulu dengan nilai prosentase 16,67% (2
orang). Setelah informasi ditemukan apa yang responden lakukan, untuk
mengetahuinya dapat kita lihat pada tabeldi bawah ini:
Tabel 19
Tindakan Setelah Informasi di Temukan
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseMenyeleksinya 1 8,33%Langsung diambil semua informasinya 0 0%Dibaca terlebih dahulu 8 66,67%Langsung di bawa ke kelas 2 16,67%Dilihat dahulu judulnya 1 8,33%Lainnya… 0 0%Jumlah 12 100%
82
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diketahui sebagian kecil
tindakan responden setelah informasi ditemukan adalah diseleksi terlebih dahulu
informasinya berjumlah 8,33% (1 orang), sebagian besar dibaca terlebih dahulu
yaitu berjumlah 66,67% (8 orang), ada yang langsung dibawa ke kelas berjmlah
16,67% (2 orang), dan yang terakhir dilihat dulu judulnya berjumlah 8,33% (1
orang). Agar informasi yang didapat bermanfaat, maka harus di aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari agar berguna bagi diri sendiri ataupun orang lain. Membagi
informasi ada bisa dengan berbagai cara, bisa dengan presentase, diskusi, dan
yang lainnya. Untuk mengetahui apakah responden membagi informasi yang
didapat dengan orang lain atau tidak, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 20
Membagi Informasi yang Didapat dengan Orang Lain
Variabel Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 9 75%
Tidak 3 25%
Jumlah 12 100%
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden membagi
informasinya dengan orang lain yaitu berjumlah 75% (9 orang), dan sebagian
kecil lagi mengatakan tidak berbagi dengan orang lain berjumlah 25% (3 orang).
l. Guru Menganjurkan Siswa untuk Datang ke Perpustakaan
Anjuran guru kepada siswa untuk datang ke perpustakaan dapat
memotivasi siswa agar lebih semangat untuk mencari informasi di perpustakaan,
hal itu menunjukkan bahwa adanya kerja sama antara guru dan pengelola
perpustakaan dalam mengembangkan tingkat kreatifitas siswa dalam mencari
83
informasi. Seberapa sering guru menganjurkan siswa untuk datang ke
perpustakaan dapat dilihat pada Tabel 21 berikut:
Tabel 21
Guru Menganjurkan Siswa untuk Datang ke Perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi Prosentase
Selalu 1 8,33%
Cukup Sering 2 16,67%
Jarang 8 66,67%
Tidak Pernah 1 8,33%
Jumlah 12 100%
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian kecil responden
menyatakan guru selalu menganjurkan siswa untuk datang ke perpustakaan
dengan jumlah prosentase 8,33% (1 orang), dan sebagian kecil lagi menyatakan
cukup sering berjumlah 16,67% (2 orang), sebagian besar guru jarang
menganjurkan siswanya untuk datang ke perpustakaan yaitu berjumlah 66,67%
(8 orang), dan sebagian kecil lagi tidak pernah menganjurkan dengan jumlah
prosentase 8,33% (1 orang).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guru jarang menganjurkan
siswa untuk datang ke perpustakaan. Guru menganjurkan siswanya untuk datang
ke perpustakaan tentu ada alasannya, untuk mengetahui hal tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut:
84
Tabel 22
Keperluan Guru Menganjurkan Siswa untuk Datang ke Perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentasiUntuk menyelesaikan tugas 6 50%Untuk mencari informasi 5 41,67%Untuk penelitian 0 0%Untuk menambah informasi 1 8,33%Untuk rekreasi 0 0%Lainnya… 0 0%Jumlah 12 100%
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa keperluan
guru menganjurkan siswanya untuk datang ke perpustakaan setengahnya
responden menjawab adalah untuk menyelesaikan tugas yaitu berjumlah 50%
(6 orang), hampir setengahnya untuk mencari informasi berjumlah 41,67%
(5 orang), dan sebagian kecil adalah untuk menambah informasi berjumlah 8,33%
(1 orang).
m. Pendapat Siswa Terhadap Penggunaan Koleksi dalam Penyelesaian Tugas
Perpustakaan adalah tempat semua ilmu berada, dengan itu semua orang
bisa mendapatkan ilmu sesuai dengan yang dibutuhkan. Penggunaan koleksi
dalam menyelesaikan tugas yang diberikan guru kepada siswa dapat
memperlihatkan bagaimana siswa memanfaatkan koleksi yang ada dengan sebaik
mungkin, untuk mengetahui apakah koleksi yang ada membantu siswa dalam
menyelesaikan tugasnya dapat kita lihat pada tabel berikut ini:
85
Tabel 23
Pendapat Siswa Terhadap Penggunaan Koleksi dalam Penyelesaian Tugas
Variabel Jawaban Frekuensi Prosentasi
Membantu 5 41,67%
Cukup membantu 3 25%
Kurang membantu 2 16,67%
Tidak membantu sama sekali 2 16,67%
Jumlah 12 100%
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hampir setengahnya responden
menyatakan kalau koleksi yang ada di perpustakaan sudah membantu dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang di berikan guru dengan nilai prosentase 41,67%
(5 orang), sebagian kecil menyatakan cukup membantu dengan nilai prosentase
25% (3 orang), sebagian kecil lagi menyatakan kurang membantu dan tidak
membantu sama sekali dengan nilai prosentase 16,67% (2 orang).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koleksi perpustakaan
membantu siswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan, hal tersebut
menunjukkan kalau perpustakaan mempunyai peran yang sangat besar dalam
proses pembelajaran.
n. Pendapat Siswa terhadap Terpenuhinya Kebutuhan dalam Proses
Pembelajaran dengan Koleksi Perpustakaan
Proses pembelajaran dapat berlangsung secara lancar, apabila
terpenuhinya kebutuhan untuk proses tersebut, diantaranya dengan bantuan
koleksi yang ada di perpustakaan, apakah menurut responden koleksi
perpustakaan sudah memenuhi kebutuhan dalam proses pembelajaran dapat
diketahui pada tabel di bawah ini:
86
Tabel 24
Pendapat siswa terhadap terpenuhinya kebutuhan dalam proses pembelajaran
dengan koleksi perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseTerpenuhi 0 0%Cukup terpenuhi 4 33,33%
Kurang terpenuhi 6 50%Tidak terpenuhi 2 16,67%Jumlah 12 100%
Tabel di atas menunjukkan bahwa hampir setengahnya dari responden
menyatakan cukup terpenuhi dengan nilai prosentase 33,33% (4 orang),
setengahnya responden menyatakan kurang terpenuhi dengan nilai prosentase
50% (6 orang), dan sebagian kecil responden menyatakan tidak terpenuhi dengan
nilai prosentase 16,67% (2 orang).
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa koleksi perpustakaan
belum memenuhi kebutuhan siswa dalam proses pembelajaran.
o. Petugas Perpustakaan Membantu dalam Mendapatkan Informasi di
Perpustakaan
Diantara tugas dari pengelola perpustakaan adalah membantu pengguna
dalam memdapatkan informasi yang dibutuhkannya, apakah petugas perpustakaan
sekolah luar biasa selalu membantu penggunaka untuk mendapatkan informasi
yang dibutuhkan dapat kita lihat pada tabel berikut ini:
87
Tabel 25
Petugas Perpustakaan Membantu dalam Mendapatkan Informasi di Perpustakaan
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseSelalu 1 8,33%Cukup sering 4 33,33%Jarang 6 50%Tidak pernah 2 16,67%Jumlah 12 100%
Melalui tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden
menyatakan petugas perpustakaan selalu membantu dalam mencari informasi
dengan nilai prosentase 8,33% (1 orang), hampir setengahnya responden
menyatakan cukup sering dengan nilai prosentase 33,33% (4 orang), setengahnya
dari responden menyatakan jarang membantu dengan nilai prosentase 50%
(6 orang), dan sebagian kecil responden menyatakan tidak pernah membantu
dengan nilai prosentase 16,67% (2 orang).
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa petugas perpustakaan
cukup sering membantu responden dalam mencari informasi yang dibutuhkan, itu
menunjukkan kalau petugas perpustakaan mengetahui secara betul tanggung
jawabnya sebagai pengelola perpustakaan.
p. Hambatan dalam Mencari Informasi
Dalam mencari informasi tidak semudah dengan apa yang kita bayangkan,
kadang ada hambatan-hambatan tertentu, sehingga menyebabkan sulitnya
mendapatkan informasi yang kita butuhkan, apakah responden pernah mendapat
hambatan dalam mencari informasi dapat kita lihat pada tabel di bawah ini:
88
Tabel 26
Hambatan dalam Mencari Informasi
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseSelalu 3 25%Sering 2 16,67%Jarang 3 25%Tidak pernah 4 33,33%Jumlah 12 100%
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian kecil dari responden
menyatakan selalu mendapat hambatan dalam mencari informasi dengan nilai
prosentase 25% (3 orang), sebagian kecil responden menyatakan sering mendapat
hambatan dengan nilai prosentase 16,67% (2 orang), sebagian kecil lagi
menyatakan jarang mendapat hambatan dengan nilai prosentase 25% (3 orang),
dan yang terakhir hampir setengahnya responden menyatakan tidak pernah
mendapat hambatan dengan nilai prosentase 33,33% (4 orang). Hambatan dalam
mencari informasi ada berbagai macam, untuk mengetahui hambatan apa yang di
temui oleh responden dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 27
Hambatan yang Ditemui
Variabel Jawaban Frekuensi ProsentaseKoleksinya sedikit 3 37,5%Koleksi yang dicari tidak ditemukan 1 12,5%Penelusuran koleksi sulit dilakukan 3 37,5%Lainnya..Pengadaan koleksi terlambat 1 12,5%Jumlah 8 100%
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa hampir setengahnya responden
menyatakan hambatannya adalah karena koleksinya sedikit dengan nilai
89
prosentase 37,5% (3 orang), sebagian kecil menyatakan karena koleksi yang di
cari tidak ditemukan dengan nilai prosentase 12,5% (1 orang), hampir
setengahnya responden menyatakan karena penelusuran koleksi sulit dilakukan
dengan nilai prosentase 37,5% (3 orang), sebagian kecil lagi menyatakan karena
pengadaan koleksi yang terlambat dengan nilai prosentase 12,5% (1 orang).
90
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan yang terakhir dari semua bab yang telah dibahas,
dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian yang
telah dilakukan dan di analisa dari bab 1 hingga bab 4, nanti juga akan diuraikan
beberapa saran yang membangun bagi perpustakaan sekolah luar biasa agar lebih
baik lagi untuk kedepannya. Untuk lebih lengkapnya sebagai berikut:
A. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang
telah dilakukan tentang peran perpustakaan sekolah luar biasa dalam
menumbuhkan kemampuan literasi informasi bagi anak tunanetra, yaitu:
1. Upaya-upaya yang dilakukan sekolah luar biasa untuk meningkatkan
kemampuan literasi informasi bagi anak tunanetra belum optimal. Hal itu
terlihat dari kurangnya sarana dan prasarana yang memadai, baik itu dari
fasilitas yang tersedia dan koleksi perpustakaan sangat kurang terutama
untuk pelajar SMLB. Kebanyakan koleksi untuk tingkat sekolah dasar dan
menengah. Walaupun begitu, kebanyakan siswa sudah bisa belajar
mandiri, mencari informasi di perpustakaan tanpa bantuan petugas
perpustakaan, karena sebelum mereka menggunakan perpustakaan
diberikan pendidikan pemakai terlebih dahulu oleh pengelola perpustaaan.
Begitupun dengan penggunaan komputer atau internet, sudah menjadi
91
mata pelajaran wajib bagi siswa. Hal itu dilakukan untuk membekali siswa
agar tidak gagap teknologi nanti setelah lulus sekolah.
2. Keberadaan perpustakaan di sekolah luar biasa sangan penting, itu terlihat
dari hasil sebaran kuesioner tentang seberapa penting keberadaan
perpustakaan, sebagian besar responden menyatakan sangat penting
dengan nilai prosentase 58,33% dan yang menyatakan cukup penting
berjumlah 33,33%.
3. Semua mempunyai peranan yang cukup besar, baik dari pihak sekolah,
pengelola perpustakaan, guru dan siswa untuk membekali siswa dengan
kemampuan literasi informasi. Maka dari itu diperlukan perhatian yang
lebih demi pengembangan perpustakaan yang lebih baik.
B. Saran
Setelah memberi kesimpulan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan,
peneliti merasa harus memberikan beberapa saran yang mudah-mudahan menjadi
motivasi bagi perpustakaan sekolah luar biasa untuk menjadi lebih baik lagi, yaitu
sebagai berikut:
1. Sebaiknya ada petugas perpustakaan yang khusus mengelola perpustakaan,
sehingga aktivitas yang ada di perpustakaan akan berjalan lancar. Baik
dari pelayanan sirkulasi, ataupun pelayanan teknis lainnya.
2. Hendaknya koleksi untuk SMLB di tambah, agar siswa tidak lagi merasa
kesulitan apabila ingin mencari informasi yang dibutuhkannya. Dan dari
segi pengadaan koleksi seringkali mengalami keterlambatan ini juga perlu
dikaji lagi.
92
3. Hendaknya fasilitas perpustakaan di tambah dalam rangka menunjang
upaya perpustakaan untuk meningkatkan kemampuan literasi informasi
siswa.
4. Diharapkan upaya-upaya perpustakaan sekolah luar biasa untuk
meningkatkan kemampuan literasi informasi siswa agar lebih
dioptimalkan kembali.
5. Hendaknya buku Braille disamakan dengan buku awasnya, baik dari
pengarangnya ataupun dari judulnya, agar tidak menyulitkan siswa dalam
mendapatkan informasi.
6. Hendaknya perpustakaan dibuat semenarik mungkin, agar dapat memicu
siswa untuk datang ke perpustakaan.
93
DAFTAR PUSTAKA
Alfida. (2008). ”Pustakawan dan Literasi Informasi: Menguak KemampuanPustakawan dan Membimbing Pengguna”. Al-Maktabah: JurnalKomunikasi dan Informasi Perpustakaan, 9 (2), 234
Barraga, N.C. (1986). Psychological Implications of Low Vision. Kuala Lumpur:First Asia Pacific Seminar.
Diknas. (1981). Sekolah Luar Biasa Sekilas Lintas. Jakarta: Fa Perkara Offset.
Farida, Ida dkk. (2005). Information Literacy Skill: Dasar Pembelajaran SeumurHidup. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Hartanto (2006). Para tunanetra kini tertolong untuk membaca buku-buku diperpustakaan, Departemen Pendidikan Nasional menyediakan pojoktunanetra yang memungkinkan mereka membaca buku-buku perpustakaansecaradigital.http://hartanto.Blogspot.com/2006/12/layanan-perpustakaan-untuk-pengguna.htm. Diakses tanggal 18 Mei 2009.
Moleong, Lexy J.(2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT RemajaRusdakarya Offset.
Mudjito. (1999). Membina Minat Baca. Jakarta: Universitas Terbuka
Nasution. (2002). Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Nurhadi, Muljan Achmad. (1981). Cara Mengevaluasi Perpustakaan Sekolah.Jakarta: Majalah Berita Perpustakaan.
Nuryudi. (2006). ”Mendukung Pendidikan Berbasis Kompetensi dengan ProgramLiterasi dasar dan Information Literacy di Perpustakaan Sekolah”. Al-Maktabah: Jurnal Komunikasi dan Informasi Perpustakaan, 8 (2), 14-15
Pamudji, dkk. (1999). Meningkatkan Kemampuan Mandiri Anak Tunanetra diSLB/ A Surabaya. Surabaya: DEPDIKBUD.
Pamudji, dkk. (1998). Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Anak TunanetraMelalui Pengajaran Modul di SLB/ A Surabaya. Surabaya: DEPDIKBUD.
Parmono. (2007). Perpustakaan Sekolah: Pendekatan Aspek Manajemen dan TataKerja. Jakarta: Grasindo.
Perpustakaan Nasional RI. (2001). Pedoman Umum PenyelenggaraanPerpustakaan Sekolah: Jakarta. Perpustakaan Nasional RI.
94
Puspita, Irine. (2003). Mengelola Perpustakaan SLB. Subang: UPTDPerpustakaan.
Rahardja, Djadja. (2004). Pendidikan Anak Low Vision. Jakarta: UPI.
Roberts, F.K. (1986). The Parent Connection: Enhancing the EffectiveComponent of Parent Comperences. Teaching Exceptional Children.
Saiful-Haq, Rizal, dkk. (2006). Pengantar Manajemen Perpustakaan Madrasah.Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saiful-Haq, Rizal, dkk.(2005). Perpustakaan dan Pendidikan: Pemetaan Peran-Serta Perpustakaan dalam Proses Belajar-Mengajar, Jakarta: FakultasAdab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Somantri, T Stjihati.(2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT RafikaAditama.
Sudijojo, Anas. (1997). Pengantar Statistika Pendidikan. Jakarta: Raja GrafindoPersada.
Sulistyo-Basuki.(1993). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia.
Suryana, R. (1982). Membina Perpustakaan Sekolah: Pengantar Teori danPraktek. Bandung: Paramaarhta.
Sutarno. NS. (2003). Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Yayasan OborIndonesia.
Tim Peneliti Mahasiswa. (1995). Eksperimen Permainan Kartu Huruf Brailedalam Meningkatkan Kemampuan Membaca Anak Tunanetra. Surabaya:DEPDIKBUD.
Wahyudiati. (2008). Urgensi Literasi Informasi Sebagai Bekal Kecakapan Hidup.http://batikyogya.wordpress.com/2008/03/03/urgensi-literasi-informasi-sebagai-bekal-kecakapan-hidup. Diakses 20 Desember 2009
Warsito, Hermawan. (1992). Pengantar Metodologi Penelitian: Buku PanduanMahasiswa. Jakarta: Gramedia.
Widdjajantin, Anastasia. (2004). Ortopedagogik Tunanetra I. Jakarta:DEPDIKBUD.