peran dan wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan...
TRANSCRIPT
i
PERAN DAN WEWENANG NOTARIS DALAM
MEMBERIKAN PENYULUHAN HUKUM DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG
JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS.
TESIS
Oleh:
Nama : DAVID SANTOSA
NPM : 1006 827 966
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGAM MAGISTER KENOTARIATAN
SALEMBA 2013
i
PERAN DAN WEWENANG NOTARIS DALAM
MEMBERIKAN PENYULUHAN HUKUM DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG
JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS.
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
Oleh:
Nama : DAVID SANTOSA
NPM : 1006 827 966
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGAM MAGISTER KENOTARIATAN
SALEMBA 2013
iv
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucaps yukur kepada Tuhan Yesus Kristus
sebagai Tuhan yang sangat baik yang telahmelimpahkan rahmat, hikmat dan
karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang
berjudul“Peran dan Wewenang Notaris Dalam Memberikan Penyuluhan Hukum
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
dan Kode Etik Notaris” ini dengan baik. Tugas akhir ini disusun dan diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan guna mencapai gelar Magister
Kenotariatan (Mkn) pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dari segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa penyusunan tesis
ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, baik dari segi
bentuk maupun isinya. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dalam
penulisan tesis ini demi kesempurnaan yang diharapkan.
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, motivasi, bimbingan, masukan
dan doa dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat terselesaikan dengan baik.
Karena itu pada kesempatan ini dengan tulus dan ikhlas penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Chairunnisa Said Selenggang SH., M.Kn, selaku Pembimbing skripsi
yang penuh dengan kesabaran, ketelitian, dan perhatian dalam
memberikan bimbingan, ilmu, dan meluangkan waktunya dalam
membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.
2. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono S.H., M.H., selaku Ketua Program
Pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan selaku
dosen penguji..
3. Ibu Dr. Roesnastiti Prayitno, S.H., M.A selaku Dosen Penguji dan Dosen
Kode etik progam Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
4. Seluruh staf-staf pengajar baik dosen dan asisten dosen, serta para
karyawan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
v
5. Ibu Linda Herawati SH dan Ibu Lena Magdalena SH, selaku nara sumber
penulis yang telah meluangkan waktunya dalam mengarahkan penulis
dalam menyelesaikan tesis inidengan baik.
6. Bapak Sukiman dan Bapak Kasirselaku staf Sekretariat Progam Magister
Kenotariatan (Salemba) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah
memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini
dengan baik.
7. Seluruh staf perpustakaan Progam Magister Kenotariatan Universitas
Indonesia yang telah membantu mengurus segala keperluan dalam
perkuliahan, khususnya dalam penulisan tesis ini.
8. Setiapkeluarga tercinta Papa, Mama, Kakak (Iris), Adik (Jane) yang selalu
memberikan dukungan dan dorongan secara moril dan materiil sertadoa
yang tak ternilai kepada penulis guna menyelesaikan tesisini dengan baik.
9. My belovedCaroline, yang selalu ada di setiap waktu untuk memberikan
yang terbaik bagi kemajuan penulisan tesis ini dan bagi penulis.
10. Leedermawan Chandra, Nessya Chandra, Julia Belinda, Nani Norseva,
Dewi Susanti, Novi Herawati, Theodorus Suwandy, Tommy, Dimas, dan
semua teman-teman satu perjuangan dalam menempuh studi di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (Magister Kenotariatan).
11. Adrian Oktanzah, Vina Yovita, Feli, Bagus, Deri, Randy Herjanto,
Geraldo Guntur selaku temanbaik yang selalu memberikan dukungan dan
doa kepada penulis.
12. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata penulis sangat berharap semoga Tuhan Yesus Kristus dapat
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu.Semoga tesis ini
dapat memberikan manfaat, bagi pengembangan ilmu.
Depok, Januari 2013
David Santosa
Universitas Indonesia
vii
ABSTRAK
Nama : David Santosa
Progam Studi : Magister Kenotariatan
Judul :“Peran dan Wewenang Notaris Dalam Memberikan
Penyuluhan Hukum Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris”
Dalam menjalankan jabatannya notaris mempunyai kewenangan untuk
memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta,
namun dalam kenyataannya banyak notaris yang tidak melakukan
kewenangan tersebut, sehingga banyak terjadi masalah dikemudian
hari.Bagaimanakah peranan dan wewenang notaris dalam memberikan
penyuluhan hukum kepada klien ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris? dan
Bagaimanakah batasan-batasan bagi seorang notaris dalam peranannya
memberikan penyuluhan hukum kepada klien? Penulis meneliti
permasalahan tersebut dengan menggunakan metode penelitian yuridis
normatif. Data penelitian memperlihatkan adanya kelalaian-kelalaian yang
dilakukan beberapa notaris dalam memberikan penyuluhan hukum
tersebut.Kelalaian ini mengakibatkan sengketa dan kerugian baik bagi
klien dan notaris yang bersangkutan.Sebaiknyasetiap notaris agar dapat
memberikan penyuluhan hukum yang baik dan benar yang sesuai dengan
yang dikehendaki oleh para pihak dan harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kata Kunci: Notaris, Penyuluhan hukum
Universitas Indonesia
viii
ABSTRACT
Nama : David Santosa
Progam Studi : Magistry of Notary
Judul : "The Role and Authority of Notary in providing Law’s
Guidance seen from perspective of Law, Number 30 Year 2004,
concerning the Occupation and Ethics Code of Notary"
In running his position, the notary has the authority to provide legal
counseling, when producing a deed. But in reality, many notaries do not do
such authority, so a lot of problems occur in the future. How does the role
and authority of the notary in providing legal counseling to clients, seen
from perspective of Law, No. 30 of 2004, About Occupation and Code of
Ethics of Notary? And what are the limits of a Public Notary, in his role of
providing legal counseling for clients? The author examines these
problems by using juridical normative research methods. The research data
showed omissions of those roles, made by several notaries in providing
legal counseling. This omission resulted in disputes and losses for both the
client and the notary involved. Any notary should provide legal counseling
rightly and well, in accordance with the needs of the parties, and in
accordance with the recent laws.
Keywords: notary, legal counseling
Universitas Indonesia
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...............................................ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.......................vi
ABSTRAK......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI.....................................................................................................viii
1.PENDAHULUAN............................................................................................1
1. LatarBelakang................................................................................1
2. Pokok Permasalahan.................................................................. 12
3. Metode Penelitian....................................................................... 12
4. Sistematika Penulisan................................................................. 14
2.PERAN DAN WEWENANG NOTARIS DALAM MEMBERIKAN
PENYULUHAN HUKUM DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN
KODE ETIK NOTARIS
1. Sejarah Notaris...................................................................................... 15
2. Pengertian Notaris...................................................................................19
3. Dasar Hukum...................................................................................... 20
4. Notaris Sebagai Pejabat Publik...............................................................22
5. Notaris sebagai Profesi Hukum............................................................ 25
6. Hubungan Notaris dengan Para Penghadap.......................................... 28
Universitas Indonesia
ix
7. Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Dari Seorang Notaris Dalam
UUJN dan Kode Etik Notaris............................................................... 36
2.7.1 Kewenangan Umum Notaris.........................................................36
2.7.2 Kewenangan Khusus Notaris......................................................................37
1. Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian.......... 38
2. Kewajiban dan larangan Notaris................................................. 39
2. Penyuluhan Hukum......................................................................43
3. Bantuan Hukum...........................................................................47
4. Tujuan Penyuluhan Hukum....................................................... 49
5. Penyuluhan Hukum Notaris.........................................................49
6. Analisa........................................................................................ 59
2.12.1 Peran dan wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum
kepada klien ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris.............................................................................. 59
2.12.2Batasan-batasan bagi seorang notaris dalam peranannya memberikan
penyuluhan hukum kepada
klien................................................................................... 65
3.PENUTUP...................................................................................................... 69
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 69
3.2 Saran...................................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 72
LAMPIRAN
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang
secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa,
pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum,
menurut R. Soeroso hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan
bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta
mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi
yang melanggarnya.1
Oleh karena itu hukum meliputi berbagai peraturan yang
menentukan dan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang
lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan
kaidah hukum. Kaidah atau Norma hukum adalah peraturan yang dibuat
atau yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa masyarakat atau
penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan
oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah
hukum dapat dipertahankan.2
Karena ada kaidah hukum maka hukum dapat dipandang sebagai
kaidah. Hukum sebagai kaidah adalah sebagai pedoman atau patokan sikap
tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Pada konteks ini
masyarakat memandang bahwa hukum merupakan patokan-patokan atau
pedoman-pedoman yang harus mereka lakukan atau tidak boleh mereka
lakukan. Pada makna ini aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung
yang harus mereka patuhi bisa dianggap sebagai hukum, meskipun tidak
dalam bentuk tertulis. Kebiasaan yang sudah lumrah dipatuhi dalam suatu
masyarakat pun meskipun tidak secara resmi dituliskan, namun selama ia
diikuti dan dipatuhi dan apabila yang mencoba melanggarnya akan
1 Putra Center, “Definisi Hukum Menurut Para Ahli”
http://putracenter.net/2009/02/16/definisi-hukum-menurut-para-ahli/, diunduh 20 Agustus 2012. 2 Soerjono Soekanto, Kaidah-Kaidah Hukum , (Jakarta:Sinar Grafika, 2001) hlm. 23.
2
Universitas Indonesia
mendapat sanksi, maka kebiasaan masyarakat ini pun dianggap sebagai
hukum. Ada 4 macam norma yaitu :3
1. Norma Agama adalah peraturan hidup yang berisi pengertian-
pengertian, perintah-perintah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran yang
berasal dari Tuhan yang merupakan tuntunan hidup ke arah atau jalan yang
benar.
2. Norma Kesusilaan adalah peraturan hidup yang dianggap
sebagai suara hati. Peraturan ini berisi suara batin yang diakui oleh
sebagian orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
3. Norma Kesopanan adalah peraturan hidup yang muncul dari
hubungan sosial antar individu. Tiap golongan masyarakat tertentu dapat
menetapkan peraturan tertentu mengenai kesopanan.
4. Norma Hukum adalah peraturan-peraturan hidup yang diakui
oleh negara dan harus dilaksanakan di tiap-tiap daerah dalam negara
tersebut. Dapat diartikan bahwa norma hukum ini mengikat tiap
warganegara dalam wilayah negara tersebut.
Hukum merupakan salah satu sarana untuk menjaga keserasian dan
keutuhan masyarakat serta pembaharu masyarakat yang didasarkan pada
moral dan agama. Karena fungsi hukum yaitu sebagai sarana pengendali
sosial dan hukum merupakan alat penting untuk mencapai suatu tujuan
guna membantu usaha-usaha dalam pembangunan. Selain itu fungsi
hukum adalah melakukan upaya untuk menggerakan masyarakat agar
berperilaku sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan oleh hukum itu
sendiri.
Kesadaran hukum merupakan sikap yang perlu ditanamkan kepada
seluruh warga negara, sebagai usaha pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia secara
berkelanjutan. Akan tetapi usaha untuk mewujudkan masyarakat yang
sadar hukum itu tidak hanya dengan suatu pernyataan saja, tetapi harus
ada suatu usaha agar hukum itu dapat diketahui dan dimengerti, sehingga
hukum bisa ditaati dan dihargai. Setelah masyarakat menanamkan sikap-
3 Ibid.
3
Universitas Indonesia
sikap tersebut di dalam diri mereka, maka rasa memiliki terhadap hukum
akan menjiwai sikap dan perilaku masyarakat dalam melaksanakan
kehidupan.
“Masalah kesadaran hukum masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-
faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dimengerti,
ditaati dan dihargai. Apabila masyarakat hanya mengetahui adanya suatu
ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya masih rendah dari pada
apabila mereka memahaminya. Dengan demikian bahwa masyarakat
dalam arti derajat kepatuhan hukum warga masyarakat ditentukan oleh
faktor pengetahuan, mengerti, menghayati, dan mentaati (secara ikhlas dan
rela).
Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa hukum pada
hakikatnya merupakan suatu pesan yang harus disampaikan agar warga
masyarakat dan pimpinannya menjadi tahu mana yang benar dan mana
yang salah, mana yang hak dan mana kewajiban, sehingga mereka sadar
hukum dan berbuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh
karena itu untuk mewujudkan suatu negara yang berbudaya hukum,
maksudnya suatu negara yang masyarakatnya sadar akan keberadaan
hukum dan sanggup mentaati hukum diperlukan suatu pembinaan hukum
seperti penanaman sikap yang bertanggungjawab terhadap hukum baik
bagi penyelenggaranya maupun bagi masyarakatnya sebagai usaha
penyempurnaan hukum dan usaha penegakan hukum agar dihormati,
ditaati dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Melihat perkembangan hukum dalam masyarakat, maka akan
ditemukan bahwa peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat
mengalami perubahan dan perbedaan dari suatu kurun waktu ke waktu
lain. Dalam masyarakat yang sederhana, hukum berfungsi untuk
menciptakan dan memelihara keamanan serta ketertiban. Fungsi ini
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri yang
meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat yang bersifat dinamis yang
memerlukan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang
berintikan kebenaran dan keadilan. Kehidupan masyarakat yang
4
Universitas Indonesia
memerlukan kepastian hukum, ketertiban, dan perlindungan hukum
memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin
berkembang seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat atas pelayanan
jasa.
Sekarang telah banyak hadir lembaga hukum di tengah masyarakat
seperti Advokat, Penasihat hukum, Konsultan hukum, Notaris, serta
lembaga hukum lainnya. Lembaga-lembaga hukum tersebut mempunyai
tugas, kewenangan, dan kewajiban masing-masing. Peran dari lembaga-
lembaga tersebut sangat penting dirasakan kehadirannya dalam hal
penyelesaian masalah-masalah hukum yang tengah terjadi maupun dalam
hal pencegahannya di tengah masyarakat. Masyarakat yang memiliki
kebutuhan hukum tertentu dapat meminta bantuan kepada mereka.
Menurut Soertardjo Soemoatmodjo, hal-hak masyarakat terutama hak
perdatanya harus mendapatkan perlindungan hukum. Hak-hak tersebut
digunakan dalam kegiatan tingkah laku sebagai tindakan hukum.4
Hal ini berdampak pula pada peningkatan di bidang jasa Notaris.
Peran Notaris dalam sektor pelayanan jasa adalah sebagai pejabat yang
diberi wewenang oleh negara untuk melayani masyarakat dalam bidang
perdata khususnya pembuatan akta otentik. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN) : “Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. ”
Landasan filosofis dibentuknya undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum,
ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.5
4Soetardjo Soemoatmodjo, Apakah: Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, (Yogyakarta:
Liberty, 1986), hlm. 1. 5 Yuli Dian Fisnanto , “Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum”,
www.wawasanhukum.blogspot.com, diunduh 3 Juli 2012.
5
Universitas Indonesia
Produk hukum yang dikeluarkan oleh Notaris adalah berupa akta-
akta yang memiliki sifat otentik dan memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna. Sebagaimana definisi akta otentik yang disebutkan dalam Pasal
1868 KUHPerdata : “ Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta
dibuatnya. ” Mengenai bentuk akta dijelaskan oleh Pasal 38 ayat (1) UUJN
bahwa setiap akta notaris terdiri dari awal akta, isi akta dan akhir akta.
Pengertian pejabat umum dijelaskan oleh Pasal 1 angka 1 Undang-
undang Jabatan Notaris adalah notaris sebagai pejabat umum. Selanjutnya
pengertian berwenang meliputi : berwenang terhadap orangnya, yaitu
untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh orang yang
berkepentingan. Berwenang terhadap aktanya, yaitu yang berwenang
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
ketetapan yang diharuskan undang-undang atau yang dikehendaki yang
bersangkutan. Serta berwenang terhadap waktunya dan berwenang
terhadap tempatnya, yaitu sesuai tempat kedudukan dan wilayah jabatan
notaris dan notaris menjamin kepastian waktu para penghadap yang
tercantum dalam akta.6 Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan
undang-undang agar suatu akta menjadi otentik, seorang notaris dalam
melaksanakan tugasnya tersebut wajib:7 Melaksanakan tugasnya dengan
penuh disiplin, professional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan.
Apa yang tertuang dalam awal dan akhir akta yang menjadi
tanggungjawab notaris adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan
yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta. Apabila suatu akta
merupakan akta otentik, maka akta tersebut akan mempunyai 3 (tiga)
fungsi terhadap para pihak yang membuatnya yaitu :8
6 Habieb Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, (PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2009), hlm. 14.
7 Tan Thong Kie, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, (Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2000), hlm. 166.
8 Salim HS, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Sinar Grafika,
Jakarta, 2006), hlm. 436.
6
Universitas Indonesia
1. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah
mengadakan perjanjian tertentu;
2. sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam
perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak;
3. sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu
kecuali jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian
dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Dalam pembuatan akta Notaris harus memuat keinginan atau
kehendak para pihak yang dituangkan kedalam isi perjanjian (akta)
tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang. “
Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua
belah pihak, ahli warisnya atau atau orang-orang yang mendapatkan hak
daripadanya. Dengan kata lain, isi akta otentik dianggap benar, selama
ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Akta otentik mempunyai 3
macam kekuatan pembuktian, yaitu:9
1. Kekuatan pembuktian formil
Membuktikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau
diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang
tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang ditentukan
dalam pembuatan akta. Artinya akta otentik menjamin
kebenaran mengenai :
9 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1983), hlm. 55.
7
Universitas Indonesia
a. Tanggal akta itu dibuat.
b. Semua tandatangan yang tertera dalam akta.
c. Identitas yang hadir menghadap pejabat umum (notaris)
orang yang menghadap.
d. Semua pihak yang menandatangani akta itu mengakui apa
yang diuraikan dalam akta itu.
e. Tempat dimana akta tersebut dibuat
2. Kekuatan pembuktian materiil
Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa
yang tersebut dalam akta telah terjadi.
3. Kekuatan pembuktian lahiriah
Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan
kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya
sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut pasal 1875 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat diberikan kepada
akta yang dibuat dibawah tangan.
Dalam akta otentik tidak memerlukan pengakuan dari pihak yang
bersangkutan agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
karena akta otentik sudah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan juga telah dibuat oleh pejabat yang
berwenang untuk itu, yaitu dalam hal ini Notaris. Perlu diketahui bahwa
tidak semua surat dapat disebut sebagai akta otentik, karena suatu akta
otentik mempunyai tiga unsur esenselia yang harus dipenuhi yaitu antara
lain:10
a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
b. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum
c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
10
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, (Surabaya: Arkola,
2003), hlm. 148.
8
Universitas Indonesia
Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 200411
merupakan produk hukum di bidang kenotariatan yang mengalami
pembaharuan sedangkan peraturan paradigma lama yang dikenal dengan
Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het Notarisambt Stb. 1860/3),
yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860.
Jabatan Notaris menurut literatur yang ada dinyatakan jabatan
kepercayaan (vertrouwenambt), artinya Undang-undang memberikan
kepercayaan yang besar kepada seorang Notaris, sebagai seorang pejabat
umum dengan mengakui atau memberikan kekuatan otentik kepada setiap
akta yang di buat oleh atau dihadapan seseorang selaku Notaris, sepanjang
prosedur serta syarat untuk membuat akta itu benar-benar dilakukan sesuai
dengan dan menurut ketentuan hukum yang ada.
Artinya sepanjang akta itu lahir menurut prosedur yang benar dan
berdasarkan fakta-fakta yang benar pula. Dalam hal ini Notaris selaku
pejabat umum dituntut untuk bekerja secara professional dengan
menguasai seluk-beluk profesinya menjalankan tugasnya, notaris harus
menyadari kewajibannya bekerja mandiri, jujur, tidak memihak, dan
penuh rasa tanggung jawab serta secara profesional.12
Apabila berbicara mengenai kemampuan professional para notaris,
maka mau tidak mau hal tersebut berbicara mengenai masalah mutu
pelayanan jasa hukum notaris kepada masyarakat. Semakin meningkat
kemampuan professional para notaris dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pejabat umum yang mempunyai fungsi mengatur hubungan
hukum di antara para pihak secara tertulis dan otentik, akan semakin baik
pula mutu pelayanan jasa hukum yang akan diterima masyarakat.
Kemampuan professional seseorang yang menunjuk pada keahlian
didukung oleh penguasaan ilmu, pengalaman dan keterampilan yang
tinggi. Walaupun seorang notaris dalam menjalankan jabatannya telah
memiliki kemampuan professional yang tinggi, namun demikian apabila
11
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4432. 12
C.S.T. Kansil dan Chistine S.T. Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, PT Pradnya
Paramita, Jakarta, 1996, hlm. 87-88.
9
Universitas Indonesia
dalam melaksanakan jabatannya tidak dilandasi integritas moral,
keluhuran martabat dan etika profesi maka notaris tersebut bukan saja
merugikan kepentingan masyarakat luas, tetapi juga akan merusak nama
baik Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) sebagai organisasi profesi.
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat dua hal penting yang melekat kepada Notaris,
yaitu dalam pembuatan akta otentik dan dalam memberikan penyuluhan
hukum kepada masyarakat. Notaris diharapkan untuk memberikan
penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan notaris
atas permintaan kliennya. Dalam hal melakukan tindakan hukum untuk
kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas notaris
ialah untuk mencegah terjadinya masalah. Hal ini sangat berbeda dengan
pengacara atau sekarang disebut sebagai advokat, yang tugasnya adalah
membela dan berpihak kepada kliennya13
.
Sebagian masyarakat kita masih ada yang kesulitan membedakan
antara Notaris dengan Advokat. Masih ada anggapan bahwa Notaris dan
Advokat memiliki tugas yang sama, hal ini terlihat dari masih adanya
masyarakat yang datang ke Notaris untuk minta bantuan mendampingi
penyelesaian perkaranya di pengadilan.
Sedangkan jika dilihat berdasarkan undang-undang yang
mengaturnya, antara notaris dengan advokat mempunyai banyak
perbedaan.
1. Dasar hukum :
Notaris : Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 : tentang
Jabatan Notaris (UUJN).
Advokat : Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 : tentang
Advokat (UU Advokat).
2. Definisi :
Notaris : Pasal 1 UUJN : Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
13
Indonesia, Undang-Undang Advokat, UU No.18 tahun 2003, LN No. 4288.
10
Universitas Indonesia
Advokat : Pasal 1 UU Advokat : Advokat adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini.
3. Tugas/Wewenang :
Notaris : Pasal 15 UUJN : Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan ketetapan
yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta.
Advokat : Pasal 1 UU Advokat : memberikan Jasa Hukum
adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan
konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan
hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
4. Keberpihakan :
Notaris : Pasal 16 UUJN : Dalam menjalankan jabatannya,
Notaris berkewajiban, bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum;
Advokat : Pasal 1 UU Advokat : memberikan Jasa Hukum
adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan
konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan
hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Perbedaan utama antara Notaris dan Advokat adalah pada
keberpihakan. Notaris tidak boleh untuk berpihak kepada salah satu pihak,
Notaris harus bersikap netral. Sedangkan Advokat bertugas untuk
mendampingi kepentingan kliennya atau salah satu pihak saja.
11
Universitas Indonesia
Tugas Advokat tersebut tercermin dari arti kata Advokat. Kata
Advokat berasal dari bahasa latin advocare yang berarti membela. Profesi
Advokat lahir sebagai bentuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia,
karena setiap orang yang bermasalah dengan hukum hingga dituntut ke
pengadilan berhak untuk didampingi Advokat, dan tidak ada yang boleh
menghalangi orang untuk didampingi Advokat saat dituntut dimuka
hukum.
Jadi seorang Notaris hanya dapat memberikan nasihat hukum yang
bersifat menghimbau, bukan membela, sehingga pihak-pihak yang
berkepentingan terhindar dari permasalahan hukum dikemudian hari. Oleh
karena itu Notaris berperan sebagai pencegah terjadinya permasalahan,
sedangkan Advokat berperan sebagai pihak penyelesai masalah yang
sedang menimpa klien mereka baik didalam maupun diluar pengadilan.
Namum kedua profesi tersebut adalah para pembela hukum dimana
mereka berjuang untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan serta
memastikan bahwa hukum selalu ditegakkan, melalui profesi mereka
masing-masing.
Dalam UUJN maupun Kode Etik Notaris merumuskan agar notaris
memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta,
seperti yang tertuang dalam Pasal 15 ayat 2 huruf e UUJN. Notaris tidak
boleh menjadi konsultan untuk masalah diluar kewenangannya, hanya
terkait dengan pembuatan akta saja yang ia buat. Sejauh mana batasan-
batasan tentang penyuluhan hukum yang harus dilakukan oleh Notaris
agar penyuluhan hukum tersebut tidak menyalahi kewenangan yang
dipunyainya dan bagaimana jika ternyata penyuluhan hukum itu
menyalahi kewenangan Notaris serta sanksi seperti apa yang akan diterima
Notaris sebagai akibat dari perbuatannya tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
mengangkat permasalahan yang masih belum terjawab mengenai
penyuluhan hukum yang dilakukan oleh seorang notaris. Oleh karena itu,
penulis akan meneliti dengan judul penelitian “PERAN DAN
WEWENANG NOTARIS DALAM MEMBERIKAN PENYULUHAN
12
Universitas Indonesia
HUKUM DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30
TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK
NOTARIS.”
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peran dan wewenang notaris dalam memberikan
penyuluhan hukum kepada klien ditinjau dari Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris?
2. Bagaimanakah batasan-batasan bagi seorang notaris dalam
peranannya memberikan penyuluhan hukum kepada klien?
1.3 Metode Penelitian
Dalam metode penelitian ini penulis menggunakan bentuk
penelitian yuridis normatif, yaitu suatu bentuk penelitian terhadap norma-
norma tertulis. Penelitian ini menerangkan ketentuan ketentuan dalam
peraturan perundang undangan yang berlaku, dihubungkan dengan
kenyataan yang ada di lapangan, kemudian di analisis membandingkan
antara tuntutan nilai-nilai ideal yang ada dalam peraturan perundangan
undangan dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Dalam penelitian ini akan digunakan tipe penelitian deskriptif
analitis. Maksud dari penelitian ini adalah cara pemecahan masalah
dengan memaparkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala14
.
Data yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan data
sekunder dan data primer. Data sekunder mencakup antara lain dokumen-
dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan,
buku harian dan seterusnya, sedangkan data primer adalah adalah data
14
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
13
Universitas Indonesia
yang diperoleh langsung dari masyarakat15
. Data yang terdapat dalam data
sekunder adalah :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang bersifat mengikat. Terdiri
dari:
a) Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
b) Kode Etik Notaris
c) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum Primer, yaitu buku-buku penunjang mengenai kode etik
notaris dan Peraturan Jabatan Notaris.
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun Penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
yaitu:
a) Buku tentang motode penulisan hukum.
b) Kamus hukum.
c) Kamus Bahasa Indonesia.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam metode penelitian
ini adalah studi kepustakaan yang lazim digunakan dalam bentuk
penelitian yuridis normatif dan alat pengumpulan data menggunakan
wawancara yang digunakan dalam rangka menemukan data yang lebih
terperici, yang dapat dilakukan terhadap responden, informan, dan
narasumber. Untuk menunjang penelitian ini maka penulis akan
menggunakan data primer, dengan cara melakukan serangkaian
wawancara dengan Notaris-notaris.
Dalam analisis data, penulis menggunakan pendekatan kualitatif,
yaitu merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang
bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.16
Selain itu cara
penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah secara induktif,
yaitu penelusuran hukum dari umum ke khusus.
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia,2008), hlm. 12. 16
Mamudji , o.p cit., hal. 67.
14
Universitas Indonesia
1.4 Sistematika Penulisan
Tesis yang penulis susun berjudul. “PERAN DAN WEWENANG
NOTARIS DALAM MEMBERIKAN PENYULUHAN HUKUM
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS.”
Pada tesis ini dibagi dalam 3 bab dan beberapa sub bab yang
kesemuanya saling berkaitan dan dalam satu kesatuan sehingga tidak dapat
dilepaskan satu dengan yang lainnya.
Adapun sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada sub bab ini penulis akan menguraikan tentang latar
belakang masalah, pokok permasalahan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : ANALISIS
Pada bab ini penulis akan menguraikan teori-teori yang
berhubungan dengan tesis, seperti teori tentang penyuluhan
hukum, kewenangan dan kewajiban notaris. Selain itu penulis
juga akan menguraikan tentang data hasil penelitian yang
disesuaikan dengan metode penelitian normatif, yang meliputi
permasalahan dalam kasus ini, serta pendapat nara sumber yang
terkait dengan permasalahan yang diteliti. Serta pada bab ini
penulis akan melakukan analisis permasalahan yang ada di BAB
I dengan membandingkan antara teori-teori yang ada dalam
BAB II.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini penulis mencoba untuk memberikan kesimpulan
dan saran dari permasalahan yang ada, yang mungkin dapat
memberi manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
15
Universitas Indonesia
BAB II
PERAN DAN WEWENANG NOTARIS DALAM MEMBERIKAN
PENYULUHAN HUKUM DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR
30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK
NOTARIS
2.1. Sejarah Notaris
Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” ini
timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang
menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum
keperdataan yang ada dan/atau terjadi diantara mereka; suatu lembaga
dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk
dimana dan apabila undang-undang mengharuskan sedemikian atau
dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang
mempunyai kekuatan otentik.
Berbicara mengenai sejarah notariat di Indonesia, kiranya tidak
dapat terlepas dari sejarah lembaga ini di negara-negara Europa pada
umumnya dan di negeri Belanda pada khususnya. Dikatakan demikian
oleh karena perundang-undangan Indonesia di bidang notariat berakar
pada "Notariswet" dari negeri Belanda tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stbl.
no. 20), sedang "Notariswet" itu sendiri pada gilirannya, sekalipun itu
tidak merupakan terjemahan sepenuhnya, namun susunan dan isinya
sebagian terbesar mengambil contoh dari undang-undang notaris
Perancis dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803) yang dahulu pernah
berlaku di negeri Belanda.17
Di dalam perkembangannya hukum
Notariat yang diberlakukan di Belanda selanjutnya menjadi dasar dari
peraturan perundang-undangan Notariat yang diberlakukan di
Indonesia.18
Sejarah notariat di Italia dimulai pada abad ke 11 atau ke 12 di
daerah perdagangan di Italia Utara. Di tandai dengan pengangkatan
pejabat notariat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat
17
Lumban Tobing, o.p cit., hlm . 2. 18
Tan Thong Kie, loc.cit, hlm. 15.
16
Universitas Indonesia
umum yang menerima honorarium dari masyarakat umum yang
menggunakan jasanya. Mereka disebut dengan Latijnse Notariaat.
Kemudian lembaga notariat ini mengalami perkembangan dan meluas
hingga ke daratan Eropa melalui Spanyol sampai ke negara-negara
Amerika Tengah dan Amerika Selatan.19
Mula-mula lembaga notaris ini dibawa ke Perancis dari Italia. Dari
Perancis, pada permulaan abad ke 19, lembaga notariat meluas ke
negara-negara sekelilingnya dan negara-negara lain.
Nama notariat berasal dari nama pengabdinya yaitu Notarius.
Dalam buku-buku hukum di Romawi klasik telah berulang kali
ditemukan nama atau titel notariat untuk orang-orang yang melakukan
suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu, akan tetapi mempunyai
arti yang tidak sama dengan notaris yang dikenal sekarang. Dalam abad
ke 2 dan ke 3, yang dinamakan notarii adalah orang-orang yang
memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat
dalam menjalankan pekerjaan mereka, yang dikenal sekarang sebagai
stenografen. 20
Selain pendapat tersebut di atas ada juga yang
berpendapat bahwa nama notarius itu berasal dari perkataan nota
literaria yaitu yang menyatakan sesuatu perkataan.21
Pada permulaan abad ke 3 berkembang yang disebut Tabeliones,
yaitu orang-orang yang ditugaskan bagi kepentingan masyarakat umum
untuk mencatat akta-akta dan tulisan yang dikehendaki oleh masyarakat
dan dibayar oleh pengguna jasanya. Akan tetapi jabatan atau kedudukan
mereka tidak mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak ditunjuk dan
diangkat oleh penguasa umum. Tabelionis ini dikenal pada masa
pemerintahan Ulpianus, sedangkan mengenai pekerjaannya mulai diatur
oleh undang-undang pada masa pemerintahan Kaisar Justisianus,
walaupun belum diberikan sifat kepegawaian kepada mereka. Karena
tidak adanya pengakatan dari penguasa tersebutlah, maka sifat dari
19
Lumban Tobing, o.p cit., hlm . 3. 20
Ibid., hlm. 5. 21
Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta :
Raja Grafindo Perasada, 1993), hlm. 12.
17
Universitas Indonesia
akta-akta yang dibuat oleh para tabeliones adalah bersifat di bawah
tangan dan tidak mempunyai kekuatan seperti akta otentik, sehingga
akta-akta dan surat-surat tersebut hanya mempunyai kekuatan seperti
akta yang dibuat di bawah tangan. Kekuatan pembuktian dari akta yang
dibuat oleh para "tabeliones" pada hakekatnya jauh tertinggal dari yang
dibuat di hadapan yang berwajib, kepada surat-surat yang disebut
terakhir mana, sebagai-mana halnya dengan surat ketetapan dari badan
peradilan dalam arti sempit, diberikan yang dinamakan "publics
fides".22
Selain itu ada yang disebut sebagai Tabularii, adalah sekumpulan
orang yang juga menguasai teknik tulis-menulis dan memberikan
bantuan kepada masyarakat dalam hal pembuatan akta-akta dan surat-
surat. Para tabularii ini adalah pegawai negeri yang mempunyai tugas
mengadakan dan memelihara pembukuan keuangan kota-kota dan juga
ditugaskan untuk melakukan pengawasan atas arsip. Mereka juga
dinyatakan berwenang dalam beberapa hal tertentu membuat akta-akta.
Sehingga pada zaman pemerintahan Justisianus, mereka menjadi
saingan para Tabelliones dalam pembuatan akta. Kemudian pada zaman
kekuasaan Longobarden, para Tabelionis diangkat menjadi pegawai
kekaisaran yang bertugas mencatat akta-akta untuk kepentingan
masyarakat. Setelah mengalami berbagai perkembangan, lambat laun
tabellionaat dan notariat bergabung menjadi satu dan menamakan diri
kollegium, yang selanjutnya disebut notarii, yang dipandang sebagai
satu-satunya pejabat yang berhak untuk membuat akta-akta baik di
dalam maupun di luar pengadilan. 23
Pada akhir abad ke 14 terjadilah kemerosotan di bidang notariat.
Hal ini disebabkan karena para notarii sendiri. Karena mengalami
kesulitan keuangan, mereka menjual jabatan-jabatan notarii mereka
kepada para orang-orang, tanpa mengindahkan apakah mereka ini
mempunyai cukup keahlian di bidang notariat. Lalu muncullah keluhan-
22
Lumban Tobing, o.p cit., hlm . 7. 23
Ibid., hlm. 8-9.
18
Universitas Indonesia
keluhan dari kalangan masyarakat mengenai kebodohan dari para
notaris dan berkurangnya kepercayaan terhadap para notaris.
Demikianlah selayang pandang sejarah terjadinya dan
perkembangan dari notariat di Europa, yang kemudian melalui negeri
Belanda dibawa ke Indonesia dan yang dikenal sekarang ini sebagai
lembaga notariat, dengan para notaris sebagai pengabdinya.
Notariat mulai masuk ke Indonesia pada abad ke 17. Pada tanggal
27 Agustus 1620, Melchior Kerchem, Sekretaris dari College van
Schepenen di Jacatra, diangkat menjadi notaris pertama di Indonesia.
Kepadanya ditugaskan untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta
yang dibuatnya. Setelah 5 tahun, yaitu tepatnya pada tanggal 16 Juni
1625, setelah jabatan “notaris publik” dipisahkan dari jabatan
“secretarius van den gerechte” dengan surat keputusan Gubernur
Jenderal tanggal 12 November 1620, maka dikeluarkanlah instruksi
pertama untuk para notaris di Indonesia, yang berisikan 10 pasal,
diantaranya ketentuan bahwa para notaris terlebih dahulu diuji dan
diambil sumpahnya. Yang mana didalam instruksi tersebut ditentukan
bahwa para notaris wajib menjalankan jabatannya itu. 24
Namun pada kenyataanya para notaris pada waktu itu tidak
mempunyai kebebasan didalam menjalankan jabatannya itu, oleh
karena mereka pada masa itu adalah “pegawai” dari Oost
Ind.Compagnie. Bahkan pada tahun 1632, dikeluarkannya sebuah
peraturan yang berisi bahwa notaris, sekretaris dan pejabat lainnya
dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual beli, surat wasiat dan
lain-lain akta, jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
Gubernur Jenderal.
Sejak masuknya notaris di Indonesia sampai tahun 1822 notariat
hanya diatur oleh 2 buah reglemen yang sering mengalami perubahan-
perubahan. Selama pemerintahan dari Inggris (1795-1811) peraturan-
peraturan lama di bidang notariat yang berasal dari Republiek der
Vereenidge Nederlanden tetap berlaku di Indonesia. Pada tahun1822
24
Ibid., hlm. 15.
19
Universitas Indonesia
dikeluarkan Instructie voor de notarissen in Indonesia. Pada tahun1860
diundangkanlah Peraturan jabatan Notaris (Notaris reglemen) yang
merupakan dasar kuat bagi pelembagaan notaris di Indonesia. Pasal-
pasal yang terdapat dalam Peraturan Jabatan Notaris merupakan copy
dari dari pasal-pasal yang terdapat dalam Notariswet yang berlaku di
Belanda.25
2.2. Pengertian Notaris
Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang pejabat
Negara/pejabat umum yang mendapat kewenangan dari Negara untuk
melakukan sebagian tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada
masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat
akta otentik dalam hal keperdataan. Pengertian Notaris dapat dilihat
dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, yakni dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang
menyatakan bahwa "Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang ini." Tugas Notaris adalah
mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk
tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik.26
Bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai
kedudukan sebagai “ pejabat umum “. Jadi dalam Pasal 1 (satu) tersebut
ada hal penting yang tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan pasal
tersebut, bahwa notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar), di
mana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat
akta‐akta otentik27
, jadi notaris merupakan pejabat umum sebagaimana
yang dimaksud pada Pasal 1868 Kitab Undang‐Undang Hukum
Perdata.
Menurut Kamus Indonesia, Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
25
Ibid., hlm. 18. 26
Tan Thong Kie, loc.cit, hlm. 159 27
R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta:
CV.Rajawali Pers, 1982), hlm. 42.
20
Universitas Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam undang‐undang ini (Peraturan Jabatan
Notaris).
Menurut Reglement op het Notarisambt (Peraturan Jabatan
Notaris) yang Ditegaskan dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris yang
dimaksud dengan Notaris, adalah pejabat umum yang satu‐satunya
berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau
oleh yang berkepentingan dikehendaki atau dinyatakan dalam suatu
akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse (salinan sah), salinan dan kutipannya, semuanya
sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.28
Menurut Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor.M.01‐HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat
dan Tata Cara Pengangkatan Dan Pemindahan, dan Pemberhentian
Notaris. Ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan
Notaris, adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang‐Undang Jabatan Notaris.
2.3. Dasar Hukum
Dalam menjalankan profesinya, Notaris memberikan pelayanan
hukum kepada masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan tanggal 6
Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 117. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Reglement
op Het Notaris Ambt in Indonesia / Peraturan Jabatan Notaris Di
Indonesia (Stb. 1860 Nomor 3) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Keberadaan notaris pada awalnya diatur dalam rambu-rambu
Burgerlijk Wetboek (BW/Kitab UU Hukum Perdata), terutama Buku
Keempat dalam pasal-pasal sebelumnya, yang secara sistematis
28
Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, 1984, hlm. 45.
21
Universitas Indonesia
merangkum suatu pola ketentuan alat bukti berupa tulisan sebagai
berikut:
a. bahwa barang siapa mendalilkan peristiwa di mana ia mendasarkan
suatu hak, wajib baginya membuktikan peristiwa itu; dan sebaliknya
terhadap bantahan atas hak orang lain (1865 BW);
b. bahwa salah satu alat bukti ialah tulisan dalam bentuk autentik dan di
bawah tangan. Tulisan autentik ialah suatu akta yang dibuat
sebagaimana ditentukan oleh undang-undang; dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang; di tempat mana akta itu
dibuat (1866-1868 BW);
c. bahwa notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang
membuat akta autentik (Pasal 1 Reglement op Het Notaris Ambt in
Indonesia / Peraturan Jabatan Notaris Di Indonesia, Staatsblad 1860
Nomor 3 Tahun 1860).
Ketentuan tersebut menunjukkan alat bukti tertulis yang dibuat
autentik oleh atau di hadapan notaris berada dalam wilayah hukum
perdata (pribadi/privat). Ini berbeda dengan istilah ”barang bukti”
dalam hukum pidana atau ”dokumen surat” dalam hukum administrasi
negara ataupun hukum tata usaha negara yang biasa disebut dengan
surat keputusan (beschikking), di mana termasuk dalam wilayah hukum
publik. Alat bukti tertulis autentik yang dibuat notaris berbeda maksud
tujuan dan dasar hukumnya dengan surat keputusan yang dibuat oleh
badan atau pejabat tata usaha negara dalam melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di
daerah. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004, sebagai produk hukum
nasional, dan secara substantif Undang-Undang tentang Jabatan Notaris
yang baru tersebut juga berorientasi kepada sebagian besar ketentuan-
ketentuan dalam PJN (Staatsbiad 1860:3), dan karena itu kajian dalam
penulisan ini tetap mengacu kepada Undang-Undang No. 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris.
22
Universitas Indonesia
2.4. Notaris Sebagai Pejabat Publik
Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah
Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan
Notaris (PJN) dan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.29
Pasal 1 PJN menyatakan bahwa:
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai suatu perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan memberikan
grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain.
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, bahwa notaris berwenang
membuat akta sepanjang dikehendaki para pihak atau menurut aturan
hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta tersebut
harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur
pembuatan akta notaris, sehingga Jabatan Notaris sebagai Pejabat
Umum tidak perlu lagi diberi sebutan lain yang berkaitan dengan
kewenangan notaris.
Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh
aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani
masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik
mengenai peristiwa hukum.
Pemberian kualifikasi notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan
dengan wewenang notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa
notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-
29
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia dalam Kumpulan Tulisan,
CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, (Selanjutnya disebut Buku II), hlm. 15.
23
Universitas Indonesia
akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau
orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain,
seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi
sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat
Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan
hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya semula sebagai
Pegawai Negeri.30
Wet op het Notarisambt yang mulai berlaku tanggal 3 April 1999,
Pasal 1 huruf a menyebutkan bahwa: “Notaris: de ambtenaar”, notaris
tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama. Notaris sekarang ini
tidak dipersoalkan apakah sebagai Pejabat Umum atau bukan, dan perlu
diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini
tidak bermakna umum, tetapi publik. Ambt pada dasarnya adalah
jabatan publik, sehingga jabatan notaris adalah Jabatan Publik tanpa
perlu atribut Openbaar.31
Apabila ketentuan dalam Wet op het
Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan
pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUJN, maka
Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut harus
dibaca sebagai Pejabat Publik.
Notaris sebagai Pejabat Publik tidak sama dengan pejabat publik
dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Pejabat Tata
Usaha Negara. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu
akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama
dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat yang termaktub
didalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersifat konkret, individual dan final, serta tidak menimbulkan
akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena
30
Ibid., hlm. 17. 31
Ibid., hlm. 20.
24
Universitas Indonesia
akta merupakan formulasi keinginan para pihak yang dituangkan dalam
akta notaris yang dibuat di hadapan atau oleh notaris.32
Notaris merupakan suatu Jabatan (publik) mempunyai
karakteristik, yaitu:33
a. Sebagai Jabatan
UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris,
artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang
mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang
berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN.
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh
negara, menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang
pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk
keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai
suatu lingkungan pekerjaan tetap.
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan
hukumnya. Sebagai batasan agar jabatannya dapat berjalan dengan baik,
dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Apabila
seseorang pejabat (notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang
yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar
wewenang. Wewenang notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat
(1), (2) dan (3) UUJN.
c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah
Pasal 2 UUJN menyatakan bahwa notaris diangkat dan
diberhentikan oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang
diberi tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan (Pasal
1 angka 14 UUJN). Meskipun notaris secara administratif diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti notaris menjadi subordinasi
32
Habib Adjie, Buku II, op.cit., hlm. 21. 33
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris), cet.2, (Bandung: Refika Aditama, 2009) (Selanjutnya disebut
Buku I), hlm. 15-16.
25
Universitas Indonesia
(bawahan) yang mengangkatnya. Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya:
1) Bersifat mandiri (autonomous);
2) Tidak memihak siapapun (impartial),
3) Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti
dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh
pihak yang mengangkatnya atau pihak lain.
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tetapi tidak
menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima
honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan
kewenangannya (Pasal 36 ayat (1) UUJN). Notaris juga wajib
memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma
kepada orang yang tidak mampu (Pasal 37 UUJN).
Jabatan notaris bukan suatu jabatan yang digaji, notaris tidak
menerima gajinya dari pemerintah sebagaimana halnya pegawai negeri,
akan tetapi dari mereka yang meminta jasanya. Notaris adalah pegawai
pemerintah tanpa gaji pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah
tanpa mendapat pensiun dari pemerintah.34
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat
Kehadiran notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukan akta otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris
mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, masyarakat
dapat menggugat secara perdata notaris, dan menuntut biaya, ganti rugi
dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk
akuntabilitas notaris kepada masyarakat.
2.5.Notaris sebagai Profesi Hukum
Pengembangan profesi seseorang tergantung sepenuhnya pada
pribadi yang bersangkutan, sebab secara individual ia mempunyai
tanggung jawab atas mutu pelayanan profesinya. Seseorang yang
34
Lumban Tobing, o.p cit., hlm . 36.
26
Universitas Indonesia
menyandang profesi hukum haruslah orang yang dapat dipercaya secara
penuh dan ia tidak akan menyalahgunakan situasi dan kondisi yang
ada.35
Dalam melaksanakan profesinya haruslah dilakukan secara
bermatabat, karena tugas profesi merupakan tugas kemasyarakatan yang
berhubungan langsung dengan nilai-nilai dasar yang merupakan harkat
dan martabat.36
Oleh karena itu pelayanan profesi hukum memerlukan
pengawasan dari masyarakat, namun menurut kebiasaan masyarakat
tidak mempunyai kompetisi teknik untuk mengukur dan mengawasi
para profesional tersebut.37
Alasannya karena tak seorangpun dari
anggota masyarakat yang terlepas dari permasalahan hukum dan
tentunya harus pula berhadapan dengan penyandang profesi hukum.38
Menurut Brandeis, untuk dapat disebut sebagai profesi, maka
pekerjaan itu sendiri harus mencerminkan adanya hubungan berupa:39
a. Ciri-ciri pengetahuan (intellectual character);
b. Diabdikan untuk kepentingan orang lain;
c. Keberhasilan bukan diukur pada keuntungan finansial;
d. Didukung oleh adanya organisasi (association) profesi dan
oragnisasi profesi, yang antara lain memerlukan berbagai ketentuan
yang merupakan kode etik, serta tanggung jawab dalam memajukan
dan menyebarkan profesi yang bersangkutan.
e. Adanya standar kualifikasi profesi
Dari uraian singkat tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan persyaratan khusus,
sebagaimana yang telah disebutkan oleh Brandeis di atas. Lima syarat
tersebut dapat ditambahkan dengan syarat keenam, yaitu adanya
pengakuan dari masyarakat.40
Syarat kedua dan ketiga merupakan
35
Abu Jusuf, Etika Jabatan Notaris Sebagai Profesi Hukum, Media Notariat, Nomor 2
Tahun 1, (Oktober, 1999), hlm. 72. 36
Ibid. 37
Ibid. 38
Ibid. 39
Shidarta, Etika Profesi Hukum Dalam Sorotannya, Era Hukum, No.9/Tahun 3
(Juli,1996), hlm. 35. 40
Ibid.
27
Universitas Indonesia
indikator utama yang membedakan suatu profesi tersebut, apakah
termasuk profesi luhur (officium nobile) atau hanya profesi pada
umumnya.
Profesi hukum pada dasarnya mampu memenuhi semua
persyaratan di atas, sehingga dapat dimaksudkan dalam kategori profesi
luhur. Menurut Abu Jusuf yang dimaksud dengan profesi hukum adalah
segala pekerjaan yang ada kaitannya dengan masalah hukum.41
Lain halnya seperti yang dikatakan oleh Shidarta, bahwa yang
dimaksud dengan profesi hukum adalah profesi yang diabdikan kepada
masyarakat luas.42
Dengan demikian dalam menjalankan profesinya
para penyandang profesi hukum senantiasa bersinggungan dengan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut ada yang
bersifat tetap, tetapi ada pula yang mengalami perubahan, mengikuti
perkembangan masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Nilai-
nilai yang tetap ini adalah nilai-nilai dasar, yang cenderung berubah itu
adalah nilai-nilai intrumentalnya.43
Notaris sebagai profesi hukum merupakan bentuk wujud atau
perwujudan dan personifikasi dari hukum, keadilan, kebenaran, bahkan
merupakan jaminan adanya kepastian hukum bagi masyarakat, itulah
sebabnya lembaga notariat dan lembaga kepercayaan menjadi satu.
Oleh karena itu ada suatu ukuran atau standar minimal untuk
dinyatakan bahwa seseorang itu “layak” disebut notaris, untuk
diperkenankan memangku jabatan serta menjalankan profesi sebagai
notaris.44
Syarat minimal yang harus dipenuhi oleh seorang yang hendak
diangkat menjadi notaris, yaitu antara lain:45
a. Bahwa notaris yang bersangkutan tidak pernah melakukan
pelanggaran hukum, termasuk ketentuan-ketentuan yang
berlaku bagi seorang notaris, teristimewa sebagaimana
41
Ibid. 42
Ibid. 43
Ibid. 44
Notaris Ideal dan Profesional, Media Notariat, (April-Juni 2001). hlm. 46. 45
Ibid.
28
Universitas Indonesia
termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris;
b. Bahwa notaris yang bersangkutan di dalam menjalankan
jabatan dan profesinya senantiasa mentaati kode etik yang
telah ditentukan oleh organisasi maupun etika profesi
dalam peraturan perundang-undangan;
c. Setia terhadap organisasi dan senantiasa turut aktif di dalam
kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi;
d. Memenuhi syarat untuk menjalankan jabatan atau
profesinya secara profesional.
Ada beberapa sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang notaris
yang akan menjalankan jabatan dan profesionalnya sebagai notaris,
antara lain:46
a. Berpegang teguh merupakan modal utama yang harus
dimiliki oleh seorang manusia yaitu memiliki sifat jujur, tahu
akan kewajiban dan senantiasa menghormati hak orang lain;
b. Berangkat dari niat dan itikad baik, untuk mencapai tujuan
yang baik, dan untuk mencapai tujuan itu harus dengan cara-
cara yang baik dan benar pula;
c. Mempunyai sifat, watak atau karakter dan akhlak serta
kepribadian yang baik, dengan landasan iman dan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. Tidak akan pernah berkhianat terhadap amanat yang diemban
atau dipercayakan kepadanya.
Bedasarkan dari apa yang telah diuraikan bahwa dengan adanya
kaitan tersebut maka dalam menjalankan fungsi dan peranannya,
kehadiran dan keberadaan dari seorang notaris benar-benar dapat
dirasakan manfaatnya sebagai profesi hukum dalam masyarakat.
2.6.Hubungan Notaris dengan Para Penghadap
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik sejauh mana pembuatan akta otentik tertentu tersebut tidak
46
Ibid.
29
Universitas Indonesia
dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka
menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain itu
akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena
dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memastikan
hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi
masyarakat secara keseluruhan.
Notaris membuat akta otentik yang merupakan alat pembuktian
terkuat dan terpenuh yang mempunyai peranan penting dalam setiap
hubungan hukum dalam setiap kehidupan masyarakat. Dalam berbagai
hubungan bisnis, perbankan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan
akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan
dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai
kegiatan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional maupun
internasional. Dengan demikian tugas seorang notaris adalah
mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk
tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik.
Penghadap datang ke notaris agar tindakan atau perbuatan
hukumnya diformulasikan ke dalam akta otentik sesuai dengan
kewenangan notaris, kemudian notaris membuatkan akta atas
permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini
memberikan landasan kepada notaris dan para penghadap telah terjadi
hubungan hukum. Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat
tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan,
sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta
tersebut.47
Para penghadap datang dengan kesadaran sendiri dan
mengutarakan keinginannya di hadapan notaris, yang kemudian
dituangkan ke dalam bentuk akta notaris sesuai aturan hukum yang
47
Habib Adjie, Buku I, op.cit., hlm 16-17.
30
Universitas Indonesia
berlaku, dan suatu hal yang tidak mungkin notaris membuatkan akta
tanpa ada permintaan dari siapapun. Hubungan hukum antara notaris
dan penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan
karakter:48
a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis
dalam bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu;
b. Mereka yang datang ke hadapan notaris, dengan anggapan
bahwa notaris mempunyai kemampuan untuk membantu
memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam
bentuk akta otentik;
c. Hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan
notaris yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak
sendiri;
d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.
Pasal 39 ayat (3) huruf c menyebutkan bahwa “penghadap harus
dikenal oleh notaris atau diperkenalkan padanya ...”. Pengertian dikenal
bukan dalam arti kenal akrab, tetapi kenal yang dimaksud dalam arti
yuridis yaitu ada kesesuaian antara nama dan alamat yang disebutkan
oleh yang bersangkutan di hadapan notaris dan juga dengan bukti-bukti
atau identitas atas dirinya yang diperlihatkan kepada notaris. Hal lain
yang harus diperhatikan ialah bahwa yang bersangkutan mempunyai
wewenang untuk melakukan suatu tindakan hukum yang akan
disebutkan dalam akta.49
Secara prinsip, notaris bersifat pasif melayani para pihak yang
menghadap kepadanya. Notaris hanya bertugas mencatat atau
menuliskan dalam akta apa-apa yang diterangkan para pihak, tidak
berhak mengubah, mengurangi atau menambah apa yang diterangkan
para penghadap.50
Menurut Yahya Harahap, sikap yang demikian
48
Ibid., hlm 19 49
Ibid., hlm 148. 50
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987, hlm. 27.
31
Universitas Indonesia
dianggap terlampau kaku, oleh karena itu pada masa sekarang muncul
pendapat bahwa notaris memiliki kewenangan untuk:51
a. Mengkonstantir atau menentukan apa yang terjadi di hadapan
matanya;
b. Oleh karena itu, dia berhak mengkonstantir atau menentukan
fakta yang diperolehnya guna meluruskan isi akta yang lebih
layak.
Sifat pasif ditinjau dari segi rasio tidak mutlak tetapi dilenturkan
secara relatif dengan acuan penerapan bahwa pada prinsipnya notaris
tidak berwenang menyelidiki kebenaran keterangan yang dikemukakan
para pihak. Perihal keterangan yang disampaikan para pihak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
dan kesusilaan, maka notaris harus menolak membuat akta yang
diminta.52
Hubungan notaris dengan para penghadap tidak dapat dipastikan
atau ditentukan pada awal notaris dan para penghadap berhubungan,
karena pada saat itu belum terjadi permasalahan apapun. Menentukan
bentuk hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap harus
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan: tidak
berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau tidak mampunya
pejabat umum yang bersangkutan dalam membuat akta, atau cacat
dalam bentuknya, atau karena akta notaris dibatalkan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal
ini dapat dijadikan dasar untuk menggugat notaris sebagai suatu
perbuatan melawan hukum.53
Perbuatan melawan hukum dapat terjadi satu pihak merugikan
pihak lain tanpa adanya suatu kesengajaan tapi menimbulkan kerugian
51
Yahya Harahap, Pengertian dan Dasar-Dasar Notaris, Jakarta: Erlangga, 2007, hlm
.573. 52
Ibid. 53
Habib Adjie, Buku I, op.cit., hlm 19.
32
Universitas Indonesia
pada salah satu pihak. Notaris dalam praktiknya melakukan pekerjaan
berdasarkan kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas jabatan
sebagai notaris berdasarkan UUJN.
Sepanjang notaris melaksanakan jabatannya sesuai UUJN dan telah
memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuataan akta, dan
yang bersangkutan telah pula sesuai dengan para pihak yang
menghadap notaris, maka tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan
hukum tidak mungkin dilakukan.54
Ditinjau dari segi pembuatan akta otentik, Pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengenal dua bentuk cara
mewujudkannya:55
a. Dibuat oleh pejabat
Bentuk pertama, dibuat oleh pejabat yang berwenang. Biasanya
akta otentik yang dibuat oleh pejabat meliputi akta otentik di bidang
hukum publik dan dibuat oleh pejabat yang bertugas di bidang eksekutif
yang berwenang untuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara.
Umumnya akta otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan
permohonan dari yang berkepentingan, tetapi ada juga tanpa permintaan
dari yang berkepentingan.
Pembuatan akta tersebut dikaitkan dengan fungsi tertentu seperti
pembuatan berita acara atau putusan pengadilan, dibuat berdasar
pelaksanaan fungsi penegakan hukum yang didasarkan undang-undang.
b. Dibuat di hadapan pejabat
Akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat pada umumnya:
a. Meliputi hal-hal yang berkenaan dalam bidang hukum perdata
dan bisnis
b. Biasanya berupa akta yang berisi dan melahirkan persetujuan
bagi para pihak yang datang menghadap dan
menandatanganinya
c. Para pihak yang berkepentingan datang menghadap pejabat yang
berwenang, dan kepada pejabat itu mereka sampaikan
54
Ibid., hlm. 18. 55
Yahya Harahap, op.cit., hlm 570-571.
33
Universitas Indonesia
keterangan serta meminta agar keterangan itu dituangkan dalam
bentuk akta.
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan
sumber untuk otensitas akta notaris juga merupakan dasar legalitas
eksistensi akta notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:56
a. Akta harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan)
seorang pejabat umum;
b. Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang;
c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
Akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek notaris disebut Akta
Relaas yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris
sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para
pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Akta
yang dibuat dihadapan notaris, dalam praktek notaris disebut Akta
Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang
diberikan atau diceritakan di hadapan notaris. Pembuatan akta baik akta
relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama dalam pembuatan
akta notaris yaitu harus ada keinginan atau kehendak dan permintaan
para pihak, jika keinginan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan
membuat akta yang dimaksud.57
Akta dibuat berdasarkan bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang. Lahirnya UUJN menegaskan keberadaan akta notaris dan
mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-
undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Pasal 15 ayat
(1) UUJN menegaskan kewenangan notaris membuat akta secara
umum, dengan batasan:58
56
Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, Bandung: Refika Aditama, 2009 (Selanjutnya disebut Buku III), hlm 56-57.
57 Habib Adjie, Buku II, op.cit., hlm. 44.
58 Habib Adjie, Buku III, op.cit., hlm 56.
34
Universitas Indonesia
a. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
b. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki
oleh yang berkepentingan.
c. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan. Notaris membuat akta untuk setiap orang, tetapi
agar menjaga netralitas notaris dalam pembuatan akta, ada
batasan yang ditentukan dalam Pasal 52 UUJN.
d. Berwenang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat, hal ini
sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris.
e. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus
menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang
tercantum dalam akta.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan karakter yuridis akta
notaris yaitu:59
a. Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan
undang-undang (UUJN)
b. Akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan
keinginan notaris.
c. Meskipun dalam akta notaris tercantum nama notaris, tapi notaris
tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau
penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
d. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun
terikat dalam akta notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain,
selain yang tercantum dalam akta tersebut.
e. Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas
kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta.
Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang setuju harus
59
Ibid., hlm 71-72.
35
Universitas Indonesia
mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang
bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu
yang dapat dibuktikan.
Notaris membuat akta harus sesuai dengan syarat formil dan
materiil pembuatan akta, yaitu:60
a. Syarat formil:
1) Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini
notaris.
2) Dihadiri para pihak. (Pasal 39 UUJN)
3) Kedua belah pihak dikenal atau diperkenalkan kepada
notaris. (Pasal 39 ayat (2) UUJN )
4) Dihadiri oleh dua orang saksi. (Pasal 40 ayat (1) UUJN)
5) Menyebut identitas notaris (pejabat), penghadap, dan para
saksi. (Pasal 38 ayat (2), (3), dan (4) UUJN)
6) Menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta.
(Pasal 38 ayat (2) UUJN)
7) Notaris membacakan akta di hadapan para penghadap.
(Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN)
8) Ditandatangani oleh semua pihak. (Pasal 44 UUJN)
9) Penegasan pembacaan, penerjemahan dan penandatanganan
pada bagian penutup akta. (Pasal 45 ayat (3) UUJN)
b. Syarat materiil:
1) Berisi keterangan kesepakatan para pihak.
2) Isi keterangan perbuatan hukum.
3) Pembuatan akta sengaja dimaksudkan sebagai alat bukti.
Kedudukan notaris berkaitan dengan akta yang dibuatnya,
parameternya harus kepada prosedur pembuatan akta notaris, dalam hal
ini UUJN.61
Apabila semua prosedur telah dilakukan (telah memenuhi
syarat formil dan materil), maka akta yang bersangkutan tetap mengikat
mereka yang membuatnya di hadapan notaris. Memidanakan notaris
60
Yahya Harahap, op.cit., hlm, 574-579. 61
Habib Adjie, Buku II, op.cit., hlm, 69.
36
Universitas Indonesia
dengan alasan-alasan pada aspek formil, tidak akan membatalkan akta
notaris yang dijadikan sebagai objek perkara pidana tersebut. Aspek
materiil dari akta notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai benar
sebagai pernyataan notaris dalam akta relaas dan harus dinilai sebagai
pernyataan para pihak dalam akta pihak, apa saja yang harus ada secara
materiil dalam akta harus mempunyai batasan tertentu. Menentukan
batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat, didengar oleh
notaris atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak di hadapan
notaris.
2.7.Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Dari Seorang Notaris
Dalam UUJN dan Kode Etik Notaris
Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai
dengan ayat (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi:62
1. Kewenangan Umum Notaris.
2. Kewenangan Khusus Notaris.
3. Kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian.
2.7.1 Kewenangan Umum Notaris
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan
notaris yaitu membuat akta secara umum. Hal ini dapat disebut
sebagai Kewenangan Umum Notaris dengan batasan sepanjang :
1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah
ditetapkan oleh undang-undang.
2. Menyangkut akta yang harus dibuat adalah akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh aturan hukum untuk dibuat atau
dikehendaki oleh yang bersangkutan.
3. Mengenai kepentingan subjek hukumnya yaitu harus jelas
untuk kepentingan siapa suatu akta itu dibuat.
Namun, ada juga beberapa akta otentik yang merupakan wewenang
notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu :63
1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW),
62
Habib Adjie, Buku I, op.cit., hlm 78. 63
Ibid., hlm. 79.
37
Universitas Indonesia
2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan
hipotik (Pasal 1227 BW),
3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan
konsinyasi (Pasal 1405, 1406 BW),
4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK),
5. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat
[1] UU No.4 Tahun 1996),
6. Membuat akta risalah lelang.
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana
tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta
notaris, maka ada 2 hal yang dapat kita pahami, yaitu :
1. Notaris dalam tugas jabatannya memformulasikan
keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik,
dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan
atau ditambah dengan alat bukti yang lainnya. Jika misalnya
ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak
benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang
wajib membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum
yang berlaku.
2.7.2 Kewenangan Khusus Notaris
Kewenangan notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2)
UUJN yang mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk
melakukan tindakan hukum tertentu, seperti :
1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian
tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya di
dalam suatu buku khusus ;
2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan
mendaftarkannya dalam suatu buku khusus ;
38
Universitas Indonesia
3. Membuat salinan (copy) asli dari surat-surat di bawah
tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan ;
4. Melakukan pengesahan kecocokan antara fotokopi dengan
surat aslinya ;
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta ;
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
membuat akta risalah lelang.
2.7.3 Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian
Yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan
kewenangan yang akan ditentukan kemudian adalah wewenang yang
berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius
constituendum). Wewenang notaris yang akan ditentukan kemudian,
merupakan wewenang yang akan ditentukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka
2 UU no. 5 Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara,
bahwa:64
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam
undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat
secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,
serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di
tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang juga mengikat secara
umum.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan notaris yang akan
ditentukan kemudian tersebut adalah peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah bersama-sama
Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang
dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka
64
Ibid., hlm. 82-83.
39
Universitas Indonesia
peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk
undang-undang dan bukan di bawah undang-undang.
2.7.4 Kewajiban dan Larangan Notaris
Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban
sekaligus sebagai anggota dari Perkumpulan/organisasi Ikatan Notaris
Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang
harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya. Kewajiban dan
larangan notaris diatur dalam UUJN (Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17)
serta Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban:
a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari protocol notaris;
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undnag-undang
menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku
yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika
jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, dan mencatat
jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada
sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau
tidak diterimanya surat berharga;
h. Membuat daftar yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta setiap bulan;
40
Universitas Indonesia
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf
Hak tanggungan atau daftar nihil yang berkenaan wasiat ke
Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada
minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat
pada setiap akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris;
m. Menerima magang notaris.
Pasal 17
Notaris dilarang:
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau badan usaha
swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar
wilayah jabatan notaris;
h. Menjadi notaris pengganti;
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma
agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan jabatan notaris.
41
Universitas Indonesia
Notaris sebagai anggota organisasi profesi notaris memiliki
kewajiban dan larangan yang diatur dalam suatu kode etik dan memiliki
sanksi atas pelanggaran yang dilakukan terhadapnya. Kewajiban notaris
diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris, yaitu:
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris wajib:
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
Jabatan Notaris.
3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa
tanggungjawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
isi sumpah jabatan Notaris.
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak
terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan
Negara;
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya
untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut
honorarium.
8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan
dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan
kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm
x 60 cm atau 200 cm x 80 cm , yang memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir
sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama
berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas
42
Universitas Indonesia
papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di
lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk
pemasangan papan nama dimaksud.
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan
yang diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati,
mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan
Perkumpulan.
11. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
12.Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat
yang meninggal dunia.
13.Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang
honorarium ditetapkan Perkumpulan.
14.Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan,
pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya,
kecuali karena alasan-alasan yang sah.
15.Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha
menjalin komunikasi dan tali silaturahim.
16.Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak
membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
17.Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut
sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain
namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris; .
c. Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris
Indonesia.
43
Universitas Indonesia
2.8.Penyuluhan Hukum
Landasan utama usaha penyuluhan hukum adalah UUD 1945.
Bertitik tolak dari penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa :
Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan
belaka. Pernyataan ini merupakan kesepakatan bangsa Indonesia
melalui wakilnya para pembuat UUD yang disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945.
Guna mewujudkan pernyataan tersebut di atas, pasal-pasal UUD
1945 telah memberikan ketentuan-ketentuan yang harus ditetapkan,
salah satu yang terpenting dalam hubungannya dengan penyuluhan
hukum adalah pasal 27 ayat (1) yang berbunyi :
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
Ketentuan tersebut dengan tegas menetapkan tentang hak dan
kewajiban terpenting bagi semua warga negara tanpa kecuali dalam
negara hukum Indonesia yaitu :
a. Hak bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan
b. Kewajiban menjunjung Hukum dan Pemerintahan.
Dari ketentuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak negara
kita merdeka, mengatur negara dan pemerintahan sendiri, bukan hanya
diperlukan adanya jaminan terhadap hak kebersamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan saja, akan tetapi harus disertai dengan
kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa
kecuali bagi semua anggota masyarakat.
Selanjutnya pada GBHN 1983 rupanya apa yang telah dilakukan
oleh pemerintah mendapat persetujuan dan pengesahan yang
menyatakan perlu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat,
melainkan secara tegas dan kongkrit memerintahkan meningkatkan
penyuluhan hukum. Adapun pernyataan GBHN 1983 adalah sebagai
berikut:
44
Universitas Indonesia
“Meningkatkan penyuluhan hukum untuk mencapai kadar kesadaran
hukum yang tinggi dalam masyarakat menyadari dan menghayati dan
kewajibannya sebagai warga negara dalam rangka tegaknya hukum,
keadilan dan perlindungan terhadap rakyat dan martabat manusia,
ketertiban serta kepastian hukum sesuai UUD 1945.”
Dari arahan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 tersebut,
dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Tujuan penyuluhan hukum adalah mencapai kadar kesadaran
hukum yang tinggi dalam masyarakat;
2. Tercipta kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat apabila
setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan
kewajibannya sebagai warga negara;
3. Pencapaian kadar kesadaran hukum yang tinggi itu adalah dalam
rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum
sesuai Undang-undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan hal-hal diatas, pelaksanaan penyuluhan hukum
menggunakan metode pendekatan yang disebut PEKA. Istilah
pendekatan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor. M.05-
PR.08.10 Tahun 1988 yang mendefinisikan PEKA sebagai berikut:
a. Persuasif artinya bahwa penyuluh hukum dalam
melaksanakan tugasnya harus mampu meyakinkan
masyarakat yang disuluh, sehingga mereka merasa tertarik
dan menaruh perhatian serta minat terhadap hal-hal yang
disampaikan oleh penyuluh.
b. Edukatif artinya bahwa penyuluh harus bersikap dan
bertingkah laku sebagai pendidik yang dengan penuh
kesabaran dan ketekunan membimbing masyarakat ke arah
tujuan .
c. Komunikatif artinya bahwa penyuluh hukum harus mampu
berkomunikasi dan menciptakan iklim serta suasana
sedemikian rupa sehingga tercipta suatu pembicaraan yang
bersikap akrab, terbuka dan timbal balik.
45
Universitas Indonesia
d. Akomodatif artinya bahwa dengan diajukannya
permasalahan-permasalahan hukum oleh masyarakat,
penyuluh hukum harus mampu mengakomodasikan,
menampung dan memberikan jalan pemecahannya dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh
masyarakat.
Selain hal tersebut adapun pengertian penyuluhan hukum
berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor : M.01-PR.08.10 Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan
Hukum yaitu:
“Penyuluhan Hukum adalah salah satu kegiatan penyebarluasan
informasi dan pemahaman terhadap norma hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku guna mewujudkan dan
mengembangkan kesadaran hukum masyarakat sehingga tercipta budaya
hukum dalam bentuk tertib dan taat atau patuh terhadap norma hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi tegaknya
supremasi hukum.”
Mengenai pola dasar penyuluhan hukum dan pola operasional
penyuluhan hukum dimaksudkan untuk dijadikan pedoman secara garis
besar dalam merencanakan melaksanakan penyuluhan hukum secara
terarah dan terpadu.
Pada pokoknya pola dasar dan pola operasional penyuluhan hukum
mengerahkan lima hal yaitu:65
1.Tata Laksana
Dalam pelaksanaanya beberapa arahan dan ketentuan yang termuat
dalam kedua pedoman tersebut dapat diterapkan dengan baik, dalam
melaksanakan kegiatan yang sudah di program sekarang ini di tiap
kabupaten dan kotamadya sudah terbentuk dan bertugas apa yang
disebut pusat hukum masyarakat (PUSKUMMAS) diurus oleh satu
kelompok kerja daerah (POKJADA) tingkat dua yang diterapkan oleh
Bupati/Walikota, diketuai oleh ketua / wakil ketua pengadilan negri
dengan anggota dan unsur pemerintah daerah dan perwakilan
65
“Efektifitas Penyuluhan Hukum Terhadap Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat
Di Kecamatan Tallo Kota Makassar” http://www.artikelbagus.com/2011/03/bab-i-
pendahuluan.html, diunduh 19 November 2012.
46
Universitas Indonesia
departemen penerangan di daerah kabupaten/kotamadya.
PUSKUMMAS ini berada dibawah koordinasi kantor wilayah
departemen kehakiman, diurus oleh pokjada tingkat I yang ditetapkan
oleh Menteri Kehakiman.
2. Materi
Mengenai materi hukum yang disuluhkan kepada masyarakat, pola
dasar penyuluhan hukum membedakan antara:
a. Materi hukum yang harus diketahui oleh setiap warga
masyarakat.
b. Materi hukum yang hanya diperlukan oleh mereka yang
berhubungan dengan sektor-sektor tertentu saja dalam
kehidupan masyarakat.
3. Penyuluh Hukum
Dalam kegiatan penyuluhan hukum, unsur penyuluh hukum
merupakan faktor yang paling dominan. Karena itu dalam
pelaksanaannya faktor ini menjadi titik perhatian pembinaan baik
kuantitas maupun kualitasnya.
Untuk itu diutamakan program bimbingan teknis penyuluhan
hukum yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang hukum
dan teknik melakukan penyuluhan hukum saja, akan tetapi juga
diharapkan terbinanya kesiapan mental dan kesatuan bahasa para
penyuluh hukum untuk terjun sebagai penyuluh hukum yang tangguh,
ulet dan bertanggung jawab ketengah-tengah masyarakat kita yang
sedang membangun. Karena kegiatan penyuluhan hukum bukan
semata-mata masalah hukum, melainkan menyangkut berbagai masalah
yang perlu didukung dengan pengetahuan sosial lainnya.
4. Metode
Pola operasional penyuluhan hukum merumuskan metode
penyuluhan hukum adalah suatu rakitan antara pendekatan, teknik dan
sarana/media penyuluhan hukum. Kalau dihubungkan dengan susunan
organisasi direktorat penyuluhan hukum dan administrasi pembangunan
di kenal dua saluran, yaitu:
47
Universitas Indonesia
a. Penyuluhan hukum langsung adalah program penyuluhan hukum
yang tidak memakai media, artinya penyuluh dengan khalayak
(yang disuluhi) dapat bertatap muka dan mungkin untuk berdialog,
seperti umpamanya ceramah, diskusi, simulasi, temu wicara,
pameran dan pentas panggung.
b. Penyuluhan hukum tidak langsung adalah program penyuluhan
hukum yang memakai media dan antara penyuluh dengan
khalayak(yang disuluhi) tidak mungkin berdialog seperti dengan
media cetak (buku, brosur, liflet, selebaran, poster dan lain-lain)
dan media elektronik (tv,radio,Vidio, kaset dan lain-lain).
2.9.Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan bantuan yang diberikan oleh para ahli,
bagi warga masyarakat yang memerlukannya untuk mewujudkan hak-
haknya serta juga untuk mendapatkan perlindungan yang wajar. Dalam
masyarakat umumnya terdapat berbagai macam bantuan, baik yang
diberikan oleh para ahli maupun oleh mereka yang terampil atau
profesional.
Salah satu masalah yang sering timbul adalah bagaimana
mengadakan identifikasi terhadap bantuan hukum yang juga merupakan
salah satu jenis bantuan hukum. Sebagai ilustrasi, seseorang yang telah
menyelesaikan pendidikan hukum pada tingkat kesarjanaan
memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana menyusun suatu kontrak
jual-beli rumah bagi seseorang. Menurut pendapat Soerjono Soekanto,
bahwa:66
“Kegiatan tersebut bukan merupakan bantuan hukum, oleh karena
tidak dilakukan secara berkesinambungan. Agar merupakan bantuan
hukum, maka kegiatan tersebut harus merupakan kegiatan yang secara
terus menerus dilakukan, dan menjadi semacam pengkhususan bagi
yang melaksanakan. Selain dari itu, maka tujuannya pun harus
senantiasa untuk mencapai kedamaian, melalui penyerasian antara
ketertiban dengan ketentraman.”
66
Soerjono Soekanto, Beberapa Cara dan Mekanisme dalam Penyuluhan Hukum,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal 1.
48
Universitas Indonesia
Lazimnya dikenal ada lima jenis bantuan hukum, yakni:67
a. Bantuan hukum preventif yang merupakan penerangan dan
penyuluhan hukum kepada warga masyarakat didalam arti
yang umum dan luas.
b. Bantuan hukum diagnostik yang merupakan pemberian
nasihat hukum yang lazimnya dinamakan dengan konsultasi
hukum.
c. Bantuan hukum pengendalian konflik yang bertujuan
mengatasi masalah-masalah hukum konkrit secara aktif.
Biasanya didalam pembicaraan sehari-hari, jenis bantuan
hukum ini disebut sebagai bantuan hukum.
d. Bantuan hukum pembentukan hukum yang tujuannya
adalah untuk memberikan masukan kepada pihak peradilan,
supaya muncul yurisprudensi yang lebih tegas, lebih tepat
dan jelas dan lebih baik.
e. Bantuan hukum pembaharuan hukum yang pada dasarnya
berkaitan dengan usaha-usaha untuk mengadakan
pembaharuan hukum melalui hakim untuk pembentukan
perundang-undangan.
Menurut pendapat Soerjono Soekanto bahwa:68
“Bantuan hukum prefentif biasanya diberikan kepada kelompok-
kelompok sosial maupun pribadi-pribadi hukum (seperti lembaga-
lembaga hukum atau organisasi-organisasi). Bantuan hukum
diagnostik dapat diberikan kepada pribadi kodrati dan pribadi-
pribadi hukum. Pribadi kodrati dan pribadi hukum, biasanya berhak
untuk menerima bantuan hukum pengendalian konflik, sedangkan
bantuan hukum pembentukan hukum maupun pembaharuan hukum
biasanya tertuju pada pribadi-pribadi hukum.
Penyuluhan hukum merupakan jenis bantuan hukum tertentu, yakni
bantuan hukum preventif. Penyuluhan hukum merupakan suatu
kegiatan, dimana secara sengaja dan terencana diberikan bantuan
67
Ibid, hlm. 4. 68
Ibid.
49
Universitas Indonesia
hukum kepada pihak-pihak tertentu melalui komunikasi, agar pihak-
pihak tersebut mampu mengambil suatu keputusan.
2.10.Tujuan Penyuluhan Hukum
Dalam keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.06-UM.06.02 Tahun 1983 dan Nomor M.10.UM.06.02 Tahun 1983,
adapun tujuan dari penyuluhan hukum adalah sebagai berikut:
a. Menjadikan masyarakat paham hukum, dalam arti memahami
ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam peraturan-peraturan
hukum yang mengatur kehidupannya sebagai orang-perorangan;
b. Membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga masyarakat
sehingga setiap warga taat pada hukum dan secara suka rela tanpa
dorongan atau paksaan dari siapapun melaksanakan hak dan
kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh hukum.
Tujuan utama dari penyuluhan hukum adalah supaya warga
masyarakat memahami hukum yang berlaku, sehingga hukum tersebut
melembaga dan bahkan menjiwai warga masyarakat yang
bersangkutan.69
Tujuannya bukan sekedar memberikan informasi atau keterangan-
keterangan mengenai hukum yang perlu diketahui, akan tetapi
mengusahakan untuk membina dan meningkatkan kesadaran hukum
warga, sehingga timbul kepatuhan dan ketaatan hukum, atas dasar
anggapan bahwa hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku atau
yang dianutnya.
2.11.Penyuluhan Hukum Notaris
Dalam upaya dan usaha meningkatkan pengabdian kepada
masyarakat sekaligus juga meningkatkan kesadaran hukum masyarakat,
notaris juga mempunyai fungsi dalam memberikan penyuluhan hukum,
sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 ayat 2 huruf (e) UUJN. Notaris
pada waktu diminta bantuan oleh masyarakat umum juga memberikan
69
Ibid, hlm. 6.
50
Universitas Indonesia
penyuluhan hukum dan memberikan penjelasan mengenai undang-
undang yang berlaku.70
Hal ini dilakukan notaris oleh karena ia berdasarkan ketentuan
perundang-undangan ditugaskan untuk membuat akta yang benar yang
dikehendaki oleh undang-undang. Penyuluhan hukum atau penjelasan
mengenai ketentuan undang-undang ini diberikan dalam rangka
membantu dalam pembuatan akta yang diperlukan dan ini merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.71
Inilah salah satu faktor yang membedakan pekerjaan notaris dengan
pekerjaan praktisi-praktisi hukum yang lain. Hal lain yang membedakan
adalah notaris dalam mengatur hubungan-hubungan hukum yang telah
disetujui antara kedua belah pihak, pada haketkatnya dibuat dalam
keadaan damai.
Nasihat yang harus diberikan oleh seorang notaris harus
berdasarkan keyakinan dalam bidang yang dikuasai dan dalam batas-
batas kemampuannya. Keahlian hukum dalam bidangnya harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan-
peraturan ini merupakan pedoman apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan oleh seorang Notaris terhadap kliennya.
Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum dalam bentuk
konsultasi hukum terhadap kliennya dilarang untuk memungut bayaran
seperti yang dilakukan advokat. Ketentuan tersebut mengandung nilai
pelayanan, dengan mengutamakan kepentingan kliennya.72
Dalam menjalankan jabatannya, notaris memiliki dua ciri dan sifat
yang essentiil yaitu ketidakberpihakan dan ketidaktergantungan
(mandiri) dalam memberikan bantuan kepada kliennya.
Kedidakberpihakan ini dapat dipenuhi dengan baik apabila kepada para
pihak telah diberikan penjelasan yang menyeluruh mengenai segala
70
Roenastiti Prayitno, “Tugas dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pejabat Pembuat
Akta”, Media Notariat, No.12-13/Tahun IV, (Oktober:1989), hlm.178. 71
Ibid. 72
C.S.T. Kansil dan Christine S.T.Kansil, o.p cit., hlm. 76.
51
Universitas Indonesia
hak, kewajiban termasuk segala akibat hukum dari perbuatan hukum
yang akan dilakukan oleh para klien. 73
Pemberian penyuluhan hukum oleh notaris dapat “mempengaruhi:
klien dalam menentukan pilihan untuk menentukan tindakan
hukumnya.74
Tergantung pada klien untuk menentukan pilihannya,
sedangkan notaris menjaga rambu-rambu hukumnya. Sedangkan
mengenai ketidaktergantungan atau kemandirian tersebut, notaris tidak
dibawahi pihak manapun kecuali peraturan perundang-undangan,
kesusilaan dan ketertiban umum. Notaris dalam memberikan
penyuluhan hukum dalam arti berkaitan dengan pembuatan akta otentik
harus mencermikan arti hukum yaitu disamping memberikan ketertiban
juga memberikan kesajateraan bagi masyarakat.
Dalam kenyataannya sehari-hari ada beberapa kasus ditemukan
bahwa seorang notaris dalam menjalankan jabatannya tidak melakukan
penyuluhan hukum tersebut, dengan demikian muncul masalah-masalah
hukum diantara para pihak yang berhubungan dengan pembuatan akta
yang bersangkutan. Salah satu kasus yang ditemukan oleh penulis
adalah ada beberapa orang yang hendak membuat akta-akta yang
berhubungan dengan Perseroan Terbatas dihadapan Notaris, seperti
Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham, Akta Jual Beli Saham,
Pernyataan Keputusan Rapat, dan lain-lain, dalam hal pembuatan akta-
akta tersebut notaris yang bersangkutan tidak memberikan penyuluhan
hukum kepada para penghadap, seperti penjelasan mengenai harus
dibuatnya akta jual beli saham jika di dalam perseroan terbatas tersebut
ada salah satu pemegang sahamnya yang menjual sebagian atau seluruh
dari saham yang dimilikinya. Hal ini berdasarkan Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) diatur mengenai
syarat-syarat pemindahan hak atas saham antara lain yaitu:
a) Pemindahan hak saham dilakukan dengan AKTA
PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM (pasal 56 ayat 1)
73
Herlien, Asosiasi Notaris, Suatu Jalan Keluar?” Media Notariat, No.2/Tahun I,
(Oktober, 1999), hlm. 62. 74
Ibid., hlm. 63.
52
Universitas Indonesia
b) Akta Pemindahan Hak Atas Saham tersebut dapat di buat dalam
bentuk akta dibawah tangan atau akta otentik (akta notaris).
c) Akta pemindahan hak atau salinannya disampaikan secara
tertulis kepada Perseroan. ( Pasal 56 ayat 2)
d) Berdasarkan Pasal 57: dalam Anggaran Dasar dapat diatur
persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu :
a. Keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang
saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;
b. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari
Organ Perseroan;
c. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Maka akibatnya jika Pemindahan hak saham tersebut tidak
dilakukan dengan akta pemindahan hak atas saham atau akta jual beli
saham, maka secara hukum kepemilikan saham tersebut belum beralih
kepada orang yang membelinya, dan tentunya hal ini akan sangat
merugikan para pihak dalam akta tersebut.
Selain kasus tersebut diatas ditemukan juga didalam suatu
perseroan terbatas hanya terdapat 1 (satu) pemegang saham, hal ini
dikarenakan pada saat pendirian perseroan terbatas tersebut hanya
didirikan oleh 2 (dua) orang saja, dimana yang mengambil bagian
saham yang telah disetor di dalam perseroan terbatas tersebut hanya 1
(satu) orang saja, sedangkan pendiri yang satu lagi hanya sebagai
pengurus di dalam perseroan terbatas tersebut. Jika hal ini terjadi maka
tanggung jawab pemegang saham perseroan tersebut tidak lagi menjadi
terbatas, melainkan pemegang saham tersebut bertanggung jawab
secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian perseroan, dan atas
permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat
membubarkan perseroan tersebut, hal ini berdasarkan Pasal 7 angka 6
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
53
Universitas Indonesia
Dalam kasus ini seharusnya seorang notaris dapat memberikan
penyuluhan hukum mengenai pemegang saham tunggal (Corporation
Sole), adalah suatu perseroan terbatas di mana pemegang sahamnya
hanya terdiri dari 1 (satu) orang saja. Undang-Undang Perseroan
Terbatas tidak memungkinkan eksistensi perusahaan pemegang saham
tunggal ini, hal ini diatur di dalam Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang
Perseroan Terbatas, yaitu:
”Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang
saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling
lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham
yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada
orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.”
Pasal 7 angka 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas hanya memungkinkan adanya pemegang saham
tunggal dalam suatu perseroan terbatas hanya dalam 2 (dua) hal sebagai
berikut:
1) Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.
2) Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan
penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan
lembaga lain sebagaimana diatur dalam undangundang tentang
Pasar Modal.
Maka akibatnya jika seorang notaris tidak memberikan penyuluhan
hukum yang baik dan benar mengenai hal tersebut diatas, maka
tentunya kelalaian yang dilakukan notaris tersebut dapat merugikan
para penghadapnya.
Masih berkaitan dengan kasus Perseroan Terbatas tersebut diatas,
ditemukan juga kasus mengenai adanya pasangan suami-istri yang
berkeinginan untuk mendirikan suatu perseroan terbatas, dimana
mereka dalam perkawinannya tidak membuat perjanjian kawin. Hal ini
tentunya sangat dibutuhkan penyuluhan hukum atau nasihat dari
seorang notaris dalam aspek hukum di bidang Perseroan Terbatas,
karena jika suatu peseroan terbatas didirikan oleh sepasang suami istri
54
Universitas Indonesia
yang tidak pernah membuat perjanjian kawin, maka jika suatu hari nanti
perseroan terbatas yang didirikan oleh pasangan suami istri tersebut
mengalami kerugian melebihi modal yang ada didalam perseroan
terbatas tersebut, maka secara tanggung renteng pasangan suami istri ini
harus mengganti kerugian tersebut dengan menggunakan harta pribadi
mereka. Tentunya akibat dari seorang notaris yang tidak
memberitahukan atau tidak memberikan penyuluhan hukum kepada
pasangan suami istri tersebut, menyebabkan para pihak yang tercantum
nama-namanya tercantum didalam akta dirugikan.
Berdasarkan hal-hal diatas maka penulis melakukan serangkaian
wawancara dengan beberapa notaris di Jakarta, dengan tujuan hasil dari
wawancara ini dapat memperkuat hasil analisis dari penulisan tesis ini.
Notaris-notaris tersebut diantaranya adalah: yang pertama Ibu Lena
Magdalena sebagai Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)
di daerah Jakarta Barat, beliau mengatakan seorang notaris dibenarkan
memberikan penyuluhan hukum menurut peraturan perundang-
undangan sepanjang perbuatan itu berhubungan dengan pembuatan
akta. Hal ini sesuai seperti yang diatur di dalam pasal 15 ayat 2 huruf e
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,
bahwa notaris diberi kewenangan untuk melakukan penyuluhan hukum.
Penyuluhan hukum adalah suatu perbuatan yang memberikan
penyuluhan dalam bidang hukum. Suatu nasihat yang harus diberikan
oleh seorang notaris harus bedasarkan keyakinan hukum dalam bidang
yang dikuasai dan dalam batas-batas kemampuannya. Keahlian hukum
dalam bidang yang dikuasainya harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Peraturan-peraturan ini merupakan
suatu pedoman mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh seorang notaris terhadap kliennya.
Pada saat memberikan penyuluhan hukum, seorang notaris
berperan sebagai orang yang ahli dalam bidang hukum. Karena notaris
di samping membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, ketetapan dan lain sebagainya untuk kepentingan para klien
55
Universitas Indonesia
yang menghadap kepadanya, notaris juga berkewajiban untuk
memberikan petunjuk di bidang hukum yang dibutuhkannya dan atau
yang sedang dihadapinya. Pemberian petunjuk dalam bidang hukum
disini notaris bertindak memberikan penyuluhan hukum.
Di samping itu juga dinyatakan bahwa memberikan penyuluhan
hukum dapat disamakan dengan memberikan suatu nasihat hukum
karena dalam memberikan suatu penyuluhan hukum maupun nasihat
hukum, notaris dalam hal ini memberikan suatu petunjuk atau
penjelasan dalam bidang hukum yang sedang dihadapi atau dibutuhkan
oleh para penghadap.
Dalam hal seorang notaris memberikan penyuluhan hukum kepada
klien di luar tugas dan wewenangnya, dikatakan perbuatan notaris
tersebut tidak dianggap bertentangan dengan Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, sepanjang perbuatan itu
berhubungan dan berkaitan dengan akta. Peranan notaris dalam
memberikan penyuluhan hukum harus mampu menilai terlebih dahulu
apa yang sesungguhnya yang dikehendaki oleh para penghadap yang
datang kepadanya dan memberikan nasihat seperlunya dalam hukum
dan mencari bentuk-bentuk hukum yang sesuai dan yang dikehendaki
para penghadap.
Setiap kewenangan yang diberikan kepada seseorang pasti
menimbulkan tanggung jawab, begitu pula halnya bagi seorang notaris.
Bedasarkan ketentuan undang-undang, notaris diberikan kewenangan
lain selain membuat akta juga dapat memberikan suatu penyuluhan
hukum sehubungan dengan pembuatan akta dan itu juga menimbulkan
tanggung jawab.
Jika dilihat dari kewenangannya memberikan suatu penyuluhan
hukum maka peranan notaris dapat disamakan dengan advokat yaitu
sama-sama memberikan suatu konsultasi hukum. Hanya saja, peranan
notaris dalam memberikan suatu penyuluhan hukum hanya dibatasi
dengan pembuatan akta dan tidak boleh meminta imbalan kepada klien.
56
Universitas Indonesia
Jika seorang notaris dalam memberikan suatu penyuluhan hukum
meminta bayaran maka ia tidak hanya melanggar ketentuan undang-
undang, tetapi kepada notaris yang bersangkutan dapat ditutut telah
bertindak sebagai advokat. Selain itu notaris dalam melakukan
pemberian suatu penyuluhan hukum selalu dalam posisi yang netral
atau tidak memihak, serta penyuluhan hukum yang diberikan oleh
seorang notaris biasanya di bidang penerapan hukum yang tujuannya
untuk mencegah permasalahan di waktu yang akan datang atau setidak-
tidaknya memberikan suatu kepastian tentang kedudukan para pihak
dan kejelasan mengenai apa yang pernah disepakati oleh mereka.
Sedangkan kewenangan advokat dalam memberikan penyuluhan
hukum tidak terbatas seperti halnya notaris yang hanya terbatas dengan
pembuatan akta, dan advokat dapat meminta imbalan kepada kliennya
terhadap jasa konsultasinya. Selain itu advokat dalam memberikan
penyuluhan hukum tidak netral karena sudah berpihak kepada kliennya
dan penyuluhan hukum yang diberikan oleh seorang advokat untuk
penegakan hukum yang akhirnya dilakukan untuk menyelesaikan suatu
persoalan yang telah terjadi.
Yang kedua adalah Ibu Linda Herawati sebagai Notaris dan
PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di daerah Jakarta Pusat, beliau
mengatakan seorang notaris dibenarkan memberikan penyuluhan
hukum menurut peraturan perundang-undangan sepanjang perbuatan itu
berkaitan dengan pembuatan akta. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang
diatur di dalam pasal 15 ayat 2 huruf e Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menyatakan dengan tegas
bahwa notaris berwenang pula memberikan penyuluhan hukum
sehubungan dengan pembuatan akta.
Penyuluhan hukum adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
memberikan suatu bantuan hukum berupa penjelasan mengenai
ketentuan undang-undang yang dilakukan dalam rangka pembuatan
akta, agar pihak-pihak tersebut mampu untuk mengambil suatu
keputusan. Dengan adanya penyuluhan hukum yang diberikan oleh
57
Universitas Indonesia
notaris, diharapkan para penghadap yang memerlukan bantuannya
menjadi paham dan mengerti mengenai keputusan yang terbaik yang
akan diperbuatnya.
Pada saat memberikan penyuluhan hukum notaris berperan sebagai
pejabat yang profesional yang dapat dipercaya secara penuh dan tidak
menyalahgunakan situasi dan kondisi yang ada. Sebagai seorang yang
profesional, notaris dalam melaksanakan profesinya harus
melakukannya secara bermatabat dan bertangggung jawab atas mutu
pelayanan profesinya.
Disamping itu juga dinyatakan bahwa memberikan penyuluhan
hukum dapat disamakan dengan memberikan suatu nasihat hukum.
Alasannya karena keduanya sama-sama memberikan suatu penerangan
atau penjelasan mengenai hukum kepada para pihak yang
membutuhkannya.
Juga dinyatakan bahwa notaris mempunyai persamaan dalam
pekerjaannya dengan advokat. Keduanya sama-sama menuangkan suatu
kejadian dalam bentuk hukum, memberi penyuluhan hukum kepada
para pihak dan menjadi orang kepercayaan bagi mereka. Diantara
keduanya memiliki kesamaan seperti yang disebutkan di atas, namun
antara notaris dan advokat memiliki perbedaan yang mendasar secara
prinsip.
Seorang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum selalu
bersikap netral dan tidak memihak dan memberikan pelayanan kepada
semua pihak. Selain itu penyuluhan hukum yang diberikan oleh seorang
notaris nerupakan penjelasan mengenai ketentuan undang-undang yang
digunakan dalam rangka membantu pembuatan akta yang diperlukan
dan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya.
Sedangkan seorang advokat dalam memberikan penyuluhan hukum
sudah berpihak, tidak netral karena sudah merupakan tugasnya untuk
membela kliennya dan penyuluhan hukum yang diberikan oleh seorang
advokat lebih luas dibandingkan seorang notaris.
58
Universitas Indonesia
Peranan notaris dalam memberikan penyuluhan hukum harus
memberikan suatu penjelasan mengenai keadaan hukum yang
sebenarnya sesuai dengan ketentuan undang-undang, menjelaskan hak
dan kewajiban masing-masing pihak, agar tercapai suatu kesadaran
hukum yang tinggi dan benar dalam masyarakat, jujur, tidak berpihak,
dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebelum notaris memberikan
penyuluhan hukum ia harus mengerti permasalahan yang dipertanyakan
oleh klien, agar notaris tidak memberikan suatu penjelasan yang keliru.
Jika seorang notaris memberikan penyuluhan hukum kepada klien
diluar tugas dan wewenangnya, maka perbuatan itu tidak dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, sepanjang perbuatan itu berhubungan dengan hukum
dan berkaitan dengan akta.
Walaupun akibat dari pelaksanaan penyuluhan hukum tersebut
tidak diatur, notaris yang bersangkutan juga tetap mempunyai tanggung
jawabnya yaitu tanggung jawab secara moral terhadap jabatan yang
diembannya. Karena notaris merupakan pejabat yang dipercaya dan
dalam melaksanakan tugasnya selalu dijiwai Pancasila, sadar dan taat
kepada hukum Jabatan Notaris, sumpah jabatan dan juga Kode etik
notaris.
Jika penghadap merasakan ada suatu ketidakpuasan atas penjelasan
yang diberikan oleh notaris tersebut maka secara hukum disahkan
bahwa penghadap yang bersangkutan boleh menanyakan kepada notaris
lainnya. Terhadap penjelasan hukum yang diberikan notaris, para
penghadap bebas untuk menentukan keputusan yang akan diambilnya.
Dengan demikian penjelasan tersebut dapat diikuti oleh para
penghadap atau tidak ditulis di dalam akta. Bedasarkan alasan tersebut
maka jika ada kesalahan didalam akta sehingga menimbulkan kerugian
bagi para pihak bukan kesalahan notaris maka notaris tersebut tidak
dapat dituntut tanggung jawabnya karena apa yang tercantum di dalam
akta merupakan keinginan dari para pihak sendiri sementara notaris
hanya menuangkannya saja dari kehendak para pihak didalam akta
59
Universitas Indonesia
otentik, sehingga konsekuensinya ditanggung oleh penghadap sendiri.
Akan tetapi jika notaris tersebut memberikan suatu penyuluhan hukum
yang diikuti dengan pembuatan akta, ternyata menimbulkan suatu
kerugian bagi kliennya karena kesalahan dari notaris sendiri maka
menurut beliau, notaris tersebut dapat dituntut tanggung jawabnya.
Sebaliknya jika kerugian yang ditimbulkan bukan kesalah notaris maka
notaris tidak dapat dituntut tanggung jawabnya.
Sebagai gambarannya bahwa sebelum notaris membuatkan akta
yang diinginkan oleh kliennya, notaris harus terlebih dahulu
memberikan suatu penjelasan mengenai keadaan hukum yang
sebenarnya kepada klien, hak dan kewajiban mereka masing-masing,
agar klien tersebut mengerti akan keadaan yang sebenarnya. Hal inilah
yang dimaksud dengan penyuluhan hukum. Terhadap penyuluhan
hukum yang diberikan dapat diikuti oleh klien atau tidak.
Dengan demikian sebelum akta ditandatangani, notaris diwajibkan
untuk terlebih dahulu membacakan apa yang tertuang dan tertulis
didalam akta sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh klien maka
setelah aktanya dibuat oleh notaris yang bersangkutan ternyata
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak maka notaris yang
bersangkutan tidak dapat dituntut tanggung jawabnya. Dengan alasan
bahwa jika akta telah ada, maka yang berbicara bukan para pihak lagi
melainkan akta tersebut karena apa yang tertulis di dalam akta sebagai
alat bukti yang otentik.
2.12.Analisa
1. Peranan dan wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan
hukum kepada klien ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris
Peranan seorang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum
dilakukan dalam rangka membantu dalam pembuatan akta otentik dan
ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam
pasal 15 ayat 2 huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
60
Universitas Indonesia
Jabatan Notaris yang menyatakan dengan tegas bahwa notaris
berwenang pula memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta.
Selain hal yang disebutkan diatas, di dalam Pasal 3 huruf a
Rumusan Komisi D Bidang Kode etik Ikatan Notaris Indonesia Periode
1990-1993 bahwa anggota (notaris) wajib memberikan penyuluhan
hukum kepada klien, sejauh mungkin sehingga klien itu dapat
menangkap dan memahami penyuluhan tersebut, walaupun dengan
diberikannya penyuluhan orang itu urung membuat akta atau urung
menjadi klien dari anggota yang bersangkutan.75
Bedasarkan hasil wawancara antara penulis dengan beberapa
notaris, maka penulis dapat menjelaskan bahwa wewenang notaris
dalam memberikan penyuluhan hukum kepada kliennya, dapat dibagi
menjadi 2 (dua) kriteria, yaitu penyuluhan hukum yang diikuti dengan
pembuatan akta dan penyuluhan hukum tanpa diikuti dengan
pembuatan akta.
Penyuluhan hukum yang diikuti dengan pembuatan akta
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hanya saja di
dalam memberikan suatu penyuluhan hukum, notaris harus memberikan
penjelasan mengenai keadaan hukum yang sebenarnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjelaskan hak dan
kewajiban para pihak agar tercapai kesadaran hukum yang tinggi dalam
masyarakat, jujur, tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung
jawab.
Sebelum notaris memberikan penyuluhan hukum, ia harus mengerti
dengan baik permasalahan yang dipertanyakan oleh klien kepadanya,
agar notaris tersebut tidak memberikan suatu penjelasan yang keliru
atau tidak sesuai bahkan melanggar ketentuan yang berlaku. Selain itu
dalam memberikan penyuluhan hukum notaris harus mampu menilai
terlebih dahulu apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh para pihak
yang datang kepadanya, memberikan nasihat yang sesuai dengan
75
As’ad Sungguh, 25 Etika Profesi, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hlm. 43-44.
61
Universitas Indonesia
undang-undang, dan mencari bentuk-bentuk hukum yang sesuai dan
dikehendaki oleh para pihak.
Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris berperan untuk
selalu bertindak jujur dan tidak berpihak, memberikan pelayanan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku didalam undang-undang, serta
merahasiakan segala keterangan dan segala sesuatu yang diperolehnya
dari para penghadap atau kliennya kepada pihak lain.
Mengenai tanggung jawab notaris dalam memberikan penyuluhan
hukum tersebut, tentunya sangat erat kaitannya dengan pembuatan akta
otentik. Dimana berdasarkan Pasal 1867 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata disebutkan istilah akta otentik dan dalam Pasal 1868 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata memberikan batasan secara unsur yang
dimaksud dengan akta otentik, yaitu:
a. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang.
b. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum.
c. Pejabat umum oleh- atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, di tempat
dimana akta tersebut dibuat.
Dengan demikian akta otentik mempunyai pembuktian yang
sempurna. Kesempurnaan akta notaris sebagai alat bukti, maka akta
tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan
lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut.
Selain penjelasan mengenai akta otentik tersebut diatas, notaris
juga dalam membuat akta otentik dibagi menjadi 2 (dua) jenis akta,
yaitu: akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek notaris sering disebut
akta relaas atau akta berita acara, yang berisi berupa uraian notaris yang
dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak yang
dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta notaris, dan yang kedua
adalah akta yang dibuat dihadapan notaris, dalam praktek notaris
disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para
pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan notaris. Para
62
Universitas Indonesia
pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke
dalam bentuk akta notaris.
Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang
menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta notaris, yaitu harus
ada keinginan atau kehendak dan permintaan dari para pihak, jika
keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan
membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan
permintaan para pihak tersebut, notaris dalam hal ini mempunyai
kewenangan untuk dapat memberikan penyuluhan hukum sehubungan
dengan pembuatan akta yang bersangkutan, dengan berdasarkan kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketika saran atau penyuluhan hukum dari notaris tersebut diikuti
oleh para pihak dan dituangkan atau dilanjutkan dengan pembuatan
aktanya, dan ternyata akta notaris tersebut dikemudian hari bermasalah
atau menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak dalam akta, maka
dalam hal ini notaris tidak bisa langsung dipersalahkan atau diminta
pertanggung jawabannya, karena akta notaris tersebut adalah
merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau
pendapat notaris, melainkan isi akta merupakan perbuatan para pihak
dan bukan perbuatan atau tindakan notaris. Notaris hanya
memformulasikan keinginan para pihak agar tindakannya dituangkan
dalam bentuk akta otentik atau akta notaris. Pihak yang merasa
dirugikan dan yang hendak menuntut notaris tersebut terlebih dahulu
harus dapat membuktikan beberapa hal berikut ini:
a. Adanya derita kerugian
b. Antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari
notaris terdapat hubungan kausal
c. Pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan
kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris yang
bersangkutan.
Berdasarkan uraian diatas maka pihak yang merasa dirugikan
tersebut dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada
63
Universitas Indonesia
notaris yang bersangkutan, tetapi dengan syarat pihak tersebut harus
dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat
langsung dari akta notaris yang bersangkutan. Dalam posisi tersebut
penggugat atau pihak yang merasa dirugikan tersebut harus dapat
membuktikan apa saja yang dilanggar oleh notaris, dari aspek lahiriah,
aspek formal, dan aspek materiil atas akta notaris tersebut.
Jika gugatan terhadap notaris tersebut diatas tidak terbukti maka
akta notaris tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak dan pihak-
pihak yang terkait sepanjang tidak dibatalkan oleh para pihak sendiri
atau berdasarkan putusan pengadilan, demikian pula jika gugatan
tersebut terbukti , maka akta notaris terdegradasi kedudukannya dari
akta otentik menjadi akta dibawah tangan, sebagai akta dibawah tangan
maka nilai pembuktiannya tergantung para pihak dan hakim yang akan
menilainya. Jika pendegradasian kedudukan akta tersebut ternyata
merugikan pihak yang bersangutan (penggugat) dan dapat dibuktikan
oleh penggugat, maka penggugat dapat menuntut ganti rugi kepada
notaris yang bersangkutan. Jika notaris tidak dapat membayar ganti rugi
yang dituntut tersebut, maka berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, notaris tersebut dapat dinyatakan
pailit. Kepailitan notaris tersebut dapat dijadikan dasar untuk
memberhentikan sementara notaris dari jabatannya, jika berada dalam
proses pailit (Pasal 9 ayat 1 huruf a UUJN), dan diberhentikan dengan
tidak hormat dari jabatannya, jika dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 12
huruf a UUJN).
Kriteria penyuluhan hukum yang kedua adalah penyuluhan hukum
yang tidak diikuti dengan pembuatan akta. Dalam penyuluhan hukum
seperti ini notaris mempunyai kewenangan untuk dapat memberikan
atau tidak dapat memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak.
Pertimbangan notaris untuk memberikan penyuluhan hukum kepada
para pihak, dengan syarat penyuluhan hukum tersebut masih dalam
ruang lingkup kewenangan notaris yang telah diatur di dalam peraturan
64
Universitas Indonesia
perundang-undangan yang berlaku atau penyuluhan hukum tersebut
tidak melanggar UUJN dan kode etik notaris.
Sebagai contoh jika ada seseorang yang meminta kepada notaris
untuk diberikan penyuluhan hukum atau nasehat hukum mengenai
suatu akta notaris yang dibuat oleh notaris lain, maka dalam hal ini
notaris harus dapat menolak permintaan dan keinginan orang tersebut,
dengan cara notaris dapat memberikan penjelasan kepada orang tersebut
bahwa notaris tidak mempunyai kewenangan untuk menilai atau
mengomentari akta notaris dari teman sejawat notaris. Dalam hal ini
notaris hanya dapat membantu orang tersebut dengan cara memberikan
saran agar orang tersebut dapat meminta bantuan kepada pihak yang
lebih berwenang, seperti pengacara. Selain hal tersebut jika ada orang
yang meminta kepada notaris untuk diberikan saran atau nasihat hukum
dalam hal pembuatan akta yang bukan kewenangan notaris, seperti
contohnya membuat akta kelahiran atau akte perkawinan, maka notaris
dalam hal ini dapat memberikan saran kepada orang yang bersangkutan
untuk dapat meminta bantuannya kepada pejabat yang berwenang untuk
itu, yaitu Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Dengan demikian mengenai tanggung jawab notaris dalam hal
hanya memberikan penyuluhan hukum tanpa adanya pembuatan akta,
notaris tidak dapat dituntut tanggung jawabnya karena hal tersebut
merupakan suatu pendapat seseorang, antara notaris yang satu dengan
notaris yang lainnya dapat saja berbeda pendapat karena mereka
melihat dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini memang sering terjadi
sehingga tidak ada tanggung jawabnya karena pada realitanya seorang
notaris tidak pernah dituntut tanggung jawabnya dalam pemberian suatu
penyuluhan hukum. Sehingga apabila ada klien yang tidak puas dengan
jawaban yang diberikan oleh seorang notaris, maka secara hukum
disahkan bahwa klien tersebut boleh menanyakan kepada notaris
lainnya. Bedasarkan hal tersebut klien diberi kebebasan untuk memilih
sendiri sebagai perbuatan hukum yang akan dilakukannya untuk
dinyatakan didalam suatu akta. Dengan demikian penjelasan yang
65
Universitas Indonesia
diberikan oleh notaris yang bersangkutan dapat diikuti oleh para
penghadap atau tidak untuk dinyatakan didalam suatu akta.
2. Batasan-batasan bagi seorang notaris dalam peranannya
memberikan penyuluhan hukum kepada klien
Berdasarkan pasal 15 ayat 2 huruf e UUJN notaris berwenang
untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta. Dalam hal ini UUJN memberikan kewenangan tersebut dengan
tujuan agar para pihak dapat memahami hukum yang berlaku, sehingga
hukum tersebut dapat melembaga dan bahkan menjiwai setiap para
pihak yang bersangkutan. Tujuannya bukan sekedar memberikan
informasi atau keterangan-keterangan mengenai hukum yang perlu
diketahui, akan tetapi mengusahakan untuk membina dan meningkatkan
kesadaran hukum para pihak yang bersangkutan, sehingga timbul
kepatuhan dan ketaatan hukum, atas dasar anggapan bahwa hukum itu
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku atau yang dianutnya.
Penyuluhan hukum atau penjelasan mengenai ketentuan undang-
undang ini diberikan dalam rangka membantu dalam pembuatan akta
yang diperlukan dan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Nasihat yang harus diberikan oleh
seorang notaris harus berdasarkan keyakinan dalam bidang yang
dikuasai dan dalam batas-batas kemampuannya. Keahlian hukum dalam
bidangnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dengan adanya penyuluhan hukum yang diberikan oleh notaris,
diharapkan para penghadap yang memerlukan bantuannya menjadi
paham dan mengerti mengenai keputusan yang terbaik yang akan
diperbuatnya dan juga sebelum notaris membuatkan akta yang
diinginkan oleh kliennya, notaris harus terlebih dahulu memberikan
suatu penjelasan mengenai keadaan hukum yang sebenarnya kepada
klien, hak dan kewajiban mereka masing-masing, agar klien tersebut
mengerti akan keadaan yang sebenarnya.
66
Universitas Indonesia
Atas dasar kewenangan tersebut, dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya notaris dituntut untuk memberikan jaminan kepastian
hukum dan pelayanan yang profesional. Dalam mewujudkan 2 (dua)
sisi pekerjaan yang mengandung banyak resiko tersebut diperlukan
pengetahuan hukum yang cukup dan ketelitian serta tanggung jawab
yang tinggi. Untuk itu dalam praktek sehari-hari notaris diwajibkan
untuk senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas negara serta
bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan mengutamakan
pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan negara. Adanya
kewajiban kepribadian yang baik dan tuntutan untuk menjunjung tinggi
martabat jabatan notaris, dengan demikian dalam pelaksanaan
jabatannya notaris tidak dibenarkan melakukan hal-hal dan/atau
tindakan yang tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan jabatan
notaris.
Dengan demikian seorang notaris dalam memberikan penyuluhan
hukum kepada kliennya memiliki batasan-batasan yang harus ditaati
dan junjung tinggi, yaitu:
a. Penyuluhan hukum diberikan sehubungan dengan pembuatan
akta (Pasal 15 ayat 2 huruf e UUJN);
b. Penyuluhan hukum diberikan dengan syarat pembuatan akta
yang bersangkutan tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang
ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 15 ayat 1 jo Pasal 15
ayat 2 huruf e UUJN);
c. Penyuluhan hukum yang diberikan harus berdasarkan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Penyuluhan hukum yang diberikan tidak melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. Dalam memberikan penyuluhan hukum notaris wajib berjiwa
Pancasila, taat kepada hukum, sumpah jabatan, kode etik
notaris (Kode etik Notaris);
67
Universitas Indonesia
f. Dalam memberikan penyuluhan hukum notaris wajib memiliki
perilaku profesional dan menjunjung tinggi kehormatan dan
martabat (Kode etik notaris);
g. Notaris harus selalu meningkatkan pengetahuannya agar
supaya penyuluhan hukum yang diberikan dapat selalu “up to
date” dengan ketentuan yang berlaku (Kode etik notaris);
h. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris harus memiliki
integritas moral, yang artinya menghindari sesuatu yang tidak
baik walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas
profesi diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan
santun dan agama (Kode etik notaris);
i. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris harus dapat
bersikap jujur, tidak semata-mata pertimbangan uang,
melainkan juga pengabdian, tidak membedakan antara orang
yang mampu dan tidak mampu (Kode etik notaris);
j. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris harus
berpegang teguh pada kode etik profesi karena didalamnya
ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh notaris
(Kode etik notaris);.
k. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris harus
menyadari kewenangan, kewajiban, dan larangan sebagaimana
yang telah diatur didalam UUJN;
l. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris harus bekerja
sendiri, penuh rasa tanggung jawab dan tidak berpihak
(UUJN);
m. Dalam memberikan penyuluhan hukum, notaris tidak
diperkenankan untuk memungut atau meminta honorarium
kepada klien yang bersangkutan (Kode etik notaris);
n. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang
memerlukan dengan sebaik-baiknya agar masyarakat
menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan
anggota masyarakat.
68
Universitas Indonesia
Berkaitan dengan tugas dan kewenangan notaris tersebut, maka
dapat dipahami bahwa keberadaan profesi notaris merupakan profesi
yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat
kewenangan dari notaris dalam memberikan penyuluhan hukum kepada
kliennya sangat penting sehubungan dengan pembuatan akta yang
bersangkutan. Sebagai pejabat umum notaris hendaknya dalam
melaksanakan tugasnya selalu dijiwai oleh Pancasila, sadar dan taat
kepada hukum UUJN, sumpah jabatan, kode etik notaris dan berbahasa
Indonesia yang baik.
Dengan berperilaku profesional serta memahami pengetahuan
tentang ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan pekerjaan
notaris yaitu dalam rangka pembuatan akta otentik, diharapkan dalam
pelaksanaan tugasnya, notaris akan terhindar dari segala akibat hukum
yang dapat merugikan notaris, terhadap akta-akta yang telah dan atau
akan dibuatnya
69
Universitas Indonesia
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peranan dan wewenang notaris dalam memberikan penyuluhan hukum
kepada kliennya diwajibkan kepada notaris yang bersangkutan agar
dapat mengerti dengan baik dan benar setiap kehendak, keinginan dan
permasalahan yang dipertanyakan dan/atau diajukan oleh klien kepada
notaris, dengan tujuan agar notaris tersebut tidak memberikan suatu
penjelasan atau penyuluhan hukum yang keliru atau tidak sesuai
bahkan melanggar ketentuan yang berlaku.
Dalam kasus Perseroan terbatas yang melakukan rapat umum
pemegang saham yang salah satu agendanya adalah melakukan jual
beli saham maka notaris diwajibkan untuk dapat memberikan
penyuluhan hukum mengenai harus dibuatnya akte jual beli saham
tersebut, karena akte jual beli saham tersebut menjadi dasar atas
peralihan hak atas kepemilikan saham tersebut, sedangkan untuk kasus
perseoan terbatas yang hanya memiliki satu pemegang saham dan
untuk kasus perseroan terbatas yang hendak didirikan oleh pasangan
suami istri yang tidak membuat perjanjian kawin, hendaknya notaris
sebelum membuat akte pendirian perseroan terbatas tersebut
diwajibkaan untuk memberikan penyuluhan hukum mengenai syarat-
syarat yang telah ditentukan dan diatur di dalam Undang-Undang No
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas dalam hal syarat pendirian
Perseroan terbatas.
Selain itu dalam memberikan penyuluhan hukum notaris harus
mampu menilai terlebih dahulu apa yang sesungguhnya dikehendaki
oleh para pihak yang datang kepadanya, memberikan nasihat yang
sesuai dengan undang-undang, dan mencari bentuk-bentuk hukum
yang sesuai dan dikehendaki oleh para pihak. Penjelasan terhadap
penyuluhan hukum yang diberikan notaris dapat diikuti atau tidak
ditulis didalam suatu akta. Oleh karena itu para penghadap diberi suatu
70
Universitas Indonesia
kebebasan untuk mencantumkan hal-hal apa saja yang diinginkan
untuk ditulis didalam suatu akta, hanya saja notaris tetap menjaga agar
kebebasan yang diberikan kepada para penghadap tidak melanggar
batas-batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang yang
terkait. Bedasarkan hal tersebut maka jika terdapat kesalahan didalam
akta sehingga menimbulkan kerugian bagi para pihak bukan kesalahan
notaris, maka notaris tersebut tidak dapat dituntut tanggung jawabnya
karena apa yang tercantum didalam akta merupakan apa yang
dikehendaki dan keinginan dari para pihak sendiri, sementara notaris
hanya mencatatkan apa yang dikehendaki sehingga konsekuensinya
ditanggung oleh penghadap sendiri. Kecuali kesalahan notaris sendiri
maka notaris tersebut dapat dituntut tanggung jawabnya.
2. Batasan-batasan bagi seorang notaris dalam memberikan penyuluhan
hukum kepada kliennya notaris harus memberikan penjelasan
mengenai keadaan hukum yang sebenarnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, menjelaskan hak dan kewajiban
para pihak agar tercapai kesadaran hukum yang tinggi dalam
masyarakat, bertindak jujur, tidak berpihak dan dengan penuh rasa
tanggung jawab mentaati kentuan didalam UUJN, kode etik notaris
dan sumpah jabatan.
B. Saran
1. Setiap notaris disarankan agar dapat memberikan penyuluhan hukum
yang baik dan benar yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh para
pihak dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, karena jika notaris melalaikan kewenangan dalam
memberikan penyuluhan hukum ini akibatnya bisa berdampak kepada
sengketa dan kerugian baik bagi para pihak yang terkait maupun bagi
notaris itu sendiri. Oleh karena itu setiap notaris diwajibkan untuk
dapat menjalankan profesinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, UUJN, Kode Etik, Sumpah Jabatan dan harus
mempunyai pengetahuan dan wawasan yang baik, benar dan luas.
Dalam memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak, notaris
71
Universitas Indonesia
harus dapat bertindak jujur, mandiri, dan tidak berpihak atau bersifat
netral. Bagi seorang notaris yang professional maka akan lebih baik
jika memiliki sifat kehati-hatian, ketelitian dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya dalam pembuatan akta yang dimintakan oleh para
pihak. Notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus
selalu teliti dan memeriksa kebenaran data yang diberikan oleh
penghadap dan berpegang pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2004
tentang jabatan notaris dan dalam melaksanakan jabatannya harus
berpegang pada moral dan etika. Dalam bekerja tidak semata-mata
karena materi atau uang semata, namun harus lebih mementingkan
harkat dan martabat sebagai manusia yang bertanggungjawab penuh
atas profesinya.
2. Bagi kasus-kasus yang telah dikemukan di atas, maka disarankan
kepada notaris ketika melakukan penyuluhan hukum agar dapat
dilakukan di hadapan para pihak dalam akta dan saksi-saksi serta
setiap penyuluhan hukum yang telah dilakukan oleh notaris dan
disetujui oleh para pihak hendaknya dituliskan dalam akta, atau jika
hal tersebut tidak dapat dilakukan, notaris bisa menuangkannya dalam
suatu akte tersendiri, hal ini dilakukan sebagai bukti bahwa notaris
tersebut telah melakukan kewajibannya dalam memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan akta yang hendak dibuat.
Para pihak yang menghadap hendaknya jujur atau menceritakan
yang sesungguhnya berkaitan dengan keterangan dalam pembuatan
akta kepada notaris, supaya akta itu dapat dipertanggung jawabkan
dan tidak merugikan kepentingan para pihak yang menyebabkan
dibatalkannya akta, agar akta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, norma agama, kesusilaan atau kepatutan yang
mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris. Notaris
diwajibkan juga agar dapat selalu hadir, mengikuti dan berpatisipasi
aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan,
serta menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh
keputusan perkumpulan.
72
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
A. Buku
Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia, cet.2, Bandung: Refika Aditama, 2009.
Adjie, Habieb, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2009.
Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai
Pejabat Publik, Bandung: Refika Aditama, 2009.
Adjie, Habib, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia dalam Kumpulan
Tulisan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009.
HS, Salim. Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006.
Kansil , C.S.T. dan Chistine S.T. Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, PT
Pradnya Paramita, Jakarta, 1996.
Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta, 1999.
Notodisoerjo, Soegondo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta
: Raja Grafindo Perasada, 1993.
Soekanto, Soerjono, Beberapa Cara dan Mekanisme dalam Penyuluhan Hukum,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.
Soekanto, Soerjono ,Kaidah-Kaidah Hukum , Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia,2008.
73
Universitas Indonesia
Soemoatmodjo, Soetardjo, Apakah: Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, Yogyakarta:
Liberty, 1986.
Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Surabaya:
Arkola, 2003.
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.
Sungguh, As’ad, 25 Etika Profesi, Jakarta:Sinar Grafika, 2004.
Tan Thong Kie. Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2000.
Tobing, G.H.S Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, 1983.
B. Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4432).
Indonesia, Undang-Undang Advokat. UU No.18 tahun 2003, LN No. 4288.
C. Internet
Dian Fisnanto, Yuli “Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum”,
www.wawasanhukum.blogspot.com. Diunduh 3 Juli 2012.
D. Artikel
Herlien, Asosiasi Notaris, Suatu Jalan Keluar? Media Notariat, No.2/Tahun I,
(Oktober, 1999)
Jusuf, Abu, Etika Jabatan Notaris Sebagai Profesi Hukum, Media Notariat,
Nomor 2 Tahun 1, (Oktober, 1999)
Notaris Ideal dan Profesional, Media Notariat, (April-Juni 2001), . 46.
74
Universitas Indonesia
Prayitno, Roenastiti, “Tugas dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pejabat
Pembuat Akta”, Media Notariat, No.12-13/Tahun IV, (Oktober:1989),.
178.
Shidarta, Etika Profesi Hukum Dalam Sorotannya, Era Hukum, No.9/Tahun 3
(Juli,1996), .35.